Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara agraris, dengan mata pencaharian
sebagian besar masyarakatnya adalah petani. Salah satu komoditi sayuran
yang sangat penting bagi masyarakat ialah bawang merah (Allium cepa var.
ascalonicum). Bawang merah termasuk kedalam kelompok rempah yang
banyak digunakan sebagai bumbu penyedap aneka hidangan di Indonesia
serta obat tradisional sehingga budidaya bawang merah menjadi sangat
penting serta memberikan kontribusi yang cukup tinggi terhadap
perkembangan ekonomi wilayah (Ningsih, 2016)
Pada periode tahun 1989-2004, pertumbuhan produksi rata-rata
bawang merah adalah sebesar 5,4% per tahun dengan kecenderungan pola
pertumbuhan yang konstan (Ningsih, 2016). Analisis data ekspor-impor
1983-2003 menunjukkan bahwa selama periode tersebut Indonesia adalah
net importer bawang merah, karena pasokan bawang merah yang kurang
dari kebutuhan domestik di Indonesia. Hal ini disebabkan karena produksi
bawang merah yang tidak merata sepanjang tahun. Saat musim hujan
produksi bawang merah sangat rendah sehingga menyebabkan harga pasar
yang tinggi, sedangkan pada musim kemarau produksi bawang merah
berlebih dan mengakibatkan harga pasar yang rendah. Selain itu, produksi
bawang merah yang kurang optimal juga dapat disebabkan oleh bibit yang
kurang bermutu sehingga mudah layu dan terkena hama tanaman serta
pemilihan varietas yang baik dan benar (Ningsih, 2016)
Benih merupakan salah satu komponen yang sangat penting dalam
pertanian. Para petani masih menggunakan benih hasil pertanaman sendiri
dengan mutu yang tidak diketahui. Penyediaan benih bermutu harus
memenuhi enam persyaratan yaitu tepat varietas, jumlah, mutu, waktu,
lokasi, dan harga benih. Penyediaan benih bawang merah di dalam negeri
masih jauh dari enam tepat persyaratan tersebut, sehingga ketersediaan
benih belum mencukupi kebutuhan. Hal ini disebabkan antara lain karena

1
petani menggunakan benih dari hasil perbanyakan sendiri, benih tidak
bersertifikat, sistem produksi masih tradisional, produktivitas rendah, dan
sebagainya (Azmi et al.,2011).
Unit Pelaksana Teknis Dinas Balai Pengembangan Perbenihan
Tanaman Pangan dan Holtikultura (UPTD BPPTPH) merupakan salah satu
unit kerja dari Dinas Pertanian yang bertugas melakukan berbagai riset
mengenai pengembangan perbenihan tanaman pangan dan holtikultura.
Salah satu kegiatan budidaya yang sedang dilakukan di UPTD BPPTPH unit
kerja Ngipiksari adalah budidaya serta sertifikasi bawang merah serta
peningkatan produksi dan kualitas pembenihan tanaman holtikultura
dengan varietas lokal.

B. Rumusan Masalah
a. Bagaimana fungsi, tujuan dan kegiatan umum instansi UPTD
BPPTPH Ngipiksari, Sleman, Yogyakarta.
b. Bagaimana faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan bawang
merah dalam screenhouse di UPTD BPPTPH Ngipiksari, Sleman,
Yogyakarta.

C. Tujuan
a. Mengetahui fungsi, tujuan dan kegiatan umum instansi UPTD BPPTPH
Ngipiksari, Sleman, Yogyakarta.
b. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman
bawang merah pada screenhouse di UPTD BPPTPH Ngipiksari,
Sleman, Yogyakarta

D. Manfaat
a. Memberikan kesempatan untuk mengenali dunia kerja.
b. Memberikan kesempatan untuk memperdalam ilmu dan memahami
sistem pembibitan tanaman holtikultura.

2
E. Deskripsi Lokasi
Kegiatan kerja praktek ini dilakukan di UPTD Balai Pengembangan
Perbenihan Tanaman Pangan dan Holtikultura berlokasi di Ngipiksari,
Hargobinangun, Pakem, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. BP2TPH
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta terletak di lintas Jalan Yogyakarta –
Kaliurang pada Km. 23 serta berjarak ±2 km dari lokasi wisata Kaliurang
dan dekat dengan gunung Merapi. Secara administratif berada di wilayah
Dusun Ngipiksari, Desa Hargobinangun, kecamatan Pakem, Kabupaten
Sleman. Berada pada ketinggian 850 m di atas permukaan laut dengan
topografi 50 % kondisi tanah datar 35 % kondisi tanah bergelombang dan
15 % kondisi tanahagak curam. Jenis tanah regosol dengan prosentase pasir
tinggi, miskin bahan organik daya menahan air rendah serta rentan terhadap
erosi. Kadar keasaman (pH) tanah berkisar antara 5,3 – 6,3 dengan curah
hujan rata – rata ± 2.200 –3.000 mm/tahun, hari hujan rata – rata 14 hari
hujan/bulan atau termasuk kategori tipe basah, suhu minimal rata – rata
+18°C dan suhu maksimal rata – rata 30°C, sedang kelembaban rata – rata
82%

