Anda di halaman 1dari 31

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Tanaman bawang merah (Allium ascalonicum L.) merupakan tanaman

hortikultura yang semakin mendapat perhatian baik dari masyarakat maupun

pemerintah. Selama beberapa tahun terakhir ini, bawang merah termasuk enam besar

komoditas sayuran yang diekspor bersama-sama dengan kubis, blunkol (kubis

bunga), cabai, tomat, dan kentang. Penggunaan bawang merah pada berbagai menu

masakan sudah sangat popular dan tidak asing lagi, baik sebagai penambah rasa dan

keindahan (estetika) pada menu, serta sebagai sumber beberapa vitamin dan mineral.

Hasil analisis bahan menunjukan bahwa pada 100 g umbi bawang merah

mengandung 1,5 g Protein, 0,3 g Lemak, 9,2 g Karbohidrat, 36 mg Kalsium, 40,0 mg

Besi, 0,03 mg Vitamin B, 2,0 mg Vitamin C, dan air 88 g ( Anshar, 2002).

Bawang merah adalah salah satu dari tiga jenis tanaman hortikultura yaitu

cabai merah dan jeruk siam madu yang harus ditingkatkan produksinya untuk

Propinsi Sumatera Utara, karena masih mengalami defisit. Berdasarkan data

Badan Pusat Statistik (BPS) konsumsi bawang merah di Sumatera Utara selama

2014 mencapai 35.656 ton atau sebanyak 2.59 kg konsumsi/kapita/tahun.

Sementara produksi bawang merah di Sumut hanya sebesar 8.078 ton selama

2014 atau defisit sekitar 27.578 ton. Data pada tahun 2018 menunjukkan

kebutuhan bawang merah mencapai 47,9 ribu ton, sedangkan produksinya hanya

mencapai 16,3 ribu ton per tahun (Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura,
2

2018). Bawang impor dari provinsi-provinsi lain,yaitu dari India dan Tiongkok

terpaksa didatangkan dalam jumlah besar.

Beberapa faktor penyebab rendahnya produksi bawang merah di Provinsi

Sumatera Utara adalah : keterbatasan lahan, kurangnya perhatian pemerintah,

minimnya wawasan dan penerapan teknologi pertanian menjadi kendala utama

yang dihadapi oleh para petani di Sumatera Utara saat ini.

Penelitian pemanfaatan lahan sawah untuk budidaya tanaman bawang

merah sebagai alternatif rotasi tanaman setelah padi, dirasa perlu dilakukan

mengingat terbatasnya lahan untuk budidaya bawang merah. Tanah sawah dapat

berasal dari tanah kering yang diberikan air kemudian disawahkan, atau dari tanah

rawa-rawa yang dikeringkan dengan membuat saluran- saluran drainase.

Penggenangan selama pertumbuhan padi dan pengolahan tanah pada tanah kering

yang disawahkan, dapat menyebabkan berbagai perubahan sifat tanah baik sifat

morfologi, kimia, fisika, dan mikrobiologi, maupun sifat lainnya (Hardjowigeno

dan Rayes, 2005). Sifat kimia tanah ini dicirikan dengan terbentuknya H2S yang

menghambat penyerapan hara tanaman dan memperbesar perkembangan akar,

meningginya pH dan pelarutan silika (Darmawidjaya, 1995). Tanah sawah

memiliki kandungan silika yang rendah karena reaksi pelapukan yang intensif,

sehingga kehilangan hara (termasuk silika) tinggi (Balittanah, 2010). Rata-rata

unsur silika yang diambil tanaman padi pada setiap panen sekitar 443 kkg ha -1

Perpindahan unsur silika keluar areal persawahan karena terbawa hasil panen

menyebabkan terjadinya proses penurunan kandungan silika tersedia dalam tanah

(De Datta,1981).
3

Hasil penelitian pada lahan sawah intensifikasi baik di Jawa maupun di

luar Jawa menunjukkan bahwa sebagian besar tanaman padi sudah tidak tanggap

terhadap pemupukan P dan K. Status hara P pada sebahagian tanah sawah di

Sumatera Utara berstatus rendah dan sedang (Sofyan, dkk.2007). Oleh karena itu

upaya intensifikasi pada lahan sawah melalui pemberian pembenah tanah dan

pupuk organik sangat diperlukan.

Pemberian bahan pembenah tanah yakni arang sekam dari bahan baku

limbah organik mudah didapatkan dan juga ramah lingkungan. Arang sekam

merupakan arang hayati dari sebuah pembakaran tidak sempurna dari limbah

organik (biomassa) sehingga menyisakan unsur hara yang dapat

meningkatkan fungsi lahan. Arang merupakan materi padat yang terbentuk

dari karbonisasi biomassa. Salah satu biomassa yang dapat digunakan adalah

sekam padi yang biasanya menjadi limbah oleh petani setelah panen.

Salah satu jenis pupuk kandang yang mempunyai kandungan N yang

cukup tinggi, yakni 2,6%, 2,9% (P) dan 3,4% (K) dengan perbandingan

C/N ratio 8,3, adalah pupuk kandang ayam yang selajutnya disebut “pukan”..

Pukan mengandung nitrogen tiga kali lebih besar daripada pupuk kandang yang

lainnya (Sutejo, 2002). Pukan mempunyai kadar P yang relatif lebih tinggi

dari pupuk kandang lainnya, kadar hara ini sangat dipengaruhi oleh jenis

konsentrat yang diberikan. Kotoran ayam tercampur sisa-sisa makanan ayam

serta sekam sebagai alas kandang ayam yang dapat menyumbangkan

tambahan hara ke dalam pupuk kandang terhadap tanaman. Beberapa hasil

penelitian pupuk kandang ayam selalu memberikan respon tanaman yang

terbaik pada musim pertama. Hal ini terjadi karena pupuk kandang ayam
4

lebih cepat terdekomposisi serta mempunyai kadar hara yang cukup pula

dibandingkan dengan jumlah unik yang sama dengan pupuk kandang lainnya

(Wahida dkk, 2010).

Berdasarkan dari uraian di atas, maka peneliti tertarik melakukan

penelitian mengenai pengaruh pemberian pupuk kandang ayam dan arang sekam

terhadap pertumbuhan dan produksi serta ketersediaan P tanaman bawang merah

(Allium Ascalonicum L) pada lahan sawah.

1.2. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui pengaruh pemberian pupuk kandang ayam terhadap

pertumbuhan dan produksi serta ketersediaan P tanaman bawang merah

(Allium Ascalonicum L) pada lahan sawah.

1.3. Hipotesis Penelitian

1. Ada pengaruh pemberian pupuk kandang ayam terhadap pertumbuhan

dan produksi serta ketersediaan P tanaman bawang merah (Allium

Ascalonicum L) pada lahan sawah.

