Anda di halaman 1dari 48

Proposal Usulan Penelitian

GEOLOGI DAN ANALISIS CLEAT SEBAGAI INDIKATOR


POTENSI COALBED METHANE (CBM) DI PT. TAMBANG
BUKIT TAMBI, KABUPATEN BATANGHARI, PROVINSI
JAMBI

Fajar Manik
F1D219005

PROGRAM STUDI TEKNIK GEOLOGI


JURUSAN TEKNIK KEBUMIAN
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS JAMBI
2023
HALAMAN PENGESAHAN
Diajukan untuk memenuhi persyaratan tugas akhir guna menjalankan kurikulum
akademik di Program Studi Teknik Geologi, Jurusan Teknik Kebumian, Fakultas
Sains dan Teknologi, Universitas Jambi

Fajar Manik
F1D219005

Menyetujui
Jambi, September
2023
Pembimbing Utama Pembimbing Pendamping Pemohon,

Dedy Antony, SP.,M.Si.,Ph.D Rakhmatul Arafat, M.T Fajar Manik


NIP. 197809202005011002 NIP. 199106212022031008 F1D219005

Mengetahui,
Ketua Program Studi Teknik Geologi

Anggi Deliana S, S.T.,M.T


NIP. 198912172019032014
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan atas kehadirat Tuhan yang Maha Esa yang
telah memberikan kesempatan dan kesehatan kepada penulis sehingga penulis
dapat menyelesaikan proposal penelitian ini. Pada kesempatan ini penulis juga
mengucapkan banyak terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu
dalam penyusunan proposal pengajuan Tugas Akhir. Dalam kesempatan ini
penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. Ibu Anggi Deliana S, S.T.,M.T selaku ketua program studi Teknik Geologi
Universitas Jambi.
2. Dosen Pembimbing Tugas Akhir
3. Dosen Teknik Geologi Universitas Jambi
4. Kedua Orang tua atas senantiasa mendoakan dan bantuan finansial untuk
menyeselesaikan proposal Tugas Akhir ini.
5. Rekan-rekan mahasiswa Teknik Geologi Universitas Jambi yang telah
memberikan dukungan dan motivasi dalam penulisan proposal ini.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam proposal
pengajuan Tugas Akhir ini. Oleh karena itu, segala kritikan dan saran yang
membangun sangat diharapakan dan akan penulis terima dengan baik.

Jambi, September 2023


Penyusun,

Fajar Manik
DAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR TABEL
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Batubara merupakan sumber daya alam yang menjadi salah satu komoditas
utama penghasil energi di Indonesia. Namun, batubara sendiri merupakan sumber
energi tidak terbarukan apabila dieksploitasi secara terus-menerus (Azmi, 2014).
Untuk menjaga ketahanan pasokan energi perlu dilakukannya peningkatan
kegiatan eksplorasi untuk mencari potensi baru pada batubara. Salah satunya yaitu
gas non konvesional berupa gas metana batubara yang terdapat di dalam lapisan
batubara. Cadangan gas metana batubara Indonesia tersebar dalam 11 cekungan.
Dengan cadangan 453,3 TCF, Indonesia termasuk nomor 6 di dunia, berdasarkan
evaluasi yang dilakukan Advanced Resources International, Inc (ARI) tahun 2003
(PSDMBP, 2012).
Gas metana pada batubara tersimpan di micropores (matriks) dan cleat
sebagai jalur yang membuat gas metana tidak statis. Reaksi kimiawi dan biologi
pada batubara dapat menghasilkan gas metana batubara. Lapisan batubara
berperan sebagai source rock dan reservoir rock sehingga batubara disebut
sebagai self sourching reservoar. Karena lapisan batubara mempunyai permukaan
butiran yang relatif besar, maka batubara dapat menyimpan gas hingga 6 –7 kali
lebih besar daripada batuan dalam reservoir gas konvensional (Moore, 2008).
Menurut Simandjuntak dkk (1991) Formasi geologi yang memiliki potensi
lapisan batubara di Pulau Sumatra cukup luas adalah formasi muaraenim (Tmpm).
Formasi muara enim merupakan formasi pembawa batubara utama di cekungan
Sumatra selatan. Penyebaran formasi ini sangat luas meliputi wilayah Provinsi
Sumatra Selatan, Provinsi Jambi, dan sedikit di Provinsi Riau dan Provinsi
Lampung. Akumulasi gas in place akan terdapat paling banyak pada batubara
peringkat bituminous. Keunikan batubara dengan peringkat bituminous memiliki
kandungan air yang semakin sedikit, nilai porositas yang semakin rendah dan
dapat membentuk gas metana secara biogenik, berbeda dengan batubara dengan
peringkat antrasit yang mengalami tekanan yang lebih besar yang mempengaruhi
ruang berupa rekahan dalam lapisan batubara (Linggadipura et al, 2016).
Pada tahap eksplorasi gas metana batubara cleat merupakan fraktur pada
batubara sebagai jalur aliran gas dari matriks ke lubang sumur produksi (Laubach
dkk, 1988). Cleat berupa rekahan yang berkembang pada lapisan batubara dan
bertindak sebagai parameter utama dalam mengendalikan kinerja permeabilitas di
lapisan batubara. Secara bentuknya cleat dibedakan menjadi dua yaitu face dan
butt cleat. Mengumpulkan data karakteristik digunakan untuk mengetahui atribut
cleat terdiri dari orientasi cleat, hubungan antara jarak cleat, aperture, dan tinggi
cleat, interpretasi untuk cleat density, cleat volume dan permeabilitas. Data lalu
dianalisis sehingga dapat menjadi indikator potensi gas metana pada daerah
penelitian (Apriyani et al, 2013).
Oleh karena itu, berdasarkan keterdapatan lapisan batubara pada site
pertambangan PT. Tambang Bukit Tambi, peneliti ingin melakukan penelitian
untuk mengetahui proses geologi daerah penelitian dan menganalisis cleat serta
mengaitkan pengaruhnya sebagai indikator menentukan potensi coalbed methane
pada daerah penelitian. Berdasarkan uraian tersebut, penulis tertarik melakukan
penelitian dengan judul Geologi dan Analisis Cleat Sebagai Indikator Potensi
Coalbed Methane (CBM) di PT. Tambang Bukit Tambi, Kabupaten
Batanghari, Provinsi Jambi.
1.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana kondisi geologi daerah penelitian ?
2. Bagaimana karakteristik cleat di daerah penelitian ?
3. Bagaimana pengaruh cleat sebagai indikator potensi coalbed methane
batubara didaerah penelitian?
1.3 Maksud dan Tujuan
Kegiatan penyusunan proposal permohonan tugas akhir ini dimaksudkan
untuk memproleh gelar sarjana S1 ( Strata 1) pada Program Studi Teknik Geologi
Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Jambi. Selain itu dalam pelaksanaan
penelitian juga dimaksud agar penulis dapat meningkatkan ilmu pengetahuan dan
wawasan serta dapat menerapkan ilmu dan teori yang diproleh selama proses
pembelajaraan dan pendidikan dimasa perkuliahaan yang nantinya akan
diaplikasikan ke dalam lingkungan kerja yang sebenarnya.
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam pelaksanaan kegiatan penelitian
ini antara lain sebagai berikut.
1. Mengetahui geologi daerah penelitian meliputi geomorfologi, statigrafi
dan struktur geologi serta susunan batuan pada daerah penelitian.
2. Mengetahui karakteristik cleat pada lapisan batubara melalui hasil data
lapangan dan analisis di laboratorium.
3. Untuk menentukan potensi coalbed methane melalui karakteristik cleat
sebagai indikatornyaa di daerah penelitian
1.4 Lokasi Kesampaian Daerah Penelitian.
Secara adminstrasi daerah telitian berada di area wilayah Desa Padang
Kelapo, Kecamatan Muaro Sebo Ulu, Kabupaten Batanghari, Provinsi Jambi.
Daerah penelitian berbatasan dengan Kabupaten Tebo dan Kabupaten Merangin,
Provinsi Jambi. Gambar ( 1.1).
Lokasi penelitian berada di area konsesi perusahaan PT. Tambang Bukit
Tambi, Kabupaten Batanghari, Provinsi Jambi. Berada daerah desa Padang
Kelapo dimana daerah penelitian berada pada zona UTM 48S dengan posisi X :
255699 sampai 257410 dan Y: 9805202 sampai 9806872. Untuk area dan luas
kavling pemetaan dan penelitian ditentukan oleh pihak perusahaan. Jarak tempuh
yang dilalui melalui jalur darat berkisar 180 km dari Universitas Jambi, Mendalo
Darat ke Desa Padang Kelapo. Akses yang hanya dapat ditempuh dengan jalur
menggunakan sepeda motor atau mobil dan memerlukan waktu berkisar ± 4 jam.
Mobilitas di dalam WIUP PT. Tambang Bukit Tambi sendiri dibantu
menggunakan tranportasi milik perusahaan yang diizinkan dilingkungan tambang.
Kab. Batanghari

Provinsi Jambi Peta Adminstrasi Daerah Penelitian


Desa Padang Kelapo, Marosebo Ulu, Kab. Batanghari
Provinsi Jambi
Kab. Tanjung Jabung Barat
Kab. Tanjung Jabung Timur
Kab. Tebo
Kab. Muaro Jambi
Kab. Bungo
Kab. Batanghari

