Anda di halaman 1dari 22

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Bawang merah (Allium ascalonicum L.), yang lebih dikenal dalam bahasa
Jawa brambang, adalah tanaman sayuran semusim yang banyak ditanam di daerah
yang mempunyai ketinggian 10-250 meter di atas permukaan laut (dataran
rendah), suhu agak panas, beriklim kering, dan cuaca cerah. Akan tetapi, tanaman
bawang merah masih dapat ditanam di dataran tinggi, meskipun hasilnya kurang
baik. Tanaman bawang merah yang ditanam di dataran tinggi menghasilkan umbi
yang kecil-kecil dan umur panennya panjang, yaitu 80-90 hari. Oleh karena itu,
bawang merah dianjurkan untuk ditanam di dataran rendah. Selain umbi yang
dihasilkan besar-besar, umur panennya pun lebih pendek, yaitu antara 60-70 hari,
tergantung pada varietasnya (Samadi dan Cahyono, 2005).
Bawang merah (Allium ascolonicum L.) merupakan salah satu jenis
hortikultura sayuran berbentuk umbi yang mempunyai banyak manfaat dan
memiliki nilai ekonomis yang tinggi, sehingga layak untuk dikembangkan.
Pengembangan agribisnis bawang merah, ke depan harus diarahkan untuk
beberapa tujuan diantaranya adalah : mencukupi kebutuhan konsumsi dalam
negeri, memenuhi kebutuhan bahan baku industri, mengganti keberadaan bawang
merah impor, dan mengisi peluang pasar ekspor yang masih terbuka luas
(Santoso, 2013).
Bawang merah (Allium ascalonicum L.) merupakan salah satu komoditas
hortikultura yang mempunyai kandungan gizi dan senyawa yang tergolong zat
non gizi serta enzim yang berfungsi untuk terapi, meningkatkan dan
mempertahankan kesehatan tubuh serta memiliki aroma khas yang digunakan
untuk penyedap masakan. Bawang merah, seperti bawang putih, dan bawang-
bawangan termasuk family Lilyceae berasal dari Asia Tengah. Bawang merah
merupakan salah satu jenis rempah-rempah yang penting dan disukai masyarakat
(Widodo dan Rembulan, 2010).
Bawang merah merupakan salah satu hasil pertanian yang termasuk dalam
tiga komoditas strategis di Indonesia. Namun, pada sektor pertanian khususnya
produksi bawang merah nasional ternyata masih jauh dari konsep ketahanan
pangan yang berdiri atas dasar kemandirian dan kedaulatan pangan. Kebutuhan

1
nasional untuk bawang merah masih belum dapat tercukupi oleh produksi dalam
negeri. Tingginya tingkat konsumsi masyarakat pada bawang merah tersebut,
membuat pemerintah membuka kegiatan impor. Salah satu desa di kecamatan
Wanasari, Kabupaten Brebes yaitu Desa Sidamulya, menjadi titik perhatian
peneliti karena desa tersebut memiliki potensi yang sangat besar dalam hal
produksi bawang merah. Berdasarkan jumlah input dan produksi beserta
masingmasing harga, kita dapat mengetahui kapasitas efisiensi produksi di lokasi
penelitian (Suryaman, 2015).
Kita dapat mengukur suhu yang mengatur ritme/lingkaran perkembangan
tanama. Suhu selalu diukur dari ketinggian 1,5-2 meter di tempat yang terlindung
(tidak kena sinar matahari dan angin secara langsung) dan di atas tanah yang
berumput (bukan pada tanah gundul). Suhu yang diukur demikian bukan hanya
untuk tanaman itu sendiri, tetapi suhu ini dapat dipakai sebagai perbandingan di
mana data ini diambil pada tempat yang berbeda pada keadaan yang sama; pada
jam-jam tertentu dicatat suhu minimal dan maksimal. Suhu yang diambil di dalam
udara bebas tak dapat memberikan petunjuk yang dapat dipertanggungjawakan,
karena sifat termometer sangat terpengaruh oleh benda-benda terdekat, seperti
hutan, batu, logam, sehingga dapat mengakibatkan selisih suhu sampai beberapa
derajat (Aak, 1983).
Tanah yang cocok untuk tanaman bawang merah adalah tanah lempung
berpasir, geluh (loam) berpasir, remah, tidak mudah tergenang air, gembur, subur.

Derajat keasaman tanah yang baik sekitar Ph 6,0-7,0. Bila pH tanah 6,0,
perlu dilakukan pengapuran untuk menaikkan pH tersebut. Bila pH terlalu tunggi,
perlu dilakukan pengasaman dengan pemberian pupuk kandang yang cukup dan
ditabur tepung belerang atau kieserit (MgSO4 H2O) (Pracaya, 2002).

Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan dari paper ini adalah untuk mengetahui Interaksi
Suhu Udara Terhadap Pertumbuhan Tanaman Bawang Merah
(Allium ascalium L.).

2
Kegunaan Penulisan
Adapun kegunaan penulisan paper ini adalah sebagai salah satu syarat
untuk memenuhi komponen penilaian di Laboratorium Agroklimatologi Program
Studi Agroekoteknologi Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan
dan sebagai bahan informasi bagi pihak yang membutuhkan.