2. Ada pengaruh pemberian arang sekam terhadap pertumbuhan dan

produksi serta ketersediaan P tanaman bawang merah (Allium

ascalonicum L.) pada lahan sawah.

3. Ada interaksi antara pemberian pupuk kandang ayam dan arang sekam

terhadap pertumbuhan dan produksi serta ketersediaan P tanaman

bawang merah (Allium ascalonicum L.) pada lahan sawah.


5

1.4. Manfaat Penelitian

1. Sebagai salah satu syarat untuk melaksanakan penelitian di Program

Study Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Methodist Indonesia


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tanaman Bawang Merah

Bawang merah merupakan salah satu komoditas sayuran unggulan yang

sejak lama telah diusahakan oleh petani secara intensif. Komoditas ini juga

merupakan sumber pendapatan dan kesempatan kerja yang memberikan

kontribusi cukup tinggi terhadap perkembangan ekonomi wilayah. Bawang merah

memiliki nilai ekonomi yang tinggi, maka pengusahaan budidaya bawang merah

telah menyebar di hampir semua provinsi di Indonesia. Minat petani terhadap

bawang merah cukup kuat, namun dalam proses pengusahaannya masih ditemui

berbagai kendala, baik yang bersifat teknis maupun ekonomis (Silalahi, 2007).

Tanaman bawang merah diduga berasal dari Asia Tengah, terutama

Palestina dan India, tetapi sebagian lagi memperkirakan asalnya dari Asia

Tenggara dan Mediteranian. Pendapat lain menyatakan bawang merah berasal dari

Iran dan pegunungan sebelah Utara Pakistan, namun ada juga yang menyebutkan

bahwa tanaman ini berasal dari Asia Barat, yang kemudian berkembang ke Mesir

dan Turki (Wibowo, 2005).

Wibowo (2005) menyatakan bahwa bawang merah mengandung protein

1,5 g, lemak 0,3 g, kalsium 36 mg, fosfor 40 mg vitamin C 2 g, kalori 39 kkal, dan

air 88 g serta bahan yang dapat dimakan sebanyak 90 %. Komponen lain berupa

minyak atsiri yang dapat menimbulkan aroma khas dan memberikan citarasa gurih

pada makanan.
7

Bawang merah (Allium ascalonicum L.) merupakan salah satu komoditas

unggulan hortikultura yang berperan penting bagi konsumen untuk memenuhi

kebutuhan sehari-hari. Bawang merah umumnya digunakan sebagai bahan rempah

untuk masakan dan digunakan sebagai obat tradisional berbagai penyakit.

Produksi bawang merah masih rendah dan belum stabil, oleh karena itu dilakukan

berbagai penelitian untuk dapat mengatasi hal tersebut, baik secara intensifikasi

maupun ekstensifikasi (Nugrahini, 2013).

2.2. Morfologi Tanaman Bawang Merah

Secara morfologi, bagian tanaman bawang merah dibedakan atas akar,

batang, daun, bunga, buah dan biji. Akar tanaman bawang merah terdiri atas akar

pokok ( primary root) yang berfungsi sebagai tempat tumbuh akar

adventif (adventitious root) dan bulu akar yang berfungsi untuk menopang

berdirinya tanaman serta menyerap air dan zat-zat hara dari dalam tanah. Akar

dapat tumbuh hingga kedalaman 30 cm, berwarna putih, dan jika diremas berbau

menyengat seperti bau bawang merah (Pitojo, 2003).

Batang tanaman bawang merah merupakan bagian kecil dari keseluruhan

kuncup. Bagian bawah merupakan tempat tumbuh akar. Bagian atas batang sejati

merupakan umbi semu, berupa umbi lapis (bulbus) yang berasal dari modifikasi

pangkal daun bawang merah. Pangkal dan sebagian tangkai daun menebal, lunak

dan berdaging, berfungsi sebagai tempat cadangan makanan. Pertumbuhan

tanaman tumbuh tunas atau anakan, maka akan terbentuk beberapa umbi yang

dikenal dengan istilah “siung”. Pertumbuhan siung biasanya terjadi pada

perbanyakan bawang merah dari benih umbi dan kurang biasa terjadi pada
8

perbanyakan bawang merah dan biji. Warna kulit umbi beragam, ada yang merah

muda, merah tua, atau kekuningan, tergantung spesiesnya. Umbi bawang merah

mengeluarkan bau yang menyengat (Wibowo, 2005).

Daun bawang merah bertangkai relatif pendek, berwarna hijau muda

hingga hijau tua, berbentuk silinder seperti pipa memanjang dan berongga, serta

ujung meruncing, berukuran panjang lebih dari 45 cm. Daun yang baru bertunas

biasanya belum terlihat adanya rongga. Rongga ini terlihat jelas saat daun tumbuh

menjadi besar. Daun pada bawang merah ini berfungsi sebagai tempat fotosintesis

dan respirasi. Kesehatan daun sangat berpengaruh terhadap kesehatan tanaman.

Daun relatif lunak, jika diremas akan berbau spesifik seperti bau bawang merah.

Kering di penjemuran, maka daun tanaman bawang merah melekat relatif kuat

dengan umbi, sehingga memudahkan dalam pengangkutan dan penyimpanan

(Sunarjono, 2003).

Bunga bawang merah terdiri atas tangkai bunga dan tandan bunga.

Tangkai bunga berbentuk ramping, bulat, dan memiliki panjang lebih dari 50 cm.

Pangkal tangkai bunga di bagian bawah agak menggelembung dan tangkai bagian

atas berbentuk lebih kecil. Bagian ujung tangkai terdapat yang berbentuk kepala

dan berujung agak runcing, yaitu tandan bunga yang masih terbungkus seludang.

Seludang terbuka, secara bertahap tandan akan tampak dan muncul kuncup bunga

dengan ukuran tangkai kurang dari 2 cm (Sumadi, 2003). Bentuk umbi bawang

merah lonjong bercincin kecil pada leher cakram dan warnanya merah muda.

(Basuki, dkk., 2014).


9

2.3. Syarat Tumbuh Bawang Merah

1. Iklim

Bawang merah tidak tahan kekeringan karena sistem perakaran yang

pendek. Kebutuhan air terutama selama pertumbuhan dan pembentukan umbi

cukup banyak. Bawang merah juga paling tidak tahan terhadap air hujan,

tempat-tempat yang selalu basah. Bawang merah ditanam di musim kemarau

atau di akhir musim penghujan. Bawang merah selama hidupnya di musim

kemarau akan lebihbaik apabila pengairannya baik (Wibowo, 2005).

