Anda di halaman 1dari 27

LAPORAN KASUS

BELAJAR BERBASIS MASALAH (BBM)


FAKTOR RISIKO PENYAKIT WILAYAH LAHAN BASAH

SKENARIO I
“ANAKKU”

Oleh :
KELOMPOK XIX

Agoestina Try Setyawati 1810912320016


Meisy 1810912320031
Muslimah 1810912220015

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
BANJARBARU

2021
LAPORAN KASUS
BELAJAR BERBASIS MASALAH (BBM)
FAKTOR RISIKO PENYAKIT WILAYAH LAHAN BASAH

SKENARIO I
“ANAKKU”

Disusun oleh :
KELOMPOK XIX

Agoestina Try Setyawati 1810912320016


Meisy 1810912320031
Muslimah 1810912220015

Telah disahkan dan diterima dengan baik oleh :

Banjarbaru, Mei 2021

Koordinator BBM-Faktor Risiko Penyakit Tutor,


Lahan Basah

Fakhriyah, S.Si T., M.K.M Fakhriyah, S.Si T., M.K.M


NIP. 19850713 201903 2 017 NIP. 19850713 201903 2 017
DAFTAR ISI

Halaman
JUDUL....................................................................................................... i
LEMBAR PENGESAHAN....................................................................... ii
DAFTAR ISI............................................................................................. iii
BAB I. PENDAHULUAN
A. SKENARIO.............................................................................. 1
B. ANALISA KASUS................................................................... 1
1. Langkah 1........................................................................... 1
2. Langkah 2........................................................................... 2
3. Langkah 3........................................................................... 2
4. Langkah 4........................................................................... 4
5. Langkah 5........................................................................... 4
BAB II. PEMBAHASAN
A. Tinjauan Kasus berdasarkan sasaran belajar yang
Mengacu Pada pustaka yang relevan dengan kasus.................. 5
B. Analisis Kasus pada Skenario lebih mendalam ....................... 16
C. Rekomendasi dan Solusi........................................................... 19
BAB III. PENUTUP
A. Kesimpulan............................................................................... 21
B. Saran.......................................................................................... 22
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
BAB I
PENDAHULUAN

A. Skenario
Anakku...

Seorang ibu bekerja sebagai seorang pemulung di sebuah Tempat


Pemrosesan Akhir Sampah (TPA). Dia memiliki seorang anak laki-laki berusia 6
tahun. Suatu ketika anaknya sakit dan terlihat sangat pucat, lemas dan badannya
kurus. Si ibu pun membawa anaknya ke Puskesmas terdekat. Petugas kesehatan
menanyakan keluhan kesehatan bahwa berat badan si anak turun drastis dalam 1
bulan terakhir padahal tidak ada pola makan yang berubah. Perubahan fisik lain
yang terlihat adalah perut anak terlihat membuncit dan keluhan rasa tidak enak
pada perutnya. Sejak beberapa bulan terakhir anak juga ikut diajak untuk
memulung. Riwayat kesehatan anak sebelumnya sering diare dan keluhan gatal
pada anus. Ibu tidak pernah memperhatikan kebiasaan Buang Air Besar dan
Buang Air kecil karena biasa dilakukan di pinggir sungai.

B. Analisis Kasus
Langkah 1. Klarifikasi/identifikasi istilah (clarify term)
a. Identifikasi istilah
1. Tempat Pemrosesan Akhir Sampah (TPA)
2. Diare
3. Pemulung
4. Pola Makan
5. Sakit

a. Klarifikasi istilah
1. Tempat Pemrosesan Akhir Sampah (TPA) merupakan salah satu tempat
membuang sampah terakhir dalam pengelolaan sampah, dari pertama
dikumpul, diangkut, dikelola, dan dibuang.

1
2

2. Diare merupakan sebuah kondisi ketika pengidapnya melakukan Buang Air


Besar (BAB) lebih sering dari biasanya dan ditandai dengan tinja yang encer
dan berair saat Buang Air Besar (BAB).
3. Pemulung merupakan suatu pekerjaan dengan mencari sampah, memungut
sampah, serta memanfaatkan barang bekas (seperti punting rokok, plastik,
kardus bekas, dan sebagainya) kemudian menjualnya kepada pengusaha yang
akan mengolahnya kembali menjadi barang komoditi.
4. Pola makan merupakan suatu cara atau usaha dalam pengaturan jumlah dan
jenis makanan dengan informasi gambaran dengan meliputi mempertahankan
kesehatan, status nutrisi, mecegah atau membantu kesembuhan penyakit.
5. Sakit merupakan keadaan dimana fisik, emosional, intelektual, sosial,
perkembangan, atau seseorang berkurang atau terganggu, bukan hanya
keadaan terjadinya proses penyakit.

Langkah 2. Membuat Daftar Masalah (Define the Problem)


1. Penyakit apakah yang diderita pada skenario tersebut?
2. Apakah faktor risiko terjadinya penyakit tersebut?
3. Apakah yang menyebabkan anak tersebut mengalami diare dan gatal pada
anus?
4. Apakah penyebab berat badan anak turun drastis dalam 1 bulan terakhir?
5. Apakah dampak yang ditimbulkan dari penyakit tersebut?
6. Bagaimana cara atau strategi untuk menghilangkan kebiasaan BAB/BAK
disungai?

Langkah 3. Menganalisa Masalah (analyze the problem)


1. Penyakit apakah yang diderita pada skenario tersebut?
Penyakit yang diderita pada skenario tersebut adalah kecacingan karena
pada skenario dijelaskan bahwa anak tersebut mengalami gejala seperti pucat,
lemas, badanya kurus, berat badan anak turun drastis, perubahan fisik, sering
diare, dan rasa gatal pada anus. Gejala tersebut merupakan gejala penyakit
kecacingan.
2. Apakah faktor risiko terjadinya penyakit tersebut?
Faktor risiko terjadinya penyakit kecacingan yaitu:
a. Usia, kelompok usia yang berisko tinggi terjadinya infeksi cacing antara lain
anak usia prasekolah, anak usia sekolah, wanita subur, orang dewasa yang
pekerjaanya berisiko tinggo seperti buruh tambang, dan buruh perkebunan.
b. Tingkah laku, kebiasaan buang air besar ditempat terbuka.
c. Lingkungan, pada area perdesaan, daerah padat penduduk, kurangnya
persediaan air, dan sanitasi yang tidak adekuat.
3. Apakah yang menyebabkan anak tersebut mengalami diare dan gatal pada
anus?
Kebiasaan BAB/BAK sembarangan sehingga kurang memperhatikan
kebersihan alat vital, mengonsumsi daging yang kurang matang dari hewan yang
terinfeksi, konsumsi air yang terkontaminasi, kontak dengan kotoran yang
terkontaminasi, sanitasi yang buruk, dan kebersihan yang buruk.
4. Apakah penyebab berat badan anak turun drastis dalam 1 bulan terakhir?
Penyebab berat badan anak turun drastis dalam 1 bulan terakhir karena anak
tersebut mengalami diare, sehingga membuat penderitanya menjadi lebih sering
buang air besar, dengan kondisi tinja yang encer membuat asupan makanan yang
di cerna sedikit.
5. Apakah dampak yang ditimbulkan dari penyakit tersebut?
Dampak yang ditimbulkan dari kecacingan yaitu penyerapan nutrisi pada
anak terganggu membuatnya rentan terkena risiko anemia. Tidak hanya itu,
infeksi cacing juga dapat menyebabkan gejala seperti diare, kehilangan nafsu
makan dan disentri. Jika, hal ini dibiarkan terjadi terus menerus anak akan
kekurangan nutrisi yang diperlukan untuk tumbuh sehingga kesehatan fisik dan
kecerdasannya terganggu.
6. Bagaimana cara atau strategi untuk menghilangkan kebiasaan BAB/BAK di
sungai?
Cara atau strategi untuk menghilangkan kebiasaan BAB/BAK di sungai
dengan cara sosialisasi terkait bahaya atau resiko BAB/ BAK sembarang, bisa
meberikan bantuan dalam pembuatan jamban sehat, dan didikan orang tua sejak
dini mengenai pola hidup sehat kepada anak.
4

