Anda di halaman 1dari 22

PENGARUH PEMBERIAN JENIS DAN KONSENTRASI PLANT GROWTH

PROMOTING RHIZOBACTERIA TERHADAP PERTUMBUHAN DAN


HASIL TANAMAN CABAI KERITING (Capsicum annum L.)

PROPOSAL

Diajukan Oleh
Robertus Kletus Maxi
042190028

PROGRAM STUDI
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS NUSA NIPA MAUMERE
2021
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Cabai (Capsicum annum L.) merupakan salah satu komoditas yang banyak
dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari dan volume kebutuhannya terus
meningkat seiring dengan pertambahan penduduk dan kemajuan teknologi. Cabai
adalah tanaman anggota genus Capsicum. Buahnya dapat dimanfaatkan sebagai
sayuran, obat-obatan maupun bumbu dapur bergantung pada tujuan
penggunaannya. Dalam industri makanan, ekstrak bubuk cabai digunakan sebagai
pengganti lada untuk membangkitkan selera makan dan penyedap masakan,
digunakan juga dalam pembuatan ramuan obat-obatan (industri farmasi), industri
pewarna makanan, bahan campuran pada berbagai industri pengolahan makanan
dan minuman serta penghasil minyak atsiri.

Produksi cabai yang bersifat musiman, dimana harga turun pada musim
panen dan harga naik di luar musim panen, maka perlu stabilitas pasokan dan
harga cabai dengan perbaikan teknologi dan manajemen produksi. Selain fluktuasi
harga, fluktuasi pasokan juga sangat berpengaruh karena distribusi produksi antar
wilayah sebagian besar di pulau Jawa dan Bali (55%), Sumatera (34%) dan hanya
11% dari produksi total terdistribusi di wilayah Kalimantan, Sulawesi, Maluku
dan Papua (BPS 2013).

Kebutuhan cabai terus meningkat setiap tahun sejalan dengan


meningkatnya jumlah penduduk dan berkembangnya industri yang membutuhkan
bahan baku cabai. Data statistik menunjukkan bahwa konsumsi cabai mencapai
4.65 kg per kapita per tahun. Menurut data BPS Provinsi Gorontalo (2014),
produksi cabai tahun (2012) sebesar 3.701 kuintal, tahun (2013) 4.103 kuintal,
dan tahun (2014) yaitu 3.012 kuintal.

Produksi cabai di Indonesia masih sangat rendah apabila dibandingkan


dengan potensi produksi yang dapat mencapai 10 ton/ha (Taufik et. al., 2010).
Faktor yang menyebabkan rendahnya produksi adalah tidak optimalnya
pertumbuhan tanaman cabai dan infeksi patogen. Tidak optimalnya pertumbuhan
tanaman disebabkan lahan yang digunakan oleh petani adalah lahan yang tingkat
kesuburannya relatif rendah dan jenis tanah ini cukup mendominasi lahan kering.
Strategi untuk meningkatkan pertumbuhan tanaman cabai adalah dengan
menggunakan PGPR (plantgrowth promoting rhizobacteria) atau rhizobakteria.

Rhizobakteria adalah bakteri yang hidup dan berkembang di daerah sekitar


perakaran tanaman. Penggunaan rhizobakteria pemacu pertumbuhan tanaman atau
plant growth promoting rhizobacteria (PGPR) merupakan satu sumbangan
bioteknologi dalam usaha peningkatan produktivitas tanaman. Hal tersebut dicapai
dengan mobilisasi hara, produksi hormon tumbuh, fiksasi nitrogen atau
pengaktifan mekanisme ketahanan terhadap penyakit (Sutariati et al., 2006).
Keuntungan dari penggunaan rhizobakteria tanaman yaitu tidak mempunyai
bahaya atau efek samping sehingga bahaya pencemaran lingkungan dapat
dihindari. Beberapa spesies rhizobakteria yang mampu meningkatkan
pertumbuhan tanaman antara lain genus-genus rhizobium, Azotobacter,
Azospirilium, Bacillus, Arthrobacter, Bacterium, Mycobacteriumdan
Pseudomonas

Beberapa peneliti melaporkan bahwa Peranan PGPR dalam meningkatkan


pertumbuhan dan produksi tanaman diduga ada hubungannya dengan kemampuan
mensintesis hormon tumbuh. Isolat Bacillus sp., dilaporkan mampu mensintesis
asam indol asetat (IAA) dan giberelin. Sedangkan, isolat P. fluorescens selain
menghasilkan IAA juga menghasilkan sitokinin.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh A’yun
(2013) bahwa aplikasi PGPR dengan kombinasi P. fluorescens dan B. subtilis
dapat meningkatkan produksi pada tanaman cabai rawit dengan konsentrasi 10
ml/l air, dengan rerata jumlah cabai rawit 2,73 buah per tanaman dan rerata bobot
buah 2,17 gram per tanaman. Sedangkan menurut Wuryandari (2013) bahwa hasil
jumlah buah, berat basah buah, dan berat kering buah pada bibit cabai yang
diperlakukan dengan rhizobakteria pseudomonad fluorescens menunjukkan bahwa
perlakuan dengan Pf122 dengan konsentrasi 10 ml menunjukkan hasil terbaik.
Rata-rata jumlah buah, berat basah dan berat kering buah per tanaman yang
terbanyak adalah perlakuan
1.1 Rumusan Masalah
Bersumber pada latar belakang yang telah di paparkan di atas, maka
rumusan masalah yang terdapat dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Apakah pemberian jenis dan konsentrasi PGPR terjadi interaksi terhadap


pertumbuhan serta hasil pada tanaman cabai rawit (Capsicum annum L.)

