Anda di halaman 1dari 4

PARENTAL SEX ABUSE

BAB I
PENDAHULUAN

“You are worthy of love, now just lift your head up or your crown will fall”

1.1 Latar Belakang Masalah


Bulliying, ya benar perlakuan inilah yang aku dapatkan disaat aku kecil, lebih tepatnya disaat aku
duduk di bangku kelas 4 SD. Pada saat aku kelas 1 sampai 3 SD semua berjalan dengan baik-
baik saja, karena pada saat itu mamaku belum bekerja di kantin sekolah, sehingga mereka tidak
tahu bagaimana ekonomi socialku. Pada saat kelas 4 SD aku tidak mempunyai teman. Semua
teman menjauhi aku karena status sosial ekonomi ku yang jauh berada di bawah mereka,
ditambah mamaku bekerja di kantin sekolah dan juga prestasi akademikku yang sangat kurang.
Aku ingat sekali bagaimana perilaku bulliying ini aku dapatkan. Suatu pagi, ketika semua murid
diharuskan untuk berbaris di depan kelas sebelum masuk tak seorang pun yang mau berbaris di
dekatku, mereka mendorong-dorongku sambil berteriak, “Hiii…hiii” seperti orang yang jijik melihat
suatu. Hal ini membuat aku merasa ditolak dan dikucilkan, dan hal ini terjadi hampir setiap hari.
Hingga akhirnya aku tahu diri dan memutuskan untuk mengambil posisi dibarisan paling belakang
seorang diri.
Pada saat ini aku duduk di bangku SD kelas 4. Kurang lebih pukul setengah 11 siang, ketika
sedang mengikuti pelajaran matematika di kelas, guru memberikan soal di papan tulis, dan
meminta beberapa anak untuk maju ke depan dan mengerjakan soal tersebut. Salah satunya
adalah diriku. Aku tidak bisa mengikuti pelajaran dengan baik, karena aku merasa sangat tertekan
dan tidak nyaman ketika berada di dalam kelas, aku mencoba mengerjakan tetapi hasilnya salah.
Lalu teman-teman aku menertawakan dan mengejek aku, mereka mengatai aku bodoh-bodoh
ketika aku mencoba untuk memperbaiki jawabanku . Aku benar-benar merasa malu, dan aku
akhirnya segera kembali ke tempat dudukku, karena aku tetap tidak berhasil mengerjakan soal
tersebut. Setelah sampai di tempat duduk, aku langsung menangis dan merasa sakit hati sekali
kerena mendapatkan perlakuan seperti itu dari teman-teman sekelasku.
Kekerasan ganda juga aku dapatkan dari teman-teman di panti asuhan dan juga papaku. Teman-
teman di panti asuhan sangat sering melakukan kekerasan fisik kepadaku dan juga pelecehan
sexual. Aku sudah mencoba melaporkannya kepada kepala panti, namun mereka semakin
menjadi-jadi, sehingga aku berhenti melaporkan mereka ketika mereka melakukan kekerasan
terhadap aku. Papaku juga melakukan kekerasan kepadaku baik secara fisik, verbal, dan sexual.
Tidak ada social support yang aku dapatkan saat kejadian itu terjadi dalam hidupku. Aku hanya
bisa menerima karena aku sadar bahwa aku masih tergantung secara finansial.
Apa yang aku alami tersebut di atas adalah peristiwa bullying. Bullying didefinisikan sebagai
perilaku agresif yang dilakukan secara berulang-ulang baik secara fisik, verbal maupun psikologis
dan biasanya terjadi ketidakseimbangan kekuasaan antara pelaku maupun korban. Bullying ini
biasanya terjadi di kalangan remaja di sekolah maupun lingkungan pertemanan mereka. Verbal
Bullying termasuk dalam verbal abuse. Verbal abuse (kekerasan melalui kata-kata) adalah semua
bentuk tindakan ucapan yang mempunyai sifat menghina, membentak, memaki, memarahi dan
menakuti dengan mengeluarkan kata-kata yang tidak pantas.
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2009 mencatat dari seluruh
laporan kasus kekerasan, 30 persen diantaranya dilakukan oleh anak-anak dan 48 persen
diantaranya terjadi di lingkungan sekolah dengan motif yang bervariasi. Plan Indonesia melakukan
survey di Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, dan Bogor dengan melibatkan 1500 siswa SMA dan 75
guru. Hasilnya menunjukan 67,9 persen kekerasan terjadi di sekolah yang berupa kekerasan
verbal, psikologis, dan fisik. Pelaku kekerasan pada umumnya adalah teman, kakak kelas, adik
kelas, guru, kepala sekolah, dan preman di sekitar sekolah. (Aziz, 2011).

