Anda di halaman 1dari 19

PROPOSAL PENELITIAN

PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI CABAI KATOKKON (Capsicum


chinense Jacq) ASAL TANA TORAJA PADA APLIKASI SEKAM PADI
DAN PUPUK KOTORAN KERBAU DI DATARAN RENDAH

ROSI LISTA
2002354211021

PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS ANDI DJEMMA
PALOPO
2023
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan

rahmat, petunjuk, hidayah dan kasih sayang-Nya sehingga penulis mampu

menyelesaikan tulisan ini yang berjudul: Pertumbuhan dan Produksi Cabai

Katokkon (Capsicum chinense Jacq) Asal Tana Toraja pada Aplikasi dan

Pupuk Organik Cair di Dataran Rendah.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan yang terdapat dalam

tulisan ini. Penulis mengucapkan maaf atas segala kekurangan yang ada dalam

tulisan ini. Kritik dan saran yang membangun dari pembaca sangat dibutuhkan

oleh penulis untuk kesempurnaan tulisan ini. Semoga Tuhan melindungi kita.

                                                                                                                         
                                         Palopo, 05 Januari 2023

                                                                                                Penyusun

Rosi Lista
DAFTAR ISI

BAB I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang.............................................................................................
1.2 Hipotesis.......................................................................................................
1.3 Tujuan dan Kegunaan..................................................................................

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Syarat Tumbuh Cabai Katokkon................................................................
2.2 Arang Sekam...............................................................................................
2.3 Pupuk Kotoran Kerbau...............................................................................

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN


3.1 Tempat dan Waktu......................................................................................
3.2 Bahan dan Alat............................................................................................
3.3 Metode Penelitian.......................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Cabai merupakan komoditas sayuran yang sangat bermanfaat, bernilai
ekonomi tinggi, dan sudah menjadi kebutuhan harian masyarakat Indonesia,
baik dalam lingkup rumah tangga maupun industri. Permintaan cabai di
pasaran semakin meningkat setiap tahunnya. Selama ini, Indonesia masih
kekurangan 30% kebutuhan cabai terutama pada saat tidak ada panen raya
(Kemendagri, 2013). Produktivitas cabai di Indonesia masih rendah karena
belum mampu memenuhi kebutuhan cabai nasional. Produktivitas rata-rata
cabai nasional sekitar 8,6 ton/ha (BPS, 2014a) padahal potensi produksi cabai
bisa mencapai 12 ton/ha (Purwati dkk, 2000). Kondisi tersebut menyebabkan
import dilakukan oleh pemerintah guna memenuhi kebutuhan cabai nasional
khususnya menjelang hari raya keagamaan. Harga cabai di pasar juga cukup
fluktuatif dan mempengaruhi sebesar 0,43% dari 8,56% total inflasi nasional
(BPS, 2014b).

