TINJAUAN PUSTAKA
cengis, ceplik, atau cempling. Dalam bahasa Sunda cabai rawit disebut cengek.
Sementara orang-orang di Nias dan Gayo menyebutnya dengan nama lada limi
dan pentek. Secara internasional, cabai rawit dikenal dengan nama thai pepper
(Tjandra, 2011). Menurut Simpson (2010), klasifikasi cabai rawit adalah sebagai
berikut :
Kingdom : Plantae
Division : Magnoliophyta
Class : Magnoliopsida
Order : Solanales
Family : Solanaceae
Genus : Capsicum
Cabai rawit adalah tanaman perdu yang tingginya hanya sekitar 50-135 cm.
tanaman ini tumbuh tegak lurus ke atas. Akar cabai rawit merupakan akar
tunggang. Akar tanaman ini umumnya berada dekat dengan permukaan tanah dan
melebar sejauh 30-50 cm secara vertikal, akar cabai rawit dapat menembus tanah
sampai kedalaman 30-60 cm. Batangnya kaku dan tidak bertrikoma. Daunnya
(Tjandra, 2011).
Bunga cabai rawit terletak di ujung atau nampak di ketiak, dengan tangkai
tegak ( Steenis et al., 2002). Hal ini juga didukung oleh penyataan Tjandra
(2011), yang mengatakan bahwa bunga cabai rawit keluar dari ketiak daun.
Warnanya putih atau putih kehijauan, ada juga yang berwarna ungu. Mahkota
bunga berjumlah 4-7 helai dan berbentuk bintang. Bunga dapat berupa bunga
tunggal atau 2-3 letaknya berdekatan. Bunga cabai rawit ini bersifat hermaprodit
(berkelamin ganda). Buah buni bulat telur memanjang, buah warnanya merah,
rasanya sangat pedas, dengan ujung yang mengangguk 1,5-2,5 cm. Buah cabai
rawit tumbuh tegak mengarah ke atas. Buah yang masih muda berwarna putih
kehijauan atau hijau tua. Ketika sudah tua menjadi hijau kekuningan, jingga,
atau merah.
resin, dan minyak atsiri. Selain itu, cabai ini juga kaya akan kandungan vitamin A,
B, C (Tjandra, 2011). Zat gizi seperti protein, lemak, karbohidrat, kalsium (Ca),
fosfor (P), besi (Fe), vitamin (salah satunya adalah vitamin C) dan mengadung
juga kerkandung dalam tanaman ini (Prajnanta (2007) dalam Arifin (2010)).
Menurut Setiadi (2006) dalam Arifin (2010), cabai rawit paling banyak
mengandung 1.000 SI. Sementara itu, cabai hijau segar hanya mengandung 260
vitamin A, cabai merah segar 470, dan cabai merah kering 576 SI.
makan, menguatkan kembali tangan dan kaki yang lemas, melegakan hidung
tersumbat pada penyakit sinusitis, serta mengobati migrain (sakit kepala sebelah).
Sebagai obat luar, cabai rawit juga dapat digunakan untuk mengobati penyakit
rematik, sakit perut, dan kedinginan. Selain sebagai bahan makanan dan obat,
(Tjandra, 2011).
oleh The American Association for Cancer Research, kapsaisin diduga dapat
apoptosis pada sel kanker paru pada manusia (Widianti dan Suhardjono, 2010).
kelompok besar yaitu cabai rawit kecil, cabai rawit hijau, dan cabai rawit putih.
