Anda di halaman 1dari 13

I.

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang


Para petani Indonesia saat ini sedang maraknya menanam tanaman bawang
merah. Hal ini terjadi Karena saat ini prospek permintaan akan bawang merah sangat
tinggi. Disamping itu budidaya tanaman bawang merah juga tergolong mudah untuk
dilakukan. Tanaman bawang merah dapat tumbuh dengan baik bila ditanam pada
tanah dan kondisi lingkungan yang sesuai. Namun pada dasarnya dapat tumbuh pada
jenis tanah apa saja bila ada usaha dalam mengolah tanahnya agar sesuai dengan
keinginan tanaman bawang merah.
Jenis tanah seperti Ultisol dan Gambut merupakan jenis tanah yang memiliki
kandungan unsur hara dan pH tanah yang rendah. sehingga sering didapat tanaman
yang ditanaman pada jenis tanah Ultisol dan Gambut pertumbuhannya kurang
maksimal. Untuk dapat menghasilkan pertumbuhan tanaman yang maksimal pada
tanah Ultisol dan gambut perlu dilakukan pengelolalaan tanah dan pemberian
berbagai pupuk anorganik maupun organik pada tanah agar tanah dapat menyediakan
unsur hara yang diperlukan oleh tanaman (Subagyo et al., 2000).
Pemberian pupuk anorganik merupakan cara yang sering dilakukan oleh para
petani untuk mengatasi berbagai masalah pada tanah seperti jenis tanah Ultisol.
Disamping penyediannya yang mudah, dampak yang diberikan pada tanaman terlihat
dengan cepat sehingga para petani senang untuk menggunakannya.
Namun pemberian pupuk anorganik dalam jumlah besar dan dilakukan secara
terus menerus akan dapat merusak tanah, pencemaran lingkungan dan degradasi
lahan. Sehingga penggunaan pupuk anorganik harus dilakukan dengan cermat agar
tidak merusak tanah. Sehingga tidak berpengaruh pada produktifitas tanaman yang
ditanam. Sehingga keberlanjutan dari usaha tani dapat terjaga.
Keberlanjutan dari usaha tani sangat penting untuk dijaga. Itulah mengapa
konsep pertanian seperti pertanian berkelanjutan dimana sangat menekan
penggunaan input luar yang sekecil-kecilnya begitu digalakkan. Untuk upaya
mendukung program pertanian berkelanjutan perlu dilakukan pengeksplorasian
sumberdaya lokal secara optimal sehingga dapat membantu penerapan sistem
pertanian berkelanjutan.
Salah satu sumberdaya lokal yang bisa dieksplorasi manfaatnya sebagai bahan
input organik yang dapat membantu dalam penerapan system pertanian berkelanjutan
ialah kotoran cacing. Pada daerah tertentu kotoran cacing mudah didapat dalam
jumlah besar. Namun belum ada upaya yang dilakukan untuk memanfaatkan
sumberdaya kotoran cacing ini. Dimana di dalam kotoran cacing ini dipercaya
terdapat banayak bahan organic dan unsur diperlukan oleh tanaman. Sehingga perlu
dilakukan penelitian untuk kegunaan kotoran cacing ini. Sehingga dapat
dimanfaatkan sebagai infut organic dalam kegiatan budidaya sekaligus mendukung
penerapan sistem pertanian berkelanjutan yang sedang digalakkan.
I.2 Perumusan Masalah
1. Adakah pengaruh dosis pupuk kotoran cacing terhadap tingkat pertumbuhan
tanaman bawang merah (Allium Ascalonicum L.) di tanah ultisol.
2. Adakah pengaruh dosis pupuk majemuk NPK terhadap tingkat pertumbuhan
tanaman bawang merah (Allium Ascalonicum L.) di tanah ultisol.
3. Adakah interaksi antara pengaruh dosis pupuk kotoran cacing dan pupuk
majemuk NPK terhadap tingkat pertumbuhan tanaman bawang merah (Allium
Ascalonicum L.) di tanah ultisol.
I.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui pengaruh dosis pupuk kotoran cacing terhadap tingkat
pertumbuhan tanaman bawang merah (Allium Ascalonicum L.) di tanah ultisol.
2. Untuk mengetahui pengaruh dosis pupuk majemuk NPK terhadap tingkat
pertumbuhan tanaman bawang merah (Allium Ascalonicum L.) di tanah ultisol.
3. Untuk mengetahui interaksi antara pengaruh dosis pupuk kotoran cacing dan
pupuk majemuk NPK terhadap tingkat pertumbuhan tanaman bawang merah
(Allium Ascalonicum L.) di tanah ultisol.
I.4 Hipotesis
1. Ada pengaruh dosis pupuk kotoran cacing terhadap tingkat pertumbuhan tanaman
bawang merah (Allium Ascalonicum L.) di tanah ultisol.
2. Ada pengaruh dosis pupuk majemuk NPK terhadap tingkat pertumbuhan
tanaman bawang merah (Allium Ascalonicum L.) di tanah ultisol.
3. Ada pengaruh antara dosis pupuk kotoran cacing dan pupuk majemuk NPK
terhadap tingkat pertumbuhan tanaman bawang merah (Allium Ascalonicum L.)
di tanah ultisol.
II. TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Klasifikasi Bawang Merah (Allium Ascalonicum L.)


