Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Cabai merupakan salah satu komoditi bernilai ekonomi tinggi dan cocok
untuk dikembangkan di daerah tropika seperti Indonesia. Cabai sebagian besar
digunakan untuk konsumsi rumah tangga dan sebagiannya untuk ekspor dalam
bentuk kering, saus, bubuk dan lainnya (Anonim dalam Caroulus, 2017). Kondisi
tersebut menyebabkan kebutuhan konsumsi cabai tiap tahunnya meningkat dan
menjadikannya potensial untuk dikembangkan.

Cabai dapat tumbuh dan bereproduksi di dataran rendah sampai dataran


tinggi (0- 1400 meter dpl), baik pada lahan sawah maupun tegalan (Eqy, 2018).
Cabai menjadi primadona bagi para petani khususnya para petani di daerah
Kabupaten Lombok Timur karena memiliki nilai ekonomi tingi dan mudah
dikembangkan diberbagai kondisi tanah. Menurut laman berita Republika.co.id
lahan tanam cabai Kabupaten Lombok Timur pada awal tahun 2020 seluas 1.164
hektare dan memproduksi cabai sebanyak 818 ton.

Tantangan petani dalam menanam cabai adalah serangan hama yang


menyebabkan kerusakan tanaman cabai sehingga hasil produksi menurun. Hama
yang sering menyerang tanaman cabai petani adalah hama dari Ordo
Thysanoptera, famili Thripidae atau yang lebih dikenal dengan nama Thrips sp
(Thysanoptera: Thripidae). Thrips sp. merupakan serangga kecil dan langsing,
panjang imago berkisar antara 1-2 mm. Tubuh terdiri atas kepala, toraks, dan
abdomen. Kelangsungan hidup Thrips sp. sangat dipengaruhi oleh factor abiotik.
Thrips sp. dapat berpindah tempat dari satu bagian tanaman ke bagian tanaman
lain dengan cara berlari, meloncat, atau terbang. Kemampuan terbang Thrips sp.
sangat lemah sehingga sangat dipengaruhi oleh factor luar seperti angin
(Magdalena dalam Eqy. 2018). Suhu dan curah hujan merupakan factor iklim
yang sangat mempengaruhi populasi Thrips sp. pada daerah dengan
kelembababan yang relatif rendah dan suhu relatif tinggi perkembangbiakan
Thrips sp. dari pupa menjadi imago menjadi lebih cepat. Pada musim kemarau
populasi hama ini lebih tinggi dan populasi akan berkurang apabila terjadi hujan
lebat. Semakin rendah suhu suatu lingkungan warna tubuh Thrips sp. menjadi
lebih gelap (Murai dalam Eqy. 2018).

Hama ini banyak dikenal sebagai hama pada berbagai komoditas


pertanian dan bersifat polifag (poli: banyak, fag: subjek). Hama Thrips sp.
merupakan hama yang berbahaya terutama untuk tanaman cabai, hama ini
menyerang daun muda dan juga putik-putik cabai dengan gejala awal yang
mudah dideteksi berupa warna daun cabai menguning, keriting dan daun
menggulung ke atas (Eqy. 2018). Hama Thrips sp. merusak tunas, daun, dan
bunga dengan menusuk jaringan tanaman dan menghisap cairan tanaman
(Kalshoven dalam Caroulus. 2017). Kerusakan akibat serangannya sangat
bervariasi, dari kerusakan ringan sampai kerusakan berat hingga dapat
mengakibatkan kehilangan hasil panen yang sangat serius (Purbaningrum dalam
Caroulus. 2017). Lebih lanjut dikemukakan bahwa kerusakan yang ditimbulkan
oleh hama Thrips sp. pada tanaman cabai berkisar dari 12,00-74,00%. Serangan
yang terjadi pada awal tanam dapat berakibat fatal, memungkinkan terjadinya
penyakit kerdil (dwarfing), tanaman layu, dan akhirnya mati (Pitijo dalam
Bachtiar. 2014). Dilain sisi, kotoran (feses) dari hama ini merupakan media
pertumbuhan bagi cendawan sehingga dapat menggangu proses fotosintesis

Sejauh ini, upaya petani dalam mengendalikan hama Thrips sp. masih
pada tindakan konvensional berupa penggunaan pestisida kimia yang berbahaya
bagi kesehatan dan lingkungan. Pestisida kimia adalah bahan beracun dan
berbahaya, bila tidak dikelola dengan baik dapat menimbulkan dampak negatif
yang tidak diinginkan. Dampak negatif yang terjadi dari penggunaan pestisida
kimia adalah keracunan, khususnya bagi para petani yang sering/intensif
menggunakannya (Bimas dalam Adiba. 2015). Penggunaan pestisida kimia dapat
berakibat langsung terhadap komunitas hewan, tumbuhan terlebih manusia.
Pestisida masuk ke lingkungan melalui beberapa proses pada tataran permukaan
tanah maupun bawah tanah. Pestisida masuk kedalam tanah berjalan melalui pola
biotransformasi dan bioakumulasi oleh tanaman, proses reansorbsi oleh akar
serta masuk langsung ketanah melalui aliran infiltrasi tanah. Gejala ini akan
mempengaruhi kandungan bahan pada sistem air tanah hingga proses pencucian
zat (leaching) pada tahap penguraian baik secara biologis maupun kimiawi dalam
tanah. Proses pencucian (leaching) tersebut pada akhirnya akan mempengaruhi
kualitas air tanah baik setempat mauapun secara regional dengan berkelanjutan.
Jika proses leaching tidak sempurna akan berdampak buruk bagi tanaman yang
tumbuh disekitarnya. Resiko terparah adalah jika air terkontaminasi pestisida
tersebut masuk ke sumur-sumur warga (Adiba. 2015). Melihat masalah tersebut
perlu dilakukan inovasi pengganti pestisida kimia dalam menanggulangi hama
Thrips sp.

