Anda di halaman 1dari 25

Kemendikbud Ajak Daerah Tingkatkan Pendidikan Inklusif 

 15 Juli 2019  ←


Back

Surabaya, Kemendikbud --- Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (kemendikbud)


berharap agar komitmen pemerintah daerah terhadap implementasi pendidikan inklusif dapat
terus ditingkatkan. Direktur Pembinaan Pendidikan Khusus, Sanusi, mengungkapkan bahwa
pemerintah daerah menjadi kunci dalam peningkatan akses layanan pendidikan bagi anak
berkebutuhan khusus, baik melalui Sekolah Luar Biasa (SLB) maupun sekolah inklusi sesuai
dengan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 70 Tahun 2009
tentang Pendidikan Inklusif bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi
Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa.  

"Tidak harus kabupaten atau kota itu mendeklarasikan sebagai wilayah inklusi. Yang penting
bisa dipastikan di setiap kecamatan ada sekolah inklusinya," disampaikan Direktur
Pembinaan Pendidikan Khusus, Sanusi pada penutupan Rapat Koordinasi Kelompok Kerja
(pokja) Pendidikan Inklusif, di Surabaya, Minggu (14/7/2019).

Permendiknas Nomor 70 Tahun 2009 mewajibkan agar pemerintah kabupaten/kota menunjuk


paling sedikit satu sekolah dasar, dan satu sekolah menengah pertama pada setiap kecamatan.
Dan satu satuan pendidikan menengah untuk menyelenggarakan pendidikan inklusif yang
wajib menerima peserta didik berkebutuhan khusus. "Permendiknas 70 Tahun 2009 ini
memang sudah sepuluh tahun. Kita terus pantau dan evaluasi. Tentunya kita harapkan dapat
dipatuhi oleh pemerintah daerah," tutur Sanusi.

Direktur Pembinaan Pendidikan Khusus mengakui bahwa perubahan kewenangan mengenai


pengelolaan pendidikan khusus, sesuai Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintah Daerah, menjadi tantangan tersendiri. Saat ini SLB dikelola oleh Pemerintah
Provinsi, setelah sebelumnya dikelola oleh Pemerintah Kabupaten/Kota. Alokasi anggaran
menjadi salah satu isu dalam menjaga mutu dan penyediaan fasilitas pendidikan khusus.

Maka, melalui kebijakan zonasi pendidikan, Pemerintah berupaya lebih sigap dalam
melakukan intervensi dan afirmasi dalam meningkatkan akses dan mutu pendidikan bagi
anak-anak berkebutuhan khusus, khususnya dalam mendorong pendidikan inklusif.
"Permendikbudnya 'kan sudah jelas. Dari zonasi 80 persen itu mewajibkan kuota untuk siswa
berkebutuhan khusus dan untuk siswa miskin. Kita harapkan ini dipatuhi juga oleh
pemerintah daerah, dan kita akan dukung," kata Sanusi.

"Targetnya ya di setiap zona itu minimal ada satu sekolah inklusi," imbuhnya.

Pendidikan inklusif adalah sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan


kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan
dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam lingkungan
pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya. Karena setiap anak
berhak mendapatkan pendidikan yang layak sebagai pelayanan dasar yang wajib diberikan
oleh negara. "Pendidikan itu 'kan tidak boleh diskriminasi. Pendidikan itu untuk semua.
Meskipun anak-anak kita itu berkebutuhan khusus, harus memiliki hak yang sama," kata
Sanusi.

Adapun peserta didik yang dimaksud dalam peraturan menteri di antaranya adalah siswa
tunanetra; tunarungu; tunawicara; tunagrahita; tunadaksa; tunalaras; berkesulitan belajar;
lamban belajar; autis; memiliki gangguan motorik; korban penyalahgunaan narkoba, obat
terlarang dan zat adiktif lainnya; serta tunaganda. "Yang namanya pendidikan khusus itu
ditanganinya secara khusus, pembiayaannya khusus, dan gurunya juga khusus," ujar Sanusi.

Sekolah yang menyelenggarakan pendidikan inklusif dapat bekerja sama dan membangun
jaringan dengan satuan pendidikan khusus, perguruan tinggi, organisasi profesi, lembaga
rehabilitasi, rumah sakit, pusat kesehatan masyarakat, klinik terapi, dunia usaha, lembaga
swadaya masyarakat (LSM), dan masyarakat.  

Kemendikbud berharap agar Tim Pokja Pendidikan Inklusif dapat terus menggelorakan
pentingnya pendidikan khusus di wilayah masing-masing. Berdasarkan pantauan
Kemendikbud, aksesibilitas bagi anak berkebutuhan khusus masih perlu ditingkatkan, baik di
sekolah umum maupun yang telah menyelenggarakan pendidikan inklusif. Sanusi meminta
setiap perwakilan dapat memberikan masukan guna meningkatkan pelayanan bagi siswa
berkebutuhan khusus. "Kami minta bantuan kepada bapak dan ibu mengenai peningkatan
aksesibilitas di lingkungan sekolah-sekolah inklusi," pesannya.

Hardadi Gatot, Guru Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 1 Kota Palu, Sulawesi
Tengah, yang ditugaskan dalam kegiatan pokja pendidikan inklusif mengungkapkan
pentingnya peningkatan pemahaman pemangku kepentingan di daerah mengenai pendidikan
khusus. Selain itu, koordinasi antara guru sekolah inklusi dengan dinas pendidikan dirasa
masih perlu diperbaiki. "Kami harapkan segera diterbitkan SK tim kelompok kerja
pendidikan inklusif dari Dinas Pendidikan," ujar Gatot.

Segera, menurut Sanusi, Peraturan Pemerintah (PP) mengenai akomodasi yang layak bagi
penyandang disabilitas di bidang pendidikan akan diterbitkan untuk mendorong peningkatan
pelayanan bagi anak berkebutuhan khusus.

Saat ini, dengan adanya perubahan nomenklatur, seiring dengan Undang-Undang Nomor 8
Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, Kemendikbud tengah merancang penerbitan
Permendikbud tentang Pendidikan Khusus. "Nantinya akan mencakup di wilayah segregasi
yang ada di SLB, pendidikan inklusi, kemudian yang cerdas istimewa dan bakat istimewa,"
pungkas Sanusi. (*)
KURIKULUM ABK DI SEKOLAH INKLUSI

BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Pendidikan untuk semua adalah satu konsep yang seharusnya diwujudkan dalam kehidupan
kita. Hal ini terkait dengan berbagai upaya untuk mencipatakan kondisi kehidupan yang lebih baik
dan kondusif. Pendidikan menjadi satu jembatan untuk menciptakan kehidupan sebagai upaya
mengubah kondisi sulit menjadi kondisi yang mudah dijalani, Saroni (2012 : 19). Pendidikan
bermaksud membantu peserta didik untuk menumbuhkembngkan potensi-potensi
kemanusiaannya.Tirtarahardja & La Sulo (2005 : 1).

