Fajar Manik
F1D219005
Fajar Manik
F1D219005
Menyetujui
Jambi, September
2023
Pembimbing Utama Pembimbing Pendamping Pemohon,
Mengetahui,
Ketua Program Studi Teknik Geologi
Fajar Manik
DAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR TABEL
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Batubara merupakan sumber daya alam yang menjadi salah satu komoditas
utama penghasil energi di Indonesia. Namun, batubara sendiri merupakan sumber
energi tidak terbarukan apabila dieksploitasi secara terus-menerus (Azmi, 2014).
Untuk menjaga ketahanan pasokan energi perlu dilakukannya peningkatan
kegiatan eksplorasi untuk mencari potensi baru pada batubara. Salah satunya yaitu
gas non konvesional berupa gas metana batubara yang terdapat di dalam lapisan
batubara. Cadangan gas metana batubara Indonesia tersebar dalam 11 cekungan.
Dengan cadangan 453,3 TCF, Indonesia termasuk nomor 6 di dunia, berdasarkan
evaluasi yang dilakukan Advanced Resources International, Inc (ARI) tahun 2003
(PSDMBP, 2012).
Gas metana pada batubara tersimpan di micropores (matriks) dan cleat
sebagai jalur yang membuat gas metana tidak statis. Reaksi kimiawi dan biologi
pada batubara dapat menghasilkan gas metana batubara. Lapisan batubara
berperan sebagai source rock dan reservoir rock sehingga batubara disebut
sebagai self sourching reservoar. Karena lapisan batubara mempunyai permukaan
butiran yang relatif besar, maka batubara dapat menyimpan gas hingga 6 –7 kali
lebih besar daripada batuan dalam reservoir gas konvensional (Moore, 2008).
Menurut Simandjuntak dkk (1991) Formasi geologi yang memiliki potensi
lapisan batubara di Pulau Sumatra cukup luas adalah formasi muaraenim (Tmpm).
Formasi muara enim merupakan formasi pembawa batubara utama di cekungan
Sumatra selatan. Penyebaran formasi ini sangat luas meliputi wilayah Provinsi
Sumatra Selatan, Provinsi Jambi, dan sedikit di Provinsi Riau dan Provinsi
Lampung. Akumulasi gas in place akan terdapat paling banyak pada batubara
peringkat bituminous. Keunikan batubara dengan peringkat bituminous memiliki
kandungan air yang semakin sedikit, nilai porositas yang semakin rendah dan
dapat membentuk gas metana secara biogenik, berbeda dengan batubara dengan
peringkat antrasit yang mengalami tekanan yang lebih besar yang mempengaruhi
ruang berupa rekahan dalam lapisan batubara (Linggadipura et al, 2016).
Pada tahap eksplorasi gas metana batubara cleat merupakan fraktur pada
batubara sebagai jalur aliran gas dari matriks ke lubang sumur produksi (Laubach
dkk, 1988). Cleat berupa rekahan yang berkembang pada lapisan batubara dan
bertindak sebagai parameter utama dalam mengendalikan kinerja permeabilitas di
lapisan batubara. Secara bentuknya cleat dibedakan menjadi dua yaitu face dan
butt cleat. Mengumpulkan data karakteristik digunakan untuk mengetahui atribut
cleat terdiri dari orientasi cleat, hubungan antara jarak cleat, aperture, dan tinggi
cleat, interpretasi untuk cleat density, cleat volume dan permeabilitas. Data lalu
dianalisis sehingga dapat menjadi indikator potensi gas metana pada daerah
penelitian (Apriyani et al, 2013).
Oleh karena itu, berdasarkan keterdapatan lapisan batubara pada site
pertambangan PT. Tambang Bukit Tambi, peneliti ingin melakukan penelitian
untuk mengetahui proses geologi daerah penelitian dan menganalisis cleat serta
mengaitkan pengaruhnya sebagai indikator menentukan potensi coalbed methane
pada daerah penelitian. Berdasarkan uraian tersebut, penulis tertarik melakukan
penelitian dengan judul Geologi dan Analisis Cleat Sebagai Indikator Potensi
Coalbed Methane (CBM) di PT. Tambang Bukit Tambi, Kabupaten
Batanghari, Provinsi Jambi.
1.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana kondisi geologi daerah penelitian ?
2. Bagaimana karakteristik cleat di daerah penelitian ?
3. Bagaimana pengaruh cleat sebagai indikator potensi coalbed methane
batubara didaerah penelitian?