Salah satu tanaman yang berpotensi sebagai insektisida yakni tanaman


tembakau (Nicotiana tabacum L.). tanaman tembakau dapat dijadikan pestisida
organik karena tembakau adalah tanaman yang mengandung senyawa alkaloid,
saponin, flavonoid, dan polifenol (handayani. 2018). Flavonoid dapat berfungsi
sebagai racun syaraf pada larva (Susanto dalam Rizki 2016). Berdasarkan
penelitian susanti (2012), kandungan nikotin yang merupakan senyawa golongan
alkaloid yang dikandung tembakau juga mampu digunakan sebagai insektisida.
Senyawa ini bekerja sebagai racun kontak, racun perut, dan fumigant (Tuti,
2014).

Kabupaten Lombok Timur - NTB merupakan salah satu daerah penghasil


tembakau terbesar di Indonesia. Menurut laman berita
Lombokpost.Jawapost.com tahun 2020 daerah Lombok Timur memiliki lahan
tanam tembakau seluas 20.250 hektare dan menghasilkan tembakau sebanyak
40.500 ton. Hampir seluruh hasil panen tembakau tersebut digunakan sebagai
bahan dasar pembuatan rokok. Sebagian hasil panen tembakau petani biasanya
dijual ke pabrik rokok besar yang ada di pulau Jawa, sebagian lagi biasanya
diolah sendiri oleh petani untuk dijadikan rokok linting. Bagian tembakau yang
digunakan dalam membuat rokok linting hanya bagian helai daun sehingga
bagian tulang daunnya dibuang begitu saja dan cenderung menjadi limbah.
Selama ini pengolahan limbah tulang daun tembakau dilakukan secara
konvensional yaitu pembakaran. Pembakaran limbah tulang daun tembakau dapat
mencemari lingkungan serta membahayakan bagi kesehatan karena asap yang
dihasilkan. Limbah tulang daun tembakau dapat digunakan sebagai insektisida
alternatif untuk menanggulangi hama Thrips sp. dan mengurangi penggunaan
pestisida kimia. Insektisida nabati menggunakan limbah tulang daun tembakau
tidak meninggalkan residu yang berbahaya pada tanaman maupun lingkungan
(Tuti dalam Rizki 2016).

Berdasarkan masalah diatas, peneliti berinisiatif membuat bioinsektisida


dengan memanfaatkan ekstrak limbah tulang daun tembakau untuk
menanggulangi hama Thrips sp. pengganti pestisida kimia.

B. Identifikasi Masalah
1. Tanaman cabai petani diserang oleh hama Thrips sp. menyebabkan kerugian
bagi petani mulai dari hasil panen yang kurang maksimal hingga kematian
tanaman cabai.
2. Dalam menanggulangi serangan hama Thrips sp. petani masih menggunakan
cara konvensional berupa penggunaan pestisida kimia yang berbahaya bagi
kesehatan dan lingkungan.
3. Dalam memproduksi rokok linting, petani hanya memanfaatkan bagian helai
daun saja sehingga bagian tulang daunnya dibuang dan menjadi limbah.
C. Batasan Masalah
Agar penelitian ini terarah dan untuk menghindari meluasnya
permasalahan, maka perlu dibatasi permasalahan-permasalahan yang perlu diteliti
agar tujuan penelitian tercapai. Oleh karena itu penelitian ini difokuskan pada ada
atau tidaknya pengaruh ekstrak tulang daun tembakau terhadap hama Thrips sp.
yang menjadi hama pada tanaman cabai.
D. Rumusan Masalah
1. Apakah ada pengaruh ekstrak tulang daun tembakau terhadap hama Trips sp.
pada tanaman cabai?
2. Bagaimana pengaruh konsentrasi ekstrak tulang daun tembakau terhadap
mencegahan hama Thrips sp. pada tanaman cabai?
E. Tujuan Dan
Tujuan Penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui kemampuan ekstrak tulang daun tembakau dalam
menanggulangi hama Thrips sp.
2. Untuk mengetahui kemampuan ekstrak tulang daun tembakau pada
konsentrasi 60%, 70%, dan 80% dalam menanggulangi Thrips sp.
F. Manfaat Penelitian
Penelitian ini dilakukan untuk memberikan manfaat :
1. Bagi Masyarakat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu petani dalam
menanggulangi hama Thrips sp. serta membantu mengurangi penggunaan
pestisida kimia yang berbahaya bagi kesehatan dan lingkungan.
2. Bagi Peneliti
Menambah pengetahuan peneliti tentang bioinsektisida dan merupakan
penerapan dari ilmu yang didapatkan selama perkuliahan.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kajian Teori
1. Tinjauan Tentang Cabai

Cabai (Capsicum frutescens L. ) merupakan salah satu komoditas


yang banyak dibudidayakan oleh petani Di Indonesia. Dirjen Holtikultura
(2015) menyatakan beberapa alasan penting dalam pengembangan komoditas
cabai, antara lain merupakan komoditas unggulan bernilai ekonomi tinggi,
banyak digunakan untuk konsumsi rumah tangga (80%) maupun keperluan
industry pengolahan makanan (20%). Masyarakat Indonesia termasuk
penggemar cabai terbesar di dunia. Oleh sebab itu cabai menjadi salah satu
produk penting dalam pangan Indonesia, bahkan bisa berpengaruh terhadap
laju inflasi. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), rata-rata konsumsi
cabai per kapita adalah 500 gram/tahun. Bisa dibayangkan dengan jumlah
penduduk sebanyak 237.6 juta (sensus tahun 2010), berarti Indonesia
membutuhkan cabai sebesar 118.800 ton pertahun (wahyudi dalam Idha,
2013). Masing-masing golongan cabai mempunyai keistimmewaan khusus,
sehingga jenis berbagai macam cabai diminati oleh masyarakat (Tjahjadi
dalam Oktavia, 2020).

