Anda di halaman 1dari 51

BAHAN SEMINAR HASIL

KARAKTERISASI MORFOLOGI BEBERAPA GENOTIPE CABAI KERITING


(Capsicum annum L.) LOKAL ASAL SUMATERA BARAT

Oleh

Nama : Septo Prasetio

NIM : 1810212033

Program Studi : Agroteknologi

Bidang Minat : Pemuliaan Tanaman

Mata Kuliah Pokok : Keanekaragaman Hayati dan Plasmanutfah

Tempat : Ruang Seminar

Hari/Tanggal : Rabu/ 07 Juni 2023

Jam : 08.00 WIB

Dosen Pembimbing : 1. Prof. Dr. Ir. Irfan Suliansyah, MS.

2. Dr. Ir. Indra Dwipa, MS.


Dosen Undangan : 1.

2.

3.

Pembahas Utama : 1. Aidil Dzikri Setiawan (1810212051)

2. Ferly mailisa Zahara (1810211018)

3. Hidayatul Ikram (1810211023)

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS ANDALAS

PADANG

2023
BAB I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Tanaman cabai (Capsicum annum L.) merupakan tanaman perdu dari
famili terong-terongan yang berasal dari benua Amerika tepatnya daerah Peru dan
menyebar ke negara-negara benua Amerika, Eropa dan Asia termasuk ke
Indonesia. Tanaman cabai banyak ragam tipe pertumbuhan dan bentuk buah.
Diperkirakan terdapat 20 spesies yang hidup di negara asalnya. Masyarakat pada
umumnya hanya mengenal beberapa jenis saja, yakni cabai besar, cabai keriting,
cabai rawit dan paprika. Cabai memiliki rasa pedas yang dapat dicampurkan
menjadi bumbu masakan sehingga membuat citra rasa makanan menjadi lebih
lezat (Nurfalach, 2010).
Indonesia merupakan salah satu negara yang menjadikan cabai sebagai
bumbu masakan. Produksi Cabai nasional di Indonesia mengalami peningkatan
dari tahun ke tahun. Pada tahun 2020 produksi cabai mencapai 2,77 juta ton.
Angka ini naik 183,96 ribu ton atau 7,11 % dibandingkan pada 2019. Sepanjang
2020 produksi cabai tertinggi terjadi pada bulan Agustus yakni mencapai 280,78
ribu ton dengan luas panen 73,77 ribu hektar (BPS, 2020).
Sumatera Barat merupakan provinsi di Indonesia yang banyak memakai
cabai dalam bumbu masakan. Rasa dari cabai sendiri sudah menjadi khas kuliner
di Sumatera Barat dan banyak disukai oleh masyarakat. Oleh sebab itu tanaman
cabai menjadi salah satu tanaman berjenis sayuran yang memiliki peluang bisnis
yang baik. Permintaan cabai yang tinggi untuk kebutuhan bumbu masakan dan
industri makanan membuktikan tanaman cabai memiliki potensi dengan
keuntungan yang cukup besar. Produksi cabai di Sumatera Barat pada tahun 2020
sebanyak 132.887 ton sementara tahun 2019 mencapai 139.993 ton, terjadi
penurunan produksi sebesar 7.106 ton (BPS, 2020). Data produksi cabai nasional
tahun 2021 yang mencatat surplus hingga 4.439 ton dari selisih hasil produksi
sebanyak 163.293 ton dan kebutuhan masyarakat sebanyak 158.855 ton
(Kementan, 2021).
2

Sentra produksi cabai terbesar di Sumatera barat meliputi Kabupaten


Solok dengan produksi rata-rata cabai sebesar 19.325 ton. Sebagian besar lagi
produksi cabai di Sumatera Barat berada di Kabupaten Agam yang meliputi
Kecamatan Ampek Angkek dan Kecamatan Matur. Selain kedua daerah tersebut
produksi cabai juga terdapat di daerah Payakumbuh, Pesisir Selatan serta Pasaman
Barat (BPS, 2020).
Kabupaten Solok dan Agam selain merupakan sentra produksi cabai juga
memiliki cabai lokal yang sering dibudidayakan petani disekitar daerah tersebut.
Kabupaten solok memiliki berbagai cabai lokal yang banyak dibudidayakan
petani, salah satunya cabai akar. Kabupaten Agam juga memiliki cabai lokal
seperti cabai Lokal Maninjau, dan Ateng Maninjau. Salah satu daerah yang
berbatasan langsung dengan kabupaten Agam yaitu kabupaten Pasaman Barat
juga memiliki cabai lokal tersendiri yang sering di budidayakan petani setempat
seperti cabai Ateng Pasbar dan cabai lolai.
Cabai varietas lokal pada umumnya mudah didapatkan petani dan sesuai
dengan selera masyarakat sekitar. Cabai varietas lokal juga dinilai petani lebih
tahan terhadap serangan hama penyakit sehingga petani lebih memilih untuk
membudidayakan cabai lokal. Keberadaan cabai lokal yang beragam tentu
memiliki sifat khas masing-masing yang dapat dikembangkan untuk
pengembangan varietas unggul berdasarkan sifat yang dimiliki. Namun, untuk
mendapatkannya memerlukan suatu tindakan yaitu mengkarakterisasi masing-
masing varietas lokal, yang bertujuan untuk mendapatkan informasi mengenai
sifat dan potensi yang dimiliki oleh varietas lokal tersebut.
Karakterisasi merupakan suatu kegiatan dalam mengidentifikasi sifat-sifat
penting yang bernilai ekonomis atau suatu penciri dari varietas yang bersangkutan
(Bhuyan et al., 2007). Karakterisasi merupakan kunci utama untuk mengetahui
potensi serta keunggulan suatu varietas. Dalam pemuliaan tanaman, karakterisasi
merupakan langkah awal untuk mengembangkan suatu varietas unggul.
Kegiatan karakterisasi dari tanaman cabai diharapkan dapat memberikan
informasi mengenai potensi unggul yang dimiliki tanaman ini. Informasi yang
diperoleh dapat digunakan sebagai acuan kedepan serta sebagai salah satu bentuk
pelestarian plasma nutfah. Keragaman genetik yang didapat nantinya akan
3

menjadi bahan pertimbangan dalam mengembangkan tanaman Cabai lokal. Untuk


itu telah dilakukan penelitian “Karakterisasi Morfologi Beberapa Genotipe
Cabai Keriting Lokal (Capsicum Annum L.) Asal Sumatera Barat”.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas maka dapat
dirumuskan permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimanakah variabilitas fenotipik genotipe cabai lokal Sumatera Barat?
2. Bagaimanakah karakter morfologi dari masing-masing genotipe cabai
lokal Sumatera Barat?

C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari dilaksanakan penelitian ini sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui variabilitas fenotipik dan tingkat kemiripan genotipe
cabai lokal Sumatera Barat.
2. Untuk mengetahui karakter morfologi dari masing-masing genotipe cabai
lokal Sumatera Barat.

D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai karakter
morfologi masing-masing cabai lokal Sumatera Barat yang dapat digunakan
sebagai data dasar dalam pengembangan varietas dan penelitian selanjutnya.
BAB II. METODE PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat Penelitian


Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan Juni sampai Oktober 2022
bertempat di Nagari Tiku Selatan, Kecamatan Tanjung Mutiara, Kabupaten Agam
(0O23’59’’ S 99o55’22’’ T) pada ketinggian tempat 40 meter diatas permukaan
laut (mdpl) (Lampiran 1).

B. Bahan dan Alat Penelitian


Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah koleksi benih cabai
lokal hasil eksplorasi dari Prof. Dr. Ir. Irfan Suliansyah, MS asal Sumatera Barat
yang dikumpulkan dari beberapa kota dan kabupaten di Sumatera Barat, kompos,
pupuk KCL, pupuk urea, Curracron 18 EC, Dithane 45 W dan Antracol 60 WP.
Alat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu penggaris, meteran, tali
rafia, kamera, polybag, ajir, kertas label, sekop, cangkul, sarung tangan,
timbangan, tray semai, hand sprayer, mistar, colour chart dan buku panduan
karakterisasi.

C. Rancangan Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan metode deskriptif. Data
diperoleh dari kegiatan menanam dan mengkarakterisasi 5 genotipe cabai lokal
Sumatera Barat. Jumlah tanaman yang akan ditanam ada 100 tanaman dengan
masing-masing genotipe ditanam sebanyak 20 tanaman. Untuk data kuantitatif
yang diperoleh maka akan dianalisis menggunakan statistik deskriptif yaitu
menggunakan rata-rata, ragam, dan standar deviasi. Untuk data kualitatif
ditampilkan dalam gambar sesuai dengan kriteria sesuai Petunjuk Teknis
Pengamatan Karakteristik Tanaman Cabai (Kementan, 2018). Dari data yang
diperoleh akan dilakukan analisis kemiripan dengan menggunakan Minitab 16.
Adapun genotipe cabai lokal yang akan digunakan pada peneltian dapat dilihat
pada Tabel 1.
5

Tabel 1. Genotipe Cabai Lokal Sumatera Barat dan Asal Genotipe

Kode Nama Genotipe Asal Genotipe


1 Ateng Pasbar Pasaman Barat
2 Cabai Lolai Pasaman Barat
3 Lokal Maninjau Agam
4 Ateng Maninjau Agam
5 Cabai Akar Solok

D. Pelaksanaan Penelitian
1. Persiapan Media Tanam
Media tanam yang digunakan berupa campuran tanah dan pupuk kandang
yang dimasukkan ke dalam polibag. Media ini sebagai tempat tumbuh tanaman
dan menyediakan unsur hara bagi tanaman. Tanah dan pupuk kandang di campur
dengan menggunakan cangkul kemudian dimasukkan kedalam polybag yang
berukuran 40 cm x 40 cm dengan berat 10 kg. Campuran tanah dan pupuk
kandang di diamkan selama satu minggu sehingga pupuk terdegradasi dengan
baik.

