Oleh
NIM : 1810212033
2.
3.
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2023
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tanaman cabai (Capsicum annum L.) merupakan tanaman perdu dari
famili terong-terongan yang berasal dari benua Amerika tepatnya daerah Peru dan
menyebar ke negara-negara benua Amerika, Eropa dan Asia termasuk ke
Indonesia. Tanaman cabai banyak ragam tipe pertumbuhan dan bentuk buah.
Diperkirakan terdapat 20 spesies yang hidup di negara asalnya. Masyarakat pada
umumnya hanya mengenal beberapa jenis saja, yakni cabai besar, cabai keriting,
cabai rawit dan paprika. Cabai memiliki rasa pedas yang dapat dicampurkan
menjadi bumbu masakan sehingga membuat citra rasa makanan menjadi lebih
lezat (Nurfalach, 2010).
Indonesia merupakan salah satu negara yang menjadikan cabai sebagai
bumbu masakan. Produksi Cabai nasional di Indonesia mengalami peningkatan
dari tahun ke tahun. Pada tahun 2020 produksi cabai mencapai 2,77 juta ton.
Angka ini naik 183,96 ribu ton atau 7,11 % dibandingkan pada 2019. Sepanjang
2020 produksi cabai tertinggi terjadi pada bulan Agustus yakni mencapai 280,78
ribu ton dengan luas panen 73,77 ribu hektar (BPS, 2020).
Sumatera Barat merupakan provinsi di Indonesia yang banyak memakai
cabai dalam bumbu masakan. Rasa dari cabai sendiri sudah menjadi khas kuliner
di Sumatera Barat dan banyak disukai oleh masyarakat. Oleh sebab itu tanaman
cabai menjadi salah satu tanaman berjenis sayuran yang memiliki peluang bisnis
yang baik. Permintaan cabai yang tinggi untuk kebutuhan bumbu masakan dan
industri makanan membuktikan tanaman cabai memiliki potensi dengan
keuntungan yang cukup besar. Produksi cabai di Sumatera Barat pada tahun 2020
sebanyak 132.887 ton sementara tahun 2019 mencapai 139.993 ton, terjadi
penurunan produksi sebesar 7.106 ton (BPS, 2020). Data produksi cabai nasional
tahun 2021 yang mencatat surplus hingga 4.439 ton dari selisih hasil produksi
sebanyak 163.293 ton dan kebutuhan masyarakat sebanyak 158.855 ton
(Kementan, 2021).
2
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas maka dapat
dirumuskan permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimanakah variabilitas fenotipik genotipe cabai lokal Sumatera Barat?
2. Bagaimanakah karakter morfologi dari masing-masing genotipe cabai
lokal Sumatera Barat?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari dilaksanakan penelitian ini sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui variabilitas fenotipik dan tingkat kemiripan genotipe
cabai lokal Sumatera Barat.
2. Untuk mengetahui karakter morfologi dari masing-masing genotipe cabai
lokal Sumatera Barat.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai karakter
morfologi masing-masing cabai lokal Sumatera Barat yang dapat digunakan
sebagai data dasar dalam pengembangan varietas dan penelitian selanjutnya.
BAB II. METODE PENELITIAN
C. Rancangan Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan metode deskriptif. Data
diperoleh dari kegiatan menanam dan mengkarakterisasi 5 genotipe cabai lokal
Sumatera Barat. Jumlah tanaman yang akan ditanam ada 100 tanaman dengan
masing-masing genotipe ditanam sebanyak 20 tanaman. Untuk data kuantitatif
yang diperoleh maka akan dianalisis menggunakan statistik deskriptif yaitu
menggunakan rata-rata, ragam, dan standar deviasi. Untuk data kualitatif
ditampilkan dalam gambar sesuai dengan kriteria sesuai Petunjuk Teknis
Pengamatan Karakteristik Tanaman Cabai (Kementan, 2018). Dari data yang
diperoleh akan dilakukan analisis kemiripan dengan menggunakan Minitab 16.
Adapun genotipe cabai lokal yang akan digunakan pada peneltian dapat dilihat
pada Tabel 1.
5
D. Pelaksanaan Penelitian
1. Persiapan Media Tanam
Media tanam yang digunakan berupa campuran tanah dan pupuk kandang
yang dimasukkan ke dalam polibag. Media ini sebagai tempat tumbuh tanaman
dan menyediakan unsur hara bagi tanaman. Tanah dan pupuk kandang di campur
dengan menggunakan cangkul kemudian dimasukkan kedalam polybag yang
berukuran 40 cm x 40 cm dengan berat 10 kg. Campuran tanah dan pupuk
kandang di diamkan selama satu minggu sehingga pupuk terdegradasi dengan
baik.
