PENDAHULUAN
1
1.3 Tujuan Penulisan
Tujuan yang ingin dicapai dari penulisan makalah ini diantaranya:
1. Untuk memahami pengertian dari model evaluasi
2. Untuk memahami macam-macam model evaluasi
3. Untuk memahami pengertian dari pendekatan evaluasi
4. Untuk memahami macam-macam pendekatan evaluasi
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
4
Untuk melakukan evaluasi dengan model bebas tujuan, evaluator perlu menghasilkan
dua item informasi, yaitu (a) penilaian tentang pengaruh nyata (actual effects) dan (b)
penilaian tentang profil kebutuhan yang hendak dinilai. Jika suatu produk mempunyai
pengaruh yang dapat ditunjukkan secara nyata dan responsive terhadap suatu kebutuhan, ini
berarti bahwa suatu produk yang direncanakan berguna dan secara positif perlu
dikembangkan, dan interpertasi sebaliknya terjadi, jika suatu produk, termasuk ekgiatan
belajar mengajar, tidak mempunyai pengaruh nyata pada para siswanya.
Walaupun demikian, model bebas tujuan yang diajukan Scrieven ternyata memiliki
kelemahan yaitu (1). Model bebas tujuan ini pada umumnya gagal dalam menjawab penting,
seperti apoa pengaruh yang telah diperhitungkan dalam suatu peristiwa dan bagaimana
mengindentifikasi pengaruh tersebut? (2) walaupun ide Srieven tentang model bebas tujuan
adalah sangat bagus untuk membantu kegiatan yang parallel dengan evaluasi atas dasar
kejujuran pada tingkatan praktis Srieven tidak terlalu berhasil dalam menggambarkan
bagaimana evaluasi sebaiknya benar-benar dilaksanakan. (3). Tidak merekomendasikan
bagaimana menghasilkan penilaian kebutuhan (needs assessment ), walau pada akhirnya
mengarah kepada penilaian kebutuhan. Model bebas tujuan merupakan titik perkembangan
evaluasi program, dimana objek yang dievaluasi tidak perlu terkait dengan tujuan dari objek
atau subjek tersebut, tetapi langsung kepada implikasi keberadaan program apakah
bermanfaat atau tidak objek tersebut atas dasar penilaian kebutuhan yang ada. (Sukardi,
2008: 61-62).
Model ini dianggap lebih praktis karena menentukan hasil yang diinginkan dengan
rumusan tujuan pembelajaran dapat diobservasi dan diukur, maka kegiatan evaluasi
pembelajaran akan menjadi praktis dan simple. Disamping itu, model ini dapat membantu
guru menjelaskan rencana pelaksanaan kegiatan pembelajaran dengan proses pencapaian
tujuan. Instrument yang digunakan bergantung pada tujuan yang ingin diukur. Hasil evaluasi
akan menggambarkan tingkat keberhasilan tujuan program pembelajaran berdasarkan kriteria
program khusus. Kelebihan model ini terletak pada hubungan antara tujuan kegiatan dan
pembelajaran. Kekurangannya adalah memungkinkan terjadinya proses evaluasi melebihi
konsekuensi yang tidak diharapkan.
Model Goal oriented evaluation model ini merupakan model yang muncul paling
awal. Yang menjadi objek pengamatan pada model ini adalah tujuan dari program yang
sudah ditetapkan jauh sebelum program dimulai. Evaluasi dilakukan secara
berkesinambungan, terus-menerus, mencek seberapa jauh tujuan tersebut sudah terlaksana
7
di dalam proses pelaksanaan program. Model ini dikembangkan oleh Tyler (Suharsimi
arikunto, 2009 : 41).
Kelebihan :
Model penilaian yang berorientasi tujuan ini secara teknologis telah merangsang
berkembangnya proses-proses perumusan tujuan secara spesifik serta pengembangan atau
penemuan instrument-instrumen maupun prosedur pengukuran yang beragam. Dilihat dari
kajian dan literature, pendekatan penilaian berorientasi tujuan sudah lebih banyak dan
terarah kepada persoalan bagaimana pendekatan ini diaplikasikan dalam penilaian di kelas,
penilaian sekolah, penilaian program sekolah di satu kabupaten, atau lainnya. Oleh karena
itu, secara sederhana dapat dikatakan bahwa kelebihan pendekatan ini adalah mudah
dipahami, mudah untuk diimpelementasikan, dan disepakati banyak pendidik dapat
menghasilkan informasi yang relevan dengan misi mereka.
Model ini juga telah menyebabkan para pendidik merefleksikan dan mengklarifikasi
perhatian mereka terhadap pemikiran-pemikiran terdahulu berkaitan dengan ambiguitas
tujuan-tujuan pendidikan. Diskusi-diskusi bersama masyarakat tentang tujuan pendidikan
yang dianggap paling tepat, dijadikan ajang untuk meningkatkan validitas program
pendidikan yang dilakukan. Dengan behitu, akuntabilitas dan legitimasi program yang sudah
dirancang menjadi lebih kuat. Sebagai hasil dari perhatian berlebih para ahli terhadap
pendekatan ini adalah berkembangnya tes (ujian) dan praktek-praktek pengukuran lainnya
yang broadened unobtrusive and non paper and pencil evidence (http:/www.scribd.com).
Kelebihan dari model bebas tujuan diantaranya adalah pengaruh konsep tersebut
pada masyarakat bahwa tanpa mengetahui tujuan dari kegiatan yang telah dilakukan,
seorang penilai bias melakukan evaluasi. Kelebihan lain dengan munculnya model bebas
tujuan yang diajukan oleh Scrieven adalah mendorong pertimbangan setiap kemungkinan
pengaruh tidak saja direncanakan, tetapi juga dapat diperhatikan pengaruh simpangan lain
yang muncul dari suatu produk (Sukardi, 2008: 62).
Kelemahan :
Disamping manfaat dan keungulan sebagaimana dipaparkan di atas, model ini juga
mendapatkan beberapa kritik yang sekaligus meggambarkan sebagai kelembahan dari
pendekatan tersebut. Beberapa kritik yang mengemuka adalah (Worten and Sander, 1987):
1) komponen penilaian kurang realistis ( lebih memfasilitasi pengukuran dan penilaian
ketercapaian tujuan daripada menghasilkan pertimbangan-pertimbangan tentag kebenaran
dan merit secara eksplisit)
8
khusus. Model ini hanya mempertimbangkan tujuan umum yang akan dicapai oleh program,
bukan secara rinci per komponen (Suharsimi arikunto, 2009 : 41-42).
