QAWA’ID FIQHIYAH
Kaidah Pertama :
صةة أحوو حرا ج
جححةة صةة أحوو حرا ج
جححةة حولح حيونحهى إجلم حعمما حموف ح
سحدهتهه حخالج ح شاجرهع لح حيأوهمهر إجلم جبحما حم و
صحلححهتهه حخالج ح ال م
Kaidah ini mencakup seluruh syari’at agama ini. Tidak ada sedikitpun hukum syari’at
yang keluar dari kaidah ini, baik yang berkait dengan pokok maupun cabang-cabang
agama ini, juga berhubungan dengan hak Allah Subhanahu wa Ta’alamaupun yang
berhubungan dengan hak para hamba. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi
kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan
permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil
pelajaran. [an-Nahl/16:90].
Tidak ada satu keadilan pun, juga ihsan (perbuatan baik) dan menjalin silaturahim
yang terlupakan, kecuali semuanya telah diperintahkan oleh Allah Azza wa Jalla dalam
ayat yang mulia ini. Dan tidak ada sedikit pun kekejian dan kemungkaran yang berkait
dengan hak-hak Allah Subahnahu wa Ta’ala, juga kezhaliman terhadap makhluk dalam
masalah darah, harta, serta kehormatan mereka, kecuali semuanya telah dilarang oleh
Allah Azza wa Jalla. Allah Subhanahu wa Ta’ala mengingatkan para hamba-Nya agar
memperhatikan perintah-perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala ini, memperhatikan
kebaikan dan manfaatnya lalu melaksanakannya. Allah Azza wa Jalla juga
mengingatkan agar memperhatikan keburukan dan bahaya yang terdapat dalam
larangan-larangan Allah Subhanahu wa Ta’ala tersebut, lalu menjauhinya.
صيحن حلهه الدديحن قهلو أححمحر حردبي جباولقجوسجط حوأحجقيهموا هوهجوحههكوم جعونحد هكل د حموس ج
جدد حواودهعوهه هموخلج ج
Ayat ini telah mengumpulkan pokok-pokok semua perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala,
dan mengingatkan kebaikan perintah-perintah itu. Sebagaimana ayat selanjutnya
menjelaskan pokok-pokok semua perkara yang diharamkan, dan memperingatkan
akan kejelekannya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
Katakanlah: “Rabbku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak
maupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan
yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak
menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah
apa yang tidak kamu ketahui”.[al-A’râf/7:33].
Dalam ayat yang lain, tatkala Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan agar bersuci
sebelum melaksanakan shalat, yaitu dalam firman-Nya:
سهحوا جبهرهءوجسهكوم حوأحورهجحلهكوم إجحلى اولحكوعحبويجن حوإجون هكونهتوم هجهننبا حفامطمههروا صحلجة حفاوغجسهلوا هوهجوحههكوم حوأحويجدحيهكوم إجحلى اولحمحرافججق حواوم ح حيا أحييحها املجذيحن آحمهنوا إجحذا قهومهتوم إجحلى ال م
سهحوا جبهوهجوجههكوم حوأحويجديهكوم جمونههصجعيندا حطدينبا حفاوم ح جهدوا حمانء حفحتحيممهموا ح سحفدر أحوو حجاحء أحححةد جمونهكوم جمحن اولحغاجئجط أحوو حلحموسهتهم الدن ح
ساحء حفحلوم حت ج ضىى أحوو حعحلىى ح حوإجون هكونهتوم حمور ح
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka
basuhlah mukamu dan tanganmu sampai siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh)
kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub, maka mandilah, dan
jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus)
atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah
dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. [al-
Mâidah/5:6].
Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan
menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur. [al-Mâidah/5 : 6]
Perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala yang maslahatnya seratus persen dan larangan
Allah dari sesuatu yang benar-benar rusak, dapat diketahui dari beberapa contoh
berikut.
Sebagian besar hukum-hukum dalam syari’at ini mempunyai kemaslahatan yang murni.
Keimanan dan tauhid merupakan kemaslahatan yang murni, kemaslahatan untuk hati,
ruh, badan, kehidupan dunia dan akhirat. Sedangkan kesyirikan dan kekufuran, bahaya
dan mafsadatnya murni, yang menyebabkan keburukan bagi hati, badan, dunia, dan
akhirat.
Kejujuran maslahatnya murni, sedangkan kedustaan sebaliknya. Namun, jika ada
maslahat yang lebih besar dari mafsadat yang ditimbulkan akibat kedustaan, seperti
dusta dalam peperangan, atau dusta dalam rangka mendamaikan manusia, maka Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberikan rukhshah (keringanan) dalam masalah
perbuatan dusta seperti ini, dikarenakan kebaikannya atau maslahatnya lebih
dominan.
Mereka bertanya kepadamu tentang khamr dan judi. Katakanlah: “Pada keduanya itu
terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih
besar dari manfaatnya”. [al-Baqarah/2:219].
Jika ada maslahat-maslahat besar dari sebagaian perkara yang mengandung unsur
perjudian, seperti mengambil hadiah lomba yang berasal dari uang pendaftaran
peserta dalam lomba pacuan kuda, atau lomba memanah, maka hal demikian ini
diperbolehkan. Karena lomba-lomba ini mendukung untuk penegakan bendera jihad.
Dan mereka mempelajari sesuatu yang memberi mudharat kepadanya dan tidak
memberi manfaat. [al-Baqarah/2:102].
Demikian pula diharamkannya bangkai, darah, daging babi, dan semisalnya yang
mengandung mafsadat dan bahaya. Jika maslahat yang besar mengalahkan mafsadat
akibat mengkonsumsi makanan yang diharamkan ini, seperti untuk mempertahankan
hidup, maka makanan haram ini boleh dikonsumsi. Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman:
Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa,
sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. [al-Mâidah/5:3].
Pokok dan kaidah syari’ah yang agung ini dapat dijadikan dasar untuk menyatakan
bahwa ilmu-ilmu modern sekarang ini, serta berbagai penemuan baru yang bermanfaat
bagi manusia dalam urusan agama dan dunia meraka, bisa digolongkan ke dalam
perkara yang diperintahkan dan dicintai Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya,
sekaligus merupakan nikmat yang diberikan Allah Azza wa Jalla kepada para hamba-
Nya; karena mengandung manfaat yang sangat dibutuhkan oleh manusia dan sebagai
sarana pendukung.
Oleh karena itu, adanya telegram dengan berbagai jenisnya, industri-industri,
penemuan-penemuan baru, hal-hal tersebut sangat sesuai dengan implementasi
kaidah ini. Perkara-perkara ini, ada yang masuk kategori sesuatu yang diwajibkan, ada
yang sunnah, dan ada yang mubah, sesuai dengan manfaat dan amal perbuatan yang
dihasikannya. Sebagaimana perkara-perkara ini juga bisa dimasukkan dalam kaidah-
kaidah syar’iyah lainnya yang merupakan turunan dari kaidah ini.
Sumber: https://almanhaj.or.id/2500-kaidah-ke-1-allah-dan-rasul-nya-tidaklah-
memerintahkan-sesuatu-kecuali-mendatangkan-maslahat.html
Kaidah Kedua :
Beberapa hal yang masuk dalam kaidah ini, di antaranya ialah bahwasanya perkara
wajib yang tidak bisa sempurna (pelaksanaannya) kecuali dengan keberadaan sesuatu
hal, maka hal tersebut hukumnya wajib pula. Dan perkara sunnah yang tidak bisa
sempurna kecuali dengan keberadaan sesuatu hal, maka hal tersebut sunnah juga
hukumnya. Demikian pula, sarana-sarana yang mengantarkan kepada perkara yang
haram atau mengantarkan kepada perkara yang makruh, maka hukumnya mengikuti
perkara yang haram atau makruh tersebut.
Demikian pula, termasuk turunan dari kaidah ini, bahwa hal-hal yang mengikuti ibadah
ataupun amalan tertentu, maka hukumnya sesuai dengan ibadah yang menjadi tujuan
tersebut.
Kaidah ini, merupakan kaidah yang sifatnya kullliyah (menyeluruh), yang membawahi
beberapa kaidah lain.
Jadi, apabila Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya memerintahkan sesuatu, maka itu
berarti sebuah perintah untuk melaksanakan obyek yang diperintahkan, dan hal-hal
terkait yang menyebabkan perintah tersebut tidak sempurna kecuali dengan hal-hal
tersebut. Demikian pula, perintah tersebut juga mencakup perintah untuk memenuhi
semua syarat-syarat dalam syari’at, syarat-syarat dalam adat, yang maknawi ataupun
kasat mata. Hal ini dikarenakan Allah, Dzat Yang Maha Mengetahui dan Maha Memiliki
Hikmah, mengetahui apa yang menjadi pengaruh-pengaruh yang muncul dari hukum-
hukum yang Ia Subhanahu wa Ta’ala syariatkan bagi hamba-Nya berupa lawaazim,
syarat-syarat, dan faktor-faktor penyempurna. Sehingga, perintah untuk mengerjakan
sesuatu bermakna merupakan perintah untuk obyek yang diperintahkan tersebut, dan
juga perintah untuk mengerjakan hal-hal yang tidaklah bisa sempurna perkara yang
diperintahkan tersebut kecuali dengannya. Dan (sebaliknya) larangan dari
mengerjakan sesuatu merupakan larangan dari hal tersebut dan larangan dari segala
sesuatu yang mengantarkan kepada larangan tersebut.
