Disusun Oleh :
Maziyatul Khoiroh
Kategori : Kimia
Menyetujui,
Guru pembimbing ketua kelompok
Mengetahui,
Kepala Sekolah
ii
SURAT ORISINALITAS
Dengan ini menyatakan bahwa karya tulis ilmiah kami dengan judul :
(maziyatul Khoiroh)
iii
ACTION (Anti Fungi Ekstrak Kersen)
iv
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Cabai merupakan komoditas hortikultural yang mempunyai peranan
sangat penting. Menurut Purwanto (2007), cabai menempati urutan paling atas di
antara delapan belas jenis sayuran komersial yang dibudidayakan di Indonesia
selama beberapa tahun terakhir ini. Luas panen cabai di Indonesia seluas 239.770
ha dengan produksi sebesar 2.056.071 ton dan produktivitasnya 8,57 ton per ha
(BPS 2015).
Masyarakat Jawa Timur khususnya Kabupaten Lamongan mayoritas
menyukai cabai yang masih segar. Sedangkan cabai biasanya memiliki umur
simpan yang pendek antara 5 sampai 10 hari (Rahma et al., 2012). Cabai termasuk
jenis tumbuhan Klimaterik yaitu buah yang mengalami lonjakan respirasi dan
produksi etilen setelah dipanen (Suhardiman,1997). Kader (1992) menyatakan
bahwa besarnya kehilangan pascapanen komoditi hortikultura segar berkisar 5-
25% di negara maju dan 20-50% di negara berkembang. Artinya setiap tahun
petani maupun pedagang mengalami kerugian sebesar 457 ribu ton karena cabai
mengalami kerusakan baik kualitas maupun kuantitas.
Menurut Triaji et al. (2013), salah satu kerusakan pada cabai adalah
pembusukan yang disebabkan oleh mikroba seperti Aspergillus niger,
Cladosporium fulvum, Collectrichum phomoides serta Fusarium sp. Adanya
jamur pada cabai tersebut dapat diatasi dengan menggunakan fungisida sintetis.
Namun, pengendalian dengan menggunakan fungisida sintetis ini memerlukan
biaya yang besar dan juga efek residunya dapat menimbulkan dampak negatif
terhadap manusia dan lingkungan. Beberapa penelitian menunjukkan adanya
hubungan penggunaan pestisida dengan gangguan kesehatan yang dialami oleh
petani. Berdasarkan penelitian yang dilakukan, diperoleh sebanyak 29 orang (78,4%) petani
mengalami keracunan akibat penggunaan pestisida di Kabupaten Brebes. Dari 6
orang yang diteliti diantaranya 2 orang perempuan dan 4 orang laki-laki
mengalami keracunan akibat campuran fungisida dan intektisida. (Rusdita, 2016).
Kemudian pada tahun 2016 ditemukan seorang petani trenggalek Jawa Timur
1
ditemuakan tewas disawah pada saat melakukan penyemprotan pada tanaman
budidayanya. Korban tewas diduga karena keracunan pestisida.
Sebagai Negara yang mempunyai dua musim Indonesia kaya ragam hayati,
diantaranya adalah pohon kersen. Pohon kersen (Muntingia calabura Linn),
adalah tanaman jenis neotropik yaitu suatu jenis tanaman yang tumbuh baik
di daerah tropis seperti Indonesia. Pohon kersen sangat mudah tumbuh,
tanpa penanaman khusus. Daun kersen mengandung kelompok senyawa atau
lignan antara lain flavonoid, tannin, triterpene, saponin, dan polifenol yang
menunjukkan aktivitas antioksidatif (Zakaria,2007). Dimana flavonoid, tannin,
saponin bekerja sebagai anti bakteri yang dapat mematikan fungi sehingga
berpotensi untuk dijadikan fungisida.
Dari kondisi tersebut, kami termotivasi untuk menciptakan sebuah solusi
melalui sebuah inovasi dengan memanfaatkan daun kersen (Muntingia calabura
L.) sebagai fungisida organik untuk memperpanjang umur simpan dan mutu
komoditas cabai. Semoga penelitian yang dilakukan dapat bermanfaat bagi semua
orang khususnya para petani.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah di atas maka dapat dibuat rumusan masalah
sebagai berikut:
1. Bagaimana proses ekstraksi daun kersen menjadi fungisida organik?
2. Bagaimana mekanisme ekstrak daun kersen dalam mencegah kerusakan akibat
jamur?
3. Bagaimana pengaruh pemberian ekstrak kersen terhadap umur simpan
komoditas cabai?
1.3 Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah di atas maka tujuan dari penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui proses ekstraksi daun kersen menjadi fungsida.
2. Untuk mengetahui mekanisme ekstrak daun kersen dalam mencegah kerusakan
akibat jamur.
3. Untuk mengetahui pengaruh pemberian ekstrak daun kersen terhadap umur
simpan komoditas cabai.
2
1.4 Manfaat Penulisan
1. Mendukung kementrian pertanian untuk meningkatkan produksi cabai
pasca panen.
2. Memberi informasi kepada masyarakat manfaat dari pengolahan daun
kersen sebagai solusi mengatasi pencemaran lingkungan dan juga residu
terhadap konsumen yang disebabkan oleh fungisida sintetis.
3. Menambah wawasan siswa (peneliti) dan juga sebagai landasan penelitian
selanjutnya mengenai pengelolahan daun kersen sebagai fungisida
organik.
4. Mengurangi limbah daun kersen yang berserakan disembarang tempat.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Cabai
Klasifikasi:
Kingdom : Plantae
Subkingdom : Tracheobionta
Super Divisi : Spermatophyta
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Sub Kelas : Asteridae
Ordo : Solanales
Famili : Solanaceae
Genus : Capsicum
Spesies : Capsicum annum (Anonimus, 2012)
4
pendek, yaitu sekitar 5 sampai 10 hari tergantung pada suhu dan kelembapannnya.
Mengingat keadaan tersebut, maka perlu dilakukan cara pengawetan yang dapat
membuat cabai dapat tahan lama disimpan, sehingga dapat manambah nilai
jualnya (Yani & Ratriningsih 2011).
2.2 Potensi Komoditas Cabai di Indonesia
Menurut badan data statistika pertanian hortikultura, 2011, selama tahun
2007-2009 produksi sayuran nasional meningkat dari 9,45 juta ton menjadi 10,63
juta ton dengan laju kenaikan sebesar 6,02 persen pertahun. Sayuran yang
memberikan sumbangan produksi terbesar terhadap total produksi sayuran di
Indonesia sebanyak 5 (lima) jenis tanaman sayuran yaitu kubis (12,78%), kentang
(11,07%), bawang merah (9,08%), tomat (8,03%) dan cabai besar (7,41%).
