Anda di halaman 1dari 13

PROPOSAL METODE ILMIAH

Bawang Merah

OLEH

NAMA : ALPINI AULIA

NIM : C1M017008

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS MATARAM

2019
KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur Penulis Panjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat
limpahan Rahmat dan Karunia-Nya sehingga kami dapat menyusun makalah ini tepat pada
waktunya. proposal penelitian ini membahas tentang “Analisis Residu Pestisida Pada Tanaman
Bawang Merah ( Allium Ascalonicum L.) di Kabupaten Brebes”

Dalam penyusunan proposal ini, penulis banyak mendapat tantangan dan hambatan
akan tetapi dengan bantuan daan dukungsn serta usaha dan tawakal b tantangan itu bisa teratasi.
Olehnya itu, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak
yang telah membantu dalam penyusunan proposal ini, semoga bantuannya mendapat balasan
yang setimpal dari Tuhan Yang Maha Esa.

Penulis menyadari bahwa proposal ini masih jauh dari kesempurnaan baik dari bentuk
penyusunan maupun materinya. Kritik konstruktif dari pembaca sangat penulis harapkan untuk
penyempurnaan proposal selanjutnya.

Akhir kata semoga proposal ini dapat memberikan manfaat kepada kita sekalian.
I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Bawang merah (Allium ascalonicum L.) merupakan salah satu tanaman


hortikultura yang mempunyai nilai ekonomi penting dalam pembangunan pertanian di
Indonesia (Iriani et al., 2004), karena sebagai sumber penghasilan petani dan dikonsumsi
orang setiap hari sebagai bumbu penyedap masakan, sayuran, rempah, maupun obat
tradisional serta untuk bahan industri makanan yang saat ini terus berkembang dengan
pesat dan merupakan komoditas ekspor, sehingga dapat menambah devisa negara
(Rokhminarsi, 1999) .Bagi masyarakat indonesia,bawang merah adalah slaah satu bahan
yang tidak dapat dipisahkan dengan masakan sehari-hari.Hampir semua msakan
menggunakan bawang merah sebagai rempah-rempah masakan.Bawang merah banyak
ditanam di didaerah dataran rendah dengan ketinggian antara 10-250 meter di atas
permukaan air laut.walaupun demikian tanaman ini dapat tumbuh juga di dataran tinggi
dengan kisaran ketinggian 1.200 mdpl.

Pestisida merupakan pilihan utama cara pengendalian hama, penyakit dan


gulma, karena mematikan langsung organisme pengganggu tanaman (OPT). Kegiatan
pengendalian OPT merupakan kegiatan yang membutuhkan banyak waktu, tenaga, dan
biaya. Keefektifan penggunaan pestisida dapat diandalkan, hal ini disebabkan karena
penggunaannya yang mudah, tingkat keberhasilannya tinggi, ketersediaannya mencukupi,
mudah didapat dan biayanya relatif murah. Peranan pestisida dalam pengendalian hama
dan penyakit memang cukup besar, sehingga seringkali membuat ketergantungan petani
terhadap pestisida cukup tinggi dan banyak petani yang menganggap bahwa pestisida
sebagai faktor produksi yang dapat menentukan kuantitas dan kualitas produk
(Djojosumatro 2008). Kebijakan penggunaan pestisida dalam rangka mengurangi resiko
serangan OPT sebenarnya telah dilakukan oleh pemerintah melalui penerapan teknologi
Pengendalian Hama Terpadu (PHT). Teknologi PHT pada dasarnya ditujukan untuk
meminimalkan penggunaan pestisida dengan menerapkan prinsip kehatihatian dengan
mempertimbangkan aspek keamanan pemakai dan keamanan lingkungan (Hidayat dan
Girsang 2010).
B. Rumusan Masalah

1.Mengetahui pemahaman bawang merah secara luas?

2.Bagaiaman pengaruh residu pestisda pada tanaman bwang merah?

3. Apakah sulit menanam bawang merah pada musim hujan yang tidak berimbang?

4.Bagaiaman terjadinya polusi udara akibat residu pestsida sehingga kesehatan


tergganggu?

5.Bagaimana penyakit yang rentan menyerang bawang merah saat musim hujan?

6.Apakah harga jual bawang merah tergantung kualitas produksi?

C. Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui pengaruh Analisis residu Pestisida bawang merah (allium


Ascalonicum L.)

D. Manfaat Penelitian

1. Dapat mengetahui pengaruh pertumbuhan bawang merah akibat residu pestisida.

2.Mengatahui kualitas hasl panen bawang merah.

3.mengatahui hama ,penyakit pada tanaman bawang merah.

4. melihat nilai atau harga jual bawang merah selanjutnya.