Atas dasar keterangan di atas, berjalan untuk melaksanakan shalat, menghadiri majlis
dzikir, silaturahim, menjenguk orang sakit, mengiringi jenazah, dan lain-lain masuk
dalam kategori ibadah juga. Demikian pula orang yang pergi untuk melaksanakan haji
dan umroh, serta jihad fi sabilillah (di jalan Allah l ), sejak keluar dari rumah sampai
pulang kembali, maka orang tersebut senantiasa dalam pelaksanaan ibadah. Karena
keluarnya (orang tersebut dari rumah) merupakan wasilah (cara) untuk melaksanakan
ibadah dan menjadi penyempurnanya. Allah Azza wa Jalla berfirman :
صالجةح اج حوحل حيحطهئوحن حمووجطنئا حيجغيهظ اولهكمفاحر حوحل حيحناهلوحن جمون حعهدوو حنوينل إجمل هكجت ح
ب حلههوم جبجه حعحمل ة ح سجبيجل م صةة جفي ح ب حوحل حموخحم ح صيهبههوم حظحمأ ة حوحل حن ح
ص ة ىحذلجحك جبأ حمنههوم حل هي ج
اه أحوح ح
سحن حما حكاهنوا حيوعحمهلوحن ب لحههوم لجحيوجزحيهههم م ﴾ حوحل هيونفجهقوحن حنحفحقنة ح١٢٠﴿ ضيهع أحوجحر اولهموحجسجنيحن
صجغيحرنة حوحل حكجبيحرنة حوحل حيوقحطهعوحن حواجدنيا إجمل هكجت ح اح حل هي ج إجمن م
ج
Yang demikian itu ialah karena mereka tidak ditimpa kehausan, kepayahan dan
kelaparan pada jalan Allah, dan tidak (pula) menginjak suatu tempat yang
membangkitkan amarah orang-orang kafir, dan tidak menimpakan sesuatu bencana
kepada musuh, melainkan dituliskanlah bagi mereka dengan yang demikian itu suatu
amal shalih. Sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang
berbuat baik, dan mereka tiada menafkahkan suatu nafkah yang kecil dan tidak (pula)
yang besar dan tidak melintasi suatu lembah, melainkan dituliskan bagi mereka (amal
shalih pula) karena Allah akan memberi balasan kepada mereka yang lebih baik dari
apa yang telah mereka kerjakan. [at-Taubah/9:120-121].
سحلحك اه أححو ح
سمهل ح اه حلهه حطجروينقا إجحلى اولحجمنجة سحلحك حطجروينقا حيولحتجم ه
س فجويجه جعولنما ح حمون ح
Barangsiapa yang menempuh suatu perjalanan dalam rangka menuntut ilmu maka
Allah akan memperjalankannya atau memudahkan jalan beginya menuju ke surga. [HR
Muslim].[1]
Sungguh terdapat hadits shahîh yang menjelaskan tentang pahala berjalan untuk
melaksanakan sholat, dan setiap langkah yang ditempuh dalam perjalanan tersebut
ditulis baginya satu kebaikan dan dihapuskan satu kejelekan.
شويدء أحوح ح
صويحناهه جفي إجحمادم همجبيدن ب حما حقمدهموا حوآحثاحرههوم حوهكل م ح
إجمنا حنوحهن هنوحجيي اولحمووحتىى حوحنوكهت ه
Sesungguhnya kami menghidupkan orang-orang mati dan kami menuliskan apa yang
Telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan. dan segala sesuatu
kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh mahfuzh). [Yasin/36:12].
Yang dimaksudkan dengan “bekas-bekas yang mereka tinggalkan” pada ayat di atas
ialah perpindahan langkah-langkah dan amalan-amalan mereka, apakah untuk
melaksanakan ibadah ataukah sebaliknya. Oleh karena itu, sebagaimana
melangkahkan kaki dan upaya-upaya untuk melaksanakan ibadah dihukumi sesuai
dengan hukum ibadah yang dimaksud, maka melangkahkan kaki menuju kemaksiatan
juga dihukumi sesuai dengan hukum kemaksiatan tersebut dan kemaksiatan yang lain.
Demikian pula, seluruh ibadah yang wajib atau sunnah yang tidaklah bisa menjadi
sempurna kecuali dengan suatu hal, maka hal itu juga wajib karena perkara yang
diwajibkan tersebut, atau menjadi amalan sunnah dikarenakan perkara yang sunnah
tersebut.
Termasuk cabang kaidah ini adalah perkataan ulama[2] : “Jika datang waktu sholat
bagi orang yang tidak menjumpai air, maka wajib baginya untuk mencari air di tempat-
tempat yang diperkirakan dapat ditemukan air di sana”. Dikarenakan kewajiban
tersebut tidak sempurna kecuali dengan keberadaan hal-hal itu sehingga hukumnya
juga wajib. Demikian pula, wajib baginya untuk membeli air atau membeli penutup
aurat yang wajib dengan harga yang wajar, atau dengan harga yang lebih dari harga
wajar, asalkan tidak menyusahkannya dan tidak menyedot seluruh hartanya.
Dan masuk di dalam kaidah ini juga adalah tentang wajibnya mempelajari ilmu
perindustrian yang sangat dibutuhkan oleh kaum muslimin untuk mendukung urusan
agama dan dunia mereka, baik urusan yang besar maupun yang kecil.
Demikian pula, masuk dalam kaidah ini adalah wajibnya mempelajari ilmu-ilmu yang
bermanfaat. Ilmu bermanfaat terbagi menjadi dua macam :
Pertama. Ilmu yang hukum mempelajarinya fardhu ‘ain, yaitu ilmu yang sifatnya sangat
diperlukan oleh setiap orang dalam urusan agama, akhirat, maupun urusan muamalah.
Setiap orang berbeda-beda tingkat kewajibannya sesuai dengan keadaan masing-
masing.
Kedua. Ilmu yang hukum mempelajarinya fardhu kifâyah, yaitu ilmu yang merupakan
bersifat tambahan dari ilmu harus dipelajari oleh setiap individu, yang dibutuhkan oleh
muasyarakat luas.
Dari sini, ilmu yang sangat dibutuhkan oleh individu hukumnya fardhu ‘ain. Adapun ilmu
yang sifatnya tidak mendesak jika ditinjau dari sisi kebutuhan individual, namun
masyarakat luas membutuhkannya, maka hukumnya fardhu kifâyah. Sebab, perkara
yang hukumnya fardhu kifâyah ini, jika telah dilaksanakan oleh sebagian orang dengan
jumlah yang mencukupi, maka gugurlah kewajiban sebagian yang lain. Dan jika tidak
ada sama sekali orang yang melaksanakannya, maka menjadi wajib atas setiap orang.
Oleh karena itu, termasuk cabang kaidah ini adalah semua hal yang hukumnya fardhu
kifâyah, seperti mengumandangkan adzan, iqamah, mengendalikan kepemimpinan
yang kecil maupun yang besar, amar ma`ruf nahi munkar, jihad yang hukumnya fardhu
kifayah, pengurusan jenazah dalam bentuk memandikan, mengkafani, menyolatkan,
membawanya ke pemakaman, menguburkannya, serta hal-hal yang menyertainya,
persawahan, perkebunan, dan hal hal yang menyertainya.
Termasuk pula dalam kaidah ini, usaha seseorang dalam bekerja yang menjadi wasilah
(sarana) baginya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dirinya sendiri, isteri, anak-
anak, budak, dan juga binatang ternaknya, serta untuk melunasi hutangnya.
Dikarenakan hal-hal tersebut hukumnya adalah wajib, dan tidak bisa dipenuhi kecuali
dengan mencari rizki dan berusaha mendapatkannya.
Termasuk pula dalam kaidah ini, setiap perkara mubah yang menjadi wasilah (jalan)
untuk meninggalkan kewajiban, atau menjadi wasilah dalam melaksanakan sesuatu
yang haram. Oleh karena itu, diharamkan jual beli setelah adzan kedua pada shalat
Jum’at, berdasarkan firman Allah Azza wa Jalla:
Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, maka
bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. [al-
Jumu’ah/62:9].
Demikian pula diharamkan menjual sesuatu kepada orang yang akan menggunakannya
untuk kemaksiatan. Seperti menjual anggur kepada orang yang akan membuatnya
menjadi minuman keras (khamr). Atau menjual senjata kepada orang dalam kondisi
fitnah, atau menjualnya kepada musuh dan perampok. Dan juga tidak diperbolehkan
menjual telur atau semisalnya kepada orang yang akan menggunakannya dalam
berjudi.