2. Persemaian Benih
Media yang digunakan untuk persemaian yaitu campuran tanah dan pupuk
kandang dengan yang dimasukkan kedalam tray semai. Kemudian dibuat lubang
untuk memasukkan benih cabai dan di tutup kembali lubang tersebut dengan
tanah. Media ditutup dengan plastik bening selama 2-3 hari hingga benih
berkecambah. Penyiraman dilakukan setiap hari yaitu pada sore hari dan media
semai dijaga agar tidak terlalu lembab atau kering.
3. Penanaman
Penanaman dilakukan dengan cara pemindahan bibit dari media semai ke
media tanam ketika bibit sudah berumur ± 21 hari. Media tanam yang dipakai
berupa campuran tanah dan pupuk kandang.
6
4. Pemeliharaan
Pemeliharaan tanaman bertujuan untuk menjaga tanaman yang
dibudidayakan dapat tumbuh dengan baik. Tahapan pemeliharaan meliputi
penyiraman, penyiangan, pemasangan lanjaran/ ajir, pemupukan, pengendalian
hama penyakit.
a. Penyiraman
Penyiraman tanaman bertujuan untuk memenuhi kebutuhan air pada
tanaman. Penyiraman dilakukan 1x sehari pada pagi atau sore hari secara teratur
serta tergantung kondisi tanah.
b. Penyiangan
Penyiangan ini bertujuan untuk menjadi area sekitar pertanaman agar
bebas dari gulma dan tetap bersih. Penyiangan dilakukan secara mekanik dengan
mencabut gulma yang tumbuh sekitar area pertanaman yang dilakukan dalam
seminggu sekali.
c. Pemasangan ajir
Setelah tanaman sudah memasuki umur 15-30 hari maka perlu dilakukan
pemasangan ajir agar dapat menopang tanaman. Ajir yang digunakan panjangnya
bervariasi 125-150 cm.
d. Pemupukan
Pemupukan dilakukan untuk menjaga ketersediaan unsur hara yang ada di
tanah. Pupuk yang digunakan dalam penelitian ini sesuai dengan rekomendasi
berupa pupuk Urea sebanyak 150 kg/ha, ZA 300 kg/ha, serta KCl 150 kg/ha.
Setelah dilakukan konversi maka didapatkan bahwa kebutuhan pupuk untuk Urea
takarannya 0,75 g/ polybag, pupuk ZA takarannya 1,5 g/ polybag sedangkan
untuk kebutuhan pupuk KCl takarannya sebanyak 0,75 g/ polybag. Pemupukan
dilakukan sebanyak 3 kali sesuai dengan dosis penuh sesuai takaran diatas pada
umur 3,6 dan 9 MST. Perhitungan pupuk dapat dilihat pada (Lampiran 3).
7
5. Panen
Panen dilakukan pada saat buah telah memasuki fase masak fisiologis.
Cabai dapat dipanen apabila memiliki kriteria telah memilki warna merah cerah
penuh dan merata sekitar 90 % dari daging buah, permukaan kulit mulus tidak
ditemukan bekas serangan hama penyakit. Pemanenan dilakukan pada pagi hari
dengan cara memetik buah sekaligus dengan tangkainya. Hal ini bertujuan untuk
memperpanjang umur simpan buah.
E. Pengamatan
Kegiatan karakterisasi tanaman Cabai dilakukan dengan mengamati,
mengukur dan mendokumentasikan karakter morfologi secara langsung dari
variabel pengamatan. Variabel pengamatan terdiri dari karakter kuantitatif dan
kualitatif.
1. Pengamatan kuantitatif
a. Tinggi Tanaman
Tinggi tanaman diukur dengan menggunakan meteran pada akhir
percobaan. Pengukuran dimulai dari batas permukaan tanah sampai titik tumbuh
tanaman.
e. Pengamatan dikotom
Dikotom yaitu cabang pada tanaman yang berbentuk huruf V (bercabang 2
yang sama besarnya pada bagian kiri dan kanan). Pengamatan dilakukan satu kali
di akhir percobaan dengan menghitung semua cabang yang berbentuk huruf V
pada tanaman.
2. Pengamatan kualitatif
Pengamatan kualitatif pada tanaman Cabai dilakukan dengan mengamati
ciri fisik yang ditunjukkan masing-masing genotipe cabai dan disesuaikan
berdasarkan Petunjuk Teknis Pengamatan Karakteristik Tanaman Cabai
(Kementan, 2018). Adapun pengamatannya meliputi:
a. Daun
1) Bentuk Daun
Pengamatan bentuk daun dilakukan dengan cara mengamati daun yang
telah berkembang sempurna pada percabangan kedua atau ketiga saat tanaman
telah menghasilkan bunga pertama. Setelah diamati bentuk daun maka
disesuaikan menurut panduan buku karakterisasi.
antosianin pada daun. Setelah diamati maka disesuaikan menurut panduan buku
karakterisasi.
b. Batang
1) Pewarnaan Antosianin Pada Buku
Pengamatan dilakukan dengan cara mengamati pada sepertiga tengah
tanaman pada ruas tersier tanaman. Setelah diamati maka disesuaikan menurut
panduan buku karakterisasi. Tujuan pengamatan ini untuk melihat intensitas
warna antosianin pada buku batang tanaman.