Langkah 4. Problem Tree

Diare Penurunan Berat Kurus Gizi Buruk Gatal pada


Badan Anus

Kecacingan

BAB dan BAK Sanitasi yang Riwayat Kerja Tidak Mencuci Tempat Kerja
Sembarangan Buruk Memulung Tangan Sebelum yang Kotor
Makan

Gambar 1.1 Problem Tree

Langkah 5. Menetapkan Sasaran Belajar (Formulate Learning Objective)


1. Apakah yang dimaksud dengan kecacingan?
2. Apakah gejala kecacingan?
3. Apakah jenis-jenis kecacingan?
4. Apakah penyebab kecacingan?
5. Bagaimanakah pemeriksaan atau diagnosis yang dapat mendeteksi penyakit
kecacingan?
6. Apakah faktor risiko terjadinya kecacingan?
7. Apakah dampak terjadinya kecacingan?
8. Bagaimanakan pencegahan dan pengobatan pada penyakit kecacingan?
9. Bagaimanakah strategi tenaga kesehatan untuk menghilangkan kebiasaan
BAB/BAK sembarangan?
BAB II

PEMBAHASAN

A. Tinjauan Kasus Berdasarkan Sasaran Belajar yang Mengacu pada


Pustaka yang Relevan dengan Kasus
Berdasarkan pada sasaran belajar yang didapatkan, maka hasil dari tinjauan
kasus dari setiap anggota kelompok adalah sebagai berikut:
1. Pengertian Kecacingan
Penyakit kecacingan merupakan salah satu penyakit yang banyak dialami
oleh masyarakat di Indonesia yang berhubungan erat dengan sanitasi lingkungan
dan perilaku. Penyakit kecacingan merupakan penyakit infeksi yang disebabkan
oleh parasit berupa cacing. Penyakit kecacingan merupakan penyakit infeksi yang
disebabkan oleh parasit berupa cacing (Amalia dkk, 2021). Kecacingan
merupakan penyakit endemik dan kronik disebabkan oleh cacing parasit dengan
prevalensi tinggi, tidak mematikan, tetapi menggerogoti kesehatan tubuh manusia
sehingga berakibat menurunnya kondisi gizi dan kesehatan masyarakat (Pratiwi &
Liena, 2019). Kecacingan disebabkan oleh nematoda yang ditularkan ke manusia
melalui tanah yang terkontaminasi feses. Cacing yang termasuk dalam Soil
Transmitted Helminth adalah Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura, Necator
americanus dan Ancylostoma duodenale (Pratiwi & Liena, 2019).
Berdasarkan data World Health Organization (WHO) lebih dari satu miliar
orang terinfeksi Ascaris lumbricoides, 795 juta orang terinfeksi cacing Trichiuris
trichiura atau 740 juta orang terinfeksi cacing Hooworm. Infeksi tersebar luas di
daerah tropis dan subtropics, dengan jumlah tersebar luas di sub-Sahara, Afrika,
Amerika, Cina, dan Asia Timur. Pada beberapa daerah Indonesia prevalensi
infeksi kecacingan umumnya masih tinggi antara 60-90%, terutama terdapat pada
anak-anak sekolah dasar dan golongan penduduk yang kurang mampu dengan
akses sanitasi yang terbatas. Kelompok umur terbanyak adalah pada usia 5-14
tahun, 21% diantaranya menyerang anak usia sekolah dasar. Tingginya prevalensi
ini disebabkan oleh kondisi iklim Indonesia yang tropis dengan kelembaban udara
tinggi serta kondisi sanitasi dan higiene yang buruk (Suriani dkk, 2019).

6
7

2. Gejala Kecacingan
Pada kasus yang ringan, kecacingan biasanya tidak memberi gejala yang
nyata dan spesifik. Gejala yang sering dijumpai pada infeksi kecacingan antara
lain lemah, mudah lesu, sering mengantuk, badan tampak kurus karena
kekurangan nutrisi penting untuk tubuh (Sari dkk, 2019). Sedangkan untuk gejala
berupa terasa gatal pada bagian pantat, merupakan salah satu gejala untuk jenis
cacing Enterobius vermicularis (Syahrir & Aswadi, 2016).
Kategori intensitas infeksi kecacingan dibagi dua yaitu: apabila intensitas
infeksi cacingan dalam kategori ringan, maka tidak ada dampak atau gejala yang
signifikan. Pada intensitas infeksi yang berat dapat menimbulkan gejala klinis
ketika cacing telah menginfeksi usus maka dimungkinkan terjadi diare dan sakit
perut, malnutrisi, malaise dan kelemahan dan gangguan pertumbuhan serta
perkembangan fisik (Kusumarini dkk, 2021). Gejala anak yang menderita
penyakit cacingan yaitu memiliki kondisi fisik seperti kekurangan gizi. Hal
tersebut dikarenakan penderita penyakit cacingan mengalami anemia atau kondisi
kekurangan darah. Anemia terjadi karena cacing dalam usus menghisap darah
penderita (Kurniasari & Khofifah, 2020).

3. Pemeriksaan yang dapat mendeteksi penyakit kecacingan (Diagnosis


Kecacingan)
Berikut diagnosis penyakit kecacingan berdasarkan jenis cacing, antara lain
(Sardjono, 2020):
a. Ascaris lumbricoides
Diagnosis pasti askariasis ditegakkan bila melalui pemeriksaan
makroskopis terhadap tinja atau muntahan penderita ditemukan cacing
dewasa. Melalui pemeriksaan mikroskopis dapat ditemukan telur cacing yang
khas bentuknya di dalam tinja atau cairan empedu penderita. Untuk membantu
menegakkan diagnosis askariasis usus maupun askariasis organ, dapat
dilakukan pemeriksaan radiografi dengan barium. Pemeriksaan darah
menunjukkan eosinofilia pada awal infeksi, atau dilakukan scratch test pada
kulit.
b. Enterobius vermicularis
8