2. TINJAUAN PUSTAKA

Di Indonesia tanaman bawang merah telah lama diusahakan petani sebagai


perkembangan dari cara-cara tradisional yang bersifat subsisten ke cara budidaya yang
intensif dan berorientasi pasar atau usahatani bersifat komersial (Ambarwati dan Yudono,
2003). Sifat komersial tersebut dicirikan oleh sebagian besar atau seluruh produksinya
ditujukan untuk memenuhi permintaan pasar, baik pasar domestik maupun ekspor. Selain
sifat komersial, usahatani bawang merah juga dapat dibuktikan sebagai usahatani yang
mampu memberikan keuntungan yang menjanjikan (Soetiarso et al., 1999). Meskipun
demikian, adanya permintaan dan kebutuhan bawang merah yang terus meningkat setiap
tahunnya belum dapat diikuti oleh peningkatan produksinya. Produktivitas tanaman
bawang merah rata-rata ditingkat petani masih rendah yaitu sebesar 7,17 ton/ha,
sementara potensi hasil bawang merah bisa mencapai lebih dari 10 ton/ha (Iriani et al.,
2001). Oleh karena itu, perlu ada upaya untuk meningkatkan produksi tanaman bawang
merah tersebut.

Sentra produksi bawang merah tingkat nasional berada di Jawa Tengah yaitu
Kabupaten Brebes. Kabupaten Brebes merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Jawa
Tengah sebagai penghasil sayursayuran terutama bawang merah. Menurut Pitoyo (2003)
Kabupaten Brebes memasok kebutuhan nasional sekitar 50 %. Produksi bawang merah di
Kabupaten Brebes mencapai 2 (dua) juta kwintal (Kabupaten Brebes, 2009; Subhan, et 77
al., 2002). Namun demikian produksi bawang merah masih belum mampu memenuhi
kebutuhan.

Bawang merah lebih cocok tumbuh pada tanah subur, gembur, dan banyak
mengandung bahan organik, serta memerlukan drainase yang baik. Suhu yang
dikehendaki 25-300C dengan ketinggian tempat 0-900 m dpl. Curah hujan 300-2500
mm/th. Jenis tanah yang baik untuk budidaya bawang merah adalah regosol, grumosol,
latosol dan aluvial (Dewi, 2012). Keasaman (pH) tanah yang cocok untuk tumbuh
bawang merah berkisar 5,5-6,5. Jika pH terlalu asam maka garam alumunium larut dalam
tanah dan dapat mengakibatkan racun bagi tanaman bawang merah. Sedangkan apabila
pH terlalu basa unsur Mangan tidak dapat dimanfaatkan sehingga umbinya menjadi kecil.
Bawang merah membutuhkan iklim agak kering dan suhu udara panas sehingga cocok
bila ditanam di daerah dataran rendah. Bawang merah sangat baik ditanam pada musim
kemarau (Sunarjono, 2013). Bawang merah biasanya dimanfaatkan sebagai bahan pangan
dalam bentuk segar, bumbu-bumbu masakan, dan atau bentuk olahan kering. Tangkai
bawang merah juga dapat dimanfaatkan sebagai bahan sayur. Pemanfaatan tangkai
bawangmerah sebagai bahan sayur terutama dilakukan jika budidaya tanaman tidak
menggunakan pestisida sehingga relative lebih amn bagi kehidupan jangka panjang.

Struktur morfologi tanaman bawang merah (Allium cepa var. ascalonicum)


terdiri atas akar, batang, umbi, daun, bunga, dan biji. Tanaman bawang merah (Allium
cepa var. ascalonicum) termasuk tanaman semusim ( annual), berumbi lapis, berakar
serabut, berdaun silindris seperti pipa, memiliki batang sejati (diskus) yang berbentuk
sperti cakram, tipis dan pendek sebagai tempat melekatnya perakaran dan mata tunas
(titik tumbuh) ( Rukmana, 2007)
3. ISI dan PEMBAHASAN

Analisis Residu pestisida pada tanaman bawang merah( allium ascalonicuml.) di


Kabupaten Brebes

Bawang merah (Allium ascalonicum L.) merupakan salah satu tanaman


hortikultura yang mempunyai nilai ekonomi penting dalam pembangunan pertanian di
Indonesia (Iriani et al., 2004), karena sebagai sumber penghasilan petani dan dikonsumsi
orang setiap hari sebagai bumbu penyedap masakan, sayuran, rempah, maupun obat
tradisional serta untuk bahan industri makanan yang saat ini terus berkembang dengan
pesat dan merupakan komoditas ekspor, sehingga dapat menambah devisa negara
(Rokhminarsi, 1999). 76 Potensi pasar komoditas ini cukup terbuka sebagai akibat
semakin meningkatnya kebutuhan konsumsi dan perkembangan industri olahan.