Cabai rawit kecil sesuai dengan namanya mempunyai ukuran kecil dan pendek
yaitu hanya sekitar 1-2 cm. Meskipun ukurannya paling kecil, rasa cabai ini paling
pedas di antara jenis-jenis cabai rawit lainnya. Cabai rawit hijau memiliki panjang
sekitar 3-4 cm. Ukuran buah ini agak gemuk, rasanya pedas, tetapi tidak sepedas
cabai rawit kecil. Cabai rawit putih memiliki ukuran buah yang hampir sama
a. Nirmala, yang merupakan varietas cabai rawit dari golongan hibrida yang
mempunyai warna dasar kuning dan menjadi merah saat tua. Cabai ini mempunyai
pertumbuhan yang seragam, berbuah banyak, dan sangat bagus untuk disambal.
b. Santika, merupakan varietas cabai rawit hibrida dengan warna dasar hijau dan
menjadi merah saat tua, cabai ini mempunyai ukuran kecil dan cocok untuk teman
makan gorengan.
c. Sonar, merupakan varietas cabai rawit hibrida yang dapat beradaptasi secara luas
di dataran rendah sampai dataran tinggi dan mudah dalam perawatannya. Tanaman
tegak dengan dengan ruas pendek dan berbuah sangat lebat. Buah berwarna hijau
gelap saat muda dan berubah menjadi merah mengkilap setelah masak. Rasanya
sangat pedas.
d. Cakra putih, merupakan cabai rawit yang bukan berasal dari jenis hibrida, cabai
ini sangat popular. Buah berwarna putih kekuningan yang berubah merah cerah saat
percabangan. Posisi buah tegak ke atas dengan bentuk agak pipih dan sangat pedas.
mendapatkan pertumbuhan dan hasil produksi yang optimum. Syarat tumbuh cabai
rawit meliputi:
1. Tipe tanah
Tanah yang baik untuk budidaya tanaman cabai rawit adalah tanah yang
memiliki sifat gembur dan remah. Menurut Tjandra (2011), tanaman cabai rawit
tidak tumbuh dengan baik dalam tanah yang memiliki struktur padat dan tidak
memiliki rongga. Alasannya, tanah seperti ini tidak mudah ditembus dengan air
menimbulkan banyak dampak negatif. Selain itu, tanah tersebut tidak memberikan
kesempatan kepada akar untuk bergerak secara luas. Jenis tanah tersebut termasuk
tanah liat, tanah berkaolin dan tanah berbatu. Tanah yang baik untuk pertumbuhan
tanaman cabai rawit yaitu tanah yang memiliki tekstur agak berat seperti lempung
2. Ketinggian tempat
Tanaman cabai dapat ditanam pada dataran rendah maupun dataran tinggi.
Tanaman cabai rawit dapat tumbuh pada ketinggian 0 - 2.000 mdpl. Namun,
tanaman cabai rawit yang ditanam di dataran rendah dan dataran tinggi pasti
mengalami perbedaan seperti diumur panen dan masa panen ataupun pada
pertumbuhan lainnya. Tanaman cabai rawit yang dibudidayakan pada dataran tinggi
memiliki umur panen yang lebih lama dibandingkan dengan cabai rawit yang
ditanam pada dataran rendah. Ketinggian yang optimum untuk budidaya tanaman
Cabai rawit dapat beradaptasi dengan baik pada suhu 24º C -27o C dengan
kelembaban yang tidak terlalu tinggi. Curah hujan yang optimum untuk
pertumbuhan tanaman cabai rawit yang baik yakni antara 1000 – 3000 mm setiap
4. pH tanah optimum
yang optimal. pH tanah yang baik untuk budidaya tanaman cabai rawit yakni 5,5
6,5. Apabila tanah yang akan digunakan dalam budidaya memiliki tingkat
keasaman dibawah 5,5 maka tanah tersebut perlu diberi tambahan dolomit atau
mengakibatkan sulitnya unsur hara dalam tanah untuk diserap oleh tanaman. Sebab,
unsur hara yang sebagian dibutuhkan oleh tanaman seperti fosfor (P) dan kalsium
(Ca) tidak tersedia dalam kondisi pH tanah yang rendah. Tingkat keasaman yang
hortikultura lainnya. Pencahayaan tanaman cabai rawit dibutuhkan dari pagi hari
hingga sore hari. Ketersediaan air yang cukup tentu menunjang pertumbuhan
tanaman cabai rawit yang baik. Dengan adanya drainase yang baik dan lancar,
tanaman cabai rawit akan tumbuh optimal dengan hasil produksi yang rimbun
(Jamil, 2012).
baccatum, dan Capsicum chinense. Di antara lima spesies tersebut, yang paling
banyak diusahakan di Indonesia adalah Capsicum annuum (cabai merah besar dan
keriting), kemudian diikuti oleh Capsicum frutescens (cabai rawit) (Santika, 1996).