2. Persemaian Benih
Media yang digunakan untuk persemaian yaitu campuran tanah dan pupuk
kandang dengan yang dimasukkan kedalam tray semai. Kemudian dibuat lubang
untuk memasukkan benih cabai dan di tutup kembali lubang tersebut dengan
tanah. Media ditutup dengan plastik bening selama 2-3 hari hingga benih
berkecambah. Penyiraman dilakukan setiap hari yaitu pada sore hari dan media
semai dijaga agar tidak terlalu lembab atau kering.

3. Penanaman
Penanaman dilakukan dengan cara pemindahan bibit dari media semai ke
media tanam ketika bibit sudah berumur ± 21 hari. Media tanam yang dipakai
berupa campuran tanah dan pupuk kandang.
6

4. Pemeliharaan
Pemeliharaan tanaman bertujuan untuk menjaga tanaman yang
dibudidayakan dapat tumbuh dengan baik. Tahapan pemeliharaan meliputi
penyiraman, penyiangan, pemasangan lanjaran/ ajir, pemupukan, pengendalian
hama penyakit.

a. Penyiraman
Penyiraman tanaman bertujuan untuk memenuhi kebutuhan air pada
tanaman. Penyiraman dilakukan 1x sehari pada pagi atau sore hari secara teratur
serta tergantung kondisi tanah.

b. Penyiangan
Penyiangan ini bertujuan untuk menjadi area sekitar pertanaman agar
bebas dari gulma dan tetap bersih. Penyiangan dilakukan secara mekanik dengan
mencabut gulma yang tumbuh sekitar area pertanaman yang dilakukan dalam
seminggu sekali.

c. Pemasangan ajir
Setelah tanaman sudah memasuki umur 15-30 hari maka perlu dilakukan
pemasangan ajir agar dapat menopang tanaman. Ajir yang digunakan panjangnya
bervariasi 125-150 cm.

d. Pemupukan
Pemupukan dilakukan untuk menjaga ketersediaan unsur hara yang ada di
tanah. Pupuk yang digunakan dalam penelitian ini sesuai dengan rekomendasi
berupa pupuk Urea sebanyak 150 kg/ha, ZA 300 kg/ha, serta KCl 150 kg/ha.
Setelah dilakukan konversi maka didapatkan bahwa kebutuhan pupuk untuk Urea
takarannya 0,75 g/ polybag, pupuk ZA takarannya 1,5 g/ polybag sedangkan
untuk kebutuhan pupuk KCl takarannya sebanyak 0,75 g/ polybag. Pemupukan
dilakukan sebanyak 3 kali sesuai dengan dosis penuh sesuai takaran diatas pada
umur 3,6 dan 9 MST. Perhitungan pupuk dapat dilihat pada (Lampiran 3).
7

e. Pengendalian hama penyakit


Pengendalian hama dan penyakit dilakukan dengan menggunakan
pestisida. Untuk mengendalikan kutu daun menggunakan pestisida Curracron 18
EC dengan konsentrasi 1,5-3 ml/ liter dan bercak daun menggunakan Fungisida
antracol 60 WP dengan dosis 2-3 gram/ liter. Aplikasi pestisida curracron 18 EC
dan antracol 60 WP dimulai ketika cabai masih dalam persemaian. Penyemprotan
pestisida dilakukan pada selang waktu sekali dalam 3 hari.

5. Panen
Panen dilakukan pada saat buah telah memasuki fase masak fisiologis.
Cabai dapat dipanen apabila memiliki kriteria telah memilki warna merah cerah
penuh dan merata sekitar 90 % dari daging buah, permukaan kulit mulus tidak
ditemukan bekas serangan hama penyakit. Pemanenan dilakukan pada pagi hari
dengan cara memetik buah sekaligus dengan tangkainya. Hal ini bertujuan untuk
memperpanjang umur simpan buah.

E. Pengamatan
Kegiatan karakterisasi tanaman Cabai dilakukan dengan mengamati,
mengukur dan mendokumentasikan karakter morfologi secara langsung dari
variabel pengamatan. Variabel pengamatan terdiri dari karakter kuantitatif dan
kualitatif.

1. Pengamatan kuantitatif
a. Tinggi Tanaman
Tinggi tanaman diukur dengan menggunakan meteran pada akhir
percobaan. Pengukuran dimulai dari batas permukaan tanah sampai titik tumbuh
tanaman.

b. Jumlah helai daun


Pengamatan jumlah helai daun dimulai dari satu minggu setelah pindah ke
media tanam. Cara pengamatan dengan menghitung jumlah daun yang telah
membuka dengan sempurna. Pengamatan ini dilakukan seminggu sekali sampai
tanaman memasuki fase generatif.
8

c. Diameter batang (mm)


Pengukuran diameter batang dilakukan pada akhir percobaan dengan
menggunakan jangka sorong. Diameter batang diperoleh dengan mengukur leher
tanaman yang terdapat di bagian batas permukaan tanah.

d. Umur bunga (HST)


Pengambilan data umur berbunga dilakukan dengan menghitung kapan
waktu tanam cabai mulai berbunga dengan kriteria tanaman memiliki bunga
mekar. Pengamatan dilakukan pada saat muncul bunga pertama pada tanaman
yang diamati, dilakukan hanya satu kali.

e. Pengamatan dikotom
Dikotom yaitu cabang pada tanaman yang berbentuk huruf V (bercabang 2
yang sama besarnya pada bagian kiri dan kanan). Pengamatan dilakukan satu kali
di akhir percobaan dengan menghitung semua cabang yang berbentuk huruf V
pada tanaman.

f. Panjang buah (cm)


Pengamatan panjang buah dilakukan dengan mengukur panjang buah
masak panen yang berasal dari buah panen kedua sampai ketiga. Cara
pengamatannya diukur dengan menggunakan penggaris/ meteran mulai dari ujung
buah sampai pangkal buah.

g. Diameter buah (mm)


Pengamatan panjang buah dilakukan dengan mengukur panjang buah
masak panen yang berasal dari buah panen kedua sampai ketiga. Cara
pengamatannya diukur dengan jangka pada bagian terlebar buah.

h. Panjang daun (cm)


Pengamatan panjang daun dilakukan pada daun yang telah berkembang
sempurna pada percabangan kedua atau ketiga saat tanaman telah menghasilkan
bunga pertama. Pengamatan panjang daun dilakukan dengan mengukur daun pada
tanaman menggunakan penggaris dimulai dari pangkal sampai ujung daun.
9

i. Lebar daun (cm)


Pengamatan lebar daun dilakukan pada daun yang telah berkembang
sempurna pada percabangan kedua atau ketiga saat tanaman telah menghasilkan
bunga pertama. Pengamatan lebar daun dilakukan dengan mengukur bagian daun
terlebar pada tanaman menggunakan penggaris.

j. Jumlah buah pertanaman


Pengamatan jumlah buah pertanaman dilakukan pada saat tanaman sudah
memasuki panen. Pengamatan dilakukan dengan cara menghitung yang sudah
dipanen dari panen pertama sampai pada panen kelima.

k. Bobot buah pertanaman (gr)


Pengamatan bobot buah pertanaman dilakukan pada saat tanaman sudah
memasuki panen. Pengamatan dilakukan dengan cara menimbang berat buah
pertanaman yang sudah dipanen dari panen pertama sampai pada panen kelima.

2. Pengamatan kualitatif
Pengamatan kualitatif pada tanaman Cabai dilakukan dengan mengamati
ciri fisik yang ditunjukkan masing-masing genotipe cabai dan disesuaikan
berdasarkan Petunjuk Teknis Pengamatan Karakteristik Tanaman Cabai
(Kementan, 2018). Adapun pengamatannya meliputi:

a. Daun
1) Bentuk Daun
Pengamatan bentuk daun dilakukan dengan cara mengamati daun yang
telah berkembang sempurna pada percabangan kedua atau ketiga saat tanaman
telah menghasilkan bunga pertama. Setelah diamati bentuk daun maka
disesuaikan menurut panduan buku karakterisasi.

2) Pewarnaan Antosianin Pada Daun


Pengamatan antosianin pada daun dilakukan pada daun yang telah
berkembang sempurna pada percabangan kedua atau ketiga saat tanaman telah
menghasilkan bunga pertama. Pengamatan dilakukan dengan mencari keberadaan
10

antosianin pada daun. Setelah diamati maka disesuaikan menurut panduan buku
karakterisasi.

3) Undulasi Pada Tepi Daun


Pengamatan undulasi dilakukan dengan cara mengamati bagian tepi daun
yang telah berkembang sempurna, dengan memperhatikan gelombang pada tepi
daun. Daun yang diamati adalah daun pada percabangan kedua atau ketiga saat
telah menghasilkan bunga pertama. Setelah diamati maka disesuaikan menurut
panduan buku karakterisasi.

b. Batang
1) Pewarnaan Antosianin Pada Buku
Pengamatan dilakukan dengan cara mengamati pada sepertiga tengah
tanaman pada ruas tersier tanaman. Setelah diamati maka disesuaikan menurut
panduan buku karakterisasi. Tujuan pengamatan ini untuk melihat intensitas
warna antosianin pada buku batang tanaman.