Termasuk dalam kaidah ini pula, adalah perbuatan seseorang yang diberi wasiat oleh
orang lain, kemudian ia membunuh orang yang memberi wasiat tersebut. Atau
pembunuhan yang dilakukan oleh ahli waris terhadap pemilik harta [3] supaya segera
memperoleh warisan tersebut. Maka, keduanya dikenai hukuman dengan tidak berhak
memperoleh isi wasiat atau warisan yang menjadi tujuannya tersebut.
Demikian pula seorang suami yang menindas istri tanpa alasan yang dibenarkan, agar
istri menyerahkan kekayaan kepada suami hingga mau menceraikannya.
Begitu pula, hiyal (tipu-muslihat) yang ditempuh sebagai wasilah untuk melaksanakan
perkara yang haram atau meninggalkan kewajiban, maka hukumnya adalah haram.
Sedangkan hiyal yang dipergunakan untuk memperoleh sesuatu yang menjadi hak
seseorang hukumnya diperbolehkan bahkan diperintahkan. Hal ini dikarenakan
seorang hamba diperintahkan untuk mengambil sesuatu yang sudah menjadi haknya
dan hak-hak lain yang berkaitan dengannya, baik dengan cara yang terang-terangan
maupun tersembunyi.
Hal ini merujuk firman Allah Subhanahu wa Ta’ala tatkala menyebutkan muslihat yang
dilakukan Nabi Yusuf Alaihissallam supaya saudaranya tetap tinggal bersamanya:
ى
ف حكحذلجحك جكودحنا لجهيو ه
س ح
Sama dalam masalah ini tipu-daya untuk menyelamatkan jiwa dan kekayaan,
sebagaimana yang dilakukan Khidhir dengan cara merusak perahu yang ia tumpangi
supaya perahu tersebut tidak dirampas oleh raja yang zhalim yang merampas setiap
perahu bagus yang ia lihat.
Oleh karena itu, hukum suatu muslihat mengikuti tujuan peruntukan muslihat
tersebut, apakah tujuannya baik ataukah tidak.
إجمن م ح
ا حيأوهمهرهكوم أحون هتحؤيدوا اولححماحنا ج
ت إجلحىى أحوهلجحها
Sedangkan yang dimaksud dengan amanat, adalah segala sesuatu yang seseorang
mendapatkan kepercayaan untuk mengurusinya, seperti barang titipan, mengurus
anak yatim, menjadi nadzir wakaf, dan semisalnya. Maka termasuk dalam upaya untuk
menjalankan amanat kepada kepada pemiliknya, adalah menjaga amanat tersebut
dengan ditempatkan di tempat penyimpanan yang sesuai.
Dan termasuk upaya menjaga amanat tersebut, adalah memberikan makanan dan
lainnya jika yang diamanatkan tersebut bernyawa. Adapun dalam penggunaannya,
tidak teledor dan tidak berlebih-lebihan.
Dan barang siapa yang jatuh ke dalam perkara yang samar, maka ia telah jatuh ke
dalam wilayah perkara yang haram. Seperti penggembala yang menggembala di
sekitar daerah larangan; dikhawatirkan ia akan masuk ke daerah larangan itu.
Ingatlah, setiap raja memiliki daerah larangan; dan daerah larangan Allah adalah apa-
apa yang diharamkan-Nya. [HR Bukhâri].[4]
Termasuk cabang kaidah ini pula, adalah adanya larangan mengerjakan sesuatu yang
bisa menimbulkan permusuhan dan kebencian. Misalnya, menyerobot pembeli dari
penjual muslim lainnya, menimpali akad orang lain, melamar wanita yang sudah
dilamar orang lain, atau mengajukan perwalian atas pengajuan muslim yang lain.
Sebagaimana termasuk cabang kaidah ini pula, adalah memberikan dorongan untuk
komitmen dengan kejujuran, baik dalam perkataan maupun perbuatan sesuai dengan
situasi dan kondisi yang ada.
Keadaan demikian ini karena mengurangi keikhlasan dalam amalan yang dinadzarkan
tersebut, dan menyebabkan orang yang mengikat nadzar terjebak pada kesulitan
padahal awalnya ia berada dalam kelapangan. Wallahu a’lam.
Sumber: https://almanhaj.or.id/2501-kaidah-ke-2-hukum-wasilah-tergantung-pada-
tujuan-tujuannya.html
Kaidah Ketiga :
شمقهة حتوجلج ه
ب المتويجسويحر الحم ح
Kaidah ini termasuk kaidah fiqih yang sangat penting untuk dipahami. Karena, seluruh
rukhshah dan keringanan yang ada dalam syari’at merupakan wujud dari kaidah ini.
Di antara dalil yang menyangkut kaidah ini, yaitu firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
هيريهد م
اه جبهكهم اولهيوسحر حوحل هيجريهد جبهكهم اولهعوسحر ج
Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. [al-
Hajj/22:78].
حفامتهقوا م ح
ا حما اوسحتحطوعهتوم
Ayat-ayat di atas menjadi landasan kaidah yang sangat berharga ini. Dikarenakan
seluruh syari’at dalam agama ini lurus dan penuh toleransi. Lurus tauhidnya,
terbangun atas dasar perintah beribadah hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala
semata, tidak menyekutukannya dengan sesuatu pun.
Demikian pula, syariat ini penuh toleransi dalam hukum-hukum dan amalan-
amalannya. Sebagai contoh, ibadah-ibadah yang tercakup dalam rukun Islam. Salah
satunya dalam ibadah shalat. Jika kita lihat ibadah ini merupakan amaliah yang
mudah dan hanya membutuhkan sedikit waktu. Demikian pula zakat, hanya
memerlukan sebagian kecil dari harta orang yang terkena kewajiban zakat. Itu pun
diambil dari harta yang dikembangkan, bukan harta tetap. Dan zakat ini dilaksanakan
hanya sekali dalam setahun. Juga ibadah puasa Ramadhan yang hanya dilaksanakan
selama satu bulan setiap tahun. Ibadah haji yang wajib dilaksanakan sekali saja
seumur hidup bagi orang yang mempunyai kemampuan. Adapun kewajiban-kewajiban
lainnya, maka datang secara insidental sesuai dengan sebab yang
melatarbelakanginya.
Seluruh ibadah-ibadah tersebut sangat mudah dan ringan. Allah Subanahu wa Ta’ala
juga mensyariatkan beberapa hal yang bisa membantu dan memberikan semangat
dalam melaksanakan ibadah-ibadah tersebut. Di antaranya dengan disyariatkannya
berjama’ah dalam shalat lima waktu, shalat Jum’at, dan shalat hari raya. Demikian
pula pelaksanaan puasa yang dilaksanakan secara bersama-sama pada bulan
Ramadhan. Juga ibadah haji yang dilaksanakan bersama-sama pada bulan Dzulhijjah.
Tidak diragukan lagi, pelaksanaan ibadah secara berjama’ah akan lebih meringankan
pelaksanaan berbagai ibadah, lebih memberi semangat, serta lebih mendorong untuk
saling berlomba meraih kebaikan. Sebagaimana juga Allah Subhanahu wa Ta’ala telah
menyediakan pahala bagi orang yang mau menunaikan ibadah-ibadah tersebut dengan
ikhlas dan sesuai tuntunan Nabi-Nya, baik pahala di dunia maupun di akhirat. Pahala
yang tidak bisa diukur besarnya. Janji Allah k merupakan pendorong terbesar dalam
melaksanakan amal kebaikaan dan meninggalkan kejelekan.
Disamping kemudahan-kemudahan ini, masih ditambah lagi, jika ada yang mempunyai
udzur sehingga menyebabkannya tidak mampu atau kesulitan melaksanakan hukum-
hukum syari’at, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memberikan keringanan sesuai
dengan kedaaan dan kondisi orang bersangkutan. Hal ini nampak jelas dalam
beberapa contoh berikut.
1. Seseorang yang sedang dalam keadaan sakit, jika tidak mampu melaksanakan
shalat dengan berdiri maka boleh shalat dengan duduk. Jika tidak mampu dengan
duduk, maka shalat dengan berbaring, dan cukup berisyarat ketika ruku’ dan sujud.
4. Orang yang sakit atau sedang bepergian jauh (safar) tetap dicatat mendapatkan
pahala dari amal-amal kebaikan yang biasa ia kerjakan ketika dalam keadaan sehat
dan tidak bepergian.
Kaidah ini diterapkan dalam berbagai macam pembahasan yang tercakup dalam
syari’at agama Islam yang mulia ini. Adapun perwujudan kaidah ini secara nyata dapat
diketahui dari contoh-contoh berikut ini.
1. Jika pakaian atau badan seseorang terkena sedikit darah maka dimaafkan, dan
tidak harus mencucinya.
3. Sucinya mulut anak kecil yang terkadang memakan najis dikarenakan belum bisa
membedakaan benda-benda di sekelilingnya.