3
TINJAUAN PUSTAKA

Botani Tanaman
Bawang merah merupakan tanaman berumbi lapis yang tumbuh
merumpun setinggi 40-70 cm. Sistem perakaran serabut dan dangkal, bercabang
dan terpencar, dapat menembus ke dalam tanah hingga kedalaman 15-30 cm
(Jaelani, 2007).
Tanaman bawang merah termasuk tanaman berumbi atau Spermatophyta,
memiliki ciri akar serabut. Tanaman bawang merah memiliki nama latin
Allium ascalonicum L. Berikut ini taksonimi tanaman bawang merah :
Kingdom : Plantae; Divisi : Spermatophyta; SubDivisi :
Angiospermae; Kelas : Monocotyledonae; Ordo : Liliaceae; Famili :
Liliales; Genus : Allium; Spesies: Allium ascalonicum L. (Firmansyah, 2013).
Akar, untuk memperoleh pertumbuhan yang ideal tanaman bawang merah
harus didukung oleh perakaran yang banyak. Akar tanaman bawang merah terdiri
atas akar pokok (primary root) yang berfungsi sebagai tempat tumbuh akar
adventif (adventitious root) dan bulu akar yang berfungsi untuk menopang
berdirinya tanaman serta menyerap air dan zat-zat hara dari dalam tanah. Akar
dapat tumbuh hingga kedalaman 30 cm, berwarna outih, dan jika diremas berbau
menyengat seperti bau bawang merah (Pitojo, 2003).
Batang tanaman bawang merah merupakan bagian kecil dari keseluruhan
tanaman, berbentuk seperti cakram (discus), beruas-ruas, dan diantara ruas-ruas
terdapat kuncup-kuncup. Bagian bawah cakram merupakan tempat tumbuh akar.
Bagian atas batang sejati merupakan umbi sumu, berupa umbi lapis (bulbus) yang
berasal dari modifikasi pangkal daun bawang merah. Pangkal dan sebagian
tangkai daun menebal, lunak, dan berdaging; berfungsi sebagai tempat
penyimpanan cadangan makanan (Pitojo, 2003).
Bentuk daun bawang merah bulat kecil dan memanjang seperti pita, tetapi
ada juga yang membentuk setengah lingkaran pada penampang melintang daun.
Bagian ujung daun meruncing, sedangkan bagian bawahnya melebar dan
membengkak. Daun berwarna hijau. Kelopak daun bawang merah sebelah luar
selalu melingkar menutup kelopak daun bagian dalam. Apabila bagian ini

4
dipotong melintang akan terlihat lapisan-lapisan berbentuk cincin. Pembengkakan
kelopak daun pada bagian dasar lama kelamaan akan terlihat mengembung dan
membentuk umbi yang merupakan umbi lapis. Bagian ini berisi cadangan
makanan untuk persediaan makanan bagi tunas yang akan menjadi tanaman baru
(Rahayu dan Berlian, 2004)
Umbi bawang merah yang merupakan umbi ganda ini terdapat lapisan tipis
yang tampak jelas, dan umbi-umbinya tampak jelas juga sebagai benjolan ke
kanan dan ke kiri, dan mirip siung bawang putih. Lapisan pembungkus siung
umbi bawang merah tidak banyak, hanya 2 sampai 3 lapis, dan tipis yang mudah
kering. Sedangkan lapisan dari setiap umbi berukuran lebih banyak dan tebal.
Maka besar-kecilnya siung bawang merah tergantung oleh banyak dan tebalnya
lapisan pembungkus umbi (Suparman, 2007)
Bunga bawang merah terdiri atas tangkai bunga dan tandan bunga . bunga
bawang merah merupakan bunga semourna, memiliki benang sari dan kepala puti.
Tiap kuntum bunga terdiri atas enam daun bunga yang berwarna putih, enam
benang sari yang berwarna hijau kekuning-kuningan, dan sebuah putik
(Pitojo, 2003).
Bakal buah bawang merah tampak seperti kubah, terdiri atas tiga ruangan
yang masing-masing memiliki dua bakal biji. Bunga yang berhasil mengadakan
persarian akan tumbuh membentuk buah, sedangkan bunga yang lain akan kering
dan mati. Buah bawang merah berbentuk bulat di dalamnya terdapat biji yang
berbentuk agak pipih dan berukuran kecil. Pada waktu masih muda, biji berwarna
putih bening dan setelah tua berwarna hitam (Pitojo, 2003).
Tanaman bawang merah mampu berkembang biak secara gereratif maupun
vegetatif. Pengembangan secara generatif sudah dilakukan oleh peneliti, baik di
lembaga penelitian pemerintah maupun swasta, tetapi petani masih menggunakan
cara vegetatif, yaitu melalui umbi bibit. Petani menilai pengembangbiakan
bawang merah secara vegetatif lebih mudah, cepat, dan menguntungkan
(Suwandi, 2014).

5
Syarat Tumbuh
Iklim
Tanaman bawang merah lebih senang tumbuh di daerah beriklim kering.
Tanaman bawang merah peka terhadap curah hujan dan intensitas hujan yang
tinggi, serta cuaca berkabut. Tanaman ini membutuhkan penyinaran cahaya
matahari yang maksimal (minimal 70% penyinaran), suhu udara 25-32C, dan
kelembaban nisbi 50-70% (Sutarya dan Grubben 1995, Nazarudin 1999).
Pada umumny, bawang merah tumbuh baik di dataran rendah karena untuk
membentuk umbi memerlukan suhu yang tinggi. Suhu yang ideal sekitar 23-32o C.
Di bawah suhu 32o C, tanaman bawang merah menghasilkan sedikit umbi, bahkan
dapat tidak terbentuk umbi. Kebutuhan sinar matahari untuk pertumbuhan bawang
merah 100 , artinya tanaman tidak terlindung. Penyinaran yang semakin lama
akan semakin baik untuk pertumbuhan. Maksudnya, lama penyinaran 15 jam lebih
baik bila dibandingkan dengan lama penyinaran yang hanya 10 jam
(Pracaya, 2002).
Tanaman bawang merah dapat membentuk umbi di daerah yang suhu
udaranya rata-rata 22C, tetapi hasil umbinya tidak sebaik di daerah yang suhu
udara lebih panas. Bawang merah akan membentuk umbi lebih besar bilamana
ditanam di daerah dengan penyinaran lebih dari 12 jam. Di bawah suhu udara
22C tanaman bawang merah tidak akan berumbi. Oleh karena itu, tanaman
bawang merah lebih menyukai tumbuh di dataran rendah dengan iklim yang cerah
(Rismunandar 1986).
Di Indonesia bawang merah dapat ditanam di dataran rendah sampai
ketinggian 1000 m di atas permukaan laut. Ketinggian tempat yang optimal untuk
pertumbuhan dan perkembangan bawang merah adalah 0-450 m di atas
permukaan laut. Tanaman bawang merah masih dapat tumbuh dan berumbi di
dataran tinggi, tetapi umur tanamnya menjadi lebih panjang 0,5-1 bulan dan hasil
umbinya lebih rendah (Sutarya dan Grubben 1995).

