Anda di halaman 1dari 18

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Cabai Merah

Tanaman Cabai Merah (Capsicum annuum L.) adalah tanaman perdu dengan rasa

buah pedas yang disebabkan oleh kandungan capsaicin. Secara umum cabai memiliki

banyak kandungan gizi dan vitamin, diantaranya kalori, protein, lemak, kabohidarat,

kalsium, vitamin A, B1, dan vitamin C.

Usahatani cabai yang berhasil memang menjanjikan keuntungan yang menarik, tetapi

untuk mengusahakan tanaman cabai diperlukan keterampilan dan modal cukup memadai.

Untuk mengantisipasi kemungkinan kegagalan diperlukan keterampilan dalam penerapan

pengetahuan dan teknik budidaya cabai sesuai dengan daya dukung.

Masa panen cabai berkisar antara 2 - 3 bulan setelah pemanenan perdana. Lamanya

panen cabai berbeda-beda tergantung varietas cabai yang ditanam dan kondisi tanamannya.

Pemanenan cabai sebaiknya dilakukan secara serentak dalam satu hamparan dan dilakukan

pada kondisi buah cabai sudah tidak basah karena embun. Untuk menjaga kualitas buah,

tempat hasil panen buah sehat harus dipisahkan dengan tempat untuk buah sakit. Dengan

demikian tidak terjadi penularan buah sakit ke buah sehat selama pengangkutan dan

penyimpanan.

Buah cabai hasil panen setelah terkumpul selanjutnya dipilah-pilah (sortasi) antara

buah yang bagus dan cacat. Pengkelasan buah (grading) dilakukan sesuai keperluan pembeli,

1
setelah itu dikemas menurut keperluan. Pengemasan cabai untuk pasar lokal, pasar swalayan

atau rumah makan akan berbedabeda dalam pengemasannya. Misalnya dengan

menggunakan karung plastik berlubang, kardus rokok, atau plastik khusus. Pengkelasan

buah cabai dan pengemsannya untuk ekspor akan berbeda pula penanganannya

2.1.1 Klasifikasi Cabai Merah

Cabai merupakan salah satu komoditas sayuran penting yang memiliki peluang bisnis

prospektif. Aneka macam cabai yang dijual di pasar tradisional dapat digolongkan dalam

dua kelompok, yakni cabai kecil (Capsicum frustescens) dan cabai besar (Capsicum

annuum). Cabai kecil biasa disebut cabai rawit, sedangkan yang besar dinamakan cabai

merah (Rachmawati, et.al,2012).

Cabai Merah Cabai merah (Capsicum annum L.) merupakan salah satu jenis tanaman

hortikultura penting yang dibudidayakan secara komersial, hal ini disebabkan selain cabai

memiliki kandungan gizi yang cukup lengkap juga memiliki nilai ekonomis tinggi yang

banyak digunakan baik untuk konsumsi rumah tangga maupun untuk keperluan industri

makanan (Jannah,2010).

Menurut Marliah (2011) Cabai merah memberikan warna dan rasa yang dapat

membangkitkan selera makan, banyak mengandung vitamin dan dapat juga digunakan

sebagai obat-obatan, bahan campuran makanan dan peternakan.

Berikut ini merupakan klasifikasi tanaman cabai merah :

Divisio : Spermatophyta

Subdivisio : Angiospermae

2
Kelas : Dicotyledonae

Subkelas : Sympetale

Ordo : Tubiflorae

Famili : Solonaceae 5

Genus : Capsicum

Spesies : Capsicum annuum L.

(Purnamawati,2011)

2.1.2 Morfologi Cabai Merah

Bagian-bagian utama tanaman cabai meliputi bagian akar, batang, daun, bunga dan

buah. Penjelasan bagian-bagian tersebut sebagai berikut ;

1. Akar Tanaman cabai mempunyai akar tunggang yang terdiri atas akar utama (primer) dan

akar lateral (sekunder). Akar lateral mengeluarkan serabut-serabut akar yang disebut akar

tersier. Akar tersier menembus kedalaman tanah sampai 50 cm dan melebar sampai 45 cm.