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Profil Instansi UPTD BPPTPH


Balai Pengembangan Perbenihan Tanaman Pangan dan Hortikultura
(BPPTPH) merupakan salah satu Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) dari
Dinas Pertanian Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, bekerja dibawah
pengawasan dan bertanggungjawab pada kepala Dinas Pertanian Provinsi
DIY. UPTD memiliki beberapa lahan, salah satunya di Jalan Kaliurang KM
23, Ngipiksari, Sleman, DIY (Dinas Pertanian Provinsi D.I.Y, 2008).
Balai di Ngipiksari yang memiliki luas lahan 8,17 ha ini memiliki
kegiatan utama seperti perbanyakan dan pemurnian benih sayuran, bibit-
bibit buah-buahan, rempah, obat, serta aneka tanaman hias. Di balai ini juga
dilakukan kegiatan pemeliharaan pohon induk buah-buahan dan
pengelolaan blok penggandaan mata tempel tanaman jeruk di rumah kaca.
Adapun komoditas yang diusahakan adalah tanaman sayur seperti tomat,
cabai, bawang merah, buncis, dan kacang panjang. Untuk buah-buahan
meliputi jeruk, durian,manggis, mangga, kelengkeng, dan sebagainya.
Untuk tanaman hias meliputi bunga krisan, sedangkan jamur terdapat jamur
lingzhe, kuping, dan tiram (Dinas Pertanian Provinsi D.I.Y, 2008).
UPTD BPPTPH memiliki visi sebagai balai yang bergerak dalam
agribisnis perbenihan tanaman pangan dan hortikultura terkemuka dan
mampu melayani kebutuhan benih. Adapun misinya antara lain
menghasilkan benih tanman pangan dan hortikultura berkualitas untuk
mendukung peningkatan kesejahteraan petani, melaksanakan upaya
pemurnian atau pemutihan varietas unggul lokal maupun nasional tanaman
pangan dan hortikultura, meningkatkan daya saing dalam agribisnis
perbenihan, mengembangkan jejaring kerjasama kelompok penangkar,
mengembangkan kapasitas balai untuk meningkatkan kemampuan dan
profesionalisme tanaman pangan dan hortikultura (Dinas Pertanian Provinsi
D.I.Y, 2008).

4
B. Bawang Merah (Allium ascalonicum L.)
Bawang merah merupakan salah satu tanman yang termasuk ke
dalam umbian tanah, dan juga tanaman yang memiliki perakaran yang
serabut di bagian pangkal umbi. Tanaman bawang merah ini diduga berasal
dari Asia Tenggara yang menyebar luas keberbagai wilayah dan juga tempat
lainnya. Bawang merah ini biasanya digunakan sebagai bumbu atau
tambahan masakan yang bertujuan untuk memberikan cipta rasa khusus
dalam masakan tersebut (Fredikurniawan, 2016).
Klasifikasi Tanaman Bawang Merah (Allium ascalonicum L.)
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Sub divisi : Angiospermae
Kelas : Monocotyledonae
Ordo : Lililales
Famili : Liliaceae
Genus : Allium
Spesies : Allium ascalonicum L.
(Wibowo, 1991).
Morfologi fisik bawang merah dapat dibedakan berdasarkan
beberapa bagian yaitu akar, batang, daun, bunga, buah dan biji. Bawang
merah memiliki akar serabut dengan sistem perakarannya dangkal dan
bercabang, dengan kedalaman 15-20 cm didalam tanah dengan diameter
akar 2-5 mm (AAK, 2004).
Bawang merah memiliki batang sejati atau disebut discus yang
berbentuk seperti cakram, tipis dan pendek sebagai tempat melekatnya akar
dan mata tunas, diatas discus terdapat batang semu yang tersusun dari
pelepah-pelepah daun dan batang semu yang berbeda didalam tanah
berubah bentuk dan fungsi menjadi umbi lapis. Daun bawang merah
berbentuk silindris kecil memanjang antara 5—70 cm, berlubang dan bagian
ujungnya runcing berwarna hijau muda hingga tua, dan letak daun melekat
pada tangkai yang ukurannya relatif pendek (Sudirja, 2007).