Cabai mengandung antioksidan yang berfungsi untuk menjaga tubuh


dari serangan radikal bebas. Cabai juga mengandung lasparaginase dan
capsaicin yang berperan sebagai zat ani kanker (Idha, 2013). Kandungan
vitamin C yang cukup tinggi pada cabai dapat memenuhi kebutuhan harian
setiap orang, namun harus dikonsumsi secukupnya untuk menghindari nyeri
lambung. Cabai mengandung zat-zat gizi yang sangat dibutuhkan oleh tubuh
manusia. Cabai mengandung protein, lemak, karbihidrat, kalsium (Ca), fosfor
(P), besi (Fe), vitamin-vitamin, senyawa-senya alkaloid seperti capsaicin,
flavonoid, dan minyak esensial. Capsaicin bermanfaat untuk mengatur
peredaran darah; memperkuat jantung, nadi, syaraf; mencegah flu dan demam;
membangkitkan semangat dalam tubh (tanpa efek narkotik); serta mengurangi
nyeri encok dan rematik ( Prajnanta dalam Ellen, 2016). ). Cita rasa pedas
pada cabai disebabkan oleh adanya senyawa capsaicin. Menurut skala Scoville
( skala ukuran kepedasan cabai secara internasional), kepedasan cabai rawit
mencapai nilai 50.000 – 100. 000.

Minyak atsiri cabai rawit mengandung capsitol yang dapat


dimanfaatkan sebagai pengganti minyak kayu putih untuk mengurangi pegal-
pegal, sesak nafas, gatal-gatal dan rematik. Kansungan bioflavanoid pada
cabai rawit berguna untuk menyembuhkan radang akibat udara dingin. Cabai
rawit kaya vitamin A dan mineral yang sangat berguna bagi kesehatan tubuh.
Vitamin A berguna untuk mencegah kebutaan dan mengobati sakit
tenggorokan. Cabai rawit juga memiliki nutrisi yang cukup tinggi. Berikut
tabel nutrisi cabai rawit menurut Anonim dalam Idha (2013).

No Jenis Zat Kadar


1 Kadar air 71,2 %
2 Kalori 103 kal
3 Protein 4,7 g
4 Lemak 2,4 g
5 Karbohidrat 19,9 g
6 Kalsium 45 mg
7 Fosfor 85 mg
8 Besi 2,5 mg
9 Vitamin A 11.050 Sl
10 Vitamin C 0,24 mg
11 Vitamin B1 0,24 mg
12 Vitamin B2 70 mg
Klasifikasi cabai rawit menurut wijayanto dalam Idha (2020) adalah
sebagai berikut :

Kingdom : Plantae

Divisio : Spermatophyta

Sub Divisio : Angiospermae

Classis : Dicotyledonae

Familia : Solanaceae

Sub Familia : Solanaceae

Genus : Capsicum

Spesies : Capsicum frutencens L.

Budidaya tanaman cabai diperbanyak melalui biji yang ditanam dari


tanaman yang sehat dan bebas dari penyakit. Cabai atau Lombok merupakan
tanaman yang mudah ditanam di dataran rendah maupun tinggi (0-1400 meter
dpl). Biasanya tanaman cabai ditanam secara musiman (seasonal), yang
dilakukan pada awal musim hujan yaitu pada bulan Oktober-November untuk
lahan tadah hujan dan bulan Maret-April untuk lahan beririgasi teknis (Anon
dalam I Gede Putu, 2014). Tanaman cabai termasuk kedalam tanaman perdu,
arah tumbuh tegak lurus keatas dengan percabangan simpodial. Buah cabai
merupakan buah buni dengan bentuk garis lanset, dan rasanya pedas. Warna
buah cabai rawit bervariasi; merah, kuning, dan orange. Panjang buah antara
2-3,5 cm dengan diameter sekitar 0,4-0,7 cm. daging buahnya berupa
keeping-keping tidak berair. Bijinya berjumlah banyak serta terletak di dalam
ruangan buah (Setiadi dalam Ellen, 2016).
2. Tinjauan Tentang Thrips sp.
Gambar 1 Imago trips (a) Thrips parvispinus karny dan
(b) Thrips imaginis Bagnall (Moritz & Mound 2001).

a. Klasifikasi Thrips sp.


Kingdom : Animalia
Filum : Arthropoda
Kelas : Insecta
Ordo : Thysanoptera
Famili : Thripidae
Genus : Thrips
Spesies : Thrips sp. (Sidik, 2018)

b. Morfologi Thrips sp.