Dapat disimpulkan bahwa menurut model ini, evaluasi pendidikan pada dasarnya
tidak lain adalah pengukuran terhadap berbagai aspek tingkah laku dengan tujuan untuk
melihat perbedaan-perbedaan individual atau kelompok yang hasilnya diperlukan dalam
rangka seleksi, bimbingan dan perencanaan pendidikan bagi para siswa di sekolah
(Daryanto, 2005 : 72-73).
Tokoh model pengukuran adalah Edward L. thorndike dan Robert L. Ebel. Menurut
kedua tokoh ini dalam Purwanto (2009) beberapa ciri dari model pengukuran, adalah :
a. Mengutamakan pengukuran dalam proses evaluasi. Pengukuran merupakan kegiatan
ilmiah yang dapat diterapkan pada berbagai bidang termasuk pendidikan
b. Evaluasi adalah pengukuran terhadap berbagai aspek tingkah laku untuk melihat
perbedaan individu atau kelompok. Oleh karena tujuannya adalah untuk
mengungkapkan perbedaan, maka sangat diperhatikan tingkat kesukaran dan daya
pembeda masing-masing butir, serta dikembangkan acuan norma kelompok yang
menggambarkan kedudukan siswa dalam kelompok
c. Ruang lingkup adalah hasil belajar aspek kognitif
d. Alat evaluasi yang digunakan adalah tes tertulis terutama bentuk objektif
e. Meniru model evaluasi dalam ilmu alam yang menggunakan objektivitas. Oleh karena
itu model ini cenderung mengembangkan alat-alat evaluasi yang baku. Pembakuan
dilakukan dengan mencobakan kepala sampel yang cukup besar untuk melihat
validitas dan reabilitasnya.
Yang dijadikan objek dari kegiatan evaluasi model ini adalah tingkah laku, terutama
tingkah laku siswa. Aspek tingkah laku siswa yang dinilai di sini mencakup kemampuan hasil
belajar, kemampuan pembawaan (inteligensi, bakat), minat, sikap dan juga aspek-aspek
kepribadian siswa. Dengan kata lain, objek evaluasi disini mencakup baik aspek kognitif
maupun dengan kegiatan evaluasi pendidikan di sekolah, model ini menitik beratkan pada
pengukuran terhadap hasil belajar yang dicapai siswa pada masing-masing bidang
pelajaran dengan menggunakan tes. Hasil belajar yang dijadikan objek evaluasi di sini
adalah hasil belajar dalam bidang pengetahuan (kohnitif) yang mencakup berbagai tingkat
kemampuan seperti kemampuan ingatan, pemahaman aplikasi, dan sebagainya, yang
evaluasinya dapat dilakukan secara kuantitatif-objektif dengan menggunakan prosedur yang
dapat distandardisasikan (Daryanto, 2005 : 74).
Keunggulan Model Pengukuran (Measurement Model)
Keunggulan dari model ini adalah sumbangannya yang sangat berarti dalam hal
penekannya terhadap pentingnya objektivitas proses penilaian. Aspek objektivitas yang
11
ditekankan oleh model ini perlu dijadikan landasan yang terus-menerus dalam rangka
mengembangkan sistem penilaian pendidikan. Di samping itu, evaluasi dalam model ini
memungkinkan untuk melakukan analisis intrumen dan hasil evaluasi secara statistik.
Keterbatasan Model Pengukuran (Measurement Model)
Keterbatasan dari model ini terletak pada penekanannya yang berlebihan pada aspek
pengukuran dalam kegiatan penilaian pendidikan. Konsekuensinya, penilaian cenderung
dibatasi pada dimensi tertentu dari sistem pendidikan yang dapat diukur, dalam hal ini
adalah hasil belajar yang bersifat kognitif. Yang menjadi persoalan adalah hasil belajar yang
bersifat kognitif tersebut bukan merupakan satu-satunya indikator bagi keberhasilan
kurikulum. Kurikulum sebagai suatu alat untuk mencapai tujuan pendidikan diharapkan
dapat mengembangkan berbagai potensi yang ada pada diri siswa, tidak terbatas hanya pada
potensi kognitif saja.
Adanya beberapa ketidakserasian dengan peranan penilaian dalam proses
pengembangan kurikulum/sistem pendidikan berikut ini.
a. Dalam pengembangan alat penilaian, model ini banyak dipengaruhi oleh prosedur
yang ditempuh dalam pengembangan tes psikologis, antara lain tes intelegensi dan tes
bakat. Untuk mengembangkan tes tersebut berlaku ketentuan bahwa soal tes yang
memiliki daya pembeda rendah perlu direvisi atau diganti dengan tes lain, yang
mempunyai daya pembeda tinggi. Prosedur semacam ini kurang cocok untuk
diterapkan dalam penilaian hasil belajar. Hal itu dalam rangka/pengembangan
pendidikan karena dalam penilaian pendidikan yang penting adalah butir soal tes yang
dibuat betul-betul konsisten dengan tujuan pendidikan yang ingin dinilai
pencapaiannya.
b. Dalam pengolahan hasil tes, model ini dipengaruhi oleh prosedur pengolahan hasil tes
psikologis, dan nilai yang dicapai oleh masing-masing siswa lebih mencerminkan
kedudukannya dalam kelompok. Dalam proses pengembangan pendidikan, nilai
semacam ini kurang mempunyai arti karena sifatnya relatif. Yang lebih berarti dalam
proses pengembangan pendidikan adalah nilai-nilai yang menunjukkan sejauh mana
tujuan-tujuan pendidikan telah dicapai oleh siswa, secara individual maupun
kelompok, bukan nilai relatif yang mencerminkan posisi siswa dalam kelompoknya.
c. Informasi yang disajikan menurut model ini lebih berbentuk nilai keseluruhan (total
score) yang dicapai setiap siswa, yang dilengkapi dengan data mengenai nilai rata-rata
dan standar deviasi yang dicapai kelompok. Informasi semacam ini kurang relevan
dengan kebutuhan yang dirasakan dalam proses pengembangan pendidikan karena
12
ter kandung secara implisit dalam uraian-uraian yang lalu, terutama diartikan sebagai
tingkah laku hasil belajar yang dicapai siswa.
