SKENARIO I
“ANAKKU”
Oleh :
KELOMPOK XIX
2021
LAPORAN KASUS
BELAJAR BERBASIS MASALAH (BBM)
FAKTOR RISIKO PENYAKIT WILAYAH LAHAN BASAH
SKENARIO I
“ANAKKU”
Disusun oleh :
KELOMPOK XIX
Halaman
JUDUL....................................................................................................... i
LEMBAR PENGESAHAN....................................................................... ii
DAFTAR ISI............................................................................................. iii
BAB I. PENDAHULUAN
A. SKENARIO.............................................................................. 1
B. ANALISA KASUS................................................................... 1
1. Langkah 1........................................................................... 1
2. Langkah 2........................................................................... 2
3. Langkah 3........................................................................... 2
4. Langkah 4........................................................................... 4
5. Langkah 5........................................................................... 4
BAB II. PEMBAHASAN
A. Tinjauan Kasus berdasarkan sasaran belajar yang
Mengacu Pada pustaka yang relevan dengan kasus.................. 5
B. Analisis Kasus pada Skenario lebih mendalam ....................... 16
C. Rekomendasi dan Solusi........................................................... 19
BAB III. PENUTUP
A. Kesimpulan............................................................................... 21
B. Saran.......................................................................................... 22
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
BAB I
PENDAHULUAN
A. Skenario
Anakku...
B. Analisis Kasus
Langkah 1. Klarifikasi/identifikasi istilah (clarify term)
a. Identifikasi istilah
1. Tempat Pemrosesan Akhir Sampah (TPA)
2. Diare
3. Pemulung
4. Pola Makan
5. Sakit
a. Klarifikasi istilah
1. Tempat Pemrosesan Akhir Sampah (TPA) merupakan salah satu tempat
membuang sampah terakhir dalam pengelolaan sampah, dari pertama
dikumpul, diangkut, dikelola, dan dibuang.
1
2
Kecacingan
BAB dan BAK Sanitasi yang Riwayat Kerja Tidak Mencuci Tempat Kerja
Sembarangan Buruk Memulung Tangan Sebelum yang Kotor
Makan
PEMBAHASAN
6
7
2. Gejala Kecacingan
Pada kasus yang ringan, kecacingan biasanya tidak memberi gejala yang
nyata dan spesifik. Gejala yang sering dijumpai pada infeksi kecacingan antara
lain lemah, mudah lesu, sering mengantuk, badan tampak kurus karena
kekurangan nutrisi penting untuk tubuh (Sari dkk, 2019). Sedangkan untuk gejala
berupa terasa gatal pada bagian pantat, merupakan salah satu gejala untuk jenis
cacing Enterobius vermicularis (Syahrir & Aswadi, 2016).
Kategori intensitas infeksi kecacingan dibagi dua yaitu: apabila intensitas
infeksi cacingan dalam kategori ringan, maka tidak ada dampak atau gejala yang
signifikan. Pada intensitas infeksi yang berat dapat menimbulkan gejala klinis
ketika cacing telah menginfeksi usus maka dimungkinkan terjadi diare dan sakit
perut, malnutrisi, malaise dan kelemahan dan gangguan pertumbuhan serta
perkembangan fisik (Kusumarini dkk, 2021). Gejala anak yang menderita
penyakit cacingan yaitu memiliki kondisi fisik seperti kekurangan gizi. Hal
tersebut dikarenakan penderita penyakit cacingan mengalami anemia atau kondisi
kekurangan darah. Anemia terjadi karena cacing dalam usus menghisap darah
penderita (Kurniasari & Khofifah, 2020).
4. Jenis-jenis Kecacingan
Adapun beberapa jenis cacing yang sering terjadi pada saat ini, diantaranya:
a. Cacing kremi (Enterobius vermicularis)
Cacing ini lebih sering terjadi pada anak-anak, lantaran anak-anak senang
bermain kotor-kotoran, contohnya main tanah. Setelah puas bermain, tanpa
cuci tangan anak-anak langgsung mengambil makanan. Sehingga telur cacing
yang menempel pada jari tangan mereka akan ikut masuk kedalam mulut.
