Anda di halaman 1dari 32

Bab 6

Model “Tyler”
(Black Box Tyler)

6.1. Pengantar

Perkembangan model-model evaluasi kurikulum di Indonesia


dikemukakan untuk memperlihatkan suatu gejala yang tidak
berbeda dengan perkembangan disiplin ilmu pendidikan dan
upaya-upaya pendidikan yang pernah dilakukan manusia.
Meskipun demikian, sejarah perkembangan bidang evaluasi
kurikulum dan menghasilkan model-model kurikulum yang
memperlihatkan sesuatu yang khas (Suharsimi Arikunto dan Cepi
Safruddin A.J, 2009). Perkembangan model ini awalnya tidak
dilakukan secara khusus tetapi dalam satu nafas dengan model
pengembangan kurikulum.

Keterkaitan model dengan pengembangan kurikulum adalah


faktor yang menarik untuk diamati. Ada model yang
mencakup keseluruhan proses pengembangan kurikulum
(Curicullum Development) tetapi ada juga yang memiliki fokus
khusus pada suatu fase kegiatan pengembangan kurikulum
(Curicullum Construction, Curriculum Implementation dan
dimensi kurikulum sebagai hasil). Dari kenyataan model yang
pernah dikembangkan, harus diakui bahwa fokus pada
implemetasi kurikulum atau sebagai proses lebih banyak
menarik minat para evaluator. Model evaluasi yang
memperhatikan hasil lebih dari fase kegiatan pengembangan
kurikulum lainnya. Model yang dikembangkan Tyler
memperhatikan dimensi kurikulum sebagai suatu hasil.
6.2. Model Black Box Tyler

Model yang dikembangkan oleh Tyler didasarkan atas tujuan


instruksional yang telah ditetapkan bersamaan dengan
persiapan mengajar, ketika guru berinteraksi dengan siswanya
menjadi sasaran pokok dalam pembelajaran. Proses
pembelajaran dikatakan berhasil apabila para siswa yang
mengalami pembelajaran dapat mencapai tujuan yang telah
ditetapkan dalam proses belajar mengajar (Sukardi,2009).
Pendekatan ini bersifat sistematis, elegan, akurat dan secara
internal memiliki rasional yang logis. Model Tyler dinamakan
Black Box karena tidak ada nama resmi yang diberikan oleh
pengembanganya. Tyler, yang mengajukan model ini
menuliskan buah pikirannya tersebut tidak dalam suatu tulisan
lepas mengenai evaluasi kurikulum. Tyler mengemukakan
pikirannya mengenai model evaluasi kurikulum tersebut
dalam suatu buku kecil tentang kurikulum. Dengan buku kecil
itu pula namanya terangkat sebagai seorang ahli yang disegani
baik dalam kurikulum maupun dalam evaluasi.

Buku yang diberi judul Basic Principles of Curicullum and


Instruction ditulis Ralph Tyler ketika bertugas sebagai Profesor
di Universitas Chicago pada tahun 1949. Lebih dari 10 tahun
model ini terus digunakan karena kuatnya hubungan antara
model yang dikembangkan dengan tradisi psikometrik yang
menguasai dunia pendidikan di negara Amerika Serikat dan
evaluasi belum merupakan suatu daerah inkuiri yang mandiri.
Dalam implementasinya, model Tyler menggunakan unsur
pengukuran dengan usaha secara konstan, pararel, dengan
inquiri ilmiah dan melengkapi legitimasi untuk mengangkat
pemahaman tentang evaluasi. Fokus model Tyler menekankan
perhatian pada sebelum dan sesudah perencanaan kurikulum.
Selain itu menekankan bahwa perilaku yang diperlukan diukur
minimal dua kali yaitu sebelum dan sesudah perlakuan
(treatmen) dicapai oleh pengembang kurikulum (Hamid Hasan,
2008).

Berdasarkan kedua dasar ini, Tyler ingin mengatakan bahwa


evaluasi kurikulum yang yang sebenarnya hanya berhubungan
dengan dimensi hasil belajar. Tyler menghendaki evaluator
dapat menentukan perubahan tingkah laku yang terjadi
sebagai hasil belajar yang diperoleh dari kurikulum. Kenyataan
seperti itu menurut Tyler tidak mungkin dapat ditetapkan
apabila evaluator hanya melihat tingkah laku peserta didik
setelah mereka mengikuti kurikulum tersebut. Ketika
menentukan tujuan kurikulum yang akan dievaluasi harus pula
dipertimbangkan tingkah laku yang bagaimana yang dianggap
merupakan pernyataan bahwa tujuan tersebut telah tercapai.
Menurut model ini seorang evaluator harus dapat menentukan
jenis tingkah laku yang harus diperlihatkan peserta didik
sesuai dengan materi yang dipelajarinya. Di sini evaluator
dituntut untuk mengembangkan kisi-kisi tujuan yang akan
dievaluasi dalam tabel dua dimensi. Tabel dua dimensi yaitu
dimensi tingkah laku dan dimensi materi. Tabel tersebut dapat
dikembangkan dengan baik apabila para pengembang
kurikulum dan guru telah merumuskan tujuan belajar yang
harus dicapai peserta didik dalam bentuk behavioral objectives.
Adanya taksonomi tujuan pendidikan yang dikembangkan
Bloom bertujuan dapat memberikan arahan bagi perencanaan
hasil belajar yang terukur.

Dikutip dari buku Bloom, 1981 model Black Box digambarkan


bahwa preactive teaching merupakan bagian perlakuan sebelum
guru masuk kedalam kelas sedangkan Interactive teaching
merupakan wilayah proses pembelajaran yang dilakukan guru
sendiri. Proses terjadi dalam pembelajaran yang interaktif
berdasarkan tujuan pembelajaran. Siklus evaluasi terjadi
dengan membandingkan hasil belajar ataupun perubahan
perilaku berdasarkan tujuan sebelum pembelajaran dengan
hasil dicapai setelah proses belajar berlangsung. Data hasil
evaluasi dapat melalui hasil tes sumatif.

6.2.1. Tujuan Model Tyler

Model Tyler mengharapkan agar pengembang


kurikulum/program merumuskan tujuan kurikulum/program
dalam bentuk behavioral objectives. Seringkali terjadi, evaluator
harus berkonsultasi terlebih dahulu dengan para pengembang
kurikulum mengenai tujuan apa yang akan dievaluasi
mengenai tingkat pencapainnya. Tahun 1982, Braithwaite dan
Koop memberikan contoh menerapkan model black box Tyler
untuk mengevaluasi penataran yang dilakukan di bagian barat
metropolitan Sydney. Mereka membicarakan tujuan program
yang akan dievaluasi dan mengembangkan tujuan tersebut
dalam bentuk tujuan bahavioral atau juga sering diistilahkan
dengan tujuan yang operasional. Karena itu evaluasi program
yang menggunakan model Tyler mestinya memerlukan
informasi perubahan tingkah laku pada dua titik waktu yaitu
sebelum dan sesudah belajar dari suatu kurikulum. Dalam
istilah yang banyak digunakan sekarang diperlukan adanya tes
awal (pretest) dan tes akhir (posttest) untuk mengumpulkan
kedua informasi tersebut. Dalam kata-katanya sendiri (Tyler
1949:106 dalam Hasan, 2008) menulis, “On this basis, one is able
to evaluate an instructional program by testing students only
at
the end of the program. Without knowing where the students
were at the beginning, it is not possible to tell how far changes
have taken place”. Informasi yang diperoleh dari tes awal
merupakan gambaran kemampuan awal peserta didik
sedangkan informasi yang diperoleh dari hasil tes akhir
menggambarkan perubahan perilaku yang diperoleh peserta
didik setelah mengikuti proses pendidikan melalui kurikulum
tersebut. Alat ukur yang digunakan pada waktu tes awal dan
tes akhir harus sama, memiliki validitas konten yang tinggi dan
realibilitas tinggi pula. Persyaratan validitas dan realibilitas
mutlak untuk memberikan keyakinan bahwa informasi yang
diperoleh informasi awal dan tes akhir tersebut
menggambarkan kemampuan peserta didik pada waktu
mengikuti tes.