1) Cabai Merah
terdiri atas cabai merah besar, cabai keriting, dan paprika (Capsicum annuum var.
grossum).
a. Cabai besar
Bunga cabai berwarna putih dan pada setiap buku terdapat satu kuntum
bunga. Permukaan buah cabai rata dan halus, dengan diameter sedang sampai besar
dan kulit daging buah tebal. Kadar kapsaisin buah cabai besar umumnya rendah.
Buah cabai besar umumnya dipanen setelah berwarna merah, tetapi kadang –
kadang juga dipanen ketika buah masih berwarna hijau. Cabai besar berumur
genjah dan dapat tumbuh di berbagai ketinggian, baik di lahan darat, lahan sawah
b. Cabai keriting
Bunga cabai keriting berwarna putih atau ungu. Buah muda berwarna hijau
dengan diameter buah cabai besar, sedangkan kulit daging buahnya lebih tipis.
Umur panen cabai keriting lebih dalam dan buahnya lebih tahan disimpan. Cabai
keriting dapat tumbuh di berbagai ketinggian, baik dilahan darat, maupun lahan
c. Paprika
Buah paprika yang muda memiliki warna yang bervariasi, yaitu kuning, hijau
muda, hijau, dan ungu. Buah berbentuk kotak atau lonceng dengan diameter
yang besar permukaannya rata. Kulit daging buah tebal, dan rasanya manis (tidak
pedas). Biasanya buah dipanen saat masih muda, yaitu ketika masih berwarna hijau
2) Cabai Rawit
Buah cabai rawit yang masih muda berwarna putih, kuning, atau hijau.
Bunganya berwarna putih kehijauan. Pada umumnya, dalam satu ruas terdapat satu
kuntum bunga, tetapi kadang – kadang lebih dari satu. Tangkai bunga tegak saat
anthesis, tetapi bunganya merunduk, sedangkan tangkai daun pendek. Daging buah
umumnya lunak, dengan kapsaisin yang kadarnya tinggi, sehingga rasa buah pedas.
Umumnya cabai rawit dipanen ketika buah masih muda, berwarna hijau, putih, atau
ketinggian tempat dan berbagai tipe tanah seperti tanah darat, tanah sawah, dan
mengarah pada lahan-lahan marjinal. Lahan gambut adalah salah satu jenis lahan
marjinal yang dipilih, terutama oleh perkebunan besar, karena relatif lebih jarang
penduduknya sehingga kemungkinan konflik tata guna lahan relatif kecil (Agus &
Subiksa, 2008). Istilah ”marginal” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah
CO2 dari lahan gambut merupakan isu global yang sering dibicarakan dalam forum
yang berkaitan dengan perubahan iklim. Emisi CO2 terjadi secara bersamaan
tanah gambut (subsiden). Subsiden yang sering terjadi secara cepat akan
kebanjiran. Lahan gambut memiliki daya simpan air sangat tinggi. Selain itu lahan
gambut juga akan mudah mengalami kekeringan (Mulyani dan Noor, 2011).
Luas lahan gambut Indonesia diperkirakan berkisar antara 17 - 21 juta ha. Data
yang akurat mengenai luas lahan gambut sulit ditemui karena terbatasnya survei
dan pemetaan tanah gambut, terutama di Provinsi Papua dan Papua Barat. Dengan
luasan yang cukup besar yaitu berkisar 9-11% dari luas daratan di Indonesia, maka
kabupaten dan provinsi yang luas lahannya didominasi lahan gambut, seperti
Tanah gambut terbentuk dari lapukan bahan organik terutama dari tumpukan
sisa-sisa jaringan tumbuhan di masa lampau. Pada tahap awal, proses pengendapan
bahan organik terjadi di daerah depresi atau cekungan dibelakang tanggul sungai.