1.3 Maksud dan Tujuan
Kegiatan penyusunan proposal permohonan tugas akhir ini dimaksudkan
untuk memproleh gelar sarjana S1 ( Strata 1) pada Program Studi Teknik Geologi
Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Jambi. Selain itu dalam pelaksanaan
penelitian juga dimaksud agar penulis dapat meningkatkan ilmu pengetahuan dan
wawasan serta dapat menerapkan ilmu dan teori yang diproleh selama proses
pembelajaraan dan pendidikan dimasa perkuliahaan yang nantinya akan
diaplikasikan ke dalam lingkungan kerja yang sebenarnya.
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam pelaksanaan kegiatan penelitian
ini antara lain sebagai berikut.
1. Mengetahui geologi daerah penelitian meliputi geomorfologi, statigrafi
dan struktur geologi serta susunan batuan pada daerah penelitian.
2. Mengetahui karakteristik cleat pada lapisan batubara melalui hasil data
lapangan dan analisis di laboratorium.
3. Untuk menentukan potensi coalbed methane melalui karakteristik cleat
sebagai indikatornyaa di daerah penelitian
1.4 Lokasi Kesampaian Daerah Penelitian.
Secara adminstrasi daerah telitian berada di area wilayah Desa Padang
Kelapo, Kecamatan Muaro Sebo Ulu, Kabupaten Batanghari, Provinsi Jambi.
Daerah penelitian berbatasan dengan Kabupaten Tebo dan Kabupaten Merangin,
Provinsi Jambi. Gambar ( 1.1).
Lokasi penelitian berada di area konsesi perusahaan PT. Tambang Bukit
Tambi, Kabupaten Batanghari, Provinsi Jambi. Berada daerah desa Padang
Kelapo dimana daerah penelitian berada pada zona UTM 48S dengan posisi X :
255699 sampai 257410 dan Y: 9805202 sampai 9806872. Untuk area dan luas
kavling pemetaan dan penelitian ditentukan oleh pihak perusahaan. Jarak tempuh
yang dilalui melalui jalur darat berkisar 180 km dari Universitas Jambi, Mendalo
Darat ke Desa Padang Kelapo. Akses yang hanya dapat ditempuh dengan jalur
menggunakan sepeda motor atau mobil dan memerlukan waktu berkisar ± 4 jam.
Mobilitas di dalam WIUP PT. Tambang Bukit Tambi sendiri dibantu
menggunakan tranportasi milik perusahaan yang diizinkan dilingkungan tambang.
Kab. Batanghari
Kab. Kerinci
Kab. Merangin
Fajar Manik ( F1D219005)
Kab. Sarolangun Legenda
Wilayah Penelitian
Lokasi Penelitian
Geologi Batubara
Peneliti Fisiografi Struktur Tektonik Statigrafi Analisis cleat Coalbed
Geologi Methane (CMB)
Hamilton. 1979
Manik, 2023
Keterangan :
: Sudah diteliti
: Akan diteliti
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Geologi Regional
2.1.1 Fisiografi
Pulau sumatera yang secara fisiografi yang berarah baratlaut- tenggara
merupakan perpanjangan keselatan dari Lempeng Benua Eurasia, tepatnya berada
pada batas barat dari Laut Sundaland (Daratan Sunda). Posisi Pulau Sumatera
bersebelahan dengan batas antara Lempeng Samudera India-Australia dan
Daratan Sunda. Subduksi kedua lempeng ditandai oleh sistem pengunungan
Sunda (Sunda Arc System) yang aktif dan memanjang dari Burma di utara hingga
selatan, dimana lempeng Australia mengalami tabrakan (collision) dengan bagian
timur Indonesia (Van Bemmellen, 1949).
Berdasarkan klasifikasi Van Bemmelen (1949), Fisiografi Pulau Sumatera
dibagi menjadi 6 zona. Dapat dilihat pada gambar dibawah.
Gambar 2.1. Pembagian Zona Fisiografis Pulau Sumatra mengacu dari Van
Bemmelen (1949).
Zona bukit Tigapuluh merupakan suatu zona yang terisolasi dengan
bentuk morfologi yang telah mengalami rendahan kearah timur, morfologi
berbentuk kubah ataupun tinggian dari bagian sesar turun disebut dengan horst
dengan panjang zona 90 km dengan lebar 40 km dan puncak tertinggi mencapai
722 km di Cengembung.
Zona Bukit Barisan merupakan zona perbukitan yang memanjang dengan
arah orientasi Tenggara-Baratlaut dengan panjang ±1.650 km dengan lebar 100
km. Puncak tinggian dari zona ini adalah puncak Inderapura yang berada di
gunung Kerinci dengan tinggian ±3.800 mdpl. Umumnya zona ini berasosiasi
dengan gunung aktif yang berada dijalur Bukit Barisan. Pola ini dinterpretasikan
sebgai zona yang terbentuk akibat geotektonik sistem pengunungan sunda yang
awalnya memiliki arah Tenggara-Baratlaut menjadi Barat-Timur yang berada di
pulau Jawa.
