Anda di halaman 1dari 19

Tugas Kelompok

Produksi Benih
PRODUKSI BENIH BAWANG MERAH (umbi)

NAMA : ANDI SRI UMMI KALSUM YULIFAR

FAISAL

KELOMPOK : 1

PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2017
KATA PEGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang
telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaiakan Makalah Produksi Benih Bawang Merah. Makalah ini disusun
dalam rangka memenuhi tugas kelompok dalam mata kuliah Produksi Benih.
Atas bimbingan dosen, dan kerjasama kelompok maka disusunlahmakalah
ini.Semoga dengan tersusunnya makalah ini diharapkan dapat berguna bagi kami
semua dalam memenuhi salah satu syarat tugas kami di perkuliahan. Makalah ini
diharapkan bisa bermanfaat dengan efisien dalam proses perkuliahan.
Dalam menyusun makalah ini penulis telah berusaha dengan segenap
kemampuan untuk membuat makalah yang sebaik-baiknya.Sebagai pemula
tentunya masih banyak kekurangan dan kesalahan dalam makalah ini, oleh
karenanya kami mengharapkan kritik dan saran agar makalah ini bisa menjadi
lebih baik.
Demikianlah kata pengantar makalah ini dan penulis berharap semoga
laporan makalah ini dapat digunakan sebagaimana mestinya.Amin.
Makassar, 2 April 2017

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bawang merah (Allium ascalonicum L) merupakan komoditas hortikultura


penting dengan nilai ekonomi tinggi baik ditingkat petani, masyarakat maupun
negara. Bawang merah juga merupakan sayuran unggulan nasional yang perlu
dibudidayakan dengan intensif. Kontribusi tingkat nasional cukup tinggi yaitu 2,7
triliun/tahun dengan potensi pengembangan areal 90.000 ha. Provinsi penghasil
utama (> 1.000 ha) yaitu Jawa Tengah, DIY, Jawa Timur, Jawa Barat, Sumatra
Utara, Sumatra Barat, Sulawesi Selatan, Bali dan Nusa Tenggara Barat.
Kontribusi 9 Provinsi tersebut terhadap produksi bawang nasional yaitu 95,8%
dan Jawa 75%. Adapun kebutuhan bawang merah perkapita 4,56 kg/th atau 0,38
kg/bulan dan menjelang hari raya keagamaan meningkat 10-20%.
Kebutuhan konsumsi bawang merah nasional (asumsi 80% penduduk
mengkonsumsi bawang merah) yaitu 816.960 ton, dan lainnya 122.544 ton,
sehingga total kebutuhan 1 tahun sekitar 939.504 ton atau rata-rata 78.292
ton/bulan (Baswarsiati dkk, 2012). Produktivitas bawang merah pada tahun 2009
sebesar 9,38 ton/ha dan tahun 2010 sebesar 9,37 ton/ha (BPS, 2011).
Menurut Putrasamedja dan Permadi (2001), salah satu masalah utama yang
dihadapi dalam usaha peningkatan produksi bawang merah ialah terbatasnya
ketersediaan benih bawang merah bermutu pada saat dibutuhkan petani. Beberapa
peneliti menyebutkan bahwa pada umumnya petani menggunakan benih yang
berasal dari umbi konsumsi (Soetiarso et al.1999, Putrasamedja 1995, Sumarni et
al. 2005). Menurut Putrasamedja dan Permadi (2001), benih dari umbi konsumsi
yang biasa digunakan petani berkualitas rendah karena tidak dihasilkan dari
proses seleksi, sehingga menyebabkan produktivitasnya rendah

1.2 Rmusan Masalah

1. Bagaimana kondisi lingkungan tumbuh bawang merah?


2. Bagaimana teknologi produksi benih bawang merah?
3. Bagaimana perbenihan bawang merah di Indonesia?
4. Apa saja faktor yang mempengaruhi mutu fisiologi benih bawang merah?
1.3 Tujuan

Tujuan dari makalah ini agar mahasiswa mengetahui bagaimana kodisi


lingkungan tumbuh benih bawang merah, bagaimana teknologi produksi benih
bawang merah, bagaimana perbenihan bawang merah di Indonesia dan faktor-
faktor yang mempengaruhi mutu fisiologi benih bawang merah.
BAB II
ISI

