Anda di halaman 1dari 5

Menanti “Fajar” di Bumi Cendrawasih

Fransiskus Satria F. Renyaan

Pengantar

Terhitung sejak peristiwa Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada 14 Juli 1969
sampai dengan saat ini, Papua, persada dengan sebutan Bumi Cendrawasih dan surga
tersembunyi berada pada pangkuan Ibu Pertiwi. Lima puluh tiga tahun sudah kekayaan alam
dan keanekaragaman hayati di Bumi Cendrawasih menjadi ladang subur bagi para korporat
dan elit politik untuk menambah pundi-pundi kekayaan. Sehingga berwawal dari peristiwa
sejarah yang kelam dan eksploitasi sumber daya alam dan manusianya, timbul upaya-upaya
dari orang Papua untuk kembali menjadi tuan atas kepunyaannya. Namun sayang, timbul
banyak permasalahan dan konflik di Papua akibat dari upaya-upaya tersebut, yang sampai
saat ini tak kunjung terselesaikan. Pro-kontra NKRI Harga Mati dan isu-isu tentang Papua
Merdeka pun menjadi momok yang semakin menambah sejarah kelam orang Papua dalam
pangkuan Sang Ibu Pertiwi.

Meskipun demikian apapun itu akar permasalahannya, dalam konteks ini penulis
ingin menghantar setiap kita untuk melihat dan menyikapi konflik dan problematika yang
terjadi di Papua dari sudut pandang khazana ajaran iman Gereja Katolik, tentang
kemanusiaan dan damai yang sampai saat ini belum dirasakan secara utuh oleh orang Papua.
Orang Papua yang dimaksud bukan hanya orang asli Papua (OAP), namun juga semua orang
non Papua yang berdomisili di Papua. Karena problematika dan konflik berkepanjangan ini
telah mengakibatkan banyak penderitaan, penidasan, kelaparan, hilangannya tempat tinggal,
kematian, kecemasan, serta kerugian di segala aspek kehidupan bagi semua orang Papua,
khususnya OAP.

Oleh karena itu, penulis ingin menyajikan suatu kesinambungan antara kegembiraan,
harapan dan duka, serta kecemasan yang selama kurang lebih 53 tahun dirasakan dan dialami
orang Papua, dengan seruan Gereja tentang kemanusiaan dan damai bagi semua umat
manusia.1Maka secara tidak langsung, penulis ingin menyuarakan suara semua orang di
Papua, khususnya yang berada di pelosok-pelosok, yang dalam kurun waktu beberapa tahun
belakangan hingga saat ini menjadi korban akibat konflik (kontak tembak) yang melibatkan

1
Bdk. Gaudium Et Spes, dok. Konsili Vatikan II, 1965, hal. 9
aparat keamanan dan TPNPB-OPM. Mereka yang saat ini sangat merasakan penderitaan,
kecemasan, dukacita, hilang harapan, hilangannya harta benda dan juga nyawa, serta yang
telah lama menanti-nantikan “fajar” dalam hidup mereka.

Adapun fajar yang dimaksud bukanlah suatu fenomena alam semata. Melainkan
terang, keamanan, kesejahteraan, sukacita dan damai yang telah lama tidak dirasakan secara
bebas dan utuh oleh orang Papua. Hal ini bisa dikatakan mirip dengan yang dialami dan
dirasakan oleh bangsa Israel (Yahudi). Dimana setelah bertahun-tahun hidup di bawah
perbudakan Mesir, mereka dapat keluar pergi mendiami tanah terjanji dengan kuasa Allah
melalui perantaraan Musa dan para nabi setelahnya. Maka pada akhirnya, kebebasan dan
kegembiraan bangsa Israel itu disempurnakan oleh Yesus Kristus yang lahir ke dunia lewat
perantaraan rahim Perawan Maria. Sebab “dalam Dia ada hidup dan hidup itu adalah terang
manusia dan terang yang sesungguhnya ialah yang menerangi setiap orang, yang sedang
datang ke dunia.”2 Peristiwa inilah yang gereja peringati dan rayakan dengan sebutan Natal
atau kelahiran Tuhan.

Realita Konflik dan Penembakan Dewasa ini di Papua

Sebelumnya konflik dan kontak tembak antara TNI-POLRI dan OPM (saat ini dicap
teroris oleh pemerintah Indonesia) terjadi di hutan atau daerah yang jauh dari pemukiman
masyarakat sipil dan kota. Namun saat ini kontak tembak antara TNI-POLRI dan TPNPB-
OPM sudah merambak ke desa-desa tempat pemukiman warga sipil, bahkan sampai di pusat
kota. Seperti kejadian baru-baru ini yang terjadi di Kabupaten Puncak, tepatnya di pasar
Sinak. Di mana pada Selasa, 13 Desember 2022, terjadi penembakan oleh orang tak dikenal
yang menewaskan seorang karyawan Bank Papua. Penembakan ini diduga adalah ulah dari
jaringan TPNPB-OPM.

