Warna Lokal Teks Amir Hamzah Dalam Serat Baebee3c
Warna Lokal Teks Amir Hamzah Dalam Serat Baebee3c
ABSTRACT
The receptive analysis of the Hikayat Amir Hamzah (HAH) text shows active response from the
readers through the creation of new text such as Serat Menak (Sr.Mn.). The relationship between both
of them can be seen in its adaptations into Javanese literature (Sr.Mn.) in which HAH undergoes some
changes. The author adjusted H A H to suit the Javanese literary and cultural traditions, e.g. Sr.Mn. is
composed in the form of tembang (poetry), the name of the characters are adapted into Javanese culture;
there are previously unnamed characters which are given names in Sr.Mn.; the history (background) of
some characters is made clearly; and more titles (from pewayangan) are attributed to Amir Hamzah and
Umar Umayah.
* Staf Pengajar Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
114
Kun Zachrun Istanti, Warna Lokal Teks Amir Hamzah dalam Serat Menak
daripada HAH sebab orang Jawa suka tra yang lain, baik dalam hal persamaan mau-
menambah dan memperluas semua cerita pun dalam hal pertentangannya (Riffaterre,
yang dibacanya (Van Ronkel, 1895: 184; 1978:11-13). Artinya, sebuah teks sastra itu
Poerbatjaraka, 1957:109). baru dapat dipahami maknanya secara
Dari pembicaraan dalam latar belakang sepenuhnya setelah diketahui hubungannya
terlihat bahwa teks Melayu HAH telah men- dengan teks yang lain yang menjadi latar
dapat tanggapan dari pembaca. Teksnya telah penciptaannya. Karya sastra yang menjadi
dilibatkan dalam proses penciptaan teks-teks latar penciptaan disebut hypogram (Riffaterre,
sastra di Semenanjung dan daerah-daerah di 1978:11). Dalam hubungan ini dikemukakan
Indonesia dari masa ke masa. bahwa tiap teks karya sastra itu merupakan
Apabila HAH Melayu yang pada dasarnya mosaik kutipan-kutipan dan merupakan
merupakan bentuk sambutan atau bentuk penyerapan dan transformasi teks-teks lain
transformasi dari teks Amir Hamzah yang juga (Culler, 1977:139). Artinya, pengarang kemudian
terdapat dalam berbagai khazanah sastra di itu mengambil hal-hal yang bagus dari teks-
berbagai bagian dunia, maka pentinglah arti teks lain berdasarkan tanggapannya dan
penelitian yang dapat mengikutsertakan diolahnya kembali ke dalam teks yang
bentuk-bentuk transformasinya pada berbagai ditulisnya. Hal yang diambil itu tampak seperti
bahasa. Penelitian yang mempunyai jangkauan mosaik yang bagus (seperti pecahan-pecahan
yang luas itu memerlukan bekal pengetahuan keramik yang ditata dalam tembok). Unsur-
yang luas pula sekurang-kurangnya penge- unsur dari bermacam-macam barang itu
tahuan tentang bahasa dan sastra yang menjadi kesatuan yang padu dalam lukisan
membangun teksnya. Kajian terhadap segenap mosaik. Teks-teks lain itu diumpamakan se-
bentuk transformasi teks Amir Hamzah pada perti keramik yang dipecah-pecah dan diambil
berbagai bahasa itu tidak dilakukan dalam studi (diserap) kemudian ditata, dikombiasikan ke
ini. Dalam studi ini, kajian dipusatkan pada dalam sebuah ciptaan (ditransformasikan)
Serat Ménak. Pembicaraan pokok masalah itu berdasarkan rasa keindahan si seniman. Jadi,
didasarkan pada karya sastra Jawa yang seniman itu mendapat gagasan menciptakan
menyimpan bentuk sambutan terhadap teks karyanya setelah melihat (meresapi dan
Amir Hamzah. Penetapan teks tersebut menyerap) teks-teks lain yang menarik, baik
menjadi dasar kajian ini karena Serat Ménak secara sadar ataupun tidak sadar. Ia menang-
adalah teks Amir Hamzah yang tercipta dengan gapi dan menyerap teks lain baik konvensi
latar sosio-budaya Jawa, memiliki karakteristik sastranya, estetikanya, maupun pikiran-
sebagai bangun struktur sastra yang utuh, dan pikirannya kemudian mentransformasikannya
mewakili jenis proses penciptaan dan tang- dengan disertai gagasan dan konsep este-
gapan pembacanya. tikanya hingga terjadi perpaduan yang baru.
