Anda di halaman 1dari 12

I.

TINJAUAN PUSTAKA

A. Bawang Merah

Bawang merah adalah tanaman semusim dan memiliki umbi yang berlapis. Menurut Rahayu

dan Berlian, (1999) tanaman bawang merah dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

Kingdom : Plantae

Divisio : Spermatophyta

Subdiviso : Angiospermae

Kelas : Monocotyledonae

Ordo : Liliales

Famili : Liliaceae

Genus : Alium

Spesies : Alium ascolonicum L.

Tanaman bawang merah memiliki batang sejati (discus) yang berada pada dasar umbi

bawang merah, yang berfungsi sebagai tempat melekatnya perakaran dan mata tunas. Pangkal

daun akan bersatu dan membentuk batang semu. Pada tanaman bawang merah yang terlihat seperti

batang, sebenarnya batang semu yang akan berubah bentuk dan fungsinya sebagai umbi lapis

(Sinclair, 1998 cit. Saragih, 2015).

Bawang merah merupakan tanaman yang tumbuh tegak dengan tinggi mencapai 15-50 cm,

membentuk rumpun dan termasuk tanaman semusim. Prakarannya berupa akar serabut yng tidak

panjang dan tidak terlalu dalam tertanam dalam tanah (Wibowo, 2001 cit. Prayitno, 2015).

Bentuk daun bawang merah bulat kecil dan memanjang seperti pipa, tetapi ada yang

membentuk seengah lingkaran pada penampang melintang daun. Bagian ujung daun meruncing,

sedangkan bagian bawahnya melebar. Daun berwarna hijau (Estu et al., 2007 cit. Prayitno, 2015).
Kelopak daun sebelah luar selalu melingkar menutup kelopak daun bagian dalam. Beberapa

helai kelopak daun terluar (2-3) helai tipis dan mengering. Pembengkakan kelopak daun pada

bagian dasar akan terliat mengembung, membentuk umbi yang merupakan umbi lapis. Bagian

yang membengkak ini berisi cadangan makanan bagi tunas yang akan menjadi tanaman baru

(Wibowo, 2001 cit. Prayitno, 2015).

Bagian pangkal umbi membentuk cakram yang merupakan batang pokok yang tidak

sempurna. Dari bagian bahwa cakram tumbuh akar - akar serabut. Di bagian atas cakram terdapat

mata tunas yang dapat menjadi tanaman baru. Tunas ini dinamakan tunas lateral, yng akan

membentuk ckram baru dan kemudian dapat membentuk umbi lapis kembali (Estu et al,. 2007 cit.

Prayitno, 2015).

Bunga bawang merah merupakan bunga sempurna yang umumnya terdiri dari 5 - 6 helai

benang sari, debuah putik, dengan daun bunga yang berwarna putih. Tiap rangkaian (tandan bunga)

mengandung 50 - 200 kuntum bunga. Sebagaimana daunnya tangkai bunga itu pun merupkan pipa

yang berlubang di dalamnya (Firmanto, 2011 cit. Saragih, 2015).

Biji berwarna hitam, berbentuk tidak beraturan, dan berukuran agak kecil, sekitar 250 biji

tiap gramnya. Biji memiliki daya tumbuh yang cepat, kecuali jika biji disimpan dalam kondisi

optimum, suhu 0o C dan RH rendah. Biji bawang merah matang sekitar 45 hari setelah bunga

mekar (Rubatzky dan Yamaguchi, 1998 cit. Saragih, 2015).

B. Syarat Tumbuh Bawang Merah

a. Iklim

Tanaman bawang merah menyukai daerah yang beriklim kering. Dalam pertumbuhannya

bawang merah tidak tahan kekeringan karena akarnya yang pendek. Tanaman bawang merah
dapat ditanaman didataran rendah sampai dataran tinggi (0-900 mdpl) pada suhu 25-32oC,

dengan curah hujan 300-2500 mm/tahun (Estu et al., 2007). Menurut Wibowo, (2009) Bawang

merah juga termasuk tanaman yang menginginkan tempat yang beriklim kering dengan suhu

hangat serta mendapat sinar matahari lebih dari 12 jam.

b. Tanah

Tanaman bawang merah memerlukan tanah bertekstur remah, tekstur sedang sampai liat,

mengandung bahan organik yang cukup, dan pada pH tanah netral (5,6 – 6,5). Pada tanah asam

(pH kurang dari 5,5) garam alumunium (Al) yang terlarut dalam tanah tanah akan bersifat racun,

sehingga tanaman bawang merah tumbuh kerdil, sedangkan tanah basa (pH lebih tinggi dari

6,5). Pada tanah gambut (pHnya lebih rendah dari 4), tanaman bawang merah juga memerlukan

pengapuran terlebih dahulu supaya umbinya tmbuh membesar (Firmanto, 2011).