Tingkah laku hasil belajar ini tidak hanya terbatas pada segi pengetahuan (kognitif),
melainkan juga men- cakup dimensi-dimensi lain dari tingkah laku yang ter gambar dalam
tujuan-tujuan pendidikan. Dalam bukunya yang terkenal: Basic Principle of Curriculum and
Instruction, Tyler memberikan ilustrasi tentang dimensi-dimensi tujuan pendidikan dalam
suatu unit pelajaran tertentu, seperti yang terlihat dalam bagan di bawah ini:
Stake membagi objek evaluasi atas tiga kategori yaitu antecedents, transactions, dan
outcomes. Dengan antecedents dimaksudkan adalah sumber/model/input yang ada pada saat
sistem itu dikembangkan, seperti tenaga, keuangan, karakteristik siswa, dan tujuan yang
ingin dicapai. Dimensi yang disebut transaction mencakup rencana kegiatan yang disebut
pelaksanaannya di lapangan, termasuk maupun proses waktu, ke dalamnya urutan antara
guru murid, cara menilai hasil di kelas, dan sebagainya. Dengan outcomes di sini
dimaksudkan antara lain adalah hasil yang dicapai para tersebut, dan efek sampingan dari
sistem yang bersangkutan.
Stufflebeam, dalam bukunya Educational Evaluation and Decision Making,
menggolongkan sistem pendidikan atas 4 dimensi yaitu context, input, process, dan product,
serta mengajukan suatu model evaluasi dengan nama CIPP model yang merupakan
singkatan dari keempat dimensi di atas.
Keempat dimensi perlu selama dan pada akhir proses pengembangan kurikulum atau
sistem pendidikan. Pengertian untuk masing-masing dimensi di atas adalah sebagai berikut:
a) Context Situasi atau latar belakang yang mem pengaruhi jenis-jenis tujuan dan
strategi pendidikan yang akan dikembangkan dalam sistem yang bersangkutan,
seperti misalnya masalah pendidikan yang dirasa- kan, keadaan ekonomi negara,
pandangan hidup masyarakat dan seterusnya.
b) input Sarana/modal/bahan dan rencana stategi yang ditetapkan untuk mencapai
tujuan pendidikan tersebut.
c) Process Pelaksanaan strategi dan penggunaan sarana/modal/bahan di dalam
kegiatan nyata di lapangan.
d) Product Hasil yang dicapai baik selama maupun pada akhir pengembangan sistem
pen didikan yang bersangkutan.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa bahkan menambahkan satu dimensi
lagi dalam evaluasi yaitu dimensi context yang belum sepenuhnya tercakup dalam dimensi
yang diajukan oleh Stake. Dengan kata lain menurut Stufflebeam, sistem pendidikan itu
hendaknya dinilai dari segi belakangnya kegiatannya, proses pelaksanaannya dan hasil yang
dicapainya, agar dapat diperoleh informasi yang luas.
Scriven, dalam tulisannya The Methodology of Evaluation membedakan antara
instrumental evaluation dan conseguential evaluation. Instrumental evaluation mencakup
evaluasi terhadap tujuan, isi, cara yang ditetapkan, maupun pelaksanaan dari cara-cara
tersebut di kelas. Sedangkan consequential evaluation mencakup evaluasi terhadap hasil
20
yang dicapai, terutama dari segi para siswa itu sendiri Dengan demikian, objek evaluasi
yang diajukan oleh Scriven di sini mencakup sarana/bahan, proses dan hasil yang dicapai.
Akhirnya, dalam membahas tahap-tahap evaluasi yang perlu ditempub, Provus
mengemukakan 4 dimensi yang perlu dinilai dalam proses pengembangan sistem pendidikan,
yaitu design, operation program, interim products dan terminal products. Pengertian design
di sini dapat dihubungkan dengan rencana/sarana, sedangkan program operation dapat
diartikan sebagai proses pelaksanaan. Yang dimaksudkan dengan interim products oleh
Provus adalah hasil belajar jangka pendek sedangkan terminal products adalah hasil belajar
dalam jangka waktu yang lebih panjang. Dengan demikian, objek evaluasi yang diajukan
oleh Provus di sini mencakup pula dimensi sarana/rencana proses, dan hasil yang dicapai.
Sehubungan dengan ruang lingkup objek evaluasi yang diajukan oleh model yang
ketiga ini, jenis-jenis data yang dikumpulkan dalam kegiatan evaluasi menuru model ini baik
data-data objektif (skor hasil tes) maupun data-data subjektif atau judgmental data
(pandangan guru-guru, reaksi para siswa, dan sebagainya). Model evaluasi ini memberikan
tempat yang penting bagi pengumpulan judgmental data.
Menurut model ini, kenyataan bahwa judgment itu mengandung unsur-unsur subjektif
tidak mengu- rangi pentingnya hal tersebut dalam proses evaluasi. Yang perlu adalah
mengembangkan cara yang akan memungkinkan unsur-unsur subjektif dalam judgment
tersebut dapat ditekankan sampai seminimal mungkin.
Kesimpulan yang dapat kita ambil mengenai ruang lingkup evaluasi yang diajukan
oleh model ketiga ini adalah bahwa :
a) objek evaluasi dalam rangka pengembangan kuri- kulum atau sistem pendidikan
mencakup sekurang- kurangnya 3 dimensi, yaitu dimensi peralatan/sarana, proses,
dan hasil yang dicapai
b) sehubungan dengan hal di atas, jenis-jenis data yang diperlukan dalam proses
penilaian mencakup data objektif maupun data subjektif Gudgmental data) (Daryanto,
2005 : 84-90)
menjadi empat tahap, yaitu (1) needs assessment, (2) program planning, (3) formative
evaluation, dan (4) summative evaluation.
Keterangan:
yang menggunakan manusia sebagai instrument pengukuran. (2). Model ini diturunkan dari
model metaphoric atau perumpamaan dan menggunakan kiasan kritik artistic untuk
menghasilkan konsep-konsep dasar evaluasi.
Model connoisseurship ini juga menggunakan pengumpulan data, analisis,
penafsiran, atau interprestasi data yang berlangsung dalam pemikiran si pembuat keputusan.
Proses ini terjadi, ketika keputusan berjalan di dalam otak pembuat keputusan berdasarkan
pada model organisator bahwa ia telah menginternalisasi berdasarkan pada pelatihan dan
pengalaman. Formulasi ester berawal dari dua konsep kembar, yaitu (a). konsep ahli
pendidikan , (b) konsep kritik pendidikan. Kedua konsep kembar tersebut merupakan batasan
yang dipinjam dari domain kritik artis yang menyamakan antara praktik pendidikan dengan
kerja seorang seniman.