Biasanya telur tersebut menetas diusus kecil dan masuk ke usus besar. Pada
usus besar cacing kremi akan menempel dan mengambil makanan, setelah
dewasa cacing kremi betina menuju anus untuk mengeluarkan telur. Inilah
penyebab kenapa anak-anak yang terkena cacing kremi. Adapun ciri-ciri anak
yang terkena cacing kremi adalah : gatal disekitar anus, susah tidur, terasa
nyeri dan terjadi iritasi disekitar anus, dan terdapat cacing kremi pada tinja
(Kurniasari & Khofifah, 2020).
b. Cacing gelang (Ascariasis lumbricoides)
Gangguan dapat sebabkan larva yang masuk ke paru- paru sehingga terjadi
perdarahan pada dinding alveoul. Gangguan yang disebabkan oleh cacing
biasanya ringan seperti; mual, berkurangnya nafsu makan, diare dan
konstipasi. Pada infeksi yang berat yang terjadi pada anak-anak dapat
menyebabkan gangguan penyerapan makanan (malabsorbition). Keadaaan
dikatakan serius apabila cacing menggumpal dalam usus sehingga
mengakibatkan penyumbatan pada usus (Kurniasari & Khofifah, 2020).
c. Cacing cambuk (Trichuris trichiura)
Infeksi banyak terdapat di daerah curah hujan tinggi, iklim subtropis dan
pada tempat yang banyak populasi tanah. Infeksi berat terhadap anak-anak
lebih mudah terserang daripada orang dewasa. Anak-anak yang suka bermain
di tanah dan mereka mendapat kontaminasi dari pekarangan yang kotor.
Infeksi terjadi karena menelan telur yang telah berembrio melalui tangan,
makanan, atau minuman yang telah terkontaminasi, langsung melalui debu,
hewan rumah atau barang mainan. Penderita anak-anak dengan infeksi
Trichuris yang berat dan menahun, menunjukkan gejala diare yang sering
10
padat penghuni dengan sanitasi yang buruk. Hasil survei Departemen Kesehatan
Republik Indonesia di beberapa provinsi di Indonesia menunjukkan prevalensi
kecacingan untuk semua umur di Indonesia berkisar antara 40% - 60%. Lebih dari
610 juta anak usia sekolah berisiko tinggi terinfeksi cacing (Natalia dkk, 2020).
Faktor yang berperan dalam cacingan, antara lain:
a. Usia
Penyakit infeksi cacing dapat ditemukan disemua golongan usia dan jenis
kelamin namun paling sering terjadi pada anak-anak yang berusia 10 tahun
atau kurang. Hal ini disebabkan karena keterlibatan mereka secara langsung
dengan lingkungan tempat bermain sangat tinggi. Anak-anak dikelompok ini
rentan menderita penyakit cacingan karena mereka kerap bermain di luar
rumah. Aneka permainan pada anak usia sekolah pada umumnya hampir
selalu berhubungan langsung dengan tanah dan tanah merupakan media yang
baik bagi perkembangan cacing (Sulastri dkk, 2020).
b. Daerah bersuhu hangat
Prevalensi peyakit cacingan cenderung lebih sering terjadi di negara-
negara berkembang yang memiliki suhu hangat sepanjang tahun (Kurniasari &
Khofifah, 2020). Indonesia merupakan negara beriklim tropis yang dapat
mendukung penyebaran infeksi kecacingan yang ditularkan melalui tanah,
dimana iklim tropis dan kelembaban yang tinggi mendukung untuk
perkembangan larva cacing tambang dan pematangan telur cacing gelang dan
cacing cambuk (Sulastri dkk, 2020).
c. Sanitasi lingkungan
Kondisi sanitasi lingkungan sangat erat hubungannya dengan cacingan.
Hal ini dikarenakan sanitasi lingkungan yang tidak memadai dapat menjadi
sumber penularan cacing pada tubuh manusia. Penyakit cacingan biasanya
terjadi dilingkungan yang kumuh terutama didaerah kota dan daerah
pinggiran. Jumlah prevalensi Ascaris lumbricoide banyak ditemukan didaerah
pinggiran atau pedesaan yang masyarakatnya sebagian besar masih hidup
dalam kekurangan (Kurniasari & Khofifah, 2020).