2) Orientasi Tanaman
Pengamatan dilakukan dengan cara memperhatikan besar sudut
percabangan terhadap batang utama serta memperhatikan panjang batang
kemudian disesuaikan kriteria berdasarkan panduan karakterisasi.

c. Bunga
1) Orientasi pedunkel
Pengamatan dilakukan dengan cara pemeriksaan terhadap arah/ orientasi
tangkai bunga pada ruas kedua atau ketiga setelah dikotomus saat 50% populasi
tanaman telah berbunga dan disesuaikan dengan panduan karakterisasi.

2) Pewarnaan antosianin pada anter


Pengamatan dilakukan dengan cara pemeriksaan terhadap keberadaan
antosianin pada antera, pada saat bunga berkembang penuh dan 50% populasi
tanaman telah berbunga dan disesuaikan dengan panduan karakterisasi.
11

3) Pewarnaan antosianin pada filamen


Pengamatan dilakukan dengan cara pemeriksaan terhadap keberadaan
antosianin pada filamen pada saat bunga berkembang penuh dan 50% populasi
tanaman telah menghasilkan bunda pertama. Pengamatan dilakukan pada pagi hari
untuk menghindari terjadinya pengeringan pada filamen dan disesuaikan dengan
panduan karakterisasi.

4) Warna sekunder pada mahkota bunga


Pengamatan dilakukan dengan cara pemeriksaan terhadap keberadaan
warna sekunder pada mahkota bunga, saat bunga berkembang penuh dan 50%
populasi tanaman telah menghasilkan bunga pertama yang kemudian disesuaikan
dengan panduan karakterisasi.

d. Buah
1) Warna buah muda
Pengamatan dilakukan pada buah muda sebelum mengalami perubahan
warna (menjadi lebih tua), saat 50% tanaman setelah panen pertama yang
kemudian disesuaikan dengan panduan karakterisasi.

2) Pewarnaan Antosianin Pada Buah muda


Pemeriksaan dilakukan terhadap keberadaan antosianin pada buah muda,
menjelang masak buah (sebelum berubah warna) dan saat 50 % tanaman telah
panen pertama. Pemeriksaan dilakukan pada buah muda dengan melihat
keberadaan antosianin pada buah tersebut. Pengamatan disesuaikan dengan buku
panduan karakterisasi.

3) Posisi buah
Pengamatan dilakukan secara visual saat panen dengan mengamati
orientasi buah masak (setelah perubahan warna). Kemudian disesuaikan kriteria
berdasarkan panduan karakterisasi.

4) Warna Buah Matang


Pengamatan warna buah masak dilakukan dengan mengamati warna pada
seluruh permukaan buah masak panen yang berasal dari panen kedua.
12

Pemeriksaan dilakukan pada seluruh bagian buah dengan mengamati warna buah
ketika sudah masak. Setelah pengamatan dilakukan dilihat kriteria berdasarkan
buku panduan karakterisasi.

5) Bentuk Buah
Tujuan pengamatan bentuk buah untuk mengetahui bentuk buah cabai.
Pengamatan dilakukan dengan cara mengamati bentuk buah pada cabai.
Kemudian, disesuaikan dengan panduan buku karakterisasi.

6) Rongga Tangkai Buah


Pengamatan dilakukan pada bagian pangkal buah masak panen yang
berasal dari panen kedua, dengan mengamati ada atau tidaknya rongga (seperti
cekungan) pada buah masak. Kemudian, disesuaikan kriteria dengan buku
panduan karakterisasi.

7) Bentuk ujung buah


Pengamatan dilakukan dengan cara mengamati bentuk ujung buah masak
panen yang masih segar. Kemudian disesuaikan kriteria berdasarkan panduan
karakterisasi. Pemeriksaan dilakukan dengan cara meraba seluruh permukaan
buah masak panen yang berasal dari panen kedua. Tekstur permukaan diamati dari
keberadaan indentation (kerutan membujur). Kemudian disesuaikan kriteria
berdasarkan panduan karakterisasi.

8) Tekstur Permukaan Buah


Pemeriksaan dilakukan dengan cara meraba seluruh permukaan buah
masak panen yang berasal dari panen kedua. Tekstur permukaan diamati dari
keberadaan indentation (kerutan membujur). Kemudian disesuaikan kriteria
berdasarkan panduan karakterisasi.

F. Analisis Data
Analisis yang dipakai dalam penelitian ini yaitu analisis tingkat
keragaman. Tingkat keragaman yang diperoleh dari pengamatan yang diperoleh
terbagi dalam karakter kualitatif maupun kuantitatif akan ditampilkan dalam
bentuk tabel dan gambar (foto), selanjutnya dilakukan analisis secara deskriptif
13

yang digunakan untuk menjabarkan data hasil pengamatan (Nugroho, 2008). Hasil
dari analisis kemiripan ini akan ditampilkan dalam bentuk dendogram. Analisis
statistik yang dilakukan untuk data antara lain mencari rata-rata, ragam dan
standar deviasi.

1. Rata-rata
Nilai rata-rata digunakan dalam menyajikan data yang bertujuan untuk
menentukan nilai variabilitas karakter.
Rata-rata dapat dihitung dengan rumus :

Keterangan :
̅ = Rata-rata data pengamatan masing-masing karakter
= Jumlah nilai pengamatan
= Banyak data

2. Ragam
Penghitungan ragam dilakukan untuk mengetahui viabilitas karakter.
Variabilitas karakter dapat diketahui melalui perhitungan ragam yang dihitung
dengan rumus :
Ragam sampel :
̅

Ragam populasi :
̅

Keterangan :
= Viabilitas karakter (Ragam)
̅ = Rata-rata data pengamatan masing-masing karakter
= Jumlah data
= Banyak genotipe
14

3. Standar Deviasi
Selanjutnya perhitungan standar deviasi. Nilai standar deviasi dapat
digunakan untuk menentukan bagaimana status dari variabilitas karakter tersebut.
Standar deviasi dapat dihitung dengan rumus:

Keterangan :
= Standar deviasi
= Ragam
Variabilitas karakter dianggap :
Luas jika
Sempit jika

4. Analisis Kemiripan
Analisis kemiripan digunakan untuk melihat hubungan kekerabatan
ataupun kemiripan antara seluruh set variabel yang diteliti dengan
mengelompokkannya ke dalam objek kelompok yang relative homogen
berdasarkan pada suatu set variabel yang dipertimbangkan untuk diteliti. Dalam
analisis ini digunakan program Minitab 16. Data katakter morfologis setiap
tanaman akan digunakan dalam program ini untuk melihat kemiripan masing-
masing tanaman.
BAB III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Kondisi Pertumbuhan Tanaman

Penanaman genotipe cabai lokal untuk karakterisasi dilakukan di Nagari


Tiku Selatan, Kecamatan Tanjung Mutiara, Kabupaten Agam (0 O23’59’’ S
99o55’22’’ T) pada ketinggian tempat 40 mdpl. Genotipe cabai lokal yang
dikarakterisasi terdiri dari 5 genotipe yang berasal beberapa daerah yang berbeda
di Sumatera Barat. Kondisi cabai selama penelitian mengalami pertumbuhan dan
perkembangan yang dimulai dari fase persemaian, fase vegetatif, fase generatif,
fase berbuah dan fase pematangan buah. Perubahan fase pertumbuhan genotipe
cabai dapat dilihat pada Gambar 1.

a b c
a a a

d e
a a

Gambar 1. Pertumbuhan Tanaman: (a) Fase persemaian, (b) Fase vegetatif, (c) Fase
generatif, (d) Fase berbuah, (e) Fase pematangan buah

Pada fase perkecambahan media semai dilakukan pemeliharaan dan


penyiraman Media semai pada cabai dijaga agar tidak terlalu lembab dan tidak
16

terlalu kering. Apabila media semai terlalu kering maka kebutuhan air untuk bibit
cabai tidak terpenuhi, jika media terlalu lembab maka akan memicu pertumbuhan
OPT seperti jamur. Perawatan untuk media semai rutin dilakukan sampai tanaman
cabai dipindahkan ke media tanam.
Pada fase vegetatif seluruh tanaman cabai menunjukkan pertumbuhan dan
perkembangan yang baik. pertumbuhan tanaman meliputi pertambahan tinggi
tanaman, bertambah panjangnya daun serta berkembangnya batang tanaman
cabai. Perawatan tanaman seperti penyiraman, penyiangan dilakukan secara
teratur. Penyiraman pada cabai dilakukan secukupnya dan tidak berlebihan sebab
akan memicu pertumbuhan patogen. Menurut Hamdani (2009), tanaman cabai
menghendaki air yang cukup, tetapi apabila jumlah air berlebihan maka dapat
menyebabkan kelembaban tanah yang tinggi dan merangsang munculnya penyakit
akibat cendawan dan bakteri. Jika terjadi kekurangan air maka akan menyebabkan
tanaman cabai kurus, kerdil, layu dan mati.
Pemupukan diberikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan
tanaman cabai selama fase vegetatif. Pemupukan tanaman dilakukan sesuai dosis
dan waktu yang tepat untuk mendukung pertumbuhan dan perkembangan tanaman
tanaman. Menurut Cepy dan Wayan (2011) unsur hara seperti nitrogen, fosfor,
kalium dan unsur hara lainnya sangat diperlukan untuk pertumbuhan vegetatif
tanaman dan pemberiannya dalam jumlah yang cukup dan seimbang.
Busuk buah menyerang tanaman ketika buah tanaman akan menuju proses
pematangan buah. Busuk buah pada cabai ini umumnya menyerang beberapa
tanaman sekitar 4-6 tanaman pada saat tanaman menuju panen pertama. Namun,
setelah dilakukan penyemprotan fungsida secara rutin dengan bahan aktif yang
berbeda, intensitas busuk buah cabai berkurang dan tidak ditemukan lagi ketika
tanaman akan memasuki panen kedua.