Menurut Tjitrosoepomo (2010), bawang merah dapat diklasifikasikan
sebagai berikut:
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Subdivisi : Angiospermae
Kelas : Monocotyledonae
Ordo : Liliales
Famili : Liliaceae
Genus : Allium
Spesies : Allium ascalonicum L.
II.2 Morfologi Bawang Merah (Allium Ascalonicum L.)
Rahayu (1999) mengatakan bahwa, bawang merah (Allium ascalonicum
L.) merupakan tanaman semusim yang membentuk rumpun dan tumbuh tegak
dengan tinggi mencapai 15-40 cm. Bawang Merah memiliki akar serabut
dengan sistem perakaran dangkal dan bercabang terpencar, pada kedalaman
antara 15-20 cm di dalam tanah dengan diameter akar 2-5 mm (AAK, 2004).
Bawang merah memiliki batang sejati atau disebut dengan discus yang
berbentuk seperti cakram , tipis, dan pendek sebagai melekatnya akar dan mata
tunas, diatas discus terdapat batang semu yang tersusun dari pelepah-pelepah
daun dan batang semua yang berbeda didalam tanah berubah bentuk dan fungsi
menjadi umbi lapis (Sudirja, 2007).
Menurut Sudirja (2007), daun bawang merah berbentuk silindris kecil
memanjang antara 50-70 cm, berlubang dan bagian ujungnya runcing berwarna
hijau muda sampai tua, dan letak daun melekat pada tangkai yang ukurannya
relatif pendek , sedangkan bunga bawang merah keluar dari ujung tanaman
(titik tumbuh) yang panjangnya antara 30-90 cm, dan diujungnya terdapat 50-
200 kuntum bunga yang tersusun melingkar seolah berbentuk payung. Tiap
kuntum bunga terdiri atas 5-6 helai daun bunga berwarna putih, 6 benang sari
berwarna hijau atau kekuningkuningan, 1 putik dan bakal buah berbentuk
hampir segitga.
Buah bawang merah berbentuk bulat dengan ujungnya tumpul
membungkus biji berjumlah 2-3 butir. Biji bawang merah berbentuk pipih,
berwarna putih, tetapi akan berubah menjadi hitam setelah tua (Rukmana,
1995).
II.3 Syarat Tumbuh Bawang Merah (Allium Ascalonicum L.)
Untuk dapat tumbuh dan berkembang dengan baik bawang merah
membutuhkan tempat terbuka dengan pencahayaan 70 %, serta kelembaban
udara 80-90 %, dan curah hujan 300-2500 mm pertahun (BPPT, 2007).
Hairiah (2000), mengatakan bahwa, bawang merah membutuhkan tanah
yang subur, gembur dan banyak mengandung bahan organik dengan dukungan
tanah lempung berpasir atau lempung berdebu.
Jenis tanah yang baik untuk pertumbuhan bawang merah ada jenis tanah
Latosol, Regosol, Grumosol, dan Aluvial dengan derajat keasaman (pH) tanah
5,5 – 6,5 dan drainase dan aerasi dalam tanah berjalan dengan baik, tanah tidak
boleh tergenang oleh air karena dapat menyebabkan kebusukan pada umbi dan
memicu munculnya berbagai penyakit (Sudirja, 2007).
II.4 Budidaya Bawang Merah (Allium Ascalonicum L.)
Perbanyakan bawang merah dilakukan dengan menggunakan umbi dan
biji bawang merah sebagai bibit. Kualitas bibit bawang merah sangat
menentukan hasil produksi bawang merah. Kriteria umbi yang baik untuk bibit
bawang merah harus berasal dari tanaman yang berumur cukup tua yaitu
