Anda di halaman 1dari 46

LEMBAR PENGESAHAN

1. Judul Penelitian : Uji Multilokasi dan Evaluasi Ketahanan Terhadap


Penyakit Varietas Lokal Tembakau Magetan

2. Unit Kerja Pelaksana : Balai Penelitian Tanaman Pemanis dan Serat

3. Alamat Unit Kerja : Jl. Raya Karangploso Km.4 Malang.


Telp. (0341) 491447 Fax (0341) 485121
E-mail: balittas@litbang.deptan.go.id

4. Diusulkan melalui : Kerjasama dengan Dinas Kehutanan Dan Perkebunan


Kabupaten Magetan

5. Status Penelitian : Lanjutan

6. Penanggung Jawab Penelitian:


a. Nama : Ir. Fatkhur Rochman
b. Pangkat/Golongan : Pembina/IV-a
c. Jabatan : Peneliti Madya

7. Lokasi Penelitian : Kecamatan Parang – Kab. Magetan

8. Jangka Waktu : 1 Tahun

9. Tahun Anggaran : 2014

10. Biaya : Rp. 250.000.000,-


(Dua Ratus Lima Puluh Juta Rupiah)

Mengetahui, Malang, 13 November 2014


Penanggung Jawab Program Penanggung Jawab Kegiatan
Penelitian Tembakau

Ir. Djajadi, M.Sc,. Ph.D. Ir. Fatkhur Rochman


NIP. 19610214 198603 1 001 NIP. 19620202 198503 1 004

Mengetahui,
Kepala Balai Penelitian Tanaman Pemanis dan Serat

Ir. Mastur, M.Si., Ph.D


NIP. 19631206 198903 1 001

1
I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Produksi rokok Indonesia didominasi oleh rokok kretek yang mencapai 86% dari total

produksi. Setiap tahun rata-rata membutuhkan tembakau 230.986 ton. Kabupaten Magetan

merupakan salah satu sentra tembakau di Jawa Timur, yang hasilnya digunakan sebagai bahan

substitusi dalam blending rokok kretek (Boegi, 2010). Konsumsi rokok di Indonesia mencapai

peringkat ke-4 dunia. Kebutuhan tembakau setiap tahun juga meningkat, tetapi belum dapat

terpenuhi seluruhnya dari dalam negeri. Untuk mencukupi volume dan mutu tertentu Indonesia

mengimpor tembakau, pada tahun 2013 pasokannya mencapai 55000 ton, sedangkan ekspor pada

masa yang sama hanya berkisar 15.000 ton (Anonim, 2013).

Bahan baku industri rokok kretek, yang disebut tembakau rajangan (tembakau rakyat) ditanam

secara rutin setiap tahun. Tembakau tersebut berasal dari sentra-sentra produsen yang tersebar di

seluruh wilayah Indonesia antara lain Bondowoso, Jember, Paiton, Ploso, Karangjati, Kendal,

Muntilan, Garut Temanggung, dan lain-lain. Penyebaran varietas tembakau ke berbagai daerah

diikuti dengan proses adaptasi dari generasi ke generasi. Adanya seleksi alam dan seleksi oleh

manusia menyebabkan tembakau di setiap daerah menampilkan ciri khas tertentu. Perbedaan

agroekologi (lingkungan tumbuh), dan kultur teknik menyebabkan tembakau yang dihasilkan

disetiap daerah mempunyai ciri dan sifat spesifik tertentu yang lazim disebut “tipe” (Balittas,1989).

Rata-rata produktivitas setiap tipe tembakau rendah. Rendahnya produktivitas setiap tipe tembakau

disebabkan oleh berbagai faktor, salah satunya adalah varietas yang tidak murni dan menurunnya

potensi hasil. Tanaman tembakau yang diusahakan oleh petani tidak seragam. Benih lokal yang

ditanam secara terus-menerus oleh petani semakin beragam karena benih dan bibitnya tidak

terkontrol (Kasno,1992). Adanya petani pengusaha bibit yang menerima benih tembakau dari

berbagai sumber semakin memperparah pencampuran varietas.

Penggunaan benih bermutu akan meningkatkan produksi dan mutu tembakau (Nugroho,1987).

Untuk mendukung hal tersebut maka genotipe-genotipe yang sudah berkembang di masyarakat perlu

dilakukan pemurnian dan pengujian yang selanjutnya dilakukan pendaftaran varietas untuk
2
memperoleh perlindungan varietas tanaman (PVT). Saat ini banyak varietas lokal tembakau yang

sulit diidentifikasi karena tidak murni.

Luas areal rata-rata tembakau rakyat di Kabupaten Magetan selama dua tahun terakhir sekitar

721 ha dengan produktivitas sekitar 900 kg/ha/th (Anonim, 2010). Tembakau di Kabupaten Magetan

yang banyak berkembang adalah jenis Rejeb dengan daerah pengembangan utama di Kecamatan

parang. Tembakau tersebut merupakan tembakau rakyat/asli yang sebagian besar diproses secara

rajangan.

Salah satu kendala yang sering dijumpai dalam budidaya tembakau adalah adanya

serangan patogen. Penyakit lanas dan layu bakteri merupakan kendala penyebab turunnya

produksi tembakau Magetan. Penyakit lanas yang disebabkan oleh Phytophthora nicotianae

biasanya banyak ditemukan pada pertanaman tembakau di daerah sawah. Tanaman biasanya

layu secara serentak dalam satu hamparan. Pangkal batang busuk berwarna hitam, bagian

empulur bersekat-sekat. Penyakit layu bakteri yang disebabkan oleh Ralstonia

solanacearum banyak menyerang pertanaman tembakau di daerah tegalan tanpa pengairan.

Gejala awal biasanya muncul pada tanaman yang berumur 30-45 hari setelah transplanting,

yaitu berupa pertumbuhan daun asimetris atau layu di satu sisi. Kejadian penyakit cukup

tinggi pada lahan-lahan tumpang gilir antara tembakau dengan tomat atau cabe.

Penanaman varietas tahan merupakan salah satu cara pengendalian penyakit yang paling

efektif dan aman (Mc Garvey et al. 1999). Informasi tentang ketahanan kultivar-kultivar tembakau

Magetan terhadap kedua penyakit utama tersebut belum diketahui, namun di lapangan ada indikasi

keragaman ketahanan di antara kultivar-kultivar lokal tersebut. Tujuan penelitian ini dimaksudkan

untuk mengetahui daya hasil, mutu serta ketahanan tujuh kultivar tembakau Magetan terhadap

serangan P. nicotianae dan R. solanacearum pada kondisi terbatas di rumah kasa.

Dari beberapa varietas lokal yang berkembang saat ini, belum diketahui varietas mana yang

terbaik dan disenangi konsumen. Kegiatan ini dimaksudkan untuk mengidentifikasi varietas lokal

tembakau Magetan, dalam rangka pendaftaran varietas untuk memperoleh hak perlindungan varietas

tanaman (PVT).
3
Rencana kegiatan penelitian tahun 2014 adalah uji multilokasi dan evaluasi ketahanan

terhadap penyakit pada galur tembakau lokal Magetan, dalam rangka pendaftaran varietas untuk

memperoleh perlindungan varietas tanaman..

1.2. Dasar Pertimbangan

Langkah seleksi, identifikasi dan uji multilokasi terhadap varietas tembakau lokal Magetan

yang biasa dibudidayakan petani di Magetan pun terus dilakukan dengan melibatkan tim peneliti

ahli. Hal ini dilakukan guna menyikapi masih belum dilaksanakannya penggunaan benih bermutu

oleh petani. Padahal budidaya tembakau sekarang ini menghadapi banyak sekali tantangan. Selain

soal kualitas, juga berbagai kebijakan global terkait tembakau terus diperketat, termasuk produk

tembakau rendah nikotin.

Teknik budidaya tembakau yang dilakukan petani di Magetan masih belum sepenuhnya

sesuai aturan. Kebanyakan petani hingga kini masih menggunakan benih bercampur. Dalam satu

hamparan bisa terjadi penanaman benih tembakau lebih dari satu varietas. Akibatnya tingkat

produksi tembakau rendah.

Oleh karena itu, dalam rangka untuk meningkatkan kemurnian dan melegalkan tembakau

lokal rajangan Magetan, maka Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Magetan bekerjasama

dengan Balittas, berupaya melakukan pemurnian benih tembakau dengan mengeksplorasi dan

mengidentifikasi varietas lokal tembakau Magetan yang biasa dibudidayakan petani di Magetan,

untuk menghasilkan benih bermutu.

Program pemuliaan yang dilakukan untuk mendukung kegiatan tersebut dilakukan secara

bertahap. Dari hasil pemurnian pada tahun 2013 didapatkan 7 benih varietas lokal. Pada tahun ke

dua dilakukan uji daya hasil 7 varietas hasil seleksi ditambah tiga aksesi koleksi plasma nutfah

tembakau Magetan milik Balittas. Pada tahun ke tiga dilakukan uji multilokasi kembali untuk

mengetahui stabilitas dan daya adaptasi suatu varietas.

4
1.3. Tujuan

1. Memperoleh 1-2 varietas lokal tembakau magetan dengan produktivitas tinggi dan mutu

disenangi oleh konsumen.