2. Apakah jenis PGPR berpengaruh terhadap pertumbuhan seta hasil pada


tanaman cabai (Capsicum annum L.)

3. Apakah konsentrasi PGPR berpengaruh terhadap pertumbuhan serta hasil


pada tanaman cabai rawit (Capsicum annum L.)

1.2 Tujuan Penelitian


Mengetahui jenis dan konsentrasiPGPR terhadap pertumbuhan serta hasil
pada tanaman cabai rawit (Capsicum annum L.)

1.3 Hipotesis
Berdasarkan tujuan yang telah di paparkan sebelumnya, maka hipotesis
dalam penelitian ini yaitu sebagai berikut :
1. Diduga terjadi interaksi antara jenis dan konsentrasi PGPR terhadap
pertumbuhan serta hasil pada tanaman cabai rawit (Capsicum annum L.)
2. Diduga ada pengaruh jenis PGPR terhadap pertumbuhan serta hasil pada
tanaman cabai rawit (Capsicum annum L.)
3. Diduga ada pengaruh konsentrasi PGPR terhadap pertumbuhan serta hasil
pada tanaman cabai rawit (Capsicum annum L.)
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Botani Tanaman Cabai
Tanaman cabai (Capsicum annum L) berasal dari dunia tropika dan
subtropika Benua Amerika, khususnya Colombia, Amerika Selatan, dan terus
menyebar ke Amerika Latin. Bukti budidaya cabai pertama kali ditemukan dalam
tapak galian sejarah Peru dan sisa-sisa biji yang telah berumur lebih dari 5000
tahun SM didalam gua di Tehuacan, Meksiko. Penyebaran cabai ke seluruh dunia
termasuk negara-negara di Asia, seperti Indonesia dilakukan oleh pedagang
Spanyol dan Portugis (Dermawan, 2010).

Cabai merupakan tanaman perdu dari famili terong-terongan yang


memiliki nama ilmiah Capsicum sp. Cabai mengandung kapsaisin,
dihidrokapsaisin, vitamin (A, C), damar, zat warna kapsantin, karoten, kapsarubin,
zeasantin, kriptosantin, clan lutein. Selain itu juga mengandung mineral, seperti
zat besi, kalium, kalsium, fosfor, dan niasin. Zat aktif kapsaisin berkhasiat sebagai
stimulan, jika seseorang mengonsumsi kapsaisin terlalu banyak akan
mengakibatkan rasa terbakar di mulut dan keluarnya airmata. Selain kapsaisin,
cabai juga mengandung kapsisidin, khasiatnya untuk memperlancar sekresi asam
lambung dan mencegah infeksi sistem pencernaan. Unsur lain di dalam cabai
adalah kapsikol yang dimanfaatkan untuk mengurangi pegal-pegal, sakit gigi,
sesak nafas, dan gatal-gatal.

2.2. Klasifikasi dan Morfologi Tanaman Cabai

Menurut klasifikasi dalam tata nama (sistem tumbuhan) tanaman


cabaitermasuk kedalam :

Divisi : Spermatophyta

Sub divisi : Angiospermae

Kelas : Dicotyledoneae

Ordo : Solanales

Famili : Solanaceae

Genus : Capsicum
Spesies : Capsicum annum L

Cabai termasuk dalam suku terong-terongan (Solanaceae) dan merupakan


tanaman yang mudah ditanam di dataran rendah ataupun di dataran tinggi.
Tanaman cabai banyak mengandung vitamin A dan vitamin C serta mengandung
minyak atsiri capsaicin, yang menyebabkan rasa pedas dan memberikan
kehangatan panas bila digunakan untuk rempah-rempah (bumbu dapur). Cabai
dapat ditanam dengan mudah sehingga bisa dipakai untuk kebutuhan sehari-hari
tanpa harus membelinya di pasar Harpenas, Asep & Dermawan (2010).

1. Akar
Menurut Harpenas (2010) cabai adalah tanaman semusim yang berbentuk
perdu dengan perakaran akar tunggang. Sistem perakaran tanaman cabai agak
menyebar, panjangnya berkisar 25-35 cm. Akar ini berfungsi antara lain menyerap
air dan zat makanan dari dalam tanah, serta menguatkan berdirinya batang
tanaman. Sedangkan menurut Tjahjadi (2010) akar tanaman cabai tumbuh tegak
lurus ke dalam tanah,berfungsi sebagai penegak pohon yang memiliki kedalaman
±200 cm serta berwarna coklat. Dari akar tunggang tumbuh akar- akar cabang,
akar cabang tumbuh horisontal didalam tanah, dari akar cabang tumbuh akar
serabut yang berbentuk kecil- kecil dan membentuk masa yang rapat.

