Anda di halaman 1dari 16

BAB.

I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Cabai (Capsicum annuum L) merupakan salah satu komoditas hortikultura
yang memiliki nilai ekonomi penting di Indonesia dan dibutuhkan oleh hampir
seluruh lapisan masyarakat,  sehingga volume peredarannya di pasaran sangat
besar. Secara umum cabai memiliki banyak kandungan gizi dan vitamin,
diantaranya Kalori, Protein, Lemak, Kabohidrat, Kalsium, Vitamin A, B1 dan
Vitamin C (Rukmana, 1995).
Menurut Badan Pusat Statistik (2012) produksi cabai merah di Provinsi Riau
pada tahun 2011 adalah 15.909 ton dengan luas areal panen 3.488 hektar dan
produktivitas rata-rata 4,56 ton/hektar. Produktivitas cabai di Riau ini masih
tergolong rendah jika dibandingkan dengan provinsi-provinsi yang ada di
Indonesia pada umumnya seperti Sumatera Barat yang mencapai 65.108 ton
dengan luas areal panen 8.196 hektar dengan produktivitas rata-rata 7,94
ton/hektar, sedangkan Sumatera Utara 245.773 ton dengn luas areal panen 22.129
hektar dan produktivitas rata-rata.
Rendahnya produktivitas cabai di Riau salah satunya disebabkan petani cabai
yang belum menggunakan benih cabai varietas unggul, padahal dengan
penggunaan varietas unggul tanaman cabai produksinya bisa mencapai 15-20
ton/ha (Suseno, 2002). Varietas cabai SSP IPB yang digunakan dalam penelitian
ini merupakan salah satu varietas cabai yang dikeluarkan oleh Departemen
Agronomi dan Hortikultura IPB yang memiliki rasa pedas (kandungan kapsaicin
967 ppm) dengan panjang buah 12-15 cm, bobot per buah 8-10 gram,
produktivitas 700-800 gram/tanaman dan umur panen 72-78 hari setelah tanam,
dimana untuk umur panen varietas ini lebih cepat dibandingkan dengan varietas
cabai pada umumnya.
Selain itu, rendahnya produktivitas cabai di Riau juga disebabkan
penggunaan pupuk anorganik ( Urea, TSP, KCL ) secara terus menerus yang tidak
di imbangi dengan pupuk organik, sehingga dapat merusak tanah (Suseno, 2002).
Pupuk anorganik sangat sedikit ataupun hampir tidak mengandung unsur hara
mikro, oleh sebab itu perlu di imbangi dengan penggunaan pupuk organik atau

1
kompos yang banyak mengandung hara mikro terutama kompos yang berasal dari
daun-daunan seperti kompos leguminosa (Pracaya, 2001)            
Kompos leguminosa ialah kompos yang paling praktis yang dapat digunakan
oleh petani cabai, karna bahan dasar kompos ini mudah didapatkan serta tidak
banyak mengeluarkan biaya, sehingga kompos leguminosa dapat menjadi salah
satu sumber hara organik alternatif yang dapat digunakan oleh petani cabai secara
langsung (Krishnawati, 2003).
Kompos Leguminosa adalah peruraian bahan organik dari tanaman
leguminosa oleh jasad renik (mikrobia) yang dalam penelitian ini menggunakan
Bio-Aktivator Trichoderma sp. Pemberian kompos leguminosa ini tidak hanya
memperkaya unsur hara bagi tanaman, namun juga berperan dalam memperbaiki
struktur tanah, tata udara dan air dalam tanah, mengikat unsur hara dan
memberikan makanan bagi jasad renik yang ada dalam tanah, sehingga
meningkatkan peran mikrobia dalam menjaga kesuburan tanah. Selain itu,
pembuatan kompos leguminosa ini juga relatif mudah. Keunggulan lainnya adalah
mudah terurai di dalam tanah sehingga mempercepat penyiapan unsur hara bagi
tanaman. Oleh sebab itu penggunaan kompos leguminosa diharapkan dapat
meningkatkan pertumbuhan dan produksi tanaman cabai (Kartini, 2007).
Berdasarkan uraian dapat di identifikasi beberapa permasalahan rendahnya
produktivitas cabai di Riau, disebabkan karena petani cabai yang belum
menggunakan benih cabai varietas unggul, penggunaan pupuk anorganik ( Urea,
TSP, KCL ) secara terus menerus yang tidak di imbangi dengan pupuk organik,
sehingga di asumsikan penggunaan kompos leguminosa yang memanfaatkan
bioaktivator Trichoderma sp. dengan penggunaan varietas cabai SSP IPB, menjadi
salah satu alternatif dalam mengatasi permasalahan rendahnya produktivitas cabai
di Riau.
Berdasarkan dari penjelasan dan uraian di atas, maka penulis tertarik
melakukan penelitian dengan judul “Aplikasi Beberapa Dosis Kompos
Leguminosa dengan Penggunaan Bio-Aktivator Trichoderma sp. Terhadap
Pertumbuhan dan Produksi Tanaman Cabai (Capsicum Annuum L)”.