Kab. Kerinci
Kab. Merangin
Fajar Manik ( F1D219005)
Kab. Sarolangun Legenda

Wilayah Penelitian

Lokasi Penelitian

Gambar 1.1. Peta Lokasi Penelitian


1.5 Batasan Masalah
Adapun batasan masalah penelitian ini supaya dapat fokus dan rinci terhadap
apa yang yang diteliti. Oleh karena itu, penelitian ini terkait dengan hal sebagai
berikut:
1. Peneliti membahas bagaimana keadaan tatanan geologi wilayah penelitian
melalui pemetaan lapangan seperti, geomorfologi, struktur dan statigrafi
serta untuk memperkuat argumen, penulis melakukan analisis terhadap
sampel batuan di laboratorium.
2. Peneliti melakukan pengambilan data atribut cleat sebagai bentukan
karakteristik cleat yang terbentuk berdasarkan pengaruh geologi
berkembang pada daerah penelitian.
3. Peneliti menganalisa karakteristik cleat lalu menginterpretasinya sebagai
indikator potensi coalbed methane (CMB) pada lapisan batubara pada
daerah penelitian.
1.6 Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini mengetahui potensi gas metana batubara pada lapisan
batubara melalui data karakteristik cleat pada lapisan batubara dan khususnya
memberikan manfaat bagi :
Manfaat Bagi Mahasiswa
a. Menambah wawasan akademik kegiataan ini dapat memberikan
pembelajaraan atau referensi bagi mahasiwa, khususnya mahasiswa
teknik geologi dalam memahami studi geologi terutama pada potensi
yang terdapat pada lapisan batubara.
b. Memperkuat pemahaman mengenai penerapan aplikasi metode metode
geologi lapangan yang riil dalam kaitanya dengan kerangka berfikir
yang sesuai dengan konsep-konsep dan kaidah-kaidah geologi yang
berlaku.
Manfaat bagi Universitas
a. Menyesuaikan metode dan konten kuliah menjadi lebih relevan
dengan dunia kerja
b. Membina kemitraan antara Universitas dan Perusahaan dalam
meningkatkan fasilitas pendidikan
c. Melengkapi keterampilan dasar yang memberikan kemampuan bagi
mahasiswa untuk menyesuaikan diri dengan perubahan.
Manfaat Bagi Perusahaan
a. Perusahaan dapat menemukan ide baru dalam meyelesaikan
permasalahan yang terjadi, menambah data riset bagi perusahaan dan
juga mempercepat proses eksplorasi.
b. Terjalinnya hubungan antara peneliti dengan pihak perusahaan.
c. Dapat membina kerjasama antara Universitas dengan perusahaan.
1.7 Penelitian Terdahulu
Penelitian yang telah dilakukan di daerah penelitian yang mana berkaitan
dengan tatanan geologi serta beberapa topik penelitian yang berhubungan dengan
topik bahasan khusus yang sedang ingin diteliti oleh penulis. Digunakan sebagai
acuan demi menambah dan memperdalam pemahaman yang berkaitan dengan
penelitian penulis. Beberapa penelitian yang telah diangkat dijelaskan sebagai
berikut:
Van Bemmelen ( 1949)
The Geology of Indonesian. Menjelaskan tentang fisiografi di Indonesia
secara keseluruhan. Pulau sumatera terbagi menjadi enam zona fisiografi, daerah
penelitian termasuk ke dalam fisiografi zona dataran rendah dan berbukit.
Simandjutak dkk (1991)
Simandjutak, dkk 1991 yang telah membuat peta geologi lembar Muaro
Bungo skala 1:250.000 yang membuat hubungan tiap formasi batuan beserta
anggota formasi yang ada dan urutan formasi berdasarkan umurnya. Pada daerah
penelitian geologi regional terdiri dari Formasi Asai (Tma) dan Formasi Muara
Enim (Tmpm).
Hamilton. (1979)
Melakukan penelitian mengenai pembagian unit tektonik struktural Pulau
Sumatra. Berdasarkan penelitian adanya pembagian wilayah pada Pulau Sumatra
berdasarkan unit tektonik struktural seperti pada wilayah Sumatra bagian tengah
yang terdiri dari Sumatra Fault System berupa sesar geser dengan arah barat laut-
tenggara serta terdapat active subduction zone pada bagian barat daya Pulau
Sumatera serta terdapat sesar turun pada bagian timur laut Pulau Sumatra.
Hidartan dkk (2010)
Melakukan kajian potensi gas metana pada batubara di Indonesia.
Mengemukakan bahwa terdapat beberapa batasan dalam perhitungan CBM yakni
ketebalan lapisan batubara > 2 meter, kedalaman 200 – 2200 meter, rank batubara
antara Lignit-Bituminus dan Vitrinate reflectance antara 0.3-0.41%. Berdasarkan
hasil perhitungan, maka potensi gas metana dalam cekungan Sumatera Selatan
sebesar 15,97 TCF/ton
Aliyah dkk (2018)
Menjelaskan bahwa rekahan pada batubara (cleat) berfungsi sebagai jalan
utama gas metana dari resevoir batubara menuju sumur produksi. Karakteristik
cleat dan orientasi cleat pada batubara dapat digunakan sebagai alat untuk
memperkirakan secara tidak langsung porositas dan permeabilitas dalam reservoir
batubara, yang merupakan parameter penting untuk pengembangan CBM
komersial.
Fathan dkk (2016)
Menjelaskan tentang pengaruh struktur geologi terhadap atribut cleat
dimana atribut cleat yang berada dekat dengan sayap lipatan zona sesar
mempunyai intensitas yang lebih tinggi disbanding yang berada jauh dari zona
struktur geologi. Nilai spacing akan mempunyai nilai yang rendah jika berada
jauh dari sayap lipatan dan mempunyai nilai dip yang kecil.
Tabel 1. Penelitian Terdahulu

Geologi Batubara
Peneliti Fisiografi Struktur Tektonik Statigrafi Analisis cleat Coalbed
Geologi Methane (CMB)

Van Bemmelen, 1949

A.J. Barber, et al. 2005

Simandjutak dkk, 1991

Hamilton. 1979

Hidartan, dkk. 2010

Aliyah, dkk. 2018

Fathan, dkk. 2016

Manik, 2023

Keterangan :

: Sudah diteliti

: Akan diteliti
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Geologi Regional
2.1.1 Fisiografi
Pulau sumatera yang secara fisiografi yang berarah baratlaut- tenggara
merupakan perpanjangan keselatan dari Lempeng Benua Eurasia, tepatnya berada
pada batas barat dari Laut Sundaland (Daratan Sunda). Posisi Pulau Sumatera
bersebelahan dengan batas antara Lempeng Samudera India-Australia dan
Daratan Sunda. Subduksi kedua lempeng ditandai oleh sistem pengunungan
Sunda (Sunda Arc System) yang aktif dan memanjang dari Burma di utara hingga
selatan, dimana lempeng Australia mengalami tabrakan (collision) dengan bagian
timur Indonesia (Van Bemmellen, 1949).
Berdasarkan klasifikasi Van Bemmelen (1949), Fisiografi Pulau Sumatera
dibagi menjadi 6 zona. Dapat dilihat pada gambar dibawah.