Model Tyler tidak memberikan perhatian mengenai proses


yang terjadi antar kedua tes tersebut dan oleh karena itu
model Tyler ini dikenal dengan nama black box. Apabila model
ini digunakan dengan desain eksperimen maka bagian proses
mungkin saja terjadi sesuai dengan apa yang diharapkan dari
suatu kurikulum. Tetapi ketika model ini digunakan dengan
desain penelitian deskriptif dan proses yang terjadi tidak
dievaluasi maka ada kekhawatiran bahwa sesungguhnya apa
yang terjadi pada diri peserta didik dalam proses tidak seperti
yang dirancang oleh kurikulum. Karena itu bagian proses ini
dianggap sebagai kotak hitam yang menyimpan segala macam
teka teki.

6.2.2. Prosedur Penggunaan Evaluasi Program Model Tyler

Pada pelaksanaannya Tyler mengemukakan ada tiga prosedur


utama yang harus dilakukan. Ketiga prosedur yang dimaksud
Tyler tersebut ialah:

Pertama, Menentukan tujuan kurikulum yang akan


dievaluasi.

Pengembangan kurikulum/program yang dipersyaratkan


behavioral objectives seperti yang dikemukakan Tyler memang
sudah umum dilakukan di Indonesia. Model tujuan behavioral
ini diperkenalkan sejak diberlakukannya kurikulum 1975,
mewajibkan guru mengembangkan satuan pelajaran dengan
menggunakan Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional
(PPSI). Tyler mengemukakan persyaratan tersebut, tujuan
dengan rumusan yang demikian masih merupakan sesuatu
yang baru bagi dunia pendidikan Amerika Serikat. Pada
gagasan Tyler ini yang kemudian mengilhami Bloom dan
kawan-kawannya mengembangkan ide tersebut menjadi
taksonomi tujuan pendidikan yang terkenal dengan nama
taksonomi tujuan pendidikan Bloom. Taksonomi Bloom dkk,
yang kemudian banyak diterapkan di Indonesia melalui
pengembangan Tujuan Instruksional Khusus (TIK) merupakan
salah satu komponen dalam model PPSI. Pada saat ini model
PPSI sudah tidak digunakan tetapi tujuan yang terukur dan
teramati masih tetap dianjurkan. Proses pengembangan KTSP
harus mengembangkan tujuan behavioral ini jika berkenaan
dengan model kurikulum berbasis kompetensi.

Kedua, Menentukan situasi di mana peserta didik


mendapatkan kesempatan untuk memperlihatkan tingkah
laku yang berhubungan dengan tujuan.

Model Tyler tampak sederhana tetap sangat menentukan


keberhasilan evaluasi model Tyler. Apabila situasi yang
ditetapkan tidak tepat, tingkah laku peserta didik yang
diharapkan tidak akan terungkapkan dengan baik atau dengan
kata lain proses pembelajaran yang terjadi tidak
mengungkapkan hasil belajar yang dirancang kurikulum.
Dengan kata lain, tujuan kurikulum tidak terevaluasi
sebagaimana seharusnya.

Ketiga, Menentukan alat evaluasi yang akan digunakan


untuk mengukur tingkah laku peserta didik.
Keeratan hubungan pada prosedur pertama dan kedua,
demikian pula halnya keertan hubungan antara langkah kedua
dengan langkah ketiga. Pada waktu evaluator menentukan
situasi dalam langkah kedua secara implisit sebenarnya
evaluator telah menentukan langkah ketiga yaitu penentuan
alat evaluasi yang akan digunakan. Alat evaluasi dapat
berbentuk tes dan alat ini adalah alat yang banyak digunakan
orang. Tetapi alat evaluasi dapat pula berbentuk alat bukan tes
seperti panduan observasi, kuesioner, panduan wawancara
(interview guide) dan lain sebagainnya. Ketika evaluator
menentukan situasi dimana peserta didik diharapkan dapat
mengemukakan hasil belajar dengan baik, evaluator harus
memiliki pengetahuan tentang karakteristik alat tersebut,
kekuatan dan kelemahan yang ada dihubungkan dengan
tujuan yang diukur.

Meskipun secara implisit evaluator telah menentukan alat


evaluasi yang akan digunakan, evaluator masih harus
menyatakannya secara eksplisit. Evaluator harus merancang
jenis alat evaluasi yang akan digunakan serta tujuan yang akan
diukur dengan alat evaluasi tersebut. Kemudian, model
evaluasi kurikulum Tyler menghendaki evaluator untuk
melakukan kajian mengenai alat evaluasi yang tersedia.
Pertanyaan pokok disini ialah apakah alat evaluasi yang
tersedia sesuai dengan tujuan yang akan diukur. Menurut Tyler
(1949: 113) (dalam Hasan,2008), “It is only after the objectives have
been identified, clearly defined, and the situations listed which give
oppurtunity for the expression of the behaviour desired that it is
possible to examine available evaluation instruments to see how for
they may serve the evaluation purpose desired”. Evaluator dapat
menggunakan instrumen yang sudah tersedia jika instrumen
tersebut memang cocok untuk informasi yang akan
dikumpulkan. Misalnya, seorang evaluator ingin mengukur
sikap kebangsaan peserta didik dan instrumen untuk
mengukur sikap kebangsaan sudah tersedia maka evaluator
boleh menggunakan instrumen tersebut. Tetapi jika instrumen
yang sudah ada itu megukur berbagai aspek dari sikap
kebangsaan yang berbeda dengan apa yang dirancang maka
evaluator tadi harus mengembangkan instrumen baru yang
sesuai dengan konstrak sikap kebangsaan yang diinginkan.
Yang terakhir dilakukan, mengembangkan instrumen baru,
evaluator tersebut harus mengembangkan instrumen sesuai
dengan prosedur yang dipersyaratkan oleh teori pengukuran.
Evaluator harus menjamin bahwa instrumen yang baik
menurut persyaratan pengukuran seperti validitas isi, validitas
konstrak karena berkaitan dengan konstrak sikap kebangsaan,
realibilitas. Prosedur untuk menguji validitas dan realibilitas
ini harus diikuti dengan ketat (John M. Owen. 2006).

Dalam mengukur hasil belajar, validitas isi yang tinggi


memberikan jaminan bahwa hasil belajar yang diukur sesuai
dengan hasil belajar yang diharapkan dimiliki peserta didik.
Reliabilitas yang tinggi memberikan jaminan bahwa
instrument tadi secara konsisten akan memberikan hasil yang
sama walaupun dilakukan di sekolah yang berbeda dan dalam
waktu yang berbeda. Instrumen yang memiliki reliabilitas
tinggi akan menempatkan seseorang sesuai dengan
kemampuan yang dimilkinya.