Sesungguhnya kucing itu tidak najis. Sesungguhnya ia termasuk binatang yang selalu
menyertai kalian. [1]
6. Jika pakaian seseorang terkena kencing bayi laki-laki yang belum makan makanan
tambahan selain ASI, maka cukup membasahi pakaian tersebut dengan air dan tidak
perlu mencucinya. Demikian pula jika terkena muntahan bayi tersebut.
7. Penjelasan para ahli ilmu, bahwa hukum asal sesuatu dzat adalah suci, kecuali jika
diketahui secara pasti tentang kenajisannya. Dan hukum asal segala makanan adalah
halal dikonsumsi, kecuali jika diketahui secara pasti tentang keharamannya.
8. Dalam membersihkan badan, pakaian, atau bejana dari najis cukup menggunakan
perkiraan. Jika tidak bisa atau kesulitan menentukan kesuciannya secara pasti, maka
cukup dengan dikira-kira, jika dianggap sudah suci, maka cukup.
9. Dalam menentukan telah datangnya waktu shalat, cukup dengan perkiraan kuat
bahwa waktunya telah datang. Yaitu, jika sulit mengetahui datangnya waktu tersebut
secara pasti.
10. Orang yang melaksanakan haji secara tamattu’ dan qiran, mereka bisa
melaksanakan haji sekaligus umrah dalam sekali perjalanan saja.
11. Diperbolehkan memakan makanan haram, seperti bangkai dan semisalnya, bagi
orang yang terpaksa untuk memakannya.
12. Bolehnya jual beli ‘ariyah [2] jika ada hajat untuk mendapatkan kurma ruthab
(kurma basah).
13. Boleh mengambil upah dari perlombaan pacu kuda, mengendarai onta, dan
perlombaan memanah.
14. Bolehnya seorang laki-laki merdeka menikahi budak wanita jika laki-laki tersebut
tidak bisa menunda pernikahan dan khawatir akan terjatuh dalam perzinaan.
15. Jika seseorang melakukan pembunuhan dengan tanpa kesengajaan, maka karib
kerabat orang yang melakukan pembunuhan tersebut menanggung pembayaran diyat
(denda yang harus dibayarkan kepada keluarga korban). Hal ini dikarenakan pelaku
pembunuhan tersebut tidak sengaja melakukan pembunuhan, sehingga ia mempunyai
udzur. Maka, merupakan hal yang layak jika karib kerabat si pembunuh tersebut
menanggung pembayaran diyat tersebut tanpa memberatkan mereka, yaitu dengan
membagi diyat tersebut sesuai kadar kekayaan masing-masing. Dan pembayaran
tersebut diberi tenggang waktu selama tiga tahun. Adapun jika pembunuh tersebut
termasuk orang yang berkecukupan dalam harta, apakah ia turut menanggung
pembayaran diyat tersebut ataukah tidak? Maka dalam hal ini terdapat perselisihan di
kalangan para ulama.
Sumber: https://almanhaj.or.id/2502-kaidah-ke-3-adanya-kesulitan-akan-memunculkan-
adanya-kemudahan.html
Kaidah Keempat :
Di antara dalil yang menunjukkan kaidah ini adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
حفامتهقوا م ح
ا حما اوسحتحطوعهتوم
Jika aku memerintahkan kalian dengan suatu perintah maka kerjakanlah sesuai
kemampuan kalian.[1]
Mengapa kamu tidak mau memakan (binatang-binatang yang halal) yang disebut nama
Allah ketika menyembelihnya, padahal sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada
kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu
memakannya. [al An’aam/6 :119]
Ayat ini dengan tegas menjelaskan tentang bolehnya memakan makanan yang haram
dikarenakan keadaan yang darurat. Hanya saja perlu dipahami bahwa pembolehan ini
hanya sebatas keperluan saja. Jika telah hilang keadaan darurat tersebut maka wajib
baginya untuk berhenti memakannya.
Berkaitan dengan kaidah pertama dalam pembahasan ini, terapannya terdapat dalam
beberapa kasus berikut:
2. Orang yang tidak mampu mengerjakan puasa dikarenakan sakit yang terus-menerus
dan tidak diharapkan lagi kesembuhnya, atau orang yang sudah tua renta, demikian
pula orang yang sedang safar, maka mereka diperbolehkan untuk tidak berpuasa, dan
jika kemudian udzurnya tersebut hilang, maka mereka mengqadha’ puasa sebanyak
hari yang ia tinggalkan tersebut.
3. Orang yang tidak mampu mengerjakan haji dikarenakan suatu udzur, sedangkan ada
kemungkinan udzurnya tersebut akan hilang dalam beberapa kemudian, maka ia
bersabar menunggu sampai hilangnya udzur itu. Namun, jika hilangnya udzur tersebut
tidak bisa diharapkan lagi, maka diperbolehkan baginya untuk memerintahkan
seseorang untuk menghajikannya.
Berkaitan dengan kaidah kedua ini pula Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
Tidak ada halangan bagi orang buta, tidak (pula) bagi orang pincang, tidak (pula) bagi
orang sakit. [an Nur/24 : 61]
Ayat ini berkaitan dengan diberikannya keringanan bagi orang-orang yang buta,
pincang, atau sakit dalam ibadah-ibadah yang pelaksanaannya bergantung dengan
keberaadaan penglihatan, kesehatan badan, dan kesempurnaan anggora badan,
seperti jihad dan semisalnya.
Dari sini dapat diketahui bahwa dalam melaksanakan kewajiban disyaratkan adanya
kemampuan. Barangsiapa yang tidak mampu mengerjakannya maka Allah Subhanahu
wa Ta’ala tidak membebankan kepadanya sesuatu yang tidak ia mampui Demikian
pula Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam hadits yang shahih :
سحيوجحعل ه م
اه حبوعحد هعوسدر هيوسنرا سا إجمل حما آححتاحها ح ف م
اه حنوف ن سحعجتجه حوحمون قهجدحر حعحلويجه روزقههه حفولهيونفجوق جممما آححتاهه م
اه حل هيحكدل ه لجهيونفجوق هذو ح
سحعدة جمون ح
ج
Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang
yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah
kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekedar) apa
yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah
kesempitan. [at Thalaaq/65 : 7]
Demikian pula, di antara terapan kaidah ini adalah keberadaan udzur-udzur syar’i yang
membolehkan seseorang untuk tidak datang menghadiri shalat Jum’at dan shalat
Jama’ah.
Adapun berkaitan dengan kaidah kedua dalam pembahasan ini, maka di antara
implementasinya adalah beberapa hal sebagai berikut :
Sumber: https://almanhaj.or.id/2503-kaidah-ke-4-pelaksanaan-kewajiban-terkait-
dengan-kemampuan.html
Kaidah Kelima :
سلمحم صملى م
اه حعلحويجه حو ح ص لجولحموعهبووجد حواولهمحتاحبحعهة جللمر ه
سووجل ح شجرويحعهة حموبجنميةة حعحلى أح و
الجوخلح ه: صلحويجن ال م
Syari’at Berdiri Di Atas Dua Hal, Yaitu Ikhlas Kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala Dan
Meneladani Rasul Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam
Dua hal tersebut merupakan syarat diterimanaya amal ibadah, baik berupa amalan
lahiriyah, seperti perkataan dan perbuatan anggota badan; dan juga amalan
bathiniyah, seperti amalan hati.
Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan
keta`atan kepada-Nya. [al-Bayyinah/98 : 5].
Kata الدديحنdalam ayat tersebut telah ditafsirkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
dalam hadits Jibril, bahwa makna الدديحنadalah rukun Islam yang lima, rukun iman yang
enam, dan ihsan, yang merupakan inti amalan hati.[1]
Oleh karena itu, semua perkara tersebut harus dikerjakan dengan ikhlas hanya untuk
Allah Subhanahu wa Ta’ala semata, dalam rangka mengharapkan wajah-Nya, ridha-
Nya, dan pahala dari-Nya.
Selain itu, amalan tersebut harus dilaksanakan dengan landasan hukum dari Al-Qur`ân
dan Hadits. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya
bagimu maka tinggalkanlah. [al-Hasyr/59 : 7].
Dan siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang ikhlas menyerahkan
dirinya kepada Allah, sedang diapun mengerjakan kebaikan. [an-Nisâ`/4 : 125].
Sehingga amalan yang diterima, yaitu amalan yang terkumpul di dalamnya dua sifat
tersebut. Apabila salah satu atau kedua sifat tersebut tidak terpenuhi, maka amalan
tersebut tertolak dan masuk dalam kategori amalan yang disebutkan Allah Subhanahu
wa Ta’ala dalam firman-Nya:
Dan Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu
(bagaikan) debu yang berterbangan. [al-Furqân/25 : 23].