5
C. Syarat Budidaya Bawang Merah
a. Iklim
Tanaman bawang merah lebih senang tumbuh di daerah
beriklim kering. Tanaman bawang merah peka terhadap curah hujan
dan intensitas hujan yang tinggi, serta cuaca berkabut. Tanaman ini
membutuhkan penyinaran cahaya matahari yang maksimal (minimal
70% penyinaran), suhu udara 25-32°C, dan kelembaban nisbi 50-
70% (Sutarya dan Grubben, 1995; Nazarudin, 1999 dalam Sumarni
dan Hidayat, 2005). Tanaman bawang merah dapat membentuk
umbi di daerah yang suhu udaranya rata-rata 22°C, tetapi hasil
umbinya tidak sebaik di daerah dengan suhu udara lebih panas.
Bawang merah akan membentuk umbi lebih besar bilamana ditanam
di daerah dengan penyinaran lebih dari 12 jam. Di bawah suhu udara
22°C tanaman bawang merah tidak akan berumbi. Oleh karena itu,
tanaman bawang merah lebih menyukai tumbuh di dataran rendah
dengan iklim yang cerah (Rismunandar, 1986 dalam dalam Sumarni
dan Hidayat, 2005). Waktu tanam bawang merah yang baik adalah
pada musim kemarau dengan ketersediaan air pengairan yang
cukup, yaitu pada bulan April/Mei setelah panen padi dan pada
bulan Juli/Agustus. Penanaman bawang merah di musim kemarau
biasanya dilaksanakan pada lahan bekas padi sawah atau tebu,
sedangkan penanaman di musim hujan dilakukan pada lahan tegalan
(Sutarya dan Grubben, 1995 dalam Sumarni dan Hidayat, 2005)
Di Indonesia bawang merah dapat ditanam di dataran rendah
sampai ketinggian 1000 m di atas permukaan laut. Ketinggian
tempat yang optimal untuk pertumbuhan dan perkembangan bawang
merah adalah 0-450 m di atas permukaan laut (Sutarya dan Grubben,
1995 dalam Sumarni dan Hidayat,2005). Tanaman bawang merah
masih dapat tumbuh dan berumbi di dataran tinggi, tetapi umur
tanamnya menjadi lebih panjang 0,5-1 bulan dan hasil umbinya
lebih rendah.

6
b. Tanah
Untuk menanam bawang merah, diperlukan tanah bertesktur
remah, sedang sampai liat, dengan drainase/airase baik,
mengandung bahan organik yang cukup dan pH tanah 5,6-6,5.
Tanah yang paling cocok adalah tanah tipe Alluvial dengan
kelembababan yang cukup dan tidak menggenang (Rismunandar,
1986 dalam Sumarni dan Hidayat, 2005)

D. Teknik Penanaman
a. Pemilihan Varietas
Perbedaan produktivitas dari setiap varietas/kultivar tidak
hanya bergantung pada sifatnya, namun juga banyak dipengaruhi
oleh situasi dan kondisi daerah. Iklim, pemupukan, pengairan dan
tanah merupakan faktor penentu dalam produktivitas maupun
kualitas umbi bawang merah (Sumarni dan Hidayat, 2005). Syarat
pemilihan varietas yaitu sesuai dengan permintaan pasar (rasa,
warna, penampakan, ukuran), produktivitas tinggi, tahan terhadap
serangan organisme pengganggu tumbuhan, serta cocok ditanam
pada kondisi ekosistem setempat (Balai Penelitian dan
Pengembangan Pertanian)
b. Umbi Bibit
Pada umumnya bawang merah diperbanyak dengan
menggunakan umbi sebagai bibit. Kualitas umbi bibit merupakan
salah satu faktor yang menentukan tinggi rendahnya hasil produksi
bawang merah. Umbi yang baik untuk bibit harus berasal dari
tanaman yang sudah cukup tua umurnya, yaitu sekitar 70-80 hari
setelah tanam. Umbi untuk bibit sebaiknya berukuran sedang (5-10
g). Penampilan umbi bibit harus segar dan sehat, bernas (padat, tidak
keriput), dan warnanya cerah (tidak kusam). Umbi bibit sudah siap
ditanam apabila telah disimpan selama 2 – 4 bulan sejak panen, dan
tunasnya sudah sampai ke ujung umbi. Cara penyimpanan umbi
bibit yang baik adalah menyimpannya dalam bentuk ikatan di atas

