BAB I
PENDAHULUAN
“You are worthy of love, now just lift your head up or your crown will fall”
1
Kebanyakan dari kekerasan fisik dan seksual yang terjadi dimulai dengan verbal abuse. Ada
sebuah penelitian yang diadakan para wanita yang tinggal di pedesaan, emotional abuse yang
termasuk dalam verbal abuse ini harus dialami oleh 100% wanita yang tinggal dengan pasangan
yang melakukan kekerasan secara fisik (Bosch & Bergen, 2006). Seorang wanita yang mengalami
verbally abuse melaporkan bahwa Ia merasa jiwanya mati secara perlahan. Ketika pertempuran
verbal membuat terjadinya penyerangan fisik, laki-laki memilki keuntungan yang sangat jelas,
karena laki-laki biasanya lebih kuat dari wanita dan sering kali menyebabkan kerugian secara fisik.
Bullying tidak hanya terjadi dalam bentuk verbal. Dari hasil penelitian KPAI ternyata sebanyak
17% kekerasan terhadap anak terjadi di sekolah. Pada 2013, tercatat 181 kasus yang berujung
pada tewasnya korban, 141 kasus korban menderita luka berat, dan 97 kasus korban luka ringan.
Tindakan kekerasan di sekolah bisa dilakukan oleh guru, kepala sekolah, bahkan sesama peserta
didik. Di Amerika saja diketahui bahwa 1 dari 4 siswa menjadi korban penggencetan setiap
harinya. School Bullying Statistics juga menemukan bahwa dalam 85 persen kasus bullying tidak
dihentikan oleh tenaga pendidik (Andina, 2014).
Sebuah studi fenomenologis yang berjudul Kekerasan kata-kata (verbal abuse) pada remaja
(Arsih, 2010) mencoba mendeskripsikan pengalaman verbal abuse pada remaja. Melalui studi
kualitatif dengan pendekatan deskriptif fenomenologi, Ia mewawancarai secara mendalam 4
(empat) orang Remaja SMP dengan usia 13-15 tahun. Remaja tersebut pernah mendapatkan
perlakuan kekerasan kata-kata (Verbal abuse). Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan
kekerasan kata-kata (Verbal abuse) yang mereka dapatkan berupa memanggil nama dengan
nama hewan, mengatai “bodoh”, mencaci maki, marah-marah. Perasaan mereka ketika
mendapatkan perlakuan kekerasan kata-kata (verbal abuse) adalah sedih, dendam dan ingin
membalas. Respon ketika mendapatkan kekerasan kata-kata (Verbal abuse) adalah
menghiraukan orang yang melakukan kekerasan kata-kata (Verbal abuse) dan ingin membantah.
Kekerasan tersebut berdampak pada mereka. Dampak negative secara psikis dari kekerasan
kata-kata (verbal abuse) adalah perasaan kecewa, malu, pemarah dan menurunkan martabat
remaja. Selain dampak psikis yang dirasakan setelah mendapatkan kekerasan kata-kata (verbal
abuse), ada juga dampak positifnya, yaitu anak akan cenderung menurut pada orangtua, karena
merasa takut, namun hal ini tidak akan bertahan lama.
Bullying oleh teman-teman bukan satu-satunya pengalaman kekerasan yang aku alami selama
hidupku. Di rumah aku mendapatkan kekerasan verbal (psikis) dari mama. Ketika kemudian aku
tinggal di Panti asuhan, aku mengalami tidak hanya kekerasan verbal namun juga kekerasan fisik
dan seksual. Aku tinggal di panti asuhan karena alasan keterbatasan ekonomi mama dan juga
ketidakmampuan mama untuk menghidupi aku dan adikku.
Pada tahun 2010 hingga 2014 Data Komisi Nasional (Komnas) Anak mencatat sebanyak
21.869.797 merupakan kasus kekerasan anak, yang tersebar di 34 provinsi, dan 179 kabupatan
dan kota. Sebesar 42-58% dari pelanggaran hak anak itu, katanya, merupakan kekerasan seksual
terhadap anak. Dari data tersebut jenis yang paling sering dialami adalah adanya pelecehan
seksual terhadap anak berupa sodomi, dan pemerkosaan. Selebihnya adalah kasus kekerasan
fisik, dan penelantaran anak. Sejak Januari hingga April 2014 Komisioner KPAI mengatakan,
bentuk 622 kasus kejahatan terhadap anak terdiri dari kekerasan fisik, kekerasan psikis dan
kekerasan seksual. Untuk kasus kekerasan fisik terhadap anak sebanyak 94 kasus, kekerasan
psikis sebanyak 12 kasus dan kekerasan seksual sebanyak 459 kasus (Ant, 2014).
Anak-anak korban penelantaran juga memiliki angka yang terus meningkat. Pada tahun 2009
Dirjen Yanresos dari Departement Sosial RI melaporkan 17.694.000 anak balita terlantar dan ada
yang hampir terlantar. Sementara itu anak yang baru mendapatkan pelayanan sosial baru
mencapai 1.186.941 jiwa atau 6,71 persen saja, sedangkan 5,4 juta anak-anak di Indonesia dalam
kondisi terlantar dan membutuhkan perlindungan dari Negara. (Sirait, 2011).
Sedangkan data dan korban kekerasan seksual terhadap anak setiap tahun terjadi peningkatan.
Pada 2010, ada 2.046 kasus, diantaranya 42% kejahatan seksual. Pada 2011 terjadi 2.426 kasus
(58% kejahatan seksual), dan 2012 ada 2.637 kasus (62% kejahatan seksual). Pada 2013, terjadi
peningkatan yang cukup besar yaitu 3.339 kasus, dengan kejahatan seksual sebesar 62%.
