Anda di halaman 1dari 48

MASALAH YANG LAZIM PADA BAYI NORMAL DAN BALITA

MAKALAH

OLEH :
ARA NADIA 220107140P
DERIS SUMARNI 220107010P
EGIE AYU WULANDARI 220107014P
FIRANTY HERSIANA 220107088P
ERSANTI FEBBY SAPUTRI 220107097P
HARINI 220107033P
HANIZA 220107225P
INA MARLINA 220107009P
INTAN SUCI SUGIYONO 220107098P
JIHAN MEYDIANA HILMI 220107224P
MELYA SARI 220107085P
REKHA PUTRI CIKMANUNA 220107217P

PROGRAM STUDI S1 KEBIDANAN KONVERSI FAKULTAS KESEHATAN


UNIVERSITAS AISYAH PRINGSEWU LAMPUNG
TAHUN 2023
MASALAH YANG LAZIM PADA BAYI NORMAL DAN BALITA

Makalah

Disusun sebagai Tugas Mata Kuliah


Ilmu Kesehatan Anak

OLEH :
ARA NADIA 220107140P
DERIS SUMARNI 220107010P
EGIE AYU WULANDARI 220107014P
FIRANTY HERSIANA 220107088P
ERSANTI FEBBY SAPUTRI 220107097P
HARINI 220107033P
HANIZA 220107225P
INA MARLINA 220107009P
INTAN SUCI SUGIYONO 220107098P
JIHAN MEYDIANA HILMI 220107224P
MELYA SARI 220107085P
REKHA PUTRI CIKMANUNA 220107217P

PROGRAM STUDI S1 KEBIDANAN KONVERSI FAKULTAS KESEHATAN


UNIVERSITAS AISYAH PRINGSEWU LAMPUNG
TAHUN 2023

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala limpahan Rahmat, Hidayah dan
Karunia-Nya, sehingga penyusunan mata kuliah Ilmu Kesehatan Anak ini dapat
terselesaikan. Penyelesaian ini juga berkat dorongan dan bantuan dari berbagai
pihak. Perkenankan penulis pada kesempatan kali ini untuk mengaturkan rasa
terima kasih kepada yang terhormat :
1. Sukarni, S. ST. M. Kes., selaku ketua yayasan Aisyah Lampung.
2. Hardono, S.Kep., Ners., M.Kep., selaku Rektor Universitas Aisyah Pringsewu
Lampung.
3. Feri Kameliawati, S. Kep., Ns., M. Kep., selaku Dekan fakultas kesehatan
Universitas Asiyah Pringsewu.
4. Septika Yani Veronica, S.ST., M. Tr.Keb., selaku ketua Program Studi Ilmu
Kebidanan Universitas Aisyah Pringsewu,
5. Dosen pengampu mata kuliah Ilmu Kesehatan Anak.

Semoga Allah SWT berkenan membalas kebaikan serta bantuan yang telah
diberikan dan semoga makalah ini dapat memberikan manfaat.

Pringsewu, Mei 2023

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i


HALAMAN JUDUL DENGAN SPESIFIKASI .......................................... ii
KATA PENGANTAR.................................................................................... iii
DAFTAR ISI................................................................................................... iv

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang................................................................................ 1
B. Tujuan Praktikum............................................................................ 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


A. Gumoh............................................................................................. 4
B. Muntah............................................................................................ 6
C. Deaper Rash.................................................................................... 8
D. Dermatitis Atopik............................................................................ 14
E. Alergi Makanan pada Bayi dan Balita............................................ 28
F. Rhinitis Alergi................................................................................. 34
G. Konstipasi pada Bayi dan Balita..................................................... 37

DAFTAR PUSTAKA

iv
1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kesehatan anak merupakan salah satu masalah utama dalam bidang kesehatan

yang saat ini terjadi di Indonesia. Derajat kesehatan anak mencerminkan

derajat kesehatan bangsa, sebab anak sebagai generasi penerus bangsa

memiliki kemampuan yang dapat dikembangkan dalam meneruskan

pembangunan bangsa. Berdasarkan alasan tersebut, masalah kesehatan anak

diprioritaskan dalam perencanaan atau penataan pembangunan bangsa

(Kemenkes RI, 2018).

Pemerintah melalui Sustuinable Development Goals (SDGs) sebagai upaya

pembangunan khususnya bidang kesehatan memiliki beberapa target dan

indikator yang harus dicapai. Pengentasan kemiskinan serta kelaparan,

pemerataan pendidikan dasar, mendukung adanya persamaan jender,

mengurangi tingkat kematian anak, meningkatkan kesehatan ibu, perlawanan

terhadap penyakit menular, menjamin daya dukung lingkungan hidup,

mengembangkan kemitraan global untuk pembangunan. Salah satu poin yang

menjadi prioritas pemerintah adalah menurunkan angka kematian ibu dan anak

(Kemenkes RI, 2018).

Kematian anak masih menjadi masalah kesehatan utama di seluruh dunia

terutama Indonesia. 1 dari 30 anak meninggal sebelum mencapai usia lima


2

tahun. Lebih dari setengahnya disebabkan oleh berbagai masalah kesehatan

yang sebenarnya dapat diubah (Unicef Indonesia, 2022).

B. Tujuan

1. Tujuan Umum

Mahasiswa mampu memahami masalah kesehtan umum pada anak.

2. Tujuan Khusus

a. Mahasiswa mampu memahami konsep gumoh

b. Mahasiswa mampu memahami konsep Muntah

c. Mahasiswa mampu memahami konsep Deaper Rash/Eksim Popok

d. Mahasiswa mampu memahami konsep Dermatitis Atopik

e. Mahasiswa mampu memahami konsep Alergi Makanan pada Bayi dan

Balita

f. Mahasiswa mampu memahami konsep Rhinitis Alergi pada bayi dan

Balita

g. Mahasiswa mampu memahami konsep Konstipasi pada Bayi dan

Balita
3

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Gumoh

1. Pengertian

Gumoh adalah aliran balik isi lambung ke dalam kerongkongan dan

dikeluarkan melalui mulut yang berlangsung secara involunter. Keadaan

ini sering ditemukan pada bayi dan merupakan salah satu keluhan yang

sering disampaikan oleh orangtua pada saat kunjungan ke dokter (IDAI,

2013).

Gumoh (spitting up atau gastroesophageal reflux) merupakan keluarnya

sebagian susu saat atau setelah bayi menyusu. Gumoh sering ditemui pada

bayi sampai usia 1 tahun dan merupakan hal yang normal terjadi. Volume

susu yang mengalir keluar dari mulut bervariasi, umumnya 1-2 sendok

makan (IDAI, 2013).

2. Etiologi

Gumoh terutama terjadi karena ukuran lambung bayi yang masih sangat

kecil (seukuran bola pingpong) dan katup lambung yang belum kuat.

Sampai usia 4 bulan, lambung bayi hanya dapat menampung susu dalam

jumlah kecil setiap kali minum. Volume susu yang terlalu banyak akan

menyebebakan gumoh. Katup lambung bayi juga belum dapat menutup

dengan erat sehingga susu yang sudah berada dalam lambung dapat
4

mengalir kembali ke mulut jika volume susu terlalu besar atau jika bayi

langsung berbaring setelah minum. Gumoh umumnya terjadi saat bayi

minum susu terlalu banyak, saat bersendawa, atau menelan banyak udara.

Bayi dapat menelan banyak udara jika minum terlalu cepat atau saat

menangi (IDAI, 2013).

3. Gejala Klinis

Gumoh umumnya jarang ditemukan di atas umur 1 tahun. Komplikasi

akibat paparan asam lambung yang terlalu banyak dan lama perlu

dipertimbangkan bila ditemukan pucat (anemia), darah pada muntahan

atau tinja, menolak makan, kenaikan berat badan yang adekuat, rewel

berlebihan.

Gejala nyeri umumnya timbul akibat paparan asam lambung berlebihan

atau berlangsung lama pda dinding kerongkongan. Bayi akan menjadi

rewel, cengeng, dan kadang-kadang sampai menjerit. Bayi juga sering

memperlihatkan posisi mengkakukan punggungnya saat atau setelah

makan (back arching). Pada esofagitis berat mungkin dijumpai darah pada

isi muntahan, nyeri atau gangguan menelan, dan darah pada tinjanya.

Gangguan yang yang berlangsung terus menerus dapat menyebabkan

gangguan pertumbuhan. Gagal tumbuh terjadi bila jumlah masukan nutrisi

lebih sedikit dibanding jumlah yang keluar (IDAI, 2013).