1
Kebanyakan dari kekerasan fisik dan seksual yang terjadi dimulai dengan verbal abuse. Ada
sebuah penelitian yang diadakan para wanita yang tinggal di pedesaan, emotional abuse yang
termasuk dalam verbal abuse ini harus dialami oleh 100% wanita yang tinggal dengan pasangan
yang melakukan kekerasan secara fisik (Bosch & Bergen, 2006). Seorang wanita yang mengalami
verbally abuse melaporkan bahwa Ia merasa jiwanya mati secara perlahan. Ketika pertempuran
verbal membuat terjadinya penyerangan fisik, laki-laki memilki keuntungan yang sangat jelas,
karena laki-laki biasanya lebih kuat dari wanita dan sering kali menyebabkan kerugian secara fisik.
Bullying tidak hanya terjadi dalam bentuk verbal. Dari hasil penelitian KPAI ternyata sebanyak
17% kekerasan terhadap anak terjadi di sekolah. Pada 2013, tercatat 181 kasus yang berujung
pada tewasnya korban, 141 kasus korban menderita luka berat, dan 97 kasus korban luka ringan.
Tindakan kekerasan di sekolah bisa dilakukan oleh guru, kepala sekolah, bahkan sesama peserta
didik. Di Amerika saja diketahui bahwa 1 dari 4 siswa menjadi korban penggencetan setiap
harinya. School Bullying Statistics juga menemukan bahwa dalam 85 persen kasus bullying tidak
dihentikan oleh tenaga pendidik (Andina, 2014).
Sebuah studi fenomenologis yang berjudul Kekerasan kata-kata (verbal abuse) pada remaja
(Arsih, 2010) mencoba mendeskripsikan pengalaman verbal abuse pada remaja. Melalui studi
kualitatif dengan pendekatan deskriptif fenomenologi, Ia mewawancarai secara mendalam 4
(empat) orang Remaja SMP dengan usia 13-15 tahun. Remaja tersebut pernah mendapatkan
perlakuan kekerasan kata-kata (Verbal abuse). Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan
kekerasan kata-kata (Verbal abuse) yang mereka dapatkan berupa memanggil nama dengan
nama hewan, mengatai “bodoh”, mencaci maki, marah-marah. Perasaan mereka ketika
mendapatkan perlakuan kekerasan kata-kata (verbal abuse) adalah sedih, dendam dan ingin
membalas. Respon ketika mendapatkan kekerasan kata-kata (Verbal abuse) adalah
menghiraukan orang yang melakukan kekerasan kata-kata (Verbal abuse) dan ingin membantah.
Kekerasan tersebut berdampak pada mereka. Dampak negative secara psikis dari kekerasan
kata-kata (verbal abuse) adalah perasaan kecewa, malu, pemarah dan menurunkan martabat
remaja. Selain dampak psikis yang dirasakan setelah mendapatkan kekerasan kata-kata (verbal
abuse), ada juga dampak positifnya, yaitu anak akan cenderung menurut pada orangtua, karena
merasa takut, namun hal ini tidak akan bertahan lama.
Bullying oleh teman-teman bukan satu-satunya pengalaman kekerasan yang aku alami selama
hidupku. Di rumah aku mendapatkan kekerasan verbal (psikis) dari mama. Ketika kemudian aku
tinggal di Panti asuhan, aku mengalami tidak hanya kekerasan verbal namun juga kekerasan fisik
dan seksual. Aku tinggal di panti asuhan karena alasan keterbatasan ekonomi mama dan juga
ketidakmampuan mama untuk menghidupi aku dan adikku.