Dengan adanya air tawar dan air payau yang menggenangi daerah depresi, proses
lahan terjadilah akumulasi bahan organik, yang akhirnya terbentuk endapan gambut
dengan ketebalan yang bervariasi (Ardy & Sutriadi, 2007). Pembentukan gambut
diduga terjadi pada periode Holosin antara 10.000 – 5.000 tahun silam (Sagiman,
peningkatan muka air laut dan Sunda Shelf tergenang oleh air membentuk rawa-
rawa. Akibatnya vegetasi yang ada menjadi terbenam dan mati, kemudian
dibedakan dalam sub-ordo Fibrists, Hemists, dan Saprists. Fibrists adalah tanah
gambut yang relatif belum melapuk atau masih mentah. Hemists adalah tanah
melapuk dan Saprists adalah tanah gambut yang tingkat pelapukan bahan
gambutnya sudah lanjut atau sudah hancur seluruhnya. Berdasarkan ketebalan
adalah gambut dangkal 1,925 juta ha (26,72% dari luas total lahan gambut), gambut
sedang 2,327 juta ha (32,30%), gambut dalam 1,246 juta ha (17,30%); dan gambut
dibedakan menjadi gambut eutrofik adalah gambut yang subur yang kaya akan
bahan mineral dan basa-basa serta unsur hara lainnya. Gambut yang relatif subur
biasanya adalah gambut yang tipis dan dipengaruhi oleh sedimen sungai atau laut.
Mesotrofik adalah gambut yang agak subur karena memiliki kandungan mineral
Gambut oligotrofik adalah gambut yang tidak subur karena miskin mineral
dan basa-basa. Bagian kubah gambut dan gambut tebal yang jauh dari pengaruh
lumpur sungai biasanya tergolong gambut oligotrofik (Agus & Subiksa, 2008).
Menurut Agus dan Subiksa (2008) karakteristik fisik gambut yang penting dalam
pemanfaatannya untuk pertanian meliputi kadar air, berat isi (bulk density), daya
Indonesia sangat ditentukan oleh kandungan mineral, ketebalan, jenis mineral pada
Karakteristik secara biologi dapat dilihat dari perombakan bahan organic saat
ini dihasilkan gas methane dan sulfida. Setelah gambut didrainase untuk tujuan
pertanian maka kondisi gambut bagian permukaan tanah menjadi aerob, sehingga
bahan kayu sehingga banyak mengandung lignin, bakteri yang banyak ditemukan
yang paling cocok adalah gambut dangkal dengan ketebalan <60 cm dan
bahan mineral. Tanaman yang umum diusahakan dan kesesuaian lahannya cocok
dikembangkan adalah padi sawah, padi gogo, jagung, ubi kayu, ubi jalar, sayuran
(kangkung, bayam, kemangi, pakcoy, caisin, terung, cabai merah, kacang panjang,
dan lainnya), buah-buahan seperti lidah buaya, pepaya, semangka, melon, dan
dan berkembang baik pada lahan gambut dalam yang mempunyai kematangan
saprik dan hemik. Dari segi biofisik dan kimia lahan gambut dengan kematangan
saprik dan hemik tersebut cukup sesuai untuk pengembangan berbagai komoditas
Adaptasi merupakan salah satu persyaratan apabila suatu galur baru hasil
pemulian akan dilepas sebagai suatu varietas unggul. Tujuan dari seleksi adaptasi
ini adalah untuk mengetahui keunggulan dari intraksi galur terhadap lingkungan.