berumur 70-80 hari setelah tanam, dengan ukuran 5-10 gram, diameter 1,5-1,8
cm. Umbi bibit tersebut harus sehat, tidak mengandung bibit penyakit dan
hama.
Pada ujung umbi bibit bawang merah dilakukan pemotongan sekitas 1/5
panjang umbi untuk mempercepat pertumbuhan tunas. Pemotongan ujung umbi
sangat penting agar umbi tumbuh cepat dan merata. Hal ini penting karena
ujung umbi bersifat dapat mempercepat tumbuhnya tunas.
II.5 Dosis Pupuk NPK pada Bawang Merah (Allium Ascalonicum L.)
Menurut Samadi (2009), rekomendasi umum dosis pemupukan pada
bawang merah adalah 200 kg N/ha, 90 P2O5 kg/ha dan 75 kg K2O/ha.
II.6 Tanah Ultisol
Pada masa lalu tanah Ultisol disebut tanah podsolik merah kuning. Tanah
ini tersebar luas di Indonesia, di Jawa, Kalimantan, Sumatera, Maluku dan
Papua, merupakan tanah yang kurang mampu mendukung produktifitas
tanaman disebabkan terutama rendahnya hara yang terkandung serta tingginya
erosi (Hairiah et al., 2000).
Pelapukan tanah yang drastis cepat dan pencucian yang tinggi
mengakibatkan tanah Ultisol memiliki kemasaman yang rendah (Tan, 2007).
Tanah Ultisol memiliki ciri pH rendah berkisar 4 pada horizon A dan 5 pada
horizon B. Kapasitas tukar kation (KTK) dari tanah Ultisol rendah berkisar 3-7
me/100g atau 3-7 cmol (+)/kg (Tan, 2007).
II.7 Karakteristik Tanah Ultisol
Dari data analisis tanah ultisol dari berbagai wilayah di Indonesia,
menunjukkan bahwa tanah tersebut memiliki ciri reaksi tanah sangat masam
(pH 4,1 – 4,8). Kandungan bahan organik lapisan atas yang tipis (8-12 cm),
umumnya rendah sampai sedang. Kandungan N, P, K yang bervariasi sangat
rendah sampai rendah, baik lapisan atas maupun lapisan bawah. Jumlah basa-
basa tukar rendah, kandungan K-dd hanya berkisar 0 - 0,1 me/ 100 g disemua
lapisan termasuk rendah, dapat disimpulkan potensi kesuburan alami Ultisol
sangat rendah sampai rendah (Subagyo et al., 2000).
II.8 Cara Mengatasi Masalah Tanah Ultisol
Untuk mengurangi kendala yang ada pada Ultisol adalah meningkatkan
keberadaan bahan organik di dalam tanah. Karena bahan organik, disamping
memasok zat organik juga dapat memperbaiki sifat struktur tanah,
meningkatkan KTK dan produktivitas tanah (Ardjasa, 1994).
Menurut Munir (1996) dapat dilakukan dengan pemupukan, yang lebih
ditujukan untuk menambah jumlah dan tingkat ketersediaan unsur hara di
dalam tanah, karena telah diketahui bahwa Ultisol miskin akan basa dan KTK
rendah.
II.9 Manfaat Kotoran Cacing Tanah
Cacing tanah dan sekresinya kaya akan hara dan dalam bentuk yang
tersedia bagi tanaman. Sebagai contoh cairan ekstrak cacing tanah mengandung
Mn 1.19 mg.kg-1, Zn 3.00 mg.kg-1, Ca 1.11 mg.kg-1, Cu 0.36 mg.kg-1, Mg 35.40
mg.kg-1, Fe 7.62 mg.kg-1, Na 70.80 mg.kg-1, K 328.40 mg.kg-1, dan Se 0.20
mg.kg-1 namun jenis dan kandungan unsur hara bervariasi tergantung kondisi
lingkungan tempat hidupnya.
III. METODOLOGI PENELITIAN