Model connoisseurship tidak lain adalah usaha menggambarkan penyimpanan dari
metodologi yang telah dieksploitasi oleh para praktisi evaluasi. Menurutnya kritik bukan
hanya menerangkan sifat-sifat dan kualitas menyusun objek atau peristiwa, teatapi juga
menyerahkan batasan linguistic. Kritik berbicara dan menulis tentang apa yang ditemukan
sehingga kritik harus memberikan pencerahan kualitas yang mencakup kegiatan,
signifikansi, dan kualitas pengalaman, ketika seorang evaluator berinteraksi dengan yang
dievalusi yaitu para siswa.
Dengan dua batasan tersebut para pendukungnya dapat mengharagai gejala sifat
dan mutu yang ditemui, ketika mereka berfungsi sebagai observer yang baik, termasuk
mereka yang tidak memiliki keahlian dapat juga msuk dalam tujuan kerja kritik. Berkaitan
dengan hal tersebut, Esner memfokuskan perhatiannya pada isu-isu metodologi yang
dipertimbangkan sehingga muncul dalam proses evaluasi connoisseurship, misalnya:
1) Bagaimana seseorang mngetahui, jika orang tersebut jujur terhadap kritik
pendidikan?
2) Bagaimana seseorang yakin bahwa kritik pendidikan menyatakan fenomena
pendidikan bukan sebagai imajinasi?
3) Bagaimana kita mngetahui keyakinan apa yang dapat ditempatkan dalam deskripsi
kritik, interprestasi, dan evaluasi dalam kehidupan kelas?
Kontribusi connoisseurship yang cukup signifikan pada waktu itu diantaranya dalah
model yang memungknkan terakomodasinya pengaruh kelengkapan yang semula dikaitkan
tidak ilmiah ( nonscientific) menjadi model evaluasi ilmiah yang setara dengan model-model
lainnya. Dengan model connoisseurship ini, seni yang semula sulit dipahami oleh orang lain
dapat diterangkan dengan logis. Walaupun demikian, Model connoisseurship masi memiliki
23
Model evaluasi CIPP yang dikemukakan oleh Stufflebeam & Shinkfield (1985)
adalah sebuah pendekatan evaluasi yang berorientasi pada pengambil keputusan (a decision
oriented evaluation approach structured) untuk memberikan bantuan kepada administrator
atau leader pengambil keputusan. Stufflebeam mengemukakan bahwa hasil evaluasi akan
memberikan alternatif pemecahan masalah bagi para pengambil keputusan. Model evaluasi
CIPP ini terdiri dari 4 hurup yang diuraikan sebagai berikut:
a. Contect evaluation to serve planning decision. Seorang evaluator harus cermat dan
tajam memahami konteks evaluasi yang berkaitan dengan merencanakan keputusan,
mengidentifikasi kebutuhan, dan merumuskan tujuan program.
b. Input Evaluation structuring decision. Segala sesuatu yang berpengaruh terhadap
proses pelaksanaan evaluasi harus disiapkan dengan benar. Input evaluasi ini akan
memberikan bantuan agar dapat menata keputusan, menentukan sumber-sumber yang
dibutuhkan, mencari berbagai alternatif yang akan dilakukan, menentukan rencana
yang matang, membuat strategi yang akan dilakukan dan memperhatikan prosedur
kerja dalam mencapainya.
c. Process evaluation to serve implementing decision. Pada evaluasi proses ini berkaitan
dengan implementasi suatu program. Ada sejumlah pertanyaan yang harus dijawab
dalam proses pelaksanaan evaluasi ini. Misalnya, apakah rencana yang telah dibuat
sesuai dengan pelaksanaan di lapangan? Dalam proses pelaksanaan program adakah
yang harus diperbaiki? Dengan demikian proses pelaksanaan program dapat
dimonitor, diawasi, atau bahkan diperbaiki.
d. Product evaluation to serve recycling decision. Evaluasi hasil digunakan untuk
menentukan keputusan apa yang akan dikerjakan berikutnya. Apa manfaat yang
dirasakan oleh masyarakat berkaitan dengan program yang digulirkan? Apakah
memiliki pengaruh dan dampak dengan adanya program tersebut? Evaluasi hasil
berkaitan dengan manfaat dan dampak suatu program setelah dilakukan evaluasi
secara seksama. Manfaat model ini untuk pengambilan keputusan (decision making)
dan bukti pertanggung jawaban (accountability) suatu program kepada masyarakat.
24
Tahapan evaluasi dalam model ini yakni penggambaran (delineating), perolehan atau
temuan (obtaining), dan penyediakan (providing) bagi para pembuat keputusan.
Model evaluasi ini merupakan model yang paling banyak dikenal dan diterapkan oleh
para evaluator. Oleh karena itu, uraian yang diberikan relatif panjang dibandingkan model-
model lainnya. Model CIPP ini dikembangkan oleh Stufflebeam, dkk. (1967) di Ohio state
university. CIPP yang merupakan sebuah singkatan dari huruf awal empat buah kata, yaitu:
Context evaluation : evaluasi terhadap konteks
Input evaluation : evaluasi terhadap masukan
Process : evaluasi terhadap proses
Product evaluation : evaluasi terhadap hasil
Keempat kata yang disebutkan dalam singkatan CIPP tersebut merupakan sasaran
evaluasi, yang tidak lain adalah komponen dari sebuah proses program kegiatan. Dengan
kata lain, model CIPP adalah model evaluasi yang memandang program yang dievaluasi
sebagai sebuah sistem. Dengan demikian, jika tim evaluator sudah menentukan model CIPP
sebagai model yang akan digunakan untuk mengevaluasi program yang ditugaskan maka
mau tidak mau mereka harus menganalisis program tersebut berdasarkan komponen-
komponennya.
Seorang ahli evaluasi dari University of Washington bernama Gilbert Sax (1980)
memberikan arahan kepada evaluator tentang bagaimana mempelajari tiap-tiap komponen
yang ada dalam setiap program yang dievaluasi dengan mengajukan beberapa pertanyaan.
Model ini sekarang disempurnakan dengan satu komponen O, singkatan dari outcome (s)
sehingga menjadi model CIPPO.
Model CIPP hanya berhenti pada mengukur output (product) . sebagai contoh, jika
product .berhenti pada lulusan, sedangkan outcome (s) sampai pada bagaimana kiprah
lulusan tersebut dimasyarakat atau dipendidikan lanjutannya. Atau untuk product pabrik,
bukan hanya mengandalkan kualitas barang, tetapi pada kepuasan pemakai atau konsumen.