Zona Sesar Sumatera atau Zona Sesar Semangko adalah Zona yang
memiliki pola memanjang dimana pola zona ini mengikuti Fisiografi dari Bukit
Barisan. Pada zona ini yang dominan adalah patahan geser yang arah gerakannya
mendatar ke kanan, zona ini merupakan Geoantklin yang memanjang dengan
bentuk depresi. Zona Sesar Semangko ini memanjang dimulai dari Semangko
(Sumater Selatan- Lampung) hingg ke bagian Barat Laut di Kotaradja Aceh yang
merupakan suatu lembah dan batas akhir dari zona ini.
Zona Dataran Rendah dan Berbukit dicirikan morfologi perbukitan
homoklin dengan elevasi 200-500 mdpl dan tersebar luas dipantai timur pulau
Sumatera. Zona Kepulauan Busur Luar, merupakan kepulauan yang terangkat
akibat adanya interaksi lempeng India- Australia dan lempeng Eurasia.
Memanjang mulai dari pulau Nias, Simelue, Pagai, Mentawai dan Tanibar.
Zona Papaparan Sunda, merupakan lempeng mikro dan bagian dari
lempeng Eurasia. Zona ini mencakup Laut Cina Selatan, Laut Adaman,
Semenanjung Malasyia, Kalimantan, Sumatera, Jawa dan Sulawesi.
Menurut pembagian zona Van Bammelen (1949), daerah penelitian
termasuk Zona Dataran Rendah dan Berbukit, berbatasan dengan Zona Bukit
Barisan dibagian barat, berbatasan dengan Zona Pegunungan Tigapuluh di utara,
dan berbatasan dengan Zona Papapran Sunda dibagian timur. Letaknya termasuk
kedalam Cekungan Sumatra Selatan berumur Tersier dan terbentuk hasil interaksi
antara Paparan Sunda dan Lempeng Samudera Hindia. Batas-batas cekungan ini
terdiri dari Paparan Sunda disebelah Timur, Bukit Barisan disebelah barat,
Tinggian Lampung disebelah selatan dan Perbukitan Tigapuluh disebelah utara.
2.1.2 Tatanan Tektonika
Pergerakan dua lempeng antar lempeng Benua (Paparan Sunda) dan
lempeng Samudera Hindia (Hindia-Australia) yang bertumbukan telah
menyebabkan adanya zona tunjaman miring yang berada sepanjang Palung Sunda,
luar pantai barat Sumatera. Pergerakan penunjaman yang terjadi diperkirakan
sejak Perem Akhir, sehingga menghasilkan terbentuknya busur magmatik.
Dampak dari penunjaman ini secara berkala dilepaskan melalui sesar geser
mendatar menganan searah tepi lempeng awal dari terbentuknya Sistem Sesar
Besar Sumatera (Hamilton, 1979).
Pulau Sumatra terbagi menjadi tiga fase tektonik sebagai akibat dari
penunjaman lempeng antara lempeng Samudera Hindia (Hindia-Australia dengan
Lempeng Eurasia . Fase pertama merupakan fase kolisi antara blok Sibumasu dan
Indochina (Devon-Permian) yang menghasilkan pergerakan sesar naik. Fase
kedua merupakan trancrrent system antara blok Sumatra Barat dan Sibumasu
Trias-Jura yang menghasilkan pergerakan sesar mendatar. Fase ketiga kembali
mengalami proses pengangkatan antara Blok Sumatra Barat dengan Blok Woyla
(Kapur Akhir)yang membentuk sesar naik (Barber dkk 2005), sedangkan Menurut
Pulonggono dkk (1992) peristiwa tektonik yang berperan dalam perkembangan
pulau Sumatera dan Cekungan Sumatera Selatan dibagi menjadi tiga kali fase
perubahan arah subduksi sehingga terbentuk tiga pola sesar utama. (Gambar 2.2).
Fase tektonik yang berkembang di Cekungan Sumatra Selatan menurut
Pulunggono et al, (1992) terjadi menjadi beberapa fase, yaitu:
1. Fase kompresional yang berlangsung dari (Jurasik awal – Kapur),
diakibatkan subduksi lempeng Samudra Hindia ke bawah lempeng Benua
Eurasia yang mengakibatkan pola tegasan simple shear di Cekungan
Sumatra Selatan ini. Sistem pola tegasan ini kemudian berkembang
menjadi sesar geser. Bekas pembentukan sesar geser menjadi zona lemah
salah satunya ditunjukkan terjadinya intrusi batuan granotoid . Tektonik ini
juga menghasilkan sesar mendatar seperti Sesar Lematang, Kepayang,
Saka dan Pantai Selatan Lampung terjadi wrench.