6.3. Kesimpulan

Hal yang penting dari hasil evaluasi adalah: (1) pengarahan


hasil evaluasi mampu membantu mengubah perilaku dari yang
sebelumnya; (2) Keberhasilan pencapaian akan selalu
dievaluasi; dan (3) Keberhasilan pencapaian tujuan didapat
dari evaluasi sumatif dan formatif yang hasilnya dilaporkan
kepada penanggung-jawab program. Keunggulan evaluasi
Tyler adalah kesederhanaan modelnya dan mudah dipahami
sehingga evaluator dapat memfokuskan kajian evaluasinya
hanya pada satu dimensi kurikulum yaitu dimensi hasil belajar.
Dimensi kurikulum seperti proses tidak menjadi fokus. Dari
evaluasi ini dihasilkan informasi yang pada umumnya
pendidik setuju karena sesuai dengan misi mereka. Bahan
pustaka bervariasi dan evaluasi ini dapat merefleksikan apa
yang dimaksud dan menjelaskan generalisasi yang rancu
tentang hasil pendidikan (Muzayanah, 2007)

Kelemahan dari model ini adalah fokus pada hasil belajar


mengabaikan proses tidak sejalan dengan pendidikan. Hasil
belajar adalah produk dari proses belajar dan oleh karena itu
hasil belajar yang diperoleh peserta didik hanya dapat
dijelaskan dari proses belajar yang mereka alami.Bahkan
implementasi kurikulum seringkali tidak sesuai dengan apa
yang dikehendaki oleh kurikulum sebagai rencana. Oleh
karena itu, proses merupakan variabel penting dalam kegiatan
evaluasi (Hasan, 2008). Selain itu, evaluasi ini memiliki
kelemahan adanya kesenjangan penilaian antara tahap kinerja
dengan tujuan, mengabaikan perubahan yang terjadi selama
program dievaluasi dan mengabaikan peristiwa dalam
program yang tidak merefleksikan tujuan (Muzayanah, 2007).
Bab 8
Model Berorientasi Tujuan
(Goal Oriented Evaluation)

8.1. Pengantar

Evaluasi pendidikan merupakan alat untuk mengevaluasi hal-


hal yang berkenaan dengan pendidikan seperti evaluasi hasil
belajar, evaluasi kinerja, evaluasi diri, dan evaluasi program.
Evaluasi adalah suatu tindakan sebagai atau kegiatan (yang
dilaksanakan dengan maksud untuk) atau suatu proses (yang
berlangsung dalam rangka) menentukan nilai dari segala
sesuatu dalam dunia pendidikan (yaitu segala sesuatu yang
berhubungan dalam, atau yang terjadi di lapangan
pendidikan). Atau singkatnya evaluasi pendidikan adalah:
kegiatan atau proses penetuan nilai pendidikan, sehingga
dapat diketahui mutu/hasil-hasilnya. Secara umum evaluasi
merupakan alat untuk mengevaluasi hasil belajar secara
kuantitatif.

Evaluasi program secara umum merupakan evaluasi yang


digunakan untuk mengevaluasi suatu program secara
mendalam dan menghasilkan justment yang dapat memiliki
dampak pada institusi atau suatu program yang di
evaluasifikasikan dan menjelaskan tiga paradigma. Evaluasi
program adalah suatu metode sistematis untuk
mengumpulkan, menganalisis dan menggunakan informasi itu
untuk menjawab pertanyaan dasar tentang program, kebijakan
dan pelaksanaannya.
Paradigma dalam program evaluasi menurut Potter (2006)
mengidentifikasi dan menjelaskan paradigm yang luas dalam
evaluasi program, yang pertama dan yang paling umum,
adalah pendekatan positivis, evaluasi hanya dapat terjadi di
mana terdapat “objektif”, aspek yang dapat diamati dan
terukur dari sebeuah program, yang membutuhkan bukti-bukti
kuantitatif domain. Pendekatan positivis mencakup dimensi
evaluasi seperti kebutuhan penilaian, penilaian teori program,
penilaian proses program, penilaian dampak dam penilaian
efisiensi (Rossi, Lipsey dan Freeman, 2005). Kedua, paradigma
yang diidentifikasi oleh Potter (20006) bahwa pendekatan
inteerpretatif, di mana ia berpendapat bahwa adalah penting
bahwa evaluator mengembangkan pemahaman tentang
perspektif, pengalaman dan harapan semua pemangku
kepentingan. Hal ini akan menyebabkan pemahaman yang
lebih baik dari berbagai makna dan kebutuhan yang
diselenggarakan oleh para pemangku kepentingan, yang sangat
penting sebelum seseorang mampu membuat penilaian
tentang manfaat atau nilai dari sebuah program. Kontak
evaluator dengan program ini sering (selama jangka waktu)
dan, meskipun tidak ada metode standar, observasi,
wawancara dan diskusi kelompok dengan focus umum yang
digunakan.

Potter (2006) juga mengidentifikasi pendekatan kritis-


emansipatoris untuk evaluasi program, yang sebagian besar
berdasarkan pada penelitian tindakan untuk untuk tujuan
transformasi social. Jenis pendekatan ini jauh lebih ideologis
dan sering kali berisi tingkat yang lebih besar dari aktivitas
social dipihat evaluator tersebut. Karena focus utama pada
struktur kekuasaan masyarakat dan penekanannya partisipasi
dan pemberdayaan, Potter berpendapat jenis evaluasi ini dapat
sangat berguna di Negara berkembang.
Evaluasi program dilakukan, dalam instrument hendaknya
kegiatan yang dinilai mampu menjawab tiga hal, apa (what)
yang dilaksanakan, who siapa sasarannya, how bagaimana
melaksanakannya, dan ada tiga komponen yang perlu
diientifikasi yaitu tujuan, pelaksana, dan prosedur pelaksanaan
(Arikunto dan Safruddin dalam evaluasi program pendidikan,
2004). Dalam evaluasi program dapat ditentukan “standar”
dan ‘indikator” dalam penilaian. Standar penilaian dapat
dilakukan scara kuantitatif dan kualitatif.

Ada beberapa model evaluasi program yang dikemukakan


Arikunto dan Safruddin dalam evaluasi program pendidikan
(2004), yaitu:
 Goal oriented evaluation model oleh Tyler, dimana
evaluasi dilaksanakan secara berkesinambungan dan
terus menerus terhadap tujuan yang akan dicapai.
 Goal Free Evaluation Model oleh Michael Scriven,tidak
terlalu terfokus pada tujuan khusus tetapi pada tujuan
umum kegiatan dan bagaimana proses
pelaksanaannya.
 Formatif-Summatif Evaluation Model, oleh Michael
Scriven, evaluasi pada program berjalan dan ketika
program selesai.
 Countenance Evaluation Model, oleh Stake dan
Fernander (1984), evaluasi ini mengidentifikasi konteks,
proses dan outcomes dalam sebuah matriks deskriptif
pertimbangan.
 CSE-UCLA Evaluation Model, oleh Fernander (1984),
model ini dibagi 4 tahap yaitu need assessment, program
planning, formative evaluation, summative evaluation.
 CIPPO Evaluation Model, oleh Stuffebeam dan kawan-
kawan (1967) yaitu pendekatan konteks, input, proses
dan product/outcomes.
 Discrepancy (kesenjangan model) oleh Malcolm
Provus, yang menekankan pada pandangan adanya
kesenjangan dalam pelaksanan program.
 Adapun yang dibahas dalam makalah ini adalah hanya
Goal oriented evaluation model atau evaluasi yang
berorientasi pada tujuan.

8.2. Goal Oriented Evaluation Model

Model evaluasi yang dikemukakan oleh Tyler yang dikutif oleh


Suharsimi yaitu goal oriented evaluation atau evaluasi yang
berorientasi pada tujuan adalah sebuah model evaluasi yang
menekankan peninjauan pada tujuan sejak awal kegiatan dan
berlangsung secara berkesinambungan, terus menerus, mencek
sejauh mana tujuan tersebut sudah terlaksana didalam proses
pelaksanaan program.

