Anda di halaman 1dari 10

PROPOSAL PENELITIAN

RESPON PERTUMBUHAN TANAMAN CABAI (Capsicum


annum L.) PADA LAHAN BEKAS TAMBANG DENGAN
PENAMBAHAN PUPUK HAYATI

NALUPIZA
2011411040

JURUSAN AGROTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN, PERIKANAN DAN BIOLOGI
UNIVERSITAS BANGKA BELITUNG
2017
I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tanaman cabai (Capsicum annum L.) merupakan salah satu jenis


tanaman hortikultura yang banyak dibudidayakan di Indonesia, hal ini
dikarenakan tanaman cabai memiliki nilai ekonomis yang tinggi. Selain untuk
memenuhi kebutuhan rumah tangga sehari-hari, cabai juga banyak digunakan
sebagai bahan baku industri. Cabai memiliki kandungan gizi yang cukup
tinggi terutama vitamin A dan vitamin C serta mengandung minyak atsiri
sebagai penyebab rasa pedas yang disebut capsaisin (Sunaryono 2009).
Kebutuhan cabai di Indonesia terus mengalami peningkatan sejalan
dengan bertambahnya jumlah penduduk dan berkembangnya industri-industri
yang menggunakan cabai sebagai bahan baku. Produksi cabai di Indonesia
pada tahun 2016 mencapai 8,47 ton/ha untuk cabai besar dan cabai rawit
6,69 ton/ha dengan luas panen cabai besar pada tahun 2016 123.404 ha dan
cabai rawit 136.818 (BPS Indonesia 2016). Khusus di Bangka Belitung
produksi cabai pada tahun 2016 mencapai 7,106 ton/ha cabai besar dengan
luas panen 321 ha dan 4,49 ton/ha cabai rawit dengan luas panen 426 ha (BPS
Bangka Belitung 2016). Meningkatnya kebutuhan cabai dari tahun ke tahun
mendorong para petani untuk membudidayakan cabai. Melihat tingginya
minat petani dalam budidaya cabai perlu diadakan upaya produksi cabai
dengan memanfaatkan lahan bekas tambang sebagai tempat budidaya cabai.
Menurut data PT. Timah Tbk (2014) bahwa jumlah izin usaha
penambangan (IUP) di Provinsi Bangka Belitung pada tahun 532.344 ha
dengan rician 385.150 ha tambang darat dan 147.194 ha tambang laut.
Lahan bekas tambang timah merupakan lahan kritis yang mempunyai
kandungan hara dan kadar air yang rendah, hal tersebut disebabkan oleh
minimnya vegetasi yang tumbuh disekitar lahan bekas tambang timah.
Menurut Gedoan et al. (2011), lahan bekas tambang timah mengandung fraksi
pasir lebih dari 94%, fraksi liat kurang dari 3%, kandungan bahan organik
kurang dari 1,78% yang berupa C-Organik, daya menahan air yang randah,
permeabilitas yang tinggi dan jumla mikroorganisme yang sangat rendah.
Menurut Purwani et al. (2014), kondisi tersebut tidak dapat diperbaiki dalam
waktu yang singkat bahkan bila tidak dibenahi dapat mencapai waktu ratusan
tahun agar dapat digunakan sebagai lahan pertanian.
Simarmata (2005) menyebutkan upaya yang ramah lingkungan untuk
memperbaiki kualitas dan kesehatan tanah yaitu dengan sistem pertanian
ekologis terpadu. Pengembangan pertanian ekologis ini didukung dengan
kemajuan dalam bidang bioteknologi tanah yang ramah lingkungan, yaitu
pemanfaatan pupuk hayati (biofertilizers). Rahmawati (2002), menyatakan
upaya yang dapat dilakukan untuk menunjang keberhasilan dalam budidaya
tanaman di lahan bekas tambang maka diperlukan usaha-usaha seperti
perbaikan lahan, pemilihan spesies tanaman yang sesuai dan penggunaan
pupuk biologi. Perbaikan lahan bekas tambang dapat dilakukan dengan
memanfaatkan mikroba-mikroba pada pupuk hayati.
Pupuk hayati merupakan alternatif untuk memperbaiki dan
meningkatkan kualitas tanah. Sehingga dengan memanfaat pupuk hayati
dapat memperbaiki struktur dan biologis tanah karena mampu mempercepat
penguraian bahan organik tanah sehingga akan mendukung pertumbuhan dan
hasil tanaman cabai yang maksimal (Ramanta 2008).
Berdasarkan uraian di atas perlu dilakukan penelitian tentang respon
pertumbuhan tanaman cabai di lahan bekas tambang timah dengan
penambahan pupuk hayati. Hal tersebut dilakukan untuk mengetahui
pengaruh pemberian pupuk hayati terhadap pertumbuhan tanaman cabai.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana pengaruh pemberian pupuk hayati terhadap pertumbuhan cabai