2) Orientasi Tanaman
Pengamatan dilakukan dengan cara memperhatikan besar sudut
percabangan terhadap batang utama serta memperhatikan panjang batang
kemudian disesuaikan kriteria berdasarkan panduan karakterisasi.
c. Bunga
1) Orientasi pedunkel
Pengamatan dilakukan dengan cara pemeriksaan terhadap arah/ orientasi
tangkai bunga pada ruas kedua atau ketiga setelah dikotomus saat 50% populasi
tanaman telah berbunga dan disesuaikan dengan panduan karakterisasi.
d. Buah
1) Warna buah muda
Pengamatan dilakukan pada buah muda sebelum mengalami perubahan
warna (menjadi lebih tua), saat 50% tanaman setelah panen pertama yang
kemudian disesuaikan dengan panduan karakterisasi.
3) Posisi buah
Pengamatan dilakukan secara visual saat panen dengan mengamati
orientasi buah masak (setelah perubahan warna). Kemudian disesuaikan kriteria
berdasarkan panduan karakterisasi.
Pemeriksaan dilakukan pada seluruh bagian buah dengan mengamati warna buah
ketika sudah masak. Setelah pengamatan dilakukan dilihat kriteria berdasarkan
buku panduan karakterisasi.
5) Bentuk Buah
Tujuan pengamatan bentuk buah untuk mengetahui bentuk buah cabai.
Pengamatan dilakukan dengan cara mengamati bentuk buah pada cabai.
Kemudian, disesuaikan dengan panduan buku karakterisasi.
F. Analisis Data
Analisis yang dipakai dalam penelitian ini yaitu analisis tingkat
keragaman. Tingkat keragaman yang diperoleh dari pengamatan yang diperoleh
terbagi dalam karakter kualitatif maupun kuantitatif akan ditampilkan dalam
bentuk tabel dan gambar (foto), selanjutnya dilakukan analisis secara deskriptif
13
yang digunakan untuk menjabarkan data hasil pengamatan (Nugroho, 2008). Hasil
dari analisis kemiripan ini akan ditampilkan dalam bentuk dendogram. Analisis
statistik yang dilakukan untuk data antara lain mencari rata-rata, ragam dan
standar deviasi.
1. Rata-rata
Nilai rata-rata digunakan dalam menyajikan data yang bertujuan untuk
menentukan nilai variabilitas karakter.
Rata-rata dapat dihitung dengan rumus :
Keterangan :
̅ = Rata-rata data pengamatan masing-masing karakter
= Jumlah nilai pengamatan
= Banyak data
2. Ragam
Penghitungan ragam dilakukan untuk mengetahui viabilitas karakter.
Variabilitas karakter dapat diketahui melalui perhitungan ragam yang dihitung
dengan rumus :
Ragam sampel :
̅
Ragam populasi :
̅
Keterangan :
= Viabilitas karakter (Ragam)
̅ = Rata-rata data pengamatan masing-masing karakter
= Jumlah data
= Banyak genotipe
14
3. Standar Deviasi
Selanjutnya perhitungan standar deviasi. Nilai standar deviasi dapat
digunakan untuk menentukan bagaimana status dari variabilitas karakter tersebut.
Standar deviasi dapat dihitung dengan rumus:
Keterangan :
= Standar deviasi
= Ragam
Variabilitas karakter dianggap :
Luas jika
Sempit jika
4. Analisis Kemiripan
Analisis kemiripan digunakan untuk melihat hubungan kekerabatan
ataupun kemiripan antara seluruh set variabel yang diteliti dengan
mengelompokkannya ke dalam objek kelompok yang relative homogen
berdasarkan pada suatu set variabel yang dipertimbangkan untuk diteliti. Dalam
analisis ini digunakan program Minitab 16. Data katakter morfologis setiap
tanaman akan digunakan dalam program ini untuk melihat kemiripan masing-
masing tanaman.
