Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Indonesia merupakan salah satu negara terluas serta negara kepulauan
terbesar di dunia. Negara ini juga termasuk negara yang menghasilkan
kekayaan alam yang beragam, baik itu kekayaan alam berupa flora maupun
fauna. Hal ini dikarenakan Indonesia adalah negara yang terletak di daerah
tropis yakni antara dua benua (Asia dan Australia) dan dua Samudra (Hindia
dan Pasifik). Luas wilayah Indonesia ini hanya sekitar 1,3% dari luas bumi.
Walaupun demikian, Indonesia memiliki berbagai pulau serta keanekaragaman
flora dan fauna yang sangat kaya (Kusmana et all., 2015:188).
Keanekaragaman iklim, jenis tanah, dan faktor lingkungan lainnya
berkontribusi terhadap tingginya keanekaragaman ekosistem di Indonesia.
Menurut LIPI (2015) Indonesia memiliki sekitar 74 tipe ekosistem alam yang
unik, yakni ekosistem laut dalam, laut dangkal, pantai (padang lamun dan
mangrove), ekosistem dataran rendah (hutan dipterocarp, hutan heather,
gambut, karst, danau, hutan montana, hutan submontana, subalpin dan alpin).
Selain ekosistem alam, negara Indonesia juga memiliki ekosistem buatan yaitu
sawah, tegalan, pekarangan, kebun, empang dan tambak. Setiap ekosistem
dihuni oleh berbagai spesies flora, fauna, dan mikroorganisme, sehingga
keanekaragaman spesies di Indonesia sangat tinggi (Setiawan, 2022:14).
Indonesia diperkirakan memiliki tumbuhan sebesar 25% dari spesies
tumbuhan berbunga di dunia yang mencapai 20.000 spesies, 40% ialah
tumbuhan endemik atau asli Indonesia. Keanekaragaman Indonesia ini
merupakan sumber mata pencarian sebagian penduduk yang bekerja sebagai
petani. Salah satunya yakni petani cabai (Capsicum sp.). Tanaman cabai
(Capsicum sp.) merupakan salah satu sayuran yang selalu dibutuhkan oleh
masyarakat karena sebagai bahan baku industri, sehingga kebutuhannya selalu
meningkat setiap tahun (Kusno et all., 2020:95).
Tanaman cabai (Capsicum sp.) aslinya bukan berasal dari Indonesia
melainkan dari daerah tropika dan subtropika yaitu benua Amerika, khususnya
Colombia dan Amerika Selatan serta menyebar ke Amerika Latin (Nurhayati
et all., 2018:58). Walaupun cabai (Capsicum sp.) bukan berasal dari Indonesia,
Indonesia menjadi negara produsen cabai terbesar ke empat di dunia dengan
total produksi mencapai 2,5 juta ton pada tahun 2019 (Zahara et all., 2021:18).
Tanaman cabai (Capsicum sp.) merupakan tanaman hortikultura yang
termasuk dalam famili Solanaceae yang banyak diminati masyarakat
Indonesia karena dapat menghadirkan rasa pedas saat dikonsumsi (Zirrazaq et
all., 2022:573). Kandungan senyawa capsaicin pada cabai (Capsicum sp.)
dapat menghadirkan rasa pedas dan panas. Tidak hanya mengandung senyawa
capsaicin, tanaman ini juga mengandung protein, karbohidrat, gula, serat,
lemak, vitamin A, vitamin C, vitamin B6, zat warna. Selain itu, cabai juga
mengandung mineral, seperti zat besi, kalium, kalsium, fosfor, dan niasin
(Sutrisni, 2016:8).
Dalam budidaya tanaman cabai sering kali petani dihadapi dengan suatu
masalah yaitu adanya serangan hama. Serangan ini bisa mengancam hasil
panen dan kesejahteraan petani dalam budidaya tanaman cabai. Hama
merupakan sebutan bagi semua binatang yang dapat menimbulkan kerusakan
dan kerugian pada tanaman serta turunannya, diantaranya serangga hama.
Serangga dapat menyebabkan kerusakan pada tanaman dan merugikan para
petani baik dari segi ekonomi maupun material. Hama dan penyakit suatu
tanaman sering dijumpai, termasuk pada tanaman cabai (Capsicum sp.). Hama
ini dapat menurunkan kualitas dan kuantitas tanaman cabai itu sendiri, bahkan
dapat menyebabkan gagal panen. Hal ini yang membuat menanam cabai
bukanlah hal yang mudah (Puntarti, 2018:1).
Risiko tinggi dalam bercocok tanam cabai tidak membuat masyarakat
menyerah. Karena permintaan cabai sangat tinggi, bahkan Indonesia juga
mengimpor cabai dari luar negeri karena belum tercukupinya kebutuhan dalam
negeri. Untuk itu diperlukan manipulasi pengendalian hama yang menyerang
tanaman cabai (Capsicum sp.) agar produksi cabai dapat meningkat. Salah
satunya adalah dengan penggunaan pestisida (Andayani, 2016:261). Pestisida
adalah obat atau senyawa kimia yang umumnya bersifat racun dan digunakan
untuk membunuh hama atau penyakit tanaman. Mayoritas petani cenderung
menggunakan pestisida kimia ini karena berbagai alasan antara lain
kemudahan dan kenyamanan aplikasi, respon cepat, lebih efektif terutama
dalam skala besar, pencegahan penyebaran penyebaran hama tanaman,
mempertahankan produksi pertanian baik kuantitas maupun kualitas dan hasil.
Dapat dicapai dalam waktu yang relatif singkat dengan penggunaan pestisida
ini cukup tersebar pada areal yang luas. Penggunaan pestisida ini tidak hanya
berdampak positif tetapi juga berdampak negatif bagi manusia dan lingkungan
sekitar jika pestisida digunakan secara berlebihan (Prajawahyudo et all.,
2022:2).
Dampak negatif penggunaan pestisida ini dapat menyebabkan
pencemaran lingkungan seperti tanah, air, dan hewan disekitarnya sehingga
dapat menggangu ekosistem alam. Pestisida ini tidak hanya berdampak pada
lingkungan tetapi juga pada manusia yaitu menyebabkan kerusakan organ
tubuh seperti, syaraf pusat yang terganggu, mutasi gen, rusak nya sel-sel
tubuh, terjadinya penuaan dini, dan munculnya penyakit degeneratif (Rianto et
all., 2019:405).
1.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang terdapat yaitu
1. Apakah penggunaan pestisida pada tanaman cabai berdampak pada
populasi dan keanekaragaman serangga di tanaman cabai (Capsicum sp.)?
2. Apa saja jenis pestisida yang biasa digunakan pada tanaman cabai
(Capsicum sp.) dan bagaimana mekanisme kerjanya terhadap serangga
pengganggu?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah, maka tujuan penelitian yaitu
1. Untuk mengetahui penggunaan pestisida berdampak pada populasi
serangga di tanaman cabai (Capsicum sp.).
2. Untuk mengetahui jenis-jenis pestisida yang umum digunakan pada
tanaman cabai (Capsicum sp.) dan mengidentifikasi mekanisme kerjanya
terhadap serangga pengganggu.
1.4 Manfaat Penelitian
1. Bagi Peneliti
Dapat memperluas pengetahuan dan wawasan peneliti serta memberi
pengalaman yang sangat berkesan dalam penelitian. Peneliti juga dapat
memberikan informasi mengenai dampak penggunaan pestisida terhadap
serangga pada tanaman cabai (Capsicum sp.).
2. Bagi Masyarakat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi yang bermanfaat
bagi masyarakat dan petani mengenai penggunaan pestisida yang efektif
untuk mengurangi hama pada tanaman cabai (Capsicum sp.).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Klasifikasi Tanaman Cabai (Capsicum sp.)