Thrips merupakan kelompok insect berukuran kecil, bertubuh
ramping, dan termasuk ordo Thysanoptera ( thysanos = umbai; pteron:
sayap). Thrips sp. dalam Bahasa yunani juga bisa berarti kutu kayu.
Golongan ini terdiri dari serangga yang bersayap umbai sebagai ciri
salah satu morfologis yang paling penting. Thrips sp. mempunyai ciri-
ciri tidak bersayap tepi, tetapi dewasa mempunyai sayap yang transparan
(tembus cahaya), mempunyai panjang tubuh 1-2 mm meskipun ada yang
mencapai 3 mm, berwarna hitam, datar, langsung. Thrips sp. mempunyai
alat mulut yang bertipe pencucuk-penghisap, meskipun lebih tepat
disebut sebagai pemarut berbentuk pendek tidak simetris. Thrips sp.
menggunakan mulutnya untuk merobek jaringan tumbuhan disekitarnya
sebelum menghisap cairan yang terdapat ditumbuhan tersebut. Thrips sp.
adalah serangga yang mempunyai sayap, namun mereka tidak banyak
menggunakannya untuk terbang. Oleh karena itu, Thrips sp. mudah
ditemukan secara berkelompok di helai-helai permukaan bawah daun
bersama dengan telur dan nimfanya (Fijrina, 2019).
c. Siklus Hidup Thrips sp.
Siklus hidup Thrips sp. terdiri dari 4 siklus yakni fase telur,
instar nimfa yang aktif, prapura dan pupa. Lebih lanjut dileaskan Thrips
sp. dapat menghasilkan beberapa generasi pertahun dengan tipe
perkembangan peralihan antara metamorphosis bertahap (paurometabola)
dan metamorphosis sempurna (holometabola). Thrips sp. menyelesaikan
siklus hidupnya sekitar 2-3 minggu. Imago betina subordo terebrantia
meletakkan telur secara tunggal di dalam jaringan tanaman dengan
bantuan ovipositor, sedangkan imago betina subordo Tubulifera
meletakkan telur pada permukaan substrat dengan genital opening
organ. Telur berbentuk seperti ginjal berwarna putih coklat. Jumlah telur
yang dihasilkan 30-60 telur tergantung pada nutrisi, suhu, dan
kelembaban (Mound dalam Oktavia, 2020).
Nimfa instar-1 berwarna putih pucat atau transparan dengan mata
berwarna merah, berukuran sekitar 0,5 mm. nimfa instar-1 aktif bergerak
dan memakan jaringan tanaman. Fase nimfa instar-1 berlangsung selama
2-3 hari. Nimfa instar-2 berwarna kuning tua keruh, berukuran sekitar
0,8 mm. fase nimfa instar-2 berlangsung selama 3-4 hari. Prapura
memiliki kerangka sayap yang pendek sebatas toraks dan antenna tegak
ke atas. Fase prapura berlangsung selama 1,5-2,5 hari. Pupa memiliki
kerangka sayap yang panjang mencapai ujung abdomen, antenna
terkekuk ke belakang sepanjang kepala. Fase pupa berlangsung selama
2,0-3,5 hari. Fase pupa berlangsung pada permukaan bagian tanaman
atau jatuh ke tanah. Imago jantan biasanya berbentuk lebih tumpul pada
bagian posterior dengan ukuran tubuh lebih kecil serta warna lebih pucat
dibandingkan imago betina. Imago paling banyak ditemukan pada bagian
dalam bunga dan daun. Lama hidup imago dapat mencapai 30 hari.
Thrips sp. berkembang biak secara seksual dan aseksual
(parthenogenesis). Reproduksi secara partenoghenesis terbagi menjadi
tiga tipe yang berbeda, yaitu: arrhenotoky, thelytoki, dan deutherotoky.
Arrhenotoky terjadi apabila telur imago betina yang tidak dibuahi
menghasilkan keturunan yang semuanya betina diploid, sedangkan
deutherotoky terjadi apabila telur imago betina yang tidak dibuahi
menghasilkan keturunan jantan dan betina (Oktavia, 2020).

Satu siklus biasanya membutuhkan waktu satu bulan, namun hal


tersebut bergantung pada temperature dan spesiesnya. Telur ini
diletakkannya dalam jumlah yang banyak, dengan rata-rata 80 butir tiap
induk. Letak telur akan mudah diketahui dengan memperhatikan bekas
tusukan pada bagian tanaman dan disekitar jaringan terdapat
pembengkakan seperti tumor. Telur-telur biasanya akan menetas sekitar
3 atau 7 hari setelah peletakan oleh imago betina (Fijrina, 2019).

Thrips betina mampu bertelur 200-250 butir. Telur berukuran


sangat kecil, biasanya diletakkan pada jaringn dun mud, Tangkai kuncup
dan buah. Telur yang menetas menjadi nimfa Thrips instar-1 berbentuk
seperti kumparan, berwarna putih jernih dan mempunyai 2 mata yang
sangat jelas berwarna merah, aktif bergerak memakan jaringan tanaman.
Seiring dengan stadium perkembangannya warnanya berubah menjadi
kuning kehijauan dengan ukuran 0,4 mm. kemudian berganti kulit
menjadi instar-2. Pada stadium instar-2 Thrips aktif bergerak mencari
tempat yang terlindung, biasanya dekat urat daun atau pada lekukan-
lekukan di permukaan daun. Thrips instar-2 berwarna lebih kuning,
panjang 0,9 mm dan aktivitas makanya meningkat. Pada akhir instar ini
Thrips sp. biasanya mencari tempat ditanah atau timbunan jerami
dibawah kanopi tanaman. Pada stadium prepupa maupun pupa, ukuran
Thrips relative lebih pendek dan mulai muncul 2 pasang sayap dan
antenna. Warna Thrips pada stadium ini masih tetap kuning atau
kehijauan, aktivitas makan berangsur berhenti. Setelah dewasa, sayap
tumbuh lebih panjang hingga melebihi panjang perutnya. Ukuran Thrips
sp. betina berkisar 0,7 – 0,9 mm, sedangkan Thrips sp. jantan lebih
pendek. Dalam setahun terdapat 8-12 generasi Thrips. Pada musim
kemarau, perkembangan telur sampai dewasa berlangsung 13-15 hari dan
lama hidup Thrips sp. dewasa berkisar 15-20 hari. Thrips sp.
berkembang cepat bila suhu naik di sekitar tanaman (Sidik, 2018).

d. Gejala Serangan Thrips Sp. Pada Tanaman

Sebagian besar spesies Thrips sp. adalah hama bagi tanaman.


