Anda di halaman 1dari 35

KAIDAH KE.

1 : ALLAH DAN RASUL-NYA TIDAKLAH


MEMERINTAHKAN SESUATU KECUALI
MENDATANGKAN MASLAHAT

QAWA’ID FIQHIYAH
Kaidah Pertama :
‫صةة أحوو حرا ج‬
‫جححةة‬ ‫صةة أحوو حرا ج‬
‫جححةة حولح حيونحهى إجلم حعمما حموف ح‬
‫سحدهتهه حخالج ح‬ ‫شاجرهع لح حيأوهمهر إجلم جبحما حم و‬
‫صحلححهتهه حخالج ح‬ ‫ال م‬

Allah Subhanahu wa Ta’ala Dan Rasul-Nya, Tidaklah Memerintahkan Sesuatu Kecuali


Yang Murni Mendatangkan Maslahat Atau Maslahatnya Dominan. Dan Tidaklah
Melarang Sesuatu Kecuali Perkara Yang Benar-Benar Rusak Atau Kerusakannya
Dominan.

Kaidah ini mencakup seluruh syari’at agama ini. Tidak ada sedikitpun hukum syari’at
yang keluar dari kaidah ini, baik yang berkait dengan pokok maupun cabang-cabang
agama ini, juga berhubungan dengan hak Allah Subhanahu wa Ta’alamaupun yang
berhubungan dengan hak para hamba. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

‫شاجء حواولهمونحكجر حواولحبوغيج حيجعهظهكوم حلحعملهكوم حتحذمكهروحن‬


‫ساجن حوجإيحتاجء جذي اولقهورحبىى حوحيونحهىى حعجن اولحفوح ح‬ ‫إجمن م ح‬
‫ا حيأوهمهر جباولحعودجل حواولجوح ح‬

Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi
kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan
permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil
pelajaran. [an-Nahl/16:90].

Tidak ada satu keadilan pun, juga ihsan (perbuatan baik) dan menjalin silaturahim
yang terlupakan, kecuali semuanya telah diperintahkan oleh Allah Azza wa Jalla dalam
ayat yang mulia ini. Dan tidak ada sedikit pun kekejian dan kemungkaran yang berkait
dengan hak-hak Allah Subahnahu wa Ta’ala, juga kezhaliman terhadap makhluk dalam
masalah darah, harta, serta kehormatan mereka, kecuali semuanya telah dilarang oleh
Allah Azza wa Jalla. Allah Subhanahu wa Ta’ala mengingatkan para hamba-Nya agar
memperhatikan perintah-perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala ini, memperhatikan
kebaikan dan manfaatnya lalu melaksanakannya. Allah Azza wa Jalla juga
mengingatkan agar memperhatikan keburukan dan bahaya yang terdapat dalam
larangan-larangan Allah Subhanahu wa Ta’ala tersebut, lalu menjauhinya.

Demikian pula firman Allah Azza wa Jalla :

‫صيحن حلهه الدديحن‬ ‫قهلو أححمحر حردبي جباولقجوسجط حوأحجقيهموا هوهجوحههكوم جعونحد هكل د حموس ج‬
‫جدد حواودهعوهه هموخلج ج‬

Katakanlah: “Rabbku menyuruh menjalankan keadilan”. Dan (katakanlah):


“Luruskanlah muka (diri) mu di setiap shalat dan sembahlah Allah dengan
mengikhlaskan ketaatanmu kepada-Nya. [al-A’râf/7:29].

Ayat ini telah mengumpulkan pokok-pokok semua perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala,
dan mengingatkan kebaikan perintah-perintah itu. Sebagaimana ayat selanjutnya
menjelaskan pokok-pokok semua perkara yang diharamkan, dan memperingatkan
akan kejelekannya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

‫اج حما حل‬ ‫سولحطاننا حوأحون حتهقوهلوا حعحلى م‬


‫شجرهكوا جباملج حما حلوم هيحندزلو جبجه ه‬
‫ش حما حظحهحر جمونحها حوحما حبحطحن حواولجوثحم حواولحبوغحي جبحغويجر اولححدق حوأحون هت و‬ ‫قهلو إجمنحما ححمرحم حردبحي اولحفحوا ج‬
‫ح ح‬
‫حتوعلحهموحن‬

Katakanlah: “Rabbku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak
maupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan
yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak
menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah
apa yang tidak kamu ketahui”.[al-A’râf/7:33].

Dalam ayat yang lain, tatkala Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan agar bersuci
sebelum melaksanakan shalat, yaitu dalam firman-Nya:

‫سهحوا جبهرهءوجسهكوم حوأحورهجحلهكوم إجحلى اولحكوعحبويجن حوإجون هكونهتوم هجهننبا حفامطمههروا‬ ‫صحلجة حفاوغجسهلوا هوهجوحههكوم حوأحويجدحيهكوم إجحلى اولحمحرافججق حواوم ح‬ ‫حيا أحييحها املجذيحن آحمهنوا إجحذا قهومهتوم إجحلى ال م‬
‫سهحوا جبهوهجوجههكوم حوأحويجديهكوم جمونهه‬‫صجعيندا حطدينبا حفاوم ح‬ ‫جهدوا حمانء حفحتحيممهموا ح‬ ‫سحفدر أحوو حجاحء أحححةد جمونهكوم جمحن اولحغاجئجط أحوو حلحموسهتهم الدن ح‬
‫ساحء حفحلوم حت ج‬ ‫ضىى أحوو حعحلىى ح‬ ‫حوإجون هكونهتوم حمور ح‬

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka
basuhlah mukamu dan tanganmu sampai siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh)
kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub, maka mandilah, dan
jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus)
atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah
dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. [al-
Mâidah/5:6].

Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan dua macam thaharah (bersuci). Yaitu


thaharah dari hadats kecil dan hadats besar dengan menggunakan air. Dan jika tidak
ada air atau karena sakit, maka bersuci dengan menggunakan debu. Selanjutnya Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

‫ج حوىحلجكون هيجريهد لجهيحطدهحرهكوم حولجهيجتمم جنوعحمحتهه حعحلويهكوم حلحعملهكوم حت و‬


‫شهكهروحن‬ ‫م‬
‫حما هيجريهد اه لجحيوجحعل ح حعحلويهكوم جمون حححر د‬

Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan
menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur. [al-Mâidah/5 : 6]

Dalam ayat ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabarkan bahwa perintah-perintah-Nya


termasuk jajaran kenikmatan terbesar di dunia ini, dan berkaitan erat dengan nikmat-
Nya nanti di akhirat.

Perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala yang maslahatnya seratus persen dan larangan
Allah dari sesuatu yang benar-benar rusak, dapat diketahui dari beberapa contoh
berikut.

Sebagian besar hukum-hukum dalam syari’at ini mempunyai kemaslahatan yang murni.
Keimanan dan tauhid merupakan kemaslahatan yang murni, kemaslahatan untuk hati,
ruh, badan, kehidupan dunia dan akhirat. Sedangkan kesyirikan dan kekufuran, bahaya
dan mafsadatnya murni, yang menyebabkan keburukan bagi hati, badan, dunia, dan
akhirat.
Kejujuran maslahatnya murni, sedangkan kedustaan sebaliknya. Namun, jika ada
maslahat yang lebih besar dari mafsadat yang ditimbulkan akibat kedustaan, seperti
dusta dalam peperangan, atau dusta dalam rangka mendamaikan manusia, maka Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberikan rukhshah (keringanan) dalam masalah
perbuatan dusta seperti ini, dikarenakan kebaikannya atau maslahatnya lebih
dominan.

Demikian pula, keadilan mempunyai maslahat yang murni; sedangkam kezhaliman,


seluruhnya adalah mafsadat. Adapun perjudian dan minum khamr, mafsadat dan
bahayanya lebih banyak daripada manfaatnya. Oleh karena itu, Allah Subhanahu wa
Ta’ala mangharamkannya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

‫س حوإجوثهمههحما أحوكحبهر جمون حنوفجعجهحما‬


‫حيوسأ حهلوحنحك حعجن اولحخومجر حواولحمويجسجر قهلو جفيجهحما إجوثةم حكجبيةر حوحمحنافجهع جللمنا ج‬

Mereka bertanya kepadamu tentang khamr dan judi. Katakanlah: “Pada keduanya itu
terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih
besar dari manfaatnya”. [al-Baqarah/2:219].

Jika ada maslahat-maslahat besar dari sebagaian perkara yang mengandung unsur
perjudian, seperti mengambil hadiah lomba yang berasal dari uang pendaftaran
peserta dalam lomba pacuan kuda, atau lomba memanah, maka hal demikian ini
diperbolehkan. Karena lomba-lomba ini mendukung untuk penegakan bendera jihad.

Adapun mempelajari sihir, maka sihir hanyalah mafsadat semata-mata. Sebagaimana


firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

‫ضيرههوم حوحل حيونحفهعههوم‬


‫حوحيحتحعملهموحن حما حي ه‬

Dan mereka mempelajari sesuatu yang memberi mudharat kepadanya dan tidak
memberi manfaat. [al-Baqarah/2:102].

Demikian pula diharamkannya bangkai, darah, daging babi, dan semisalnya yang
mengandung mafsadat dan bahaya. Jika maslahat yang besar mengalahkan mafsadat
akibat mengkonsumsi makanan yang diharamkan ini, seperti untuk mempertahankan
hidup, maka makanan haram ini boleh dikonsumsi. Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman:

‫حيةم‬ ‫ف جلجوثدم حفإجمن م ح‬


‫ا حغهفوةر حر ج‬ ‫ضهطمر جفي حموخحم ح‬
‫صدة حغويحر همحتحجاجن د‬ ‫حفحمجن ا و‬

Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa,
sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. [al-Mâidah/5:3].

Pokok dan kaidah syari’ah yang agung ini dapat dijadikan dasar untuk menyatakan
bahwa ilmu-ilmu modern sekarang ini, serta berbagai penemuan baru yang bermanfaat
bagi manusia dalam urusan agama dan dunia meraka, bisa digolongkan ke dalam
perkara yang diperintahkan dan dicintai Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya,
sekaligus merupakan nikmat yang diberikan Allah Azza wa Jalla kepada para hamba-
Nya; karena mengandung manfaat yang sangat dibutuhkan oleh manusia dan sebagai
sarana pendukung.
Oleh karena itu, adanya telegram dengan berbagai jenisnya, industri-industri,
penemuan-penemuan baru, hal-hal tersebut sangat sesuai dengan implementasi
kaidah ini. Perkara-perkara ini, ada yang masuk kategori sesuatu yang diwajibkan, ada
yang sunnah, dan ada yang mubah, sesuai dengan manfaat dan amal perbuatan yang
dihasikannya. Sebagaimana perkara-perkara ini juga bisa dimasukkan dalam kaidah-
kaidah syar’iyah lainnya yang merupakan turunan dari kaidah ini.

(Sumber : al-Qawaa’id wa al-Ushul al-Jaami’ah wa al-Furuuq wa at-Taqaasiim al-Badi’at


an-Naafi’at, karya Syaikh ‘Abdur-Rahman bin Nashir as-Sa’di, Tahqiq: oleh Prof. Dr.
Khalid bin ‘Ali al-Musyaiqih, Cetakan Dar al-Wathan).

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XII/1429H/2008. Diterbitkan Yayasan


Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo
57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]

Sumber: https://almanhaj.or.id/2500-kaidah-ke-1-allah-dan-rasul-nya-tidaklah-
memerintahkan-sesuatu-kecuali-mendatangkan-maslahat.html

Kaidah Kedua :

‫الحوجسويلحهة حلحها أحوححكاهم الحمحقا ج‬


‫صجد‬

Hukum Wasilah Tergantung Pada Tujuan-Tujuannya

Beberapa hal yang masuk dalam kaidah ini, di antaranya ialah bahwasanya perkara
wajib yang tidak bisa sempurna (pelaksanaannya) kecuali dengan keberadaan sesuatu
hal, maka hal tersebut hukumnya wajib pula. Dan perkara sunnah yang tidak bisa
sempurna kecuali dengan keberadaan sesuatu hal, maka hal tersebut sunnah juga
hukumnya. Demikian pula, sarana-sarana yang mengantarkan kepada perkara yang
haram atau mengantarkan kepada perkara yang makruh, maka hukumnya mengikuti
perkara yang haram atau makruh tersebut.

Demikian pula, termasuk turunan dari kaidah ini, bahwa hal-hal yang mengikuti ibadah
ataupun amalan tertentu, maka hukumnya sesuai dengan ibadah yang menjadi tujuan
tersebut.

Kaidah ini, merupakan kaidah yang sifatnya kullliyah (menyeluruh), yang membawahi
beberapa kaidah lain.

Pengertian ‫( الحوجسويلحهة‬wasîlah) yaitu jalan-jalan (upaya, cara) yang ditempuh menuju


(perwujudan) suatu perkara tertentu, dan faktor-faktor yang mengantarkan kepadanya.
Demikian pula, hal-hal lain yang berkait dan lawaazim (konsekuensi-konsekuensi) yang
keberadaannya mengharuskan keberadaan perkara tersebut, serta syarat-syarat yang
tergantung hukum-hukum pada sesuatu tersebut.

Jadi, apabila Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya memerintahkan sesuatu, maka itu
berarti sebuah perintah untuk melaksanakan obyek yang diperintahkan, dan hal-hal
terkait yang menyebabkan perintah tersebut tidak sempurna kecuali dengan hal-hal
tersebut. Demikian pula, perintah tersebut juga mencakup perintah untuk memenuhi
semua syarat-syarat dalam syari’at, syarat-syarat dalam adat, yang maknawi ataupun
kasat mata. Hal ini dikarenakan Allah, Dzat Yang Maha Mengetahui dan Maha Memiliki
Hikmah, mengetahui apa yang menjadi pengaruh-pengaruh yang muncul dari hukum-
hukum yang Ia Subhanahu wa Ta’ala syariatkan bagi hamba-Nya berupa lawaazim,
syarat-syarat, dan faktor-faktor penyempurna. Sehingga, perintah untuk mengerjakan
sesuatu bermakna merupakan perintah untuk obyek yang diperintahkan tersebut, dan
juga perintah untuk mengerjakan hal-hal yang tidaklah bisa sempurna perkara yang
diperintahkan tersebut kecuali dengannya. Dan (sebaliknya) larangan dari
mengerjakan sesuatu merupakan larangan dari hal tersebut dan larangan dari segala
sesuatu yang mengantarkan kepada larangan tersebut.