6
Tanah
Unsur hara makro tersedia dalam jumlah optimal pada kisaran pH 6,5-7,5
atau mendekati netral. Seperti unsur hara P tersedia dalam jumlah banyak pada
kisaran pH 6,5-8 dan 9-10 (Khairani, 2008).
Tanah yang cocok untuk tanaman bawang merah adalah tanah lempung
berpasir, geluh (loam) berpasir, remah, tidak mudah tergenang air, gembur, subur.

Derajat keasaman tanah yang baik sekitar Ph 6,0-7,0. Bila pH tanah 6,0,
perlu dilakukan pengapuran untuk menaikkan pH tersebut. Bila pH terlalu tunggi,
perlu dilakukan pengasaman dengan pemberian pupuk kandang yang cukup dan
ditabur tepung belerang atau kieserit (MgSO4 H2O) (Pracaya, 2002).
Tanaman bawang merah memerlukan tanah berstruktur remah, tekstur
sedang sampai liat, drainase/aerasi baik, mengandung bahan organik yang cukup,
dan reaksi tanah tidak masam (pH tanah : 5,6 6,5). Tanah yang paling cocok
untuk tanaman bawang merah adalah tanah Aluvial atau kombinasinya dengan
tanah Glei-Humus atau Latosol (Sutarya dan Grubben 1995). Tanah yang cukup
lembab dan air tidak menggenang disukai oleh tanaman bawang merah
(Rismunandar 1986).
Di Pulau Jawa, bawang merah banyak ditanam pada jenis tanah Aluvial,
tipe iklim D3/E3 yaitu antara (0-5) bulan basah dan (4-6) bulan kering, dan pada
ketinggian kurang dari 200 m di atas permukaan laut. Selain itu, bawang merah
juga cukup luas diusahakan pada jenis tanah Andosol, tipe iklim B2/C2 yaitu (5-9)
bulan basah dan (2-4) bulan kering dan ketinggian lebih dari 500 m di atas
permukaan laut (Nurmalinda dan Suwandi 1995).
Waktu tanam bawang merah yang baik adalah pada musim kemarau
dengan ketersediaan air pengairan yang cukup, yaitu pada bulan April/Mei setelah
panen padi dan pada bulan Juli/Agustus. Penanaman bawang merah di musim
kemarau biasanya dilaksanakan pada lahan bekas padi sawah atau tebu, sedangkan
penanaman di musim hujan dilakukan pada lahan tegalan. Bawang merah dapat
ditanam secara tumpangsari, seperti dengan tanaman cabai merah
(Sutarya dan Grubben 1995).
Budi daya bawang merah pada lahan masam (pH < 6) memerlukan
pengapuran menggunakan kapur pertanian atau dolomit. Penyakit tanaman yang

7
ditularkan lewat tanah lebih cepat berkembang pada tanah masam. Dosis kapur
pertanian atau dolomit pada tanah dengan pH < 5,5 berkisar antara 1,5-2,0 t/ha,
sedangkan pada tanah dengan pH < 4 setara 1-2x Al-dd atau disesuaikan dengan
hasil analisis tanah (Suwandi dan Hilman 1995; Moekasan et al. 2010).

8
INTERAKSI SUHU UDARA TERHADAP PERTUMBUHAN TANAMAN
BAWANG MERAH (Allium ascalonium L.)

Pengertian Suhu Udara


Suhu udara adalah ukuran energi kinetik rata rata dari pergerakan
molekul molekul. Suhu suatu benda ialah keadaan yang menentukan
kemampuan benda tersebut, untuk memindahkan (transfer) panas ke benda
benda lain atau menerima panas dari benda benda lain tersebut. Dalam sistem
dua benda, benda yang kehilangan panas dikatakan benda yang bersuhu lebih
tinggi (Yani, 2009).

Suhu atau temperatur udara adalah derajat panas dari aktivitas molekul
dalam atmosfer. Suhu dikatakan sebagai derajat panas atau dingin yang diukur
berdasarkan skala tertentu dengan menggunakan thermometer . Biasanya
pengukuran suhu atau temperatur udara dinyatakan dalam skala celcius (C),
Reamur (R), dan Fahrenheit (F) (Ance, 1986).
Suhu udara akan berfluktusi dengan nyata setiap periode 24 jam. Fluktuasi
itu berkaitan erat dengan proses pertukaran energi yang berlangsung di atmosfer.
Fluktuasi suhu akan terganggu jika turbulensi udara atau pergerakan massa udara
menjadi sangat aktif, misalnya pada kondisi kecepatan angin tinggi. Jika
pergerakan massa udara tersebut melibatkan seluruh lapisan udara dekat
permukaan, maka suhu udara pada lapisan tersebut relative homogen
(Ernyasih, 2012).
Tempat yang terbuka, suhunya berbeda dengan tempat yang di gedung,
demikian juga suhu diladang yang berumput berbeda dengan ladang yang dibjak.
Pengukuran suhu udara hanya memperoleh satu nilai yang menyatakan nilai rata-
rata suhu atmosfer. Dua skala yang sering dipakai dalam pengukuran suhu udara
adalah skala Fahrenheit yang dipakai di Negara Inggris dan skala Celcius yang
dipakai oleh sebagian Negara dunia. Pada umumnya suhu maksimum terjadi
sesudah tengah hari, biasanya antara jam 12.00 sampai jam 14.00 dan suhu
minimum terjadi pada jam 06.00 waktu lokal dan sekitar matahari terbit
(Ernyasih, 2012).