Jika anak-anak mengalami gatal-gatal malam hari menjelang pagi di


sekitar anus, apalagi jika disertai enuresis, dugaan enterobiasis dapat
dipikirkan. Untuk menetapkan diagnosis pasti, telur cacing atau cacing dewasa
hams dapat ditemukan. Telur cacing mudah ditemukan dengan melakukan
pemeriksaan anal swab, yaitu menempelkan selotape transparan di daerah
sekitar anus. Pemeriksaan ini dilakukan segera sesudah bangun tidur pagi hari,
sebelum mandi dan buang air besar. Pemeriksaan selotape yang ditetesi toluen
di bawah mikroskop akan menemukan telur cacing dengan mudah.
c. Trichuris trichiura
Pada kasus-kasus ringan diagnosis pasti bisa ditegakkan dengan
menemukan telur pada pemeriksaan tinja. Dalam hal ini untuk mengetahui
derajat infeksi dapat dilakukan pemeriksaan tinja secara kuantitatif (teknik
Kato-Katz). Pada kasus-kasus ringan, untuk mempertajam diagnosis bisa
dilakukan pemeriksaan tinja secara konsentrasi. Kasus Trichuriasis sering
ditemukan secara tidak terduga pada pemeriksaan colonoscopy pasien dengan
diare kronis disertai darah dan lendir. Diagnosis klinis bisa ditegakkan juga
pada kondisi berat dengan komplikasi prolapsus recti.
d. Necator americanus dan Ancylostoma duodenale
Cacing N. americanus dikenal dengan nama new world hookworm atau
american hookworm. Cacing A. duodenale dikenal dengan nama old world
hookworm. Infeksinya tersebar luas di dunia. Laki-laki usia 15-25 tahun lebih
berisiko untuk terinteksi. Peranan cacing ini menyebabkan penyakit cacing
tambang (nekatoriasis atau ankilostomiasis). Pada manusia, larva cacing dapat
menyebabkan iritasi dan gatal pada kaki, tempat masuknya larva cacing
(ground itch). Stadium yang infektif adalah larva filariform karena dapat
menembus kulit. Migrasi larva ke paru dapat menyebabkan pneumonitis.
Gejala sakit pada umumnya asimptomatis. Keluhan yang dapat timbul adalah
anemia hipokrom mikrositer karena hemoglobin turun sampai kurang dari
13,5 g/dl, selain itu pucat, perut buncit, rambut kering, diare, nafsu makan
berkurang, malnutrisi energi-protein, dan eosinofil mencapai 30%. Migrasi
larva cacing ke paru dapat menyebabkan batuk, dahak berdarah, bronkitis, dan
asma.
9

4. Jenis-jenis Kecacingan
Adapun beberapa jenis cacing yang sering terjadi pada saat ini, diantaranya:
a. Cacing kremi (Enterobius vermicularis)
Cacing ini lebih sering terjadi pada anak-anak, lantaran anak-anak senang
bermain kotor-kotoran, contohnya main tanah. Setelah puas bermain, tanpa
cuci tangan anak-anak langgsung mengambil makanan. Sehingga telur cacing
yang menempel pada jari tangan mereka akan ikut masuk kedalam mulut.
Biasanya telur tersebut menetas diusus kecil dan masuk ke usus besar. Pada
usus besar cacing kremi akan menempel dan mengambil makanan, setelah
dewasa cacing kremi betina menuju anus untuk mengeluarkan telur. Inilah
penyebab kenapa anak-anak yang terkena cacing kremi. Adapun ciri-ciri anak
yang terkena cacing kremi adalah : gatal disekitar anus, susah tidur, terasa
nyeri dan terjadi iritasi disekitar anus, dan terdapat cacing kremi pada tinja
(Kurniasari & Khofifah, 2020).
b. Cacing gelang (Ascariasis lumbricoides)
Gangguan dapat sebabkan larva yang masuk ke paru- paru sehingga terjadi
perdarahan pada dinding alveoul. Gangguan yang disebabkan oleh cacing
biasanya ringan seperti; mual, berkurangnya nafsu makan, diare dan
konstipasi. Pada infeksi yang berat yang terjadi pada anak-anak dapat
menyebabkan gangguan penyerapan makanan (malabsorbition). Keadaaan
dikatakan serius apabila cacing menggumpal dalam usus sehingga
mengakibatkan penyumbatan pada usus (Kurniasari & Khofifah, 2020).
c. Cacing cambuk (Trichuris trichiura)
Infeksi banyak terdapat di daerah curah hujan tinggi, iklim subtropis dan
pada tempat yang banyak populasi tanah. Infeksi berat terhadap anak-anak
lebih mudah terserang daripada orang dewasa. Anak-anak yang suka bermain
di tanah dan mereka mendapat kontaminasi dari pekarangan yang kotor.
Infeksi terjadi karena menelan telur yang telah berembrio melalui tangan,
makanan, atau minuman yang telah terkontaminasi, langsung melalui debu,
hewan rumah atau barang mainan. Penderita anak-anak dengan infeksi
Trichuris yang berat dan menahun, menunjukkan gejala diare yang sering
10

diselingi sindromdisentri, anemia, berat badan turun dan kadang-kadang


disertai prolapsus rectum (Irianto, 2013).
d. Cacing tambang (Necator americanus dan Acylostoma duodenale)
Biasanya hidup dalam rongga usus dan melekat dengan giginya pada
dnding usus dan menghisap darah manusia. Infeksi cacing tambang ini dapat
mengakibatkan kehilangan darah scara perlahan sehigga penderita dapat
megalami anemia (Kurniasari & Khofifah, 2020).

5. Penyebab Terjadinya Kecacingan


Penyebab penyakit cacingan adalah infeksi cacing parasit usus dari
golongan nematoda usus. Cacing parasit usus tersebut diantaranya adalah cacing
kremi (Enterobius vermicularis), cacing tambang (Necator americanus dan
acilostoma deudenale), dan cacing cambuk (trichuris trichiura). Cacing penyebab
penyakit cacingan tersebut dapat menembus kulit dan masuk kedalam tubuh anak
atau masuk melalui hewan perantara. Binatang seperti tikus, lalat, dan kecoa
merupakan hewan-hewan yang dapat menjadi faktor penyakit cacingan. ketiga
binatang tersebut dapat membawa telur infeksi cacing. Binatang-binatang
pembawa telur infeksi cacing tersebut biasanya memiliki perilaku yang cenderung
untuk melakukan kontak dengan kotoran manusia dan hewan. Kotoran manusia
dan hewan adalah sumber penyebaran penyakit cacingan. Hewan seperti tikus dan
kecoa adalah hewan dengan lingkungan dimana terdapat kotoran manusia dan
hewan, sehingga dapat menjadi vektor penyebaran penyebab penyakit cacingan.
Kedua hewan tersebut juga hidup dekat dengan lingkungan manusia dan tidak
jarang melakukan kontak langsung dengan makanan dan minuman manusia
(Kurniasari & Khofifah, 2020).

