Refrat Demam Rematik
Refrat Demam Rematik
DEMAM REMATIK
Disusun oleh:
dr. PUSPITA HERDIYANINGSIH
PENDAHULUAN
Saat ini diperkirakan insidens demam reumatik di Amerika Serikat adalah 0,6 per
100.000 penduduk pada kelompok usia 5 sampai 19 tahun. Insidens yang hampir sama
dilaporkan di negara Eropa Barat. Angka tersebut menggambarkan penurunan tajam
apabila dibandingkan angka yang dilaporkan pada awal abad ini, yaitu 100-200 per
100.000 penduduk1.
Insidens penyakit ini di negara maju telah menurun dengan tajam selama 6 dekade
terakhir, meskipun begitu dalam 10 tahun terakhir ini telah terjadi peningkatan kasus
demam reumatik yang mencolok di beberapa negara bagian Amerika Serikat. Hal
tersebut mengingatkan kita bahwa demam reumatik belum seluruhnya terberantas, dan
selalu terdapat kemungkinan untuk menimbulkan masalah kesehatan masyarakat baik di
negara berkembang maupun negara maju1.
Definisi
Etiologi
Demam reumatik, seperti halnya dengan penyakit lain merupakan akibat interaksi
individu, penyebab penyakit dan faktor lingkungan3. Infeksi Streptococcus beta
hemolyticus grup A pada tenggorok selalu mendahului terjadinya demam reumatik, baik
pada serangan pertama maupun serangan ulangan1,3,5,6. Untuk menyebabkan serangan
demam reumatik, Streptokokus grup A harus menyebabkan infeksi pada faring, bukan
hanya kolonisasi superficial. Berbeda dengan glumeronefritis yang berhubungan dengan
infeksi Streptococcus di kulit maupun di saluran napas, demam reumatik agaknya tidak
berhubungan dengan infeksi Streptococcus di kulit3.
Hubungan etiologis antara kuman Streptococcus dengan demam reumatik diketahui dari
data sebagai berikut:
1. Pada sebagian besar kasus demam reumatik akut terdapat peninggian kadar
antibodi terhadap Streptococcus atau dapat diisolasi kuman beta-Streptococcus
hemolyticus grup A, atau keduanya3.
2. Insidens demam reumatik yang tinggi biasanya bersamaan dengan insidens oleh
beta-Streptococcus hemolyticus grup A yang tinggi pula. Diperkirakan hanya
sekitar 3% dari individu yang belum pernah menderita demam reumatik akan
menderita komplikasi ini setelah menderita faringitis Streptococcus yang tidak
diobati1,3.
3. Serangan ulang demam reumatik akan sangat menurun bila penderita mendapat
pencegahan yang teratur dengan antibiotika.
Faktor Predisposisi
Faktor Individu
1. Faktor Genetik
Banyak demam reumatik/penyakit jantung reumatik yang terjadi pada satu keluarga
maupun pada anak-anak kembar. Karenanya diduga variasi genetik merupakan alasan
penting mengapa hanya sebagian pasien yang terkena infeksi Streptococcus menderita
demam reumatik, sedangkan cara penurunannya belum dapat dipastikan1,3.
2. Jenis Kelamin
Tidak didapatkan perbedaan insidens demam reumatik pada lelaki dan wanita1,3.
Meskipun begitu, manifestasi tertentu mungkin lebih sering ditemukan pada salah satu
jenis kelamin, misalnya gejala korea jauh lebih sering ditemukan pada wanita daripada
laki-laki. Kelainan katub sebagai gejala sisa penyakit jantung reumatik juga menunjukkan
perbedaan jenis kelamin. Pada orang dewasa gejala sisa berupa stenosis mitral lebih
sering ditemukan pada wanita, sedangkan insufisiensi aorta lebih sering ditemukan pada
laki-laki3.
Belum bisa dipastikan dengan jelas karena mungkin berbagai faktor lingkungan yang
berbeda pada golongan etnik dan ras tertentu ikut berperan atau bahkan merupakan sebab
yang sebenarnya. Yang telah dicatat dengan jelas ialah terjadinya stenosis mitral. Di
negara-negara barat umumnya stenosis mitral terjadi bertahun-tahun setelah serangan
penyakit jantung reumatik akut. Tetapi data di India menunjukkan bahwa stenosis mitral
organik yang berat seringkali sudah terjadi dalam waktu yang relatif singkat, hanya 6
bulan-3 tahun setelah serangan pertama3.
4. Umur
Paling sering pada umur antara 5-15 tahun dengan puncak sekitar umur 8 tahun. Tidak
biasa ditemukan pada anak antara umur 3-5 tahun dan sangat jarang sebelum umur 3
tahun atau setelah 20 tahun. Distribusi umur ini dikatakan sesuai dengan insidens infeksi
Streptococcus pada anak usia sekolah3.
Belum dapat ditentukan apakah merupakan faktor predisposisi. Hanya sudah diketahui
bahwa penderita sickle cell anemia jarang yang menderita demam reumatik/penyakit
jantung reumatik3.
Faktor-faktor Lingkungan
Mungkin ini merupakan faktor lingkungan yang terpenting sebagai predisposisi untuk
terjadinya demam reumatik1,3. Termasuk dalam keadaan sosial ekonomi yang buruk ialah
sanitasi lingkungan yang buruk, rumah-rumah dengan penghuni padat, rendahnya
pendidikan sehingga pengertian untuk segera mengobati anak yang sakit sangat kurang,
pendapatan yang rendah sehingga biaya untuk perawatan kesehatan kurang dan lain-lain3.
Penyakit ini terbanyak didapatkan di daerah beriklim sedang, tetapi data akhir-akhir ini
menunjukkan bahwa daerah tropis pun mempunyai insidens yang tinggi, lebih tinggi
daripada yang diduga semula1,3. Di daerah yang letaknya tinggi agaknya insidens lebih
tinggi daripada di dataran rendah3.
3. Cuaca
Perubahan cuaca yang mendadak sering mengakibatkan insidens infeksi saluran nafas
meningkat, sehingga insidens demam reumatik juga meningkat3.
Patogenesis
Streptococcus diketahui dapat menghasilkan tidak kurang dari 20 produk ekstrasel; yang
terpenting diantaranya ialah streptolisin O, streptolisin S, hialuronidase, streptokinase,
disfosforidin nukleotidase, deoksiribonuklease serta streptococcal erythrogenic toxin.
Produk-produk tersebut merangsang timbulnya antibodi3.
Demam reumatik diduga merupakan akibat kepekaan tubuh yang berlebihan terhadap
beberapa produk ini. Kaplan mengemukakan hipotesis tentang adanya reaksi silang
antibodi terhadap Streptococcus dengan otot jantung yang mempunyai susunan antigen
mirip antigen streptococcus, hal inilah yang menyebabkan reaksi autoimun1,3.
ASTO (anti streptolisin O) merupakan antibodi yang paling dikenal dan paling sering
digunakan untuk indikator terdapatnya infeksi streptococcus. Lebih kurang 80%
penderita demam reumatik/penyakit jantung reumatik akut menunjukkan kenaikan titer
ASTO ini; bila dilakukan pemeriksaan atas 3 antibodi terhadap Streptococcus, maka pada
95% kasus demam reumatik/penyakit jantung reumatik didapatkan peninggian atau lebih
antibodi terhadap Streptococcus3.