Tali Heiman, (2004 : 91), Kerangka pendidikan yang terpenting adalah memasukkan individu
penyandang cacat dan pekerja sosial ke pendidikan inklusi telah menjadi konsep utama yang
diterima di negara-negara barat dalam dua dekade terakhir. seperti Di Inggris, dan di Israel, undang-
undang serupa diamanatkan masuknya siswa dengan kebutuhan khusus ke dalam kelas utama
(Leyser, Kapperman, & Keller, 1994; Priestley & Rabiee, 2002). Di kedua negara ini gerakan inklusi
mendukung hak-hak yang dimiliki anak di pendidikan kebutuhan khusus, diidentifikasi dan dipenuhi
melalui undang-undang penyandang cacat untuk memperoleh hak individu serta kesempatan
mendapat pendidikan yang sama dan bertujuan untuk menghapuskan diskriminasi dan untuk
mengembangkan fasilitas dan layanan yang mendukungan bagi individu dengan kebutuhan khusus
(Hak Penyandang Disabilitas Task Force Laporan Akhir, 2004; Departemen Pendidikan 2004).

Dalam Kustawan D., (2012 : 1-2) Pendidikan inklusi diharapakan dapat menjadi salah satu
upaya untuk meningkatkan partisipasi anak bersekolah atau dalam upaya pemerataan kesempatan
memperoleh pendidikan dan dalam waktu yang bersamaan dapat meningkatkan mutu pendidikan.
Pendidikan inklusif juga diharapkan dapat menjawab kesenjangan yang terjadi di masyarakat
berkaitan dengan pemenuhan hak-hak semua warga negara dalam bidang pendidikan.

Menurut permendiknas Nomor 70 tahun 2009 pasal 1, pendidikan inklusif adalah sistem
penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang
memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan
atau pembelajaran dalam lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada
umumnya. Md. Saiful Malak, (2013 : 195), Inclusive Education untuk siswa dengan Special Education
Need di sekolah umum adalah menjadi salah satu reformasi seperti dalam sistem pendidikan saat
ini . Lebih lanjut ia menuliskan bahwa IE mengacu pada semua siswa yang dihargai, diterima dan
dihormati terlepas dari latar belakang etnis dan budaya, sosio-ekonomi keadaan, kemampuan, jenis
kelamin, usia, agama, keyakinan dan perilaku (Forlin, 2004; United Nations Educational Scientific and
Cultural Organization [UNESCO], 1994).

Dengan melihat penertian dari pendidikan inklsif tersebut, yakni anak ABK berhak
mendapatkan pendidikan yang sama dengan anak regular, maka guru di sekolah inklusi harus siap
untuk bekerja lebih giat krena ABK yang menyenyam di sekolah inklusif adalah yang terdiri dari
beberapa ketunaan atau hambatan. Maka agar pelayanan di sekolah inklusif menjadi pelayanan
yang baik bagi individu maka diperlukan pengadptasian kurikulum dalam beberapa materi yang
disesuaikian dengan kemampuan dan hambatan yang dimiliki ABK.

Moh. Takdir Ilahi, (2013 : 168), mengatakan bahwa kurikulum penting untuk menata arah
dan tujuan kependidikan yang sesuai dengan kebutuhan anak didik tanpa mengabaikan hak-haknya
yang belum tercapai. Secara sederhana, kurikulum merupakan bagian penting dari setiap
perencanaan pendidikan yang memengaruhi arah dan tujuan anak didik dalam lembaga pendidikan.

Lebih lanjut dikatakan oleh Moh. Takdir Ilahi (171), kurikulum pendidikan inklusif
menggunakan kurikulum sekolah regular (kurikulum nasional) yang dimodifikasi (diimprovisasi)
sesuai dengan tahap perkembangan anak berkebutuhan khusus, dengan mempertimbangkan
karakteristik dan tingkat kecerdasannya.

Dalam makalah yang dituliskan oleh Mumpuniarti, (2011 : 5), model pembelajaran inklusi
mengharuskan guru melayani siswa dengan berbagai kebutuhan belajar. Variasi kebutuhan itu
sebenarnya suatu kewajaran dalam kehidupan, dan implikasi untuk dipenuhi secara individual
adalah hak asasi. Guru untuk mampu melakukan tuntutan tersebut diperlukan pengaturan bahwa
pada setiap tahapan proses mengadaptasi strategi dan metode, serta bagi yang dapat
dikolaborasikan antar siswa lebih baik dikolaborasi. Proses kolaborasi dalam belajar antar siswa
terjadi bagi siswa yang lebih cepat mencapai target dalam bahan ajar tertentu perlu membimbing
temannya yang belum mencapai target tersebut. Siswa yang memiliki keistimewaan di bidang
tertentu saling berbagi kemampuan dengan temannya, sebaliknya lemah di bidang lainnya juga
perlu menerima bantuan dari temannya yang lebih kuat di bidang tersebut. Kolaborasi akan
membangun saling pengetahuan/keterampilan secara kontruktif di antara siswa dengan bantuan
guru menggunakan berbagai mediasi. Hal itu berpijak pada teori belajar yang digagas oleh Vygotsky
(Santrock, 2002: 240)

Adaptasi kurikulum bagi siswa ABK di sekolah inklusif meruapakan suatu keharusan.
Mengingat bervariasnya kemampuan dan hambatn yang dimiliki oleh anak berkebutuhan khusus.
Untuk itu guru mempunyai peranan penting dalam keberhasilanya anak berkebutuhan khusus di
sekolah inklusif.

B.     Rumusan Masalah

Berdasrkan latar belakang di atas maka dalam makalah ini akan kami bahas tentang Apa itu
kurikulum, Apa saja Komponen Kurikulum, Bagimana Pengembangan Kurikulum Adaptasi di Sekolah
Inklusi, Apa saja Prinsip dan Pengembangan Kurikulum Adaptif, Bagaimana Penerapan Kurikulum
Adaptif, Apa saja Kemungkinan Kurikulum adaptif di sekolah Inklusi, dan Apa saja Kategori
Kurikulum Adaptif.

C.     Tujuan Makalah

Makalah ini bertujuan agar para pendidik terutama pendidik yang bergelut langsung dengan
ABK agar dapat memakani pelayananya dengan sungguh-sungguh memeberikan perhatian kepada
ABK terutama yang berkaitan dengan tujuan pendidikan yang hendak atau yang akan didapatnya.

BAB II

PEMBAHASAN

A.    Pengertian Inklusif


Dalam permendiknas No 70 tahun 2009 menyebutkan bahwa, pendidikan inklusif adalah
system penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik
yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti
pendidikan atau pembelajaran dalam lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan peserta
didik pada umumnya (Suyanto & Mudjito, 2012 : 5).

Pendidikan inklusif adalah sebuah konsep atau pendekatan pendidikan yang berusaha
menjangkau semua individu tanpa kecuali atau dengan kata lain pendidikan inklusif adalah : “Sistem
pendidikan yang terbuka bagi semua individu serta mengakomodasi semua kebutuhan sesuai
dengan kondisi masing-masing individu”. Pendidikan inklusif adalah pendidikan yang menghargai
perbedaan anak dan memberikan layanan kepada setiap anak sesuai dengan kebutuhannya.
Pendidikan inklusif adalah pendidikan yang tidak diskriminatif. Pendidikan yang memberiakan
layanan terhadap semua anak tanpa memandang kondisi fisik, mental, intelektual, sosial, emosi,
ekonomi, jenis kelamin, suku, bidaya, tempat tinggal, bahasa dan sebagainya. Semua anak belajar
bersama, baik di kelas/sekolah formal maupun nonformal yang berada di tempat tinggalnya yang
disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan masing-masing (Kustawan, D., 2012 : 8).