Masalah utama usahatani bawang merah diluar musim adalah tingginya resiko
kegagalan panen karena lingkungan yang kurang menguntungkan terutama serangan
hamadan penyakit,hama dan penyakit penting pada bawang merah antara lain; ulat
bawang merah( spodoptera exigua) sedangkan penyakitnya meliputi antraknose fusarium
dan trotol.keberadaaan hama tersebut menyebabkan petani menggunakan pestisida yang
berlebihan karena petani beranggapan bahwa keberhasilan pengendalian hama yaitu
dengan meningkatkan takaran.

Diperkirakan permintaan kebutuhan bawang merah di dalam negeri terus


meningkat kurang lebih 5 % tiap tahunnya di luar kebutuhan restoran, hotel, dan industri
olahan (Suwandi dan Hilman, 1995). Bawang merah dibandingkan dengan sayuran
lainnya mempunyai kandungan gizi yang tinggi dan komposisi yang lebih lengkap,
seperti energi atau kalori tinggi, berprotein dan kaya akan kalsium (Departemen
Pertanian, 2000).

Petani sayuran umumnya menggunakan pestisida dalam


mengendalikan hama,insektisida berbahan aktif klorpirifos jugabanyak
digunakan secara intensif terutama dalam usaha tani bawang merah,pestisida
diberikan petani sebekum tanam dan selanjutnya secara rutin dengan melihat
kondisi hama dan penyakit bawang merah tersebut.

Pada umumnya petani menggunakan lebih dari satu jenis pestisidadalam setiap
aplikasi yaitu sebanyak 68,70% petani menggunakan dua macam pestisida untuk setiap
penyemprotan,penggunaan pestisida yang berlbihan akan meningkatkan biaya
pengendalian mempertinggi kematian organisme non target serta dapat menurunkan
kualitas lingkungan.pestisida didalam tanah akan mengalami dekomposisi baik secara
fisik,kimia maupun biologis.

Usaha mengurangi residu pestisida pada hasil pertanian dilakukan melalui


banyak cara dan metodedengan satu tujuan yang sama yaitumemastikan hasil pertanian
yang dikonsumsi oleh para konsumen terbebas dari residu pestisida .usaha ini udah
banyak dilakukan oleh masyarakat indonesia maupun internasional karna bagaiamanpun
juga masalah residu pestisida sudah menjadi perhatian besar dunia .usaha dalam
mengurangi residu dilakukan dengar 2 hal yaitu perlakuan prapanen dan pascapanen.

Untuk mengantisipasi masalah di atas adalah salah satu usaha yaitu mencari
dan menggali varietas bawang merah yang mempunyai sifat-sifat unggul terutama dalam
hal produksi serta ketahanan terhadap hama dan penyakit utama sehingga varietas
bawang merah mampu berproduksi walaupaun serangan penyakit cukup besar.

Di Indonesia tanaman bawang merah telah lama diusahakan petani sebagai


perkembangan dari cara-cara tradisional yang bersifat subsisten ke cara budidaya yang
intensif dan berorientasi pasar atau usahatani bersifat komersial (Ambarwati dan Yudono,
2003).

Sifat komersial tersebut dicirikan oleh sebagian besar atau seluruh


produksinya ditujukan untuk memenuhi permintaan pasar, baik pasar domestik maupun
ekspor. Selain sifat komersial, usahatani bawang merah juga dapat dibuktikan sebagai
usahatani yang mampu memberikan keuntungan yang menjanjikan (Soetiarso et al.,
1999).

Meskipun demikian, adanya permintaan dan kebutuhan bawang merah yang


terus meningkat setiap tahunnya belum dapat diikuti oleh peningkatan produksinya.
Produktivitas tanaman bawang merah rata-rata ditingkat petani masih rendah yaitu
sebesar 7,17 ton/ha, sementara potensi hasil bawang merah bisa mencapai lebih dari 10
ton/ha (Iriani et al., 2001) Oleh karena itu, perlu ada upaya untuk meningkatkan produksi
bawang merah. Sentra produksi bawang merah tingkat nasional berada di Jawa Tengah
yaitu Kabupaten Brebes. Kabupaten Brebes merupakan salah satu kabupaten di Provinsi
Jawa Tengah sebagai penghasil sayursayuran terutama bawang merah. Menurut Pitoyo
(2003) Kabupaten Brebes memasok kebutuhan nasional sekitar 50 %. Produksi bawang
merah di Kabupaten Brebes mencapai 2 (dua) juta kwintal (Kabupaten Brebes, 2009;
Subhan, et 77 al., 2002).

