Inclusive Education: Efforts To Realize Equality and Non-Discrimination in The Education Sector For Children With Disabilities (CWD)
Inclusive Education: Efforts To Realize Equality and Non-Discrimination in The Education Sector For Children With Disabilities (CWD)
Eko Setiawan
Magister Kesejahteraan Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Padjadjaran Bandung Jawa Barat Indonesia
Email: ekost92@gmail.com
Abstrak
Pendidikan inklusif merupakan model pendidikan untuk mewujudkan pendidikan bagi semua anak
(education for all), termasuk bagi AdD. Pendidikan inklusif memberikan kesempatan yang sama kepada AdD
serta mewujudkan pendidikan yang menghargai keanekaragaman, dan tidak diskriminatif. Inklusif juga
dimaksudkan untuk mempromosikan perubahan dan nilai-nilai sosial dengan membangun kesadaran
masyarakat mengurangi nilai dan sikap diskriminatif. AdD seringkali mendapatkan perlakuan diskriminatif
serta kesulitan dalam akses pendidikan sehingga perlu implementasi model pendidikan inklusif sebagai
solusinya. Metode yang digunakan dalam penulisan artikel ini adalah metode literature review. Dalam artikel
ini ditemukan bahwa model pendidikan inklusif perlu diimplementasikan dalam sistem pendidikan sebagai
upaya mewujudkan kesetaraan dan non diskriminatif bagi AdD seperti yang diungkapkan oleh beberapa
peneliti. Implementasi pendidikan inklusif perlu memperhatikan berbagai sumber daya dan kondisi yang
mendukung terwujudnya inklusifitas. Namun, dalam pelaksanaannya pendidikan inklusif masih mengalami
berbagai permasalahan dan hambatan. Pendidikan inklusif dapat menimbulkan dampak positif dan negatif
terhadap AdD. Penerimaan sosial yang baik dalam lingkungan dapat menimbulkan dampak yang positif,
sebaliknya penerimaan sosial yang buruk dapat menimbulkan dampak negatif bagi AdD. Pekerja sosial
memiliki peran penting dalam pelaksanaan pendidikan inklusif.
Kata Kunci : pendidikan inklusif, anak dengan disabilitas, diskriminasi, keberagaman
Abstract
Inclusive education is an educational model for realizing education for all children, including for CWD.
Inclusive education provides equal opportunities to CWD and creates education which respects for diversity,
and not discriminatory. Inclusive is also intended to promote social change and social values by construct
community awareness of reducing discriminatory values and attitudes. CWD often gets discriminatory
treatment and difficulties in accessing education so it needs to implement an inclusive education model as a
solution. The method used in writing this article is the literature review method. In this article it was found
that the inclusive education model needs to be implemented in the education system as an effort to realize
equality and non-discrimination for CWD as revealed by several researchers. The implementation of
inclusive education needs to pay attention to the resources and needs that support the realization of
inclusiveness. However, in implementation inclusive education still experiences various problems and
obstacles. Inclusive education can have positive and negative impacts on CWD. Good social acceptance in
the environment can have a positive impact, whereas poor social acceptance can have a negative impact on
CWD. Social workers have an important role in implementing inclusive education.
Keywords: inclusive education, children with disabilities, discrimination, diversity
188 Sosio Informa Vol. 5, No. 03, September – Desember, Tahun 2019. Kesejahteraan Sosial
PENDAHULUAN lingkungannya lah yang bermasalah dalam
menyediakan kesamaan akses dan menjadi
Pendidikan merupakan hak semua orang,
inklusif bagi setiap orang (hal. 168-169).
tidak terkecuali bagi anak dengan disabilitas
Dengan cara pandang baru ini, maka layanan
yang dalam artikel ini akan disingkat
yang disediakan bagi populasi disabilitas pun
menggunakan istilah AdD. Meskipun memiliki
berubah menjadi lebih mengarah kepada
keterbatasan, mereka tetap mempunyai hak dan
perubahan sosial dan menyiapkan masyarakat
kesempatan yang sama dalam bidang
umum agar dapat mengubah stigma negatif serta
pendidikan seperti anak pada umumnya, baik itu
menyiapkan masyarakat untuk dapat
berupa pendidikan formal maupun nonformal.