6. Faktor Risiko Terjadinya Kecacingan


Berdasarkan data World Health Organization (WHO), lebih dari 1,5 milyar
atau 24% populasi penduduk seluruh dunia terinfeksi soil transmitted helminth
(STH). Infeksi STH terdistribusi di daerah tropis dan sub tropis, dengan kejadian
terbanyak di Afrika, Amerika, dan Asia. Di Indonesia, prevalensi infeksi cacing
masih tergolong tinggi terutama pada penduduk miskin dan hidup di lingkungan
11

padat penghuni dengan sanitasi yang buruk. Hasil survei Departemen Kesehatan
Republik Indonesia di beberapa provinsi di Indonesia menunjukkan prevalensi
kecacingan untuk semua umur di Indonesia berkisar antara 40% - 60%. Lebih dari
610 juta anak usia sekolah berisiko tinggi terinfeksi cacing (Natalia dkk, 2020).
Faktor yang berperan dalam cacingan, antara lain:
a. Usia
Penyakit infeksi cacing dapat ditemukan disemua golongan usia dan jenis
kelamin namun paling sering terjadi pada anak-anak yang berusia 10 tahun
atau kurang. Hal ini disebabkan karena keterlibatan mereka secara langsung
dengan lingkungan tempat bermain sangat tinggi. Anak-anak dikelompok ini
rentan menderita penyakit cacingan karena mereka kerap bermain di luar
rumah. Aneka permainan pada anak usia sekolah pada umumnya hampir
selalu berhubungan langsung dengan tanah dan tanah merupakan media yang
baik bagi perkembangan cacing (Sulastri dkk, 2020).
b. Daerah bersuhu hangat
Prevalensi peyakit cacingan cenderung lebih sering terjadi di negara-
negara berkembang yang memiliki suhu hangat sepanjang tahun (Kurniasari &
Khofifah, 2020). Indonesia merupakan negara beriklim tropis yang dapat
mendukung penyebaran infeksi kecacingan yang ditularkan melalui tanah,
dimana iklim tropis dan kelembaban yang tinggi mendukung untuk
perkembangan larva cacing tambang dan pematangan telur cacing gelang dan
cacing cambuk (Sulastri dkk, 2020).
c. Sanitasi lingkungan
Kondisi sanitasi lingkungan sangat erat hubungannya dengan cacingan.
Hal ini dikarenakan sanitasi lingkungan yang tidak memadai dapat menjadi
sumber penularan cacing pada tubuh manusia. Penyakit cacingan biasanya
terjadi dilingkungan yang kumuh terutama didaerah kota dan daerah
pinggiran. Jumlah prevalensi Ascaris lumbricoide banyak ditemukan didaerah
pinggiran atau pedesaan yang masyarakatnya sebagian besar masih hidup
dalam kekurangan (Kurniasari & Khofifah, 2020).
Selain sanitasi tempat tinggal, kejadian kecacingan juga didukung oleh
tidak tersedianya fasilitas jamban atau WC. Perilaku Buang Air Besar (BAB)
12

tidak di jamban serta kurangnya ketersediaan sumber air bersih adalah


beberapa kondisi sebagai faktor risiko terjadinya penyakit cacingan. Sehingga
perilaku BAB di sungai dan kebun dapat memperburuk kondisi sanitasi
lingkungan, dengan memungkinkan tersebarnya telur cacing yang
terkontaminasi pada kotoran. Perilaku BAB tidak di jamban dapat
menyebabkan pencemaran tanah dan lingkungan oleh feses yang mengandung
telur cacing adalah kondisi yang mendukung terjadinya penyakit cacingan.
Penyebaran helminthiasis dapat melalui terkontaminasinya tanah dengan tinja
(manusia dan hewan) yang mengandung telur cacing. Keberadaan sumber air
bersih sebagai air konsumsi harian juga harus dipastikan kelayakannya. Air
yang baik adalah tidak berbau, berwarna, berasa, dan terjaga dari kotoran
hewan yang bisa saja membawa penyebab penyakit seperti telur dan larva
cacing (Hanif dkk, 2017).

7. Dampak Terjadinya Kecacingan


Penyakit kecacingan dapat menimbulkan berbagai dampak bagi kesehatan
manusia. Kecacingan berdampak buruk terhadap perkembangan kesehatan dan
mental bahkan dapat menghambat tumbuh kembang anak, kecacatan dan kebutaan
(Kartini dkk, 2017). Dampak lainnya yang terjadi jika balita terinfeksi cacing
maka infeksi dapat berkontribusi pada anemia, defisiensi vitamin A, penyumbatan
usus dan kekurangan gizi (Elba, 2021). Dampak kecacingan ini tentunya tidak
dapat diabaikan karena dapat berdampak bagi masa depan anak, hingga dapat
berakibat IQ loss. Dampak yang paling banyak adalah anemia atau kadar
haemoglobin (Hb) rendah (Nuryani dkk, 2017).
Kecacingan mempengaruhi pemasukan (intake), pencernaan (digestif),
penyerapan (absorbsi), dan metabolisme makanan. Hal ini dikarenakan nematode
usus biasanya matang dalam usus halus, dimana sebagian besar cacing dewasa
melekat dengan kait oral atau lempeng pemotong, kemudian pada akhirnya cacing
tersebut akan menyebabkan manusia kehilangan darah, iritasi dan alergi.
Penyebab anemia yang dapat ditimbulkan oleh infeksi cacing adalah jenis anemia
akibat perdarahan. Kehilangan darah dalam jumlah besar tentu saja akan
13

menyebabkan kurangnya jumlah SDM dalam darah, sehingga terjadi anemia


(Pratiwi & Liena, 2019).

8. Pencegahan dan Pengobatan Terjadinya Kecacingan


Upaya pencegahan penyakit kecacingan dapat dilakukan dengan cara
mengedukasi masyarakat untuk dapat memahami gejala dan tanda-tanda penyakit
dan cara pencegahan kecacingan, serta mengedukasi masyarakat pentingnya
menjaga kebersihan diri dan makanan, dan membiasakan masyarakat untuk
berperilaku hidup bersih dan sehat, dengan cara ini diharapkan angka kejadian
penyakit kecacingan dapat diturunkan (Putri dkk, 2017). Masyarakat dapat
mendisiplinkan perilaku hidup bersih dan sehat dalam kehidupan sehari-hari
antara lain seperti tidak melakukan kontak dengan tanah, mencuci buah-buahan
dengan air bersih sebelum dimakan, mencuci tangan dengan sabun setelah
menggunakan toilet, defekasi dan buang air di toilet, menjaga kebersihan kuku
dan tetap pendek, dan mimum dengan air yang bersih (Yurika dkk, 2019).
Cuci tangan berperan dalam mencegah kesakitan dan penularan berbagai
macam penyakit diantaranya kecacingan. Cuci tangan dapat memberikan
kontribusi yang besar dalam meningkatkan derajat kesehatan manusia asalkan
dilakukan dengan teknik dan sumber air yang tepat. Mencuci tangan dengan sabun
lebih efektif dari cuci tangan hanya dengan air dalam hal memindahkan agen
penyebab penyakit. Sumber air yang digunakan untuk mencuci tangan yang baik
adalah air bersih yang mengalir. Mencuci tangan yang benar tidak hanya sekedar
membasahi tangan, namun juga menggunakan sabun. Tidak hanya bagian telapak
tangan, mencuci tangan yang baik perlu memperhatikan kebersihan di bagian sela-
sela jari dan ujung kuku. Mencuci tangan yang benar dilakukan minimal selama
20 detik. Kebiasaan cuci tangan harus dilakukan pada waktu khusus antara lain
sebelum mempersiapkan makan, sebelum dan sesudah makan, setelah buang air
besar dan buang air kecil, setelah berurusan dengan sampah, setelah bermain atau
mengurus binatang peliharaan dan tidak kalah penting juga setelah bersin dan
batuk. Pembiasaan pada metode cuci tangan yang benar sangat penting mengingat
kesadaran akan cuci tangan yang bersih pada beberapa kalangan masyarakat
masih rendah (Sari dkk, 2019).
14