7
para-para dapur atau disimpan di gudang khusus dengan
pengasapan. Sebelum ditanam, kulit luar umbi bibit dibersihkan,
lalu dipotong ujungnya sepanjang seperempat bagian seluruh umbi,
dengan tujuan untuk mempercepat pertumbuhan tunas dan
merangsang tumbuhnya umbi samping(Sutarya dan Grubben, 1995;
Nazaruddin, 1999 dalam Sumarni dan Hidayat, 2005).

c. Kerapatan Tanam
Tujuan diberikan jarak tanam pada dasarnya adalah
memberikan kemungkinan tanaman untuk tumbuh dengan baik
tanpa mengalami persaingan dalam hal pengambilan air, unsur hara
dan cahaya matahari, serta memudahkan pemeliharaan tanaman.
Penggunaan jarak tanam yang kurang tepat dapat merangsang
pertumbuhan gulma, sehingga dapat menurunkan hasil (Marid dan
Vega, 1971 dalam Sumarni dan Hidayat, 2005). Hasil analisis
ekonomi pada berbagai situasi harga umbi bibit dari bawang merah
konsumsi menunjukkan bahwa kerapatan tanam optimum dengan
gross margin tertinggi adalah 50 tanaman per m2 (jarak tanam 10 cm
x 20 cm) (Hidayat et al.,2003 dalam Sumarni dan Hidayat, 2003).
d. Pengolahan Tanah
Pengolahan tanah pada dasarnya dimaksudkan untuk
menciptakan lapisan olah yang gembur dan cocok untuk budidaya
bawang merah. Pengolahan tanah umumnya diperlukan untuk
menggemburkan tanah, memperbaiki drainase dan aerasi tanah,
meratakan permukaan tanah, dan mengendalikan gulma. Pada lahan
kering, tanah dibajak atau dicangkul sedalam 20 cm, kemudian
dibuat bedengan-bedengan dengan lebar 1,2 meter, tinggi 25 cm,
sedangkan panjangnya tergantung pada kondisi lahan. Pada lahan
bekas padi sawah atau bekas tebu, bedengan-bedengan dibuat
terlebih dahulu dengan ukuran lebar 1,75 cm, kedalaman parit 50 –
60 cm dengan lebar parit 40 – 50 cm dan panjangnya disesuaikan
dengan kondisi lahan. Kondisi bedengan mengikuti arah Timur

8
Barat. Tanah yang telah diolah dibiarkan sampai kering kemudian
diolah lagi 2 – 3 kali sampai gembur sebelum dilakukan perbaikan
bedengan-bedengan dengan rapi. Waktu yang diperlukan mulai dari
pembuatan parit, pencangkulan tanah (ungkap 1, ungkap 2, cocrok)
sampai tanah menjadi gembur dan siap untuk ditanami sekitar 3 – 4
minggu. Lahan harus bersih dari sisa tanaman padi/tebu dapat
menjadi media patogen penyakit seperti Fusarium sp.
Pada saat pengolahan tanah, khususnya pada lahan yang
masam dengan pH kurang dari 5,6, disarankan pemberian
kaptan/dolomit minimal 2 minggu sebelum tanam dengan dosis 1 –
1,5 t/ha/tahun, yang dianggap cukup untuk dua musim tanam
berikutnya. Pemberian dolomit ini penting dilakukan untuk
meningkatkan ketersediaan unsur hara Kalsium (Ca) dan
Magnesium (Mg), terutama pada lahan masam atau lahan-lahan
yang diusahakan secara intensif untuk tanaman sayuran pada
umumnya. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa untuk lahan yang
dikelola secara intensif, pemberian dolomit sebanyak 1,5 t/ha dapat
meningkatkan bobot basah dan bobot kering bawang merah
(Sumarni dan Hidayat, 2005).
e. Pemupukan
Kegiatan selanjutnya setelah pengolahan tanah ialah
pemupukan. Pupuk dasar yang digunakan adalah pupuk organik
yang sudah matang seperti pupuk kandang sapi dengan dosis 10 –
20 t/ha atau pupuk kandang ayam dengan dosis 5-6 t/ha, atau
kompos dengan dosis 4-5 t/ha khususnya pada lahan kering. Selain
itu pupuk P (SP-36) dengan dosis 200-250 kg/ha (70 – 90 kg
P2O5/ha), yang diaplikasikan 2-3 hari sebelum tanaman dengan cara
disebar lalu diaduk secara merata dengan tanah (Sumarni dan
Hidayat, 2005).