Atas dasar keterangan di atas, berjalan untuk melaksanakan shalat, menghadiri majlis
dzikir, silaturahim, menjenguk orang sakit, mengiringi jenazah, dan lain-lain masuk
dalam kategori ibadah juga. Demikian pula orang yang pergi untuk melaksanakan haji
dan umroh, serta jihad fi sabilillah (di jalan Allah l ), sejak keluar dari rumah sampai
pulang kembali, maka orang tersebut senantiasa dalam pelaksanaan ibadah. Karena
keluarnya (orang tersebut dari rumah) merupakan wasilah (cara) untuk melaksanakan
ibadah dan menjadi penyempurnanya. Allah Azza wa Jalla berfirman :

‫صالجةح‬ ‫اج حوحل حيحطهئوحن حمووجطنئا حيجغيهظ اولهكمفاحر حوحل حيحناهلوحن جمون حعهدوو حنوينل إجمل هكجت ح‬
‫ب حلههوم جبجه حعحمل ة ح‬ ‫سجبيجل م‬ ‫صةة جفي ح‬ ‫ب حوحل حموخحم ح‬ ‫صيهبههوم حظحمأ ة حوحل حن ح‬
‫ص ة‬ ‫ىحذلجحك جبأ حمنههوم حل هي ج‬
‫اه أحوح ح‬
‫سحن حما حكاهنوا حيوعحمهلوحن‬ ‫ب لحههوم لجحيوجزحيهههم م‬ ‫﴾ حوحل هيونفجهقوحن حنحفحقنة ح‬١٢٠﴿ ‫ضيهع أحوجحر اولهموحجسجنيحن‬
‫صجغيحرنة حوحل حكجبيحرنة حوحل حيوقحطهعوحن حواجدنيا إجمل هكجت ح‬ ‫اح حل هي ج‬ ‫إجمن م‬
‫ج‬

Yang demikian itu ialah karena mereka tidak ditimpa kehausan, kepayahan dan
kelaparan pada jalan Allah, dan tidak (pula) menginjak suatu tempat yang
membangkitkan amarah orang-orang kafir, dan tidak menimpakan sesuatu bencana
kepada musuh, melainkan dituliskanlah bagi mereka dengan yang demikian itu suatu
amal shalih. Sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang
berbuat baik, dan mereka tiada menafkahkan suatu nafkah yang kecil dan tidak (pula)
yang besar dan tidak melintasi suatu lembah, melainkan dituliskan bagi mereka (amal
shalih pula) karena Allah akan memberi balasan kepada mereka yang lebih baik dari
apa yang telah mereka kerjakan. [at-Taubah/9:120-121].

Dalam hadits yang shahîh, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

‫سحلحك اه أححو ح‬
‫سمهل ح اه حلهه حطجروينقا إجحلى اولحجمنجة‬ ‫سحلحك حطجروينقا حيولحتجم ه‬
‫س فجويجه جعولنما ح‬ ‫حمون ح‬

Barangsiapa yang menempuh suatu perjalanan dalam rangka menuntut ilmu maka
Allah akan memperjalankannya atau memudahkan jalan beginya menuju ke surga. [HR
Muslim].[1]
Sungguh terdapat hadits shahîh yang menjelaskan tentang pahala berjalan untuk
melaksanakan sholat, dan setiap langkah yang ditempuh dalam perjalanan tersebut
ditulis baginya satu kebaikan dan dihapuskan satu kejelekan.

Dan firman Allah Azza wa Jalla :

‫شويدء أحوح ح‬
‫صويحناهه جفي إجحمادم همجبيدن‬ ‫ب حما حقمدهموا حوآحثاحرههوم حوهكل م ح‬
‫إجمنا حنوحهن هنوحجيي اولحمووحتىى حوحنوكهت ه‬

Sesungguhnya kami menghidupkan orang-orang mati dan kami menuliskan apa yang
Telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan. dan segala sesuatu
kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh mahfuzh). [Yasin/36:12].

Yang dimaksudkan dengan “bekas-bekas yang mereka tinggalkan” pada ayat di atas
ialah perpindahan langkah-langkah dan amalan-amalan mereka, apakah untuk
melaksanakan ibadah ataukah sebaliknya. Oleh karena itu, sebagaimana
melangkahkan kaki dan upaya-upaya untuk melaksanakan ibadah dihukumi sesuai
dengan hukum ibadah yang dimaksud, maka melangkahkan kaki menuju kemaksiatan
juga dihukumi sesuai dengan hukum kemaksiatan tersebut dan kemaksiatan yang lain.

Maka perintah untuk melaksanakan sholat adalah perintah untuk melaksanakan


shalat dan perkara-perkara yang shalat tidak sempurna kecuali dengannya seperti
thaharah (bersuci), menutup aurat, menghadap kiblat, dan syarat-syarat lainnya. Dan
juga, perintah untuk mempelajari hukum-hukum yang pelaksanaan shalat tidaklah bisa
sempurna kecuali dengan didahului dengan mempelajari ilmu tersebut.

Demikian pula, seluruh ibadah yang wajib atau sunnah yang tidaklah bisa menjadi
sempurna kecuali dengan suatu hal, maka hal itu juga wajib karena perkara yang
diwajibkan tersebut, atau menjadi amalan sunnah dikarenakan perkara yang sunnah
tersebut.

Termasuk cabang kaidah ini adalah perkataan ulama[2] : “Jika datang waktu sholat
bagi orang yang tidak menjumpai air, maka wajib baginya untuk mencari air di tempat-
tempat yang diperkirakan dapat ditemukan air di sana”. Dikarenakan kewajiban
tersebut tidak sempurna kecuali dengan keberadaan hal-hal itu sehingga hukumnya
juga wajib. Demikian pula, wajib baginya untuk membeli air atau membeli penutup
aurat yang wajib dengan harga yang wajar, atau dengan harga yang lebih dari harga
wajar, asalkan tidak menyusahkannya dan tidak menyedot seluruh hartanya.

Dan masuk di dalam kaidah ini juga adalah tentang wajibnya mempelajari ilmu
perindustrian yang sangat dibutuhkan oleh kaum muslimin untuk mendukung urusan
agama dan dunia mereka, baik urusan yang besar maupun yang kecil.

Demikian pula, masuk dalam kaidah ini adalah wajibnya mempelajari ilmu-ilmu yang
bermanfaat. Ilmu bermanfaat terbagi menjadi dua macam :

Pertama. Ilmu yang hukum mempelajarinya fardhu ‘ain, yaitu ilmu yang sifatnya sangat
diperlukan oleh setiap orang dalam urusan agama, akhirat, maupun urusan muamalah.
Setiap orang berbeda-beda tingkat kewajibannya sesuai dengan keadaan masing-
masing.
Kedua. Ilmu yang hukum mempelajarinya fardhu kifâyah, yaitu ilmu yang merupakan
bersifat tambahan dari ilmu harus dipelajari oleh setiap individu, yang dibutuhkan oleh
muasyarakat luas.

Dari sini, ilmu yang sangat dibutuhkan oleh individu hukumnya fardhu ‘ain. Adapun ilmu
yang sifatnya tidak mendesak jika ditinjau dari sisi kebutuhan individual, namun
masyarakat luas membutuhkannya, maka hukumnya fardhu kifâyah. Sebab, perkara
yang hukumnya fardhu kifâyah ini, jika telah dilaksanakan oleh sebagian orang dengan
jumlah yang mencukupi, maka gugurlah kewajiban sebagian yang lain. Dan jika tidak
ada sama sekali orang yang melaksanakannya, maka menjadi wajib atas setiap orang.

Oleh karena itu, termasuk cabang kaidah ini adalah semua hal yang hukumnya fardhu
kifâyah, seperti mengumandangkan adzan, iqamah, mengendalikan kepemimpinan
yang kecil maupun yang besar, amar ma`ruf nahi munkar, jihad yang hukumnya fardhu
kifayah, pengurusan jenazah dalam bentuk memandikan, mengkafani, menyolatkan,
membawanya ke pemakaman, menguburkannya, serta hal-hal yang menyertainya,
persawahan, perkebunan, dan hal hal yang menyertainya.

Termasuk pula dalam kaidah ini, usaha seseorang dalam bekerja yang menjadi wasilah
(sarana) baginya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dirinya sendiri, isteri, anak-
anak, budak, dan juga binatang ternaknya, serta untuk melunasi hutangnya.
Dikarenakan hal-hal tersebut hukumnya adalah wajib, dan tidak bisa dipenuhi kecuali
dengan mencari rizki dan berusaha mendapatkannya.

Demikian pula, tentang wajibnya mempelajari tanda-tanda datangnya waktu shalat,


mengetahui arah kiblat, dan arah mata angin bagi orang yang membutuhkan hal
tersebut. Hal-hal tersebut masuk juga dalam kaidah ini.

Termasuk pula dalam kaidah ini, setiap perkara mubah yang menjadi wasilah (jalan)
untuk meninggalkan kewajiban, atau menjadi wasilah dalam melaksanakan sesuatu
yang haram. Oleh karena itu, diharamkan jual beli setelah adzan kedua pada shalat
Jum’at, berdasarkan firman Allah Azza wa Jalla:

‫صحلجة جمون حيووم اولهجهمحعجة حفاوسحعووا إجلحىى جذوكر م‬


‫اج حوحذهروا اولحبويحع‬ ‫حيا أحييحها املجذيحن آحمهنوا إجحذا هنوجد ح‬
‫ي جلل م‬
‫ج‬ ‫ج‬

Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, maka
bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. [al-
Jumu’ah/62:9].

Demikian pula diharamkan menjual sesuatu kepada orang yang akan menggunakannya
untuk kemaksiatan. Seperti menjual anggur kepada orang yang akan membuatnya
menjadi minuman keras (khamr). Atau menjual senjata kepada orang dalam kondisi
fitnah, atau menjualnya kepada musuh dan perampok. Dan juga tidak diperbolehkan
menjual telur atau semisalnya kepada orang yang akan menggunakannya dalam
berjudi.

Termasuk dalam kaidah ini pula, adalah perbuatan seseorang yang diberi wasiat oleh
orang lain, kemudian ia membunuh orang yang memberi wasiat tersebut. Atau
pembunuhan yang dilakukan oleh ahli waris terhadap pemilik harta [3] supaya segera
memperoleh warisan tersebut. Maka, keduanya dikenai hukuman dengan tidak berhak
memperoleh isi wasiat atau warisan yang menjadi tujuannya tersebut.

Demikian pula seorang suami yang menindas istri tanpa alasan yang dibenarkan, agar
istri menyerahkan kekayaan kepada suami hingga mau menceraikannya.

Begitu pula, hiyal (tipu-muslihat) yang ditempuh sebagai wasilah untuk melaksanakan
perkara yang haram atau meninggalkan kewajiban, maka hukumnya adalah haram.
Sedangkan hiyal yang dipergunakan untuk memperoleh sesuatu yang menjadi hak
seseorang hukumnya diperbolehkan bahkan diperintahkan. Hal ini dikarenakan
seorang hamba diperintahkan untuk mengambil sesuatu yang sudah menjadi haknya
dan hak-hak lain yang berkaitan dengannya, baik dengan cara yang terang-terangan
maupun tersembunyi.

Hal ini merujuk firman Allah Subhanahu wa Ta’ala tatkala menyebutkan muslihat yang
dilakukan Nabi Yusuf Alaihissallam supaya saudaranya tetap tinggal bersamanya:

‫ى‬
‫ف‬ ‫حكحذلجحك جكودحنا لجهيو ه‬
‫س ح‬

Demikianlah Kami atur untuk (mencapai maksud) Yûsuf. [Yûsuf/12:76].

Sama dalam masalah ini tipu-daya untuk menyelamatkan jiwa dan kekayaan,
sebagaimana yang dilakukan Khidhir dengan cara merusak perahu yang ia tumpangi
supaya perahu tersebut tidak dirampas oleh raja yang zhalim yang merampas setiap
perahu bagus yang ia lihat.

Oleh karena itu, hukum suatu muslihat mengikuti tujuan peruntukan muslihat
tersebut, apakah tujuannya baik ataukah tidak.

Termasuk pula dalam kaidah ini, adalah firman Allah :

‫إجمن م ح‬
‫ا حيأوهمهرهكوم أحون هتحؤيدوا اولححماحنا ج‬
‫ت إجلحىى أحوهلجحها‬

Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak


menerimanya…. [an-Nisâ`/4:58].

Sedangkan yang dimaksud dengan amanat, adalah segala sesuatu yang seseorang
mendapatkan kepercayaan untuk mengurusinya, seperti barang titipan, mengurus
anak yatim, menjadi nadzir wakaf, dan semisalnya. Maka termasuk dalam upaya untuk
menjalankan amanat kepada kepada pemiliknya, adalah menjaga amanat tersebut
dengan ditempatkan di tempat penyimpanan yang sesuai.

Dan termasuk upaya menjaga amanat tersebut, adalah memberikan makanan dan
lainnya jika yang diamanatkan tersebut bernyawa. Adapun dalam penggunaannya,
tidak teledor dan tidak berlebih-lebihan.

Di antara cabang kaidah ini, adalah bahwasannya Allah Subhanahu wa Ta’ala


mengharamkan perbuatan-perbuatan keji, dan melarang mendekat kepada semua
wasilah yang dikhawatirkan akan menjerumuskan seseorang pada perkara yang
diharamkan tersebut. Misal, menyendiri dengan wanita yang bukan mahramnya, atau
melihat kepada sesuatu yang diharamkan.

Atas dasar itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

‫ا حمححاجرهمهه‬ ‫ أحلح حوإجمن ج‬، ‫ححمى‬


‫ححمى ج‬ ‫ أحلح حوإجمن لجهكل د حملجدك ج‬، ‫ك أحون حيورحتحع فجويجه‬ ‫ حكالمراجعي حيورحعى ححوول ح اول ج‬، ‫ت حوحقحع فيج اولحححراجم‬
‫ححمى هيووجش ه‬ ‫حوحمون حوحقحع فيج ال ي‬
‫شهبحها ج‬

Dan barang siapa yang jatuh ke dalam perkara yang samar, maka ia telah jatuh ke
dalam wilayah perkara yang haram. Seperti penggembala yang menggembala di
sekitar daerah larangan; dikhawatirkan ia akan masuk ke daerah larangan itu.
Ingatlah, setiap raja memiliki daerah larangan; dan daerah larangan Allah adalah apa-
apa yang diharamkan-Nya. [HR Bukhâri].[4]

Termasuk cabang kaidah ini pula, adalah adanya larangan mengerjakan sesuatu yang
bisa menimbulkan permusuhan dan kebencian. Misalnya, menyerobot pembeli dari
penjual muslim lainnya, menimpali akad orang lain, melamar wanita yang sudah
dilamar orang lain, atau mengajukan perwalian atas pengajuan muslim yang lain.