Namun demikian produksi bawang merah masih belum mampu memenuhi


kebutuhan. Upaya peningkatan produksi bawang merah sering menghadapi kendala
berupa terjadinya serangan hama dan penyakit yang menyebabkan gagal panen atau
minimal hasil panen berkurang. Salah satu cara yang terbukti bisa meningkatkan produksi
bawang merah sebagai salah satu tindakan pemeliharaan tanaman adalah penggunaan
pestisida. Sebagian besar petani beranggapan bahwa pestisida adalah sebagai “Dewa
Penyelamat” yang sangat vital. Petani meyakini bahwa dengan aplikasi pestisida
tanamannya akan terhindar dari kerugian akibat serangan jasad pengganggu tanaman
yang terdidi dari kelompok hama, penyakit, dan gulma

Salah satu dampak dari penggunaan pestisida adalah tertinggalnya residu


pestisida di dalam produk pertanian dan di dalam tanah, serta bahaya residu bagi
kesehatan manusia (Sastroutomo, 1992). Pada umumnya petani menyemprot tanamannya
dengan pestisida secara intensif yang kemungkinan dapat meninggalkan residu pada
umbinya. Menurut Hidayat et al., (1991) penggunaan pestisida oleh petani bawang merah
di kabupaten Brebes sudah sangat tinggi, jauh melebihi dosis yang direkomendasikan.
Pengaruh residu pestisida terhadap kesehatan manusia adalah dapat menganggu
metabolisme 78 steroid, merusak fungsi tiroid, berpengaruh terhadap spermatogenesis,
terganggunya system hormon endokrin (hormone reproduksi), atau yang lebih dikenal
dengan istilah EDs (Endocrine Disrupting Pesticides), disamping dapat merangsang
timbulnya kanker. Gejala keracunan akut pada manusia adalah paraestesia, tremor, sakit
kepala, keletihan, perut mual dan muntah. Efek keracunan kronis pada manusia adalah
kerusakan sel-sel hati, ginjal, system syaraf, system imunitas, dan system reproduksi
(Ardiwinata, 2008; Irawati, 2004).

Sungguh sangat memprihatinkan kita terhadap dampak residu pestisida dan


bahayanya terhadap kesehatan manusia menuntut pengenlolaan mutu produk hortikultura
yang tidak hanya didasarkan atas penampilan visual tetapi juga harus aman bagi
konsumen,salah satu bentuk kebijaksanaan pengelolaan mutu produk pertanian adalah
pengaturan keamanan pangan legal melalui penepatan tingkat atau batas maksimun residu
pestisida pada produk pertanian.
DAFTAR PUSTAKA

Ardiwinata, A.N dan E.S Harsanti 2007. Pencemaran Bahan Agrokimia di lahan Pertanian

Dan Tekhnologi Penanggulangannya.

Atmawidjaja,S Tjahjono,D.H Rudiyanto (2004) Pengaruh Perlakuan Terhadap Kadar

Residu Pestisida Metidation pada Tomat .Indonesia,29(2),72-82

Badan Sandarrisasi Nasional Batas Maksimum Residu Pestisida Pada Hasil Pertanian. SNI
7313:2008

Ekadwi. P. 2007. Bioindikator Pencemaran Insektisida Organofospat Pada Tanah Pertanian.

Skirpsi Program Study Teknik Lingkungan. Fakultas Tehknik Sipil dan Lingkungan.

Bandung.

Hadi, S. Narsito, Noegrohati, S. (2009). Keberadaan dan distribusi pestisida orgoklori

golongan siklodiena SP. Setelah pencucian dengan metode GC. MS. Skripsi

Universitas Muamadiah Surakarta.

Iskandar. J. 2009. Ekologi Manusia dan Pembangunan Berkelanjutan Program studi


magister

ilmu lingkungan. Universitas Pajajaran. Bandung.

Irawati, Z. 2004. 96,8 persen “karedok” mengandung residu pestisida metasiklor media

indonesia.

Laba IW. Analisis Empiris Penggunaan insektisida Menuju Pertanian Berkelanjutan. Naskah

di Sahkan Dari bahan ahli profesor Riset di Bogor. Pengembangan inovasi 886

Lestari, 2011. Metode Kromotograpi gas untuk analisi pestisida organo pospat sain matika

VOL. 3 NO 1.

Suara merdeka. 2002. 30 persen petani tercemar pestisida. Suara merdeka edisi satu, 8 Juni
2002. Hal. XX V

Yuantari MG. Widianako B. Sunopo. HR. Tingkat pengetahunan petani dalam menggunakan

pestisisda (studi kasus di desa curut kecamatan penawangan kabupaten grobogan)

prosiding seminar nasional pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan. 2013.

ISBN 978-602-17001-1-2.

Zulkarnain, I 2010. Aplikasi pestisida dan analisa residu pestisida golongan organo pospat

pada beras. di kecamatan portibi kabupaten pada lawas utara tahun 2009

Anda mungkin juga menyukai