Gambar 2.1. Pembagian Zona Fisiografis Pulau Sumatra mengacu dari Van
Bemmelen (1949).
Zona bukit Tigapuluh merupakan suatu zona yang terisolasi dengan
bentuk morfologi yang telah mengalami rendahan kearah timur, morfologi
berbentuk kubah ataupun tinggian dari bagian sesar turun disebut dengan horst
dengan panjang zona 90 km dengan lebar 40 km dan puncak tertinggi mencapai
722 km di Cengembung.
Zona Bukit Barisan merupakan zona perbukitan yang memanjang dengan
arah orientasi Tenggara-Baratlaut dengan panjang ±1.650 km dengan lebar 100
km. Puncak tinggian dari zona ini adalah puncak Inderapura yang berada di
gunung Kerinci dengan tinggian ±3.800 mdpl. Umumnya zona ini berasosiasi
dengan gunung aktif yang berada dijalur Bukit Barisan. Pola ini dinterpretasikan
sebgai zona yang terbentuk akibat geotektonik sistem pengunungan sunda yang
awalnya memiliki arah Tenggara-Baratlaut menjadi Barat-Timur yang berada di
pulau Jawa.
Zona Sesar Sumatera atau Zona Sesar Semangko adalah Zona yang
memiliki pola memanjang dimana pola zona ini mengikuti Fisiografi dari Bukit
Barisan. Pada zona ini yang dominan adalah patahan geser yang arah gerakannya
mendatar ke kanan, zona ini merupakan Geoantklin yang memanjang dengan
bentuk depresi. Zona Sesar Semangko ini memanjang dimulai dari Semangko
(Sumater Selatan- Lampung) hingg ke bagian Barat Laut di Kotaradja Aceh yang
merupakan suatu lembah dan batas akhir dari zona ini.
Zona Dataran Rendah dan Berbukit dicirikan morfologi perbukitan
homoklin dengan elevasi 200-500 mdpl dan tersebar luas dipantai timur pulau
Sumatera. Zona Kepulauan Busur Luar, merupakan kepulauan yang terangkat
akibat adanya interaksi lempeng India- Australia dan lempeng Eurasia.
Memanjang mulai dari pulau Nias, Simelue, Pagai, Mentawai dan Tanibar.
Zona Papaparan Sunda, merupakan lempeng mikro dan bagian dari
lempeng Eurasia. Zona ini mencakup Laut Cina Selatan, Laut Adaman,
Semenanjung Malasyia, Kalimantan, Sumatera, Jawa dan Sulawesi.
Menurut pembagian zona Van Bammelen (1949), daerah penelitian
termasuk Zona Dataran Rendah dan Berbukit, berbatasan dengan Zona Bukit
Barisan dibagian barat, berbatasan dengan Zona Pegunungan Tigapuluh di utara,
dan berbatasan dengan Zona Papapran Sunda dibagian timur. Letaknya termasuk
kedalam Cekungan Sumatra Selatan berumur Tersier dan terbentuk hasil interaksi
antara Paparan Sunda dan Lempeng Samudera Hindia. Batas-batas cekungan ini
terdiri dari Paparan Sunda disebelah Timur, Bukit Barisan disebelah barat,
Tinggian Lampung disebelah selatan dan Perbukitan Tigapuluh disebelah utara.
2.1.2 Tatanan Tektonika
Pergerakan dua lempeng antar lempeng Benua (Paparan Sunda) dan
lempeng Samudera Hindia (Hindia-Australia) yang bertumbukan telah
menyebabkan adanya zona tunjaman miring yang berada sepanjang Palung Sunda,
luar pantai barat Sumatera. Pergerakan penunjaman yang terjadi diperkirakan
sejak Perem Akhir, sehingga menghasilkan terbentuknya busur magmatik.
Dampak dari penunjaman ini secara berkala dilepaskan melalui sesar geser
mendatar menganan searah tepi lempeng awal dari terbentuknya Sistem Sesar
Besar Sumatera (Hamilton, 1979).
Pulau Sumatra terbagi menjadi tiga fase tektonik sebagai akibat dari
penunjaman lempeng antara lempeng Samudera Hindia (Hindia-Australia dengan
Lempeng Eurasia . Fase pertama merupakan fase kolisi antara blok Sibumasu dan
Indochina (Devon-Permian) yang menghasilkan pergerakan sesar naik. Fase
kedua merupakan trancrrent system antara blok Sumatra Barat dan Sibumasu
Trias-Jura yang menghasilkan pergerakan sesar mendatar. Fase ketiga kembali
mengalami proses pengangkatan antara Blok Sumatra Barat dengan Blok Woyla
(Kapur Akhir)yang membentuk sesar naik (Barber dkk 2005), sedangkan Menurut
Pulonggono dkk (1992) peristiwa tektonik yang berperan dalam perkembangan
pulau Sumatera dan Cekungan Sumatera Selatan dibagi menjadi tiga kali fase
perubahan arah subduksi sehingga terbentuk tiga pola sesar utama. (Gambar 2.2).
Fase tektonik yang berkembang di Cekungan Sumatra Selatan menurut
Pulunggono et al, (1992) terjadi menjadi beberapa fase, yaitu:
1. Fase kompresional yang berlangsung dari (Jurasik awal – Kapur),
diakibatkan subduksi lempeng Samudra Hindia ke bawah lempeng Benua
Eurasia yang mengakibatkan pola tegasan simple shear di Cekungan
Sumatra Selatan ini. Sistem pola tegasan ini kemudian berkembang
menjadi sesar geser. Bekas pembentukan sesar geser menjadi zona lemah
salah satunya ditunjukkan terjadinya intrusi batuan granotoid . Tektonik ini
juga menghasilkan sesar mendatar seperti Sesar Lematang, Kepayang,
Saka dan Pantai Selatan Lampung terjadi wrench.
2. Fase ekstensional pada (Kapur Akhir – Tersier Awal ) pada fase ini
diakibatkan oleh penurunan kecepatan subduksi. Tahap ini merupakan
awal terbentuknya tinggian (horst) dan rendahan (graben) akibat
perubahan sistem tegasan utama yang berarah vertikal. Sesar mendatar
berubah menjadi sesar normal karena tegasan utama vertikal dikontrol oleh
gravitasi dan pembebanan. Ditandai dengan tersingkapnya Batugamping
dan Rijang ke permukaan. Hal ini juga diikuti oleh terbobosan Jura di
bagian timur serta terobosan Kapur di bagian barat. Selain terobosan ini
granitan tektonik kapur juga ditandai oleh pengangkatan regional,
metamorfisme dan pesesaran yang mengontrol pembentukan bukit barisan.
3. Fase ketiga berupa gerak kompresional pada (Miosen Tengah- Resen)
terjadi akibat Kecepatan subduksi pada tahap ini meningkat kembali dan
menyebabkan peremejaan sesar - sesar normal yang telah ada sebelumnya
menjadi sesar naik. Sehingga menyebabkan sebagian Formasi Air Benakat
dan Formasi Muara Enim menjadi tinggian tererosi, sedangkan pada
daerah yang relatif turun diendapkan Formasi Kasai. Selanjutnya, terjadi
pengangkatan dan pelipatan berarah baratlaut diseluruh daerah cekungan
yang mengakhiri pengendapan tersier di cekungan Sumatera Selatan.
Selain itu terjadi aktivitas vulkanisme pada cekungan belakang busur.

Gambar 2.2 Model Ellipsoid pada Pulau Sumatera dari Jura Akhir –
Resen Modifikasi (Pulunggono dkk,1992).
Menurut Hamilton (1979), Samudera Hindia bergerak menunjam kearah
utara-timurlaut menunjam Lempeng Eurasia yang relatif diam dimana
penunjaman meliputi bagian barat Pulau Sumatra dan bagian Selatan Pulau Jawa.
Evolusi magma yang sebagai dampak dari penunjaman tersebut menghasilkan
busur gunung api Tersier sampai Resen yang merupakan bagian dari perbukitan
barisan di sepanjang pinggiran barat Pulau Sumatera. Keberadaan Busur
Gunungapi mengalami perpotongan dengan sistem sesar Sumatra yang
menyebabkan terbentuknya beberapa cekungan belakang busur seperti Cekungan
Sumatra Tengah dan Cekungan Sumatera Selatan. Cekungan Sumatera Selatan
termasuk kedalam cekungan belakang busur. Dampak lain dari efek penunjaman
lempeng mempengaruhi keadaan batuan, geomorfologi dan struktur geologi juga
terbentuknya ruang berupa half graben, horst dan blok sesar yang kemudian
membentuk cekungan-cekungan tersier. Menurut Barber (2005) Tektonik
ekstensional pada awal Eosen Akhir menyebabkan terbentuknya Cekungan
Sumatra Selatan yang dapat dibagi menjadi empat bagian. ( Gambar 2.3).

Gambar 2.3. Peta Cekungan Sumatra yang terbagi menjadi empat bagian
(Panggabean dan Lauty, 2012).
2.1.3 Struktur Geologi Regional
Sesar sumatera terbentuk pada zaman Miosen Tengah sebagai akibat dari
gerakan miring saat terjadi subduksi antara lempeng India- Australia dengan blok
sunda land sehingga bagian barat dari pulau Sumatera berarah baratlaut. Gaya ini
menimbulkan retakan yang panjang dan sejajar dengan batas antar lempeng atau
yang dikenal dengan Sesar Sumatera atau Sesar Semangko (Barber, 2005).

Gambar 2.4. Struktur Sumatera dan pergerakan lempeng tektonik (Barber, 2005).
Menurut Pulonggono (1984) Terdapat tiga fase dalam proses pembentukan
cekungan Sumatera Selatan dan secara umum berdasarkan sejarah struktur
geologi sama dengan pembentukan Sub-cekungan Jambi, antara lain:
1. Pembentukan graben karena adanya gaya ekstensi selama Paleosen akhir
hingga Miosen awal yang kemudian diisi endapan berumur Eosen sampai
Miosen awal.
2. Terjadi sesar normal selama Miosen awal hingga Pliosen awal dengan
pengendapan yang konstan.
3. Kompresi pada basemen, pembalikan cekungan, pembalikan dari sesar
normal yang terjadi pada Pliosen hingga Holosen yang merupakan cekungan
minyak utama yang terdapat pada cekungan Sumatera Selatan sehingga
membentuk antiklin. Untuk cekungan Jambi memiliki 2 struktur utama,
salah satu yang paling tua adalah berarah Timurlaut-Baratdaya yang
berkembang pada Formasi Lahat dan Formasi Talang Akar.
Simandjutak dkk, (1991) menjelaskan struktur geologi pesesaran pada lembar
Geologi Muaro Bungo pada pra-Tersier dan Tersier dapat dibagi menjadi empat
arah sesar dan kekar utama yaitu baratbaratlaut- timurtenggara, baratlaut-tenggara,
timurlaut-baratdaya, dan timurtitmurlaut-baratbaratdaya.
2.1.4 Statigrafi Regional
Keterbentukan stratigrafi cekungan Sumatera Selatan terdiri dari satu
siklus besar sedimentasi yang dimulai dari fase transgresi pada awal siklus dan
fase regresi pada akhir siklusnya. Kelompok fase transgresi disebut kelompok
Telisa yang terdiri dari Formasi Lahat, Talang Akar, Baturaja dan Formasi Gumai,
sedangkan kelompok fase regresi disebut kelompok Palembang yang terdiri dari
Formasi Air Benakat, Muara Enim dan Formasi Kasai.
Stratigrafi Cekungan Sumatera Selatan dibagi menjadi tiga kelompok yaitu
kelompok batuan Pra-Tersier, kelompok batuan Tersier serta kelompok batuan
Kuarter.
1. Batuan Pra-Tersier Batuan Pra-Tersier Cekungan Sumatera Selatan merupakan
dasar cekungan (Basement) .Batuan ini diketemukan sebagai batuan beku,
batuan metamorf dan batuan sedimen.Batuan Pra-Tersier ini diperkirakan telah
mengalami perlipatan dan patahan yang intensif pada zaman Kapur Tengah
sampai zaman Kapur Akhir dan diintrusi oleh batuan beku sejak orogenesa
Mesozoikum Tengah.
2. Batuan Tersier Urutan sedimentasi Tersier di Cekungan Sumatera Selatan
dibagi menjadi dua tahap pengendapan, yaitu tahap genang laut dan tahap susut
laut. Sedimen-sedimen yang terbentuk pada tahap genang laut disebut
Kelompok Telisa, dari umur Eosen Awal hingga Miosen Tengah terdiri atas
Formasi Lahat (LAF), Formasi Talang Akar (TAF), Formasi Baturaja (BRF),
dan Formasi Gumai (GUF). Sedangkan yang terbentuk pada tahap susut laut
disebut Kelompok Palembang dari umur Miosen Tengah – Pliosen terdiri atas
Formasi Air Benakat (ABF), Formasi Muara Enim (MEF), dan Formsi Kasai
(KAF). (Gambar 2.5).