2. Batang
Batang utama cabai menurut Hewindati (2006) tegak dan pangkalnya
berkayu dengan panjang 20-28 cm dengan diameter 1,5-2,5 cm. Batang
percabangan berwarna hijau dengan panjang mencapai 5-7 cm, diameter batang
percabangan mencapai 0,5-1 cm. Percabangan bersifat menggarpu, tumbuhnya
cabang beraturan secara berkesinambungan. Sedangkan menurut Anonim (2009)
batang cabai memiliki batang berkayu, berbuku-buku, percabangan lebar,
penampang bersegi, batang muda berambut halus berwarna hijau. Menurut
Tjahjadi (2010) tanaman cabai berbatang tegak yang bentuknya bulat. Tanaman
cabai dapat tumbuh setinggi 50-150 cm, merupakan tanaman perdu yang warna
batangnya hijau dan beruas-ruas yang dibatasi dengan buku-buku yang panjang
tiap ruas 5-10 cm dengan diameter data 5-2 cm.
3. Daun
Daun cabai menurut Harpenas, Asep & Dermawan (2010) berbentuk hati,
lonjong atau agak bulat telur dengan posisi berselang-seling. Sedangkan menurut
Hewindati (2006), daun cabai berbentuk memanjang oval dengan ujung
meruncing, tulang daun berbentuk menyirip dilengkapi urat daun. Bagian
permukaan daun bagian atas berwarna hijau tua, sedangkan bagian permukaan
bawah berwarna hijau muda atau hijau terang. Panjang daun berkisar 9-15 cm
dengan lebar 3,5-5 cm, selain itu daun cabai merupakan daun tunggal, bertangkai
(panjangnya 0,5-2,5 cm), letak tersebar. Helaian daun bentuknya bulat telur
sampai elips, ujung runcing, pangkal meruncing, tepi rata, petulangan menyirip,
panjang 1,5-12 cm, lebar 1-5 cm, berwarna hijau.

4. Bunga
Menurut Hewindati (2006), bunga tanaman cabai berbentuk terompet
kecil, umumnya bunga cabai berwarna putih, tetapi ada juga yang berwarna ungu.
Cabai berbunga sempurna dengan benang sari yang lepas tidak berlekatan.
Disebut berbunga sempurna karena terdiri atas tangkai bunga, dasar bunga,
kelopak bunga, mahkota bunga, alat kelamin jantan dan alat kelamin betina.
Bunga cabai disebut juga berkelamin dua atau hermaphrodite karena alat kelamin
jantan dan betina dalam satu bunga. Sedangkan menurut Anonim (2007) bunga
cabai merupakan bunga tunggal, berbentuk bintang, berwarna putih, keluar dari
ketiak daun. Tjahjadi (2010) menyebutkan bahwa posisi bunga cabai
menggantung. Warna mahkota putih, memiliki kuping sebanyak 5-6 helai,
panjangnya 1-1,5 cm, lebar 0,5 cm, warna kepala putik kuning.

5. Buah dan Biji


Buah cabai menurut Anonim (2009) buahnya berbentuk kerucut
memanjang, lurus atau bengkok, meruncing pada bagian ujungnya, menggantung,
permukaan licin mengkilap, diameter 1-2 cm, panjang 4-17 cm, bertangkai
pendek, rasanya pedas. Buah muda berwarna hijau tua, setelah masak menjadi
merah cerah. Sedangkan untuk bijinya biji yang masih muda berwarna kuning,
setelah tua menjadi cokelat, berbentuk pipih, berdiameter sekitar 4 mm. Rasa
buahnya yang pedas dapat mengeluarkan air mata orang yang menciumnya, tetapi
orang tetap membutuhkannya untuk menambah nafsu makan.

2.3 Syarat Tumbuh


Tanaman cabai rawit ini biasanya selain sebagai tanamna holtikultura juga
membutuhkan syarat pertumbuhan yang harus dalam kondisi tertentu agar
tanaman cabai rawit bisa tumbuh subur dan berbuah banayak. Menurut Wahyudi
(2011), syarat dari tumbuhnya cabai harus dipenuhi ketika mau membudidayakan
cabai rawit adalah sebagai berikut.

2.3.1 Tanah
Cabai rawit dapat tumbuh dengan baik ditanah yang memiliki permukan
lempung, lempung pasir, dan lempung berdebu. Namun cabai ini juga masih bisa
tumbuh pada tanah yang permukaannya agak ekstrim, seperti lempung berliat.
Ada beberapa varietas cabai rawit lokalan yang dapat tumbuh dengan baik pada
tekstur tanah yang lebih berat seperti tekstur liat yang berpasir atau liat yang
berdebu.
Menurut Tjandra (2011), Tekstur permukaan tanah yang tidak cocok untuk
penanaman cabai rawit adalah tanah yang permukanya padat dan tidak merongga,
Tanah seperti ini biasanya akan sulit ditembus air pada saat penyiraman sehingga
air akan tergenang. Selain itu, struktur tanah seperti ini tidak akan memberikan
keleluasaan bagi akar tanaman untuk bergerak, karena sulit ditembusi akar
tanaman. Mengakibatkan, tanaman sulit menyerap air dan zat hara pada tanah.
Jenis tanah yang tidka baik untuk pertumbuhan cabai rawit antara lain tanah liat,
tanah berbatu, dan tanah berpasir.

2.3.2 Ketinggian Tempat Tanam


Karena sifat penyesuaiannya paling luas diantara jenis cabai, maka
sebagian besar cabai rawit dapat ditanam di dataran rendah hingga dataran tinggi.
Meskipun demikian, ada juga cabai rawit yang dapat ditanam di dataran tinggi
akan mengalami periode panen dan masa panen yang lebih lama, namun dampak
terhadap hasil panen pada umumnya masih setara dibandingkan jika kultivar
serupa ditanam didataran rendah.
2.3.3 pH Tanah Ideal
Cabai rawit ini membutuhkan tingkat korosi tanah yang ideal, khususnya
pada tanah yang memiliki pH 5,5 – 6,5. Jika pH di bawah 5,5 tanah harus diberi
kapur pertanian. Pada pH rendah, aksesibilitas suplemen tertentu pada tanaman
akan sulit dipertahankan oleh akar tanaman, menyebabkan kekurangan beberapa
unsur yang pada akhirnya akan menurunkan efisiensi tanaman. Seperti yang
ditunjukkan oleh Tjandra (2011), tingkat keasaman tanah atau pH tanah netral
berkisar antara 6-7. Tanah dengan pH rendah, sebagian dari hara di dalamnya,
terutama fosfor (P) dan kalsium (Ca) tidak dapat diakses atau sulit dicerna oleh
tanaman. Kondisi tanah masam akan menjadi sarana untuk perkembangan
beberapa infeksi tanaman penyebab parasit, misalnya Fusarium sp dan Pythium
sp. Pengapuran juga berfungsi untuk menambah komponen kalsium yang
dibutuhkan oleh tanaman. Kapasitas kalsium untuk memperkuat bagian-bagian
tanaman berkayu, menghidupkan perkembangan rambut akar, menebalkan
dinding sel buah dan memperkuat pembentukan benih (Prajnanta, 2011).