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman ketika membedakan antara amalan orang-orang
yang ikhlas dengan amalan orang-orang yang riya`:
Barang siapa yang hijrahnya karena (ingin mendapatkan keridhaan) Allah dan Rasul-
Nya, maka hijrahnya kepada (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya. Dan barang siapa yang
hijrahnya karena dunia yang dikehendakinya atau karena wanita yang ingin
dinikahinya, maka hijrahnya (akan bernilai sebagaimana) yang dia niatkan.[2]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah ditanya tentang seseorang yang
berperang karena ingin unjuk keberanian, berperang karena fanatisme kesukuan, dan
karena bertujuan untuk mendapatkan ghanimah, siapakah di antara mereka yang
berperang di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala . Maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
ا
سجبويجل ج حمون حقاحتل ح لجحتهكووحن حكلجحمهة ج
ا جهحي اولهعولحيا حفههحو فيج ح
Barang siapa yang berperang supaya kalimat Allah adalah yang tertinggi, maka dia lah
yang berperang di jalan Allah. [3]
Oleh karena itu, barang siapa yang jihadnya secara lisan maupun perbuatan diniatkan
karena Allah Subhanahu wa Ta’ala dan untuk menolong kebenaran maka ia adalah
seorang yang ikhlas dalam jihadnya. Dan barang siapa yang meniatkan selain hal itu,
maka ia akan memperoleh sebatas apa yang ia niatkan sedangkan amalannya tidaklah
diterima.
Dan pada ayat yang lain Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman ketika
menjelaskan tentang amalan yang dilaksanakan tanpa meneladani Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
Barang siapa yang mengerjakan suatu amalan (ibadah) yang tidak berdasarkan
perintah kami, maka ia tertolak. [5]
Hadits pertama tersebut menjadi timbangan amalan dari sisi batinnya, dan hadits
kedua menjadi timbangan amalan dari sisi lahirnya.
Sebagaimana kaidah ini masuk dalam permasalahan ibadah, maka masuk pula dalam
permasalahan muamalah. Maka setiap muamalah baik berupa jual beli, ijarah (sewa-
meyewa), syirkah (persekutuan dagang), atau selainnya yang terdapat larangannya
dalam syari’at, maka muamalah tersebut batil dan haram dilaksanakan, meskipun
pelaku muamalah tersebut saling ridha. Dikarenakan keridhaan dalam masalah ini
disyaratkan setelah terpenuhinya keridhaan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan rasul-Nya
Oleh karena itu, praktek-praktek muamalah yang dilarang oleh Allah Subhanahu wa
Ta’ala dan Rasul-Nya, seperti melebihkan sebagian anak atas sebagian yang lain
dalam pemberian, wasiat, dan warisan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda :
صميحة لجحواجر د
ث لح حو ج
Kaum muslimin di atas syarat-syarat yang mereka tentukan, kecuali jika syarat
tersebut mengharamkan sesuatu yang halal atau menghalalkan sesuatu yang haram.
[7]
سهن حتأوجوينل
خجر حذلجحك حخويةر حوأحوح ح سوجل إجون هكونهتوم هتوؤجمهنوحن جبا م ج
ل حواولحيووجم اولح ج شويدء حفهريدوهه إجحلى م
اج حوالمر ه حفإجون حتحناحزوعهتوم جفي ح
ا حفلح حيوع ج
صجه حوحمون حنحذحر أحون حيوع ج, ا حفولهيجطوعهه
صحي ح حمون حنحذحر أحون هيجطويحع ح
Barang siapa yang bernadzar untuk melaksanaakan ketaatan kepada Allah maka
hendaklah ia menunaikan nadzarnya, dan barang siapa yang bernadzar untuk berbuat
maksiat kepada Allah maka janganlah ia menunaikan nadzarnya.[8]
Bahkan masalah fiqih dari awal sampai akhir tidak terlepas dari kaidah ini. Karena
sesungguhnya, hukum-hukum syar’i diambil dari empat landasan, yaitu: Al-Kitâb, as-
Sunnah, yang keduanya menjadi pokok dalil syar’i; kemudian Ijma’ yang disandarkan
pada keduanya, dan Qiyas berdasarkan istimbat dari keduanya.
Sumber: https://almanhaj.or.id/2504-kaidah-ke-5-syariat-berdiri-diatas-dua-hal-yaitu-
ikhlas-dan-meneladani-rasul.html
Kaidah Keenam :
Kaidah yang mulia ini mencakup dua kaidah penting. Imam Ahmad dan kalangan imam
lainnya telah menyatakan kaidah ini. Dalil-dalil dari Al-Qur`an dan Hadits telah
mendukungnya. Di antaranya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala berkaitan
dengan eksistensi kaidah yang pertama:
Dan berkaitan dengan eksistensi kaidah yang kedua Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman:
Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu [al-Baqarah/2 :
29].
Maksudnya, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menghalalkan seluruh perkara yang
bermanfaat. Allah Subhanahu wa Ta’ala menghalalkan secara keseluruhan kecuali
yang ada larangannya di dalam syari’at dikarenakan adanya unsur yang
membahayakan manusia.
Pada ayat tersebut, Allah Subhanahu wa Ta’ala mengingkari perbuatan orang yang
mengharamkan apa-apa yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala ciptakan untuk para
hambanya berupa makanan, minuman, pakaian, dan semisalnya.
Dalam hal ini, eksistensi kedua kaidah tersebut dapat dijelaskan bahwa hakikat
peribadahan adalah apa-apa yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala perintahkan
dengan perintah yang wajib ataupun sunnah. Maka setiap perkara yang diwajibkan
oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan rasul-Nya, atau perkara yang sunnah, maka itu
termasuk ibadah yang Allah Subhanahu wa Ta’ala diibadahi dan ditaati dengan perkara
tersebut. Oleh karena itu, barangsiapa yang menyatakan tentang diwajibkannya atau
disunnahkannya suatu perbuatan yang tidak ditunjukkan oleh Al Kitab maupun As
Sunnah, maka ia telah mengada-adakan perkara agama yang tidak diizinkan oleh Allah
Subhanahu wa Ta’ala, dan amalan tersebut tertolak atas pelakunya. Sebagaimana
sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
Barang siapa yang mengerjakan suatu amalan (ibadah) yang tidak berdasarkan
perintah kami maka ia tertolak.[1]
Hal ini sebagaimana telah dijelaskan pula pada kaidah terdahulu bahwa syarat
diterimanya amalan ibadah adalah bahwasannya amalan tersebut dikerjakan dengan
ikhlas karena Allah Subhanahu wa Ta’ala dan dilaksanakan sesuai dengan sunnah
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Hendaknya diketahui pula bahwa perkara bid’ah yang diada-adakan dalam agama ini,
ada yang jenisnya sama sekali tidak ada pensyariatannya dari Allah Subhanahu wa
Ta’ala dan rasul-Nya. Dan ada yang asalnya disyariatkan oleh Allah Subhanahu wa
Ta’ala dan rasul-Nya dengan suatu sifat, waktu pelaksanaan, dan tempat tertentu,
kemudian dilaksanakan tidak sesuai yang ketentuan tersebut.
Misalnya orang yang menyatakan tentang wajibnya melaksanakan suatu sholat atau
puasa tertentu tanpa adanya dalil yang menunjukkan tentang kewajibannya dari Al
Qur’an maupun As Sunnah. Atau seorang yang mengada-adakan perkara bid’ah dalam
pelaksanaan wuquf di Arafah. Atau menganjurkan untuk melempar jumrah di selain
waktunya. Demikian pula orang yang menyatakan sunnahnya ibadah di suatu waktu
atau tempat tertentu tanpa adaya petunjuk dari Allah Subhanahu wa Ta’ala dan tidak
ada dalilnya yang syar’i. Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah Dzat yang Maha
Bijaksana kepada para hambanya, sehingga tidak ada hukum yang sesuai dengan
manusia kecuali hukum-Nya dan tidak ada agama yang benar kecuali agama-Nya.
Demikian pula, perbuatan orang yang mengharamkan berbagai macam industri, serta
penemuan-pememuan baru tanpa adanya dalil yang mengharamkannya. Maka orang
yang melakukannya termasuk orang yang tersesat dan jahil.
Berkaitan dengan perkara adat ini, maka hal-hal yang haram darinya telah dirinci
dalam Al Kitab dan As Sunnah. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
حوحقود حف م
صل ح حلهكوم حما ححمرحم حعحلويهكوم
…Padahal sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-
Nya atasmu,…. [al- An’âm/6 : 119].
Dalam hal ini, perlu dipahami bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak mengharamkan
sesuatu pun kecuali itu adalah sesuatu yang buruk dan membahayakan. Oleh karena
itu, barangsiapa yang meneliti perkara-perkara yang haram maka ia akan mendapati
bahwa di dalamnya terkandung kejelekan dan bahaya baik untuk hati, badan, agama,
maupun dunia.
Maka termasuk sebesar-besar nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah bahwa Allah
Subhanahu wa Ta’ala mengharamkan apa-apa yang menimbulkan madharat untuk kita.
Dan termasuk nikmat-Nya yang terbesar adalah bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala
menghalalkan apa-apa yang menumbuhkan manfaat untuk kita.