Seleksi adaptasi merupakan uji lapang yang perlu dilaksanakan dibeberapa
agroekologi. Melalui uji adaptasi dapat diketahui keunggulan calon varietas dan
daya adaptasinya serta dapat digunakan untuk mempelajari stabilitas calon varietas
yang di uji memiliki kemampuan adaptasi yang baik pada lahan gambut. C160
merupakan genotipe cabai rawit yang memiliki nilai berat buah pertanaman 294,76
g. C145 juga merupakan genotipe cabai rawit yang memiliki berat buah pertanaman
238,45 g. Dari penelitian tersebut dikatakan terdapat perbedaan pada berat buah
pertanaman. Perbedaan ini disebabkan oleh faktor genetik dari masing masing
genotipe. Selain itu juga masing-masing genotipe memiliki potensi hasil yang
karena lingkungan sebagai tempat tumbuh dapat dimanfaatkan secara optimal oleh
tanaman.
rawit Varietas Cakra Hijau yaitu pada peubah tinggi tanaman dan jumlah cabang
pertanaman. Selain itu perlakuan dosis abu sekam 72 g/polibag merupakan dosis
terbaik terhadap pertumbuhan generatif tanaman cabai rawit yaitu pada peubah
umur tanaman saat berbunga dan jumlah bunga pertanaman. Cabai tersebut ditanam
pada tanah rawa lebak. Simanungkalit et al. (2012) melaporkan bahwa perlakuan
pupuk kendang kotoran ayam yang ditanam pada tanah gambut memberikan hasil
terbaik dengan dosis 500 g pertanaman pada tanaman cabai rawit pada semua
peubah yaitu tinggi tanaman, berat kering tanaman, volume akar, jumlah buah dan
besaran ragam fenotipe dari suatu karakter. Hubungan ini mengambarkan seberapa
jauh fenotipe yang tampak merupakan refleksi dari genetik (Syukur et al., 2012).
efektif (Syukur et al., 2011). Jika nilai duga heritabilitas tinggi maka seleksi
dilakukan pada generasi awal karena karakter dari suatu genotip mudah diwariskan
ke keturunannya, tetapi sebaliknya jika nilai duga heritabilitas rendah maka seleksi
dilakukan pada generasi lanjut karena sulit diwariskan pada generasi selanjutnya
(Widyawati et al., 2014). Nilai heritabilitas yang tinggi dari karakter-karakter yang
karakter tersebut. Pada sifat yang memiliki heritabilitas tinggi, seleksi akan
berlangsung efektif karena pengaruh lingkungan sangat kecil sehingga faktor
genetik yang rendah tidak memberi peluang yang besar dalam memilih fenotip yang
populasi tersebut memiliki karakter yang hampir sama sehingga proses seleksi tidak
al., 2014).
2.1.10 Pupuk
hara di dalam tanah, akibat adanya proses erosi tanah, terbawa aliran air (run off)
dan diserap tanaman (Budi dan Cahyo, 2008). Pemupukan merupakan kegiatan
yang penting untuk pertumbuhan tanaman. Tanpa adanya zat hara, pertumbuhan
tanaman akan terganggu bahkan mati. Oleh karena itu pemupukan harus rutin
2.1.11Pupuk kimia
Pupuk kimia bisa dibedakan menjadi pupuk kimia tunggal dan pupuk kimia
majemuk. Pupuk kimia tunggal hanya memiliki satu macam hara, sedangkan pupuk
kimia majemuk memiliki kandungan hara lengkap. Pupuk kimia yang sering
digunakan antara lain Urea dan ZA untuk hara N (nitrogen), pupuk TSP, DSP, dan
SP-26 untuk hara P (fosfat), KCl atau MOP untuk hara K (Kalium). Sedangkan
memiliki keunggulan dibandingkan pupuk yang lain. Pupuk kimia lebih cepat
tersedia bagi tanaman dan memiliki kandungan hara yang tinggi. Pupuk kimia
umumnya diaplikasikan dalam jumlah yang relatif sedikit. Namun demikian, pupuk
kimia juga lebih mudah hilang karena pencucian (leaching), terikat oleh mineral liat
tanah, atau menguap ke udara. Untuk mengantisipasi hal tersebut saat ini juga ada
pupuk kimia lambat tersedia (slow release) (Taniwiryono dan Isroi, 2008).