2. Mengetahui ketahanan varietas lokal tembakau magetan terhadap Phytophthora nicotianae

dan atau Ralstonia solanacearum

1.4. Keluaran yang diharapkan

Diperoleh 1 – 2 kultivar lokal Magetan dengan produktivitas tinggi dan mutu

disenangi oleh konsumen serta tahan/toleran terhadap Phytophthora nicotianae dan

Ralstonia solanacearum.

1.5. Perkiraan Manfaat

Penerapan kemurnian dan kelegalan tembakau lokal rajangan Magetan diharapkan mampu

meningkatkan mutu benih dan kualitas tembakau utamanya varietas Rejeb sehingga berpengaruh

terhadap peningkatan produksi tembakau di Kabupaten Magetan.

5
II. TINJAUAN PUSTAKA

Populasi tembakau yang terdapat di setiap wilayah merupakan hasil dari proses adaptasi

terhadap ekologi setempat disertai seleksi alam dan campur tangan manusia. Secara umum populasi

tembakau di suatu daerah memiliki ciri yang berbeda dengan tembakau ditempat lain, misalnya

tembakau di Magetan memiliki ciri khas yang berbeda dengan tembakau Madura. Oleh karena itu,

kemudian dikenal adanya berbagai tembakau lokal dengan nama sesuai daerah pengembangannya.

Perbedaan penting yang ditemukan diantara berbagai tembakau lokal adalah ciri morfologi serta

mutunya yang spesifik.

Populasi tembakau yang ada di setiap wilayah tersebut terdiri dari beberapa sub populasi dan

masing-masing memiliki morfologi yang berbeda, walaupun demikian masih terdapat variasi antar

tanaman. Sub populasi inilah yang menjadi varietas lokal. Petani memberi nama berdasarkan ciri

umum morfologinya atau nama daerah asalnya. Dengan sendirinya varietas lokal mempunyai

susunan genetik yang bervariasi (Suwarso et al. 1996).

Varietas-varietas lokal hasil eksplorasi merupakan kekayaan daerah, yang pada era globalisasi

ini kekayaan tersebut perlu dilindungi. Apabila tidak segera dilindungi tidak menutup kemungkinan

akan dilindungi oleh orang asing. Dan menurut undang-undang apabila dua permohonan

perlindungan varietas yang sama diajukan, maka yang dianggap sah adalah pemohon pertama.

Untuk melakukan perlindungan varietas salah satu persyaratan yang harus dipenuhi adalah

pelepasan varietas. Maksud dari peraturan pelepasan varietas agar varietas yang beredar memiliki

keunggulan dan tidak merugikan masyarakat dan lingkungan. Adapun persyaratan minimal

pelepasan varietas lokal adalah telah dilakukan pengujian di tiga musim panen dua lokasi. Seperti

yang dilakukan pada tembakau virginia, varietas-varietas tersebut sebelum dikembangkan terlebih

dahulu dilakukan pengujian-pengujian di beberapa daerah seperti di Bojonegoro dan Bondowoso

(Suwarso et al, 2004 ).

Kegiatan pemuliaan yang dilakukan untuk mendukung kegiatan pengembangan varietas

tembakau Magetan dilakukan secara bertahap. Dimulai dengan eksplorasi varietas lokal. Dari hasil

eksplorasi dilakukan penaman di lapang untuk mengetahui keragaman varietas sekaligus dilakukan

6
pemurnian. Pada tahun ke dua dilakukan uji daya hasil tiga varietas hasil eksplorasi ditambah tiga

aksesi koleksi plasma nutfah tembakau Magetan milik Balittas.

Tembakau lokal Magetan merupakan salah satu jenis tembakau rajangan bermutu baik yang

saat ini banyak digunakan sebagai substitusi tembakau rajangan Temanggung. Salah satu kendala

yang sering dijumpai dalam budidaya tembakau ini adalah adanya serangan patogen. Penyakit lanas

dan layu bakteri merupakan kendala penyebab utama turunnya produksi tembakau Magetan, selain

CMV/TMV dan TLCV.

Penyakit lanas disebabkan oleh Phytophthora nicotianae, biasanya banyak ditemukan pada

pertanaman tembakau di daerah sawah. Tanaman biasanya layu secara serentak dalam satu

hamparan. Pangkal batang busuk berwarna hitam dan bagian empulur bersekat-sekat. Menurut

Melton dan Shew (2000), penyakit lanas banyak ditemukan pada daerah - daerah yang memiliki

drainase jelek dan pada tahun sebelumnya ditanami tembakau. Sekali lahan terinfestasi P.

nicotianae, patogen ini akan sulit dimusnahkan sehingga pengendalian penyakit lanas harus

dilakukan terus menerus dan terintegrasi antara beberapa komponen pengendalian.

Penyakit lainnya adalah layu bakteri yang disebabkan oleh Ralstonia solanacearum. Bakteri

ini banyak menyerang pertanaman tembakau di daerah tegalan tanpa pengairan. Gejala awal

biasanya muncul pada tanaman yang berumur 30-45 hari setelah transplanting, yaitu berupa

pertumbuhan daun asimetris atau layu di satu sisi. Kejadian penyakit cukup tinggi pada lahan-lahan

tumpang gilir antara tembakau dengan tomat atau cabe.

Penanaman varietas tahan merupakan salah satu cara pengendalian penyakit yang paling

efektif dan aman ( McGarvey et al. 1999) karena patogen tidak akan mampu tumbuh dan

berkembang pada tanaman yang memiliki ketahanan vertikal sehingga epidemi penyakit tidak terjadi

(Day and Wolfe , 1987). Johnson et al. (2008) melaporkan bahwa sejak ditemukan varietas

tembakau yang tahan terhadap P. nicotianae, penggunaan fungisida menurun sampai 74%.

Informasi tentang ketahanan kultivar-kultivar tembakau Magetan terhadap kedua penyakit

utama tersebut belum diketahui, namun di lapangan ada indikasi keragaman ketahanan di antara

kultivar-kultivar lokal tersebut. Tujuan penelitian ini adalahuntuk mengetahui ketahanan tujuh

7
kultivar tembakau Magetan terhadap serangan P. nicotianae dan R. solanacearum pada kondisi

semi lapangan di polibag.

Selain mengetahui potensi daya hasil varietas, hal lain yang perlu diketahui adalah karakter

ketahanan tanaman tembakau terhadap penyakit utamanya yaitu lanas dan layu bakteri. Penyakit

lanas yang disebabkan oleh Phytophthora nicotianae biasanya banyak ditemukan pada pertanaman

tembakau di daerah sawah.

Penyakit layu bakteri yang disebabkan oleh Ralstonia solanacearum banyak menyerang

pertanaman tembakau di daerah tegalan tanpa pengairan. Gejala awal biasanya muncul pada

tanaman yang berumur 30-45 hari setelah transplanting, yaitu berupa pertumbuhan daun asimetris

atau layu di satu sisi. Kejadian penyakit cukup tinggi pada lahan-lahan tumpang gilir antara

tembakau dengan tomat atau cabe. Menurut Hacisalihoglu et al (2006) infeksi R. solanacearum

pada tanaman tomat menyebabkan konsentrasi Kalsium, Boron, dan Fosfor di dalam daun. Jika

kondisi ini juga terjadi pada tanaman tembakau, maka infeksi ringan R. solanacearum akan

menurunkan mutu daun tembakau.

8
III. METODOLOGI

3.1 Uji Multilokasi Varietas Lokal Tembakau Magetan

Penelitian dilaksanakan di dua lokasi, yaitu pada lahan tegal (dataran tinggi) dan lahan

sawah (dataran sedang) di Desa Ngunut Kecamatan Parang, Kab. Magetan, mulai Februari –

Desember 2014. Benih yang digunakan adalah jenis Rejeb besar dan Rejeb kecil yang berasal dari

hasil seleksi pada tahun 2013 (7 aksesi terseleksi) dan 3 aksesi Rejeb koleksi plasma nutfah Balittas.

Adapun rinciannya seperti ditampilkan pada Tabel 1.

Tabel 1. Tembakau lokal magetan untuk uji multilokasi 2014


No. Galur Asal Kode
1. Rejeb 1 Hasil seleksi th. 2013 -
2. Rejeb 2 Hasil seleksi th. 2013 -
3. Rejeb 3 Hasil seleksi th. 2013 -
4. Rejeb 4 Hasil seleksi th. 2013 -
5. Rejeb 5 Hasil seleksi th. 2013 -
6. Rejeb 6 Hasil seleksi th. 2013 -
7. Rejeb 7 Hasil seleksi th. 2013 -
8. Rejeb selopuro Koleksi Plasma Nutfah Balittas S .1777/A
9. Rejeb Kalipare Koleksi Plasma Nutfah Balittas S . 2101
10. Gagang Rejeb Koleksi Plasma Nutfah Balittas S . 1936

Penelitian dilakukan menggunakan rancangan acak kelompok (RAK) dengan tiga ulangan.

Setiap fenotipa ditanam sebanyak 85 – 100 tanaman/plot, dengan jarak tanam yang digunakan

adalah 50 x 100 cm. Penelitian ini menggunakan dosis pupuk per pohon : 15 g NPK (15, 15, 15)

dan 15 g ZA, (setara dengan 100 kg N, 45 kg P2O5 dan 45 kg K2O per ha ). Pupuk dasar (NPK)

diberikan pada saat tanam, sedangkan pupuk N ke 2 diberikan pada umur 21 hst.

Pengendalian penyakit dilakukan secara preventif dengan penyemprotan fungisida pada umur
20, 30 dan 40 hst. Pengendalian hama dilakukan apabila ada serangan, dengan penyemprotan

insektisida.