2.3.4 Intensitas Cahaya dan Sumber Air


Sama seperti tanaman buah hortikultur lainnya, tanaman cabai rawit ini
juga membutuhkan lokasi kawasan lahan yang terbuka untuk mendapatkan sinar
matahari yang cukup dari pagi hingga sore hari. Selain itu tanaman ini juga
menyukai tanah dengan sistem dperairan yang lancar, terutama pada saat musim
penghujan.

2.4 Produksi dan Pertumbuhan


2.4.1 Fase Embrion
Fase embrio dimulai dari pembentukan zigot sampai embrio, yang terjadi
di bakal biji. Dari zigot dilanjutkan dengan pembuahan sel, setelah itu terjadi
perkembangan sel. Fase embrio ini tidak terlihat jelas pada pertumbuhan karena
berada di dalam biji.

2.4.2 Fase Muda (Remaja/Vegetative)


Fase muda ini dimulai dari biji mulai berkecambah, tumbuh menjadi bibit
dan ditandai dengan terbentuknya daun pertama dan berlanjut hingga masa
berbunga dan berbuah untuk pertama kalinya. Fase ini disebut juga fase
perkecambahan.

2.4.3 Fase Dewasa (Generatif)


Fase ini ditandai dengan tanda-tanda transisi bertahap dalam morfologi,
laju pertumbuhan dan kapasitas pembungaan. Dimulainya pembentukan bagian-
bagian bunga dan dihentikan oleh pembentukan organ vegetatif. Terjadinya
penghambatan (dan akhirnya pemutusan) organ vegetatif karena asimilasi
terutama ditujukan untuk perkembangan organ reproduksi. Dalam hal ini, tunas
dan akar vegetatif akan kerdil atau pertumbuhanya menjadi lambat.

2.4.4 Tahap Pendewasaan (Penuaan)


Tahap ini merupakan tahap dimana akan terjadi peningkatan karakteristik
bagian atau seluruh tubuh tumbuhan sehingga kegiatan fungsionalnya hilang.
Selama interaksi ini, terjadi penurunan aksi dan kapasitas organ-organ yang
mengambil bagian selama waktu untuk menyususn bahan alami atau organik.
Bahan yang mengalami disintegrasi adalah klorofil, protein, RNA, lemak dan
organel. Ciri utama yang muncul dalam siklus pematangan adalah penyesuaian
warna daun atau penurunan klorofil. Kandungan protein yang berkurang selama
interaksi pematangan dapat ditunjukkan dengan pengumpulan asam amino, yang
kemudian asam amino ini dipindahkan ke luar daun yang lama atau tua lalu
diteruskan ke daerah atau bagian yang secara efektif berkembang dan berkreasi.
Tahap pematangan biasanya digambarkan oleh kemampuan produksi yang
melemah dan hasil produksi biasanya tidak ideal (sedikit dan hampir tidak ada
produksi).

2.5 PGPR
PGPR (Plant Growth Promoting Rhizobacteria) adalah bakteri yang
mengkoloni perakaran tanaman dan bermanfaat bagi pertumbuhan tanaman.
Bakteri ini hidup dan berkembang dengan memanfaatkan eskudat yang
dikeluarkan oleh perakaran tanaman. Jika di lahan sedang tidak ada tanaman,
bakteri ini mampu memanfaatkan bahan-bahan organik yang berada di dalam
tanah untuk bertahan hidup (Soenandar, 2010:49). Kehadiran PGPR
menguntungkan pada pertumbuhan tanaman melalui beberapa mekanisme,
menghasilkan fitormon dan melarutkan fosfat.
Bakteri PGPR dapat membantu pertumbuhan tanaman secara langsung
atau tidak langsung. Secara langsung bakteri PGPR menghasilkan senyawa volatil
dan fitohormon, menurunkan kandungan etilen tanaman dan memperbaiki status
nutrisi tanaman (melarutkan fosfat dan mikonutrien dari jerapan liat atau bahan
organik, fiksasi nitrogen non simbiotik) dan memacu mekanisme tanaman untuk
tahan terhadap serangan patogen. Secara tidak langsung PGPR berperan sebagai
agen biokontrol untuk mengendalikan patogen, ketika mereka menstimulasi
simbiosis menguntungkan lainnya, atau ketika mereka melindungi tanaman
dengan membantu merombak senyawa-senyawa xenobiotic atau bahan berbahaya
lainnya pada tumbuhan yang tumbuh ditanah-tanah terkontaminasi (Antoun,
2005:58).