Sebagaimana termasuk cabang kaidah ini pula, adalah memberikan dorongan untuk
komitmen dengan kejujuran, baik dalam perkataan maupun perbuatan sesuai dengan
situasi dan kondisi yang ada.

Pengecualian dalam Kaidah ini


Adapun perkara yang tidak masuk dalam kaidah ini adalah permasalahan nadzar. Hal
ini dikarenakan suatu hikmah tertentu yang khusus pada permasalahan tersebut.
Sebab, menunaikan nadzar ketaatan hukumnya adalah wajib, sedangkan bernadzar
hukumnya makruh. Padahal menunaikan nadzar tidaklah bisa dilaksanakan kecuali
dengan menetapkan nadzar.
Oleh karena itu, Nabi n memerintahkan agar nadzar dilaksanakan dan melarang orang
untuk bernadzar. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

‫ حوإجمنحما هيوسحتوخحر ه‬, ‫إجمنهه لح حيأوجتي جبحخويدر‬


‫ج جبجه جمحن اولحب ج‬
‫خويجل‬

Sesungguhnya nadzar itu tidaklah mendatangkan kebaikan, dan sesungguhnya nadzar


itu dikeluarkan dari seorang yang bakhil. [HR Bukhâri].[5]

Keadaan demikian ini karena mengurangi keikhlasan dalam amalan yang dinadzarkan
tersebut, dan menyebabkan orang yang mengikat nadzar terjebak pada kesulitan
padahal awalnya ia berada dalam kelapangan. Wallahu a’lam.

(Sumber : Al-Qawâ’id wal-Ushûl al-Jûmi’ah wal-Furûq wat-Taqâsîm al-Badî’ah an-


Nâfi’ah, karya Syaikh ‘Abdur-Rahmân as-Sa’di, Tahqîq: Dr. Khâlid bin ‘Ali bin Muhammad
al-Musyaiqih, Dârul-Wathan, Cetakan II, Tahun 1422 H – 2001 M.)

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02-03/Tahun XII/1429H/2008. Diterbitkan Yayasan


Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo
57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
______
Footnote
[1]. HR Muslim dalam Kitab adz-Dzikr wa ad Du’aa`, Bab: Fadhl al-Ijtima’ ‘ala Tilawatil-
Qur`ân, no. 2699 dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu dan lafaznya adalah: ‫سلححك حطجروينقا‬
‫حمون ح‬
‫سمهل ح اه حلهه جبجه حطجروينقا إجحلى اولحجمنجة‬
‫س جبجه جعولنما ح‬
‫حيولحتجم ه‬
[2]. Al Mughni 1/314
[3]. Misalnya, seorang anak membunuh orang tuanya yang kaya, dengan tujuan agar
segera mendapatkan warisan dari sang ayah, Red.
[4]. HR Bukhâri no. 52, dan Muslim no. 1599 dari Nu’man bin Basyir -radhiyallahu ‘anhu.
[5]. HR Bukhâri no. 6693, dan Muslim no. 1639.

Sumber: https://almanhaj.or.id/2501-kaidah-ke-2-hukum-wasilah-tergantung-pada-
tujuan-tujuannya.html

Kaidah Ketiga :

‫شمقهة حتوجلج ه‬
‫ب المتويجسويحر‬ ‫الحم ح‬

Adanya Kesulitan Akan Memunculkan Adanya Kemudahan

Kaidah ini termasuk kaidah fiqih yang sangat penting untuk dipahami. Karena, seluruh
rukhshah dan keringanan yang ada dalam syari’at merupakan wujud dari kaidah ini.

Di antara dalil yang menyangkut kaidah ini, yaitu firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

‫هيريهد م‬
‫اه جبهكهم اولهيوسحر حوحل هيجريهد جبهكهم اولهعوسحر‬ ‫ج‬

Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.


[al-Baqarah/2:185].

‫سا إجمل هووسحعحها‬ ‫ف م‬


‫اه حنوف ن‬ ‫حل هيحكدل ه‬

Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. [al-


Baqarah/2:286].

‫حوحما حجحعل ح حعلحويهكوم جفي الدديجن جمون حححر د‬


‫ج‬

Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. [al-
Hajj/22:78].

‫حفامتهقوا م ح‬
‫ا حما اوسحتحطوعهتوم‬

Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu. [at-Taghâbun/64:16].

Ayat-ayat di atas menjadi landasan kaidah yang sangat berharga ini. Dikarenakan
seluruh syari’at dalam agama ini lurus dan penuh toleransi. Lurus tauhidnya,
terbangun atas dasar perintah beribadah hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala
semata, tidak menyekutukannya dengan sesuatu pun.

Demikian pula, syariat ini penuh toleransi dalam hukum-hukum dan amalan-
amalannya. Sebagai contoh, ibadah-ibadah yang tercakup dalam rukun Islam. Salah
satunya dalam ibadah shalat. Jika kita lihat ibadah ini merupakan amaliah yang
mudah dan hanya membutuhkan sedikit waktu. Demikian pula zakat, hanya
memerlukan sebagian kecil dari harta orang yang terkena kewajiban zakat. Itu pun
diambil dari harta yang dikembangkan, bukan harta tetap. Dan zakat ini dilaksanakan
hanya sekali dalam setahun. Juga ibadah puasa Ramadhan yang hanya dilaksanakan
selama satu bulan setiap tahun. Ibadah haji yang wajib dilaksanakan sekali saja
seumur hidup bagi orang yang mempunyai kemampuan. Adapun kewajiban-kewajiban
lainnya, maka datang secara insidental sesuai dengan sebab yang
melatarbelakanginya.

Seluruh ibadah-ibadah tersebut sangat mudah dan ringan. Allah Subanahu wa Ta’ala
juga mensyariatkan beberapa hal yang bisa membantu dan memberikan semangat
dalam melaksanakan ibadah-ibadah tersebut. Di antaranya dengan disyariatkannya
berjama’ah dalam shalat lima waktu, shalat Jum’at, dan shalat hari raya. Demikian
pula pelaksanaan puasa yang dilaksanakan secara bersama-sama pada bulan
Ramadhan. Juga ibadah haji yang dilaksanakan bersama-sama pada bulan Dzulhijjah.

Tidak diragukan lagi, pelaksanaan ibadah secara berjama’ah akan lebih meringankan
pelaksanaan berbagai ibadah, lebih memberi semangat, serta lebih mendorong untuk
saling berlomba meraih kebaikan. Sebagaimana juga Allah Subhanahu wa Ta’ala telah
menyediakan pahala bagi orang yang mau menunaikan ibadah-ibadah tersebut dengan
ikhlas dan sesuai tuntunan Nabi-Nya, baik pahala di dunia maupun di akhirat. Pahala
yang tidak bisa diukur besarnya. Janji Allah k merupakan pendorong terbesar dalam
melaksanakan amal kebaikaan dan meninggalkan kejelekan.

Disamping kemudahan-kemudahan ini, masih ditambah lagi, jika ada yang mempunyai
udzur sehingga menyebabkannya tidak mampu atau kesulitan melaksanakan hukum-
hukum syari’at, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memberikan keringanan sesuai
dengan kedaaan dan kondisi orang bersangkutan. Hal ini nampak jelas dalam
beberapa contoh berikut.

1. Seseorang yang sedang dalam keadaan sakit, jika tidak mampu melaksanakan
shalat dengan berdiri maka boleh shalat dengan duduk. Jika tidak mampu dengan
duduk, maka shalat dengan berbaring, dan cukup berisyarat ketika ruku’ dan sujud.

2. Seseorang diwajibkan bersuci (thaharah) dengan menggunakan air. Namun, jika


tidak bisa menggunakan air karena sakit atau tidak ada air, maka diperbolehkan
melaksanakan tayammum.

3. Seorang musafir yang sedang menanggung beratnya perjalanan diperbolehkan


untuk tidak berpuasa, diperbolehkan untuk menjama’ dan mengqashar shalat, serta
diperbolehkan mengusap khuf selama tiga hari, sebagai ganti dari mencuci kaki dalam
wudhu`.

4. Orang yang sakit atau sedang bepergian jauh (safar) tetap dicatat mendapatkan
pahala dari amal-amal kebaikan yang biasa ia kerjakan ketika dalam keadaan sehat
dan tidak bepergian.

Kaidah ini diterapkan dalam berbagai macam pembahasan yang tercakup dalam
syari’at agama Islam yang mulia ini. Adapun perwujudan kaidah ini secara nyata dapat
diketahui dari contoh-contoh berikut ini.
1. Jika pakaian atau badan seseorang terkena sedikit darah maka dimaafkan, dan
tidak harus mencucinya.

2. Boleh beristijmar (membersihkan najis dengan batu atau semisalnya) sebagai


pengganti dari istinja’ (membersihkan najis dengan air), meskipun dijumpai adanya air.

3. Sucinya mulut anak kecil yang terkadang memakan najis dikarenakan belum bisa
membedakaan benda-benda di sekelilingnya.

4. Sucinya kucing. Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

‫س إجمنحها جمحن المطحوافجويحن حعحلويهكوم حوالمطمواحفا ج‬


‫ت‬ ‫إحمنحها حلوي ح‬
‫سوت جبحنحج د‬

Sesungguhnya kucing itu tidak najis. Sesungguhnya ia termasuk binatang yang selalu
menyertai kalian. [1]

5. Termaafkan, jika terkena cipratan tanah jalanan yang diperkirakan bercampur


dengan najis. Jika memang benar ada najisnya, maka dimaafkan dari najis yang
sedikit.

6. Jika pakaian seseorang terkena kencing bayi laki-laki yang belum makan makanan
tambahan selain ASI, maka cukup membasahi pakaian tersebut dengan air dan tidak
perlu mencucinya. Demikian pula jika terkena muntahan bayi tersebut.

7. Penjelasan para ahli ilmu, bahwa hukum asal sesuatu dzat adalah suci, kecuali jika
diketahui secara pasti tentang kenajisannya. Dan hukum asal segala makanan adalah
halal dikonsumsi, kecuali jika diketahui secara pasti tentang keharamannya.

8. Dalam membersihkan badan, pakaian, atau bejana dari najis cukup menggunakan
perkiraan. Jika tidak bisa atau kesulitan menentukan kesuciannya secara pasti, maka
cukup dengan dikira-kira, jika dianggap sudah suci, maka cukup.

9. Dalam menentukan telah datangnya waktu shalat, cukup dengan perkiraan kuat
bahwa waktunya telah datang. Yaitu, jika sulit mengetahui datangnya waktu tersebut
secara pasti.

10. Orang yang melaksanakan haji secara tamattu’ dan qiran, mereka bisa
melaksanakan haji sekaligus umrah dalam sekali perjalanan saja.

11. Diperbolehkan memakan makanan haram, seperti bangkai dan semisalnya, bagi
orang yang terpaksa untuk memakannya.

12. Bolehnya jual beli ‘ariyah [2] jika ada hajat untuk mendapatkan kurma ruthab
(kurma basah).

13. Boleh mengambil upah dari perlombaan pacu kuda, mengendarai onta, dan
perlombaan memanah.

14. Bolehnya seorang laki-laki merdeka menikahi budak wanita jika laki-laki tersebut
tidak bisa menunda pernikahan dan khawatir akan terjatuh dalam perzinaan.

15. Jika seseorang melakukan pembunuhan dengan tanpa kesengajaan, maka karib
kerabat orang yang melakukan pembunuhan tersebut menanggung pembayaran diyat
(denda yang harus dibayarkan kepada keluarga korban). Hal ini dikarenakan pelaku
pembunuhan tersebut tidak sengaja melakukan pembunuhan, sehingga ia mempunyai
udzur. Maka, merupakan hal yang layak jika karib kerabat si pembunuh tersebut
menanggung pembayaran diyat tersebut tanpa memberatkan mereka, yaitu dengan
membagi diyat tersebut sesuai kadar kekayaan masing-masing. Dan pembayaran
tersebut diberi tenggang waktu selama tiga tahun. Adapun jika pembunuh tersebut
termasuk orang yang berkecukupan dalam harta, apakah ia turut menanggung
pembayaran diyat tersebut ataukah tidak? Maka dalam hal ini terdapat perselisihan di
kalangan para ulama.

Implementasi (perwujudan) dari kaidah ini sangatlah luas. Contoh-contoh di atas


sudah cukup mewakili untuk menunjukkan sedemikian penting kaidah ini.

(Sumber : Al-Qawâ’id wal-Ushûl al-Jûmi’ah wal-Furûq wat-Taqâsîm al-Badî’ah an-


Nâfi’ah, karya Syaikh ‘Abdur-Rahmân as-Sa’di, Tahqîq: Dr. Khâlid bin ‘Ali bin Muhammad
al-Musyaiqih, Dârul-Wathan, Cetakan II, Tahun 1422 H – 2001 M.)

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun XII/1429H/2008. Diterbitkan Yayasan


Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo
57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
______
Footnote
[1]. HR Ahmad (5/296, 303), Abu Dawud dalam kitab ath-Thaharah, Bab: Su’ril Hirrah
(no. 75), at-Tirmidzi dalam kitab ath-Thaharah, Bab: Mâ Jâ`a fi Su’ril Hirrah (no. 92), an-
Nasâ`i (1/55), Ibnu Majah dalam kitab ath-Thaharah, Bab: al-Wudhu` bi Su’ril Hirrah (no.
367), Mâlik (1/45), Abdurrazaq (no. 353), al-Humaidi (no. 430), Ibnu Abi Syaibah (1/31),
ad-Darimi (1/187), Ibnu Hibban (no. 121), ath-Thahawi dalam al-Musykil (3/270), Hakim
(1/159).
Hadits ini dishahîhkan oleh at-Tirmidzi dan Hakim. Dalam kitab at-Talkhis (1/41)
disebutkan: “Hadits ini dishahîhkan oleh Bukhâri, Tirmidzi, Uqaili, dan Daruquthni”.
Hadits ini juga dishahîhkan oleh Baihaqi, sebagaimana disebutkan dalam al-Majmu’
(1/215), dan dishahîhkan juga oleh an-Nawawi.
[2]. ‘Ariyah, adalah jual beli kurma ruthab (kurma basah) yang masih berada di
pohonnya dengan perkiraan semisal harganya jika kurma itu sudah tua dan menjadi
kurma kering, dan dilakukan secara takaran. (Syarah al-Muntaha, 2/197)

Sumber: https://almanhaj.or.id/2502-kaidah-ke-3-adanya-kesulitan-akan-memunculkan-
adanya-kemudahan.html

Kaidah Keempat :

‫ حولح همححمرحم حمحع ال م‬, ‫ب حمحع اولحعوججز‬


‫ضهرووحرجة‬ ‫ حفلح حوا ج‬, ‫ب حيحتحعملهق جباولجوسجتحطاحعجة‬
‫ج ح‬ ‫الهوهجوو ه‬
Pelaksanaan Kewajiban Terkait Dengan Kemampuan, Kewajiban Melaksanakan
Sesuatu Menjadi Gugur Jika Tidak Mampu Melaksanakannya, Suatu Yang Dilarang
(Diharamkan) Menjadi Boleh Saat Kondisi Darurat.