9
f. Pengairan
Tanaman bawang merah memerlukan air yang cukup selama
pertumbuhannya melalui penyiraman. Pertanaman di lahan bekas
sawah dalam keadaan terik di musim kemarau memerlukan
penyiraman yang cukup, biasanya satu kali dalam sehari pada pagi
atau sore hari, sejak tanam sampai menjelang panen. Penyiraman
yang dilakukan pada musim hujan umumnya hanya ditujukan untuk
membilas daun tanaman, yaitu untuk menurunkan percikan tanah
yang menempel pada daun bawang merah. Pada bawang merah
periode kritis karena kekurangan air terjadi saat pembentukan umbi
(Splittosser, 1979 dalam Sumarni dan Hidayat, 2005), sehingga
dapat menurunkan produksi. Untuk menanggulangi masalah ini
perlu adanya pengaturan ketinggian muka air tanah (khusus pada
lahan bekas sawah) dan frekuensi pemberian air. (Sumarni dan
Hidayat, 2005)
g. Pengendalian Hama dan Penyakit
Hama penyakit yang menyerang tanaman bawang merah
antara lain adalah ulat grayak Spodoptera, Trips, Bercak ungu
Alternaria (Trotol); otomatis (Colletotrichum), busuk umbi
Fusarium dan busuk putih Sclerotum, busuk daun Stemphylium dan
virus. Pengendalian hama dan penyakit merupakan kegiatan rutin
atau tindakan preventif yang dilakukan petani bawang merah.
Umumnya kegiatan ini dilakukan pada minggu kedua setelah tanam
dan terakhir pada minggu kedelapan dengan dengan interval 2-3
hari. (Sumarni dan Hidayat, 2005)

E. Budidaya Tanaman dalam Screenhouse


Budidaya dengan penerapan teknologi pertanian seperti screen
house dapat menjadi salah satu pilihan solusi, hal ini karena, pengaturan
jadwal produksi dapat dilakukan, seperti dengan menerapkan pola seri
tanam yang terkontrol atau dengan mikroklimat yang diatur, sehingga
inflasi produksi dapat ditekan, yaitu pada saat tertentu suatu komoditas sulit

10
ditemui mengakibatkan harganya demikian tinggi, sementara pada waktu
lain kebanjiran produk menyebabkan harga anjlok, sehingga kerugian
segera tiba. Dengan demikian, produksi budidaya secara mandiri dan
berkesinambungan dapat dicapai dan ketergantungan pada lingkungan luar
bisa diminimalisir (Anonim1, 2017).
Budidaya di dalam screenhouse juga dapat meningkatkan hasil
produksi lebih tinggi dibanding dengan areal yang terbuka, karena screen
house diantaranya dapat meningkatkan tingkat harapan hidup dari bunga
menjadi buah. Kondisi areal yang beratap dan lebih tertata menyebabkan
pengawasan dapat lebih intensif dilakukan. Bila terjadi gangguan terhadap
tanaman baik karena hama, penyakit ataupun gangguan fisiologis, dapat
dengan segera diketahui untuk diatasi (Anonim2, 2017).

11
BAB III
METODE PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat Pelaksanaan


Kerja praktek dilakukan dengan metode partisipasi dan observasi.
Waktu pelaksanaan kerja praktek ini adalah 3 minggu, dimulai tanggal 8
sampai 26 Januari 2018 pukul 07.30 – 15.00 WIB bertempat di UPTD
BPPTPH Ngipiksari Kaliurang, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta
(Jalan Kaliurang KM 23, Ngipiksari, Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta).

B. Alat dan Bahan


a. Alat
Peralatan yang digunakan yaitu penggaris, kamera, screenhouse,
alat siram tanaman, dan matrix sprayer (alat semprot hama).
b. Bahan
Bahan-bahan yang diperlukan berupa umbi bawang merah yang
telah dipotong ujungnya, rhedomil, curacron, akuades, dan pupuk
kandang.
C. Cara Kerja
a. Pengolahan Tanah
Pengolahan tanah yang dilakukan pertama kali adalah
menyiapkan 4 plot tanah sebagai lahan, kemudian penyiangan dan
penambahan 8 karung pupuk kendang yang disebar secara merata,
masing-masing 2 karung untuk tiap plotnya. Tahapan selanjutnya
adalah pencampuran pupuk ZA SP 36 dan KCl dengan perbandingan
3:1:1 di dalam ember dengan berat total 5 kg, kemudian disebar
merata ke semua plot. Tanah yang telah ditambah dengan pupuk
selanjutnya diratakan dengan cara mencangkulkan tanah ke seluruh
bagian tanah.