2
1.2.  Tujuan Penelitian
2 Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh aplikasi beberapa dosis
kompos leguminosa yang memanfaatkan bioaktivator Trichoderma sp. dan
mendapatkan dosis kompos leguminosa yang terbaik dalam meningkatkan
pertumbuhan dan produksi tanaman  cabai (Capsicum Annuum L).
1.3. Hipotesis
Pemberian kompos leguminosa dengan dosis 150 gram/tanaman atau setara
dengan 30 ton/ha merupakan pemberian dosis terbaik terhadap pertumbuhan dan
produksi tanaman  cabai (Capsicum Annuum L).

3
BAB.II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tanaman Cabai
Tanaman cabai merupakan tanaman perdu dari famili terong-terongan
(solanaceae) yang memiliki nama ilmiah Capsicum sp. Cabai berasal dari benua
Amerika tepatnya daerah Peru dan menyebar ke negara-negara benua Amerika,
Eropa dan Asia termasuk Negara Indonesia, mereka memanfaatkan tanaman
berbuah pedas tersebut sebagai bumbu penyedap masakan (Prajnanta, 1999).
Dari masa ke masa, tanaman cabai mengalami perkembangan. Perkembangan
ini bisa dikatakan sejalan dengan perkembangan penduduk, kemajuan teknologi
dan kemampuan berevolusi dan beradaptasi dari tanaman itu sendiri.
Perkembangan penduduk antara lain menyebabkan peningkatan permintaan akan
cabai. Kemajuan teknologi yang ditopang oleh kemajuan berevolusi dan
beradaptasi, antara lain berhasil memurnikan varietas cabai yang ada (Pracaya,
2001).
Di Indonesia sendiri, penanaman cabai bermacam-macam tergantung
daerahnya. Cabai sering disebut dengan berbagai nama lain, misalnya, lombok,
cengis, cengek, dan masih banyak lagi sebutan lainnya (Prajnanta, 1999). Dalam
tata nama ilmiah, menurut Suseno  (2002) tanaman cabai termasuk dalam genus
Capsicum, dengan klasifikasi lengkap sebagai berikut: Kingdom: Plantae,
Divisi: Magnolioyt, Kelas: Magnoliopsida, Sub kelas: Asteridae,
Ordo : Solanales, Famili: Solanaceae, Genus: Capsicum.
Tanaman cabai mempunyai akar tunggang yang terdiri atas akar utama dan
akar lateral, akar lateral mengeluarkan serabut, mampu menembus kedalaman
tanah sampai 50 cm dan melebar sampai 45 cm (Prihmantoro, 2001). Tanaman
cabai merupakan tanaman perdu dengan batang berkayu, batang akan tumbuh
sampai ketinggian 120 cm, kemudian membentuk banyak percabangan, dengan
lebar tajuk tanam sampai 90 cm (Suseno, 2002).
Batang tanaman cabai berwarna hijau, hijau tua, atau hijau muda. Pada
batang-batang yang telah tua (biasanya batang paling bawah), akan muncul warna