5

4. Pencegahan

Untuk mencegah gumoh, setelah minum susu posisikan bayi tegak selama

30 menit, pastikan bahwa tidak ada yang menekan bagian perut bayi, dan

sendawakan bayi. Jangan paksakan bayi untuk minum susu lebih banyak

dari yang diinginkan (IDAI, 2013).

5. Pentalaksanaan

Penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada bayi yang mengalami Gumoh

adalah sebagai berikut :

a. Bayi yang tampak sehat, tumbuh dengan baik, dan tanpa gejala

komplikasi, tidak perlu dilakukan pemeriksaan penunjang diagnostik.

Bayi dengan problem minum (seperti; menolak minum, regurgitasi

setiap minum), sulit tidur, atau menangis yang berlebihan sering

menimbulkan kecemasan pada orangtuanya. Orangtua harus

memamhami tentang kondisi yang ada, karena dengan pemahaman

yang tepat diharapkan dapat mengurangi kecemasan orang tua.

Kecemasan orang tua tidak akan hilang selama gejala klnis pada

bayinya tidak berkurang.

b. ASI eksklusif tetap merupakan pilihan utama pada bayi dengan

regurgitasi. Beberapa kajian memperlihatkan bayi dengan ASI secara

eksklusif mengalami regurgitasi lebih sedikit dibanding mereka yang

mendapat susu formula.

c. Bila gumoh sangat berlebihan sehingga menimbulkan kecemasan

orangtua yang berlebihan pula, maka bayi yang oleh karena sesuatu hal
6

tidak mendapat ASI eksklusif atau sudah mendapat susu formula dapat

diberikan thickening formula. Thickened formula ada yang beredar

dipasaran tetapi dapat pula dibuat melalui modifikasi dengan cara

mencampurkan 5 gram tepung beras (1 sendok takar) ke dalam 100 ml

susu formula. Thickened formula telah dibuktikan dapat mengurangi

gumoh dan memperpanjang lama tidur. Thickened milk tidak

diberikan pada bayi yang mendapat ASI eksklusif.

d. Posisi tidur terlentang dengan sudut 45-60 derajat dengan alas tempat

tidur dianjurkan pada bayi dengan gumoh berlebihan. Pada bayi dalam

posisi miring, harus diperhatikan posisi lengannya agar bayi tidak

menyebabkan posisi tengkurap. Hindarkan penggunaan alas tidur yang

terlalu empuk.

e. Obat mungkin diperlukan pada sebagian kecil bayi, tetapi harus di

bawah pengawasan ketat dokter. Obat yang diberikan harus rasional

dan bertujuan agar kualitas hidup bayi tidak terganggu. Orangtua harus

kritis terhadap obat yang diberikan kepada anaknya. Pemberian obat

penekan asam lambung yang sudah lama tetapi tidak memperlihatkan

perbaikan klinis nyata, perlu dilakukan evaluasi diagnosis (IDAI,

2013).

B. Muntah

1. Pengertian

Muntah pada bayi merupakan kondisi keluarnya isi perut secara spontan.

Saat hal ini terjadi, bayi cenderung menjadi rewel. Muntah yang keluar
7

begitu saja, biasanya setelah menyusui, umumnya disebabkan lambung

bayi tidak bisa menampung makanan yang masuk (IDAI, 2013).

2. Etiologi

Terdapat berbagai penyebab bayi sering muntah, mulai dari yang wajar

sampai harus diwaspadai (IDAI, 2013). Berikut adalah penjelasannya :

a. Makan atau minum terlalu banyak dan cepat

Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, ukuran lambung bayi yang

masih kecil butuh penyesuaian dengan porsi susu atau makanan. Bayi

perlu disendawakan agar makanan yang masuk bisa muat di perutnya.

Memaksakan bayi makan terlalu banyak dan terlalu cepat dapat

membuat bayi muntah.

b. Memiliki refleks muntah

Bayi dengan refleks muntah yang sensitif akan cenderung

memuntahkan obat-obatan atau makanan yang tidak dia sukai. Dalam

kasus ini, bayi akan memuntahkan makanan sesaat setelah

menelannya.

c. Mengalami penyakit asam lambung

Penyakit asam lambung pada bayi terjadi karena lingkaran otot antara

kerongkongan dan lambungnya masih berkembang. Penyakit asam

lambung dapat menyebabkan makanan dari lambung kembali naik ke

kerongkongan, dan juga bisa membuatnya cegukan. Terkadang

makanan yang kembali ke kerongkongan masuk sedikit ke

tenggorokan, sehingga Si Kecil batuk-batuk.


8

d. Mengalami gangguan pencernaan

Bayi sering muntah secara tiba-tiba diiringi dengan diare, bisa

menandakan adanya gangguan pencernaan gastroenteritis. Kondisi ini

sering kali disebabkan oleh infeksi virus, meskipun terkadang

disebabkan oleh bakteri dan parasit.

e. Alergi terhadap susu atau makanan

Bila bayi sering muntah terutama setelah disusui, Anda perlu

mencurigainya mengalami alergi protein, baik yang terdapat dalam

ASI maupun susu formula. Kondisi ini muncul karena sistem

kekebalan tubuh bayi bereaksi berlebihan terhadap protein di dalam

susu yang diminumnya. Jika Anda mencurigai bayi mengalami alergi

susu, segera konsultasikan pada dokter anak untuk pemilihan susu

pengganti yang sesuai.

f. Intoleransi susu atau makanan

Karena gejalanya yang mirip, secara klinis sulit membedakan apakah

muntah pada bayi disebabkan oleh alergi atau intoleransi susu. Namun

satu hal yang bisa dipastikan adalah bahwa kondisi ini terjadi karena

bayi sulit mencerna laktosa yang terdapat pada susu sapi karena bayi

tidak memiliki enzim pencernaan yang cukup untuk mencerna laktosa.

g. Stenosis pylorus

Stenosis pilorus terjadi karena penebalan otot pengontrol katup yang

mengarah dari lambung ke usus. Hal ini membuat makanan dan susu

tidak dapat mengalir ke usus, sehingga tetap tertahan di lambung atau


9

malah naik ke kerongkongan. Kondisi ini biasanya terjadi dalam waktu

30 menit setelah makan. Kondisi ini umumnya dialami oleh bayi

berusia sekitar 6 minggu, tetapi juga bisa terjadi kapan saja sebelum

usianya mencapai 3 bulan. Karena kondisi ini dapat menyebabkan

masalah kesehatan lain, seperti dehidrasi dan kekurangan gizi, bayi

Anda membutuhkan penanganan dokter sesegera mungkin.

h. Mengalami penyakit serius

Bayi sering muntah, apalagi sehabis disusui, memang merupakan hal

yang wajar. Namun bukan berarti orang tua boleh mengabaikan

kondisi ini, karena muntah juga bisa menjadi gejala meningitis, infeksi

saluran kemih, atau usus buntu.

3. Pencegahan Bayi Muntah

Cara mengatasi bayi sering muntah, terutama muntah setelah makan atau

menyusui, adalah cukup dengan membantunya bersendawa (Kemenkes RI,

2021). Untuk melakukannya, gendong bayi dalam posisi tegak 30 menit

setelah makan. Selain itu, dapat melakukan metode di bawah ini, sesuai

dengan penyebab bayi sering muntah:

a. Suapi Si Kecil dengan makanan secara perlahan, bila sudah mulai

MPASI.

b. Jika muntah disertai diare, gantikan cairan yang hilang dengan

memberikan oralit. Namun, pemberian oralit ini sebaiknya atas

instruksi dokter. Sebelum konsultasi dengan dokter, susui Si Kecil

seperti biasa.
10

c. Apabila bayi sering muntah setelah diberi susu formula, Anda dapat

beralih ke susu formula berbasis kacang kedelai (susu soya) atau susu

formula khusus yang tidak mengandung laktosa. Namun, susu soya

sebaiknya tidak diberikan ke bayi berusia kurang dari 6 bulan atau

tanpa pengawasan dokter.

d. Jika Si Kecil didiagnosis stenosis pilorus, kondisi ini dapat diatasi

dengan tindakan operasi.