2. Fase ekstensional pada (Kapur Akhir – Tersier Awal ) pada fase ini
diakibatkan oleh penurunan kecepatan subduksi. Tahap ini merupakan
awal terbentuknya tinggian (horst) dan rendahan (graben) akibat
perubahan sistem tegasan utama yang berarah vertikal. Sesar mendatar
berubah menjadi sesar normal karena tegasan utama vertikal dikontrol oleh
gravitasi dan pembebanan. Ditandai dengan tersingkapnya Batugamping
dan Rijang ke permukaan. Hal ini juga diikuti oleh terbobosan Jura di
bagian timur serta terobosan Kapur di bagian barat. Selain terobosan ini
granitan tektonik kapur juga ditandai oleh pengangkatan regional,
metamorfisme dan pesesaran yang mengontrol pembentukan bukit barisan.
3. Fase ketiga berupa gerak kompresional pada (Miosen Tengah- Resen)
terjadi akibat Kecepatan subduksi pada tahap ini meningkat kembali dan
menyebabkan peremejaan sesar - sesar normal yang telah ada sebelumnya
menjadi sesar naik. Sehingga menyebabkan sebagian Formasi Air Benakat
dan Formasi Muara Enim menjadi tinggian tererosi, sedangkan pada
daerah yang relatif turun diendapkan Formasi Kasai. Selanjutnya, terjadi
pengangkatan dan pelipatan berarah baratlaut diseluruh daerah cekungan
yang mengakhiri pengendapan tersier di cekungan Sumatera Selatan.
Selain itu terjadi aktivitas vulkanisme pada cekungan belakang busur.
Gambar 2.2 Model Ellipsoid pada Pulau Sumatera dari Jura Akhir –
Resen Modifikasi (Pulunggono dkk,1992).
Menurut Hamilton (1979), Samudera Hindia bergerak menunjam kearah
utara-timurlaut menunjam Lempeng Eurasia yang relatif diam dimana
penunjaman meliputi bagian barat Pulau Sumatra dan bagian Selatan Pulau Jawa.
Evolusi magma yang sebagai dampak dari penunjaman tersebut menghasilkan
busur gunung api Tersier sampai Resen yang merupakan bagian dari perbukitan
barisan di sepanjang pinggiran barat Pulau Sumatera. Keberadaan Busur
Gunungapi mengalami perpotongan dengan sistem sesar Sumatra yang
menyebabkan terbentuknya beberapa cekungan belakang busur seperti Cekungan
Sumatra Tengah dan Cekungan Sumatera Selatan. Cekungan Sumatera Selatan
termasuk kedalam cekungan belakang busur. Dampak lain dari efek penunjaman
lempeng mempengaruhi keadaan batuan, geomorfologi dan struktur geologi juga
terbentuknya ruang berupa half graben, horst dan blok sesar yang kemudian
membentuk cekungan-cekungan tersier. Menurut Barber (2005) Tektonik
ekstensional pada awal Eosen Akhir menyebabkan terbentuknya Cekungan
Sumatra Selatan yang dapat dibagi menjadi empat bagian. ( Gambar 2.3).
Gambar 2.3. Peta Cekungan Sumatra yang terbagi menjadi empat bagian
(Panggabean dan Lauty, 2012).
2.1.3 Struktur Geologi Regional
Sesar sumatera terbentuk pada zaman Miosen Tengah sebagai akibat dari
gerakan miring saat terjadi subduksi antara lempeng India- Australia dengan blok
sunda land sehingga bagian barat dari pulau Sumatera berarah baratlaut. Gaya ini
menimbulkan retakan yang panjang dan sejajar dengan batas antar lempeng atau
yang dikenal dengan Sesar Sumatera atau Sesar Semangko (Barber, 2005).
Gambar 2.4. Struktur Sumatera dan pergerakan lempeng tektonik (Barber, 2005).
Menurut Pulonggono (1984) Terdapat tiga fase dalam proses pembentukan
cekungan Sumatera Selatan dan secara umum berdasarkan sejarah struktur
geologi sama dengan pembentukan Sub-cekungan Jambi, antara lain:
1. Pembentukan graben karena adanya gaya ekstensi selama Paleosen akhir
hingga Miosen awal yang kemudian diisi endapan berumur Eosen sampai
Miosen awal.
2. Terjadi sesar normal selama Miosen awal hingga Pliosen awal dengan
pengendapan yang konstan.
3. Kompresi pada basemen, pembalikan cekungan, pembalikan dari sesar
normal yang terjadi pada Pliosen hingga Holosen yang merupakan cekungan
minyak utama yang terdapat pada cekungan Sumatera Selatan sehingga
membentuk antiklin. Untuk cekungan Jambi memiliki 2 struktur utama,
salah satu yang paling tua adalah berarah Timurlaut-Baratdaya yang
berkembang pada Formasi Lahat dan Formasi Talang Akar.