Kandungan hara dalam pupuk anorganik terdiri atas unsur hara makro
utama yaitu nitrogen, fosfor, kalium, dan unsur hara makro sekunder yaitu: sulfur,
kalsium, magnesium; dan hara mikro yaitu: tembaga, seng, mangan, molibden,
boron, dan kobal. Pupuk anorganik dikelompokkan sebagai pupuk hara makro dan
pupuk hara mikro baik dalam bentuk padat maupun cair (Suriadikarta dkk., 2004).
Aboulroos dan Nielsoen (1979) dalam Gardner dkk. (1991), menyatakan bahwa
pemupukan P dapat meningkatkan hasil panen, panjang akar, kehalusan akar, dan
kerapatannya. Penggunaan pupuk kimia yang dilakukan secara terus menerus dapat
mengganggu keseimbangan hara, penipisan unsur mikro seperti Zn, Fe, Cu, Mn,
Nugraha, 2006).
2.1.12 Pupuk organik (kompos)
Pupuk organik adalah pupuk yang sebagian besar atau seluruhnya terdiri
atas bahan organik yang berasal dari sisa tanaman, kotoran hewan atau manusia
antara lain pupuk kandang, pupuk hijau dan kompos (humus) berbentuk padat atau
memperbaiki sifat fisik, kimia, dan biologis tanah sehingga dapat menjaga dan
secara berkelanjutan.
Komposisi pemberian pupuk organik ini harus merata pada tanah bagian
atas. Dan sebelum dicampur dengan pupuk, tanah harus sudah digemburkan. Pupuk
organik yang digunakan dapat berupa kotoran ternak, kotoran unggas, atau kompos.
Pupuk ini harus sudah dalam keadaan steril dan berbentuk abu. Pupuk yang tidak
berbagai manfaat sebagai berikut : memperbaiki struktur tanah yang kurang baik,
kandungan mineral dalam tanah berupa nitrogen, fosfor, kalium oksida, kalsium
organik memiliki fungsi kimia yang penting seperti : (1) penyediaan hara makro
(N, P, K, Ca, Mg, dan S) dan mikro seperti Zn, Cu, Mo, Co, B, Mn, dan Fe,
hilangnya unsur mikro pada tanah marginal atau tanah yang telah diusahakan secara
tukar kation (KTK) tanah, dan (3) dapat membentuk senyawa kompleks dengan ion
dkk., 2006).
Selain itu Isroi (2009), menambahkan manfaat dari pupuk organik adalah
peranan penting di dalam tanah. Fungsi-fungsi bahan organik tanah ini saling
berkaitan satu dengan yang lain. Sebagai contoh bahan organik tanah menyediakan
nutrisi untuk aktivitas mikroba yang juga dapat meningkatkan dekomposisi bahan
organik, meningkatkan stabilitas agregat tanah, dan meningkatkan daya pulih tanah.
Tanaman yang diberi pupuk organik cair menghasilkan fotosintat yang lebih
banyak dibandingkan dengan tanaman yang tidak diberi pupuk organik cair
(kontrol) karena tanaman dengan jumlah daun yang lebih banyak, luas daun yang
lebih luas dan tidak saling menaungi akan mempunyai kesempatan yang lebih besar
dalam memanfaatkan cahaya matahari yang ditangkap oleh daun untuk digunakan
Sumber bahan organik dapat berupa kompos, pupuk hijau, pupuk kandang,
sisa panen (jerami, tongkol jagung, daun tebu, dan sabut kelapa), limbah ternak,
limbah industri yang menggunakan bahan pertanian, dan limbah kota. Kompos
merupakan produk pembusukan dari limbah tanaman dan hewan hasil perombakan
Pemberian kompos tidak hanya memperkaya unsur hara bagi tanamn, namun juga
berperanan dalam memperbaiki struktur tanah, udara dan air dalam tanah, mengikat
unsur hara dan memberikan makanan bagi jasad renik yang ada dalam tanah
(Anonimus b, 2008).