berinteraksi dengan populasi disabilitas tanpa
Salah satu pendidikan formal dapat diperoleh
stigma negatif.
melalui sekolah. Di Indonesia, sesuai dengan
Permendikbud RI nomor 19 tahun 2016 bahwa Model pendidikan inklusif merupakan
program wajib belajar yaitu dalam tahap rintisan sebuah alternatif untuk melayani anak dengan
wajib belajar 12 tahun atau sampai dengan disabilitas (AdD). Pendidikan inklusif membuka
tingkat pendidikan menengah atas dan ini kesempatan bagi AdD untuk bersekolah di
berlaku bagi semua anak baik dengan disabilitas sekolah umum sehingga membuka akses
maupun umum. pendidikan yang lebih luas bagi AdD. Dengan
adanya sekolah yang menerapkan pendidikan
Bagi AdD, sekolah yang biasanya menerima
inklusif diharapkan dapat memperpendek akses
dan diadaptasi sesuai kebutuhan mereka adalah
bagi AdD yang tempat tinggalnya jauh dari SLB
berupa sekolah luar biasa (SLB). Namun, SLB
sehingga dapat menempuh pendidikan di
yang ada saat ini belum mampu mengakomodir
sekolah umum.
seluruh anak dengan disabilitas karena hanya
terdapat di pusat kota/kabupaten sehingga anak Pendidikan inklusif dalam Permendiknas RI
yang berada di daerah jauh dari pusat kota Nomor 70 Tahun 2009 dijelaskan bahwa sebagai
mengalami kesulitan untuk mengaksesnya sebuah sistem penyelenggaraan pendidikan yang
karena letak sekolah yang jauh. Akibatnya anak memberikan kesempatan kepada semua peserta
dengan disabilitas yang berada di daerah yang didik yang memiliki kelainan dan memiliki
jauh dari pusat kota/kabupaten banyak yang potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa
tidak bersekolah. Oleh karena itu, untuk untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran
mengatasi masalah tersebut maka muncul model dalam satu lingkungan pendidikan secara
pendidikan inklusif. Hal ini merupakan suatu bersama-sama dengan peserta didik pada
bentuk kesetaraan dan non diskriminasi terhadap umumnya. Pendidikan inklusif bertujuan
anak dengan disabilitas untuk mendapatkan memberikan kesempatan yang seluas-luasnya
kesempatan yang sama dalam pendidikan. kepada semua peserta didik yang memiliki
kelainan fisik, emosional, mental, dan sosial
Inklusifitas sebenarnya tidak hanya untuk
atau memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat
bidang pendidikan saja, akan tetapi di semua
istimewa untuk memperoleh pendidikan yang
aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal
bermutu sesuai dengan kebutuhan dan
ini terjadi karena telah terjadi perubahan cara
kemampuannya serta mewujudkan
pandang terhadap populasi disabilitas. Santoso
penyelenggaraan pendidikan yang menghargai
& Apsari (2017) menyebutkan bahwa orang
keanekaragaman, dan tidak diskriminatif bagi
dengan disabilitas tidak lagi di pandang sebagai
orang yang bermasalah, akan tetapi semua peserta didik. Sedangkan yang dimaksud
kelainan sebagaimana tercantum dalam
190 Sosio Informa Vol. 5, No. 03, September – Desember, Tahun 2019. Kesejahteraan Sosial
partisipasi dalam belajar, budaya dan diadaptasi, sistem penilaian yang adil, serta
masyarakat, serta mengurangi pengucilan dalam media dan sarana prasarana yang disesuaikan,
dan dari pendidikan. Hal ini melibatkan maka setiap anak akan dapat mengikuti
perubahan, modifikasi, pendekatan, struktur dan pendidikan yang layak dan bermutu dalam
strategi, dengan visi yang sama mencakup setting pendidikan inklusif (Yusuf, Choiri, &
semua anak dari rentang usia yang tepat dan Supratiwi, 2017).
dengan keyakinan bahwa itu adalah tanggung Model Pendidikan Inklusif
jawab semua untuk mendidik anak.