Simandjutak dkk, (1991) menjelaskan struktur geologi pesesaran pada lembar
Geologi Muaro Bungo pada pra-Tersier dan Tersier dapat dibagi menjadi empat
arah sesar dan kekar utama yaitu baratbaratlaut- timurtenggara, baratlaut-tenggara,
timurlaut-baratdaya, dan timurtitmurlaut-baratbaratdaya.
2.1.4 Statigrafi Regional
Keterbentukan stratigrafi cekungan Sumatera Selatan terdiri dari satu
siklus besar sedimentasi yang dimulai dari fase transgresi pada awal siklus dan
fase regresi pada akhir siklusnya. Kelompok fase transgresi disebut kelompok
Telisa yang terdiri dari Formasi Lahat, Talang Akar, Baturaja dan Formasi Gumai,
sedangkan kelompok fase regresi disebut kelompok Palembang yang terdiri dari
Formasi Air Benakat, Muara Enim dan Formasi Kasai.
Stratigrafi Cekungan Sumatera Selatan dibagi menjadi tiga kelompok yaitu
kelompok batuan Pra-Tersier, kelompok batuan Tersier serta kelompok batuan
Kuarter.
1. Batuan Pra-Tersier Batuan Pra-Tersier Cekungan Sumatera Selatan merupakan
dasar cekungan (Basement) .Batuan ini diketemukan sebagai batuan beku,
batuan metamorf dan batuan sedimen.Batuan Pra-Tersier ini diperkirakan telah
mengalami perlipatan dan patahan yang intensif pada zaman Kapur Tengah
sampai zaman Kapur Akhir dan diintrusi oleh batuan beku sejak orogenesa
Mesozoikum Tengah.
2. Batuan Tersier Urutan sedimentasi Tersier di Cekungan Sumatera Selatan
dibagi menjadi dua tahap pengendapan, yaitu tahap genang laut dan tahap susut
laut. Sedimen-sedimen yang terbentuk pada tahap genang laut disebut
Kelompok Telisa, dari umur Eosen Awal hingga Miosen Tengah terdiri atas
Formasi Lahat (LAF), Formasi Talang Akar (TAF), Formasi Baturaja (BRF),
dan Formasi Gumai (GUF). Sedangkan yang terbentuk pada tahap susut laut
disebut Kelompok Palembang dari umur Miosen Tengah – Pliosen terdiri atas
Formasi Air Benakat (ABF), Formasi Muara Enim (MEF), dan Formsi Kasai
(KAF). (Gambar 2.5).
Gambar 2.6. Peta Geologi dan Stratigrafi Daerah Penelitian dipotong dari Peta
Lembar Sungaipenuh dan Ketaun dalam Skala 1:250.000
modifikasi, dari Simandjutak, dkk (1991).
Gambar 2.7. Skema geometri batubara berdasarkan jenis cleat. (a) cleat yang
dilihat secara vertical (b) cleat yang dilihat dari sayatan (Laubach,
et al., 1998).
Menurut Ryan (2003), Berdasarkan genesanya, pembentukan cleat
batubara dibedakan menjadi dua yaitu cleat eksogenik dan cleat endogenik. Cleat
endogenik terbentuk akibat proses pembatubaraan dan pembebanan material
sehingga terjadi proses dewathering dan shrinkage yang membentuk rekahan–
rekahan dengan arah tegak lurus terhadap lapisan batubara. Endogenik
kemungkinan besar terbentuk ketika batubara berada pada kedalaman dangkal dan
tidak bertekanan berlebihan. Identifikasi tekanan berlebih pada lapisan, jika tidak
disertai dengan deformasi yang luas, dapat mengindikasikan suatu lingkungan di
mana gas yang dihasilkan selama pematangan mungkin terperangkap dalam
sedimen yang berdekatan. Oleh karena itu, gas akan tersedia untuk diadsorpsi oleh
batubara selama pengangkatan. Sedangkan, cleat eksogenik terjadi akibat
pengaruh struktur geologi berupa tektonik, perlipatan, dan sesar dan biasanya
terbentuk setelah terbentuknya cleat endogenik sehingga belum tentu tegak lurus
terhadap lapisan batubara. Berbeda dengan cleat endogenetik, cleat ini dapat
terbentuk akibat kompresi sehingga cenderung menghasilkan bubuk batubara,
yang dapat bermigrasi dan merusak permeabilitas. Pengalaman di Rusia
menunjukkan bahwa peningkatan perkembangan rekahan eksogenetik pada
batubara semakin menurunkan permeabilitas hingga sulit untuk mengalirkan gas
metana (CH4) dari blok pertambangan bawah tanah. Menurut Jeremic (1986),
dalam Kuncoro (2012) membagi cleat berdasarkan genesanya yaitu endogenic
cleat, exogenic cleat, dan induced cleat. Pada induced cleat bersifat lokal akibat
tahap penambangan dimana adanya perpindahan beban ke dalam struktur tambang
atau karena pengaruh peledakan pada lapisan batubara.