Pengobatan penyakit kecacingan diberikan berdasarkan jenis cacing yang


menyebabkan kecacingan. Obat berupa mebendazol, pirantel pamoat, levamisin,
dan piperazin diperuntukkan obat cacing secara umum dapat dibeli di apotek pada
berbagai macam merek dagang, namun pada kasus cacing pita memerluan terapi
dengan golongan obat keras yang hanya dapat diperoleh dengan resep dokter
(Alrosyidi dkk, 2020). Pembagian obat kecacingan massal secara berkelanjutan
dengan memperhatikan jenis obat yang diberikan secara spesifik berdasarkan jenis
cacing penyebab terutama untuk jenis cacing yang sulit diobati sehingga
pengobatan menjadi efektif, program pengobatan massal baik kecacingan maupun
filariasis sebaiknya dilaksanakan dengan cara minum obat di tempat di depan
petugas untuk memastikan konsumsi obat oleh masyarakat (Indriyati dkk, 2017).

9. Strategi tenaga kesehatan untuk menghilangkan kebiasan BAB/BAK


sembarangan
Buang Air Besar Sembarangan (BABS) adalah suatu tindakan membuang
kotoran atau tinja di ladang, hutan, semak-semak, sungai, pantai atau area terbuka
lainnya dan dibiarkan menyebar mengkontaminasi lingkungan tanah, air dan
udara. Perilaku Buang Air Besar Sembarangan (BABS) termasuk salah satu
contoh perilaku yang tidak sehat. Pembuangan tinja perlu mendapat perhatian
khusus karena salah satu faktor yang dapat mendatangkan berbagai penyakit
seperti penyakit diare, typhus, muntaber, disentri, cacingan dan gatal-gatal. Selain
itu dapat menimbulkan pencemaran lingkungan pada sumber air dan bau busuk
serta estetika. Berdasarkan hal tersebut, perlu adanya pemecahan permasalahan
untuk mengurangi kebiasan BABS yang masih sering dijumpai di kehidupan
masyarakat (Jumriani dkk, 2020).
Fungsi atau peran petugas kesehatan adalah membina peran serta
masyarakat dalam rangka meningkatkan kemampuan untuk hidup sehat. Dalam
hal penggunaan jamban, kegiatan yang dilakukan oleh petugas kesehatan anatara
lain adalah memberikan penyuluhan secara berkala tentang manfaat dan syarat-
syarat jamban sehat, juga melakukan pembinaan kepada masyrakat untuk
meningkatkan kesadaran dan kemauan masyrakat memiliki dan menggunakan
jamban keluarga. Pemanfaatan jamban tidak terwujud apabila masyarakat belum
15

terbentuk keyakinan akan manfaat dari perilaku tersebut. Bila intensitas


penyuluhan tidak kontinyu atau tidak cukup membentuk keyakinan, maka peran
petugas kesehatan belum dapat membentuk keyakinan masyarakat dalam merubah
perilaku pemanfaatan jamban.berdasarkan uraian diatas maka penggalian faktor
risiko merupakan strategi yang tepat untuk mengetahui latar belakang kebiasaan
BABS pada masyarakat (Yasin dkk, 2020).
Salah satu model edukasi yang dapat diberikan kepada masyarakat oleh
tenaga kesehatan untuk menghilangkan kebiasaan BABS yaitu edukasi permainan
ular tangga dengan metode rantai Antecedent Behavior Consequence. Modifikasi
perilaku merupakan cara mengubah perilaku dengan menerapkan prinsip-prinsip
belajar. Pengubahan akan efektif bila didasarkan pada informasi yang tepat
tentang penyebab perilaku, intensitas perilaku, dan akibat yang ditimbulkan dari
perilaku tersebut. Modifikasi perilaku mempunyai dua sasaran utama, yaitu
meningkatkan atau menumbuhkan perilaku adaptif, dan mengurangi atau
menghilangkan perilaku yang tidak adaptif. Modifikasi perilaku ini mempunyai
keunggulan adalah bahwa teknik tersebut mengandalkan perilaku yang dapat
diamati dan diukur secara objektif sehingga hasilnya dapat diramalkan. Dalam
memodifikasi perilaku dapat dilakukan langkah awal yaitu analisis fungsi. Untuk
melakukan analisis fungsi dapat digunakan model ABC. Model tersebut adalah
Antecedent ialah segala hal yang mencetuskan atau menyebabkan perilaku yang
dipermasalahkan. Behavior ialah segala hal mengenai perilaku yang
dipermasalahkan. Behavior ini dilihat dari sisi frekuensinya, intensitasnya dan
lamanya. Consequence ialah akibat-akibat yang diperoleh setelah perilaku itu
terjadi. Konsekuensi inilah yang biasanya “memelihara” perilaku yang menjadi
masalah. Dengan menggunakan metode rantai ABC diharapkan dapat menyentuh
emosional masyarakat sehingga masyarakat akan melakukan perubahan perilaku
kesehatan terutama mengenai kebiasaan buang air besar (Jumriani dkk, 2020).
Strategi lainnya yaitu perlu adanya kolaborasi antar lembaga akademis,
media, dinas kesehatan, dan lembaga pemerintah daerah untuk mengedukasi,
membina, mengubah mindset dan meningkatkan kesadaran masyarakat untuk
berperilaku sehat dan bersih termasuk menghilangkan BABS, serta dapat
dilakukan penyuluhan terkait model jamban tripikon atau satu alat yang memiliki
16

fungsi seperti septic tank untuk mengatasi masalah sanitasi pada suatu daerah
yang memiliki lahan yang sempit (Nurlatif dkk, 2019).