BAB III. HASIL DAN PEMBAHASAN
a b c
a a a
d e
a a
Gambar 1. Pertumbuhan Tanaman: (a) Fase persemaian, (b) Fase vegetatif, (c) Fase
generatif, (d) Fase berbuah, (e) Fase pematangan buah
terlalu kering. Apabila media semai terlalu kering maka kebutuhan air untuk bibit
cabai tidak terpenuhi, jika media terlalu lembab maka akan memicu pertumbuhan
OPT seperti jamur. Perawatan untuk media semai rutin dilakukan sampai tanaman
cabai dipindahkan ke media tanam.
Pada fase vegetatif seluruh tanaman cabai menunjukkan pertumbuhan dan
perkembangan yang baik. pertumbuhan tanaman meliputi pertambahan tinggi
tanaman, bertambah panjangnya daun serta berkembangnya batang tanaman
cabai. Perawatan tanaman seperti penyiraman, penyiangan dilakukan secara
teratur. Penyiraman pada cabai dilakukan secukupnya dan tidak berlebihan sebab
akan memicu pertumbuhan patogen. Menurut Hamdani (2009), tanaman cabai
menghendaki air yang cukup, tetapi apabila jumlah air berlebihan maka dapat
menyebabkan kelembaban tanah yang tinggi dan merangsang munculnya penyakit
akibat cendawan dan bakteri. Jika terjadi kekurangan air maka akan menyebabkan
tanaman cabai kurus, kerdil, layu dan mati.
Pemupukan diberikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan
tanaman cabai selama fase vegetatif. Pemupukan tanaman dilakukan sesuai dosis
dan waktu yang tepat untuk mendukung pertumbuhan dan perkembangan tanaman
tanaman. Menurut Cepy dan Wayan (2011) unsur hara seperti nitrogen, fosfor,
kalium dan unsur hara lainnya sangat diperlukan untuk pertumbuhan vegetatif
tanaman dan pemberiannya dalam jumlah yang cukup dan seimbang.
Busuk buah menyerang tanaman ketika buah tanaman akan menuju proses
pematangan buah. Busuk buah pada cabai ini umumnya menyerang beberapa
tanaman sekitar 4-6 tanaman pada saat tanaman menuju panen pertama. Namun,
setelah dilakukan penyemprotan fungsida secara rutin dengan bahan aktif yang
berbeda, intensitas busuk buah cabai berkurang dan tidak ditemukan lagi ketika
tanaman akan memasuki panen kedua.
a b
a a
Gambar 2. Pengamatan Bentuk Daun: (a) Lanset, (b) Bulat Telur
berwarna hijau tua dan tidak ditemukan indikasi warna lain, artinya pada 5
genotipe cabai karakterisasi tidak memiliki antosianin pada daun.
Menurut Zulfitri (2005), umumnya cabai memiliki warna daun bagian atas
hijau muda, hijau tua, sampai hijau kebiruan sedangkan pada permukaan daun
bagian bawah umumnya berwarna hijau, hijau muda, hijau pucat. Warna hijau
pada daun dipengaruhi oleh adanya klorofil pada daun. Iriyani (2014) menyatakan
bahwa klorofil merupakan zat hijau daun pada semua tumbuhan hijau yang
berfotosintesis. Sel-sel mesofil yang ada didaun banyak mengandung kloroplas
yang didalamnya terdapat klorofil (zat hijau daun). Adapun penampilan pada
Gambar 3.
Pada umumnya daun merupakan organ fotosintesis yang paling utama bagi
tumbuhan. Bentuk daun sangat bervariasi, namun pada umumnya daun terdiri dari
suatu helaian daun (blade) dan tangkai daun (petiola) yang menghubungkan daun
dengan batang (Bowo et al., 2011). Berdasarkan pengamatan yang dilakukan
pada undulasi pada tepi daun daun didapatkan 3 kriteria. Adapun 3 kriteria
undulasi pada tepi daun meliputi kriteria sangat lemah, lemah dan sedang.
Pada genotipe ateng pasbar ditemukan kriteria undulasi tepi daun sangat
lemah. Kriteria sangat lemah ini didasarkan pada daun dimana tepi daun tersebut
sangat sedikit bergelombang sehingga jika diperhatikan akan terlihat bahwa pada
tepi daun tersebut rata (tidak bergelombang). Pada genotipe cabai lolai, ateng
20
maninjau dan cabai akar ditemukan sedikit gelombang pada tepi daun atau kriteria
lemah. Pada ketiga genotipe ini terlihat jelas bahwa tepi daunnya sedikit
gelombang namun lebih banyak dibandingkan dengan tepi daun pada genotipe
ateng pasbar. Kriteria sedang pada undulasi tepi daun didapatkan pada genotipe
lokal maninjau. Undulasi pada daun lokal maninjau sangat jelas terlihat bahkan.