Gambar 2.8. Model dari tegasan akibat struktur geologi dalam genesa
pembentukan jurus cleat (Modifikasi Ryan, 2003).
Perkembangan porositas/permeabilitas rekahan merupakan salah satu
parameter terpenting untuk produksi gas metana lapisan batubara yang efektif dan
ekonomis. Cleat yang melimpah meningkatkan permeabilitas dan berhubungan
dengan reservoir yang sangat retak. memodelkan permeabilitas batubara.
persamaan yang mewakili hubungan antara permeabilitas, banyaknya rekahan dan
bukaan rekahan dengan asumsi permeabilitas terjadi terutama melalui rekahan.
Menurut Lucia (1983) dalam sapiie (2014), menunjukkan bahwa permeabilitas
meningkat seiring dengan bertambahnya pangkat tiga bukaan rekahan dan
bervariasi dengan kebalikan dari jarak rekahan. Dimana matriks pada batuan
karbonat bersifat impermeable seperti halnya matrik pada batubara, sehingga
perhitungan permeabilitas pada batuan karbonat dapat diterapkan pada batubara
dengan komponen perhitungan meliputi W sebagai aperture cleat (cm) dan Z
sebagai spasi cleat (cm).
k = [84,4 x
105] w3 /
Keterangan :
k = Permeabilitas (mD)
w = bukaan rekahan / aperture (cm)
z = jarak rekahan / spacing (cm)
Selanjutnya persamaan diatas disederhanakan oleh Aguilera (1995) dalam
Apriyani, 2014) dengan mengkombinasikan terhadap hukum Darcy’s.
Kf = 8,35 x 106W2 Cubes,
k2 = (2/3)(KfW2/Z)
Match sticks, K2 = (1/2)(Kf W2/Z) ……….. ( persamaan 2.2)
sedangkan rumus perhitungan pendekatan permeabilitas berdasarkan
sistem cleat menggunakan rumus dari (Harpalani dan Chen, 1995) dalam (Suarez-
Ruiz dan Crelling, 2008) yang diadopsi untuk digunakan pada lapisan batubara.
dalam Ragil (2002), coalbed methane (CMB) yang tersimpan dalam cleat dan
pori batubara tersimpan berupa free gas, yang terlarut dalam air dalam batubara,
atau sebagai gas yang terabsorsi di permukaan butiran batubara.. Kedalaman yang
dibutuhkan untuk menghasilkan reservoir coalbed gas adalah kurang dari 4000
kaki. Karakteristik utama dalam CBM adalah permeabilitas karena gas dalam
lapisan batubara akan mengalir jika tekanan air diturunkan. Sebagian besar CBM
disimpan dalam struktur molekul batubara, sebagian lagi disimpan dalam rekahan
atau cleat batubara atau terlarut oleh air yang terperangkap dalam rekahan.
Sehingga makin banyak rekahan dan cleatnya, maka kemungkinan terdapatnya
CBM semakin besar. Methane akan mencapai permukaan batubara melalui
rekahan dan akan tetap berada di tempatnya karena adanya tekanan air. Ketika
tekanan air diturunkan, gas akan mengalir ke sumur bor atau bermigrasi ke
permukaan melalui rekahan.
Menurut Ayers (2002), batuan penutup dibutuhkan untuk mencegah gas
keluar dari batuan reservoir lapisan batubara. Batuan penutup biasanya berupa
batulempung, maupun shale. Proses pemerangkapan seperti pada sistem
petroleum secara konvensional tidak diperlukan pada sistem CBM, karena pada
sistem CBM, proses pemerangkapan gas metana terjadi akibat penarikan kebawah
(subordinate) oleh gaya gravitasi bumi, sehingga gas metana tetap tersimpan
dalam cleat maupun mikropori alam lapisan batubara. Menurut hidartan dkk,
(2010) Beberapa batasan yang dipilih dalam perhitungan potensi CBM, yakni :
1. Ketebalan lapisan batubara > 2 meter
2. Kedalaman 200 – 2200 meter
3. Rank batubara Lignit-Bituminous
4. Vitrinate reflectance 0.3-0.41%
2.2.4 Hubungan Cleat dan Coalbed Methane
Coalbed Methane yang termasuk dalam migas nonkovensional adalah
minyak dan gas bumi yang terkandung dalam batuan induk itu sendiri maupun
yang telah bermigrasi dan berkumpul pada batuan lainnya (reservoir) yang
berdekatan, dengan karakteristik permeabilitas rendah-sangat rendah.