Selain sanitasi tempat tinggal, kejadian kecacingan juga didukung oleh
tidak tersedianya fasilitas jamban atau WC. Perilaku Buang Air Besar (BAB)
12
fungsi seperti septic tank untuk mengatasi masalah sanitasi pada suatu daerah
yang memiliki lahan yang sempit (Nurlatif dkk, 2019).
kurang mampu dengan akses sanitasi yang terbatas. Kelompok umur terbanyak
adalah pada usia 5-14 tahun, 21% diantaranya menyerang anak usia sekolah dasar.
Tingginya prevalensi ini disebabkan oleh kondisi iklim Indonesia yang tropis
dengan kelembaban udara tinggi serta kondisi sanitasi dan higiene yang buruk
(Suriani dkk, 2019).
Selanjutnya pada kalimat keempat dan kelima yaitu “Si ibu pun membawa
anaknya ke Puskesmas terdekat. Petugas kesehatan menanyakan keluhan
kesehatan bahwa berat badan si anak turun drastis dalam 1 bulan terakhir padahal
tidak ada pola makan yang berubah” jika cacing sudah berada dalam tubuh
manusia terutama anak-anak akan hidup, mendapatkan perlindungan dan
menerima makanan dari anak-anak itu sebagai hospes. Cacing menyerap nutrisi
dari tubuh anak-anak yang ditumpanginya, penyerapan nutrisi ini akan
menyebabkan kelemahan dan penyakit tidak heran jika pola makan anak tersebut
tidak berubah namun berat badannya terus menurun secara drastis. Didalam
saluran perut setiap 20 ekor cacing dewasa bisa menyedot 2,8 gram karbohidrat
dan 0,7 gram protein dalam sehari. Tergantung dari jenisnya, cacing akan tetap
disaluran pencernaan atau berpenetrasi ke jaringan lain (Andini N, 2018). Tanda
infeksi cacing diperoleh dari pemeriksaan laboratorium dan pengamatan
cacing pada feses (Ulayya dkk, 2018). Diagnosa cacingan dapat ditegakkan
dengan menemukan telur cacing dan cacing dewasa melalui kotoran/feses (Hanif
dkk, 2017).
Pada kalimat keenam “Perubahan fisik lain yang terlihat adalah perut anak
terlihat membuncit dan keluhan rasa tidak enak pada perutnya” pada kalimat ini
menunjukananak mengalami gejala infeksi ang berat dimana WHO (2016)
menebutkaan gejala akibat penyakit kecacingan berhubungan dengan jumlah
cacing yang menginfeksi tubuh. Infeksi yang ringan belum menimbulkan gejala,
sedangkan infeksi yang lebih berat dapat menyebabkan beberapa gejala berupa
diare, sakit perut, lesu, kelemahan, gangguan kognitif dan perkembangan fisik
(Bedah S, 2018). Pada kalimat ketujuh “Sejak beberapa bulan terakhir anak juga
ikut diajak untuk memulung” hal ini sangat berhubungan dengan kebersihan
perorangan yang masih buruk dimana memulung sangat erat kaitannya dengan
18
sampah yang mengakibatkan bakteri dari sampah tersebut dapat dengan mudah
menyebarkan penyakit (Widodo A, 2019).
Selanjutnya pada kalimat kedelapan “Riwayat kesehatan anak sebelumnya
sering diare dan keluhan gatal pada anus” Kategori intensitas infeksi kecacingan
dibagi dua yaitu: apabila intensitasinfeksi cacingan dalam kategori ringan,
maka tidak ada dampak atau gejala yang signifikan. Pada intensitas infeksi
yang berat dapat menimbulkan gejala klinis ketika cacing telah menginfeksi
usus maka dimungkinkan terjadi diare dan sakit perut, malnutrisi,malaise
dan kelemahan dan gangguan pertumbuhan serta perkembangan fisik
(Kusumarini dkk, 2021). Faktor pendukung terjadinya infeksi kecacingan yang
ditularkan melalui tanah adalah karena Indonesia merupakan negara dengan iklim
tropis, dan kelembapan udara yang tinggi. Kondisi tanah yang lembab dengan
bertumpuknya banyak sampah merupakan habitat yang tepat untuk nematoda
hidup dan berkembang biak. Tekstur tanah yang sangat bervariasi yang terdiri dari
tanah pasir, debu dan tanah liat sangat memungkinkan hidup dan berkembang
biak telur-telur cacing Soil Transmitted Helminths (STH) hingga menjadi cacing
yang infektif menularkan penyakit kecacingan (Tuuk HA, 2020).