Cabai adalah buah dan tumbuhan yang termasuk dalam genus Capsicum.
Buah ini memiliki penggunaan ganda, dapat dikategorikan sebagai sayuran
atau bumbu, bergantung pada konteks penggunaannya. Sebagai bumbu, cabai
pedas sangat terkenal di kawasan Asia Tenggara, digunakan untuk
meningkatkan rasa pada hidangan (Hassan et all., 2019:1).
Tanaman cabai (Capsicum sp.) memiliki klasifikasi yang sangat menarik
dan bervariasi tergantung pada varietas nya, yang mencerminkan tempatnya
dalam kerajaan tumbuhan dan hubungannya dengan kelompok tumbuhan
lainnya. Berikut adalah klasifikasi tanaman cabai:
Regnum: Plantae
Divisi: Spermatophyta
Subdivisi: Angiospermae
Kelas: Dicotyledoneae
Subkelas: Sympetalae
Ordo: Solanales
Famili: Solanaceae
Genus: Capsicum sp.
Spesies: Capsicum sp (Khoirunnisa, 2018:12).
2.2 Sejarah Tanaman Cabai (Capsicum sp.)
Tanaman cabai (Capsicum sp.) sebagai tumbuhan perdu dalam keluarga
Solanaceae, pertama kali ditemukan oleh suku Indian di benua Amerika,
terutama di negara Meksiko. Bukti keberadaan biji cabai yang telah berusia
lebih dari 7.000 tahun SM ditemukan di dalam gua Tehuacan, Meksiko. Sejak
abad ke-8, cabai mulai menyebar ke berbagai negara di Amerika, dan
kemudian merambah ke Eropa pada abad ke-15. Seiring berjalannya waktu,
cabai telah tersebar ke seluruh penjuru dunia, termasuk negara-negara Asia.
Di Indonesia, cabai diperkenalkan oleh para pedagang Spanyol dan Portugis.
Sejak tahun 1961, budidaya cabai di Indonesia telah menjadi sorotan
utama, bahkan menduduki posisi teratas sebagai tanaman yang menjadi
prioritas penelitian dan pengembangan di Pusat Penelitian dan Pengembangan
Hortikultura. Sentra produksi cabai di Indonesia meliputi daerah seperti Jawa
Timur, Padang, Bengkulu, dan wilayah lainnya (Khoirunissa, 2018:11).
2.3 Varietas Tanaman Cabai (Capsicum sp.)
2.3.1 Cabai Rawit (Capsicum annuum)
Cabai rawit merupakan salah satu jenis sayur buah yang sangat diminati
dan sering digunakan sebagai bumbu dalam masakan, serta dianggap
memiliki potensi untuk meningkatkan selera makan bagi beberapa individu.
Terdapat dua variasi utama dari cabai rawit yang populer dikonsumsi, yaitu
cabai rawit hijau yang termasuk dalam spesies Capsicum annum, dan cabai
rawit merah yang termasuk dalam spesies Capsicum frutescens. Cabai rawit
merah dikenal memiliki tingkat kepedasan yang lebih intens, serta memiliki
kombinasi warna, rasa, dan nilai gizi yang kaya sehingga menjadikannya nilai
ekonomi yang signifikan. Menurut laporan BPS (2017), cabai rawit memiliki
popularitas yang tinggi di kalangan masyarakat Indonesia, dengan rata-rata
konsumsi per kapita per bulan mencapai 0,06 kg pada tahun 2015 (Agustina
et all., 2021:10).
2.3.2 Cabai Merah Keriting (Capsicum annuum L)
Cabai Merah Keriting (Capsicum annum L.) adalah tanaman perdu yang
termasuk dalam keluarga Solanaceae, sama seperti jenis cabai lainnya.
Tanaman ini mengandung senyawa kimia bernama capsaicin (8-methyl-N-
vanillyl-6-nonenamide), yang memberikan sensasi pedas. Selain capsaicin,
terdapat berbagai senyawa lain yang serupa, dikenal sebagai capsaicinoids.
Buah cabai memiliki bentuk buni dengan ujung meruncing, berwarna merah
cerah, dan memiliki rasa pedas. Daging buahnya kering, berstruktur keping-
keping tanpa air. Biji cabai berjumlah melimpah dan terletak di dalam rongga
buah. Umumnya, cabai kaya akan kandungan gizi, vitamin, kalori, protein,