Pada tahun 2010 hingga 2014 Data Komisi Nasional (Komnas) Anak mencatat sebanyak
21.869.797 merupakan kasus kekerasan anak, yang tersebar di 34 provinsi, dan 179 kabupatan
dan kota. Sebesar 42-58% dari pelanggaran hak anak itu, katanya, merupakan kekerasan seksual
terhadap anak. Dari data tersebut jenis yang paling sering dialami adalah adanya pelecehan
seksual terhadap anak berupa sodomi, dan pemerkosaan. Selebihnya adalah kasus kekerasan
fisik, dan penelantaran anak. Sejak Januari hingga April 2014 Komisioner KPAI mengatakan,
bentuk 622 kasus kejahatan terhadap anak terdiri dari kekerasan fisik, kekerasan psikis dan
kekerasan seksual. Untuk kasus kekerasan fisik terhadap anak sebanyak 94 kasus, kekerasan
psikis sebanyak 12 kasus dan kekerasan seksual sebanyak 459 kasus (Ant, 2014).
Anak-anak korban penelantaran juga memiliki angka yang terus meningkat. Pada tahun 2009
Dirjen Yanresos dari Departement Sosial RI melaporkan 17.694.000 anak balita terlantar dan ada
yang hampir terlantar. Sementara itu anak yang baru mendapatkan pelayanan sosial baru
mencapai 1.186.941 jiwa atau 6,71 persen saja, sedangkan 5,4 juta anak-anak di Indonesia dalam
kondisi terlantar dan membutuhkan perlindungan dari Negara. (Sirait, 2011).
Sedangkan data dan korban kekerasan seksual terhadap anak setiap tahun terjadi peningkatan.
Pada 2010, ada 2.046 kasus, diantaranya 42% kejahatan seksual. Pada 2011 terjadi 2.426 kasus
(58% kejahatan seksual), dan 2012 ada 2.637 kasus (62% kejahatan seksual). Pada 2013, terjadi
peningkatan yang cukup besar yaitu 3.339 kasus, dengan kejahatan seksual sebesar 62%.
2
Sedangkan pada 2014 (Januari-April), terjadi sebanyak 600 kasus atau 876 korban, diantaranya
137 kasus adalah pelaku anak, selain itu kasus serupa juga menimpa 11 pelajar di Medan, yang
dilakukan oleh gurunya yang merupakan warga negara Singapura. Juga di Tenggarong,
Kalimantan Timur, seorang guru melakukan sodomi kepada muridnya. Bahkan di tahun 2010 lalu,
kasus pedofilia yang disertai kasus pembunuhan dan mutilasi menimpa empat belas anak jalanan
di Jakarta. Pelakunya adalah Babe Baikuni yang dikenal dengan sebutan 'Babe'. Berdasarkan
laporan yang masuk ke Komisi Nasional Perlindungan Anak setiap hari, 60 persen merupakan
kejahatan seksual terhadap anak. (Wardah, 2015 ).
Kasus kekerasan seksual anak jarang dilaporkan kepada pihak yang berwajib. Direktur Jenderal
Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak Kementerian Kesehatan (Kemkes) RI dr Anung
Sugihantono, M.Kes mengatakan, salah satu kendala yang dihadapi dalam mengatasi kasus
kekerasan terhadap anak adalah minimnya kesadaran masyarakat dan tenaga kesehatan untuk
melaporkan kejadian kekerasan tersebut. Padahal, laporan sangat penting untuk mencegah tindak
kekerasan terus berlanjut. Mengapa orang tidak ingin melaporkan? Menurut Susanto sebenarnya
kasus kekerasan seksual terhadap anak sudah ada sejak dulu. Tapi masyarakat enggan melapor