2.1 Botani dan Morfologi Bawang Merah

Bawang merah merupakan salah satu tanaman yang termasuk kedalam umbian
tanah, dan juga tanaman yang memiliki perakaran yang serabut di bagian pangkal
umbi. Tanaman bawang merah ini diduga berasal dari Asia Tenggara yang
menyebar luas keberbagai wilayah dan juga tempat lainnya, bawang merah ini
biasanya digunakan sebagai bumbu atau tambahan.
Secara umum, bawang merah ini juga merupakan salah satu tanaman yang
memiliki kandungan dan senyawa yang sangat tinggi, sehingga di zaman dahulu
hingga sekarang banyak menggunakan bawang merah ini sebagai bahan herbal
dan juga tradisional untuk menyembuhkan berbagai penyakit serta menyehatkan
kesehatan tubuh. Secara sistematisnya bawang merah ini dapat diklasifikasi dan
morfologikan sebagai sebagai berikut.
Kingdom : Plantae
Sub kingdom : Tracheobionta
Super divisio : Spermatophyta
Divisio : Magnoliophyta
Kelas : Liliopsida
Sub kelas : Lilidae
Ordo : Lililales
Famili : Liliaceae
Genus : Allium
Spesies : Allium cepa L.
Adapun morfologi tanaman bawang merah menurut Haghiack, M. And
Walle, T ( 2005 ), sebagai berikut :
1. Akar
Perakaran pada bawang merah ini memiliki perakaran yang dangkal dan
juga bercabang memencar, dengan kedalam mencapai 15-30 cm didalam tanah
serta tumbuh di sekitar umbi bawang merah.
2. Batang
Batang bawang merah memiliki batang sejati disebut diskus, yang
memiliki bentuk hampir menyerupai cakram, tipis dan juga pendek sebagai tempat
melekatnya akar dan juga mata tunas. Sedangkan bagian atas pada diskus ini
terdapat batang semu yang tersusun atas pelepah – pelepah daun dan batang semu
yang berada didalam tanah dan juga berguna untuk menjadi umbi lapis .
3. Daun
Daun bawang merah memiliki bentuk silindris kecil memanjang yang
mencapai sekitar 50-70 cm, memiliki lubang dibagian tengah dan pangkal daun
runcing. Daun bawang merah ini berwarna hijau mudah hingga tua, dan juga letak
daun ini melakat pada tangkai yang memiliki ukuran pendek.
4. Bunga
Bunga bawang merah ini memiliki panjang antara 30-90 cm, dan juga
memiliki pangkal ujung kuntum bunga yang hampir menyerupai payung. Selain
itu, bunga tanaman ini terdiri dari 5-6 helai daun bunga yang bewarna putih, 6
benang sari berwarna hijau hingga kekuningan kuningan, serta memiliki 1 putik
dan bakal buah yang memiliki bentuk segitiga. Bunga bawang merah ini juga
merupakan salah satu bunga sempurna dan juga dapat melakukan penyerbukan
sendiri.
5. Buah dan biji
Buah bawang merah berbentuk ulat dengan pangkal ujung tumpul yang
terbungkus dengan biji berjumlah 2-3 butir, selain itu biji ini memiliki bentuk
agak pipih berwarna bening dan juga agak keputihan hingga memiliki warna
kecoklatan sampai kehitaman. Namun, untuk perbanyakan pada biji bawang
merah ini dapat dilakukan dengan cara generatif ( seksual ).
2.2 Syarat Tumbuh Bawang Merah