lemak, karbohidrat, kalsium, vitamin A, B1, dan vitamin C (Taufani et all.,
2019:14).
2.3.3 Cabai Merah (Capsicum annuum L.)
Cabai merah (Capsicum annuum L.), merupakan tanaman hortikultura
yang tergolong dalam keluarga Solanaceae. Tanaman ini memiliki nilai
ekonomi dan kandungan nutrisi yang tinggi. Kandungan gizi pada cabai
merah, termasuk protein, lemak, karbohidrat, kalsium, serta vitamin A dan C,
sehingga membuatnya menjadi komoditas yang diminati untuk bahan
masakan. Cabai merah sangat populer di Indonesia karena rasa pedasnya yang
khas dan nilai gizinya yang mencolok. Setiap 100 gram buah cabai
mengandung 90,9% air, 31 kalori, 1 gram protein, 0,3 gram lemak, 7,3 gram
karbohidrat, 29 mg kalsium, 24 mg fosfor, 47 mg vitamin A, dan 18 mg
vitamin C (Andani et all., 2020:1).
2.4 Manfaat Tanaman Cabai (Capsicum sp.)
Tanaman cabai (Capsicum sp.), yang juga dikenal sebagai lada, menjadi
salah satu komponen yang umum digunakan dalam berbagai hidangan di
seluruh dunia karena karakteristik rasanya yang unik. Rasa ini dapat
bervariasi dari pedas, manis, hingga kadang-kadang asam. Karakteristik rasa
yang khas ini telah menjadikan banyak kalangan masyarakat, terutama di
wilayah Asia, Mediterania, dan Amerika Selatan, menginginkan kehadiran
bahan ini dalam hidangan sehari-hari, baik dalam bentuk mentah, dimasak,
atau diolah menjadi produk olahan (Hasan, 2019:1).
Tanaman cabai (Capsicum sp.) kaya akan karbohidrat, lemak, protein,
vitamin, serta mineral. Komposisi gizi ini menjadikan cabai sebagai salah
satu tanaman biofarmaka yang memberikan manfaat kesehatan. Cabai
menghasilkan senyawa antioksidan alami yang melindungi tubuh dari radikal
bebas dan juga berperan dalam pembentukan senyawa kolagen. Kolagen ini
penting untuk membentuk jaringan kulit, sendi, tulang, dan jaringan
penopang lainnya (Khoirunissa, 2018:12).
2.5 Morfologi Tanaman Cabai (Capsicum sp.)
2.5.1 Akar
Tanaman cabai (Capsicum sp.) memiliki sistem akar yang kompleks,
terdiri dari akar tunggang yang mencakup akar utama atau primer, serta akar
lateral atau sekunder. Akar lateral ini mengeluarkan serabut-serabut akar yang
sering disebut akar tersier. Akar tersier ini memiliki kemampuan menembus
tanah hingga kedalaman 50 cm dan merambat luas mencapai 45 cm. Secara
rata-rata, panjang akar primer berkisar antara 35 hingga 50 cm, sementara
akar lateral biasanya memiliki panjang sekitar 35 hingga 45 cm (Septiawan,
2021:6). Akar ini memiliki peran utama dalam menyerap air dan nutrisi dari
dalam tanah, selain itu juga memberikan kestabilan pada posisi tegak batang
tanaman (Wati, 2018:57).
2.5.2 Batang
Tanaman cabai (Capsicum sp.) mampu tumbuh mencapai ketinggian
sekitar 5 - 10 cm. Batang utama cabai tumbuh tegak dengan pangkal yang
mengeras menjadi struktur kayu, memiliki panjang antara 20 - 28 cm, dan
diameter berkisar antara 1,5 - 2,5 cm. Cabang-cabang tanaman ini bercabang
dengan warna hijau yang segar, bisa mencapai panjang sekitar 5 - 7 cm, dan
diameter percabangan mencapai 0,5 - 1 cm.
Percabangan pada cabai ini mengikuti pola yang elegan, berupa
percabangan dua atau dikotomi, di mana pertumbuhannya terjadi dengan
ritme yang teratur dan terus-menerus. Cabang-cabang ini memiliki ciri khas
batang berkayu dan percabangan yang lebar dengan penampang batang yang
tampak bersegi. Pada tahap pertumbuhan awal, batang muda memiliki
permukaan halus yang berwarna hijau, menambah pesona visual tanaman ini