2
Sedangkan pada 2014 (Januari-April), terjadi sebanyak 600 kasus atau 876 korban, diantaranya
137 kasus adalah pelaku anak, selain itu kasus serupa juga menimpa 11 pelajar di Medan, yang
dilakukan oleh gurunya yang merupakan warga negara Singapura. Juga di Tenggarong,
Kalimantan Timur, seorang guru melakukan sodomi kepada muridnya. Bahkan di tahun 2010 lalu,
kasus pedofilia yang disertai kasus pembunuhan dan mutilasi menimpa empat belas anak jalanan
di Jakarta. Pelakunya adalah Babe Baikuni yang dikenal dengan sebutan 'Babe'. Berdasarkan
laporan yang masuk ke Komisi Nasional Perlindungan Anak setiap hari, 60 persen merupakan
kejahatan seksual terhadap anak. (Wardah, 2015 ).
Kasus kekerasan seksual anak jarang dilaporkan kepada pihak yang berwajib. Direktur Jenderal
Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak Kementerian Kesehatan (Kemkes) RI dr Anung
Sugihantono, M.Kes mengatakan, salah satu kendala yang dihadapi dalam mengatasi kasus
kekerasan terhadap anak adalah minimnya kesadaran masyarakat dan tenaga kesehatan untuk
melaporkan kejadian kekerasan tersebut. Padahal, laporan sangat penting untuk mencegah tindak
kekerasan terus berlanjut. Mengapa orang tidak ingin melaporkan? Menurut Susanto sebenarnya
kasus kekerasan seksual terhadap anak sudah ada sejak dulu. Tapi masyarakat enggan melapor
karena malu dan tidak yakin bakal diproses hukum.Berdasarkan catatan KPAI, kata Susanto,
sejak Januari sampai Mei 2014 tercatat lebih dari 400 pengaduan kekerasan terhadap anak.
(Sinaga, 2014 ).
Dampak kekerasan sangat buruk pada anak-anak. Anak yang mengalami kekerasan dapat
mengalami dampak jangka pendek ataupun jangka panjang. Dampak jangka pendek, terutama
berhubungan dengan masalah fisik antara lain : lembam, lecet, luka bakar, patah tulang,
kerusakan organ, robekan selaput dara, keracunan, gangguan susunan syaraf pusat. Selain itu
seringkali terjadi gangguan emosi atau perubahan perilaku seperti menjadi pendiam, menangis
dan menyendiri. Sementara itu, dampak jangka panjang dapat terjadi pada kekerasan fisik,
seksual, dan emosional. Pada kekerasan emosional, dampak jangka panjangnya adalah anak
menjadi tidak percaya diri, hiperaktif, sukar bergaul, rasa malu dan bersalah, cemas, depresi,
psikosomatik, gangguan pengendalian diri, kepribadian ganda, gangguan tidur, psikosis dan
penggunaan napza. Pada kekerasan fisik dampak jangka panjangnya meliputi kecacatan yang
dapat menggangu fungsi anggota tubuh. Sementara, dampak jangka panjang kekerasan seksual
adalah kehamilan yang tidak diinginkan, infeksi menular seksualo termasuk HIV/ AIDS, gangguan
atau ketusakan organ reproduksi. (Kembaren, 2014).
Seorang peneliti yang bernama Paul Frick dari Universitas New Orleans, AS (Riswanto, 2014)
mengatakan bahwa memukul (spanking) bisa menyebabkan anak mengalami gangguan
emosional dan perilaku. Anak-anak yang sering dipukul menunjukkan tanda-tanda depresi atau
kepercayaan diri yang rendah. Anak yang kerap dipukul justru belajar bahwa setiap kali mereka
kesal atau marah, mereka akan dipukul. Anak malah tidak memahami bahwa tindakannya salah
dan harus memperbaiki perilakunya. Singkatnya, anak mereproduksi tindakan kekerasan yang
pernah dilakukan kepada mereka untuk ditujukan pada orang lain. Hal ini belakangan yang aku
sadari dari perilaku aku. Aku mulai menggunakan kekerasan dalam setiap menghadapi konflik.
Pada penelitian ini,aku ingin melihat kekerasan yang terjadi pada diriku, cara aku bertahan dari
semua jenis kekerasan yang aku alami sebagai upaya untuk bertahan dan keluar dari krisis. Aku
juga akan menjabarkan cara kekerasan tersebut secara tidak aku sadari telah aku reproduksi
dalam berelasi dengan orang lain..
Penelitian ini akan mengakhiri kebisuanku bertahun-tahun dan sungguh merupakan suatu
keberanian bagiku untuk membongkar rahasia yang terdalam dari kehidupan pribadiku,
membongkar satu persatu rasa sakit, untuk berdamai dengan ku sendiri. Kisah kehidupanku
tersebut ku ungkapkan untuk lebih memahami dan menerima diri ku sebagaimana adanya,
menumbuhkan rasa penghargaan untuk mengambil langkah ke depan dalam membangun
kehidupan yang lebih baik.
Penelitian ini berbentuk autobiografi, dengan mengikuti alur tahap perkembangan Erikson yang
dalam setiap tahapnya digambarkan upaya-upaya individu untuk terlepas dari crisis nya. Dengan
3
mengidentifikasi upaya ku untuk bertahan pada kehidupan penuh kekerasan yang aku alami, aku
berharap akan menumbuhkan konsep diri positif pada diriku.