4
coklat seperti kayu, ini merupakan kayu semu, yang diperoleh dari pengerasan
jaringan parenkim (Prajnanta, 1999).
Daun tanaman cabai bervariasi menurut spesies dan varietasnya. Ada daun
yang berbentuk oval dan ada juga yang berbentuk lonjong. Warna permukaan
daun bagian atas biasanya hijau muda, hijau, hijau tua, bahkan hijau kebiruan
(Prihmantoro, 2001).
Permukaan daun pada bagian bawah umumnya berwarna hijau muda, hijau
pucat atau hijau. Permukaan daun cabai ada yang halus dan ada pula yang
berkerut-kerut. Ukuran panjang daun cabai antara 3-11 cm, dengan lebar antara 1-
5 cm berbentuk lonjong (Pracaya, 2001).
Bunga tanaman cabai juga bervariasi, namun memiliki bentuk yang sama,
yaitu berbentuk bintang. Ini menunjukkan tanaman cabai termasuk dalam sub
kelas Asteridae (berbunga bintang). Bunga biasanya tumbuh pada ketiak daun,
dalam keadaan tunggal atau bergerombol dalam tandan. Dalam satu tandan
biasanya terdapat 2-3 bunga saja. Mahkota bunga tanaman cabai warnanya
bermacam-macam, ada yang putih, putih kehijauan dan ungu. Diameter bunga
antara 5-20 mm (Panah Merah, 1999).
Bunga tanaman cabai merupakan bunga sempurna, artinya dalam satu
tanaman terdapat bunga jantan dan bunga betina. Pemasakan bunga jantan dan
bunga betina dalam waktu yang sama (atau hampir sama), sehingga tanaman
dapat melakukan penyerbukan sendiri. Namun untuk mendapatkan hasil buah
yang lebih baik, penyerbukan silang lebih diutamakan. Karena itu, tanaman cabai
yang ditanam dalam jumlah yang banyak, hasilnya lebih baik dibandingkan
tanaman cabai yang ditanam sendirian (Prajnanta, 1999).
Buah cabai merupakan bagian tanaman cabai yang paling banyak dikenal dan
memiliki banyak variasi. Menurut Sutedjo (2002) varietas dengan tipe elongate
memiliki rasa yang sangat pedas, serta memiliki ukuran buah ± 12x0,8 cm, dan
memiliki berat 5-6 gram.

5
2.2. Syarat Tumbuh
Cabai dapat tumbuh di dataran rendah sampai ketinggian 200 m dpl.  Tetapi
bila udara sangat dingin sampai embun membeku (frost) mungkin tanaman akan
mati (Prihmantoro, 2001). Penanaman cabai pada waktu musim kemarau dapat
tumbuh dengan baik, asal mendapat penyiraman yang cukup,  temperatur yang
baik untuk cabai adalah sekitar 200-250C. Bila temperatur sampai 350C maka
pertumbuhan kurang baik, sebaliknya bila temperatur di bawah 10 0C,
pertumbuhan kurang baik bahkan dapat mematikan  (Suseno, 2002).
Curah hujan pada waktu pertumbuhan tanaman sampai akhir pertumbuhan
yang baik sekitar 600-1250 mm/tahun. Bila curah hujan berlebihan dapat
menimbulkan penyakit, terbentuknya buah kurang dan banyak buah yang rontok
(Prihmantoro, 2001). Tanah yang tergenang air walaupun dalam waktu yang tidak
terlalu lama dapat menyebabkan rontoknya buah. Kekurangan hujan dan tidak ada
pengairan juga dapat membuat tanaman cabai menjadi kerdil.  Kelembaban yang
rendah dan temperatur yang tinggi menyebabkan penguapan tinggi, sehingga
tanaman akan kekurangan air.  Akibatnya kuncup bunga dan buah yang masih
kecil banyak yang rontok (Suseno, 2002). Tanah yang asam kurang baik untuk
pertumbuhan cabai, maka perlu ditaburi kapur dan pupuk organik, tanah yang baik
bila mempunyai (pH) sekitar 6,5 (Wirakusumah, 1999).
2.3. Trichoderma sp.
Trichoderma sp. merupakan dekomposer yang mengandung enzim selulase,
enzim (β-Glukanase), proteinase dan enzim kitinase yang dapat bekerja secara
sinergis sehingga mempercepat dalam proses pelapukan bahan organik. Jamur
Trichoderma sp. dapat mengurangi bahan organik seperti karbohidrat terutama
selulosa ( Dinas Tanaman Pangan Provinsi Riau, 2003). Trichoderma sp.
merupakan salah satu jamur antagonis terhadap patogen tular tanah dan
merupakan salah satu jamur tanah yang termasuk Divisi: Eumycota, Sub divisi:
Deuteromycotina, Kelas: Ascomycetes, Sub kelas: Hypocreacea, Ordo:
Moniliales, Genus: Trichoderma dan Spesies: Harzianum (Agrios, 1997).