12
b. Persiapan benih
Benih yang digunakan berupa umbi bawang merah yang telah
dipotong ujungnya 1/3 bagian direndam dalam larutan rhedomil 1
g/l selama 15 menit. Umbi bawang merah yang telah direndam
kemudian ditanam dengan jarak tanam antar umbi ± 1 jengkal.
c. Perawatan dan sanitasi
Penyiraman lahan bawang merah dilakukan secara manual
yaitu dengan menggunakan gembor. Penyiraman dilakukan 2 hari
sekali. Setiap plot diperlukan 2 gembor, dengan volume tiap gembor
adalah 8 liter. Air yang digunakan adalah air dari bak penampungan
utama yang dialirkan lagi ke bak penampung di setiap screenhouse.
d. Sanitasi
Sanitasi dilakukan sehari sekali yang dilakukan secara manual
dengan mencabut gulma dan mengambil hama yang berada di
sekitar tanaman bawang merah. Gulma dan hama yang ada di lahan
antara lain jamur, ulat dan bekicot. Untuk menekan pertumbuhan
hama pada tanaman bawang merah maka dilakukan penyemprotan
fungisida setiap 3 hari sekali. Fungisida dan pestisida yang
digunakan adalah fungisida rhedomil dan pestisida curacron . etelah
dua minggu penanaman, tanaman bawang merah disemprot dengan
rhedomil dan curacron dengan konsentrasi 1 g/L Penyemprotan
dilakukan tiap tiga hari sekali menggunakan mistblower.

D. Analisis Data
Data diambil dengan melakukan pengukuran tinggi tanaman
bawang merah dari pangkal umbi dan penghitungan jumlah daun segar
bawang merah pada 5 sampel tanaman bawang merah per plot. Parameter
tinggi daun dan jumlah daun segar kemudian dijumlahkan, dibagi dengan
banyaknya plot, dirata-rata dan dibuat grafik nya tiap 3 hari sekali selama 3
minggu.

13
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil
Berikut ini merupakan grafik pertumbuhan tinggi tanaman dan jumlah daun
segar bawang merah selama 15 hari
18
16
14
Tinggi tanaman (cm)

12
10
8
6
4
2
0
3 6 9 12 15
Hari ke-

Gambar 1. Tinggi tanaman bawang merah di screenhouse UPTD


BPPTPH Ngipiksari Yogyakarta
Gambar 1 menggambarkan grafik tinggi tanaman bawang merah selama 15
hari . Tinggi tanaman mengalami pertumbuhan pada 9 hari pertama, lalu
tanaman yang mulai layu dan mati menyebabkan pengurangan tanaman
bawang merah.

12
Jumlah daun segar (helai)

10

0
3 6 9 12 15
Hari ke-

Gambar 2. Jumlah daun segar bawang merah di screenhouse UPTD


BPPTPH Ngipiksari Yogyakarta

14
Gambar 2 adalah grafik jumlah daun segar bawang merah selama 15 hari
pengamatan. Jumlah daun mengalami perbanyakan hingga hari ke 9
pengamatan, dan , lalu daun-daun yang mulai layu dan mati menyebabkan
pengurangan helai daun bawang merah.

B. Pembahasan
Balai Pengembangan Perbenihan Tanaman Pangan dan Hortikultura
(BPPTPH) merupakan salah satu Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) dari
Dinas Pertanian Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, bekerja dibawah
pengawasan dan bertanggungjawab pada kepala Dinas Pertanian Provinsi
DIY. Balai di Ngipiksari yang memiliki luas lahan 8,17 ha ini memiliki
kegiatan utama seperti perbanyakan dan pemurnian benih sayuran, bibit-
bibit buah-buahan, rempah, obat, serta aneka tanaman hias. Di balai ini juga
dilakukan kegiatan pemeliharaan pohon induk buah-buahan dan
pengelolaan blok penggandaan mata tempel tanaman jeruk di rumah kaca.
Adapun komoditas yang diusahakan adalah tanaman sayur seperti tomat,
cabai, bawang merah, buncis, dan kacang panjang. Untuk buah-buahan
meliputi jeruk, durian,manggis, mangga, kelengkeng, dan sebagainya.
Untuk tanaman hias meliputi bunga krisan, sedangkan jamur terdapat jamur
lingzhe, kuping, dan tiram

Salah satu kegiatan UPTD BPPTPH Ngipiksari adalah percobaan


penanaman bibit umbi bawang merah dan melihat pertumbuhannya.
Penanaman dalam screenhouse dilakukan untuk meminimalisir adanya
hama tanaman, serta melindungi tanaman dari cuaca ekstrim. Budidaya
tanaman sayuran dalam screenhouse, memiliki beberapa kelebihan seperti
pengaruh perubahan cuaca yang cukup ekstrim dapat diminimalisir, kondisi
lahan (media tanam) yang dapat diatur sedemikian rupa,serta penyerapan
nutrisi (pupuk) yang optimal (Sobari, 2015).