1. Evaluasi Konteks
Evaluasi konteks adalah upaya untuk menggambarkan dan merinci lingkungan,
kebutuhan yang tidak terpenuhi, populasi dan sampel yang dilayani, dan tujuan
proyek. Contoh pengajuan pertanyaan, untuk evaluasi yang diarahkan pada program
makanan tambahan anak sekolah (PMTAS). Ada empat pertanyaan yang dapat
diajukan sehubungan dengan evaluasi konteks, yaitu sebagai berikut.
Kebutuhan apa saja yang belum terpenuhi oleh program, misalnya jenis
makanan dan siswa yang belum menerima?
25
Model CIPP telah banyak digunakan di berbagai belahan Negara Amerika Serikat,
baik oleh pemerintah maupun agen-agen swasta. Penggunaan pendekatan evaluasi ini
banyak digunakan dalam rangka menjamin akuntabilitas public dari suatu program
pendidikan. Stuffelbeam dan Shinkield (1985) menggambarkan pemanfaatan CIPP model
dalam dua kepentingan, yakni pembuatan keputusan (orientasi formatif) dan akuntabilitas
(orientasi sumatif), sebagai berikut :
isu-isu pokok yang memerlukan jawaban pada setiap level dan aspek program, sehingga
evaluasi lebih terfokus. House (1982) mendeskripsikan keunggulan model ini dalam sebuah
kalimat sebagai berikut:
model ini telah memberikan masukan yang sangat bernilai terhadap evaluasi,
dengan penekanannya pada informasi yang bermanfaat dan penting. Informasi evaluasi telah
digunakanya secara berarti. Menghubungkan kegiatan evaluasi dengan pengambilan
keputusan telah melandasi bermanfaatnya evaluasi. Secara praktis hal ini telah shape
evaluasi secara konseptual dengan pertimbangan- pertimbangan pengamblan keputusan.
Walaupun seseorang tidak dapat mendefinisikan secara tepat alternative-alternatif
keputusan, tetapi seseorang dapat mengeliminasi sejumlah hal-hal yang tidak relevan
Model penilaian berorietasi manajemen telah mengantarkan seorang evaluator atau
pendidik untuk tidak menunggu waktu berjalannya program sebelum melakukan evaluasi.
Faktanya, seorang pendidik dapat melakukan evaluasi sebelum program dilakukan, misalnya
ketika ide program muncul. Pelaksanaan evaluasi yang dilakukan setelah program berjalan
saja akan mengakibatkan kerugian investasi sumberdaya dan kesempatan yang besar. Hal ini
merupakan keunggulan atau kelebihan lain dari model penilaian ini.
Hal lain yang dianggap kelebihan model ini adalah memungkinkannya dilakukan
perangkat heuristic secara sederhana melalui pengembangan pertanyaan-pertanyaan dalam
setiap level dan aspek program. Dengan demikian model ini terbuka untuk dapat mengali
hal-hal lain yang lebih mendalam dan mudah dijelaskan kepada kelompok sasaran pengguna
informasi evaluasi.
Kelemahan :
Kelemahan yang potensial dari model ini adalah ketidakmampuan evaluator untuk
merespon pertanyaan-pertanyaan atau isu-isu yang bermakna karena takut terjadi
pertentangan atau setidaknya tidak pas dengan perhatian para pengambil keputusan yang
nota bene mengendalikan evaluasi. Berkaitan dengan ini House (1980) mengingatkan:
Mengapa harus pengambil keputusan, yang seringkali diidentifikasi sebagai
administrator program, yang diberi banyak peran? Apakah hal ini tidak menempatkan
evaluator sebagai pelayan manajemen puncak dan membuat evaluator sebagai the hired gun
dari penetapan proram? Apakah juga tidak membuat evaluasi secara ppotensial tidak adil
dan mungkin tidak demokrtis? Ini adalah kelemahan potensial dari pendekatan penilaian
yang berorientasi pengambilan keputusan. (Nurdin : http:/file.upi.edu)
h. Judgements : menilai pendekatan dan prosedur yang digunakan dalam pelatihan, para
pelatih/instruktur dan bahan-bahan atau menilai suatu program, baik yang dilakukan
oleh penilai itu sendiri maupun dari pihak-pihak lain.
Descriptions matrix menunjukkan Intents (goal=tujuan) dan observations
(effect=akibat) atau yang sebenarnya terjadi. Judgment berhubungan dengan standar (tolak
ukur = kriteria)/dan judgment (pertimbangan). Stake menegaskan bahwa ketika kita
menimbang-nimbang di dalam menilai suatu program pendidikan, kita tentu melakukan
pembandingan relatif (antara satu program dengan standard).
Model ini menekankan kepada evaluator agar membuat keputusan/penilaian tentang
program yang sedang dievaluasi secara benar, akurat dan lengkap. Stake menunjukkan bahwa
description disatu pihak berbeda dengan pertimbangan (judgment) atau menilai. Di dalam
model ini data tentang Antecendent (input), Transaction (process) dan Outcomes (Product)
data tidak hanya dibandingkan untuk menentukan kesenjangan antara yang diperoleh dengan
yang diharapkan, tetapi juga dibandingkan dengan standar yang mutlak agar diketahui dengan
jelas kemanfaatan kegiatan di dalam suatu program.
Keunggulan Model Stake atau model Countenance
Menurut Howard, E (2008), kelebihan evaluasi model Countenance Stakes adalah:
Dalam penilaiannya melihat kebutuhan program yang dilayani oleh evaluator.
Upaya untuk mendeskripsikan kompleksitas program sebagai realita yang mungkin
terjadi.
Memiliki potensi besar untuk memperoleh wawaasan baru dan teori-teori tentang
lapangan dan program yang akan di evaluasi.
Selain hal tersebut menurut Kemble (2010), mengatakan bahwa kelebihan evaluasi model
Countenance Stake antaralain adalah:
Dalam evaluasi memasukkan data tentang latar belakang program, proses dan hasil
yang merupakan perluasan ruang lingkup evaluasi pada tahun 1970-an.
Evaluator memegang kendali dalam evaluasi dan juga memutuskan cara yang paling
tepat untuk hadir dan menggambarkan hasil
Fokus pada kekhawatiran stakeholder dan isu-isu meningkatkan komunikasi antara
evaluator dan stakeholder.