karena malu dan tidak yakin bakal diproses hukum.Berdasarkan catatan KPAI, kata Susanto,
sejak Januari sampai Mei 2014 tercatat lebih dari 400 pengaduan kekerasan terhadap anak.
(Sinaga, 2014 ).
Dampak kekerasan sangat buruk pada anak-anak. Anak yang mengalami kekerasan dapat
mengalami dampak jangka pendek ataupun jangka panjang. Dampak jangka pendek, terutama
berhubungan dengan masalah fisik antara lain : lembam, lecet, luka bakar, patah tulang,
kerusakan organ, robekan selaput dara, keracunan, gangguan susunan syaraf pusat. Selain itu
seringkali terjadi gangguan emosi atau perubahan perilaku seperti menjadi pendiam, menangis
dan menyendiri. Sementara itu, dampak jangka panjang dapat terjadi pada kekerasan fisik,
seksual, dan emosional. Pada kekerasan emosional, dampak jangka panjangnya adalah anak
menjadi tidak percaya diri, hiperaktif, sukar bergaul, rasa malu dan bersalah, cemas, depresi,
psikosomatik, gangguan pengendalian diri, kepribadian ganda, gangguan tidur, psikosis dan
penggunaan napza. Pada kekerasan fisik dampak jangka panjangnya meliputi kecacatan yang
dapat menggangu fungsi anggota tubuh. Sementara, dampak jangka panjang kekerasan seksual
adalah kehamilan yang tidak diinginkan, infeksi menular seksualo termasuk HIV/ AIDS, gangguan
atau ketusakan organ reproduksi. (Kembaren, 2014).
Seorang peneliti yang bernama Paul Frick dari Universitas New Orleans, AS (Riswanto, 2014)
mengatakan bahwa memukul (spanking) bisa menyebabkan anak mengalami gangguan
emosional dan perilaku. Anak-anak yang sering dipukul menunjukkan tanda-tanda depresi atau
kepercayaan diri yang rendah. Anak yang kerap dipukul justru belajar bahwa setiap kali mereka
kesal atau marah, mereka akan dipukul. Anak malah tidak memahami bahwa tindakannya salah
dan harus memperbaiki perilakunya. Singkatnya, anak mereproduksi tindakan kekerasan yang
pernah dilakukan kepada mereka untuk ditujukan pada orang lain. Hal ini belakangan yang aku
sadari dari perilaku aku. Aku mulai menggunakan kekerasan dalam setiap menghadapi konflik.
Pada penelitian ini,aku ingin melihat kekerasan yang terjadi pada diriku, cara aku bertahan dari
semua jenis kekerasan yang aku alami sebagai upaya untuk bertahan dan keluar dari krisis. Aku
juga akan menjabarkan cara kekerasan tersebut secara tidak aku sadari telah aku reproduksi
dalam berelasi dengan orang lain..
Penelitian ini akan mengakhiri kebisuanku bertahun-tahun dan sungguh merupakan suatu
keberanian bagiku untuk membongkar rahasia yang terdalam dari kehidupan pribadiku,
membongkar satu persatu rasa sakit, untuk berdamai dengan ku sendiri. Kisah kehidupanku
tersebut ku ungkapkan untuk lebih memahami dan menerima diri ku sebagaimana adanya,
menumbuhkan rasa penghargaan untuk mengambil langkah ke depan dalam membangun
kehidupan yang lebih baik.
Penelitian ini berbentuk autobiografi, dengan mengikuti alur tahap perkembangan Erikson yang
dalam setiap tahapnya digambarkan upaya-upaya individu untuk terlepas dari crisis nya. Dengan