9
Suhu udara harian rata-rata didefenisikan sebagai rata-rata pengamatan
selama 4 jam (satu hari) yang dilakukan tiap jam. Secara kasar, suhu udara harian
rata-rata dapat dihitung dengan menjumlah suhu maksimum dan suhu minimum
lalu dibagi dua. Suhu bulanan dengan jumlah hari dalam bulan tersebut
(Tjasyono, 2004).
Suhu udara permukaan adalah salah satu unsur cuaca yang merupakan
besaran fisis terukur dan dapat menerangkan keadaan cuaca di suatu tempat. Hal
tersebut di karenakan suhu udara bersifat dinamis dan sangat di pengaruhi oleh
unsur-unsur cuaca seperti curah hujan, tekanan udara, kelembaban udara,
kecepatan udara, dan intensitas radiasi matahari (Massinai et. al, 2013).

Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Suhu Udara


Pengaruh suhu dalam jangka waktu beberapa jam atau beberapa hari
terhadap pertumbuhan vegetatif bersifat permanen (irreversible), tetapi terhadap
proses fisiologis (photosinthesis dan respirasi) pengaruh suhu selama beberapa
menit atau beberapa jam tidak menimbulkan pengaruh yang permanen. Perubahan
suhu sangat berpengaruh terhadap laju pertumbuhan tanaman terutama melalui
proses partisionasi (perombakan) fotosintat antara organ tubuh. (Manshuri,2007).
Permukaan bumi merupakan permukaan penyerap utama dari radiasi
matahari. Oleh sebab itu permukaan bumi merupakan sumber panas bagi udara di
atasnya dan bagi lapisan tanah di bawahnya. Pada malam hari, permukaan bumi
tidak menerima masukan energi dari radiasi matahari, tetapi permukaan bumi
tetap akan memancarkan energi dalam bentuk radiasi gelombang panjang,
sehingga permukaan akan kehilangan panas, akibatnya suhu permukaan akan
turun. Karena perannya yang demikian maka fluktuasi suhu permukaan akan lebih
besar dari fluktuasi udara di atasnya (Lakitan, 2002).
Interaksi antara suhu-intensitas radiasi matahari-kelembaban tanah sangat
menentukan laju pertumbuhan Sawi. Suhu tinggi berasosiasi dengan transpirasi
yang tinggi, deficit tegangan uap air yang tinggi, dan cekaman kekeringan pada
tanaman. Suhu didalam tanah dan suhu atmosfer berpengaruh terhadap

10
pertumbuhan Rhyzobium, akar dan tanaman kedelai. Suhu yang sesuai bagi
pertumbuhan tanaman kedelai berkisar antara 22270C ( Manshuri, 2007).

Suhu udara merupakan unsur iklim yang sangat penting. Suhu udara
berubah sesuai dengan tempat dan waktu (Tjasyono, 1992). Tempat yang terbuka,
suhunya berbeda dengan tempat yang di gedung, demikian juga suhu diladang
yang berumput berbeda dengan ladang yang dibjak. Pengukuran suhu udara hanya
memperoleh satu nilai yang menyatakan nilai rata-rata suhu atmosfer. Dua skala
yang sering dipakai dalam pengukuran suhu udara adalah skala Fahrenheit yang
dipakai di Negara Inggris dan skala Celcius yang dipakai oleh sebagian Negara
dunia. Pada umumnya suhu maksimum terjadi sesudah tengah hari, biasanya
antara jam 12.00 sampai jam 14.00 dan suhu minimum terjadi pada jam 06.00
waktu lokal dan sekitar matahari terbit (Ernyasih, 2012).

Pengaruh Suhu Udara Terhadap Tanaman


Kita dapat mengukur suhu yang mengatur ritme/lingkaran perkembangan
tanama. Suhu selalu diukur dari ketinggian 1,5-2 meter di tempat yang terlindung
(tidak kena sinar matahari dan angin secara langsung) dan di atas tanah yang
berumput (bukan pada tanah gundul). Suhu yang diukur demikian bukan hanya
untuk tanaman itu sendiri, tetapi suhu ini dapat dipakai sebagai perbandingan di
mana data ini diambil pada tempat yang berbeda pada keadaan yang sama; pada
jam-jam tertentu dicatat suhu minimal dan maksimal. Suhu yang diambil di dalam
udara bebas tak dapat memberikan petunjuk yang dapat dipertanggungjawakan,
karena sifat termometer sangat terpengaruh oleh benda-benda terdekat, seperti
hutan, batu, logam, sehingga dapat mengakibatkan selisih suhu sampai beberapa
derajat (Aak, 1983).
Suhu udara merupakan factor lingkungan yang penting karna berpengaruh
pada pertumbuhan tanaman dan berperan hampir pada proses pertumbuhan. Suhu
udara merupakan factor penting dalam menentukan tempat dan waktu penanaman
yang cocok, bahkan suhu udara dapat juga sebagai factor-faktor penentu dari
pusat-pusat produksi tanaman. Misalnya; kentang didaerah suhu rendah,
sedangkan padi didaerah bersuhhu lebih tinggi (Sitorus, 2006.)