B. Analisis Kasus pada Skenario lebih Mendalam


Berdasarkan skenario yang ada pada kaliamat pertama “Seorang ibu
bekerja sebagai seorang pemulung di sebuah Tempat Pemrosesan Akhir Sampah
(TPA)” Pekerjaan pemulung sampah dilakukan dari pagi sampai sore hari mereka
pun kerap kali melakukan aktifitas ditempat dimana mereka bekerja, seperti
makan, minum, buang air kecil, dan buang air besar, tanpa memperhatikan
kesehatan dan kebersihan yang baik. Higiene dan sanitasi mereka yang kurang
baik, seperti tidak menggunakan alas kaki selama bekerja, tidak mencuci tangan
sebelum makan, buang air kecil dan buang air besar sembarangan, akan
mengundang berbagai penyakit, salah satunya yaitu penyakit kecacingan,
khususnya infeksi cacing dari golongan Soil transmitted helminths. Bahkan, di
musim hujan pun mereka tetap memulung sampah, tanpa mempedulikan kondisi
tanah yang licin dan lembab, sehingga memungkinkan untuk telur cacing dari
STH bertahan hidup. Pekerjaan pemulung sampah dilakukan dari pagi sampai
sore hari mereka pun kerap kali melakukan aktifitas ditempat dimana mereka
bekerja, seperti makan, minum, buang air kecil, dan buang air besar, tanpa
memperhatikan kesehatan dan kebersihan yang baik. (Setyowatiningsih L, 2017).
Pada kalimat kedua dan ketiga yaitu “Dia memiliki seorang anak laki-laki
berusia 6 tahun. Suatu ketika anaknya sakit dan terlihat sangat pucat, lemas dan
badannya kurus” menunjukkan bahwa sang anak memiliki gejala kecacingan
sesuai dengan peneltian dari Sari dkk (2019) yang menyebutkan gejala yang
sering dijumpai pada infeksi kecacingan yaitu lemah, mudah lesu, sering
mengantuk, badan tampak kurus karena kekurangan nutrisi penting untuk
tubuh terlebih lagi anak itu tersebut masih anak-anak dimana anak kecil belum
memahami tentang menjaga kebersihan dirinya seperti kebiasaan membeli jajanan
yang tidak berpenutup, tidak mencuci tangan sebelum makan, setelah makan,
setelah bermain, dan setelah berolahraga (Kartini, 2017). Pada beberapa daerah
Indonesia prevalensi infeksi kecacingan umumnya masih tinggi antara 60-90%,
terutama terdapat pada anak-anak sekolah dasar dan golongan penduduk yang
17

kurang mampu dengan akses sanitasi yang terbatas. Kelompok umur terbanyak
adalah pada usia 5-14 tahun, 21% diantaranya menyerang anak usia sekolah dasar.
Tingginya prevalensi ini disebabkan oleh kondisi iklim Indonesia yang tropis
dengan kelembaban udara tinggi serta kondisi sanitasi dan higiene yang buruk
(Suriani dkk, 2019).
Selanjutnya pada kalimat keempat dan kelima yaitu “Si ibu pun membawa
anaknya ke Puskesmas terdekat. Petugas kesehatan menanyakan keluhan
kesehatan bahwa berat badan si anak turun drastis dalam 1 bulan terakhir padahal
tidak ada pola makan yang berubah” jika cacing sudah berada dalam tubuh
manusia terutama anak-anak akan hidup, mendapatkan perlindungan dan
menerima makanan dari anak-anak itu sebagai hospes. Cacing menyerap nutrisi
dari tubuh anak-anak yang ditumpanginya, penyerapan nutrisi ini akan
menyebabkan kelemahan dan penyakit tidak heran jika pola makan anak tersebut
tidak berubah namun berat badannya terus menurun secara drastis. Didalam
saluran perut setiap 20 ekor cacing dewasa bisa menyedot 2,8 gram karbohidrat
dan 0,7 gram protein dalam sehari. Tergantung dari jenisnya, cacing akan tetap
disaluran pencernaan atau berpenetrasi ke jaringan lain (Andini N, 2018). Tanda
infeksi cacing diperoleh dari pemeriksaan laboratorium dan pengamatan
cacing pada feses (Ulayya dkk, 2018). Diagnosa cacingan dapat ditegakkan
dengan menemukan telur cacing dan cacing dewasa melalui kotoran/feses (Hanif
dkk, 2017).
Pada kalimat keenam “Perubahan fisik lain yang terlihat adalah perut anak
terlihat membuncit dan keluhan rasa tidak enak pada perutnya” pada kalimat ini
menunjukananak mengalami gejala infeksi ang berat dimana WHO (2016)
menebutkaan gejala akibat penyakit kecacingan berhubungan dengan jumlah
cacing yang menginfeksi tubuh. Infeksi yang ringan belum menimbulkan gejala,
sedangkan infeksi yang lebih berat dapat menyebabkan beberapa gejala berupa
diare, sakit perut, lesu, kelemahan, gangguan kognitif dan perkembangan fisik
(Bedah S, 2018). Pada kalimat ketujuh “Sejak beberapa bulan terakhir anak juga
ikut diajak untuk memulung” hal ini sangat berhubungan dengan kebersihan
perorangan yang masih buruk dimana memulung sangat erat kaitannya dengan
18

sampah yang mengakibatkan bakteri dari sampah tersebut dapat dengan mudah
menyebarkan penyakit (Widodo A, 2019).
Selanjutnya pada kalimat kedelapan “Riwayat kesehatan anak sebelumnya
sering diare dan keluhan gatal pada anus” Kategori intensitas infeksi kecacingan
dibagi dua yaitu: apabila intensitasinfeksi cacingan dalam kategori ringan,
maka tidak ada dampak atau gejala yang signifikan. Pada intensitas infeksi
yang berat dapat menimbulkan gejala klinis ketika cacing telah menginfeksi
usus maka dimungkinkan terjadi diare dan sakit perut, malnutrisi,malaise
dan kelemahan dan gangguan pertumbuhan serta perkembangan fisik
(Kusumarini dkk, 2021). Faktor pendukung terjadinya infeksi kecacingan yang
ditularkan melalui tanah adalah karena Indonesia merupakan negara dengan iklim
tropis, dan kelembapan udara yang tinggi. Kondisi tanah yang lembab dengan
bertumpuknya banyak sampah merupakan habitat yang tepat untuk nematoda
hidup dan berkembang biak. Tekstur tanah yang sangat bervariasi yang terdiri dari
tanah pasir, debu dan tanah liat sangat memungkinkan hidup dan berkembang
biak telur-telur cacing Soil Transmitted Helminths (STH) hingga menjadi cacing
yang infektif menularkan penyakit kecacingan (Tuuk HA, 2020).
Berdasarkan kalimat terakhir yaitu “Ibu tidak pernah memperhatikan
kebiasaan Buang Air Besar dan Buang Air kecil karena biasa dilakukan di pinggir
sungai”. Praktek buang air besar sembarangan diartikan menjadi buang air besar
sembarang tempat dan membiarkan tinjanya pada tempat terbuka. Padahal sanitasi
dan perilaku hidup sehat akan mengurangi kejadian penyakit yang menular
melalui air, serta memberikan manfaat sosial, lingkungan, dan ekonomi yang
signifikan (Hadi S, 2020). Sanitasi merupakan salah satu komponen dari
kesehatan lingkungan yaitu perilaku yang disengaja untuk membudidayakan
hidup bersih untuk mencegah manusia bersentuhan langsung dengan kotoran dan
bahan buangan berbahaya lainnya, dengan harapan dapat menjaga dan
meningkatkan kesehatan manusia. Hal ini karena, lingkungan dapat berperan
menjadi penyebab langsung faktor yang berpengaruh dalam menunjang
terjangkitnya penyakit dan sebagai faktor yang mempengaruhi perjalanan
penyakit. Tinja atau kotoran manusia merupakan media sebagai tempat
berkembang dan sumber bibit penyakit menular. Dampak penyakit yang paling
19