Tanaman bawang merah tidak dapat tumbuh dan berproduksi dengan baik di
sembvarang tempat atau daerah. Tanaman bawang merah menuntut persyaratan-
persyaratan tertentu, terutamna persyaratan ekologi (lingkungan). Kegagalan akan
terjadi apabila budi daya yang dilakukan tidak tidak memperhatikan lingkungan
yang sesuai dengan sifat tanaman. Tanaman akan tumbuh merana dan produksi
rendah dan sering kali tidak menghasilkan umbi bila persyaratan tumbuhnya tidak
terpenuhi. Lingkungan yang harus diperhatikan untuk budidaya bawang merah
meliputi tanah dan iklim.
1. Tanah
Tanaman bawang merah dapat tumbuh baik di sawah, tanah tegalan, atrau
pekarangan, asalkan keadaan tanahnya subur, gembur dean banyak mengandung
bahan organic atau humus dan mudah mengikat air (porous) serta mempunyai
aerasi (peredaran oksigen) yang baik. Tanah yang memenuhi syarat tersebut
sangat mendukung perkembangan tanaman, sehingga menghasilkan umbi yang
berkualitas, yaitu bentuknya normal dan umbinya besar-besar. Tanah yang cocok
untuk bawang merah adalah tanah lempung berpasir atau lempung berdebu.
Menurut Spur Way (1941), tanaman bawang merah akan tumbuh baik
pada tanah dengan kisaran pH optimum 5,8-7,0. Tetapi tanaman bawang merah
masih toleran terhadap tanah dengan pH 5,5. Tanah yang asam dengan nilai pH di
bawah 5,5 akan menyebabkan garam aluminium (Al) dalam tanah bersifat racun
sehingga tanaman tumbuh kerdil. Tanah yang terlalu basa dengan nilai pH lebih
besar dari 7 menyebabkan tanah tidak dapat menyerap garam mangan (Mn)
sehingga tanaman kekurangan unsure hara Mn. Akibatnya, umbi yang dihasilkan
kecil-kecil sehingga produksinya rendah baik kualitas maupun kuantitasnya.
2. Iklim
Bawang merah dapat tumbuh di dataran rendah sampai dataran tinggi,
yakni pada ketinggian antara 0-900 mdpl. Tanaman apabila bawang merah
ditanam di daerah dengan ketinggian sampai 250 mdpl, maka memberikan hasil
optimum. Bawang merah yang ditanam di ketinggian 800-900 mdpl hasilnya
kurang baik. Selain umur panennya lebih panjang, umbi yang dihasilkan pun
kecil-kecil.
Curah hujan yang sesuai untuk pertumbuhan tanaman bawang merah
adalah antara 300-2500 mm pertahun, dengan intensitas sinar matahari penuh
lebih dari 14 jam sehari. Oleh sebab itu, tanaman ini tidak memerlukan naungan
atau pohon peneduh. Intensitas atau lamanya penyinaran sinar matahari
diperlukan tanaman untukm fotosintesis dan pembentukan umbi.
Tanaman bawang merah sangat cocok ditanam di daerah dengan suhu
udaranya hangat-hangat panas, kering, dan cerah. Suhu udara yang ideal untuk
tanaman bawang merah antara 25ᵒ-30ᵒC, tetapi masih toleran terhadap
temperature 22ᵒC walaupun hasilnya tidak begitu baik. Bawang merah yang
ditanam di daerah dengan suhu di bawah 22ᵒC, pembentukan umbinya terhambat,
bahkan sering tidak membentuk umbi sama sekali.
2.3 Teknologi Produksi Benih Bawng Merah