Peran antibodi sebagai mediator cedera jaringan belum sepenuhnya diterima. Adanya
antibodi bereaksi silang yang serupa pada serum pasien tanpa demam reumatik
mendorong penelitian mediator imun lain. Data muthakir menunjukkan pada sitotoksitas
yang ditengahi oleh sel sebagai mekanisme alternatife untuk cedera jaringan. Penelitian
menunjukkan bahwa limfosit darah perifer pasien dengan karditis reumatik akut adalah
sitotoksik terhadap sel miokardium yang dibiak in vitro, dan bahwa serum penderita
demam reumatik menghapuskan pengaruh sitotoksik tersebut. Ini memberi kesan bahwa
antibodi yang bereaksi silang dapat mempunyai pengaruh protektif dalam pejamu
tersebut. Sekarang hipotesis yang paling banyak dipercaya adalah bahwa mekanisme
imunologik, humoral atau selular, menyebabkan cedera jaringan pada demam reumatik1.
Patologi
Dasar kelainan patologi demam reumatik ialah reaksi inflamasi eksudatif dan proliferatif
jaringan mesenkim. Kelainan yang menetap hanya terjadi pada jantung; organ lain seperti
sendi, kulit, pembuluh darah, jaringan otak dan lain-lain dapat terkena tetapi selalu
reversibel3. Proses patologis pada demam reumatik melibatkan jaringan ikat atau jaringan
kolagen. Meskipun proses penyakit adalah difus dan dapat mempengaruhi kebanyakan
jaringan tubuh, manifestasi klinis penyakit terutama terkait dengan keterlibatan jantung,
sendi, dan otak.1.
Jantung
Penemuan histologis pada karditis reumatik akut tidak selalu spesifik. Tingkat perubahan
histologis tidak perlu berkolerasi dengan derajat klinis. Pada stadium awal, bila ada
dilatasi jantung, perubahan histologis dapat minimal, walaupun gangguan fungsi jantung
mungkin mencolok1.
Dengan berlanjutnya radang, perubahan eksudatif dan proliferatif menjadi lebih jelas.
Stadium ini ditandai dengan perubahan edematosa jaringan, disertai oleh infiltrasi selular
yang terdiri dari limfosit dan sel plasma dengan beberapa granulosit. Fibrinoid, bahan
granular eusinofil ditemukan tersebar di seluruh jaringan dasar. Bahan ini meliputi
serabut kolagen ditambah bahan granular yang berasal dari kolagen yang sedang
berdegenerasi dalam campuran fibrin, globulin, dan bahan-bahan lain. Jaringan lain yang
terkena oleh proses penyakit, seperti jaringan sendi, dapat menunjukkan fibrinoid; hal ini
dapat juga terjadi dalam jaringan yang sembuh pada pasien penyakit kolagen lain1.
Pembentukan sel Aschoff atau benda Aschoff diuraikan oleh Aschoff pada tahun 1940,
menyertai stadium di atas. Lesi patognomonis ini terdiri dari infiltrat perivaskular sel
besar dengan inti polimorf dan sitoplasma basofil tersusun dalam roset sekeliling pusat
fibrinoid yang avaskular. Beberapa sel mempunyai inti banyak, atau mempunyai ’inti
mata burung hantu’ dengan titik-titik dan fibril eksentrik yang menyebar ke membran
inti, atau mempunyai susunan kromatin batang dengan tepi gigi gergaji dan nukleus kisi-
kisi atau lingkaran yang melilit. Sel-sel yang khas ini disebut monosit Anitschkow1.
Benda Aschoff dapat ditemukan pada setiap daerah miokardium tetapi paling sering
ditemukan dalam jaringan aurikular kiri. Benda Aschoff ditemukan paling sering dalam
jaringan miokardium pasien yang sembuh dari miokarditis reumatik subakut atau kronik.
Sel Aschoff dapat tampak dalam fase akut; mungkin pasien ini menderita karditis kronik
dengan kumat demam reumatik. Jarang sel Aschoff ditemukan dalam jaringan jantung
pasien tanpa riwayat demam reumatik1.
Tinjauan etiologi penyakit katup oleh Roberts menunjukkan bahwa etiologi reumatik
70% dari kasus dapat berasal dari penyakit katup mitral murni (isolated) dan hanya 13%
dari kasus yang berasal dari penyakit katup aorta murni. Pada pasien yang kedua
katupnya (mitral dan aorta) terlibat, kemungkinan etiologi reumatik adalah 97%1.
Organ-organ lain
Ruam kulit mencerminkan terdapatnya vaskulitis yang mendasari, yang mungkin ada
pada setiap bagian tubuh dan yang paling sering mengenai pembuluh darah yang lebih
kecil. Pembuluh darah ini menunjukkan proliferasi sel endotel. Nodul subkutan jarang
ditemukan pada pasien demam reumatik akut; kalaupun ada, nodul ini cenderung
ditemukan pada pasien dengan penyakit katup kronik, terutama stenosis mitral. Histologi
nodul subkutan terdiri dari nekrosis fibrinoid sentral yang dikelilingi oleh sel-sel epitel
dan mononuklear. Lesi histologis tersebut serupa dengan lesi pada benda Ascoff, suatu
tanda patologis karditis reumatik1.
Seperti pada perikarditis, patologi artritis pada dasarnya sama, yaitu serositis. Pada artritis
reumatik jaringan tulang rawan (kartilago) tidak terlibat, akan tetapi lapisan sinovia
menunjukkan terjadinya degenerasi fibrinoid. Patologi nodulus subkutan, yang
membentuk penonjolan di atas tonjolan tulang dan permukaan tendo ekstensor, telah
diuraikan di atas1.
Stadium I
Stadium ini berupa infeksi saluran napas bagian atas oleh kuman beta-Streptococcus
hemolyticus grup A. Keluhan biasanya berupa demam, batuk, rasa sakit waktu menelan,
tidak jarang disertai muntah dan bahkan pada anak kecil dapat terjadi diare. Pada
pemeriksaan fisik sering didapatkan eksudat di tonsil yang menyertai tanda-tanda
peradangan lainnya. Kelenjar getah bening submandibular seringkali membesar. Infeksi
ini biasanya berlangsung 2-4 hari dan dapat sembuh sendiri tanpa pengobatan3.
Para peneliti mencatat 50-90% riwayat infeksi saluran napas bagian atas pada penderita
demam reumatik/penyakit jantung reumatik, yang biasanya terjadi 10-14 hari sebelum
manifestasi pertama demam reumatik/penyakit jantung reumatik3.
Stadium II
Stadium ini disebut juga periode laten, ialah masa antara infeksi Streptococcus dengan
permulaan gejala demam reumatik, biasanya periode ini berlangsung 1-3 minggu, kecuali
korea yang dapat timbul 6 minggu atau bahkan berbulan-bulan kemudian3.