Pemangkasan dilakukan pada saat awal pembungaan dengan membuang 3 lembar

daun pucuk, diikuti dengan pembuangan sirung secara periodik. Panen dilakukan secara

bertahap dengan kriteria daun telah cukup masak, yang ditandai dengan warna daun

kekuning-kuningan. Prosesing sebagai tembakau rajangan (pemeraman, perajangan dan

penjemuran) dilakukan di masing-masing lokasi penelitian.

9
3.1.2 Pengamatan

Adapun parameter pengamatan pada penelitian ini, meliputi :

1. Tinggi tanaman, diamati pada tanaman contoh, dihitung dari leher akar sampai karangan

bunga tertinggi.

2. Jumlah daun, diamati pada tanaman contoh, daun dihitung sebelum tanaman dipangkas.

3. Panjang dan lebar daun tengah, diamati pada tanaman contoh, panjang daun dihitung dari

pangkal hingga ujung daun, sedangkan lebar daun dihitung pada bagian tengah daun yang

terlebar. Pengukurannya dilakukan sebelum tanaman dipangkas.

4. Umur berbunga, diamati pada tanaman contoh. Tanaman dianggap telah berbunga bila pada

karangan bunga yang baru muncul telah ada 1-3 bunga mekar.

5. Hasil daun per petak. Setelah setiap kali selesai panen, daun-daun harus ditimbang per
petak.
6. Hasil rajangan kering. Setiap selesai penjemuran rajangan tembakau, sesegera mungkin

rajangan tembakau tersebut ditimbang per petak.

7. Mutu ditentukan dengan menilaikan harga setiap contoh tembakau ke konsumen (Pabrik

rokok). Indek mutu dihitung dengan rumus :

(b1 x m1) + (b2 x m2) + . . . . . + (bn x mn)


I = ------------------------------------------------------ x 100 %
b1 + b2 + . . . . . . . . . + bn

dimana :
I : indeks mutu.
b : berat masing-masing contoh tembakau.
m : indek harga masing-masing contoh tembakau.
1 – n : jumlah contoh tembakau.

8. Indeks Tanaman : Indeks mutu x hasil rajangan (ton/ha).

9. Analisis kadar nikotin dilaksanakan di Laboratorium Balittas, Malang, dengan metode

ekstraksi ether-petrolium ether, dan selanjutnya dititrasi dengan HCl (sesuai SNI 01-7134-

2006).

Data hasil pengamatan dianalisis dengan sidik ragam gabungan dengan Uji Beda Nyata Jujur

(BNJ), dengan software PKBT-STAT 2.03.

10
3.2 Evaluasi Ketahanan Varietas Lokal Tembakau Magetan Terhadap Phytophthora
nicotianae dan Ralstonia solanacearum

3.2.1 Metode Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di laboratorium dan rumah kasa Balittas mulai bulan Februari

sampai Nopember 2014. Kultivar yang diuji adalah Rejeb 1, Rejeb 2, Rejeb 3, Rejeb 4, Rejeb 5,

Rejeb 6, dan Rejeb 7 yang berasal dari hasil seleksi pada tahun 2013 dan 3 aksesi tembakau lokal

Magetan (S-1777, S-2101, dan S-1936) yang merupakan koleksi plasma nutfah Balittas sebagai

pembanding. S.5551 digunakan sebagai kontrol tahan dan S-2326 digunakan sebagai kontrol rentan

P. nicotianae. Sedangkan K-399 digunakan sebagai kontrol tahan dan S-2326 digunakan sebagai

kontrol rentan R. solanacearum.

Isolat P. nicotianaeyang digunakan berasal dari hasil isolasi tanaman tembakau lokal Magetan

yang menunjukkan gejala lanas. Isolasi jamur P. nicotianae menggunakan metode baiting pada

buah apel, pemurnian, dan perbanyakan P. nicotianae menggunakan media CMA. Umur inokulum

untuk diinokulasikan adalah 7-10 hari setelah inkubasi. Pembuatan inokulum P. nicotianae

dilakukan dengan menambahkan 10 ml aquadest steril ke dalam biakan murni jamur pada cawan

petri dan dikocok sampai homogen. Inokulasi P. nicotianae dilakukan melalui akar dan batang.

Inokulasi akar dilakukan 24 jam sebelum ditanam di polybag dengan cara menuang suspensi jamur

sebanyak 5 ml per bibit (lubang tray). Inokulasi pada batang dilakukan setelah tanaman berumur 2

minggu setelah pemindahan (transplanting). Pangkal batang disayat miring sebatas pembuluh kayu

+ 1 cm kemudian diolesi suspensi patogen dan ditutup dengan kapas steril yang dibasahi dengan air

steril untuk menjaga kelembaban (Mc Intyre dan Taylor,1976).

Isolat R. solanacearum yang digunakan berasal dari hasil isolasi tanaman tembakau lokal

Magetan yang menunjukkan gejala layu bakteri. Isolasi, pemurnian, dan perbanyakan R.

solanacearum dilakukan pada media CPG. Inokulasi R. solanacearum dilakukan dengan cara

menuang suspensi bakteri sebanyak 5 ml per bibit (per lubang tray) 24 jam sebelum ditanam di

polybag.

Tanah yang digunakan baik untuk media pembibitan maupun penanaman berupa campuran

pasir, tanah, dan pupuk kandang dengan perbandingan 2:2:1 yang sudah disteril dengan uap panas

11
selama 2 jam. Masing-masing kultivar ditanam sebanyak 10 tanaman tiap ulangan + 2 tanaman

cadangan, 1 tanaman/polybag. Setiap perlakuan (kultivar) diulang 3 kali dan disusun dalam

Rancangan Acak Kelompok (RAK).

3.2.2 Pengamatan

Pengamatan gejala penyakit dilakukan setiap minggu selama 11 minggu, meliputi luas
serangan dengan menggunakan rumus Abadi (2003), yang tertera di bawah ini :

a
L = ------------------ X 100%
b

dimana :
L = Luas serangan (%)
a = Jumlah tanaman terserang
b = Jumlah tanaman yang diamati

Pengelompokan kriteria ketahanan disesuaikan dengan metode MANDAL (1988), yaitu

sangat tahan (ST) = ≤ 1% tanaman sakit, tahan (T) = 1,1 – 10.0% tanaman sakit, moderat (M) =

10.1 – 20.0% tanaman sakit, rentan (R) = 20,1 – 50.0% tanaman sakit, dan sangat rentan : > 50.0%

tanaman sakit. Selain itu diamati juga kejadian penyakit virus (CMV/) setiap minggu dengan rumus

sama seperti di atas.

12
IV. PELAKSANAAN KEGIATAN

4.1. Uji Multilokasi Varietas Lokal Tembakau Magetan

4.1.1 Persiapan lahan

Kriteria lahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah lahan-lahan yang merupakan sentra

tembakau rejeb, relatif bebas penyakit, dan akses ke lokasi mudah/terjangkau untuk kegiatan

pengamatan. Selain itu pertimbangan kemudahan mendapatkan sumber air yang bersih juga

dipertimbangkan. Berdasarkan pertimbangan di atas ditetapkan dua lokasi untuk uji multilokasi

varietas berada di Desa Ngunut Kecamatan Parang, Kab. Magetan. Luas lahan tegalan untuk

kegiatan ini seluas 0,20 ha dan lahan sawah seluas 0,30 ha, seperti disajikan pada gambar 1.

Untuk lahan tegal mengandalkan tadah hujan, karena lokasinya diatas bukit dan jauh dari

sumber air. Sedangkan untuk lahan sawah, petakannya luas sehingga mudah dilakukan plotting serta

pengairannya lancar. Lokasinya agak masuk, kira-kira 700 m dari jalan raya.

a b
Gambar 1. a. Lahan tegal (lokasi I) dan b. Lahan sawah (lokasi II) di Desa Ngunut-Magetan

Persiapan lahan dimulai dengan pembersihan lahan dari sisa-sisa jerami dan rumput dengan

cara dibabat kemudian dibakar. Setelah lahan cukup bersih dilakukan pengolahan tanah pertama

menggunakan bajak dan lahan dibiarkan terbuka ± 14 hari. Setelah itu dilakukan bajak dua kali,

Setelah bajak terakhir, dilakukan pembuatan guludan untuk jarak antar tanaman 90x40 cm.

13
4.1.2 Pembibitan

Pembibitan dilakukan di Desa Ngunut, dengan luas lahan didaerah tegal sekitar 30 m2 dan

luas lahan untuk penanaman di sawah sekitar 35 m2. Sebelum dilakukan pembibitan terlebih dahulu

dilakukan pengolahan lahan dan pembuatan bedengan. Pada setiap bedengan diberi atap yang terbuat

dari bambu dan plastik yang dapat dibuka-tutup sewaktu-waktu sesuai kebutuhan.

Tebar benih dilakukan 2 kali, untuk penanaman pada lahan tegal dilakukan tanggal 20

Pebruari 2014 dan tebar benih untuk lahan sawah dilakukan pada tanggal 6 Maret 2014. Tebar benih

dengan menggunakan sistem basah, dimana sebelum ditabur, benih dibasahi dengan air hangat

selama 3 hari. Setelah benih pecah (ditandai dengan warna putih) kemudian dicampur dengan pasir

halus, diaduk supaya merata dan ditaburkan pada permukaan bedengan sampai rata.