Tanah lembab dengan air yang tidak menggenang disukai oleh tanaman bawang merah.

Tanah yang cocok untuk tanaman bawang merah tanah Aluvial atau latosol dan memerlukan

drainase dan airasi yang baik (Tim Prima Tani, 2011).

C. Budidaya Bawang Merah

a. Pemilihan Varietas

Penggunaan Varietas bermutu merupakan syarat mutlak dalam budidaya bawang merah.

Varietas bawang merah yang dapat digunakan adalah Bima, Brebes, Ampenan, Medan, Keling,

Maja Cipanas, Sumenep, Kuning, Timor, Lampung, Banteng dan varietas lokal lainnya.

Tanaman biasanya dipanen cukup tua antara 60 -80 hari, telah diseleksi dilapangan dan

ditempat penyimpanan. Umbi yang digunakan untuk benih adalah berukuran sedang,

berdiameter 1,5 - 2 cm dengan bentuk simetris dan telah disimpan 2-4 bulan, warna umbi untuk

lebih mengkilap, bebas dari organisme penganggu tanaman.


b. Umbi Bibit

Umbi yang baik untuk bibit harus harus berasal dari tanaman yang sudah cukup tua

umurnya, sekitar 70-80 hari setelah tanam. Umbi untuk bibit sebaikya berukuran sedang ( 5- 10

g), penampilan sehat, segar, bernas (padat dan tidak keriput), dan mempunyai warna cerah.

Umbi bibit apabila telah disimpan selama 2 – 4 bulan sejak panen bibit sudah siap ditanam.

Cara penyimpanan umbi bibit yang baik adalah dalam bentuk ikatan di atas dapur atau di

gudang khusus dengan pengasapan (Sutarya dan Grubben, 1995).

c. Jarak tanam

Pada dasarnya jarak tanam harus disesuaikan dengan kondisi lahan dan unsur hara yang

terkandung didalam tanah. Pertumbuhan dan hasil tanaman dapat dioptimalkan dengan

pengaturan kerapatan tanam, dan kerapatan tanam ditentukan oleh jarak tanam.

Penentuan jarak tanam memiliki pengaruh terhadap pertumbuhan yang cendrung melaju

cepat apabila ruang dan hara tanaman tersedia cukup dan akan menurun bila kedua faktor

tersebut berkurang (Resosoedomo et al.,1986).

Di aceh barat daya, hasil penelitian Nazhira, (2014), jarak tanam 20 cm x 20 cm dengan 3

umbi per lubang tanam, memberikan hasil bawang merah terbaik pada parameter jumlah anakan

umur 45 hst, bobot berangkasan basah per plot, bobot berangkasan kering per plot, dan bobot

umbi per rumpun, jumlah daun tanaman umur 15, 30, dan 45 hst, jumlah umbi per rumpun, dan

bobot berangasan basah per plot dibandingkan jarak tanam 20 cm x 20 cm dan 20 cm x 15 cm.

Pada jarak 10 cm x 10 cm meningkatkan bobot basah umbi per plot, dan bobot kering umbi

per plot dibandingkan pada jarak tanam 10 cm x 15 dan 10 cm x 20 cm Sitepu et al., (2013).

Menanam dengan jarak tanam yang terlalu jarang memberikan sinar matahari dan

kebutuhan undur hara yang merata, serta mempermudah dalam penyiangan dan pembumbunan,
tetapi kelemahannya hasil yang diperoleh lebih sedikit dan rumpu mudah dengan cepat tumbuh.

Menanam dengan jarak tanam yang sempit meningkatkan populasi tanaman, den kelemahannya

persaingan akan kebutuhan undur hara dan cahaya matahari makin besar, pertumbuhan lambat

dan pemeliharaan lebih sulit (Sahid, 1989).

d. Pengolahan tanah

Pengolahan tanah dilakukan pada saat tidak hujan 2 - 4 minggu sebelum tanam, untuk

menggemburkan tanah dan memberik sirkulasi udara dalam tanah. Tanah dicangkul sedalam

40 cm. Budidaya dilakukan pada bedengan yang telah disiapkan dengan lebar 100-200 cm, dan

panjang sesuai kebutuhan. Jarak antara bedengan 20-40 cm.