Goal oriented evaluation merupakan suatu pendekatan dari


evaluasi dampak yang bertujuan untuk menilai apakah tujuan
yang telah ditetapkan atau yang menjadi sasaran dari suatu
program sudah tercapai. Tyler (1950) menyatakan bahwa
sesuatu yang menjadi pokok dari evaluasi ini didasarkan pada
pencapaian tujuan, didalam pendekatan ini, tujuan-tujuan dari
suatu program yang sudah ditentukan sama dengan yang
dijalankan, dan keputusan tentang suksesnya dari suatu
program didasarkan pada ketercapaian atau sejauh mana
tujuan-tujuan tersebut telah dicapai, sesuai dengan sejumlah
standar yang sudah ditentukan atau tingkat pencapaian.

Tyler menjelaskan bahwa evaluasi dampak ini ditekankan pada


pencapaian tujuan pada bidang pendidikan, tetapi pendekatan
ini juga sudah digunakan untuk membantu profesi lain dan
dalam manajemen. Manajemen yang didasarkan pada tujuan
program dan dapat diputuskan pada organisasi atau
perorangan. Untuk perorangan ditujukan dalam bidang
penilaian atau ditekankan pada menilai daripada melakukan
evaluasi program. Evaluasi yang berorientasi pada tujuan
dapat dilakukan untuk mempromosikan pegawai atau
menurunkan pegawai, khususnya yang berkenaan dalam
bidang organisasi dilakukan untuk pemberian bonus yang
didasarkan pada hasil penilaian prestasi individu (Owen,
1993;88)

Menurut Tyler (1950) evaluasi program adalah proses untuk


mengetahui apakah tujuan pendidikan atau program sudah
dapat direalisasikan. Sedangkan Cronbach (1982) berpendapat
bahwa dalam evaluasi program pendidikan, meskipun
evaluator menyediakan informasi, evaluator bukanlah
pengambilan keputusan tentang suatu program. menurut
Arikunto dan Safruddin (2004) dalam evaluasi program
pendidikan harus dirancang khusus supaya tujuan dapat
dicapai dengan baik, dan untuk mengetahui seberapa jauh
atau bagian mana dari tujuan sudah direalisasikan atau belum
dan apa penyebabnya.

Tyler mengemukakan rasionalnya secara ilmiah logis, dapat


diterima dan dapat diadopsi oleh para evaluator pendidikan,
dan mempunyai pengaruh yang luas pada para ahli teori
evaluasi. Tyler mendeskripsikan enam kategori tujuan dari
sekolah, sebagai berikut: (a) menguasai informasi, (b)
mengembangkan kebiasaan kerja dan ketrampilan belajar, (c)
mngembangkan cara berpikir yang efektif, (d)
menginternalisasi sikap, minat, apresiasi, dan kepekaan sosial,
(e) menjaga kesehatan badan, dan (f) mengembangkan filosofi
hidup (Owen, 1993;89)

Pendekatan evaluasi berorientasi pada tujuan memfokuskan


pada tujuan spesifik dan menentukan sampai di mana tujuan
telah dicapai. Perintis pendekatan ini adalah Tyler.
Pemahaman Tyler tentang evaluasi adalah proses penentuan
sampai di mana tujuan pendidikan dari suatu program sekolah
atau kurikulum telah tercapaiAdapun langkah-langkah dalam
pendekatan Tyler khusus dalam mengembangkan evaluasi
yang berorientasi pada tujuan sebagai berikut: (a) menetapkan
tujuan umum, (b) mengklasifikasi tujuan, (c) mendefinisikan
tujuan dalam istilah perilaku, (d) menentukan situasi dimana
hasil atau prestasi belajar dapat ditunjukkan, (e)
mengembangkan atau memilih teknik pengukuran, (f)
mengumpulkan data kinerja, dan (g) membandingkan data
kerja dengan tujuan yang dinyatakan dengan perilaku.

Model evaluasi yang berorientasi pada tujuan menggunakan


dua tujuan yaitu tujuan pembelajaran umum dan khusus
sebagai criteria untuk menentukan keberhasilan. Evaluasi
diartikan sebagai proses pengukuran untuk mengetahui sejauh
mana tujuan pembelajaran telah tercapai. Model goal oriented
evaluation dianggap lebih praktis karena menentukan hasil
yang diinginkan dengan rumusan yang dapat diukur, dengan
demikian dapat dikatakan bahwa terdapat hubungan yang
logis antara kegiatan, hasil dan prosedur pengukuran
hasil.tujuan modl ini adalah membantu guru merumuskan
tujuan dan menjelaskan hubungan antara tujuan dengan
kegiatan. Model ini juga dapat membantu guru rencana
pelaksanaan kegiatan pembelajaran dengan proses pencapaian
tujuan, (Zaenal Arifin, 2009:75).

Studi-studi kasus tentang evaluasi yang berbasiskan pada


tujuan yang cocok dalam sebuah kerangka kerja dari pihak luar
untuk pihak dalam. Dalam hal itu evaluator mengadopsi suatu
penggunaan yang terfokus pada pendekatan yang mempunyai
fungsi, yaitu; (a) membantu pemangku kepentingan bertugas
sebagai pengawas (komisi) evaluasi dan/atau audien evaluasi,
untuk mengidentifikasi isu-isupokok dari evaluasi, (b)
bekerjasama dengan pemangku kepentingan dalam
mengembangkan disain evaluasi, (c) membuat keputusan
tentang aturan-aturan dalam manajemen data, mengumpulkan
dan menganalisis informasi yang relevan, dan (d) terlibat
dalam strategi-strategi yang mendukung penggunaan temuan-
temuan evaluasi (Owen, 1993;100).

Tyler menggunakan aturan ini untuk menyususn deskripsi dari


masing-masing strudi. Pada contoh yang pertama, tujuan
program digunakan sebagai basis untuk merencanakan studi
dan membuat keputusan mengenai manajemen data.
Walaupun demikian tujuan-tujuan ini tidak jelas (eksplisit).
Maka harus ditentukan oleh evaluasi sebelum penyelidikan
terhadap hasil yang diharapkan. Ini adalah situasi yang bukan
luar biasa, sering para pengembang tidak menyediakan dengan
baik dokumentasi program dari tujuan yang telah
dikembangkan.

Contoh: Evaluasi mengenai informasi kehamilan di Pusat


Kesehatan Masyarakat Richmond. Saat manajemen RCHC
mendapatkan dana untuk evaluasi, pemberi dana program
menunjuk dua perawat dan seorang dokter. Topik utama yang
menjadi bahan diskusi awal dari pemberi dana adalah potensi
penggunaan informasi dari studi tersebut. Hal ini akan menjadi
jelas bila pemberi dana tertarik untuk mendapatkan bukti yang
bisa digunakan dalam negosiasi di RCHC dan dengan agen-
agen pemberi dana supaya memperluas pengaruh dari
program mereka. Beberapa hal yang perlu dilakukan dalam
studi ini adalah: (1) membantu para pemberi dana
mengidentifikasi tentang isu-isu utama evaluasi. Hal ini
merupakan dasar yang penting dipertimbangkan untuk
meliput komponen hasil yang kuat dan untuk memperluas
upaya yang masih kevil pada sebuah pengujian proses
program. Yaitu yang menjadi isu-isu utama hasil adalah
apakah program memberikan suatu dampak terhadap para
siswa mengenai ilmu dan pengetahuan mereka yang
berhubungan dengan keadaan sebelum kehamilan, (2)
mengembangkan disain evaluasi bersama dengan pemberi
dana. Kebutuhan untuk mengumpulkan bukti tentang manfaat
program mendorong evaluator untuk merekomendasikan
penggunaan dari pree-test dan post-test hasil belajar yang
sederhana dan pengumpulan surat keterangan dari para siswa
dan para guru yang terlibat. Kenyataan, bahwa saat sebelum
merencanakan evaluasi dulu, program yang dilaksanakan
harus diperhitungkan dengan cermat, sesuai dengan
manakemen data pada daftar isu-isu yang diangkat oleh
pemberi dana, (3) membuat aturan-aturan dalam pengambilan
keputusan mengenai manajemen data.