(Wati, 2018:58).
2.5.3 Daun
Daun cabai memiliki ciri khas berupa bentuk tunggal yang umumnya
menampilkan bentuk oval atau memanjang dengan ujung meruncing. Tepinya
ditandai dengan gigi-gigi atau ujung yang tajam. Dimensi fisik daun dapat
bervariasi tergantung pada jenisnya. Secara umum, panjangnya berkisar
sekitar ±10 cm dengan lebar ±5 cm. Pada sisi warna, daun cabai
memperlihatkan variasi yang menarik, mayoritas dalam berbagai nuansa
hijau, baik dalam gradasi hijau tua ataupun muda, menciptakan visual yang
beragam dan menawan pada tanaman cabai. Daun pada tanaman cabai
memiliki peran menarik sebagai pusat utama tempat berlangsungnya proses
fotosintesis (Khasan, 2019:21-22).
2.5.4 Bunga
Bunga dari tanaman cabai (Capsicum sp.) memiliki komponen utama yang
meliputi daun kelopak, helai mahkota, bakal buah, kepala putik, tangkai
putik, dan benang sari. Setiap bunga ini memiliki lima daun buah serta sekitar
lima hingga enam helai daun mahkota yang memiliki warna putih. Di
samping itu, kita juga bisa menemukan putik yang memiliki kepala bulat dan
benang sari yang terdiri dari sekitar lima hingga enam kepala sari yang
berbentuk lonjong. Jika diperhatikan lebih lanjut, serbuk sari yang sangat
penting dalam proses penyerbukan ini terdapat dalam kantung sari, yang
tampaknya membentuk semacam atap yang melingkari tangkai kepala putik
(Khoirunnisa, 2018:15).
2.5.5 Buah
Buah dari tanaman cabai (Capsicum sp.) menampilkan keunikan dalam
bentuknya, mengambil rupa bulat yang meruncing di bagian ujungnya, dan
mengandung 2–3 ruang dalam yang menjadi tempat bagi banyak biji. Buah
cabai ini umumnya tumbuh dengan posisi yang menggantung, memberikan
nuansa visual yang menarik pada tanaman. Saat masih dalam tahap
pertumbuhan, buah cabai memiliki warna hijau yang segar, namun saat
mencapai kematangan, warnanya berubah menjadi merah mencolok, disertai
dengan aroma pedas yang khas (Khoirunnisa, 2018:15).
2.6 Keanekaragaman Serangga
Serangga hama adalah hewan perusak tanaman dan pada umumnya
merugikan petani cabai mulai dari segi ekonomi ataupun material, salah satu
kendala pada pengelolaan cabai yg akan diproduksi yaitu adanya serangan
serangga hama. Ketika semakin banyak serangga yang berhubungan pada
tanaman cabai baik yg bersifat sebagai hama maupun serangga musuh alami
pasti akan menimbulkan kerugian yg besar untuk petani-petani cabai (Salaki
dan Dumalang, 2017).
Hama merupakan serangga yang termasuk dalam salah satu kelas
averbrata dari filum Arthropoda yang mempunyai eksokeleton berkitin.
Serangga memiliki bagian tubuh yang terbagi menjadi 3 bagian mulai dari
kepala, bagian thorax, dan bagian abdomen. Perlu kita ketahui dari serangga
bahwa ia merupakan hewan beruas dengan tingkat adaptasi yang tinggi,
ukuran serangga juga relatif kecil dan bisa menyesuaikan diri di berbagai
jenis habitat. Serangga juga menjadi salah satu kelompok hewan yang paling
beragam yang sering kita jumpai di suatu ekosistem dan berperan penting
dalam ekosistem (Hustagol, 2014:155). Sebagaimana spesifikasi serangga yg
telah di jelaskan di atas bahwa keberadaan serangga cukup mendominasi dan
bisa ditemukan hampir disetiap habitat, lahan pertanian contohnya. Kawasan
lahan pertanian cukup beragam jenisnya dan juga perannya. Ada yang
berperan sebagai herbivora, karnivora, detrivor, dan pollinator (Andrian dan
Gress, 2017:105).
2.6.1 Macam-Macam Hama Tanaman
2.6.1.1 Belalang Hijau