B. Hasil Pengamatan Karakter Lima Genotipe Cabai Lokal


Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan untuk karakterisasi 5 genotipe
cabai lokal didapatkan adanya perbedaan morfologi pada beberapa karakter.
Perbedaan ditemukan pada pengamatan morfologi daun, bunga, serta pada buah.
Hasil pengamatan ditampilkan pada Tabel 2.
17

Tabel 2. Hasil Pengamatan Karakter Lima Genotipe Cabai Lokal

Karakter Ateng Cabai Lolai Lokal Ateng Cabai Akar


Pasbar Maninjau Maninjau
Bentuk Lanset Lanset Bulat Telur Lanset Lanset
Daun
Antosianin Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada
Pada Daun
Undulasi Sangat lemah Lemah Sedang Lemah Lemah
Tepi Daun
Antosianin Ada Ada Ada Ada Ada
pada buku
Orientasi Tegak Tegak Tegak Tegak Tegak
Tanaman
Orientasi Semi- Menggantung Semi- Semi- Semi-
Pedunkel menggantung menggantung menggantung menggantung
Antosianin Tidak ada Ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada
Pada Anter
Antosianin Tidak ada Ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada
Pada
Filamen
Warna Di dasar Di dasar Di dasar Di dasar Di dasar
Sekunder
Mahkota
Bunga
Warna Hijau Hijau Hijau Hijau Hijau
Buah
Muda
Antosianin Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada
Pada Buah
Muda
Posisi Menggantung Menggantung Menggantung Menggantung Menggantung
Buah
Warna Merah Merah Merah Merah Merah
Buah
Matang
Bentuk Memanjang Memanjang Memanjang Memanjang Memanjang
Buah
Rongga Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada
Tangkai
Buah
Bentuk Runcing Runcing Runcing Runcing Runcing
Ujung
Buah
Tekstur Halus Halus Halus Sedikit Halus
Permukaan berkerut
18

C. Penampilan Morfologi 5 Genotipe Cabai Lokal


1. Morfologi Daun
a. Bentuk Daun
Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan pada bentuk daun 5
genotipe cabai yang dikaraktrisasi didapatkan ada 2 variasi bentuk daun yaitu
lanset dan bulat telur. Kriteria daun berbentuk lanset ditemukan pada 4 genotipe
cabai dan bulat telur ditemukan pada 1 genotipe cabai yang dikarakterisasi.
Adapun cabai yang memiliki bentuk daun lanset yaitu ateng pasbar, cabai lolai,
ateng maninjau, dan cabai akar. Sedangkan untuk bentuk daun bulat telur dimilki
oleh cabai lokal maninjau.
Bentuk daun suatu tanaman umumnya dipengaruhi oleh beberapa faktor
yang meliputi faktor eksternal dan internal, karena pada daun memiliki plastid.
Sifat plastid merupakan sifat yang mudah dipengaruhi oleh keadaan lingkungan
yang tujuannya untuk memaksimalkan kerja dan fungsi fisiologis pada daun
(Yona, 2019). Penampilan bentuk daun cabai lokal dapat dilihat pada Gambar 2.

a b
a a
Gambar 2. Pengamatan Bentuk Daun: (a) Lanset, (b) Bulat Telur

b. Antosianin Pada Daun


Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan untuk pengamatan
antosianin pada daun didapatkan bahwa pada 5 genotipe cabai yang
dikarakterisasi tidak ditemukan adanya antosianin pada daun cabai atau dengan
kriteria tidak ada. Daun pada 5 genotipe tersebut pada pengamatan hanya
19

berwarna hijau tua dan tidak ditemukan indikasi warna lain, artinya pada 5
genotipe cabai karakterisasi tidak memiliki antosianin pada daun.
Menurut Zulfitri (2005), umumnya cabai memiliki warna daun bagian atas
hijau muda, hijau tua, sampai hijau kebiruan sedangkan pada permukaan daun
bagian bawah umumnya berwarna hijau, hijau muda, hijau pucat. Warna hijau
pada daun dipengaruhi oleh adanya klorofil pada daun. Iriyani (2014) menyatakan
bahwa klorofil merupakan zat hijau daun pada semua tumbuhan hijau yang
berfotosintesis. Sel-sel mesofil yang ada didaun banyak mengandung kloroplas
yang didalamnya terdapat klorofil (zat hijau daun). Adapun penampilan pada
Gambar 3.

Gambar 3. Pengamatan Antosianin pada Daun

c. Undulasi Pada Tepi Daun

Pada umumnya daun merupakan organ fotosintesis yang paling utama bagi
tumbuhan. Bentuk daun sangat bervariasi, namun pada umumnya daun terdiri dari
suatu helaian daun (blade) dan tangkai daun (petiola) yang menghubungkan daun
dengan batang (Bowo et al., 2011). Berdasarkan pengamatan yang dilakukan
pada undulasi pada tepi daun daun didapatkan 3 kriteria. Adapun 3 kriteria
undulasi pada tepi daun meliputi kriteria sangat lemah, lemah dan sedang.
Pada genotipe ateng pasbar ditemukan kriteria undulasi tepi daun sangat
lemah. Kriteria sangat lemah ini didasarkan pada daun dimana tepi daun tersebut
sangat sedikit bergelombang sehingga jika diperhatikan akan terlihat bahwa pada
tepi daun tersebut rata (tidak bergelombang). Pada genotipe cabai lolai, ateng
20

maninjau dan cabai akar ditemukan sedikit gelombang pada tepi daun atau kriteria
lemah. Pada ketiga genotipe ini terlihat jelas bahwa tepi daunnya sedikit
gelombang namun lebih banyak dibandingkan dengan tepi daun pada genotipe
ateng pasbar. Kriteria sedang pada undulasi tepi daun didapatkan pada genotipe
lokal maninjau. Undulasi pada daun lokal maninjau sangat jelas terlihat bahkan.
Meskipun jelas terlihat gelombang pada tepi daunnya namun tidak terlalu banyak
sehingga di masuk ke kriteria sedang. Adapun penampilan undulasi pada tepi
daun dapat dilihat pada Gambar 4.

a b c
a a a

Gambar 4. Pengamatan Undulasi Tepi Daun: (a) Sangat Lemah, (b) Lemah, (c)
Sedang

2. Morfologi Batang
a. Pewarnaan Antosianin pada buku
Pada umumnya, batang merupakan tempat tumbuhnya organ tubuh
tumbuhan yang lain seperti tangkai, buah, daun dan bunga. Bentuk batang
berkaitan dengan perubahan diameter batang karena perubahan tinggi. Batang
merupakan bagian tumbuhan yang amat penting, dan mengingat tempat serta
kedudukan batang bagian tubuh tumbuhan, batang dapat disamakan dengan
sumbu tubuh tumbuhan (Rosanti, 2013).
Pada pengamatan pewarnaan antosianin pada buku tanaman didapatkan
hasil bahwasannya pada 5 genotipe cabai lokal yang dikarakterisasi yang meliputi
ateng pasbar, cabai lolai, lokal maninjau, ateng maninjau dan cabai akar memiliki
warna antosianin pada buku batang tanaman atau kriteria ada. Pewarnaan
antosianin pada buku ini terlihat ketika tanaman mulai memasuki fase generatif.
Genotipe cabai yang memiliki antosianin pada buku akan ditemukan warna ungu
21

disekitar buku tanaman cabai. Berbeda dengan cabai yang batang nya tidak ada
antosianin hanya ditemukan warna hijau saja pada buku.
Menurut Boslan (2000), warna ungu pada buku dan batang cabai
disebabkan oleh kandungan antosianin yang terdapat disepanjang dan disetiap
buku batang tanaman cabai. Antosianin pada batang cabai dapat sebagai indikator
ketahanan terhadap penyakit antraknosa. Semakin tinggi kadar antosianin pada
tanaman maka tanaman semakin tahan terhadap penyakit antraknosa (Komariah,
2007). Adapun penampilan antosianin pada buku batang dapat dilihat pada
Gambar 5.

Gambar 5. Pengamatan Pewarnaan Antosianin pada Buku

b. Orientasi Tanaman
Pada pengamatan yang telah dilakukan untuk mengamati orientasi
tanaman didapatkan hasil bahwa pada 5 genotipe cabai yang dikarakterisasi
memiliki bentuk orientasi tanaman tegak. Orientasi tanaman dikatakan tegak
karena antara sudut batang dan cabang amat kecil. Tipe pertumbuhan akan
mempengaruhi dalam penerimaan cahaya. Semakin tegak tipe pertumbuhannya
maka makin sedikit cahaya yang diterima. Genotipe cabai yang memiliki tipe
pertumbuhan tegak, maka terjadinya naungan antar daun akan berkurang. Dengan
demikian genotipe ini akan cocok untuk dikembangkan ditempat yang memiliki
kelembapan udara tinggi sehingga kondisi ini kurang cocok untuk pertumbuhan
organisme pengganggu tanaman (Tjitrosoepomo, 2011). Adapun penampilan
orientasi tumbuhan dapat dilihat pada Gambar 6.
22