Kedua kaidah ini mempunyai manfaat yang sangat besar. Di mana dengan kaidah
tersebut seseorang bisa mengetahui perkara-perkara bid’ah baik berkaitan dengan
ibadah maupun adat. Maka barangsiapa menyatakan tentang disyari’atkannya suatu
amalan ibadah padahal tidak ada tuntunannya di dalam syari’at maka ia adalah
seorang yang mengada-adakan perkara bid’ah. Dan barangsiapa yang mengharamkan
suatu perkara adat yang Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak mengharamkannya maka ia
adalah seorang pembuat perkara bid’ah pula.
(Sumber : Al-Qawâ’id wal-Ushûl al-Jûmi’ah wal-Furûq wat-Taqâsîm al-Badî’ah an-
Nâfi’ah, karya Syaikh ‘Abdur-Rahmân as-Sa’di, Tahqîq: Dr. Khâlid bin ‘Ali bin Muhammad
al-Musyaiqih, Dârul-Wathan, Cetakan II, Tahun 1422 H – 2001 M.)
Barang siapa yang mengada-adakan dalam urusan (agama) kami ini yang bukan
(berasal) darinya maka ia tertolak. (Diriwayarkan oleh Bukhâri dalam kitab ash-Shulh,
Bab: Idza Ishthalahu ‘ala Amrin Jaur, no. 2697. Dan diriwayatkan Muslim di tempat
tersebut di atas.
Sumber: https://almanhaj.or.id/2505-kaidah-ke-6-hukum-asal-dalam-peribadahan-
adalah-dilarang.html
Kaidah Ketujuh :
Taklîf – yang memuat unsur baligh dan berakal- adalah syarat wajib beribadah (atas
seseorang, red). Adapun (usia) Tamyiiz menjadi syarat sah ibadah, kecuali dalam
ibadah haji dan umroh yang tetap sah bila dilaksanakan oleh orang yang belum
memasuki usia Tamyiiz. Selain syarat-syarat di atas, juga disyaratkan adanya sifat ar-
rusyd [1] dalam penggunaan harta (melakukan tasharruf) dan sifat kepemilikan untuk
melakukan tabarru’.
Penjelasan Kaidah
Kaidah ini mencakup beberapa pedoman yang menjadi dasar pelaksanaan ibadah, baik
ibadah wajib maupun sunat, dan juga dasar pelaksanaan akad tasharruf (wewenang
menggunakan harta dalam jual beli, sewa menyewa dsb.) dan tabarru’
(menyumbangkan harta, pent).
Maksudnya, seseorang yang mukallaf, yaitu orang yang telah baligh dan berakal, telah
terkena kewajiban untuk melaksanakan seluruh ibadah yang bersifat wajib, dan
pundaknya telah terbebani dengan seluruh beban syari’at.
Hal ini dikarenakan, Allah Azza wa Jalla Raûf Rahîm (Dzat yang Maha Santun dan Maha
Penyayang terhadap hamba-Nya). Sebelum seorang insan mencapai usia dimana ia
telah sanggup menjalankan ibadah-ibadah dengan sempurna, yaitu pada usia baligh,
maka Allah Azza wa Jalla tidak membebankan beban-beban syariat kepadanya.
Demikian pula, jika seseorang tidak memiliki akal (gila atau tidak sadar, red) – yang
menjadi hakikat seorang insan-, maka ia lebih utama untuk tidak dikenai beban. Orang
yang tidak memiliki akal, tidak berkewajiban melaksanakan ibadah apapun dan jika
pun ia mengerjakannya, maka apa yang dilakukan tidak sah. Karena, ada diantara
syarat-syarat dalam pelaksanaan ibadah yang tidak terpenuhi yaitu niat. Niat tidak
mungkin terwujud dari orang yang tidak berakal.
Usia baligh dapat diketahui dengan beberapa tanda di antaranya dengan keluarnya air
mani, baik dalam keadaan terbangun ataupun ketika tidur, atau jika telah genap
berusia lima belas tahun, atau dengan tumbuhnya bulu kasar di sekitar kemaluan.
Ketiga tanda tersebut berlaku untuk laki-laki maupun perempuan. Dan khusus untuk
perempuan ada satu tanda lagi yang menunjukkan dia telah baligh yaitu haid. Jika ia
telah haid, berarti ia telah baligh.
Perlu diperhatikan, dalam perjalanan usianya, seorang manusia akan memasuki fase
tamyîz sebelum memasuki fase baligh. Seorang yang telah masuk fase tamyîz (berusia
tujuh tahun), maka ia diperintahkan untuk melaksanakan sholat dan ibadah-ibadah
yang mampu ia kerjakan. Ibadah-ibadah tersebut bukan berstatus wajib atas dirinya,
karena ia belum baligh. Jika telah berusia sepuluh tahun, namun ia belum juga mau
rutin dalam melaksanakan sholat maka orang tuanya disyariatkan memukulnya
dengan pukulan yang tidak melukai, dalam kerangka pendidikan (dan pembinaan),
bukan dalam kerangka sedang mewajibkan.
Dari sini dapat diketahui bahwa semua ibadah yang dikerjakan oleh anak-anak yang
telah mencapai usia tamyîz itu telah sah. Karena jika dia telah bisa membedakan
beberapa hal serta secara global bisa mengetahui mana yang bermanfaat dan mana
yang berbahaya, berarti ia memiliki akal yang bisa ia pakai untuk merangkai niat
dalam melaksanakan ibadah dan kebaikan.
Sedangkan anak yang belum sampai pada usia tamyîz, maka semua ibadahnya tidak
sah. Karena dalam kondisi seperti ini, ia sama dengan orang yang tidak berakal yang
tidak mempunyai niat yang shahih. Kecuali dalam ibadah haji dan umrah. Kedua
ibadah ini tetap sah, kendati dikerjakan oleh anak yang belum mencapai usia tamyîz.
Dalam sebuah hadits yang shahîh diterangkan :
حنحعوم حوحلجك أحوجةر: أحلجحهحذا ححةج ؟ حقال ح: حفحقالحوت, صجبنيا جفي اولحموهجد
حرحفحعوت إجلحويجه اومحرأحةة ح
Seorang wanita mengangkat seorang anak kecil yang masih digedong kearah
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , lalu ia bertanya : Bolehkah anak ini
melaksanakan haji ? Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab : Boleh dan bagimu
pahala. [2]
Dengan demikian, anak yang belum mencapai usia tamyîz, jika melaksanakan ibadah
haji ataupun umrah, maka ibadahnya sah. Dalam hal ini, walinya yang meniatkannya
untuk ihram dan menjauhkannya dari perkara-perkara yang dilarang ketika ihram.
Demikian pula, si wali harus membawa si anak untuk hadir di tempat-tempat manasik
haji dan tempat-tempat masya’ir semuanya. Dan si wali mewakili si anak dalam
mengerjakan manasik yang tidak mampu ia kerjakan seperti melempar jumrah.
Selain ibadah haji dan umrah, ibadah mâliyyah termasuk ibadah yang diperkecualikan.
Karena ibadah mâliyah seperi membayar zakat, nafkah wajib serta kaffârah adalah
wajib atas semua orang; dewasa, anak kecil, yang berakal ataupun orang yang tidak
berakal. Hal ini berdasarkan keumuman nash baik dari perkataan maupun perbuatan
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam .[3]
Adapun dalam masalah tasharruf (wewenang menggunakan harta untuk jual beli, sewa
menyewa dsb.), maka disamping disyaratkan baligh dan berakal juga ditambah rusyd.
Karena tujuan utama dalam tasharruf ini adalah menjaga harta. Rusyd maksudnya
orang tersebut mempunyai sifat bijak dalam penjagaan dan pemanfaatan harta
tersebut serta memahami akad. Allah Azza wa Jalla berfirman :
Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika
menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka
serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. [an Nisâ’/4: 6]
Dalam ayat ini, Allah Azza wa Jalla memberikan syarat kepada wali yang mengurusi
anak yatim dalam menyerahkan harta kepada anak yatim tersebut, yaitu telah
terpenuhi dua syarat pada anak yatim. Dua sifat itu adalah baligh dan rusyd. Jika
walinya masih ragu, apakah syarat rusyd telah terpenuhi atau belum, maka Allah Azza
wa Jalla memerintahkan untuk menguji kemampuan anak tersebut dalam menjaga dan
membelanjakan harta. Jika anak tersebut ternyata telah mempunyai kemampuan yang
baik, maka harta anak yatim yang ada dalam kekuasaan wali bisa diserahkan kepada
si yatim. Namun jika belum, maka hartanya tetap ditahan (tetap berada di tangan wali,
red) guna menghindarkannya dari penyia-nyiaan terhadap harta.
Dari sini dapat diketahui bahwa baligh, berakal dan mempunyai sifat rusyd merupakan
syarat sah melakukan semua bentuk muamalah (jual beli, sewa menyewa dan
semisalnya). Orang yang tidak memenuhi persyaratan ini maka semua muamalah yang
dia lakukan tidak sah dan hendaklah dilarang dari melakukan muamalat.
Yaitu, dengan cara yang baik untuk harta mereka, lebih menjaga dan lebih bermanfaat
untuk harta mereka tersebut. Wallahu a’lam.