2. Suhu

Tanaman bawang merah tumbuh di daerah beriklim kering. Tanaman ini

membutuhkan penyinaran cahaya matahari yang maksimal (minimal 70%),

suhu udara 25-32oC, dengan kelembaban nisbi 50-70% (Nasution, 2008).

3. Ketinggian Tempat

Ketinggian tempat terbaik untuk tanaman bawang merah adalah di bawah

800 m di atas permukaan laut. Ketinggian 1.100 m dpl tanaman ini masih dapat

tumbuh. Ketinggian tempat suatu daerah berhubungan dengan suhu udara,

yang sangat mempengaruhi proses perkecambahan, pertunasan, pembungaan

dan sebagainya (Sumarni dan Achmad, 2005)

4. Intensitas Cahaya Matahari

Sinar matahari berperan cukup besar bagi kehidupan tanaman bawang,

terutama dalam proses fotosintesis. Tanaman bawang merah menghendaki

areal pertanaman terbuka karena tanaman ini memerlukan penyinaran yang

cukup, minimal sekitar 70% intensitas cahaya matahari (Rukmana, 2002).


10

Badan Pusat Statistik (BPS) dan Direktorat Jenderal Holtikultura (DJH)

menyatakan bahwa produksi bawang merah di indonesia dari tahun 2015-2018

selalu mengalami peningkatan yaitu sebesar 794.929 ton, 802.810 ton, 853.615

ton, 965.164 ton, 1.048.934 ton. Sepanjang tahun 2010 impor bawang merah di

Indonesia tercatat sebesar 73.864 ton dan dalam tiga bulan pertama tahun 2011,

impor bawang merah di indonesia mencapai 85.730 ton. Hal itu membuktikan

bahwa kebutuhan akan bawang merah di dalam negeri masih tinggi

dibandingkan ketersediaannya. Produktivitas bawang merah dalam negeri perlu

ditingkatkan. bertambahnya penduduk menyebabkan kebutuhan bawang merah

mengalami peningkatan, sedangkan lahan yang tersedia semakin sempit (BPS,

2018).

5. Tanah

Tanaman bawang merah memerlukan tanah berstruktur remah, tekstur

sedang sampai liat, drainase dan aerasi yang baik, mengandung bahan organik

yang cukup, dan pH tanah netral (5,6 - 6,5). Tanah yang paling cocok untuk

tanaman bawang merah adalah tanah Aluvial atau kombinasinya dengan tanah

Glei-Humus atau Latosol. Tanah lembab dengan air yang tidak menggenang

disukai oleh tanaman bawang merah (Tim Prima Tani, 2011).

Tanah yang asam (pH kurang dari 5,5) garam alumunium (Al) yang

terlarut dalam tanah akan bersifat racun, hingga tanaman bawang merah

tersebut tumbuh kerdil. Tanah basa (pH lebih tinggi dari 6,5), garam mangan

(Mn) tidak dapat diserap (digunakan) oleh tanaman bawang, hingga umbinya

kecil dan hasilnya rendah. Tanah gambut (pHnya lebih rendah dari 4), tanaman
11

bawang merah memerlukan pengapuran terlebih dahulu supaya umbinya dapat

tumbuh membesar (Firmanto, 2011).

2.4. Tanah Sawah

Tanah sawah adalah lahan yang dikelola sedemikian rupa untuk budidaya

tanaman padi sawah, dimana dilakukan penggenangan selama atau sebagian

dari masa pertumbuhan padi. Membedakan lahan ini dari lahan rawa adalah

masa penggenangan airnya, pada lahan sawah penggenangan tidak terjadi

terus menerus tetapi mengalami masa pengeringan (Musa, dkk, 2006).

Padi sawah dibudidayakan pada kondisi tanah tergenang. Penggenangan

tanah akan mengakibatkan perubahan- perubahan sifat kimia tanah yang akan

mempengaruhi pertumbuhan tanaman padi. Perubahan- perubahan kimia tanah

sawah yang terjadi setelah penggenangan antara lain: penurunan kadar oksigen

dalam tanah, penurunan potensial redoks, perubahan pH tanah, reduksi besi

(Fe) dan mangan (Mn), peningkatan suplai dan ketersediaan nitrogen, peningkatan

Silika (Si), peningkatan ketersediaan fosfor (Tim Pusat Penelitian Tanah dan

Agroklimat, 2000).

Tanah sawah (paddy soils) dapat dikelola sedemikian rupa untuk budidaya

tanaman padi sawah. Pengelolaan tanah sawah ini meliputi :

1. Peralatan lahan dan pembuatan pematang,

2. Pelumpuran, tanah dicangkul dan dihaluskan dalam jenuh air,

3. Penggenangan tanah dengan air setinggi 5– 10 cm selama 4–5 bulan,

4. Drainase air dan pengeringan lahan pada saat panen dan


12

5. Penggenangan kembali setelah interval waktu, sekitar beberapa minggu

hingga 8 bulan (Hardjowigeno dan Rayes, 2005).

Penggenangan yang dilakukan pada tanah sawah dapat menyebabkan

berbagai perubahan sifat kimia, fisiko-kimia (elektrokimia), dan biologi hara oleh

padi sawah. Perubahan sifat-sifat kimia tersebut hampir selalu dipengaruhi proses

reduksi oksidasi secara biologis sebagai akibat kurangnya O2. Proses respirasi

mikroorganisme beberapa unsur atau ionnya harus bertindak sebagai penerima

elektron. Keadaan tidak tergenang O2 bertindak sebagai penerima elektron, tetapi

dalam keadaan tergenang ketika O2 sangat berkurang, maka senyawa-senyawa

mineral atau unsur-unsur atau kedua-duanya harus bertindak sebagai penerima

elektron (Hardjowigeno dan Rayes, 2005).

Kimia tanah sawah merupakan sifat yang sangat penting dalam

hubungannya dengan teknologi pemupukan yang efisien. Aplikasi pupuk baik

jenis, takaran, waktu maupun cara pemupukan harus mempertimbangkan sifat

kimia tersebut. Teknologi pemupukan nitrogen, dimana jenis, waktu dan cara

pemupukannya harus memperhatikan perubahan perilaku hara N dalam tanah

sawah agar pemupukan lebih efisien. Sumber pupuk N disarankan dalam bentuk

amonium (NH4+), dimasukkan ke dalam lapisan reduksi dan diberikan 2-3 kali

(Prasetyo et al., 2004).