Meskipun jelas terlihat gelombang pada tepi daunnya namun tidak terlalu banyak
sehingga di masuk ke kriteria sedang. Adapun penampilan undulasi pada tepi
daun dapat dilihat pada Gambar 4.
a b c
a a a
Gambar 4. Pengamatan Undulasi Tepi Daun: (a) Sangat Lemah, (b) Lemah, (c)
Sedang
2. Morfologi Batang
a. Pewarnaan Antosianin pada buku
Pada umumnya, batang merupakan tempat tumbuhnya organ tubuh
tumbuhan yang lain seperti tangkai, buah, daun dan bunga. Bentuk batang
berkaitan dengan perubahan diameter batang karena perubahan tinggi. Batang
merupakan bagian tumbuhan yang amat penting, dan mengingat tempat serta
kedudukan batang bagian tubuh tumbuhan, batang dapat disamakan dengan
sumbu tubuh tumbuhan (Rosanti, 2013).
Pada pengamatan pewarnaan antosianin pada buku tanaman didapatkan
hasil bahwasannya pada 5 genotipe cabai lokal yang dikarakterisasi yang meliputi
ateng pasbar, cabai lolai, lokal maninjau, ateng maninjau dan cabai akar memiliki
warna antosianin pada buku batang tanaman atau kriteria ada. Pewarnaan
antosianin pada buku ini terlihat ketika tanaman mulai memasuki fase generatif.
Genotipe cabai yang memiliki antosianin pada buku akan ditemukan warna ungu
21
disekitar buku tanaman cabai. Berbeda dengan cabai yang batang nya tidak ada
antosianin hanya ditemukan warna hijau saja pada buku.
Menurut Boslan (2000), warna ungu pada buku dan batang cabai
disebabkan oleh kandungan antosianin yang terdapat disepanjang dan disetiap
buku batang tanaman cabai. Antosianin pada batang cabai dapat sebagai indikator
ketahanan terhadap penyakit antraknosa. Semakin tinggi kadar antosianin pada
tanaman maka tanaman semakin tahan terhadap penyakit antraknosa (Komariah,
2007). Adapun penampilan antosianin pada buku batang dapat dilihat pada
Gambar 5.
b. Orientasi Tanaman
Pada pengamatan yang telah dilakukan untuk mengamati orientasi
tanaman didapatkan hasil bahwa pada 5 genotipe cabai yang dikarakterisasi
memiliki bentuk orientasi tanaman tegak. Orientasi tanaman dikatakan tegak
karena antara sudut batang dan cabang amat kecil. Tipe pertumbuhan akan
mempengaruhi dalam penerimaan cahaya. Semakin tegak tipe pertumbuhannya
maka makin sedikit cahaya yang diterima. Genotipe cabai yang memiliki tipe
pertumbuhan tegak, maka terjadinya naungan antar daun akan berkurang. Dengan
demikian genotipe ini akan cocok untuk dikembangkan ditempat yang memiliki
kelembapan udara tinggi sehingga kondisi ini kurang cocok untuk pertumbuhan
organisme pengganggu tanaman (Tjitrosoepomo, 2011). Adapun penampilan
orientasi tumbuhan dapat dilihat pada Gambar 6.
22
C. Morfologi Bunga
a. Orientasi Pedunkel
Pada pengamatan orientasi pedunkel 5 genotiope cabai yang dikarakerisasi
ditemukan ada 2 kriteria, yaitu tipe semi-menggantung dan tipe menggantung.
Pada genotipe cabai ateng pasbar ditemukan tipe semi-menggantung. Genotipe
lokal maninjau memiliki kriteria orientasi bunga semi-menggantung, begitu pun
dengan genotipe cabai ateng maninjau dan cabai akar memiliki kriteria orientasi
pedunkel yang sama, yaitu semi-menggantung. Perbedaan orientasi pedunkel ada
pada cabai lolai, dimana pada genotipe ini ditemukan bahwa kriteria orientasi
pedunkelnya menggantung.
Umumnya posisi bunga dikendalikan oleh satu gen yang tidak memiliki
dominasi (Arif et al., 2011). Gen homozigot dominan mengendalikan posisi
bunga untuk ke bawah (tidak tegak), sedangkan untuk ke samping (semi-tegak)
dikendalikan oleh gen heterozigot, dan gen homozigot resesif mengendalikkan
posisi bunga ke atas (tegak). Posisi bunga akan turut menentukkan posisi buah
yang nantinya akan terbentuk. Adapun penampilan orientasi pedunkel ditunjukkan
pada Gambar 7.