Cabai Katokkon adalah salah satu kultivar cabai merah dari Kabupaten
Toraja Utara, Sulawesi Selatan. Cabai ini memiliki potensi yang bagus untuk
dikembangkan karena rasanya yang pedas, bentuk yang unik seperti paprika
kecil dan telah terdaftar pada Pusat Perlindungan Varietas Tanaman dan
Perijinan Pertanian. Kelompok cabai besar di Kabupaten Toraja Utara
didominasi sebesar 80% oleh varietas cabai Katokkon. Hasil produksi cabai
besar dalam dua tahun terakhir ini masih belum memenuhi target dari
pemerintah Kabupaten Toraja Utara. Tahun 2013, target produksi 107,3 ton
namun realisasi hanya mencapai 94 ton. Sama halnya pada tahun 2014, target
produksi 110,2 ton namun realisasi baru bisa mencapai 102 ton (Dinas
Pertanian Toraja Utara, 2019
Cabai katokkon memiliki bobot sekitar 65-90 gram per buah dengan
ketebalan daging 6-7mm. Cabai ini memiliki kandungan per 100 gram buah
yang terdiri dari 16,84 mg vitamin c, 85,4% air dan 9,2% gula. Salah satu
upaya untuk melestarikan cabai katokkon adalah dengan menjaga plasma
nutfah. Dengan menjaga plasma nutfah dengan harapan cabai katokkon dapat
bertahan dan tidak akan punah. Tanaman cabai katokkon juga diupayakan
ditanaman pada dataran rendah karena selama ini cabai katokkon hanya
terkenal ditanam pada daerah dataran tinggi dan jika diupayakan di dataran
rendah tidak bisa tumbuh dan berbuah secara maksimal, selalu mengalami
gugur bunga dan gugur buah. Oleh karena itu pada penelitian ini
menggunakan akan menggunakan modifikasi iklim menggunakan paranet
70% dengan harapan dapat menggantikan peranan suhu rendah sehingga
tanaman cabai katokkon boleh tumbuh dan berbuah dengan baik.
Pengendalian kultur teknis dianggap penting juga sebagai upaya
pencegahan datangnya hama dan penyakit tumbuhan. Salah satu pengendalian
kultur teknis yang dilakukan yaitu penambahan arang sekam yang
mengandung pupuk kandang pada saat pengolahan lahan. Arang sekam
digunakan sebagai alternatif karena kandungan dan fungsinya sebagi media
agensia hayati dan penahan air (padi tidak mudah tercuci).
Arang sekam mengandung SiO2 (52%), C (31%), K (0.3%), N
(0,18%), F (0,08%), dan kalsium (0,14%), selain juga mengandung unsur lain
seperti Fe2O3, K2O, MgO, CaO, MnO dan Cu dalam jumlah yang kecil serta
beberapa jenis bahan organik. Kandungan silikat yang tinggi dapat
menguntungkan bagi tanaman karena menjadi lebih tahan terhadap hama dan
penyakit akibat adanya pengerasan jaringan.
Sekam bakar juga digunakan untuk menambah kadar Kalium dalam
tanah. (Anonim, 2011) pH arang sekam antara 8.5 - 9. pH yang tinggi ini
dapat digunakan untuk meningkatkan pH tanah asam. PH tersebut memiliki
keuntungan karena kurang disukai gulma dan bakteri. Arang sekam memiliki
kemampuan menyerap air yang rendah dan porositas yang baik
Sifat ini menguntungkan jika digunakan sebagai media tanam karena
mendukung perbaikan struktur tanah karena aerasi dan drainase menjadi lebih
baik. Menurut Isro’i (2008) bahwa pada media tanam sekam kompos banyak
membawa keuntungan yaitu mengandung karbon (C) yang membuat media
tanam menjadi gembur.
Hal ini membantu merangsang pertumbuhan secara keseluruhan
khusnya batang, cabang, dan daun serta zat hijau daun untuk fotosintesis dan
memiliki unsur fosfor, kalium, yang dibutuhkan tanaman dibandingkan
dengan pupuk kandang. Kondisi media tanam yang baik sebagai akibat
pengaruh dari kompos mendorong perakaran tanaman tumbuh secara optimal
dengan demikian akan meningkatkan ketersedian unsur nitrogen, fosfor, dan
kalium.
Menurut Lingga (dalam Eka, 2011) bahwa kelebihan dalam pupuk
kompos diantaranya, unsur hara yang terikat dalam senyawa organik yang
sukar larut diubah menjadi senyawa organik yang larut sehingga berguna bagi
tanaman, memperbaiki struktur tanah yang dipupuk sehingga memudahkan
penyerapan air hujan, memperbaiki kemampuan tanah dalam mengikat air
sehingga tanah menjadi tidak cepat kering, mengurangi tingkat erosi dan
memberikan lingkungan yang baik bagi kecambah biji dan akar tanaman
Pupuk kotoran kerbau sangat berpengaruh terhadap sifat biologi
tanah seperti aktivitas organisme tanah, jumlah dan perkembangan
mikroorganisme. Aktivitas mikroorganisme ini sangat penting dalam
perombakan bahan organik, pelapikan protein menjadi asam-asam amino,
Proses nitrifikasi yang pada akhirnya membebaskan unsur hara seperti N, P,
dan S,serta unsur mikro. Penggunaan bahan baku pembuatan POC seperti
daun gamal, bonggol pisang, buah maja, air cucian beras dan air kelapa
memiliki manfaat yang sangat besar dalam menyediakan unsur hara makro
dan unsur hara mikro serta mengandung mikroorganisme yang berpotensi
sebagai perombak bahan organik, perangsang pertumbuhan, dan agens
pengendali hama dan penyakit tanaman sehingga baik digunakan sebagai
bahan dekomposer dan pestisida organik (Simanungkalit dkk, 2006)
Berdasarkan uraian di atas, maka penelitian ini dilaksanakan untuk
mengetahui pertumbuhan dan produksi cabai katokkon (Capsicum chinense
Jacq) pada aplikasi arang sekam dan pupuk kotoran kerbau di dataran rendah.