Di antara dalil yang menunjukkan kaidah ini adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

‫حفامتهقوا م ح‬
‫ا حما اوسحتحطوعهتوم‬

Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu. [At Thaghabuun/64 :


16]

Dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

‫إجحذا أححمورهتهكوم جبأ حومدر حفأوهتووا جمونهه حما اوسحتحطوعهتوم‬

Jika aku memerintahkan kalian dengan suatu perintah maka kerjakanlah sesuai
kemampuan kalian.[1]

Kaidah ini mencakup dua kaidah turunan :


Kaidah pertama : Gugurnya keharusan untuk melaksanakan kewajiban jika seseorang
tidak mampu melaksanakannya.
Kaidah kedua : Halalnya sesuatu yang haram ketika seseorang berada dalam keadaan
darurat. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala setelah menyebutkan tentang
haramnya bangkai, darah, dan yang selainnya :

‫حيةم‬ ‫ف جلجوثدم حفإجمن م ح‬


‫ا حغهفوةر حر ج‬ ‫ضهطمر جفي حموخحم ح‬
‫صدة حغويحر همحتحجاجن د‬ ‫حفحمجن ا و‬

Maka barangsiapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa,


sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. [al Maaidah/5 :3]

Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman ;

‫ضهطجرورهتوم إجلحويجه‬ ‫حوحما لحهكوم أحمل حتأوهكهلوا جممما هذجكحر اوسهم م‬


‫اج حعلحويجه حوحقود حف م‬
‫صل ح لحهكوم حما ححمرحم حعلحويهكوم إجمل حما ا و‬

Mengapa kamu tidak mau memakan (binatang-binatang yang halal) yang disebut nama
Allah ketika menyembelihnya, padahal sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada
kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu
memakannya. [al An’aam/6 :119]

Ayat ini dengan tegas menjelaskan tentang bolehnya memakan makanan yang haram
dikarenakan keadaan yang darurat. Hanya saja perlu dipahami bahwa pembolehan ini
hanya sebatas keperluan saja. Jika telah hilang keadaan darurat tersebut maka wajib
baginya untuk berhenti memakannya.

Berkaitan dengan kaidah pertama dalam pembahasan ini, terapannya terdapat dalam
beberapa kasus berikut:

1. Orang yang tidak mampu memenuhi sebagian syarat-syarat atau kewajiban-


kewajiban dalam shalat, maka hal tersebut tidaklah wajib untuk dipenuhi dan ia
melaksanakan shalat sesuai dengan kadar kemampuannya.

2. Orang yang tidak mampu mengerjakan puasa dikarenakan sakit yang terus-menerus
dan tidak diharapkan lagi kesembuhnya, atau orang yang sudah tua renta, demikian
pula orang yang sedang safar, maka mereka diperbolehkan untuk tidak berpuasa, dan
jika kemudian udzurnya tersebut hilang, maka mereka mengqadha’ puasa sebanyak
hari yang ia tinggalkan tersebut.

3. Orang yang tidak mampu mengerjakan haji dikarenakan suatu udzur, sedangkan ada
kemungkinan udzurnya tersebut akan hilang dalam beberapa kemudian, maka ia
bersabar menunggu sampai hilangnya udzur itu. Namun, jika hilangnya udzur tersebut
tidak bisa diharapkan lagi, maka diperbolehkan baginya untuk memerintahkan
seseorang untuk menghajikannya.

Berkaitan dengan kaidah kedua ini pula Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

‫ج حوحل حعحلى اولحمجري ج‬ ‫ح‬ ‫س حعحلى اولحوعحمى حححر ة‬


‫ج‬
‫ض حححر ة‬ ‫ج حوحل حعحلى اولوعحر ج‬
‫ج حححر ة‬ ‫حلوي ح‬

Tidak ada halangan bagi orang buta, tidak (pula) bagi orang pincang, tidak (pula) bagi
orang sakit. [an Nur/24 : 61]

Ayat ini berkaitan dengan diberikannya keringanan bagi orang-orang yang buta,
pincang, atau sakit dalam ibadah-ibadah yang pelaksanaannya bergantung dengan
keberaadaan penglihatan, kesehatan badan, dan kesempurnaan anggora badan,
seperti jihad dan semisalnya.

Dari sini dapat diketahui bahwa dalam melaksanakan kewajiban disyaratkan adanya
kemampuan. Barangsiapa yang tidak mampu mengerjakannya maka Allah Subhanahu
wa Ta’ala tidak membebankan kepadanya sesuatu yang tidak ia mampui Demikian
pula Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam hadits yang shahih :

‫ف والجويحماجن‬ ‫ حفإجون حلوم حيوسحتجطوع حفجبحقولجبجه حوحذلجحك أح و‬, ‫ساجنجه‬


‫ضحع ه‬ ‫حمون حرحأى جمونهكوم همونحكنرا حفولهيحغديورهه جبحيجدجه حفإجون حلوم حيوسحتجطوع حفجبلج ح‬

Barangsiapa di antara kalian yang melihat kemungkaran maka hendaklah ia


mengingkari itu dengan tangannya, jika tidak mampu maka ingkarilah dengan
lisannya, dan jika tidak mampu maka ingkarilah dengan hatinya, dan itu adalah
serendah-rendah keimanan. [2]

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman ketika menjelaskan kewajiban seorang suami


untuk memberi nafkah berupa pakaian dan semisalnya kepada keluarganya :

‫سحيوجحعل ه م‬
‫اه حبوعحد هعوسدر هيوسنرا‬ ‫سا إجمل حما آححتاحها ح‬ ‫ف م‬
‫اه حنوف ن‬ ‫سحعجتجه حوحمون قهجدحر حعحلويجه روزقههه حفولهيونفجوق جممما آححتاهه م‬
‫اه حل هيحكدل ه‬ ‫لجهيونفجوق هذو ح‬
‫سحعدة جمون ح‬
‫ج‬

Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang
yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah
kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekedar) apa
yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah
kesempitan. [at Thalaaq/65 : 7]

Demikian pula Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda ketika menjelaskan


kewajiban yang harus ditunaikan oleh seorang suami berkaitan dengan harta :

‫جاوبحدوأ جبحنوفجسحك هثمم جبحمون حتهعوول ه‬

Mulailah dengan dirimu sendiri kemudian orang-orang yang menjadi tanggunganmu.[6]


Termasuk dalam penerapan kaidah kedua ini pula adalah praktek pembayaran kafarah
yang sifatnya murattabah (ada urutan pembayarannya), di mana jika seseorang tidak
mampu membayar dengan kafarah yang urutannya lebih tinggi, barulah ia membayar
kafarah dengan urutan di bawahnya.

Demikian pula, di antara terapan kaidah ini adalah keberadaan udzur-udzur syar’i yang
membolehkan seseorang untuk tidak datang menghadiri shalat Jum’at dan shalat
Jama’ah.

Adapun berkaitan dengan kaidah kedua dalam pembahasan ini, maka di antara
implementasinya adalah beberapa hal sebagai berikut :

1. Karena keadaan darurat, seseorang yang sedang melaksanakan ibadah haji


diperbolehkan mengerjakan hal-hal yang dilarang ketika itu, dan sebagai
konsekuensinya ia wajib membayar fidyah, sebagaimana hal ini dijelaskan secara rinci
dalam kitab-kitab fikih.[3]

2. Ketika shalat berjama’ah, seseorang diperbolehkan sholat dengan berdiri sendirian


di belakang shaf jika ia tidak mendapatkan tempat yang kosong pada shaf di
depannya. Hal ini dikarenakan perkara-perkara yang wajib dan lebih besar dari
permasalahan shaf tersebut suatu ketika bisa gugur jika seseorang tidak mampu
mengerjakannya. Maka, dalam hal ini permasalahan shaf lebih pantas untuk gugur.

(Sumber : Al-Qawâ’id wal-Ushûl al-Jûmi’ah wal-Furûq wat-Taqâsîm al-Badî’ah an-


Nâfi’ah, karya Syaikh ‘Abdur-Rahmân as-Sa’di, Tahqîq: Dr. Khâlid bin ‘Ali bin Muhammad
al-Musyaiqih, Dârul-Wathan, Cetakan II, Tahun 1422 H – 2001 M.)

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XIII/1430H/2009. Diterbitkan Yayasan


Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo
57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. HR. Bukhari, Kitab Al I’tisham Bab Al Iqtidaa’ bi Sunani Rasulillah Shallallahu
‘alaihi wa sallam No. 7.288. Muslim, Kitab Al Hajj Bab Fardhu Al Hajj No. 1.337, dari Abu
Hurairah –radhiyallahu ‘anhu.
[2]. HR. Muslim, Kitabul Iman, Bab Bayanu Kauni An Nahyi ‘an Al Munkari min Al Iman,
hadits No. 49.
[3]. Lihat Syarah Al Muhadzab 2/20.

Sumber: https://almanhaj.or.id/2503-kaidah-ke-4-pelaksanaan-kewajiban-terkait-
dengan-kemampuan.html

Kaidah Kelima :

‫سلمحم‬ ‫صملى م‬
‫اه حعلحويجه حو ح‬ ‫ص لجولحموعهبووجد حواولهمحتاحبحعهة جللمر ه‬
‫سووجل ح‬ ‫شجرويحعهة حموبجنميةة حعحلى أح و‬
‫ الجوخلح ه‬: ‫صلحويجن‬ ‫ال م‬
Syari’at Berdiri Di Atas Dua Hal, Yaitu Ikhlas Kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala Dan
Meneladani Rasul Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam

Dua hal tersebut merupakan syarat diterimanaya amal ibadah, baik berupa amalan
lahiriyah, seperti perkataan dan perbuatan anggota badan; dan juga amalan
bathiniyah, seperti amalan hati.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

‫صيحن لحهه الدديحن‬ ‫حوحما أ هجمهروا إجمل لجحيوعهبهدوا م‬


‫اح هموخلج ج‬

Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan
keta`atan kepada-Nya. [al-Bayyinah/98 : 5].

Kata ‫ الدديحن‬dalam ayat tersebut telah ditafsirkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
dalam hadits Jibril, bahwa makna ‫ الدديحن‬adalah rukun Islam yang lima, rukun iman yang
enam, dan ihsan, yang merupakan inti amalan hati.[1]

Oleh karena itu, semua perkara tersebut harus dikerjakan dengan ikhlas hanya untuk
Allah Subhanahu wa Ta’ala semata, dalam rangka mengharapkan wajah-Nya, ridha-
Nya, dan pahala dari-Nya.

Selain itu, amalan tersebut harus dilaksanakan dengan landasan hukum dari Al-Qur`ân
dan Hadits. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

‫سول ه حفهخهذوهه حوحما حنحهاهكوم حعونهه حفاونحتههوا‬


‫حوحما آحتاهكهم المر ه‬

Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya
bagimu maka tinggalkanlah. [al-Hasyr/59 : 7].

Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengumpulkan eksistensi kedua syarat diterimanya


amal ibadah tersebut dalam firman-Nya:

‫سهن جديننا جمممون أحوسحلحم حووجحههه ج م ج‬


‫ل حوههحو هموحجسةن‬ ‫حوحمون أحوح ح‬

Dan siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang ikhlas menyerahkan
dirinya kepada Allah, sedang diapun mengerjakan kebaikan. [an-Nisâ`/4 : 125].

Dalam ayat tersebut, pengertian ‫ أحوسحلحم حووجحههه‬adalah mengikhlaskan amalan-amalan yang


bersifat lahiriyah maupun bathiniyah hanya untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala . Dan
yang dimaksud dengan ‫ حوههحو هموحجسةن‬, adalah ia berbuat ihsan dengan meneladani Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam amal-amal ibadah yang ia kerjakan tersebut.

Sehingga amalan yang diterima, yaitu amalan yang terkumpul di dalamnya dua sifat
tersebut. Apabila salah satu atau kedua sifat tersebut tidak terpenuhi, maka amalan
tersebut tertolak dan masuk dalam kategori amalan yang disebutkan Allah Subhanahu
wa Ta’ala dalam firman-Nya:

‫حوحقجدومحنا إجلحىى حما حعجمهلوا جمون حعحمدل حفحجحعولحناهه حهحبانء حمونهثونرا‬

Dan Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu
(bagaikan) debu yang berterbangan. [al-Furqân/25 : 23].
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman ketika membedakan antara amalan orang-orang
yang ikhlas dengan amalan orang-orang yang riya`:

‫صوبحها حواجبل ة حفحطل ل حو م‬


‫اه‬ ‫صاحبحها حواجبل ة حفآحتوت أ ههكحلحها ج‬
‫ضوعحفويجن حفإجون حلوم هي ج‬ ‫ت م‬
‫اج حوحتوثجبينتا جمون أحونفهجسجهوم حكحمحثجل حجمندة جبحروبحودة أح ح‬ ‫حوحمحثل ه املجذيحن هيونفجهقوحن أحومحواحلهههم اوبجتحغاحء حمور ح‬
‫ضا ج‬
‫صيةر‬‫جبحما حتوعحمهلوحن حب ج‬

Dan perumpamaan orang-orang yang membelanjakan hartanya karena mencari


keridhaan Allah dan untuk keteguhan jiwa mereka, seperti sebuah kebun yang terletak
di dataran tinggi yang disiram oleh hujan lebat, maka kebun itu menghasilkan buahnya
dua kali lipat. Jika hujan lebat tidak menyiraminya, maka hujan gerimis (pun
memadai). Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu perbuat. [al-Baqarah/2:265].