B.     Pengertian Anak Berkubutuhan Khusus

Anak Berkebutuhan khusus adalah mereka yang memiliki kebutuhan khusus sementara atau
permanen sehingga membutuhkan pelayanan pendidikan yang lebih intens ( Moh. Takdir. Ilahi,
2013: 138).

Sedangkan Heward dalam Mudjito, Dkk (2014 : 25), Anak berkebutuhan khusus adalah anak
dengan karakteristik yang berbeda dengan anak pada umumnya tanpa selalu menunjukkan pada
ketidakmamuan mental, emosi, dan atau fisik. Yang termasuk ke dalam ABK antara lain : tunanetra,
tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, kesulitan belajar, gangguan prilaku, anak bebrakat,
anak dengan gangguan kesehatan

Karakterstik dan hambatan yang dimiliki oleh ABK memerlukan bentuk pelayanan
pendidikan khusus yang disesuaikan dengan kemampuan dan potensi mereka. Selama ini,
pendidikan bagi anak berkelainan disediakan dalam tiga macam lembaga pendidikan, yaitu Sekolah
Berkelainan (SLB), Sekolah Dasar Luar Biasa, dan Pendidikan Terpadu. SLB sebagai lembaga
pendidikan tertua menampung anak dengan jenis kelaianan yang sama sehingga terdapat SLB
Tunanetra, SLB Tunarungu, SLB Tunagrahita, SLB Tunadaksa, SLB Tunalaras, dan SLB Tunaganda.
Sementara pendidikan terpadu adalah sekolah biasa yang menampung anak berkelainan, dengan
kurikulum, guru, sarana pengajaran, dan kegiatan belajar mengajar yang sama. Namun
kenyataannya selama ini bahwa baru menampung anak tunanetra, itu pun perkembangannya
kurang menggembirakan karena banyak sekolah umum yang keberatan menerima anak berkelainan
( Ilahi, 20103 : 18).

Salend, (2005;6), dalam Mariam John Meynert, (2014 : 1) pendidikan inklusif adalah
pendidikan yan menghargai hak-hak anak untuk ikut serta sepenuhnya dalam kegiatan kurikulum
umum di sekolah umum dan menghargai sosial mereka, dan hak-hak pendidikan mereka.

Di negara India menurut Alur (2002), dalam Ankur Madan and Neerja Sharma, (2013 : 4)
"inklusi bertujuan untuk dapat meminimalkan keberadaan dan mendorong partisipasi semua siswa
dalam budaya yang lebih luas dalam dukungan untuk semua anak di sekolah-sekolah biasa". Mittler
(2006) menunjukkan bahwa inklusi didasarkan pada sistem nilai yang mengakui keragaman.

C.    Pengertian Kurikulum

Kurikulum diartikan sebagai seperangkat rencana atau pengaturan pelaksanaan pembelajaran


dan atau pendidik -an yang didalamnya mencakup pengaturan tentang tujuan, isi/materi, proses dan
evaluasi.Tujuan berarti apa yang akan dicapai, materi berarti apa yang akan dipelajari. Proses berarti
apa yang akan dilakukan untuk mencapai tujuan dan evaluasi berarti apa yang harus dilakukan untuk
mengetahui keberhasilan pencapaian tujuan.

Kurikulum bisa bersifat makro, artinya pengaturan tetang tujuan, isi/materi, proses dan evaluasi
dalam skala nasional, tetapi juga bisa bersifat mikro yaitu pengatur -an tentang hal tersebut dalam
konteks pembelajaran di kelas.

D.    Komponen kriukulum

Dalam Sari Rudiyati, (tahun tidak tercantum), dikatakan bahwa tujuan adalah seperangkat
kemampuan atau kompetensi yang akan dicapai setelah para siswa menyelesaikan program
pendidikan dalam kurun waktu tertentu. Tujuan pendidikan atau pembelajaran secara umum terbagi
ke dalam tiga jenis kemampuan, yakni kemampuan yang berupa: (1) kognitif, (2) Afektif dan (3)
Psikomo -tor. Jika ditinjau dari tingkatan atau lingkupmya, tujuan dapat dibedakan pendidikan dapat
diklasifikasikan ke dalam 4 tingkatan atau lingkup, yaitu : (1) tujuan pendidikan nasional; (2) Tujuan
pendidikan lembaga/institusional; (3) Tujuan kurikuler; dan (4) Tujuan pembelajaran.

Tujuan pendidikan yang paling penting untuk dicermati dan dipahami oleh guru adalah tujuan
pendidikan pada tingkat institusi (tujuan lembaga/ institusional) dan tujuan pembelajaaran (tujuan
instruksional). Jika dikaitkan dengan kurikulum terkini yang berlaku di Indonesia saat adalah
Kuriulum 2013, maka yang dimaksud dengan tujuan pendidikan atau pembelajaran kurang lebih
sama dengan apa yang termaktub dalam kompetensi inti, kompetensi dasar dan indikator.

Dengan demikian ada empat jenis kompetensi (dalam kurikulum) yang harus dicermati oleh guru
kaitannya dengan tujuan pembelajaran dalam setting inklusif, yaitu : Standar kompetensi lulusan
(SKL); Kompetensi Inti (KI); Kompetensi Dasar (KD dan Indikator keberhasilan.

1.      Komponen isi (materi)

Materi adalah isi atau konten yang harus dipelajari oleh siswa supaya bisa mencapai tujuan yang
telah ditetapkan. Materi pembelajaran bisa berupa informasi, konsep, teori, dan lain-lain. Matei
pembelajaran harus relevan atau mendukung terhadap pencapain kompetensi dasar dan standar
kompetensi. Rumusan materi tidak tersedia dalam kuriku-lum, tetapi harus dibuat atau
dikembangkan sendiri oleh sekolah/guru, yang biasanya mengacu kepada buku sumber yang
relevan.

2.      Komponen proses

Proses adalah kegiatan atau aktivitas yang akan dijalani oleh siswa supaya bisa menguasai materi
yang diajarkan dan bisa mencapai tujuan-tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan. Proses
memiliki pengertian yang sama dengan kegiatan belajar mengajar (KBM) atau pengalaman belajar,
yakni serangkaian kegiatan pembelajaran yang dilaksanakan oleh siswa bersama guru baik di dalam
maupun di luar kelas.

Proses pembelajaran biasanya terkait dengan penggunaan metode mengajar, penggunaan media
pembelajaran, pengalokasian waktu, pemanfaatan sumber. Pengelolaan kelas, dan lain-lain.

3.      Komponen evaluasi

Evaluasi adalah proses yang dilakukan untuk mengetahui tingkat keberhasilan pencapaian
tujuan-tujuan pendidikan yang telah ditetapkan. Kegiatan evaluasi bertujuan untuk mengetahui
apakah para siswa telah berhasil mencapai atau menguasai kompetensi-kompetensi yang menjadi
tujuan pembelajaran. Evaluasi juga bertujuan untuk mengetahui apakah proses pembelajaran telah
berjalan secara efektif atau optimal. Isu yang paling penting terkait dengan evaluasi adalah teknik
atau cara yang digunakan dalam evaluasi untuk mengetahui keberhasilan pembelajaran.