1.2. Rumusan Masalah


1. Terdapat interaksi antara aplikasi arang sekam dengan pupuk kotoran
kerbau terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman cabai katokkon

2. Terdapat konsentrasi arang sekam yang terbaik terhadap pertumbuhan dan


produksi tanaman cabai katokkon.

3. Terdapat konsentrasi penggunaan pupuk kotoran kerbau yang terbaik


terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman cabai katokkon.

1.3. Tujuan dan Kegunaan


Tujuan penelitian ini dilakukan yaitu untuk mengetahui
pertumbuhan dan produksi cabai katokkon (Capsicum chinense Jacq) pada
aplikasi arang sekam dan pupuk kotoran kerbau di dataran rendah.
Adapun kegunaan dari penelitian ini yaitu sebagai bahan informasi
tentang penggunaan arang sekam dan pupuk kotoran kerbau di dataran
rendah.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Syarat Tumbuh Cabai Katokkon


Cabai katokkon (Capsicum chinense Jacq) merupakan salah satu
jenitanaman agribisnis unggulan spesifik Toraja yang harganya cukup
tinggi sehingga dapat meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan para
petani, namun cabai katokkon sangat bergantung pada iklim karena pada
musim penghujan tanaman ini buahnya akan berguguran yang disebabkan
oleh serangan hama dan penyakit akibat kelembaban yang cukup tinggi.
Cabai katokkon dapat tumbuh dengan baik pada ketinggian 1000 –
1500 mdpl, dengan jenis tanah podsolik, dengan pH tanah yang berkisar
antara 3, 5 – 5,0. Selain tanah podsolik cabai katokkon juga bisa tumbuh
baik pada jenis tanah alluvial yang sebagian besar merupakan hasil sedimen
dari sungai saddang (Dinas kehutanan dan perkebunan Tana Toraja, 2017).
Cabai katokkon juga dapat tumbuh baik pada kondisi rata-rata suhu berkisar
160C (590F) pada malam hari dan 240C (760F) pada siang hari dengan
kelembaban udara minimum 82% dan maksimum 86%, sedangkan curah
hujan rata-rata 1500 mm sampai 3500 mm pertahun.
Cabai katokkon adalah cabai khas Toraja yang berbentuk
menyerupai paprika namun dalam bentuk mini, gemuk, bulat, pendek,
dengan ukuran normal berkisar antara 3-4 cm dengan penampang seukuran
2 hingga 3,5 cm. Batang cabai katokkon berbentuk silindris berwarna hijau
dengan percabangan batang simpodial. Ujung daun meruncing, warna daun
hujau tua, letak daun mendatar, susunan tulang daun yang menyirip.
Bunga majemuk dan bentuknya menyerupai terompet dengan warna
mahkota bunga berwarna putih. Buah cabai katokkon ini pada saat
masih muda berwarna hijau sedangkan pada waktu matang berwarna
orange hingga berwarna merah pada saat matang sempurna.
Cabai katokkon memiliki aroma yang wangi serta tingkat kepedasan