2.6 Jenis PGPR


Banyak spesies dan galur eksplisit rhizobakteri telah terkonsentrasi sebagai
rhizobakteri pengembangan tanaman (PGPR) di berbagai tanaman di berbagai
daerah. Aktivitas rhizobakteri sebagai perangsang pertumbuhan termasuk genera
Pseudomonas spp, Bacillus spp, Serratia spp., Azotobakter spp, Azospirillum spp,
Acetobakter spp, Burkholderia spp, dan beberapa genus Enterobacteriaceae
disebut bekerja sebagai PGPR (Thuar dkk 2004; Raj dkk. 2005). Di antara genus
rhizobacteria tersebut rhizobacteria dari Pseudomonas spp. dan rhizobacteria
Bacillus spp. paling umum terungkap sebagai perangang produksi tanaman
(Adesemoye et al. 2008). Sebagai perangsang pertumbuhan tanaman, rhizobakteri
secara serius menguasai akar dan menggunakan eksudat dan lisat yang dibawa
keluar oleh akar tanaman (Antoun dan Prevost 2006).
BAB III BAHAN DAN METODE

3.1 Waktu dan lokasi


Penelitian ini dilangsungkan di Kota Magepanda, Kecamatan Magepanda,
Kabupaten Sikka, Flores, NTT.

3.2 Bahan dan alat


Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah benih cabai rawit
varietas Dewata F1, formula PGPR 1, formula PGPR 2, polibag dan pestisida
untuk hama dan pencegahan infeksi penyakit.
Alat yang digunakan antara lain jerigen, botol plastik,selang kecil,ember
bak, arit, bilah, jangka sorong, timbangan, pita ukur/penggaris, sprayer, gunting,
papan nama, dan alat tulis pendukung lainnya.

3.3 Metode Penelitian


Penilitian ini dilakukan berdasarkan 2 faktor yakni faktor 1 meliputi jenis
PGPR (P1 dan P2) dan faktor 2 meliputi Konsentrasi PGPR (K) dengan
menggunakan metode Rancangan Acak Kelompok (RAK).

Faktor 1 : Jenis PGPR (P)

F1 : PGPR Formula 1

F2 : PGPR Formula 2

Faktor 2 : Konsentrasi PGPR (K) :

K0 : Tanpa PGPR (hanya air)

K1 : 100 ml/tan

K2 : 200 ml/tan
K3 : 300 ml/tan

Dari faktor tersebut diperoleh 8 kombinasi perlakuan. Adapun kombinasi


perlakuannya sebagai berikut :
Gambar dibawah tersebut Merupakan dena penelitian

Perlakuan jenis Perlakuan


PGPR Konsentrasi

P1 P2 100 200 300

U1 U1

U2 U2
100 100
U3 U3
U4
U4
U1
U1
U2 U2

U3 U3
P1 200 P2 200
U4 U4

U1 U1

U2 U2
300 300
U3 U3

U4 U4
Kombinasi kedelapan tersebut diulang sebanyak 4 kali,sehingga diperoleh
32 kombinasi perlakuan. 32 kombinasi perlakuan nantinya pada masing-masing
tanaman memiliki 5 sampel,sehingga diperoleh sampel 32 x 5 =160 tanaman.

3.4 Pelaksanaan Penelitian


3.4.1 Membuat PGPR Formula (P2)
Pembuatan PGPR Alat yang diperlukan dalam proses pembuatan PGPR
yaitu: jerigen, selang kecil,baskom atau bak dan botol plastik. Kemudian bahan
yang digunakan untuk pembuatan PGPR yaitu: akar bambu, akar putri malu, air
cucian beras atau air nira dan molase atau gula aren.

Dalam membuat isolat ini bahan-bahan pokoknya yaitu akar dari perakaran
bambu selain itu bisa juga menggunakan akar putri malu, Sebenarnya akar
tanaman lain juga bisa digunakan yang penting tanaman tersebut harus tahan akan
cuaca kemerau.
Bahan kedua adalah molase, molase bisa dari tetes tebu atau dari gula
merah bisa digunakan, kemudian pastikan ketika mencampur harus dalam keadan
dingin. Bahan ketiga yaitu air cucian beras atau dalam bahasa jawa yaitu air leri
digunakan dengan ukuran 5 liter, cara mendapatkan air leri yang baik yaitu pada
cucian beras yang pertama kemudian air tersebut dimasukan kedalam jerigen dan
perhatikan penyimpanannya harus benar yaitu dengan cara ditutup serapat
mungkin, jika penyimpanan betul maka kita tidak akan menemukan air leri ini
membusuk justru kalau dicium akan beraroma tape. Jadi penyimpanan yang baik
dan benar menentukan keselamatan atau bisa digunakan atau tidak air leri ini. Jadi
harus dipastikan tertutup rapat dan jauhkan dari lalat, Biasanya lalat yang
menempel pada tutup atau bahan bahan baku itu yang dapat menyebabkan
pembusukan itu terjadi.
Berikutnya semua perakaran yang disiapkan tersebut kemudian dimasukan
kedalam jerigen fermentasi, perlu diketahui sebelum melakuan fermentasi agar
tidak terkontaminasi dengan bakteri-bakteri lain maka pastikan semua alat yang
digunakan disterilkan terlebih dahulu menggunkan alkohol atau aquades.
Selanjutnya ambil baskom atau bak lalu dibersihkan terlebih dahulu kemudian
masukan molasenya untuk pembuatan PGPR sebanyak 5 liter cukup
menggunakan 50 ml molase, Kalau menggunakan gula merah yaitu sekitar 250
gram. Kemudian molase ini dicampurkan dengan air leri sekitar 4,5 liter air leri,
Selanjutnya diaduk agar merata atau sampai menyatu, Jika sudah merata tinggal
dicampurkan kedalam jerigen yang berisi akar tadi.
Bahan-bahan yang dijelaskan diatas tadi setelah sudah dicampurkan semua
dalam satu jerigen. Kemudian ketika sudah mencampurkan secara menyeluruh,
maka pastikan sistem air rasinya ditutup dengan rapat sehinnga tidak ada udara
yang bisa masuk kedalam, Proses fermentasi dilakukan minimal selama 14 hari
lebih lama akan lebih baik. Indikasi fermentasi yang baik hasilnya adalah nanti
ketika dibuka tutupnya maka akan tercium aroma tape.