E.     Pengertian Pembelajaran Adaptif


Irham Hosni, (2003) dalam artikel, E. S. Munir, (2008), menuliskan bahwa pembelajaran
adaptif merupakan pembelajaran biasa yang dimodifikasi dan dirancang sedemikian rupa sehingga
dapat dipelajari, dilaksanakan dan memenuhi kebutuhan pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus
(ABK). Dengan demikian pembelajaran adaptif bagi ABK hakekatnya adalah Pendidikan Luar Biasa
(PLB). Sebab didalam pembelajaran adaptif bagi ABK yang dirancang adalah pengelolaan kelas,
program dan layanannya.

Jadi pembelajaran adaptif pada intinya adalah modifikasi aktivitias, metode, alat, atau
lingkungan pembelajaran yang bertujuan untuk menyediakan peluang kepada anak dengan
kebutuhan khusus mengikuti program pembelajaran dengan tepat, efektif serta mencapai kepuasan.
Prinsip utama dalam modifikasi aktivitas adalah pe-nyesuaian aktivitas pembelaja-ran yang
disesuaikan dengan potensi siswa dalam melakukan aktivitias tersebut.

F.     Pengembangan Kurikulum Adaptif di sekolah Inklusi

Sari Rudiyati, (…), menuliskan bagaimana pengembangan kurikulum adaptif untuk siswa
berkebutuhan pendidikaan khusus yang mengikuti pendidikan di sekolah inklusif? Ada empat model
kemungkinan pengembangan kurikulum adaptif bagi siswa yang berkebutuhan pendidikan khusus
yang mengikuti pendidikan di sekolah inklusif, yakni: (1) Model duplikasi; (2) Model modifikasi; (3)
Model subtitusi, dan (4) model omisi.

1.      Model Duplikasi

Duplikasi artinya salinan yang serupa benar dengan aslinya. Menyalin berarti membuat sesuatu
menjadi sama atau serupa. Dalam kaitannya dengan model kuriukulum, duplikasi berarti
mengembangkan dan atau memberlakukan kurikulum untuk siswa berkebutuhan pendidikan khusus
secara sama atau serupa dengan kurikulum yang digunakan untuk siswa pada umumnya (reguler).
Jadi model duplikasi adalah cara dalam pengembangan kurikulum, dimana siswa-siswa
berkebutuhan pendidikan khusus menggunakan kurikulum yang sama seperti yang dipakai oleh
anak-anak pada umumnya. Model duplikasi dapat diterapkan pada empat kmponen utama
kurikulum, yaitu tujuan, isi, proses dan evaluasi.

a.       Duplikasi Tujuan

Duplikasi tujuan berarti tujuan-tujuan pembelajaran yang diberlakukan kepada anak-anak


pada umumnya/reguler juga diberlakukan kepada siswa berkebutuhan pendidikan khusus. Dengan
demikian standar komptensi lulusan (SKL) yang diberlakukan untuk siswa reguler juga diberlakukan
untuk siswa berkebutuhan pendidikan khusus, Demikian juga Kompetensi inti (KI), kompetensi dasar
(KD) dan juga indikator keberhasilannya

b. Duplikasi Isi atau materi

Duplikasi isi/materi berarti materi-materi pembelajaran yang diberlakukan kepada siswa


pada umumnya/reguler juga diberlakukan sama kepada siswa-siswa berkebutuhan pendidikan
khusus. Siswa berkebutuhan pendidikan khusus memperoleh informasi, konsep, teori, materi, pokok
bahasan atau sub-sub pokok bahasan yang sama seperti yang disajikan kepada siswa-siswa pada
umumnya/ reguler.

c.       Duplikasi proses

Duplikasi proses berarti siswa berkebutuhan pendidikan khusus menjalani kegiatan atau
pengalaman belajar mengajar yang sama seperti yang diberlakukan kepada siswa-siswa pada
umumnya/reguler. Duplikasi proses bisa berarti kesamaan dalam metode mengajar, lingkung
-an/setting belajar, waktu belajar penggunaan media belajar dan atau sumber belajar.

d. Duplikasi Evaluasi

Duplikasi evaluasi berarti siswa berkebutuhan pendidikan khusus menjalani evaluasi atau
penilaian yang sama seperti yang diberlakukan kepada siswa-siswa pada umumnya/reguler.
Duplikasi evaluasi bisa berarti kesamaan dalam soal-soal ujian, kesamaan dalam waktu evaluasi,
teknik/cara evaluasi, atau kesamaan dalam tempat atau lingkungan dimana evaluasi dilaksanakan.

2.      Model Modifikasi

Modifikasi berarti merubah atau menyesuaikan. Dalam kaitan dengan model kurikulum
untuk siswa berkebutuhan pendidikan khusus, maka model modifikasi bararti cara pengembangan
kurikulum, dimana kurikulum umum yang diberlakukan bagi siswa-siswa reguler dirubah untuk
disesuaikan dengan kondisi, kebutuhan dan kemampuan siswa berkebutuhan pendidikan khusus.

Dengan demikian, siswa berkebutuhan pendidikan khusus menjalani kurikulum yang


disesuaikan dengan kondisi, kebutuhan dan kemampuan mereka. Modifikasi dapat diberlakukan
pada empat komponen utama, yaitu tujuan, materi, proses, dan evaluasi.

a.       Modifikasi Tujuan


Modifikasi tujuan berarti tujuan-tujuan pembelajaran yang ada dalam kurikulum umum
dirubah untuk disesuaikan dengan kondisi siswa berkebutuhan pendidikan khusus. Sebagai
konsekuensi dari modifikasi tujuan siswa berkebutuhan pendidikan khusus, maka akan memiliki
rumusan kompetensi sendiri yang berbeda dengan siswa-siswa reguler, baik berkaitan dengan
standar kompetensi lulusan (SKL), kompetensi inti (SI, kompetensi dasar (KD) maupun indikator -nya.

b.      Modifikasi Materi

Modifikasi ini berarti materi-materi pelajaran yang diberlakukan untuk siswa reguler dirubah
untuk disesuaikan dengan kondisi, kebutuhan dan kemampuan siswa berkebutuhan pendidikan
khusus. Dengan demikian, siswa berkebutuhan pendidikan khusus mendapatkan sajian materi yang
sesuai dengan kondisi, kebutuhan dan kemampuannya. Modifikasi materi bisa berkaitan dengan
keleluasan, kedalaman dan kesulitannya berbeda (lebih rendah) daripada materi yang diberikan
kepada siswa reguler.

c.       Modifikasi Proses

Modifikasi proses berarti ada perbedaan dalam kegiatan pembelajaran yang dijalani oleh
siswa berkebutuhan pendidikan khusus dengan yang dialami oleh siswa pada umumnya. Metode
atau strategi pembelajaran umum yang diberlakukan untuk siswa-siswa reguler tidak diterapkan
untuk siswa berkebutuhan pendidikan khusus. Jadi, mereka memperoleh strategi pembelajaran
khusus yang sesuai dengan kondisi, kebutuhan dan kemampuannya. Modifikasi proses atau kegiatan
pembelajaran bisa berkaitan dengan penggunaan metode mengajar, lingkungan/setting belajar,
waktu belajar, media belajar serta sumber belajar.

d.      Modifikasi Evaluasi

Modifikasi evaluasi, berarti ada perubahan dalam sistem penilaian hasil belajar yang
disesuaikan dengan kondisi, kebutuhan dan kemampuan siswa berkebutuhan pendidikan khusus.
Dengan kata lain siswa berkebutuhan pendidikan khusus menjalani sistem evaluasi yang berbeda
dengan siswa-siswa lainnya. Perubahan tersebut bisa berkaitan dengan perubahan dalam soal-soal
ujian, perubahan dalam waktu evaluasi, teknik/cara evaluasi, atau tempat evaluasi. Termasuk juga
bagian dari modifikasi evaluasi adalah perubahan dalam kriteria kelulusan, sistem kenaikan kelas,
bentuk rapor, ijasah . Dll.

3.      Model Subtitusi


Subtitusi berarti mengganti. Dalam kaitannya dengan model kurikulum, maka substansi
berarti mengganti sesuatu yang ada dalam kurikulum umum dengan sesuatu yang lain. Penggantian
dilakukan karena hal tersebut tidak mungkin dilakukan oleh siswa berkebutuhan pendidikan khusus,
tetapi masih bisa diganti dengan hal lain yang sebobot dengan yang digantikan. Model substansi bisa
terjadi dalam hal tujuan pembelajaran, materi, proses maupun evaluasi.

4.      Model Omisi

Omisi berarti menghapus/menghilangka. Dalam kaitan dengan model kurikulum, omisi


berarti upaya untuk menghapus/menghilangkan sesuatu, baik sebagian atau keseluruhan dari
kurikulum umum, karena hal tersebut tidak mungkin diberikaan kepada siswa berkebutuhan
pendidikan khusus.

Dengan kata lain, omisi berarti sesuatu yang ada dalam kurikulum umum tetapi tidak
disampaikan atau tidak diberikan kepada siswa berkebutuhan pendidikan khusus, karena sifatnya
terlalu sulit atau mampu dilakukan oleh siswa berkebutuhan pendidikan khusus. Bedanya dengan
substitusi adalah jika dalam substitusi ada materi pengganti yang sebobot, sedangkan dalam model
omisi tidak ada materi pengganti.

G.    Model Adaptasi

Dalam artikal. Toto Yulianto, (2012 : ..), berdasarkan grand design pendidikan inklusi nasional
yang telah disepakati di Palembang tanggal  27-30 November 2007 bahwa yang menjadi substansi
implementasi pendidikan inklusi adalah adaptasi. Adapun adaptasi itu meliputi kurikulum,
pembelajaran, media dan alat pembelajaran, bahan ajar,  penilaian serta pelaporan hasil belajar.

Dalam makalah ini pembahasan adaptasi pembelajaran, media/ alat, bahan ajar, penilaian dan
hasil belajar akan dikemas dalam satu bahasan yaitu adaptasi pembelajaran sehingga secara
substansional yang amat diperlukan dalam adaptasi pada pendidikan inklusi adalah adaptasi
kurikulum dan adaptasi pembelajaran.

1. Adaptasi Kurikulum

1)      ABK (anak berkebutuhan khusus) dengan kecerdasan rata-rata dapat menggunakan kurikulum
reguler.
2)      ABK dengan kecerdasan di atas rata-rata (amat cerdas/ IQ ≥ 125) dapat diikutkan program
akselerasi.
3)      ABK dengan kecerdasan di bawah rata-rata (IQ ≤ 90) dapat menggunakan mengadaptasi kurikum
reguler sesuai dengan karakteristik ABK.
4)      Jenis ABK tertentu memerlukan program kurikulum plus yaitu program kurikulum tambahan yang
bersifat rehabilitatif-kompensatif  dan tidak ada di sekolah reguler. Adapun kurikulum plus itu
adalah:
         Tunanetra   orientasi dan mobilitas, Braille
         Tunarungu bina wicara
         Tunagrahita bina diri
         Tunadaksa bina gerak
         Tuna laras bina sosial/ pribadi
         Autis à bina komunikasi dan sosial.
         Gifted à akselerasi dan pengayaan
5)      ABK yang tidak mampu mengikuti alternatif a), b), c) di atas dapat digunakan program pembelajaran
individual (PPI) dimana kurikulum disusun atas dasar karakteristik ABK secara individual. Adapun
pola yang dapat diterapkan sebagai berikut:

 Membuang sebagian standar kompetensi dan kompetensi dasar yang dianggap kurang
penting bagi kehidupan anak.
 membuang sebagian kompetensi dasar
 Menggunakan bagian awal dan membuang di bagian akhir baik pokok bahasan  dan atau sub
pokok bahasan.
 Membuang bagian awal dan menggunakan  di bagian akhir baik pokok bahasan  dan atau
sub pokok bahasan

b.  Adaptasi  Pembelajaran


Variabel penting dalam pembelajaran, adalah: a) kondisi pembelajaran, b) metode
pembelajaran, dan c) hasil pembelajaran.

1)      Kondisi pembelajaran berkaitan dengan tujuan pembelajaran, karakteristik mata pelajaran, kendala,
dan karakteristik peserta didik.  Adaptasi yang  dapat dilakuan adalah sebagai berikut:
a)      mengambil standar kompetensi dan kompetensi dasar yang sama dengan kurikulum baku (reguler
maupun PLB) namun menurunkan indikator (mengambil sebagian indikator).
b)      Mengambil standar kompetensi yang sama dengan kurikulum reguler dan merumuskan sendiri
standar kompetensinya.
c)      Adaptasi materi pelajaran
Tidak semua mata pelajaran dan atau materi pelajaran membutuhkan adaptasi. Hanya mata
pelajaran dan atau meteri pelajaran yang menimbulkan kesulitan sebagai akibat langsung dari
kelainannya yang membutuhkan adaptasi. Sebagai contoh dapat disajikan hal-hal sebagai berikut :
         Anak tunanetra memiliki keterbatasan dalam persepsi visual, sehingga pelajaran menggambar dapat
diadaptasi dengan pelajaran ekpresi lain berkaitan dengan nilai seni. Kemudian materi pelajaran
yang banyak membutuhkan fungsi visual diadaptasi dengan pemanfaatan indra pendengaran,
taktual, penciuman serta indra lain non visual. Kebanyakan tunanetra kesulitan dalam pembentukan
konsep global, mereka memulai pengertian dengan diawali pembentukan konsep detail per detail
baru kemudian global.
         Anak tunarunguwicara memiliki keterbatasan dalam persepsi bunyi dan irama, dengan aktivitas bina
wicara mereka masih mampu berbicara secara terbatas  sekalipun mereka  tidak dapat mendengar
terhadap apa yang mereka sendiri ungkapkan.Materi pelajaran sebaiknya disajikan dalam bentuk
gambar-gambar, terutama dalam pembentukan konsep yang berurutan Hindarkan kata-kata yang
belum dikenal anak, kecuali kata yang sukar tersebut sebagai upaya untuk menambah kekayaan
bahasa mereka. Pertanyaan/ soal hendaknya ringkas/ pendek tetapi cukup representatif.
         Anak tunagrahita, (antara lain lamban belajar) kesulitan yang amat menonjol adalah fungsi kognisi
dan bahkan bila tingkat ketunagrahitaannya berat juga fungsi aspek lain mengalami kelainan.
Sebagai contoh bila anak itu mengalami lamban belajar bila dibanding dengan teman rata-rata lain
dapat hal-hal sebagai berikut:
  Materi disajikan dalam bobot yang berbeda dengan teman rata-rata lain. Sekalipun dalam satu tujuan
pembelajaran yang sama atau dengan kata lain penyederhanaan materi pelajaran sehingga sesuai
dengan tingkat kemampuan anak.
  Materi disajikan dengan pendekatan konseptual, maksudnya sebelum anak dituntut untuk menguasai
pengertian secara abstrak harus didahului dengan penanaman konsep secara kongkrit dan berulang-
ulang.
  Adaptasi materi pelajaran hanya dilakukan terhadap materi-materi yang menimbulkan kesulitan anak.
         Bila dalam kelas terdapat peserta didik  gifted, maka materi pembelajaran harus dikembangkan/
diperkaya secara horisontal dengan bobot yang lebih sulit. Percepatan (akselerasi)  penyajian materi
secara vertikal dimungkinkan  dengan menaikkan kelas yang lebih tinggi yang tidak perlu menunggu
pada akhir tahun pelajaran. Pendidik dalam pembelajaran terhadap anak ini hanya bertindak sebagai
fasilitator. Perlu diperhatikan bahwa usia sosial dan emosinya sebenarnya masih sama dengan
perkembangan emosi dan sosial anak rata-rata, dan hanya perkembangan kognisinya yang lebih 
cepat bila dibanding dengan anak seusianya.
         Anak dengan variabel ketunaan yang lain misalnya tunadaksa dengan kondisi tanpa kaki/ polio pada
kedua kaki tentu tidak dibutuhkan adaptasi materi pelajaran.
d)     Untuk menghadapi berbagai kendala perlu adaptasi media, alat dan bahan ajar.

Telah banyak diciptakan alat-alat dari hasil adaptasi yang khusus dipergunakan untuk anak
dengan kebutuhan khusus. Adaptasi tersebut telah dirasakan manfaatnya oleh mereka yang
menggunakan. Komputer untuk tunanetra yang dilengkapi dengan screen reader (komputer bicara),
kalkulator bicara, mount botten, laser can untuk membantu tunanetra berjalan dll. Alat bantu
dengar untuk anak tunarunguwicara.

Adaptasi sarana/ alat pelajaran/ alat peraga dalam hal ini adalah adaptasi yang setiap saat
dapat melakukan pendidik dalam pembelajaran di kelas. Melalui adaptasi tersebut anak dengan
kebutuhan khusus dapat melakukan/ merasakan/ mengamati seperti apa yang dilakukan oleh anak-
anak lain.

Di bawah ini beberapa contoh yang mungkin dapat diterapkan dalam pembelajaran:

1.      Adapatasi bahan ajar


         untuk peserta didik tunanetra dapat bahan ajar diadaptasi dengan buku braille, buku bicara, buku
dgital, dll
         untuk peserta didik tunarungu dapat disertai gambar/ visualisasi yang dapat mewakili narasi/ teks.
2.      Dalam mempelajari bangun geometri anak tunanetra harus mempelajari benda asli/ model/
setidaknya gambar timbul, sehinga anak tunanetra dapat meraba, begitu pula mempelajari peta
suatu wilyah juga harus berupa peta timbul.
3.      Anak lamban belajar menulis harus dilihat kasus demi kasus. Mungkin tulisannya jelek, tidak dapat
membedakan antara huruf-huruf tertentu, menulisnya lamban.
4.      Anak autis perlu meja khusus yaitu meja yang tidak menjadikan anak banyak bergerak.
5.      Anak polio (kursi roda) diperlukan kursi dan meja yang dapat dijangkau (diturunkan) dan ruang yang
cukup untuk menempatkan kursi roda.
6.      Penempatan sarana dan alat/ buku-buku mudah dijangkau untuk semua anak
d)     Karakteristik peserta didik meliputi perbedaan individual dalam hal fisik (fisik normal, tunanetra,
tunarungu, dunadaksa, warna kulit, ras, dll); emosi dan sosial (anak soleh, anak nakal, autis,
maldjusted,  anak miskin, anak beresiko, dll); intelektual (anak cerdas, rata-rata, anak bodoh,
tunagrahita); kepribadian (introvert, ekstrovert, dll); minat; bakat; dll.
2)      Metode pembelajaran terdiri dari strategi pengorganisasian, metodologi, dan pengelolaan.
Berkaitan dengan metode pembelajaran dapat dilakukan beberapa adaptasi antara lain:
a)      Adaptasi  waktu pembelajaran

Akan lebih bijaksana bila dalam pemberian setiap tugas ada kaitannya dengan jenis/ tingkat
kesulitan yang dialami anak, waktu diberikan kelonggaran secara proporsional bila dibanding dengan
anak rata-rata lain. Mereka diberikan kesempatan untuk berprestasi seperti yang lain sekalipun
dalam waktu yang berbeda. Misalnya anak tunanetra dalam mengerjakan soal-soal ujian diberikan
kelonggaran 20% dengan waktu yang digunakan oleh anak “normal”. Anak tunarunguwicara
diberikan kesempatan yang longgar dalam memahami isi bacaan/ membaca. Anak lamban belajar
berhitung, bila pendidik menuntut sejumlah soal yang sama dengan anak rata-rata lain waktu
hendaknya diberikan kelonggaran yang cukup sesuai dengan tingkat kelambanannya atau jumlah
soal dikurangi.

b)      Adaptasi pengelolaan kelas


Dalam pengorganisasian kelas membutuhkan strategi yang kadang tidak pernah dipikirkan
sebelumnya. Pengaturan tempat duduk terhadap anak-anak yang mengalami kelainan harus
mendapatkan prioritas khusus, sehingga mereka seperti halnya teman yang lain. Tanpa adaptasi
pengelolaan kelas mungkin mereka akan semakin tertinggal dengan teman yang lain.

H.    Prinsip dan Pengembangan Kurikulum Adaptif

Dalam Modul Pelatihan Pendidikan Inklsif, (…), Kurikulum umum yang diberlakukan untuk siswa
reguler perlu dirubah/dimodifikasi sesuai dengan kondisi, kebutuhan dan kemampuan siswa
berkebutuhan pendidikan khusus. Penyesuaian kurikulum dengan kemampuan siswa berkebutuhan
pendidikan khusus. Penyesuaian kurikulum tidak harus sama pada masing-masing komponen,
artinya jika komponen tujuan dan materi harus dimodifikasi, mungkin demikian juga proses dan
evaluasinya.

Proses penyesuaian juga tidak harus sama untuk semua materi. Materi tertentu perlu
dimodifikasi, tetapi mungkin tidak perlu untuk materi yang lain. Proses modifikasi juga tidak sama
untuk semua mata pelajaran. Mata pelajaran tertentu mungkin perlu banyak modifikasi tetapi tidak
demikian untuk mata pelajaran yang lain. Proses modifikasi juga tidak sama pada masing-masing
jenis kelainan. Siswa berkebutuhan pendidikan khusus yang tidak mengalami hambatan kecerdasan,
misalnya: anak tunanetra, tunarungu, dan tunadaksa, mungkin sedikit membutuhkan modifikasi
kurikulum. Sedang siswa yang mengalami hambatan kecerdasan (anak tunagrahita) membutuhkan
modifikasi hampir pada pada semua komponen pembelajaran (tujuan, isi, proses dan evaluasi).

I.       Penerapan Kurikulum Adpatif


Dalam Modul Pelatihan Pendidikan Inklusif, (…), ada empat kemungkinan model kurikulum
adaptif, yakni: duplikasi, modifikasi, substitusi dan omisi, dan ada empat komponen utama
kurikulum, yakni: tujuan, materi, proses dan evaluasi. Mengembangkan kurikulum untuk siswa berke
-butuhan pendidikan khusus pada dasarnya adalah mengawinkan antara model kurikulum dengan
komponen kurikulum. Setiap satu komponen dari model kurikulum dipadukan dengan setiap
komponen kurikulum, sehingga akan terjadi 16 kemungkinan perpaduan, yaitu 4 kali 4.

Skema 1 : 16 Kemungkinan Model Kurikulum Adaptif di Sekolah Inklusif

Duplikasi Modifikasi Subtitusi Omisi

Tujuan

Materi

Proses

 
Evaluasi

J.      Kemungkinan Kurikulum adaptif di sekolah Inklusi

Dalam Modul Pelatihan Pendidikan Inklusif, Sari Rudiyanti, (…), skema di atas menunjukkan
bahwa pada dasarnya ada 16 kemungkinan model kurikulum adaptif untuk siswa berkebutuhan
pendidikan khusus, yaitu kemungkinan model tujuan (1.2.3,4), empat ke -mungkinan model materi
(5,6,7,8), empat kemungkinan proses (9,10,11, 12) dan empat kemungkinan model evaluasi (13, 14,
15, 16) . Pada waktu seorang guru akan merancang kuriku –lum adaptif bagi siswa berkebutuhan
pendidikan khusus, maka ada 16 pertanyaan yang perlu dijawab. Pertanyaan pertama adalah apakah
tujuan pembelajaran yang akan diberlakukan bagi siswa berkebutuhan pendidikan khusus, sama
dengan siswa lainnya?

Apakah perlu modifikasi? Atau diganti (subsitusi)? Atau malah dihapus/dihilangkan (omisi).
Pertanyaan serupa diajukan berkenaan dengan materi pelajaran. Seterusnya berkenaan dengan
proses dan dan akhirnya evaluasi.

Ada kemungkinan bahwa tujuan pembe -lajaran di samakan (duplikasi), tetapi materinya
harus dimodifikasikan. Kemungkinan lain adalah bahwa tujuan pembelajaran perlu dimodifikasi,
materi juga perlu dimodifikasi, tetapi prosesnya disamakan. Ada kemungkinan bahwa baik tujuan
pembelajaran, materi, proses dan juga evaluasinya harus dimodifikasi.

Modifikasi atau tidaknya suatu komponen sangat tergantung kepada kondisi, sifat atau
kadar dari komponen tersebut serta tingkat hambatan yang dialami siswa berkebutuhan pendidikan
khusus.

Semakin berat tujuan atau materi pembela -jaran yang ada, semakin perlu untuk dimodifikasikan,
dan semakin berat hambatan intelektual siswa, juga semakin perlu dilakukan modifikasi.

K.    Kategori Kurikulum Adaptif

Sari Rudiyati, (…), kurikulum untuk siswa berkebutuhan pendidikan khusus pada dasar bervariasi
sesuai dengan jenis hambatan yang dialami oleh siswa yang berssangkutan. Setiap jenis hambatan
(kelainan) membutuhkan model kurikulum yang berbeda. Namun demikian, kategorisasi kurikulum
bagi siswa berkebutuhan pendidikan khusus dalam setting inklusif dapat dibedakan menjadi dua
kelompok, yakni:

1.      Kurikulum bagi ABK yang tidak mengalami hambatan kecerdasan.


2.      Kurikulum bagi ABK yang mengalami hambatan kecerdasan.

Untuk ABK yang tidak mengalami hambatan kecerdasan kemungkinan kurikulumnya adalah sebagai
beriku :

1.      Kurikulum bagi ABK yang tidak mengalami hambatan kecerdasan.

Siswa berkebutuhan khusus yang tidak menga lami hambatan kecerdasan, seperti anak
tunanetra, tunarungu, tunadaksa, dll. membutuh kan sedikit modifikasi dalam pembelajaran. Tujuan
dan materi pembelajaran umumnya tidak mengalami perubahan, demikian dengan evaluasinya.
Mereka biasanya lebih banyak membutuhkan modifikasi dalam proses pembelajaran yakni berkaitan
dengan cara dan media dalam penyajian informasi. Kecenderungan model kurikulum untuk mereka
dapat dilihat pada tabel 1 berikut:

Kecendrungan Umum Kurikulum ABK Yang Tidak Mengalami Hambatan Kecerdasan

Tujuan Materi Proses Evaluasi

KI KD Indikator Metode Media Soal Cara Alat

Duplikasi √ √ √ √

Modifikasi √ √ √ √

Subtitusi √

Omisi

2.      Kurikulum bagi ABK yang mengalami ham -batan kecerdasan


Siswa berkebutuhan pendidikan khusus yang mengalami hambatan kecerdasan seperti anak
tunagrahita dan anak yang mengalami kelainan lain yang disertai dengan hambatan kecerdasan ,
biasanya membutuhkan modifikasi hampir pada semua komponen pembelajaran.

Tujuan pembelajaran harus dimodifikasi, sa -ma halnya dengan materi, proses dan pelaksanaan
evaluasinya.

Kecenderungan model kurikulum untuk ABK yang mengalami hambatan kecerdsan dapat
dilihat pada tabel berikut:

Kecendrungan Umum Model Kurikulum Adaptif Bagi ABK Yang Mengalami Hambatan Kecerdasan:
Tujuan Materi Proses Evaluasi

KI KD Indikator Metode Media Soal Cara Alat

Duplikasi

Modifikasi √ √ √ √ √ √ √ √ √

Subtitusi √

Omisi √

Matrik Modifikasi Indikator

Tema/Sub Tema :

Kelas/Semester :

Kompetensi Isi Kompetensi Indikator Indikator Modifikasi


(KI) Regluer Dasar (KD) Reguler
Reguler
ABK dengan ABK dengan Hambatan
Hambatan Kecerdasan Sedang
Ringan

Matrik Modefikasi Kompetensi Dasar

Tema/Sub Tema : IPA

Kelas/Semester : 2/2

Kompetinsi Inti Kompetensi Dasar Kompetensi Dasar (KD) Modifikasi

ABK Ringan ABK Sedang

Matrik Modifikasi Materi Pembelajaran

Tema/Sub-Tema :

Kelas/Semester :
Satndar Kompetensi :

Standar Materi Kompetensi Materi Modifikasi


Kompetensi Pembelajaran Dasar
(Reguler) (Reguler) (Modifikasi)

ABK dg Hambatan ABK dg Hambatan


Kecerdasan Ringan Kecerdasan Sedang

Dari seluruh penjabaran di atas bahwa ABK adalah mereka yang mengalami hambatan dalam
dirinya. Hambtan yang mereka miliki sangat bervariasi. Perkembangan pemhaman tentang
pendidikan, membawa mereka untuk dapat menikmati pendidikan di sekolah regular yakni berada
bersama anak-anak regular yang kita sebut sekolah inklusif. Sekolah inklusif semkain banyak
ditemukan dibeberapa daerh di Indonesia. Untuk memaksimalkan pelayanan terhadap ABK maka
diperlukan sebuah kurikulum, kurikulum di sekolah inklusif hendaknya mampu diadaptasikan sejalan
dengan kemampuan dan hambatan ABK. Adaptasi kurikulum yang didalamnya ada materi ajar,
sarana dan prasarana, cara dan lain-lain akan membantu ABK dalam menerima pembelajaran di
sekola inklusif.

BAB III

KESIMPULAN

Setiap individu merupakan pribadi yang unik, di dunia ini tidak ada dua orang yang persis
sama. Perbedaan individu merupakan salah satu aspek yang memperoleh perhatian dalam bidang
pendidikan, terutama kecepatan dan irama perkembangannya. Sehingga manusia dipandang sebagai
makhluk bhineka (individual differences), kekurangan atau keunggulan adalah suatu bentuk
keberagaman manusia. Pandangan seperti ini menunjukkan bahwa perbedaan peserta didik ke
dalam kelompok normal dan tidak normal, pintar dan bodoh menjadi tidak relevan lagi, disinilah
perlunya pembelajaran yang efektif sesuai dengan kebutuhan siswa.

Kurikulum sebagai substansi, suatu kurikulum dipandang sebagai suatu rencana kegiatan
belajar bagi peserta didik di sekolah, atau seperangkat tujuan yang ingin dicapai. Suatu kurikulum
juga dapat menunjuk kepada suatu dokumen yang berisi rumusan tentang tujuan, bahan ajar,
kegiatan belajar mengajar, jadual, dan evaluasi. Kurikulum sebagai sistem merupakan bagian dari
sistem persekolahan, sistem pendidikan, dan bahkan sistem kemasyarakatan. Suatu sistem
kurikulum mencakup struktur personalia, dan prosedur kerja bagaimana cara menyusun suatu
kurikulum, melaksanakan, mengevaluasi dan menyempurnakannya. Hasil dari sistem kurikulum
adalah tersusunnya suatu kurikulum, dan fungsi dari sistem kurikulum adalah bagaimana
memelihara agar kurikulum tetap dinamis. Kurikulum sebagai bidang studi, lebih menekankan
kurikulum sebagai obyek ilmu pengetahuan, yakni sebagai bidang studi kurikulum.

Desain kurikulum berbasis Inklusi sangat memperhatikan beberapa hal yaitu: Pertama:
usaha restrukturisasi yaitu proses pelembagaan keyakinan, nilai dan norma baru tentang fungsi
dasar, proses dan struktur suatu lembaga untuk menjamin kepastian, keadilan, dan pemanfaatan
usaha pendidikan itu sendiri. Kedua: rekulturisasi yaitu proses pembudayaan perilaku seseorang
atau kelompok atas keyakinan, nilai dan norma baru yang diharapkan. Pembudayaan nilai
kreativitas, otonomi/kemandirian, dan relevansi pendidikan merupakan kunci rekulturasi. Ketiga:
refigurasi yaitu proses perekayasaan figur atau tokoh sebagai model atau teladan (kepala sekolah,
guru, pamong, orang tua) agar yang bersangkutan memiliki kemampuan dan kesanggupan
melembagakan dan membudayakan keyakinan, nilai dan norma baru pendidikan yang diharapkan.

Adapatsi kurikulum juga merupakan salah satu cara untuk pemenuhan hak bagi ABK yang
berada di sekolah inkulisi. Karena setiap individu memiliki keterbatasan maka pembelajaranpun
disesuaikan dengan keberadaan siswa. Untuk memperlancar proses KBM nya maka diperlukan
rencana untuk membuat adapatasi kurikulum agar semua ABK dapat terlayani dengan baik.

Adaptasi dalam model pembelajaran inklusi saat proses merupakan cara penyesuaian
aktivitas belajar yang sesuai dengan kondisi siswa berkebutuhan khusus. Penyesuaian tersebut
dilakukan pada tahapan belajar perolehan, tahap ulangan, tahap kecakapan, tahap

mempertahankan, tahap perluasan, tahap penyesuaian, dan tahap penyesuaian.


DAFTAR PUSTAKA

Ankur Madan and. Neerja Sharma, 2013. Inclusive Education for Children with Disabilities: Preparing
Schools to Meet the Challenge. Volume 3 Number 1 Electronic Journal for Inclusive Education Vol. 3,
No. 1 (Fall/Winter 2013)

Efendi, S. Munir, (2008), Pembelajaran Adaptif. Diakses pada tanggal 05 Pebruari 2016, dari
http://ndanks.blogspot.co.id/2008/07/pembelajaran-adaptif.html

Kustawan D., (2012), Pendidikan Inklusif dan Upaya Implementasinya. Jakarta : PT Luxima Metro Media.

Mariam John Meynert, 2014, Inclusive Education And Perceptions Of Learning Facilitators Of Children With
Special Needs In A School In Sweden. Vol 29, No: 2, 2014

Md. Saiful Malak, 2013. Inclusive Education Reform in Bangladesh: Pre-Service Teachers’

Responses to Include Students with Special Educational Needs in Regular Classrooms. International
Journal of Instruction January 2013 ● Vol.6, No.1 e-ISSN: 1308-1470 ● www.e-iji.net p-ISSN: 1694-
609X
Mujito & Suyanto, 2012. Pendidikan Inklusif. Jakarta: Baduose Media

Mujito, dkk. 2014. Pendidikan Layanan Khusus, Model-model dan Implementasi. Jakarta : Kemdikbud,
Direktorat Jendral Pendidikan Khusus, Direktorat Pendidikan Khusu dan Layanan Khusus

Mumpuniarti, (2011). Adaptasi Proses Pembelajaran Anak Berkebutuhan Khusus. diakses pada tanggal 5
Nopember 2015 dari http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/tmp/ADAPTASI%20PROSES
%20PEMBELAJARAN%20ANAK%20BERKEBUTUHAN%20KHUSUS.pdf

Moh. Takdir Ilahi, (2013), Pendidikan Inklusif. Yogyakarta : AR-RUZZ MEDIA

Tali Heiman, (2004), TEACHERS COPING WITH CHANGES: INCLUDING STUDENTS WITH DISABILITIES IN
MAINSTREAM CLASSES: AN INTERNATIONAL VIEW . Diakses tanggal 28 Oktober 2015, dari,
http://files.eric.ed.gov/fulltext/EJ852062.pdf

Tirtarahardja & La Sulo (2005), Pengantar Pendidikan. Jakarta : PT Rineke Cipta

Toto Yulianto, (2012). Pembelajaran Yang Adaptif Pembelajaran Untuk  Semua. Diakses
pada tanggal 06 Pebruari 2016, dari
https://totoyulianto.wordpress.com/2012/10/05/pembelajaran-yang-adaptif-
pembelajaran-untuk-semua/

Sari Rudiyati, (…). Pengembangan Kurikulum Adaptif di Sekolah Inklusif. Diakses dari
pada tanggal 05 Nopember 2015 dari
http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/pengabdian/dr-sari-rudiyati-
mpd/kurikulum-adaptif-di-sekolah-inklusif.pdf

Anda mungkin juga menyukai