yang tinggi. Oleh karena memiliki tingkat kepedasan yang tinggi cabai
katokkon ini menjadi cabai favorit di kalangan masyarakat Toraja, terutama
bagi para penggemar rasa pedas. Dengan rasa pedas yang luar biasa
menjadikan cabai katokkon menjadi cabai yang selalu di cari oleh
masyarakat dan paling diminati oleh masyarakat Toraja, tak heran jika
harga cabai katokkon juga relatif tinggi di bandingkan jenis cabai lainnya.
Kisaran harga perkilo cabai katokkon berkisar antara 60.000 – 80.000 per
kg, terlebih pada musim penghujan harga cabai bisa menembus ratusan ribu
di pasaran.
Sama halnya dengan cabai pada umumnya, cabai katokkon juga
mengandung minyak atsiri dan capsaicin, yaitu zat yang membuat rasa cabai
menjadi pedas. Menurut informasi yang diterima bahwa cabai katokkon
menyaingi rasa pedas dari cabai lainnya yang beredar di pasaran bahkan ada
yang berpendapat bahwa cabai ini sebanding dengan 4 kali rasa pedas cabai
rawit Cabai katokkon merupakan komoditas cabai unggulan bagi
masyarakat Toraja. Cabai katokkon dapat tumbuh baik pada ketinggian
1000 – 1500 mdpl. Pada umur 3 bulan setelah tanam, cabai katokkon ini
sudah bisa menghasilkan buah. Pada umumnya dalam satu musim tanam,
cabai katokkon ini dapat dipanen sampai 6 sampai 7 kali dengan produksi
setiap tanaman mencapai 0,8 – 1,2 kg pertanaman. Setelah pemanenan
pertama dilakukan, maka panen berikutnya dapat dilakukan setiap tiga hari
sekali.
Teknik budidaya cabai katokkon sama dengan cabai lainnya, yang
membedakan adalah habitatnya, karena cabai katokkon akan maksimal pada
ketinggian 1000 – 1500 mdpl. Dalam satu pohon cabai katokkon dapat
menghasilkan 100 – 150 buah per pohon selama satu periode musim tanam
atau setara dengan 0,8 – 1,2 kg per pohon. Hama yang sering menyerang
tanaman ini adalah kutu daun, burung dan lalat buah, sedangkan penyakit
yang sering menyerang adalah busuk buah, busuk daun dan busuk akar
Berbeda dengan cabai katokkon yang ditanam pada dataran rendah,
cabai katokkon dataran rendah ini berbeda dengan cabai katokkon yang
ditanam pada dataran tinggi. Perbedaan yang signifikan pada masa vegetatif
terlihat pada tinggi tanaman, cabai katokkon pada dataran tinggi memiliki
tinggi sekitar 30 cm sedangkan pada dataran rendah memiliki tinggi rata-
rata 50 cm. Perbedaan lainnya terlihat pada bentuk daun, pada dataran
tinggi cabai katokkon memiliki daun yang bulat dan berukuran sedang,
sedangkan pada dataran rendah cabai katokkon memiliki daun yang
besar,dan agak lonjong. Juga pada fase generatifnya sangat berdeda pada
bentuk buah, bentuk ujung buah, dan lain sebagainya