Bawang merah selain dapat dibudidayakan di lahan, dapat juga dibudidayakan dalam

polibag. Media tanam yang baik untuk pertumbuhan tanaman bawang merah adalah bertekstur

sedang sampai liat, bertekstur gembur. Mengandung bahan organik yang cukup, dengan pH

tanah 5,6 – 6,5. Penanaman menggunakan polybag bisa menggnakan ukuran 30 cm x 30 cm

dengan 3 umbi petanaman atau pula polybag 25 cm x 25 cm dengan 1 umbi pertanaman

(Sugiartini et al.,2016).

e. Penanaman dan Pemupukan

Penanaman dilakukan pada akhir musim hujan, dengan jarak tanam 10-20 cm x 20 cm.

Cara penanamannya; kulit pembalut umbi dikupas terlebih dahulu dan dipisahkan siung-

siungnya. Untuk mempercepat keluarnya tunas, sebelum ditanam bibit tersebut dipotong

ujungnya hingga 1/3 bagian. Bibit ditanam berdiri diatas bedengan sampai permukaan irisan

tertutup oleh lapisan tanah yang tipis.


f. Pemeliharaan

Pemeliharaan meliputi penyiraman, penggemburan tanah dan penyiangan. Bibit disiram

satu hingga dua kali sehari sesuai dengan keadaan kelembapan tanah. Penyiraman dilakukan

dengan prinsip agar tanah selalu lembab sampai umur 50 hari. Agar taah tidak mengeras maka

tanah perlu digemburkan dengan cara dicangkul di daerah sekitar tanaman. Penggemburan

sekaligus bertujuan untuk menyiangi gulma.

g. Pengendalian Hama dan Penyakit

Pengendalian penyakit merupakan kegiatan rutin yang dilakukan petani bawang merah.

Umumnya kegiatan ini dilakukan pada minggu ke 2 setelah tanam, dan terakhir pada minggu

ke 8 dengan interval 2-3 hari (Hidayat, 2004).

Hama dan penyakit yang menyerang bawang merah antara lain ulat bawang, ulat bawang,

Trips, bercak ungu, busuk umbi Fusarium dan busuk putih Sclerotum, busuk daun dan virus

(Hidayat, 2004).

Pengendalian hama dan penyakit yang tidak tepat, dapat menimbulkan masalah yang serius

(kesehatan, pemborosan, resistensi hama penyakit, residu pestisida dan pencemaran

lingkungan). Pencampuran 2-3 jenis pestisida, dosis yang tidak tepat dan spayer yang tidak

standar juga menimbulkan masalah yang serius juga. Salah satu cara yang dianjurkan untuk

mengurangi jumlah pestisida adalah dengan tidak mencampurkan beberapa jenis pestisida,

memakai konsentrasi sesuai rekomendasi dan memakai spayer (nozzel) standar dengan tekanan

pompa yang cukup. Flat nozzel (spayer kipas) yang pernah dicoba di Kabupaten Berebes dapat

menghemat volume aplikasi pestisida sampai 60% (Hidayat, 2004)


h. Pemanenan

Tanaman bawang dapat dipanen pada umur 55 – 60 hari setalah tanam. Pemanenan dapat

dilakukan jika 70% tanaman telah memiliki ciri-ciri daun berwarna hijau kekuningan dan

tangkai batangnya mengeras. Cara memanen bawang merah adalah dengan mencabut semua

bagian tanaman dengan manual (tangan). Beberapa tanaman bawang merahyang telah dicabut

kemudian diikat menjadi satu bagian daunnya (Gayatri, 2014).

D. Biologi Spodoptera exigua

Spodoptera exigua dapat diklasfikasikan sebagai berikut :

Filum : Arthronpoda

Kelas : Insecta

Ordo : Lepidoptera

Famili : Noctuidae

Genus : Spodoptera

Species : Spodoptera exigua Hubner. (Sudarmo 1987 cit. Ameilia & Yolanda, 2017).