Demikian pula, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda ketika


menjelaskan tentang hijrah yang termasuk amalan utama:

‫صويهبحها أحوو اومحرأحدة حيونجكهححها حفجهوجحرهتهه إجحلى حما حهاحجحر إجحلويجه‬


‫ حوحمون حكاحنوت جهوجحرهتهه إجحلى هدونحيا هي ج‬،‫سوولججه‬ ‫سوولججه حفجهوجحرهتهه إجحلى ج‬
‫ا حوحر ه‬ ‫ حفحمون حكاحنوت جهوجحرهتهه إجحلى ج‬.
‫ا حوحر ه‬

Barang siapa yang hijrahnya karena (ingin mendapatkan keridhaan) Allah dan Rasul-
Nya, maka hijrahnya kepada (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya. Dan barang siapa yang
hijrahnya karena dunia yang dikehendakinya atau karena wanita yang ingin
dinikahinya, maka hijrahnya (akan bernilai sebagaimana) yang dia niatkan.[2]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah ditanya tentang seseorang yang
berperang karena ingin unjuk keberanian, berperang karena fanatisme kesukuan, dan
karena bertujuan untuk mendapatkan ghanimah, siapakah di antara mereka yang
berperang di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala . Maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:

‫ا‬
‫سجبويجل ج‬ ‫حمون حقاحتل ح لجحتهكووحن حكلجحمهة ج‬
‫ا جهحي اولهعولحيا حفههحو فيج ح‬

Barang siapa yang berperang supaya kalimat Allah adalah yang tertinggi, maka dia lah
yang berperang di jalan Allah. [3]

Oleh karena itu, barang siapa yang jihadnya secara lisan maupun perbuatan diniatkan
karena Allah Subhanahu wa Ta’ala dan untuk menolong kebenaran maka ia adalah
seorang yang ikhlas dalam jihadnya. Dan barang siapa yang meniatkan selain hal itu,
maka ia akan memperoleh sebatas apa yang ia niatkan sedangkan amalannya tidaklah
diterima.

Dan pada ayat yang lain Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman ketika
menjelaskan tentang amalan yang dilaksanakan tanpa meneladani Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

‫سهبوحن أحمنههوم هيوحجسهنوحن ه‬


‫صوننعا‬ ‫سوعهيههوم جفي اولحححياجة اليدونحيا حوههوم حيوح ح‬
‫ضل م ح‬ ‫قهلو حهلو هنحندبهئهكوم جباولحوخ ح‬
‫( املجذيحن ح‬103) ‫سجريحن أحوعحمانل‬

Katakanlah: “Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang


paling merugi perbuatannya?” Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya
dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat
sebaik-baiknya. [al-Kahfi/18 : 103-104].
Oleh karena itu, amalan shalih yang dikerjakan seseorang karena riya`, maka amalan
tersebut batil, karena tidak ada keikhlasan di dalamnya. Dan amalan yang dikerjakan
dengan ikhlas karena Allah Subhanahu wa Ta’ala namun amalan tersebut tidak ada
landasan hukumnya secara syar’i, maka amalan tersebut batil pula, karena tidak
disertai mutâba’ah. Demikian pula, keyakinan-keyakinan yang tidak ada landasannya
dalam Al-Qur`ân dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , seperti
keyakinan ahlul bid’ah yang menyelisihi apa yang dilandasi oleh Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya, semuanya itu masuk dalam sabda Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

‫ئ حما حنحوى‬ ‫إجمنحما والحوعحمال ه جبالدنميا ج‬


‫ت حوإجمنحما لجهكل د اومجر د‬

Sesungguhnya setiap perbuatan dilaksanakan dengan niatnya. Dan sesungguhnya


setiap orang (akan dibalas) berdasarkan apa yang dia niatkan. [4]

Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

‫س حعلحويجه أحومهرحنا حفههحو حرلد‬


‫حمون حعجمل ح حعحملن لحوي ح‬

Barang siapa yang mengerjakan suatu amalan (ibadah) yang tidak berdasarkan
perintah kami, maka ia tertolak. [5]

Hadits pertama tersebut menjadi timbangan amalan dari sisi batinnya, dan hadits
kedua menjadi timbangan amalan dari sisi lahirnya.

Mengikhlaskan amalan hanya untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala semata merupakan


perkara yang telah disinggung nash-nash Al-Qur`ân dan Sunnah yang
memerintahkannya, menjelaskan keutamaannya, dan batilnya suatu amalan jika tidak
disertai dengannya. Adapun niat untuk mengerjakan amalan itu sendiri, maka
meskipun hal itu harus ada dalam setiap amalan, akan tetapi hal tersebut dipastikan
keberadaannya dalam setiap amalan yang dikerjakan oleh orang yang memiliki akal
dan kesadaran. Karena niat dalam makna tersebut merupakan suatu keinginan untuk
mengerjakan suatu perbuatan, dan setiap orang yang berakal pasti meniatkan amalan
yang ia kerjakan tersebut.

Sebagaimana kaidah ini masuk dalam permasalahan ibadah, maka masuk pula dalam
permasalahan muamalah. Maka setiap muamalah baik berupa jual beli, ijarah (sewa-
meyewa), syirkah (persekutuan dagang), atau selainnya yang terdapat larangannya
dalam syari’at, maka muamalah tersebut batil dan haram dilaksanakan, meskipun
pelaku muamalah tersebut saling ridha. Dikarenakan keridhaan dalam masalah ini
disyaratkan setelah terpenuhinya keridhaan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan rasul-Nya

Oleh karena itu, praktek-praktek muamalah yang dilarang oleh Allah Subhanahu wa
Ta’ala dan Rasul-Nya, seperti melebihkan sebagian anak atas sebagian yang lain
dalam pemberian, wasiat, dan warisan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda :

‫صميحة لجحواجر د‬
‫ث‬ ‫لح حو ج‬

Tidak boleh memberikan wasiat kepada ahli waris.[6]


Demikian pula, dalam permasalahan wakaf, syarat yang diberikan oleh orang yang
mewakafkan haruslah tidak menyelisihi syari’at. Jika ternyata menyelisihi syari’at
maka syarat tersebut tidaklah dianggap. Dalam hal ini, yang menjadi timbangan dalam
penentuan syarat tersebut secara umum adalah sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam :

‫شورنطا ححمرحم ححلحلن أحوو أحححل م حححرانما‬ ‫اولهموسلجهمووحن حعحلى ه‬


‫ إجلم ح‬, ‫شهرووجطجهوم‬

Kaum muslimin di atas syarat-syarat yang mereka tentukan, kecuali jika syarat
tersebut mengharamkan sesuatu yang halal atau menghalalkan sesuatu yang haram.
[7]

Berkaitan dengan masalah pernikahan, syarat-syaratnya, rukun-rukunnya, bentuk-


bentuk nikah yang dihalalkan dan yang diharamkan, masalah talaq, ruju’, dan seluruh
hal yang berkaitan dengannya, haruslah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan syar’i,
jika tidak demikian maka hal tersebut tertolak.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

‫سهن حتأوجوينل‬
‫خجر حذلجحك حخويةر حوأحوح ح‬ ‫سوجل إجون هكونهتوم هتوؤجمهنوحن جبا م ج‬
‫ل حواولحيووجم اولح ج‬ ‫شويدء حفهريدوهه إجحلى م‬
‫اج حوالمر ه‬ ‫حفإجون حتحناحزوعهتوم جفي ح‬

Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia


kepada Allah (Al Qur`ân) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman
kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih
baik akibatnya. [an-Nisâ`/4 : 59].

Demikian pula tentang permasalahan sumpah. Seseorang tidak boleh bersumpah


dengan selain Allah Subhanahu wa Ta’ala , atau nama-nama-Nya, atau sifat-sifat-Nya,
karena hal tersebut tidak sesuai dengan tuntunan syari’at. Dan dalam permasalahan
nadzar, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

‫ا حفلح حيوع ج‬
‫صجه‬ ‫ حوحمون حنحذحر أحون حيوع ج‬, ‫ا حفولهيجطوعهه‬
‫صحي ح‬ ‫حمون حنحذحر أحون هيجطويحع ح‬

Barang siapa yang bernadzar untuk melaksanaakan ketaatan kepada Allah maka
hendaklah ia menunaikan nadzarnya, dan barang siapa yang bernadzar untuk berbuat
maksiat kepada Allah maka janganlah ia menunaikan nadzarnya.[8]

Bahkan masalah fiqih dari awal sampai akhir tidak terlepas dari kaidah ini. Karena
sesungguhnya, hukum-hukum syar’i diambil dari empat landasan, yaitu: Al-Kitâb, as-
Sunnah, yang keduanya menjadi pokok dalil syar’i; kemudian Ijma’ yang disandarkan
pada keduanya, dan Qiyas berdasarkan istimbat dari keduanya.

(Sumber : Al-Qawâ’id wal-Ushûl al-Jûmi’ah wal-Furûq wat-Taqâsîm al-Badî’ah an-


Nâfi’ah, karya Syaikh ‘Abdur-Rahmân as-Sa’di, Tahqîq: Dr. Khâlid bin ‘Ali bin Muhammad
al-Musyaiqih, Dârul-Wathan, Cetakan II, Tahun 1422 H – 2001 M.)

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun XII/1429H/2008. Diterbitkan Yayasan


Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo
57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Yaitu hadits yang diriwayatkan Bukhâri dalam kitab al-Iman, Bab: Su`alu Jibril an-
Nabiyya Shallallahu ‘alaihi wa sallam (no. 50), Muslim dalam kitab al-Iman, Bab:
Bayanul-Iman (no. 9).
[2]. HR al-Bukhâri dalam kitab Bad’il Wahyi (no. 1), Muslim dalam al-Imârah, Bab:
Qaulihi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Innamal a’mâlu bin-niyyah” (no. 1907).
[3]. HR Bukhâri dalam kitab al-‘Ilm, Bab: Man Sa`ala wa Huwa Qaim (no. 123). Muslim
dalam kitab al-Imârah, Bab: Man Qatala li Takuna Kalimatullahi Hiyal ‘Ulya (no. 1904).
[4]. HR Bukhâri dalam kitab Bad’il Wahyi (no. 1), Muslim dalam kitab al-Imârah, Bab:
Qaulihi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Innamal a’mâlu bin-niyyah” (no. 1907).
[5]. HR Muslim dalam Kitab al-Aqdhiyah, Bab: Naqdhil-Ahkamil-Bathilah, no. 1718.
[6]. HR Ahmad (5/267), Abu Dawud dalam kitab al-Washaya, Bab: Mâ Ja`a fil-Washiyyati
lil-Warits (no. 2870), Tirmidzi dalam kitab al-Washaya, Bab: Lâ Washiyyata li Waritsin
(no. 2121).
[7]. HR Tirmidzi, no. 1370.
[8]. HR Bukhari dalam kitab al-Aiman wan-Nudzur, Bab: an-Nadzr fith-Tha’ah, no. 6696.

Sumber: https://almanhaj.or.id/2504-kaidah-ke-5-syariat-berdiri-diatas-dua-hal-yaitu-
ikhlas-dan-meneladani-rasul.html

Kaidah Keenam :

‫ت والجحباححهة حفلح حيوحهرهم جمونحها إجلم حما ححمرحمهه اه حوحر ه‬


‫سوولههه‬ ‫ حووالح و‬,‫سوولههه‬
‫صل ه جفي اولحعاحدا ج‬ ‫شحرهع جمونحها إجلم حما ح‬
‫شحرحعهه اه حوحر ه‬ ‫الح و‬
‫صل ه جفي اولجعحباحدجة اولححوظهر حفلح هي و‬

Hukum Asal Dalam Peribadahan Adalah Dilarang,Mmaka Tidak Disyariatkan Kecuali


Yang Disyariatkan Oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala Dan Rasul-Nya. Dan Hukum Asal
Dalam Perkara Adat (budaya) aAalah Diperbolehkan, Sehingga Tidaklah Haram Kecuali
Yang Diharamkan Oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan Rasul-Nya.

Kaidah yang mulia ini mencakup dua kaidah penting. Imam Ahmad dan kalangan imam
lainnya telah menyatakan kaidah ini. Dalil-dalil dari Al-Qur`an dan Hadits telah
mendukungnya. Di antaranya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala berkaitan
dengan eksistensi kaidah yang pertama:

‫شحرهعوا حلههوم جمحن الدديجن حما حلوم حيأوحذون جبجه م‬


‫اه‬ ‫أحوم حلههوم ه‬
‫شحرحكاهء ح‬

Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan


untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah? [asy-Syûrâ/42 : 21].

Dan berkaitan dengan eksistensi kaidah yang kedua Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman:

‫ههحو املجذي حخحلحق حلهكوم حما جفي اولحور ج‬


‫ض حججمينعا‬

Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu [al-Baqarah/2 :
29].
Maksudnya, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menghalalkan seluruh perkara yang
bermanfaat. Allah Subhanahu wa Ta’ala menghalalkan secara keseluruhan kecuali
yang ada larangannya di dalam syari’at dikarenakan adanya unsur yang
membahayakan manusia.

Demikian pula Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

‫صنة حيووحم اولقجحياحمجة‬


‫اولحححياجة اليدونحيا حخالج ح‬

Katakanlah: “Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah


dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan)
rezki yang baik?” Katakanlah: “Semuanya itu (disediakan) bagi orang-orang yang
beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) di hari kiamat. [al-A’râf /7
: 32].

Pada ayat tersebut, Allah Subhanahu wa Ta’ala mengingkari perbuatan orang yang
mengharamkan apa-apa yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala ciptakan untuk para
hambanya berupa makanan, minuman, pakaian, dan semisalnya.

Dalam hal ini, eksistensi kedua kaidah tersebut dapat dijelaskan bahwa hakikat
peribadahan adalah apa-apa yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala perintahkan
dengan perintah yang wajib ataupun sunnah. Maka setiap perkara yang diwajibkan
oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan rasul-Nya, atau perkara yang sunnah, maka itu
termasuk ibadah yang Allah Subhanahu wa Ta’ala diibadahi dan ditaati dengan perkara
tersebut. Oleh karena itu, barangsiapa yang menyatakan tentang diwajibkannya atau
disunnahkannya suatu perbuatan yang tidak ditunjukkan oleh Al Kitab maupun As
Sunnah, maka ia telah mengada-adakan perkara agama yang tidak diizinkan oleh Allah
Subhanahu wa Ta’ala, dan amalan tersebut tertolak atas pelakunya. Sebagaimana
sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

‫س حعحلويجه أحومهرحنا حفههحو حرلد‬


‫حمون حعجمل ح حعحملن حلوي ح‬

Barang siapa yang mengerjakan suatu amalan (ibadah) yang tidak berdasarkan
perintah kami maka ia tertolak.[1]

Hal ini sebagaimana telah dijelaskan pula pada kaidah terdahulu bahwa syarat
diterimanya amalan ibadah adalah bahwasannya amalan tersebut dikerjakan dengan
ikhlas karena Allah Subhanahu wa Ta’ala dan dilaksanakan sesuai dengan sunnah
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

Hendaknya diketahui pula bahwa perkara bid’ah yang diada-adakan dalam agama ini,
ada yang jenisnya sama sekali tidak ada pensyariatannya dari Allah Subhanahu wa
Ta’ala dan rasul-Nya. Dan ada yang asalnya disyariatkan oleh Allah Subhanahu wa
Ta’ala dan rasul-Nya dengan suatu sifat, waktu pelaksanaan, dan tempat tertentu,
kemudian dilaksanakan tidak sesuai yang ketentuan tersebut.