C. Deaper Rash/Eksim Popok

1. Pengertian

Diaper rash adalah kelainan kulit (ruam kulit) yang timbul akibat radang

pada daerah yang tertutup diapers, yaitu kemaluan, sekitar dubur, bokong,

lipat paha, dan perut bagian bawah. Penyakit ini sering terjadi pada bayi

dan anak balita yang menggunakan diapers, biasanya pada usia kurang dari

3 tahun, paling banyak pada usia 9 sampai 12 bulan (Apriza, 2017).

Diaper rash merupakan masalah kulit pada daerah yang tertutup diapers

yang sering dialami oleh bayi atau anak-anak. Biasanya daerah pada kulit

yang sering terjadi ruam karena diapers yaitu bokong dan kemaluan

(Setianingsih & Hasanah, 2017)

2. Klasifikasi

Klasifikasi Diaper Rash menurut Meliyana & Hikmalia (2017) dibagi

menjadi 3 derajat yaitu :


11

a. Derajat I (Ringan)

1) Terjadi kemerahan samar-samar pada daerah diapers.

2) Terjadi kemerahan kecil pada daerah diapers.

3) Kulit mengalami sedikit kekeringan.

4) Terjadi benjolan (papula) sedikit.

b. Derajat II (Sedang)

1) Terjadi kemerahan samar-samar pada daerah diapers yang lebih

besar.

2) Terjadi kemerahan pada daerah diapers dengan luas yang kecil.

3) Terjadi kemerahan yang intens pada daerah sangat kecil.

4) Terjadi benjolan (papula) dan tersebar.

5) Kulit mengalami kekeringan skala sedang.

c. Derajat III (Berat)

1) Terjadi kemerahan pada daerah yang lebih besar.

2) Terjadi kemerahan yang intens pada daerah yang lebih besar.

3) Kulit mengalami pengelupasan.

4) Banyak terjadi benjolan (papula) dan tiap benjolan terdapat cairan

(pustula).

5) Kemungkinan terjadi edema (pembengkakan).

3. Manifestasi Klinis

Tanda dan gejala dari diaper rash menurut Meliyana & Hikmalia (2017)

yaitu :
12

a. Gejala yang dapat dilihat pada diaper rash oleh kontak dengan iritan

yaitu kemerahan yang meluas dan berkilat, seperti luka bakar, timbul

bintik-bintik merah, lecet atau luka seperti bersisik, basah dan bengkak

pada daerah yang paling lama kontak dengan diapers, seperti pada

bagian dalam dan lipatan paha.

b. Gejala yang terlihat akibat gesekan yang berulang pada tepi diapers,

yaitu bercak kemerahan membentuk garis tepi batas diapers pada paha

dan perut.

c. Gejala diaper rash disebabkan oleh jamur ditandai dengan bercak atau

bintik kemerahan berwarna merah terang, basah dengan lecet-lecet

pada selaput lendir dan kulit sekitar anus, dan terdapat lesi di

sekitarnya.

4. Patofisiologi

Diaper rash adalah gambaran suatu dermatitis kontak, iritasi atau sering

dikenal dengan Dermatitis Diapers Iritan Primer (DPIP). Infeksi sekunder

akibat dari mikroorganisme seperti candida albicans sering timbul setelah

72 jam terjadinya diaper rash. Candida albicans adalah mikroorganisme

tersering yang kita jumpai pada daerah diapers.

Penggunaan diapers berhubungan dengan peningkatan yang signifikan

pada hidrasi dan pH kulit. Pada keadaan hidrasi yang berlebihan,

permeabilitas kulit akan meningkat terhadap iritan, meningkatnya

koefisien gesekan sehingga mudah terjadi abrasi dan merupakan kondisi


13

yang cocok untuk pertumbuhan mikroorganisme sehingga mudah terjadi

infeksi.

Kondisi pH yang lebih tinggi, enzim feses yang dihasilkan oleh bakteri

pada saluran cerna dapat mengiritasi kulit secara langsung dan dapat

meningkatkan kepekaan kulit terhadap bahan iritan lainnya,

superhydration urease enzyme yang terdapat pada stratum korneum

melepas amoniak dari bakteri kutaneus. Urease mempunyai efek iritasi

yang ringan pada kulit yang tidak intak. Lipase dan protoase pada feses,

yang bercampur dengan urin akan menghasilkan lebih banyak amoniak

dan meningkatkan pH kulit.

Amoniak bukan merupakan bahan iritan yang turut berperan dalam

patogenesis diaper rash. Pada observasi klinis menunjukkan bayi dengan

diaper rash tidak tercium aroma amoniak yang kuat. Feses bayi yang

diberikan ASI mempunyai pH yang rendah dan tidak rentan terkena diaper

rash. Gesekan akibat gerakan menyebabkan kulit terluka dan mudah

terjadi iritasi sehingga terjadi resiko inflamasi atau resiko infeksi,

kemudian pada luka iritasi pada kulit dapat memunculkan diagnosis

keperawatan kerusakan integritas kulit, dari luka iritasi menimbulkan rasa

gatal dan panas pada bokong ataupun kemaluan hal ini memunculkan

masalah keperawatan gangguan rasa nyaman (Yuriati & Noviandani,

2017).
14

5. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan yang dapat dilakukan jika anak terkena diaper rash yaitu:

Bila anak telah mengalami diaper rash, daerah tersebut tidak boleh terkena

air dan harus tetap dibiarkan terbuka supaya kulit tidak begitu lembab,

untuk membersihkannya bisa menggunakan kapas halus yang

mengandung minyak, sedangkan bila anak BAB dan BAK harus segera

membersihkan dan mengeringkannya, pastikan posisi tidur anak yang

nyaman agar tidak terlalu menekan kulit atau daerah yang terkena iritasi,

usahakan memberikan makanan yang nutrisinya seimbang karena dengan

memberikan makanan yang seimbang dapat mempengaruhi kadar asam

pada feses yang dikeluarkan anak, selalu pertahankan kebersihan pakai an

dan alat-alat yang digunakan sebab terjadinya diaper rash bisa saja

diakibatkan oleh bakteri atau kuman yang menempel pada pakaian dan alat

yang sering digunakan, dan cara membersihkan pakaian atau celana yang

terkena air kencing harus direndam dengan air yang dicampur acidum

borium karena manfaat acidum borium sebagai antiseptik dan antibakteri

kemudian dibersihkan dan tidak boleh dibilas dengan sabun cuci langsung

dikarenakan diaper rash pada anak disebabkan oleh alergi sabun cuci

tersebut jadi sebaiknya dibilas dengan air bersih lalu dikeringkan

(Nurbaeti, 2017).
15

D. Dermatitis Atopik

1. Pengertian

Dermatitis adalah peradangan kulit epidermis dan dermis sebagai respon

terhadap pengaruh faktor eksogen atau faktor endogen, menimbulkan

kelainan klinis berubah eflo-resensi polimorfik. (eritema, edema, papul,

vesikel, skuama, dan keluhan gatal) (Juanda, 2015)

Dermatitis atopik adalah penyakit kulit inflamasi yang bersifat kronik

disertai rasa gatal yang hebat serta eksaserbasi kronik dan remisi, dengan

etiologi yang multifaktorial.Penyakit ini biasanya dihubungkan dengan

penyakit alergi lain seperti asma bronkial dan rhinokonjungtivitis alerg

(Widhya, 2014)

2. Klasifikasi

Dermatitis muncul dalam beberapa jenis, yang masing-masing memiliki

indikasi dan gejala berbeda menurut Djuanda (2015) yang dapat

dikategorikan sebagai berikut :

a. Contact Dermatitis

Dermatitis kontak adalah dermatitis yang disebabkan oleh

bahan/substansi yang menempel pada kulit. Dermatitis yang muncul

dipicu alergen (penyebab alergi) tertentu seperti racun yang terdapat

pada tanaman merambat atau detergen. Indikasi dan gejala antara kulit

memerah dan gatal. Jika memburuk, penderita akan mengalami bentol-

bentol yang meradang. Disebabkan kontak langsung dengan salah satu


16

penyebab iritasi pada kulit atau alergi. Contohnya sabun cuci/detergen,

sabun mandi atau pembersih lantai. Alergennya bisa berupa karet,

logam, perhiasan, parfum, kosmetik atau rumput.