Setelah dilakukan tebar benih, dilakukan penyiraman pada 10 hari pertama menggunakan

spreyer, yang dilakukan pada pagi dan sore hari. Setelah bibit cukup besar penyiraman

menggunakan gembor menyesuaikan kondisi lahan, biasanya dilakukan 1 kali sehari yaitu pada sore

hari.

Untuk melindungi bibit dari hujan dan intensitas matahari yang tinggi, atap nauangan diberi

plastik yang bisa dibuka dan ditutup sesuai kebutuhan. Setelah tanaman cukup besar, atap dibuka

dan hanya ditutup kembali kalau ada hujan. Pencabutan gulma/penyiangan di area pembibitan

dilakukan untuk menekan persaingan hara dan intensitas cahaya antara bibit tembakau dan tanaman

gulma. Penyemprotan insektisida dilakukan jika ada serangan ulat. Sedangkan untuk mencegah

penyakit lanas pada bibit menggunakan fungisida (Ridomil gold) setiap 1 minggu sekali.

Setelah umur bibit mencapai ± 45 hari, bibit siap tanam. Pencabutan bibit dilakukan secara

hati-hati agar akar tidak banyak yang putus. Sebelum pencabutan bibit, dilakukan penyiraman agar

tanah menjadi basah/lunak sehingga bibit mudah dicabut dan akar tidak banyak yang rusak/putus.

14
a b
Guludan siap digunakan Tanaman dalam bedangan berumur 5 minggu
setelah tebar

c d
Bibit umur 40 hari siap ditanam dan proses Proses pengepakan bibit
pencabutan bibit
Gambar 2. Persiapan lahan pembibitan sampai pencabutan bibit di Desa Ngunut-Magetan

4.1.3 Tanam

Tanam untuk kegiatan pemurnian varietas tembakau lokal Magetan pada lahan tegal

dilakukan pada tanggal 4 April 2014, sedangkan untuk lahan sawah dilakukan pada tanggal 25 April

2014. Saat dilakukan tanam, bibit telah berumur 45 hari. Jarak tanam adalah 90 cm x 40 cm atau

setara dengan 20.000 populasi/ha. Sebelum tanam dibuat lubang tanam menggunakan tugal sedalam

5-7 cm, kemudian bibit dimasukkan kedalam lubang tanam dengan hati-hati dan ditutup kembali

dengan tanah. Selanjutnya ditutup dengan daun jati atau pelepah pisang untuk mengurangi terjadinya

transpirasi yang berlebihan, sehingga tanaman tidak mudah layu.

15
a a

b
Gambar 3. a. Kegiatan tanam di lahan tegal Ds. Ngunut, Kec. Parang dan b. hasil kegiatan tanam
secara keseluruhan di lahan tegal (4 April 2014)

Gambar 4. Kegiatan tanam di lahan sawah Ds. Ngunut, Kec. Parang (25 April 2014)

16
4.1.4 Pemupukan

Pupuk yang digunakan dalam kegiatan pemurnian varietas tembakau lokal Magetan meliputi

pupuk dasar yaitu pupuk organik/pupuk kandang dengan dosis 10 ton/ha (setara dengan 0,5

kg/tanaman) dan pupuk NPK dengan dosis 300kg/ha (setara dengan 15g/tanaman). Pemupukan

diberikan 5 hari sebelum tanam. Pemupukan kedua dengan menggunakan pupuk ZA 300 kg/ha

(setara dengan 15g/tan) yang diberikan 2 kali, masing-masing ½ dosis yaitu pada umur 10 HST dan

25 HST.

Pemupukan dengan cara ditugal, yaitu dengan cara membuat lubang tugal sedalam 5-7cm

dengan jarak 10 cm dari tanaman. Selanjutnya pupuk dimasukkan kedalam lubang sesuai dengan

dosis dan ditutup kembali dengan tanah.

2. Pembutan lubang pupuk 1. Penaburan pupuk 3. Penutupan lubang pupuk

Gambar 5. Proses aplikasi pupuk pada lubang tanam

4.1.5 Pertumbuhan Tanaman Tembakau

Pertumbuhan tanaman tembakau secara umum cukup baik dan murni pada semua nomor

perlakuan. Pada saat tanaman berumur 2 minggu setelah tanam, khususnya pada ulangan III, terdapat

gejala serangan penyakit lanas, tetapi persentasenya relatif kecil ± 5%.

17
Gambar 6. Pertumbuhan tanaman di lahan tegal umur 26 HST menunjukkan hasil baik dan seragam

Gambar 7. Pertumbuhan tanaman di lahan sawah umur 10 HST menunjukkan hasil baik

Selain penyakit lanas, juga terdapat serangan ulat, terutama spedoptera. Serangan ulat

dikendalikan dengan lannet, dengan dosis 1,5 ml/L, sehingga populasi ulat dapat ditekan. Dalam

jumlah tertentu dimana serangan tidak terlalu tinggi, dilakukan pengendalian secara manual/mekanik

dengan cara diambil dan dimatikan dengan tangan. Prosentase serangan hama penyakit tersebut

masih dalam batas yang dapat dikendalikan, sehingga secara umum pertumbuhan tanaman tidak

mengalami gangguan.

18
a. Tanaman tembakau terkena serangan ulat b. Tanaman tembakau yang terserang penyakit
ditandai dengan daun berlubang dan disekelilingnya penuh gulma

Gambar 8. Pertumbuhan tanaman yang terserang hama dan penyakit

4.1.6 Seleksi dan Pengerodongan Bunga

Seleksi dan pengerodongan bunga di lahan tegal, dilaksanakan pada tanggal 12 Juni 2014 atau

pada umur 65 HST, dimana tanaman sudah berbunga secara keseluruhan.

Gambar 9. Pertumbuhan tanaman di lahan Gambar 10. Pengerodongan bunga di lahan tegal
tegal umur 65 HST

Proses seleksi dan pengerodongan bunga di lahan sawah, juga telah dilaksanakan pada tanggal

2 Juli 2014 atau pada umur 66 HST. Proses seleksidan pemilihan tanaman dilakukan dengan

melibatkan petani di Kecamatan Parang. Mereka diminta untuk memilih tanaman sesuai dengan

kriteria yang disukai. Umumnya petani memilih varietas rejeb kecil dan varietas kedu (varietas lama

yang pernah berkembang di Magetan).

19
Gambar 11. Pertumbuhan tanaman di lahan Gambar 12. Proses seleksi di lahan sawah dengan
sawah umur 65 HST petani di Kec. Parang-Magetan

4.1.7 Panen dan Pasca Panen Tembakau Rejeb

Proses pemanenan tembakau Rejeb/Parang dilakukan secara bertahap pada satu tanaman,

sehingga pada penelitian ini dilakukan beberapa kali pemanenan. Pada lahan tegal dilakukan 5 kali

pemanenan sedangkan pada lahan sawah 4 kali pemanenan.

Setelah daun dipanen, selanjutnya dilakuakan pemeraman. Pemeraman diawali dengan

kegiatan sortasi sederhana yang dilakukan dengan memisahkan daun kelewat masak dan

kurang masak. Pemeraman dilakukan dengan cara digulung, selanjutnya menidurkan

gulungan daun tembakau tersebut dan ditumpuk 3-4 tingkatan gulungan.

Perajangan daun tembakau dilakukan dengan memasukkan gulungan daun tembakau

pada alat perajang, kemudian dilakukan pengirisan. Setelah selesai semuanya baru

dilakukan pengeringan. Pengeringan bertujuan untuk membebaskan sebagian besar

kandungan air sehingga tembakau tahan disimpan lama. Pengeringan juga penting untuk

menghentikan reaksi enzimatis. Sebelum dikeringkan daun tembakau yang telah dirajang

diatur di atas rigen. Selama penjemuran dilakukan pembalikan 2-3 kali agar pengeringan

lebih cepat dan merata. Cara membalik dengan menutup rigen yang berisi rajangan daun

tembakau menggunakan rigen kosong. Kemudian secara hati-hati dua rigen tersebut dibalik,

20
sehingga tembakau rajangan pindah ke rigen kosong. Pekerjaan pembalikan dikerjakan oleh

dua orang.

Untuk mengetahui tingkat kekeringan tembakau biasanya dilakukan dengan

memegang dan meremas tembakau yang dijemur. Tembakau rejeb yang telah kering saat

dipegang terasa kesat dan berminyak. Jika telah kering tembakau beserta rigennya

dimasukkan ke dalam rumah dan ditumpuk. Tembakau rajangan yang sudah kering,

diembunkan sampai cukup lemas dan dapat digulung. Diameter gulungan sekitar 10 cm dan

panjang antara 15 cm - 20 cm.

21
V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Uji Multilokasi Varietas Lokal Tembakau Magetan

5.1.1 Pertumbuhan Tanaman Tembakau

Tanaman-tanaman terpilih hasil seleksi tahun 2013 dan pembanding dari koleksi plasma

nutfah Balittas selanjutnya diamati berdasarkan sifat kuantitatif, meliputi tinggi tanaman, jumlah

daun produksi, panjang dan lebar daun, serta umur tanaman yang dihasilkan oleh masing-masing

lokasi. Tinggi tanaman bervariasi baik pada lahan tegal maupun pada lahan sawah yaitu antara

103,50 – 147,37 cm dengan rata-rata sebesar 131,5 cm pada lahan tegal dan 109,7 cm pada lahan

sawah. Jumlah daun yang terbentuk bervariasi 22,30 – 31,52 helai/tanaman dengan rata-rata sebesar

26,21 helai/tanaman, dimana lokasi tegal menghasilkan daun paling banyak dibandingkan dengan

lahan sawah. Adapun hasil karakterisasinyanya disajikan pada Tabel 2 dan 3.