Rata-rata panjang akar primer antara 35 cm sampai 50 cm dan akar lateral sekitar 35 sampai

45 cm (Pratama et al., 2017).

2. Batang Batang cabai umumnya berwarna hijau tua, berkayu, bercabang lebar dengan

jumlah cabang yang banyak. Panjang batang berkisar antara 30 cm sampai 37,5 cm dengan

diameter 1,5 cm sampai 3 cm. Jumlah cabangnya berkisar antara 7 sampai 15 per tanaman.

Panjang cabang sekitar 5 cm sampai 7 cm dengan diameter 0,5 cm sampai 1 cm. Pada

3
daerah percabangan terdapat tangkai daun. Ukuran tangkai daun ini sangat pendek yakni

hanya 2 cm sampai 5 cm (Pratama et al., 2017).

3. Daun Daun cabai merupakan daun tunggal berwarna hijau sampai hijau tua dengan helai

daun yang bervariasi bentuknya antara lain deltoid, ovate atau 7 lanceolate (IPGRI, 1995).

Daun muncul di tunas-tunas samping yang berurutan di batang utama yang tersusun sepiral

(Pratama et al., 2017).

4. Bunga Bunga cabai merupakan bunga tunggal dan muncul di bagian ujung ruas tunas,

mahkota bunga berwarna putih, kuning muda, kuning, ungu dengan dasar putih, putih

dengan dasar ungu, atau ungu tergantung dari varietas. Bunga cabai berbentuk seperti

bintang dengan kelopak seperti lonceng. Alat kelamin jantan dan betina terletak di satu

bunga sehingga tergolong bunga sempurna. Posisi bunga cabai ada yang menggantung,

horizontal, dan tegak (Pratama et al., 2017).

5. Buah Buah cabai memiliki plasenta sebagai tempat melekatnya biji. Plasenta ini terdapat

pada bagian dalam buah. Pada umumnya daging buah cabai renyah dan ada pula yang lunak.

Ukuran buah cabai beragam, mulai dari pendek sampai panjang dengan ujung tumpul atau

runcing (Pratama et al., 2017).

2.1.3. Syarat Tumbuh Tanaman Cabai Merah (Capsicum annuum L.)

Cabai merupakan tanaman yang memiliki daya adaptasi yang luas, sehingga dapat

ditanam di lahan sawah, tegalan, dataran rendah, maupun dataran tinggi (sampai ketinggian

1.300 m dpl). Tanaman cabai umumnya tumbuh optimum di dataran rendah hingga

menengah pada ketinggian 0-800 m dpl dengan suhu berkisar 20-25 0C. Pada dataran tinggi

4
(di atas 1.300 m dpl), tanaman cabai dapat tumbuh, tetapi pertumbuhanya lambat dan

produktivitasnya rendah (Amri, 2017).

Tanah yang ideal bagi pertumbuhan cabai adalah tanah yang memiliki sifat fisik

gembur, remah, dan memiliki derainase yang baik. Jenis tanah yang memiliki karakteristik

tersebut yaitu tanah andosol, regosol, dan latosol. Derajat keasaman 8 (pH) tanah yang ideal

bagi pertumbuhan cabai berkisar antara 5,5 - 6. Pertumbuhan cabai pada tanah yang

memiliki pH kurang dari 5,5 kurang optimum. Hal tersebut dikarenakan, tanah masam

memiliki kecenderungan menimbulkan keracunan unsur almunium, zat besi, dan mangan

(Alviana & Susila, 2009).

Curah hujan yang sesuai bagi pertumbuhan tanaman cabai berkisar antara 600

mm/tahun sampai 1.2500 mm/tahun. Curah hujan yang terlalu tinggi menyebabkan

kelembapan udara meningkat. Kelembapan udara yang meningkat menyebabkan tanaman

gampang terserang penyakit. Selain itu, pukulan air hujan bisa menyebabkan bunga dan

bakal buah berguguran yang berakibat pada penurunan produksi (Pratama et al., 2017).