Instrumen pengumpulan data dirancang oleh evaluator, dan


juga melakukan analisis untuk semua tahap studi. Metode-
metode dan hasil meliputi: (a) sebuah analisis permintaan
terhadap program di atas beberapa tahun yang lalu. Ini
memperlihatkan bahwa para siswa yang dating dari luar
wilayah kependidikan di mana pusat itu berada lebih banyak
dari pada dari dalam, dan di atas 15% adalah para siswa dari
daerah, dan (b) pengembangan dan pengambilan tes yang valid
dari isi program. Uji ini dikumpulkan segera sebelum kursus
dan langsung, satu hari sesudah kursus. Pendapat-pendapat
mengenai program juga disampaikan oleh para siswa dan para
guru mereka, terutama aspek-aspek yang paling buruk dan
yang paling baik. Siswa paling sering menanggapi kategori
yang pertama, yaitu apresiasi terhadap gaya presentasi. Para
siswa menyukai suasana atau atmospir kelas yang ramah,
informal dan tatacara pembicaraan yang menghadap lurus ke
depan. Dan (4) menggunakan strategi-strategi yang
mendorong penggunaan temuan-temuan. Temuan-temuan
digunakan
untuk berdebat saat pengenalan kursus di pusat kesehatan
yang lain. Para evaluator sepakat untuk bekerjasama dengan
pemberi dana untuk mempresentasikan temuan-temuan
kepada berbagai agen-agen kesehatan. Besarnya komitmen
evaluator pada tahap ini ditentukan oleh kekuatan dari
temuan-temuan. Jika dampak dari program kecil atau negatif,
evaluator tidak boleh keras mengambil pengembang tugas
(Jhon Owen, 1993:101).

Kerangka model berorientasi pada tujuan dapat


dikombinasikan dari sudut pandang agen-berorientasi, dengan
fokus pada analisis kebutuhan-tahap awal, sehingga
memungkinkan untuk penggambaran eksplisit aspek tingkat
tinggi dari domain tersebut, sebelumnya telah ditunjukkan
bahwa tujuan penciptaan model dapat berguna untuk
memahami, komunikasi, dokumentasi, dan ekstraksi
persyaratan dan/atau desain tingkat tinggi. Namun,
penggunaan lebih lanjut dapat dibuat dari model tujuan
dengan menerapkan prosedur analisis eksplisit. Sering kali,
ketika model tujuan digunakan, mereka tidak dianalisis atau
dievaluasi oleh metode analisis eksplisit; hanya ad-hoc jenis
analisis argumentatif dilakukan. Menerapkan prosedur analisis
sistematis untuk model tujuan dapat menghasilkan manfaat
sebagai berikut: (1) Mendapatkan pemahaman yang lebih baik
dari model domain yang lengkap; (2) Menguji semantik model,
merangsang elisitasi lebih lanjut dan meningkatkan kualitas
model sambil meningkatkan pengetahuan tentang aspek yang
disengaja dari domain; (3) Evaluasi dan seleksi antara desain
alternatif6.

Tyler, Fokus utamanya adalah pada spesifikasi tujuan dan


pengukuran hasil. Dia menolak penerapan norma-referenced

6 Jennifer Horkoff, Evaluation and Analysis of Goal-Oriented Models, Department


of Computer Science, University of Toronto, Toronto.
tes untuk evaluasi program. Dia berpendapat bahwa
membuang item-item yang dijawab dengan benar oleh terlalu
banyak, atau terlalu sedikit, responden tidak menyediakan
informasi yang diperlukan tentang apa siswa belajar. Tyler titik
pandang telah dikenal sebagai tujuan-berorientasi (atau tujuan-
direferensikan) evaluasi. Pendekatan berfokus pada (a)
merumuskan pernyataan tujuan pendidikan, (b)
mengelompokkan tujuan tersebut ke dalam jenis utama, (c)
mendefinisi kan dan menyempurnakan masing-masing Jenis
tujuan dalam hal perilaku, (d) mengidentifikasi situasi-situasi
di mana siswa dapat diharapkan untuk menampilkan jenis
perilaku, (e) memilih dan mencoba metode yang menjanjikan
untuk memperoleh bukti tentang setiap jenis tujuan, (f)
memilih berdasarkan uji coba awal lebih menjanjikan metode
penilaian untuk pengembangan lebih lanjut dan perbaikan, dan
(g) menyusun berarti untuk menafsirkan dan menggunakan
hasil (Tyler, 1942:498-500). Madaus dan Stufflebeam (1989)
menyatakan bahwa Tyler istilah "pendidikan evaluasi" di tahun
1930-an untuk menggambarkan prosedur-nya perbandingan
(baik-lain) hasil yang diharapkan (disebut tujuan) dengan
(baik-diukur) hasil actual.

Metode empiris untuk mengevaluasi tujuan mencakup; (a)


mengumpulkan data untuk mendeskripsikan keputusan nilai
tujuan, (b) pengaturan ahli, dengan pendapat, panel untuk
mereview dan mengevaluasi tujuan, (c) melaksanakan studi
terhadap catatan, arsip, editorial, newsletter, (d) melaksanakan
pilot study untuk melihat apakah tujuan dapat dicapai.
Pengembangan taksonomi belajar oleh Bloom dan Kreathwol
dipengaruhi oleh pendekatan evaluasi berorientasi tujuan.

Ukuran Pengganti Hasil atau Dampak. Suatu prosedur standar


dalam evaluasi berbasis tujuan adalah mengembangkan
ukuran hasil yang mempunyai validitas awal yang kuat.
Walaupun
demikian, ada situasi di mana orang harus berkompromi, maka
kadang-kadang perlu menggunakan ukuran pengganti, yaitu
digantikan untuk atau bertindak sebagai pengganti ukuran
ideal atau yang lebih disukai. Jika menggunakan ukuran
pengganti ukuran validitasnya harus dipertahankan manakala
mempresentasikan temuan-temuan evaluasi. Kasus berikut
adalah contoh dimana sebuah indikator hasil digunakan
sebagai pengganti untuk menunjukkan pengetahuan di dalam
mengevaluasi dampak dari program pendidikan, kesehatan.