Misalnya orang yang menyatakan tentang wajibnya melaksanakan suatu sholat atau
puasa tertentu tanpa adanya dalil yang menunjukkan tentang kewajibannya dari Al
Qur’an maupun As Sunnah. Atau seorang yang mengada-adakan perkara bid’ah dalam
pelaksanaan wuquf di Arafah. Atau menganjurkan untuk melempar jumrah di selain
waktunya. Demikian pula orang yang menyatakan sunnahnya ibadah di suatu waktu
atau tempat tertentu tanpa adaya petunjuk dari Allah Subhanahu wa Ta’ala dan tidak
ada dalilnya yang syar’i. Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah Dzat yang Maha
Bijaksana kepada para hambanya, sehingga tidak ada hukum yang sesuai dengan
manusia kecuali hukum-Nya dan tidak ada agama yang benar kecuali agama-Nya.

Adapun perkara adat, seperti makanan, minuman, pakaian, pekerjaan, perindustrian,


dan semisalnya, maka asalnya diperbolehkan. Maka, barangsiapa yang menyatakan
haramnya suatu hal dari perkara-perkara tersebut, padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala
dan rasul-Nya tidak mengharamkannya maka ia adalah seorang yang mengada-adakan
perkara bid’ah. Perbuatan orang tersebut semisal dengan perbuatan orang-orang
musyrik yang mengharamkan sebagian makanan yang sebenarnya dihalalkan oleh
Allah Subhanahu wa Ta’ala dan rasul-Nya.

Demikian pula, perbuatan orang yang mengharamkan berbagai macam industri, serta
penemuan-pememuan baru tanpa adanya dalil yang mengharamkannya. Maka orang
yang melakukannya termasuk orang yang tersesat dan jahil.

Berkaitan dengan perkara adat ini, maka hal-hal yang haram darinya telah dirinci
dalam Al Kitab dan As Sunnah. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

‫حوحقود حف م‬
‫صل ح حلهكوم حما ححمرحم حعحلويهكوم‬

…Padahal sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-
Nya atasmu,…. [al- An’âm/6 : 119].

Dalam hal ini, perlu dipahami bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak mengharamkan
sesuatu pun kecuali itu adalah sesuatu yang buruk dan membahayakan. Oleh karena
itu, barangsiapa yang meneliti perkara-perkara yang haram maka ia akan mendapati
bahwa di dalamnya terkandung kejelekan dan bahaya baik untuk hati, badan, agama,
maupun dunia.

Maka termasuk sebesar-besar nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah bahwa Allah
Subhanahu wa Ta’ala mengharamkan apa-apa yang menimbulkan madharat untuk kita.
Dan termasuk nikmat-Nya yang terbesar adalah bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala
menghalalkan apa-apa yang menumbuhkan manfaat untuk kita.

Kedua kaidah ini mempunyai manfaat yang sangat besar. Di mana dengan kaidah
tersebut seseorang bisa mengetahui perkara-perkara bid’ah baik berkaitan dengan
ibadah maupun adat. Maka barangsiapa menyatakan tentang disyari’atkannya suatu
amalan ibadah padahal tidak ada tuntunannya di dalam syari’at maka ia adalah
seorang yang mengada-adakan perkara bid’ah. Dan barangsiapa yang mengharamkan
suatu perkara adat yang Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak mengharamkannya maka ia
adalah seorang pembuat perkara bid’ah pula.
(Sumber : Al-Qawâ’id wal-Ushûl al-Jûmi’ah wal-Furûq wat-Taqâsîm al-Badî’ah an-
Nâfi’ah, karya Syaikh ‘Abdur-Rahmân as-Sa’di, Tahqîq: Dr. Khâlid bin ‘Ali bin Muhammad
al-Musyaiqih, Dârul-Wathan, Cetakan II, Tahun 1422 H – 2001 M.)

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun XII/1429H/2008. Diterbitkan Yayasan


Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo
57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. HR Muslim dengan lafazh ini dalam kitab al-Aqdhiyah, Bab: Naqdhil Ahkamil-
Bathilah, no. 1718. Dan hadits ini disepakati oleh Bukhâri dan Muslim dengan lafazh:
‫ث جفي أحومجرحنا حهحذا حما لحوي ح‬
‫س جمونهه حفههحو حرلد‬ ‫حمون أحوححد ح‬

Barang siapa yang mengada-adakan dalam urusan (agama) kami ini yang bukan
(berasal) darinya maka ia tertolak. (Diriwayarkan oleh Bukhâri dalam kitab ash-Shulh,
Bab: Idza Ishthalahu ‘ala Amrin Jaur, no. 2697. Dan diriwayatkan Muslim di tempat
tersebut di atas.

Sumber: https://almanhaj.or.id/2505-kaidah-ke-6-hukum-asal-dalam-peribadahan-
adalah-dilarang.html

Kaidah Ketujuh :

‫شحتحرهط حمحع حذلجحك الير و‬


‫شهد‬ ‫صمحجتحها إجلم اولححمج حواولهعومحرحة حفحي ج‬
‫ حوهي و‬, ‫صمحاجن جمممون لحوم هيحمديوز‬ ‫شورةط لج ج‬ ‫شورةط لجهوهجوو ج‬
‫ب اولجعحباحدا ج‬
‫ حوالمتومجيويهز ح‬, ‫ت‬ ‫ف حوههحو اولهبلهووهغ حواولحعوقل ه ح‬
‫المتوكلجوي ه‬
‫ت‬ ‫صيرحفا ج‬
‫ حواولجمولهك جللمتحبيرحعا ج‬, ‫ت‬ ‫جللمت ح‬

Taklîf – yang memuat unsur baligh dan berakal- adalah syarat wajib beribadah (atas
seseorang, red). Adapun (usia) Tamyiiz menjadi syarat sah ibadah, kecuali dalam
ibadah haji dan umroh yang tetap sah bila dilaksanakan oleh orang yang belum
memasuki usia Tamyiiz. Selain syarat-syarat di atas, juga disyaratkan adanya sifat ar-
rusyd [1] dalam penggunaan harta (melakukan tasharruf) dan sifat kepemilikan untuk
melakukan tabarru’.

Penjelasan Kaidah
Kaidah ini mencakup beberapa pedoman yang menjadi dasar pelaksanaan ibadah, baik
ibadah wajib maupun sunat, dan juga dasar pelaksanaan akad tasharruf (wewenang
menggunakan harta dalam jual beli, sewa menyewa dsb.) dan tabarru’
(menyumbangkan harta, pent).
Maksudnya, seseorang yang mukallaf, yaitu orang yang telah baligh dan berakal, telah
terkena kewajiban untuk melaksanakan seluruh ibadah yang bersifat wajib, dan
pundaknya telah terbebani dengan seluruh beban syari’at.

Hal ini dikarenakan, Allah Azza wa Jalla Raûf Rahîm (Dzat yang Maha Santun dan Maha
Penyayang terhadap hamba-Nya). Sebelum seorang insan mencapai usia dimana ia
telah sanggup menjalankan ibadah-ibadah dengan sempurna, yaitu pada usia baligh,
maka Allah Azza wa Jalla tidak membebankan beban-beban syariat kepadanya.
Demikian pula, jika seseorang tidak memiliki akal (gila atau tidak sadar, red) – yang
menjadi hakikat seorang insan-, maka ia lebih utama untuk tidak dikenai beban. Orang
yang tidak memiliki akal, tidak berkewajiban melaksanakan ibadah apapun dan jika
pun ia mengerjakannya, maka apa yang dilakukan tidak sah. Karena, ada diantara
syarat-syarat dalam pelaksanaan ibadah yang tidak terpenuhi yaitu niat. Niat tidak
mungkin terwujud dari orang yang tidak berakal.

Usia baligh dapat diketahui dengan beberapa tanda di antaranya dengan keluarnya air
mani, baik dalam keadaan terbangun ataupun ketika tidur, atau jika telah genap
berusia lima belas tahun, atau dengan tumbuhnya bulu kasar di sekitar kemaluan.
Ketiga tanda tersebut berlaku untuk laki-laki maupun perempuan. Dan khusus untuk
perempuan ada satu tanda lagi yang menunjukkan dia telah baligh yaitu haid. Jika ia
telah haid, berarti ia telah baligh.

Perlu diperhatikan, dalam perjalanan usianya, seorang manusia akan memasuki fase
tamyîz sebelum memasuki fase baligh. Seorang yang telah masuk fase tamyîz (berusia
tujuh tahun), maka ia diperintahkan untuk melaksanakan sholat dan ibadah-ibadah
yang mampu ia kerjakan. Ibadah-ibadah tersebut bukan berstatus wajib atas dirinya,
karena ia belum baligh. Jika telah berusia sepuluh tahun, namun ia belum juga mau
rutin dalam melaksanakan sholat maka orang tuanya disyariatkan memukulnya
dengan pukulan yang tidak melukai, dalam kerangka pendidikan (dan pembinaan),
bukan dalam kerangka sedang mewajibkan.

Dari sini dapat diketahui bahwa semua ibadah yang dikerjakan oleh anak-anak yang
telah mencapai usia tamyîz itu telah sah. Karena jika dia telah bisa membedakan
beberapa hal serta secara global bisa mengetahui mana yang bermanfaat dan mana
yang berbahaya, berarti ia memiliki akal yang bisa ia pakai untuk merangkai niat
dalam melaksanakan ibadah dan kebaikan.

Sedangkan anak yang belum sampai pada usia tamyîz, maka semua ibadahnya tidak
sah. Karena dalam kondisi seperti ini, ia sama dengan orang yang tidak berakal yang
tidak mempunyai niat yang shahih. Kecuali dalam ibadah haji dan umrah. Kedua
ibadah ini tetap sah, kendati dikerjakan oleh anak yang belum mencapai usia tamyîz.
Dalam sebuah hadits yang shahîh diterangkan :

‫ حنحعوم حوحلجك أحوجةر‬: ‫ أحلجحهحذا ححةج ؟ حقال ح‬: ‫ حفحقالحوت‬, ‫صجبنيا جفي اولحموهجد‬
‫حرحفحعوت إجلحويجه اومحرأحةة ح‬

Seorang wanita mengangkat seorang anak kecil yang masih digedong kearah
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , lalu ia bertanya : Bolehkah anak ini
melaksanakan haji ? Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab : Boleh dan bagimu
pahala. [2]

Dengan demikian, anak yang belum mencapai usia tamyîz, jika melaksanakan ibadah
haji ataupun umrah, maka ibadahnya sah. Dalam hal ini, walinya yang meniatkannya
untuk ihram dan menjauhkannya dari perkara-perkara yang dilarang ketika ihram.
Demikian pula, si wali harus membawa si anak untuk hadir di tempat-tempat manasik
haji dan tempat-tempat masya’ir semuanya. Dan si wali mewakili si anak dalam
mengerjakan manasik yang tidak mampu ia kerjakan seperti melempar jumrah.

Selain ibadah haji dan umrah, ibadah mâliyyah termasuk ibadah yang diperkecualikan.
Karena ibadah mâliyah seperi membayar zakat, nafkah wajib serta kaffârah adalah
wajib atas semua orang; dewasa, anak kecil, yang berakal ataupun orang yang tidak
berakal. Hal ini berdasarkan keumuman nash baik dari perkataan maupun perbuatan
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam .[3]

Adapun dalam masalah tasharruf (wewenang menggunakan harta untuk jual beli, sewa
menyewa dsb.), maka disamping disyaratkan baligh dan berakal juga ditambah rusyd.
Karena tujuan utama dalam tasharruf ini adalah menjaga harta. Rusyd maksudnya
orang tersebut mempunyai sifat bijak dalam penjagaan dan pemanfaatan harta
tersebut serta memahami akad. Allah Azza wa Jalla berfirman :

‫شندا حفاودحفهعوا إجحلويجهوم أحومحواحلههوم‬


‫حواوبحتهلوا اولحيحتاحمىى ححمتىى إجحذا حبحلهغوا الدنحكاحح حفإجون آحنوسهتوم جمونههوم هر و‬

Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika
menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka
serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. [an Nisâ’/4: 6]

Dalam ayat ini, Allah Azza wa Jalla memberikan syarat kepada wali yang mengurusi
anak yatim dalam menyerahkan harta kepada anak yatim tersebut, yaitu telah
terpenuhi dua syarat pada anak yatim. Dua sifat itu adalah baligh dan rusyd. Jika
walinya masih ragu, apakah syarat rusyd telah terpenuhi atau belum, maka Allah Azza
wa Jalla memerintahkan untuk menguji kemampuan anak tersebut dalam menjaga dan
membelanjakan harta. Jika anak tersebut ternyata telah mempunyai kemampuan yang
baik, maka harta anak yatim yang ada dalam kekuasaan wali bisa diserahkan kepada
si yatim. Namun jika belum, maka hartanya tetap ditahan (tetap berada di tangan wali,
red) guna menghindarkannya dari penyia-nyiaan terhadap harta.

Dari sini dapat diketahui bahwa baligh, berakal dan mempunyai sifat rusyd merupakan
syarat sah melakukan semua bentuk muamalah (jual beli, sewa menyewa dan
semisalnya). Orang yang tidak memenuhi persyaratan ini maka semua muamalah yang
dia lakukan tidak sah dan hendaklah dilarang dari melakukan muamalat.

Adapun masalah tabarru’ (menyumbangkan harta) yaitu memberikan harta dengan


tanpa imbalan, bisa berupa hibah, sedekah, wakaf, membebaskan budak, dan
semisalnya, maka selain persyaratan baligh, berakal, dan rusyd, orang yang
bertabarru’ haruslah orang yang memiliki harta tersebut. Sehingga akadnya menjadi
sah. Karena orang yang sekedar menjadi wakil dari pemilik harta, atau orang yang
sekedar diberi wasiat, saksi wakaf, ataupun wali anak yatim dan wali orang gila, jika
ia yang melakukan tabarru’ dengan harta orang yang menjadi tanggungannya itu,
akadnya tidak sah. Allah Azza wa Jalla berfirman:

‫حوحل حتوقحرهبوا حمال ح اولحيجتيجم إجمل جباملجتي جهحي أحوح ح‬


‫سهن‬
Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih
bermanfa`at. [al-An’âm/6: 152]

Yaitu, dengan cara yang baik untuk harta mereka, lebih menjaga dan lebih bermanfaat
untuk harta mereka tersebut. Wallahu a’lam.