2.5. Ketersediaan Fosfor (P)

Fosfor (P) merupakan salah satu unsur hara esensial yang dibutuhkan

tanaman untuk pertumbhan dan produksi optimum (He et al.2004). Fosfor

merupakan komponen enzim dan protein , ATP, RNA, DNA, dan fitin yang
13

mempunyai fungsi penting dalam proses fotosintesis, penggunaan gula serta pati

dan transfer energi. Tidak ada unsur lain yang dapat menggantikan fungsi P yang

cukup untuk pertumbuhan dan perkembangannya. Defisiensi P dapat

menyebabkan pertumbuhan tanaman lambat, lemah dan kerdil. Fosfor kurang

tersedia pada tanah masam karena ion fosfat dapat bereaksi dengan Fe dan Al

membentuk senyawa tidak larut, sedangkan ketersediaan P pada tanah alkalis juga

kurang karena ion fosfat bereaksi dengan Ca membentuk senyawa tidak larut. Hal

ini menyebabkan ketersediaan P bagi tanaman sangat rendah, P-total dalam tanah

jarang lebih dari 0,01% (Darman S., 2008). Pemberian pupuk dari bahan organik

yang tinggi,maka unsur hara P penting untuk mencapai hasil tanaman yang

optimum (Allen & Mallarino, 2006).

Residu pupuk P tetap berada dalam tanah dalam bentuk tidak tersedia,

hanya sedikit jumlah residu P yang hilang karena pencucian. Pemberian dosis

pupuk P tinggi secara terus menerus menyebabkan menyebabkan akumulasi P

pada lapisan olah tanah karena efisiensi penyerapan P pada lapisan olah tanah

karena penyerapan P oleh tanaman rendah (<25%) (Zang et.al.2004).

2.6. Biochar

Biochar merupakan bahan pembenah tanah yang telah lama dikenal dalam

bidang pertanian yang berguna untuk meningkatkan produktivitas tanah. Bahan

utama untuk pembuatan biochar adalah limbah-limbah pertanian dan perkebunan

seperti sekam padi, tempurung kelapa, kulit buah kakao, serta kayu-kayu yang

berasal dari tanaman hutan industri. Teknik penggunaan biochar berasal dari basin

Amazon sejak 2500 tahun yang lalu. Penduduk asli Indian memasukkan limbah-
14

limbah pertanian dan perkebunan tersebut ke dalam suatu lubang di dalam tanah.

Sebagai contoh yaitu “Terra Preta” yang sudah cukup dikenal di Brazil. Tanah ini

terbentuk akibat proses perladangan berpindah dan kaya residu organik yang

berasal dari sisa-sisa pembakaran kayu hutan (Glaser dkk., 2002).

Lehmann dan Joseph (2009), menyatakan bahwa biochar diproduksi dari

bahan-bahan organik yang sulit terdekomposisi, yang dibakar secara tidak

sempurna (pyrolisis) atau tanpa oksigen pada suhu yang tinggi. Arang hayati yang

terbentuk dari pembakaran ini akan menghasilkan karbon aktif, yang mengandung

mineral seperti Kalsium (Ca) atau Magnesium (Mg) dan karbon anorganik.

Kualitas senyawa organik yang terkandung dalam biochar tergantung pada asal

bahan organik dan metode karbonisasi. Kandungan senyawa organik dan

nonorganik yang terdapat di dalamya, biochar banyak digunakan sebagai bahan

amelioran untuk meningkatkan kualitas tanah, khususnya tanah marginal (Hunt

dkk., 2010).

Beberapa hasil penelitian yang telah banyak dilakukan menunjukkan

bahwa biochar yang diaplikasikan ke dalam tanah secara nyata berpotensi dalam

meningkatkan beberapa sifat kimia tanah seperti pH tanah, KTK, dan beberapa

senyawa seperti C-organik, N-total, serta dapat mereduksi aktivitas senyawa Fe

dan Al yang berdampak terhadap peningkatan P-tersedia (Rondon dkk, 2007).

Penambahan biochar mempengaruhi sifat fisika tanah melalui peningkatan

kapasitas menahan air, sehingga dapat mengurangi run-off dan pencucian unsur

hara. Amandemen biochar juga dapat memperbaiki struktur, porositas, dan

formasi agregat tanah (Lehmann dan Joseph, 2009). Biochar juga dapat
15

mempengaruhi populasi dan aktivitas mikroorganisme tanah. Graber dkk. (2010),

menyatakan bahwa kehadiran-kehadiran biochar dapat merangsang populasi

rhizobakteria dan fungi yang menguntungkan bagi pertumbuhan tanaman.

Salah satu biochar yang dipakai secara umum untuk pertumbuhan dan

produksi tanaman bawang merah adalah arang sekam, merupakan hasil

pembakaran dari sekam padi dengan warna hitam banyak digunakan sebagai

media hidroponik secara komersial di Indonesia.

Salah satu bahan organik yang mengandung berbagai jenis asam organik

yang mampu untuk melepaskan hara yang terikat dalam struktur mineral dari debu

yaitu arang sekam padi. Arang sekam mengandung SiO2 (52%), C (31%), K

(0.3%), N (0,18%), P (0,08%), dan Kalsium (0,14%). Komposisi lainnya adalah

Fe2O3, K2O, MgO, CaO, MnO dan Cu dalam jumlah yang sangat kecil, juga

mengandung bahan-bahan organik. Kandungan silikat yang tinggi dapat

menguntungkan bagi tanaman karena menjadi lebih tahan terhadap hama dan

penyakit akibat adanya pengerasan jaringan (Septiani, 2012). Tingginya

kandungan unsur hara silika yang ada pada arang sekam padi tersebut diharapkan

mampu menyediakan kebutuhan hara pada bawang merah. Sumarni dan Hidayat

(2005) menyatakan bahwa bawang merah merupakan salah satu jenis tanaman

yang membutuhkan banyak silika. Silika memegang peranan penting dalam

metabolisme tanaman yang berhubungan dengan beberapa parameter penentu

kualitas nutrisi tanaman sayuran.


16

2.7. Pupuk Kandang Ayam

Pupuk kandang ayam salah satu alternatif untuk mempertahankan dan

meningkatkan kesuburan tanah dengan pemberian bahan organik seperti pupuk

kandang ke dalam tanah. Pemberian pupuk kandang, selain dapat meningkatkan

kesuburan tanah juga dapat mengurangi penggunaan pupuk buatan yang harganya

relatif mahal dan terkadang sulit diperoleh (Souri, 2001).

Pupuk kandang (pukan) didefinisikan sebagai semua produk buangan dari

binatang peliharaan yang dapat digunakan untuk menambah hara, memperbaiki

sifat fisik, dan biologi tanah. Memelihara ternak tersebut diberi alas seperti sekam

pada ayam, jerami pada sapi, kerbau dan kuda, maka alas tersebut akan dicampur

menjadi satu kesatuan dan disebut sebagai pukan pula (Hartatik dan Widowati,

2010).