6
Trichoderma sp. secara alami merupakan parasit yang menyerang banyak
jamur patogen tanaman dan merupakan jamur yang terlibat dalam kompetisi alami
sesama jamur. Benang-benang hifa dari jamur patogenik akan terpotong-potong
karna terlilit oleh hifa Trichoderma sp. (Novizan 2002). Menurut Rifai (1969) hifa
Trichoderma sp. bercabang membentuk koloni yang berbentuk atau seperti kapas
dan berhubungan dengan pertumbuhan dan struktur konidiofornya, sebagian
koloni membentuk zona mirip dengan cincin yang khas dan jelas.
Trichoderma sp. dapat hidup pada kisaran suhu yang cukup luas yaitu pada
suhu 15°C-37°C (Hardar, Harman dan Taylor, 1984). Pertumbuhan optimum dari
T.harzanium dan T.koningi adalah 25°C - 30°C. Pertumbuhan akan lambat pada
pH 2-8 (Hardar, Harman dan Taylor, 1984). Menurut Rifai (1969) Trichoderma
sp. berkembang secara optimal pada pH 4,5 dan suhu 25°C. Selain itu jamur
Trichoderma sp. mempunyai keunggulan diantaranya mudah dalam aplikasi,
harga terjangkau, tidak menghasilkan racun (toksin), ramah lingkungan, tidak
mengganggu organisme lain terutama yang berada di dalam tanah, serta tidak
meninggalkan residu pada tanaman maupun di tanah (Mardiansyah dan
Trichoderma sp. ini dapat dimanfaatkan untuk pembuatan kompos, karna jamur
ini dapat mempercepat proses dekomposisi bahan-bahan organik yang akan
digunakan sebagai pembuatan kompos juga menjadikan kompos yang kaya unsur
hara baik makro maupun mikro (Yulensri, Lucida dan Henny, 2007).
Hasil penelitian Puspita, Elfina dan Imelda (2007) menunjukan bahwa
perlakuan Tricho-kompos pada dosis 30 gram/polybag bibit kelapa sawit dapat
meningkatkan pertumbuhan tanaman kelapa sawit dan mengendalikan penyakit
G.Boninense. Menurut Puspita dkk (2009) menyatakan bahwa aplikasi
Trichoderma sp. pada dosis 50 gram/polybag ukuran 5 kg dapat menghambat
intensitas serangan G.Boninense sebesar 77,19 % dan dapat meningkatkan
pertumbuhan bibit kelapa sawit.
2.4. Kompos Leguminosa
Kompos leguminosa ialah kompos yang paling praktis yang dapat digunakan
oleh petani cabai karna tanaman leguminosa mudah didapatkan serta tidak banyak