Cabai paling ideal ditanam dengan intensitas cahaya matahari antara 60% sampai

70%. Lama penyinaran yang paling ideal bagi pertumbuhan tanaman adalah 10-12 jam

(daerah garis katulistiwa) (Djarwaningsih, 2005).

2.2 OPT Utama pada Cabai Merah

a. Hama Tanaman Tomat

Berikut ini beberapa hama yang sering menyerang tanaman cabai :

1. Ulat Tanah (Agrotis ipsilon)

5
Ulat tanah merusak tanaman yang baru ditanam atau tanaman muda. Tanda serangan

pada tanaman muda berupa gigitan larva pada pangkal batang atau sama sekali

terpotong, sehingga dapat menimbulkan kerusakan berat.

2. Kutu daun persik (Myzus persicae)

Serangan berat pada tanaman cabai muda (umur < 3 minggu) bila infestasinya tinggi

daun akan berkerut keriting, tanaman akan tumbuh kerdil, layu dan kemudian mati.

3. Trips (Thrip palmi)

Gejala serangan : Stadium Thrips yang sangat merugikan adalah stadium nimfa dan

imago. Thrips menyerang tanaman dengan jalan menggaruk permukaan daun dan bunga,

selanjutnya mengisap cairan sel tanaman. Gejala serangan pada daun akan terlihat

bercak-bercak klorosis berwarna putih keperakan pada permukaan bagian bawah daun

yang akan menyebabkan daun berkerut dan terpuntir. Bila serangan berat permukaan

daun akan berkerut atau sedikit menggulung yang di dalamnya benyak ditemukan

Thrips.

4. Kutu Daun Kapas (Aphis gossypii)

Serangan berat dapat terjadi apabila infestasi terjadi pada tanaman muda (< 3

minggu), dengan gejala daun berkerut keriting, tanaman akan tumbuh kerdil, layu dan

kemudian mati.

5. Lalat buah (Batrocera dorsalis)

Gejala serangan lalat buah pada buah cabai ditandai dengan titik hitam pada pangkal

buah, kemudian buah membusuk dan jatuh ke tanah. Hal ini disebabkan belatung

6
memakan bagian dalam dan daging buah sehingga terjadi saluran-saluran di dalam buah.

Buah yang terserang menjadi busuk, selanjutnya jatuh ke tanah

6. Ulat grayak (Spodoptera litura)

Larva makan dengan cara menyayat permukaan dau. Gejala serangan yang

ditimbulkan adalah bercak-bercak putih transparan pada daun, karena bagian daging

daun dimakan sedangkan bagian epidermis atas ditinggalkan. Ulat dewasa memakan

seluruh bagian daun dengan meninggalkan bagian tulang daunnya. Pada serangan berat

tanaman akan gundul.

7. Nematoda puru (Meloidogyne sp)

Tanda kerusakan yang tampak pada bagian tanaman di atas permukaan tanah adalah

tampak pertumbuhan yang kerdil, daun klorosis, pada cuaca panas daun-daun cepat layu

dibanding tumbuhan sehat, daun-daun banyak yang gugur, tumbuhan tampak gundul,

kadang-kadang tinggal daun pucuk.

b. Penyakit Tanaman Tomat

1. Layu Fusarium

Penyakit layu fusarium disebabkan oleh serangan jamur Fusarium oxysporum.

Jamur ini awalnya menyerang dari akar kemudian berkembang ke lewat jaringan

pembuluh. Tanaman tomat yang terkena penyakit ini akan berubah menjadi layu dan

mati.

2. Busuk daun

Penyakit busuk daun disebabkan oleh jamur Phytophthora infestans. Gejala

serangan pada daun terjadi bercak coklat hingga hitam. Awalnya menyerang ujung dan

7
sisi daun, kemudian meluas ke seluruh permukaan daun hingga ke tangkai daun.

Tanaman yang terserang penyakit ini harus segera dicabut dan dibakar, jangan di kubur.

3. Anthracnose buah.

Gejala awalnya adalah kulit buah akan tampak mengkilap, selanjutnya akan timbul

bercak hitam yang kemudian meluas dan akhirnya membusuk. Untuk pengendaliannya

semprot dengan fungisida Kocide 54 WDG dengan konsentrasi 1 sampai 2 g / l air

bergantian dengan fungisida Victory 80wp dengan konsentrasi 1 – 2 g / liter air.