Hama ini menyerang mulai dari pembibitan sampai tanaman dewasa
dengan cara meraut menghisap. Gejala serangan ini terlihat pada pucuk
tanaman, daun-daun muda atau tunas baru menjadi keriting kemudian
terdapat bercak berwarna kekuningan dan tanaman menjadi kerdil
sehingga tidak dapat membentuk buah secara normal (Oktavia, 2020).

Hama Thrips sp. menyerang tanaman cabai dengan menghisap


cairan permukaan bawah daun (terutama daun-daun muda) dengan
menggunakan mulutnya. Gejala awal serangan Theips sp. pada tanaman
cabai adalah daun yang terserang memperlihatkan noda keperak-perakan
yang tidak beraturan akibat adanya luka dari cairan makanan serangga
tersebut setelah beberapa waktu noda keperakan tersenut berubah
menjadi coklat tembaga, mengeriting keatas atau keriput dan akhirnya
mati. Perubahan warna tersebut menurut oktavia (2020) disebabkan
karen kekosongan cairan pada sel tumbuhan karena sudah dimakan oleh
imago dan nimfa dari hama Thrips sp. Kotoran-kotoran dari Thrips ini
akan menutupi permukaan daun sehingga daun juga menjadi hitam.
Pada serangat berat hama Thrips sp. menyebabkan daun, tunas atau
pucuk menggulung kedalam dan muncul benjolan seperti tumor,
pertumbuhan pada tanaman cabai terhambat dan kerdil bahkan pada
bagian pucuk tanaman menjadi mati. Serangan Thrips sp. dapat
mengakibatkan kehilangan hasil panen hingga 40-50 % (Fijrina, 2019).

Selain menjadi hama, Thrips sp. juga menjadi vector beberapa


virus penyakit tanaman seperti virus mosaic dan virus keriting, oleh
sebab itu jika tanaman memeiliki gejala serangan Thrips sp. perlu juga
diwaspadai akan adanya virus mosaic dan virus keriting (Oktavia,
2020).

Hama Thrips sp. hampir menyerang tanaman pada setiap fase


tumbuhnya, namun serangan terbanyak terjadi pada saat tanaman
mengalami fase generatif. Bachtiar (2014) dalam penelitiannya
mengatakan populasi Thrips sp. pada suatu tanaman terbanyak terdapat
pada saat tanaman mengalami fase generatifnya, dimana daun, bunga
dan buah tanaman masih muda. Menurut Fijrina (2019) kelimpahan
populasi Thrips sp. dipengaruhi oleh factor fisik lingkungan sekitar
berupa suhu, kelelmbaban dan curah hujan. Pada musim kemarau
perkembangan hama Thrips sp. sangat cepat, sehingga populasi lebih
tinggi sedangkan pada musim penghujan populasinya akan berkurang
karena banyak Thrips yang mati akibat tercuci oleh hujan (Okativia,
2020)

3. Tinjauan Tentang Ekstrak Tulang Daun Tembakau

Sistematika taksonomi tanaman tembakau dapat dijelaskan sebagai


berikut:

Kingdom : Plantae (tunbuhan)


Subkingdom : Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh)
Super Divisi : Spermatophyta (Menghasilkan biji)
Divisi : Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)
Kelas : Magnoliopsida ( Berkeping dua/dikotil)
Sub kelas : Asteridae
Ordo : Solanales
Famili : Solanaceae (suku terung-terungan)
Genus : Nicotiana
Spesies : Nicotiana tabacum L. (Rizki, 2016)

Tembakau merupakan tumbuhan yang sangat familiar dikalangan


masyarakat Indonesia.Taanaman tembakau tersebar diseluruh Nusantara.
Tanaman tembakau dulunya digunakan sebagai campuran nyirih ( Lombok
= mamaq) oleh para orang tua, namun pemanffaatkan tembakau paling
banyak digunakan sebagai bahan dasar pembuatan rokok.

Kabupaten Lombok Timur - NTB merupakan salah satu daerah


penghasil tembakau terbesar di Indonesia. Menurut laman berita
Lombokpost.Jawapost.com tahun 2020 daerah Lombok Timur memiliki
lahan tanam tembakau seluas 20.250 hektare dan menghasilkan tembakau
sebanyak 40.500 ton. Hampir seluruh hasil panen tembakau tersebut
digunakan sebagai bahan dasar pembuatan rokok. Sebagian hasil panen
tembakau petani biasanya dijual ke pabrik rokok besar yang ada di pulau
Jawa, sebagian lagi biasanya diolah sendiri oleh petani untuk dijadikan
rokok linting.

Tembakau merupakan tanaman musiman dan tergolong dalam


tanaman perkebunan. Tanaman tembakau dapat tumbuh dengan subur baik
di daerah dataran rendah maupun di daerah dataran tinggi. Tanaman ini
tumbuh subur pada tanah yang sedikit air, gembur, dan mengandung unsur
hara yang cukup. Jika dilihat secara morfologi tanaman tembakau memiliki
ciri batang kokoh, besar dan tumbuh hingga mencapai ketinggian tanaman
sedang. Tanaman ini terdiri dari akar, batang, daun, bunga dan buah.

a. Bagian-bagian Tanaman Tembakau


Tanaman tembakau mempunyai bagian-bagian sebagai beriut:
1) Akar
Tanaman tembakau berakar tunggang menembus kedalam
tanah sampai kedalaman 50–75 cm, sedangkan akar kecilnya
menyebar ke samping. Tanaman tembakau juga memiliki bulu akar.
Perakaran tanaman tembakau dapat tumbuh dan berkembang baik
dalam tanah yang gembur, mudah menyerap air dan subur (Rizki,
2016).
2) Batang
Batang tanaman tembakau agak bulat, lunak tetapi kuat,
makin ke ujung makin kecil. Ruas batang mengalami penebalan
yang ditumbuhi daun, dan batang tanaman tidak bercabang atau
sedikit bercabang. Pada setiap ruas batang selain ditumbuhi daun
juga tumbuh tunas ketiak daun, dengan diameter batang 5 cm.
Fungsi dari batang adalah tempat tumbuh daun dan organ lainnya,
tempat jalan pengangkutan zat hara dari akar ke daun, dan sebagai
jalan menyalurkan zat hasil asimilasi ke seluruh bagian tanaman
(Rizki, 2016)