2.3 Pemanenan
Pemanenan tanaman cabai menurut (Anonim 2010) adalah pada saat
tanaman cabai berumur 75 – 85 hst yang ditandai dengan buahnya yang padat dan
warna merah menyala, buah cabai siap dilakukan pemanenan pertama. Umur
panen cabai tergantung varietas yang digunakan, lokasi penanaman dan kombinasi
pemupukan yang digunakan serta kesehatan tanaman. Tanaman cabai dapat
dipanen setiap 2 – 5 hari sekali tergantung dari luas penanaman dan kondisi pasar.
Pemanenan dilakukan dengan cara memetik buah beserta tangkainya yang
bertujuan agar cabai dapat disimpan lebih lama. Buah cabai yang rusak akibat
hama atau penyakit harus tetap di panen agar tidak menjadi sumber penyakit bagi
tanaman cabai sehat. Pisahkan buah cabai yang rusak dari buah cabai yang sehat.
Waktu panen sebaiknya dilakukan pada pagi hari karena bobot buah dalam
keadaan optimal akibat penimbunan zat pada malam hari dan belum terjadi
penguapan. Buah yang dipanen terlalu muda akan cepat layu, bobot cepat
berkurang, cepat rusak, dan kurang tahan guncangan waktu pengangkutan. Buah
cabai yang telah dipanen segera disortasi untuk mencegah kerusakan. Penundaan
sortasi akan mempercepat pembusukan.
2.4 Pasca Panen
Dalam bidang pertanian istilah pasca panen menurut Peraturan Menteri
Pertanian RI nomor 73/Permentan/OT.140/7/2013 diartikan sebagai rangkaian
5
kegiatan yang dimulai dari pengumpulan hasil panen, proses penanganan pasca
panen hingga produk siap dihantarkan ke konsumen.
Penanganan pasca panen hasil hortikultura yang umumnya dikonsumsi
segar dan mudah “rusak”, bertujuan untuk mempertahankan kondisi segarnya dan
mencegah adanya perubahan-perubahan yang tidak dikehendaki selama
penyimpanan, seperti pertumbuhan tunas, pertumbuhan akar, batang bengkok,
buah keriput, polong alot, ubi berwarna hijau (greening), terlalu matang, dll.
Perlakuan dapat berupa pembersihan, pencucian, pengikatan, curing, sortasi,
grading, pengemasan, penyimpanan dingin, pelilinan, dan lain-lain (Tino
Mutiarawati, 2010).
2.5 Penyimpanan
Penyimpanan cabai merah di daerah tropis sebaiknya dilakukan pada suhu
5,6 hingga 7,2oC dengan kelembaban 90 hingga 95 persen agar cabai dapat
bertahan selama dua minggu (Pantastico, 1986). Penyimpanan pada suhu yang
lebih rendah dapat menyebabkan chilling injury yang akan menyebabkan produk
menjadi lunak, munculnya bintik, dan lubang pada permukaan kulit dan sangat
rentan terhadap kebusukan (Purwanto et al. 2011).
2.6 Penyebab Pembusukan Pada Cabai
Masalah utama dalam produksi dan pemasaran buah dan sayuran segar
adalah aspek mutu dan keamanan pangan. Permasalahan ini merugikan
perdagangan komoditas pangan di pasar regional maupun internasional.
Pemasaran cabai dipengaruhi oleh penanganan pascapanen, dimana cabai ini
memiliki daya tahan yang rendah terhadap penyimpanan yang lama dan mudah
busuk.
Faktor yang menyebabkan pendeknya masa simpan pada cabai adalah
terjadinya kontak atau respirasi dengan oksigen (Sunyoto et al, 2016). Menurut
Sunarmani (2012) Pembusukan pada cabai juga dapat disebabkan oleh mikroba
seperti Aspergillus flavus, Cladosporium fulvum, Collectrichum phomoides serta
Fusarium sp. Jenis jamur kontaminan yang lain dalam penelitian Kartikasari
(2013) yaitu beberapa dari genus Fusarium dan genus Cladosporium.
Menurut Semangun (2007), serangan jamur Colletotrichum sp mula-mula
membentuk bercak coklat kehitaman, lalu meluas menjadi busuk lunak. Pada
6
bagian tengah bercak terdapat kumpulan titik-titik hitam yang terdiri atas
kelompok seta dan konidium jamur. Serangan yang berat dapat menyebabkan
seluruh buah mengering dan mengerut. Hal ini juga dinyatakan oleh Martoredjo
(2010), bahwa gejala antraknosa mula-mula berupa bercak kecil yang selanjutnya
dapat berkembang menjadi lebih besar. Gejala tunggal cenderung berbentuk bulat,
tetapi karena banyaknya titik awal gejala maka gejala yang satu dengan yang lain
sering bersatu hingga membentuk bercak yang besar dengan bentuk tidak bulat.
Pada gejala yang sudah cukup besar, sering di bagian tepinya coklat dan di bagian
tengahnya putih. Bercak yang terbentuk umumnya agak cekung atau berlekuk dan
dimulai dari bagian tengahnya mulai terbentuk aservulus jamur yang berwarna
hitam, yang biasanya membentuk lingkaran yang berlapis.
2.7 Daun Kersen
7
hidroksil dan beberapa gugus yang bersangkutan seperti karboksil untuk
membentuk kompleks kuat yang efektif dengan protein dan beberapa
makromolekul (Hayati dkk., 2010). Bale-Smith dan Swain yang dikutip Haslam
(1989) menjelaskan tanin sebagai senyawa fenolik larut air dengan massa molar
sekitar 300-3000, menunjukkan reaksi alami fenol, mempresipitasi alkaloid,
gelatin, dan protein lain.
b. Flavonoid
Flavonoid merupakan senyawa fenol yang dapat berubah bila ditambahkan
senyawa yang bersifat basa atau amonia. Flavonoid di alam merupakan senyawa
yang larut dalam air. Ikatan flavonoid dengan gula menyebabkan banyaknya
bentuk kombinasi yang dapat terjadi di dalam tumbuhan, sehingga flavonoid pada
tumbuhan jarang ditemukan dalam keadaan tunggal (Harbone, 1987).