4. Busuk Phytopthora

Gejalanya adalah bagian tanaman yang terserang terdapat bercak coklat kehitaman

dan lama kelamaan membusuk. Penyakit ini dapat menyerang tanaman cabe pada

bagian daun, batang maupun buah. Pengendaliannya adalah dengan menyemprot

fungisida Kocide 77 wp dengan dosis 1,5 – 3 kg / Ha bergantian dengan fungisida

Victory 80WP konsentarsi 2 sampai 4 gram / liter dicampur dengan fungisida sistemik

Starmyl 25 wp dengan dosis 0,8 – 1 g / liter.

5. Rebah semai ( dumping off ) .

Penyakit ini biasanya menyerang tanaman saat dipersemaian. Jamur penyebabnya

adalah Phytium sp. Untuk tindakan pencegahan dapat dilakukan perlakuan benih

dengan Saromyl 35SD dan menyemprot fungisida sistemik Starmyl 25WP saat

dipersemaian dan saat pindah tanam dengan konsentrasi 0,5 sampai 1 gram / liter..

6. Penyakit bercak daun cabe

Disebabkan oleh cendawan Cercospora capsici. Gejalanya berupa bercak bercincin,

berwarna putih pada tengahnya dan coklat kehitaman pada tepinya. Pencegahannya

8
dapat dilakukan dengan menyemprot fungisida Kocide 54WDG konsentrasi 1,5 sampai

3 gram / liter bergantian dengan fungisida Victory 80WP konsentrasi 2 sampai 4 gram /

liter dengan interval 7 hari.

7. Mozaik virus.

Saat ini belum ada pestisida yang mampu mengendalikan penyakit mozaik virus ini.

Dan sebagai tindakan pencegahan dapat dilakukan pengendalian terhadap hewan

pembawa virus tersebut yaitu aphids.

2.3 Pengendalian Hama Terpadu

Hama dan penyakit tanaman – adalah semua jenis organism pengganggu tanaman

yang dapat menimbulkan kerusakan fisik yang dianggap merugikan dan tidak diinginkan

kehahadirannya dalam budidaya tanaman.

Hama adalah organism pengganggu tanaman yang kasat mata yaitu serangga atau

hewan (kutu, belalang, wereng, ulat, burung, dsb). Sedangkan penyakit adalah organism

pengganggu tanaman yang tidak kasat mata (jamur, bakteri dan virus).

Untuk mencegah kerugian atau melindungi tanman dari gangguan hama dan

penyakit diperlukan tindakan secara tepat dan benar. Konsep pengendalian hama dan
9
penyakit tersebut harus sehat dan ramah lingkungan yang dikenal sebagai sitem

Pengendalian Hama Terpadu (PHT). Pengendalian Hama Terpadu (PHT) – adalah suatu

konsep atau cara berpikir dalam upaya pengendalian yang dipadukan dalam satu-

kesatuan utuk mencegah kerusakan tanaman dan timbulnya kerugian secara ekonomi

serta mencegah kerusakan lingkungan dan ekosistem.

2.3.1 Komponen Penerapan Pengendalian Hama Terpadu

Adapun komponen pengendalian PHT yang bisa dilakukan, sbb :

1. Pengendalian secara fisik – upaya mengubah atau memanfaatkan faktor lingkungan

sehingga dapat menurunkan populasi hama dan penyakit (pemanasan, pembakaran,

pendinginan, pembasahan, pengeringan, lampu perangkap, infra merah, gelombang

suara, dan penghalang/pagar/barier).

2. Pengendalian secara mekanik – pengendalian yang dilakukan secara manual oleh

manusia/petani – teknologi sederhana – perlu tenaga kerja banyak – waktu lama –

efektifitas dan efisiensi rendah tetapi tidak berpengaruh negative terhadap lingkungan

(pengumpulan hama, rogesan, memangkas cabang, rampasan, gropyokan, pemasangan

perangkap hama dan pembungkusan buah).