b. Neurodermatitis

Peradangan kulit kronis, gatal, sirkumstrip, ditandai dengan kulit tebal

dan garis kulit tampak lebih menonjol (likenifikasi) menyerupai kulit

batang kayu, akibat garukan atau gosokan yang berulang-ulang karena

berbagai ransangan pruritogenik. Timbul karena goresan pada kulit

secara berulang, bisa berwujud kecil, datar dan dapat berdiameter

sekitar 2,5 sampai 25 cm. Penyakit ini muncul saat sejumlah pakaian

ketat yang kita kenakan menggores kulit sehingga iritasi. Iritasi ini

memicu kita untuk menggaruk bagian yang terasa gatal. Biasanya

muncul pada pergelangan kaki, pergelangan tangan, lengan dan bagian

belakang dari leher.

c. Seborrheich Dermatitis

Kulit terasa berminyak dan licin; melepuhnya sisi-sisi dari hidung,

antara kedua alis, belakang telinga serta dada bagian atas. Dermatitis

ini seringkali diakibatkan faktor keturunan, muncul saat kondisi mental

dalam keadaan stres atau orang yang menderita penyakit saraf seperti

Parkinson.

d. Statis Dermatitis

Merupakan dermatitis sekunder akibat insufisiensi kronik vena (atau

hipertensi vena) tungkai bawah. Muncul dengan adanya varises,


17

menyebabkan pergelangan kaki dan tulang kering berubah warna

menjadi memerah atau coklat, menebal dan gatal. Dermatitis muncul

ketika adanya akumulasi cairan di bawah jaringan kulit. Varises dan

kondisi kronis lain pada kaki juga menjadi penyebab.

e. Atopic Dermatitis

Merupakan keadaan peradangan kulit kronis dan resitif, disertai gatal

yang umumnya sering terjadi selama masa bayi dan anak-anak, sering

berhubungan dengan peningkatan kadar IgE dalam serum dan riwayat

atopi pada keluarga atau penderita (D.A, rinitis alergik, atau asma

bronkial). Kelainan kulit berupa papul gatal yang kemudian

mengalami ekskoriasi dan likenifikasi, distribusinya dilipatan

(fleksural).

Dengan indikasi dan gejala antara lain gatal-gatal, kulit menebal, dan

pecah-pecah. Seringkali muncul di lipatan siku atau belakang lutut.

Dermatitis biasanya muncul saat alergi dan seringkali muncul pada

keluarga, yang salah satu anggota keluarga memiliki asma. Biasanya

dimulai sejak bayi dan mungkin bisa bertambah atau berkurang tingkat

keparahannya selama masa kecil dan dewasa.

3. Etiologi

Penyebab dermatitis dapat berasal dari luar(eksogen), misalnya bahan

kimia (contoh : detergen, asam, basa, oli, semen), fisik (sinar dan suhu),

mikroorganisme (contohnya : bakteri, jamur) dapat pula dari dalam

(endogen), misalnya dermatitis atopik.


18

Sejumlah kondisi kesehatan, alergi, faktor genetik, fisik, stres, dan iritasi

dapat menjadi penyebab eksim. Masing-masing jenis eksim, biasanya

memiliki penyebab berbeda pula. Seringkali, kulit yang pecah-pecah dan

meradang yang disebabkan eksim menjadi infeksi. Jika kulit tangan ada

strip merah seperti goresan, kita mungkin mengalami selulit infeksi bakteri

yang terjadi di bawah jaringan kulit. Selulit muncul karena peradangan

pada kulit yang terlihat bentol-bentol, memerah, berisi cairan dan terasa

panas saat disentuh dan. Selulit muncul pada seseorang yang sistem

kekebalan tubuhnya tidak bagus. Segera periksa ke dokter jika kita

mengalami selulit dan eksim (Djuanda, 2015).

4. Patofisiologi

Dermatitis timbul akibat kerusakan sel yang disebabkan oleh bahan iritan

melalui kerja kimiawi maupun fisik. Bahan iritan merusak lapisan tanduk,

dalam beberapa menit atau beberapa jam bahan-bahan iritan tersebut akan

berdifusi melalui membran untuk merusak lisosom, mitokondria dan

komponen-komponen inti sel. Dengan rusaknya membran lipid keratinosit

maka fosfolipase akan diaktifkan dan membebaskan asam arakidonik akan

membebaskan prostaglandin dan leukotrin yang akan menyebabkan

dilatasi pembuluh darah dan transudasi dari faktor sirkulasi dari

komplemen dan system kinin. Juga akan menarik neutrofil dan limfosit

serta mengaktifkan sel mast yang akan membebaskan histamin,

prostaglandin dan leukotrin.


19

PAF akan mengaktivasi platelets yang akan menyebabkan perubahan

vaskuler. Diacil gliserida akan merangsang ekspresi gen dan sintesis

protein. Pada dermatitis kontak iritan terjadi kerusakan keratisonit dan

keluarnya mediator- mediator. Sehingga perbedaan mekanismenya dengan

dermatis kontak alergik sangat tipis yaitu dermatitis kontak iritan tidak

melalui fase sensitisasi. Ada dua jenis bahan iritan yaitu : iritan kuat dan

iritan lemah. Iritan kuat akan menimbulkan kelainan kulit pada pajanan

pertama pada hampir semua orang, sedang iritan lemah hanya pada mereka

yang paling rawan atau mengalami kontak berulang-ulang. Faktor

kontribusi, misalnya kelembaban udara, tekanan, gesekan dan oklusi,

mempunyai andil pada terjadinya kerusakan tersebut (Djuanda, 2015).

5. Manifestasi Klinis

Subyektif ada tanda–tanda radang akut terutama priritus ( sebagai

pengganti dolor). Selain itu terdapat pula kenaikan suhu (kalor),

kemerahan (rubor), edema atau pembengkakan dan gangguan fungsi kulit

(function laisa). Obyektif, biasanya batas kelainan tidak tegas dan terdapat

lesi polimorfi yang dapat timbul scara serentak atau beturut-turut. Pada

permulaan eritema dan edema. Edema sangat jelas pada klit yang longgar

misalya muka (terutama palpebra dan bibir) dan genetelia eksterna.

Infiltrasi biasanya terdiri atas papul.

Dermatitis madidans (basah) bearti terdapat eksudasi. Disana-sini terdapat

sumber dermatitis, artinya terdapat Vesikel-veikel fungtiformis yang


20

berkelompok yang kemudian membesar. Kelainan tersebut dapat disertai

bula atau pustule, jika disertai infeksi.Dermatitis sika (kering) berarti tidak

madidans bila gelembung-gelembung mengering maka akan terlihat erosi

atau ekskoriasi dengan krusta. Hal ini berarti dermatitis menjadi kering

disebut ematiti sika. Pada stadium tersebut terjadi deskuamasi, artinya

timbul sisik. Bila proses menjadi kronis tapak likenifikasi dan sebagai

sekuele telihat hiperpigmentai atau hipopigmentasi (Djuanda, 2015).

6. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang yang dapay dilakukan pada pasien dengan indikasi

Dermatitis menurut Djuanda (2015) adalah sebagai berikut :

a. Laboratorium

1) Darah : Hb, leukosit, hitung jenis, trombosit, elektrolit, protein

total, albumin, globulin

Urin : pemerikasaan histopatologi

b. Penunjang (pemeriksaan Histopatologi)

Pemeriksaan ini tidak memberi gambaran khas untuk diagnostik

karena gambaran histopatologiknya dapat juga terlihat pada dermatitis

oleh sebab lain. Pada dermatitis akut perubahan pada dermatitis

berupa edema interseluler (spongiosis), terbentuknya vesikel atau

bula, dan pada dermis terdapat dilatasi vaskuler disertai edema dan

infiltrasi perivaskuler sel-sel mononuclear.


21

Dermatitis sub akut menyerupai bentuk akut dengan terdapatnya

akantosis dan kadangkadang parakeratosis. Pada dermatitis kronik

akan terlihat akantosis, hiperkeratosis, parakeratosis, spongiosis

ringan, tidak tampak adanya vesikel dan pada dermis dijumpai

infiltrasi perivaskuler, pertambahan kapiler dan fibrosis. Gambaran

tersebut merupakan dermatitis secara umum dan sangat sukar untuk

membedakan gambaran histopatologik antara dermatitis kontak

alergik dan dermatitis kontak iritan.

Pemeriksaan ultrastruktur menunjukkan 2-3 jam setelah paparan

antigen, seperti dinitroklorbenzen (DNCB) topikal dan injeksi ferritin

intrakutan, tampak sejumlah besar sel langerhans di epidermis. Saat

itu antigen terlihat di membran sel dan di organella sel Langerhans.