sering terjadi akibat buang air besar sembarangan ke sungai adalah mengundang
datangnya lalat atau serangga yang dapat menjadipenular penyakit diare, kolera
disentri, thypus, kecacingan, penyakit saluran pencernaan, penyakit kulit dan
keracunan (Anwar S, 2017).
Maka dari itu peran petugas kesehatan adalah membina peran serta
masyarakat dalam rangka meningkatkan kemampuan untuk hidup sehat. Dalam
hal penggunaan jamban, kegiatan yang dilakukan oleh petugas kesehatan
anatara lain adalah memberikan penyuluhan secara berkala tentang manfaat
dan syarat-syarat jamban sehat, juga melakukan pembinaan kepada masyrakat
untuk meningkatkan kesadaran dan kemauan masyrakat memiliki dan
menggunakan jamban keluarga. Pemanfaatan jamban tidak terwujud apabila
masyarakat belum terbentuk keyakinan akan manfaat dari perilaku tersebut.
Bila intensitas penyuluhan tidak kontinyu atau tidak cukup membentuk
keyakinan, maka peran petugas kesehatan belum dapat membentuk keyakinan
masyarakat dalam merubah perilaku pemanfaatan jamban (Yasin, 2020).

C. Rekomendasi dan Solusi


Pencegahan dan penanggulangan cacingan di Indonesia diatur dalam
Undang-Undang Nomor 15 tahun 2017 tentang penanggulangan cacingan, salah
satu caranya dengan strategi deworming yang dikenal dengan Pemberian Obat
Pencegahan secara Massal (POPM). Pemerintah telah melakukan upaya melalui
Dinas Kesehatan untuk mengatasi masalah tersebut dengan pemberian obat cacing
gratis dan penyuluhan kesehatan oleh tenaga kesehatan seperti dokter, apoteker,
dan bidan atau Dinas Kesehatan Daerah melalui posyandu atau puskesmas.
Apabila masyarakat menunjukkan respon yang pasif terhadap program tersebut,
petugas dapat langsung mendatangi masyarakat ke rumah-rumah, upaya lainnya
dengan perbaikan sanitasi lingkungan, peningkatan status gizi, kebersihan
perorangan serta partisipasi masyarakat. Pemerintah memiliki program pemberian
obat cacing yang dilakukan secara serentak kepada semua penduduk sasaran di
wilayah beresiko cacingan yang disebut dengan POPM. POPM diadakan di
daerah dengan prevalensi cacingan tinggi selama dua kali dalam satu tahun dan
untuk daerah dengan prevalensi cacingan sedang diberikan selama satu kali dalam
20

satu tahun. Obat yang diberikan saat program POPM yaitu Albendazol dan
Mebendazo (Yurika E dkk, 2020).

Pemerintah telah menggalakkan kampanye Hari Cuci Tangan Pakai Sabun


Sedunia (HCTPS) sebagai upaya untuk menurunkan tingkat kematian balita dan
pencegahan terhadap penyakit yang dapat berdampak pada penurunan kualitas
hidup manusia. Kampanye ini adalah sebuah gerakan yang bersifat global.
Penyakit-penyakit yang dapat dicegah melalui program tersebut meliputi infeksi
saluran pernafasan, pneumonia, diare, infeksi cacing, infeksi mata, dan penyakit
kulit. mencegah adanya infeksi yang berulang, dilakukan dengan mendisiplinkan
perilaku hidup bersih dan sehat antara lain tidak melakukan kontak dengan tanah,
mencuci buahbuahan dengan air bersih sebelum dimakan, mencuci tangan dengan
sabun setelah menggunakan toilet, defekasi dan buang air di toilet, menjaga
kebersihan kuku dan tetap pendek, dan mimum dengan air yang bersih. Oleh
karena itu, faktor penting untuk memperbaiki kesehatan berasal dari faktor
perilaku. Adanya peningkatan pengetahuan dapat memperbaiki perilaku dan dapat
meningkatkan derajat kesehatan, sehingga dapat mengurangi tingginya kejadian
akan penyakit tersebut (Yurika E dkk, 2020).
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan dari pembahasan diatas dapat disimpulkan mengenai
permasalahan yang didapatkan pada skenario merupakan penyakit kecacingan.
Kecacingan disebabkan oleh nematoda yang ditularkan ke manusia melalui tanah
yang terkontaminasi feses. Cacing yang termasuk dalam Soil Transmitted
Helminth. Kategori intensitas infeksi kecacingan dibagi dua yaitu: apabila
intensitas infeksi cacingan dalam kategori ringan, maka tidak ada dampak atau
gejala yang signifikan. Pada intensitas infeksi yang berat dapat menimbulkan
gejala klinis ketika cacing telah menginfeksi usus maka dimungkinkan terjadi
diare dan sakit perut, malnutrisi, malaise dan kelemahan dan gangguan
pertumbuhan serta perkembangan fisik.
Penyakit infeksi cacing dapat ditemukan disemua golongan usia dan jenis
kelamin namun paling sering terjadi pada anak-anak dikarenakan pada umumnya
anak menyukai permainan yang hampir selalu berhubungan langsung dengan
tanah dan tanah merupakan media yang baik bagi perkembangan cacing. Faktor
lainnya yang berhubungan dengan kejadian kecacingan yaitu daerah bersuhu
hangat atau beriklim tropis karena mendukung untuk perkembangan larva cacing.
Kondisi sanitasi lingkungan juga sangat erat hubungannya dengan kecacingan
dikarenakan dapat menjadi sumber penularan cacing pada tubuh manusia.
Penyakit cacingan biasanya terjadi dilingkungan yang kumuh. Selain sanitasi
tempat tinggal, kejadian kecacingan juga didukung oleh tidak tersedianya fasilitas
jamban atau WC. Perilaku BAB tidak di jamban serta kurangnya ketersediaan
sumber air bersih adalah beberapa kondisi sebagai faktor risiko terjadinya
penyakit cacingan.

B. Saran
1. Program pengendalian kecacingan agar dapat semakin ditingkatkan oleh
pemerintah. Salah satunya program pemberian Obat Pencegahan secara

21
22

Massal (POPM). Pemberian obat cacing diharapkan dapat dilaksanakan secara


merata bagi seluruh masyarakat.
2. Pemerintah juga agar semakin menggalakkan kampanye terkait pentingnya
Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) sebagai upaya untuk menurunkan
risiko kejadian kecacingan dimasyarakat.
3. Masyarakat diharapkan agar mendukung program-program pemerintah demi
mencegah adanya infeksi yang berulang, dengan mendisiplinkan perilaku
hidup bersih dan sehat dalam kehidupan sehari-hari, seperti tidak melakukan
kontak dengan tanah, mencuci tangan dengan sabun setelah menggunakan
toilet, defekasi dan buang air di toilet, menjaga kebersihan kuku dan tetap
pendek, dan lain-lain.
DAFTAR PUSTAKA