3
mengidentifikasi upaya ku untuk bertahan pada kehidupan penuh kekerasan yang aku alami, aku
berharap akan menumbuhkan konsep diri positif pada diriku.

1.2 Rumusan Masalah


Melalui karya ku ini, aku ingin agar semua orang yang membaca bisa mengetahui bagaimana
cerita diriku dan juga memahami alasan mengapa aku menjadi pribadi yang keras kepala, egois,
susah untuk percaya kepada orang lain dan juga perilaku ku yang mereproduksi kekerasan dari
masa lalu yang ku alami. Dalam penelitian ini dengan teori Erikson aku ingin melihat :
1. Krisis apa sajakah yang aku alami hingga usia 22 tahun?
2. Bagaimana aku bisa bertahan pada krisis tersebut?
3. Apa dampak dari krisis yang sudah aku alami selama ini?

1.3 Fokus Penelitian


Di dalam diri seseorang pasti memiliki banyak permasalahan di dalamnya. Banyak aspek dalam
setiap permasalahannya, begitu juga denganku. Oleh karena itu aku tidak bisa membahas semua
permasalahan yang ku alami, dan aku membatasi penelitian ini dengan masalah kekerasan yang
ku alami baik dari lingkungan keluarga dan lingkungan sekitar. Untuk memahami krisis-krisis yang
aku alami dari aku usia 10 tahun sampai dengan 22 tahun aku berdasar teori perkembangan
psikososial yang dikemukakan Erick H. Erickson. Teori ini juga akan menjelaskan bagaimana
dinamika perjalanan aku dalam bertahan melewati krisis-krisis yang terjadi dalam kehidupan aku.

1.4 Tujuan Penelitian


Penelitian kualitatif autobiografi ini sebagai pengungkapan diri yang bertujuan untuk memeroleh
pemahaman yang mendalam mengenai fenomena kekerasan dan krisis yang aku alami selama ini
yang membentuk perilakuku di masa sekarang dan juga memahami diri sendiri dengan melakukan
pembongkaran terhadap kiris yang aku alami dalam hidup untuk bisa berdamai dan mengubah
perilaku kekerasan yang ada di dalam diriku.

1.5 Manfaat Penelitian


1. Bagi diriku, yaitu membantu aku untuk memahami dan memaknai peristiwa hidup, sehingga
dapat diketahui akar permasalahan yang terjadi di dalam diri khususnya dan lingkungan
sekitar, agar dapat memperbaiki diri.
2. Bagi orangtua, aku ingin memberikan informasi bahwa tidak semua masalah dapat
diselesaikan dengan kekerasan, sekaligus beserta dampak yang akan terjadi pada anak yang
mendapatkan kekerasan, agar orangtua dapat memahami bagaimana bersikap terhadap anak.
3. Bagi pembaca, aku ingin menginspirasi semua anak-anak yang juga mengalami tindak
kekerasan dalam keluarga maupun lingkungan sekitar untuk mulai berani mengutarakan apa
yang kalian rasakan, agar para pelaku kekerasan tidak berani melakukan kekerasan lagi dan
juga anak-anak bisa mendapatkan perlindungan.
4. Bagi ilmu psikologi, karya ini dapat menjadi salah satu sumber refrensi bagi dunia pendidikan
dan dunia psikologi, khususnya Psikologi Perkembangan untuk memperkaya teori tentang
masa-masa yang terjadi dalam perkembangan anak dan juga pengaruh peran lingkungan
sosial terhadap perkembangan individu.
5. Bagi psikolog maupun konselor keluarga, karya ini merupakan masukan kasus nyata yang
dihadapi seorang anak yang mengalami bullying secara verbal, kekerasan fisik dan seksual.
Karya ini merupakan pengakuan di mana adanya perasaan tidak berdaya, tertolak, diabaikan,
sedih, tidak berharga yang membuat dirinya menganggap dirinya lemah dan tidak bernilai. Hal
ini dapat menjadi reverensi kasus intervensi dan terapi yang cocok bagi anak yang mengalami
masalah yang sama.

Anda mungkin juga menyukai