Sedangkan Menurut Robinson (2006) kelebihan model Countenance Stake yaitu
bahwa model tersebut memiliki kehatian-hatian dalam memberikan judgment mengenai nilai
aspek yang bervariasi. Model ini juga dapat memfasilitasi sebuah pemahaman yang
30
mendalam mengenai semua aspek program pembelajaran, yang tidak hanya memnugkinkan
evaluator untuk menentukan out come pembelajaran, tetapi juga menunjukkan alasan dan
konsekuensi dampaknya. Model ini memberikan dasar yang kuat untuk memberikan
rekomendasi dan judgment yang menarik atas nilai sebuah pembelajaran. Depwell, F &
Glynis. (2008) kekuatan model Contenance Stake adalah di akomodasi dan penataan berbagai
tingkat data. Dalam evaluasi yang dilakukan data yang dikumpulkan adalah campuran data
kualitatif dan kuantitatif, formal dan informal, primer dan sekunder. Dalam model
countenance stake semua data diolah sesuai dengan kategori melayani dalam matriks. Woods
(1988) mengatakan bahwa kekuatan model countenance stake adalah cara dan tindakannya
pasti dan dapat diamati secara bersamaan antara standard dan judgement.
Kelemahan dari Model Stake atau Countenance :
Menurut Howard, E (2008), kelemahan evaluasi model Countenance Stakes adalah:
Pendekatan yang dilakukan terlalu subjektif.
Terjadinya kemungkinan dalam meminimalkan pentingnya instrument pengumpulan
data dan evaluasi kuantitatif.
Kemungkinan biaya yang terlalu besar dan padat karya.
Keterikatannya dengan sistem. Dengan model pendekatan system ini kegiatan sekolah dapat
diikuti dengan seksama mulai dari variable-variabel yang ada dalam komponen masukan,
proses dan keluaran. Komponen masukan yang dimaksudkan adalah semua informasi yang
berhubungan dengan karakteristik peserta didik, kemampuan intelektual, hasil belajar
sebelumnya, kepribadian, kebiasaan, latar belakang keluarga, latar belakang lingkungan dan
sebagainya.
Keterbatasan Model Alkin
keterbatasannya dalam fokus kajian yaitu yang hanya fokus pada kegiatan persekolahan.
Sehingga model ini hanya dapat digunakan untuk mengevaluasi kurikulum yang sudah siap
dilaksanakan disekolah.
Belum lagi proses komunikasi yang harus dibangun secara teratur dan kontinu, baik secara
langsung maupun tak langsung antara evaluator dengan audience atau klien.
Untuk mengumpulkan data dalam desain ini dapat menggunakan berbagai teknik
seperti tes, observasi, wawancara, kuisioner dan skala penilaian. Untuk itu, syarat-syarat
penyusunan instrument yang baik, seperti validitas dan reliabilitas tetap harus diperhatikan
karena data yang dikumpulkan biasanya bersifat kuantitatif. Dalam penyusunan desain
biasanya didiskusikan terlebih dahulu dengan pihak pemakai sehingga jika terdapat
kekurangan dapat segera diperbaiki.
Sementara itu, dalam desain evaluasi emergent, tujuan evaluasi adalah untuk
beradaptasi dengan situasi yang sedang berlangsung dan berkembang, seperti menampung
pendapat audience, masalah-masalah dan kegiatan program. Proses adaptasi ini tentu
memerlukan waktu yang cukup lama, mulai dari awal sampai dengan akhir kegiatan guna
menetapkan dan merumuskan tujuan dan isu. Hal ini wajar karena hal tersebut tidak
ditentukan sebelumnya. Disini, seorang evaluator tidak perlu mendorong audiensi untuk
memikirkan tentang suatu program atau isu-isu evaluasi karena audiensi akan menentukan
sendiri isu-isu dan informasi penting lainnya yang diperlukan dalam desain emergent.
Selama proses evaluasi, seorang evaluator harus tetap menjalin komunikasi yang
kontinu dengan audiensi, sehingga data dan informasi yang dikumpulkan tidak terputus dan
tetap utuh. Teknik pengumpulan data dapat menggunakan observasi, studi kasus dan laporan
tim pendukung. Pengukuran tidak selalu mengacu kepada tujuan program seperti yang biasa
dilakukan bahkan seorang evaluator sering mengabaikan panggunaan teknik pengukuran
karena informasi yang dibutuhkan lebih bersifat kualitatif-naturalistik. Hal ini dimaksudkan
agar informasi yang dikumpulkan lebih banyak, mendalam dan bermanfaat. Dengan
demikian, desain akan terus berkembang dan berubah sesuai dengan situasi dan kondisi
dilapangan.
2. Formative vs Summative Evaluation.
Istilah formatif dan sumatif pertama kali dipopulerkan oleh Michael Scriven. Untuk
dapat memahami kedua jenis evaluasi ini dapat dilihat dari fungsinya. Evaluasi formatif
berfungsi untuk memperbaiki kurikulum dan pembelajaran, sedangkan evaluasi sumatif
berfungsi untuk melihat kemanfaatan kurikulum dan pembelajaran secara menyeluruh.
Artinya, jika hasil kurikulum dan pembelajaran memang bermanfaat bagi semua pihak yang
terkait (terutama peserta didik) maka kurikulum dan pembelajaran dapat dilanjutkan.
Sebaliknya, jika hasil kurikulum dan pembelajaran tidak mempunyai manfaat, maka
kurikulum dan pembelajaran dapat dihentikan. Dengan demikian, evaluasi sumatif dapat
33
menentukan apakah suatu kurikulum dan pembelajaran akan diteruskan atau dihentikan. Oleh
sebab itu, seorang evaluator harus betul-betul memiliki kemampuan professional dan dapat
dipercaya dalam menentukan keputusan tersebut. Fokus evaluasi sumatif adalah variabel-
variabel yang dianggap penting dalam kurikulum dan pembelajaran.
3. Experimental and Quasi Experimental Design vs Natural/ Unobtrusive Inquiry.
Desain eksperimental banyak menggunakan pendekatan kuantitatif, random sampling,
memberikan perlakuan, dan mengukur dampak. Tujuannya adalah untuk menilai manfaat
hasil percobaan program pembelajaran. Untuk itu, perlu dilakukan manipulasi terhadap
lingkungan dan pemilihan strategi yang dianggap pantas. Dalam praktiknya, desain evaluasi
ini agak sulit dilakukan karena pada umumnya proses pembelajaran sudah atau sedang
terjadi. Jika prosesnya sudah terjadi, evaluator cukup melihat dokumen-dekumen sejarah atau
menganalisishasil tes. Jika prosesnya sedang terjadi, evaluator dapat melakukan pengamatan
atau wawancara dengan orang-orang yang terlibat. Untuk itu, kriteria internal dan eksternal
sangat diperlukan. Dalam proses pengamatan dan wawancara, evaluator harus selalu
merendah (low profile) sehingga program yang dievaluasi tidak terancam dan berubah karena
kehadiran evaluator. Desain evaluasi ini harus disusun bersama dan biasanya memerlukan
waktu dan biaya yang cukup banyak, terutama dalam menyusun instrument untuk menilai
perlakuan, mengumpulakn data kuantitatif, dan mengolah data secara statistik. Pengambilan
sampel secara acak dilakukan untuk menarik suatu generalisasi yang dapat berlaku secara
umum.