Flavonoid mempunyai aktivitas antibakteri karena flavonoid mempunyai
kemampuan berinteraksi dengan DNA bakteri dan menghambat fungsi membran
sitoplasma bakteri dengan mengurangi fluiditas dari membran dalam dan
membran luar sel bakteri. Akhirnya terjadi kerusakan permeabilitas dinding sel
bakteri dan membran sel tidak berfungsi lagi sebagaimana mestinya, termasuk
untuk melakukan perlekatan dengan substrat. Hasil interaksi tersebut
menyebabkan terjadinya kerusakan permeabilitas dinding sel bakteri, mikrosom
dan lisosom. Ion hidroksil secara kimia menyebabkan perubahan komponen
organik dan transport nutrisi sehingga menimbulkan efek toksis terhadap sel
bakteri (Sudirman, 2014).
Secara kualitatif diketahui bahwa senyawa yang dominan dalam daun kersen
adalah flavonoid (Zakaria, 2007) Sebanyak 2% dari seluruh karbon yang
difotosintesis oleh tanaman diubah menjadi flavonoid atau senyawa yang
berhubungan erat dengannya (Markham 1988). Flavonoid memiliki peran yang
sama seperti tannin sebagai antibakteri. Mekanisme kerja flavonoid adalah
mampu melepaskan energi tranduksi terhadap membran sitoplasma jamur serta
menghambat motilitas jamur. Senyawa flavonoid memiliki subdivisi berupa
flavones (apigenin) dan flavonols.
8
c. Saponin
Saponin merupakan senyawa dalam bentuk glikosida yang tersebar luas pada
tumbuhan tingkat tinggi. Saponin membentuk larutan koloidal dalam air dan
membentuk busa yang mantap jika dikocok dan tidak hilang dengan penambahan
asam (Harbrone, 1996). Saponin merupakan golongan senyawa alam yang rumit,
yang mempunyai massa dan molekul besar, dengan kegunaan luas (Barnet et.al,
1998) Saponin diberi nama demikian karena sifatnya menyerupai sabun “Sapo”
berarti sabun.
Saponin merupakan glikosida alami yang terikat dengan steroid alkaloid atau
triterpena. Saponin mempunyai aktivitas farmakologi yang cukup luas seperti
imunomodulator, antitumor, antiinflamsi, antivirus, antijamur, efek hipoglikemik,
dan efek hipokolesterol. Saponin juga mempunyai sifat yang beragam seperti
terasa manis, pahit, dapat berbentuk buih, dapat menstabilkan emulsi, dan dapat
menyebabkan haemolisis (Robinson, 1995)
Mekanisme kerja saponin sebagai antibakteri adalah dengan cara
menyebabkan kebocoran protein dan enzim di dalam sel. Saponin dapat berdifusi
melalui membrane luar dan dinding sel yang rentan kemudian mengikat
membrane sitoplasma sehingga mengganggu dan mengurangi kestabilan
membrane sel. Hal ini menyebabkan sitoplasma bocor keluar dari sel yang
mengakibatkan kematian sel. Agen antimikroba yang mengganggu membrane
sitoplasma bersifat bakterisida (Cavalieri, 2005). Zat-zat tersebut dapat
membunuh mikroba bakteri dan menghambat tumbuhnya jamur. Oleh karena itu
daun kersen dapat dijadikan sebagai bahan pembuatan fungisida alami untuk
mengatasi masalah pembusukan cabai akibat terserang oleh jamur.
2.8 Fungisida Organik
Fungisida merupakan bahan yang mengandung senyawa kimia beracun yang
digunakan untuk memberantas dan mencegah jamur (Wudianto, 2007).
Penggunaan fungisida bertujuan untuk membunuh fungi penyebab penyakit pada
tanaman, akan tetapi selain membunuh fungi penyebab penyakit fungisida dapat
membunuh fungi yang menguntungkan seperti mikoriza (Assyakur, 2007).
Fungisida terbagi menjadi dua yaitu Fungisida sintetik dan fungisida alami.
9
Menurut (Djojosumarto, 2000) Fungisida adalah senyawa kimia beracun
untuk memberantas dan mencegah perkembangan fungi/ jamur. Penggunaan
fungisida adalah termasuk dalam pengendalian secara chemis (kimia).
Menurut (Herawati Nani et.al. 2013) Fungisida organik adalah fungisida
botani merupakan senyawa beracun dari organ tumbuh-tumbuhan dimana
bertugas untuk menggantikan fungisida anorganik yang tidak selektif dan beracun
karena memang hampir semua fungisida organik yang telah digunakan bertahun-
tahun tidak ada satupun yang membahayakan terhadap lingkungan karena
dosisnya selektif, pengaruhnya lebih lama dan tidak meracuni tanaman serta
lingkungan dan fitotoksisitasnya rendah.
10
BAB III
METODE PENELTIAN
3.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini termasuk dalam eksperimen yaitu sengaja
mengupayakan timbulnya variabel - variabel lalu dikontrol dan di lihat
pengaruhnya.
3.2 Waktu dan Tempat Penelitian
No. Uraian Kegiatan Tempat Waktu
1. Pengumpulan literatur MAN 1 Lamongan 15-21 Mei 2023
11
3.4 Variabel Penenlitian
3.4.1 Variabel Bebas
Variabel bebas dalam penelitian ini adalah konsentrasi ekstrak daun kersen
yang diaplikasikan sebagai media untuk memperpanjang umur simpan pada cabai.
Konsentrasi ekstrak daun kersen dalam penelitian ini dibatasi hanya ada 9 macam
konsentrasi dengan komposisi bubuk daun kersen dan air sebagai berikut : 30:300,
30:400, 30:500, 40:300, 40:400, 40:500, 50:300, 50:400, 50:500.
3.4.2 Variabel Terikat
Variabel terikat pada penelitian ini adalah panjangnya umur simpan dan
mutu pada cabai yang telah diberi tindakan. Mutu ini meliputi kondisi fisik dan
fisiologis cabai.
3.4.3 Variabel Kontrol
Variabel kontrol pada penelitian ini adalah pengaruh ekstrak kersen
terhadap umur simpan cabai dimana terdapat 9 sampel yang diberi tindakan
sedangkan 1 sampel dibiarkan tanpa diberi tindakan apapun.
12
Blender (digunakan untuk menghaluskan daun kersen)
Wadah/piring plastik 9 Buah (digunakan untuk meletakkan cabai yang
akan di teliti)
Wadah Ekstrak 9 buah (digunakan untuk wadah penampungan ekstrak)
13
3.5.2.3 Proses Pengujian Flavonoid
Pengujian ini dilakukan dengan mengambil 2 ml ekstrak daun kersen
dengan 5 ml etanol, lalu dipanaskan selama 5 menit didalam tabung reaksi.