Sumber : googleimages.2023
Belalang Hijau (Atractmorpha crenulata) termasuk dalam ordo
Orthoptera. Hama serangga ini mempunyai ciri-ciri tubuh yang berwarna
hijau dengan garis pada bagian tengah atas yang hampir kekuningan.
Serangga ini juga mempunyai garis hitam pada sisi tubuhnya dari ujung
hingga ujung tubuh menuju sayap depannya. anggota ordo Orthoptera
terkenal sebagai serangga pemakan tumbuhan. Salah satu ciri menarik
belalang adalah kemampuan mereka untuk berkumpul dalam jumlah yang
sangat besar di berbagai lokasi, terutama di tanah pertanian. Ketika belalang
berkumpul dalam jumlah yang mencapai jutaan individu, mereka dapat
menjadi ancaman serius bagi tanaman yang ditanam petani. Kerumunan
belalang ini mampu menyebabkan kerusakan tanaman dalam skala yang
cukup besar. Dampak ini bisa sangat merugikan petani, karena dapat
membuat petani gagal panen.
2.6.1.2 Walang Sangit (Leptocorisa oratorius Fabricius)

Sumber : (Google image, 2023)


Walang Sangit merupakan serangga yang menjadi hama yang merugikan
beberapa jenis tanaman, termasuk cabai. Hama ini dapat merusak tanaman
pada saat memasuki tahap pembungaan. Walang Sangit biasanya menyerang
pada buah dan bunga tanaman, yang menyebabkan kerusakan dan
pembusukan. Jika serangga ini terganggu atau saat proses pembasmian
dilakukan, serangga ini akan mengeluarkan bau yang berfungsi untuk
pertahanan terhadap predator dan untuk mengidentifikasi keberadaan
koloninya. Selain itu, Walang Sangit mempunyai jumlah telur yang sangat
banyak setiap kali bertelur.
2.6.1.3 Tikus