Stadium III
Merupakan fase akut demam reumatik, saat timbulnya berbagai manifestasi klinik
demam reumatik/penyakit jantung reumatik. Manifestasi klinik tersebut dapat
digolongkan dalam gejala peradangan umum (gejala minor) dan manifestasi spesifik
(gejala mayor) demam reumatik/penyakit jantung reumatik3.
Manifestasi Klinis Mayor
1. Karditis
Karditis pada demam reumatik akut ditemukan pada sekitar 50% pasien, yang cenderung
meningkat dengan tajam pada pengamatan mutakhir1,2. Dua laporan yang paling baru,
dari Florida dan Utah, melaporkan karditis pada 75% pasien demam reumatik akut.
Angka ini didasarkan kepada diagnosis yang ditegakkan hanya dengan auskultasi, dan
bahkan lebih tinggi bila alat ekokardiografi Doppler 91% pasien menunjukkan
keterlibatan jantung1. Pada literatur lain menyebutkan yaitu sekitar 40-80% dari demam
reumatik akan berkembang menjadi pankarditis5,7.
Karditis merupakan kelainan yang paling serius pada demam reumatik akut, dan
menyebabkan mortalitas paling sering selama stadium akut penyakit. Bahkan sesudah
fase akut, cedera sisa pada katup dapat menyebabkan gagal jantung yang tidak mudah
ditangani, dan seringkali memerlukan intervensi bedah. Selanjutnya mortalitas dapat
terjadi akibat komplikasi bedah atau dari infeksi berikut yang menyebabkan endokarditis
bakteri1.
Banyak dokter memandang karditis sebagai manifestasi demam reumatik yang paling
khas. Karditis dengan insufisiensi mitral diketahui dapat berkaitan dengan infeksi virus,
riketsia, dan mikoplasma. Namun demam reumatik tetap merupakan penyebab utama
insufisiensi mitral didapat pada anak dan dewasa muda. Meskipun laporan dari negara
berkembang mengambarkan insidens penyakit jantung reumatik yang tinggi pada anak
muda, demam reumatik dan karditis reumatik jarang ditemukan pada anak umur di bawah
5 tahun. Penyakit ini terkait dengan gejala nonspesifik meliputi mudah lelah, anoreksia,
dan kulit pucat kekuningan. Mungkin terdapat demam ringan dan mengeluh bernapas
pendek, nyeri dada, dan artralgia. Pemeriksaan jantung mungkin menunjukkan
keterlibatan jantung, dan pada sebagian pasien dapat terjadi gagal jantung.
Karditis dapat merupakan manifestasi tunggal atau terjadi bersamaan dengan satu atau
lebih manifestasi lain. Kadang artritis dapat mendahului karditis; pada kasus demikian
tanda karditis biasanya akan muncul dalam 1 atau 2 minggu; jarang terjadi keterlibatan
jantung yang jelas di luar interval ini.
Seperti manifestasi yang lain, derajat keterlibatan jantung sangat bervariasi. Karditis
dapat sangat tidak kentara, seperti pada pasien dengan korea, tanda insufisiensi mitral
dapat sangat ringan dan bersifat sementara, sehingga mudah terlewatkan pada auskultasi.
Karditis yang secara klinis ’mulainya lambat’ mungkin sebenarnya mengambarkan
progresivitas karditis ringan yang semula tidak dideteksi. Pasien yang datang dengan
manifestasi lain harus diperiksa dengan teliti untuk menyingkirkan adanya karditis.
Pemeriksaan dasar, termasuk elektrokardiografi dan ekokardiografi, harus selalu
dilakukan. Pasien yang ada pada pemeriksaan awal tidak menunjukkan keterlibatan
jantung harus terus dipantau dengan ketat untuk mendeteksi adanya karditis sampai tiga
minggu berikutnya. Jikalau karditis tidak muncul dalam 2 sampai 3 minggu
pascaserangan, maka selanjutnya ia jarang muncul.
Takikardia merupakan salah satu tanda klinis awal miokarditis. Pengukuran frekuensi
jantung paling dapat dipercaya apabila pasien tidur. Demam dan gagal jantung
menaikkan frekuensi jantung; sehingga mengurangi nilai diagnostik takikardia. Apabila
tidak terdapat demam atau gagal jantung, frekuensi jantung saat pasien tidur merupakan
tanda yang terpercaya untuk memantau perjalanan karditis.
Terdapatnya gagal jantung kongestif, yaitu tekanan vena leher yang meninggi, muka
sembab, hepatomegali, ronki paru, urin sedikit dan bahkan edema pitting, semuanya
dapat dipandang sebagai bukti karditis. Hampir merupakan aksioma, setiap anak dengan
penyakit jantung reumatik yang datang dengan gagal jantung pasti menderita karditis
aktif. Hal ini berbeda dengan orang tua, padanya gagal jantung kongestif dapat terjadi
sebagai akibat stres mekanik pada jantung karena keterlibatan katup reumatik. Pada anak
dengan demam reumatik, gagal jantung kanan, terutama yang disertai dengan edema
muka, mungkin terjadi sekunder akibat gagal jantung kiri. Gagal jantung kiri pada anak
reumatik relatif jarang ditemukan.
Endokarditis, radang daun katup mitral dan aorta serta kordae katup mitral, merupakan
komponen yang paling spesifik pada karditis reumatik. Katup-katup pulmonal dan
trikuspid jarang terlibat. Insufisiensi mitral paling sering terjadi pada karditis reumatik,
yang ditandai oleh adanya bising holosistolik (pansistolik) halus, dengan nada tinggi.
Bising ini paling baik terdengar apabila pasien tidur miring ke kiri. Pungtum maksimum
bising adalah di apeks, dengan penjalaran ke daerah aksila kiri. Apabila terdapat
insufisiensi mitral yang bermakna, dapat pula terdengar bising stenosis mitral relatif yaitu
bising mid-diastolik sampai akhir diastolik yang bernada rendah. Bising ini disebut bising
Carey-Coombs, terjadi karena sejumlah besar darah didorong melalui lubang katup ke
dalam ventrikel kiri selama fase pengisian, menghasilkan turbulensi yang bermanifestasi
sebagai bising aliran (flow murmur).
Insufisiensi aorta terjadi pada sekitar 20% pasien dengan karditis reumatik. Insufisiensi
ini dapat merupakan kelainan katup tunggal tetapi biasanya bersama dengan infusiensi
mitral. Infisiensi aorta ini ditandai oleh bising diastolik dini dekresendo yang mulai dari
komponen aorta bunyi jantung kedua. Bising ini bernada sangat tinggi, sehinggga paling
baik didengar dengan stetoskop membran (diafragma) pada sela iga ketiga kiri dengan
pasien pada posisi tegak, terutama jika pasien membungkuk ke depan dan menahan
napasnya selama ekspirasi. Bising ini mungkin lemah, dan karenanya sering gagal
dikenali oleh pemeriksa yang tidak terlatih. Pada infusiensi aorta yang berat, bising
terdengar keras dan mungkin disertai getaran bising diastolik. Pada kasus ini tekanan nadi
yang naik karena lesi aorta yang besar digambarkan sebagai nadi perifer yang melompat-
lompat (water-hammer pulse). Keterlibatan katup pulmonal dan trikuspid jarang terjadi;
ia ditemukan pada pasien dengan penyakit jantung reumatik yang kronik dan berat.