Tidak ada seorang pemilik emas ataupun perak yang tidak ia tunaikan hak yang wajib
untuk ia bayarkan darinya (berupa zakat) kecuali pada hari Kiamat nanti hartanya
akan dijadikan lempengan-lempengan yang dipanaskan dalam neraka untuk
menyiksanya….[HR. Muslim dalam Kitâbuz Zakâh bab Itsmi Mâni’iz Zakâh 2/680]
Sumber: https://almanhaj.or.id/2506-kaidah-ke-7-taklif-adalah-syarat-wajib-beribadah-
adapun-tamyiiz-menjadi-syarat-sah-ibadah.html
Kaidah Kedelapan :
Hukum-Hukum Syar’i, Baik Perkara Ushul (Pokok) Maupun Furu’ (Cabang) Tidak Akan
Sempurna Kecuali Dengan Dua Hal : Terpenuhinya Syarat Dan Rukunnya Serta Tidak
Adanya Mawâni’ (Penghalang Akan Keabsahannya)
Di antara sisi manfaat terbesar kaidah ini bahwa kita banyak menjumpai nash-nash
(dalil-dalil) memuat janji akan masuk surga dan selamat dari neraka dengan
melaksanakan amalan-amalan tertentu. Begitu juga banyak nash-nash yang berisi
ancaman masuk neraka, terhalang masuk surga atau ancaman tidak bisa
mendapatkan sebagian nikmat surga. Untuk memahami nash-nash tersebut tidaklah
cukup dengan melihat makna lahiriahnya (tekstual) semata (tanpa
menghubungkannya dengan dalil dan kaidah-kaidah syar’i yang lain).
Demikian pula, nash-nash tentang ancaman bagi seseorang yang mengerjakan suatu
larangan tertentu bahwa ia akan dimasukkan ke neraka atau diharamkan masuk surga
atau diharamkan dari sebagian nikmat surga, maka realisasi nash-nash itu pun harus
dikaitkan dengan terpenuhinya syarat-syarat yang telah ditetapkan dan disertai
dengan tidak adanya mawâni’ (faktor-faktor penghalangnya).
Oleh karena itu, jika ada yang berkata : “Telah disebutkan dalam syari’at bahwa
seseorang yang mengucapkan perkataan tertentu atau mengerjakan amal tertentu,
maka ia akan dimasukkan ke dalam surga. Apakah sudah cukup mengerjakan yang
demikian itu bagi seseorang ?”
Maka jawabannya adalah bahwa kita wajib mengimani seluruh nash dalam a-Qur`ân
dan Hadits. Maka, selain mengerjakan amal perbuatan yang menjadi sebab seseorang
dijanjikan masuk surga, harus pula disertai dengan keimanan, dan melakukan
perbuatan-perbuatan lain yang disyaratkan dalam syari’at. Ditambah lagi, mawâni’
(faktor-faktor penghalang) mesti nihil semisal murtad (keluar dari Islam) atau
penghalang lain yang menghapuskan amal kebaikan.
Demikian pula jika seseorang berkata, “Allah Azza wa Jalla telah menyebutkan dalam
kitab-Nya perihal balasan masuk neraka kekal bagi orang yang membunuh seorang
mukmin secara sengaja, apakah pasti faktanya pasti demikian ?
Atas dasar itu, nash-nash lain yang semisal dengannya, maka cara memahaminya
adalah sebagaimana contoh di atas.
Bertolak dari kaidah ini pula, Ahlussunnah wal jama’ah menyatakan adakalanya
terkumpul cabang keimanan dan cabang kekufuran atau kemunafikan pada diri
seseorang. Dan terkadang cabang kebaikan dan cabang kejelekan berpadu pada
dirinya. Adakalanya pula terkumpul antara perkara yang mendatangkan pahala dan
perkara yang memunculkan adzab dalam diri satu orang, berdasarkan nash-nash yang
banyak tentang itu. Oleh karena itu, di waktu pemberian balasan amal, perhitungan
amal dilakukan. Dan hal itu juga merupakan pengaruh dari sifat adil dan hikmah Allah
Azza wa Jalla .
(PENERAPAN KAIDAH) :
– Termasuk pula dari penerapan kaidah ini adalah pelaksanaan ibadah sholat.
Ibadah tersebut tidak sah sampai terpenuhi syarat-syaratnya, rukun-rukunnya, dan
kewajiban-kewajiban yang ada di dalamnya. Serta tiadanya pembatal-pembatal sholat
dalam bentuk pengurangan baik syarat atau rukunnya tanpa alasan yang dibenarkan
atau melakukan sesuatu yang membatalkan sholat tersebut.
– Ibadah puasa.
Seseorang tidak sah puasanya kecuali dengan memenuhi seluruh perkara yang wajib
dalam puasa tersebut, memenuhi syarat-syaratnya, dan tiadanya penghalang terhadap
keabsahannya yaitu pembatal-pembatal puasa.
– Demikian pula haji dan umroh.
– Dan juga masalah jual-beli, serta seluruh muamalah (transaksi), aktifitas barter
barang ataupun segala jenis tabarru’ (pendonoran kekayaan). Semua perkara tersebut
akan menjadi sah jika syarat-syaratnya terpenuhi dan hal-hal yang merusak dan
membatalkannya tidak ada.
– Masalah nikah. Tidaklah sah suatu pernikahan sampai dipenuhinya syarat-syarat dan
rukun-rukun nikah, serta tidak ada faktor penghalang keabsahan pernikahan tersebut.
KESIMPULAN
Setiap ibadah, muamalah, ataupun akad yang tidak sah, maka hal itu disebabkan oleh
salah satu dari dua kemungkinan, adakalanya disebabkan tidak terpenuhinya sesuatu
yang harus ada di dalamnya atau karena adanya suatu penghalang khusus yang
membatalkannya. Wallahu a’lam.
(Sumber : Al-Qawâ’id wal-Ushûl al-Jûmi’ah wal-Furûq wat-Taqâsîm al-Badî’ah an-
Nâfi’ah, karya Syaikh ‘Abdur-Rahmân as-Sa’di, Tahqîq: Dr. Khâlid bin ‘Ali bin Muhammad
al-Musyaiqih, Dârul-Wathan, Cetakan II, Tahun 1422 H – 2001 M.)
Kaidah Kesembilan :
‘Urf Dan Kebiasaan Dijadikan Pedoman Pada Setiap Hukum Dalam Syariat Yang
Batasannya Tidak Ditentukan Secara Tegas
Kaidah ini mencakup berbagai aspek dalam syariat, baik muamalat, penunaikan hak,
dan yang lain. Karena penentuan hukum suatu perkara dalam syariat dilakukan
dengan dua tahapan, yaitu :
حوحعاجشهروههمن جباولحموعهرو ج
ف
Kata ‘ma’ruf’’ (yang baik) dalam ayat tersebut mencakup sesuatu yang baik menurut
syariat, juga yang baik menurut akal.
حووأهمور جباولهعور ج
ف
1. Perintah Allah Azza wa Jalla agar kita melakukan ihsan (berbuat baik) kepada kedua
orang tua, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, orang yang sedang
dalam perjalanan, dan ihsan kepada seluruh makhluk. Maka, segala sesuatu yang
dianggap baik di masyarakat masuk dalam kandungan perintah ini. Karena Allah Azza
wa Jalla menyebutkan kalimat ihsan secara mutlak (umum). Ihsan lawan kata dari
isâ’ah (berbuat jelek). Pengertian kata ihsan bahkan juga bertentangan segala upaya
menahan kebaikan baik dalam bentuk perkataan, perbuatan atau harta.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda dalam hadits yang shahih :
Hadits ini merupakan nash (dalil) tegas yang menunjukkan bahwa setiap ihsan
(perbuatan baik) dan ma’ruf yang dikerjakan seseorang itu adalah sedekah.
2. Dalam setiap akad ataupun tabarru’ (sumbangan), di antara syarat sahnya adalah
keridhaan dua belah pihak. Namun syariat tidak menentukan lafazh tertentu secara
tegas untuk melakukan akad ini ataupun yang menunjukkan keridhaan tersebut. Oleh
karena syariat tidak menentukan lafazh tertentu, maka semua lafazh dan perbuatan
yang menunjukkan bahwa telah terjadi akad dan keridhaan dari kedua belah bisa
digunakan dan akadnya sah.[2]
Namun, dalam hal ini para Ulama mengecualikan beberapa masalah. Mereka
mengharuskan adanya ucapan supaya akadnya sah, misalnya dalam akad nikah. Para
Ulama mengatakan : “Harus ada ucapan îjâb (serah) dan qabûl (terima) dalam akad
nikah.” Demikian pula, dalam persoalan talak (perceraian). Talak tidak sah kecuali
dengan ucapan atau tulisan si suami.
3. Dalam akad-akad yang disyaratkan adanya qabdh (serah terima secara langsung).
Pelaksanaan qabdh ini sesuai dengan adat kebiasaan yang ada dan bentuknya pun
berbeda-beda. Bila dalam satu masyarakat tertentu, ada tindakan yang sudah
dianggap sebagai bentuk serah terima secara langsung, maka itu bisa dijadikan
pedoman dalam menjelaskan makna qabdh dan pelaksanaannya.