23
a b
a a
Gambar 7. Pengamatan Orientasi Pedunkel: (a) Semi Menggantung, (b)
menggantung
a b
a a
Gambar 8. Pengamatan Antosianin Pada Anter: (a) Tidak Ada, (b) Ada
24
a b
a a
Gambar 9. Pengamatan Antosianin pada Filamen: (a) Tidak Ada, (b) Ada
5. Morfologi Buah
a. Warna Buah Muda
Pada pengamatan yang dilakukan didapatkan bahwasanya 5 genotipe cabai
yang dikarakterisasi memiliki buah muda berwarna hijau. Pada umumnya cabai
keriting memiliki buah yang berwarna hijau atau unggu. Diameter buahnya lebih
kecil dibandingkan dengan diameter buah cabai besar, sedangkan kulit daging
buahnya lebih tipis. Menurut Setiadi (2006), buah muda berbeda-beda warnanya
ada yang berwarna hijau tua, hijau muda, ungu, hitam, putih kekuningan, ketika
setengah masak juga memiliki warna berbeda ada yang berwarna hijau, ungu,
hitam, putih kekuningan, dan setelah masak buah berwarna hitam, merah, ungu
kehitaman. Adapun penampilan warna buah muda dapat dilihat pada Gambar 11.
Pada dasarnya arah muncul bunga menjadi salah satu penentu untuk posisi
buah tanaman cabai. Posisi buah pada cabai umumnya memiliki posisi buah yang
menggantung, tegak, dan mendatar. Pada Pengamatan karakter posisi buah tidak
ditemukan variasi pada kelima genotipe cabai yang dikarakterisasi. Hasil
pengamatan posisi buah didapatkan bahwasanya semua posisi buah pada kelima
genotipe cabai yang diamati meliputi genotipe ateng maninjau, cabai lolai, lokal
maninjau, ateng pasbar, maupun cabai akar memiliki kriteria menggantung.
Menurut Hapsoh (2017) menyatakan bahwa posisi tangkai bunga yang
tegak cenderung akan menghasilkan orientasi buah yang tegak sedangkan posisi
bunga semi tegak atau tidak tegak akan menghasilkan orientasi buah tidak yang
tidak tegak. Posisi buah dipengaruhi oleh faktor genetik suatu tanaman dan
dipengaruhi juga oleh interaksi tanaman dengan lingkungan tempat tumbuh
tanaman. Adapun penampilan posisi buah dapat dilihat pada Gambar 13.
27
e. Bentuk Buah
Pada pengamatan bentuk buah 5 genotipe cabai didapatkan kriteria buah
bentuk memanjang. Bentuk buah memanjang dengan memiliki ciri-ciri seperti
28
lurus terlihat lebih ramping. Hal ini sependapat dengan yang dinyatakan Harpenas
dan Dermawan (2010) bahwa tanaman cabai memiliki bentuk buah kerucut
memanjang, lurus dan bengkok serta runcing pada bagian ujungnya menggantung
permukaan licin dan mengkilap. Pada umumnya buah pada cabai keriting
memang memiliki bentuk buah yang memanjang, lurus dan runcing pada bagian
ujung. Adapun penampilan bentuk buah dapat dilihat pada Gambar 15.
h. Tekstur Permukaan
Pada pengamatan tekstur permukaan pada 5 genotipe cabai didapatkan 2
kriteria bentuk tekstur buah yaitu halus dan sedikit berkerut. Cabai yang memiliki
kriteria tekstur buah halus meliputi cabai ateng pasbar, cabai lolay, lokal
maninjau, dan cabai akar. sedangkan untuk cabai dengan kriteria tekstur sedikit
berkerut ditemukan pada genotipe cabai ateng maninjau. Dikatakan kriteria halus
dikarenakan pada bagian kulit daging buah jika disentuh akan terasa licin, jika
sedikit berkerut maka akan terasa ada kerutan saat disentuh bagian kulit daging
buah. Selain itu perbedaan tekstur permukaan buah dapat dilihat juga secara
visual.
Cabai keriting umumnya memiliiki tekstur yang halus namun ada juga
yang memiliki tekstur berkerut, hal ini bisa terjadi karena adanya pengaruh
lingkungan. Penampilan tanaman (fenotipe) merupakan hasil akhir adanya
interaksi antara faktor genotipe dan lingkungan tersebut (Setya et al., 2017).
Adapun penampilan pengamatan tekstur permukaan buah dapat dilihat pada
Gambar 18.
a b
a a
Gambar 18. Pengamatan Tekstur Permukaan Buah: (a) Halus, (b) Sedikit Berkerut
umumnya memiliki nilai kisaran yang sangat jauh perbedaannya. Sedangkan pada
nilai variabilitas yang sempit terlihat bahwa nilai kisarannya tidak jauh berbeda.
Lestari (2014) menyatakan bahwa Apabila dibandingkan anatara nilai
kisaran dan karakter yang mempunyai kriteria luas, terlihat bahwa nilai kisaran
yang sangat jauh perbedaannya memilki variabilitas fenotipik yang luas atau dapat
dikatakan keragamannya luas. Sedangkan pada karakter yang memiliki nilai
kriteria sempit, nilai kisarannya tidak berbeda terlalu jauh sehingga variasi
fenotipiknya lebih kecil dibandingkan dengan dua kali standar deviasi.