11
Suhu udara diindonesia dapat berperan sebagai kendali pada usaha
pengimbangan tanaman padi didaerah yang mempunyai ketingian yaitu tinggi
diatas permukaan laut sebagian besar jenis padi unggul tumbuh dan berdaya hasil
baik sampai ketinggian 700 m diatas permukaan laut. Suh udara rata-rata yang
tinggi akan baik untuk tanaman seperti kacang tanah dan kapas sedangkan
gandum, kentang, gula dan tomat, bisa didataran tinggi dengan suhu udara yang
lebih rendah.( Lakitan ,2002)

Produksi Bawang Merah (Allium ascalonium L.)


Bawang merah dihasilkan di 24 dari 30 provinsi di Indonesia. Provinsi
penghasil utama (luas areal panen > 1000 hektar per tahun) bawang merah
diantaranya adalah Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI
Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, NTB, dan Sulawesi Selatan. Kesembilan provinsi
ini menyumbang 95,8% (Jawa memberikan kontribusi 75%) dari produksi total
bawang merah di Indonesia pada tahun 2013. Konsumsi rata-rata bawang merah
per kapita untuk tahun 2008-2012 berkisar antara 2,36 kg dan 2,74 kg/tahun
(Departemen Pengembangan Akses Keuangan dan UMKM ,2013).
Propinsi Jawa Tengah merupakan produsen bawang merah terbesar dengan
persentase kontribusi mencapai 43,36% dari total produksi bawang merah
Indonesia. Propinsi Jawa Timur dengan presentase 20,89% berada di urutan kedua
dan Jawa Barat dengan presentase 12,16% berada di urutan ketiga, selanjutnya
Propinsi Nusa Tenggara Barat dengan presentase 10,30%. Propinsi Propinsi
sentra produksi lainnya memberikan kontribusi kurang dari 3%. Dengan kondisi
itu, Jawa Tengah dapat menjadi cerminan dalam lingkup nasional terkait produksi
bawang merah. Adanya impor tentu akan mempengaruhi harga di masyarakat.
Impor membuat adanya persaingan harga antar komoditas domestik dan impor
(Paranata dan Umam. 2015).
Produktivitas bawang merah masih rendah, dalam sepuluh tahun terakir
(tahun 2000-2009) rata rata produktivitas bawang merah nasional hanya sekitar
9,24 ton/ha, jauh dibawah potensi produksi yang berada diatas 20 ton/ha.
Beberapa permasalahan rendahnya produktivitas tersebut antara lain: (a)

12
ketersediaan benih bermutu, (b) prasarana dan sarana produksi terbatas, (c) Belum
diterapkannya GSP-SOP spesifik lokasi secara benar sehingga belum dapat
diatasnya permasalahan budidaya yang terjadi (Rusono et. al, 2014).
Pada tahun 2004 jumlah produksi bawang merah di Kabupaten Kupang
sebesar 8.845 ton dari areal panen seluas 1.532 ha. Ditinjau dari sebaran wilayah
kecamatan penghasil, tampaknya bahwa potensi pengembangan lebih besar pada 3
(tiga) wilayah kecamatan yakni kecamatan Semau, Sabu Barat dan Amarasi yang
tercermin dari jumlah produksi bawang merah yang dihasilkan, yakni berkisar
antara 1.260 ton 3.430 ton (14,25-38,78%). Sementara 6 (enam) wilayah
kecamatan lainnya relatif rendah, yakni hanya 0,739,50% dari total produksi
bawang merah pada tahun 2004 (Tim Peneliti Lembaga Penelitian Undana, 2006).
Produksi bawang merah di Indonesia pada tahun 2011 ialah 893.123 ton
dengan luas lahan 93.667 ha, kenaikan produksi terjadi pada tahun 2012 yaitu
964.221 ton dengan luas panen 99.519 ha (BPS, 2012). Badan Pusat Statistik
(BPS) mencatat produksi bawang merah pada 2014 meningkat menjadi 1,59 juta
ton dari sekitar 1,011 juta ton di 2013 (BPS, 2014), produksi yang diperoleh masih
dipengaruhi oleh luas panen. Produktivitas bawang merah di Jawa Timur adalah
9,98 t/ha (BPS, 2012), dengan demikian perlu adanya ekstensifikasi lahan sebagai
upaya peningkatan produksi. Pengembangan bawang merah selama ini dilakukan
di lahan sawah secara musiman. Musim tanam bawang merah biasanya dilakukan
pada bulan april sampai oktober yang merupakan musim kemarau.
Bawang merah dengan kontribusi produksi sebesar 1.233.984 ton atau
sekitar 10,35 persen terhadap produksi sayuran nasional.Sentra produksi bawang
merah di Indonesia adalah Pulau Jawa dengan total produksi sebesar 956.652 ton
atau sekitar 77,53 persen dari total produksi bawang merah nasional. Berikut
adalah produksi bawang merah pada beberapa sentra produksi di Indonesia pada
tahun 2014. Provinsi penghasil bawang merah terbesar adalah Jawa Tengah
dengan produksi sebesar 519.356 ton atau sebesar 42,09 persen dari total produksi
bawang merah nasional, diikuti oleh Jawa Timur dan Jawa Barat. Sedangkan
provinsi penghasil bawang merah terbesar di luar Jawa adalah Nusa Tenggara
Barat, dengan produksi sebesar 117.513 ton atau sekitar 9,52 persen dari total
produksi bawang merah nasional, diikuti oleh Sumatera Barat (Tauffiik, 2015).