di lahan bekas tambang timah?
2. Dosis pupuk hayati manakah yang menghasilkan pertumbuhan cabai yang
terbaik pada lahan bekas tambang timah?
1.3 Tujuan

1. Mengetahui pengaruh pemberian pupuk hayati terhadap pertumbuhan


tanaman cabai di lahan bekas tambang.
2. Mengetahui dosis pupuk hayati yang dapat menghasilkan pertumbuhan
tanaman cabai yang terbaik pada lahan bekas tambang timah.
II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Teoritik

2.1.1 Klasifikasi Tanaman Cabai

Cabai merupakan tanaman musiman dengan tinggi dapat mencapai


satu meter, daun berwarna hijau tua, berbentuk bujur telur dan bunga
soliter dengan daun bunga putih. Tanaman cabai keriting merupakan
tumbuhan perdu yang berkayu, tumbuh di daerah dengan iklim tropis.
Tanaman ini dapat tumbuh dan berkembang biak didataran tinggi
maupun dataran rendah (Setiadi 2005). Klasifikasi cabai menurut
Kurnianti (2010):

Divisi : Spermatophyta

Sub Divisi : Angiospermae

Kelas : Monocotyledonae

Family : Solaneceae

Genus : Capsicum

Spesies : Capsicum annuum L.

Tanaman cabai termasuk ke dalam famili solanaceae. Tanaman


cabai sekerabat dengan kentang (Solanum tuberosum L.), terung
(Solanum melongena L.), leunca (Solanum nigrum L.), takokak
(Solanum torvum), dan tomat (Lycopersicon esculentum) (Tarigan dan
Wiryanta 2003).

2.1.2 Syarat Tumbuh Tanaman Cabai

Tanaman cabai dapat tumbuh di daerah tropis maupun sub tropis.


Cabai mampu tumbuh pada daerah dengan ketinggian 0-2000 mdpl. Suhu
optimum yang dibutuhkan tanaman ini yaitu 24˚C, tetapi masih bisa
tumbuh pada daerah yang bersuhu 18-35˚C. (Tjahjadi, 1991) mengatakan
bahwa tanaman cabai dapat tumbuh pada musim kemarau apabila dengan
pengairan yang cukup dan teratur. Iklim yang dikehendaki untuk
pertumbuhannnya lamanya penyinaran matahari, penyinaran yang
dibutuhkan adalah penyinaran secara penuh, bila penyinaran tidak penuh
pertumbuhan tanaman tidak akan normal. Curah hujan yang dikehendaki
yaitu 800-2000 mm/tahun. Tinggi rendahnya suhu sangat mempengaruhi
pertumbuhan tanaman. Suhu yang cocok untuk pertumbuhannya adalah
siang hari 210C-280C, malam hari 130C-160C, untuk kelembaban
tanaman 80%.
Ketinggian tempat untuk penanaman cabai adalah adalah
dibawah 1400 m dpl. Berarti cabai dapat ditanam pada dataran rendah
sampai dataran tinggi (1400 m dpl). Di daerah dataran tinggi tanaman
cabai dapat tumbuh, tetapi tidak mampu berproduksi secara maksimal.
Cabai sangat sesuai ditanam pada tanah yang datar. Dapat juga
ditanam pada lereng-lereng gunung atau bukit. Tetapi kelerengan lahan
tanah untuk cabai adalah antara 0-100. Tanaman cabai juga dapat tumbuh
dan beradaptasi dengan baik pada berbagai jenis tanah, mulai dari tanah
berpasir hingga tanah liat (Harpenas 2010).
Pertumbuhan tanaman cabai akan optimum jika ditanam pada
tanah dengan pH 6-7. Tanah yang gembur, subur, dan banyak
mengandung humus (bahan organik) sangat disukai (Sunaryono dan
Rismunandar 1984). Sedangkan menurut (Tjahjadi 1991) tanaman cabai
dapat tum buh disegala macam tanah, akan tetapi tanah yang cocok
adalah tanah yang mengandung unsur-unsur pokok yaitu unsur N dan K,
tanaman cabai tidak suka dengan air yang menggenang.