Selanjutnya ditambah beberapa tetes HCl pekat dan 0,2 g bubuk Magnesium.
Hasil positif dinyatakan melalui timbulnya warna merah tua dalam waktu 3 menit.
3.5.3 Rancangan Percobaan
Pertama alat dan bahan disiapkan terlebih dahulu, kemudian cabai
dimasukkan kedalam wadah seperti yang terlihat pada rancangan percobaan , lalu
masing – masing cabai dicelupkan pada fungisida, selanjutnya cabai ditiriskan
hingga kering dan ditempatkan kembali pada wadah, disimpan dalam suhu
ruangan. Sampel diamati lalu dicatat hasil dari pengamatan dan dilakukan analisis
data. Kemudian baru dapat diketahui perlakuan terbaik dan diambil kesimpulan
dari pengamatan. Berikut merupakan detail rancangan percobaan.
A B C D E
5 5 5 5 5
Cabaicaba Cabai Cabai Cabai Cabai
F G H I J
5 5 5 5 5
Cabai Cabai Cabai Cabai Cabai
Keterangan perlakuan :
14
I. Ekstrak A (30 gr bubuk daun kersen : 300 ml air)
II. Ekstrak B (30 gr bubuk daun kersen : 400 ml air)
III. Ekstrak C (30 gr bubuk daun kersen : 500 ml air)
IV. Ekstrak D (40 gr bubuk daun kersen : 300 ml air)
V. Ekstrak E (40 gr bubuk daun kersen : 400 ml air)
VI. Ekstrak F (40 gr bubuk daun kersen : 500 ml air)
VII. Ekstrak G (50 gr bubuk daun kersen : 300 ml air)
VIII. Ekstrak H (50 gr bubuk daun kersen : 400 ml air)
IX. Ekstrak I (50 gr bubuk daun kersen : 500 ml air)
X. 5 cabai tanpa diberi tindakan apapun sebagai kontrol
Mulai
Studi literatur
Persiapan
penelitian
Eksperimen
Proses pengujian
MTT
Pengamatan hasil
pengujian
Analisis data
Penulisan laporan
penelitian
Selesai
15
3.7 Teknik Pengumpulan Data
3.7.1 Sumber Data
1. Data Primer
Data ini didapat dari hasil pengamatan terhadap 50 cabai yang terbagi
menjadi 10 sampel, dimana 9 sampel diberi perlakuan khusus sedangan 1 sampel
dibiarkan sebagai variabel kontrol.
2. Data Sekunder
a. Buku pengetahuan mengenai teknik pengelolahan cabai pasca panen serta
lamanya umur simpan komoditas cabai pasca panen.
b. Melalui media elektronik yaitu internet untuk mencari informasi
bagaimana mekanisme ekstrak kersen ini bisa berpengaruh terhadap lamanya
umur simpan komoditas cabai.
3.7.2 Instrumen Pengumpulan Data
1. Eksperimen
Metode ini berupa uji coba secara langsung terhadap obyek penelitian untuk
mengukur tingkah laku suatu individu baik yang telah diberi tindakan maupun
tanpa tindakan.
2. Metode Dokumentasi
Metode ini dilakukan dengan mendokumentasikan hasil eksperimen. Kami
menginput data dari percobaan yang telah dilakukan sekaligus hasil yang telah
diamati. Mulai dari pembuatan ekstrak, pengujian kandungan ekstrak hingga
pengaplikasian terhadap obyek.
3. Studi Pustaka
Metode ini dilakukan dengan memilih berbagai literatur yang sesuai dengan
penelitian ini. Literatur yang kami dapatkan yaitu buku-buku serta jurnal
mengenai umur simpan cabai secara umum sekaligus kandungan ekstrak daun
kersen yang dapat berpengaruh terhadap lamanya umur simpan pada cabai.
16
3.8 Teknik Analisa Data
Teknik analisa data pada penelitian ini menggunakan metode deskriptif
kualitatif yaitu salah satu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif
berupa tulisan, ucapan dan perilaku yang dapat diamati dari suatu individu,
kelompok, masyarakat, atau organisasi tertentu dalam suatu setting konteks
tertentu yang dikaji dari sudut pandang yang utuh, komprehensif, dan holistik.
Penelitian kulitatif bertujuan mendapatkan pemahaman yang sifatnya umum
terhadap kenyataan alamiah dari prespektif partisipan. (Bogdan dan Taylor(1992).
17
BAB IV
PEMBAHASAN
18
18,214 ppm, vitamin C sebesar 2,72 ppm dan BHT 5,36 sebesar ppm. Aktivitas
antioksidan ekstrak metanol daun kersen tua lebih kuat dibandingkan daun kersen
muda, namun lebih lemah dibandingkan vitamin C dan BHT. Itulah sebabnya
kami memilih campuran kersen usia sedang hingga agak tua.
Sampel daun Kersen yang diperoleh disortasi agar terbebas dari kotoran.
Sampel yang telah terbebas dari kotoran ditimbang dalam keadaan segar.
Selanjutnya dicuci dengan air mengalir.
2. Pengeringan
Daun yang telah dicuci bersih, dikeringkan lalu ditata pada Loyang,
kemudian dimasukkan kedalam oven dengan suhu 40oC selama 3 jam. Fungsi
pengeringan daun kersen adalah agar air yang terkandung di dalam daun dapat
diminimalkan dengan menggunakan panas oven yang lebih merata dan suhu tetap
stabil. Menurut (Sari,dkk 2012) Suhu optimum pengeringan untuk mendapat
kadar total fenol maksimum adalah 60°C. Pengeringan lebih tinggi dari 60°C
setelah 4 menit maka fenol akan rusak dan kadarnya cenderung menurun (Sari
dkk, 2012). Liyana Shahidi (2005), menyatakan bahwa ada hubungan antara suhu
dan senyawa fenolik, kandungan senyawa fenolik menurun seiring dengan
peningkatan suhu yang lebih tinggi, hal ini disebabkan dekomposisi senyawa
fenolik.