Adapun beberapa peristiwa kontak tembak yang belakangan ini terjadi di Papua ialah:
pada awal November 2021 terjadi kontak tembak antara TNI-POLRI dan OPM di Sugapa
yang membuat semua masyarakat ketakutan dan mengusikan diri ke dalam gedung gereja;
pada hari Selasa, 16 November 2021, dua orang warga sipil ditembak aparat keamanan (TNI-
POLRI). Alasannya sangat sepele dan tidak wajar, yakni karena dua orang warga sipil itu
dicurigai membeli gula pasir untuk pihak OPM. Selain itu, Kamis, 18 November 2021,
kurang lebih pukul 07.00, terjadi kontak tembak antara TNI-POLRI dan OPM di Bilogai

2
Bdk. Yohanes 1: 4&9
kota. Memang tidak diketahui apakah ada korban jiwa. 3 Namun pastinya warga sipil yang tak
bersalahlah yang menjadi korban ketakutan. Kemudian tercatat sejak Januari 2022 sampai
dengan pertengahan Desember ini, telah terjadi banyak kasus dan peristiwa penembakan
maupun kontak tembak antara aparat keamanan dan TPNPB. Contoh konkret adalah dengan
melihat konflik dan permasalahan yang selama satu tahun ini terjadi di Kabupaten Yahukimo
yang sampai saat ini belum menemukan titik terangnya. Juga peristiwa-peristiwa lainnya,
seperti pembunuhan pendeta Eliaser Baye di Kabupaten Nduga oleh Kelompok Kriminal
Bersenjata (KKB) pada Juli lalu; terjadi kontak tembak antara TNI dengan KKB jelang
Upacara Hari Ulang Tahun Proklamasi Kemerdekaan Indonesia ke-77, di Intan Jaya pada
bulan Agustus; peristiwa pembunuhan oleh sekelompok orang tak dikenal di jalan trans
Maybrat-Bintuni Papua Barat, yang mengakibatkan 4 orang meninggal dunia pada akhir
September; kontak tembak antara satgas Damai Cartenz dengan KKB di Kiwirok, Kabupaten
Pegunungan Bintang pada pertengahan Oktober lalu yang menewaskan seorang anggota
KKB. Ada banyak sekali peristiwa penembakan dan kontak tembak (konflik) baik itu konflik
horizontal maupun vertical yang terjadi di Papua selama kurun waktu satu tahun ini, yang
penulis sendiri tidak dapat mengulasnya satu persatu dalam tulisan ini. Tetapi perlu diketahui
bahwa yang terpenting adalah konflik yang terjadi selama bertahun-tahun di Papua tidaklah
menciptakan suasana hidup yang tenang dan damai.

Pada akhirnya semua kejadian kontak tembak itu mengakibatkan banyak masayarakat
sipil yang melarikan diri dan mengungsi di hutan dan juga gereja. Sebab kontak tembak yang
terjadi telah mengakibatkan rusaknya fasilitas umum masyarakat, seperti sekolah, puskesmas
dan juga bandar udara. Selain itu rumah-rumah masyarakat yang tidak bersalah pun menjadi
rusak akibat konflik ini. Lebih dari itu, akibat yang sangat besar ialah banyak nyawa yang
melayang, entah itu dari pihak TNI-POLRI, OPM maupun masyarakat sipil yang tak
bersalah.

Yesus Kristus Sang Fajar dan Raja Damai

Saat ini Gereja Katolik sedang memasuki masa Adven. Masa Adven sendiri adalah
suatu masa dalam ajaran dan tradisi Gereja dimana semua umat dihantar untuk
mempersiapkan hati dan batinnya untuk menyambut pesta kelahiran Tuhan. Juga dalam masa
ini, setiap anggota Gereja juga diajak untuk memurnikan diri dan hati dari segala dosa agar
nantinya layak untuk menyambut dan merayakan pesta kelahiran Tuhan. Pada hakikatnya,
3
Hasil wawancara langsung dengan P. Benyamin S. Magai, Pr, di wisma TOR St. Paulus, Nabire, Kamis, 18
November 2021, pukul 12.20 WIT
Adven adalah suatu masa penantian Gereja akan kelahiran Tuhan Yesus Kristus. Benar
bahwa peristiwa kelahiran Tuhan itu telah terjadi 2000 tahun yang lalu. Namun dengan masa
ini, diharapkan Yesus Kristus yang 2000 tahun lahir ke dunia itu juga dapat lahir di dalam
hati dan jiwa semua umat kristiani. Kepantasan hati dalam menanti dan menyambut kelahiran
Tuhan itulah yang menjadi inti pesan dari masa ini.