Pemupukan dengan pupuk organik seperti pupuk kandang ayam dapat

memberikan pengaruh yang baik karena selain menambah unsur hara juga dapat

memperbaiki sifat fisik dan aktifitas mikroorganisme tanah. Dosis pupuk kandang

ayam yang dapat diberikan sangat ditentukan oleh beberapa faktor, antara lain

jenis tanaman yang akan dipupuk, tingkat kesuburan tanah, jenis pupuk kandang

dan iklim (Sudirja,2007).

Pupuk kandang adalah pupuk organik yang berasal dari kotoran hewan.

Hewan ternak yang banyak dimanfaatkan kotorannya antara lain ayam, kambing,

sapi, kuda, dan babi. Kotoran yang dimanfaatkan biasanya berupa kotoran padat

atau cair yang digunakan secara terpisah maupun bersamaan (Musnamar, 2003)..

Pupuk kandang ayam mengandung hara 57 % H2O, 29 % bahan organik, 1,5 %


17

N, 1,3 % P2O5, 0,8 % K2O, 4 % CaO dengan rasio C/N 9 – 11 (Hartatik dan

Widowati, 2010).

Komposisi kandungan unsur hara pupuk kandang sangat dipengaruhi oleh

beberapa faktor antara lain jenis hewan, umur, keadaan hewan, jenis makanan,

bahan hamparan yang dipakai, perlakuan, serta penyimpanan sebelum

diaplikasikan ke lahan. Di samping mengandung unsur hara makro dan mikro,

pupuk kandang juga dilaporkan mengandung hormon seperti creatin, asam indol

asetat, dan auxin yang dapat merangsang pertumbuhan akar (Musnamar, 2003).

Salah satu cara untuk meningkatkan produksi bawang merah adalah

dengan mengintensifkan penggunaan lahan dan pemberian pupuk yang optimal.

Pemberian pupuk organik sangat baik digunakan untuk memperbaiki sifat fisik

kimia dan biologi tanah, meningkatkan aktivitas mikroorganisme tanah dan lebih

ramah terhadap lingkungan (Yetti dan Elita, 2008). Dosis pupuk kandang ayam

yang terbaik untuk tanaman bawang merah adalah 20 ton/Ha (Samadi dan

Cahyono, 2005).

Pupuk kandang segar mempunyai C/N = 25. Jasad renik akan menarik N

dari dalam tanah apabila langsung dipupuk ke dalam tanah. Kenyataannya dalam

penarikan N ini akan berlangsung persaingan diantara jasad renik, peristiwa

persaingan antara jasad renik di dalam tanah disebut immobilisasi N. Pupuk

kandang mempunyai cara kerja yang lambat karena harus mengalami proses-

proses perubahan terlebih dahulu sebelum dapat diserap tanaman. Pupuk kandang

ayam dianggap sebagai pupuk lengkap, karena selain menimbulkan tersedianya


18

unsur hara bagi tanaman juga mengembangkan kehidupan mikroorganisme di

dalam tanah sehingga dapat membantu struktur agregat tanah (Sutedjo, 2002).

Pupuk kandang merupakan bahan pembenah tanah yang paling baik

dibanding bahan pembenah lainnya. Umumnya nilai pupuk yang dikandung pada

pupuk kandang terutama unsur makro Nitrogen (N), Fosfor (P), dan Kalium (K)

rendah, tetapi pupuk organik juga mengandung unsur mikro esensial yang lain.

Pupuk kandang membantu dalam mencegah terjadinya erosi sebagi bahan

pembenah tanah, meningkatkan kelembaban tanah dan mengurangi terjadinya

retakan tanah. Pupuk kandang juga memacu dan meningkatkan populasi mikrobia

dalam tanah jauh lebih besar daripada hanya memberikan pupuk kimia (Sutanto,

2002). Ciri-ciri pupuk kandang yang baik dapat dilihat secara fisik atau kimiawi.

Ciri fisiknya yakni berwarna cokelat kehitaman, cukup kering, tidak menggumpal,

d an tidak berbau menyengat. Ciri kimiawinya adalah C/N rasio kecil

(bahan pembentuknya sudah tidak terlihat) dan temperaturnya relatif stabil

(Novizan, 2005).

Raihan (2000), menyatakan bahwa penggunaan bahan organik pada pupuk

kandang ayam mempunyai beberapa keuntungan antara lain sebagai pemasok hara

tanah dan meningkatkan retensi air. Kandungan air tanah meningkat, maka proses

perombakan bahan organik akan banyak menghasilkan asam-asam organik. Anion

dari asam organik dapat mendesak fosfat yang terikat oleh Fe dan Al sehingga

fosfat dapat terlepas dan tersedia bagi tanaman. Penambahan kotoran ayam

berpengaruh positif pada tanah masam berkadar bahan organik rendah karena

pupuk organik mampu meningkatkan kadar P, K, Ca dan Mg tersedia.


BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan di lahan sawah yang terletak di

Jl.Harmonika Baru Pasar II Tanjung Sari, Kecamatan Medan Selayang, Medan,

dengan ketinggian tempat ± 32 meter di atas permukaan laut, yang akan

dilaksanakan pada bulan Desember 2019 sampai dengan Februari 2020.

3.2. Bahan dan Alat Penelitian


Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah bibit bawang merah
Varietas Brebes, abu vulkanik Gunung Sinabung, pupuk kandang ayam, pestisida
organik Azadirachtin, fungisida organik, label sampel, tali plastik, patok sampel
serta bahan lain yang digunakan selama penelitian. Alat yang digunakan dalam
penelitian ini yaitu cangkul, parang, meteran, penggaris, gembor, kamera,
timbangan analitik, , alat tulis serta alat lain yang digunakan selama penelitian.