Gambar 2.5 Kolom Statigrafi Cekungan Sumatera Selatan


(Koesoemadinata,1980).
. Urut-urutan stratigrafi dari tua ke muda (Koesoemadinata, 1980).
a. Formasi Lahat (LAF) Formasi ini terletak secara tidak selaras diatas
batuan dasar, yang terdiri atas lapisan-lapisan tipis tuf andesitik yang
secara berangsur berubah keatas menjadi batu lempung tufaan.Selain itu
breksi andesit berselingan dengan lava andesit, yang terdapat dibagian
bawah.Formasi ini terdiri dari tuf, aglomerat, batulempung, batupasir
tufaan, konglomeratan dan breksi yang berumur Eosen Akhir hingga
Oligosen Awal.Ketebalan dan litologi sangat bervariasi dari satu tempat ke
tempat yang lainnya karena bentuk cekungan yang tidak teratur.
b) Formasi Talang Akar (TAF) Formasi Talang akar dibeberapa tempat
bersentuhan langsung secara tidak selaras dengan batuan Pra Tersier.
Formasi ini dibeberapa tempat menindih selaras Formasi Lahat, hubungan
itu disebut rumpang stratigrafi, ia juga menafsirkan hubungan stratigrafi
diantara kedua formasi tersebut selaras terutama dibagian tengahnya, ini
diperoleh dari data pemboran sumur Limau yang terletak disebelah Barat
Daya Kota Prabumulih (Pertamina, 2012), Formasi Talang Akar terdiri
atas batupasir, yang mengandung kuarsa dan ukuran butirnya pada bagian
bawah kasar dan 10 semakin atas semakin halus. Pada bagian teratas
batupasir ini berubah menjadi batupasir konglomeratan atau
breksian.Batupasir berwarna putih sampai coklat keabuan dan
mengandung mika, terkadang terdapat selang-seling batulempung coklat
dengan batubara, pada anggota ini terdapat sisa-sisa tumbuhan dan
batubara, ketebalannya antara 40 – 830 meter.Sedimen-sedimen ini
merupakan endapan fluviatil sampai delta.Formasi ini berumur Oligosen
Akhir hingga Miosen Awal. Ketebalan formasi ini pada bagian selatan
cekungan mencapai 460 – 610 meter, sedangkan pada bagian utara
cekungan mempunyai ketebalan kurang lebih 300 meter.
c) Formasi Baturaja (BRF) Formasi ini diendapkan secara selaras diatas
Formasi Talang Akar. Terdiri dari batugamping terumbu dan batupasir
gampingan.Di gunung Gumai tersingkap dari bawah keatas berturut-turut
napal tufaan, lapisan batugamping koral, batupasir napalan kelabu
putih.Ketebalannya antara 19 - 150 meter dan berumur Miosen
Awal.Lingkungan Pengendapannya adalah laut dangkal.
d) Formasi Gumai (GUF) Formasi Gumai ini terdiri atas napal tufaan
berwarna kelabu cerah sampai kelabu gelap.Kadang-kadang terdapat
lapisan-lapisan batupasir glaukonit yang keras, tuff, breksi tuff, lempung
serpih dan lapisan tipis batugamping.Umur dari formasi ini adalah Awal
Miosen Tengah.
e) Formasi Air Benakat (ABF) Formasi ini berumur dari Miosen Akhir
hingga Pliosen.Litologinya terdiri atas batupasir tufaan, sedikit atau
banyak lempung tufaan yang berselang-seling dengan batugamping
napalan atau batupasirnya semakin keatas semakin berkurang kandungan
glaukonitnya. Ketebalan formasi ini berkisar 250 – 1550 meter.
f) Formasi Muara Enim (MEF) Formasi ini terdiri atas batulempung dan
batupasir coklat sampai coklat kelabu, batupasir berukuran halus sampai
sedang. Didaerah Palembang terdapat juga lapisan batubara.Juga terdapat
batulempung pasiran dan batulempung tufaan yang berwarna biru hijau,
beberapa lapisan batubara berwarna merah-tua gelap, batupasir kasar halus
berwarna putih sampai kelabu terang. Ketebalan formasi ini sekitar 450 -
750 meter.
g) Formasi Kasai (KAF) Formasi ini diendapkan pada kala pliosen sampai
dengan pleistosen. Pengendapannya merupakan hasil dari erosi dari
pengangkatan Bukit Barisan dan pegunungan Tigapuluh, serta akibat
adanya pengangkatan pelipatan yang terjadi di cekungan. Formasi ini
mengakhiri siklus susut laut. Pada bagian bawah terdiri atas batupasir
tufan dengan beberapa selingan batulempung tufaan, kemudian terdapat
konglomerat selang-seling lapisan-lapisan batulempung tufaan dan
batupasir yang lepas, pada bagian teratas terdapat lapisan tuf batuapung
yang mengandung sisa tumbuhan dan kayu terkersikkan berstruktur
sediment silang siur, lignit terdapat sebagai lensa-lensa dalam batupasir
dan batulempung tufan.
Berdasarkan peta Geologi Lembar Muaro Bungo Simandjutak dkk, (1991)
lokasi penelitian berada dalam formasi Muara Enim ( Tmpm) dan Formasi Air
Benakat ( Tma). Fase regresi terjadi pada saat diendapkannya Formasi Gumai
bagian atas dan diikuti oleh pengendapan Formasi Air Benakat secara selaras yang
didominasi oleh litologi batupasir pada lingkungan pantai dan delta. Pada saat
pliosen awal menjadi waktu pembentukan dari formasi Muara Enim yang
berlangsung sampai pliosen akhir yang terdapat pengendapan batuan yang
banyak terendapkannya batulempung dan tempat terbentuknya lapisan batubara
yang melimpah. ( Gambar 2.5).
Korelasi Statigrafi
daerah Penelitian

Gambar 2.6. Peta Geologi dan Stratigrafi Daerah Penelitian dipotong dari Peta
Lembar Sungaipenuh dan Ketaun dalam Skala 1:250.000
modifikasi, dari Simandjutak, dkk (1991).