III.1 Tempat dan Waktu Penelitian


Penelitian akan dilaksanakan di lingkungan penelitian mahasiswa
Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala. Penelitian akan dilaksanakan
dalam waktu 3 bulan dimulai dari tanggal 01 Januari 2019 sampai dengan 01
April 2019.
III.2 Bahan dan Alat
III.2.1 Bahan Penelitian
1. Umbi bawang merah untuk bibit.
2. Tanah Ultisol
Tanah Ultisol yang digunakan sebanyak 960 kg (120 polybag x @ polybag
8 kg).
3. Polybag 10 kg
Polybag digunakan sebagai tempat peletakan tanah ultisol yang selanjutnya
ditanam tanaman bawang merah. Polybag berukuran 10 kg.
4. Kotoran Cacing
Kotoran Cacing yang digunakan diperoleh dari tanah pingiran sungai
Kapuas di daerah Dusun Entabuk Kecamatan Belitang Hilir Kabupaten
Sekadau. Kotoran cacing yang diperlukan sebanyak 1500 gram.
5. Kapur dolomid
Kapur diperlukan untuk meningkatkan pH tanah. Kapur yang dibutuhkan
sebanyak 480 gram.
6. Pupuk majemuk NPK
Pupuk NPK yang digunakan ialah pupuk NPK dengan kadar N 15%, P 15%
dan K 15%. Pupuk NPK yang diperlukan sebanyak 290 gram.
III.2.2 Alat Penelitian
1. Pengaris
Penggaris digunakan untuk mengukur tinggi tanaman dengan satuan
centimeter.
2. Timbangan
Timbangan digunkan untuk menimbang tanah, kotoran cacing dan
menimbang berat umbi bawang.
3. Timbangan Analitik
Timbangan analitik digunakan untuk menimbang kapur dan pupuk NPK.
4. Pengukur suhu lapangan
Digunakan untuk mengukur suhu dilapangan tempat penelitian
dilaksanakan.
5. Parang
Untuk pembersihan lahan penelitian sebelum kegiatan penelitian
dilaksanakan.
6. Cangkul
Untuk pembersihan lahan penelitian sebelum kegiatan penelitian
dilaksanakan.
III.3 Analisa Data
Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan eksperimen lapangan
dalam bentuk pola Rancangan Acak Lengkap (RAL), terdiri dari enam perlakuan dan
empat ulangan. setiap ulangan terdiri dari lima tanaman. Perlakuan yang dimaksud
yakni :
1. P0 = Kapur 100 % (4 g kapur/polybag) tanpa diberi pupuk kotoran cacing dan
pupuk NPK
2. P1 = Kapur 100 % (4 gram) + Pupuk NPK 100% (6 gram) tanpa diberi pupuk
kotoran cacing.
3. P2 = Kapur 100 % (4 gram) + pupuk kotoran cacing 25% (7,5 gram) + pupuk NPK
75% (4,5 gram)
4. P3 = Kapur 100 % (4 gram) + pupuk kotoran cacing 50% (15 gram) + pupuk NPK
50% (3 gram)
5. P4 = Kapur 100 % (4 gram) + pupuk kotoran cacing 75% (22,5 gram) + pupuk
NPK 25% (1,5 gram)
6. P5 = Kapur 100 % (4 gram) + pupuk kotoran cacing 100% (30 gram) tanpa diberi
Pupuk NPK
Keterangan :
 Kapur 100% = 4 gram/polybag (1 ton.ha-1)
 Pupuk Kotoran Cacing 100% = 30 gram/polybag (7,5 ton.ha-1)
 Pupuk Kotoran Cacing 75% = 22,5 gram/polybag ( 5,6 ton.ha-1)
 Pupuk Kotoran Cacing 50% = 15 gram/polybag (3,7 ton.ha-1)
 Pupuk Kotoran Cacing 25%  = 7,5 gram/polybag (1,8 ton.ha-1)
 Pupuk NPK 100% = 6 gram/polybag ( 1,5 ton.ha-1)
 Pupuk NPK 75% = 4,5 gram/polybag ( 1,1 ton.ha-1)
 Pupuk NPK 50% = 3 gram/polybag ( 750 kg.ha-1)
 Pupuk NPK 25% = 1,5 gram/polybag ( 375 kg.ha-1)
Hasil pengamatan terhadap variabel penelitian dimasukan kedalam tabel
analisis keragaman untuk diuji F Tabel.
Analisis Keragaman Rancangan Acak Lengkap:
SK                  Db             JK                KT                   F Hitung             F Tabel 5%
Perlakuan       t – 1          JKP            KTP                KTP/KTG
Galat t (r – 1)     JKG            KTG
Total              t.r – 1       JKT
Selanjutnya membandingkan F hitung dengan F tabel pada taraf 5%.
Hasil perbandingan antara F hitung dan F tabel mempunyai kemungkinan yaitu :
a. Jika F hitung ≤ F tabel 5%, maka perlakuan dikatakan berpengaruh tidak nyata.
b. Jika F hitung > F tabel 5%, maka perlakuan dikatakan berpengaruh nyata.
Jika hasil analisis keragaman menunjukan bahwa berpengaruh nyata, maka dilanjutkan
dengan uji beda nyata jujur (BNJ).