Memproduksi migas nonkonvensional menggunakan teknologi produksi tersier
(tertiary oil recovery) dengan cara pemboran horizontal (horizontal drilling)
kemudian pembuatan rekahan dengan cara menembakkan fluida campuran air dan
zat kimia dalam lapisan target (hydraulics fracturing) sehingga minyak dapat
dialirkan melalui rekahan-rekahan tersebut dan dipompa ke atas permukaan.
Dalam pemanfaatan CBM pada lapisan batubara cleat menjadi jalur rekahan yang
membuat gas pada matriks menjadi tidak statis (Parwata, 2015).
Struktur geologi dan karakteristik geometri cleat akan menjadi rekahan-
rekahan yang memberi manfaat dalam eksplorasi dan pemanfaatan gas metana.
Bidang cleat berfungsi sebagai rongga pori, tempat akumulasi, dan lalunya gas
metan dan air atau sebagai saluran pokok untuk perpindahan gas metana dari
reservoir batubara. Permeabilitas gas metana yang melalui lapisan batubara sangat
dipengaruhi oleh frekuensi cleat dan derajat perkembangan fragmentasi cleat.
Berdasarkan penyelidikan yang lebih baik tentang orientasi cleat dan jenis
rekahan telah berhasil mempelajari parameter-parameter yang dapat menghasilkan
pengertian mendalam mengenai permeabilitas di dalam batubara. Ketika derajat
batubara meningkat, maka jarak antar cleat semakin rapat, pada akhirnya dapat
meningkatkan porositas efektif cleat dan permeabilitas. Batubara yang paling
produktif mengandung CMB adalah batubara yang banyak mengandung rekahan
(cleat) dan permeabilitasnya besar (Kuncoro, 2012).
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian
Lokasi penelitian secara geografis berada pada kordinat UTM X 255699-
257410 dan Y 9805102-9806802 UTM Zona 48S. Sementara secara adminstratif,
daerah penelitian ini berada Desa Padang Kelapo, Kecamatan Muaro Sebo Ilir,
Kabupaten Batang Hari, Provinsi Jambi. Penelitian pengambilan data berlangsung
selama 3 bulan dengan uraian pelaksanaan penelitian dari pengumpulan data
sekunder sampai penyusunan laporan akhir.
Tabel 3.1. Pelaksanaan Kegiatan Tugas Akhir
2023 2024
No. Kegiataan Juli- September Oktober November Desember Januari Februari Maret April
agustus
1. Studi literature
dan pengumpulan
data sekunder
2.
Persiapaan dan
orientasi
lapangan
3.
Pemetaan dan
pengambilan data
4. Pengolahan data
primer dan
sekunder
5. Analisis
laboratorium
6. Konsultasi dan
bimbingan
7. Penyusunan
Laporan
Gambar 3.1. Peta Tofografi daerah penelitian
3.2 Alat dan Bahan
Alat
Alat dan perlengkapan yang digunakan selama proses pengambilan data
lapangan terdiri dari:
1. Kompas geologi, digunakan untuk mengetahui arah mata angin, mengukur
struktur geologi dilapangan.
2. Global Positioning System (GPS) Garmin etrex 10, digunakan untuk
mengetahui kordinat titik lokasi pada area pengamatan.
3. Palu geologi tipe palu yang memiliki satu bagian yang pipih, palu tipe ini
digunakan untuk mengambil sampel batuan relatif tidak terlalu keras
seperti batuan sedimen.
4. Kamera, digunakan untuk mengambil gambar dilapangan sebagai data
pedukung atau dukumentasi.
5. Alat tulis, digunakan untuk mencatat semua data yang diproleh di
lapangan.
6. Pengaris, digunakan sebagai alat ukur untuk pengambilan data-data cleat
pada lapisan batubara.
7. Meteran, digunakan untuk melakukan pengukuran Measure Section (MS)
dan profil di lapangan.
8. Spidol permanen, digunakan untuk memberikan kode pada setiap sampel
batuan.
9. Peta tofografi, digunakan sebagai acuan dalam menentukan jalur lintasan
serta memproyeksikan hasil ploting dari GPS di setiap titik lokasi
pengamatan.
Beberapa bahan-bahan yang diperlukan selama pengambilan data dilapangan
antara lain sebagai berikut:
1. Larutan HCl, digunakan untuk mengetahui sifat karbonat pada batuan
2. Sampel batuan, digunakan untuk objek penelitian yang akan diamati serta
dianalisa secara petrografi.