3. Pengendalian kultur teknik – pengendalian hama dan penyakit melalui sitem

bercocok tanam.

4. Pengendalian dengan varietas yang tahan – mengurangi piopuilasi serangan dan

tingkat kerusakan tanaman.

5. Pengendalian secara hayati – pengendalian dengn memanfaatkan musuh alami atau

agensi hayati, yaitu : predator, parasitoid maupun pathogen hama.

10
6. Pengendalian dengan peraturan/regulasi/karantina – pencegahan penyebaran hama

penyakit melalui perpindahan dan penularan organisme pengganggu melalui kebijakan

perundang-undangan yang ditetapkan oleh pemerintah.

2.4 Pengertian Agen Hayati

Pengendalian hayati adalah pengendalian serangga hama dengan cara biologi, yaitu

dengan memanfaatkan musuh-musuh alaminya (agen pengendali biologi), seperti

predator, parasit dan patogen. Pengendalian hayati adalah suatu teknik pengelolaan hama

dengan sengaja dengan memanfaatkan/memanipulasikan

musuh  alami  untuk  kepentingan pengendalian, biasanya pengendalian hayati akan

dilakukan perbanyakan musuh alami yang dilakukan dilaboratorium.

Sedangkan  pengendalian alami merupakan proses pengendalian yang berjalan sendiri

tanpa campur tangan manusia, tidak ada proses perbanyakan musuh alami

(Sunarno  2018).

Lebih lanjut dikatakan bahwa pengendalian hayati  dalam pengertian ekologi

didifinisikan sebagai pengaturan populasi organisme dengan musuh-musuh alam hingga

kepadatan populasi organisme tersebut berada dibawah rata-ratanya dibandingkan bila

tanpa pengendalian.

Pengendalian hayati dalam bidang hama dan penyakit tanaman sudah dirintis sejak

lama. Beberapa aspek yang terkait dalam pengendalian sistem terpadu seperti

penggunaan agen predator, antagonist, parasit, patogen, virus, pemakaian materi organik,

penggunaan tanaman unggul, pembentukan tanaman resisten, imunisasi dengan

penggunaan pathogen yang tidak ganas (hyphovirulent), penggunaan bahan kimia


11
selektif, penggunaan senyawa sida bahan alam, pengaturan kondisi fisik seperti

pengaturan pH, penanaman bergilir (rotasi) dan pengeringan (Raizada et al., 2001).

Pengendalian hayati sangat dilatarbelakangi oleh berbagai pengetahuan dasar

ekologi terutama teori tentang pengaturan populasi oleh pengendali alami dan

keseimbangan ekosistem (Heviyanti, 2016). Lebih lanjut dikatakan bahwa musuh alami

yang terdiri atas parasitoid, predator dan patogen merupakan pengendali alami utama

hama yang bekerja secara "terkait kepadatan populasi" sehingga tidak dapat dilepaskan

dari kehidupan dan perkembangbiakan hama. Adanya populasi hama yang meningkat

sehingga mengakibatkan kerugian ekonomi bagi petani disebabkan karena keadaan

lingkungan yang kurang memberi kesempatan bagi musuh alami untuk menjalankan

fungsi alaminya. Apabila musuh alami kita berikan kesempatan berfungsi antara lain

dengan introduksi musuh alami, memperbanyak dan melepaskannya, serta mengurangi

berbagai dampak negatif terhadap musuh alami, musuh alami dapat melaksanakan

fungsinya dengan baik.

Keberhasilan pengendalian hayati memang sukar untuk diduga dan dianalisis secara

tepat karena kerumitan dan dinamika agroekosistem. Predator dan parasitoid mempunyai

banyak kelebihan dan kelemahan. Oleh karena itu, untuk meningkatkan keberhasilan

pengendalian hayati kedua agens tersebut harus dimanfaatkan secara optimum

berdasarkan pada informasi dasar yang mencukupi tentang berbagai aspek biologi dan

ekologi kedua kelompok agensi pengendalian hayati tersebut.