3.4.2.Aplikasi pupuk PGPR


a. PGPR untuk perlakuan pada benih
Benih yang dibeli dari toko biasanya mengandung bahan pestisida,
sebaknya benih dicucci terlebih dahulu sampai bersih, Kemudian rendam benih
tersebut kedalam larutan PGPR dengan kosentrasi 20 ml perliter air selama satu
jam. Kemudian dikeringkan ditempat yang teduh, Dikeringkan selama 30 menit
sebelum dilakukan penyemaian.

b. PGPR untuk perlakuan pada bibit


Jika untuk perlakuan pada bibit , kosentrasi yang diperlukan adalah 15 ml
perliter air, kemudia bibit tinggaldirendamkan saja selama 30 menit kemudia bibit
tersebut langsung ditanaman pada media yang telah kita siapkan

c. PGPR untuk perlakuan pada tanaman


Buat PGPR dengan konsentrasi 10 ml per liter air untuk aplikasi pada
tanaman cabai rawit kemudian, larutan yang sudah di kosentrasi tadi lalu
disiramkan kedaerah perakaran tanaman sebagai ukuraanya yaitu siram daerah
perakaran sampai terlihat basa ( 2 aqua gelas)
3.4.3 Pengolahan Lahan
Pengolahan lahan dilakukan dengan cara mencangkul lahan atau tanah
kemudian tanah tersebut dibersihkan dari gulma atau kotoran yang ada disekitar
lalu tanah tersebut dicampurkan dengan pupuk kompos, kemudian masukan
kedalam polybag dengan ukuran diatas 35 cm agar media tanam cukup kuat untuk
menopang pertumbuhan tanaman cabe yang rimbun.

3.3.4 Penyemaian dan pembibitan


Metode penyemaian yang digunakan untuk tanaman cabai ini yaitu dengan
menggunakan nampan semai benih yang didalamnya terdapat larikan-larikan yang
nantinya menjadi tempat di taruhnya biji cabai. Biji ditata secara rapi agar tidak
tertumpuk satu sama lain.Untuk transplanting digunakan air untuk memisahkan
benih dan tanah atau mencongkel pada bagian dasar tanah agar akar tidak putus.

3.4.5. Penanaman
Penanaman dilakukan dengan membuat lubang sedalam 4 cm setiap lubang
diisi 1 tanaman.Penanaman dilakukan didalam polybag dengan jarak per polybag
35x35 cm

3.5. Pemeliharaan
3.5.1.Penyulaman
Penyulaman dilakukan terhadap tanaman yang sakit, rusak atau mati
penyulaman dilakukan paling lambat 1 minggu setelah masa tanam.

3.5.2. Pemberian ajir


Pemasangan ajir pada tanaman ini bertujuan untuk menopang tanaman
cabai agar tumbuh tetap tegak lurus. Ajir dibuat dari bambu dengan ukuran 3 x 50
cm. pemasangan ajir harus dilakukan sesegera mungkin setelah tanam. Ajir
ditancapkan 10 cm dari tanaman dengan kedalaman 15 cm dengan posisi miring
keluar atau tegak lurus atau diatur sedemikian rupa sehingga dapat menopang
tanaman secara kuat. Kemudian tanaman diikat pada ajir dengan tali rafia setelah
pada umur 20-30 hari setelah tanam.

3.5.3. PGPR (Formula 1)


Formula tersebut diberikan pada tanaman cabai pada saat perlakuan benih.
Selanjutnya, pengaplikasian PGPR susulan 1 minggu sebelum pindah tanam
kemudian 1 minggu setelah tanam. Pemberian PGPR ini dengan cara diencerkan
terlebih dahulu dengan perbandinganyang sudah ditentukan.Hasil pengenceran
dapat dikocorkan pada tanaman (umur 14 hari setelah tanam sampai 45 hari
setelah tanam).Aplikasi dianjurkan pada sore hari setelah pukul 15.00 WIT atau
pagi hari sebelum pukul 09.00 WIT. Aplikasi formula ini dilakukan dengan cara
menyiram langsung pada tanaman sesuai dengan dosis perlakuan pada percobaan

3.5.4 PGPR (Formula 2)


Larutan PGPR ini kemudian disiramkan ke tanaman sesuai dosis yang
ditentukan (100 ml/tan,200 ml/tan dan 300ml/tan). Pemberian dengan PGPR ini
dilakukan pada saat sebelum tanam dan sesudah tanam.Pemberian pupuk PGPR
dilakukan pada tanaman berumur 7 sampai 56 hst. Aplikasi dianjurkan pada sore
hari setelah pukul 15.00 WIT atau pagi hari sebelum pukul 09.00 WIT.

3.5.5. Penyiraman
Pada awal pertumbuhan tanaman cabai masih melakukan penyesuaian
dengan lingkungan sehingga pada tahap ini penyiraman dilakukan setiap hari pada
pagi hari dan sore hari, selanjutnya proses penyiraman dilakukan pada sore hari
atau pagi hari pada kondisi matahari terik untuk mengganti penguapan air oleh
tanaman cabai. Apabila terjadi hujan maka tanaman cabai tidak memerlukan
penyiraman lagi.
3.5.6. Penyiangan
Penyiangan ini dilakukan tergantung pada tingkat mulai tumbuhnya gulma
dilahan yang nantinya akan menimbulkan persaingan tempat maupun nutrisi
dengan tanaman cabai. Penyiangan pada tanaman cabai dilakukan sejak tanaman
berumur 14 hst. Penyiangan dilakukan dengan cara mencabut rumput yang
tumbuh dilahan baik secara manual atau mengunakan alat.