Limfosit mendekatinya dan sel Langerhans menunjukkan aktivitas

metabolik. Berikutnya sel langerhans yang membawa antigen akan

tampak didermis dan setelah 4-6 jam tampak rusak dan jumlahnya di

epidermis berkurang. Pada saat yang sama migrasinya ke kelenjar

getah bening setempat meningkat. Namun demikian penelitian

terakhir mengenai gambaran histologi, imunositokimia dan mikroskop

elektron dari tahap seluler awal pada pasien yang diinduksi alergen

dan bahan iritan belum berhasil menunjukkan perbedaan dalam pola

peradangannya.
22

7. Komplikasi

Komplikasi yang dapat muncul pada pasien dengan Dermatitis menurut

Djuanda (2015) adalah sebagai berikut :

a. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit

b. Infeksi sekunder khususnya oleh Stafilokokus aureus

c. Hiperpigmentasi atau hipopigmentasi post inflamasi

d. Jaringan parut muncul pada paparan bahan korosif atau ekskoriasi

8. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan yang baik pada prinsipnya adalah mengidentifikasi

penyebab dan menyarankan pasien untuk menghindarinya, terapi

individual yang sesuai dengan tahap penyakitnya dan perlindungan pada

kulit (Djuanda, 2015).

a. Pencegahan

Merupakan hal yang sangat penting pada penatalaksanaan dermatitis

kontak iritan dan kontak alergik. Di lingkungan rumah, beberapa hal

dapat dilaksanakan misalnya penggunaan sarung tangan karet di ganti

dengan sarung tangan plastik, menggunakan mesin cuci, sikat

bergagang panjang, penggunaan deterjen.

b. Pengobatan

1) Pengobatan topikal

Obat-obat topikal yang diberikan sesuai dengan prinsip-prinsip

umum pengobatan dermatitis yaitu bila basah diberi terapi basah

(kompres terbuka), bila kering berikan terapi kering. Makin akut


23

penyakit, makin rendah prosentase bahan aktif. Bila akut berikan

kompres, bila subakut diberi losio, pasta, krim atau linimentum

(pasta pendingin ), bila kronik berikan salep. Bila basah berikan

kompres, bila kering superfisial diberi bedak, bedak kocok, krim

atau pasta, bila kering di dalam, diberi salep. Medikamentosa

topikal saja dapat diberikan pada kasus-kasus ringan. Jenis-

jenisnya adalah :

a) Kortikosteroid

Kortikosteroid mempunyai peranan penting dalam sistem imun.

Pemberian topikal akan menghambat reaksi aferen dan eferen

dari dermatitis kontak alergik. Steroid menghambat aktivasi

dan proliferasi spesifik antigen. Ini mungkin disebabkan karena

efek langsung pada sel penyaji antigen dan sel T. Pemberian

steroid topikal pada kulit menyebabkan hilangnya molekul

CD1 dan HLA-DR sel Langerhans, sehingga sel Langerhans

kehilangan fungsi penyaji antigennya. Juga menghalangi

pelepasan IL-2 oleh sel T, dengan demikian profilerasi sel T

dihambat. Efek imunomodulator ini meniadakan respon imun

yang terjadi dalam proses dermatitis kontak dengan demikian

efek terapetik. Jenis yang dapat diberikan adalah hidrokortison

2,5 %, halcinonid dan triamsinolon asetonid. Cara pemakaian

topikal dengan menggosok secara lembut. Untuk meningkatan

penetrasi obat dan mempercepat penyembuhan, dapat


24

dilakukan secara tertutup dengan film plastik selama 6-10 jam

setiap hari. Perlu diperhatikan timbulnya efek samping berupa

potensiasi, atrofi kulit dan erupsi akneiformis.

b) Radiasi ultraviolet

Sinar ultraviolet juga mempunyai efek terapetik dalam

dermatitis kontak melalui sistem imun. Paparan ultraviolet di

kulit mengakibatkan hilangnya fungsi sel Langerhans dan

menginduksi timbulnya sel panyaji antigen yang berasal dari

sumsum tulang yang dapat mengaktivasi sel T supresor.

Paparan ultraviolet di kulit mengakibatkan hilangnya molekul

permukaan sel langehans (CDI dan HLA-DR), sehingga

menghilangkan fungsi penyaji antigennya. Kombinasi 8-

methoxy-psoralen dan UVA (PUVA) dapat menekan reaksi

peradangan dan imunitis. Secara imunologis dan histologis

PUVA akan mengurangi ketebalan epidermis, menurunkan

jumlah sel Langerhans di epidermis, sel mast di dermis dan

infiltrasi mononuklear. Fase induksi dan elisitasi dapat diblok

oleh UVB. Melalui mekanisme yang diperantarai TNF maka

jumlah HLA- DR + dari sel Langerhans akan sangat berkurang

jumlahnya dan sel Langerhans menjadi tolerogenik. UVB juga

merangsang ekspresi ICAM-1 pada keratinosit dan sel

Langerhans.
25

c) Siklosporin A

Pemberian siklosporin A topikal menghambat elisitasi dari

hipersensitivitas kontak pada marmut percobaan, tapi pada

manusia hanya memberikan efek minimal, mungkin

disebabkan oleh kurangnya absorbsi atau inaktivasi dari obat di

epidermis atau dermis.

d) Antibiotika dan antimikotika

Superinfeksi dapat ditimbulkan oleh S. aureus, S. beta dan alfa

hemolitikus, E. koli, Proteus dan Kandida spp. Pada keadaan

superinfeksi tersebut dapat diberikan antibiotika (misalnya

gentamisin) dan antimikotika (misalnya clotrimazole) dalam

bentuk topikal.

e) Imunosupresif

Obat-obatan baru yang bersifat imunosupresif adalah FK 506

(Tacrolimus) dan SDZ ASM 981. Tacrolimus bekerja dengan

menghambat proliferasi sel T melalui penurunan sekresi sitokin

seperti IL-2 dan IL-4 tanpa merubah responnya terhadap

sitokin eksogen lain. Hal ini akan mengurangi peradangan kulit

dengan tidak menimbulkan atrofi kulit dan efek samping

sistemik. SDZ ASM 981 merupakan derivat askomisin

makrolatum yang berefek anti inflamasi yang tinggi. Pada

konsentrasi 0,1% potensinya sebanding dengan kortikosteroid

klobetasol-17-propionat 0,05% dan pada konsentrasi 1%


26

sebanding dengan betametason 17-valerat 0,1%, namun tidak

menimbulkan atrofi kulit. Konsentrasi yang diajurkan adalah

1%. Efek anti peradangan tidak mengganggu respon imun

sistemik dan penggunaan secara topikal sama efektifnya

dengan pemakaian secara oral.

2) Pengobatan sistemik

Pengobatan sistemik ditujukan untuk mengontrol rasa gatal dan

atau edema, juga pada kasus-kasus sedang dan berat pada keadaan

akut atau kronik. Jenis-jenisnya adalah :

a) Antihistamin

Maksud pemberian antihistamin adalah untuk memperoleh efek

sedatifnya. Ada yang berpendapat pada stadium permulaan

tidak terdapat pelepasan histamin. Tapi ada juga yang

berpendapat dengan adanya reaksi antigen-antobodi terdapat

pembebasan histamin, serotonin, SRS-A, bradikinin dan

asetilkolin.

b) Kortikosteroid

Diberikan pada kasus yang sedang atau berat, secara peroral,

intramuskular atau intravena. Pilihan terbaik adalah prednison

dan prednisolon. Steroid lain lebih mahal dan memiliki

kekurangan karena berdaya kerja lama. Bila diberikan dalam

waktu singkat maka efek sampingnya akan minimal. Perlu

perhatian khusus pada penderita ulkus peptikum, diabetes dan


27

hipertensi. Efek sampingnya terutama pertambahan berat

badan, gangguan gastrointestinal dan perubahan dari insomnia

hingga depresi. Kortikosteroid bekerja dengan menghambat

proliferasi limfosit, mengurangi molekul CD1 dan HLA- DR

pada sel Langerhans, menghambat pelepasan IL-2 dari limfosit

T dan menghambat sekresi IL-1, TNF-a dan MCAF.

c) Siklosporin

Mekanisme kerja siklosporin adalah menghambat fungsi sel T

penolong dan menghambat produksi sitokin terutama IL-2,

INF-r, IL-1 dan IL-8. Mengurangi aktivitas sel T, monosit,

makrofag dan keratinosit serta menghambat ekspresi ICAM-1.

d) Pentoksifilin

Bekerja dengan menghambat pembentukan TNF-a, IL-2R dan

ekspresi ICAM-1 pada keratinosit dan sel Langerhans.