2.1.3 Morfologi Tanaman Cabai

Menurut (Harpenas 2010), cabai adalah tanaman semusim yang


berbentuk perdu dengan perakaran akar tunggang. Sistem perakaran
tanaman cabai agak menyebar, panjangnya berkisar 25-35 cm. Akar ini
berfungsi antara lain menyerap air dan zat makanan dari dalam tanah,
serta menguatkan berdirinya batang tanaman. Akar tanaman cabai
tumbuh tegak lurus ke dalam tanah, berfungsi sebagai penegak pohon
yang memiliki kedalaman ± 200 cm serta berwarna coklat. Dari akar
tunggang tumbuh akar- akar cabang, akar cabang tumbuh horisontal
didalam tanah, dari akar cabang tumbuh akar serabut yang berbentuk
kecil- kecil dan membentuk masa yang rapat.
Batang utama cabai menurut (Hewindati 2006) tegak dan
pangkalnya berkayu dengan panjang 20-28 cm dengan diameter 1,5-2,5
cm. Batang percabangan berwarna hijau dengan panjang mencapai 5-7
cm, diameter batang percabangan mencapai 0,5-1 cm. Percabangan
bersifat dikotomi atau menggarpu, tumbuhnya cabang beraturan secara
berkesinambungan.
Menurut (Hewindati 2006), daun cabai berbentuk memanjang
oval dengan ujung meruncing atau diistilahkan dengan oblongus acutus,
tulang daun berbentuk menyirip dilengkapi urat daun. Bagian permukaan
daun bagian atas berwarna hijau tua, sedangkan bagian permukaan
bawah berwarna hijau muda atau hijau terang. Panjang daun berkisar 9-
15 cm dengan lebar 3,5-5 cm. Selain itu daun cabai merupakan Daun
tunggal, bertangkai (panjangnya 0,5-2,5 cm), letak tersebar. Helaian
daun bentuknya bulat telur sampai elips, ujung runcing, pangkal
meruncing, tepi rata, petulangan menyirip, panjang 1,5-12 cm, lebar 1-5
cm, berwarna hijau.
Bunga tanaman cabai berbentuk terompet kecil, umumnya bunga
cabai berwarna putih, tetapi ada juga yang berwarna ungu. Cabai
berbunga sempurna dengan benang sari yang lepas tidak berlekatan.
Disebut berbunga sempurna karena terdiri atas tangkai bunga, dasar
bunga, kelopak bunga, mahkota bunga, alat kelamin jantan dan alat.
kelamin betina. Bunga cabai disebut juga berkelamin dua atau
hermaphrodite karena alat kelamin jantan dan betina dalam satu bunga.
Cabai merupakan bunga tunggal, berbentuk bintang, berwarna putih,
keluar dari ketiak daun. (Hewindati 2006).
Buah cabai berbentuk kerucut memanjang, lurus atau bengkok,
meruncing pada bagian ujungnya, menggantung, permukaan licin
mengkilap, diameter 1-2 cm, panjang 4-17 cm, bertangkai pendek,
rasanya pedas. Buah muda berwarna hijau tua, setelah masak menjadi
merah cerah. Sedangkan untuk bijinya biji yang masih muda berwarna
kuning, setelah tua menjadi cokelat, berbentuk pipih, berdiameter sekitar
4 mm. Rasa buahnya yang pedas dapat mengeluarkan air mata orang
yang menciumnya, tetapi orang tetap membutuhkannya untuk
menambah nafsu makan.