Nilai variabilitas fenotipik luas, artinya penampilan fenotipik karakter
tersebut lebih dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Tedianto (2012) menyatakan
bahwa variabilitas yang luas akan memberikan variabilitas fenotipik yang luas
pula jika interaksi dengan lingkungan cukup tinggi. Variabilitas genetik terjadi
karena pengaruh gen dan interaksi yang berbeda dalam satu populasi dengan
lingkungannya. Keragaman yang sempit tidak dapat dijadikan dasar untuk proses
pemuliaan tanaman, karena akan mempersulit untuk melakukan proses seleksi
karena seleksi akan efektif apabila keragaman luas.
Menurut Fauza (2015) nilai variabilitas yang luas sangat penting dalam
kegiatan pemuliaan tanaman, tanpa adanya variabilitas yang luas maka kegiatan
pemuliaan tidak akan berjalan efektif dalam upaya merakit kulitivar unggul yang
diinginkan. Upaya merakit kultivar baru akan mengalami kesulitan karena sumber
karakter-karakter unggul tertentu yang diinginkan sulit atau bahkan tidak dapat
ditemukan dalam plasma nutfah yang ada.
E. Analisis Kemiripan
Analisis kemiripan dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui hubungan
kemiripan antar genotipe dengan menggunakan sifat morfologisnya. Analisis
kemiripan ini menggunakan aplikasi Minitab 16. Menurut Syukur et al., (2012)
semakin besar nilai angka koefisien kemiripan, maka semakin besar tingkat
kemiripan diantara tanaman yang dibandingkan. Sebaliknya semakin kecil angka
koefisien kemiripan, maka semakin kecil pula tingkat kemiripan tanaman tersebut.
Artinya, semakin besar angka kemiripan, maka semakin dekat tingkat
kekerabatannya dan sebaliknya semakin kecil angka kemiripan, maka semakin
33
A. Kesimpulan
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan yang didapatkan, disarankan agar melakukan
penelitian lanjutan dengan memfokuskan karakterisasi pada karakter yang belum
diamati seperti pada tingkat molekuler tanaman serta perlu mempelajari lebih rinci
tentang penciri utama untuk bisa dilakukan persilangan.
DAFTAR PUSTAKA
Apriliyanti, N., Seotopo, F., & Respatijarti (2016). Keragaman genetik pada
generasi F3 cabai (Capsicum annuum L.). Jurnal Produksi Tanaman, vol
4. pp. 209– 217.
Arif, A.B., Sujiprihati., & M. Syukur. (2011). Pewarisan Sifat Beberapa Karakter
Kualitatif Pada Tiga Kelompok Cabai. Buletin Plasma Nutfah 17:1-6
Bhuyan, N., Borah, B., & R. Sarma. (2007). Genetic Diversity Analysis In
Traditional Lowland Rice (Oriza sativa L.) of Assam Using RAPD and
ISSR Markers. Current Science 9 (7) : 697-972.
Boslan, P.W., & Votata E. J. (2000). Peppres: Vegetable And Spice Capsicum.
Cabi Pupblishing, New York.
Bowo, dkk. (2011). Analisis deteksi Tepi Untuk Mengidentifikasi Pola Daun.
Universitas Diponegoro.
Chaidir, L., Yuliani, K., & Qurrohman, B. (2016). Eksplorasi Dan Karakterisasi
Tanaman Genjer (Limnocharis flava (L.) Buch) Di Kabupaten
Pangandaran Berdasarkan Karakter Morfologi Dan Agronomi. Jurnal
Agro, 3(2): 53-66.
Darmawan, I., Putu, G., I.D.N. Nyana & I.G.A. Gunaidi. (2013). Pengaruh
Penggunaan Mulsa Plastik Terhadap Hasil Tanaman Cabai Rawit
(Capsicum frutescens L.) di Luar Musim di Desa Kerta. E- Jurnal
Agroteknologi Tropika. 3 (3) : 148-57.
Elsy, E.P. (2018). Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Cabai Merah (Capsicum
annum L.) Menggunakan Berbagai Jenis Mulsa. UINSUSKA (Universitas
Islam Negeri Sultan Syarif Kasim).
Hamid, A. & M. Haryanti. (2012). Untung Besar Dari Bertanam Cabai Hibrida.
Jakarta : Agromedia Pustaka. 96 hal.
37
Hapsoh. (2017). Respon Tanaman Jagung Manis (Zea mays saccharata Sturt)
yang Diberi Pupuk Guano dengan NPK di Lahan Gambut. Jurnal Fakultas
Pertanian Universitas Riau. Vol 4, No. 2. Hal: 1-15.