Sumber : (Google image, 2020)


Tikus adalah hama yang bisa merugikan para petani karena tikus biasanya
menyerang pada biji-bijian dan batang tanaman yang baru tumbuh. Tikus
merupakan hewan mamalia dan sulit dibasmi. Karena mereka berkembang
biak dengan sangat cepat, bergerak cepat, dan mudah beradaptasi. Tikus
terbiasa aktif saat malam dan pada siang hari. Mereka membuat sarangnya
dengan cara menggali lubang pada semak-semak.

2.6.1.4 Wereng (Siphanta acuta)

Sumber : (Google image, 2020)


Wereng merupakan serangga eksopteran yang mengalami metamorfosis
setengah sempurna. Wereng berkembang biak dan merusak tanaman pangan.
Biasanya menyerang daun muda, batang dan calon bulir muda. Serangga
dapat menyerang tanaman pada berbagai tahap. Gejala serangan wereng yaitu
batang berlubang, daun dan batangnya kemudian layu dan akhirnya mati.
2.6.1.5 Ulat

Sumber : (Google image, 2023)


Ulat merupakan tahap metamorfosis serangga yang berordo Lepidoptera.
Ulat memakan daun tanaman. Daun yang dimakan ulat mengganggu proses
fotosintesis. Akibatnya tanaman menguning, kurus dan mati. Ulat aktif
memakannya ketika malam hari. Pada saat berubah menjadi kupu-kupu, ia
sudah tidak menjadi hama lagi.
Ulat bawang merah merupakan larva ngengat (Spodoptera exigua L.) yang
biasa dikenal petani dengan sebutan ulat grayak. Ketika masih kecil, larvanya
memiliki warna hijau. Pada saat sudah tua, warnanya akan berubah menjadi
coklat tua agak kehijauan dengan garis kuning kekuningan. Ulat grayak
adalah hama nokturnal yang sering berinteraksi pada malam hari dan akan
bersembunyi ketika siang hari. Hama ini terbiasa hidup berkelompok.
Serangan ini bisa sangat ganas karena dapat melahap tanaman dalam
waktu hanya semalam.
2.6.1.6 Kepik Hijau {Nezara Viridula)