2.3.1 Persiapan Lahan


1. Rouging
Roguing ialah kegiatan mengeluarkan tipe tanaman yang tidak sesuai dari
lahan produksi benih. Roguing bertujuan untuk mempertahankan kemurnian benih
dari aspek genetik, fisik, fisiologis varietas dan spesies tanaman agar benih
terbebas dari penyakit terbawa benih (seed borne disease). Tanaman yang tidak
sesuai ialah: (i) tanaman tipe simpang (off-types) dari satu varietas yang sama; (ii)
varietas lain dari spesies yang sama; (iii) spesies tanaman lain yang memiliki
karakteristik benih dan tipe pertumbuhan tanaman serupa; (iv) gulma; dan (v)
tanaman yang terinfeksi dengan penyakit terbawa benih. Tipe simpang dapat
dilihat dari jumlah anakan, umur berbunga, tinggi tanaman, tanaman terserang
hama dan penyakit. Umur berbunga juga dipengaruhi oleh kelembaban dan jika
kelembaban tanah tinggi maka umur berbunga meningkat. Pelaksanaan roguing di
lapangan sebaiknya dilakukan secara seksama dan hati-hati. Jika tanaman tipe
simpang tetap dibiarkan di lapangan dan terbawa hingga panen sulit
memisahkannya pada saat prosesing (Agrawal and Gupta 1989).
Pengolahan tanah secara baik dan benar akan mermperbaiki struktur dan
meningkatkan kandungan humusnya. Pengolahan tanah akan menghancurkan
sisa-sisa tanaman, dapat mengatur permukaan tanah sesuai dengan kebutuhan, dan
mengatur kelembabannya. Mula-mula, tanah dibajak selama kurang lebih 20-30
cm dengan traktor atau bajak tradisional yang ditarik hewan. Agar lebih hemat
dan efisiean, pembajakan pada areal yang lua sebaiknya menggunakan traktor.
Setelah dibajak, tanah dibiarkan selama 5 hingga 7 hari agar bongkahan-
bongkahan akibat pembajakan mendapat cukup angin dan sinar matahari secara
langsung sehingga berbagai macam pathogen dalam tanah mati. Pengolahan
selanjutnya, tanah diratakan sekaligus bongkahan-bongkahan dihancurkan dengan
cangkul, lalu dibiarkan lagi selama 7 hari. Setelah itu, dicangkul lagi hingga
diperoleh struktur tanah yang gembur.
2. Pembuatan Bedengan
Setelah struktur tanah yang rendah diperoleh, kemudian dibentuk bedengan-
bedengan. Dengan pembajakan yang dalam, kita dapat membuat batas-batas
selokan antar bedengan. Ada dua factor penting yang harus diperhatikandalam
membuat bedengan, yaitu ukuran dan arah bedengan.
Bedengan sebagai tempat penanaman sebaiknya dibuat dengan lebar 80 cm
agar air irigasi dapat meresap sampai ke tengah bedengan secara sempurna.
Panjang bedengan disesuaikan dengan lahan setempat, sedang tingginya dibuat
30-50 cm. ukuran lebar selokan atau parit dibuat 30-40 cm dengan kedalaman 20-
30 cm, dan ketika membuat selo;kan, sebaiknya tanah galian diletakan di kiri
kanan selokan. Untuk pembuangan air, buatlah saluran di sekeliling petak-petak
bedengan selebar 60 cm agar lahan terhindar dari genangan air, terutama pada
musim penghujan.
2.3.2 Persiapan Bibit
Umbi bawang merah yang disiapkan sebagai bibit harus sudah melampaui
masa dormansi (istirahat) atau telah disimpan selama sekitar empat bulan. Umbi
bibit bawang merah ditandai dengan tumbuhnya calon akar berwarna putih di
sekitar akar pangkal umbi. Untuk mendapatkan bibit yang berkualitas, pemilihan
bibit harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
a. Umbi bergaris tengah kurang lebih 2 cm. Jika umbi bibit terlalu kecil, akan
menghasilkan tanaman yang lemah. Sebaliknya, penggunaan umbi yang
terlalu besar sebagai bibit merupakan pemborosan.
b. Umbi dipilih dari tanaman yang sehat dan dipanen pada umur 70-80 hari
setelah tanam.
c. Umbi harus bebas dari penyakit. Umbi yang sehat berwarna cerah dan
tidak terdapat bercak hitam yang merupakan pertanda serangan penyakit
cendawan.
d. Umbi berasal dari bibit jenis unggul.
e. Umbi murni, artinya tidak tercampur dengan varietas lainnya.
f. Umbi tidak cacat dan memiliki daya tumbuh lebih dari 90%.
Umbi yang telah disiapkan untuk bibit segera dibersihkan kulit luarnya,
demikian juga sisa-sisa akar yang masih ada pada pangkal umbi. Kebutuhan bibit
umbi untuk lahan seluas satu hektar sekitar 1000 kg.
2.3.3 Teknik Penanaman dan Pemupukan
Musim tanam optimal bawang merah yaitu pada akhir musim hujan bulan
Maret-April dan musim kemarau Mei-Juni, tetapi di beberapa sentral produksi,
bawang merah ditanam tanpa mengenal musim. Untuk penanaman diluar musim
perlu memperhatikan pengendalian hama dan penyakit. Sebelum tanam, tanah
harus diairi, benih dibersihkan dan diseleksi. Pembersihan benih dilakukan 1-2
hari sebelum tanam serta ujung benih sudah dipotg 1/3 bagian. Jarak tanam yang
dianjurkan yaitu 20 cm x 15 cm untuk umbi benih sedang dan 20 x 20 cm untuk
umbi benih besar. Sedangkan jarak tanam pada penanaman yang ditujukan untuk
benih yaitu 15 x 15 cm. Penanaman dilakukan dengan cara membenamkan 2/3
bagian umbi kedalam tanah, sedangkan 1/3 bagiannya muncul diatas tanah.
Bawang merah membutuhkan air dalam kondisi yang cukup sejak
pertumbuhan awal hingga menjelang panen. Pembuatan bedengan sangat
diperlukan sehingga tanaman tidak tergenang oleh air, karena dapat menyebabkan
umbi menjadi busuk. Pada musim kemarau tanaman diairi setiap hari sedangkan
pada musim hujan pengairan selang dua hari sekali. Setelah hujan turun,
sebaiknya tanaman disiram dengan air bersih untuk menghilangkan inokulum dari
penyakit yang kemungkinan menempel di daun. Cara pengairan dapat dilakukan
dengan pengenangan/leb maupun dengan cara disiram/disirat. Untuk cara leb
sebaiknya dilakukan pada tanah yang porous, sehingga air yang tergenang cepat
habis. Sedangkan cara siram membutuhkan tenaga lebih banyak dan waktu lebih
lama.
Takaran pupuk optimal per hektar untuk bawang merah adalah pupuk
dasar 10 t pupuk kandang dan 200 kg SP 36 diberikan 7 hari sebelum tanam.
Pupuk susulan menggunakan urea 200 kg/ha, ZA 450 kg/ha dan KCl 250 kg/ha
yang diberikan pada saat tanaman berumur 15 hari dan 30 hari setelahn tanam.
Pemupukan juga dapat menggunakan NPK sebanyak 75 kg/ha dan ZA 100 kg/ha
diberikan 15 hari sebelum tanam. Pemupukan kedua dengan KCl 100 kg/ha dan
urea 300 kg/ha. Cara pemupukan dengan meletakkan pupuk pada larikan di
sekitar tanaman, kemudian ditutup dengan tanah.
Pembersihan gulma dilakukan dengan cara menyiang dengan intensif
sesuai kondisi gulma yang ada dengan cara mencabut gulma sampai terangkat ke
akar-akarnya atau menggunakan herbisida pratumbuh dengan dosis sesuai
anjuran. Cara membersihkan dan mencabut gulma harus hati-hati supaya tidak
mengganggu tanaman bawang merah apalagi bila sudah berumbi. Bila umbi sudah
besar sebaiknya tidak dilakukan lagi penyiangan. Saat membersihkan dilakukan
pembumbunan atau pendangiran.
2.3.4 Pengendalian Hama dan Penyakit
Beberapa komponen pengendalian hama ulat bawang yaitu: penerapan
budidaya tanaman sehat, pergiliran tanaman, penanaman serentak, pengendalian
secara mekanis, penggunaan seks feromon, penggunaan alat semprot yang tepat
dan pengendalian secara hayati. Apabila populasi hama meningkat dengan sangat
cepat dalam waktu 1-2 hari, diperlukan alternatif komponen yang lain yaitu
penggunaan kerodong kasa. Kerodong kasa dapat diterapkan pada luasan
pertanaman yang sempit maupun yang luas, namun ukuran kerodong kasa yang
biasa diterapkan petani berkisar antara 500 m2 sampai 2000 m2. Keberhasilan
pengendalian dengan kerodong kasa ini dapat mencapai 100% dan bawang merah
dapat dipanen dengan hasil optimal. Penggunaan kerodong kasa dapat mengurangi
bahkan meniadakan penggunaan insektisida kimia, sehingga efek negatif
penggunaan insektisida dapat ditiadakan.
Pengendalian hama ulat bawang juga dapat dilakukan dengan
menggunakan lampu perangkap. Perangkap hama menggunakan lampu neon (TL
5 watt) dengan waktu nyala jam 18.00 sampai jam 24.00, paling efektif untuk
menangkap imago dan menekan serangan Spodoptera exiqua pada bawang merah.
Penggunaan lampu perangkap dapat mengurangi biaya pestisida hingga 80 %.
Pengendalian serangan hama Liriomyza chinensis dengan gejala daun penuh
korokan, kering dan berwarna coklat seperti terbakar serta masuk ke dalam umbi
bawang, yaitu dengan pemasangan perangkap kuning berperekat (oli) ukuran 16
cm x 16 cm, kemudian ditempelkan pada triplek atau kaleng, dipasang pada tiang
bambu tinggi maksimum 60 cm. Jumlah perangkap yang digunakan untuk setiap
hektar bawang merah adalah 80-100 buah.
Penyakit Layu Fusarium dengan gejala tanaman kurus kekuningan dan
busuk bagian pangkal. Pencegahan penyakit ini dengan menaburkan fungisida
dengan dosis 100 g/100 kg benih tiga hari sebelum tanam. Penyakit Becak
ungu/trotol (Alternaria porri) dengan gejala bercak kecil pada daun, berwarna
putih dengan pusat berwarna ungu dikendalikan dengan menggunakan fungisida
selektif dengan dosis anjuran, bila serangan mencapai 5 %.
2.3.5 Panen dan Penanganan Pascapanen
1. Panen
Pemanenan bawang merah yang dibudidayakan untuk keperluan
penangkaran benih dapat dilakukan setelah tanaman bawang merah cukup tua,
yakni berumur antara 60 – 90 hari, tergantung pada varietas bawang merah yang
ditanam. Adapun tanda-tanda yang dapat dilihat dari tanaman bawang merah yang
sudah tua adalah sebagai berikut :
a. Sebagian besar daun menguning, layu dan mengering,
b. Sebagian besar batang tanaman tampak lemah,
c. Sebagian besar umbi tampak berada di atas permukaan tanah, dan
d. Umbi terlihat padat dan berwarna merah mengilat atau sesuai varietasnya
2. Penanganan Pasca Panen
Penanganan pascapanen benih umbi bawang merah meliputi kegiatan-kegiatan
pengangkutan, pengeringan, sortasi dan penyimpanan.
a. Pengangkutan
Gedengan-gedengan bawang merah hasil panen diangkut ke tepi jalan
selanjutnya diangkut dengan kendaraan besar menuju ke tempat penjemuran.
Hasil panen bawang merah untuk benih harus terbebas dari campuran varietas
lain. Oleh karena itu, sejak pemanenan di lahan, selama pengangkutan, selama
proses pembenihan, maupun selama masa penyimpanan, umbi bawang merah
calon benih harus dijaga agar tidak tercampur dengan hasil panen bawang
merah yang lain.
b. Pengeringan
Tujuan dari tahap ini adalah mencegah timbulnya kerusakan pada umbi
akibat membusuk atau terkena serangan penyakit. Cara pengeringannya
dilakukan dengan menjemur bawang merah di bawah terik matahari.
Tanaman-tanaman ini disejajarkan dengan posisi berdiri, di mana bagian daun
akan melindungi terpaan sinar mentari secara langsung sehingga kulit
umbinya tidak mengalami luka. Walaupun murah dan mudah dikerjakan,
metode ini masih bergantung pada musim dan area penjemuran yang cukup
luas.
c. Pembersihan dan Sortasi
Pembersihan dikerjakan dengan menghilangkan kotoran-kotoran yang
melekat di permukaan umbi bawang merah. Dengan demikian, umbi pun
terlihat bersih dan kualitasnya akan naik. Sedangkan, sortasi adalah
pengelompokan umbi berdasarkan mutunya. Pisahkan antara umbi yang
bernas, tidak cacat, tidak busuk, dan ukurannya seragam dengan umbi yang
jelek, rusak, atau busuk.
d. Penyimpanan
Bawang merah hasil panen biasanya akan disimpan dengan cara
mengikatnya memakai tali. Kemudian gantungkan setiap ikatan bawang merah
tadi di bagian langit-langit ruangan yang sejuk dan tidak lembab. Kelemahan
dari metode ini adalah kapasitas penyimpanan yang terbatas karena
dipengaruhi langsung oleh ukuran luasnya. Suhu yang bagus untuk
penyimpanan umbi bawang merah berkisar antara 30-34 derajat celsius
dengan tingkat kelembaban udara sekitar 65-75 persen.
Umbi bawang merah sebagai bahan tanam minimal telah disimpan selama
2 bulan, dengan lama simpan terbaik adalah 6-8 bulan. Waktu penyimpanan
yang kurang atau melebihi lama simpan terbaik akan mempengaruhi viabilitas
dan vigor bibit. Viabilitas benih/bibit merupakan kemampuan benih hidup,
tumbuh dan berkembang (Justice dan Bass, 2002). Viabilitas benih/bibit atau
daya hidup benih dicerminkan oleh dua faktor yaitu daya berkecambah dan
kekuatan tumbuh. Hal ini dapat ditunjukkan melalui gejala-gejala ablelism
benih atau gejala pertumbuhan. Vigor benih dicerminkan oleh dua informasi
tentang viabilitas, masing-masing kekuatan tumbuh dan daya simpan benih.
Kedua nilai fisiologis ini menempatkan benih pada kemungkinan
kemampuannya untuk tumbuh menjadi tanaman normal meskipun keadaan
biofisik lapangan produksi suboptimum atau sesudah benih melampaui suatu
periode simpan yang lama (Sutopo, 2002).
2.4 Perbenihan Bawang Merah

Dalam rangka meningkatkan kualitas dan kuantitas produksi bawang merah,


peran benih sebagai input produksi merupakan tumpuan utama untuk mencapai
keberhasilan dalam usaha budidaya bawang merah (Dirjen Hortikultura, 2011).
Mengingat pentingnya peran benih maka diperlukan upaya untuk meningkatkan
produksi benih bersertifikat dalam kegiatan agribisnis bawang merah. Kebutuhan
benih untuk bawang merah adalah 1200 kg benih asal umbi per ha. Sedangkan
sasaran produksi benih bawang merah menggambarkan target produksi benih
bersertifikat pada setiap tahunnya.
Di Indonesia pengembangan bawang merah melalui pemuliaan konvensional
dengan mudah dapat dilakukan, karena sebagian besar kultivar tersebut umumnya
dapat berbunga, kecuali varietas Sumenep (Sarto dan Permadi, 1994).
Perbanyakan benih bawang merah pada umumnya menggunakan umbi sebagai
organ vegetatif yang tidak akan mengalami perubahan genetik. Untuk memenuhi
kebutuhan bawang merah dengan mutu terjamin, jumlah yang cukup dan
berkesinambungan, perbanyakan harus dilakukan melalui sistem sertifikasi.
Permasalahan pada kegiatan sertifikasi benih yang diperbanyak dengan cara
vegetatif adalah keterbatasan benih sumber, baik dalam segi jumlah maupun
varietas. Sementara itu varietas bawang merah yang sudah dilepas sebanyak 21
varietas. Beberapa diantaranya menyebar sebagai benih non sertifikat yang
kemurnian dan tingkat generasinya tidak dapat ditelusuri sehingga mutu benih
yang dihasilkan rendah. Dalam rangka mengembalikan kemurnian varietas,
dilakukan proses pemurnian varietas melalui kegiatan seleksi negatif, yaitu
membersihkan populasi varietas yang dimaksud dari campuran varietas lain.
Pemurnian varietas dilakukan dengan seleksi negatif yaitu mencabut dan
membuang tanaman dari suatu populasi pemurnian yang secara visual karakter
morfologinya tidak sesuai dengan varetas yang ditanam (Soedomo, 2006).
Populasi tanaman menjadi murni sesuai karakternya dalam deskripsi varietas dan
sehat, sehingga mutu benih hasil pemurnian dapat disetarakan untuk menjadi kelas
benih tertentu.
Tujuan pemurnian varietas bawang merah adalah untuk menyediakan benih
sumber bawang merah dari varietas-varietas yang sudah dilepas atau didaftar yang
beredar di masyarakat dengan karakter varietas sesuai deskripsinya dan memenuhi
persyaratan standar mutu sesuai kelas.
Syarat pemurnian varietas antara lain: (a) benih yang akan ditanam jelas
varietasnya, (b) varietas telah dilepas oleh menteri pertanian atau telah terdaftar
untuk peredarannya, (c) benih telah di seleksi dengan karakternya sesuai deskripsi
dan sehat, (d) lahan yang digunakan bukan bekas tanaman bawang merah, (e) luas
pertanaman pada satu unit pemurnian maksimal 0,1 ha, dan (f) satu unit
pertanaman harus satu hamparan dan dapat terdiri dari beberapa petak. Apabila
dalam waktu bersamaan ada beberapa unit pemurnian, maka antar unit harus ada
batas yang jelas.
Prosedur pemurnian varietas harus melalui tahapan sebagai berikut: (a)
mengajukan permohonan tertulis ke BPSBTPH, (b) seleksi benih sumber, (c)
seleksi tanaman di lapangan pada saat tanaman berumur 20-25 hari setelah tanam
(HST), 30-40 HST, dan pada saat panen, (d) pemeriksaan umbi gudang, yaitu
menyisihkan umbi yang dicurigai sebagai varietas lain dan umbi yang terserang
organisme pengganggu tanaman, (e) pengeluaran rekomendasi, (f) penerbitan
sertifikat, dan (g) pengeluaran label. Label warna kuning untuk kelas penjenis
(BS), warna putih benih dasar (BD), warna ungu untuk benih pokok (BP) dan
warna biru untuk benih sebar (BR).
Saat ini kondisi perbenihan bawang merah di Indonesia perlu mendapatkan
perhatian yang lebih serius. Hal ini karena petani masih menggunakan benih asal-
asalan dan tidak bersertifikat sehingga benih yang digunakan kurang bermutu
(Santoso, 2008). Padahal benih merupakan salah satu faktor utama yang menjadi
penentu keberhasilan dalam budidaya tanaman. Menurut FAO, peningkatan
campuran varietas lain dan kemerosotan produksi sekitar 2,6 % tiap generasi
pertanaman merupakan akibat dari penggunaan benih yang kurang terkontrol
mutunya (Kuswanto, 2000).
Penggunaan benih bermutu dapat mengurangi resiko kegagalan budidaya
karena bebas dari serangan hama dan penyakit dan mampu tumbuh baik pada
kondisi lahan yang kurang menguntungkan (Dirjen Hortikultura, 2005). Dengan
adanya benih bawang merah bersertifikat, maka akan berkontribusi terhadap
pergerakan ekonomi usahatani karena benih merupakan dari suatu usahatani.
Pasar perbenihan bawang merah masih sangat berpeluang karena dibatasinya
benih impor oleh pemerintah. Sehingga dengan tersedianya benih bersertifikat
diharapkan akan meningkatkan 25 % PAD daerah maupun PAD di propinsi serta
meningkatnya keuntungan dari petani/penangkar benih atau mitra.
2.5 Faktor yang Mempengaruhi Mutu Fisiologis Benih Bawang Merah

Beberapa faktor berpengaruh terhadap vigor benih antara lain genetik,


nutrisi tanaman induk, kondisi lingkungan tumbuh dan cuaca, waktu dan
carapanen, pengeringan dan prosesing, perlakuan terhadap benih, dan
penyimpanan (Harman and Stasz 1986, Adetunji 1991). Kondisi prapanen dan
penyimpanan yang tidak sesuai mempercepat proses deteriorasi benih yang
berpengaruh terhadap perkecambahan dan pertumbuhan tanaman di lapang.
Tekrony dan Egli (1991), menyatakan pertumbuhan kecambah yang lambat dan
pertumbuhan tanaman yang beragam merupakan indikasi rendahnya mutu benih.
Mutu benih yang tinggi merupakan faktor penting dalam memeroleh
pertumbuhan tanaman yang baik. Benih dengan mutu fisiologis tinggi
menunjang perkecambahan dan pertumbuhan kecambah yang cepat (Hampton
and Coolbear 1990, Baalbaki and Copeland 1987) .
Panen pada musim kering memberi pengaruh yang baik terhadap mutu benih,
sebaliknya panen pada kondisi lembab dan basah menurunkan mutu benih bawang
merah dengan cepat.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

1. Salah satu unsur penunjang keberhasilan usaha produksi bawang merah adalah
penggunaan benih bermutu. Pasar perbenihan bawang merah masih sangat
berpeluang karena dibatasinya benih impor oleh pemerintah. Pembinaan
terhadap penangkar benih bawang merah akan meningkatkan produksi dan
mengurangi devisa yang dikeluarkan karena harus mengimpor benih dari luar
negeri.
2. Budidaya bawang merah perlu diarahkan untuk memenuhi standar GAP, agar
petani/pelaku usaha bisa bersaing dalam pasar global. GAP adalah cara
budidaya yang benar melalui penerapan teknologi maju. Untuk itu diperlukan
dukungan pemerintah terutama aspek penyuluhan dan pendampingan
teknologi secara berkesinambungan.
3.2 Saran

Saran kami, teknologi produksi benih tanaman bawang merah (umbi) lebih
maju dan diperhatikan pengolahannya agar tidak terjadi kehilangan hasil dan
kemurnian varietas terjamin.
DAFTAR PUSTAKA

Agrawal, V.K. And M.C. Gupta. 1989. Loose Smut Of Wheat-A Treat To Seed
Production. Seed Res. 17(1):55-68.
Direktorat Jenderal Hortikultura, 2011. Profil Kawasan Hortikultura Bawang
Merah. Direktorat Jenderal Hortikultura
Justice, O.L dan L.N. Bass. 2002. Prinsip dan Praktek Penyimpanan Benih
(Terjemahan). PT Raja Grafindo Persada. Jakarta. p. 219-273.
Kuswanto. 2000. Produksi dan Distribusi Benih. Forum Komunikasi Antar
Peminat Benih dan Ahli Benih. Balittas. Malang.
Santoso, A.P., 2008. Sertifikasi benih bawang merah. Makalah Pertemuan
Apresiasi Penangkar Benih Bawang Merah se-Indonesia Bagian Timur.
Direktorat Jenderal Bina Produksi Hortikultura. Jakarta.
Sarto dan A.H. Permadi., 1994. Pembungaan Beberapa Kultivar Bawang Merah
Untuk Musim Penghujan di Brebes. Bul. Penel. Hort. XXVI (4):145-150
Soedomo, R. P., 2006. Seleksi Induk Tanaman Bawang Merah. J. Hort. 16(4):269-
282.

Anda mungkin juga menyukai