Berdasarkan kalimat terakhir yaitu “Ibu tidak pernah memperhatikan
kebiasaan Buang Air Besar dan Buang Air kecil karena biasa dilakukan di pinggir
sungai”. Praktek buang air besar sembarangan diartikan menjadi buang air besar
sembarang tempat dan membiarkan tinjanya pada tempat terbuka. Padahal sanitasi
dan perilaku hidup sehat akan mengurangi kejadian penyakit yang menular
melalui air, serta memberikan manfaat sosial, lingkungan, dan ekonomi yang
signifikan (Hadi S, 2020). Sanitasi merupakan salah satu komponen dari
kesehatan lingkungan yaitu perilaku yang disengaja untuk membudidayakan
hidup bersih untuk mencegah manusia bersentuhan langsung dengan kotoran dan
bahan buangan berbahaya lainnya, dengan harapan dapat menjaga dan
meningkatkan kesehatan manusia. Hal ini karena, lingkungan dapat berperan
menjadi penyebab langsung faktor yang berpengaruh dalam menunjang
terjangkitnya penyakit dan sebagai faktor yang mempengaruhi perjalanan
penyakit. Tinja atau kotoran manusia merupakan media sebagai tempat
berkembang dan sumber bibit penyakit menular. Dampak penyakit yang paling
19
sering terjadi akibat buang air besar sembarangan ke sungai adalah mengundang
datangnya lalat atau serangga yang dapat menjadipenular penyakit diare, kolera
disentri, thypus, kecacingan, penyakit saluran pencernaan, penyakit kulit dan
keracunan (Anwar S, 2017).
Maka dari itu peran petugas kesehatan adalah membina peran serta
masyarakat dalam rangka meningkatkan kemampuan untuk hidup sehat. Dalam
hal penggunaan jamban, kegiatan yang dilakukan oleh petugas kesehatan
anatara lain adalah memberikan penyuluhan secara berkala tentang manfaat
dan syarat-syarat jamban sehat, juga melakukan pembinaan kepada masyrakat
untuk meningkatkan kesadaran dan kemauan masyrakat memiliki dan
menggunakan jamban keluarga. Pemanfaatan jamban tidak terwujud apabila
masyarakat belum terbentuk keyakinan akan manfaat dari perilaku tersebut.
Bila intensitas penyuluhan tidak kontinyu atau tidak cukup membentuk
keyakinan, maka peran petugas kesehatan belum dapat membentuk keyakinan
masyarakat dalam merubah perilaku pemanfaatan jamban (Yasin, 2020).
satu tahun. Obat yang diberikan saat program POPM yaitu Albendazol dan
Mebendazo (Yurika E dkk, 2020).
A. Kesimpulan
Berdasarkan dari pembahasan diatas dapat disimpulkan mengenai
permasalahan yang didapatkan pada skenario merupakan penyakit kecacingan.
Kecacingan disebabkan oleh nematoda yang ditularkan ke manusia melalui tanah
yang terkontaminasi feses. Cacing yang termasuk dalam Soil Transmitted
Helminth. Kategori intensitas infeksi kecacingan dibagi dua yaitu: apabila
intensitas infeksi cacingan dalam kategori ringan, maka tidak ada dampak atau
gejala yang signifikan. Pada intensitas infeksi yang berat dapat menimbulkan
gejala klinis ketika cacing telah menginfeksi usus maka dimungkinkan terjadi
diare dan sakit perut, malnutrisi, malaise dan kelemahan dan gangguan
pertumbuhan serta perkembangan fisik.
Penyakit infeksi cacing dapat ditemukan disemua golongan usia dan jenis
kelamin namun paling sering terjadi pada anak-anak dikarenakan pada umumnya
anak menyukai permainan yang hampir selalu berhubungan langsung dengan
tanah dan tanah merupakan media yang baik bagi perkembangan cacing. Faktor
lainnya yang berhubungan dengan kejadian kecacingan yaitu daerah bersuhu
hangat atau beriklim tropis karena mendukung untuk perkembangan larva cacing.