7
mengeluarkan biaya sehingga kompos leguminosa dapat menjadi salah satu
sumber hara organik alternatif yang dapat digunakan oleh petani cabai secara
langsung (Krishnawati, 2003).
Kompos leguminosa adalah peruraian bahan organik dari tanaman
leguminosa oleh jasad renik (mikrobia) dengan menggunakan Bio-Aktivator
Trichoderma sp. yaitu suatu jasad renik (mikrobia) dekomposer yang mengandung
enzim selulase, enzim (β-Glukanase), proteinase dan enzim kitinase yang dapat
bekerja secara sinergis sehingga mempercepat dalam proses pelapukan bahan
organik atau pengomposan (Dinas Tanaman Pangan Provinsi Riau, 2003).
Pemberian kompos leguminosa ini tidak hanya memperkaya unsur hara bagi
tanaman, namun juga berperan dalam memperbaiki struktur tanah, tata udara dan
air dalam tanah, mengikat unsur hara dan memberikan makanan bagi jasad renik
yang ada dalam tanah sehingga meningkatkan peran mikrobia dalam menjaga
kesuburan tanah. Selain itu, pembuatan kompos leguminosa ini juga relatif mudah
(Kartini, 2007).
Kompos leguminosa mengandung nitrogen lebih tinggi dibandingkan dengan
kompos non leguminosa karna tanaman leguminosa mempunyai bintil akar,
dimana di dalam bintil akar ini hidup bakteri yang mampu menambat N2 dari
udara. Karenanya bintil akar pada tanaman leguminosa dapat dipandang sebagai
sumber hara nitrogen alami (Krishnawati, 2003).
Dengan kemampuannya menambat nitrogen dari udara tersebut, kompos
leguminosa menjadi sumber unsur hara nitrogen bagi ekosistem tanah.
Keunggulan lainnya adalah mudah terurai di dalam tanah sehingga mempercepat
penyiapan unsur hara bagi tanaman (Kartini, 2007)

8
BAB. III BAHAN DAN METODE
3.1. Tempat dan Waktu
Penelitian ini dilaksanakan di rumah kassa Fakultas Pertanian Universitas Riau,
Kampus Bina Widya km 12,5 Kelurahan Simpang Baru, Kecamatan Tampan,
Pekanbaru. Waktu pelaksanaan penelitian ini berlangsung selama 4 bulan, dimulai
dari bulan Januari sampai bulan April 2014.
3.2. Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan antara lain Trichoderma sp, tanah topsoil inceptisol, bibit
cabai Varietas SSP IPB, polybag berukuran 50 cm x 40 cm dan polybag berukuran 10
cm x 6 cm, kompos leguminosa, pestisida nabati, pupuk kandang sapi, pupuk Urea,
pupuk SP36, pupuk TSP, pupuk KCL dan pupuk Dolomit.
Alat yang digunakan adalah mesin pencincang atau pencacah leguminosa, cangkul,
garu, parang, timbangan, timbangan digital, timbangan analitik, ayakan, ember
plastik, gembor, seedbed, meteran dan alat tulis.
3.3. Rancangan Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan secara eksperimen dengan menggunakan Rancangan
Acak Lengkap (RAL) yang terdiri dari 5 perlakuan dengan 3 ulangan, pada setiap
satuan percobaan terdiri dari 2 tanaman dan semua tanaman dijadikan sampel,
sehingga diperoleh jumlah keseluruhan 30 satuan percobaan.
Sebagai perlakuan yang diberikan adalah kompos leguminosa (K) yang terdiri dari 5
perlakuan :
K0       = Tanpa pemberian tricho-kompos leguminosa.
K1       = Pemberian tricho-kompos leguminosa dengan dosis 20 ton/ha setara dengan
100 gram/10 kg tanah (1 polybag).
K2       = Pemberian tricho-kompos leguminosa dengan dosis 30 ton/ha setara dengan
150   gram/10 kg tanah (1 polybag).