3. Singkapan batuan dan cleat, sebagai objek penelitian.
4. Aplikasi ArGis dan RockWork.
3.3 Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan secara umum berupa survei lapangan dan
perolehan data lapangan, pemilahan data, perhitungan data, serta analisis dan
interpretasi statistik.. Metode survei yang dilakukan berupa survei pemetaan
geologi permukaan melalui observasi lapangan menggunakan jalur lintasan
tertentu. Observasi geologi di lapangan yang dilakukan meliputi orientasi medan
area penelitian, pengamatan geomorfologi, pengamatan singkapan, pengukuran
struktur geologi, dan pengambilan sampel batuan. Parameter geologi yang diambil
dilapangan berupa geomorfologi, pola aliran, litologi batuan, struktur geologi
dengan metode pengamatan, pengukuran langsung dilapangan dan interpretasi
peta. Sehingga diharapkan menghasilkan peta geologi, peta geomorfologi, peta
pola pengaliran dan peta pengamatan wilayah.
Perolehan data lapangan cleat memerlukan dua metode pengukuran metode
scan-line dan metode window dengan area 1x1 meter yang pengukurannya
dilakukan pada permukaan lapisan batubara bagian vertikal. Fokus objek untuk
mengetahui aspek kuantitatif dari cleat, meliputi analisa orientasi arah cleat,
aperture, spacing dan length. Lalu pengolahan data yang relatif besar dilakukan
metode analisis dengan geostatistik. Analisis geostatistik dapat mengkonversi data
georeferensiasi menjadi teks dan parameter statistik yang digunakan dalam
proyeksi stereografik cleat batubara dan interpretasi statistik yang optimum
dengan bantuan aplikasi.
Analisa yang dilakukan dari pengolahan data yang hasil lapangan dan di
laboratorium berupa analisis orientasi cleat, analisis jenis ganesa cleat, analisis
atribut cleat, perhitungan permeabilitas, analisis pengaruh peringkat dan
komposisi batubara pada cleat terhadap pembentukan potensi CMB berdasarkan
analisis proksimat dan ultimat, dan analisis mikro-cleat hasil SEM. Hasil analisis
cleat diharapkan dapat digunakan untuk menginterpretasi pembuatan peta potensi
gas metana pada batubara daerah penelitian.
3.4 Tahapan Penelitian
Tahapan Persiapan Pada tahap ini dilakukan persiapan sebelum melakukan
penelitian mulai dari mengurus segala keperluan dan admistrasi, serta mencari
informasi dan gambaran daerah penelitian secara umum. Tahap pendahuluan ini
diantaranya:
1. Adminstrasi
Pada tahap ini melakukan perizinan segala sesuatu yang menjadi syarat untuk
melakukan penelitian baik dari pihak Universitas Jambi maupun pimpinan
perusahaan tempat penelitian. mempersiapkan kelengkapan lapangan, diskusi
dengan pembimbing serta mempersiapkan peta administrasi, peta geologi
tentatif, pada kelurusan dan peta pola aliran sebagai acuan selama pemetaan
pada daerah penelitian.
2. Peta Sekunder
Pada tahap ini menyiapkan peta-peta dasar berupa peta tofografi, peta geologi
regional, peta pola pengaliran, dan DEM kemudian di overlay sehingga menjadi
peta rencana lintasan
3. Studi Pustaka
Pada tahap ini dimana tahapan berupa riset untuk mengumpulkan dan
mempelajari informasi umum mengenai kondisi geologi didaerah penelitian
dengan merujuk pada beberapa buku, jurnal, penelitian tugas akhir, makalah
ilmiah maupun peneliti-peneliti dahulu yang tidak dipublis seperti data-data
perusahaan lokasi penelitian. Selain itu, juga dibutuhkan studi literatur yang
berkaitan erat dengan topik penelitian untuk memproleh gambaran umum serta
memperkuat metode penelitian yang akan digunakan.
4. Alat dan Perlengkapan
Menyiapkan segala alat dan perlengkapan demi kelancaraan pemetaan
dilapangan yang akan digunakan dalam penelitian ini seperti yang telah
dijabarkan yaitu berupa kompas, palu geologi, kamera, alat tulis dan lainnya.
5. Data Sekunder
Data sekunder yang digunakan pada penelitian ini berupa data tata guna lahan,
data daerah aliran sungai, data batas-batas wilayah perusahaan, dan data rawan
bencana disekitar daerah penelitian.
Studi Literatur
- Surat izin
- Fisiografi - Peta Tofografi
- Luasan Lokasi - Tektonik dan Sruktur Geologi - Peta Geomorfologi
penelitian - Statigrafi - Peta Pola Pengalira
- Geomorfologi
- Peta Geologi Tentatif
Data Morfologi Data Struktur Geologi Data Geologi Data Atribut Cleat