Kondisi sanitasi lingkungan juga sangat erat hubungannya dengan kecacingan
dikarenakan dapat menjadi sumber penularan cacing pada tubuh manusia.
Penyakit cacingan biasanya terjadi dilingkungan yang kumuh. Selain sanitasi
tempat tinggal, kejadian kecacingan juga didukung oleh tidak tersedianya fasilitas
jamban atau WC. Perilaku BAB tidak di jamban serta kurangnya ketersediaan
sumber air bersih adalah beberapa kondisi sebagai faktor risiko terjadinya
penyakit cacingan.
B. Saran
1. Program pengendalian kecacingan agar dapat semakin ditingkatkan oleh
pemerintah. Salah satunya program pemberian Obat Pencegahan secara
21
22
Alrosyidi AF, Sepiana KS, Khofifah. Tingkat pengetahuan wali murid MI AS-
Syafi’iy terhadap penyakit cacingan di Tambaksari Sumenep. Jurnal Ilmiah
Farmasi Attamru 1(1): 28-35.
Andini N, Utomo B. 2018. Hubungan antara personal hygiene dengan kejadian
kecacingan murid Mi Ma’arif Nu Banteran Kecamatan Sumbang Kabupaten
Banyumas tahun 2017. Buletin Keslingmas, 37(2), 136-143.
Anwar S. 2017. Sosialisasi pentingnya tidak membuang air besar di sungai (Stop
BABS) di Desa Gampang Kecamatan Prambon. Jurnal Abadimas Adi
Buana, 1(1), 43-48.
Bedah S, Adelina S. 2018. Infeksi kecacingan pada anak usia 8-14 tahun di RW
007 Tanjung Lengkong Kelurahan Bidaracina, Jatinegara, Jakarta Timur.
Jurnal Ilmiah Kesehatan. 10(1): 20-31
Elba F. 2021. Faktor kejadian cacingan pada balita stunting di Kecamatan
Pamulihan Kabupaten Sumedang. Jurnal Sehat Masada 15(1): 65-73.
Hadi S, Syuhud S. 2020. Pendampingan Masyarakat Desa Kloposawit Candipuro
Lumajang dalam Mengurai Kebiasaan Buang Air Besar di Sungai Berbasis
Participatory Action Research. Khidmatuna: Jurnal Pengabdian
Masyarakat, 1(1), 1-15.
Hanif DI, Moch Y, Rara WG. 2017. Gambaran pengetahuan penyakit cacingan
(Healminthiasis) pada wali murid SDN 1,2,3 dan 4 Mulyoagung Kecamatan
Dau Kabupaten Malang Jawa Timur. The Indonesian Journal of Public
Health 2(2): 1-10.
Indriyati L, Annida A, Fakhrizal D. 2017. Tingginya angka kecacingan pasca
pengobatan massal filariasis (dec dan albendazole) di SDN Juku Eja
Pagatan. JHECDs: Journal of Health Epidemiology and Communicable
Diseases 3(1): 15-21.
Irianto K. 2013. Parasitologi Medis (Mecal Laboratory). Bandung: Alfabeta.
Jumriani J, Suriah S, Rachmat M. 2020. Modifikasi perilaku penghentian buang
air besar sembarangan dengan metode antecedent behavior
consequence. Hasanuddin Journal of Public Health 1(2): 132-141.
Kartini S, dkk. 2017. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian
kecacingan soil transmitted helminths pada anak usia 1–5 tahun di RW 07
Geringging Kecamatan Rumbai Pesisir. JOPS (Journal Of Pharmacy and
Science) 1(1): 33-39.
Kurniasari S, Khofifah K. 2020. Tingkat pengetahuan wali murid mi as-syafi'iy
terhadap penyakit cacingan di Tambaksari Sumenep. Jurnal Ilmiah Farmasi
Attamru 1(1): 28-34.
Kusumarini S, dkk. 2021. Gambaran pengetahuan dan penerapan personal
hygiene siswa dalam upaya mencegah infeksi soil transmitted helminth
(STH). Jurnal Inovasi Hasil Pengabdian Masyarakat (JIPEMAS), 4(1), 134-
143.