Contoh: evaluasi dampak suatu program pendidikan kesehatan


untuk para Ibu dari latar belakang kesukuan. Evaluasi program
tergantung klien, dan cocok itu adalah tergantung evaluator.
Pusat kesehatan, di antara pegawainya di pinggiran kota besar,
ada keperihatinan mengenai mutu makanan yang disajikan di
dalam rumah tangga suku local. Setelah konsultasi yang luas
dengan keluarga-keluarga ini, pusat kesehatan melaksanakan
suatu program yang mengarahkan secara khusus wanita-
wanita dengan anak-anak kecil dari sebuah kelompok suku.
Program ini diberikan selama waktu dua jam pertemuan pada
sore hari yang ditujukan untuk yaitu (a) mempromosikan
kembali untuk memakan makanan tradisional kelompok suku,
(b) mempromosikan makan untuk anak yang sedang menyusui
(semua peserta telah mimiliki sedikitnya satu anak di bawah
usia dua tahun), dan (c) mengurangi tingkat kegemukan di
antara anak-anak dalam keluarga-keluarga tersebut. Dalam
waktu singkat, setelah program usai, pusat kesehatan
memutuskan dewan komisi untuk mengevaluasi dalam skala
kecil menyangkut dampak dari intervensi yang diberikan.

Penerapan model Goal oriented evaluation.


Model dapat digunakan pada banyak program diantaranya
menurut atikunto cocok diterapkan untuk mengevaluasi
program yang jenisnya pemerosesan dalam bentuk
pembelajaran. Seperti koperasi karena koperasi
menjadi komponen istimewa dan harus dilayanani sebaik-
sebaiknya adalah pelanggan, penyimpan, dan peminjam untuk
koperasi simpan pinjam dan pembelian untuk koperasi
penjualan. Sejak hari pertama buka dan melayani pelanggan,
evaluator sudah dapat mengadakan evaluasi melalui Tanya
jawab kepara para pelanggan tentang bagaimana kualitas
layanan yang diberikan oleh petugas koperasi, tentu dilakukan
terus-menerus. Begitu juga dengan program bank, para
nasabah bank harus diberi pelayanan sebaik mungkin. Begitu
juga program perpustakaan, para peminjam buku harus
dilayani sebaik-baiknya.

Pemanfaatan kontekstual model evaluasi, metode berorientasi


pada tujuan diaplikasikan pada program psikologi kesehatan,
program doctor pada tahap awal di Universty of California, San
Francisco. Ada lima tahap yang terlibat dalam pelaksanaan
metode ini: (a) klarifikasi tujuan dan sasaran program, (b)
memprioritaskan tujuan, (c) menilai pencapaian tujuan, (d)
organisasi fakultas sasaran/input mahasiswa, dan (e) umpan
balik kepada manajemen program. Semua dosen dan
mahasiswa diundang untuk berpartisipasi sebagai self
evaluators daalam upaya evaluasi. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa ada perbedaan yang signifikan antara
kelompok fakultas (dosen) dan kelompok mahasiswa pada
peringkat mereka dan peringkat pentingnya spesifik tujuan
pendidikan (tujuan pendidikan khusus) dan sumber daya.
Selama satu tahun tindak lanjut diperoleh dengan wawancara
pada direktur program untuk menilai dampak dari proyek
terhadap perencanaan program.7

Kelebihan dan kelemahan model :


Kekuatan utama pendekatan evaluasi berorientasi pada tujuan
terletak pada kesederhanaan. Pendekatan ini mudah dipahami,

7 Richard E. Shaw (1982), Managing Evaluation Goals, University of California, San


Francisco.
mudah untuk diikuti dan diterapkan, serta menghasilkan
informasi yang pada umumnya pendidik setuju, bahwa
pendekatan ini sesuai dengan misi para pendidik tersebut.
Menurut Mager, pendekatan evaluasi berorientasi pada tujuan
menyebabkan pendidik dapat merefleksikan apa yang
dimaksudkan dan menjelaskan generalisasi yang rancu tentang
hasil pendidikan (Worthen and Sanders, 1987)

Pendekatan evaluasi yang berorientasi pada tujuan disamping


memiliki kekuatan, tetapi juga terdapat beberapa kelemahan,
yaitu (a) lemah dalam komponen evaluasi yang sebenarnya,
(b) lemah dalam strandar untuk menilai kesenjangan antara
tahap kinerja dan tujuan, (c) mengabaikan alternative penting
yang seharusnya dipertimbangkan dalam merencanakan
program pendidikan, (d) mengabaikan perubahan yang terjadi
selama program atau aktivitas yang sedang dievaluasi, (e)
mengabaikan konteks di mana evaluasi dilakukan, (f)
mengabaikan hasil penting lain yang tidak direncanakan dalam
aktivitas, (g) mengabaikan peristiwa dalam program yang
tidak merefleksikan tujuan, dan (h) mempromosikan
pendekatan yang linier dan tidak fleksibel pada evaluasi.

8.3. Langkah-Langkah Model Goal Oriented Evaluation

Pendekatan ini menentukan bahwa tujuan-tujuan yang telah


ditetapkan dari program tersebut telah diraih. Tyler (1950),
Bapak dari evaluasi program, adalah pendukung dari evaluasi
yang didasari pencapaian tujuan. Dalam pendekatan ini,
tujuan-tujuan dari suatu program diambil seperti yang
diberikan, keputusan tentang kesuksesan suatu program
didasarkan pada keluasan dimana tujuan itu telah dicapai, hal
ini berdasarkan pada beberapa standar atau level dari
pencapaian. Pada beberapa kasus, tujuan-tujuan ini
ditunjukkan oleh bagian positif dalam pencapaian peserta
program.

Pendekatan ini digunakan sebagai alat dalam managemen di


sektor publik dan sektor pribadi. Managemen dengan tujuan
digunakan untuk dayaguna dari organisasi, untuk
mengorganisasikan unit, dan untuk individu. Dalam situasi
lanjutan, kita berpindah pada bidang penilaian dari pada
evaluasi program. Pembangunan prosedur yang valid dan adil
untuk menilai dayaguna dari individu adalah hal yang masih
diperdebatkan. Karena hasil dari penilaian tersebut
mempunyai akibat yang langsung kepada mereka. Staff bisa
dipromosikan atau tidak dipromosikan dan bonus gaji
menyesuaikan sebagai hasil dari penilaian dayaguna individu.

Peralihan tujuan program kepada pengukuran hasil yang valid,


bersangkutan dengan kumpulan pengambilan keputusan
secara metodologi. Ini bisa jadi memungkinkan untuk
menggunakan intrumen sebelumnya, tapi evaluator harus bisa
meyakinkan bahwa instrument tersebut mempunyai validitas,
dan meyakinkan audience untuk evaluasi bahwa evaluasi akan
mencari pengukuran tujuan yang kredibel. Ada godaan untuk
menggunakan instrumen yang “off-the-shelf”, walaupun mereka
tidak perlu dikenai tes validitas. Kadang-kadang evaluator
harus membuat instrumen, jadi keahlian dalam membangun
instrumen dan hasil pengukuran lainnya sangat dibutuhkan.
Tugas-tugas utama dalam mengatur evaluasi berdasarkan
tujuan adalah sebagai berikut:
 Tentukan masalah-masalah utama dalam pencapaian hasil
evaluasi. Pusatkan dalam pikiran bahwa program harus
menempati hasil yang kredibel.
 Tentukan tujuan-tujuan dari program. Sumber-sumber
informasi yang memungkinkan tentang tujuan program
termasuk: (a) Dokumen kebijakan; (b) Program yang
telah
ditentukan; (c) Wawancara dengan penyelenggara
program; dan (d) Combinasi lebih dari satu hal-hal di atas.
 Tentukan cara-cara yang paling tepat untuk memutuskan
apakah program dengan mudah mencapai tujuan. Sebagai
contoh, dengan hubungan untuk mendesain managemen
data, apakah control-group tersedia, apakah ini
memungkinkan untuk menggunakan desain “sebelum
dan sesudah”, dan kapan seseorang dapat mengumpulkan
hasil data.
 Pilih instrumen pengukuran yang tepat, atau buat yang
baru. Pertimbangkan kekonsistenan antara variabel hasil
dan tujuan program, gaya bahasa dan isi dari instrumen,
dan item yang digunakan. Apabila instrumen telah dibuat
berdasarkan tujuan, lebih baik instrumen tersebut
diujicoba dahulu.
 Identifikasi sumber-sumber bukti.
 Kumpulkan dan analisa bukti.
 Gambarkan hasilnya. Dalam beberapa kasus membuat
keputusan dengan tegas dan lengkap dalam pencapaian
variabel hasil, hal ini direkomendasikan.
 Laporkan hal-hal yang ditemukan.