Gambar 6. Pengamatan Orientasi Tanaman

C. Morfologi Bunga
a. Orientasi Pedunkel
Pada pengamatan orientasi pedunkel 5 genotiope cabai yang dikarakerisasi
ditemukan ada 2 kriteria, yaitu tipe semi-menggantung dan tipe menggantung.
Pada genotipe cabai ateng pasbar ditemukan tipe semi-menggantung. Genotipe
lokal maninjau memiliki kriteria orientasi bunga semi-menggantung, begitu pun
dengan genotipe cabai ateng maninjau dan cabai akar memiliki kriteria orientasi
pedunkel yang sama, yaitu semi-menggantung. Perbedaan orientasi pedunkel ada
pada cabai lolai, dimana pada genotipe ini ditemukan bahwa kriteria orientasi
pedunkelnya menggantung.
Umumnya posisi bunga dikendalikan oleh satu gen yang tidak memiliki
dominasi (Arif et al., 2011). Gen homozigot dominan mengendalikan posisi
bunga untuk ke bawah (tidak tegak), sedangkan untuk ke samping (semi-tegak)
dikendalikan oleh gen heterozigot, dan gen homozigot resesif mengendalikkan
posisi bunga ke atas (tegak). Posisi bunga akan turut menentukkan posisi buah
yang nantinya akan terbentuk. Adapun penampilan orientasi pedunkel ditunjukkan
pada Gambar 7.
23

a b
a a
Gambar 7. Pengamatan Orientasi Pedunkel: (a) Semi Menggantung, (b)
menggantung

b. Antosianin Pada Anter


Pada pengamatan yang dilakukan untuk mengamati keberadaan antosianin
pada anter maka didapatkan 2 kriteria yaitu adanya antosianin dan tidak adanya
antosianin. Pada genotipe ateng pasbar, lokal maninjau, ateng maninjau dan cabai
akar didapatkan bahwa tidak ada antosianin pada anter genotipe tersebut. Pada
cabai lolai ditemukan kriteria ada antosianin pada anter bunga. Kriteria tidak ada
antosianin umumnya mahkota bunga berwarna warna putih sedangkan pada
kriteria ada antosianin memiliki warna mahkota bunga putih keunguan.
Wang dan Boslan (2006) menyatakan bahwa antosianin pada batang, daun,
bunga dan buah yang belum matang dikendalikan oleh gen A dominan sebagian
dimana gen A efektif hanya ketika hadir al+. Adapun penampilan antosianin pada
anter dapat dilihat pada Gambar 8.

a b
a a
Gambar 8. Pengamatan Antosianin Pada Anter: (a) Tidak Ada, (b) Ada
24

c. Antosianin Pada Filamen


Pada pengamatan antosianin pada filamen yang telah dilakukan didapatkan
hasil genotipe ada yang memiliki antosianin pada filamen dan ada juga yang tidak
memiliki antosianin pada filamen. Genotipe yang memiliki kriteria tidak ada
antosianin pada filamen meliputi genotipe ateng pasbar, lokal maninjau, ateng
maninjau dan cabai akar. Sedangkan untuk cabai lolai ditemukan adanya
antosianin pada filamen atau kriteria ada. Umumnya genotipe yang ditemukan
adanya antosianin pada filamen memiliki kepala sari bewarna ungu. Pada
genotipe yang tidak ditemukan antosianin pada filamen kepala sari memiliki
warna biru. Adapun penampilan pengamatan dapat dilihat pada Gambar 9.

a b
a a

Gambar 9. Pengamatan Antosianin pada Filamen: (a) Tidak Ada, (b) Ada

d. Warna sekunder mahkota bunga


Mahkota bunga pada cabai umumnya memiliki warna yang bermacam-
macam, ada yang putih, putih kehijauan, dan ungu (Prajnanta, 2007). Warna
sekunder mahkota bunga merupakan warna lain yang ada pada mahkota bunga
selain warna yang mendominasi mahkota bunga. Warna sekunder ini dapat dilihat
dengan jelas pada mahkota bunga. Warna sekunder pada mahkota bunga dapat
ditemukan pada pinggir bunga, tepi bunga maupun dasar bunga. Pada pengamatan
5 genotipe cabai didapatkan bahwa warna sekunder mahkota bunganya berada di
dasar. Adapun penampilan warna sekunder pada mahkota bunga dapat dilihat
pada Gambar 10.
25

Gambar 10. Pengamatan Warna Sekunder Mahkota Bunga

5. Morfologi Buah
a. Warna Buah Muda
Pada pengamatan yang dilakukan didapatkan bahwasanya 5 genotipe cabai
yang dikarakterisasi memiliki buah muda berwarna hijau. Pada umumnya cabai
keriting memiliki buah yang berwarna hijau atau unggu. Diameter buahnya lebih
kecil dibandingkan dengan diameter buah cabai besar, sedangkan kulit daging
buahnya lebih tipis. Menurut Setiadi (2006), buah muda berbeda-beda warnanya
ada yang berwarna hijau tua, hijau muda, ungu, hitam, putih kekuningan, ketika
setengah masak juga memiliki warna berbeda ada yang berwarna hijau, ungu,
hitam, putih kekuningan, dan setelah masak buah berwarna hitam, merah, ungu
kehitaman. Adapun penampilan warna buah muda dapat dilihat pada Gambar 11.

Gambar 11. Pengamatan Warna Buah Muda


26

b. Antosianin Pada Buah Muda


Pada pengamatan 5 genotipe cabai yang telah dilakukan tidak ditemukan
adanya antosianin pada buah muda masing-masing genotipe sehingga dapat
disimpulkan pada 5 genotipe cabai yang dikarakterisasi masuk ke krietria tidak
ada antosianin pada buah muda. Adapun penampilannya dapat dilihat pada
gambar 12.

Gambar 12. Pengamatan Antosianin pada Buah Muda


c. Posisi Buah

Pada dasarnya arah muncul bunga menjadi salah satu penentu untuk posisi
buah tanaman cabai. Posisi buah pada cabai umumnya memiliki posisi buah yang
menggantung, tegak, dan mendatar. Pada Pengamatan karakter posisi buah tidak
ditemukan variasi pada kelima genotipe cabai yang dikarakterisasi. Hasil
pengamatan posisi buah didapatkan bahwasanya semua posisi buah pada kelima
genotipe cabai yang diamati meliputi genotipe ateng maninjau, cabai lolai, lokal
maninjau, ateng pasbar, maupun cabai akar memiliki kriteria menggantung.
Menurut Hapsoh (2017) menyatakan bahwa posisi tangkai bunga yang
tegak cenderung akan menghasilkan orientasi buah yang tegak sedangkan posisi
bunga semi tegak atau tidak tegak akan menghasilkan orientasi buah tidak yang
tidak tegak. Posisi buah dipengaruhi oleh faktor genetik suatu tanaman dan
dipengaruhi juga oleh interaksi tanaman dengan lingkungan tempat tumbuh
tanaman. Adapun penampilan posisi buah dapat dilihat pada Gambar 13.
27

Gambar 13. Pengamatan Posisi Buah

d. Warna Buah Matang


Pada pengamatan warna buah matang didapatkan bahwasanya pada 5
genotipe cabai yang dikarakterisasi memilki kriteria warna buah matang berwarna
merah. Warna pada buah matang merupakan akibat dari reduksi klorofil,
pigmentasi antosianin dan akumulasi pigmen karotenoid. Capsanthin dan
Capsorubin adalah pigmen terbanyak pada buah matang yang berwarna merah
(Stommel & Albrecht, 2012). Umumnya cabai keriting memang memiki warna
merah pada saat buah telah matang. Adapun penampilan warna buah masak dapat
dilihat pada Gambar 14.

Gambar 14. Pengamatan Warna Buah Matang

e. Bentuk Buah
Pada pengamatan bentuk buah 5 genotipe cabai didapatkan kriteria buah
bentuk memanjang. Bentuk buah memanjang dengan memiliki ciri-ciri seperti
28

lurus terlihat lebih ramping. Hal ini sependapat dengan yang dinyatakan Harpenas
dan Dermawan (2010) bahwa tanaman cabai memiliki bentuk buah kerucut
memanjang, lurus dan bengkok serta runcing pada bagian ujungnya menggantung
permukaan licin dan mengkilap. Pada umumnya buah pada cabai keriting
memang memiliki bentuk buah yang memanjang, lurus dan runcing pada bagian
ujung. Adapun penampilan bentuk buah dapat dilihat pada Gambar 15.

Gambar 15. Pengamatan Bentuk Buah

f. Rongga Tangkai Buah


Buah merupakan suatu bagian dari tanaman yang strukturnya mengelilingi
biji dimana struktur tersebut berasal dari indung telur sebagai fundamen (bagian)
dari bunga itu sendiri. Buah memiliki rongga pada tangkai yang berfungsi untuk
tempat melekatnya buah itu sendiri. Selain itu, berfungsi sebagai sarana
distributor makanan hasil fotosintesis ke buah. Buah cabai memiliki rongga
tangkai buah dengan jumlah berbeda-beda dan ada yang tidak memiliki sesuai
dengan varietasnya. Pada bagian dalam buah cabai terdapat plasenta sebagai
tempat biji melekat (Sediaoetama, 2012).
Pada pengamatan rongga tangkai buah pada 5 genotipe cabai yang
dikarakterisasi yang meliputi ateng pasbar, cabai lolai, lokal maninjau, ateng
maninjau dan cabai akar didapatkan hasil bahwa 5 genotipe tersebut tidak
memiliki rongga tangkai buah atau kriteria tidak ada. Adapun pena mpilan bentuk
pangkal buah dapat dilihat pada Gambar 16.
29

Gambar 16. Pengamatan Rongga Tangkai Buah

g. Bentuk Ujung Buah


Dari hasil penelitian untuk pengamatan bentuk ujung buah pada 5 genotipr
cabai didapatkan bahwa semua genotipe yang dikarakterisasi yaitu ateng pasbar,
cabai lolai, lokal maninjau, ateng maninjau serta cabai akar memiliki tipe bentuk
ujung buah yaitu runcing.
Tipe ujung buah runcing biasanya memang ditemukan pada buah cabai
yang berbentuk memanjang. Tipe ujung buah runcing juga memiliki ciri-ciri
seperti buah yang memanjang serta dibagian ujung agak melengkung dan runcing
namun jika disentuh dengan tangan bagian runcing tersebut terasa halus. Bentuk
ujung buah umumnya berkaitan dengan bentuk buah, jika bentuk buah
memanjang maka pada ujung buah akan berbentuk runcing. Adapun penampilan
bentuk ujung buah dapat dilihat pada Gambar 17.