Memahami karya sastra adalah usaha Dengan demikian, terciptalah teks baru yang
menangkap makna karya itu. Untuk keperluan bersifat pribadi. Konvensi-konvensi atau
itu, konteks kesejarahan karya sastra perlu gagasan-gagasan teks yang diserap itu masih
diperhatikan. Dalam kaitannya dengan konteks dapat dikenali dalam teks ciptaan yang baru
kesejarahan, dalam penelitian ini, hal-hal yang itu. Jadi, sebuah karya sastra baru dapat
diperhatikan adalah prinsip intertekstualitas ditangkap maknanya dalam kaitannya dengan
dan teori penerimaan (resepsi). teks-teks lain yang menjadi hypogram-nya.
Prinsip intertekstualitas adalah hubungan Prinsip intertekstualitas ini menempatkan
antara satu teks dengan teks lain. Suatu karya pengarang berada di tengah-tengah arus
sastra biasanya baru dapat dimaknai secara sastranya dan sastra universal. Ia selalu me-
penuh dalam hubungannya dengan karya sas- nanggapi, meresapi, menyerap karya sastra
115
Humaniora, Vol. 18, No. 2 Juni 2006: 114−124
lain dan mentransformasikannya ke dalam ary repertoire (Iser, 1978:69). Literary reper-
karyanya. Dengan demikian, ia selalu men- toire adalah gudang pengetahuan pembaca
ciptakan karya sastra asli sebab dalam yang berisi seperangkat norma sosial, historis,
mentransformasikan teks lain itu, seorang dan budaya yang dimanfaatkan dalam proses
pengarang mengolah pandangannya sendiri, pembacaan. Literary repertoire itu pun ter-
dengan horison harapannya sendiri. Dalam hal kandung dalam teks yang dibaca. Selain itu,
ini, prinsip intertekstualitas bercampur dengan teks itu sendiri menyimpan sejumlah literary
teori penerimaan (resepsi) sastra. Dalam teori strategies agar dapat dikomunikasikan kepada
resepsi sastra, setiap teks yang merupakan pembaca (Iser, 1978:86). Reaksi pembaca
transformasi teks lain itu adalah ciptaan asli, suatu karya sastra dapat dilihat dalam bentuk
bahkan termasuk juga teks salinan yang dibuat penerimaan dan sambutan pembaca dari
lain dari teks aslinya. Dalam menyalin atau sistem sastra yang berbeda atau dari konvensi
menyadur, si penyalin atau penyadur selalu bahasa yang berbeda.
menyertakan gagasan dan horison harapannya
sendiri ke dalam teks hasil salinannya atau TEKS AMIR HAMZAH DALAM TRADISI JAWA
sadurannya. Dalam kesusastraan Jawa, teks Amir
Karya sastra yang tercipta pada beberapa Hamzah dikenal dengan Serat Ménak.
kurun yang lampau dapat dikenali melalui Masyarakat Jawa banyak yang mengenal teks
wujud transformasinya dan melalui wujud ini dan bahkan dari bagian teks ini dijadikan seni
bentuk tanggapan terhadap teksnya. Apabila pertunjukan rakyat (misalnya Srandul), di-
wujud teks transformasi atau teks penyam- pentaskan dalam bentuk wayang golek Ménak,
butnya itu bermacam-macam, hal itu menandai dan dalam tari Ménak.
adanya sambutan yang intensif. Pemunculan Dalam sejarah masuk dan persebaran aga-
suatu teks dalam teks-teks yang tercipta ma Islam di Jawa, agama Islam mengalami
kemudian merupakan penyambutan dalam perkembangan yang cukup unik. Berikut di-
horison harapan yang sesuai dengan minat kemukakan keunikan itu. Dari segi agama, suku
dan selera penyambutnya (Krat, 1981). Dari bangsa Jawa sebelum menerima pengaruh
sejarah penerimaan karya sastra, terlihat agama dan kebudayaan Hindu, masih dalam
bahwa karya sastra tidak selalu mendapat taraf animistis dan dinamistis, yakni suatu
penerimaan yang sama dari waktu ke waktu kepercayaan tentang adanya kekuatan gaib
dan dari satu masyarakat pembaca ke masya- atau daya magi yang terdapat pada benda,
rakat pembaca yang lain (Jauss, 1974). tumbuh-tumbuhan, dan binatang yang di-
Fenomena di atas menarik untuk penelitian anggap memiliki daya sakti. Dalam taraf
teks sastra yang didasarkan pada faktor kepercayaan seperti itu, suku bangsa Jawa
penerimaan atau penelitian yang ditumpukan menerima pengaruh kebudayaan dan agama
kepada reaksi pembaca dalam menghadapi Hindu. Hinduisme di Jawa menyebar melalui
teks sastra. Teks sastra adalah suatu produk pemahaman dan pengolahan para bangsawan
seni yang diciptakan dengan unsur estetika. dan cendekiawan. Dari pemahaman dan
Suatu teks sastra sebelum terjangkau oleh pengolahan para cendekiawan itulah orang-
pembaca masih berupa artefak dan baru orang awam menerima pengaruh Hinduisme.