Pendidikan inklusif dapat dilaksanakan
Pendidikan inklusif merupakan paradigma dalam beberapa model pendidikan. Vaughan
baru yang bertujuan untuk pemenuhan hak asasi (2000) dalam Widyastono (2007)
manusia atas pendidikan tanpa adanya mengungkapkan bahwa penempatan anak
diskriminasi, dengan memberi kesempatan berkelainan di sekolah umum dapat dilakukan
pendidikan yang berkualitas kepada semua anak dengan berbagai model sebagai berikut :
tanpa pengecualian, sehingga semua anak
memiliki kesempatan yang sama untuk secara 1. Kelas regular tanpa bimbingan khusus. Anak
aktif mengembangkan potensi pribadinya dalam berkelainan belajar bersama anak normal
lingkungan yang sama. Perkembangan ilmu dikelas yang sama, menggunakan kurikulum
pengetahuan dan teknologi dalam bidang yang sama, dengan system yang sama.
pendidikan, menemukan banyak bukti baru, 2. Kelas regular dengan tambahan bimbingan
bahwa AdD dengan berbagai hambatan fisik khusus di dalam. Anak berkelainan belajar
dan/atau intelektualnya, mereka mampu bersama anak normal di kelas yang sama,
mengikuti pendidikan di sekolah-sekolah menggunakan kurikulum yang sama, dengan
reguler setelah guru dan sumberdaya lain di system yang sama. Teatapi bila ada kesulitan
sekolah, kurikulum dan pembelajaran di desain akibat dari kelainannya, mereka diberi
khusus sehingga memungkinkan setiap individu bimbingan khusus di dalam kelas oleh guru
mendapatkan layanan yang sesuai dengan yang bersangkutan dan/atau oleh guru
kebutuhan masing-masing (Yi, Gerken, Van, & pendidikan khusus.
Fei, 2006).
3. Kelas regular dengan tambahan bimbingan
Lahirnya paradigma pendekatan sosial dalam khusus di luar. Anak berkelainan belajar
pelayanan pendidikan bagi semua anak, menjadi bersama anak normal dikelas yang sama,
salah satu titik tolak kelahiran pendidikan menggunakan kurikulum yang sama, dengan
inklusif. Pendidikan inklusif adalah sistem system yang sama. Tetapi bila ada kesulitan
pendidikan yang memberikan kesempatan yang akibat dari kelainannya, mereka diberi
sama kepada semua anak untuk dapat belajar bimbingan khusus diluar kelas oleh guru yang
bersama meskipun dengan tuntutan kurikulum bersangkutan dan/atau oleh guru penddikan
dan pembelajaran yang berbeda. Pendidikan khusus.
inklusif merupakan filosofi dan sekaligus
4. Kelas khusus dengan kesempatan berada di
metodologi dalam mewujudkan sebuah
kelas regular. Anak berkelainan belajar di
lingkungan sosial dan pendidikan yang
kelas khusus pada sekolah regular bersama
memungkinkan semua anak akan mendapatkan
anak berkelainan lainnya. Tetapi untuk mata
pelayanan yang sesuai dengan kebutuhan
pelajaran tertentu seperti olahraga, kerajinan
masing-masing individu. Melalui asesmen
tangan, dan kesenian, mereka dapat belajar
profesional, kurikulum dan pembelajaran yang
192 Sosio Informa Vol. 5, No. 03, September – Desember, Tahun 2019. Kesejahteraan Sosial
pendidikan dapat dilakukan secara maksimal khususnya terkait dengan tuntutan kurikulum
demi pemenuhan mutu pendidikan yang yang padat dan cukup ideal. Kedelapan, belum
diharapkan. tersedianya tenaga dan sumber pendukung
utama untuk terselenggaranya pendidikan
Menurut Yulianto (2014) dalam pendidikan
inklusif yang memadai, yaitu guru pendidikan
inklusif ada tiga hal yang perlu diperhatikan.