2.2 Dasar Teori


2.2.1 Batubara
Menurut Elliot (1981) didalam buku (Arif 2014), batubara merupakan
batuan sedimen yang secara kimia dan fisika, adalah heterogen yang mengandung
unsur unsur karbon, hidrogen, serta oksigen sebagai komponen utama dan
belerang serta nitrogen sebagai unsur tambahan. Zat lain, yaitu senyawa anorganik
pembentuk ash (debu), tersebar sebagai partikel zat mineral yang terpisah
diseluruh senyawa batubara. Menurut Sukandarrumidi (2018), batubara terbentuk
dari sisa tumbuhan yang sudah mati, dengan kompisi terdiri dari selulosa. Faktor
fisika dan kimia yang ada didalam akan mengubah selulosa menjadi lignit,
subbituminous, bituminous dan antrasit. Terdapat dua teori yang menerangkan
terjadinya batubara yaitu teori Insitu dimana batubara terbentuk dari tumbuhan
yang berasal dari hutan ditempat dimana batubara tersebut, dan teori Drift dimana
batubara yang terbentuk dari tumbuhan berasal dari hutan yang bukan ditempat
dimana batubara tersebut.
Terbentuknya batubara pada cekungan melalui proses yang sangat panjang
dan dalam waktu berjuta-juta tahun lamanya, serta dipengaruhi faktor alamiah dari
segi fisikia, kimia maupun biologis. Beberapa faktor yang menentukan
keterbentukan batubara seperti posisi geoteknik, keadaan tofografi daerah, iklim
daerah, proses penurunan cekungan sedimentasi, umur geologi, jenis tumbuhan,
struktur geologi, cekungan dan etamorfosa organik. Pada tahap pembentukan
batubara terdiri dari dua tahap yaitu tahap biokimia dan tahap pembatubaraan.
Tahap biokimia (pengambutan) adalah tahap tahap ketika sisa-sisa yang
terakumulasi tersimpan dalam kondisi bebas oksigen (anaeorobik) di daerah rawa
dengan sistem drainase yang buruk, sedangkan tahap pembatubaraan
(coalification) merupakan proses diagenesis terhadap komponen organik dari
gambut yang mengalami peningkatan temperatur dan tekanan yang terjadi karena
pengaruh pembebanan sedimen yang menutupinya dalam kurun waktu geologi
(Sukandarrumidi, 2018).
Batubara dimulai dari peat dan lignite yang memiliki rank dan temperatur
yang rendah, tetapi memiliki porositas dan kandungan air yang tinggi. Kemudian
batubara dengan peringkat bituminous memiliki kandungan air yang semakin
sedikit, nilai porositas yang semakin rendah dan dapat membentuk gas metana
secara biogenik, karena kenaikan temperatur di atas rata-rata jumlah bakteri yang
ada. Lalu batubara tipe antrachite memiliki porositas, serta kandungan air yang
lebih sedikit, kandungan gas metana pada batubara peringkat ini pun semakin
sedikit, hal ini dikarenakan terjadinya penyempitan cleat pada lapisan batubara
akibat tekanan yang didapatkan sehingga tidak memberikan ruang sebagai tempat
terakumulasinya gas metana batubara (Linggadipura et al, 2016).
Berdasarkan kualitasnya batubara memiliki kelas secara umum
diklasifikasikan menjadi empat kelas utama. Dalam hal ini kelas batubara disertai
dengan kriteria berdasarkan analisis proksimat dan nilai kalornya. Pembagian
klasifikasi kelas batubara tersebut berasal dari beberapa acuan, seperti dari
kandungan air, kandungan zat terbang, kandungan abu, dan kadar karbon yang
tertambat. Semakin banyak kandungan abu, zat terbang atau air maka kualitas
batubara tersebut akan semakin buruk. Akumulasi gas-inplace akan terdapat
paling banyak pada batubara peringkat bituminous. Berdasarkan petrografinya,
maka batubara terdiri atas 3 maseral utama, yakni vitirinite, liptinite, dan
inertinite. Batubara yang memiliki kandungan maceral vitrinite yang lebih banyak,
cenderung memiliki perkembangan rekahan dan cleat yang lebih baik. Hal ini
dapat dilihat dari banyaknya jumlah rekahan yang terdapat pada permukaan
lapisan batubara. Makin banyak rekahan dan cleatnya, maka kemungkinan
terdapatnya CBM semakin besar. (Hidartan dkk, 2010).
2.2.2 Cleat Batubara
Cleat merupakan rekahan alami yang terbentuk akibat aktivitas pembebanan
ataupun struktur. Rekahan yang terbentuk pada batubara merupakan jalur untuk
keluar ataupun tersimpannya fluida pada batubara. Cleat merupakan retakan alami
yang terbentuk pada lapisan batubara akibat dehidrasi batubara, tegangan lokal
dan regional, serta pembongkaran lapisan penutup. Cleat biasanya terdapat dalam
dua set, face cleat dan butt cleat yang dalam banyak kasus saling tegak lurus dan
tegak lurus terhadap bidang yang membatasi dua lapisan batuan atau lebih
(Laubach et al., 1997).
Menurut Laubach et al (1998), berdasarkan jenisnya, cleat dibedakan
menjadi dua yaitu face cleat dan butt cleat (Gambar 2.7). Face cleat mempunyai
rekahan yang panjang dan sering dikenal sebagai rekahan utama atau primary
cleat. Perkembangan face cleat umumnya mempunyai arah yang tegak lurus
terhadap regional dari sumbu pelipatan. Arah dari pembentukan face cleat relatif
sejajar dengan kompresi regional. Pada butt cleat mempunyai rekahan yang lebih
pendek, sering melengkung dan memotong tegak lurus face cleat dan sering
dikenal sebagai secondary cleat. Umumnya butt cleat mempunyai arah rekahan
yang sejajar dengan bidang perlapisan. Butt cleat terbentuk sebagai respons
terhadap sifat batubara dan bukan tektonik regional dan paling baik
diklasifikasikan sebagai endogenetik meskipun faktanya mereka mungkin
terbentuk terlambat dan setelah pematangan batubara atau butt cleat dapat
terbentuk pada tahap akhir pengangkatan dan mungkin tidak terdapat pada
batubara yang berpotongan di lubang gas metana yang dalam. Mengacu definisi
cleat bila dikaitkan dengan pengertian kekar sistematis adalah face cleat dapat
dibandingkan dengan kekar sistematik planar, sedangkan butt cleat dengan cross
joint. Face cleat orientasinya sejajar arah tegasan regional, sedangkan butt cleat
sejajar atau berlawanan dengan face cleat (Kuncoro, 2012).

Gambar 2.7. Skema geometri batubara berdasarkan jenis cleat. (a) cleat yang
dilihat secara vertical (b) cleat yang dilihat dari sayatan (Laubach,
et al., 1998).
Menurut Ryan (2003), Berdasarkan genesanya, pembentukan cleat
batubara dibedakan menjadi dua yaitu cleat eksogenik dan cleat endogenik. Cleat
endogenik terbentuk akibat proses pembatubaraan dan pembebanan material
sehingga terjadi proses dewathering dan shrinkage yang membentuk rekahan–
rekahan dengan arah tegak lurus terhadap lapisan batubara. Endogenik
kemungkinan besar terbentuk ketika batubara berada pada kedalaman dangkal dan
tidak bertekanan berlebihan. Identifikasi tekanan berlebih pada lapisan, jika tidak
disertai dengan deformasi yang luas, dapat mengindikasikan suatu lingkungan di
mana gas yang dihasilkan selama pematangan mungkin terperangkap dalam
sedimen yang berdekatan. Oleh karena itu, gas akan tersedia untuk diadsorpsi oleh
batubara selama pengangkatan. Sedangkan, cleat eksogenik terjadi akibat
pengaruh struktur geologi berupa tektonik, perlipatan, dan sesar dan biasanya
terbentuk setelah terbentuknya cleat endogenik sehingga belum tentu tegak lurus
terhadap lapisan batubara. Berbeda dengan cleat endogenetik, cleat ini dapat
terbentuk akibat kompresi sehingga cenderung menghasilkan bubuk batubara,
yang dapat bermigrasi dan merusak permeabilitas. Pengalaman di Rusia
menunjukkan bahwa peningkatan perkembangan rekahan eksogenetik pada
batubara semakin menurunkan permeabilitas hingga sulit untuk mengalirkan gas
metana (CH4) dari blok pertambangan bawah tanah. Menurut Jeremic (1986),
dalam Kuncoro (2012) membagi cleat berdasarkan genesanya yaitu endogenic
cleat, exogenic cleat, dan induced cleat. Pada induced cleat bersifat lokal akibat
tahap penambangan dimana adanya perpindahan beban ke dalam struktur tambang
atau karena pengaruh peledakan pada lapisan batubara.

Gambar 2.8. Model dari tegasan akibat struktur geologi dalam genesa
pembentukan jurus cleat (Modifikasi Ryan, 2003).
Perkembangan porositas/permeabilitas rekahan merupakan salah satu
parameter terpenting untuk produksi gas metana lapisan batubara yang efektif dan
ekonomis. Cleat yang melimpah meningkatkan permeabilitas dan berhubungan
dengan reservoir yang sangat retak. memodelkan permeabilitas batubara.
persamaan yang mewakili hubungan antara permeabilitas, banyaknya rekahan dan
bukaan rekahan dengan asumsi permeabilitas terjadi terutama melalui rekahan.
Menurut Lucia (1983) dalam sapiie (2014), menunjukkan bahwa permeabilitas
meningkat seiring dengan bertambahnya pangkat tiga bukaan rekahan dan
bervariasi dengan kebalikan dari jarak rekahan. Dimana matriks pada batuan
karbonat bersifat impermeable seperti halnya matrik pada batubara, sehingga
perhitungan permeabilitas pada batuan karbonat dapat diterapkan pada batubara
dengan komponen perhitungan meliputi W sebagai aperture cleat (cm) dan Z
sebagai spasi cleat (cm).

k = [84,4 x
105] w3 /
Keterangan :
k = Permeabilitas (mD)
w = bukaan rekahan / aperture (cm)
z = jarak rekahan / spacing (cm)
Selanjutnya persamaan diatas disederhanakan oleh Aguilera (1995) dalam
Apriyani, 2014) dengan mengkombinasikan terhadap hukum Darcy’s.
Kf = 8,35 x 106W2 Cubes,
k2 = (2/3)(KfW2/Z)
Match sticks, K2 = (1/2)(Kf W2/Z) ……….. ( persamaan 2.2)
sedangkan rumus perhitungan pendekatan permeabilitas berdasarkan
sistem cleat menggunakan rumus dari (Harpalani dan Chen, 1995) dalam (Suarez-
Ruiz dan Crelling, 2008) yang diadopsi untuk digunakan pada lapisan batubara.

k = b3/12s……………….. ( persamaan 2.3)