Gambar 17. Pengamatan Bentuk Ujung buah


30

h. Tekstur Permukaan
Pada pengamatan tekstur permukaan pada 5 genotipe cabai didapatkan 2
kriteria bentuk tekstur buah yaitu halus dan sedikit berkerut. Cabai yang memiliki
kriteria tekstur buah halus meliputi cabai ateng pasbar, cabai lolay, lokal
maninjau, dan cabai akar. sedangkan untuk cabai dengan kriteria tekstur sedikit
berkerut ditemukan pada genotipe cabai ateng maninjau. Dikatakan kriteria halus
dikarenakan pada bagian kulit daging buah jika disentuh akan terasa licin, jika
sedikit berkerut maka akan terasa ada kerutan saat disentuh bagian kulit daging
buah. Selain itu perbedaan tekstur permukaan buah dapat dilihat juga secara
visual.
Cabai keriting umumnya memiliiki tekstur yang halus namun ada juga
yang memiliki tekstur berkerut, hal ini bisa terjadi karena adanya pengaruh
lingkungan. Penampilan tanaman (fenotipe) merupakan hasil akhir adanya
interaksi antara faktor genotipe dan lingkungan tersebut (Setya et al., 2017).
Adapun penampilan pengamatan tekstur permukaan buah dapat dilihat pada
Gambar 18.

a b
a a

Gambar 18. Pengamatan Tekstur Permukaan Buah: (a) Halus, (b) Sedikit Berkerut

D. Variabilitas Fenotipik Tanaman

Variabilitas fenotipik merupakan suatu keragaman yang dapat dilihat,


diamati serta diukur secara langsung pada suatu tanaman. Keragaman fenotipe
dari suatu populasi dapat diketahui dari luas atau sempitnya varibilitas.
Keragaman dari variabilitas fenotipik ini sangat penting untuk pemuliaan tanaman
31

dalam pengembangan suatu varietas tanaman yang ditunjukkan dari adanya


keragaman populasi. Variasi populasi dapat ditinjau dengan melakukan
pengukuran dan dianalisis dengan kaidah statistik (Chaidir et al., 2016).

Variabilitas merupakan suatu parameter genetik yang mengidentifikasi


suatu keragaman dalam populasi. Nilai variabilitas yang luas sangat penting
dalam kegiatan pemuliaan tanaman, tanpa adanya variabilitas yang luas maka
kegiatan pemuliaan akan terhambat karena sumber keragaman tidak ditemukan
pada populasi (Mardiyah et al., 2022). Berdasarkan penelitian pada 5 genotipe
cabai yang telah dikarakterisasi maka diperoleh variabilitas pada masing-masing
karakter cabai. Nilai kisaran, rata-rata, ragam, dan standar deviasi ditampilkan
pada Tabel 3.

Tabel 3. Nilai kisaran, Rata-rata, dan Variabilitas 5 genotipe cabai lokal


berdasarkan karakter kuantitatif

Karakter Kisaran Rata-rata S2 St Dev 2 St Dev Kriteria

Tinggi tanaman (cm) 68-108 83,10 98,24 9,91 19,82 Luas


Jumlah daun 10-18 12,63 3,47 1,86 3,72 Sempit
Panjang daun (cm) 4,9-8,8 7,09 0,81 0,90 1,80 Sempit
Lebar daun (cm) 2,8-4,6 3,48 0,19 0,44 0,88 Sempit
Diameter batang (mm) 8,2-14,1 9,88 2,31 1,52 3,04 Sempit
Umur berbunga (HST) 39-53 44,45 8,58 2,93 5,86 Luas
Umur panen (HST) 90-102 94,84 6,08 2,45 4,90 Luas
Jumlah dikotom 16-38 25,16 27,17 5,21 10,42 Luas
Panjang buah (cm) 12,6-20,8 16,87 3,82 1,95 3,90 Sempit
Diameter buah (mm) 5,6-8,7 6,90 0,42 0,65 1,30 Sempit
Jumlah buah/tan 19-38 25,60 21,78 4,67 9,34 Luas
Bobot buah/tan (g) 85-140 104,60 123,73 11,12 22,24 Luas

Hasil analisis variabilitas fenotipik menunjukkan bahwa cabai lokal yang


dikarakterisasi memiliki nilai variabilitas yang beragam. Tanaman cabai memiliki
nilai variabilitas luas pada karakter tinggi tanaman, umur berbunga, umur panen,
jumlah dikotom, jumlah buah pertanaman dan bobot buah pertanaman. Pada
karakter jumlah daun, panjang daun, lebar daun, diameter batang, panjang buah,
dan diameter buah mempunyai nilai variabilitas yang sempit. Nilai varibilitas luas
32

umumnya memiliki nilai kisaran yang sangat jauh perbedaannya. Sedangkan pada
nilai variabilitas yang sempit terlihat bahwa nilai kisarannya tidak jauh berbeda.
Lestari (2014) menyatakan bahwa Apabila dibandingkan anatara nilai
kisaran dan karakter yang mempunyai kriteria luas, terlihat bahwa nilai kisaran
yang sangat jauh perbedaannya memilki variabilitas fenotipik yang luas atau dapat
dikatakan keragamannya luas. Sedangkan pada karakter yang memiliki nilai
kriteria sempit, nilai kisarannya tidak berbeda terlalu jauh sehingga variasi
fenotipiknya lebih kecil dibandingkan dengan dua kali standar deviasi.
Nilai variabilitas fenotipik luas, artinya penampilan fenotipik karakter
tersebut lebih dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Tedianto (2012) menyatakan
bahwa variabilitas yang luas akan memberikan variabilitas fenotipik yang luas
pula jika interaksi dengan lingkungan cukup tinggi. Variabilitas genetik terjadi
karena pengaruh gen dan interaksi yang berbeda dalam satu populasi dengan
lingkungannya. Keragaman yang sempit tidak dapat dijadikan dasar untuk proses
pemuliaan tanaman, karena akan mempersulit untuk melakukan proses seleksi
karena seleksi akan efektif apabila keragaman luas.
Menurut Fauza (2015) nilai variabilitas yang luas sangat penting dalam
kegiatan pemuliaan tanaman, tanpa adanya variabilitas yang luas maka kegiatan
pemuliaan tidak akan berjalan efektif dalam upaya merakit kulitivar unggul yang
diinginkan. Upaya merakit kultivar baru akan mengalami kesulitan karena sumber
karakter-karakter unggul tertentu yang diinginkan sulit atau bahkan tidak dapat
ditemukan dalam plasma nutfah yang ada.

E. Analisis Kemiripan
Analisis kemiripan dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui hubungan
kemiripan antar genotipe dengan menggunakan sifat morfologisnya. Analisis
kemiripan ini menggunakan aplikasi Minitab 16. Menurut Syukur et al., (2012)
semakin besar nilai angka koefisien kemiripan, maka semakin besar tingkat
kemiripan diantara tanaman yang dibandingkan. Sebaliknya semakin kecil angka
koefisien kemiripan, maka semakin kecil pula tingkat kemiripan tanaman tersebut.
Artinya, semakin besar angka kemiripan, maka semakin dekat tingkat
kekerabatannya dan sebaliknya semakin kecil angka kemiripan, maka semakin
33

jauh kekerabatannya. Implikasinya dalam pemuliaan tanaman, dengan adanya


kekerabatan tanaman yang jauh dalam melakukan perakitan benih hibrida
didapatkan heterosis yang tinggi dan rekombinasi yang terbentuk juga tinggi,
demikian sebaliknya.

Sifat morfologis dapat digunakan untuk pengenalan dan menggambarkan


kemiripan tingkat jenis. Jenis jenis yang kemiripannya dekat maka banyak
persamaan antara satu dengan tanaman lainnya (Swasti, 2007). Pada analisis
kemiripan ini data yang digunakan yaitu karakter kualitatif dan kuantitatif 5
genotipe cabai yang dikarakterisasi. Keseluruhan data diolah dengan Minitab 16
dan menghasilkan pengelompokkan tanaman yang dapat dilihat pada Gambar 19.