Alrosyidi AF, Sepiana KS, Khofifah. Tingkat pengetahuan wali murid MI AS-
Syafi’iy terhadap penyakit cacingan di Tambaksari Sumenep. Jurnal Ilmiah
Farmasi Attamru 1(1): 28-35.
Andini N, Utomo B. 2018. Hubungan antara personal hygiene dengan kejadian
kecacingan murid Mi Ma’arif Nu Banteran Kecamatan Sumbang Kabupaten
Banyumas tahun 2017. Buletin Keslingmas, 37(2), 136-143.
Anwar S. 2017. Sosialisasi pentingnya tidak membuang air besar di sungai (Stop
BABS) di Desa Gampang Kecamatan Prambon. Jurnal Abadimas Adi
Buana, 1(1), 43-48.
Bedah S, Adelina S. 2018. Infeksi kecacingan pada anak usia 8-14 tahun di RW
007 Tanjung Lengkong Kelurahan Bidaracina, Jatinegara, Jakarta Timur.
Jurnal Ilmiah Kesehatan. 10(1): 20-31
Elba F. 2021. Faktor kejadian cacingan pada balita stunting di Kecamatan
Pamulihan Kabupaten Sumedang. Jurnal Sehat Masada 15(1): 65-73.
Hadi S, Syuhud S. 2020. Pendampingan Masyarakat Desa Kloposawit Candipuro
Lumajang dalam Mengurai Kebiasaan Buang Air Besar di Sungai Berbasis
Participatory Action Research. Khidmatuna: Jurnal Pengabdian
Masyarakat, 1(1), 1-15.
Hanif DI, Moch Y, Rara WG. 2017. Gambaran pengetahuan penyakit cacingan
(Healminthiasis) pada wali murid SDN 1,2,3 dan 4 Mulyoagung Kecamatan
Dau Kabupaten Malang Jawa Timur. The Indonesian Journal of Public
Health 2(2): 1-10.
Indriyati L, Annida A, Fakhrizal D. 2017. Tingginya angka kecacingan pasca
pengobatan massal filariasis (dec dan albendazole) di SDN Juku Eja
Pagatan. JHECDs: Journal of Health Epidemiology and Communicable
Diseases 3(1): 15-21.
Irianto K. 2013. Parasitologi Medis (Mecal Laboratory). Bandung: Alfabeta.
Jumriani J, Suriah S, Rachmat M. 2020. Modifikasi perilaku penghentian buang
air besar sembarangan dengan metode antecedent behavior
consequence. Hasanuddin Journal of Public Health 1(2): 132-141.
Kartini S, dkk. 2017. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian
kecacingan soil transmitted helminths pada anak usia 1–5 tahun di RW 07
Geringging Kecamatan Rumbai Pesisir. JOPS (Journal Of Pharmacy and
Science) 1(1): 33-39.
Kurniasari S, Khofifah K. 2020. Tingkat pengetahuan wali murid mi as-syafi'iy
terhadap penyakit cacingan di Tambaksari Sumenep. Jurnal Ilmiah Farmasi
Attamru 1(1): 28-34.
Kusumarini S, dkk. 2021. Gambaran pengetahuan dan penerapan personal
hygiene siswa dalam upaya mencegah infeksi soil transmitted helminth
(STH). Jurnal Inovasi Hasil Pengabdian Masyarakat (JIPEMAS), 4(1), 134-
143.
Natalia NKAV, Kresnawai WS, Koamesah SMJ. 2020. Hubungan kebiasaan
buang air besar sembarangan dan bermain di tanah dengan kejadian infeksi
cacing usus pada anak di Desa Lifuleo. Jurnal Cendana Medical 19(1): 72-
78.
Nurlatif RV, Priharwanti A, Maulana J. 2019. Self efficacy pelaku buang air besar
sembarangan di kota pekalongan (model rekayasa perilaku dan jamban
tripikon sebagai langkah percepatan pencapaian 100% odf di Kota
Pekalongan). Jurnal Litbang Kota Pekalongan 17.
Nuryani DD, Ima Y. 2017. Hubungan personal hygiene dengan penyakit
kecacingan pada anak sekolah dasar di Dusun Pangkul Tengah Desa
Mulang Mayang Kecamatan Kotabumi Selatan, Kabupaten Lampung Utara.
Jurnal Dunia Kesmas 6(2): 97-103.
Pratiwi EE, Liena S. 2019. Kecacingan sebagai faktor risiko kejadian anemia pada
anak. Jurnal Kesehatan Masyarakat Indonesia 14(2): 1-6.
Suriani E, Nuzulia I, Yuniar L. 2019. Analisis faktor penyebab kejadian
kecacingan pada anak sekolah dasar di Wilayah Kerja Puskesmas Lubuk
Buaya Padang tahun 2017. Jurnal Kesehatan Andalas 8(4): 81-88.
Sardjono TW. 2020. Helmintologi Kedokteran dan Veteriner-Edisi Revisi.
Malang: UB Press.
Sari PS, dkk. 2019. Pemeriksaan status gizi dan kecacingan di wilayah SDN 2
Malaka Lombok Utara. Jurnal Pengabdian Magister Pendidikan IPA 2(2).
Sari OP, Tutik IR, Liera DS. 2019. Hubungan perilaku kebersihan perorangan
dengan kecacingan pada siswa SD Susukan Kecamatan Sumbang
Kabupaten Banyumas. Mandala of Health: A Scientific Journal 12(1): 120-
129.
Setyowatiningsih, L., & Surati, S. (2017). Hubungan higiene sanitasi dengan
kejadian infeksi soil transmitted helminths pada pemulung di TPS
Jatibarang. Jurnal Riset Kesehatan, 6(1), 40-44.
Sulastri D, dkk. 2020. Gambaran kejadian infeksi kecacingan, kadar seng dan
kadar haemoglobin pada anak usia sekolah dasar di Kota Makassar. The
Journal of Indonesian Community Nutrition 9(1): 9-16.
Tuuk HA, Pijoh VD, Bernadus JB. 2020. Survei Penyakit Kecacingan Pada
Pekerja Tambang Tradisional di Desa Soyoan Kecamatan Ratatotok
Kabupaten Minahasa Tenggara. eBiomedik, 8(1).)
Ulayya T, Aryu C, Deny YF. 2018. Hubungan asupan protein, zat besi, dan seng
dengan kejadian infeksi kecacingan pada balita di Kota Semarang. Journal
of Nutrition College 7(4): 177-185.
Widodo, A., & Ikawati, K. (2019). Pemeriksaan telur soil transmitted helminths
pada kotoran kuku pemulung di Tempat Pembuangan Akhir (TPA)
sampah. Majalah Kesehatan Masyarakat Aceh (MaKMA), 2(2); 133-141
Yasin A, Teni S, Dina A. 2020. Menghentikan kebiasaan buang air besar
sembarangan (BABS) dengan kegiatan pemicu di RW 02 Dusun Gunung
Kawung Desa Cikunir Wilayah Kerja Puskesmas Singaparna Kabupaten
Tasikmalaya tahun 2019. Jurnal Abdimas Kesehatan Tasikmalaya 1(2): 25-
30.
Yurika E, dkk. 2020. Profil pengetahuan orang tua terkait penyakit cacingan dan
program deworming serta perilaku berisiko terkena cacingan pada anak.
Jurnal Farmasi Komunitas 6(2): 52-59.

Anda mungkin juga menyukai