3. Proses Ekstraksi
Proses pengekstraksian daun Kersen menggunakan metode Digesti,
dimana menurut Depkes RI tahun 2000 bahwa digesti memiliki pengertian
maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinu) pada temperatur ruangan (kamar),
yaitu secara umum dilakukan pada temperature 40 – 45 oC. pengeringan serbuk
daun kersen juga tetap memperhatikan suhu, karena flavonoid akan rusak jika
dipanaskan melebihu suhu 75oC, meskipun suhu pengeringan yang digunakan
cukup rendah yaitu 40°C, namun tidak menutup kemungkinan bahwa akan terjadi
degradasi senyawa bioaktif, mengingat rentannya senyawa bioaktif terhadap
kenaikan suhu.
Hal ini sama dengan penelitian Masduki dkk (2014) dimana total fenol
pada Sargassum Polycystum mengalami penurunan setelah mengalami proses
pengeringan menggunakan oven suhu 90°C. sebagaimana sifat fenol yaitu mudah
19
teroksidasi dan sensitif terhadap perlakuan panas, sehingga dengan adanya proses
pengeringan dapat menurunkan kandungan senyawa fenol. Proses ekstraksi
menggunakan pelarut air dengan perimbangan bahwa Saponin, Tannin, dan
Flavonoid larut dalam air karena ketiga senyawa tersebut merupakan senyawa
polar. Jadi, ekstrak yang diperoleh diarapkan mengandung flavonoid, tannin, dan
saponin yang berfungsi sebagai bahan antifungi terhadap jamur Aspergillus niger,
Cladosporium fulvum, Collectrichum phomoides serta Fusarium sp.
5. Penyaringan
Hasil ekstrak kemudian disaring menggunakan kertas saring, agar
didapatkan ekstrak yang terbebas dari ampas. Penyaringan dilakukan dengan cara
mengalirkan air hasil ekstrak untuk mendapatkan ekstrak murni.
6. Penerapan Aplikatif
Produk ini dapat diterapkan kepada para petani, pedagang, dan pihak
pengekspor cabai dalam menyiasati pembusukan pada cabai pasca panen, karena
cabai mudah sekali membusuk dan terkontaminasi dengan jamur jika dibiarkan
dalam ruang tertutup.
4.2. Mekanisme ACTION Dalam Menghambat Pertumbuhan Jamur
Zat antibakteri ekstrak kersen antara lain flavonoid, saponin, dan tannin.
Flavonoid merupakan kumpulan dari polifenol yang terdiri dari lima belas karbon
dan dua cincin aromatik yang dihubungkan oleh tiga rantai karbon.
Flavonoid memiliki beberapa manfaat selain sebagai agen antibakteri yaitu
sebagai agen anti jamur, dan antivirus. Mekanisme antibakteri dari flavonoid ada
tiga macam, yaitu yang pertama dengan cara menghambat sintesis asam nukleat.
Cara kedua yaitu dengan menghambat fungsi membran sitoplasma dengan
merusak fluiditas membran pada regio hidrofilik dan hidrofobik sehingga fluiditas
lapisan luar dan lapisan dalam membran akan menurun. Cara ketiga dengan
menghambat metabolisme energi. Selain itu flavonoid memiliki kemampuan
sebagai anti glukosiltransferase (Vasconcelos, 2006).
Flavonoid akan membentuk kompleks dengan protein membran sel.
Pembentukan kompleks tersebut menyebabkan rusaknya membran sel karena
hilangnya kandungan isi sel di dalam sitoplasma. Kerusakan membran sel bersifat
20
irreversibel. Pada kadar rendah flavonoid dapat menyebabkan penetrasi fenol ke
dalam sel, yang pada akhirnya terjadi denaturasi protein (Pelczar dan Chan, 2008).
Mekanisme kerja flavonoid dalam menghambat pertumbuhan jamur yakni
dengan menyebabkan gangguan permeabilitas membran sel jamur. Gugus
hidroksil yang terdapat pada senyawa flavonoid menyebabkan perubahan
komponen organik dan transport nutrisi yang akhirnya akan mengakibatkan
timbulnya efek toksik terhadap jamur (Jupriadi, 2011 cit Sabir, 2005).
Komponen antibakteri lainnya adalah saponin yang merupakan produk
glikosida alam dengan berat molekul tinggi (Johnson, 2013). Saponin dibagi
menjadi tiga kelompok utama yaitu triterpenoid, steroid alkaloid dan
glikosilatsteroid (Saxena, 2013). Saponin dapat membentuk busa yang stabil pada
larutan encer seperti sabun. Mekanisme saponin sebagai agen antibakteri adalah
dengan cara berinteraksi dengan kolesterol pada membran sel dan menyebabkan
membran sel mengalami modifikasi lipid yang akan mengganggu kemampuan
bakteri untuk berinteraksi dengan membran yang sudah mengalami modifikasi
tersebut. Terganggunya interaksi antara bakteri dengan membran selnya akan
menyebabkan kemampuan bakteri untuk merusak atau berinteraksi dengan host
akan terganggu. Ketika membran sel terganggu, zat antibakteri akan dapat dengan
mudah masuk kedalam sel dan akan mengganggu metabolisme hingga akhirnya
terjadilah kematian bakteri (Karlina, 2013).
Saponin bersifat surfaktan yang berbentuk polar sehingga akan memecah
lapisan lemak pada membran sel yang pada akhirnya menyebabkan gangguan
permeabilitas membran sel, hal tersebut mengakibatkan proses difusi bahan atau
zat-zat yang diperlukan oleh jamur dapat terganggu, akhirnya sel membengkak
dan pecah (Sugianitri, 2001)
Selain flavonoid dan saponin, terdapat komponen lain yang memiliki daya
antibakteri yaitu tanin. Kemampuan tanin sebagai antibakteri dapat dilihat dari
aksinya pada membran. Menurut Vasconcelos et al., tanin dapat melewati
membran sel karena tanin dapat berpresipitasi pada protein. Tanin juga dapat
menekan jumlah beberapa enzim seperti glukosiltransferase. Dinyatakan oleh
Wolinsky et al., bahwa tanin juga dapat berikatan dengan asam lipoteikoit pada
21
permukaan sel S. mutans. Hal inilah yang mendukung daya antibakteri tanin
terhadap S. mutans.
Menurut Paiva (2010), komponen senyawa tunggal kurang memberikan
efek tapi kombinasi dari berbagai senyawa kimia seperti, flavonoid, tanin,
alkaloid, dan juga saponin yang bekerja secara sinergis dapat memberikan efek
yang lebih baik. senyawa flavonoid menyebabkan perubahan komponen organik
dan transport nutrisi yang akhirnya akan mengakibatkan timbulnya efek toksik
terhadap jamur (Jupriadi, 2011).