9
K3       = Pemberian tricho-kompos leguminosa dengan dosis 40 ton/ha setara dengan
200 gram/10 kg tanah (1 polybag).
K4       = Pemberian tricho-kompos leguminosa dengan dosis 50 ton/ha setara dengan
250 gram/10 kg tanah (1 polybag).
Data yang diperoleh dianalisis secara statistik menggunakan analisis ragam dengan
model linear sebagai berikut:
Yij = µ + ƫi + ɛij
Keterangan:
Yij = Hasil pengamatan perlakuan ke -i pada ulangan ke –j
µ = Pengaruh nilai tengah
ƫi = Pengaruh tricho-kompos leguminosa pada perlakuan ke –i
ɛi = Pengaruh galat percobaan pada perlakuan ke -i pada ulangan ke –j.
Hasil data yang diperoleh setelah dianalisis secara statistik menggunakan
analisis ragam dilanjutkan dengan uji Duncan’s New Multiple Range Test (DNMRT)
pada taraf 5% (Steel and Torrie,1994).
3.4. Pelaksanaan Penelitian
3.4.1. Persemaiaan dan Pemeliharaan Bibit
Media persemaian merupakan campuran dari pupuk kandang sapi dan tanah
topsoil inceptisol yang telah diayak dengan perbandingan 1 : 1. Benih yang telah
disediakan direndam terlebih dahulu dalam air hangat dengan suhu 50 0C selama 10
menit guna untuk melihat biji yang bernas serta memecah dormansi benih, setelah itu
lakukan seleksi benih, benih yang terapung tidak digunakan dan benih yang
tenggelam ditiriskan untuk disemai kedalam media persemaian yang terbuat dari
polybag kecil berukuran 10 cm x 6 cm, penyemaian dilakukan dengan menanam satu
benih pada satu polybag. Bibit yang telah ditanam selanjutnya dilakukan
pemeliharaan dengan melakukan penyiraman pada pagi dan sore hari secara rutin.
Pemindahan bibit ke polybag berukuran 50 cm x 40 cm dilakukan setelah bibit

10
tanaman cabai berumur 38 hari setelah semai dan ditandai dengan jumlah daun
dewasa sebanyak 4-6 lembar.
3.4.2. Persiapan Tempat Penelitian
Persiapan tempat penelitian dilakukan setelah penyemaian benih, tempat
penelitian ini menggunakan Rumah Kassa Fakultas Pertanian Universitas Riau,
sebelum digunakan terlebih dahulu rumah kassa dibersihkan.
3.4.3. Persiapan Medium Tanam
Medium yang digunakan adalah tanah inceptisol yang diambil dari tanah kebun
percobaan Fakultas Pertanian Universitas Riau pada kedalaman 20 cm dari
permukaan tanah, tanah yang diambil dimasukan kedalam polybag berukuran 50 cm
x 40 cm, setelah itu polybag disusun di rumah kassa sesuai rancangan penelitian.
3.4.4. Pemberian Perlakuan
Pemberian perlakuan kompos leguminosa dalam medium tanam diberikan 7
hari sebelum tanam sebanyak 40% dari dosis perlakuan, 7 hari setelah tanam
sebanyak 30% dari dosis perlakuan dan 35 hari setelah tanam sebanyak 30% dari
dosis perlakuan. Pemberian dilakukan dengan mencampur ke lubang tanam pada
medium tanam dalam polybag pada aplikasi pertama, untuk aplikasi selanjutnya
diberikan dengan membuat lubang disekitar tanaman.
3.4.5. Penanaman
Penanaman dilakukan pada sore hari agar bibit tidak mengalami stres akibat
suhu yang tinggi. Setiap satu lubang tanam pada polybag ditanami satu bibit cabai.
Penanaman dilakukan dengan melepaskan medium dalam polybag pembibitan, bibit
beserta tanah dalam polybag dimasukan kedalam lubang tanam diameter 6 cm dengan
kedalaman 10 cm pada polybag berukuran 50 cm x 40 cm. Setelah dilakukan
penanaman, selanjutnya dilakukan penyiraman dengan dosis penyiraman yang sama
per polybag nya.