13
Secara nasional, produksi bawang merah pada tahun 2013 mengalami
peningkatan sebesar 4,83%. Untuk Provinsi Jawa Timur, produksi bawang merah
mengalami peningkatan antara lain dikarenakan adanya pengembangan bawang
merah di Kabupaten Sampang, adanya permintaaan pasar tinggi, harga bibit stabil
dan curah hujan cukup baik di Kabupaten Pamekasan, danya penanaman baru di
Kabupaten Malang, Sumenep, Madiun, serta adanya permintaaan pasar yang
tinggi di Kabupaten Bondowoso dan Probolinggo (Bahar, 2014) .
Produksi bawang merah tahun 2014 sebesar 519,36 ribu ton.
Dibandingkan tahun 2013, produksi meningkat sebesar 99,88 ribu ton (23,81
persen). Peningkatan ini disebabkan oleh meningkatnya luas panen sebesar 9,52
ribu hektar (25,92 persen) meskipun produktivitasnya mengalami penurunan
sebesar 0,19 ton per hektar (1,68 persen) dibandingkan tahun 2013 (BPS ,2015).
Berdasarkan rata-rata produksi bawang merah pada periode tahun 2010
2014, ada empat provinsi sentra yaitu Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat dan
Nusa Tenggara Barat. Keempat provinsi sentra ini memberikan kontribusi sebesar
86,24% terhadap rata-rata produksi bawang merah Indonesia. Provinsi Jawa
Tengah memberikan kontribusi terbesar yaitu 42,70% dengan rata-rata produksi
sebesar 439.851 ton. Provinsi kedua adalah Jawa Timur dengan kontribusi sebesar
22,54% dengan rata-rata produksi 232.251 ton per tahun. Provinsi berikutnya
adalah Jawa Barat dan Nusa Tenggara Barat dengan kontribusi masingmasing
sebesar 11,24% dan 9,76%. Sisanya yaitu 13,76% berasal dari kontribusi produksi
provinsi lainnya (Suwandi, 2015).
Sejak tahun 2010 hingga 2013, UPBS BPTP Jawa Timur telah
memproduksi benih sumber dengan kelas yang berbeda sesuai yang dibutuhkan
oleh instansi terkait dan penangkar benih yang akan meregulasi. Di samping itu,
benih inti NS (nucleus seed) tetap dipertahankan dan ditanam secara periodik
sesuai umur simpan benih dan dilakukan pemurnian jika daya hasil mulai
menurun. Produksi benih kelas BS (breeder seed) diregulasikan ke kelas benih FS
(foundation seed), SS (stock seed) dan ES (extention seed) dan jika diperkirakan
dalam volume produksi serta perkiraan harga benih kelas BS (Rp35.000,00/kg),
kelas FS ( Rp30.000,00/ kg), kelas SS (Rp30.000,00/kg) serta kelas ES

14
(Rp25.000,00/kg) maka sejak tahun 2010 hingga 2013 telah menghasilkan nilai
Rp57.429.700.000,00 (BPPP, 2015)
Pada tahun 2015 produksi bawang merah diperkirakan akan mencapai
sekitar 963,4 ribu ton sementara produksi mencapai sekitar 1,1 juta ton sehingga
surplus mencapai 140 ribu ton. Pada akhir 2019, surplus diperkirakan mencapai
223 ribu ton dengan produksi sekitar 1,2 juta ton, dan kebutuhan yang hanya
sekitar 1,0 juta ton (Rusono et. al, 2014).

Interaksi Suhu Udara Terhadap Pertumbuhan Tanama Bawang Merah


(Allium ascalonium L.)

Faktor iklim sangat menentukan pertumbuhan dan produksi tanaman.


Apabila tanaman ditanam di luar daerah iklimnya, maka produktivitasnya sering
kali tidak sesuai dengan yang diharapkan. Studi tentang perilaku kejadian tiap
organisme atau tumbuhan dalam hubungannya dengan perubahan-perubahan iklim
disebut dengan fenologi. Untuk faktor iklim yang dipergunakan untuk penelitian
fenologi pada umumnya adalah curah hujan hal ini adalah karena curah hujan
secara langsung atau tidak langsung penting untuk pengaturan waktu dan ruang
dalam pembentukan bunga dan buah pada tumbuhan tropis ( Ashari 2006).
Selain unsur iklim, roduksi tanaman juga dipengaruhi oleh Radiasi
Matahari dan Suhu. Pertumbuhan tanaman dapat dipengaruhi dalam berbagai cara
oleh lingkungan. Kondisi lingkungan yang sesuai selama pertumbuhan akan
merangsang tanaman untuk berbunga dan menghasilkan benih. Kebanyakan
speises tidak akan memasuki masa reproduktif jika pertumbuhan vegetatifnya
belum selesai dan belum mencapai tahapan yang matang untuk berbunga,
sehubungan dengan ini terdapat dua rangsangan. Yang menyebabkan perubahan
itu terjadi, yaitu suhu dan panjang hari ( Setiawan, 1995).
Pada umumny, bawang merah tumbuh baik di dataran rendah karena untuk
membentuk umbi memerlukan suhu yang tinggi. Suhu yang ideal sekitar 23-32o C.
Di bawah suhu 32o C, tanaman bawang merah menghasilkan sedikit umbi, bahkan
dapat tidak terbentuk umbi. Kebutuhan sinar matahari untuk pertumbuhan bawang
merah 100 , artinya tanaman tidak terlindung. Penyinaran yang semakin lama