8.4. Contoh Model Goal Oriented Evaluation

8.4.1. Kebutuhan Untuk Menentukan Tujuan Program Yang


Aktual

Kadang-kadang ketika seorang evaluator diminta untuk


melaksanakan evaluasi berdasarkan tujuan, tujuan dari
program itu sering kali tidak jelas. Tujuan itu harus ditentukan
terlebih dahulu oleh evaluator sebelum mengejar hasil. Ini
bukan hal yang tidak biasa, seringnya pencipta program tidak
menyediakan tujuan yang baik dalam dokumentasi program.
8.4.2. Evaluasi dari Community Agency Human
Development Program

Selama beberapa tahun, the Richmond Community Health Centre


(RCHC) telah menawarkan suatu program yang unik. Program
ini menyediakan layanan untuk berdiskusi masalah-masalah
seperti kontrasepsi dan akibat dari penggunaan narkoba.
Layanan ini untuk siswa pada kelas 11 (usia 15-16 tahun).
Instruksi-intruksi tersebut dibawakan oleh perawat dan ahli
genekologi di RCHC. Materi diskusi tidak seperti kurikulum di
sekolah.

Ketika managemen RCHC mempunyai dana untuk melakukan


evaluasi, penyelenggara program (2 perawat dan 1 dokter)
mensetting petunjuk evaluasi. Topik utama yang didiskusikan
oleh penyelenggara dan evaluator adalah penggunaan
informasi yang potensial dari penelitian itu. Ini menjadi jelas
bahwa penyelenggara mempunyai agenda untuk menghasilkan
informasi yang bisa digunakan dalam negosiasi di RCHC dan
dengan lembaga keuangan untuk memperluas pengaruh dari
program itu.

Dalam kasus ini, masalah tentang hasil yang sangat penting


adalah untuk menentukan apakah program memberikan
pengaruh yang kuat dalam memberikan pengetahuan dan
keahlian kepada murid-murid berkaitan dengan fase sebelum
kehamilan.

Ketika ada perluasan dokumentasi program, ternyata ada


pernyataan dari tujuan program yang tidak jelas. Untuk
membangun ini, evaluator mewawancarai penyelenggara
mengenai maksud mereka dan kehadiran 2 sesi program.
Anggota staf yang tidak bekerja lagi pada program diminta
untuk mengecek item-item percobaan untuk kekonsistenan
mereka terhadap program. Demikian pembangunan dari
instrumen akhir, menyandarkan pada wawancara dari pada
dokumentasi formal dari tujuan program.

8.5. Kesimpulan

Kebutuhan untuk meyakinkan kebaikan program memastikan


evaluator untuk merekomendasikan penggunaan dari pre-post
test pencapaian dan pengumpulan testimoni dari keterlibatan
murid-murid dan guru-guru. Fakta menunjukkan bahwa ada
waktu untuk merencanakan evaluasi lanjutan dalam program
penyampaian, hal ini memungkinkan mencocokkan data
dengan daftar masalah-masalah oleh penyelenggara. Telah
menjadi kesepakatan bahwa penyelenggara akan
mengadministrasikan intrumen yang mudah untuk murid-
murid sebelum dan sesudah sesi program. Hal ini untuk
mengukur pencapaian dan untuk mengumpulkan opini murid-
murid tentang sesi itu. Lalu, evaluator akan menganalisa data-
data tersebut, mengumpulkan informasi tambahan tentang
permintaan untuk program yang bersangkutan beberapa tahun
belakangan diambil dari catatan RCHC. Setelah itu evaluator
mendesain, membawa hasil wawancara bersama dengan guru-
guru yang terlibat.

Instrumen pengumpulan data didisain oleh evaluator yang


juga menganalisis untuk semua fase dalam penelitian. Metode
pengumpulan data dan hasil termasuk: (1) Analisis permintaan
untuk program selama beberapa tahun ke belakang; dan (2)
Pembuatan dan pengadministrasian dari validitas tes dari isi
program. Administrasikan segera sebelumnya dan langsung
setelah kursus 1 hari.

Setelah dilakukan pengumpulan data, hasilnya adalah: (1)


Rata-rata perolehan skor dari partisipan signifikan secara
statistika; (2) Terjadi kenaikan skor untuk murid-murid dari
semua sekolah; (3) Murid perempuan dan laki-laki
memperoleh pencapaian yang hampir sama; (4) Perolehan
item dalam tes sangat bervariasi; dan (5) Beberapa item yang
dijawab dengan baik mengindikasikan bahwa item tersebut
tidak perlu disertakan lagi dalam kursus selanjutnya.

Berikut perbedaan antara model Tyler, model black box, dan model evaluasi goal oriented dalam
pendidikan:

Model Tyler (black box) :


- Lebih berfokus pada input dan output tanpa mempertimbangkan proses internalnya artinya hanya
berfokus pada hasil belajar, tidak mempertimbangkan proses pembelajaran.
Hanya melihat hubungan sebab akibat antara apa yang masuk ke dalam sistem pendidikan (input)
dan hasil yang diharapkan (output).
- Tidak memperhatikan interaksi variabel di dalam sistem pendidikan.
- Berfokus pada penetapan tujuan pembelajaran, pengembangan pengalaman belajar, organisasi
pengalaman belajar, dan evaluasi.
- Tujuan pembelajaran ditentukan terlebih dahulu kemudian diikuti dengan pengembangan dan
evaluasi kurikulum.

Model Evaluasi Goal Oriented


- Berorientasi pada pencapaian tujuan (goal oriented)
- Mengevaluasi sejauh mana tujuan pembelajaran/kurikulum tercapai dan bagaimana proses
pencapaiannya
- Bersifat kriteria referensi, membandingkan kinerja nyata dengan standar yang telah ditetapkan.
- Contohnya model CIPP (Context, Input, Process, Product) oleh Stufflebeam.

Jadi model Tyler lebih komprehensif, model black box terlalu sederhana, sedangkan model evaluasi
goal oriented spesifik untuk menganalisis proses di dalam program secara menyeluruh untuk
pencapaian tujuan.
mengevaluasi pencapaian tujuan pembelajaran dan kurikulum.

Berikut adalah beberapa kelebihan dan kelemahan dari model evaluasi goal oriented:

Kelebihan:

- Fokus pada pencapaian tujuan yang jelas dan terukur. Model ini sangat tegas dalam menetapkan
tujuan evaluasi.
- Memberikan umpan balik yang berguna untuk pengambilan keputusan dan perbaikan program.
- Bersifat pragmatis dan berorientasi pada hasil.
- Dapat digunakan untuk evaluasi formatif dan sumatif.

Kelemahan:
- Memerlukan perumusan tujuan yang jelas dan terukur sehingga kadang sulit diterapkan untuk
tujuan yang bersifat kompleks.
- Cenderung mengabaikan proses, hanya berfokus pada input dan output.
- Penekanannya yang kuat pada tujuan bisa menyebabkan goal displacement, dimana tujuan menjadi
terlalu penting dibanding proses belajar itu sendiri.
- Bisa terjadi kesalahan dalam mendefinisikan tujuan sehingga evaluasi menjadi tidak valid.
- Evaluator dituntut objektif dalam melakukan evaluasi terhadap pencapaian tujuan.