III.4 Prosedur Penelitian


1. Persiapan Lahan dan Persiapan Penelitian
Kegiatan yang dilakukan meliputi pembersihan areal lahan,
pemasangan palang penelitian dan palang keterangan perlakukan,
penimbangan dan pengisian tanah kedalam polibag dan peletakan serta
penataan polobag pada masing-masing tempat. Kegiatan ini dilakukan 1 hari
sebelum kegiatan penelitian dimulai.
2. Pengambilan Sampel Tanah
Dilakukan sebelum penelitian, setelah inkubasi dan setelah panen.
Pengambilan sampel tanah dilakukan untuk kegiatan analisis tanah di
laboratorium untuk mendapatkan data tanah.
3. Analisis Tanah di Laboratorium
Analisis tanah di laboratorium dilakukan sebanyak tiga kali yaitu
sebelum kegiatan penelitian dimulai, setelah inkubasi tanah dan setelah
panen.
4. Inkubasi
Inkubasi dilakukan selama satu minggu. Dimulai dari hari pertama
penelitian. Kegiatan di dalam inkubasi ialah pemberian kapur, kotoran
cacing dan pupuk NPK pada tanah yang sudah berada dalam polybag-
polibag sesuai dosis yang ditentukan lalu membiarkannya selama satu
minggu. Dalam kegiatan ini dilakukan penyiraman pada tanah agar proses
inkubasi berjalan dengan baik.
5. Penanaman
Kegiatan penanaman dimulai setelah kegiatan inkubasi selesai.
Penanaman dilakukan pada pagi hari. Setelah bibit ditanam kemudian
dilakukan penyiraman pada bibit untuk menjaga agar bibit tidak kekurang
air.
6. Perawatan Tanaman
Kegiatan perawatan tanaman dilakukan dimulai dari hari pertama
penanaman hingga satu hari sebelum panen. Kegiatan perawatan meliputi
penyiraman tanaman, dilakukan pada pagi dan sore hari, pembersihan
semak dan mengontrol tanaman dari serangan hama dan penyakit.
7. Pengamatan dan Pengukuran Tanaman
Pengamatan pada tanaman dimulai sejak tanaman ditanaman hingga
berakhirnya penelitian. Pengamatan meliputi kegiatan melihat gejala-gejala
yang ditunjukan oleh tanaman.
Pengukuran tanaman (tinggi tanaman dan jumlah daun) dimulai dua
minggu setelah penanaman hingga hari terakhir penelitian. Pengukuran
tinggi tanaman dan jumlah daun dilakukan pada waktu pagi hari setiap
minggu. Sedangkan untuk pengukuran berat dan banyaknya umbi dilakukan
setelah kegiatan panen.
8. Panen
Panen dilakukan pada hari terakhir penelitian. Setelah panen
dilakukan kegiatan penimbangan berat umbi dan menghitung banyaknya
umbi.
III.5 Variabel Pengamatan
Adapun yang menjadi variabel pengamatan dalam penelitian ini meliputi :