3) Daun
Bentuk daun tembakau adalah bulat lonjong, ujungnya
meruncing, tulang daun yang menyirip, bagian tepi daun agak
bergelombang dan licin. Daun bertangkai melekat pada batang,
kedudukan daun mendatar atau tegak. Ukuran 34 dan ketebalan
daun tergantung varietasnya dan lingkungan tumbuhnya. Daun
tembakau tersusun atas lapisan palisade parenchyma pada bagian
atasnya dan spongy parenchyma pada bagian bawah. Jumlah daun
dalam satu tanaman berkisar 28 – 32 helai, tumbuh berselang–
seling mengelilingi batang tanaman. Daun tembakau cerutu
diklasifikasikan menurut letaknya pada batang, yang dimulai dari
bawah ke atas dibagi menjadi 4 klas yakni : daun pasir (zand blad),
kaki (voet blad), tengah (midden blad), atas (top blad). Daun
tembakau Virginia pada dasarnya dibagi menjadi 4 kelas, yakni:
daun pasir (lugs), bawah dan tengah (cutters), atas (leaf), dan pucuk
(tips). Bagian dari daun tembakau Virginia yang mempunyai nilai
tertinggi adalah daun bawah dan tengah menyusul daun atas, sedang
daun pasir dan pucuk hampir tidak bernilai kecuali untuk tembakau
rajangan (Rizki, 2016)

4) Bunga

Bunga tanaman tembakau merupakan bunga majemuk yang


terdiri dari beberapa tandan dan setiap tandan berisi sampai 15
bunga. Bunga berbentuk terompet dan panjang. Warna bunga merah
jambu sampai merah tua pada bagian atasnya, sedang bagian lain
berwarna putih. Kelopak memiliki lima pancung, benang sari
berjumlah lima tetapi yang satu lebih pendek dan melekat pada
mahkota bunga. Kepala putik atau tangkai putik terletak di atas
bakal buah di dalam tabung bunga. Letak kepala putik dekat dengan
benang sari dengan kedudukan sama tinggi. (Rizki, 2016).

5) Buah

Buah tembakau akan tumbuh setelah tiga minggu


penyerbukan. Buah tembakau berbentuk lonjong dan berukuran
kecil berisi biji yang sangat ringan. Biji digunakan untuk
perkembangbiakan tanaman (Rizki, 2016).