Natalia NKAV, Kresnawai WS, Koamesah SMJ. 2020. Hubungan kebiasaan
buang air besar sembarangan dan bermain di tanah dengan kejadian infeksi
cacing usus pada anak di Desa Lifuleo. Jurnal Cendana Medical 19(1): 72-
78.
Nurlatif RV, Priharwanti A, Maulana J. 2019. Self efficacy pelaku buang air besar
sembarangan di kota pekalongan (model rekayasa perilaku dan jamban
tripikon sebagai langkah percepatan pencapaian 100% odf di Kota
Pekalongan). Jurnal Litbang Kota Pekalongan 17.
Nuryani DD, Ima Y. 2017. Hubungan personal hygiene dengan penyakit
kecacingan pada anak sekolah dasar di Dusun Pangkul Tengah Desa
Mulang Mayang Kecamatan Kotabumi Selatan, Kabupaten Lampung Utara.
Jurnal Dunia Kesmas 6(2): 97-103.
Pratiwi EE, Liena S. 2019. Kecacingan sebagai faktor risiko kejadian anemia pada
anak. Jurnal Kesehatan Masyarakat Indonesia 14(2): 1-6.
Suriani E, Nuzulia I, Yuniar L. 2019. Analisis faktor penyebab kejadian
kecacingan pada anak sekolah dasar di Wilayah Kerja Puskesmas Lubuk
Buaya Padang tahun 2017. Jurnal Kesehatan Andalas 8(4): 81-88.
Sardjono TW. 2020. Helmintologi Kedokteran dan Veteriner-Edisi Revisi.
Malang: UB Press.
Sari PS, dkk. 2019. Pemeriksaan status gizi dan kecacingan di wilayah SDN 2
Malaka Lombok Utara. Jurnal Pengabdian Magister Pendidikan IPA 2(2).
Sari OP, Tutik IR, Liera DS. 2019. Hubungan perilaku kebersihan perorangan
dengan kecacingan pada siswa SD Susukan Kecamatan Sumbang
Kabupaten Banyumas. Mandala of Health: A Scientific Journal 12(1): 120-
129.
Setyowatiningsih, L., & Surati, S. (2017). Hubungan higiene sanitasi dengan
kejadian infeksi soil transmitted helminths pada pemulung di TPS
Jatibarang. Jurnal Riset Kesehatan, 6(1), 40-44.
Sulastri D, dkk. 2020. Gambaran kejadian infeksi kecacingan, kadar seng dan
kadar haemoglobin pada anak usia sekolah dasar di Kota Makassar. The
Journal of Indonesian Community Nutrition 9(1): 9-16.
Tuuk HA, Pijoh VD, Bernadus JB. 2020. Survei Penyakit Kecacingan Pada
Pekerja Tambang Tradisional di Desa Soyoan Kecamatan Ratatotok
Kabupaten Minahasa Tenggara. eBiomedik, 8(1).)
Ulayya T, Aryu C, Deny YF. 2018. Hubungan asupan protein, zat besi, dan seng
dengan kejadian infeksi kecacingan pada balita di Kota Semarang. Journal
of Nutrition College 7(4): 177-185.
Widodo, A., & Ikawati, K. (2019). Pemeriksaan telur soil transmitted helminths
pada kotoran kuku pemulung di Tempat Pembuangan Akhir (TPA)
sampah. Majalah Kesehatan Masyarakat Aceh (MaKMA), 2(2); 133-141
Yasin A, Teni S, Dina A. 2020. Menghentikan kebiasaan buang air besar
sembarangan (BABS) dengan kegiatan pemicu di RW 02 Dusun Gunung
Kawung Desa Cikunir Wilayah Kerja Puskesmas Singaparna Kabupaten
Tasikmalaya tahun 2019. Jurnal Abdimas Kesehatan Tasikmalaya 1(2): 25-
30.
Yurika E, dkk. 2020. Profil pengetahuan orang tua terkait penyakit cacingan dan
program deworming serta perilaku berisiko terkena cacingan pada anak.
Jurnal Farmasi Komunitas 6(2): 52-59.