khusus (GPK) dan pusat sumber (resource
Pertama adalah bahwa penyelenggaraan
center). Kesembilan, fakta lain yang masih
pendidikan harus mempertimbangan aspek
sering menjadi problem atau kendala mendasar
afordability yaitu pendidikan menjadi sesuatu
dalam pelaksanaan pendidikan inklusif adalah
yang terjangkau oleh setiap lapisan masyarakat.
pelaksanaan evaluasi bagi siswa tunagrahita
Pendidikan harus segera dikembalikan menjadi
yang ada di sekolah inklusif.
barang publik yang bisa dinikmati oleh setiap
lapisan masyarakat tanpa terkecuali. Kedua Pelaksanaan pendidikan inklusif sejauh ini
adalah nilai acceptability, yaitu bahwa lembaga masih belum mampu menjawab kebutuhan akan
pendidikan harus diyakinkan untuk mau dan keteraksesan serta kualitas pendidikan itu
mampu menerima peserta didik dengan sendiri. Di satu pihak kesiapan hard resources
perbedaan latar belakang. Sedang yang ketiga masih menjadi masalah besar pada sekolah-
adalah akomodasi/aksesibilitas. sekolah inklusif baru-baru ini, yang terkait
dengan ketersediaan media belajar, infra
Dalam penelitian Supena (2017) ditemukan
struktur, serta berbagai fasilitas sekolah yang
sejumlah fakta dan permasalahan sehubungan
aksesibel. Sementara di pihak lain, pengayaan
dengan pelaksanaan pendidikan inklusif di
soft resources yang berupa penguasaan
Sekolah Dasar, yaitu sebagai berikut: pertama,
pemahaman pengajar serta managemen lembaga
masih rendahnya pemahaman guru-guru tentang
pendidikan akan konsekuensi dari inklusif,
anak dengan disabilitas (AdD) dan bagaimana
kemampuan mengelola pembelajaran dalam
pelaksanaan layananan pendidikan untuk
setting inklusif, melakukan sistem penilaian,
mereka dalam konteks inklusif. Kedua, belum
serta modifikasi kurikulum yang menjadi
ada petunjuk (pedoman) praktis yang dapat
konsekuensi logis dari pendidikan inklusif juga
dijadikan panduan oleh para guru dalam
masih menjadi kesulitan di sebagian besar
melaksanakan proses belajar mengajar bagi anak
sekolah (Yulianto, 2014).
disabilitas yang ada di kelas inklusif. Ketiga,
belum tersedianya perangkat pendukung Jhonsen & Skjorten (2001) mengidentifikasi
pelaksanaan pembelajaran inklusif siswa bahwa ada setidaknya tiga faktor yang harus
disabilitas secara memadai. Keempat, belum diakomodasi secara holistik dalam
tersedianya landasan hukum yang pasti dan jelas penyelenggaraan pendidikan inklusif. Pertama
yang menjamin terhadap pelaksanaan adalah lingkungan, yang termasuk di dalamnya
pendidikan inklusif yang bermutu. Kelima, adalah respon lingkungan terhadap keberadaan
Persepsi dan dukungan berbagai pihak yang peserta didik berkebutuhan khusus, tingkat
belum sama. Keenam, permasalahan teknis yang pemahaman dan penguasaan guru terhadap
teramati dan disampaikan oleh sejumlah guru di pembelajaran yang mengakomodasi perbedaan,
sekolah inklusif adalah keberadaan AdD yang isi, materi serta metode pembelajaran, serta
jumlahnya terlalu banyak dalam satu kelas atau lingkungan yang lebih luas yang berhubungan
sekolah. Ketujuh, kendala teknis lain yang dengan lingkungan sosial, ekonomi serta politik,
teramati dan tertangkap adalah tentang tugas dan yang secara langsung maupun tidak,
beban para guru yang cukup lumayan banyak keseluruhan akan mempunyai pengaruh
194 Sosio Informa Vol. 5, No. 03, September – Desember, Tahun 2019. Kesejahteraan Sosial
yang rendah, merasa dirinya kurang berharga sampai saat ini belum berjalan beriringan.
