Anda di halaman 1dari 11

Universitas Pamulang Ilmu Komunikasi S1

PERTEMUAN 11
RISET BERBASIS RATING DAN NON RATING
Mata kuliah : Pengantar Broadcasting
Penyusun : Widayat S. Noeswa S.Sos, M.Si

A. TUJUAN PEMBELAJARAN
Setelah mempelajari materi ini mahasiswa bisa mahami riset rating berbasis
kuantitatif dan kualitatif sebagai tolok ukur keberhasilan kinerja media penyiaran.
.
B. URAIAN MATERI
1. RISET KHALAYAK ( AUDIENCE )
Riset khalayak atau audence adalah salah satu upaya untuk membuat tolok
ukur kinerja bagi media penyiaran. Karena media penyiaran membutuhkan
sebuah data sebagai alat ukur apakah komoditas utamanya yang disebut
program siaran diterima oleh khalayak atau tidak. Riset juga merupakan salah
satu bentuk umpan balik atau feed back dari audience terhadap program
program media penyiaran. Selama ini tolok ukur keberhasilan program siaran
selalu diukur dengan riset yang berbasis rating dan non rating. Riset rating
digunakan untuk mengukur respon khalayak terhadap program yang sudah
disiarkan, sementara riset non rating untuk melihat prospek program yang
belum disiarkan.
Dalam analisa politik ekonomi media, rating adalah komoditas utama yang
dijual industri televisi kepada pemasang iklan. Meehan ( Dalam Mosco:
1996) menyatakan, dalam proses komodifikasi, rating adalah komoditas yang
dijadikan nilai tukar ( exchange value ) utama industri televisi dalam pola
hubungan media-advertiser-audience. Karena dalam system media, rating
merupakan laporan tentang ukuran audience. Komodifikasi membutuhkan
prosedur pengukuran dan teknik monitoring untuk menjaga jalur produksi,
distribusi, nilai tukar dan konsumsi. (Mosco :1996)
Saat ini rating dan audience share telah menjadi dewa bagi industri televisi,
karena dijadikan barometer utama dan ukuran kinerja bagi para pelaku
industri media penyiaran dan pemasang iklan. Setiap keputusan dalam
proses produksi, akan selalu mempertimbangkan faktor rating dan audience
share. Rating adalah jumlah penonton program tertentu pada jam tayang

1
Universitas Pamulang Ilmu Komunikasi S1

tertentu, sementara audience share, adalah prosentase jumlah penonton pada


program tertentu dan jam tayang tertentu.
Kekuatan rating selalu dilihat dari perspektif pelaku industri bukan dari sisi
khalayak, karena rating kemudian menjadi tolok ukur dan barometer
tunggal, yang digunakan secara bersama sama oleh semua pihak yang
berhubungan dengan industri media penyiaran terutama media televisi.
Sehingga acuan keberhasilannya menjadi jelas dan terukur, dan dipahami oleh
semua pelaku industri televisi dan industri lain yang terkait.
Budaya rating memunculkan orientasi pragmatis, yaitu pertimbangan ekonomi
semata. Karena semua pekerja media televisi selalu berkreasi dengan satu
tujuan, yaitu memperolah rating dan audience share yang tinggi. Padahal
dalam hubungannya dengan masyarakat dan negara, selain berfungsi sebagai
media hiburan media televisi juga memiliki fungsi sebagai media pendidikan,
informasi, korelasi, mobilisasi, transmisi, dan kontrol sosial.
Selama ini industri media penyiaran di Indonesia sangat tergantung dengan
hasil riset yang dilakukan oleh Nielsen sebuah perusahaan riset global yang
memberi pelayanan riset pasar terhadap sejumlah industri termasuk industri
penyiaran. Di Indonesia sendiri Nielsen dibawah bendera PT Pengukuran
Audiens Nielsen, dengan nama Nielsen Indonesia. Hingga saat ini Nielsen
Indonesia merupakan satu satunya lembaga riset audiens yang digunakan
oleh semua industri media penyiaran dan yang terkait.

2. APA ITU RATING ?


Secara umum rating digunakan untuk melihat potensi pemirsa yang tersedia
pada setiap paruh waktu. Potens ini berbeda-beda antar paruh waktu, di mana
potensi pemirsa terbesar biasanya di prime time, yang mencapai 30% dari total
populasi TV. Oleh karenanya, rating pada jam tayang ini biasanya lebih besar
dibandingkan rating dari program yang tayang di pagi, siang atau dini hari, di
mana potensi pemirsanya tentu juga lebih kecil. Analisis terhadap rating juga
dilakukan untuk mengetahui perolehan penonton suatu program pada paruh
waktu yang berbeda. Selain berbeda antarparuh waktu, rating juga berbeda di
antara target penonton yang berbeda, misalnya pada pemirsa anak,
perempuan, laki-laki, dsb. Rating diartikan sebagai prosentase jumlah
penonton TV/ program terhadap total populasi TV.