Tabel 2. Hasil karakterisasi tinggi tanaman dan umur berbunga 10 galur tembakau rejeb pada lahan
tegal dan lahan sawah umur 45 HST
Lahan Tegal Lahan Sawah
No. Galur Umur Berbunga Tinggi Umur Berbunga Tinggi
(hari) Tanaman (cm) (hari) Tanaman (cm)
1. Rejeb 1 68,17ab 134,57b 66,67b 103,50
2. Rejeb 2 69,97a 147,37a 67,93ab 112,40
3. Rejeb 3 69,70a 132,07bc 68,23ab
110,97
4. Rejeb 4 69,33ab 125,43bc 69,44ab 107,17
5. Rejeb 5 69,07ab 128,97bc 69,44ab 106,12
6. Rejeb 6 67,17b 122,83bc 68,27ab
110,43
7. Rejeb 7 69,27ab 121,00c 70,62a 113,92
8. S – 1777/A 68,27ab 156,63a 68,60ab 119,43
9. S – 2101 61,73c 152,80a 66,70 b
105,83
10. S – 1936 63,47c 109,10d 66,33b 107,13
Koef. Keragaman 1,93 5,08 tn tn
(%) 2,53 6,51
Ket : Angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama dalam kolom, tidak berbeda nyata menggunakan
DMRT (α=0,05). n=10.
tn = tidak berbeda nyata antar perlakuan

Berdasarkan hasil pengamatan menunjukkan bahwa habitus tanaman dari 10 nomor tembakau

rejeb menunjukkan perbedaan yang nyata pada pertanaman di lahan tegal, sedangkan pada lahan

sawah tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Pengamatan tinggi tanaman tertinggi di lahan tegal

22
pada varietas rejeb selopuro (S-1777/A), yaitu (156,63 ± 10,71) cm, sedangkan untuk lahan sawah

pengukuran tertinggi pada Rejeb 3 (110,97 ± 8,93) cm dengan umur berbunga rata-rata 69 hari.

Tabel 3. Hasil karakterisasi jumlah, panjang dan lebar daun 10 galur tembakau rejeb pada lahan
tegal dan lahan sawah umur 45HST
Lahan Tegal Lahan Sawah
No. Galur Jumlah daun Panjang Lebar Jumlah daun Panjang Lebar
(helai/tan) daun (cm) daun (cm) (helai/tan) daun (cm) daun (cm)
1. Rejeb 1 27,87bcd 46,33ab 17,73c 25,23ab 38,28abc 14,33d
2. Rejeb 2 25,80de 49,34a 20,65ab 24,07bc 41,12 a
16,53abc
3. Rejeb 3 31,52a 44,77b 18,41bc 26,43a 37,90abc 15,29a-d
4. Rejeb 4 30,73ab 45,30b 18,74bc 26,53a 36,86bcd
14,66cd
5. Rejeb 5 30,03abc 44,87b 18,08c 25,92a 38,71 abc
15,03bcd
6. Rejeb 6 26,93dc 44,12bc 16,67c 26,03a 41,02a 15,56a-d
7. Rejeb 7 29,83abc 45,42b 18,52bc 25,96a 39,69 ab
17,14a
8. S – 1777/A 27,00dc 44,33bc 21,98a 23,63bc 38,10 abc
16,68ab
9. S – 2101 23,73e 40,95cd 21,32a 23,03c 35,75cd 14,63cd
10. S – 1936 23,30e 39,87d 21,01a 22,30c 34,70 d
17,12a
Koef.
6,11 4,23 6,47 3,86 4,49 6,41
Keragaman (%)
Ket : Angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama dalam kolom, tidak berbeda nyata menggunakan
DMRT (α=0,05). n=10.

Parameter pengukuran pada daun (jumlah, panjang dan lebar) merupakan sifat yang cukup

penting pada tanaman tembakau, karena berkaitan dengan produktivitas. Hasil penelitian Suwarso

(1996), menunjukkan bahwa jumlah daun berkorelasi genotipik positif dengan hasil dan berkorelasi

positif dengan umur berbunga. Dengan demikian hasil produksi yang tinggi, diperoleh dari varietas

yang jumlah daunnya banyak. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa jumlah daun terbanyak pada

lahan tegal dihasilkan oleh Rejeb 4, sebanyak (30,73 ± 0,15) lembar. Sedangkan untuk pengamatan

ukuran daun terpanjang juga dihasilkan pada lahan tegal yaitu pada galur Rejeb 2, yaitu panjang

(49,34 ± 2,14) cm dan daun terlebar pada galur S-1777/A (21,98 ± 2,76) cm.

Panjang dan lebar daun merupakan salah satu ukuran daun yang terkait dengan pemanfaatan

energi matahari. Semakin luas ukuran daun maka semakin banyak energy yang masuk, sehingga

proses fotosintesis semakin tinggi pula. Laju fotosintesis merupakan salah satu karakter genetik

tembakau lokal yang berpengaruh positif terhadap hasil rajangan kering (Djumali, 2010). Oleh

karena itu, panjang dan lebar daun menjadi salah satu karakter genetic tanaman yang berpengaruh

positif terhadap hasil rajangan kering.


23
5.1.2 Produksi Tembakau

Produksi tembakau Rejeb di Kabupaten Magetan dapat berupa daun basah maupun rajangan

kering. Produksi daun basah antar lokasi penelitian bervariasi 3022 – 9127 kg/ha dengan rata-rata

sebesar 5966 kg/ha, dengan produksi daun basah terbanyak diperoleh lokasi tegal. Adapun produksi

rajangan kering bervariasi 263,28 – 912,30 kg/ha dengan rata-rata sebesar 338,96 kg/ha.

Hasil rajangan kering tembakau rejeb berasal dari daun produksi yang dipanen, diperam,

dirajang dan dikeringkan dengan panas matahari. Adapun daun produksi merupakan daun yang jika

diproses menjadi rajangan kering menghasilkan mutu minimal kebutuhan konsumen. Dengan

demikian tidak semua daun tembakau dapat dijadikan rajangan kering. Oleh karena itu, hasil

rajangan kering tidak hanya ditentukan oleh bobot kering daun yang dihasilkan saja melainkan juga

oleh laju pembentukan nikotin dalam jaringan akar.

Tabel 4. Rerata bobot kering 10 galur tembakau rejeb pada lahan tegal dan lahan sawah
Taksasi hasil lahan tegal Taksasi hasil lahan sawah
No. Galur
(kg/ha) (kg/ha)
1. Rejeb 1 703,45 401,86
2. Rejeb 2 748,33 438,13
3. Rejeb 3 584,50 448,53
4. Rejeb 4 905,51 442,27
5. Rejeb 5 855,55 438,73
6. Rejeb 6 581,60 478,01
7. Rejeb 7 576,75 437,47
8. S – 1777/A 912,30 536,87
9. S – 2101 609,67 366,13
10. S – 1936 517,85 263,28
Koef. Keragaman (%) 34,43 40,54

Ket : Angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama dalam kolom, tidak berbeda nyata
menggunakan DMRT (α=0,05). n=10.

Pemilihan nomor berdasarkan kombinasi dari parameter jumlah, panjang dan lebar daun

cukup menyulitkan. Oleh karena itu digunakan pendekatan dengan cara mengalikan antara panjang,

lebar dan jumlah daun selanjutnya dikorelasikan dengan hasil rajangan keringnya. Produksi kering

menunjukkan bahwa hasil tertinggi pada galur S-1777/A masing-masing sebesar (912,30 ± 1,29)

Kg/ha pada lahan tegaldan (536,87 ± 1,11) Kg/ha pada lahan sawah.

Distribusi cahaya yang merata dalam kanopi memungkinkan setiap helai daun dapat

berfotosintesis secara optimal, sehingga laju fotosintesis kanopi tinggi. Dengan laju fotosintesis
24
kanopi yang tinggi akan menghasilkan karbohidrat yang tersedia maksimal untuk pertumbuhan

tanaman (Rouhi et al. 2007). Adapun penyedian ruang tumbuh yang baik dan didukung dengan

ketersediaan karbohidrat yang cukup, dapat mendukung pertumbuhan organ tajuk seperti

pembentukan daun dan batang menjadi tinggi. Hal inilah yang menyebabkan jumlah daun dan tinggi

tanaman menjadi karakter genetik tembakau lokal, yang berpengaruh positif terhadap hasil rajangan

kering.

5.1.2 Indeks Mutu dan Indeks Tanaman

Indeks mutu dan indeks tanaman merupakan faktor penting bagi tembakau, karena berkaitan

dengan keuntungan usaha tani. Indeks mutu menggambarkan nilai mutu dari tembakau yang

dihasilkan, yaitu total dari nilai mutu yang diekspresikan dengan harga tembakau per panen

dikalikan dengan produksi setiap panen dan dibagi dengan total produksi. Penilaian harga dari hasil

rajangan kering tembakau dilakukan oleh konsumen (pengepul tembakau Rejeb). Sedangkan indeks

tanaman merupakan indikator pendapatan kotor atau nilai komersial varietas. Semakin tinggi nilai

indeks tanaman, maka semakin tinggi pula pendapatan petani.