2.2. Arang Sekam


Berdasarkan identifikasi permasalahan, tingkat serangan hama dan
penyakit cabai merah masih menduduki singgasana permasalahan. Hama dan
penyakit yang menyerang cabai merah antara lain, thrips, virus, dan
antraknose. Alternatif pengendalian yang disarankan dengan pemanfaatan
agensia hayati, pestisida nabati, kultur teknis dan pestisida kimia berdasarkan
kaidah yang tepat.
Pengendalian kultur teknis dianggap penting juga sebagai upaya
pencegahan datangnya hama dan penyakit tumbuhan. Salah satu pengendalian
kultur teknis yang dilakukan yaitu penambahan arang sekam yang mengandung
pupuk kandang pada saat pengolahan lahan. Arang sekam digunakan sebagai
alternatif karena kandungan dan fungsinya sebagi media agensia hayati dan
penahan air (padi tidak mudah tercuci).
Arang sekam mengandung SiO2 (52%), C (31%), K (0.3%), N (0,18%),
F (0,08%), dan kalsium (0,14%), selain juga mengandung unsur lain seperti
Fe2O3, K2O, MgO, CaO, MnO dan Cu dalam jumlah yang kecil serta
beberapa jenis bahan organik. Kandungan silikat yang tinggi dapat
menguntungkan bagi tanaman karena menjadi lebih tahan terhadap hama dan
penyakit akibat adanya pengerasan jaringan.
Sekam bakar juga digunakan untuk menambah kadar Kalium dalam
tanah. (Anonim, 2011) pH arang sekam antara 8.5 - 9. pH yang tinggi ini dapat
digunakan untuk meningkatkan pH tanah asam. PH tersebut memiliki
keuntungan karena kurang disukai gulma dan bakteri. Arang sekam memiliki
kemampuan menyerap air yang rendah dan porositas yang baik.
Sifat ini menguntungkan jika digunakan sebagai media tanam karena
mendukung perbaikan struktur tanah karena aerasi dan drainase menjadi lebih
baik. Menurut Isro’i (2008) bahwa pada media tanam sekam kompos banyak
membawa keuntungan yaitu mengandung karbon (C) yang membuat media
tanam menjadi gembur.
Hal ini membantu merangsang pertumbuhan secara keseluruhan
khusnya batang, cabang, dan daun serta zat hijau daun untuk fotosintesis dan
memiliki unsur fosfor, kalium, yang dibutuhkan tanaman dibandingkan dengan
pupuk kandang. Kondisi media tanam yang baik sebagai akibat pengaruh dari
kompos mendorong perakaran tanaman tumbuh secara optimal dengan
demikian akan meningkatkan ketersedian unsur nitrogen, fosfor, dan kalium.
Menurut Lingga (dalam Eka, 2011) bahwa kelebihan dalam pupuk
kompos diantaranya, unsur hara yang terikat dalam senyawa organik yang
sukar larut diubah menjadi senyawa organik yang larut sehingga berguna bagi
tanaman, memperbaiki struktur tanah yang dipupuk sehingga memudahkan
penyerapan air hujan, memperbaiki kemampuan tanah dalam mengikat air
sehingga tanah menjadi tidak cepat kering, mengurangi tingkat erosi dan
memberikan lingkungan yang baik bagi kecambah biji dan akar tanaman.

2.3. Pupuk Kotoran Kerbau


Pupuk kandang kerbau sangat mudah didapatkan di Kabupaten-
kabupaten yang banyak dihuni masyarakat suku Toraja khususnya d Luwu
Utara. Penggunaan pupuk kandang kerbau selain sebagai sumber bahan
organik juga dapat meningkatkan ketersediaan hara bagi tanaman cabai
katokkon.
Adapun kandungan hara dari pupuk kandang padat kerbau menurut
Lingga (1991) dalam Hartatik dan Widowati (2006) adalah 12,7% bahan
organik; 0,25% N ; 0,18% P2O5 ; 0,17% K2O ; 0,4% CaO dan 81% Air.
Penggunaan pupuk anorganik yang dilakukan petani lokal sangat tinggi
dosisnya. Umumnya menggunakan pupuk majemuk Phonska dengan dosis
800 kg/ha dan ZA sebesar 400 kg/ha sesuai dengan dosis dari PT. Petrokimia
Gresik (2011). Jika dilakukan perhitungan pupuk menurut Agus dan Ruijter
(2004), dosis pupuk yang sesuai dengan kebutuhan hara bawang adalah 65
kg/ha Phonska dan 65 kg/ha ZA dan 15 kg/ha KCl.
Kegiatan pemupukan dengan menggunakan bahan organik seperti
pupuk kandang yang berasal dari kotoran ternak merupakan salah satu kunci
keberhasilan program pemupukan dalam rangka mewujudkan sistem
pertanian yang berkelanjutan. Pemberian bahan organik secara bertahap dapat
menambah ketersediaan unsur hara sebagai sumber nutrisi bagi tanaman yang
berpengaruh positif terhadap sifat fisis dan kimiawi tanah serta mampu
mendorong perkembangan jasad renik (Sutedjo, 2002)
Pemupukan atau penambahan unsur hara dengan menggunakan bahan
organik dapat mengembalikan kondisi kesuburan tanah.Beberapa bahan
organik dapat dimanfaatkan sebagai pupuk yang bersumber dari sisa-sisa
bagian tanaman yang mengalami pembusukan, kotoran ternak, dan bahan
organik lainnya.Salah satu kotoran ternak yang dapat dimanfaatkan sebagai
sumber bahan pupuk organik adalah kotoran kerbau.Kotoran kerbau memiliki
mikroba dan bahan makan mikroba yang diharapkan dapat memberikan
peningkatan populasi dan aktivitas mikroba sehingga dapat memperbaiki
kondisi kesuburan tanah secara fisika, biologis dan kimia. Terjaganya
kesuburan tanah dengan baik maka memungkinkan akan tersedianya hara
makro dan mikro di dalam tanah yang dibutuhkan oleh tanaman untuk
pertumbuhan dan perkembangan yang berkorelasi dengan hasil.
BAB III
METODOLOGI