Keterangan :
k = Permeabilitas (mD)
b = Lebar rekahan / aperture (mm)
s = Spacing (mm)
Data geometri cleat pada lapisan batubara dapat diperoleh langsung di
lapangan berdasarkan pengamatan terhadap jenis cleat, jarak antar cleat (spacing),
lebar bukaan (arpenture), pengisi,dan panjang ( length).
1. Panjang cleat pada lapisan batubara secara megaskopis hanya 1-2 meter,
sedangkan secara mikroskopis hanya beberapa mikron. Tinggi cleat
dibatasi oleh roof, floor, hadirnya parting/clay band, dan perubahan
frekuensi cleat. Pengukuran panjang cleat tidak mudah dilakukan, karena
cleat harus diukur kearah down dip singkapan yang umumnya masih
tertutup lapisan penutup. Pengukuran panjang cleat dapat dilakukan bila
lapisan penutup baru saja di kupas (stripping), sehingga bagian atas
lapisan batubara menjadi tampak jelas.
2. Menurut Laubach et al. (1998), umumnya lebar bukaan cleat kurang dari
0,1 mm, meskipun kadang hadir mineral-mineral diagenetik yang mengisi
rekahan cleat dan dapat mencapai 0,5 cm. Menurut Gamson (1993 dalam
Laubach et al., 1998), lebar bukaan cleat in situ berkisar 0,001-20 mm. Di
daerah penelitian, pada singkapan in situ yang segar, bukaan cleat kurang
dari 1 mm kecuali bila terisi mineral pirit atau mineral sekunder lain, pada
batubara lapuk, bekas peledakan, maka
3. Jarak antar bidang cleat dipengaruhi oleh faktor faktor seperti derajat
batubara, komposisi batubara, tebal lapisan batubara, mineral pengisi,
derajat deformasi tektonik dan kompaksi, serta umur batubara. Sejumlah
peneliti telah mengamati variasi jarak cleat yang berkait dengan derajat
batubara, yaitu mulai dari lignit sampai batubara bituminus bervolatil
menengah dan batubara antrasit, hasilnya masing-masing batubara akan
membentuk suatu sebaran jarak cleat tertentu (Laubach et al., 1998).
Peneliti yang lain dalam Kuncoro, (2012) menyatakan bahwa jarak antar
bidang cleat bervariasi dari 1 mm sampai 30 cm (Ward, 1984; Paul, 2003),
sedangkan menurut Massaroto (2000), jarak antar face cleat 10-25 mm
dan butt cleat 10-22 mm. Berdasarkan karakteristik batubara, geokimia
ataupun komposisi maseral dapat mempengaruhi pola dari cleat yang
berkembang. Semakin meningkatnya rank batubara, maka jarak antar cleat
akan mengalami perubahan yang cenderung semakin merapat, didalam
pada sub-bituminous memilki intensitas (2-15 cm), high-volatile
bituminous (0,3-2 cm) dan medium-low volatile bituminous (< 1 cm).
2.2.3 Gas Metana Batubara (Coalbed Methane)
Menurut Ayers (2002) dalam ragil Pengaruh Struktur dan tektonik, sistem
CBM berbeda dengan petroleum system, dalam hal sumber hidrokarbon, batuan
reservoir dan proses penyimpanan gas, serta batuan penutup dan pemerangkapan
hidrokarbon. Coalbed Methane (CBM) adalah gas metana (CH4) yang terdapat
dalam lapisan batubara bersama dengan sejumlah kecil gas hidrokarbon dan non-
hidrokarbon lain sebagai akibat proses kimia dan fisika. Melalui sejumlah reaksi
kimia (thermogenic) atau karena bakteri (biogenic) gas metana ini dihasilkan dan
disimpan dalam lapisan batubara. Pada batubara dengan peringkat (rank) lebih
tinggi gas terbentuk karena proses thermogenic, sedangkan pada batubara dengan
rank lebih rendah gas terbentuk karena proses pembusukan material organik oleh
bakteri. Lapisan batubara terbentuk oleh material organik yang kaya akan unsur
hidrogen, oksigen, dan karbon yang selanjutnya mengalami dekomposisi dan
membentui rantai karbon CH4. Di dalam CBM, lapisan batubara berperan sebagai
sumber gas dan sekaligus reservoir. Pembentukan gas metana batubara secara
biogenik dapat terjadi ketika tekanan pada lapisan batubara mampu menurunkan
campuran organik dan melepaskan gas metana. Karena lapisan batubara
mempunyai permukaan butiran yang relatif besar, maka batubara dapat
menyimpan gas hingga 6 – 7 kali lebih besar daripada batuan dalam reservoir gas
konvensional. (Hidartan dkk,2010).
Batuan Reservoir dan Proses Penyimpanan Gas Menurut Yee (1993)

dalam Ragil (2002), coalbed methane (CMB) yang tersimpan dalam cleat dan
pori batubara tersimpan berupa free gas, yang terlarut dalam air dalam batubara,
atau sebagai gas yang terabsorsi di permukaan butiran batubara.. Kedalaman yang
dibutuhkan untuk menghasilkan reservoir coalbed gas adalah kurang dari 4000
kaki. Karakteristik utama dalam CBM adalah permeabilitas karena gas dalam
lapisan batubara akan mengalir jika tekanan air diturunkan. Sebagian besar CBM
disimpan dalam struktur molekul batubara, sebagian lagi disimpan dalam rekahan
atau cleat batubara atau terlarut oleh air yang terperangkap dalam rekahan.
Sehingga makin banyak rekahan dan cleatnya, maka kemungkinan terdapatnya
CBM semakin besar. Methane akan mencapai permukaan batubara melalui
rekahan dan akan tetap berada di tempatnya karena adanya tekanan air. Ketika
tekanan air diturunkan, gas akan mengalir ke sumur bor atau bermigrasi ke
permukaan melalui rekahan.
Menurut Ayers (2002), batuan penutup dibutuhkan untuk mencegah gas
keluar dari batuan reservoir lapisan batubara. Batuan penutup biasanya berupa
batulempung, maupun shale. Proses pemerangkapan seperti pada sistem
petroleum secara konvensional tidak diperlukan pada sistem CBM, karena pada
sistem CBM, proses pemerangkapan gas metana terjadi akibat penarikan kebawah
(subordinate) oleh gaya gravitasi bumi, sehingga gas metana tetap tersimpan
dalam cleat maupun mikropori alam lapisan batubara. Menurut hidartan dkk,
(2010) Beberapa batasan yang dipilih dalam perhitungan potensi CBM, yakni :
1. Ketebalan lapisan batubara > 2 meter
2. Kedalaman 200 – 2200 meter
3. Rank batubara Lignit-Bituminous
4. Vitrinate reflectance 0.3-0.41%
2.2.4 Hubungan Cleat dan Coalbed Methane
Coalbed Methane yang termasuk dalam migas nonkovensional adalah
minyak dan gas bumi yang terkandung dalam batuan induk itu sendiri maupun
yang telah bermigrasi dan berkumpul pada batuan lainnya (reservoir) yang
berdekatan, dengan karakteristik permeabilitas rendah-sangat rendah.
Memproduksi migas nonkonvensional menggunakan teknologi produksi tersier
(tertiary oil recovery) dengan cara pemboran horizontal (horizontal drilling)
kemudian pembuatan rekahan dengan cara menembakkan fluida campuran air dan
zat kimia dalam lapisan target (hydraulics fracturing) sehingga minyak dapat
dialirkan melalui rekahan-rekahan tersebut dan dipompa ke atas permukaan.
Dalam pemanfaatan CBM pada lapisan batubara cleat menjadi jalur rekahan yang
membuat gas pada matriks menjadi tidak statis (Parwata, 2015).
Struktur geologi dan karakteristik geometri cleat akan menjadi rekahan-
rekahan yang memberi manfaat dalam eksplorasi dan pemanfaatan gas metana.
Bidang cleat berfungsi sebagai rongga pori, tempat akumulasi, dan lalunya gas
metan dan air atau sebagai saluran pokok untuk perpindahan gas metana dari
reservoir batubara. Permeabilitas gas metana yang melalui lapisan batubara sangat
dipengaruhi oleh frekuensi cleat dan derajat perkembangan fragmentasi cleat.
Berdasarkan penyelidikan yang lebih baik tentang orientasi cleat dan jenis
rekahan telah berhasil mempelajari parameter-parameter yang dapat menghasilkan
pengertian mendalam mengenai permeabilitas di dalam batubara. Ketika derajat
batubara meningkat, maka jarak antar cleat semakin rapat, pada akhirnya dapat
meningkatkan porositas efektif cleat dan permeabilitas. Batubara yang paling
produktif mengandung CMB adalah batubara yang banyak mengandung rekahan
(cleat) dan permeabilitasnya besar (Kuncoro, 2012).
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian
Lokasi penelitian secara geografis berada pada kordinat UTM X 255699-
257410 dan Y 9805102-9806802 UTM Zona 48S. Sementara secara adminstratif,
daerah penelitian ini berada Desa Padang Kelapo, Kecamatan Muaro Sebo Ilir,
Kabupaten Batang Hari, Provinsi Jambi. Penelitian pengambilan data berlangsung
selama 3 bulan dengan uraian pelaksanaan penelitian dari pengumpulan data
sekunder sampai penyusunan laporan akhir.
Tabel 3.1. Pelaksanaan Kegiatan Tugas Akhir
2023 2024
No. Kegiataan Juli- September Oktober November Desember Januari Februari Maret April
agustus

1. Studi literature
dan pengumpulan
data sekunder
2.
Persiapaan dan
orientasi
lapangan
3.
Pemetaan dan
pengambilan data
4. Pengolahan data
primer dan
sekunder