1.       Tinggi tanaman (dalam centimeter)
Tinggi tanaman diukur dengan menggunakan penggaris. Pengukuran
dimulai dari atas permukaan tanah hingga ujung daun tertinggi tanaman.
Data pengukuran tinggi tanaman dinyatakan dalam centimeter.
2.       Jumlah daun (dalam helai)
Jumlah daun dihitung secara manual dengan satuan banyaknya atau
helai. Daun yang dihitung adalah daun yang sudah membuka sempurna
dan tidak dalam keadaan setengah mati.
3.        Berat umbi (dalam gram)
Berat umbi diukur dengan menggunkan timbangan. Berat umbi diukur
dalam keadaan bersih dan daunnya sudah dipotong. Satuan yang digunkan
dalam pengukuran berat umbi ialah gram. Berat umbi diukur pada akhir
penelitian/panen.
4.       Banyaknya umbi (dalam buah)
Banyaknya jumlah umbi dihtung secara manual. Satuan yang
digunakan ialah banyaknya atau buah. Banyaknya umbi dihitung pada saat
akhir penelitian/panen.
DAFTAR PUSTAKA

AAK. 2004. Pedoman Bertanam Bawang Merah. Kanisius. Yogyakarta.

Ardjasa, W.S. 1994. Peningkatan Produktivitas Lahan Kering Marginal Melalui


Pemupukan Fosfat Alam dan Bahan Organik Berlanjut Pada Pola : Padigogo-
kedelai-kacang tungkak. Prosing Seminar Nasional. Pengembangan Wilayah Lahan
Kering nagian I. Lembaga Penelitian Universitas Lampung.

BPPT. 2007. Teknologi budidaya Tanaman Pangan.

Hairiah, K. 2000. Pengelolaan Tanah Masam Secara Biologi. ICRAF. Bogor.

Munir, M. 1996. Tanah Ultisol – Tanah Ultisol Di Indonesia. Pustaka Jaya. Jakarta.

Rahayu, E, dan Berlian,N. 1999. Pedoman Bertanam Bawang Merah. Penebar Swadaya.
Jakarta.

Rukmana, R, 1995. Bawang Merah Budidaya Dan Pengolahan Pasca Panen. Kanisius.
Jakarta.

Samadi, B. dan Cahyono, B., 2009. Bawang Merah Intensifikasi Usaha Tani. Kanisius.
Yogyakarta.

Subagyo, H., N. Suharta, dan A.B. Siswanto. 2000. Tanah-tanah Pertanian di Indonesia.


Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian. Bogor.

Sudirja. R. 2007. Standar Mutu Pupuk Organik dan Pembenah Tanah. Departemen
Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI. Balai Besar Pengembangan dan Perluasan Kerja.
Lembang.
Tan, K. H. 2007. Humic Matter In The Soil And The Environtment. Principles and
controversies Marcel Dekker, Inc. New York, USA.

Tjitrosoepomo, Gembong. 2010. Taksonomi Tumbuhan Spermatophyta. Gajah Mada


University Press. Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai