Anda di halaman 1dari 20

I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bawang merah (Allium cepa L.) adalah salah satu komoditi utama di

Indonesia. Pada umumnya, tanaman ini atau lebih tepatnya pada bagian umbi pada

akar dimanfaatkan sebagai bahan memasak untuk menambah cita rasa. Bawang

merah banyak dimanfaatkan tidak hanya sebagai penambah rasa pada masakan,

melainkan juga dapat membantu dalam penyembuhan berbagai penyakit. Bawang

merah mengandung kalsium, fosfor, zat besi, karbohidrat, serta vitamin A dan C.

Bawang merah juga mengandung zat anti kanker dan pengganti anti-biotik,

penurunan tekanan darah, kolesterol serta kadar gula darah (Aryanta, 2019).

Banyaknya manfaat yang dimiliki bawang merah menyebabkan terjadinya

peningkatan permintaan dan konsumsi bawang merah nasional terutama di

Provinsi Riau.

Tingginya permintaan dan tingkat konsumsi bawang merah dapat diketahui

berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (2020) menyatakan

bahwa tingkat konsumsi bawang merah di Indonesia mencapai 27,72

kg/kapita/tahun. Pada tahun 2019, proyeksi konsumsi bawang merah (ton)

mencapai 739.880 ton, dengan kemampuan produksi mencapai 1.580.247 ton.

Walaupun terlihat surplus secara keseluruhan, namun hal ini tidak menjamin

kebutuhan disetiap provinsi akan bawang merah menjadi terpenuhi termasuk di

provinsi Riau. Kementerian Perdagangan (2013) menyatakan bahwa pulau

Sumatera merupakan daerah dengan tingkat konsumsi yang tinggi oleh tiap

penduduk. Akan tetapi, kemampuan produksi di Provinsi Riau hanya mencapai

507 ton dengan tingkat konsumsi mencapai 24,524 ton. Maka daripada itu

1
diperlukan adanya peningkatan produksi bawang merah terutama di Provinsi

Riau.

Peningkatan produktivitas pertanian bawang merah dapat dilakukan dengan

adanya tindakan preventif terhadap faktor yang mempengaruhi produkivitas

pertumbuhan tanaman. Salah satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan

tanaman ialah gangguan hama dan penyakit. Salah satunya penyakit yang

menyerang pada tanaman bawang merah adalah penyakit moler.

Penyakit moler merupakan penyakit yang merugikan dengan taraf

kerusakan yang tinggi yang disebabkan oleh fungi Fusarium oxysporum.

Fusarium oxysporum merupakan mikroorganisme yang berjenis patogen (fungi)

yang menyebabkan penyakit Moler pada bawang merah. Patogen ini

menyebabkan busuk pangkal umbi. Pernyataan ini sesuai dengan pernyataan dari

Fadhilah et aL. (2014) dan menyatakan bahwa patogen ini menyerang pada

bagian pangkal umbi tanaman bawang merah dengan luas tambah serangan (LTS)

sebesar 618 ha. Tingginya tingkat serangan yang disebabkan oleh patogen ini

harus ditangani dengan tindakan pengendalian yang tepat.

Tindakan pengendalian yang digunakan untuk mengatasi penyakit moler

yang disebabkan oleh F. oxysporum pada umumnya adalah dengan menggunakan

fungisida sintetis atau fungisida yang mengandung bahan aktif kimia. Fungisida

sintetis dikhawatirkan dapat menimbulkan residu, resistensi patogen serta

mencemarkan lingkungan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Sumartini (2012).

Menurut Utoyo (2021), pengendalian penyakit tanaman secara kimiawi adalah

alternatif terakhir apabila cara-cara pengendalian yang lain tidak mampu

mengatasi peningkatan penyakit yang telah melampaui ambang kendali. Maka

2
daripada itu diperlukan adanya pengendalian yang lebih ramah lingkungan aman

serta mampu memberikan hasil yang diinginkan tanpa perlu mengkhawatirkan

dampak yang diberikan oleh fungisida sintetis. Salah satu teknik penegendalian

yang dapat digunakan dalam pengendalian hayati ialah dengan menggunakan

biofungisida.

Biofungisida ialah fungisida yang mengandung bahan aktif yang bersifat

non-kimiawi, dengan memanfaatkan bahan yang alami. Pernyataan ini sesuai

dengan pernyataan Sudarmo (1991) yang menyatakan bahwa, fungisida alami

(bio-fungisida) adalah fungisida yang mengandung bahan dari alam dan

cenderung lebih aman. Penggunaan bahan yang lebih aman dengan menggunakan

bio-fungisida ialah dengan tujuan untuk mengurangi kemungkinan terjadinya

pencemaran linkungan dan resistensi penyakit terhadap bahan yang diaplikasikan

secara kontinu. Bio-fungisida mengandung beberapa agen hayati seperti

Trichoderma, Pseudomonas flourescens. Beberapa contoh produk bio-fungisida

komersial yang digunakan oleh para petani ialah Anfush, Bio-fungisida Plus

(Jatrec), Biotracol, Molerimax, dan Trico-Z.

1.2 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menguji efektivitas beberapa produk

biofungsida komersil yang dijual di pasaran untuk mengendalikan penyakit moler

yang disebabkan oleh Fusarioum oxysporum pada tanaman bawang merah

(Allium cepa L.)

3
1.3 Hipotesis

Hipotesis dari penelitian ini adalah beberapa bio-fungisida komersil

memiliki keefektifan yang berbeda dalam mengendalikan penyakit moler pada

tanaman bawang merah (Allium cepa L.).

4
II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tanaman Bawang Merah

Tanaman bawang merah (Allium cepa L.) tergolong dalam tanaman

semusim yang berarti tanaman dapat dipanen hasilnya dalam satu musim tanam.

Menurut Wibowo et al. (2009), klasifikasi dari tanaman ini adalah Kingdom:

Plantae; Divisi: Spermatophyta; Sub-divisio: Angiospermae; Kelas:

Monocotyledonae; Ordo: Liliflorae; Famili: Liliceae; Genus: Allium; Spesies:

Allium cepa L.

Tanaman bawang merah termasuk dalam tanaman umbi lapis dimana sejati

yang terdiri dari beberapa bagian yaitu akar, batang, daun, dan umbi serta biji.

Tanaman bawang merah termasuk dalam tanaman semusim. Menurut Sampaguita

Syafrezani (2009) tanaman semusim adalah tanaman yang berkecambah,

berbunga, berbiji, dan kemudian mati hanya dalam waktu satu tahun (periodic).

Pada umumnya tanaman ini akan berkecambah dalam kurum waktu 8 - 10 minggu

setelah penanaman (mst).

Akar dari tanaman ini termasuk dalam golongan akar serabut yang dimana

terdiri dari akar pokok (primary root), akar adventif (root initial), dan bulu akar.

Akar bawang merah dapat tumbuh dan berkembang hingga kedalaman 15-20 cm,

dengan diameter 0,5 mm-2 mm. Akar dari tanaman dapat memiliki cabang hingga

3-5 akar (AAK, 2005).

Menurut Pitojo (2003) bawang merah memiliki batang dengan karakteristik

berupa bentuknya yang beruas-ruas dan menyerupai bentuk cakram (diskus). Pada

5
bagian yang beruas-ru as ini terdapat kuncup. Batang bawang merah terbagi

menjadi dua yaitu bagian atas dan bawah, yang dimana pada bagian bawah

merupakan tempat tumbuh akar. Bagian atas batang merupakan umbi semu yang

berasal dari pangkal daun bawang merah dan berfungsi sebagai tempat

penyimpanan cadangan makanan.

Daun bawang merah memiliki karakteristik berupa bentuknya memanjang,

memiliki daun yang berpelepah dan berwarna putih kehijauan hingga hijau.

Bentuk daun yang memanjang dan pada bagian tengah terdapat lingkaran. Panjang

dari daun bawang merah sekitar 15-19 cm (Estu et al, 2007).

Umbi tanaman bawang merah terdapat beberapa tunas lateral, mulai dari

hingga 20 tunas. Tunas tersebut membentuk cakram baru, dan kemudian

membentuk kelopak-kelopak daun sehingga menghasilkan umbi-umbi baru.

Pertumbuhan tanaman yang baik bisa didapatkan dengan memperhatikan bagian-

bagian penting dari tanaman tersebut. Hal ini sesuai dengan pernyataan Wibowo

el al (2009).

Biji dari tanaman bawang merah berasal dari bakal buah yang berbentuk

segitiga menyerupai kubah. Biji terdapat di dalam suatu ruang yang terdiri dari

tiga ruang yang dalam tiap ruangnya terdapat dua calon biji membentuk bakal

buah. Biji berbentuk bulat dengan warna sedikit keputihan hingga coklat bahkan

hitam. Hal ini didasari oleh pernyataan Rahman dan Herdi (2017). Selain

morfologi bawang merah yang perlu diketahui, hal lain yang perlu diperhatikan

adalah syarat tumbuh tanaman bawang merah.

Syarat tumbuh yang dibutuhkan dalam usaha budidaya tanaman bawang

merah dimulai dari kondisi iklim yang sesuai. Menurut AAK (2005), menyatakan

6
bahwa dataran rendah merupakan tempat yang cocok untuk membudidayakan

komoditi bawang merah, dengan ketinggian berada dibawah 800 - 1100 meter

diatas permukaan laut (mdpl). Ketinggian suatu daerah meiliki korelasi denga

fakor lainnya yaitu suhu.

Suhu yang dimiliki pada daerah dataran rendah cenderung panas, sehingga

cocok untuk pembudidayaan tanaman bawang merah. Suhu yang dibutuhkan oleh

tanaman bawang merah adalah berkisar pada 22 - 30℃ dengan lama penyinaran

berkisar selama 12 jam sehari (Sumarni dan Hidayat, 2005). Setelah faktor suhu

yang disesuaikan untuk tanaman bawang merah, kebutuhan air juga perlu

diperhatikan guna membantu tanaman untuk melakukan proses fotosintesis.

Kebutuhan air dapat dipenuhi dengan ketersediaan air hujan pada suatu

daerah yang masih memiliki korelasi dengan ketinggian suatu daerah. Hal ini

yang dimaksud dengan curah hujan. Curah hujan yang dibutuhkan oleh tanaman

bawang merah berkisar 10 mm - 200 mm/bulan. Hal ini sesuai dengan pernyataan

AAK (2005) yang dimana menyatakan bahwa tanaman bawang merah cocok

ditanam pada daerah dengan tingkat kelembapan rendah.

Tingkat kelembapan mempengaruhi pertumbuhan tanaman bawang merah.

Kelembapan yang sesuai dalam syarat tumbuh tanaman bawang merah

dipengaruhi dengan jenis tanah yang digunakan. Karakteristik jenis tanah yang

sesuai menurut Wibowo et al (2009) adalah tanah yang subur, gembur, serta tanah

yang memiliki kandungan bahan organik yang tinggi.

Karakteristik tanah yang sesuai untuk budidaya tanaman bawang merah

adalah jenis tanah lempung berpasir dikarenakan jenis tanah itu memiliki aerasi

dan drainase yang baik. Jenis tanah yang sesuai dengan hal tersbut merupakan

7
jenis tanah Aluvial dengan nilai pH tanah paling sesuai berkisar antara 6,0 - 6,8.

Namun pada tingkat keasaman tertentu tanaman bawang merah memiliki tingkat

nilai pH toleransi berkisar pada 5,5 – 7,0. Apabila tingkah keasaman suatu lahan

terlalu asam maka akan menyebabkan tanaman menjadi kerdil. Dan apabila terlalu

basa maka umbi tanaman menjadi kecil bahkan tidak ada sehingga menurunkan

hasil panen (Sumarni dan Hidayat, 2005).

2.2 Penyakit Moler

Fusarium oxysporum merupakan patogen yang menyebabkan penyakit

moler pada tanaman bawang merah Klasifikasi patogen ini adalah Kingdom:

Fungi, Divisi: Ascomycota, Kelas: Ascomycetes, Ordo: Hypocreales, Famili:

Netriaceae, Genus: Fusarium, Spesies: Fusarium oxysporum (Agrios, 2005).

Gejala yang ditimbulkan oleh penyakit moler pada tanaman bawang merah

ditandai dengan daun yang menguning, tergulung, dan tanaman cenderung

menjadi kerdil. Berdasarkan pernyataan Eli dan Edi Saputra (2005), gejala

penyakit akan muncul setelah 2 minggu setelah tanam (MST). Pada bagian

pangkal umbi akan membusuk dan ditumbuhi misellium oleh F. oxyusporum,

yang kemudian akan menyebabkan tanaman menjadi rebah dan terjadinya

kematian jaringan (nekrosis).

Kematian jaringan yang terjadi pada tanaman setelah terserang penyakit

moler, dapat menghambat transportasi zat hara dan air sehingga tanaman akan

mati dimulai dari bagian ujung daun hingga pada bagian bawahnya. Hal ini sesuai

dengan pernyataan Kaeni (2013) yang menyatakan bahwa infeksi yang terjadi

pada bagian akar atau batang yang berbatasan dengan permukaan tanah

menyebabkan terhambatnya atau bahkan terhentinya aliran nutrisi yang

8
dibutuhkan oleh tanaman dikarenakan infeksi yang disebabkan oleh patogen

tersebut. Maka perlu diketahui siklus hidup patogen guna mencegah terjadinya

serangan.

Siklus hidup Patogen Fusarium oxysporum terbagi menjadi 2 fase yaitu fase

saprogenesis dan fase patogenesis. Patogen Fusarium oxysporum merupakan

patogen tular tanah (soil-borne), yang artinya dimana patogen ini menghabiskan

sebagian siklus hidupnya di dalam tanah dan memiliki kemampuan untuk

menginfeksi tanaman. Fase saprogenesis adalah fase dimana patogen Fusarium

oxysporum bertahan di tanah dengan memanfaatkan sisa-sisa tanaman. Pada fase

patogenesis, patogen ini menyerang tanaman bawang merah dengan cara masuk

dari bagian akar tanaman bawang merah (Eli dan Edi Saputra, 2005).

Patogen hidup dalam tanah sebagai saprofit pada sisa tanaman dan masuk

fase saprogensis apabila tidak ada tanaman inang, yang dapat menjadi sumber

inokulum untuk menimbulkan penyakit pada tanaman lain. Penyebaran penyakit

moler dapat menyebar melalui air, udara, serta tanah dan juga bisa lewat alat

pertanian dan manusia (Djaenuddin, 2011).

Penyebaran patogen tidak hanya terjadi melalui air, udara, tanah maupun

alat pertanian yang telah terinfeksi saja, melainkan juga dapat terjadi dengan

melewati luka yang disebabkan oleh serangan nematoda. Bentuk infeksi ini

disebut denga infeksi secara vektor atau menggunakan perantara (Eli dan Edi

Saputra, 2005)

Infeksi yang terjadi dengan menggunakan vektor, menandai bahwa patogen

masuk kedalam fase selanjutnya yaitu fase patogenesis, yang dimana pada fase ini

patogen akan masuk kedalam luka dan bertahan di jaringan parenkim hingga luka

9
menutup. Kemudian patogen akan berkembang biak dengan manghasilkan

klamidospora yang akan menghambat aliran nutrisi yang dibutuhkan oleh

tanaman. Pernyataan ini sesuai dengan pernyataan Wahyu (2012) yang

menyatakan bahwa infeksi akan dimulai pada saat patogen bertahan di jaringan

parenki atau lebih tepatnya berada di ujung akar. Maka daripada itu perlu

diketahui morfologi dari patogen Fusarium oxysporum.

Morfologi patogen Fusarium oxysporum berupa hifa yang memiliki sekat-

sekat dan berkoloni berwarana putih. Kemudian berubah warna menjadi

kekuningan bahkan berwarna agak ungu. Hal ini sesuai dengan pernyataan

Sastrahidayat (2013). Sastrahidayat juga menyebutkan bahwa patogen ini

membentuk 3 macam konidia, yaitu makrokonidia, mikrokonidia, dan

klamidospora.

Berdasarkan pernyataan Semangun (2007), makrokonidia patogen ini

mempunyai bentuk sedikit membengkok dan meruncing pada kedua ujungnya dan

terbentuk pada fialid yang terletak pada konidiofor dengan jumlah septa 3-5,

dengan ukuran 25-33 x 3,5-5,5 µm. Mikrokonidia patogen ini berbentuk lonjong

pada fialid yang sederhana dengan jumlah septa 2 dan memiliki ukuran 5-12 x

2,2-3,5 µm. Klamidospora memiliki dinding tebal, dihasilkan pada ujung

miselium yang sudah tua atau di dalam makrokonidia, terdiri dari 1-2 sel dan

merupakan fase bertahan pada lingkungan yang kurang baik. Sama halnya dengan

tanaman patogen Fusarium oxysporum membutuhkan syarat tumbuh, untuk itu

perlu dipahami untuk mencegah pertumbuhan patogen tersebut.

Syarat tumbuh patogen Fusarium oxysporum dapat berkembang pada suhu

tanah 21 - 33˚C, dengan suhu optimumnya adalah 28˚C. Fusarium dapat hidup

10
pada kisaran pH 4,8 – 6. tanah yang luas. Penyakit akan berkembang lebih pesat

bila tanah mengandung banyak nitrogen tapi miskin kalium (Semangun, 2001).

Pengendalian penyakit moler yang banyak dikembangkan saat ini adalah

dengan menggunakan agens hayati. Penggunaan agens hayati diharapkan dapat

mengurangi ketergantungan dan mengatasi dampak negatif dari pemakaian

pestisida sintetik (Purwantisari dan Hastuti, 2009). Diperlukan adanya teknik

pengendalian yang memanfaatkan bio-fungisida komersial.

2.3 Bio-Fungisida.

Teknik pengendalian menggunakan bio-fungisida komersil dapat dilakukan

karena mengandung bahan aktif berupa agen hayati yang bersifat antagonis

terhadap patogen Fusarium oxysporum. Agens hayati seperti Trichoderma sp. dan

Gliocladium sp. memiliki sifat antagonis terhadap patogen Fusarium oxysporum

(Novizan, 2002).

2.3.1 Bio-fungisida Anfush

Bio-fungisida Anfush merupakan salah satu fungisida hayati yang memiliki

kandung utama berupa agen hayati Gliocladium sp., Trichoderma sp., dan juga

bakteri pengurai, yang sesuai untuk mengendalikan infeksi yang disebabkan oleh

Fusarium oxysporum. Bio-fungisida ini dikemas dalam bentuk berupa pupuk

hayati yang dipercaya dapar mengembalikan kesegaran tanah dan meningkatkan

produksi panen.

2.3.2 Bio-fungisida Plus (Jatrec)

Bio-fungisida Plus (Jatrec) merupakan salah satu bio-fungisida yang

memilki kandungan berupa Trichoderma sp. dan bakteri pengurai. Di dalam

11
produk ini, Trichoderma sp. dipercaya dapat bekerja sebagai agen hayati yang

dipercaya dapat bekerja sebagai stimulator. POC dan unsur hara mikro (Cu, Fe,

Mg, Mn, dan Ca) juga terkandung di dalam produk ini. Bio-fungisida ini dikemas

dalam bentuk bentuk cair yang dipercaya dapat memperbaiki struktur tanah,

meningkatkan ketersediaan hara, mengurangi ancaman kekeringan, memperbaiki

drainase dan memperbaiki daya ikat tanah dan daya ikat air, sehingga

meminimalisir kemungkinan terjadinya rebah.

2.3.3 Bio-fungisida Biotracol

Bio-fungisida Biotracol merupakan salah satu fungisida alami yang

dipercaya dapat digunakan untuk mengatasi penyakit moler pada tanaman bawang

merah. Bio-fungisida ini dikemas dalam bentuk tepung atau wettable powder

(WP) yang mengandung agen hayati yaitu Streptomyces thelmovugaris dan

Thricoderman harzianum.

2.3.4 Molerimax

Bio-fungisida Molerimax merupakan salah satu bio-fungisida yang

dipercaya dapat digunakan untuk mengatasi penyakit moler secara spesifik.

Produk ini mengandung agen hayati endofit/sistematis yang masuk ke dalam

jaringan tanaman untuk mengatasi penyakit moler. Produk ini mengandung dua

agen hayati yaitu Diaporthe eucalyptorum dan Acremonioum variecolor.

2.3.5 Bio-fungisida Trico-Z

Biofungisida Trico-Z merupakan salah satu bio-fungisida yang dipercaya

dapat digunakan untuk mengatasi penyakit moler. Produk ini dipercaya dapat

digunakan untuk mengatasi penyakit tular tanah, menyuburkan tanaman dan

memperbanyak perakaran, serta mempercepat proses dekomposisi sehingga dapat

12
digunak untuk pengomposan. Bio-fungisida ini mengandung agen hayati berupa

Trichoderma sp.

III METODOLOGI

3.1 Tempat dan Waktu

Penelitian ini akan dilaksanakan di Laboratorium Penyakit Tumbuhan dan

Rumah kasa Unit Pelaksanaan Teknis (UPT) Fakultas Pertanian Universitas Riau,

Kampus Bina Widya KM 12,5 Kelurahan Simpang Baru, Kecamatan Tampan,

Pekanbaru. Penelitian akan dilakukan selama 3 bulan pada bulan September

sampai Desember 2022.

3.2 Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sampel tanaman bawang

merah yang diduga terinfeksi oleh Fusarium oxysporum yang diambil dari koleksi

F. oxysporum yang tersedia di Laboratorium Hama dan Penyakit Fakultas

Pertanian Universitas Riau Pekanbaru Riau, bio-fungisida komersial (Anfush,

Bio-fungisida Plus (Jatrec), Biotracol, Molerimax, dan Trico-Z), bibit tanaman

bawang merah varietas bima brebes, tanah, pupuk kandang sapi, pupuk KCl,

pupuk Urea, pupuk TSP,kertas tisu gulung, polybag ukuran 30x40 cm, media

potato dextrose agar (PDA), aquades, alkohol 70 %, aluminium foil, net, paku

palu, dan pembungkus plastik.

13
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah parang, pisau, kompor,

panci, rotary shaker,autoclave, cork borer, kaca objek, pinset, kaca penutup, gelas

ukur, pipet tetes, cawan petri beriameter 9 cm, mikroskop binokuler, laminar air

flow cabinet (LAFC), electric soil sterilizer, erlenmeyer 1 L, ember cat 10 liter,

jarum ose, korek api, tali rapia, gunting, cangkul, gembor, timbangan, jangka

sorong, batang pengaduk, lampu bunsen, pipet tetes,hand sprayer, kertas label,

pena, logbook, dan kamera.

3.3 Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan secara eksperimen dengan menggunakan

Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang terdiri dari tujuh perlakuan dan empat

ulangan. Perlakuan yang diuji adalah bio-fungisida komersil yang terdiri dari:

B0 = Tanpa aplikasi bio-fungisida

B1 = ANFUSH

B2 = BIO-FUNGISIDA PLUS (JATREC)

B3 = BIOTRACOL

B4 = MOLERIMAX

B5 = TRICO-Z

3.4 Pelaksanaan Penelitian

3.4.1 Di Laboratorium

3.4.1.1 Peremajaan F. oxysporum

Jamur F. oxysporum yang digunakan dari koleksi cendawan yang tersedia di

Laboratorium Hama dan Penyakit Tanaman, Fakultas Pertanian, Universitas Riau.

Peremajaan dilakukan dengan menggunakan petri dish, isolat diambil dengan

jarum ose steril dan ditumbuhkan pada media PDA steril dalam petri dish dengan

14
menggunakan media jagung giling. Proses ini dilakukan di LAFC untuk

menghindari kontaminasi.

3.4.1.2 Perbanyakan isolat F. oxysporum

Perbanyakan isolat F. oxysporum dilakukan dengan mengunakan media

jagung giling. Jagung ditimbang sebanyak 500 g kemudian dicuci dengan

menggunakan air mengalir dan kemudian dimasukkan ke dalam dandang dan

dikukus hinggan setengah matang. Jagung kemudian didingankan dan

dimasukkan ke dalam plastik PE (poly etilen) yang berukuran 15x25 cm sebanyak

250g. Isolat jamur F. oxysporum yang telah berumur 7 hari dipotong menjadi 4

bagian dalam satu cawan petri, kemudian salah satu bagian potongan tersebut

dimasukkan ke dalam plastik PE yang telah berisi media jagung kemudian

dicampur rata kemudian plastik ditutup rapat dan diinkubasi selama 14 hari dalam

lemari pada suhu kamar. Kemudian hasil perbanyakan dimasukkan ke dalam

plastik PE yang berukuran 10x12 cm dan disesuaikan dengan pengaplikasian.

Pembuatan perbanyakan dilakukan tiga minggu sebelum pengaplikasian.

3.4.2 Di Lapangan

3.4.2.1 Persiapan media tanam

Media tanam yang digunakan adalah tanah pada lapisan atas yang diambil

dari lahan UPT Fakultas Pertanian Universitas Riau pada kedalam 20 cm, dan

dibersihkan dari daun-daun kering dan sisa perakaran tanaman sebelumnya. Tanah

disterilisasi dengan menggunakan electric soil sterilizer. Tanah yang akan

digunakan dimasukkan ke dalam alat dan kemudian ditutup dan diletakkan

thermometer. Alat dihubungkan dengan listrik dan dibiarkan selama ±45 menit

hingga thermometer telah menunjukkan suhu telah mencapai 70 ℃. Kemudian

15
media tanah dimasukkan ke dalam polybag dan dicampurkan dengan pupuk

kandang ayam yang telah disterilisasi dengan dosis 5-6 t/ha. (Sumarni, 2005).

3.4.2.2 Inokulasi Fusarium oxysporum pada media tanam

Inokulasi Fusarium oxysporum dilakukan dengan cara memasukkan media

jagung giling yang telah berisi Fusarium oxysporum didalamnya ke dalam setiap

lubang pada media tanam di setiap polybag. Inokulasi dilakukan setelah media

tanam telah siap digunakan.

3.4.2.3 Penanaman dan pemupukan bawang merah

Penanaman umbi bawang merah dilakukan dengan cara umbi bawang merah

dilakukan metode seed treatment dengan merendam umbi bawng merah didalam

solusi biofungisida komersial selama 10 jam dan di didiamkan dalam suhu

ruangan selama 12 jam (Darsan, 2016). Umbi yang telah diaplikasikan dengan

metode seed treatment pada ujung umbi dipotong dengan pisau yang telah

disterilisasi dengan menggunakan air distilasi sebanyak ¼ bagian ujung bibit umbi

bawang merah. Kemudian, umbi ditanam didalam polybag dengan gerakan seperti

memutar sekrup hingga ujung umbi tampak rata dengan tanah. Setelah ditanam,

tanaman disiram dengan menggunakan air dengan jarak tanam 50 cm. (Hidayat et

al, 1991)

Pemupukan susulan I dilakukan setelah 10-15 hari setelah tanam, dan

pemupukan susulan II dilakukan pada umur 1 bulan setelah tanam. Pupuk N dan

K yang diaplikasikan sebanyak 50-100 kg/ha dan 150-200 kg/ha. Komposisi

pupuk N yang paling baik adalah 1/3 N (Urea) + 2/3 N (ZA) (Sumarni et al, 2005)

3.4.2.4 Pengendalian gulma

16
Pengendalian gulma dilakukan dengan cara mencabut gulma menggunakan

tangan dan dilakukan satu kali dalam seminggu.

3.4.2.5 Panen

Panen bawang merah dilakukan pada saat tanaman bawang merah sudah

menandakan kriteria pemanenan yaitu sudah mencapai usia 8 minggu. Pemetikan

dilakukan pada sore hari. Dalam penelitian ini panen dilakukan sebanyak satu kali

3.5 Pengamatan

3.5.1 Waktu Munculnya Gejala Awal Serangan Penyakit Moler

Pengamatan dilakukan setiap hari dimulai dari gejala serangan moler mulai

tampak pada lahan. Pengamatan dilakukan pada saat munculnya gejala awal

dilakukan dengan menghitung pada hari keberapa mulai terlihat gejala serangan

penyakit moler pada tanaman bawang merah.

3.5.4 Persentase Penyakit

Persentase penyakit yang disebabkan oleh penyakit moler pada tanaman

bawang merah dihitung denga menghitung jumlah seluruh tanaman yang

terinfeksi dibagi dengen jumlah tanaman yang diamati. Perhitungan persentase

penyakit dilakukan pada setiap areal dengan perlakuan masing-masing.

3.5.2 Intensitas penyakit (%)

Intensitas serangan penyakit moler diamati setiap minggu setelah timbulnya

gejala awal. Intensitas serangan penyakit moler dilakukan dengan rumus

berdasarkan Townsend dan Heiberger (1943) rumus yang digunakan untuk

menghitung intensitas penyakit (I) adalah sebagai berikut:

17
Ʃ( ni x vi ) x 100%
I =
Zx N

Keterangan:
I = Intensitas penyakit moler
ni = Jumlah tanaman bawang merah yang terserang penyakit moler untuk
setiap kategori serangan
vi = Nilai skala setiap kategori serangan penyakit moler dari tanaman bawang
merah yang diamati. i= 0, 1, 2, 3 dan 4
Z = Nilai skala tertinggi dari kategori serangan penyakit moler
N = Jumlah tanaman yang diamati setiap perlakuan

Skala yang digunakan dalam menghitung keparahan penyakit moler pada

tanaman bawang merah dengan menggunakan skala 0-4 (Ambar et al., 2010):

Tabel 1. Skala keparahan penyakit moler pada tanaman bawang merah


Skala Keterangan
0 Tanaman sehat (tidak ada kelayuan)
1 0-25% daun layu (beberapa daun mulai layu)
2 >25-50% daun layu (hampir seluruh daun layu)
3 >50-75% daun layu (semua daun layu namun batang
masih segar)
4 >75-100% (tanaman mati)

3.5.5 Tinggi tanaman (cm)

Pengamatan tinggi tanaman bawang merah diukur dari pangkal batang

sampai ujung daun terpanjang. Pengukuran dilakukan dengan bantuan ajir yang

diberi tanda batas. Pengukuran dilakukan setiap minggu pada fase vegetatif

18
sampai masuk fase generatif yang ditandai dengan munculnya bunga pertama.

Pengukuran menggunakan penggaris dalam satuan centimeter (cm).

3.5.6 Jumlah umbi (siung)

Pengamatan jumlah umbi dihitung pada saat penan yang ditandai dengan

daun tanaman yang sudah agak menguning (70%), pangkal daun tanaman sudah

lemas, serta umbi sudah muncul di permukaan tanah (Mailina dan Kusnanto,

2020).

3.5.7 Berat besah dan berat kering umbi (g)

Pengamatan berat umbi terbagi menjadi dua yaitu berat basah dan berah

kering. Pada pengamatan berat basah dilakukan dengan cara tanaman bawang

merah dipanen lalu ditimbang secara langsung. Pada pengamatan berat kering

dilakukan dengan cara umbi dijemur terlebih dahulu kemudian ditimbang.

Pengamatan dilakukan setiap pemanenan.

3.5.8 Diameter umbi (cm)

Pengamatan diameter umbi dilakukan dengan cara umbi diukur dengan

menggunakan jangka sorong dan dicatat hasil pengukurannya.

3.6 Analisis data

Data uji kompatibilitas dianalisis secara deskriptif dan ditampilkan dalam

bentuk tabel dan gambar. Selain data uji kompabilitas data hasil penelitian lainnya

dianalisis secara statistik dengan sidik ragam dalam model linear sebagai berikut:

Yij = µ + Ki + ɛij

19
Keterangan:

Yij = Hasil pengamatan pada suatu unit percobaan pada perlakuan


ke-i yang mendapat ulangan ke-j
µ = Nilai tengah umum
Ki = Pengaruh produk bio-fungisida
ɛij = Pengaruh galat percobaan pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j

Hasil analisis ragam dilanjutkan dengan uji beda nyata jujur (BNJ) pada

taraf 5% untuk membandingkan rata-rata antar perlakuan.

20

Anda mungkin juga menyukai