22
4.3. Data Hasil Penelitian
Har J
A ( 30:300) B (30:400) C (30:500) D (40:300) E (40:400) F (40:500) G (50:300) H (50:400) I (50:500
i (CONTROL)
1 5 Normal 5 Normal 5 Normal 5 Normal 5 Normal 5 Normal 5 Normal 5 Normal 5 Normal 5 Normal
2 5 Normal 5 Normal 5 Normal 5 Normal 5 Normal 5 Normal 5 Normal 5 Normal 5 Normal 5 Normal
3 4 Normal 1 2 Mengkerut 4 Normal 1 4 Normal 1 5 Normal 5 Normal 1 Busuk 2 5 Normal 5 Normal 3 Normal 2
Mengkerut 3 Normal Busuk mengkerut Mengkerut Mengkerut
2 Normal
4 4 Normal 1 2 Mengkerut 4 Normal 1 4 Normal 1 5 Normal 5 Normal 1 Busuk 2 5 Normal 5 Normal 3 Normal 2
Mengkerut 3 Normal Busuk mengkerut Mengkerut Mengkerut
2 Normal
5 3 Normal 2 3 Normal 2 3 Normal 1 3 Normal 2 4 Normal 1 4 Normal 1 1 Normal 2 4 Normal 1 5 Normal 3 Normal 2
Mengkerut Mengkerut Mengkerut 1 Menkgerut Mengkerut Mengkerut Mengkerut Mengkerut Mengkerut
Busuk 2 Busuk
6 3 Normal 1 3 Normal 2 3 Normal 1 3 Normal 2 3 Normal 2 4 Normal 1 1 Normal 2 4 Normal 1 5 Normal 3 Normal 2
Mengkerut Mengkerut Mengkerut 1 Menkgerut Mengkerut Mengkerut Mengkerut Mengkerut Mengkerut
1 Busuk Busuk 2 Busuk
7 3 Normal 1 2 Normal 3 3 Normal 1 3 Normal 2 3 Normal 2 4 Normal 1 1 Normal 2 4 Normal 1 5 Normal 3 Normal 2
Mengkerut Mengkerut Mengkerut 1 Mengkerut Mengkerut Busuk Mengkerut Mengkerut Mengkerut
23
1 Busuk Busuk 2 Busuk
8 2 Normal 2 2 Normal 3 2 Normal 1 3 Normal 2 3 Normal 2 4 Normal 1 3 3 Normal 2 5 Normal 2 Normal 3
Mengkerut Mengkerut Mengkerut 2 Mengkerut Mengkerut Busuk Mengkerut Mengkerut Mengkerut
1 Busuk Busuk 2 Busuk
9 1 Normal 3 2 Normal 3 2 Normal 1 2 Normal 1 1 Normal 2 3 Normal 1 3 3 Normal 2 4 Normal 1 1 Normal 3
Mengkerut Mengkerut Mengkerut 2 Mengkerut 2 Mengkerut Mengkerut Mengkerut Mengkerut Mengkerut Mengkerut 1
1 Busuk Busuk Busuk 2 Busuk 1 Busuk 2 Busuk Busuk
10 4 2 Normal 3 2 Normal 1 2 Normal 1 1 Normal 2 3 Normal 1 3 3 Normal 2 4 Normal 1 1 Normal 2
Mengkerut Busuk Mengkerut 2 Mengkerut 2 Mengkerut Mengkerut Mengkerut Mengkerut Mengkerut Mengkerut 2
1 Busuk Busuk Busuk 2 Busuk 1 Busuk 2 Busuk Busuk
11 3 4 Mengkerut 4 Mengkerut 2 Normal 1 1 Normal 2 3 2 3 Normal 2 4 Normal 1 3 Mengkerut
Mengkerut 1 Busuk 1 Busuk Mengkerut 2 Mengkerut Mengkerut Mengkerut Mengkerut Mengkerut 2 Busuk
2 Busuk Busuk 2 Busuk 2 Busuk 3 Busuk
12 3 3 Mengkerut 4 Mengkerut 1 Normal 1 3 1 Normal 3 2 2 Normal 3 4 Normal 1 2 Mengkerut
Mengkerut 2 Busuk 1 Busuk Mengkerut 3 Mengkerut Mengkerut Mengkerut Mengkerut Busuk 3 Busuk
2 Busuk Busuk 2 Busuk 1 Busuk 3 Busuk
13 2 3 Mengkerut 3 Mengkerut 2 Mengkerut 3 2 3 1 2 Normal 3 4 Normal 1 1 Mengkerut
Mengkerut 2 Busuk 2 Busuk Busuk Mengkerut Mengkerut Mengkerut Mengkerut Busuk 3 Busuk
3 Busuk 3 Busuk 2 Busuk 4 Busuk
14 1 3 Mengkerut 3 Mengkerut 1 Mengkerut 4 2 2 1 1 Normal 4 3 Normal 1 5 Busuk
24
Mengkerut 2 Busuk 2 Busuk Busuk Mengkerut Mengkerut Mengkerut Mengkerut Mengkerut
4 Busuk 3 Busuk 3 Busuk 4 Busuk 1 Busuk
15 1 2 Mengkerut 2 Mengkerut 5 Busuk 1 2 5 Busuk 1 Normal 2 3 Normal 1 5 Busuk
Mengkerut 3 Busuk 3 Busuk Mengkerut Mengkerut Mengkerut Mengkerut
4 Busuk 4 Busuk 3 Busuk 2 Busuk 1 Busuk
25
4.4 Pembahasan Data Penelitian
Dari data percobaan tersebut buah cabai yang paling lama mengalami
pembusukan adalah perlakuan pada buah cabai yang dicelupkan ke dalam ekstrak
daun kersen dengan perbandingan 50 gr daun kersen ditambah 500 ml air. Karena
masing-masing komposisi seimbang dan antara banyaknya daun kersen dengan
pelarut air.
Sedangkan perlakuan terburuk yaitu buah cabai yang dicelupkan ke dalam
ekstrak daun kersen dengan dengan perbandingan ekstrak 50 gr : 300 ml air
karena pada perbandingan tersebut memiliki tingkat kekentalan yang sangat
tinggi. Apabila diaplikasikan pada cabai yang memiliki pori-pori yang sangat
kecil maka daya serap cabai akan lebih lama dan cabai akan cenderung lebih
lembab. Kelembaban inilah yang pada akhirnya akan memicu pertumbuhan jamur
sehingga cabai mengalami pembusukan.