(Sumber : Al-Qawâ’id wal-Ushûl al-Jûmi’ah wal-Furûq wat-Taqâsîm al-Badî’ah an-


Nâfi’ah, karya Syaikh ‘Abdur-Rahmân as-Sa’di, Tahqîq: Dr. Khâlid bin ‘Ali bin Muhammad
al-Musyaiqih, Dârul-Wathan, Cetakan II, Tahun 1422 H – 2001 M.)

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun XII/1429H/2008. Diterbitkan Yayasan


Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo
57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Penulis akan menerangkan maknanya di akhir pembahasan.
[2]. HR. Muslim dalam Kitâbul Hajj bab Shihhatu Hajjis Shabiyyi, no. 1336, dari Ibnu
‘Abbâs Radhiyallahu anhu.
[3]. Berdasarkan hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwa Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda :
‫صحفاجئهح جمون حنادر‬ ‫ضدة لح هيحؤددي جمونحها ححمقحها إجلم إجحذا حكاحن حيووهم اولقجحياحمجة ه‬
‫صفجححوت لحهه ح‬ ‫ب حذحه د‬
‫ب حولح فج م‬ ‫ح ج‬ ‫… حما جمون ح‬.
‫صا ج‬

Tidak ada seorang pemilik emas ataupun perak yang tidak ia tunaikan hak yang wajib
untuk ia bayarkan darinya (berupa zakat) kecuali pada hari Kiamat nanti hartanya
akan dijadikan lempengan-lempengan yang dipanaskan dalam neraka untuk
menyiksanya….[HR. Muslim dalam Kitâbuz Zakâh bab Itsmi Mâni’iz Zakâh 2/680]

Sumber: https://almanhaj.or.id/2506-kaidah-ke-7-taklif-adalah-syarat-wajib-beribadah-
adapun-tamyiiz-menjadi-syarat-sah-ibadah.html

Kaidah Kedelapan :

‫شهرووجطحها حوأحورحكاجنحها حواونجتحفاهء حمحواجنجعحها‬ ‫الحوححكاهم وال ه ه‬


‫ هوهجووهد ه‬: ‫صوولجميهة حواولفههرووجعميهة لح حتجتيم إجلم جبأ حومحرويجن‬

Hukum-Hukum Syar’i, Baik Perkara Ushul (Pokok) Maupun Furu’ (Cabang) Tidak Akan
Sempurna Kecuali Dengan Dua Hal : Terpenuhinya Syarat Dan Rukunnya Serta Tidak
Adanya Mawâni’ (Penghalang Akan Keabsahannya)

Kaidah agung ini mencakup permasalahan-permasalahan dalam syari’at, baik yang


bersifat ushûl (permasalahan pokok) maupun furu’ (permasalahan cabang).

Di antara sisi manfaat terbesar kaidah ini bahwa kita banyak menjumpai nash-nash
(dalil-dalil) memuat janji akan masuk surga dan selamat dari neraka dengan
melaksanakan amalan-amalan tertentu. Begitu juga banyak nash-nash yang berisi
ancaman masuk neraka, terhalang masuk surga atau ancaman tidak bisa
mendapatkan sebagian nikmat surga. Untuk memahami nash-nash tersebut tidaklah
cukup dengan melihat makna lahiriahnya (tekstual) semata (tanpa
menghubungkannya dengan dalil dan kaidah-kaidah syar’i yang lain).

Demikian pula, nash-nash tentang ancaman bagi seseorang yang mengerjakan suatu
larangan tertentu bahwa ia akan dimasukkan ke neraka atau diharamkan masuk surga
atau diharamkan dari sebagian nikmat surga, maka realisasi nash-nash itu pun harus
dikaitkan dengan terpenuhinya syarat-syarat yang telah ditetapkan dan disertai
dengan tidak adanya mawâni’ (faktor-faktor penghalangnya).

Dengan penjelasan tersebut, maka terjawablah pertanyaaan dan masalah mengenai


maksud banyak nash-nash yang memuat janji dan ancaman.

Oleh karena itu, jika ada yang berkata : “Telah disebutkan dalam syari’at bahwa
seseorang yang mengucapkan perkataan tertentu atau mengerjakan amal tertentu,
maka ia akan dimasukkan ke dalam surga. Apakah sudah cukup mengerjakan yang
demikian itu bagi seseorang ?”

Maka jawabannya adalah bahwa kita wajib mengimani seluruh nash dalam a-Qur`ân
dan Hadits. Maka, selain mengerjakan amal perbuatan yang menjadi sebab seseorang
dijanjikan masuk surga, harus pula disertai dengan keimanan, dan melakukan
perbuatan-perbuatan lain yang disyaratkan dalam syari’at. Ditambah lagi, mawâni’
(faktor-faktor penghalang) mesti nihil semisal murtad (keluar dari Islam) atau
penghalang lain yang menghapuskan amal kebaikan.

Demikian pula jika seseorang berkata, “Allah Azza wa Jalla telah menyebutkan dalam
kitab-Nya perihal balasan masuk neraka kekal bagi orang yang membunuh seorang
mukmin secara sengaja, apakah pasti faktanya pasti demikian ?

Maka jawabannya, bahwa perbuatan membunuh seorang mukmin secara sengaja


termasuk faktor penyebab yang mengharuskan si pelaku masuk neraka kekal di
dalamnya. Akan tetapi dalam hal ini, jika yang melakukannya adalah seorang mukmin,
maka dijumpai adanya penghalang pada dirinya (untuk kekal abadi di neraka, red)
yaitu keimanannya. Nash-nash tentang persoalan ini datang secara mutawâtir (banyak
sekali). Dan para ulama Salaf telah bersepakat bahwa orang yang mempunyai
keimanan dan tauhid yang benar, maka ia tidak akan kekal abadi di neraka jika ia
masuk ke sana.

Atas dasar itu, nash-nash lain yang semisal dengannya, maka cara memahaminya
adalah sebagaimana contoh di atas.

Bertolak dari kaidah ini pula, Ahlussunnah wal jama’ah menyatakan adakalanya
terkumpul cabang keimanan dan cabang kekufuran atau kemunafikan pada diri
seseorang. Dan terkadang cabang kebaikan dan cabang kejelekan berpadu pada
dirinya. Adakalanya pula terkumpul antara perkara yang mendatangkan pahala dan
perkara yang memunculkan adzab dalam diri satu orang, berdasarkan nash-nash yang
banyak tentang itu. Oleh karena itu, di waktu pemberian balasan amal, perhitungan
amal dilakukan. Dan hal itu juga merupakan pengaruh dari sifat adil dan hikmah Allah
Azza wa Jalla .
(PENERAPAN KAIDAH) :
– Termasuk pula dari penerapan kaidah ini adalah pelaksanaan ibadah sholat.
Ibadah tersebut tidak sah sampai terpenuhi syarat-syaratnya, rukun-rukunnya, dan
kewajiban-kewajiban yang ada di dalamnya. Serta tiadanya pembatal-pembatal sholat
dalam bentuk pengurangan baik syarat atau rukunnya tanpa alasan yang dibenarkan
atau melakukan sesuatu yang membatalkan sholat tersebut.
– Ibadah puasa.
Seseorang tidak sah puasanya kecuali dengan memenuhi seluruh perkara yang wajib
dalam puasa tersebut, memenuhi syarat-syaratnya, dan tiadanya penghalang terhadap
keabsahannya yaitu pembatal-pembatal puasa.
– Demikian pula haji dan umroh.

– Dan juga masalah jual-beli, serta seluruh muamalah (transaksi), aktifitas barter
barang ataupun segala jenis tabarru’ (pendonoran kekayaan). Semua perkara tersebut
akan menjadi sah jika syarat-syaratnya terpenuhi dan hal-hal yang merusak dan
membatalkannya tidak ada.

– Termasuk juga permasalahan warisan. Seseorang tidak bisa mendapatkan warisan


jika tidak ada padanya faktor penyebab untuk memperoleh warisan, dan belum
terpenuhinya syarat-syarat untuk itu. Demikian juga, pembagian warisan tidak dapat
dilakukan kecuali telah diketahui tidak ada penghalang untuk menerimanya, seperti
terdakwa sebagai pembunuh (orang yang akan diwarisi hartanya), berstatus sebagai
budak, dan adanya perbedaan agama.

– Masalah nikah. Tidaklah sah suatu pernikahan sampai dipenuhinya syarat-syarat dan
rukun-rukun nikah, serta tidak ada faktor penghalang keabsahan pernikahan tersebut.

– Demikian pula permasalahan had (penegakan hukum pidana)), pelaksanaan qishâsh,


dan hukum-hukum lainnya, haruslah syarat-syaratnya sudah terpenuhi dan seluruh
faktor penghalangnya tidak ada. Semua ini secara terperinci dijelaskan dalam kitab-
kitab fiqih.

KESIMPULAN
Setiap ibadah, muamalah, ataupun akad yang tidak sah, maka hal itu disebabkan oleh
salah satu dari dua kemungkinan, adakalanya disebabkan tidak terpenuhinya sesuatu
yang harus ada di dalamnya atau karena adanya suatu penghalang khusus yang
membatalkannya. Wallahu a’lam.
(Sumber : Al-Qawâ’id wal-Ushûl al-Jûmi’ah wal-Furûq wat-Taqâsîm al-Badî’ah an-
Nâfi’ah, karya Syaikh ‘Abdur-Rahmân as-Sa’di, Tahqîq: Dr. Khâlid bin ‘Ali bin Muhammad
al-Musyaiqih, Dârul-Wathan, Cetakan II, Tahun 1422 H – 2001 M.)

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun XII/1430H/2009. Diterbitkan Yayasan


Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo
57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
Sumber: https://almanhaj.or.id/2507-kaidah-ke-8-hukum-syari-tidak-akan-sempurna-
kecuali-terpenuhi-syarat-dan-rukunnya.html

Kaidah Kesembilan :

‫ حوحلوم حيهحمدهه جبححود‬,‫شاجرهع‬


‫ف حواولحعاحدةه هيورحجهع إجحلويجه جفي هكل د هحوكدم حححكحم جبجه ال م‬
‫الهعور ه‬

‘Urf Dan Kebiasaan Dijadikan Pedoman Pada Setiap Hukum Dalam Syariat Yang
Batasannya Tidak Ditentukan Secara Tegas

Kaidah ini mencakup berbagai aspek dalam syariat, baik muamalat, penunaikan hak,
dan yang lain. Karena penentuan hukum suatu perkara dalam syariat dilakukan
dengan dua tahapan, yaitu :

1. Mengetahui batasan dan rincian perkara yang akan dihukumi.


2. Penentuan hukum terhadap perkara tersebut sesuai ketentuan syar’i.
Apabila Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya telah menentukan hukum sesuatu
secara jelas, baik wajib, sunat, haram, makruh, ataupun mubah, juga telah dijelaskan
batasan dan rinciannya, maka kewajiban kita adalah berpegangan dengan rincian dari
Allah Azza wa Jalla sebagai penentu syariat ini. Misalnya, dalam perintah shalat, Allah
Azza wa Jalla telah menjelaskan batasan-batasan dan rincian-rinciannya. Oleh karena
itu, kita wajib berpegang dengan perincian ini. Begitu juga dengan amalan-amalan
lain, seperti zakat, puasa, dan haji, Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya n telah
menjelaskannya secara detail.

Sedangkan jika Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya telah mensyariatkan


sesuatu, sementara batasan dan penjelasan detailnya tidak disebutkan secara tegas,
maka dalam masalah seperti ini, al-‘urf (adat) dan kebiasan yang telah populer di
tengah-tengah masyarakat bisa dijadikan pedoman untuk menentukan batasan dan
rincian perkara tersebut.

Dalam mengembalikan batasan suatu perkara kepada adat kebiasaan tersebut,


terkadang Allah Azza wa Jalla menyebutkannya secara langsung. Misalnya, firman
Allah Azza wa Jalla tentang perintah kepada para suami untuk mempergauli isteri
dengan baik :

‫حوحعاجشهروههمن جباولحموعهرو ج‬
‫ف‬

Dan bergaullah dengan mereka dengan cara ma’ruf. [an-Nisâ’/4 : 19]

Kata ‘ma’ruf’’ (yang baik) dalam ayat tersebut mencakup sesuatu yang baik menurut
syariat, juga yang baik menurut akal.

Demikian pula, firman Allah Azza wa Jalla :

‫حووأهمور جباولهعور ج‬
‫ف‬

Dan perintahkanlah manusia untuk mengerjakan yang ma`ruf. [al-A’râf/7: 199]


Dari sini, kita dapat mengetahui bahwa dalam perkara-perkara syar’i yang tidak
ditentukan batasannya secara tegas dalam syariat, maka rincian batasannya
dikembalikan kepada adat kebiasaan yang telah dikenal di tengah-tengah manusia.
Penerapan kaidah yang mulia ini dapat dilihat pada contoh-contoh berikut:

1. Perintah Allah Azza wa Jalla agar kita melakukan ihsan (berbuat baik) kepada kedua
orang tua, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, orang yang sedang
dalam perjalanan, dan ihsan kepada seluruh makhluk. Maka, segala sesuatu yang
dianggap baik di masyarakat masuk dalam kandungan perintah ini. Karena Allah Azza
wa Jalla menyebutkan kalimat ihsan secara mutlak (umum). Ihsan lawan kata dari
isâ’ah (berbuat jelek). Pengertian kata ihsan bahkan juga bertentangan segala upaya
menahan kebaikan baik dalam bentuk perkataan, perbuatan atau harta.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda dalam hadits yang shahih :

‫صحدحقةة‬ ‫هكل ي حموعهروو د‬


‫ف ح‬

Setiap perkara yang ma’ruf adalah shadaqah.[1]

Hadits ini merupakan nash (dalil) tegas yang menunjukkan bahwa setiap ihsan
(perbuatan baik) dan ma’ruf yang dikerjakan seseorang itu adalah sedekah.

2. Dalam setiap akad ataupun tabarru’ (sumbangan), di antara syarat sahnya adalah
keridhaan dua belah pihak. Namun syariat tidak menentukan lafazh tertentu secara
tegas untuk melakukan akad ini ataupun yang menunjukkan keridhaan tersebut. Oleh
karena syariat tidak menentukan lafazh tertentu, maka semua lafazh dan perbuatan
yang menunjukkan bahwa telah terjadi akad dan keridhaan dari kedua belah bisa
digunakan dan akadnya sah.[2]
Namun, dalam hal ini para Ulama mengecualikan beberapa masalah. Mereka
mengharuskan adanya ucapan supaya akadnya sah, misalnya dalam akad nikah. Para
Ulama mengatakan : “Harus ada ucapan îjâb (serah) dan qabûl (terima) dalam akad
nikah.” Demikian pula, dalam persoalan talak (perceraian). Talak tidak sah kecuali
dengan ucapan atau tulisan si suami.
3. Dalam akad-akad yang disyaratkan adanya qabdh (serah terima secara langsung).
Pelaksanaan qabdh ini sesuai dengan adat kebiasaan yang ada dan bentuknya pun
berbeda-beda. Bila dalam satu masyarakat tertentu, ada tindakan yang sudah
dianggap sebagai bentuk serah terima secara langsung, maka itu bisa dijadikan
pedoman dalam menjelaskan makna qabdh dan pelaksanaannya.