2.4.1 Strategi Pengendalian Hayati

12
Teknik pengendalian hayati dengan menggunakan parasitoid dan predator yang

dilakukan sampai saat ini dapat dikelompokkan dalam 3 kategori yaitu, Konservasi,

Introduksi, dan Augmentasi. Meskipun ketiga teknik pengendalian hayati tersebut

berbeda tetapi dalam pelaksanaanya sering digunakan secara bersama. Menurut

Rukmana. dan sugandi, (2002). Musuh alami mempunyai andil yang sangat besar dalam

pembangunan pertanian berwawasan lingkungan karena daya kendali terhadap hama

cukup tinggi dan tidak menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan. Oleh karena

itu, keberadaan musuh alami perlu dijaga.  

2.5 Morfologi Trichoderma sp.

Trichoderma sp. telah lama dikenal sebagai agensia hayati untuk mengendalikan

penyakit tanaman dan membantu meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan akar,

produktifitas tanaman, resistensi terhadap stress abiotik serta penyerapan dan

pemanfaatan nutrisi (Harman, 2000; Harman et al., 2004). Trichoderma sp. adalah

cendawan antagonis yang digunakan dalam pengendalian beberapa patogen tular tanah

seperti Fusarium oxysforum f.sp. lycopercii (FOL) (Ambar, 2013), Sclerotium,

Rhizoctonia (Papavizas, 1985), dan Aspergillus flavus karena selain mempunyai daya

kompetisi yang tinggi, 10 memiliki daya tahan hidup lama dan Trichoderma sp. juga

bersifat sebagai mikoparasit pada hifa dan tubuh patogen tumbuhan.

Sistematika Trichoderma sp. menurut Alexopoulus dan Mims (1979) sebagai

berikut:

Diviso : Amastigomycota

Kelas : Deuteromycetes
13
Ordo : Monilialles

Family : Moniliaceae

Genus : Trichoderma

Spesies : Trichoderma sp.

Umumnya Trichoderma sp. hidup pada daerah yang agak lembab, sedangkan pada

kondisi tanah yang kering populasi Trichoderma sp. akan menurun setelah

14
beberapa waktu yang cukup lama. Jamur ini juga menyukai kondisi tanah yang asam

dan termasuk peka terhadap sinar atau cahaya langsung. Biakan Trichoderma sp. yang

telah diinkubasi selama 4 hari diamati secara makroskopis dan secara mikroskopis seperti

ditunjukkan pada Gambar 1.

Gambar 2.1 : Trichoderma sp. (A. Konidiat Trichoderma. sp., B. Biakan Trichoderma sp.

Sumber : Google)

Koloni Trichoderma sp. pada media agar pada awalnya terlihat berwarna putih

selanjutnya miselium akan berubah menjadi kehijau-hijauan lalu terlihat sebagian besar

berwarna hijau ada di tengah koloni dikelilingi miselium yang masih berwarna putih dan

pada akhirnya seluruh medium akan berwarna hijau (Umrah, 1995). Penampakan secara

mikroskopis isolat ini bewarna hijau, tangkai fialid pendek, konidia berwarna hijau muda.

Trichoderma sp. memiliki konidia bercabang-cabang teratur, bersel satu, dalam kelompok

kelompok kecil terminal, kelompok konidium berwarna hijau biru.

15
Upaya pengendalian alternatif yang mempunyai potensi untuk mengurangi

penggunaan pestisida kimiawi adalah penggunaan m-ikroorganisme antagonis

Trichoderma sp. Antagonis Trichoderma sp. termasuk fungi endofitik yang

penggunaannya pun dapat lebih praktis dalam bentuk sediaan tablet (Umrah dan Rosmini,

2004). Spora dari Trichoderma sp. ditumbuhkan pada media PDA sehingga diperoleh

biakan murni. Selanjutnya diperbanyak pada media seperti pupuk kandang, dedak, beras

atau jagung. Dalam penelitian ini, media yang digunakan dalam perbanyakan

Trichoderma sp. adalah pupuk kandang. Dalam hal ini pupuk kandang berperan sebagai

carrier (media pembawa). Selain itu, perbanyakan Trichoderma sp. menggunakan media

pupuk kandang sebagai carrier bertujuan untuk menambah nilai ekonomis dan nilai jual

Trichoderma sp. di pasaran. Pupuk kandang ber-Trichoderma sp. lebih praktis dijual, lebih

mudah diperbanyak dan lebih mudah di inokulasi ke tanaman.