Merupakan derivat teobromin yang memiliki efek menghambat

peradangan.

e) FK 506 (Trakolimus)

Bekerja dengan menghambat respon imunitas humoral dan

selular. Menghambat sekresi IL-2R, INF-r, TNF-a, GM-CSF .

Mengurangi sintesis leukotrin pada sel mast serta pelepasan

histamin dan serotonin. Dapat juga diberikan secara topikal.


28

f) Ca++ antagonis

Menghambat fungsi sel penyaji dari sel Langerhans. Jenisnya

seperti nifedipin dan amilorid.

g) Derivat vitamin D3

Menghambat proliferasi sel T dan produksi sitokin IL-1, IL-2,

IL-6 dan INF-r yang merupakan mediator-mediator poten dari

peradangan. Contohnya adalah kalsitriol.

h) SDZ ASM 981

Merupakan derivay askomisin dengan aktifitas anti inflamasi

yang tinggi. Dapat juga diberikan secara topical, pemberian

secara oral lebih baik daripada siklosporin.

E. Alergi Makanan pada Bayi dan Balita

1. Pengertian

Alergi adalah reaksi hipersensitivitas yang diinisiasi oleh mekanisme

imun. Antibodi yang biasanya berperan dalam reaksi alergi adalah IgE

(IgE- mediated allergy).1,2 Tipe alergi yang tidak dimediasi oleh IgE,

inflamasi dapat dimediasi oleh limfosit (dermatitis kontak alergi), IgG

(anafilaksis yang disebabkan kompleks imun yang mengandung dekstran),

dan penyakit serum (IDAI, 2015).

Alergi adalah suatu reaksi sistem imun tubuh yang bersifat spesifik

terhadap rangsangan suatu bahan yang disebut alergen yang mempunyai

pengaruh berbeda pada orang yang berbeda (Soedarto, 2012).


29

2. Reaksi Alergen

Hipersensitivitas adalah peningkatan sensitivitas sistem pertahanan tubuh

terhadap antigen yang pernah dikenal atau terpajan sebelumnya. Reaksi

hipersensitivitas menurut Gell dan Coomb dibagi menjadi 4 klasifikasi,

yaitu Hipersensitivitas tipe I atau reaksi alergi, tipe II atau reaksi

sitotoksik, tipe III atau reaksi komplek imun dan tipe IV atau reaksi seluler

(Soedarto, 2012).

Manifestasi yang sering timbul pada bayi adalah tipe cepat yang

diperantarai oleh IgE dengan gejala utama ruam kulit, eritema perioral,

angioedema, urtikaria, dan anafilaksis. Bila gejala timbul lama (dalam 1-2

minggu) setelah paparan mengenai saluran cerna berupa kolik, muntah,

dan diare biasanya bukan diperantarai IgE (bisa diperantarai oleh

Neutrofil). Alergi susu sapi (ASS) sering merupakan penyakit atopik

pertama pada seorang anak. Penyakit alergi susu sapi (ASS) adalah suatu

penyakit yang berdasarkan reaksi imunologis yang timbul sebagai akibat

pemberian susu sapi atau makanan yang mengandung susu sapi dan reaksi

ini dapat terjadi secara cepat atau lambat. Di perkiran insiden ASS 2-3%

diantara keseluruhan bayi. Sedangkan diantara bayi umur 1 tahun dengan

dermatitis atopik, 30-45% disebabkan oleh ASS (Munasir dan Siregar,

2010). Pada bayi terdapat 3 sistem organ tubuh yang paling sering terkena

yaitu :

a. Pada kulit : urtikaria, kemerahan kulit, pruritus, dermatitis atopik

b. Saluran nafas : hidung tersumbat, rinitis, batuk berulang, dan asma


30

c. Saluran cerna : muntah, kolik, konstipasi, diare, feses berdarah

(Munasir dan Siregar, 2010).

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kejadian Alergi

Faktor yang dapat mempengaruhi kejadian alergi pada anak menurut

Soedarto (2012) adalah sebagai berikut :

a. Genotipe yang diturunkan atau Riwayat Alergi Keluarga

Determinan terkuat dari penyakit alergi pada anak adalah orang tua

yang menderita alergi. Hal ini dikarenakan kecenderungan aktivitas

faktor-faktor modifikasi dari ekspresi genetik yang dimiliki kedua

orang tua, akan diturunkan kepada keturunannya dan menjadi cetakan

perintah pada saat pemprograman epigenetic.

b. Paparan Mikroba

Pengaruh paparan mikroba dijelaskan melalui hipotesis hygienis. Anak

yang tinggal di tempat bersih kurang mendapatkan paparan mikroba,

mengakibatkan kurang aktifnya Th1 sehingga terjadi pergeseran

aktifitas Th2 yang berkontribusi pada terjadinya penyakit alergi 3)

Hewan Peliharaan Tungau debu rumah, bulu kucing, bulu anjing atau

binatang peliharaan lainnya merupakan alergen hirup penyebab

terjadinya serangan asma. Tungau debu rumah termasuk spesies laba-

laba banyak terdapat di dalam debu rumah dan ditempat tidur. Di

negara tropis tungau debu rumah merupakan penyebab utama penyakit

alergi khususnya asma bronkial, rinitis alergi dan belakangan ini

diduga sebagai penyebab dermatitis atop.


31

c. Asupan Makanan

Jenis makanan yang paling banyak menyebabkan alergi pada anak-

anak dan dewasa adalah udang, putih telur, dan tepung maizena. Susu

sapi dan tepung terigu merupakan jenis makanan yang paling banyak

menyebabkan alergi pada anak-anak.

d. Riwayat Persalinan

Bayi yang lahir dengan seksio sesarea lebih rentan untuk mengalami

morbiditas, seperti laserasi, sindrom gawat nafas, dan meningkatnya

kejadian atopi. Bayi yang lahir dengan seksio sesarea mempunyai

kolonisasi flora usus yang berbeda dengan bayi yang lahir secara

pervaginam, perubahan kolonisasi flora usus pada bayi yang lahir

dengan seksio sesarea akan mempengaruhi maturasi sistem imun yang

akan meningkatkan kejadian atopi.

e. Asi Eksklusif

Pemberian ASI eksklusif pada 6 bulan pertama kehidupan bayi krusial

dalam kejadian penyakit alergi terutama alergi makanan. Hal ini

dikarenakan kandungan sekretori Immunoglobulin A (S-IgA) yang

dimiliki ASI berperan sentral dalam perlindungan mukosa saluran

cerna bayi yang belum matur.

f. Usia Saat Terpapar Antigen

Usia bayi dikatakan sebagai faktor resiko alergi susu sapi (ASS)

dikarenakan dengan bertambahnya umur, akan terjadi maturasi barier

terhadap antigen makanan sehingga terjadi toleransi mukosa


32

pencernaan terhadap susu sapi anak sebanyak 85 % pada anak usia 3

tahun.

g. Paparan Asap Rokok

Paparan asap rokok didalam rumah, hewan peliharaan, kutu rumah

merupakan faktor risiko asma dan rinitis alergika pada anak dan

sebagian besar sumber asap lain seperti polusi di luar rumah belum

dapat disimpulkan apakah merupakan faktor risiko atau faktor

protektif. Asap rokok mengandung beberapa partikel yang dapat

dihirup seperti hidrokarbon polisiklik, karbonmonoksida, nikotin,

nitrogen dioksida, dan akrelein. Asap rokok atau asap obat nyamuk

bakar dapat menyebabkan kerusakan epitel bersilia, menurunkan

klirens mukosiliar, dan menghambat aktivitas fagosit serta efek

bakterisid makrofag sehingga terjadi hiperreaktivitas bronkus.

h. Penggunaan Antibiotik

Penggunaan antibiotik menjadi faktor terjadinya penyakit alergi,

penggunaan antibiotik oral oleh ibu pada saat trimester 3 atau saat

menyusui maupun pada anak mempengaruhi komposisi norma flora

usus anak, padahal flora usus sangat penting untuk maturasi sistem

imun anak, karena menyediakan keseimbangan pada rangsangan Th1.

Ketika Kondisi sehat flora usus akan terjadi keseimbangan terhadap

Th1/Th2. Dengan penggunaan antibiotik maka akan terjadi ketidak

seimbangan atau gangguan pada sistem imun dan akan menginduksi

terjadinya respon alergi.