Jadi secara umum model evaluasi berbasis tujuan ini sangat bermanfaat untuk mengevaluasi
efektivitas suatu program, namun membutuhkan perencanaan matang agar tujuan yang ditetapkan
benar-benar terukur dan tercapai.

Berikut ini adalah langkah-langkah umum dalam model evaluasi goal oriented:

1. Menetapkan tujuan (goals) yang jelas dan terukur


Tujuan harus spesifik, terukur, attainable/achievable, realistic/relevant, dan time-bound. Tujuan
bisa jangka pendek ataupun jangka panjang.

2. Menentukan kriteria keberhasilan


Kriteria keberhasilan ditentukan berdasarkan tujuan yang ingin dicapai. Kriteria ini nantinya
digunakan sebagai standar evaluasi.

3. Mengumpulkan data kinerja


Mengumpulkan data atau bukti yang menunjukkan kinerja aktual dan pencapaian tujuan program.
Data dikumpulkan secara sistematis dengan menggunakan metode pengumpulan data yang tepat.

4. Analisis data
Membandingkan data kinerja aktual dengan kriteria keberhasilan yang telah ditetapkan.
Menganalisis seberapa jauh kriteria keberhasilan tercapai.

5. Pembuatan kesimpulan evaluasi


Membuat kesimpulan mengenai sejauh mana program telah mencapai tujuan berdasarkan analisis
data yang dilakukan. Kesimpulan harus objektif.

6. Pemberian rekomendasi
Memberikan rekomendasi perbaikan berdasarkan temuan dan kesimpulan hasil evaluasi untuk
meningkatkan kinerja program di masa mendatang.

7. Pelaporan hasil evaluasi


Menyampaikan laporan evaluasi kepada pihak-pihak terkait, misalnya penyelenggara program.

Itulah secara umum langkah-langkah dalam model evaluasi goal oriented. Langkah-langkah ini dapat
dimodifikasi sesuai kebutuhan evaluasi.

Berikut ini beberapa contoh penerapan model evaluasi goal oriented:

1. Evaluasi program pelatihan guru

Tujuan: Meningkatkan kompetensi guru dalam menerapkan metode pembelajaran aktif


Kriteria:
- Minimal 80% guru mampu menerapkan metode pembelajaran aktif
- Minimal 75% guru memberi respon positif terhadap pelatihan

Pengumpulan data:
- Tes praktik pembelajaran
- Angket respon guru

Analisis dan kesimpulan:


- 85% guru lulus tes praktik pembelajaran
- 80% guru memberi respon positif terhadap pelatihan

Kesimpulan: Program pelatihan guru berhasil meningkatkan kompetensi guru dalam menerapkan
metode pembelajaran aktif.

2. Evaluasi kurikulum sekolah

Tujuan: Menghasilkan lulusan yang kompeten di bidang sains dan teknologi

Kriteria:
- Nilai mata pelajaran sains dan teknologi siswa rata-rata ≥80
- Minimal 80% lulusan diterima di perguruan tinggi teknik

Pengumpulan data:
- Nilai rapor siswa
- Data lulusan yang diterima di perguruan tinggi

Kesimpulan: Kurikulum sekolah belum berhasil menghasilkan lulusan yang kompeten di bidang
sains dan teknologi.

Begitu contoh penerapan model evaluasi goal oriented dalam mengevaluasi program pendidikan.

Model evaluasi goal oriented memiliki beberapa metode yang biasa digunakan, antara lain:

1. Tes acuan patokan (criterion-referenced test)


Tes yang mengukur pencapaian tujuan pembelajaran spesifik. Skor peserta tes dibandingkan
terhadap patokan kriteria, bukan terhadap skor peserta lain.

2. Tes acuan norma (norm-referenced test)


Tes standar yang membandingkan skor individu terhadap skor kelompok. Contohnya tes IQ dan
ujian nasional.

3. Observasi
Mengamati proses belajar mengajar secara langsung untuk melihat apakah kegiatan telah sesuai
dengan perencanaan dan tujuan.

4. Wawancara
Melakukan wawancara dengan peserta didik, guru, kepala sekolah untuk menggali informasi tentang
pencapaian tujuan.

5. Angket atau kuesioner


Memberikan angket kepada responden untuk memperoleh data tentang pencapaian tujuan program.

6. Studi dokumentasi
Menganalisis dokumen yang relevan seperti kurikulum, rencana pembelajaran, nilai siswa, dan
lainnya.

7. FGD (Focus Group Discussion)


Melakukan diskusi terarah untuk mendapatkan informasi spesifik seputar pencapaian tujuan
program.

Dengan memilih metode yang tepat, model evaluasi goal oriented dapat memberikan informasi
akurat tentang ketercapaian tujuan suatu program pendidikan.

Berikut ini contoh penerapan model evaluasi goal oriented di sekolah dengan memanfaatkan guru
dan siswa:

Tujuan:
Meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa melalui penerapan model pembelajaran Problem
Based Learning.

Kriteria:
- 75% siswa mendapatkan nilai ≥ 80 pada tes kemampuan berpikir kritis.
- 80% siswa memberikan respon positif terhadap model PBL.

Metode:
- Guru melaksanakan pembelajaran dengan menerapkan model PBL selama 1 semester.
- Tes kemampuan berpikir kritis dilakukan setelah pembelajaran selesai.
- Angket respon siswa terhadap model PBL dibagikan setelah pembelajaran.
- Guru dan kepala sekolah melakukan observasi kelas saat penerapan PBL.

Analisis:
- 80% siswa lulus tes kemampuan berpikir kritis.
- 85% siswa memberi respon positif terhadap model PBL.
- Hasil observasi kelas menunjukkan PBL berjalan dengan baik.

Kesimpulan:
Penerapan model PBL berhasil meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa sesuai kriteria yang
ditetapkan.

Dengan demikian, evaluasi goal oriented dapat melibatkan guru dan siswa untuk menilai
ketercapaian tujuan pembelajaran di kelas melalui pemilihan metode evaluasi yang tepat.

Berikut adalah beberapa perbedaan utama antara model evaluasi Tyler Black Box dan model
evaluasi goal oriented:

1. Fokus evaluasi

- Model Tyler Black Box berfokus pada masukan (input) dan keluaran (output) dari program.
- Model goal oriented berfokus pada tujuan (goals) dan hasil (outcomes) dari program.
2. Proses internal

- Model Tyler Black Box tidak mempertimbangkan proses internal dari program.
- Model goal oriented memperhatikan proses internal program dalam kaitannya dengan pencapaian
tujuan.

3. Kompleksitas

- Model Tyler Black Box lebih sederhana dan mudah diterapkan.


- Model goal oriented lebih kompleks karena harus menganalisis proses internal.

4. Kecocokan

- Model Tyler Black Box cocok untuk program yang proses internalnya tidak diketahui atau
kompleks.
- Model goal oriented cocok untuk menilai sejauh mana program mencapai tujuannya.

5. Data yang dibutuhkan

- Model Tyler Black Box hanya membutuhkan data input dan output.
- Model goal oriented membutuhkan data yang lebih rinci tentang proses dan tujuan program.

Jadi secara umum, model Tyler Black Box lebih sederhana sedangkan model goal oriented lebih
kompleks namun lebih mendalam dalam evaluasi program.

Anda mungkin juga menyukai