B. Penelitian Relevan
1. Penelitian Isman Norianza Ali, (2020) dengan judul Potensi Air Rendaman
Daun Tembakau (Nicotiana Tabacum) Sebagai Bioinsektisida Kecoa
(Periplaneta Americana). Pada penelitian ini, peneliti ingin mengetahui
pengaruh rendaman air tembakau terhadap kematian kecoa (Periplaneta
Americana). Hasil penelitian ini menunjukkan adanya pengaruh air
rendaman daun tembakau terhadap kematian serangga kecoa (Periplaneta
Americana). Persentase kematian kecoa tertinggi pada air rendaman
tembakau selama 6 hari, sebesar 32%. Hasil analisis statistic menunjukkan
perbedaan yang signifikan (p-value = 0.000) pada kelompok perlakuan dan
control. Namun tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan antar
kelompok perlakuan (p-value= 0,285). Kesimpulannya air rendaman dapat
digunakan sebagai alternative insektisida nabati dalam mengendalikan
serangga kecoa.
2. Penelitian Rizki Khalalia (2016) dengan judul Uji Daya Bunuh Granul
Ekstrak Limbah Tembakau (Nicotianae Tabacum L ) Terhadap Larva Aedes
Aegypti. hasil uji menunjukkan terdapat hubungan antara ekstrak limbah
tembakau dalam bentuk granul dengan kematian larva nyamuk Aedes aegypti
(p=0,001). Analisis probit didapatkan LC50 granul ekstrak limbah tembakau
adalah 23,956% dan LC90 adalah 40,957%. LT50 pada konsentrasi 20%
adalah 362,625 jam, sedangkan LT 90 adalah 544,488 jam. Simpulan dalam
penelitian ini adalah granul ekstrak limbah tembakau meiliki efek larvasida
terhadap nyamuk Aedes aegypti namun belum dapat dikatakan efektif sebagai
larvasida nyamuk Aedes aegypti.
3. Penelitian Sriwahyuni, (2016) dengan judul Efektivitas Ekstrak Daun
Tembakau (Nicotiana tabacum L) dari Semarang, Temanggung, dan Kendal
Sebagai Larvasida Aedes aegypti L. penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui menguji efektifitas larvasida ekstrak tembakau terhadap larva
Aedes aegypti serta menganalaisis kandungan nikotin dari tembakau yang
dikoleksi dari tiga tempat yaitu Semarang , Temanggung, dan Kendal;
menggunakan desain penelitian eksperimental murni, dan dilaksanakan
Maret-Desember 2013. Tembakau diekstraksi dengan etanol lalu diuji pada
larva Ae. aegypti instar tiga. Hasil pengujian memperlihatkan ekstrak
tembakau Temanggung paling aktif sebagai larvasida diikuti Semarang dan
Kendal, sedangkan untuk mendapatkan respon biologis 90% kematian dari
jumlah total sampel larva diperlukan konsentrasi ekstrak tembakau Kendal
pada konsentrasi 447 ppm, Semarang 241 ppm, dan Temanggung 212 ppm.
Efek larvasida ekstrak tidak berbanding lurus dengan kadar nikotin ekstrak
tembakau, yaitu tembakau Semarang (4,69%), Temanggung (3,61%), dan
Kendal (1,85%).
4. Penelitian Yoel Renaldo Pardede (2019) dengan judul Uji Efektivitas Maserat
Daun Tembakau (Nicotiana Tabacum) Sebagai Bioinsektisida Pada Larva
Nyamuk. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat pengaruh pemberian
maserat daun tembakau pada larva nyamuk dan untuk mencari konsentrasi
yang paling efektif untuk membunuh larva nyamuk jenis dari penelitian ini
adalah Pra experimental one shot study case, yang di lakukan di laboratorium
terpadu poltekkes medan. Hasil penelitian menunjukkan maserat daun
tembakau yang telah di kerinkan dapat membunuh larva sebanyak 100% pada
konsentrasi 1% dan 1.5% dan dapat membunuh larva sebanyak 97.1% pada
jam ke 6, dari hasil tersebut peneliti menyimpulkan maserat daun tembakau
efektif digunakan sebagai bioinsektisida.
5. Penelitian Fika Afifah, (2015) dengan judul Efektivitas Kombinasi Filtrat
Daun Tembakau (Nicotiana tabacum) dan Filtrat Daun Paitan (Thitonia
diversifolia) sebagai Pestisida Nabati Hama Walang Sangit (Leptocorisa
oratorius) pada Tanaman Padi. Penelitian ini bertujuan untuk
mendeskripsikan pengaruh pemberian kombinasi filtrat daun tembakau
dengan filtrat daun paitan pada berbagai perlakuan terhadap mortalitas
walang sangit pada tanaman padi, menentukan konsentrasi yang paling
efektif dari kombinasi kedua filtrat yang menyebabkan terjadinya mortalitas
walang sangit dan mendeskripsikan pengaruh kombinasi kedua filtrat
terhadap produktivitas tanaman padi. Penelitian ini menggunakan metode
Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan enam perlakuan yaitu perlakuan
kontrol (F) dan kombinasi filtrat daun tembakau dengan filtrat daun paitan
(mL) dengan perbandingan sebagai berikut perlakuan A (100:0), perlakuan B
(75:25), perlakuan C (50:50), perlakuan D (25:75) dan perlakuan E (0:100).
Setiap perlakuan diujikan pada walang sangit sebanyak 10 ekor per
perlakuan. Data mortalitas walang sangit ditransformasikan ke Arcsin dan
berat kering gabah (produktivitas tanaman padi) dianalisis menggunakan
ANAVA satu arah dan selanjutnya dilakukan uji BNT. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa pemberian kombinasi filtrat daun tembakau dan filtrat
daun paitan berpengaruh terhadap semua kombinasi perlakuan. Konsentrasi
kombinasi perlakuan yang paling efektif dalam mengakibatkan mortalitas
walang sangit yaitu perlakuan B (rata-rata mortalitas walang sangit 56,25%).
Produktivitas tanaman padi terbaik yang didapatkan dari rata-rata berat
kering gabah yaitu pada perlakuan B (25,06 gram).
6. Penelitian Alif K. (2012) dengan judul Ekstraksi Nikotin Dari Daun
Tembakau (Nicotina Tabacum) Dan Pemanfaatannya Sebagai Insektisida
Nabati Pembunuh Aedes Sp. Penelitian ini bertujuan menentukan kandungan
nikotin pada daun tembakau, mengekstraksinya, memanfaatkan ekstrak
tersebut sebagai insektisida nabati pembunuh Aedes sp. dan
memformulasikan dosis yang tepat serta menentukan efektitivitasnya dalam
membunuh nyamuk Aedes sp. dalam lingkungan pemukiman. Penelitian ini
menggunakan metode maserasi limbah daun tembakau yang diujicobakan ke
nyamuk Aedes sp. Penelitian dilakukan dengan beberapa tahap, yaitu tahap
pembuatan ekstrak dengan metode maserasi, rearing nyamuk, dan
penyemprotan ekstrak pada nyamuk. Hasil yang diperoleh sebanyak 1 kg
limbah daun tembakau dapat menghasilkan 100,7 ml ekstrak maserasi
tembakau. Dan sebesar 95,3% ekstraks maserasi daun tembakau konsentrasi
90% efektif untuk membunuh nyamuk Aedes sp.
C. Kerangka Berfikir
Cabai merupakan komoditi bernilai ekonomi tinggi dan banyak
digemari oleh petani, khususnya petani di daerah Kabupaten Lombok Timur-
NTB. . Hasil panen cabai petani berkurang karena karena tanaman cabai
mereka diserang oleh hama Thrips sp. Serangan hama Thrips sp. ini
berdampak variatif bagi tanaman cabai, mulai dari kurang maksimalnya hasil
panen hingga menyebabkan kematian tanaman cabai sehingga menyebabkan
panen kurang maksimal dan menyebabkan kerugian bagi petani.
Berdasarkan analisis masalah yang ada, maka solusi yang dapat
dilakukan yaitu memanfaatkan limbah tulang daun tembakau sebagai
bioinsektisida dalam menanggulangi hama Thrips sp. yang menyerang
tanaman cabai petani. Tanaman tembakau mengandung beberapa senyawa-
senyawa aktif seperti flavonoid, alkaloid, folivenol dan saponin. Senyawa-
senyawa tersebut berperan sebagai racun kontak, racun syaraf dan racun perut
bagi jenis serangga seperti hama Thrips sp. yang dapat menyebabkan
kematian bagi hama Thrips sp.
D. Hipotesis
Hipotesis
merupakan jawaban
sementara terhadap
rumusan masalah
penelitian. Dikatakan sementara,
karena jawaban diberikan baru
berdasarkan pada teori yang relevan, belum didasarkan pada fakta-fakta empiris
yang diproleh melalui pengumpulan data (Sugiono dalam Suandi, 2020).
Hipotesis yang dapat diambil dalam penelitian ini yaitu:
Ho : Tidak ada pengaruh ekstrak tulang daun tembakau terhadap hama
Thrips sp.
Ha : Ada pengaruh pekstrak tulang daun tembakau terhadap hama Thrips sp.