Sumber : (Google image, 2021)


Kepik hijau yang dalam terminologi ilmiahnya dikenal sebagai Nezara
Viridula, merupakan salah satu jenis hama tanaman yang mampu
mengganggu budidaya tanaman dengan cukup serius. Konsep hama itu
sendiri mengacu pada organisme yang memiliki kapabilitas untuk
menghambat pertumbuhan dan perkembangan beragam jenis tanaman.
Hingga saat ini, permasalahan seputar hama ini terus menjadi keluhan umum
yang dilaporkan oleh para petani di berbagai wilayah.
Kepik hijau ini mencuat sebagai hama polifag, yang berarti bahwa ia
memiliki kecenderungan untuk menyerang beberapa jenis tanaman yang
berbeda. Cara kerjanya yang paling umum adalah dengan menghisap cairan
dari tanaman, yang sering kali mengakibatkan kerusakan pada polong atau
biji tanaman yang diserang. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika
kehadiran hama ini dapat mengakibatkan penurunan kualitas biji tanaman
yang dihasilkan oleh petani.
Kepik hijau memiliki kemampuan untuk berkembang biak secara efektif
ketika sumber makanannya melimpah. Namun, ketika sumber makanan
menjadi langka, hama ini akan bersembunyi di antara tanaman inang, yang
seringkali berwujud gulma di area pertanian. Namun, ketika petani mulai
membudidayakan tanaman pangan mereka, kepik hijau ini akan muncul dan
mulai menyerbu tanaman tersebut, membawa potensi kerusakan yang
signifikan.

2.7 Peran Serangga pada Tanaman Cabai


Hama serangga pada tanaman cabai mempunyai dua peran, yaitu peran
menguntungkan dan yang merugikan. Kedatangan serangga sebagai
organisme parasit atau pengganggu pada tanaman cabai (Capsicum sp.) dapat
mengakibatkan ketidakstabilan pada hasil produksi tanaman cabai. Akibatnya,
petani mungkin tidak puas dengan hasil panen mereka. Pada situasi ini, petani
memiliki kemampuan untuk mengambil langkah-langkah pengendalian
kepada hama yang menyerang tanaman yang mereka budidayakan yaitu
dengan menggunakan pestisida sebagai alat untuk membasmi hama tersebut.
2.8 Pestisida
Pestisida dalam pengertian umumnya adalah sebagai substansi kimia yang
memiliki sifat beracun dan digunakan untuk mengontrol organisme
pengganggu yang dapat merugikan kepentingan manusia. Bagi para petani,
penggunaan pestisida telah terbukti memiliki manfaat yang signifikan dalam
upaya meningkatkan produksi pertanian. Saat ini, pestisida telah menjadi
salah satu hal yang sangat penting dalam dunia pertanian, terutama dalam
konteks melindungi tanaman dan hasil panen. Pestisida memberikan banyak
manfaat penting bagi pertanian modern. Salah satunya adalah kemampuannya
untuk melindungi tanaman dari serangan hama dan penyakit yang dapat
menyebabkan kerusakan yang serius. Hal ini membantu petani untuk
mempertahankan hasil panen yang sehat dan berkualitas. Selain itu,
penggunaan pestisida juga dapat membantu mengendalikan populasi
organisme pengganggu yang dapat merusak tanaman, seperti gulma (Swacita,
2017:4).
Namun, penggunaan pestisida yang berlebihan atau tidak sesuai aturan
dapat memiliki dampak negatif yang serius. Ini termasuk pencemaran
lingkungan, kerusakan organ tubuh, dan potensi dampak jangka panjang pada
kesehatan manusia dan ekosistem. Oleh karena itu, penting untuk mengadopsi
praktik pertanian yang lebih berkelanjutan dan mempertimbangkan alternatif
yang lebih ramah lingkungan dalam pengendalian hama (Rianto et all.,
2019:405).