Pada hasil didapat bahwa pertumbuhan panjang serta jumlah daun


bawang merah mengalami kenaikan pada hari ke 3 sampai hari ke-6,

15
mengalami pertumbuhan yang relatif konstan serta mengalami kematian
serta pengurangan jumlah daun segar pada hari ke-9 sampai hari ke-15
akibat kelayuan dan matinya daun. Daun bawang merah menguning di
bagian ujung serta umbi mengalami pembusukan dan terdapat cendawan
yang berwarna keputih-putihan. Hal ini dikarenakan bawang merah diduga
terjangkit penyakit moler atau layu Fusarium oxysporum. Tanaman menjadi
mudah tercabut karena pertumbuhan akar terganggu serta umbi yang
membusuk. Infeksi pada bagian akar atau batang yang berbatasan dengan
permukaan tanah merupakan awal serangan patogen tular tanah pada
tanaman. Hal ini menyebabkan transportasi hara dan air tersumbat sehingga
tanaman layu (Sumartini, 2012 dalam Kaeni dkk., 2014).

Gambar 3. Daun bawang merah yang mengalami kelayuan

Cendawan Fusarium oxysporum mampu bertahan hidup lama di


dalam tanah meskipun tanpa tanaman inang, karena dapat membentuk
klamidospora yaitu spora aseksual yang dibentuk dari ujung hifa yang
membengkak. Meskipun pada dasarnya cendawan ini adalah patogen tular
tanah, tetapi patogen tersebut dapat tersebar pula lewat air pengairan dari
tanah yang terkontaminasi, dari satu tempat ke tempat lainnya. Infeksi akhir
pada umbi yang terjadi di pertanaman akan terbawa sampai umbi disimpan

16
di gudang. Cendawan akan berkembang mulai dari dasar umbi, lalu masuk
ke dalam umbi lapis. Jika umbi digunakan sebagai bibit, penyakit tersebut
akan tersebar di lapangan. Drainase yang buruk dan kelembaban tanah yang
tinggi sangat membantu berkembangnya penyakit moler tersebut (Anonim,
2005 dalam Udiarto dkk., 2005).

Pengendalian penyakit moler ini dapat dilakukan dengan pergiliran


tanaman dengan tanaman bukan keluarga bawang-bawangan dan dilakukan
penyemprotan fungisida berbahan aktif benomil, mankozeb, dan propineb
dengan konsentrasi 0.1% Beberapa penelitian melaporkan bahwa selain
menggunakan fungisida kimia, perlakuan perendaman bibit, pupuk hayati
(Kaeni dkk., 2014) serta Trichoderma harzianum sebagai fungisida hayati
(Santoso dkk., 2006) mampu mengendalikan pertumbuhan Fusarium
oxysporum.

Cara penggunaan Trichoderma sp. ialah diberikan secara merata


pada tanah, bersamaan dengan pemberian pupuk kandang. Sebaiknya satu
minggu atau dua minggu sebelum pupuk kandang digunakan di lahan,
pupuk kandang sebanyak 20--50 kg dicampuri Trichoderma sp. sebanyak
100 g. Selanjutnya, campuran pupuk kandang dan Trichoderma sp.
didiamkan selama 1-2 minggu di tempat yang teduh dan lembab, kemudian
baru disebarkan di lahan sebagai pupuk dasar sebanyak 2-2,5 ton/ha lahan
yang akan ditanami bawang merah. Manfaat dan keunggulan Trichoderma
sp. adalah memberikan dampak positif pada patosystem tanaman, membuat
periode inkubasi penyakit menjadi lebih lambat, menurunkan intensitas
penyakit, menurunkan kerapatan populasi patogen di dalam tanah, mudah
cara penggunaannya, tidak meninggalkan residu beracun pada hasil
pertanian, baik di dalam tanah maupun pada aliran air sehingga aman bagi
lingkungan, aman bagi manusia dan hewan piaraan, tidak menyebabkan
fitotoksin (keracunan) pada tanaman, dan sangat sesuai digunakan sebagai
komponen pertanian organik. (Balai Pengkajian Teknologi Pertanian
Yogyakarta, 2014)

17
BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

UPTD BPPTPH Ngipiksari Yogyakarta melaksanakan kegiatan


utama seperti perbanyakan dan pemurnian benih sayuran, bibit-bibit buah-
buahan, rempah, obat, serta aneka tanaman hias di screenhouse. Faktor yang
mempengaruhi pertumbuhan tanaman bawang merah ialah iklim, kondisi
tanah, pemupukan, pengairan serta pengendalian hama penyakit tumbuhan.
Penyakit layu yang disebabkan oleh Fusarium oxysporum diduga menjadi
penyebab terganggunya pertumbuhan bawang merah di screenhouse UPTD
BP2TPH Ngipiksari, Kaliurang, Yogyakarta.