3.3. Metode Penelitian


Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 2
faktor perlakuan, yaitu:
Faktor I pupuk kandang ayam (A) dengan 4 taraf :
M0 = Kontrol ( Tanpa pupuk kandang ayam)
M 1 = 3,75 kg/plot (10 ton/ha)
M 2 = 7,5 kg/plot (20 ton/ha)
M 3 = 11,25 kg/plot (30 ton/ha)
Faktor II abu vulkanik (V) dengan 4 taraf:
N0 = Kontrol (Tanpa abu vulkanik)
N 1 = 1,88 kg/plot (5 ton/ha)
N 2 = 3,75 kg/plot (10 ton/ha)
N 3 = 5,62 kg/plot (15 ton/ha)
Jumlah kombinasi perlakuan adalah 4 x 4 = 16 yaitu :
M0N0 M1N0 M2N0 M2N0
M0N1 M1N1 M2N1 M3N1
M0N2 M1N2 M2N2 M3N2
M0N3 M1N3 M2N3 M3N3
22

Jumlah ulangan : 2 ulangan

Jumlah Plot : 32 plot

Jumlah tanaman per Plot : 64 tanaman

Jumlah tanaman sampel : 5 tanaman

Jumlah sampel destruktif : 2 sampel

Total jumlah tanaman : 2.112 tanaman

Total tanaman sampel : 160 tanaman

Jarak antar plot : 50 cm

Jarak antar ulangan : 50 cm

Luas plot : 250 cm x 150 cm

Luas Lahan : 41 m x 8 m

3.4. Metode Analisis Data

Data dianalisis dengan sidik ragam, berdasarkan model linier RAK

Faktorial sebagai berikut:

Yijk= µ + αj + βk + (αβ)jk + ijk

Dimana:

Yijk = Hasil pengamatan pada kelompok ke-i yang perlakuan dosis biochar

pada taraf ke-j dan perlakuan dosis pupuk kandang ayam pada taraf

ke-k

µ = Nilai rataan

αj = Pengaruh dosis pukan pada taraf ke-j

βk = Pengaruh dosis biochar pada taraf ke-k


23

(αβ)jk = Pengaruh interaksi dosis pukan pada taraf ke-j dan biochar pada taraf

ke-k

ijk = Pengaruh galat pada kelompok ke-i yang diberi pukan pada taraf ke-j

dan biochar taraf ke-k

Mengetahui pengaruh dari faktor yang dicoba serta interaksinya maka data

hasil percobaan dianalisis dengan menggunakan sidik ragam. Perlakuan yang

berpengaruh nyata dilanjutkan dengan pengujian uji beda rataan dengan

menggunakan uji jarak Duncan.

3.5. Pelaksanaan Penelitian

3.5.1. Persiapan Lahan

Persiapan lahan dilakukan dengan terlebih dahulu membersihkan areal

lahan dari gulma, selanjutnya dibuat bedengan dengan ukuran 250 cm x

150 cm dan ketinggian bedengan 15 cm. Dibuat parit dengan ukuran 50

cm dan dalam 50 cm agar ketika hujan datang tidak terjadi banjir.

3.5.2. Analisis Tanah Sebelum Penelitian

Analisis tanah dilakukan sebelum penelitian dengan cara mengambil tanah

secara komposit pada lahan yang akan digunakan untuk penelitian.

Beberapa parameter tanah yang dianalisis di laboratorium adalah : C

organik, N,P total, P tersedia, K, pH, KTK, Kejenuhan basa, Silika total,

Silika tersedia, Sulfur total dan Sulfur tersedia.

3.5.3. Pemberian Pupuk Kandang Ayam

Pemberian pupuk kandang ayam dilakukan seminggu sebelum tanam

dengan cara ditabur pada setiap tanaman dengan dosis yang sudah

ditentukan.
24

3.5.4. Persiapan Bibit Bawang Merah

Kualitas bibit bawang merah sangat menentukan hasil produksi bawang

merah. Kriteria umbi yang baik untuk bibit bawang merah harus berasal

dari tanaman yang berumur cukup tua yaitu berumur 70-80 hari setelah

tanam, dengan ukuran 5-10 gram, diameter 1,5-1,8 cm. Umbi bibit tersebut

harus sehat, tidak mengandung bibit penyakit dan hama. Ujung umbi bibit

bawang merah dilakukan pemotongan sekitar 1/4 panjang umbi untuk

mempercepat pertumbuhan tunas.

3.5.5. Penanaman

Bibit dipilih berdasarkan ukuran bobot 3-4 gram, kemudian dilakukan

pemotongan pucuk sebesar sepertiga pucuk umbi bibit bawang merah.

Tujuan pemotongan pucuk adalah untuk mempercepat tumbuhnya tunas.

Bibit umbi direndam dengan menggunakan fungisida berbahan aktif

Mankozeb 80% dengan konsentrasi 2 gram/liter selama 15 menit.

Penanaman umbi langsung ditanam pada plot, selanjutnya bagian atas

ditutup dengan tanah.

3.5.6. Pemberiaan Arang Sekam

Arang sekam diberikan sesuai dosis anjuran, pada satu minggu setelah

tanam dengan cara ditaburkan pada setiap tanaman.

3.5.7. Pemeliharaan

Pemeliharaan tanaman dilakukan dengan pemberian pupuk Urea, TSP dan

KCl. Pemberian pupuk dilakukan 2 kali yaitu pada saat 2 minggu setelah

tanam dan 5 minggu setelah tanam dengan 1/2 dosis anjuran. Dosis yang

digunakan pada umur 2 minggu setelah tanam adalah Urea= 4,6 g/plot,
25

TSP= 4 g/plot, dan KCl= 5,6 g/plot. Dosis pada umur 5 minggu setelah

tanam adalah Urea= 2,3 g/plot, TSP= 2 g/plot, dan KCl= 2,8 g/plot.

Penyiraman tanaman dilakukan dua kali sehari yaitu pada pagi dan sore

hari, sampai dengan umur 10 hari setelah tanam. Melewati 10 hari

penyiraman dilakukan sebanyak satu kali sehari. Saat cuaca sedang turun

hujan penyiraman tidak perlu dilakukan dengan catatan air hujan telah

mencukupi untuk kebutuhan tanaman. Penyiraman dilakukan dengan

mengunakan gembor dan air bersih pada seluruh tanaman. Penyulaman

dilakukan pada batas umur 10 HST dengan cara mengganti bibit yang mati

atau busuk. Penyiangan dilakukan sedini mungkin karena akar bawang

merah yang muda, sukar bersaing dengan rumput, Penyiangan dilakukan

apabila didapati ada gulma di sekitar lahan. Penyiangan dilakukan secara

manual.

3.5.8. Pengendalian Hama dan Penyakit

Hama penting pada tanaman bawang merah di antaranya adalah: ulat

bawang (ulat grayak), trips. Penyakit yang sering menyerang tanaman

bawang merah adalah: bercak ungu (Alternaria porri Cif.), embun bulu

atau busuk daun (Peronospora destructor Caps.), Antraknosa

(Colletotrichum gloesporioides Penz.). Pengendalian penyakit tanaman

bawang merah dilakukan dengan penyemprotan fungisida Antracol 70 WP

dan Score 250 EC, sesuai serangan di lapangan.

3.5.9. Panen
26

Panen dilakukan pada saat tanaman berumur 60 HST yang ditandai dengan

daun-daun yang telah menguning, kering dan rebah. Umbi membesar dan

sebagian telah muncul kepermukaan tanah, ruas umbi telah nampak padat

dan warna kulit telah mengkilap. Panen dilakukan dengan cara mencabut

tanaman kemudian tanaman dibersihkan dari segala kotoran.