11
3.4.6. Pemeliharaan
3.4.6.1. Penyiraman
Tanaman cabai membutuhkan pengairan yang cukup terutama pada saat fase
pertumbuhan vegetatif dan pembesaran buah, oleh sebab itu dilakukan penyiraman
secara rutin pada pagi dan sore hari dengan dosis penyiraman yang sama per polybag
nya.
3.4.6.2. Penyulaman
Penyulaman dilakukan pada tanaman cabai apabila ada bibit yang mengalami
pertumbuhan abnormal, layu dan terserang hama atau penyakit. Kegiatan ini
dilakukan dengan cara mengganti tanaman tersebut dengan tanaman yang berumur
sama serta memiliki perlakuan yang sama yang telah dipersiapkan sebelumnya.
Waktu penyulaman adalah minggu pertama setelah pindah tanam dan dilakukan pada
sore hari agar bibit tidak mengalami stres akibat suhu yang tinggi.
3.4.6.3. Pemupukan
Pada percobaan ini pupuk anorganik diberikan 14  hari setelah tanam yaitu
sebanyak 50% dari rekomendasi yang dianjurkan, dimana pupuk Urea diberikan  2
gram/tanaman, SP36 5 gram/tanaman dan KCL 5 gram/tanaman
3.4.6.4. Penyiangan
Pelaksanaan penyiangan disesuaikan dengan kondisi pertumbuhan gulma
yang ada disekitar medium dalam Polybag. Penyiangan dilakukan dengan cara
manual dengan mencabut gulma yang tumbuh di dalam polybag,  dilakukan dengan
hati-hati agar tidak merusak perakaran tanaman cabai.
3.4.6.5. Perempelan
Perempelan merupakan kegiatan pemeliharaan dengan membuang beberapa
bagian tanaman muda. Apabila tidak dilakukan perempelan, tanaman akan
mempunyai bentuk yang kurang baik dan mengurangi kemampuan produksi tanaman.
Perempelan dilakukan terhadap tunas samping yang muncul sebelum pembungaan
agar tanaman tumbuh besar terlebih dahulu.  Perempelan dilakukan pada daun-daun

12
tua, bunga pertama dan seluruh tunas yang keluar dari ketiak daun di bawah
percabangan pertama. Perempelan dilakukan pada pagi hari karena tunas tersebut
masih mudah dipotong.
3.4.6.6. Pemasangan turus
Pemasangan turus dilakukan setelah tanaman cabai berumur 30 hari setelah
tanam, dengan jarak kira-kira 10 cm dari batang tanaman. Tanaman cabai
memerlukan turus supaya tidak rebah karena tiupan angin.
3.4.6.7. Pengendalian Hama
Pengendalian hama dilakukan pada pagi hari dengan cara penyemprotan
Insektisida nabati berbahan dasar daun tanaman nimba, dilakukan antara pukul 07 00–
1000.
3.4.6.8 Panen
Panen dilakukan pada pagi hari terhadap buah cabai yang telah memenuhi
kriteria panen. Adapun kriteria panen meliputi warna cabai sudah merah merata
dengan bentuk buah padat atau tidak lunak. Pemanenan dilakukan dengan cara
mendorong tangkai buah keatas atau kearah berlawanan dari tangkai buah.
Pemanenan dilakukan 3 hari sekali sampai 6 kali panen.
3.5. Pengamatan
Pengamatan dilakukan menggunakan standar Descriptors for Capsicum (IPGRI,
1995), parameter yang diamati sebagai berikut:
3.5.1. Umur berbunga (HSS)
Umur berbunga diamati dengan cara menghitung jumlah hari yang di butuhkan
tanaman untuk berbunga, mulai dari persemaian hingga muncul nya bunga pertama.
Tanaman cabai dikatakan sudah mencapai umur berbunga bila 50% dari seluruh
sampel telah berbunga.
3.5.2. Umur panen (HSS)
Pengamatan umur panen dilakukan dengan menghitung jumlah hari dari
persemaian hingga mencapai panen pertama. Tanaman cabai dikatakan sudah