Mutu tembakau merupakan resultante dari warna, pegangan, aroma dan rasa. Tetapi tidak

lepas dari faktor selera konsumen/pabrik rokok. Grading dilakukan oleh pedagang lokal. Nilai

indeks mutu dan indeks tanaman disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5. Indeks mutu dan indeks tanaman 10 galur tembakau rejeb pada lahan tegal dan lahan sawah
Lahan Tegal Lahan Sawah
No. Galur
Indeks Mutu Indeks Tanaman Indeks Mutu Indeks Tanaman
1. Rejeb 1 50,73a 35,65cd 59,40ab 23,99b
a bc ab
2. Rejeb 2 50,50 37,16 58,49 25,86b
3. Rejeb 3 49,97a 29,45de 59,47ab 26,99ab
a ab ab
4. Rejeb 4 48,63 43,76 60,72 27,31ab
a bc a
5. Rejeb 5 47,50 40,50 62,99 27,98ab
6. Rejeb 6 45,00a 26,04e 48,89b 23,41b
a e ab
7. Rejeb 7 44,14 25,51 57,63 25,34b
8. S – 1777/A 54,47 a
49,68 a
63,67 a
33,98a
9. S – 2101 47,92a 29,02de 56,82ab 21,05bc
10. S – 1936 28,66 b
14,55 f
56,74 ab
14,83c
Koef. Keragaman
12,68 11,71 11,44 16,98
(%)
Ket : Angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama dalam kolom, tidak berbeda nyata menggunakan
DMRT (α=0,05). n=10.

25
Berdasarkan hasil perhitungan pada 10 galur tembakau rejeb yang diuji menunjukkan bahwa,

nilai indeks mutu dan indeks tanaman pada dua lokasi menunjukkan perbedaan yang nyata. Nilai

indeks mutu berkisar antara 28,66 – 63,67 dengan nilai tertinggi pada galur S-1777/A sebesar 54,47

pada lahan tegal, sedangkan pada lahan sawah 63,67. Sedangkan indeks tanaman berkisar antara

14,55 – 49,68. Nilai tertinggi ditunjukkan pada galur S-1777/A sebesar 49,68. Hal ini tidak selaras

dengan hasil pengamatan pertumbuhan, karena mutu tembakau merupakan resultante dari

pegangan/tekstur, warna, aroma, rasa dan lain-lain. Derajat mutu tembakau juga dipengaruhi oleh

selera konsumen. Untuk mengkuantivikasikan mutu, didekati dengan indeks mutu, yaitu

mempertimbangkan indeks harga dan berat masing-masing grade.

Dari beberapa penelitian seringkali terjadi bahwa potensi hasil tidak sejalan dengan

potensi mutu. Penggunaan kedua parameter tersebut secara terpisah sangat menyulitkan

untuk memilih genotipe terbaik. Untuk mengatasi hal tersebut Briones dan Obien (1986)

menyarankan penggunaan parameter indeks tanaman, yang nilainya diperoleh dari hasil

perkalian antara potensi hasil (ton/ha) dengan indeks mutu dari masing-masing genotipe.

Selain itu, indeks tanaman juga mencerminkan nilai ekonomi dari genotipe yang diteliti.

5.1.3 Kadar Nikotin

Rasa dan aroma tembakau merupakan faktor penting yang menentukan nilai kegunaan,

penerimaan konsumen serta nilai pemasaran. Salah satu unsur kimia yang berkaitan dengan mutu

tembakau adalah nikotin (Mabbett, 2002). Selama ini yang terjadi adalah tembakau mutu tinggi pada

umumnya kandungan nikotin dan senyawa aromatisnya tinggi, terutama tembakau lokal. Nikotin

merupakan senyawa alkaloid yang membedakan tanaman tembakau dari tanaman lain. Kandungan

nikotin berkorelasi dengan kekuatan fisiologi dan sebagian lagi dengan kekuatan rasa (taste)

(Abdallah, 1970). Nikotin juga merupakan salah satu bagian dari berbagai unsur mutu pada

tembakau.

Secara genetik kandungan nikotin pada tembakau dipengaruhi oleh susunan gen minor (Katoh

et al, 2007). Walaupun demikian ekspresi pada masing-masing varietas sangat dipengaruhi oleh

26
faktor lingkungan seperti jenis tanah, iklim, budidaya dan lain-lain. Hasil uji laboratorium terhadap

kadar nikotin pada 10 galur tembakau rejeb disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6. Rerata kadar nikotin 10 galur tembakau rejeb pada lahan tegal dan lahan sawah
Kadar Nikotin Lahan Kadar Nikotin Lahan
No. Galur
Tegal (%) Sawah (%)
1. Rejeb 1 4,63 5,35
2. Rejeb 2 4,22 4,54
3. Rejeb 3 5,20 4,84
4. Rejeb 4 4,89 5,28
5. Rejeb 5 4,21 5,00
6. Rejeb 6 5,28 5,18
7. Rejeb 7 4,77 5,19
8. S – 1777/A 4,47 4,50
9. S – 2101 4,99 4,22
10. S – 1936 1,93 4,15
Koef. Keragaman (%) tn tn
0,22 0,09
Ket : Angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama dalam kolom, tidak berbeda nyata menggunakan
DMRT (α=0,05). n=10.
tn = tidak berbeda nyata

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kandungan nikotin pada beberapa genotipe yang diuji di

Rejeb tidak berbeda nyata. Kadar nikotin berkisar antara 1,93-5,35 % dengan rata-rata nilai 4,46%.

Kadar tertinggi lahan sawah pada Rejeb 6 sebesar 5,28% dan lahan sawah pada Rejeb 1, sebesar

5,35%. Proses penanaman yang dilakukan di Desa Ngunut, Kecamatan Parang, adalah tanah berat

yang mempunyai lengas tanah kurang selama pertumbuhan tanaman tembakau. Kondisi demikian

terjadi pada saat tembakau memasuki fase pertumbuhan cepat. Kondisi tersebut sedikit menekan

pertumbuhan akar. Akibatnya, kandungan nikotin semua genotipe tidak berbeda nyata. Nikotin pada

tanaman tembakau disintesa dalam akar, selanjutnya ditranslokasi ke daun. Sehingga perkembangan

akar sangat mempengaruhi kadar nikotin tembakau.

Menurut Leffingwell (1999), kadar nikotin tembakau dapat berkisar antara 0,5 dan 8%. Faktor

lingkungan yang berpengaruh terhadap kadar nikotin antara lain tipe tanah, ketinggian tempat,

kerapatan populasi tanaman, dan jenis lahan. Pada tanah berat kadar nikotin akan lebih rendah

dibanding tanah lempung, kadar nikotin cenderung meningkat pada tempat yang lebih tinggi.

Tingginya kadar nikotin pada tembakau rejeb yang ditanam di lahan sawah berkisar antara 4,15-

5,35% , disebabkan karena lahan yang dipakai untuk pertanaman tembakau adalah lahan sawah

27
bekas padi, sehingga memiliki daya dukung terhadap kesuburan tanah yang tinggi. Bahan organik

merupakan komponen penting yang berperan dalam perbaikan sifat tanah baik secara fisika, kimia

maupun biologi tanah. Setiap kenaikan C-organik, N dan P akan diikuti oleh peningkatan kadar

nikotin. N merupakan unsur utama penyusun nikotin, sehingga pengaruhnya sangat besar terhadap

mutu (Tso, 1972).

Senyawa nikotin pada tembakau dikontrol oleh dua gen utama dan sejumlah gen minor (Katoh

et al, 2007), sementara itu, konversi dari nikotin menjadi nornikotin dikendalikan oleh gen tunggal

(Gavilano et al, 2006). Selain faktor genetik, kandungan nikotin daun tembakau juga dipengaruhi

oleh posisi daun pada batang karena kadar nikotin daun atas lebih tinggi dari daun bawah.

Kandungan nikotin genotipe dengan indeks mutu genotipe yang diuji tidak ada

korelasi. Dengan demikian tidak dapat ditarik hubungan antara tinggi rendahnya indeks

mutu dengan tinggi rendahnya kandungan nikotin tembakau lokal rejeb.

5.1.4 Implikasi Hasil Penelitian

Peningkatan produksi rajangan kering dapat dilakukan dengan mengaplikasikan pupuk K yang

bukan bersumber dari pupuk KCl maupun Phonska. Kedua jenis pupuk tersebut mengandung hara

khlor, dimana jenis hara tersebut berfungsi untuk memacu proses pembesaran sel. Pembesaran sel

daun yang tidak diikuti oleh pengisian sel dengan gula dan nikotin menyebabkan rajangan kering

mudah menyerap air dari udara sehingga sulit terbakar saat dijadikan rokok. Aplikasi pupuk K tidak

hanya dapat meningkatkan produksi rajangan kering, melainkan juga meningkatkan indek tanaman.

Upaya peningkatan indek mutu dapat dilakukan dengan menambah hara Mg, Ca dan P, baik

melalui aplikasi dolomit maupun pupuk anorganik lainnya yang mengandung ke tiga unsur hara

tersebut. Aplikasi dolomit tidak hanya dapat meningkatkan indek mutu rajangan kering, melainkan

juga meningkatkan produksi daun basah, mutu rajangan terbaik, dan dapat menekan serangan

penyakit tular tanah.