Oleh karena itu, Yesus Kristus adalah Sang Fajar yang lahir ke dunia untuk membawa
terang dan melawat umat-Nya sesuai dengan nyanyian pijian Zakharia, “Oleh rahmat dan
belas kasihan dari Allah kita, dengan mana Ia akan melawat kita, Surya pagi dari tempat yang
tinggi, untuk menyinari mereka yang diam dalam kegelapan dan dalam naungan maut untuk
mengarahkan kita kepada jalan damai sejahtera”.4 Ia yang adalah terang yang datang ke dunia
untuk membawa keselamatan dan kemuliaan bagi semua bangsa. 5 Yesus Kristus juga adalah
sosok Mesias yang telah lama dinubuatkan oleh para nabi yangmana Ia disebut sebagai Sang
Raja Damai. Ia diutus oleh Allah untuk membawa karya kselamatan Allah bagi umat manusia
dan membawa damai sejahtera atau kabar gembira kepada kaum miskin dan menyembuhkan
orang yang remuk-redam hatinya.6 Maka dari itu, dalam Kristus “pendamaian kita mencapai
puncak kesempurnaannya”.7

Penutup

Semoga melaui tulisan ini, “fajar” yang telah lama dinanti-nantikan dan dirindukan
orang Papua, dapat membuka mata hati dari setiap kita yang membacanya agar dapat menjadi
pemerhati akan realita konflik yang terjadi di Papua. Supaya “fajar” dapat segera
menyingsing dan menyinari setiap kita yang mendiami tanah ini, khusnya bagi meereka yang
selama bertahun-tahun hidup dalam kegelapan akibat konflik berkepanjangan. Sehingga tidak
ada lagi dukacita, penderitaan, kelaparan, koran jiwa, trauma dan perang yang dirasakan dan
dialami oleh semua orang Papua. Melainkan lahir dan terciptanya suatu kegembiraan,
sukacita, keadilan dan damai di tanah ini.

Meskipun demikian, penulis menyadari bahwa untuk menyelesaikan problematika


dan konflik yang telah dan sedang terjadi di tanah Papua bukanlah suatu perkara mudah. Hal
itu tidak semudah dengan membalikan telapak tangan. Diperlukan suatu kesadaran yang utuh
dari pemerintah pusat bahwa orang Papua telah lama hidup dalam penindasan, kekerasan,

4
Bdk. Luk.1:78-79
5
Bdk. Luk.2: 30-32
6
Bdk. Yes.61:1; Luk.4:18
7
Bdk. 1Tim.2: 5
ketidakadilan, rasialis, marjinalisasi dan diskriminasi serta kesenjangan sosial di segala aspek
kehidupan yang dilakukan oleh pihak pemerintah maupun masyarakat non Papua, khususnya
dalam hal ini pihak TNI-POLRI. 8 Selain itu konflik ini juga telah mengukir trauma yang
mendalam bagi semua orang Papua. Karena telah lama orang Papua hidup dalam ketakutan,
perang, ambang kematian, penderitaan, kelaparan, kemiskinan, termarjinal di atas tanahnya
sendiri, tanah peninggalan nenek moyangnya. Pendekatan militer yang dilakukan oleh
pemerintah Indonesia dalam upaya untuk menyelesaikan konflik dan permasalahan di Papua
selama puluhan tahun ini, hanya menambah permasalahan dan konflik serta luka yang
mendalam bagi seluruh rakyat Papua. Selain itu penetapan Daerah Otonomi Khusus (DOK),
jika diselidiki leih dalam hanya menjadi alasan dan media bagi pemerintah untuk
meninabobokan atau memanjakan orang Papua, sehingga selalu bergantung pada pemerintah
pusat. Dengan begitu, dalil mempertahankan Papua dalam pangkuan Ibu Periwi juga menjadi
sarana bagi masuknya investor asing dan transmigran untuk menguras kekayaan alam Papua.

Oleh karena itu, sesuai dengan seruan dan ajakan Gereja tentang kemanusiaan dan
damai bagi semua umat manusia. Maka penyelesaian problematika dan konflik yang telah
lama dan sedang terjadi di Papua, seharusnya tidak dengan pendekatan militer. Sebab perlu
diingat dan disadari bahwa orang Papua telah berpuluh-puluh tahun hidup dalam kekerasan
dan ancaman kematian. Maka pendekatan dan penyelesaian secara persuasiflah yang harus
segera dilakukan oleh pemerintah Indonesia dengan melibatkan pihak ketiga sebagai
mediatornya. Kemudian mengikutsertakan atau melibatkan seluruh pihak bukan hanya
pemerintah dan rakyat Papua, tetapi juga pihak Gereja dan elemen masyarakat lainnya, serta
aktivis HAM, (mengingat banyak pelanggaran HAM yang terjadi di Papua sejak berada
dalam kekuasaan Pemerintahan Indonesia), dalam sebuah dialog perdamaian. Sehingga tidak
ada lagi tangis dan air mata di atas tanah ini. Juga tak lagi penantian panjang akan datangnya
“sang fajar”. Melainkan, lahir sukacita dan damai di setiap hati dan hidup rakyat Papua yang
mendiami “Bumi Cendrawasih”.

Penulis adalah seorang mahasiswa STFT “Fajar Timur”

Abepura, 15 Desember 2022

8
Piet Yobee, The Happen Slavery of History in West Papua, 2019, Yogyakarta, hal. 61

Anda mungkin juga menyukai