Pemeriksaan ekokardiografi-Doppler menunjukkan bahwa kelainan pada katup trikuspid
dan pasien demam reumatik pulmonoal ini lebih banyak daripada yang dipekirakan
sebelumnya.
Miokarditis atau insufisiensi katup yang berat dapat menyebabkan terjadinya gagal
jantung. Gagal jantung yang jelas terjadi pada sekitar 5% pasien demam reumatik akut,
terutama pada anak yang lebih muda. Di Yogyakarta pasien yang datang dengan gagal
jantung jelas dapat mencapai 65% karena kasus yang dapat berobat ke rumah sakit terdiri
atas pasien demam reumatik akut serangan pertama dan demam reumatik akut serangan
ulang. Lagipula pasien di Yogyakarta baru berobat apabila telah timbul gejala dan tanda
gagal jantung.
Manifestasi gagal jantung meliputi batuk, nyeri dada, dispne, ortopne, dan anoreksia.
Pada pemeriksaan terdapat takikardia, kardiomegali, dan hepatomegali dengan hepar
yang lunak. Edema paru terjadi pada gagal jantung sangat bervariasi.
Pembesaran jantung terjadi bila perubahan hemodinamik yang berat terjadi akibat
penyakit katup. Pembesaran jantung yang progresif dapat terjadi akibat pankarditis, yaitu
karena dilatasi jantung akibat miokarditis ditambah dengan akumulsi cairan perikardium
parietale dan viserale. Penggesekan permukaan yang meradang menimbulkan suara
gesekan yang dapat didengar. Bising gesek ini terdengar paling baik di midprekordium
pada pasien dalam posisi tegak, sebagai suara gesekan permukaan. Bising gesek dapat
didengar pada sistole atau diastole tergantung pada apakah pergeseran timbul oleh
kontraksi maupun relaksasi ventrikel. Pengumpulan cairan yang banyak menyebabkan
terjadinya pergeseran perikardium, sehingga dapat mengakibatkan menghilangnya bising
gesek. Bising gesek pada pasien parditis reumatik hampir selalu merupakan petunjuk
adanya pankarditis. Perikarditis yang tidak disertai dengan endokarditis dan miokarditis
biasanya bukan disebabkan demam reumatik.
Irama derap yang mungkin terdengar biasanya berupa derap protodiastolik, akibat
aksentuasi suara jantung ketiga. Derap presistolik agak jarang terjadi, akibat pengerasan
suara jantung keempat yang biasanya tidak terdengar, atau derap kombinasi, yaitu
kombinasi dari dua derap (summation gallop).
2. Artritis
Artritis terjadi pada sekitar 70% pasien dengan demam reumatik. Walaupun merupakan
manifestasi mayor yang paling sering, artritis ini paling tidak spesifik dan sering
menyesatkan diagnosis. Insidens artritis yang rendah dilaporkan pada penjangkitan
demam reumatik akhir-akhir ini di Amerika Serikat, mungkin akibat pedekatan diagnosis
yang berbeda. Kebanyakan laporan menunjukkan artritis sebagai manifestasi reumatik
yang paling sering, tetapi bukan yang paling serius, seperti kata Lasegue, ’demam
reumatik menjilat sendi namun menggigi jantung1.
Artritis menyatakan secara tidak langsung adanya radang aktif sendi, ditandai oleh nyeri
yang hebat, bengkak, eritema, dan demam. Meskipun tidak semua manifestasi ada, tetapi
nyeri pada saat istirahat yang menghebat pada gerakan aktif atau pasif biasanya
merupakan tanda yang mencolok. Intensitas nyeri dapat menghambat pergerakan sendi
hingga mungkin seperti pseudoparalisis1.
Artritis harus dibedakan dari artralgi, karena pada artralgia hanya terjadi nyeri ringan
tanpa tanda objektif pada sendi. Sendi besar paling sering terkena, yang terutama adalah
sendi lutut, pergelangan kaki, siku, dan pergelangan tangan. Sendi perifer yang kecil
jarang terlibat. Artritis reumatik bersifat asimetris dan berpindah-pindah (poliartritis
migrans). Proses radang pada satu sendi dapat sembuh secara spontan sesudah beberapa
jam serangan, kemudian muncul artritis pada sendi yang lain. Pada sebagian besar pasien,
artritis sembuh dalam 1 minggu, dan biasanya tidak menetap lebih dari 2 atau 3 minggu.
Artritis demam reumatik berespons dengan cepat terhadap salisilat bahkan pada dosis
rendah, sehingga perjalanan artritis dapat diperpendek dengan nyata dengan pemberian
aspirin1.
Pemeriksaan radiologis sendi tidak menunjukkan kelainan kecuali efusi. Meskipun tidak
berbahaya, artritis tidak boleh diabaikan; ia harus benar-benar diperhatikan, baik yang
berat maupun yang ringan. Sebelum terburu-buru ke laboratorium untuk memikirkan
’skrining kolagen’ yang lain, ia harus diperiksa dengan anamnesis yang rinci serta
pemeriksaan fisis yang cermat1.
Korea Sydenham
Korea Sydenham, korea minor, atau St. Vitus dance, mengenai sekitar 15% pasien
demam reumatik1,2. Manifestasi ini mencerminkan keterlibatan sistem saraf pusat,
terutama ganglia basal dan nuklei kaudati, oleh proses radang. Hubungan korea
Sydenham dengan demam reumatik tetap tidak jelas untuk waktu yang lama. Hubungan
tersebut tampak pada pasien dengan manifestasi reumatik, terutama insufisiensi mitral,
yang semula datang hanya dengan korea Sydenham. Sekarang jelas bahwa periode laten
antara infeksi streptokokus dan awal korea lebih lama daripada periode laten untuk
artritis atau karditis. Periode laten manifestasi klinis artritis atu karditis adalah sekitar 3
minggu, sedangkan manifestasi klinis korea dapat mencapai 3 bulan atau lebih1.
Pasien dengan korea datang dengan gerakan yang tidak disengaja dan tidak bertujuan,
inkoordinasi muskular, serta emosi yang labil. Manifestasi ini lebih nyata apabila pasien
dalam keadaan stres. Gerakan abnormal ini dapat ditekan sementara atau sebagian oleh
pasien dan menghilang pada saat tidur. Semua otot terkena, tetapi yang mencolok adalah
otot wajah dan ekstremitas. Pasien tampak gugup dan menyeringai. Lidah dapat terjulur
keluar dan masuk mulut dengan cepat dan menyerupai ’kantong cacing’. Pasien korea
biasanya tidak dapat mempertahankan kestabilan tonus dalam waktu yang pendek1.
Insidens korea pada pasien demam reumatik sangat bervariasi dan cenderung menurun,
tetapi pada epidemi mutakhir di Utah korea terjadi pada 31% kasus. Korea tidak biasa
terjadi sesudah pubertas dan tidak terjadi pada dewasa, kecuali jarang pada wanita hamil
(’korea gravidarum’). Korea ini merupakan satu-satunya manifestasi yang memilih jenis
kelamin, yakni dua kali lebih sering pada anak wanita dibanding pada lelaki. Sesudah
pubertas perbedaan jenis kelamin ini bertambah1.
Eritema Marginatum
Eritema marginatum merupakan khas untuk demam reumatik dan jarang ditemukan pada
penyakit lain. Karena khasnya, ia termasuk dalam manifestasi mayor. Data kepustakaan
menunjukkan bahwa eritema marginatum ini hanya terjadi pada lebih-kurang 5% pasien 1.
Pada literatur lain menyebutkan eritema ini ditemukan pada kurang dari 10% kasus 2.
Ruam ini tidak gatal, maskular, dengan tepi eritema yang menjalar dari bagian satu ke
bagian lain mengelilingi kulit yang tampak normal. Lesi ini berdiameter sekitar 2,5 cm,
tersering pada batang tubuh dan tungkai proksimal, dan tidak melibatkan wajah1,2,5.
Pemasangan handuk hangat atau mandi air hangat dapat memperjelas ruam. Eritema
sukar ditemukan pada pasien berkulit gelap. Ia biasanya timbul pada stadium awal
penyakit, kadang menetap atau kembali lagi, bahkan setelah semua manifestasi klinis lain
hilang. Eritema biasanya hanya ditemukan pada pasien dengan karditis, seperti halnya
nodul subkutan1. Menurut literatur lain, eritema ini sering ditemukan pada wanita dengan
karditis kronis5.
Nodulus Subkutan
Frekuensi manifestasi ini telah menurun sejak beberapa dekade terakhir, saat ini jarang
ditemukan, kecuali pada penyakit jantung reumatik kronik. Penelitian mutakhir
melaporkan frekuensi nodul subkutan kurang dari 5%. Namun pada laporan mutakhir dari
Utah nodul subkutan ditemukan pada sekitar 10% pasien. Nodulus terletak pada
permukaan ekstensor sendi, terutama pada siku, ruas jari, lutut dan persendian kaki.
Kadang nodulus ditemukan pada kulit kepala dan di atas kolumna vetrebralis. Ukurannya
bervariasi dari 0,5-2 cm, tidak nyeri, dan dapat bebas digerakkan. Nodul subkutan pada
pasien demam reumatik akut biasanya lebih kecil dan lebih cepat menghilang daripada
nodul pada reumatoid artritis. Kulit yang menutupinya tidak menunjukkan tanda radang
atau pucat. Nodul ini biasanya muncul sesudah beberapa minggu sakit dan pada
umumnya hanya ditemukan pada pasien dengan karditis1.
MANIFESTASI MINOR
Demam hampir selalu ada pada poliartritis reumatik; ia sering ada pada karditis yang
tersendiri (murni) tetapi pada korea murni. Jenis demamnya adalah remiten, tanpa variasi
diurnal yang lebar, gejala khas biasanya kembali normal atau hampir normal dalam
waktu 2/3 minggu, walau tanpa pengobatan. Artralgia adalah nyeri sendi tanpa tanda
objektif pada sendi. Artralgia biasanya melibatkan sendi besar. Kadang nyerinya terasa
sangat berat sehingga pasien tidak mampu lagi menggerakkan tungkainya1.
Termasuk kriteria minor adalah beberpa uji laboratorium. Reaktan fase akut seperti LED
atau C-reactive protein mungkin naik. Uji ini dapat tetap naik untuk masa waktu yang
lama (berbulan-bulan). Pemanjangan interval PR pada elektrokardiogram juga termasuk
kriteria minor5.
Nyeri abdomen dapat terjadi pada demam reumatik akut dengan gagal jantung oleh
karena distensi hati. Nyeri abdomen jarang ada pada demam reumatik tanpa gagal
jantung dan ada sebelum manifestasi spesifik yang lain muncul. Pada kasus ini nyeri
mungkin terasa berat sekali pada daerah sekitar umbilikus, dan kadang dapat
disalahtafsirkan sebagai apendistis sehingga dilakukan operasi1.
Anoreksia, nausea, dan muntah seringkali ada, tetapi kebanyakan akibat gagal jantung
kongestif atau akibat keracunan salisilat. Epitaksis berat mungkin dapat terjadi. Kelelahan
merupakan gejala yang tidak jelas dan jarang, kecuali pada gagal jantung. Nyeri abdomen
dan epitaksis, meskipun sering ditemukan pada demam reumatik, tidak dianggap sebagai
kriteria diagnosis1.
Stadium IV
Disebut juga stadium inaktif. Pada stadium ini penderita demam reumatik tanpa kelainan
jantung atau penderita penyakit jantung reumatik tanpa gejala sisa katup tidak
menunjukkan gejala apa-apa3.
Pada penderita penyakit jantung reumatik dengan gejala sisa kelainan katup jantung,
gejala yang timbul sesuai dengan jenis serta beratnya kelainan. Pada fase ini baik
penderita demam reumatik maupun penyakit jantung reumatik sewaktu-waktu dapat
mengalami reaktivasi penyakitnya3.
Pada serangan lebih pendek jikalau yang dianggap sebagai titik akhir adalah hilangnya
manifestasi klinis akut, dan lebih panjang jika titik akhir adalah kembalinya laju endap
darah manjadi normal. Walaupun demikian dalam beberapa kasus manifestasi klinis
mayor tertentu (misalnya korea, dan kadang eritema marginatum dan nodulus) dapat
menetap atau bahkan muncul pertama kalinya setelah fase akut telah kembali normal 1.
Lama serangan pertama demam reumatik adalah mulai kurang dari 3 minggu (pada
sepertiga kasus) sampai 3 bulan. Namun pada pasien karditis berat, proses reumatik aktif
ini dapat berlanjut sampai 6 bulan atau lebih. Pasien ini menderita demam reumatik
”kronik”. Di negara Barat keadaan ini terjadi pada sebagian kecil kasus (3% atau kurang).
Sebagian besar pasien dengan demam reumatik yang berkepanjangan menderita beberapa
kali serangan. Di negara tempat karditis berat dan kumat sering terjadi, frekuensi demam
reumatik kronik mungkin sekali lebih tinggi1.
Proses demam reumatik dianggap aktif terdapat salah satu dari tanda berikut: artritis,
bising organik baru, kardiomegali, nadi selama tidur melebihi 100/menit, korea, eritema
marginatum, atau nodulus subkutan. Gagal jantung tanpa penyakit katup yang berat juga
merupakan tanda karditis aktif. Karditis reumatik kronik dapat berlangsung berlarut-larut
dan menyebabkan kematian sesudah beberapa bulan atau tahun. Laju endap darah (LED)
yang terus tinggi lebih dari 6 bulan bukan aktivitas reumatik jika tidak disertai tanda
lain1.
Diagnosis
Demam reumatik tidak mempunyai organ sasaran tertentu. Demam reumatik dapat
mengenai sejumlah organ dan jaringan, secara tersendiri atau bersama. Tidak adanya
manifestasi (kecuali korea Sydenham ’murni) maupun uji laboratorium yang cukup khas
untuk diagnosis, karenanya diagnosis didasarkan pada kombinasi beberapa penemuan.
Makin banyak manifestasi, makin kuat pula diagnosis. Karena prognosis bergantung pada
manifestasi klinis, maka pada diagnosis harus disebut manifestasi klinisnya, misalnya
’demam reumatik dengan poliartritis saja’.
Pada tahun 1994 Dr. T. Duckett Jones mengusulkan kriteria diagnosis yang didasarkan
kepada kombinasi manifestasi klinis dan penemuan laboratorium. Tanda klinis yang
paling berguna disebut sebagai manifestasi mayor, yakni karditis, poliartritis, korea,
nodulus subkutan, dan eritema marginatum. Istilah ’mayor’ berkaitan dengan diagnosis
dan bukan dengan frekuensi atau derajat kelainan. Tanda dan gejala lain, meski kurang
khas, masih dapat bermanfaat, disebut kriteria minor yang meliputi demam, artralgia,
riwayat demam reumatik atau penyakit jantung reumatik sebelumnya, pemanjangan
interval P-R dan reaktan fase akut (LED, PCR). Dua manifestasi mayor, atau satu
manifestasi mayor dan dua minor, menunjukkan kemungkinan besar demam reumatik1.2.5.
Pada kriteria Jones yang direvisi tahun 1965 diperlukan bukti adanya infeksi sterptokokus
yang baru untuk mandukung diagnosis. Terdapat dua pengecualian pada perlunya
dukungan ini; pertama pada beberapa pasien dengan korea Sydenham, dan kedua pada
pasien dengan karditis yang diam-diam (silent carditis). Antibodi streptokokus mungkin
telah kembali normal pada saat kedua golongan pasien tersebut pertama diperiksa.
Kriteria Jones ditinjau kembali pada tahun 1984 tanpa perubahan yang berarti (Tabel 1).
Tujuan semula Jones ini untuk mencegah kesalahan diagnosis demam reumatik akut,
yang sampai sekarang belum tercapai. Overdiagnosis masih sering terjadi, paling sering
pada pasien dengan poliartritis sebagai manifestasi tunggal. Manifestasi minor sangat
tidak spesifik dan infeksi sterptokokus terdapat dimana-mana, sehingga kebutuhan
pelengkap untuk diagnosis dengan mudah dapat dipenuhi sehingga menyebabkan
overdiagnosis1.
Yang sering dirancukan dengan demam reumatik adalah golongan penyakit kolagen
vaskular, khususnya artritis reumatoid juvenil. Umumnya bukti adanya infeksi
streptokokus sebelumnya dapat membedakan penyakit ini. Penemuan klinis tertentu pada
artritis reumatoid juvenil yang khas meliputi keterlibatan sendi kecil perifer, keterlibatan
sendi besar yang simetris tanpa artritis migrans, sendi yang terkena pucat, perjalanan
penyakitnya lebih lamban dan responsif terhadap salisilat. Meski sebagian artritis
reumatoid berespons cepat terhadap salisilat, sebagian besar pasien sembuh lebih lambat,
walaupun dengan dosis salisilat yang besar. Jika pasien gagal berespons sesudah 24-48
jam setelah dimulainya terapi salisilat, ia lebih mungkin menderita artritis reumatoid
daripada demam reumatik akut1.
Karditis atau perikarditis reumatik harus dibedakan dengan karditis akibat penyebab lain,
termasuk infeksi bakteri, virus, atau mikoplasma, serta penyakit kolagen vaskular.
Endokarditis harus dibedakan dari endokarditis pada kelainan katup bawaan atau prolaps
katup mitral. Ekokardiografi berperan penting untuk identifikasi kelainan bawaan dan
prolaps katup mitral. Penyakit Libman Sacks, endokarditis yang bersamaan dengan lupus
eritematosus sistematik, jarang sekali terlihat pada anak. Pasien dengan hipertiroidisme,
terutama yang disertai dengan blok A-V derajat I dapat dirancukan dengan insufisiensi
mitral reumatik1.
Seperti dinyatakan di atas, masalah utama dalam diagnosis adalah bila pasien yang hanya
menunjukan satu kriteria mayor, khususnya pasien poliartritis. Masalah jarang timbul
apabila ditemukan dua kriteria mayor. Pengamatan cermat terhadap pasien sementara
pemberian profilaksis antibiotik dapat menyelesaikan dilema, terutama bila terdapat
artritis kumat tanpa bukti faringitis streptokokus sebelumnya1.
Di negara sedang berkembang tidak jarang pasien didiagosis untuk pertama kalinya
sebagai karditis reumatik aktif tanpa dukungan anamnesis, pemeriksaan fisis, ataupun
pemeriksaan laboratorium untuk memenuhi kriteria Jones yang direvisis. Untuk membuat
kriteria benar-benar lebih sesuai dengan pengalaman klinikus, disetujui bahwa pada
pasien dengan karditis yang datang diam-diam atau datang terlambat, diagnosis demam
reumatik dimungkinkan pada pasien yang manifestasi satu-satunya adalah karditis aktif,
sebagaimana halnya pada diagnosis korea Sydenham. Namun harus ditekankan bahwa
dasar diagnosis tersebut haruslah secara hati-hati ditentukan untuk membedakan dari
penyakit jantung valvular kronik yang diduga reumatik, dari mioperikarditis, dan dari
kerdiomiopati1.
Akhirnya kelompok studi menyimpulkan bahwa diagnosis demam reumatik akut kumat
pada pasien yang telah diketahui pernah menderita demam reumatik harus ditentukan
secara tersendiri. Pada pasien dengan riwayat demam reumatik atau penyakit jantung
reumatik yang dapat dipercaya, diagnosis haruslah didasarkan atas manifestasi minor
ditambah bukti adanya infeksi sterptokokus yang baru. Diagnosis demam reumatik kumat
mungkin baru dapat ditegakkan sesudah waktu yang cukup lama untuk menyingkirkan
diagnosis lain. Dalam mengevaluasi pasien seperti ini harus diingat kemungkinkan
endokarditis infektif yang mungkin secara klinis menyerupai demam reumatik kumat.
Kelambatan diagnosis endokarditis infektif dapat berakibat amat serius1.
Kelompok studi WHO menganjurkan bahwa kriteria Jones yang direvisi tahun 1982
(Tabel 1) dengan tambahan catatan di bawah, diambil sebagai pegangan umum. Pada tiga
golongan pasien yang diuraikan di bawah, diagnosis demam reumatik diterima tanpa
adanya dua manifestasi mayor atau satu manifestasi mayor dan dua manifestasi minor.
Hanya pada dua yang pertama persyaratan untuk infeksi streptokokus sebelumnya dapat
dikesampingkan1,2,5.
Seringkali sukar membuktikan adanya karditis akut selama serang kumat. Munculnya
bising baru, bertambahnya kardiomegali, atau adanya bising gesek perikadial biasanya
membuktikan diagnosis karditis. Adanya nodul subkutan atau eritema marginatum juga
merupakan bukti terpercaya untuk terdapatnya karditis aktif.
TABEL 1. KRITERIA JONES (REVISI) UNTUK PEDOMAN DALAM
DIAGNOSIS DEMAM REUMATIK
Karditis Klinik
- Protein C reaktif
- Leukositosis
ditambah
Bukti adanya infeksi streptokokus
Adanya dua kriteria mayor, atau satu kriteria mayor dan dua kriteria minor, menunjukkan
kemungkinan besar demam reumatik akut, jika didukung oleh adanya infeksi
streptokokus grup A sebelumnya.
Diagnosa Banding
Tidak ada satupun gejala klinis maupun kelainan laboratorium yang khas untuk demam
reumatik/penyakit jantung reumatik. Banyak penyakit lain yang mungkin memberi gejala
yang sama atau hampir sama dengan demam reumatik/penyakit jantung reumatik. Yang
perlu diperhatikan ialah infeksi piogen pada sendi yang sering disertai demam serta reaksi
fase akut. Bila terdapat kenaikan yang bermakna titer ASTO akibat infeksi Streptococcus
sebelumnya (yang sebenarnya tidak menyebabkan demam reumatik), maka seolah-olah
kriteria Jones sudah terpenuhi. Evaluasi terhadap riwayat infeksi Streptococcus serta
pemeriksaan yang teliti terhadap kelainan sendinya harus dilakukan dengan cermat agar
tidak terjadi diagnosis berlebihan3.
Reumatoid artritis serta lupus eritrmatosus sistemik juga dapat memberi gejala yang
mirip dengan demam reumatik (Tabel 2). Diagnosis banding lainnya ialah purpura
Henoch-Schoenlein, reaksi serum, hemoglobinopati, anemia sel sabit, artritis pasca
infeksi, artritis septik, leukimia dan endokarditis bakterialis sub akut3.
Lateks ± 10%
Pengobatan anti-radang amat efektif dalam menekan manifestasi radang akut demam
reumatik, sedemikian baiknya sehingga respons yang cepat dari artritis terhadap salisitas
dapat membantu diagnosis1.
Pasien dengan artritis yang pasti harus diobati dengan aspirin dalam dosis total 100
mg/kgBB/ hari, maximum 6 g per hari dosis terbagi selama 2 minggu, dan 75 mg/kgBB/
hari selama 2-6 minggu berikutnya. Kadang diperlukan dosis yang lebih besar. Harus
diingatkan kemungkinan keracunan salisilat, yang ditandai dengan tinitus dan
hiperpne1,2,3.
Pada pasien karditis, terutama jika ada kardiomegali atau gagal jantung aspirin seringkali
tidak cukup untuk mengendalikan demam, rasa tidak enak serta takikardia, kecuali
dengan dosis toksik atau mendekati toksik. Pasien ini harus ditangani dengan steroid;
prednison adalah steroid terpilih, mulai dengan dosis 2 mg/kgBB/hari dengan dosis
terbagi, maximum 80 mg per hari. Pada kasus yang sangat akut dan parah, terapi harus
dimulai dengan metilprednisolon intravena (10-40 mg), diikuti dengan prednison oral.
Sesudah 2-3 minggu prednison dapat dikurangi terhadap dengan pengurangan dosis
harian sebanyak 5 mg setiap 2-3 hari. Bila penurunan ini dimulai, aspirin dengan dosis 75
mg/kgBB/hari harus ditambahkan dan dilanjutkan selama 6 minggu setelah prednison
dihentikan. Terapi ’tumpang tindih’ ini dapat mengurangi insidens rebound klinis
pascaterapi, yaitu munculnya kembali manifestasi klinis segera sesudah terapi dihentikan,
atau sementara prednison diturunkan, tanpa infeksi streptokokus baru. Steroid dianjurkan
untuk pasien dengan karditis karena kesan klinis bahwa pasien berespons lebih baik,
demikian pula gagal jantung pun berespons lebih cepat daripada dengan salisilat1,2.
Pada sekitar 5-10% pasien demam reumatik, kenaikan LED bertahan selama berbulan-
bulan sesudah penghentian terapi. Keadaan ini tidak berat, tidak dapat dijelaskan
sebabnya, dan tidak perlu mengubah tata laksana medik. Sebaliknya kadar PCR yang
tetap tinggi menandakan perjalanan penyakit yang berlarut-larut; pasien tersebut harus
diamati dengan seksama. Apabila demam reumatik inaktif dan tetap tenang lebih dari dua
bulan setelah penghentian antiradang, maka demam reumatik tidak akan timbul lagi
kecuali apabila terjadi infeksi streptokokus baru.
DEMAM REUMATIK2,3
3. Diet
Bentuk dan jenis makanan disesuaikan dengan keadaan penderita. Pada sebagian besar
kasus cukup diberikan makanan biasa, cukup kalori dan protein. Tambahan vitamin dapat
dibenarkan. Bila terdapat gagal jantung, diet disesuaikan dengan diet untuk gagal jantung
yaitu cairan dan garam sebaiknya dibatasi3,9.
Semua pasien demam reumatik akut harus tirah baring, jika mungkin di rumah sakit.
Pasien harus diperiksa tiap hari untuk menemukan valvulitis dan untuk mulai pengobatan
dini bila terdapat gagal jantung. Karditis hampir selalu terjadi dalam 2-3 minggu sejak
dari awal serangan, hingga pengamatan yang ketat harus dilakukan selama masa tersebut.
Sesudah itu lama dan tingkat tirah baring bervariasi. Tabel 4 merupakan pedoman umum;
tidak ada penelitian acak terkendali untuk mendukung rekomendasi ini. Hal penting
adalah bahwa tata laksana harus disesuaikan dengan manifestasi penyakit, sedang
pembatasan aktivitas fisis yang lama harus dihindari1.
Selama terdapat tanda-tanda radang akut, penderita harus istirahat di tempat tidur. Untuk
artritis cukup dalam waktu lebih kurang 2 minggu, sedangkan untuk karditis berat dengan
gagal jantung dapat sampai 6 bulan. Mobilisasi dilakukan secara bertahap3.
Istirahat mutlak yang berkepanjangan tidak diperlukan mengingat efek psikologis serta
keperluan sekolah. Penderita demam reumatik tanpa karditis atau penderita karditis tanpa
gejala sisa atau penderita karditis dengan gejala sisa kelainan katup tanpa kardiomegali,
setelah sembuh tidak perlu pembatasan aktivitas. Penderita dengan demam kardiomegali
menetap perlu dibatasi aktivitasnya dan tidak diperkenankan melakukan olahraga yang
bersifat kompetisi fisis3.
5. Pengobatan lain
Pengobatan karditis reumatik ini tetap paling kontroversial, terutama dalam hal pemilihan
pasien untuk diobati dengan aspirin atau harus dengan steroid. Meski banyak dokter
secara rutin menggunakan steroid untuk semua pasien dengan kelainan jantung,
penelitian tidak menunjukkan bahwa steroid lebih bermanfaat daripada salisilat pada
pasien karditis ringan atau sedang. Rekomendasi untuk menggunakan steroid pada pasien
pankarditis berasal dari kesan klinis bahwa terapi ini dapat menyelamatkan pasien 3.
Digitalis diberikan pada pasien dengan karditis yang berat dan dengan gagal jantung;
digoksin lebih disukai dipakai pada anak. Dosis digitalisasi total adalah 0,04 sampai 0,06
mg/kg, dengan dosis maximum 1,5 mg. Dosis rumatnya adalah antara sepertiga samapai
seperlima dosis digitalisasi total, diberikan dua kali sehari. Karena beberapa pasien
miokarditis sensitif terhadap digitalis, maka dianjurkan pemberian diitalisasi lambat.
Penggunaan obat jantung alternatif atau tambahan dipertimbangkan bila pasien tidak
berespons terhadap digitalis3.
Tirah baring dianjurkan selama masa kariditis akut, seperti tertera pada tabel 11-9. pasien
kemudian harus diizinkan untuk melanjutkan kembali aktivitasnya yang normal secara
bertahap. Hindarkan pemulihan aktivitas yang cepat pada pasien yang sedang
menyembuh dari karditis berat. Sebaliknya, kita harus mencegah praktek kuno yang
mengharuskan tirah baring untuk waktu yang lama sesudah karditis stabil dan gagal
jantung mereda, karena takut memburuk atau kumatnya karditis. Meskipun telah ada
pedoman tirah baring, namun dalam pelaksanaannya harus disesuaikan kasus demi
kasus3.
5.2 Pengobatan Korea Sydenham
Pasien korea yang ringan pada umumnya hanya memerlukan tirah baring. Pada kasus
yang lebih berat, obat antikonvulsan mungkin dapat mengendalikan korea. Obat ini
sangat bervariasi. Fenobarbital diberikan dalam dosis 15-30 mg tiap 6 sampai 8 jam.
Haloperidol dimulai dengan dosis rendah (0,5 mg), kemudian dinaikkan sampai 2 mg tiap
8 jam. Obat antiradang tidak diperlukan pada korea, kecuali pada kasus yang sangat
berat, dapat diberi steroid3.
Pencegahan Sekunder
Cara pencegahan sekunder yang diajukan The American Heart Association dan WHO
tertera pada tabel 5. Pemberian suntikan penisilin berdaya lama setiap bulan adalah cara
yang paling dapat dipercaya. Pada keadaan-keadaan khusus, atau pada pasien dengan
resiko tinggi, suntikan diberikan setiap 3 minggu. Meskipun nyeri suntikan dapat
berlangsung lama, pasien yang lebih tua lebih suka cara ini karena dapat dengan mudah
teratur melakukanya satu kali setiap 3 atau 4 minggu, dibanding dengan tablet penisilin
oral yang harus setiap hari. Preparat sulfa yang tidak efektif untuk pencegahan primer
(terapi faringitis), terbukti lebih efektif daripada penisilin oral untuk pencegahan
sekunder. Sulfadiazin juga jauh lebih murah daripada eritromisin.
Pencegahan sekunder harus dilanjutkan selama pasien hamil; akan tetapi sebaiknya tidak
dipakai sulfadiazin karena mendatangkan risiko terhadap janin. Remaja biasanya
mempunyai masalah khusus terutama dalam ketaatannya minum obat, sehingga perlu
upaya khusus mengingat resiko terjadinya kumat cukup besar. Untuk pasien penyakit
jantung reumatik kronik, pencegahan sekunder untuk masa yang lama, bahkan seumur
hidup kadang diperlukan, terutama pada kasus yang berat.
a. 600 000-900 000 unit untuk pasien < 30 a. 600 000-900 000 unit untuk pasien <
kg 30 kg setiap 3-4 minggu
b. 1 200 00 unit pasien > 30 kg b. 1 200 00 unit pasien > 30 kg setiap 3-4
minggu
2. Penisilin V oral: 2. Penisilin V oral:
250 mg, 3 atau 4 kali sehari selama 10 hari 250 mg, dua kali sehari
3. Eritromisin:
4. Sulfadiazin:
Prognosis
Morbiditas demam reumatik akut berhubungan erat dengan derajat keterlibatan jantung.
Mortalitas sebagian besar juga akibat karditis berat, komplikasi yang sekarang sudah
jarang terlihat di negara maju (hampir 0%) namun masih sering ditemukan di negara
berkembang (1-10%). Selain menurunkan mortalitas, perkembangan penisilin juga
mempengaruhi kemungkinan berkembangnya menjadi penyakit valvular kronik setelah
serangan demam reumatik aku. Sebelum penisilin, persentase pasien berkembang
menjadi penyakit valvular yaitu sebesar 60-70% dibandingkan dengan setelah penisilin
yaitu hanya sebesar 9-39%1,9.
Profilaksis sekunder yang efektif mencegah kumatnya demam reumatik akut hingga
mencegah perburukan status jantung. Pengamatan menunjukkan angka penyembuhan
yang tinggi penyakit katup bila profilaksis dilakukan secara teratur. Informasi ini harus
disampaikan kepada pasien, bahwa profilaksis dapat memberikan prognosis yang baik,
bahkan pada pasien dengan penyakit jantung yang berat1.
PENUTUP
Insidens tertinggi penyakit ini ditemukan pada anak berumur 5-15 tahun dan pengobatan
yang tuntas terhadap faringitis akut hampir meniadakan risiko terjadinya demam
reumatik.
Manifestasi klinis demam reumatik dibagi menjadi manifestasi klinis mayor yaitu artritis,
karditis, korea, eritema marginatum dan nodulus subkutan. Manifestasi klinis minor yaitu
demam, artralgia, peningkatan LED dan C-reactive protein dan pemanjangan interval PR.
Kriteria diagnosis berdasarkan kriteria Jones (revisi 1992) ditegakkan bila ditemukan 2
kriteria mayor atau 1 kriteria mayor +2 kriteria minor ditambah dengan bukti infeksi
Streptococcus grup A tenggorok positif + peningkatan titer antibodi Streptococcus.
Pengobatan serta pencegahan yang harus dilaksanakan secara teratur ini, informasinya
harus disampaikan kepada pasien atau keluarga pasien sehingga prognosis pasien dengan
penyakit ini baik walaupun pada pasien dengan penyakit jantung yang berat.
DAFTAR PUSTAKA
2. Hasan, Rusepro. Buku Kuliah Ilmu kesehatan anak jilid dua edisi keempat. Jakarta:
Bagian ilmu kesehatan anak FK UI, 1985. Hal. 734-752
4. Fayler, DC. Kardiologi Anak Nadas. Yogyakarta: Gajah Mada University Press,
1996. Hal 354-366
5. Behrman, R.E. Nelson, Ilmu Kesehatan Anak vol. 2 Ed. 15. Jakarta: EGC; 1999. hal
929-935
6. Samsi, TK, dkk. Pedoman Pelayanan Kesehatan Anak: RS. Sumber Waras Fakultas
Kedokteran Universitas Tarumanagara. Jakarta: UPT Penerbitan Universitas
Tarumanagara, 2000. hal 190-193
8. Ghaleb, Thuria. Rheumatic Fever Still Threatens Yemens’s Children. 22 Mei 2007.
(online). (http://www.yobserver.com, diakses 13 Maret 2008)