15
akan semakin baik untuk pertumbuhan. Maksudnya, lama penyinaran 15 jam lebih
baik bila dibandingkan dengan lama penyinaran yang hanya 10 jam
(Pracaya, 2002).
Tanaman bawang merah dapat membentuk umbi di daerah yang suhu
udaranya rata-rata 22C, tetapi hasil umbinya tidak sebaik di daerah yang suhu
udara lebih panas. Bawang merah akan membentuk umbi lebih besar bilamana
ditanam di daerah dengan penyinaran lebih dari 12 jam. Di bawah suhu udara
22C tanaman bawang merah tidak akan berumbi. Oleh karena itu, tanaman
bawang merah lebih menyukai tumbuh di dataran rendah dengan iklim yang cerah
(Rismunandar,1986).
Tanaman bawang merah lebih banyak dibudidayakan di daerah dataran
rendah yang beriklim kering dengan suhu yang agak panas, dan cuaca cerah.
Tanaman ini tidak menyukai tempat-tempat yang tergenang air, apalagi becek.
Walaupun bawang merah tidak menyukai tempat yang tergenang air, tetapi
tanaman ini banyak membutuhkan air, terutama dalam masa pembentukan umbi.
Dengan tuntutan seperti ini tanaman bawang merah banyak ditanam pada musim
kemarau yang normalnya terjadi pada bulan April-Oktober. Pada bulan-bulan
tersebut produksi bawang merah akan melimpah(Rahayu, E dan Berlian, N.
2004).
Tanaman bawang merah atau berambang menghendaki temperatur udara
antara 25oC-32oC. Pada suhu tersebut udara terasa agak panas, sedangkan suhu
rata-rata per tahun yang dikehendaki oleh tanaman bawang merah adalah sekitar
30oC. selain itu, ilkim yang agak kering serta kondisi tempat yang terbuka sangat
mebantu proses pertumbuhan tanaman dan proses produksi (AAK, 2000).
Diwilayah dengan empat musim, pengaruh suhu berlaku ganda. Pada waktu
awal pertumbuhan suhu harus cukup tinggi agar pertumbuhan tidak terhambat.
Tetapi bagi kebanyakan tanaman terutama tanaman tahunan, suhu sebelum
perubahan fase pertumbuhan itu terjadi sangat penting. Cekaman (stress) air yang
diikuti oleh hujan sering merangsang pembungaan tanaman tahunan tropika.
Faktor lain yang memicu pembungaan adalah panjang hari, atau panjang periode
selama setiap 24 jam. Tanaman berhari panjang tidak akan berbunga jika ditanam
di wilayah tropika. Radiasi matahari berhubungan dengan laju pertumbuhan

16
tanaman, fotosintesis, pembukaan (reseptivitas) bunga, dan aktivitas lebah
penyerbuk. Pembukaan bunga dan aktivitas lebah ditingkatkan oleh radiasi
matahari yang cerah, wilayah yang sering berawan berpotensi kurang untuk
produksi benih. Permukaan lahan ekuator sering menerima total radiasi yang
kurang dari lahan berlatitude 10-20 mdp (Sutarno, 1997).
Batas suhu yang membantu pertumbuhan dan perkembangan tanaman
diketahui sebagai batas optimum . pada batas ini semua proses dasar seperti :
fotosentesis, respirasi, penyerapan air, transpirasi, pembelahan sel. Perpanjangan
sel dan perubahan fungsi sel akan berlangsung baik dan tentu saja akan diperoleh
produksi tanaman yang tertinggi. Batas suhu optimum tidak sama semua
tanaman , sebagai contoh : apel ,kentang , menghendaki yang lebih rendah
dibandingkan tanaman :jeruk, ketela rambat atau gardenia. Tanaman yang tumbuh
pada kondisi suhu diatas optimum akhirnya pertumbuhanya biasa menghasilkan
produksi yang rendah . hal ini disebabkan kurang adanya keseimbangan antara
besarnya fotosentesis yang dihasilkan dan berkurangnya karbohidrat karna adanya
respirasi. Bertambahnya suhu akan mempercepatkan kedua proses ini , tetapai
diatmosfer diatas optimum , proses respirasi akan berlangsung lebih besar dari
pada fotosentesis , sehingga bertambah tinggi suhu tersebut akan mengakibatkan
berkurangnya produksi (Surmaini et al, 2000).
Tanaman yang tumbuh pada kondisi suhu dibawah batas optimum akan
menghasilkan pertumbuhan yang kurang baik dan produksinya akan lebih rendah .
gal ini disebabkan pada suhu yang rendah besarnya fotosentesis yang dihasilkan
dan protein yang dibentuk dalam keadaan minimum berakibat pertumbuhan dan
perkembangan lambat dan produksinya rendah ( Surmaini et al, 2000).

17
KESIMPULAN
1. Suhu udara adalah ukuran energi kinetik rata rata dari pergerakan
molekul molekul.

2. Faktor yang mempengaruhi suhu udara adalah radiasi, konduksi,


kondensasi, peguapan, curah hujan, dan vegetasi.

3. Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman yaitu air, cahaya dan


suhu.

4. Usaha budidaya bawang merah yang dilakukan sesuai dengan Prosedur


Operasional Standar (POS) dapat menghasilkan produktivitas yang tinggi
hingga 10-20 ton/ha.

5. Pada suhu rendah (minimum) pertumbuhan tanaman bawang merah


menjadi lambat bahkan terhenti, karena kegiatan enzimatis dikendalikan
oleh suhu.

18
DAFTAR PUSTAKA

AAK. 1983. Dasar-dasar Bercocok Tanam. Kanisius. Yogyakarta.

AAK. 2000. Pedoman Bertanam Bawang Merah. Kanisius. Yogyakarta.

Ance. 1986. Klimatologi Pengaruh Iklim Terhadap tanah dan tanaman. Bina Aksara.
Jakarta Asian Development Bank.

Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2015. Inovasi Hortikultura Pengungkit


Peningkatan Pendapatan Rakyat. IAARD Press. Jakarta.

Badan Pusat Statistik. 2015. Produksi Cabai Besar, Cabai Rawit, Dan Bawang Merah
Tahun 2014 Provinsi Jawa Tengah. http.//www.bps.go.id . (3 Agustus 2015).

Badan Pusat Statistik. 2012. Luas panen, produksi, dan produktivitas bawang merah.
http://www.bps.go.id . (16 Januari 2014).

Bahar, Y, H. 2014. Statistik Produksi Hortikultura Tahun 2013. Direktorat Jenderal


Hortikultura,Kementerian Pertanian. Jakarta.