2
Universitas Pamulang Ilmu Komunikasi S1

Sementara audience share adalah prosentase jumlah penonton program


terhadap total penonton potensial pada paruh waktu tertentu. Audience Share
umumnya digunakan untuk melihat animo/dominasi penonton pada program
atau jam jam tayang tertentu. Share digunakan untuk menganalisis kompetisi
program pada paruh waktu yang sama; berapa banyak penonton, di antara
orang yang saat itu sedang menonton TV, yang berhasil diraih oleh program-
program yang tayang di jam yang sama. Namun untuk menentukan ketepatan
atau kesesuaian sebuah program dengan segmentasi penonton biasanya
yang digunakan adalah analisis Index. Index adalah prosentase rating pada
target pemirsa tertentu (misalnya anak-anak, perempuan, ibu rumahtangga,
dsb) terhadap total rating (pada usia 5+). Analisis ini memperlihatkan
efektifitas program tertentu dalam meraih target pemirsa tertentu
3. RATING KUANTITATIF DAN KUALITATIF
Riset khalayak untuk media penyiaran mengenal dua metode yaitu riset rating
yang berbasis kuantitatif dan riset non rating yang berbasis kualitatif. Di
Indonesia sendiri, riset berbasis kuantitatif, sudah ada sejak tahun 1976, saat
Nielsen, salah satu lembaga riset internatioal masuk ke Indonesia dan
bergabung dengan Survey Riset Indonesia (SRI). Saat itu Nielsen masih
menggunakan nama Nielsen Audience Measurement dan menyediakan
informasi dan pelayanan untuk TV, surat kabar, majalah dan radio kepada
perusahaan media dan periklanan.
Metode riset berbasis kuantitatif dan kualitatif memiliki perbedaan yang cukup
fundamenetal. Riset berbasis kuantitatif, berdasarkan pada analisa jumlah
kepemirsaan atau penonton program media penyiaran. Jadi mereka
melakukan riset pada seluruh program, yang menjadi obyek penelitian, untuk
mengetahui seberapa besar jumlah audiens pada masing masing program di
masing masing chanel, baik stasiun televisi maupun radio. Dengan riset
kuantitatif, akan terlihat program mana yang paling banyak ditonton oleh
pemirsa, dan seberapa besar jumlah penonton untuk masing masing program.
Dengan demikian, program televisi yang paling banyak ditonton, atau
mendapatkan rating tertinggi, dianggap sebagai program yang paling berhasil.
Di Indonesia, saat ini satu satunya lembaga yang melakukan riset kuantitatif
untuk kepemirsaan televisi adalah Nielsen. Sehingga semua pihak atau
stakeholder, berpegang pada hasil riset rating yang dilakukan Nielsen, dan
menjadi satu satunya acuan hasil rating berbasis kuantitatif.

3
Universitas Pamulang Ilmu Komunikasi S1

Sementara itu, riset rating berbasis kualitatif, mendasarkan riset bukan pada
jumlah analisa jumlah kepemirsaan televisi, namun berdasarkan analisa
kualitatif terhadap program televisi. Riset ini bertujuan untuk “memperkaya”
riset mengenai televisi di Indonesia, terutama riset tentang pemirsa televisi
yang selama ini didominasi oleh riset berbasis rating atau mengukur jumlah
audiens. Di Indonesia, riset berbasis kualitatif dipelopori oleh Yayasan Sains
Estetika dan Teknologi (SET) bekerjasama dengan Ikatan Jurnalis Televisi
Indonesia (IJTI) dan yayasan TIFA. Sejak tahun 2006, lembaga tersebut
melakukan riset kualitatif terhadap program program televisi di Indonesia, dan
diumumkan setiap setahun sekali. Riset kualitatif berusaha melihat ukuran
sebuah program berdasarkan aspek kualitas. Dalam perspektif kualitatif,
kualitas program bukan dilihat dari berapa banyak ditonton oleh pemirsa,
tetapi seberapa berkualitas program acara menurut khalayak.
Penelitian ini berbeda dengan rating televisi yang dikeluarkan oleh AGB-
Nielsen Media Research, karena metode yang digunakan adalah Peer Review
Assessment, dimana sekelompok orang yang mempunyai kapasitas dan
pengetahuan memberikan penilaian kualitatif terhadap program-program
televisi yang sama. Oleh karena itu, penelitian ini tidak berpretensi untuk
menyertakan populasi pemirsa televisi secara keseluruhan. Tujuan dari survei
ini adalah menilai kualitas dari suatu program televisi, dan tidak berpretensi
mengukur jumlah pemirsa suatu program televisi (kuantitas) atau karakteristik
pemirsa televisi. Responden dalam survei ini bukanlah khalayak pemirsa
televisi umum. Responden dalam survei ini adalah kalangan berpendidikan
yang dipandang mempunyai pengetahuan tentang televisi dan dapat
memberikan penilaian kritis terhadap program-program televisi. Sekelompok
orang yang berpendidikan tinggi, mempunyai perhatian terhadap masalah-
masalah tayangan televisi, dan mampu memberikan evaluasi (assesment)
program televisi dibandingkan dengan khalayak pemirsa secara umum.
Karena itu, riset ini lebih tepat disebut sebagai rating publik.
Riset dilakukan di 11 kota besar di Indonesia : Jakarta, Medan, Bandung,
Semarang, Surabaya, Yogyakarta, Makkasar, Denpasar, Batam, Pontianak
dan Palembang. Responden yang disertakan dalam riset ini dipilih dengan
menggunakan metode sampel kuota (quota sampling). Responden yang
terlibat adalah mereka yang paham mengenai acara televisi dan dapat menilai

4
Universitas Pamulang Ilmu Komunikasi S1

secara kritis program acara televisi. Riset ini tidak berpretensi menggambarkan
penilaian seluruh khalayak televisi.
Kualitas yang diukur dalam riset ini adalah kualitas dalam arti sosial, kegunaan
atau fungsi dari suatu program acara bagi masyarakat pemirsa. Riset ini tidak
masuk dalam ranah estetis, menilai kualitas suatu program acara dari aspek
teknis artistik suatu acara, misalnya tata pengambilan gambar, cerita, skenario,
akting para pemain dan sebagainya. Kualitas dalam riset ini dilihat dari sejauh
mana suatu program telah memenuhi fungsi dan kegunaannya pada pemirsa,
terlepas dari apakah suatu program acara itu secara estetis baik atau bukan.
Riset dimulai dengan pemilihan responden yang akan menilai program acara
televisi. Responden diminta untuk memberikan dua penilaian. Pertama,
penilaian umum atas program acara di televisi. Peneliti menyertakan daftar
mata acara di semua stasiun televisi dan dari daftar itu responden diminta
untuk menilai mana program acara yang berkualitas. Kedua, penilaian spesifik
kualitas mata acara. Pada tahap ini responden diminta untuk menilai secara
detail mata acara tertentu. Ada ratusan program acara televisi, karena itu tidak
mungkin semua mata acara televisi itu dinilai satu per satu. Riset ini
menyertakan 15 acara ( masing-masing 5 acara berita reguler, 5 acara
talkshow dan 5 acara hiburan). Kelima belas acara televisi itu direkam dan
dibagikan kepada responden. Responden baru memberikan penilaian setelah
menonton rekaman acara. Karena keterbatasan waktu dan biaya, responden
hanya menonton tayangan 1 episode dengan rating tertinggi dari 15 acara
televisi tersebut.
Di Indonesia, riset berbasis kualitatif, masih relatif baru dan dipelopori oleh
Yayasan Sains Estetika dan Teknologi (SET) bekerjasama dengan Ikatan
Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) dan yayasan TIFA. Sejak tahun 2006,
lembaga tersebut melakukan riset kualitatif terhadap program program televisi
di Indonesia, dan diumumkan setiap setahun sekali.

4. RISET RATING KUANTITATIF


Penyelenggaraan survai rating televisi di Indonesia dirintis oleh Survai
Research Indonesia (SRI) semenjak 1990. Pada tahun 1994 AC Nielsen—
perusahaan riset pemasaran terkemuka asal Amerika Serikat — mengakuisisi
SRI, sehingga namanya berubah menjadi AC Nielsen-SRI. Selanjutnya
beberapa kali perusahaan ini berganti nama. Pertama, AC Nielsen Media

5
Universitas Pamulang Ilmu Komunikasi S1

International, kemudian Nielsen Media Research. Terakhir pada tahun 2004 ia


menjadi AGB Nielsen Media Research.
Lembaga riset ini melakukan survei kepermirsaan terhadap 1.645 pesawat TV
atau 7.115 responden dari 35,8 juta populasi yang berada di sepuluh kota
besar, yaitu Jakarta dan sekitarnya (Bogor, Tangerang, Bekasi), Bandung,
Semarang, Yogyakarta, Surabaya (dan Gerbangkertasila), Denpasar,
Makasar, Medan, Palembang, dan Banjarmasin
Responden dibagi menjadi 7 kategori status sosial ekonomi. Penyebaran
sampel tidak sama di setiap kota, yaitu Jakarta 55 persen, Surabaya 20
persen, Bandung 5 persen, Yogyakarta 5 persen, Medan 4 persen, Semarang
3 persen, Palembang 3 persen, Makassar 2 persen, Denpasar 2 persen, dan
Banjarmasin 1 persen. Angka ini proporsional berdasarkan populasi
kepemilikan televsisi di tiap-tiap kota itu. Kepemilikan televisi di Jakarta,
misalnya, 55 persen terhadap total 10 kota, maka jumlah sampelnya 55
persen.

Sumber : theconversation.com

Batasan populasi adalah semua penduduk kota yang terdaftar dalam Kartu
Keluarga, berusia berusia lima tahun atau lebih, dan tinggal di rumah tangga
yang memiliki pesawat televisi dengan keadaan baik . Kemudian, sampel
ditentukan berdasarkan teknik acak berjenjang (stratified random).

6
Universitas Pamulang Ilmu Komunikasi S1

Di televisi responden dipasang peoplemeter. Peoplemeter adalah alat yang


mampu mengukur jumlah penonton — paling tidak selama satu menit, atau
minimum 15 detik — pada sebuah acara. Alat ini mampu melacak pilihan
frekuensi televisi sampai 999 saluran dan mendeteksi frekuensi, modulasi
gambar, dan modulasi audio-video.
Pada peoplemeter tersambung sebuah gagang (handset) yang terprogram
untuk mencatat jati diri setiap anggota keluarga. Bila hendak menonton,
sebagai contoh, mereka menekan salah satu tombol pada gagang itu terlebih
dahulu. Secara otomatis alat itu mengumpulkan data tentang acara apa saja
yang dipirsa setiap anggota keluarga dalam hitungan menit. Jadi, responden
tidak perlu lagi mengisi kuesioner semenjak memulai menonton televisi sampai
selesai.
Kelemahan Rating ( Kuantitatif)
Survey rating Nielsen memiliki validitas internal yang baik, yaitu menggunakan
alat ukur canggih yang mampu mengurangi kesalahan masukan data sekecil-
kecilnya. Akan tetapi, validitas eksternalnya terlalu lemah untuk sampai bisa
mengatakan bahwa hasil rating ini mewakili gambaran umum se-Indonesia
karena memiliki beberapa kelemahan, antara lain adalah:

1. Sampel responden tidak representative

Dalam riset berbasis rating, Nielsen menyatakan sama sekali tidak berpretensi
membuat sebuah generalisasi bahwa hasil rating menunjukkan
kecenderungan perilaku menonton masyarakat secara nasional. Karena
proses pengambilan sampel hanya dilakukan di sepuluh kota di tanah air:
Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Medan, Makasar, Palembang,
Denpasar, Yogyakarta, dan Banjarmasin.

Pengambilan sampel tidak menjangkau desa-desa yang dihuni delapan puluh


persen rakyat Indonesia. Kesepuluh kota itu dipilih sebagai sampel untuk
memenuhi kebutuhan pengiklan dan produsen karena sebagian besar barang
dan jasa beredar di kota-kota itu.

2. Rating membunuh kreativitas insan pertelevisian


Sistem rating yang selalu digunakan sebagai satu-satunya parameter
keberhasilan suatu acara televisi telah mendorong terjadinya penyeragaman

7
Universitas Pamulang Ilmu Komunikasi S1

dan penjiplakan acara. Penjiplakan itu dilakukan terhadap program acara yang
sukses memperoleh rating tinggi. Hal tersebut malah cenderung mendorong
munculnya siaran-siaran yang mengabaikan nilai dan berpotensi membodohi
pemirsa.
Para pekerja kreatif di belakangnya, hanya berupaya mencapai target untuk
kepentingan pemenuhan ekonomi bagi perusahaan.
3. Rating TV menjadikan pilihan tontonan acara menjadi terbatas

Dengan munculnya program yang sejenis yang berhasil meraih rating tinggi,
pada akhirnya menjadikan pilihan tontonan acara menjadi terbatas.

4. Survey rating dilakukan oleh lembaga monopoli tanpa adanya


pembanding
Di Indonesia, survey rating hanya dilakukan secara monopoli oleh Nielsen.
Monopoli riset rating tersebut bukannya membawa perubahan yang positif
untuk dunia pertelevisian di Indonesia melainkan berdampak pada persaingan
yang tidak sehat. Karena para pekerja kreatif di industri penyiaran lebih
mementingkan rating daripada berkreasi untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat tentang informasi, edukasi dan hiburan.
5. Tidak ada audit atas hasil survey
Selain menjadi pemain tunggal, hasil survey Nielsen juga tidak pernah diaudit
oleh lembaga lain yang independen. Sehingga banyak pihak mempertanyakan
kebenaran hasil rating yang dikeluarkan oleh lembaga tersebut.
Rating acara TV yang tinggi, apakah menggambarkan selera masyarakat
terhadap tontonan acara Televisi? Sebelum kita menjawab pertanyaan
tersebut, terlebih dahulu perlu dilihat beberapa pertimbangan berikut:
Pertama, kalau dilihat metode survey yang dilakukan oleh Nielsen, maka
harus diakui bahwa metode ini memiliki kelemahan yaitu dengan pengambilan
sampel yang terbatas, yaitu hanya dilakukan di sepuluh kota metropolitan
ataupun besar di Indonesia, dan tidak menyentuh sampai ke pelosok
pedesaan. Sehingga riset rating berbasis rating tidak bisa menggambarkan
pola menontotn masyarakat Indonesia secara keseluruhan.
Kedua, metode riset rating yang dilakukan oleh Nielsen memiliki sejumlah
kelemahan. Misalnya alat peoplemeter yang dipasang pada televisi responden
akan dianggap mewakili satu penonton jika remote yang digunakan bertahan

8
Universitas Pamulang Ilmu Komunikasi S1

pada satu channel selama 17 detik. Waktu 17 detik belumlah cukup untuk
mengukur apakah seseorang benar benar menikmati sebuah program acara.
Ketiga, program program yang berhasil meraih rating tinggi tidak menjamin
bahwa program tersebut memiliki kualitas baik dalam pespektif menjalankan
fungsinya sebagai media informasi, edukasi dan hiburan. Karena program
yang berhasil meraih rating tinggi didominasi oleh program hiburan terutama
sinetron.
Oleh karena itu rating program media penyiaran tidak bisa dijadikan tolok ukur
kualitas dan juga tidak bisa sepenuhnya menggambarkan kesukaan atau
selera masyarakat.

9
Universitas Pamulang Ilmu Komunikasi S1

SOAL PRE TEST DAN POST TEST

MATA KULIAH PENGANTAR BROADCASTING

1. Riset khalayak sangat diperlukan oleh media penyiaran karena memiliki fungsi
sebagai ?
a. Ukuran kualitas
b. Tolok ukur kinerja
c. Pedoman penayangan program
d. Pedoman pembelian program
2. Riset berbasis rating bertujuan untuk mengukur ? :
a. Jumlah penonton suatu program
b. Kualitas program
c. Potensi pendapatan iklan
d. Harga penjualan iklan

3. Riset berbasis non rating merupakan salah satu metode untuk mengukur ?
a. Jumlah penonton
b. Kuantitas audience
c. Potensi penjualan iklan
d. Kualitas program

4. Salah satu kelemahan riset berbasis rating di Indonesia adalah?


a. Tidak akuntabel
b. Dilakukan di seluruh kota besar
c. Hanya dilakukan satu Lembaga riset
d. Tidak melibatkan Lembaga riset nasional

5. Riset rating yang dilakukan oleh Nielsen


6. Indonesia dilakukan di ?
a. Seluruh ibukota provinsi
b. Seluruh kota di Jawa
c. 10 kota besar
d. 11 kota besar

10
Universitas Pamulang Ilmu Komunikasi S1

Daftar Pustaka :

Wahyudi, J.B. (1994). Dasar-Dasar Manajemen Penyiaran. Jakarta : PT Gramedia


Pustaka Utama
Morissan. (2008). Manajemen Media Penyiaran. Jakarta : Kencana Prenada Media Grup
Djamal, Hidajanto & Fachruddin, Andi. (2011). Dasar-Dasar Penyiaran, Sejarah,
Organisasi,Operasional dan Regulasi. Jakarta: Prenada Media Grup

11

Anda mungkin juga menyukai