Dalam desain evaluasi natural-inkuiri, evaluator banyak menghabiskan waktu untuk
melakukan pengamatan dan wawancara dengan orang-orang yang terlibat. Kegiatan ini
dilakukan secara berkesinambungan dengan pendekatan informal. Disamping itu, evaluator
juga dapat menggunakan teknik studi dokumentasi.
sistem yang bersangkutan, proses implementasi (pelaksanaan) sistem, hasil belajar yang
diperlihatkan oleh siswa, serta kesukaran-kesukaran yang dialami dari tahap perencanaan
hingga implementasinya di lapangan. Di samping itu, dampak yang ditimbulkan dari suatu
sistem seperti; kebosanan yang terlihat pada siswa dan guru, ketergantungan secara
intelektual, hambatan terhadap perkembangan sikap sosial, dan sebagainya. Ringkasnya,
objek evaluasi dalam model ini meliputi kurikulum yang terlihat maupun tersembunyi
(hidden curriculum).
Tahapan evaluasi dalam Illuminatif model terdiri dari tiga fase sebagai berikut.
a. Tahap pertama observe. Pada tahap ini, evaluator mengunjungi sekolah atau lembaga
yang sedang mengembangkan sistem tertentu. Evaluator mendengarkan dan melihat
berbagai peristiwa, persoalan, serta reaksi dari guru maupun siswa terhadap
pelaksanaan sistem tersebut.
b. Tahap kedua Inquiry further. Pada tahap ini, berbagai persoalan yang terlihat atau
terdengar dalam tahap pertama diseleksi untuk mendapatkan perhatian dan penelitian
lebih lanjut.
c. Tahap ketiga Seek to explain. Pada tahap ini, evaluator mulai meneliti sebab akibat
dari masing-masing persoalan. Pada tahap ini, faktor-faktor yang menyebabkan
timbulnya persoalan dicoba untuk ditelusuri. Data semula terpisah satu dengan
lainnya mulai disusun dan dihubungkan dalam kesatuan situasi. Langkah selanjutnya
dilakukan interpretasi data yang diharapkan dapat dijadikan bahan dalam
pengambilan keputusan.
Dari langkah-langkah tersebut, faktor penting dalam evaluasi model ini adalah
perlunya kontak langsung antara evaluator dengan pihak yang dievaluasi. Hal ini disebabkan
model ini menggunakan pendekatan kualitatif yang menekankan pentingnya menjalin
kedekatan dengan orang dan situasi yang sedang dievaluasi agar dapat memahami secara
personal realitas dan hal-hal rinci tentang program atau sistem yang sedang dikembangkan.30
Di samping itu, faktor lainnya adalah pandangannya yang holistic dalam evaluasi, yang
berasumsi bahwa keseluruhan adalah lebih besar daripada sejumlah bagian-bagian.
Model yang ini pun dikembangkan sebagai reaksi terhadap da model evaluasi yaitu
measurement oleh Penggunaan nama Illuminative Model pengembangannya didasarkan atas
alasan bahwa penggunaan berbagai cara penilaian di dalam model ini bila akan "help
illuminative and significant program features". Model ini dikembangkan terutama di Inggris
dan banyak dikaitkan dengan pendekatan dalam bidang antropologi. Salah seorang tokoh
yang paling menonjol dalam usahanya mengembangkan model ini adalah Malcolm Parlett.
35
adalah mengubah skor mentah menjadi nilai dengan menggunakan pendekatan tertentu.
B = banyaknya butir yang dijawab benar (dalam bentuk pilihan ganda) atau jumlah skor
jawaban benar pada setiap butir/item soal (pada tes bentuk menguraikan)
St = Skor teoritis
41
Berdasarkan tabel di atas skor teoritis perangkat tes adalah 85. Peserta didik yang
mengikuti ada 40 anak, setelah mereka mengerjakan perangkat tes dilakukan penskoran oleh
guru. Hasil skor itu selanjutnya diolah dengan PAP, hasilnya sebagai berikut (yang
ditampilkan hanya 10 peserta tes).
Tabel 2.2 Skor Peserta Tes (Rekayasa) untuk Diolah dengan Pendekatan PAP
42
peserta berkualifikasi tidak tuntas? Anda dapat melakukan langkah berikutnya yaitu
memberikan keputusan kepada Iman dan Nila untuk remedial atau melakukan tes ulang.
Jawab (skala-5): untuk membuat skala-5 pada umumnya sekolah sudah punya
pedoman konversi skala-5 untuk semua matapelajaran. Apabila di sekolah Anda belum
memiliki maka Anda harus membuat sendiri pedoman itu dengan mempertimbangkan batas
minimal kualifikasi tuntas yang telah disepakati. Berikut ini disusun pedoman konversi skala-
5 dengan memperhatikan bahwa batas minimal kualifikasi tuntas adalah 60%.
Tabel 2.4. Contoh Pedoman Konversi Skala-5
Melalui tabel di atas berarti setiap skor peserta didik harus dikonversi menjadi nilai
huruf dan kualifikasi, hasil konversinya sebagai berikut.
Tabel 2.5. Contoh Hasil Konversi Skala-5
skala-9 dan skala-11. Pada skala-100 berangkat dari persentase yang mengartikan skor
prestasi sebagai proporsi penguasaan peserta didik pada suatu perangkat tes dengan batas
minimal angka 0 sampai 100 persen (%). Pada skala-5 berarti skor prestasi diwujudkan dalam
nilai A, B, C, D, dan E atau berturutan mewakili nilai 4, 3, 2, 1, dan 0. Adapun langkah-
langkah pendekatan PAN sebagai berikut.