3.1. Tempat dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan di Pekarangan Rumah Dusun Rante


Polio, Desa Bungadidi, Kecamatan Tanalili, Kabupaten Luwu Utara.
Penelitian ini berlangsung dari bulan Januari sampai seterusnya .

3.2. Bahan dan Alat


Bahan yang digunakan pada penelitian ini yaitu benih Cabai
katokkon, air, arang sekam, pupuk NPK, kertas label, kantong sampel,
kantong plastik, paranet 70% dan pupuk kotoran kerbau sebagai pupuk
dasar.
Adapun alat yang digunakan pada penelitian ini yaitu cangkul,
sekop, timbangan, kamera, mistar, papan sampel, papan perlakuan, dan alat
tulis menulis.

3.3. Metode Penilitian


Penelitian ini menggunakan Rancangan Faktorial 2 Faktor dengan
Rancangan Acak Kelompok sebagai rancangan lingkungan masing-masing:
Faktor 1 : Konsentrasi Arang Sekam (A) dengan 4 taraf yaitu:
A0 :0%
A1 : 25%
A2 : 50%
A3 : 75%

Faktor 2: Konsentrasi Pupuk Kotoran Kerbau (K) dengan 3 taraf yaitu:


K1 : 25%
K2 : 50%
K3 : 75%
Sehingga diperoleh kombinasi perlakuan sebanyak 12 kombinasi yaitu :

A0K1 A1K1 A2K1 A3K1

A0K2 A1K2 A2K2 A3K2

A0K3 A1K3 A2K3 A3K3

Setiap perlakuan diulang sebanyak 3 kali sehingga terdapat 36 unit percobaan.

3.4. Parameter Pengamatan


Parameter pengamatan yang digunakan pada penelitian ini yaitu

sebagai berikut:

3.4.1. Parameter Pertumbuhan

1. Tinggi tanaman (cm),


Tinggi tanaman diukur dari pangkal batang sampai ujung daun tertinggi
pada umur 20, 30, 40, dan 50 hari setelah tanam.

2. Jumlah cabang produktif (buah)


Jumlah cabang produktif, dihitung jumlah cabang yang menghasilkan buah

3.4.2 Parameter Produksi

1. Umur mulai berbunga (hari)


Umur mulai berbunga dihitung pada saat bunga mulai muncul sampai 50%
dari hari setelah tanam

2. Umur panen pertama (hari)


Umur panen pertama (sampel) dihitung mulai penanaman hingga panen har
setelah tanam. Panen dilakukan sebanyak lima kali

3. Diameter buah (cm)


Diameter buah dihitung pada saat buah telah dipanen, dihitung dengan cara
mengukur lingkar buah.
4. Bobot buah pertanaman (g)
Bobot buah pertanaman (sampel) dihitung mulai panen pertama hingga
akhir percobaan.
5. Bobot buah per bedengan (kg)
Bobot buah perbedengan (semua buah dalam satu bedengan dijadikan

sampel) pengamatan dilakukan dengan menghitung jumlah buah yang

masak fisiologis pada saat panen.