4. Demikian pula tentang al-hirz (tempat penyimpanan harta yang layak). Seseorang
yang mendapatkan amanah untuk menjaga harta orang lain, ia wajib menyimpan dan
menjaga harta yang diamanahkan kepadanya itu di tempat penyimpanan yang layak
menurut kebiasaan masyarakat sekitarnya. Masing-masing harta mempunyai tempat
penyimpanan yang layak sesuai dengan adat kebiasaan masyarakat setempat. Jika ini
sudah dilakukan, kemudian barang tersebut hilang atau dicuri, maka orang yang diberi
amanah tidak wajib menggantinya. Ini berarti standar kelayakan itu mengikuti urf
(adat kebiasaan setempat).
Namun, jika orang yang mendapatkan amanah ini tidak hati-hati atau lalai dalam
menjaga sehingga mengakibatkan barang yang diamanahkan kepadanya rusak atau
hilang, maka ia wajib bertanggungjawab atas kerusakan atau kehilangan barang
tersebut. Dalam hal ini, untuk menentukan apakah ia hati-hati atau tidak,
dikembalikan kepada kebiasaan yang berlaku pada masyarakat setempat. Jika
standar setempat menilai dia tidak hati-hati, maka dia wajib mengganti. Namun jika
dinilai sudah berhati-hati, maka tidak wajib mengganti.
6. Mengenai wakaf, maka penggunaan harta yang diwakafkan itu dikembalikan kepada
syarat dan ketentuan dari orang yang mewakafkan, selama tidak menyelisihi syariat.
Namun, jika syarat dan ketentuan tersebut tidak diketahui oleh orang yang
mewakafkan, maka penggunaannya disesuaikan dengan adat kebiasaan masyarakat
setempat.
8. Perintah untuk memberikan nafkah kepada isteri, sanak kerabat, hamba sahaya,
pekerja, dan semisalnya secara ma’ruf. Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya telah
menyebutkan secara tegas untuk kembali kepada ‘urf (adat kebiasaan masyarakat
setempat) dalam mu’asyarah (mempergauli) isteri secara baik.[3] Makna mu’asyarah
lebih umum daripada memberikan nafkah. Karena mu’asyarah mencakup seluruh
urusan yang berkaitan dengan hubungan antara suami dan isteri, baik dengan
perkataan, perbuatan, dan lainnya. Dan semua itu dikembalikan kepada kebiasaan
yang berlaku pada masyarakat setempat.
10. Keberadaan ‘aib (cacat dalam barang dagangan), ghabn (menjual atau membeli
dengan harga yang jauh dari harga pasar umumnya), dan tadlîs (menutupi cacat yang
ada pada barang dagangan). Batasan dalam semua masalah ini dikembalikan kepada
‘urf. Kapan saja suatu kondisi dianggap mengandung unsur ‘aib, ghabn, atau tadlîs
dalam adat kebiasaan masyarakat, maka berlakulah hukum yang terkait dengannya.
11. Dalam satu pernikahan yang maharnya tidak disebutkan secara jelas, atau
disebutkan namun fasid (tidak sesuai ketentuan syar’i), maka penentuan maharnya
dikembalikan kepada mahrul mitsl (standar mahar yang berlaku secara umum di
masyarakat setempat). Nilai mahar tersebut sesuai dengan perbedaan wanita,
perbedaan waktu, dan perbedaan tempat.
Contoh-contoh penerapan kaidah di atas sangat banyak dan bisa dilihat dalam kitab-
kitab hukum yang ditulis oleh para Ulama. Wallahu a’lam.
Ambillah (dari harta tersebut) untuk memenuhi kebutuhan dirimu dan anakmu sesuai
yang ma’ruf. (HR. Bukhâri dalam Kitâb al-Buyû’, Bab Man Ajrâ Amral Amshâri ‘ala Mâ
Yata’ârafân…., No. 2211. Muslim dalam Kitâb al- Aqdhiyah, Bab Qadhiyyatu Hindin, No.
1714.
Sumber: https://almanhaj.or.id/2508-kaidah-ke-9-urf-dan-kebiasaan-dijadikan-pedoman-
pada-setiap-hukum-dalam-syariat.html
QAWA’ID FIQHIYAH
Kaidah Kesepuluh :
حوحنوحجوحها, حوالمدحعاحوى, حواولحيجمويهن حعحلى حمون أحونحكحر جفي حججمويجع اولهحقهووجق,الحبديحنهة حعحلى اولهممدجعي
Bukti Wajib Didatangkan Oleh Orang yang Menuduh, Dan Sumpah Itu Wajib Bagi Yang
Mengingkari Tuduhan Itu, Hal Ini Berlaku Dalam Seluruh Persengketaan Hak, Tuntutan,
Dan Semisalnya
Kaidah yang mulia ini telah disebutkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam
salah satu sabdanya. Di mana beliau bersabda :
Bukti itu harus didatangkan oleh orang yang menuduh, dan sumpah itu wajib bagi
orang yang mengingkari tunduhan itu. [HR. Baihaqi dengan sanad shahih dan asal
hadits ini ada dalam As Shahihain].[1]
Para ahli ilmu telah bersepakat tentang eksistensi kaidah ini. Di mana kaidah ini
sangat dibutuhkan oleh para qâdhi (hakim), mufti (pemberi fatwa), dan dibutuhkan
pula oleh setiap orang.
خحطا ج
ب حوكحمحة حوحف و
صل ح اول ج حوآححتويحناهه اول ج
Barangsiapa yang mengklaim bahwa barang yang ada di tangan orang lain adalah
miliknya, atau mengklaim bahwa orang lain punya hutang darinya, atau menyatakan
bahwa orang lain mempunyai kewajiban yang harus ia tunaikan kepadanya, maka ia
harus mendatangkan bukti atas tuntutannya tersebut.
Adapun yang dimaksud dengan bukti adalah setiap hal yang menunjukkan benarnya
tuntutan orang tersebut. Yang mana, kadar bukti tersebut berbeda-beda sesuai dengan
perbedaan perkara yang dipersengketakan.
Apabila orang yang menuntut atau menuduh itu tidak bisa mendatangkan bukti, maka
orang yang dituntut diperintahkan untuk bersumpah dalam rangka menolak tuduhan
tersebut.
Demikian pula, jika telah tetap adanya suatu kewajiban yang harus ditunaikan oleh
seseorang, berupa hutang yang harus ia bayar atau selainnya, kemudian ia mengklaim
bahwa kewajiban tersebut telah ia tunaikan atau telah ia lunasi, maka secara asal
kewajiban tersebut masih ada dalam tanggungannya kecuali jika ia bisa
mendatangkan bukti bahwa kewajibannya tersebut telah ia lunasi. Adapun jika ia tidak
bisa mendatangkan bukti, maka cukuplah bagi orang yang berhak menerima
pelunasan kewajiban tersebut untuk menyatakan sumpah bahwasannya orang
tersebut belum menunaikan kewajibannya, dan keputusan hukum berpihak kepada si
penerima hak itu.
Berkaitan dengan orang yang mengklaim bahwa dirinya berhak untuk memperoleh
bagian dalam wakaf atau warisan tertentu, maka wajib baginya untuk mendatangkan
bukti yang memastikan bahwa ia memang benar-benar berhak mendapatkan bagian
tersebut. Apabila ia tidak bisa mendatangkan bukti tersebut maka ia tidaklah berhak
menerima bagian dari wakaf atau warisan tersebut.
Adapun yang dimaksud dengan bayyinah (bukti) dalam persengketaan harta, hak-hak,
serta kesepakatan-kesepakatan, adakalanya terdiri atas dua orang laki-laki yang adil,
atau seorang laki-laki dan dua orang perempuan, atau seorang laki-laki dan sumpah si
penuntut, atau dakwaan si penuntut dan ketidaksediaan si tertuntut untuk
mengucapkan sumpah.
Dalam hal ini, jika harta yang diperkarakan tersebut berada di tangan orang yang tidak
mengklaim harta tersebut sebagai miliknya, maka bukti si penuntut adalah pensifatan
atau ( penggambaran )nya terhadap barang tersebut dengan sifat yang sesuai.
Misalnya, ada seseorang yang menemukan luqâthah (barang temuan). Kemudian
setelah berselang beberapa waktu datanglah kepadanya seseorang yang
mendakwakan mengaku bahwa barang yang ditemukan tersebut adalah miliknya,
maka, orang yang mengklaim tersebut harus mendatangkan bukti kebenarannya
dengan menyebutkan sifat barang tersebut secara tepat. Maka, pensifatan
(penggambaran) merupakan bukti dalam dakwaan jika pemegang harta tersebut tidak
menganggap harta itu sebagai miliknya. Wallâhu a’lam.
Sumber: https://almanhaj.or.id/2509-kaidah-ke-10-bukti-wajib-didatangkan-oleh-orang-
yang-menuduh.html