3.5.7. Pemangkasan
Pemangkasan dilakukan jika tanaman terlalu rimbun. Pemangkasan ini
bertujuan untuk meningkatkan produktivitas tanaman cabai. Perempelan dilkukan
degan cara membuang beberapa tunas paling bawa agar pertumbuhan dapat
optimal, proses pemangkasan ini juga dilakukan pada daun-daun yang tua dan
berpenyakit
3.5.8. Pengendalian Hama dan Penyakit
Pengendalian hama dilakukan dengan prinsip, pengendalian hama secara
terpadu dengan terlebih dahulu melakukan pengamatan kepada tanaman dan
selanjutnya melakukan pengendalian sesuai dengan hama dan penyakit apa yang
menyerang cabai tersebut.
3.6.Pengamatan
Pengamatan yang dilakukan bertujuan untuk mengetahui pengaruh dari
masing-masing perlakuan yang diberikan kepada tanaman cabai, Pengamatan
hanya dilakukan terhadap tanaman yang menjadi sampel saja. Adapun parameter
yang diamati terbagi menjadi tiga yaitu: Parameter pertumbuhan (vase vegetatif),
parameter produksi (fase generatif), dan parameter panen.

3.6.1 Pengamatan fase vegetatif


1. Jumlah Daun
Pengamatan jumlah daun dilakukan dengan cara menghitung
banyaknya daun yang telah membuka secara sempurna pada setiap
tanaman. Pengamatan ini dilakukan pada tanaman berumur 7 hst.
Pengamatan dilakukan setiap 7 hari sekali.

2. Tinggi Tanaman
Pengamatan tinggi tanaman dilakukan dengan cara diukur mulai dari
permukaan tanah sampai pucuk tanaman tertinggi dan untuk
mengantisipasi adanya penurunan tanah diberikan ajir dan diberi tanda
dibagian pangkal ajir untuk dasar pengukura. Pengamatan dilakukan pada
saat tanaman berumur 7 hst dan dilakukan setiap 7 hari sekali.

3.6.2 Pengamatan fase generative


1. Jumlah bunga
Pengamatan jumlah bunga dilakukan dengan cara menghitung
banyaknya bunga yang telah membuka secara sempurna pada setiap
tanaman. Pengamatan ini dilakukan pada tanaman berumur 7 hst.
Pengamatan dilakukan setiap 3 hari sekali.
2. Jumlah buah pertanaman
Pengamatan jumlah buah per tanaman dilakukan dengan cara
menghitung banyaknya buah cabai dalam satu tanaman. Pengamatan
dilakukan setiap 7 hari sekali.

3. Jumlah buah keseluruhan setiap perlakuan


Pengamatan jumlah buah keseluruhan pada setiap perlakuan dilakukan
dengan cara menghitung banyaknya buah cabai dalam satu perlakuan
tersebut. Pengamatan dilakukan setiap 7 hari sekali.

3.6.3 Pengamatan panen


1. Berat buah pertanaman
Perhitungan berat buah per tanaman dilakukan setelah panen
pertama sampai panen ketiga. Buah cabai yang sudah diseleksi dan
memiliki tingkat kematangan yang sama kemudain ditimbang untuk
mengetahui berat buah per tanaman.
2. Berat buah keseluruhan setiap perlakuan
Dilakukan setelah panen pertama sampai panen ketiga, buah yang
sudah diseleksi dan memiliki tingkat kematangan yang sama ditimbang
untuk mengetahui berat buah keseluruhan setiap perlakuan.

3.7. Pemanenan
Jika tanaman dirawat dengan baik biasanya sudah dapat dipanen pada usia
4 bulan , pemanenan dapat dilakukan sebanyak 2 kali seminggu. kriteria buah yang
sudah siap panen adalah buah yang bener bener tua. biasanya ditandai dengan biji
yang padat, berisi dan apabila ditekan buahnya keras, buahnya berwarna hijau tua
atau merah terang. Proses memanenanya dilakukan dengan cara memetik tangkai
buah secara hati hati agar percabangan dan calon bunga tidak patah atau rusak

3.8. Analisis data


Data hasil pengamatan dari setiap parameter pada setiap pengamatan
dianalisa dengan analisis ragam (Anova) untuk mengetahui peningkatan dan
pengaruh masing-masing faktor kemudian dilanjutkan dengan uji Beda Nyata
Jujur (BNJ 5%).
DAFTAR PUSTAKA
Adesemoye, A.O., Obin M, Ugoji EO. 2008. Comparison of plant growth-
promoting with Pseudomonas aeruginosa and Bacillus subdtilis in
three vegetable. Brazilian Journal of Microbiology, 39:423-426.