Pada sampel J, yaitu cabai yang tidak mendapatkan perlakuan dengan
ekstrak daun kersen mengalami pembusukan lebih awal. Hal ini dikarenakan
adanya mikroba yang terbawa sejak pemanenan dan pada saat pendistribusian.
Kesimpulannya bahwa pada daun kersen mengandung senyawa flavonoid
berperan dalam pertahanan diri terhadap hama, penyakit, herbivori, kompetisi,
interaksi dengan mikrobia. Sehingga cabai yang mendapat celupan ekstrak daun
kersen lebih bertahan terhadap interaksi dengan mikroba pembusuk.
26
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Kesimpulan dari penelitian ini adalah : proses ekstraksi daun kersen dapat
dilakukan dengan cara pengambilan dan pengumpulan sampel. sortasi.
pengeringan dan print treatment, proses ekstraksi digesti. penyaringan dan
pengumpulan ekstrak.
Zat antifungi daun kersen antara lain flavonoid, saponin, dan tannin.
Mekanismenya dalam menjaga kontaminasi fungi adalah Flavonoid akan
membentuk kompleks dengan protein membran sel. Pembentukan kompleks
tersebut menyebabkan rusaknya membran sel karena hilangnya kandungan isi sel
di dalam sitoplasma. Kerusakan membran sel bersifat irreversibel. Pada kadar
rendah flavonoid dapat menyebabkan penetrasi fenol ke dalam sel, yang pada
akhirnya terjadi denaturasi protein. kerja tanin sebagai antimikroba berhubungan
dengan kemampuan tanin dalam menginaktivasi adhesin sel mikroba yang
terdapat pada permukaan sel. Sedangkan Saponin bersifat surfaktan yang
berbentuk polar sehingga akan memecah lapisan lemak pada membran sel yang
pada akhirnya menyebabkan gangguan permeabilitas membran sel, hal tersebut
mengakibatkan proses difusi bahan atau zat-zat yang diperlukan oleh jamur dapat
terganggu, akhirnya sel jamur membengkak dan pecah.
Ekstrak paling optimal adalah perbandingan 50 gr : 500 ml air, karena
masing-masing komposisi seimbang dan antara banyaknya daun kersen dengan
air. Semakin banyak komposisi jumlah ekstrak daun kersen mengandung tannin,
flavonoid, dan saponin. Ini yang menjadi penghambat pertumbuhan jamur pada
proses penyimpanan cabai yang telah dicelupkan dengan ekstrak daun kersen.
27
5.2 Saran
Saran-saran yang diperlukan pada penelitian ini adalah:
1. Pembuatan fungisida organik berbahan dasar selain daun kersen oleh peneliti
lain.
2. Pemerintah peduli dan juga mengembangkan penelitian anak bangsa.
3. Penelitian ini dapat menjadi landasan untuk penelitian selanjutnya.
28
DAFTAR PUSTAKA
A.R.As-Syakur.2007.InterpretasiCitraPenginderaanJauh.
http://mbojo.wordpress.com/2007/07/22/interpretasicitrapengindraanjauh/
A.R.AsSyakur/InterpretasiCitraPenginderaanJauh/. Diakses pada tanggal 12
desember 2012
Anonim.2010.BudidayaCabaiHibrida.
http://www.tanindo.com/budidaya/cabe/cabehibrida.htm. Diakses pada
tanggal 03 Mei 2010.
Anonimus. 2012. Situs dunia tumbuhan. Tersedia di: http://www.plantamor.com.
Barnet HL, Hunter BB. 1998. Illustrated Genera of Imperfect Fungi. Fourth
Edition. Minnesota: APS Press The American Phytopathological Society.
Balitbangtan. 2001. Penanganan Pasca Panen Cabe Merah
Binawati, D. K., dan Amilah, S. 2013. Effect of Cherry Leaf (Muntingia calabura
L.) Bioinsecticides Extract Towards Mortality of Worm Soil (Agrotis
ipsilon) and Armyworm (Spodoptera exiqua) on Plant Leek (Allium
fistolum). Wahana, 61(2):51-57.
BPS [Badan Pusat Statistik]. 2011. Luas panen, Produksi, dan Produktivitas Cabai
Merah. http://www.bps.go.id/tab_sub/vieu.p hp. [2013]
Bobbarala, V. 2012. Antimicrobial Agents. Intech, Croatia.
Cavalieri, S J., Rankin I D., Harbeck R J., Sautter R S., McCarter Y.S., Sharp S
E.,Ortez J H and Spiegel C A (2005). Manual of Antimicrobial
Susceptibility Testing. American Society for Microbiology, USA.
Cushnie, T.P.T., dan A.J. Lamb. 2005. Antimicrobial Activity of Flavonoids.
International Journal of Antimicrobial Agents. 26: 343 – 356.
Dalimarta setiawan. 2000. Atlas Tumbuhan Obat Indonesia. Bogor: Trubus
Agriwidya
Djojosumarto. 2000. Fungisida. Sumatera: Universitas Sumatera Utara.
Herawati Nani. et al., 2013. Potensi Ekstrak Tumbuhan Tingkat Tinggi Sebagai
Pestisida Alami Terhadap Patogen Fusarium, Sp Penyebab Beberapa
Penyakit Pada Tanaman. Madura: Jurnal Fakultas Pertanian Universitas
Trunojoyo.
29
Hayati, E. K., Ghanaim, F. A., dan Lailis, S. 2010. Fraksinasi dan Identifikasi
Senyawa Tanin pada Daun Belimbing Wuluh (Averrhoa bilimbi L. ). Jurnal
Kimia, 4(2):193-200.
Harbone, J. B. 1987. Metode Fitokimia: Penuntun Cara Modern Menganalisis
Tumbuhan. ITB Press, Bandung
Harborne, J.B. 1996. Metode Fitokimia: Penuntun Cara Modern Menganalisa
Iskandar Y, Rusmiati D, Rusma RD. Uji efektivitas antibakteri ekstrak etanol
rumput laut terhadap bakteri Escherichia coli dan Bacillus cereus (skripsi).
Bandung: Fakultas MIPA Universitas Padjajaran; 2010.
Kartikasari, O.D., 2013. Isolasi dan Identifikasi Spesies Kapang Kontaminan
dalam Buah Tomat (Lycopersicon esculentum Mill.) Varietas Ratna dan
Varietas Arthaloka di Beberapa Pasar Kota Malang. Malang: Skripsi.
Fakultas MIPA. Universitas Malang.
Lawrence R, Tripathi P, Jeyakumar E. Isolation, purification and evaluation of
antibacteial agents from Aloe vera. Brazilian Journal of
Microbiology.2009;40(4):1-4.