2.2 Lahan Bekas Tambang Timah

2.2.1 Karakteristik Lahan Tambang Timah

a. Sifat fisik
Karakteristik sifat fisik lahan bekas tambang timah menunjukkan
kandungan fraksi pasir yang sangat tinggi sehingga menghasilkan
tingkat kesuburan lahan yang sangat rendah (Pratiwi et al. 2012). Tanah
yang bertekstur pasir seperti lahan bekas tambang timah mempunyai
luas permukaan yang kecil dan pori tanah yang besar sehinga daya
serap air yang tinggi dan daya tahan air akan sangat kecil ( Sitorus et
al. 2008). Inonu et al. (2011) menyatakan pada lahan bekas tambang
timah memiliki fraksi pasir mencapai 92 % dan pada lahan tidak
terganggu hanya mencapai 69,58%.
Tekstur pada lahan bekas tambang timah adalah kenaikan fraksi
pasir lebih dari 30%, jika dibandingkan dengan lahan tidak terganggu ,
penurunan komponen liat dan debu sekurang-kurangnya 50%.
Kandungan bahan organik tanah yang sangat rendah dan ketersediaan
N mendekati nol (Lestari 2008).
b. Sifat Kimia dan Biologi
Lokasi pada lahan bekas penmbangan timah memiliki suhu rata-
rata 41-45˚C dan kelembaban 35-40% hal ini menunjukan perubahan
iklim mikro yang sangat jelas. Tjahya dan Ferry (2001) menyatakan
mengenai sifat kimia pada lahan bekas tambang timah diperoleh
kandungann N 0,01%, P 0,15 %, K 0,03% dan Pb 12 ppm. Hasil
penelitian Inonu et al. (2011) N 0,03%, P 0,75%, K 0,06%, Al 0,52%,
C-organik 0,29%. Lahan bekas tambang timah memiliki kandungan
mikroorganisme yang rendah baik dari sisi populasi dan keragmannya.
Salah satu sifat kimia tanah yang terkait eratnya dengan
ketersediaan hara bagi tanaman dan menjadi indikator sebagai tingkat
kesuburan tanah. KTK (kapasitas tukar kation) tanah juga meruoakan
indikator kesuburan tanah. Jumlah total kation yang dapat
dipertukarkan pada permukaan koloid yang bermuatan negatif. KTK
tanah merupakan salah satu fifat tanah yang sangat menentukan daya
sangga tanah bagi unsur hara terutama kation.Tanah yang memiliki
kandungan pasir yang tinggi memiliki KTK yang rendah dibandingkan
dengan kandung debu dan liat yang banyak. KTK pada lahan bekas
tambang yaitu 6,91 (Pratiwi et al. 2012).

2.2.2 Perbaikan Karakteristik Lahan Bekas Tambang

Perbaikan karakterisitik sifat fisik, kimia maupun biologi sudah


dilakukan oleh para peneliti. Perbaikan karakteristik sifat fisik kimia
dan biologi banyak yang mengupayakan dengan bahan amelioran dari
bahan organik maupun pupuk hayati sebagai bahan pembenah. Pratiwi
et al. (2012) melakukan penelitian dengan dosis top soil dan bahan
organik 20% yang memberikan hasil terbaik untuk tanaman kehutanan
pada lahan bekas tambang.
III. PELAKSANAAN PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian dilakukan pada bulan Desember 2017 sampai Mei 2018.


Penelitian akan dilaksanakan di lahan bekas tambang timah Air Jangkang, Desa
Dwi Makmur, Kecamatan Merawang, Kabupaten Bangka.

3.2 Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam pelaksanaan penelitian ini adalah


cangkul, parang, timbangan analitik

3.3 Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode eksperimen


dengan menggunakan rancangan acak lengkap (RAL). Rancangan perlakuan
menggunakan faktor tunggal yaitu menggunakan pupuk hayati.

3.4 Cara Kerja

Anda mungkin juga menyukai