2.9 Sejarah Pestisida


Menurut Wikipedia Dari zaman kuno sebelum tahun 2000 SM, manusia
telah menggunakan bahan kimia ini untuk melindungi tanaman pertanian dari
hama. Pestisida pertama yang dikenal adalah sulfur, yang digunakan di lahan
pertanian di Sumeria sekitar 4500 tahun yang lalu. Penggunaan tanaman
beracun untuk mengendalikan hama juga tercatat dalam teks kuno Rig Veda
yang berusia 4000 tahun. Seiring berjalannya waktu, senyawa berbahaya
seperti arsenik, raksa, dan timbal digunakan sebagai pestisida di lahan
pertanian. Pada abad ke-17, nikotin sulfat diekstraksi dari daun tembakau
untuk digunakan sebagai insektisida. Abad ke-19 melihat perkembangan
piretrum dari bunga krisan dan rotenon dari akar sayuran. Hingga tahun 1950-
an, pestisida yang mengandung arsenik masih menjadi yang utama.
Kemudian, pada tahun 1939, DDT ditemukan oleh Paul Herman Müller
sebagai insektisida yang sangat efektif. Organoklorin menjadi yang paling
banyak digunakan, tetapi segera digantikan oleh pestisida organofosfat dan
karbamat pada tahun 1975 di negara maju. Piretrin menjadi insektisida yang
dominan. Sementara itu, herbisida untuk mengendalikan gulma juga mulai
dikembangkan dan digunakan secara luas pada tahun 1960-an, termasuk
senyawa seperti triazin, asam karboksilat, dan glifosat.
2.10 Jenis-Jenis Pestisida
2.10.1 Pestisida Berdasarkan Cara Kerjanya
2.10.1.1 Pestisida Kontak
Pestisida Kontak, memiliki efek mematikan setelah tubuh hama terkena
langsung oleh zat aktifnya. Mekanisme kerjanya mirip dengan efek toksin.
Contohnya termasuk Gramoxone, Diazinon, Folidol, dan BHC.
2.10.1.2 Pestisida Fumigan
Pestisida fumigan adalah jenis pestisida yang bekerja dengan cara
menghasilkan gas atau uap yang menyebar dalam lingkungan tertentu untuk
mengendalikan hama dan penyakit tanaman. Contoh-contoh termasuk Methyl
bromide, Gammexane, dan Karbondisulfida.

2.10.1.3 Pestisida Sistemik


Pestisida Sistemik dapat merambat melalui tanaman dan akan mematikan
hama saat mereka mengonsumsi atau mengisap jaringan tanaman yang
terinfeksi. Contoh dari jenis ini termasuk Furadan, Curater, dan Dimecron.
2.10.1.4 Pestisida Lambung
Pestisida Lambung Jenis pestisida ini mematikan hama setelah hama
tersebut mengonsumsi pestisida. Contoh-contohnya adalah Parathion dan
Klerat.
2.10.2 Pestisida Berdasarkan Komposisi Kimia
2.10.2.1 Organofosfat
Organofosfat Jenis pestisida yang mengandung unsur phosphat, carbon,
dan hydrogen dalam struktur kimianya. Organofosfat digunakan untuk
mengendalikan hama dan serangga, dan mereka juga hadir dalam produk
rumah tangga seperti pembasmi nyamuk dan kecoa. Beberapa contoh
Organofosfat meliputi Parathion, Malathion, dan Tetra Ethyl Pyro Phosphat
(TEPP).
2.10.2.2 Karbamat
Karbamat adalah senyawa organik yang berasal dari asam karbamat
(NH2COOH). Kelompok karbamat mencakup ester karbamat dan asam
karbamat, yang berfungsi sebagai grup fungsional yang menghubungkan
berbagai struktur terkait. Pestisida yang mengandung gugus karbamat, seperti
Sevin, Baygon, dan Isolan, digunakan untuk mengendalikan hama. Sevin,
sebagai contoh, dibuat dari alpha napthol yang mengalami kondensasi dengan
fosgen dan direaksikan dengan metilamin.
2.10.2.3 Organoklorin
Pestisida Organoklorin mengandung unsur karbon, chlorine, dan hydrogen
dalam komposisi kimianya. Beberapa contoh pestisida Organoklorin
termasuk Aldrin, Chlordane, DDT, Dieldrin, dan Endosulfan.

Anda mungkin juga menyukai