Markham, K.R., 1988, Cara Mengidentifikasi Flavonoid, diterjemahkan oleh
Kosasih Padmawinata, 15, Penerbit ITB, Bandung.
Mintowati Evi K, Fitriyana S., Dewi Maria .A.2013.Struktur Anatomi dan Uji
Aktivitas Antioksidan Ekstrak Metanol Daun Kersen.Fakultas
Mipa.Universitas Lambung Mangkurat.Lampung.295hlm.
Murniati S, Setyono, A.A Sjarif.2013. Analisis korelasi dan sidik lintas peubah
pertumbuhan terhadap produksi cabai merah (capsicum annuum l.)Fakultas
Pertanian.Universitas Djuanda Bogor. 121 hlm.
Martoredjo, T. 2010. Ilmu Penyakit Pasca Panen. Bumi aksara. Jakarta.
Manis. S. 2017. Pengertian Tumbuhan Dikotil, Ciri, Jenis dan Contoh Tumbuhan
DikotilLengkap.Tersedia di: http://www.pelajaran.co.id/2017/02/pengertian-
tumbuhan-dikotil-ciri-jenis-dan-contoh-tumbuhan-dikotil.html
Mutiarawati tino.2010. Penanganan Pasca Panen Hasil Pertanian. Fakultas
Pertanian, Universitas Padjadjaran
30
Pendit, P. A. C. D., Elok Z., dan Feronika H. S. 2016. Karakteristik Fisik-Kimia
Dan Aktivitas Antibakteri Ekstrak Daun Belimbing Wuluh (Averrhoa
bilimbi L). Jurnal Pangan dan Agroindustri, 4(1) : 400409.
Purwanto J. 2007. Bertanam Cabai Rawit Di Pekarangan. Jakarta: CV. Sinar
Cemerlang Abadi
Pantastico, E.R.B., A.K. Mattoo, T. Murata, K. Ogata. 1986. Kerusakan-
Kerusakan karena Pendinginan dalam Fisiologi Pasca Panen dan
Pemanfaatan Buah-Buahan dan Sayur-Sayuran Tropika dan Subtropika.
Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Purwanto, Y.A., S. Oshita, Y. Makino, Y. Kawagoe. 2011. Indication of Chilling
Injury symtompsin Japanese cucumber (Cucumis sativus L.) based on The
Change in ion leakage. Indonesian Journal of Agricultural
Engineering.Vol.26, 1.
Robinson, T. 1995. Kandungan Senyawa Organik Tumbuhkan Tinggi. ITB Press,
Bandung.
Rusdita,A Qisthi Wahida.2016.Hubungan higiene perorangan dan cara
penyemprotan pestisida dengan tingkat keracunan pestisida yang dapat
diketahui dari aktifitas cholinestrase dalam darah petani Di Dusun
Banjarrejo, Desa Kembang Kuning, Kecamatan Cepogo, Kabupaten
Boyolali.Boyolali:Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Samadi, B. 2004. Budidaya Cabai Merah Secara Komersial. Yayasan Pustaka
Nusantara.Yogyakarta
Sudirman, T. A. 2014. Uji Efektivitas Ekstrak Daun Salam (Eugenia polyantha)
terhadap Pertumbuhan Staphylococcus aureus Secara In Vitro. Skripsi S1,
Fakultas Kedokteran Gigi, Universitas Hasanuddin, Makasar.
Sunarmani (2012). Teknologi Penanganan Pascapanen Cabai. Makalah Pelatihan
Spesialisasi Widyaiswara 9-15 April 2012. BBPP Pascapanen Pertanian,
Bogor.
Sunyoto, M., Fettiyuna, dan Tiara, J. 2016. Kajian Iradiasi Sinar Gamma
Terhadap Karakteristik Cabai Rawit (Capsicum Frutescens L.) untuk
Memperpanjang Masa Simpan. Fakultas Teknologi Industri Pertanian,
Universitas Padjadjaran,
31
Semangun, H. 2007. Penyakit-Penyakit Tanaman Hortikultura di Indonesia. Gajah
Mada University Press. Yogyakarta.
Tumbuhan. Terbitan Kedua. ITB. Bandung. Hal: 123-129.
Yani S & A Ratriningsih, 2011, Pengeringan Cabai, Penebar Swadaya, Jakarta
.Zakaria, Z.A. 2007. Free Radical Scavenging Activity of Some Plants Available
in Malaysia. Iranian Journal Of Pharmacoglogy & Therapeutics. 6: 87-91.
Diakses tanggal 28 November 2018.
32
LAMPIRAN-LAMPIRAN
ALAT PENELITIAN
33
air
Blender
Gelasukur
Wadahekstrak Oven
Corongkaca
Thermometer
34
BAHAN PENELITIAN
No Fungsi senyawa
Jenis Senyawa
Derivat Fungsi
Flavonon Isoflavon Auron
Flavonol Melindungi struktur sel,
Flavonon meningkatkan efektivitas
1. Flavonoid
Isoflavon vitamin C, anti-inflamasi,
Auron mencegah keropos tulang
dan sebagai antibiotic
Memiliki aktivitas
farmakologi diantaranya
adalah astringent, healing,
Tannin antiseptik, antioksidan dan
anti mikroba patogen
(Tedjulaksana, Regina:
2013)
35
Mempunyai aktivitas
farmakologi antara lain:
antibakteri, antijamur, anti
tumor, anti mutagen, anti
Triterpenoid fungi, dan anti virus
Saponin
Steroid (LacailleDubois dan
Wagner, 1996 dalam
Tania 2011).
Pengambilan Sampel
Daun Kersen Sortasi Daun Kersen
Daun Kersen Dicuci
Dengan Air Mengalir
36
37
Lampiran 4. Dokumentasi Percobaan Action Terhadap Tanaman Toma
Lampiran 5. Hasil Pembusukan Cabai Pada Ekstrak Daun Kersen Hari ke-15
38
30:300 30:500
30:400
40:400 40:500
40:300
39
Tanpa perlakuan
40
Lampiran 6. Grafik Pengamatan Pembusukan Pada Cabai
0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
42
SAMPEL G ( 50 : 300 )
6
0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
SAMPEL H ( 50 : 400 )
6
0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
43
SAMPEL J (CONTROL)
6
0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
44
Lampiran 7. Hasil Uji Saponin
45
Lampiran 8. Daftar Riwayat Hidup Ketua
Mengetahui,
Kepala Madrasah Siswa
46