BAB III

METODEOGI PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
kuantitatif dengan menggunakan metode eksperimen. Penelitian kuantitatif
merupakan jenis penelitian yang bersifat objektif, mencakup pengumpulan dan
analisis data kuantitatif dengan menggunakan pengujian statistik. Sedangkan
metode eksperimen merupakan metode penelitian yang digunakan untuk mencari
pengaruh perlakuan tertentu terhadap yang lain dalam kondisi terkendalikan
( Sugiono dalam Suandi, 2020).
B. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di:

Tempat : Kawasan persawahan Desa Dames Damai Kec. Suraga LOTIM

Waktu : -

C. Populasi dan Sampel Penelitian

1. Populasi

Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri dari obyek/subyek yang


memiliki kuantitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti
yang kemudian dipelajari dan ditarik kesimpulannya. Populasi Thrips sp. yang
digunakan pada penelitian ini adalah hama Thrips sp. yang meyerang tanaman
cabai di kawasan persawahan Desa Dames Damai.

2. Sampel
Sampel adalah sebagian dari populasi yang diharapkan dapat mewakili
atau representatif populasi (Riyanto, 2011). Sampel pada penelitian ini yaitu
hama Thrips sp. yang menyerang 12 batang cabai pada suatu sawah. Sampel
dibagi menjadi 4 kelompok, 3 kelompok akan disemprotkan ektrak tulang
daun tembakau dengan konsentrasi 60%, 70 %, dan 80% dan 1 kelompok
menjadi kontrol.
D. Definisi Operasional Variabel
Variabel-variabel pada penelitian ini terdiri dari variable bebas dan variable
terikat. Variabel bebas disebut juga variabel pengaruh, variable perlakuan,
variable kuasa, independen variable atau sering dising,at variable X. Sedangkan
variable yang berubah karena pengaruh dari variable bebas disebut sebagai
variable terikat atau disebut variable efek, variable terpengaruh atau dependen
variable atau biasanya diberi lambang sebagai variable Y.
Adapun variable bebas pada penelitian ini yaitu Pemanfaatan Ekstrak Tulang
Daun Tembakau Sebagai Bioinsektisida (X), sedangkan variable terikatnya yaitu
Penanggulangan Hama Thrips sp. (Y).
Berikut definisi operasionalnya :
1. Ekstrak Tulang Daun Tembakau
Ekstarak tulang daun tembakau merupakan sediaan kental yang
diproleh dari hasil menyari senyawa aktif dari simplisia nabati tulang
daun tembakau (ekstraksi tulang daun tembakau).
2. Penanggulangan hama Thrips sp.
Indikator penanggulangan hama Thrips sp. pada penelitian ini
adalah berkurang atau bahkan hilangnya populasi hama Thrips sp.
pada tanaman cabai yang diberi perlakuan.
E. Teknik dan Instrumen Pengambilan Data
Metode pengumpulan data merupakan salah satu faktor penting yang
mendukung keberhasilan suatu penelitian. Dalam penelitian ini, metode
pengumpulan data yang digunakan adalah sebagai berikut:
1. Observasi
Observasi adalah salah satu metode pengumpulan data dengan cara
pengamatan langsung sesuai dengan prosedur yang terencana meliputi
melihat dan mencatat jumlah ataupun aktivitas tertentu yang berkaitan
dengan masalah yang diteliti, seperti melihat dan melakukan pencatatan
secara sistematik terhadap gejala-gejala yang tampak pada objek penelitian,
yaitu mengamati dan mencatat jumlah kematian hama Thrips sp. setelah
disemprotkan ekstrak daun tembakau (Nicotiana tobaccum) dengan
berbagai konsentrasi yang berbeda dan dengan batas lama pemajanan yang
telah ditentukan.
2. Dokumentasi
Dokumentasi adalah salah satu metode pengumpulan data
dengan cara mengumpulkan sejumlah dokumen, baik berupa gambar
maupun tulisan, serta menganalisa dokumen-dokumen yang ada, untuk
mendukung penyusunan penelitian.
F. Validitas dan Reliabilitas Instrumen

1. Validitas

Validasi instrumen merupakan tingkat ketepatan dan kecermatan suatu


alat ukur (instrumen penelitian) dalam melakukan ukurnya. Validasi dijaga
dengan :

a. Menyamakan kondisi Thrips sp. Ekstrak tulang daun tembakau


pada konsentrasi 60% Ekstrak tulang daun tembakau pada konsentrasi 70%
Ekstrak daun tembakau pada konsentrasi 80% . Pengamatan selama 1 jam .
Analisa Ektrak daun tembakau dikatakan mampu menanggulangi apabila
mampu mengurangi jumlah populasi hama Thrips sp. lebih dari atau sama
dengan 90 %.

b. Menggunakan kriteria standar dalam menilai kematian Thrips sp.

2. Reliabilitas
Reliabilitas data dijaga dengan melakukan replikasi pengujian
sebanyak tiga kali pada setiap kelompok uji.

G. Teknik Analisis Data


1. Uji Prasyarat
Sebelum melakukan analisis lebih lanjut atau melakukan uji hipotesis, peneliti
melakukan uji homogenitas untuk memastikan apakah asumsi homogenitas
pada masing-masing kategori data sudah terpenuhi ataukah belum. Adapun
untuk menguji homogenitas

Anda mungkin juga menyukai