5. Analisis
laboratorium
6. Konsultasi dan
bimbingan
7. Penyusunan
Laporan
Gambar 3.1. Peta Tofografi daerah penelitian
3.2 Alat dan Bahan
Alat
Alat dan perlengkapan yang digunakan selama proses pengambilan data
lapangan terdiri dari:
1. Kompas geologi, digunakan untuk mengetahui arah mata angin, mengukur
struktur geologi dilapangan.
2. Global Positioning System (GPS) Garmin etrex 10, digunakan untuk
mengetahui kordinat titik lokasi pada area pengamatan.
3. Palu geologi tipe palu yang memiliki satu bagian yang pipih, palu tipe ini
digunakan untuk mengambil sampel batuan relatif tidak terlalu keras
seperti batuan sedimen.
4. Kamera, digunakan untuk mengambil gambar dilapangan sebagai data
pedukung atau dukumentasi.
5. Alat tulis, digunakan untuk mencatat semua data yang diproleh di
lapangan.
6. Pengaris, digunakan sebagai alat ukur untuk pengambilan data-data cleat
pada lapisan batubara.
7. Meteran, digunakan untuk melakukan pengukuran Measure Section (MS)
dan profil di lapangan.
8. Spidol permanen, digunakan untuk memberikan kode pada setiap sampel
batuan.
9. Peta tofografi, digunakan sebagai acuan dalam menentukan jalur lintasan
serta memproyeksikan hasil ploting dari GPS di setiap titik lokasi
pengamatan.
Beberapa bahan-bahan yang diperlukan selama pengambilan data dilapangan
antara lain sebagai berikut:
1. Larutan HCl, digunakan untuk mengetahui sifat karbonat pada batuan
2. Sampel batuan, digunakan untuk objek penelitian yang akan diamati serta
dianalisa secara petrografi.
3. Singkapan batuan dan cleat, sebagai objek penelitian.
4. Aplikasi ArGis dan RockWork.
3.3 Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan secara umum berupa survei lapangan dan
perolehan data lapangan, pemilahan data, perhitungan data, serta analisis dan
interpretasi statistik.. Metode survei yang dilakukan berupa survei pemetaan
geologi permukaan melalui observasi lapangan menggunakan jalur lintasan
tertentu. Observasi geologi di lapangan yang dilakukan meliputi orientasi medan
area penelitian, pengamatan geomorfologi, pengamatan singkapan, pengukuran
struktur geologi, dan pengambilan sampel batuan. Parameter geologi yang diambil
dilapangan berupa geomorfologi, pola aliran, litologi batuan, struktur geologi
dengan metode pengamatan, pengukuran langsung dilapangan dan interpretasi
peta. Sehingga diharapkan menghasilkan peta geologi, peta geomorfologi, peta
pola pengaliran dan peta pengamatan wilayah.
Perolehan data lapangan cleat memerlukan dua metode pengukuran metode
scan-line dan metode window dengan area 1x1 meter yang pengukurannya
dilakukan pada permukaan lapisan batubara bagian vertikal. Fokus objek untuk
mengetahui aspek kuantitatif dari cleat, meliputi analisa orientasi arah cleat,
aperture, spacing dan length. Lalu pengolahan data yang relatif besar dilakukan
metode analisis dengan geostatistik. Analisis geostatistik dapat mengkonversi data
georeferensiasi menjadi teks dan parameter statistik yang digunakan dalam
proyeksi stereografik cleat batubara dan interpretasi statistik yang optimum
dengan bantuan aplikasi.
Analisa yang dilakukan dari pengolahan data yang hasil lapangan dan di
laboratorium berupa analisis orientasi cleat, analisis jenis ganesa cleat, analisis
atribut cleat, perhitungan permeabilitas, analisis pengaruh peringkat dan
komposisi batubara pada cleat terhadap pembentukan potensi CMB berdasarkan
analisis proksimat dan ultimat, dan analisis mikro-cleat hasil SEM. Hasil analisis
cleat diharapkan dapat digunakan untuk menginterpretasi pembuatan peta potensi
gas metana pada batubara daerah penelitian.
3.4 Tahapan Penelitian
Tahapan Persiapan Pada tahap ini dilakukan persiapan sebelum melakukan
penelitian mulai dari mengurus segala keperluan dan admistrasi, serta mencari
informasi dan gambaran daerah penelitian secara umum. Tahap pendahuluan ini
diantaranya:
1. Adminstrasi
Pada tahap ini melakukan perizinan segala sesuatu yang menjadi syarat untuk
melakukan penelitian baik dari pihak Universitas Jambi maupun pimpinan
perusahaan tempat penelitian. mempersiapkan kelengkapan lapangan, diskusi
dengan pembimbing serta mempersiapkan peta administrasi, peta geologi
tentatif, pada kelurusan dan peta pola aliran sebagai acuan selama pemetaan
pada daerah penelitian.
2. Peta Sekunder
Pada tahap ini menyiapkan peta-peta dasar berupa peta tofografi, peta geologi
regional, peta pola pengaliran, dan DEM kemudian di overlay sehingga menjadi
peta rencana lintasan
3. Studi Pustaka
Pada tahap ini dimana tahapan berupa riset untuk mengumpulkan dan
mempelajari informasi umum mengenai kondisi geologi didaerah penelitian
dengan merujuk pada beberapa buku, jurnal, penelitian tugas akhir, makalah
ilmiah maupun peneliti-peneliti dahulu yang tidak dipublis seperti data-data
perusahaan lokasi penelitian. Selain itu, juga dibutuhkan studi literatur yang
berkaitan erat dengan topik penelitian untuk memproleh gambaran umum serta
memperkuat metode penelitian yang akan digunakan.
4. Alat dan Perlengkapan
Menyiapkan segala alat dan perlengkapan demi kelancaraan pemetaan
dilapangan yang akan digunakan dalam penelitian ini seperti yang telah
dijabarkan yaitu berupa kompas, palu geologi, kamera, alat tulis dan lainnya.
5. Data Sekunder
Data sekunder yang digunakan pada penelitian ini berupa data tata guna lahan,
data daerah aliran sungai, data batas-batas wilayah perusahaan, dan data rawan
bencana disekitar daerah penelitian.

Tahapan Survei Pedahuluan


Tahap survei lapangan ini dilakukan untuk melakukan orientasi lapangan
didaerah penelitian sebelum melakukan kegiataan pengambilan data. Mengamati
lingkungan serta mencari tahu tingkat keamanan dilapangan di daerah tersebut
baik dari masyarakat ataupun binatang buas. Perlunya mengamati dalam
cangkupan luas keterdapatan objek penelitian didaerah tersebut sehingga peneliti
dapat mengambarkan keadaan geologi berdasarkan bentukan yang teramati di
lapangan.

Tahapan Pengambilan Data


Peneliti melakukan pemetaan geologi permukaan pada daerah penelitian
dengan melakukan pengambilan data secara langsung di lapangan. Pengamatan ini
dilakukan dengan menggunakan metode lintasan penelitian pengamatan yang
disesuaikan dengan kondisi lapangan. Pengambilan data berupa geomorfologi
bentang alam, pengukuran struktur geologi, pengukuran statigrafi, pengambilan
sampel batuan dan pengambilan data cleat sebagai objek penelitian. Penelitian ini
dilakukan dengan melewati jalan, sungai, tebing atau lereng perbukitan untuk
menemukan singkapan-singkapan batuan pada area penelitian dan mengamati
bentuk-bentuk lahan yang pada area penelitian. Tahap penelitian dibagi menjadi 5
(lima), yaitu:
1. Pengamatan Geomorfologi
Dilakukan untuk mengetahui pembagian satuan bentang alam, proses-proses
geomorfologi dan aspel morfologi, morfogenesa, morfokronologi dan
morfokonservasi di daerah penelitian. Aspek morfologi menganalisa bentuk muka
bumi secara umum yang terbagi atas satuan lahan dan bentuk lahan, aspek
morfogenesa menjelaskan asal mula bentuk lahan dan perkembangannya serta
proses-proses pembentukann, aspek morfokronologi mengkaji masalah evolusi
pertumbuhan bentuk lahan atau urutan bentuk lahan dan umur pembentukannya
sebagai proses dari geomorfologi dan aspek morkonvervasi menjelaskan
hubungan bentuk lahan dan lingkungan berdasarkan parameter bentuk lahan
seperti hubungan bentuk lahan dengan vegetasi dan tanah.
2. Pengamatan Statigrafi dan Litologi
Pengamatan data singkapan batuan dilakukan secara langsung dilapangan
dengan cara memploting lokasi pengamatan singkapan dari data yang diambil
berupa: kordinat, elevasi, sketsa singkapan dan bentangalam, serta pengamatan
aspek geologi lainnya. Pengamatan litologi meliputi deksripsi litologi dengan
melakukan pengambilan sampel lalu melakukan pengamatan terhadap sifat fisik
batuan secara megaskopis. Data statigrafi atau hubungan antar batuan digunakan
untuk mengetahui hubungan batuan dan urutan terbentuknya satuan batuan daerah
penelitian.
3. Pengukuran Struktur Geologi
Pengukuran Struktur Geologi dilakukan melakukan analisa dan
interpretasikan jenis struktur yang bekerja serta pengaruhnya pada daerah
penelitian. Analisis struktur dapat dilakukan dengan metode-metode yang ada
( diagram roset dan stereonet) serta mengkontruksi struktur geologi dengan
mengacu pada teori dan model yang sudah ada. Beberapa data struktur yang
diambil dalam penelitian ini berupa data struktur geologi seperti kedudukan
pelapisan batuan (strike, dip) dan bidang sesar yang meliputi gores garis dan zona
breksiasi.
4. Pengambilan Sampel Batuan Permukaan
Sampel batuan diambil langsung dari titik lokasi pengamatan menggunakan
palu geologi (palu beku/palu sedimen) pada singkapan batuan di lapangan.
Pengambilan sampel dilakukan pada setiap singkapan yang ditemukannya di
lapangan dengan batasan-batasan tertentu. Pemilihan batuan yang baik (fresh)
lebih diutamakan dan titik pengambilan sampel langsung diploting kordinatnya
pada peta dasar. Pengambilan sampel bertujuan untuk pengamatan secara
megaskopis dan juga pengambilan sampel bertujuan persediaan batuan terbaik
untuk di analisis secara mikroskopis di laboratorium.
5. Pengambilan data cleat
Melakukan pengamatan karakteristik cleat secara rinci pada posisinya di
lapisan batubara. Penelitian ini bertumpu pada pengamatan cleat di lapangan
maupun di laboratorium, sehingga mempunyai keluasan pemahaman mengenai
karakteristik cleat pada lapisan batubara. Pengambilan data aspek kuantitatif dari
cleat, meliputi analisa strike-dip, aperture, spacing dan length.