dan kekurangan yang ia sandang mempengaruhi Profesi pekerja sosial yang profesional yang
bagaimana ia memandang dirinya sendiri masih berkembang di Indonesia menjadi salah
(Schmidt & Cagran, 2008). Self esteem dapat satu hambatannya. Tidak banyak orang yang
dibangun dengan cara penerimaan orang-orang mengetahui apa itu pekerja sosial profesional
di sekitar terhadap keberadaan dirinya. Anak membuat urgensi pekerja sosial di berbagai
yang diterima oleh orang-orang disekitarnya setting tidak begitu tampak. Hal yang sama
memiliki pandangan yang positif terhadap terjadi bagi para pekerja sosial sekolah.
dirinya sendiri dan merasa lebih dihormati, Pentingnya peran pekerja sosial di sekolah tidak
sehingga mampu mengembangkan potensi diri tampak karena hingga saat ini hanya sedikit
serta mencapai keberhasilan berdasarkan sekolah yang memiliki pekerja sosial dan
kekuatannya (Wilson, Ellerbee, & Christian, banyak sekolah yang tetap melaksanakan
2011). inklusif tanpa keberadaan pekerja sosial.
Sebenarnya dengan melihat begitu pentingnya
Loiacono & Valenti (2010) menyatakan
peran pekerja sosial di sekolah, pelaksanaan
bahwa anak berkebutuhan khusus yang
pendidikan inklusif akan lebih maksimal dan
bersekolah di sekolah regular memiliki
mengakomodir kebutuhan dan hak para siswa
kompetensi sosial yang lebih baik, Irvine &
saat pekerja sosial dilibatkan.
Lupart (2006) juga setuju bahwa menempatkan
anak dengan kebutuhan khusus juga baik bagi Openshaw (2008) menjelaskan bahwa 4 tugas
kemampuan sosialnya. Interaksi sosial pokok pekerja sosial sekolah, adalah:
memberikan kesempatan anak berkebutuhan 1. Konsultasi dengan pihak lain dalam sekolah
khusus bagaimana berinteraksi dengan orang
yang berbeda dengan diri mereka. Interaksi 2. Assessment dalam pelayanan langsung,
sosial mengajarkan peserta didik untuk meniru konsultasi dan pengembangan program
strategi, meningkatkan kemampuan 3. Intervensi dengan anak, keluarga dan kelompok
memecahkan masalah, memperoleh kecakapan
4. Membantu pengembangan program
hidup yang lebih baik, dan mengurangi perilaku
yang meledak-ledak. Kompetensi sosial Peran lain dari pekerja sosial adalah
dikembangkan dengan cara anak berkebutuhan membantu pengembangan program, dalam
khusus belajar berinteraksi dengan orang yang konteks pendidikan inklusif pekerja sosial dapat
normal. Peserta didik ditunjukkan situasi hidup membantu untuk mengembangkan program
yang nyata di dalam kelas (Wilson, Ellerbee, & pelayanan / penyelenggaraan pendidikan
Christian, 2011). Menurut Yusuf Choiri, & inklusif yang dapat mengakomodir kebutuhan
Supratiwi (2017) banyak hal positif dapat dari anak dengan disabilitas dan anak normal di
diperoleh dalam pendidikan inklusif terutama waktu yang bersamaan (Openshaw, 2008).
berkembangnya dimensi ’soft skills’ AdD, Peran pekerja sosial dalam pendidikan
misalnya kemandirian, keterampilan sosial, inklusif menurut Pyor, Kent, McGunn, & LeRoy
komunikasi, sikap dan perilaku, kepemimpinan, (1996) adalah sebagai advokat untuk anak,
dan lain-lain. konsultan untuk guru, penghubung orang tua,
Pekerja Sosial dalam Pendidikan Inklusif fasilitator proses perencanaan, persiapan rekan-
rekan siswa, pelatih untuk staf, pemimpin
Peran pekerja sosial yang penting dalam
dukungan teman sebaya kelompok, dan guru
pelaksanaan pendidikan inklusif di Indonesia
keterampilan sosial.
196 Sosio Informa Vol. 5, No. 03, September – Desember, Tahun 2019. Kesejahteraan Sosial
DAFTAR PUSTAKA Pryor, C.B.. Carol, K., Charlene, M., & Barbara,
L. (1996). Redesigning social work in
Freeman, S.F.N., & Alkin, M.C. (2000)
inclusive schools. Social Work, 41(6).
Academic and Social Attainments of
Children with Mental Retardation in Republik Indonesia. (2009). Peraturan Menteri
General Education and Special Education Pendidikan Nasional RI Nomor 70 Tahun
Settings. Remedial and Special Education, 2009 tentang pendidikan inklusif bagi
21(1), 3-26. peserta didik yang memiliki kelainan dan
memiliki potensi kecerdasan dan/atau
Irvine, A. & Lupart, J. (2006) Social Supports in
Inclusive Settings: An Essential bakat istimewa. Jakarta : RI
Component to Community Living. Santoso, M.B. & Apsari, N.C. (2017).
Developmental Disabilities Bulletin, Pergeseran Paradigma dalam Disabilitas.
34(1), 107-126. Intermestic: Journal of International
Studi, 1(2), 166-176.
Johnsen, B.H., & Skjorten, M.D. (2001).
doi:10.24198/intermestic.v1n2.6
Education – Special Needs Education,
Oslo: Unifub Forlag, University of Oslo. Schmidt, M., & Cagran, B. (2008). Self-Concept
Of Students In Inclusive Settings.
Kaulina, A., Voita, D., Trubina, I., & Voits, T.
International Journal of Special
(2016). Children with Special Educational
Needs and Their Inclusion in the Education, 23 (1).
Educational System: Pedagogical and Stubbs, S. (2008). Inclusive Education When
Psychological Aspects. Signum Temporis, There Are Few Resources, edited by Oslo:
8(1), 37–42. The Atlas Alliance.
Lattu, D. (2018). Peran Guru Bimbingan dan Supena, A. (2017). Model Pendidikan Inklusif
Konseling pada Sekolah Penyelenggara Untuk Siswa Tunagrahita di Sekolah
Pendidikan Inklusi. Jurnal Bimbingan dan Dasar. Jurnal Parameter, 29(2), 145-155.
Konseling Terapan, 2(1), 61-67.
Unesco. (2005). Guidelines for Inclusion:
Loiacono, V. & Valenti, V. (2010). General Ensuring Access to Education for All.
education teachers need to be prepared to Paris: United
co-teach the increasing number of children Unesco. (1994). The Salamanca Statement and
with autism in inclusive Framework for Action on Special Needs
settings. International Journal of Special
Education. Melalui
Education, 25(3), 24-32. http://www.unesco.org/education/pdf/SA
Openshaw, L. (2008). Social Work In School. LAMA
New York : The Guildford Press. Unesco. (1990). World Declaration on
PBB. (1948). Deklarasi Universal Hak-Hak Education for All. Melalui
Asasi Manusia. Diperoleh melalui http://www.unesco.org/education/pdf/JO
https://www.komnasham.go.id/files/1475 MTIE
231326-deklarasi-universal-hak-asasi Widyastono, H. (2007). Penyelenggaraan
PBB. (1989). Konvensi Hak Anak. Diperoleh Pendidikan Inklusi bagi Anak
melalui Berkelainan. Jurnal Pendidikan dan
https://www.unicef.org/indonesia/id/konv Kebudayaan, 13, 314-324.
ensi-hak Wilson, C.H., Ellerbee, K.L., & Christian, S.H.
Pratiwi, J.C. (2015). Sekolah Inklusi Untuk Anak 2011. Best Practice Of Inclusion at The
Berkebutuhan Khusus : Tanggapan Elementary Level. Retreived from
Terhadap Tantangan Kedepannya. https://eric.ed.gov/?id=ED522452
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan.
198 Sosio Informa Vol. 5, No. 03, September – Desember, Tahun 2019. Kesejahteraan Sosial