Peningkatan indek tanaman pada wilayah-wilayah tersebut dapat dilakukan dengan

mengaplikasikan pupuk yang mengandung hara K. Pupuk KCl maupun Phonska tidak dianjurkan

28
sebagai sumber hara K dalam budidaya tembakau. Penambahan pupuk N dapat dilakukan untuk

meningkatkan indek tanaman, namun diikuti oleh penurunan indek mutu yang dihasilkan.

5.2. Evaluasi Ketahanan Varietas Lokal Tembakau Magetan terhadap Phytophthora


nicotianae dan Ralstonia solanacearum

5.2.1 Evaluasi Ketahanan Varietas Lokal Tembakau Magetan terhadap P. nicotianae

Satu minggu setelah transplanting, beberapa tanaman dari semua varietas lokal tembakau

magetan yang diuji sudah mulai menunjukkan gejala layu disertai daun berubah kekuningan kecuali

S - 551 yang merupakan control tahan. Pada perkembangan berikutnya, pangkal batang terlihat

busuk kehitaman. Gejala tersebut merupakan gejala lanas akibat serangan P. nicotianae. Pada

minggu pertama, tanaman yang layu atau mati dibuang dan disulam dengan tanaman baru, sehingga

pada minggu kedua kejadian penyakitnya ada yang turun.

Berdasarkan kriteria ketahanan Mandal (1988), semua kultivar tembakau Magetan yang diuji

maupun tiga plasma nutfah magetan tidak ada satupun yang tahan terhadap P. nicotianae. Secara

umum perkembangan penyakit lanas pada uji ini sangat cepat, kecuali S - 551 yang merupakan

kontrol tahan (Gambar 13). Pada minggu pertama-kedua, gejala lanas pada Rejeb 3 sangat rendah,

namun pada minggu berikutnya gejala lanas berkembang sangat cepat. Rejeb 1-7 sangat rentan

dengan tingkat keparahan penyakit 61,1 – 88,9%, kecuali Rejeb 3 bersifat rentan (41,7%) terhadap

P. Nicotinae (Tabel 7). S-1936 dan S - 1777 rentan terhadap P. nicotinae dengan tingkat keparahan

25-33,3% sedangkan S - 2101 sangat rentan (97,2%).

29
Gambar 13. Perkembangan penyakit lanas pada varietas lokal tembakau magetan akibat serangan
P. nicotianae

30
Tabel 7. Intensitas penyakit dan kriteria ketahanan varietas lokal tembakau magetan terhadap
P. nicotianae pada umur 6 minggu setelah transplanting

Varietas Intensitas Penyakit (%) Kriteria Ketahanan


Varieties Disease intensity (%) Resistant crietria
Rejeb 1 88.89 Sangat Rentan Highly susceptible
Rejeb 2 80.56 Sangat Rentan Highly susceptible
Rejeb 3 41.67 RentanSusceptible
Rejeb 4 63.89 Sangat Rentan Highly susceptible
Rejeb 5 61.11 Sangat Rentan Highly susceptible
Rejeb 6 88.89 Sangat Rentan Highly susceptible
Rejeb 7 80.56 Sangat Rentan Highly susceptible
S - 1777 33.33 RentanSusceptible
S - 2101 97.22 Sangat Rentan Highly susceptible
S - 1936 25.00 RentanSusceptible
S - 551 (Kontrol Tahan) 8.33 Tahan Resistant
S-2326 (Kontrol Rentan) 86.11 Sangat Rentan Highly susceptible

Pada pengujian ini, tampaknya inokulum yang diperoleh dari magetan sangat virulen,

terbukti kontrol rentan (S - 2326) menjadi sangat rentan pada uji ini. Gejala lanas pada kontrol tahan

baru muncul pada minggu ketiga dengan perkembangan penyakit yang sangat lambat (Gambar 13).

Tampaknya keragaman genetik Rejeb 1-7 maupun 3 plasma nutfah tembakau lokal magetan rendah,

terutama tingkat ketahanannya terhadap P. nicotianae.

5.2.2 Evaluasi Ketahanan Varietas Lokal Tembakau Magetan terhadap R. solanacearum

Gejala layu baru muncul 3 minggu setelah transplanting. Perkembangan penyakit

berlangsung sangat lambat, kecuali pada kontrol sangat rentan (S - 2326) dan varietas S - 2101 yang

tergolong sangat rentan. Pada kedua varietas lokal ini gejala layu sangat cepat (Gambar 14). Untuk

varietas lokal tembakau magetan uji yang lain gejala diawali dengan salah satu daun bagian bawah

berubah kekuningan. Pada minggu berikutnya akan tampak gejala layu.

31
Gambar 14. Perkembangan penyakit layu bakteri pada varietas lokal tembakau magetan akibat
serangan R. solanacearum

Berdasarkan kriteria ketahanan yang dikelompokkan oleh Mandal (1988), ada perbedaan

ketahanan antar tujuh varietas lokal magetan yang diuji maupun plasma nutfah magetan koleksi

Balittas yang digunakan sebagai pembanding (Tabel 8). Rejeb 3 dan S - 1936 merupakan varietas

yang tahan dengan intensitas penyakit 2,78 - 8,33%. Sedangkan Rejeb 1, Rejeb 7, dan S - 1777

memiliki ketahanan yang moderat terhadap R. solanacearum dengan intensitas penyakit berkisar

antara11,11 - 16,67%. Rejeb 2, 3, 4, 5, dan 6 memiliki ketahanan yang sangat rendah (rentan)

terhadap R. solanacearum dengan intensitas penyakit berkisar antara 22,22 - 27,78%.

32
Tabel 8. Intensitas penyakit dan kriteria ketahanan varietas lokal tembakau magetan terhadap R.
solanacearum pada umur 8 minggu setelah transplanting

Varietas Intensitas Penyakit (%) Kriteria Ketahanan


Varieties Disease intensity (%) Resistant crietria
13.89 Moderat
Rejeb 1
22.22 Rentan Susceptible
Rejeb 2
2.78 Tahan Resistant
Rejeb 3
27.78 RentanSusceptible
Rejeb 4
25.00 Rentan Susceptible
Rejeb 5
22.22 Rentan Susceptible
Rejeb 6
16.67 Moderat
Rejeb 7
11.11 Moderat
S - 1777
100.00 Sangat Rentan Highly susceptible
S - 2101
8.33 Tahan Resistant
S - 1936
0.00 Sangat tahan Highly resistant
K-399 (Kontrol Tahan)
91.67 Sangat Rentan Highly susceptible
S-2326 (Kontrol Rentan)

5.2.3 Evaluasi Ketahanan Varietas Lokal Tembakau Magetan terhadap Cucumber


Mozaic Virus / Tobbacco Mozaic Virus ( CMV/TMV)

Tingkat serangan CMV/TMV secara alami yang rendah pada Rejeb 1, 5, 6an 6 serta no

aksesi S - 1777 menunjukkan bahwa kultivar-kultivar tersebut memiliki sifat tahan terhadap

CMV/TMV. Sedangkan kultivar uji Rejeb 2, 3, 4, dan 7 memiliki ketahanan yang moderat terhadap

serangan CMV/TMV secara alami.

33
Tabel 9. Intensitas penyakit dan kriteria ketahanan varietas lokal tembakau magetan terhadap
CMV/TMV pada umur 8 minggu setelah transplanting

Varietas Intensitas Penyakit (%) Kriteria Ketahanan


Varieties Disease intensity (%) Resistant crietria
8.3 Tahan Resistant
Rejeb 1
16.7 Moderat
Rejeb 2
11.1 Moderat
Rejeb 3
11.1 Moderat
Rejeb 4
8.3 Tahan Resistant
Rejeb 5
2.8 Tahan Resistant
Rejeb 6
16.7 Moderat
Rejeb 7
2.8 Tahan Resistant
S - 1777
13.9 Moderat
S - 2101
11.1 Moderat
S - 1936
2.8 Tahan Resistant
K - 399
30.6 Rentan Susceptible
S - 2326

Gambar 15. Perkembangan penyakit CMV/TMV pada varietas lokal tembakau magetan secara alami

34
Dari data di atas terlihat bahwa varietas lokal tembakau magetan cenderung rentan - sangat

rentan terhadap P. nicotianae maupun R. solanacearum, kecuali Rejeb 3 yang menunjukkan

tingkat ketahanan yang tinggi terhadap R. solanacearum. Secara genetis ada kemungkinan

keragaman genetik antar varietas lokal tembakau magetan tersebut sempit atau hampir seragam. Hal

ini terjadi karena varietas lokal tembakau magetan tersebut ditanam selama bertahun-tahun di

lingkungan yang sama dan dari induk yang kemungkinan sama.

Ketahanan tembakau terhadap P.nicotianae dikendalikan oleh satu gen, yaitu yang berasal

dari N. plumbagnifolia. Menurut Kiba et al. (2007), ada beberapa gen yang berperan dalam

ketahanantembakau terhadap R. solanacearum. Sementara itu, Liu et al. (2010) menyatakan bahwa

ada 4 gen yang berhubungandengan ketahanan tanaman tembakau terhadap P. nicotianae dan

R. solanacearum. Gen-gen tersebut dapat berperan langsung atau tidak langsung dalam reaksi

ketahanan tanaman.