6. Bobot buah per Ha (hasil konversi dari bobot buah perbedengan)


DAFTAR PUSTAKA

Arifin, Z., P. Yudono dan Toekidjo. 2014. Pengaruh Konsentrasi GA3


Terhadap Pembungaan dan Kualitas Benih Cabai Merah Keriting (Capsicum
annum L). Vegetaika. 1(4) : 128-140

Aryulina, D., 2011. Fungsi Hormon dan Vitamin Bagi Tumbuhan


http://artikel-terbaru com/pendidikan/fungsi-hormon-dan-vitamin untuk-
tumbuhan

Badan Pusat Statistik (BPS). 2014a. Pertanian dan Pertambangan:


Holtikultura. Diakses dari: www.bps.go.id

Badan Pusat Statistik (BPS). 2014b. Ekonomi dan Pergadangan: Inflasi.


Diakses dari: www.bps.go.id

Belakbir, A, J.M. Ruiz and L. Romero. 1998. Yield and Fruit


Quality Pepper (Capsicum annum L) in Response to Bioregulators. Hort.sci. 33

Chaudhary, B.R., M.D. Sharma., S.M Shakya dan D.M Gautam. 2006.
Effect Of Plant Growth Regulators On Growth, Yield, And Quality Of Chili
(Capsicum annum L) At Rampur, Chitwan. J. Inst. Agric. Anim. Sci, 27: 65-68

Dinas Pertanian dan Perikanan Kabupaten Toraja Utara. 2015. Realisasi


produksi rencana strategi komoditas holtikultura 2015 dan sayur selayang
pandang 2014. Diterima 3 april 2017 dari Dinas Pertanian dan Perikanan
Kabupaten Toraja Utara via email distankan_torut@yahoo.com.

Fitriani, L, Toekidjo, dan S, Purwanti.2013. Keragaan Lima kultivar


Cabai (Capsicum annum L) di daratan medium. Jurnal vegeralika. 2 (2): 50-63

Gardner FP. Pearce RB, Michel RL. 1991. Fisiologi Tanaman


Budidaya. Sosilo H, Subianto, penerjemmah. Jakarta: UI-Press. Terjemmahan
dari: Physiology of Crops Plant.
Heddy, S. 1996. Hormon Tumbuhan. CV. Rajawali. Jakarta
Hopkins, W. G. 1995. Introduction to Plant Physiology. New York,
Toronto, Singapore: John Wiley & Sons, Inc. pp. 285-321.
Karjadi, A.K dan Buchory. 2007. Pengaruh NAA dan BAP terhadap
Pertumbuhan Jaringan Meristem Bawang Putih pada Media B5. J. Hort. 17(3) :
217-223.
Kemendagri (Kementerian Perdagangan Republik Indonesia). 2013.
Tinjauan pasar cabai. Diakses dari: http://ews.kemendag.go.id
Mangoendjidjo, W. 2003. Dasar –Dasar pemuliaan tanaman. Kanisius.
Yogyakarta. 182 hal
Novita, A. 2004. Pwngaruh Tingkat Konsentrasi GA3 dan Paclubotrazol
terhadap Pertumbuhan Dan Produksi Tomat (Lycopersicum esculentum).
Skripsi. Universitas Brawijaya. Malang
Ouzounidou, G., I. Ilias., A. Giannakuola dan P. Padadopoulou. 2010.
Comparative Study On The Effects of Various Plant Growth Regulators On
Growth, Quality and Physiology Of Capsicum Annum L. Pak. J. Bot. 42 (2) :
805-814
Priyadi, Sukendro, S. 2011. Memulai Usaha Si Pedas Cabai Rawit di
Lahan dan Pot. Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka.

Purwati, E., Jaya B., dan Duriat A.S. 2000. Penampilan beberapa
varietas cabai dan uji resistensi terhadap penyakit virus kerupuk. Jurnal
Hortikultura, 10 (2): 88-94.

Ripangi, A. 2012. Budidaya Cabai. Javalitera. Yogyakarta.


Rosliani, R dan N, Sumarni. 2009. Pemanfaatan Mikoriza dan Aplikasi
Pupuk Anorganik pada Tumpang Sari Cabai dan Kubis di Dataran Tinggi. J.
Hort. Vol 19. No 3. 11 hal.Bandung

Simanungkalit, Didi Ardi Suriadikarta, Rasti Saraswati, Diah Setyorini,


dan Wiwik Hartatik. 2006. Pupuk organik dan Pupuk hayati. Balai Besar
Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian

Anda mungkin juga menyukai