2.5.1 Mekanisme Trichoderma sp.

Trichoderma sp. adalah jenis jamur yang tersebar luas di tanah dan mempunyai sifat

mikoparasitik. Menurut Istikorini (2002 dalam Gultom, 2008), mekanisme antagonisme

jamur Trichoderma sp. meliputi (a) kompetisi nutrisi atau sesuatu yang lain dalam jumlah

terbatas tetapi tidak diperlukan oleh OPT, (b) antibiosis sebagai hasil dari pelepasan

antibiotika atau senyawa kimia yang lain oleh mikroorganisme dan berbahaya bagi OPT,

dan (c) predasi, hiperparasitisme, dan mikroparasitisme. Sedangkan menurut Trianto et al.

(2013) mekanisme antagonis yang dilakukan adalah berupa persaingan hidup, parasitisme,

antibiosis dan lisis. Akan tetapi dari ketiga pendapat tersebut mekanisme pengendalian

16
penyakit yang paling banyak dipelajari ialah antagonisme termasuk antibiosis,

mikoparasitisme, dan kompetisi (Cook & Baker, 1983).

2.5.2 Manfaat Trichoderma sp.

Trichoderma sp. berperan dalam perbaikan lingkungan khususnya media tumbuh

tanaman yang berdampak positif pada pertumbuhan tanaman serta sistem perakaran

tanaman dimana keduanya memiliki peran dalam peningkatan laju fotosintesis tanaman.

Koloni Trichoderma sp. dapat masuk ke lapisan epidermis akar yang kemudian

menghasilkan atau melepaskan berbagai zat yang dapat merangsang pembentukan sistem

pertahanan tubuh di dalam tanaman sehingga jelas bahwa jamur ini tidak bersifat patogen

atau parasit bagi tanaman inangnya (Novandini, 2007). Hasil penelitian menunjukkan

bahwa tanaman yang terdapat koloni Trichoderma sp. pada permukaan akarnya hanya

membutuhkan kurang dari 40% pupuk nitrogen dibandingkan dengan akar yang tanpa

koloni (Novandini, 2007).

Penambahan Trichoderma sp. dalam media tanam selain berfungsi sebagai agensia

pengendali penyakit Fusarium pada tanaman, ternyata juga berperan dalam proses

penguraian bahan organik didalam tanah. Affandi et al. (2001) yang menyatakan bahwa

Trichoderma sp. memainkan peran kunci dalam proses dekomposisi senyawa organik

terutama dalam kemampuannya mendegradasi senyawa-senyawa yang sulit terdegradasi

seperti lignosellulose. Berdasarkan uraian di atas dapat dilihat bahwa perbaikan tanah

Ultisol dapat dilakukan dengan menamba hkan bahan organik ke dalam tanah. Untuk

mempercepat penguraian bahan organik tersebut perlu diberikan Trichoderma sp. sehingga

dapat menyediakan unsur hara pada saat dibutuhkan tanaman, sehingga dapat

meningkatkan pertumbuhan dan hasil tanaman.

17
Menurut Hanafiah (2005), jumlah total mikrobia dalam tanah digunakan sebagai

indeks kesuburan tanah tanpa mempertimbangkan hal-hal lain, karena pada tanah yang

subur jumlah mikrobianya tinggi. Pemberian Trichoderma sp. dengan dosis tertentu ke

dalam tanah bertujuan meningkatkan jumlah total mikrobia dalam tanah. Diharapkan

dengan meningkatnya jumlah mikrobia ini kecepatan perombakan bahan organik dalam

tanah tersebut meningkat. Selanjutnya keuntungan menggunakan Trichoderma sp. yang

berpotensi sebagai agen hayati adalah pertumbuhannya cepat, mudah dikulturkan dalam

biakan maupun kondisi alami.

18

Anda mungkin juga menyukai