33

4. Penatalaksanaan

Rekomendasi pencegahan dan penatalaksanana alergi pada anak menurut

IDAI (2015) adalah sebagai berikut :

a. Penentuan risiko alergi pada anak dilakukan dengan identifikasi

penyakit alergi (asma, dermatitis atopik, rinitis alergi) pada kedua

orangtua maupun saudara kandung.Kartu deteksi dini alergi dapat

digunakan untuk menentukan risiko penyakit alergi pada anak

b. Restriksi diet pada ibu hamil dan menyusui untuk mencegah terjadinya

penyakit alergi pada anak tidak diperlukan

c. Suplementasi minyak ikan pada ibu hamil dan menyusui untuk

mencegah terjadinya penyakit alergi pada anak tidak

direkomendasikan

d. Pemberian ASI eksklusif hingga 6 bulan direkomendasikan untuk

pencegahan penyakit alergi

e. Pada bayi yang tidak memungkinkan diberi ASI,

direkomendasipemberian formula hidrolisat parsial atau ekstensif

sampai usia 4 – 6 bulan.Formula hidrolisat tidak dapat menggantikan

kedudukan ASI sebagai pilihan nutrisi pertama pada bayi

f. Formula susu kedelai tidak direkomendasikan untuk pencegahan

penyakit alergi pada anak

g. Penambahan prebiotik, probiotik dan sinbiotik pada makanan bayi

tidak direkomendasikan untuk pencegahan penyakit alergi pada anak.


34

h. Makanan padat direkomendasikan diberikan mulai usia 4 – 6 bulan

secara bertahap. Restriksi diet terhadap makanan tertentu tidak

diperlukan untuk pencegahan penyakit alergi

i. Penghindaran pajanan asap rokok saat kehamilan maupun sesudah

kelahiran direkomendasikan untuk pencegahan penyakit alergi pada

anak.

j. Penghindaran tungau debu rumah dan hewan peliharaan tidak

direkomendasikan untuk pencegahan primer penyakit alergi pada anak.

F. Rhinitis Alergi pada bayi dan Balita

1. Pengertian

Rinitis alergi adalah salah satu penyakit alergi yang umumnya diderita

pada usia anak sekolah dan dapat terus berlangsung sampai dewasa apabila

tidak ditangani dengan baik (IDAI, 2015).

2. Tanda dan Gejala

Bersin, pilek, dan hidung gatal atau buntu yang sering terjadi di pagi hari

merupakan salah satu gejala rinitis (pilek) alergi pada anak (IDAI, 2015).

3. Etiologi

Penyebab rhinitis alergi paling sering di Indonesia adalah alergen (zat

pencetus alergi) inhalan yaitu alergen yang masuk ke dalam tubuh dengan

cara dihirup/melalui saluran napas. Alergen yang paling sering ditemukan

pada rhinitis alergi di Indonesia atau negara tropis pada umumnya adalah

tungau debu rumah, bulu binatang, kecoa; jenis alergen ini berbeda dengan
35

penyebab rhinitis alergi di negara 4 musim yaitu polen. Alergen makanan

sangat jarang menjadi pencetus rhinitis alergi. Untuk itu perlu dilakukan

identifikasi pencetus rhinitis alergi pada anak agar dapat dilakukan

penghindaran dengan tepat dan seoptimal mungkin. Penentuan alergen

penyebab rhinitis alergi dapat dilakukan melalui riwayat penyakit anak dan

dapat didukung dengan tes alergi baik melalui darah atau pun tes kulit. Hal

yang harus diperhatikan selain alergen adalah masalah polutan seperti asap

rokok yang dapat merusak saluran napas. Polutan dapat memperberat

penyakit alergi di saluran napas seperti asma dan rhinitis alergi (IDAI,

2015).

4. Faktor Resiko

Anak yang berisiko menderita rhinitis alergi adalah anak-anak dengan

riwayat penyakit alergi pada keluarga. Perlu ditelusuri riwayat penyakit

alergi seperti asma, rhinitis alergi, atau dermatitis atopik (eksim) pada

orang tua dan saudara sekandung. Apabila ada orang tua atau saudara

sekandung memiliki riwayat penyakit alergi, maka anak mempunyai risiko

lebih tinggi menderita penyakit alergi termasuk rhinitis alergi (IDAI,

2015).

5. Pencegahan

Tata laksana rhinitis alergi yang komprehensif meliputi penghindaran

alergen, obat-obatan untuk mengurangi gejala dan kekambuhan. Bagi anak

yang alergi terhadap tungau debu rumah, hindari kontak dengan tungau
36

debu rumah. Beberapa cara yang dapat dilakukan adalah dengan

menghindari barang menumpuk di dalam kamar, hindari penggunaan

karpet, kapuk, dan boneka bulu. Gantilah seprai, sarung bantal/guling,

kelambu, gorden setiap 1 minggu sekali. Jemur atau vaccum tempat tidur 1

minggu sekali. Bersihkan pendingin ruangan setiap minimal 2-3 bulan

sekali. Konsentrasi tungau debu rumah akan tinggi di tempat manusia

sering berada, karena makanan tungau debu rumah adalah serpihan kulit

manusia. Oleh karena itu, jumlah tungau debu rumah paling banyak di

kamar tidur. Untuk itu, sebaiknya anak tidak terlalu sering berada di kamar

tidur, anjurkan anak lebih banyak bermain di luar kamar (IDAI, 2015).

6. Penatalaksanaan

Obat-obatan yang digunakan bergantung pada berat ringannya penyakit.

Pada rhinitis alergi ringan dengan kekambuhan yang jarang, obat yang

dapat digunakan adalah antihistamin. Sementara apabila rhinitis alergi

berat atau dengan kekambuhan yang sering, anak akan diminta

menggunakan obat semprot hidung yang berisi steroid dosis sangat rendah

untuk mengurangi reaksi peradangan pada hidung. Lama penggunaan obat

antihistamin dan obat semprot hidung steroid bervariasi dan dapat

berlangsung sampai sekitar 6 bulan bergantung pada berat ringannya

penyakit (IDAI, 2015).


37

G. Konstipasi pada Bayi dan Balita

1. Pengertian

Konstipasi adalah ketidakmampuan mengeluarkan tinja secara sempurna

yang tercermin dari berkurangnya frekuensi berhajat dari biasanya, tinja

lebih keras, lebih besar dan nyeri dibandingkan sebelumnya, serta pada

perabaan perut teraba massa tinja (IDAI, 2017).

Konstipasi adalah suatu penurunan kemampuan defekasi normal pada

seseorang. Kondisi ini disertai dengan kesulitan keluarnya feses lengkap

atau feses yang sangat keras dan kering (Mardalena, 2018).

2. Etiologi

Konstipasi yang timbul pada bayi kurang dari 2 tahun biasanya disebabkan

kurangnya pemberian minum, kurangnya buah dan sayuran, atau takaran

susu yang berlebihan (IDAI, 2017).

3. Patofisiologi

Defekasi seperti juga pada berkemih adalah suatu proses fisiologis yang

menyertakan kerja otot-otot polos dan serat lintang, persarafan sentral dan

perifer, koordinasi dari sistem refleks, kesadaran yang baik dan

kemampuan fisis untuk mencapai tempat BAB. Kesukaran diagnosis dan

pengelolaan dari konstipasi adalah karena banyaknya mekanisme yang

terlibat pada proses BAB normal. Dorongan untuk defekasi secara normal

dirangsang oleh distensi rektal melalui empat tahap kerja, antara lain

rangsangan refleks penyekat rektoanal, relaksasi otot sfingter internal,


38

relaksasi otot sfingter external dan otot dalam region pelvik, serta

peningkatan tekanan intra-abdomen).

Gangguan dari salah satu mekanisme ini dapat berakibat konstipasi.

Defekasi dimulai dari gerakan peristaltik usus besar yang menghantarkan

feses ke rektum untuk dikeluarkan. Feses masuk dan meregangkan ampula

dari rektum diikuti relaksasi dari sfingter anus interna. Untuk

meghindarkan pengeluaran feses yang spontan, terjadi refleks kontraksi

dari sfingter anus eksterna dan kontraksi otot dasar pelvis yang dipersarafi

oleh saraf pudendus. Otak menerima rangsang keinginan untuk BAB dan

sfingter anus eksterna diperintahkan untuk relaksasi, sehingga rektum

mengeluarkan isinya dengan bantuan kontraksi otot dinding perut.

kontraksi ini akan menaikkan tekanan dalam perut, relaksasi sfingter dan

otot elevator ani. Baik persarafan simpatis maupun parasimpatis terlibat

dalam proses BAB.