kualitasnya daripada tanaman yang dipupuk dengan pupuk kimia, misalnya: hasil
panen lebih tahan disimpan, lebih berat, lebih segar, dan lebih enak (Taniwiryono
rhizosfer, atau bagian dalam tanaman, dan dapat memacu pertumbuhan dengan
nutrisi tanaman atau makanan dari tanah. Nutrisi tersebut harus dalam bentuk yang
dapat diserap secara cepat oleh tanaman. Sementara itu, diantara mikroorganisme
yang berperan penting bagi kesuburan tanah adalah fungi dan bakteri. Inokulan
hidup yang berfungsi untuk menambat hara tertentu atau memfasilitasi tersedianya
hara dalam tanah bagi tanaman. Pemfasilitasian tersedianya hara ini dapat
perombakan oleh fungi, actinomycetes, atau cacing tanah. Penyediaan hara ini
sedangkan non simbiotis berlangsung melalui penyerapan hara hasil pelarutan oleh
kelompok mikroba pelarut fosfat, dan hasil perombakan bahan organik oleh
digunakan dalam bentuk inokulan dapat mengandung hanyasatu strain tertentu atau
monostrain tetapi dapat pula mengandung lebih dari satu strain atau multistrain
saja, tidak dapat meningkatkan produktivitas tanaman dan ketahanan pangan. Oleh
karena itu sistem pengelolaan hara terpadu yang memadukan pemberian pupuk
dkk., 2006).
bakteri gram positif dan gram negatif yang berinteraksi dengan akar tanaman dan
adalah N & P, meskipun di dalam tanah banyak tersusun atas nutrien-nutrien, tetapi
langsung. Diatmosfer terdiri dari N2 kira-kira 80% yang berasal dari udara yang
kita hirup. Meskipun keberadaannya diudara melimpah, N merupakan nutrien yang
atmosfer. Ada beberapa mikroba yang bisa memfiksasi N2 dengan berasosiasi pada
wortel, oak, gula bit, tomat, terong, lada, kapas, gandum dan padi. Selain itu genus
tanaman
adalah banyak yang berasal dari famili Rhizobiaceae yang terdiri dari genus :
karena melibatkan nutrien yang diperlukan tanaman dalam jumlah besar untuk
dibutuhkan tanaman. Bakteri penting yang dapat mengubah P dari bentuk yang
tidak dapat dipakai tanaman menjadi bentuk yang siap pakai adalah dari genus
peningkatan 25% (Rai, 2006). Agen pendegadasi fosfor meliputi, beberapa fungi
(Rai, 2006). Banyak jamur dan bakteri (misalnya Aspergillus, Penicillium, Bacillus,
dan Pseudomonas) yang merupakan pelarut potensial dari fosfat (Rao, 1994).
P (fosfor) yang terikat oleh jerapan liat silikat tanah agar menjadi senyawa fosfat
yang tersedia dan mudah diserap oleh tanaman. Sementara itu Pseudomonas sp.
tidak bisa terurai oleh mikroba lain, termasuk didalamnya residu peptisida
(Wahyudi, 2011).
mikroorganisme tergantung pada pH tanah. Pada tanah basa atau netral yang
tanah yang asam umumnya miskin akan ion kalsium, dan karenanya fosfatnya
diendapkan dalam bentuk senyawa besi atau aluminium yang tidak mudah
dilarutkan oleh perakaran tanaman atau oleh mikroorganisme tanah (Rao, 1994).
melarutkan P yang belum bisa dimanfaatkan oleh tanaman, bakteri juga bisa
pertumbuhan pada tanaman (Rai, 2006). Selain itu Maheshwari (2011), juga
nitrogen juga dapat memproduksi zat pemacu pertumbuhan tanaman seperti IAA,
laktat yang dapat diserap oleh tanaman (Rai, 2006). Saccharomyces ellipsoideus, S.
apiculatus.
dengan cepat pada buah-buahan. Secara umum proses fermentasi alkohol terjadi