Keterangan : 1: Ateng Pasbar, 2 : Cabai Lolai, 3 : Lokal Maninjau, 4 : Ateng


Maninjau, 5 : Cabai Akar
Gambar 19. Dendogram Karakter kualitatif dan kuantitatif Genotipe Cabai Lokal

Berdasarkan hasil analisis pada dendogram didapatkan bahwa terdapat 2


kelompok besar pada cabai pada 5 genotipe cabai yang dikaraktersasi. Kelopok
tersebut memisah pada koefisien 39,22 % (Gambar 19). Kelompok besar tersebut
terbagi lagi menjadi beberapa kelompok kecil. Adapun kelompok yang dibentuk
berdasarkan hasil dendogram dapat dilihat pada Tabel 4.
34

Tabel 4. Pengelompokan Genotipe Cabai Berdasarkan Hasil Dendogram

Kelompok kecil Genotipe


Kelompok Besar
1 1a Cabai lolai, Ateng Maninjau,
Cabai Akar
1b Ateng Pasbar
2 Lokal Maninjau

Pada tabel 4. menunjukkan bahwa cabai memiliki dua kelompok besar


namun dalam kelompok tersebut terbagi lagi menjadi beberapa kelompok kecil.
Kelompok 1 terdiri dari dua kelompok kecil yang disimbolkan dengan 1 a dan 1 b.
Kelompok 1 a terdiri dari Cabai Lolai, Ateng Maninjau, Dan Cabai Akar
sedangkan untuk kelompok 1 b hanya satu genotipe yaitu Ateng Pasbar. Pada
kelompok 2 terdiri dari cabai Lokal Manijau. kedua kelompok ini memilki
koefisien kemiripan berkisar 39,22 – 100 %.
Pada pengamatan yang telah dilakukan terdapat perbedaan dan persamaan
morfologi tanaman cabai yang dapat digunakan untuk mengetahui jauh dekatnya
hubungan kekerabatan antara satu tanaman cabai dengan tanaman cabai lain. Sifat
morfologi cenderung dipengaruhi oleh keadaan lingkungan sekitar saat tanaman
dibudidayakan. Faktor lingkungan berpengaruh terhadap ekspresi ciri tersebut
bersifat temporer, artinya pengaruh lingkungan akan ada saat tanaman tersebut
telah ditanam pada suatu lingkungan budidaya. Jika suatu tanaman ditanam di
dataran rendah lalu ditanam di dataran tinggi hasilnya tidak akan sama. Hal ini
disebabkan oleh kondisi lingkungan yang berbeda sehingga bisa terjadi
keragaman morfologis pada suatu tanaman (Suskendriyati et al., 2000). Sifat
morfologis dapat digunakan untuk pengenalan dan menggambarkan kemiripan
tingkat jenis. Jenis jenis yang kemiripannya dekat maka mempunyai banyak
persamaan antara satu dengan tanaman lainnya (Swasti 2007).
BAB IV. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan maka didapatkan kesimpulan


sebagai berikut :
1. Variabilitas fenotipik cabai lokal yang dikarakterisasi memiliki nilai luas pada
pengamatan tinggi tanaman, umur berbunga, umur panen, jumlah dikotom,
berat buah pertanaman dan jumlah buah pertanaman. Sedangkan nilai
variabilitas sempit terdapat pada pengamatan jumlah daun, panjang daun,
lebar daun, diameter batang, panjang buah, dan diameter buah. Hasil analisis
kemiripan dengan Minitab 16 pada lima genotipe cabai memiliki kemiripan
berkisar 39,22 – 100 %.
2. Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan pada genotipe cabai yang
dikarakterisasi didapatkan bahwa terdapat variasi pada pengamatan bentuk
daun, undulasi pada tepi daun, orientasi pedunkel, pewarnaan antosianin pada
anter, pewarnaan antosianin pada filament, dan tekstur permukaan buah.

B. Saran
Berdasarkan kesimpulan yang didapatkan, disarankan agar melakukan
penelitian lanjutan dengan memfokuskan karakterisasi pada karakter yang belum
diamati seperti pada tingkat molekuler tanaman serta perlu mempelajari lebih rinci
tentang penciri utama untuk bisa dilakukan persilangan.
DAFTAR PUSTAKA

Andoko. (2013). Budidaya Tanaman Cabai Merah. Jakarta : Penebar Swadaya.


88 hal.

Apriliyanti, N., Seotopo, F., & Respatijarti (2016). Keragaman genetik pada
generasi F3 cabai (Capsicum annuum L.). Jurnal Produksi Tanaman, vol
4. pp. 209– 217.

Arif, A.B., Sujiprihati., & M. Syukur. (2011). Pewarisan Sifat Beberapa Karakter
Kualitatif Pada Tiga Kelompok Cabai. Buletin Plasma Nutfah 17:1-6

Bhuyan, N., Borah, B., & R. Sarma. (2007). Genetic Diversity Analysis In
Traditional Lowland Rice (Oriza sativa L.) of Assam Using RAPD and
ISSR Markers. Current Science 9 (7) : 697-972.

Boslan, P.W., & Votata E. J. (2000). Peppres: Vegetable And Spice Capsicum.
Cabi Pupblishing, New York.

Bowo, dkk. (2011). Analisis deteksi Tepi Untuk Mengidentifikasi Pola Daun.
Universitas Diponegoro.

Cepy & Wayan, W. (2011). Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Padi


(Oriza sativa L.) Di Media Vertisol dan Entisol Pada Berbagai Teknik
Pengaturan Air Dan Jenis Pupuk. Jurnal Crop Agro 4(2):49-56

Chaidir, L., Yuliani, K., & Qurrohman, B. (2016). Eksplorasi Dan Karakterisasi
Tanaman Genjer (Limnocharis flava (L.) Buch) Di Kabupaten
Pangandaran Berdasarkan Karakter Morfologi Dan Agronomi. Jurnal
Agro, 3(2): 53-66.

Darmawan, I., Putu, G., I.D.N. Nyana & I.G.A. Gunaidi. (2013). Pengaruh
Penggunaan Mulsa Plastik Terhadap Hasil Tanaman Cabai Rawit
(Capsicum frutescens L.) di Luar Musim di Desa Kerta. E- Jurnal
Agroteknologi Tropika. 3 (3) : 148-57.

Elsy, E.P. (2018). Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Cabai Merah (Capsicum
annum L.) Menggunakan Berbagai Jenis Mulsa. UINSUSKA (Universitas
Islam Negeri Sultan Syarif Kasim).

Fauza H. (2015). Studi Awal Fenotipik Plasma Nutfah Jengkol (Pithecollobium


jiringa) Di Padang, Sumatera Barat. Prosiding Seminar Nasional
Masyarakat Biodiversity Indonesia, 1 (1): 23-30.

Hamid, A. & M. Haryanti. (2012). Untung Besar Dari Bertanam Cabai Hibrida.
Jakarta : Agromedia Pustaka. 96 hal.
37

Hapsoh. (2017). Respon Tanaman Jagung Manis (Zea mays saccharata Sturt)
yang Diberi Pupuk Guano dengan NPK di Lahan Gambut. Jurnal Fakultas
Pertanian Universitas Riau. Vol 4, No. 2. Hal: 1-15.

Harpenas, A., & Dermawan, R., (2010). Budidaya Cabai Unggul. Jakarta:
Penerbit Swadaya

Intara, Y.I., A. Sapei., Erizal., N. Sembiring., & M.A.B. Djofril. 2011.


Mempelajari Pengaruh Pengelolaan Tanah Dan Cara Pemberian Air
Terhadap Pertumbu han Tanaman Cabai (Capsicum annum L.). Jurnal
Embryo 1 (8) : 32-39.

Iriyani, D., & Nugraha, A. (2014). Kandungan Klorofil, Karatenoid Dan Vitamin
C Beberapa Jenis Sayuran Daun Pada Pertanian Di Kota Surabaya. Jurnal
Matematika, Sains, dan Teknologi 15(2).

Kementerian Pertanian (Kementan). (2021). Produksi Cabai Nasional. Pusat Data


dan Sistem Informasi Pertanian Kementrian Pertanian. Jakarta.

Komariah, A., & L. Amalia. (2007). Heritabilitas Dan Kemajuan Genetik Kadar
Antosianin, Kadar Air, Tebal Kulit, Kadar Lignin Kulit Buah Dan
Ketahanan Cabai Merah Terhadap Penyakit Antraknosa. Universitas
Winaya Mukti.

Mardiyah, A., Wandira, A., & Syahril, M. (2022). Variabilitas Dan Heritabilitas
Padi Gogo Kultivar Arias Kuning Generasi Mutan-1 Hasil Iridiasi Sinar
Gamma. Jurnal Inovasi Penelitian 3(2): 4827-4838.

Nurfalach. (2010). Budidaya Tanaman Cabai Merah (Capsicum annum L.) di


UPTD Pembibitan Tanaman Hortikultura D esa Pakopen Kecamatan
Bandungan Kabupaten Semarang. UNS (Universitas Sebelas Maret).

Patty, J.A. (2012). Efektifitas Metil Eugenol Terhadap Penangkapan Lalat Buah
(Bactrocera dorsalis) Pada Pertanaman Cabai. Agrologia (1) : 69-75.

Prajnanta F. (2007). Agribisnis Cabai Hibrida. Jakarta : Penebar Swadaya.

Purwantoro, R.S. (2009). Peranan Morfologi Semai Dalam Mengidentifikasi Jenis


Tumbuhan Berhabitus Pohon. Bogor : Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun
Raya Bogor.

Rosanti, D. (2013). Struktur Morfologi Batang Tumbuhan di Taman Wisata Alam


Punti Kayu Palembang. Jurnal Ilmiah Matematika dan Ilmu Pengetahuan
Alam, 5(1), 30-34.

Santika, A. (2002). Agribisnis Cabai. Jakarta : Penebar Swadaya. 135 hal.


38

Santos, E.A., Souza, M.M., Viana, A.P., Almeida, A.F., Freitas, J.C.O., &
Lawinsky, P. (2011). Multivariate analysis of morphological charateristics
of two species of passion flower with ornamental potential and of hybrids
between them. Gen. Mol. Res. pp. 2457–2471.
Sediaoetama, A.D. (2012). Ilmu Gizi Untuk Mahasiswa dan Profesi Jilid I.
Jakarta: Dian Rakyat.

Sembiring, N.N. (2009). Pengaruh Jenis Bahan Pengemas Terhadap Kualitas


Cabai (Capsicum annum L.) Segar Kemasan Selama Penyimpanan Dingin.
Medan : Sekolah Pascasarjana, Universitas Sumatera Utara.

Sekadi. (2006). Cabai Rawit Jenis dan Budidaya. Jakarta: Penebar Swadaya.