Siklus hidup Spodoptera exigua menurut Franssen (1930) cit. Rauf (1999), menunjukkan

bahwa bahwa telur Spodoptera exigua diletakkan dalam bentuk kelompok dengan ukuran beragam

yang setiap kelompoknya terdiri dari 20 hingga 100 butir. Lama stadium telur berlangsung 2 hari

di dataran rendah, sedangkan di dataran tinggi 3 hari. Setelah menetas dari telur, larva segera

menggerak ke dalam daun dan tinggal dalam rongga daun. Stadium larva berlangsung 9-14 hari

lalu berkepompong dalam tanah dengan stadium pupa barlangsung rata-rata 8 hari. Telur menetas

menjadi larva, berkepompong, lalu menjadi imago dalam waktu kurang lebih 23 hari Rahayu (2004)

Cit. Fauzi (2014).


Larva yang ditemukan di Indonesia umumnya berwarna hijau atau hijau kecoklatan dengan

garis kuning. Panjang larva sekitar 2,5 cm berbentuk bulat panjang dengan variasai warna hujau,

coklat muda, dan hitam kecoklatan. Larva hudup berkelompok serah baru menetas, dan akan hidup

sendiri tidak lagi berkelompok (Kalshoven, 1981).

Menurut Rahayu (2004) imago bertelur pada malam hari dan telurnya di letakkan

berkelompok pada permukaan daun bawang merah. Imago memiliki sayap yang berwarna kelam,

berwarna abu-abu cerah pada sayap belakang.

Pupa Spodoptera exigua berwarna coklat muda, saat menjadi imago menjadi coklat

kehitaman. Stadium pupa berkisar antara 4 sampai 8 hari tergantung dari tempat ketinggian.

Panjang pupa antara 9 sampai 12 mm. Pupa juga berada di dalam tanah pada kedalaman kurang

lebih 10 cm dan sarang pupa terbuat dari pasir dan partikel tanah yang disatukan pada cairan yang

keluar dari mulit yang mengeras ketika kering (Rahayu, 2004).

Ulat Spodoptera exigua menyerang daun dengan menggerak ujung pinggiran daun, terutama

yang masih muda. Ulat daun bawang merah melubangi ujung daun alu masuk ke dalam daun

bawang, akibatnya ujug daun terlihat seperti terpotong. Serangan ulat ini mengakibarkan daun

bawag terlihat menerawang tembus cahaya atau ada bercak putih sehingga daun jatuh terkulai

Wibowo. (2004) Cit. Fauzi. (2014).

E. Deskripsi Pestisida Nabati Tanaman Cengkeh

1. Sistematika tumbuhan (taksonomi) Cengkeh diklasifikasikan sebagai berikut

Divisi : Spermatophyta

Sub Divisi : Angiospermae

Kelas : Dicotyledoneae

Sub Kelas : Monochlamydae


Bangsa : Caryophylalles

Famili : Myrtaceae

Spesies : Syzygium Aromaticum L. (Bulan, 2004)

2. Minyak Cengkeh

Kadar minyak cengkeh yang diproleh dengan cara destilasi uap dari daun cegkeh yang

sudah tua atau telah gugur memiliki kadar minyak sebanyak 5-6 %, tergantung dari jenis,

umur, dan tempat tumbuh tanaman cengkeh (Bulan, 2004). Minyak cengkeh memiliki

komponen utama yaitu eugenol sekitar 70-90 % yang merupakan cairan tak berwarna atau

kuning pucat, jika terkena matahari berubah menjadi hitam kecoklatan yang berbau wangi dan

pedas.

Minyak cengkeh banyak dilaporkan berpotensi sebagai fungisida maupun insektisida.

Cengkeh mengandung minyak atsiri terdiri dari eugenol, asetil eugenol dan kariofilen yang

diketahui memiliki aktivitas anti jamur terhadap Fusarium oxysporum. Menurut Karlina et al,.

(2016), pengujian antijamur secara in vitro menunjukkan aktivitas daun cengkeh dapat

menghmbat pertumbuhan jamur Fusarium oxysporum. Sedangkan menurut Campanello et al.,

(2010) pada dosis 150 ml/l air, ekstrak eugenol dapat menghambat pertumbuhan koloni

Fusarium oxysporum pada kultur in-vitro hingga 100%. Pada hama dalam penelitian Kim et

al.,(2003) cit. Yuslinawati, (2014), pengujian terhadap Sitophilus sp menunjukkan efektivitas

minyak cengkeh yang cukup baik, yakni sebesar 93% pada hari ke-4 setelah perlakuan.