Patogenesis dari konstipasi bervariasi, penyebabnya beragam, mencakup

beberapa faktor yang tumpang tindih. Walaupun konstipasi merupakan

keluhan yang banyak pada usia lanjut, motilitas kolon tidak terpengaruh

oleh bertambahnya usia. Proses menua yang normal tidak mengakibatkan

perlambatan dari perjalanan saluran cerna. Perubahan patofisiologi yang

menyebabkan konstipasi bukanlah karena bertambahnya usia tapi memang

khusus terjadi pada mereka dengan konstipasi. Individu di atas usia 60

tahun juga terbukti mempunyai kadar plasma beta-endorfin yang

meningkat, disertai peningkatan ikatan pada reseptor opiate endogen di


39

usus. Hal ini dibuktikan dengan efek konstipatif dari sediaan opiate yang

dapat menyebabkan relaksasi tonus kolon, motilitas berkurang, dan

menghambat refleks gaster-kolon.

Terdapat kecenderungan menurunnya tonus sfingter dan kekuatan otot-

otot polos berkaitan dengan usia, khususnya pada perempuan. Pasien

dengan konstipasi mempunyai kesulitan lebih besar untuk mengeluarkan

feses yang kecil dan keras sehingga upaya mengejan lebih keras dan lebih

lama. Hal ini dapat berakibat penekanan pada saraf pudendus sehingga

menimbulkan kelemahan lebih lanjut (Mardalena, 2018).

4. Gejala Klinis

Tanda dan gejala konstipasi akan berbeda untuk setiap orang berdasarkan

pola makan, hormon, gaya hidup dan bentuk usus besar (Mardalena,

2018). Meskipun begituada beberapa tanda dan gejala umum yang

ditemukan pada sebagian besar pasien, yaitu :

a. Perut terasa begah, penuh, dan terasa kaku karena tumpukan tinja.Jika

tinja sudah tertumpuk sekitar satu minggu atau lebih, perut penderita

dapat terlihat membuncit.

b. Tinja menjadi lebih keras, panas, dan berwarna lebih gelap, dan

jumlahnya lebih sedikit daripada biasanya. Jika sudah parah, tinja

dapat berbentuk bulatan kecil seperti bola.


40

c. Ketika buang air besar tinja sulit dikeluarkan atau dibuang, kadang-

kadang harus mengejan ataupun menekan-nekan perut terlebih dahulu

supaya dapat mengeluarkan tinja.

d. Terdengar bunyi-bunyian dalam perut.

e. Bagian anus terasa penuh, dan seperti terganjal sesuatu disertai sakit

akibat bergesekan dengan tinja yang panas dan keras.

f. Frekuensi buang angin meningkat disertai bau yang lebih tajam

daripada biasanya. Jika ada kram perut, penderita akan kesulitan atau

sama sekali tidak bisa buang air besar.

g. Menurunnya frekuensi buang air besar, dan meningkatnya waktu

transit buang air besar. Penderita umumnya mengatakan frekuensi

buang air besar menjadi 3 hari sekali atau lebih lama.

h. Terkadang mengalami mual bahkan muntah jika kondisi amat parah.

5. Komplikasi

Konstipasi kronis dapat menyebabkan beberapa komplikasi yaitu,

hemorrhoid (wasir) yang disebabkan karena pemaksaan untuk buang air

besar, atau robeknya kulit di sekitar anus, ini terjadi ketika feses yang

keras dapat melonggarkan otot sphincter. Dampak yang lain yaitu,

divertikulosis atau penyakit yang ditandai dengan terbentuknya divertikula

(kantong) pada usus besar dan biasanya juga disebabkan karena

peningkatan tekanan intrakolon (Loka, Dkk, 2014).


41

6. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik pada konstipasi umumnya tidak menemukan kelainan

yang jelas, namun pemeriksaan lebih intesif dan menyeluruh bisa

dilakukan menemukan kelainan yang berpotensi mempengaruhi fungsi

usus besar.Pemeriksaan dimulai pada rongga mulut meliputi gigi geligi,

luka pada selaput lendir mulut atau tumor yang dapat mengganggu rasa

pengecap dan proses menelan.

Pemeriksaan daerah perut dilakukan untuk melihat adanya pembesaran

perut, peregangan atau tonjolan. Perabaan permukaan perut dilakukan

untuk menilai kekuatan otot perut. Perabaan lebih dalam dilakukan untuk

mengetahui massa tinja di usus besar, adanya tumor atau pelebaran batang

nadi. Pada pemeriksaan ketuk dicari pengumpulan gas berlebihan,

pembesaran organ, cairan dalam rongga perut atau adanya massa tinja.

Pemeriksaan dengan stetoskop digunakan untuk mendengarkan suara

gerakan usus besar serta mengetahui adanya sumbatan usus. Sedang

pemeriksaan dubur untuk mengetahui adanya wasir, hernia, fissure

(retakan) atau fistula (hubungan abnormal pada saluran cerna), juga

kemungkinan tumor di dubur yang bisa mengganggu proses buang air

besar. Pemeriksaan colok dubur dapat memberi informasi tentang

tegangan otot, dubur, adanya timbunan tinja, atau adanya darah.

Pemeriksaan laboratorium dikaitkan dengan upaya mendeteksi faktor

risiko konstipasi seperti gula darah, kadar hormon tiroid, elektrolit, anemia
42

akibat keluarnya darah dari dubur. Anoskopi dianjurkan untuk

menemukan hubungan abnormal pada saluran cerna, tukak, wasir, dan

tumor. Foto polos perut harus dikerjakan pada penderita konstipasi untuk

mendeteksi adanya pemadatan tinja atau tinja keras yang menyumbat

bahkan melubangi usus. Jika ada penurunan berat badan, anemia,

keluarnya darah dari dubur atau riwayat keluarga dengan kanker usus

besar perlu dilakukan kolonoskopi.

Bagi sebagian orang konstipasi hanya sekadar mengganggu, tapi bagi

beberapa pasien dapat menimbulkan komplikasi serius. Tinja dapat

mengeras sekeras batu di poros usus, usus besar, dan pangkal usus besar.

Kondisi ini menyebabkan kesakitan dan meningkatkan risiko perawatan di

rumah sakit serta berpotensi menimbulkan akibat yang fatal.

Konstipasi kronis kadang-kadang terjadi demam sampai 39,5°C, delirium

(kebingungan dan penurunan kesadaran), perut tegang, bunyi usus

melemah, penyimpangan irama jantung, pernapasan cepat karena

peregangan sekat rongga badan. Pemadatan dan pengerasan tinja berat di

muara usus besar bisa menekan kandung kemih menyebabkan retensi urin

bahkan gagal ginjal serta hilangnya kendali otot lingkar dubur, sehingga

keluar tinja tak terkontrol (Mardalena, 2018).


43

7. Penatalaksanaan

Pertolongan dengan pemberian tambahan air putih sebanyak 15 – 20

mililiter 3 -4 kali sehari. Berikan buah – buahan selain pisang dan apel dan

berikan susu dengan takaran yang sesuai.

Konstipasi yang timbul sejak lahir, disertai gejala perut kembung serta

pertumbuhan bayi yang tidak baik harus dicurigai sebagai kelainan

Hirschprung. Kelainan ini akibat saraf yang tidak terbentuk di bagian

paling ujung dari usus besar sehingga bagian tersebut menjadi kaku dan

tidak dapat mengeluarkan ti nja, sedangkan bagian atasnya akan bekerja

lebih keras sehingga timbul pelebaran usus.

.
1

DAFTAR PUSTAKA

Djuanda, A. 2015. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia

IDAI. 2013. Gumoh pada Bayi. Ikatan Dokter Anak Indonesia.

IDAI. 2014. Anak Bersin di Pagi Hari: Gejala Apakah. Ikatan Dokter Anak
Indonesia

IDAI. 2017. Gangguan Pencernaan pada Bayi. Ikatan Dokter Anak Indonesia

Kemenkes RI. 2018. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2018. Jakarta :


Kementerian Kesehatan RI.

Unicef Indonesia. 2022. Memberi peluang terbaik untuk bertahan hidup bagi
anak-anak. https://www.unicef.org/indonesia/id/kesehatan.

Anda mungkin juga menyukai