4. Demikian pula tentang al-hirz (tempat penyimpanan harta yang layak). Seseorang
yang mendapatkan amanah untuk menjaga harta orang lain, ia wajib menyimpan dan
menjaga harta yang diamanahkan kepadanya itu di tempat penyimpanan yang layak
menurut kebiasaan masyarakat sekitarnya. Masing-masing harta mempunyai tempat
penyimpanan yang layak sesuai dengan adat kebiasaan masyarakat setempat. Jika ini
sudah dilakukan, kemudian barang tersebut hilang atau dicuri, maka orang yang diberi
amanah tidak wajib menggantinya. Ini berarti standar kelayakan itu mengikuti urf
(adat kebiasaan setempat).
Namun, jika orang yang mendapatkan amanah ini tidak hati-hati atau lalai dalam
menjaga sehingga mengakibatkan barang yang diamanahkan kepadanya rusak atau
hilang, maka ia wajib bertanggungjawab atas kerusakan atau kehilangan barang
tersebut. Dalam hal ini, untuk menentukan apakah ia hati-hati atau tidak,
dikembalikan kepada kebiasaan yang berlaku pada masyarakat setempat. Jika
standar setempat menilai dia tidak hati-hati, maka dia wajib mengganti. Namun jika
dinilai sudah berhati-hati, maka tidak wajib mengganti.

5. Orang yang mendapatkan luqâthah (barang temuan), ia wajib mengumumkan barang


temuannya selama setahun untuk mencari pemiliknya. Cara mengumumkannya,
disesuaikan dengan adat kebiasaan masyarakat setempat. Apabila telah diumumkan
selama satu tahun, namun tidak juga diketahui pemiliknya, maka barang tersebut
menjadi hak milik si penemu.

6. Mengenai wakaf, maka penggunaan harta yang diwakafkan itu dikembalikan kepada
syarat dan ketentuan dari orang yang mewakafkan, selama tidak menyelisihi syariat.
Namun, jika syarat dan ketentuan tersebut tidak diketahui oleh orang yang
mewakafkan, maka penggunaannya disesuaikan dengan adat kebiasaan masyarakat
setempat.

7. Secara hukum asal, kepemilikan suatu barang ditetapkan berdasarkan kenyataan


keberadaan barang tersebut. Apabila barang tersebut secara nyata berada di tangan
seseorang, maka barang tersebut ditentukan sebagai miliknya, kecuali jika ada bukti
yang memalingkan dari hukum asal tersebut.

8. Perintah untuk memberikan nafkah kepada isteri, sanak kerabat, hamba sahaya,
pekerja, dan semisalnya secara ma’ruf. Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya telah
menyebutkan secara tegas untuk kembali kepada ‘urf (adat kebiasaan masyarakat
setempat) dalam mu’asyarah (mempergauli) isteri secara baik.[3] Makna mu’asyarah
lebih umum daripada memberikan nafkah. Karena mu’asyarah mencakup seluruh
urusan yang berkaitan dengan hubungan antara suami dan isteri, baik dengan
perkataan, perbuatan, dan lainnya. Dan semua itu dikembalikan kepada kebiasaan
yang berlaku pada masyarakat setempat.

9. Seorang wanita yang mengalami istihâdhah (mengeluarkan darah penyakit-red), tapi


tidak bisa membedakan antara darah istihadhah dengan darah haidnya, maka ia
menentukan lama haidnya sesuai kebiasaan sebelum mengalami istihadhah. Namun,
jika ia tidak mengetahui kebiasaan haidnya sebelum mengalami istihadhah karena
lupa atau alasan lainnya, maka ia menentukan lama waktunya sesuai dengan
kebiasaan haid wanita di keluarganya, kemudian juga kebiasaan wanita di daerahnya.

10. Keberadaan ‘aib (cacat dalam barang dagangan), ghabn (menjual atau membeli
dengan harga yang jauh dari harga pasar umumnya), dan tadlîs (menutupi cacat yang
ada pada barang dagangan). Batasan dalam semua masalah ini dikembalikan kepada
‘urf. Kapan saja suatu kondisi dianggap mengandung unsur ‘aib, ghabn, atau tadlîs
dalam adat kebiasaan masyarakat, maka berlakulah hukum yang terkait dengannya.
11. Dalam satu pernikahan yang maharnya tidak disebutkan secara jelas, atau
disebutkan namun fasid (tidak sesuai ketentuan syar’i), maka penentuan maharnya
dikembalikan kepada mahrul mitsl (standar mahar yang berlaku secara umum di
masyarakat setempat). Nilai mahar tersebut sesuai dengan perbedaan wanita,
perbedaan waktu, dan perbedaan tempat.

Contoh-contoh penerapan kaidah di atas sangat banyak dan bisa dilihat dalam kitab-
kitab hukum yang ditulis oleh para Ulama. Wallahu a’lam.

(Sumber : Al-Qawâ’id wal-Ushûl al-Jûmi’ah wal-Furûq wat-Taqâsîm al-Badî’ah an-


Nâfi’ah, karya Syaikh ‘Abdur-Rahmân as-Sa’di, Tahqîq: Dr. Khâlid bin ‘Ali bin Muhammad
al-Musyaiqih, Dârul-Wathan, Cetakan II, Tahun 1422 H – 2001 M.)

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun XII/1430H/2009. Diterbitkan Yayasan


Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo
57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. HR. al-Bukhâri no. 6021 dan Muslim no. 1005.
[2]. Dalam al-Ikhtiyârât, hlm. 121, Syaikhul Islam t berkata : Setiap ucapan ataupun
perbuatan yang telah menjadi adat kebiasaan manusia menunjukkan akad jual beli
atau hibah, maka jual beli atau hibah ini sah dengan ucapan dan perbuatan tersebut.
(al-Ikhtiyârât, hlm. 121)
[3]. Di antaranya firman Allah Azza wa Jalla dalam surat an-Nisâ’ : 19. Dan berdasarkan
hadits dari Aisyah Radhiyallahu anhuma, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
telah bersabda kepada Hindun Radhiyallahu anhuma :
‫هخجذوي حما حيوكفجويجك حوحوحلحدجك جباولحموعهروو ج‬
‫ف‬

Ambillah (dari harta tersebut) untuk memenuhi kebutuhan dirimu dan anakmu sesuai
yang ma’ruf. (HR. Bukhâri dalam Kitâb al-Buyû’, Bab Man Ajrâ Amral Amshâri ‘ala Mâ
Yata’ârafân…., No. 2211. Muslim dalam Kitâb al- Aqdhiyah, Bab Qadhiyyatu Hindin, No.
1714.

Sumber: https://almanhaj.or.id/2508-kaidah-ke-9-urf-dan-kebiasaan-dijadikan-pedoman-
pada-setiap-hukum-dalam-syariat.html

QAWA’ID FIQHIYAH
Kaidah Kesepuluh :
‫ حوحنوحجوحها‬,‫ حوالمدحعاحوى‬,‫ حواولحيجمويهن حعحلى حمون أحونحكحر جفي حججمويجع اولهحقهووجق‬,‫الحبديحنهة حعحلى اولهممدجعي‬

Bukti Wajib Didatangkan Oleh Orang yang Menuduh, Dan Sumpah Itu Wajib Bagi Yang
Mengingkari Tuduhan Itu, Hal Ini Berlaku Dalam Seluruh Persengketaan Hak, Tuntutan,
Dan Semisalnya
Kaidah yang mulia ini telah disebutkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam
salah satu sabdanya. Di mana beliau bersabda :

‫ حواولحيجمويهن حعحلى اولهمونجكجر‬,‫الحبديحنهة حعحلى اولهممدجعي‬

Bukti itu harus didatangkan oleh orang yang menuduh, dan sumpah itu wajib bagi
orang yang mengingkari tunduhan itu. [HR. Baihaqi dengan sanad shahih dan asal
hadits ini ada dalam As Shahihain].[1]

Para ahli ilmu telah bersepakat tentang eksistensi kaidah ini. Di mana kaidah ini
sangat dibutuhkan oleh para qâdhi (hakim), mufti (pemberi fatwa), dan dibutuhkan
pula oleh setiap orang.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

‫خحطا ج‬
‫ب‬ ‫حوكحمحة حوحف و‬
‫صل ح اول ج‬ ‫حوآححتويحناهه اول ج‬

Dan Kami berikan kepadanya hikmah dan kebijaksanaan dalam menyelesaikan


perselisihan. [Shâd/38 : 20]

Sebagian ulama’ menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan fashlul khithâb


(kebijaksanaan dalam menyelesaikan perselisihan) dalam ayat tersebut adalah
kaidah : ” Bukti itu harus didatangkan oleh orang yang menuduh, dan sumpah itu wajib
bagi orang yang mengingkari tunduhan itu.” Penerapan kaidah ini mengharuskan
terlepasnya perkara-perkara yang samar dan terurainya seluruh persengketaan. Maka
tidak diragukan lagi bahwa hal itu termasuk dalam kategori fashlul khithâb. Karena
fashlul khithâb memiliki makna yang lebih luas dari makna yang terkandung dalam
kaidah tersebut.

Barangsiapa yang mengklaim bahwa barang yang ada di tangan orang lain adalah
miliknya, atau mengklaim bahwa orang lain punya hutang darinya, atau menyatakan
bahwa orang lain mempunyai kewajiban yang harus ia tunaikan kepadanya, maka ia
harus mendatangkan bukti atas tuntutannya tersebut.

Adapun yang dimaksud dengan bukti adalah setiap hal yang menunjukkan benarnya
tuntutan orang tersebut. Yang mana, kadar bukti tersebut berbeda-beda sesuai dengan
perbedaan perkara yang dipersengketakan.

Apabila orang yang menuntut atau menuduh itu tidak bisa mendatangkan bukti, maka
orang yang dituntut diperintahkan untuk bersumpah dalam rangka menolak tuduhan
tersebut.

Demikian pula, jika telah tetap adanya suatu kewajiban yang harus ditunaikan oleh
seseorang, berupa hutang yang harus ia bayar atau selainnya, kemudian ia mengklaim
bahwa kewajiban tersebut telah ia tunaikan atau telah ia lunasi, maka secara asal
kewajiban tersebut masih ada dalam tanggungannya kecuali jika ia bisa
mendatangkan bukti bahwa kewajibannya tersebut telah ia lunasi. Adapun jika ia tidak
bisa mendatangkan bukti, maka cukuplah bagi orang yang berhak menerima
pelunasan kewajiban tersebut untuk menyatakan sumpah bahwasannya orang
tersebut belum menunaikan kewajibannya, dan keputusan hukum berpihak kepada si
penerima hak itu.

Berkaitan dengan orang yang mengklaim bahwa dirinya berhak untuk memperoleh
bagian dalam wakaf atau warisan tertentu, maka wajib baginya untuk mendatangkan
bukti yang memastikan bahwa ia memang benar-benar berhak mendapatkan bagian
tersebut. Apabila ia tidak bisa mendatangkan bukti tersebut maka ia tidaklah berhak
menerima bagian dari wakaf atau warisan tersebut.

Adapun yang dimaksud dengan bayyinah (bukti) dalam persengketaan harta, hak-hak,
serta kesepakatan-kesepakatan, adakalanya terdiri atas dua orang laki-laki yang adil,
atau seorang laki-laki dan dua orang perempuan, atau seorang laki-laki dan sumpah si
penuntut, atau dakwaan si penuntut dan ketidaksediaan si tertuntut untuk
mengucapkan sumpah.

Dalam hal ini, jika harta yang diperkarakan tersebut berada di tangan orang yang tidak
mengklaim harta tersebut sebagai miliknya, maka bukti si penuntut adalah pensifatan
atau ( penggambaran )nya terhadap barang tersebut dengan sifat yang sesuai.
Misalnya, ada seseorang yang menemukan luqâthah (barang temuan). Kemudian
setelah berselang beberapa waktu datanglah kepadanya seseorang yang
mendakwakan mengaku bahwa barang yang ditemukan tersebut adalah miliknya,
maka, orang yang mengklaim tersebut harus mendatangkan bukti kebenarannya
dengan menyebutkan sifat barang tersebut secara tepat. Maka, pensifatan
(penggambaran) merupakan bukti dalam dakwaan jika pemegang harta tersebut tidak
menganggap harta itu sebagai miliknya. Wallâhu a’lam.

(Sumber : Al-Qawâ’id wal-Ushûl al-Jûmi’ah wal-Furûq wat-Taqâsîm al-Badî’ah an-


Nâfi’ah, karya Syaikh ‘Abdur-Rahmân as-Sa’di, Tahqîq: Dr. Khâlid bin ‘Ali bin Muhammad
al-Musyaiqih, Dârul-Wathan, Cetakan II, Tahun 1422 H – 2001 M.)

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun XII/1430H/2009. Diterbitkan Yayasan


Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo
57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
‫ ) إجمن املجذويحن حي و‬No. 4552. Muslim
‫شحتهرووحن جبحعوهجد ج‬
[1]. HR. Bukhâri dalam Kitab At Tafsir, Bab ( … ‫ا‬
dalam Kitab Al Aqdhiyah, Bab Al Yamin ‘ala Al Mudda’a ‘alaihi, No. 1771, dari Ibnu
Abbas-radhiyallahu ‘anhuma-. Lafadz hadits ini menurut riwayat Muslim adalah :
‫ حوحلجكجن اولحيجمويهن حعحلى اولهممدحعى حعحلويجه‬,‫س جدحماحء جرحجادل حوأحومحوالججهوم‬ ‫حلوو هيوعحطى المنا ه‬
‫س جبحدوعحواههوم حلمدحعى المنا ه‬

Apabila setiap manusia diberikan semua tuntutan-tuntutannya, maka mereka akan


menuntut darah dan harta. Akan tetapi sumpah itulah yang wajib bagi yang dituntut.

Sumber: https://almanhaj.or.id/2509-kaidah-ke-10-bukti-wajib-didatangkan-oleh-orang-
yang-menuduh.html

Anda mungkin juga menyukai