3.6 Parameter yang Diamati

3.6.1. Tinggi Tanaman (cm)

Tinggi tanaman diamati dari titik tumbuh hingga ujung daun yang tertinggi

Pengamatan dilakukan satu minggu sekali. Pengamatan ini dimulai sejak

satu minggu setelah tanam hingga periode pertambahan tingginya berhenti.

3.6.2. Jumlah Umbi Per sampel (umbi)

Jumlah umbi per sampel dihitung setelah panen terhadap 5 tanaman

sampel. Pengamatan ini dilakukan setelah tanaman bawang merah dipanen

yaitu dengan cara dibersihkan dahulu umbi yang telah dipanen dari tanah

yang menempel kemudian dihitung semua umbi yang terdapat dalam satu

sampel tanaman per polibag.

3.6.3. Bobot Basah Umbi per sampel (g)

Bobot basah per sampel dilakukan pada saat panen umur 60 HST. Bobot

basah umbi per sampel ditimbang setelah panen, terhadap 5 tanaman

sampel, kemudian umbi dibersihkan dari kotoran yang menempel,


27

selanjutnya daun dipotong sekitar 1 cm di atas leher umbi kemudian

umbi ditimbang dengan menggunakan timbangan.

3.6.4. Bobot Basah Umbi per Plot (g)

Bobot kering per plot dilakukan pada saat panen umur 60 HST. Bobot

kering umbi per plot ditimbang setelah panen, terhadap seluruh tanaman

pada plot, kemudian umbi dibersihkan dari kotoran yang menempel,

selanjutnya daun dipotong sekitar 1 cm di atas leher umbi kemudian

umbi dikering anginkan terlebih dahulu selama 5-7 hari lalu di timbang

berat umbi tersebut.

3.6.5. Bobot Kering Umbi per sampel (g)

Bobot kering umbi per sampel dilakukan pada saat panen umur 60 HST.

Bobot kering umbi per sampel ditimbang setelah panen, terhadap seluruh

tanaman sampel, kemudian umbi dibersihkan dari kotoran yang

menempel, selanjutnya daun dipotong sekitar 1 cm di atas leher umbi

kemudian umbi dikering anginkan terlebih dahulu selama 5-7 hari lalu di

timbang berat umbi tersebut.

3.6.6. Bobot Kering Umbi per plot (g)

Bobot kering per sampel dilakukan pada saat panen umur 60 HST. Bobot

kering umbi per sampel ditimbang setelah panen, terhadap seluruh

tanaman pada plot, kemudian umbi dibersihkan dari kotoran yang

menempel, selanjutnya daun dipotong sekitar 1 cm di atas leher umbi

kemudian umbi dikering anginkan terlebih dahulu selama 5-7 hari lalu di

timbang berat umbi tersebut.


28

3.6.7 KTK

Metode yang digunakan untuk menetapkan KTK tanah adalah metode

perkolasi NH4OAc 1 N pH 7. Prosedur penetapan KTK (Prijono, 2013)

adalah sebagai berikut: 1. Ditimbang 5 gr contoh tanah kering udara dan

dimasukkan ke dalam tabung sentrifuse 100 ml. 2. Ditambahkan 20 ml

larutan NH4OAc. Diaduk dengan pengaduk gelas sampai merata dan

dibiarkan selama 24 jam. 3. Diaduk kembali lalu disentrifuse selama 10

menit sampai 15 menit dengan kecepatan 2.500 rpm. 4. Ekstrak

NH4OAc didekantasi, disaring lewat saringan dan hasil filtrasi

ditampung di dalam labu ukur 100 ml. 5. Penambahan NH4OAc diulangi

sampai 4 kali.Setiap kali penambahan diaduk merata, disentrifuse dan

ekstraknya didekantasi ke dalam labu ukur 100 ml. 6. Ditambahkan 20

ml alkohol 80% ke dalam larutan dan kemudian diaduk dan disentrifuse

kembali. 7. Ditambahkan pereaksi nessler dan 5-6 tetes indikator

Conwai. 8. Dibuat blanko dan dititrasi dengan NaOH 0,1 N sampai

larutan berwarna hijau. 9. Dihitung: KTK (me/gr) = ml blanko −contoh

tanah x N NaOH X 100 bobot tanah.

3.6.8. Kejenuhan Basa

Kejenuhan Basa dianalisis dengan menggunakan metode ekstraksi 1 N

NH4OAc pH 7.

3.6.9. C-Organik
29

Metode yang digunakan untuk menetapkan bahan organik tanah adalah

metode Walkley&Black (Prijono, 2013). Timbang 0.5 gr tanah yang

telah lolos ayakan 0.5 mm dan masukkan labu erlenmeyer 500 ml. Pipet

10 ml K2Cr2O7 1N ditambahkan ke dalam labu erlenmeyer. Tambahkan

20 ml H2SO4 pekat ke dalam labu erlenmeyer dan kemudian

digoyangkan supaya tanah bereaksi sempurna.Biarkan campuran

tersebut selama 30 menit.Penambahan H2SO4 dilakukan di ruang asam.

Sebuah blanko (tanpa tanah) dikerjakan dengan cara yang sama,

kemudian campuran tadi diencerkan dengan H2O 200 ml dan tambahkan

10 ml H3PO4 85%, tambahkan indikator difenilamina 30 tetes.Setelah itu

larutan dapat dititrasi dengan FeSO4, 7H2O 1N melalui buret.Titrasi

dihentikan ditandai perubahan dari warna gelap menjadi hijau terang,

demikian juga dengan blanko. Kemudian dihitung: % C = 5 (1-T/S) x

0,78 (untuk tanah 0,5 gr) % Bahan Organik = 1,72 x %C U

3.6.10. pH

Metode yang digunakan untuk mengukur pH tanah adalah metode pH

meter. Tanah sebanayak 10 gr dimasukkan ke dalam botol kocok,

sebanyak 3 botol, kemudian ditambahkan aquades sebanyak 25 ml.

Botol yang berisi tanah dan aquades tersebut dikocok menggunakan

shaker selama 10 menit, kemudian diukur pH-nya mengggunakan pH

meter (Balai Penelitian Tanah, 2005).