Harpenas, A., & Dermawan, R., (2010). Budidaya Cabai Unggul. Jakarta:
Penerbit Swadaya
Iriyani, D., & Nugraha, A. (2014). Kandungan Klorofil, Karatenoid Dan Vitamin
C Beberapa Jenis Sayuran Daun Pada Pertanian Di Kota Surabaya. Jurnal
Matematika, Sains, dan Teknologi 15(2).
Komariah, A., & L. Amalia. (2007). Heritabilitas Dan Kemajuan Genetik Kadar
Antosianin, Kadar Air, Tebal Kulit, Kadar Lignin Kulit Buah Dan
Ketahanan Cabai Merah Terhadap Penyakit Antraknosa. Universitas
Winaya Mukti.
Mardiyah, A., Wandira, A., & Syahril, M. (2022). Variabilitas Dan Heritabilitas
Padi Gogo Kultivar Arias Kuning Generasi Mutan-1 Hasil Iridiasi Sinar
Gamma. Jurnal Inovasi Penelitian 3(2): 4827-4838.
Patty, J.A. (2012). Efektifitas Metil Eugenol Terhadap Penangkapan Lalat Buah
(Bactrocera dorsalis) Pada Pertanaman Cabai. Agrologia (1) : 69-75.
Santos, E.A., Souza, M.M., Viana, A.P., Almeida, A.F., Freitas, J.C.O., &
Lawinsky, P. (2011). Multivariate analysis of morphological charateristics
of two species of passion flower with ornamental potential and of hybrids
between them. Gen. Mol. Res. pp. 2457–2471.
Sediaoetama, A.D. (2012). Ilmu Gizi Untuk Mahasiswa dan Profesi Jilid I.
Jakarta: Dian Rakyat.
Sekadi. (2006). Cabai Rawit Jenis dan Budidaya. Jakarta: Penebar Swadaya.
Stommel J.R & Albrecht E. 2012. Genetics. p. 29-56. In: Russo V.M. (Eds).
Peppers Botany. London: UK: Production and Uses. CAB International.
Syukur, M., Sujiprihatini, S., & Yunianti, R. (2009). Teknik Pemuliaan Tanaman.
Departemen Agronomi dan Hortikultura. Fakultas Pertanian. Institut
Pertanian Bogor. 300 hal.
Syukur, M., Sujiprihatini, S., Yunianti, R & Undang. (2006). Seleksi Hibrida
Cabai Hasil Persilangan Full Dialel Menggunakan Beberapa Parameter
Genetic. Prosiding Seminar Nasional Bioteknologi dan Pemuliaan
Tanaman di Bogor 1-2 Agustus 2006. Hal 151-156.
39
Tosin, D. & N.R. Sari. (2010). Sukses Usaha Dan Budidaya Cabai. Yogyakarta :
Atma media press. 80 hal.
Wang, D., P.W. Bosland. (2006). The genes of Capsicum. HortScience 41:1169-
1187.
U
b
a c B T
AM AP
S
d
5m
LM CL
Keterangan : AM = Ateng Maninjau
Jarak a = 30 cm AP = Ateng Pasbar
Jarak b = 30 cm LM = Lokal Manijau
Jarak c = 30 cm CL = Cabai Lolai
CA Jarak d = 40 cm CA = Cabai Akar
4m
43
= 0,00075 kg/polybag
= 0,75 g/polybag
= 0,0015 kg/polybag
= 1,5 g/polybag
= 0,00075 kg/polybag
= 0,75 g/polybag
44
Daun
1 Bentuk daun Lanset 1
Bulat telur 2
Elip lebar 3
Pewarnaan antosianin pada
2 Tidak ada 1
daun
Ada 9
3 Undulasi pada tepi Sangat lemah 1
Lemah 3
Sedang 5
Kuat 7
Sangat kuat 9
Batang
Pewarnaan Antosianin Pada
4 Tidak ada 1
Buku
Ada 9
5 Orientasi Tanaman Tegak 1
Semi tegak 2
Renah 3
Bunga
6 Orientasi pedunkel Tegak 1
Semi-menggantung 2
Menggantung 3
45
Buah
10 Warna buah muda Putih kehijauan 1
Kuning 2
Hijau 3
Ungu 4
Pewarnaan Antosianin Pada
11 Tidak ada 1
Buah muda
Ada 9
Mendatar 2
Menggantung 3
Ada 9
Runcing 1
Membulat 2
Melekuk ke dalam 3
Sangat melekuk 4
5 Orientasi tanaman
6 Orientasi pedunkel
48
11 Posisi buah
14 Bentuk buah