Antoun H, Prevost D. 2006. Ecology of plant growth promoting rhizobacteria. In:


Siddiqui, Z.A. (Ed.), PGPR: Biocontrol and Biofertilization.
Springer, Dordrecht, p. 1-38.
A’yun K. Q., T. Hadiastono dan M.Martosudiro. 2013. Pengaruh Penggunaan
PGPR ( Plant Growth Promoting Rhizobacteria) terhadap
intensitas TMV (Tobacco mosaic Virus), Pertumbuhan, dan
produksi pada tanaman cabai rawit (Capsicum frutescens L).
Jurnal HPT. 1(1) : A7-56
Budiman, H. 2012. Studi Penggunaan Rizobakteria Dalam Mengendalikan
Penyakit Keriting Kuning Pada Tanaman Cabai (Capsicum
annum L.). Skripsi. Fakultas Pertanian ULM. Banjarbaru. Hal.
40-44.
Dermawan, R. dan A. Harpenas. 2010. Budidaya Cabai Unggul, Cabai Besar,
Cabai keriting, Cabai Rawit dan Paprika. Penebar Swadaya :
Jakarta.
Gandanegara, S.2007. Azora Pupuk Hayati Untuk Tanaman Jagung Dan Sayur.
Pusat Aplikasi. Jakarta
Ginting, W. D. B., dan Setyono Y. T. 2017. Pengaruh PGPR (Plant Growth
Promoting Rhizobacteria) dan Pupuk Organik Kambing terhadap
Petumbuhan dan Hasil Tanaman Bawang Merah (Allium
Asalonicum L.) Varietas Bauji. Jurnal Produksi Tanaman
5(12):2062–69.
Harpenas, Asep Dan R. Dermawan. 2010. Bididaya Cabai Ungul, Cabai Besar,
Cabai Keriting, Cabai Rawit Dan Paprika. Jakarta: Swadaya
Hewindati, Yuni Tri Dkk. 2006. Hortikultura, Universitas Terbuka. Jakarta
Iswati, R. 2012. Pengaruh Dosis Formula PGPR pada Perakaran Terhadap asal
perakaran bambu terhadap pertumbuhan tanaman tomat (solanum
lycopersicum syn).Jurnal Agrivita dan Tanaman tahunan. 1(1):9-12
Khalimi, K. dan Gusti Ngurah Alit Susanta Wirya. 2009. Pemanfaatan Plant
Growth Promoting Rhizobacteria untuk Biostimulants dan
Bioprotectans. Ecotrophic 4(2):131–35.
Minosky, 2008. Biocontrol of Insect Pest by Microorganism of Graminae
University of Otago. (http://osms.otago.ac.nz/main/bursary.html).
Diakses tanggal 22 september 2015.
Oktaviani, Evi and Siti M. Sholihah. 2018. Pengaruh Pemberian Plant Growth
Promoting Rhizobacteria (PGPR) terhadap Pertumbuhan dan Hasil
Tanaman Kailan (Brassica Oleraceae Var. Acephala) Sistem
Vertikultur. Jurnal Akbar Juara 3(1):63–70.
Prajnanta,Final.2007.Agribisnis Cabai Hibrida. Jakarta: Penebar Swadaya.
Priwiratama, H., S. H. Hidayat., Widodo. 2012. Pengaruh Empat Galur Bakteri
Pemacu
Poerwowidodo. 1992. Telaah kesuburan tanah. Angkasa Bandung. Hal 37-55.
Bandung.
Rahman, S. 2012. Studi Pengendalian Penyakit Tungro Dengan Bakteri
Pseudomonas Kelompok Fluorescens. Skripsi. Fakultas pertanian
ULM. Banjarbaru. Hal. 29-31.
Sutariati, G. W., 2006, Pengaruh Perlakuan Rizo-bakteri Pemacu Pertumbuhan
Tanaman terhadap Viabilitas Benih serta Pertumbuhan Bibit
Tanaman Cabai. Buletin Agron, 46-54.
Sutariati, G.A.K. 2006. Perlakuan benih dengan biokontrol untuk pengendalian
penyakit antraknosa, peningkatan hasil dan mutu benih cabai.
Disertasi. Pascasarjana IPB. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
163hal.
Tjandra , E . 2011. Panen Cabai Rawit Di Polybag. Cahaya Atma Pustaka.
Ugm Press : Yogyakarta
Thuar, A.M., Olmedo CA, Bellone C. 2004. Greenhaous /timmusk.pdfstudies on
growth promotion of maize inoculated with plant growth promoting
Taufik,M.2010.pertumbuhan dan produksi tanaman cabai yang diaplikasi Plant
Growth Promoting Rhizobakteria. Jurnal Agrivivor 10(1) : 99-107
Rahni, N., 2012, Efek Fitohormon PGPR DIV terhadap Pertumbuhan Tanaman
Jagung (Zea Mays). Jurnal Agribisnis dan Pengembangan
Wilayah, 27-35.
Setiadi, 2005. Bertanam Cabai. Penebar Swadaya, Jakarta 183 Hal.32 , 2007.
Jenis Dan Budidaya Cabai Rawit. Penebar Swadaya, Jakarta.
Wahyudi 2011. Panen Padi Sepanjang Tahun. PT. Agromedia Pustaka. Jakarta.
Yunianti, R. E. 2015. Uji Beberapa Pseudomonas Kelompok Fluorescens Dalam
Meningkatkan Ketahanan Cabai Besar (Capsicum annum L.)
Terhadap Infeksi Tobacco Mosaic Virus. Skripsi. Fakultas
pertanian ULM. Banjarbaru. Hal. 29-30.
Zainudin, A. A., 2014, Pengaruh Pemberian Plant Growth Promoting
Rhizobacteria (Bacillus Subtilis dan Pseudomonas Fluorescens)
terhadap Penyakit Bulai pada Tanaman Jagung (Zea Mays L).
Jurnal HPT, 11-18.
Zaidi,A., M.S Khan., and M.Amil.2003.Interactive effect of rhizotrophic
microorganisms on yield and nutrient up take of chickpea (Cicer
arientinum L.). European Journal of Agronomy.19(1):15-21

Anda mungkin juga menyukai