1) Menghitung rerata ( x ) skor prestasi
Untuk data tidak berkelompok
xi = tanda kelas
fi = frekuensi yang sesuai dengan xi
xi = nilai ke-i
xi = nilai ke-i
fi = frekuensi ke-i
i = panjang kelas
46
3) Membuat pedoman konversi untuk mengubah skor menjadi nilai standar (berdasarkan
skalanya, ada PAN dengan skala lima, skala sembilan, skala sebelas, dan dengan nilai
Zscore atau Tscore)
Pedoman konversi skala-5
Pedoman konversi skala-5 berarti membagi nilai standar menjadi lima skala, lima
angka/huruf atau lima kualifikasi. Cara menyusun skala lima dengan membagi wilayah di
bawah lengkung kurva normal menjadi lima daerah, perhatikan kurva normal berikut.
Keterangan:
x = skor
S = standar deviasi
x = rata-rata
Seorang guru Bahasa Indonesia membina 80 orang peserta didik, ia berencana mengolah
dengan PAN skor akhir matapelajaran Bahasa Indonesia menjadi nilai standar. Skornya
seperti pada tabel berikut. Pertanyaan: susunlah pedoman konversi skala-5, 9, dan 11 dan
konversikan sepuluh skor siswa pada kolom pertama menjadi nilai standar.
Jawab:
1) Menghitung x dan s
a. Menentukan rentang
Rentang (r) = data terbesar data terkecil
= 99 35 = 64
= 9, 14
54
Catatan: khusus untuk panjang kelas pembulatan dapat Tidak mengikuti kaidah
matematik, jadi kalau pembulatan ke atas (=10) atau ke bawah (=9). Alasan; supaya
semua skor dapat masuk ke dalam setiap kelas interval.
Dengan panjang kelas = 9 memiliki kelas interval terakhir 89 97, dengan demikian
data berat badan lebih dari 97 tidak dapat masuk ke dalam kelas interval terakhir.
Dengan pajang kelas = 10 memiliki kelas interval terakhir 95 104, dengan demikian
semua data berat badan lebih dari 97 dapat masuk kedalam kelas interval terakhir.
Jadi sebaiknya menggunakan panjang kelas = 10. Selanjutnya disusun tabel distribusi
frekuensi kelompok seperti pada tabel dibawah ini.
e. Menentukan x dan s
55
Berarti nilai Toni adalah 0,4 dari rata-rata 76, jadi nilai Toni adalah 76,4
masalah yang dihadapinya dengan pengajar. Hal ini akan bisa terjadi apabila pengajar
dapat bersikap terbuka dan dapat menerima siswa dengan senang hati.
7) Program penilaian yang terarah dan terencana menuntut sistem pelaporan yang
lengkap dan rapi, baik untuk keperluan siswa sendiri dan keperluan pengajar, maupun
untuk keperluan lembaga. Hasil ujian pembinaan, ujian akhir, skala ukuran, dan daftar
cek memerlukan sistem pelaporan yang tersendiri, baik untuk keperluan bimbingan
siswa ataupun untuk keperluan laporan akhir.
8) Pengajar memerlukan berbagai sarana administrasi untuk penyusunan dan
pelaksanaan program pengajar dan penilaian. Untuk memperbanyak silabi, ujian, alat
pengukur lainnya, dan berbagai format diperlukan alat tulis-menulis dan kemudahan
dalam perbanyakkan bahan.
9) Program pengajaran dan penilaian perlu dicatat dan hasil-hasilnya disimpan secara
baik. Hal ini berguna untuk perbaikan dan perencanaan program sejenis dimasa
mendatang maupun untuk kepentingan siswa yang bersangkut apabila mereka
memerlukannya.
10) Karena program pengajaran dan penilaian ini bersifat menyeluruh dan relatif
menuntut lebih banyak waktu dan keterlibatan pengajar, perlu dipikirkan variasi jenis
mata pelajaran yang dipegang oleh setiap tenaga pengajar beserta konsekuensinya.
Misalnya, seorang tenaga pengajar yang mempunyai beban mengajar lima kelas
dengan dua mata pelajaran yang berbeda, relatif lebih ringan bebannya dari pengajar
lain yang memegang empat mata pelajaran yang berbeda.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1. Model evaluasi merupakan suatu desain yang dibuat oleh para ahli atau pakar
evaluasi. Biasanya model evaluasi ini dibuat berdasarkan kepentingan seseorang,
lembaga atau instansi yang ingin mengetahui apakah program yang telah dilaksanakan
dapat mencapai hasil yang diharapkan.
2. Macam-macam model evaluasi : Model Tyler, Model yang Berorientasi pada Tujuan,
Model Evaluasi Lepas dari Tujuan, Model Pengukuran (Measurement Model), Model
Kesesuaian (Congruence Model), Educational System Evaluation Model, CSE-UCLA
Evaluasi Model, Model CIPP , Model Stake atau Model Countenance, Model Alkin ,
Model Brinkerhoff, Model Illuminative, dan Model Responsif
3. Pendekatan merupakan sudut pandang seseorang dalam mempelajari sesuatu. Dengan
demikian, pendekatan evaluasi merupakan sudut pandang seseorang dalam menelaah
atau mempelajari evaluasi.
4. Macam-macam pendekatan evaluasi : Pendekatan berdasarkan komponen
pembelajaran (tradisional dan sistem) dan Pendekatan berdasarkan penafsiran hasil
evaluasi (PAP dan PAN)
3.2 Saran
1. Diharapkan dengan adanya makalah ini mampu membantu mahasiswa untuk
menjawab masalah-masalah dalam pembelajaran kimia khususnya yang menyamgkut
hal yang berkaitan dengan model dan pendekatan evaluasi
2. Diharapkan kepada pembaca agar mampu memberikan saran yang membangun untuk
pembuatan makalah selanjutnya agar lebih baik dari yang telah ada sekarang.
3. Diharapkan makalah ini mampu menambah literatur di perpustakaan untuk
menambah pengetahuan pembaca khususnya mahasisw
61
DAFTAR PUSTAKA
Nurdin, Diding.
http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._ADMINISTRASI_PENDIDIKAN/1971080820011
21-DIDING_NURDIN/Bab_2_Model_Evaluasi_SP.pdf
Suharsimi, Arikunto. 2009. Evaluasi Program Pendidikan Pedoman Teoritis Praktis bagi
Mahasiswa dan Praktisi Pendidikan. Jakarta : PT. Bumi Aksara
Sukardi. 2008. Evaluasi Pendidikan Prinsip dan Operasionalnya. Jakarta : PT. Bumi Aksara
http://www.scribd.com/mobile/doc/188510877/Model-model-pendekatan-Evaluasi-1#
62
63
LAMPIRAN