Peran gen secara langsung dapat berupa pemberian sinyal atau respon tanaman untuk

memproduksi protein-protein yang dikenal dengan sebutan PR proteins (Van Loon, 1985; Carr and

Klessig, 1989; Bol et al. 1990; Linthorst, 1991; Stintzi et al. 1993). Yang berfungsi sebagai

antimikroba atau merangsang aktivitas enzimatik yang terlibat dalam sintesa senyawa antimikroba.

Pada tanaman tembakau, ada tiga kelompok PR proteins yang memiliki fungsi katalis, yaitu: PR-2

proteins yang memiliki aktivitas P-1,3-glucanase dan PR-3 proteins yang memiliki aktivitas

chitinase dan lysozyme (Kauffmann et al. 1987; Legrand et al. 1987; Stintzi et al. 1993).

Chitinases dan P-19- glucanases memiliki aktivitas antijamur in vitro, khususnya jika diuji secara

kombinasi (Mauch et al. 1988; Sela-Buurlage et al. 1993). Yang terakhir adalah PR-4 yang juga

memiliki aktivitas anti jamur (Ponstein et al. 1994). Bahkan PR-5 yang mirip dengan thaumatin pada

tanaman tembakau juga diklaim memiliki aktivitas anti jamur (Woloshuk et al. 1991; Vigers et al.

1992). Pada tahun 1993, Alexander et al. Melaporkan untuk pertama kalinya bahwa PR1a yang

diekspresikan secara nyata pada tembakau transgenik, menunjukkan aktivitasnya sebagai anti jamur

sehingga mampu menurunkan gejala serangan Peronospora tabacina dan Phytophthora parasitica

var. nicotianae.

35
VI. PENUTUP

Kesimpulan

Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa :

1. Rata-rata produksi rajangan kering, indek mutu, dan indek tanaman masing-masing sebesar

912,30 kg/ha, 46,75 dan 33,13.

2. Aksesi S-1777 menghasilkan indek tanaman tertinggi dilahan sawah dan tegal, diikuti oleh

galur Rejeb 4 dan Rejeb 3.

3. Aksesi S-1777 tahan terhadap virus CMV /TMV, moderat layu bakteri dan rentan lanas, sesuai

untuk sawah dan tegal.

4. Galur Rejeb 4 moderat terhadap virus CMV /TMV, rentan layu bakteri dan sangat rentan lanas,

sesuai untuk lahan tegal.

5. Galur Rejeb 3 tahan terhadap layu bakteri, moderat CMV/TMV dan rentan lanas, sesuai untuk

lahan sawah

Saran

Sesuai dengan Ppengujian, Penilaian dan Pelepasan Varietas Tanaman Perkebunan

(Direktorat Perbenihan, 2002) sebaiknya penelitian ini dilanjutkan dengan uji multilokasi tahun

kedua untuk mengetahui stabilitas dari masing-masing calon varietas sehingga dapat diusulkan

pemutihan/ pelepasannya.

DAFTAR PUSTAKA

Abadi, A.L. 2003. Ilmu Penyakit Tumbuhan I, Bayu Media. Malang. 40 hal.

Agrios, G.N. 1988. Plant Pathology. 3rd Edition AcademicPress Inc. San Diego USA.
803pp.

Anonim. 2010. Laporan Luas Areal dan Produksi/Produktivitas Perkebunan Rakyat. Dinas
Perkebunan Provinsi Jawa Timur.

Anonim. 2013. Kebutuhan tembakau nasional tahun 2013. Kementrian Perindustrian.

36
Balittas. 1989. Survey keragaan tembakau di Jawa dan Madura. Balai Penelitian Tembakau dan
Tanaman Serat. Malang. 233 hal.

Bittner, R.J. 2011. Investigating the Mechanism of Resistance to Bacterial Wilt, Caused by
Ralstonia solanacearum, in Tobacco Cultivars. Thesis. North Carolina State University.
61 pp.

Cuppels, D. and A. Kelman. 1974. Evaluation of selectivemedia for isolation of soft-rot


bacteria from soil and plant tissue. Phytopathology. 64: 468-475.

Day, P.R., and M.S. Wolfe. 1987. The genetic basis of epidemics. Pp. 3-6. In Wolfe, M.S.,
and C.E. Caten (Eds). Populations of Plant Pathogens: TheirDynamics and
Genetics. Blackwell Scientific Publications.

Djumali. 2010. Tembakau Temanggung : fotosintesis, respirasi, partisi karbohidrat, serta


keterkaitannya dengan hasil dan mutu rajangan kering. Buletin Tanaman Tembakau, Serat
& Minyak Industri. 2(2) : 60-74.

Hacisalihoglu, G., P. J.I., L.M. Longo, S. Olson, and T.M.Momol. 2006. Bacterial wilt
induced changes in nutrient distribution and biomass and the effect of acibenzolar-S-
methyl on bacterial wilt in tomato. Crop Protection. 26(7): 978–982.

Johnson, C.S., J.A. Pattison, E.M. Clevinger, T.A. Melton, B.A. Fortnum, and A. Mila.
2008. Clarifying the source of black shank resistance in flue-cured tobacco. Online.
Plant Health Progress. doi:10.1094/PHP-2008-0618-02-
RS.http://www.plantmanagementnetwork.org/pub/php/research/2008/shank. [9 Mei
2012].

Kasno, A. 1992. Pemuliaan Tanaman Kacang-kacangan. Prosiding Simposium Pemuliaan Tanaman


I. 27-28 Agustus 1992 di Malang. Perhimpunan Pemuliaan Tanaman Indonesia (PPTI)
Komisaris Daerah Jawa Timur

Kelman, A. 1954. The relationship of pathogenicity in Pseudomonas solanacearum to


colony appearance on a tetrazolium medium. Phytopathology. 44: 693-695

Kiba, A., M. Maimbo, A. Kanda, H. Tomiyama, K. Ohnishi, and Y. Hikichi. 2007. Isolation
and expression analysis of candidate genes related to Ralstonia solanacearum tobacco
interaction. Plant Biotechnology24: 409-416.

Kiba, A., H. Tomiyama, H. Takahashi, H. Hamada, K.Ohnishi, T. Okuno, and Y. Hikichi.


2003. Induction of resistance and expression of defense-related genes in tobacco leaves
infiltrated with Ralstonia solanacearum. Plant Cell Physiology. 44: 287-295

Kuc, J. 1995. Phytoalexins, stress metabolism, and disease resistance in plants. Annual
Review of Phytopathology. 33: 275–297.

Liu, F., F. Wei, L. Wang, H. Liu, X. Zhu, and Y. Liang. 2010. Riboflavin activates defense
responses in tobacco and induces resistance against Phytophthora parasitica and
Ralstonia solanacearum.Physiological and Molecular Plant Pathology. 74:330-336.

37
Mandal, N. 1988. Evaluation of germplasm or disease resistance in jute. Paper presented for The
International Training of “Jute and Kenaf Breeding Varietal Improvement” IJO/JARI
(ICAR). Barrackpore, India.

Maimbo, M., K. Ohnishi, Y. Hikichi, H. Yoshioka, and A. Kiba. 2010. S-Glycoprotein-like


protein regulates defense responses in Nicotiana plants against Ralstonia
solanacearum. Plant Physiology. 152:023-2035.

Mc Garvey, J.A., T.P. Denny, and M.A. Schell. 1999. Spatial-temporal and quantitative analysis of
growth and EPS I production by Ralstonia solanacearum in resistant and susceptible tomato
cultivars. Phytopathology 89:1233-1239.

Mc Intyre, J. L. and G.S. Taylor. 978. Race 3 of Phytophthora parasitica var. nicotianae.
Phytopathology 68:35-38.

Melton, T.A. and H.D. Shew. 2000. Blackshank. Tobacco Disease Information Note 4.
College of Agriculture and Life Sciences. Plant Pathology Extension. North
Carolina State University. http://www.ces.ncsu.edu/depts/pp/notes/Tobacco/
tdin004/tdin004.htm. [9 Mei 2012].

Nugroho,U.S. (1987). Association of seedcoat color and permeability in soybean with resistance to
weathering stress and adverse storage conditions. Ph.D. Dissertation. Miss. State Univ

Rouhi, V., R. Samson, R. Lemeur, and P. Van Damme. 2007. Photosynthetic gas exchange
characteristics in three different almond species during drought stress and subsequent
recovery. Environmental and Experimental Botany. 59(2) : 117-129.

Shew, H.D. 1987. Effect of host resistance on spread of Phytophthora parasitica var.
Nicotianae and subsequent development of tobacco black shank under field conditions.
Phytopathology. 77: 1090-1093.

YU, L.M. 1995. Elicitins from Phytophthora nicotianae and basic resistance in tobacco.
Proc Natl Acad Sci U S A. 92: 4088–4094.

38
LAMPIRAN

Serangan R. Solanacearum pada varietas lokal tembakau Rejeb 1 umur 4 minggu

39
Serangan R. solanacearum pada varietas lokal tembakau Rejeb 3 umur 4 minggu

40
Serangan R. solanacearum pada varietas lokal tembakau Rejeb 7 umur 4 minggu

41
Serangan R. solanacearum pada S - 2326 (kontrol rentan) umur 4 minggu

42
Serangan R. solanacearum pada K- 399 (kontrol tahan) umur 4 minggu

43
Serangan R. solanacearum pada S - 1777 umur 4 minggu

44
Serangan R. solanacearum pada S - 2101 umur 4 minggu

45
Serangan R. solanacearum pada S - 1936 umur 4 minggu

46

Anda mungkin juga menyukai