13
mencapai umur panen bila 50% dari seluruh sampel telah memiliki buah masak pada
percabangan pertama.
3.5.3. Tinggi tanaman (cm)
Pengamatan tinggi tanaman dilakukan dengan mengukur dari pangkal batang
sampai titik tumbuh tertinggi tanaman. Pengamatan tinggi tanaman dilakukan setelah
panen kedua.
3.5.4. Tinggi dikotomus (cm)
Dikotomus adalah percabangan pertama yang muncul dari batang utama.
Pengamatan tinggi dikotomus diukur dari pangkal batang sampai cabang dikotomus.
Pengamatan tinggi dikotomus dilakukan satu kali setelah panen kedua.
3.5.5. Diameter batang (mm)
Pengamatan diameter batang dilakukan dengan menggunakan jangka sorong.
Diameter batang diukur pada batang utama 5 cm diatas permukaan tanah.
Pengamatan diameter batang dilakukan setelah panen kedua.
3.5.6. Lebar tajuk (cm)
Pengamatan lebar tajuk dilakukan dengan cara mengukur dari satu titik ke titik
yang lain pada bagian tajuk terlebar dengan menggunakan meteran. Pengamatan lebar
tajuk dilakukan setelah panen kedua.\
3.5.7. Bobot per buah (g)
Pengamatan bobot per buah dilakukan dengan cara menimbang bobot  semua
buah dan dibagi dengan jumlah buah dari tanaman sampel mulai dari panen pertama
sampai panen terakhir.
3.5.8. Panjang buah (cm)
Pengamatan panjang buah dilakukan dengan cara mengukur dari pangkal buah
sampai pada ujung buah pada 10 buah dari tanaman sampel yang diambil secara acak
dari panen pertama sampai panen terakhir lalu dihitung rata-ratanya. Pengamatan
panjang buah dilakukan setelah panen kedua.

14
3.5.9. Diameter buah (mm)
Pengamatan diameter buah dilakukan dengan menggunakan jangka sorong,
dimana diameter buah diukur pada 10 buah dari tanaman sampel yang diambil secara
acak dari panen pertama sampai panen terakhir lalu dihitung rata-ratanya.
Pengamatan diameter buah dilakukan setelah panen kedua.
3.5.10. Bobot buah per tanaman (g)
            Pengamatan bobot buah pertanaman dilakukan dengan menimbang buah dari
panen pertama hingga panen terakhir. Nilai bobot buah per tanaman didapatkan
dengan menjumlahkan bobot buah tiap panen dibagi dengan jumlah tanaman sampel.

15
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik. 2012. Data Produksi Cabai Nasional.
www.bps.go.id/getfile.php?ne ws.htm. Diakses pada tanggal 27 desember 2013
Elvi. 1996. Pengaruh pemberian jerami serta pupuk mutiara NPK (16-1616) terhadap
pertumbuhan dan produktivitas cabai merah. Skripsi Fakultas Pertanian
Universitas Islam Riau. Pekanbaru.
Kartini, N.L. 2007. Pengaruh pemberian pupuk kompos terhadap pertumbuhan
vegetatif tanaman cabai rawit. Skripsi Fakultas pertanian. Universitas
Brawijaya. Malang.
Lakitan, B. 1996. Fisiologi Pertumbuhan dan Perkembangan Tanaman. Raja Grafindo
Persada. Jakarta.
Lingga, P dan Marsono. 2005. Petunjuk dan Penggunaan Pupuk. Penebar Swadaya.
Jakarta.
Musnamar, E. 2004. Pupuk Organik Cair dan Padat, Pembuatan dan Aplikasi Seri
Agriwisawan. Penebar Swadaya. Jakarta.
Pracaya, H. 2001. Petunjuk Pemupukan yang Efektif. Agro Media. Jakarta.
Ripangi. 2012. Bertanam Cabai di Lahan dan Pot. Javalitera. Yogyakarta.
Rukmana, R. 1995. Budidaya Cabai Merah Hibrida. Penebar Swadaya. Jakarta.
Setiadi. 2008. Bertanam Cabai. Penebar Swadaya. Jakarta.
Suseno, S. 2002. Cabai dan tingkat produktivitasnya. Trubus No.319 Th XXVII.

16

Anda mungkin juga menyukai