B. Saran
Perlunya penelitian lebih lanjut tentang penanganan penyakit layu
moler oleh Fusarium oxysporum serta optimalisasi pertumbuhan bawang
merah di UPTD BP2TPH Ngipiksari, Kaliurang, Yogyakarta.

18
DAFTAR PUSTAKA

AAK. 2004. Pedoman Bertanam Bawang. Kanisius. Yogyarta.


Anonim1. 2017. Info Teknologi Pertanian : Budidaya dengan Screen House. Dalam
http://hkti.org/info-teknologi-pertanian-budidaya-dengan-screen-house.html
Diakses pada Sabtu, 17 Februari 2018 pukul 16.05 WIB.
Anonim2. 2017. Model Rumah Kasa Induk Tanaman Jeruk. Dalam
http://balitjestro.litbang.pertanian.go.id/model-rumah-kasa-induk-tanaman-
jeruk Diakses pada Sabtu, 17 Februari 2018 pukul 16.00 WIB.
Azmi, C., Hidayat, I.M., Wiguna, G. 2011. Pengaruh varietas dan ukuran umbi
terhadap produktivitas bawang merah. J. Hort. 21(3):206-213

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta. 2014. Pengendalian Penyakit


Moler dan Layu pada Tanaman Bawang Merah. Dalam
http://yogya.litbang.pertanian.go.id/ind/index.php?option=com_content&v
iew=article&id=1034:pengendalian-penyakit-moler-dan-layu-pada-
tanaman-bawang-merah&catid=4:info-aktual&Itemid=174 Diakses pada
Kamis, 26 April 2017 pukul 10.23 WIB

Dinas Pertanian Provinsi D. I. Yogyakarta. 2008. UPTD Balai Pengembangan


Perbenihan Tanaman Pangan dan Hortikultura. Dalam
http://distan.jogjaprov. go.id/ Diakses pada Jumat, 16 Februari 2018 pukul
19.00 WIB.
Fredikurniawan. 2016. Klasifikasi dan Morfologi Tanaman Bawang Merah Allium
cepa L. Dalam http://fredikurniawan.com/klasifikasi-dan-morfologi-
tanaman-bawang-merah-allium-cepa-l/ Diakses pada Jumat, 16 Februari
2018 pukul 19.20 WIB.
Kaeni, E., Toekidjo, Subandiyah, S. 2014. Efektivitas suhu dan lama perendaman
bibit empat kultivar bawang merah (Allium cepa L. Kelompok Aggregatum)
pada pertumbuhan dan daya tanggapnya terhadap penyakit moler.
Vegetalika 3(1):53-65
Ningsih, R.D. 2016. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Bawang
Merah. BPTP Kalimantan Selatan. hal. 1
Santoso, S.E., Soesanto, L., Haryanto, T.A.D. 2006. Penekanan hayati penyakit
moler pada bawang merah (Allium ascalonicum L.). Universitas Jendral
Soedirman. Semarang.

19
Sudirja, R. 2007. Bawang Merah. Dalam http://lablink.or.id/Agro/bawangmerah/
Alternariapatrait.html Diakses pada Sabtu, 17 Februari 2018 pukul 15.50
WIB.
Sobari, E. 2015. Budidaya Paprika: Analisis pada Bangunan Screen House dengan
system Drip Irrigation. Graha Ilmu. Yogyakarta
Sumarni, N., Hidayat, A. 2005. Panduan Teknis Budidaya Bawang Merah. Balai
Penelitian Tanaman Sayuran, Pusat Penelitian dan Pengembangan
Holtikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bandung.
Udiarto, B.K., Setiawati, W., Suryaningsih, E. 2005. Panduan Teknis Pengenalan
Hama dan Penyakit pada Tanaman Bawang Merah serta Pengendaliannya.
Balai Penelitian Tanaman Sayuran, Pusat Penelitian dan Pengembangan
Holtikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bandung.
Wibowo, S. 1991. Budidaya Bawang Putih, Bawang Merah dan Bawang Bombay
Edisi Keempat. Penerbit Swadaya. Jakarta.

20
DAFTAR LAMPIRAN
Surat Izin Kerja Praktek

21
Surat Pemberian Izin Kerja Praktek

22
Daftar Mahasiswa Kerja Praktek

23
Borang Pemantauan Kerja Praktek

24
Sertifikat Kerja Praktek

25
Sertifikat Kerja Praktek

26

Anda mungkin juga menyukai