Sumarni, N & A. Muharam. (2005). Budidaya Tanaman Cabai Merah (Capsicum


annum L.). Bandung : Balai penelitian Tanaman Sayuran.

Sumpena, U. (2013). Penetapan kadar capsaicin beberapa jenis cabe (Capsicum


sp) di Indonesia. Jurnal Ilmu Pertanian 9 (2) : 9-16.
Setiadi. (2006). Cabai Rawit Jenis dan Budidaya. Jakarta: Penebar Swadaya.

Setya, A. F. A., A. Nugroho., & R. Soelistyono. (2017). Kajian Penggunaan


Beberapa Macam Pupuk Kandang Terhadap Pertumbuhan Dan Hasil
Tanaman Bunga Kol (Brassica oleraceae. L). Jurnal Produksi Tanaman
5(6) : 939-946

Suskendriyati, H., A. Wijayati., N. Hidayah & Cahyuning, A. (2002). Studi


Morfologi dan Hubungan Kekerabatan Varietas Salak Pondoh (Salacca
zalacca (Gaert.) Voss.) di Dataran Tinggi Sleman. Biodiversitas 1(2) : 59-
64.

Stommel J.R & Albrecht E. 2012. Genetics. p. 29-56. In: Russo V.M. (Eds).
Peppers Botany. London: UK: Production and Uses. CAB International.

Swasti, E. (2007). Pengantar Pemuliaan Tanaman. Buku Ajar. Padang. Fakultas


Pertanian Universitas Andalas

Syukur, M., Sujiprihatini, S., & Yunianti, R. (2009). Teknik Pemuliaan Tanaman.
Departemen Agronomi dan Hortikultura. Fakultas Pertanian. Institut
Pertanian Bogor. 300 hal.

Syukur, M., Sujiprihatini, S., Yunianti., R & Kusumah, D. (2011). Pendugaan


Ragam Genetik Dan Heritabilitas Karakter Komponen Hasil Beberapa
Cabai. Jurnal Agrivigor 10 (2) : 148-156.

Syukur, M., Sujiprihatini, S., Yunianti, R & Undang. (2006). Seleksi Hibrida
Cabai Hasil Persilangan Full Dialel Menggunakan Beberapa Parameter
Genetic. Prosiding Seminar Nasional Bioteknologi dan Pemuliaan
Tanaman di Bogor 1-2 Agustus 2006. Hal 151-156.
39

Syukur, M., S. Sujiprihati., R. Yunianti. (2012). Teknik Pemuliaan Tanaman.


Penebar Swadaya, Jakarta.

Tedianto. (2012). Karakterisasi Labu Kuning (Cucurbita moschata) Berdasarkan


Penanda Morfologi dan Kandungan Protein, Karbohidrat, Lemak pada
Berbagai Ketinggian Tempat. Universitas Sebelas Maret. Surakarta.

Tjitrosoepomo G. (2011). Morfologi Tumbuhan. Gadjah Mada University.


Yogyakarta. 11 hal.

Tosin, D. & N.R. Sari. (2010). Sukses Usaha Dan Budidaya Cabai. Yogyakarta :
Atma media press. 80 hal.

Wang, D., P.W. Bosland. (2006). The genes of Capsicum. HortScience 41:1169-
1187.

Warid & Riska. R. D. (2018). Karakterisasi Variabel Kualitatif 14 Genotipe Cabai


Hias (Capsicum spp.) Koleksi Universitas Trilogi. Prosiding Seminar
Nasional Perhimpunan Ilmu Pemuliaan Indonesia. Hal 358-367.

Widyawati, Z. (2014). Heritabilitas dan kemajuan genetik Harapan empat


populasi F2 tanaman cabai besar (Capsicum annum L.). Jurnal Produksi
Tanaman 2(3) : 247–252.

Yona, P. (2019). Eksplorasi Dan Karakterisasi Morfologi Tanaman Jengkol


(Pithecellobium Jiringa (Jack) Di Kabupaten Padang Pariaman Sumatera
Barat. Universitas Andalas.
Zulfitri. (2005). Analisis Varietas dan Polybag Terhadap Pertumbuhan Serta
Hasil Cabai (Capsicum annum L.) Sistem Hidroponik. Universitas Mercubuana.
LAMPIRAN
41

Lampiran 1. Jadwal pelaksanaan kegiatan penelitian


Minggu ke
No Pelaksanaan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
1 Persiapan media semai
2 Persemaian benih
3 Persiapan media tanam
4 Penanaman
5 Pemeliharaan
a. Penyiraman
b. Penyiangan
c. Pemasangan ajir
d. Pemupukan
e. Pengendalian OPT
6 Pengamatan
7 Pemanenan
42

Lampiran 2. Denah Penelitian

U
b

a c B T

AM AP
S
d

5m

LM CL
Keterangan : AM = Ateng Maninjau
Jarak a = 30 cm AP = Ateng Pasbar
Jarak b = 30 cm LM = Lokal Manijau
Jarak c = 30 cm CL = Cabai Lolai
CA Jarak d = 40 cm CA = Cabai Akar

4m
43

Lampiran 3. Perhitungan kebutuhan pupuk

Berat tanah 1 ha = 2x106 kg = 2.000.000 kg/ha

Berat tanah dalam polibag = 10 kg

Takaran pupuk = x Takaran pupuk/ha

1. Pupuk Urea 150 kg/ha = x 150 kg/ha

= 0,00075 kg/polybag
= 0,75 g/polybag

2. Pupuk ZA 300 kg/ha = x 300 kg/ha

= 0,0015 kg/polybag
= 1,5 g/polybag

3. Pupuk KCL 150 kg/ha = x 150 kg/ha

= 0,00075 kg/polybag
= 0,75 g/polybag
44

Lampiran 4. Pedoman Deskripsi Morfologi Tanaman Cabai Berdasarkan


Petunjuk Teknis Pengamatan Karakteristik Tanaman Cabai
Kementan (2018)

No Karakter Kriteria Score

Daun
1 Bentuk daun Lanset 1
Bulat telur 2
Elip lebar 3
Pewarnaan antosianin pada
2 Tidak ada 1
daun
Ada 9
3 Undulasi pada tepi Sangat lemah 1
Lemah 3
Sedang 5
Kuat 7

Sangat kuat 9

Batang
Pewarnaan Antosianin Pada
4 Tidak ada 1
Buku
Ada 9
5 Orientasi Tanaman Tegak 1
Semi tegak 2
Renah 3

Bunga
6 Orientasi pedunkel Tegak 1
Semi-menggantung 2
Menggantung 3
45

Pewarnaan antosianin pada


7 Tidak ada 1
anter
Ada 9
Pewarnaan antosianin pada
8 Tidak ada 1
filamen
Ada 9
Warna sekunder pada
9 Tidak ada 1
mahkota bunga
Di pinggiran 2
Di dasar 3
Di pinggiran dan di
4
dasar

Buah
10 Warna buah muda Putih kehijauan 1
Kuning 2
Hijau 3
Ungu 4
Pewarnaan Antosianin Pada
11 Tidak ada 1
Buah muda
Ada 9

12 Posisi buah Tegak 1

Mendatar 2

Menggantung 3

13 Warna buah matang Kuning 1


Oranye 2
Merah 3
Coklat 4
Hijau 5
46

14 Bentuk buah Memanjang 1


Lonjong 2
Bulat 3
Kerucut 4
Tidak beraturan 5
15 Rongga tangkai buah Tidak ada 1

Ada 9

16 Bentuk ujung buah

Runcing 1

Membulat 2

Melekuk ke dalam 3

Sangat melekuk 4

Halus atau sangat


17 1
Tekstur permukaan buah sedikit berkerut
Sedikit berkerut 2
Berkerut 3
47

Lampiran 5. Acuan Variabel Pengamatan Morfologi Berdasarkan Petunjuk


Teknis Pengamatan Karakteristik Tanaman Cabai Kementan (2018)
No Variabel pengamatan Cara pengamatan
1 Bentuk daun

2 Pewarnaan antosianin pada


daun

3 Undulasi pada tepi daun

4 Pewarnaan antosianin pada


buku

5 Orientasi tanaman

6 Orientasi pedunkel
48

7 Pewarnaan antosianin pada


anter

8 Pewarnaan antosianin pada


filamen

9 Warna sekunder pada


mahkota bunga

10 Warna buah muda

11 Posisi buah

12 Pewarnaan Antosianin Pada


Buah muda

13 Warna buah matang


49

14 Bentuk buah

15 Rongga tangkai buah

16 Bentuk ujung buah

17 Tekstur permukaan buah


50

Lampiran 6. Data Pengamatan Kuantitatif


No Parameter Ateng Cabai Lokal Ateng Cabai
Pasbar Lolai Maninjau Maninjau Akar
1 Tinggi tanaman (cm) 81,7 77,9 100 84,3 71,4
2 Jumlah daun 13 11 16 12 11
3 Panjang daun (cm) 6,7 7,7 8,3 6,5 6,3
4 Lebar daun (cm) 3,4 3,7 4 3,1 3,2
5 Diameter batang (mm) 9,9 8,9 12,6 9,4 8,6
6 Umur berbunga (HST) 41 43 48 45 44
7 Umur panen (HST) 93 92 98 95 94
8 Jumlah dikotom 25 23 34 24 21
9 Panjang buah (cm) 17,7 18 13,8 18,8 16,2
10 Diameter buah (mm) 7,3 6,9 6,1 7,6 6,5
11 Jumlah buah/tanaman 27 23 32 26 20
12 Bobot buah/tanaman (gr) 121 102 107 100 94

Anda mungkin juga menyukai