3.6.11. Ketersediaan P
30

Metode yang digunakan untuk menetapkan P tersedia adalah metode

BrayI. Prosedur penetapan P tersedia (Balai Penelitian Tanah, 2005)

adalah sebagai berikut: 1. Ditimbang 2 gr contoh tanah dan tempatkan

pada gelas erlenmeyer 250 cc. 2. Ditambahkan larutan Bray I sebanyak

20 ml dan digoncang dengan menggunakan shaker selama 10 menit dan

disaring dengan kertas saring. 3. Pipet filtrate sebanyak 5 ml dan

masukkan dalam tabung reaksi. 4. Ditambahkan pereaksi fosfat B

sebanyak 10 ml. Biarkan selama 5 menit. 5. Diukur transmitan pada

spektrofotometer dengan panjang gelombang 600 nm. 6. Pada saat yang

bersamaan pipet filtrat juga masing-masing 5 ml larutan standar P 0– 0,5

– 1,0 – 2,0 – 3,0 – 4,0 dan 5,0 ppm P ke tabung reaksi, kemudian

tambahkan 10 ml pereaksi fosfat B. 7. Diukur juga transmitan standar

spektrofotometer dengan panjang gelombang yangsama yaitu 600 nm. 8.

Dihitung: P tersedia (ppm)= ppm pelarut x 20 2 x faktor pengencer (bila

ada)
31

DAFTAR PUSTAKA

Abewa, A., Birru Y., Yihenew G.S. & Tadele A. 2014. The Role of Biochar on
Acid Soil Reclamation and Yield of Teff (Eragrostis tef [Zucc] Trotter) In
Northwestern Ethiopia. Journal of Agricultural Science 6 (1):2014.

Ahmed, M., F. Hassen, U. Qadeer, M.A. Aslam. 2011. Silicon application and
drought tolerance mechanism of sorghum. Afr. J. Agric. Res. 6:594-607.

Ashtiani, F.A., J. Kadir, A. Nasehi, S.R.H. Rahaghi, H. Sajili. 2012. Effect of


silicon on rice blast disease. Pertanika J. Trop. Agric. Sci. 35:1-12.

Badan Pusat Statistik. 2018. Produksi Bawang Merah. https://www.bps.go.id/


(diakses 20 Oktober 2019).

Badan Pusat Statistik. 2014. Produksi Bawang Merah Sumatera Utara. Biro
Statistik Sumatera Utara, Medan.

Basuki, R.S, Khaririyatun, N, dan Luthfy.2014. Evaluasi dan preferensi petani


Brebes terhadap atribut kualitas varietas unggul bawang merah hasil
penelitian balitsa. Jurnal Hortikultura. BPS. 201. Produksi Cabai Besar,
Cabai Rawit, dan Bawang Merah Tahun 2012. Berita Resmi Statistik No.
54/08/Th. XVI.

Chan, K.Y., L. Van Zwieten, I. Meszaros & S.D. Joseph. 2007. Agronomic values
of greenwaste biochar as a soil amendment. Australian Journal of Soil
Research, 45:629–634.

Ciptady MA. 2015. Budidaya bawang merah [Internet]. .Tersedia


padahttp://cybex.pertanian.go.id/gerbangdaerah.detail/9371/budidayabawa
ng-merah.( Diakses 15 Oktober 2019).

Clough, T.J., Leo M.C., Claudia K. & Christoph M. 2013. A review of biochar
and soil nitrogen dynamics. Agronomy, 3(2):275-293.

Darman Saiful, 2008. Ketersediaan Dan Serapan Hara P Tanaman Jagung Manis
Pada Oxic Dystrudepts Palolo Akibat Pemberian Ekstrak Kompos Limbah
Buah Kakao. J. Agroland 15 (4) : 323-329.

Gani, A. 2010. Multiguna Arang -Hayati Biochar. Balai Besar Penelitian


Tanaman Padi. Sinar Tani. Edisi13-19: 1-4.

Graber, E.R., Y.M. Harel, M. Kolton, E. Crtryn, A. Silber, D.R. David,


L.Tsechansky, M. Borenshtein, and Y.Elad, 2010. Biochar Impact on
32

Developmenr and Productivity of Pepper and Tomato grown in Fertigated


Soilless Media. Plant Soil 337: 481-496.

Hardjowigeno, S. dan M. L. Rayes. 2005. Tanah Sawah Karakteristik,


Kondisi dan Permasalahan Tanah Sawah di Indonesia. Bayumedia
Publishing. Malang.

Hartatik, W. dan L.R. Widowati, 2010. Pupuk Kandang.


http://www.balittanah. litbang.deptan.go.id. Diakses tanggal 18 Oktober
2019.

Hunt, J., M. Duponte, D. Sato, and A. Kawabata, 2010. The Basics of Biochar : A
Natural Soil Amandment. Soil and Crop Management. Colengge of
Tropical Agriculture and Human Resources. University of Hawai’I at
Manao. 1-6.

Maftu'ah, E. dan Dedi N. 2015. Potensi berbagai bahan organik rawa sebagai
sumber biochar. In A.D Setyawan (Chair),Prosiding Seminar Nasional
Masyarakat Biodiversitas Indonesia, Universitas Sebelas Maret,
Surakarta.

Musa, L., Mukhlis dan A. Rauf. 2006. Dasar Ilmu Tanah. USU Press, Medan.

Musnamar. 2003. Pupuk Organik: Cair & Padat, Pembuatan, Aplikasi. Penebar
Swadaya. Jakarta.

Nugrahini, T. 2013. Respon tanaman bawang merah (Allium ascalonicum L.)


varietas tuk tuk terhadap pengaturan jarak tanam dan konsentrasi pupuk
organik cair nasa. JurnalZiraa’ah.

Pitojo, S. 2003.Benih Bawang Merah. Kanisius. Yogyakarta.

Rajiman P, Yudono, E Sulistyaningsih & E Hanudin. 2008. Pengaruh pembenah


tanah terhadap sifat fisika tanah dan hasil bawang merah pada lahan pasir
pantai Bugel Kabupaten Kulon progo. Agrin. 12(1):67-77. http:jurnalagrin.
net/index.php/agrin/article/view/80/64. (diakses 3 November 2019).

Rao, G.B., P. Susmitha. 2017. Silicon uptake, transportation, and accumulation in


rice. J. Pharmacog. Phytochem. 6:290-293.

Rosmarkam, A. dan N. W. Yuwono. 2002. Ilmu Kesuburan Tanah. Kanisius,


Yogyakarta.

Sumadi, B. 2003. Intensifikasi Budidaya Bawang Merah. Kanisius. Yogyakarta.

Sumarni, N, dan Hidayat, A., 2005. Panduan Teknis Budidaya Bawang Merah.
Balai Penelitian Tanaman Sayuran. Lembang.
33

Tim Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. 2000. Universitas Sumatera Utara.
Medan.

Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura,2018.Angka Perhitungan

Tahunan.Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Sumatera

Utara.Medan.

Darmawidjaya,I.1995.Klasifikasi Tanah.Dasar-dasar Teori Bagi Penelitian Tanah

dan Pelaksanaan Penelitian.UGM Press,Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai