Anda di halaman 1dari 1

Membuka Ruang Belajar yang Kolaboratif

Salah satu tugas perguruan tinggi adalah menyiapkan masa depan mahasiswa untuk bekerja.
Bahkan, mahasiswa yang mengenyam pendidikan S-1 pun bukan menjadi tenaga ahli. Jika kemudian
banyak mahasiswa dari perguruan tinggi yang belum siap bekerja, faktornya bisa beraneka ragam.
Namun, yang jelas, perguruan tinggi perlu membenahi pembelajarannya supaya bisa menyiapkan
mahasiswa untuk berkarir, entah itu untuk bekerja mandiri atau kepada orang lain.

Untuk mengatasi hal tersebut, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi
menyelenggarakan program Praktisi Mengajar. Program tersebut dilakukan untuk menutup
kesenjangan kualitas lulusan perguruan tinggi dengan kebutuhan dunia kerja. Dengan membawa
pengalaman praktis melalui program tersebut, para praktisi dari dunia kerja ke kampus diharapkan
bisa meningkatkan relevansi mata kuliah yang diajarkan dengan kebutuhan dunia kerja.

Bekerja memang tidak hanya membutuhkan kemampuan akademis atau keterampilan teknis
(hardskills), melainkan juga perlu diikuti dengan kemampuan non-akademis atau keterampilan non-
teknis (softskills). Bahkan, untuk bisa memenuhi tuntutan era 4.0, porsi softskills harus lebih besar,
karena syarat menguasai sofskills akan menentukan keberhasilan di masa depan, bukan semata-
mata kemampuan akademis, apalagi jurusan saat kuliah.

Saat ini, kita seolah berlomba dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang begitu
pesat. Tantangan pendidikan kita saat ini adalah menyiapkan generasi masa depan yang terampil
dan tidak tergantikan oleh proses otomasi. Keterampilan non-teknis, seperti kemampuan yang
berkaitan dengan kecerdasan emosional, komunikasi, kolaborasi, manajerial, dan keterampilan
sosial inilah yang tidak akan tergantikan oleh proses otomasi, dan inilah yang harus diperkuat dalam
pembelajaran di perguruan tinggi. Dengan kebutuhan tersebut, membuka ruang belajar yang
kolaboratif dan adaptif dengan mengundang praktisi dari dunia kerja ke kampus menjadi sangat
relevan.

Perguruan tinggi akan membutuhkan proses adaptasi dari sistem pembelajaran konvensional ke
sistem pembelajaran yang kolaboratif dan adaptif. Kecepatan adaptasi masing-masing perguruan
tinggi pun tentu saja akan berbeda-beda. Dengan jumlah perguruan tinggi di Indonesia yang
mencapai 3.115 (BPS, 2021) dan beragamnya kualitas, tantangannya adalah bagaimana agar
program Praktisi Mengajar ini bisa segera diselenggarakan secara merata di semua perguruan tinggi.
Program akselerasi ini mungkin perlu dilakukan untuk membantu perguruan tinggi yang minim
sumber daya. Jangan sampai perguruan tinggi yang minim sumber daya semakin tertinggal

Anda mungkin juga menyukai