Departemen Pengembangan Akses Keuangan dan UMKM. 2013. Pola Pembiayaan Usaha
Kecil Menengah USAHA BUDIDAYA BAWANG MERA. Bank Indonesia.
Jakarta

Ernyasih. 2012. Hubungan Iklim (Suhu Udara, Cura Hujan, Kelembaban dan Kecepatan
Angin) Dengan Kasus Diare di DKI Jakarta Tahun 2007-2011. UI. Depok.

Firmansyah, M. A. 2013. Teknologi Budidaya Bawang Merah Lahan Marjinal di Luar


Musim. Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Kalimantan Tengah Palang
Karaya. Kalimantan Tengah

19
Jaelani. 2007. Khasiat Bawang Merah. Kanisius. Yogyakarta.

Khairani, L. 2008. Respon Pertumbuhan dan produksi Kacang Hijau (Phaseolus radiatuis
L.)Pada Beberapa Komposisi Lumpur Kering Limbah Domestik Sebagai Media
Tanam (Skripsi). FP USU. Medan.

Lakita, B. 2002. Dasar-dasar Klimatologi. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Muh. Altin Massinai, M, A, Hasanah, N, dan Nuryati. 2013. Analisis Kecenderungan


Perubahan Suhu Udara Permukaan Kota Makassar. FMIPA UNHAS. Makassar.

Manshuri, A.G, 2007.Peningkatan Produksi Kacang-Kacangan dan Umbi-Umbian


Mendukung Kemandiarian Pangan. Pengaruh Pemupukan NPKdan Pemberian
Dolomit Terhadap Hasil Beberapa Varietas dan GalurKedelai di Lahan Masam
Ultisol, Balai Penelitian Tanaman Kacang-Kacangan dan Umbi-Umbian, Malang.
Hal: 413-42

Nazaruddin. 1999. Budidaya dan pengaturan panen sayuran dataran rendah. Penebar
Swadaya. Depok.

Nurmalinda dan Suwandi. 1995. Potensi wilayah pengembangan bawang merah.


Teknologi produksi bawang merah. Puslitbang Hortikultura. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. Jakarta.

Pitojo, S. 2003. Penangkaran Benih Bawang Merah. Kanisius. Yogyakarta.

Paranata, A dan Umam, A. T. 2015. Pengaruh Harga Bawang Merah Terhadap Produksi
Bawang Merah Di Jawa Tengah (JEJAK Journal of Economics and Polic).
Universitas Negeri Semarang. Semarang.
Pracaya. 2002. Bertanam Sayuran Organik di Kebun, Pot dan Polibag. Penebar Swadaya.
Depok.

20
Rahayu, E dan Berlian, N. 2004. Bawang Merah. Penebar Swadaya. Depok.
Rismunandar. 1986. Membudidayakan lima jenis bawang. Sinar Baru. Bandung.

Rusono, N, Suanri, A, Candradijaya, A, Muharam, A, Martino, I, Tejaningsih, Hadi, P, U,


Susilowati, S, H, Maulana, M. 2014. Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional (Rpjmn) Bidang Pangan Dan Pertanian 2015-2019. Direktorat Pangan
dan Pertanian,Bappenas. Jakarta.

Samadi, B dan Cahyono, B. 2005. Bawang Merah. Kanisius. Yogyakarta.

Samadi, B dan Cahyono, B. 2005. Budidaya Bawang Merah Intensifikasi Usahatani.


Kanisius. Yogyakarta.

Sitorus, S.R.P. 2006. Pengembangan Sumberdaya Lahan Berkelanjutan. Edisi Kedua. Lab.
Perencanaan Pengembangan Sumberdaya Lahan. Jurusan Tanah Fakultas
Pertanian IPB. Bogor.

Sutarno, N. S. 1997., Perpustakaan dan Masyarakat, CV. Sagung Seto, Jakarta .

Suryaman, D. S. 2015. Analisis Efisiensi Produksi Usahatani Bawang Merah (Skripsi).


Universitas Diponegoro. Semarang.

Surmaini, et al. 2000. Analisis Peluang Penyimpangan Iklim dan Pola Ketersediaan Air
pada Wilayah Pengembangan IP Padi 300. Puslittanak ARMP II, Balitbang
Pertanian, Jakarta.

Santoso, D. J. 2013. Strategi Pengembangan Bawang Merah Dalam Rangka Peningkatan


Pendapatan Petani Di Kabupaten Nganjuk (Jurnal Manajemen Agribisnis). FP U.
Kabupaten Nganjuk.

21
Suparman. 2007. Bercocok Tanam Bawang Merah. Azka Mulia Media. Jakarta.

Suwandi. 2015. Outlook Bawang Merah. Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian
Kementerian Pertanian 2015. Jakarta.

Sutarya, R. dan G. Grubben. 1995. Pedoman bertanam sayuran dataran rendah. Gadjah
Mada University Press. Prosea Indonesia Balai Penel. Hortikultura Lembang.

Taufik, Y. 2015. Statistik Produksi Hortikultura Tahun 2014. Direktorat Jenderal


Hortikultura,Kementerian Pertanian. Jakarta.

Tim Peneliti Lembaga Penelitian Undana. 2006. Analisis Komoditas Unggulan Dan
Peluang Usaha (Bawang Merah). Universitas Nusa Cendana Kupang. Kupang.

Tjasyono, B. 1992. Klimatologi Terapan. Pionir Jaya. Bandung.

Tjasyono, B. 2004. Klimatologi. ITB. Bandung.

Widodo, K. H. & Rembulan, D. 2010. Basic Supply Chain Bawang Merah


(Allium Ascalonicum L) Di Kabupaten Bantul Daerah Istimewa Yogyakarta Dari
Perspektif Sistem Dinamis. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Yani, S., 2009, Karakteristik Jenis Tanaman Anggrek, Balai Pustaka, Rajawali exact,
Bandung.

22

Anda mungkin juga menyukai