Tahapan Preparasi Sampel


Tahap ini merupakan tahap pemilihan sampel untuk dilakukan analisa
laboratorium. Analisa laboratorium terdiri dari analisis petrografi dan analisis
micro-cleat.
1. Analisis kualitas batubara diperoleh dari analisis kimia sampel batubara di
laboratorium, meliputi analisis proksimat dan analisis ultimat. Analisis
proksimat dilakukan untuk mengetahui komposisi kandungan air (Moisture,
M), kandungan abu (Ash Content), kandungan zat terbang (Volatile Matter,
VM), karbon tertambat (Fixed Carbon, FC), kadar sulfur, berat jenis
(Specific Gravity, SG), dan nilai kalori batubara (Calorific Value, CV).
Analisis ultimat dilakukan untuk mengetahui unsur-unsur kimia dalam
batubara seperti karbon, hidrogen, oksigen, nitrogen, belerang, unsur
tambahan dan unsur langka. Prosedur analisis ini cukup ringkas, cukup
dengan memasukkan sampel batubara ke dalam alat dan hasil analisis akan
muncul kemudian pada layar komputer.
2. Pengamatan micro-cleat menggunakan alat (mikroskop electron) SEM
tujuannya adalah untuk mengetahui karakter micro-cleat dan komposisinya.
Metode dan prosedur pengujian yaitu dengan dipreparasi terlebih dahulu,
sebelum diuji dan diamati. Contoh sampel dipotong hingga ukuran 20 mm 3
dan dibersihkan dari debu dengan semprotan udara secara hati-hati. Sampel
ditempelkan dengan lem konduksi mengandung bubuk metal di atas tempat
dari kuningan atau tembaga, selanjutnya dilapisi secara elektrolisis dengan
emas di dalam vacuum evaporative coater.

Tahapan Penyusunan Laporan


Tahapan ini merupakan tahapan akhir dari pelaksanaan penelitian dimana
proses menuangkan atau menyajikan hasil dari pengumpulan data yang
digabungkan baik data lapangan, analisa laboratorium dan analisa studio sehingga
menjabarkan beberapa pernyataan baru. Laporan disusun dalam bentuk tulisan
ilmiah yang terdiri dari beberapa informasi geologi meliputi keadaan
geomorfologi, statigrafi, struktur geologi dan atribut cleat. Hasil dari data yang
dianalisis yaitu peta lintasan, peta geomorfologi, peta geologi, peta pola
pengaliran, peta orientasi cleat, peta model pesebaran nilai permeabilitas batubara
pada daerah penelitian dan histogram penyajian data atribut cleat.
Peta lintasan diproleh dari data-data pengamatan singkapan batuan yang ada
di lapangan yang kemudian disajikan dalam bentuk peta. Data-data yang tertuang
dalam peta lintasan berupa data litologi di setiap lokasi pengamatan, data struktur
geologi dan aspek geologi lainnya.
Peta geomorfologi daerah penelitian diproleh dari data-data pengataman
geomorfologi di lapangan dan kemudian dilakukan penentuan satuan bentuk lahan
berdasarkan referensi Verstappen 1983) yang dimodifikasi. Data-data yang
terdapat pada peta ini berupa aspek-aspek geomorfologi seperti morfografi,
morfometri yang terdiri dari relief, elevasi, kemiringan dan bentuk lembah,
morfogenesa yang terdiri dari morfostruktur aktif dan pasif serta morfokonservasi.
Peta pola pengaliran diproleh dari stadia sungai yang didapatkan pada
daerah penelitian, bentuk sungai, dan pengaruh aliran sungai terhadapa kondisi
geologi yang berada pada lokasi penelitian.
Peta geologi daerah penelitian merupakan peta geologi baru yang dibuat
oleh peneliti berdasarkan informasi geologi berupa data-data yang diproleh dari
survei deskritif yang dilakukan di lapangan pada saat pemetaan geologi
permukaan. Informasi tersebut berupa satuan batuan, statigrafi dan struktur
geologi yang terdapat pada area penelitian.
Dalam pembuatan histogram kuantitatif cleat aperture, lenght dan
spacing, peneliti menggunakan software Rockworks14. Data yang diambil yaitu
hasil data pengamatan dan pengukuran cleat dalam lapisan batubara permukaan.
Dari data tersebut dilakukan perhitungan untuk mengetahui permeabilitas dari
lapisan batubara tersebut menggunakan rumus persamaan darcy. Dari data
permeabilitas tersebut dibuat peta pembagian sebaran prospek kajian ekplorasi
lanjut potensi gas metana pada batubara di daerah penelitian . Lalu Pembuat peta
orientasi cleat pada daerah penelitian yang diproleh dari hasil pengukuran cleat di
lapangan lalu dianalisis menggunakan diagram roset.

3.5 Alur Kerja Penelitian


Alur kerja penelitian yang terdiri dari beberapa tahap yang diperlukan untuk
memproleh hasil penelitian yang akurat. Tahapan tersebut dapat dilihat pada
bagan Gambar 3.2.
Tahap penelitian

Studi Literatur

Survey Lokasi Geologi Regional Peta Dasar

- Surat izin
- Fisiografi - Peta Tofografi
- Luasan Lokasi - Tektonik dan Sruktur Geologi - Peta Geomorfologi
penelitian - Statigrafi - Peta Pola Pengalira
- Geomorfologi
- Peta Geologi Tentatif

Tahap Pengambilan Data

Data Morfologi Data Struktur Geologi Data Geologi Data Atribut Cleat

-Stadia Sungai - Pengukuran Kedudukan - Pengambilan data cleat


- Dekkripsi batuan
- Bentukan
Sesar, Kekar - Pengambilan sampel - dokumentasi
Lahan
- Dokumentasi batuan
- Dokumentasi
- Statigrafi
- dokumentasi

Tahap Preparasi Sampel

Tahap Pengolahan Data dan Analisis data

Analisis Studio Analisis Laboratorium

Analisis Geomorfologi Analisis Struktur Analisis Petrografi Analisis micro-cleat

Nama dan Jenis -Tekstur Batuan - Karakteristik micro-cleat


- Satuan bentuk
Struktur - Komposisi Batuan - Unsur pengisis micro-
lahan
- Kandungan Maseral cleat
- Pola Pengaliran

Tahapan Penyusunan Laporan

- Peta Lokasi Pengamatan


- Peta Pola Pengaliran
- Peta Geomorfologi
- Peta Geologi
- Peta Orientasi Cleat
- Pengaruh cleat terhadap CBM

Geologi dan Analisis Cleat Sebagai Indikator Potensi Coalbed Methane


Keterangan PT Tambang Buki Tambi
: Proses awal dan akhir penelitian
Gambar
: Hasil proses pegolahan penelitian 3.2. Bagan
Alur Kerja
Penelitian
DAFTAR PUSTAKA
Apriyani, N., Suharmono, Momen, M., Djaelani, S., Sodli, A., Satria, A., Murtani,
A.,S., 2013. Integrated Cleat Analysis And Coal Quality On Cbm
Exploration In Sangatta Ii Field, Kutai Basin, East Kalimantan.
Proceedings Indonesian Petroleum Association, 37.
Arif, I.,2014. Batubara Indonesia Gramedia. Bandung
Ayers Jr., W.B. 2002. Coalbed Gas System,Production, And Review Of
Contrasting From Thesan Juan And Powder River Basin. Oklahoma :
Aapg Database Of Coalbed Methane Acompendium Of Influential
Papers.
Azmi, R. & Amir, H., 2014. Ketahanan energi: Konsep, kebijakan dan tantangan
bagi Indonesia. Jakarta: Badan Kebijakan fiskal kementerian
Keuangan.
Bishop, M.G., 2001. South Sumatra Basin Provinsi, Indonesia
Bemmelen Rw. Van,.1949; The Geologogy Of Indonesia, The Haque Martinus
Nijhoft, Netherland. Vol Ia, Hal 732
Hamilton, W.B., 1979, Tectonics of The Indonesia Region. United States
Geological Survey.
Hidartan. Azizi, M.A Dan . Nas, C, (2010 ) Kajian Potensi Gas Metan Dalam
Batubara (Coalbed Methane) Di Indonesia. Universitas Trisakti.
Koesoemadinata R.P., 1982. Prinsip Sedimentologi: Jilid 2. Jurusan Tektnik
Geologi ITB. Bandung
Kuncoro, B., 2012. Cleat Pada Lapisan Batubara Dan Aplikasinya Di Dalam
Industry Pertambangan. Prosiding Simposium Dan Seminar
Geomekanika Ke-1, 2012, P50-61.
Laubach, S.E., Marrett, R.A., Olson, J.E. And Scott, A.R., 1998. Characteristics
And Origins Of Coal Cleat; Areview; International Journal Of Coal
Geology,Volume 35, Pages 175-207.
Linggadipura, R. D., Prasetyo M. H Dan Dimas E., 2016. Karakteristik Kuantitatif
Cleat Sebagai Indikator Gas Metana Batubara Di Kabupaten Bengkulu
Utara, Bengkulu
PSDMBP. 2012. Advanced Resources International, Inc., 1998. The Coalbed
Methane Industry: Technology And Development Of A New Gas
Resource. Unpublished Report, Prepared For The Government Of
Indonesia , Jakarta.
Pulunggono, A., Agus H.S., Kosuma, C.G., 1992. Pre-Tertiary And Tertiary Fault
Systems As A Framework Of The South Sumatra Basin; A Study Of
Sar-Maps. Proceedings Indonesian Petroleum Association, 21, P340 –
360
Ryan, B.D., 2003. Cleat Development In Some British Columbia Coals, In:
Geological. Fieldwork 2002, Bc Ministry Of Energy, Mines And
Petroleum Resources, Paper 2003-1, Pages 237-255.
Simandjuntak, T.O., Rusmana, E., Dan Supandjono, J.B., 1991. Geologi Lembar
Muaro Bungo, Skala 1: 250.000. Pusat Penelitian Dan Pengembangan
Geologi, Bandung.
Sukandarrumidi .2018. Batubara Dan Gambut.Ugm. Yogjakarta.

Anda mungkin juga menyukai