Minyak cengkeh juga efektif dalam mengendalikan ulat bawang Spodoptera litura dengan

menggunakan kosentrasi 10 ml/l air yang dibuktikan dengan nilai efikasi ≥50% (Atmadja,

2011 cit. Yuslinawati 2014). Cengkeh yang memiliki senyawa eugenol dapat membunuh ulat

bulu gempinis pada konsentrsi 10% memberikan persentase kematian paling tinggi 100%
(Astuthi et al. 2012). Pada peneitian Fitria, (2016) bahwa minyak atsiri cengkah yang

disemprotkan langsung, mampu membunuh ulat Spodoptera exigua pada kosentrasi 2,5%

setelah 24 jam diberi perlakuan.

Senyawa eugenol dari minyak cengkeh membuat ulat mengalami perubahan warna yang

mulai memudar, gelap sampai kehitaman lalu mati. Hal tersebut membuat tubuh ulat bawang

menghitam seperti terbakar, karena tubuh ulat tidak kuat menahan panas yang dihasilkan oleh

senyawa eugenol dari minyak atsiri daun cengkeh. Selain itu aroma khas menyengat kuat juga

dapat menjadikan ulat Spodoptera exiguan ini keracunan yang ditandai dengan gerakan ulat

yang lamban dan akhirnya mati (Fitria, 2016).

Menurut Astuthi et al. (2012), cengkeh juga dapat bersifat membius dan toksik terhadap

ulat bulu, dengan adanya zat bioaktif yang dapat berfungsi sebagai pestisida nabati yang

dikandung oleh tanaman cengkeh akan menyebabkan aktivitas ulat bulu terhambat, ditandai

dengan gerakannya yang lambat, tidak memberikan respon gerak jika disentuh, nafsu makan

berkurang dan akhirnya mati.

3. Penyulingan cengkeh

Beberapa alat produksi yang diperlukan dalam proses pengolahan minyak cengkeh adalah

katel, tungku, dan kondensor. Proses penyulingan cengkeh dilakukan dengan metode

penyulingan dengan uap air, dimana katel perebusnya terpisah dari katel pemasak. Katel

dimodifikasi dengan penambahan jalur api sehingga pemasakan air lebih cepat. Kapasitas

katel pemasak untuk daun cengkeh sebesar 800 kg, dimana ukuran katel yang berdiameter

150 cm dengan tinggi maksimal air 125 cm mampu menghasilkan volume air sebanyak 447,86

L air.
Kondensor berupa kolam yang didalamnya terendam pipa dengan bentuk spiral atau pipa

baja yang dibentuk melingkar. Kolam pendingin terdiri dari dua buah kolam yang berdekatan

agar pipa yang digunakan tidak terlalu panjang. Diperlukan berupa 4 buah drum plastik

berukuran 200 L untuk menmpung minyak cengkeh, proses penyulingan berlangsung dengan

waktu 6 sampai 8 jam dalam satu hari dapat dilakukan 2 kali penyulingan per katel. Proses

penyulingan dengan memanaskan bahan baku dan air yang dimasukkan dalam katel yang

kemudian dipanaskan. Uap air dan uap minyak cengkeh akan mengalir melalui pipa mask

dalam kondensor yang berupa kolam, semakin lama uap minyak daun cengkeh dan uap air

berada dalam kolam pendingin, semakin baik proses kondensasi (pengembunan) yang terjadi

yang terjadi. Kondensasi mengubah uap air dan uap cengkeh menjadi bentuk cair berupa

minyak cengkeh dan air yang ditampung dalam drum.

Setelah proses berlangsung kurang lebih 7 jam, hasil proses penyulingan didiamkan

beberapa saat sehingga air dan minyak cengkeh terpisah. Minyak daun cengkeh berada

dibawah air karena memiliki berat jenis yang lebih besar, pemisahan air dan minyak dilakukan

dengan kain khusus atau secara manual. Sisa air yang sudah dipisahkan berupa limbah cair

minyak cengkeh yang masih mengandung sedikit minyak cengkeh dari hasil penyulingan.
F. Hipotesis

1. Diduga pemberian limbah cair penyulingan cengkeh dapat membuat ulat Spodoptera

exigua pada bawang merah keracunan dan pertumbuhannya terhambat.

2. Limbah destilasi cengkeh pada konsentrasi 100% dan frekuensi penyemprotan 7 hari sekali

mampu mengendalikan hama Spodoptera exigua pada pertanaman bawang merah

Anda mungkin juga menyukai