berwujud sebagai objek estetik melalui Para cendekiawan yang mengerti bahasa
partisipasi aktif pembaca (di antaranya yang Sansekerta lalu mengolah huruf-huruf yang
terlihat pada bentuk-bentuk kreativitasnya). berasal dari Hindu untuk menulis bahasa Jawa.
Pembaca dalam menghadapi karya sastra Penggunaan tata tulis huruf Jawa merupakan
telah membawa sejumlah bekal berupa titik mula masa sejarah bagi suku bangsa Jawa.
pengetahuan dan pengalaman. Bekal penge- Penggunaan huruf Jawa dan perhitungan tahun
tahuan pembaca dikenal dengan istilah liter- Saka merupakan dasar bagi pertumbuhan dan
116
Kun Zachrun Istanti, Warna Lokal Teks Amir Hamzah dalam Serat Menak
117
Humaniora, Vol. 18, No. 2 Juni 2006: 114−124
juga digubah dalam bentuk teater tradisional, Dalam perkembangan berikutnya, Serat
ialah wayang golèk atau wayang thengul. Ménak digubah pula dalam bentuk fragmen-
Wayang golèk di Jawa (Jawa Tengah) yang fragmen tarian, seperti tari golèk ménak. Tari
khusus melakonkan Serat Ménak, dinamakan golèk ménak disebut juga beksa golèk ménak
wayang golèk ménak. Hal itu dimaksudkan atau beksan ménak, mengandung arti
untuk membedakan wayang golèk lain yang menarikan wayang golèk ménak. Tari golèk
tidak melakonkan teks Ménak, misalnya wayang ménak merupakan salah satu jenis tari klasik
golèk purwa yang melakonkan teks wayang gaya Yogyakarta (Jawa) yang diciptakan oleh
purwa dengan cerita Ramayana dan Maha- Sri Sultan Hamengku Buwana IX.
barata (Soedarsono, 1999:279). Wayang golèk Salinan Serat Ménak yang berbentuk
ménak berkiblat pada wayang gedhog, dan macapat sangat populer dan digemari masya-
rakat Kebumen, di antaranya episode Reng-
wayang gedhog dipengaruhi oleh wayang purwa.
ganis. Serat Ménak biasanya dinyanyikan di
Dengan demikian, secara tidak langsung
dalam hajatan khitanan, perkawinan, dan
wayang golèk ménak di-pengaruhi oleh wayang
kelahiran (Tashadi, 1979/1980:5-11).
purwa. Perbedaan yang khas terletak pada
Siklus Ménak dalam sastra Jawa dapat
teknik penampilan, yakni wayang kulit purwa
dikelompokkan menjadi empat kelompok
bergerak dalam dua dimensi sedangkan wayang
(Poerbatjaraka, 1940a, 1957; Pigeaud, 1967),
golèk ménak dalam tiga dimensi. Pengaruh yaitu (a) Ménak Pasisir, (b) Ménak Kartasura,
wayang kulit purwa terhadap wayang golèk (c) Ménak-pang, dan (d) Ménak Yasadipura.
ménak terlihat pada cara dalang nyandra atau Kesusasteraan Jawa pasisir yang berkembang
mengidentifikasi tokoh-tokoh dalam wayang pada abad ke-17 dan 18 menjadikan agama
golèk ménak yang selalu menyebut padanan- Islam sebagai pokok persoalan yang meng-
nya dengan tokoh-tokoh wayang kulit purwa. gantikan kebudayaan pra-Islam, tetapi juga
Kemiripan tokoh-tokoh ada kalanya pada mempertahankan peradaban pendahulunya
keadaan fisiknya dan ada kalanya terdapat pada (Pigeaud, 1967:7). Kebudayaan Islam pasisir
perwatakannya. Kajian tokoh-tokoh dalam menyebar ke pantai-pantai di sekitar Laut Jawa,
Sr.Mn. dengan tokoh-tokoh dalam wayang kulit di antaranya di Jawa, Madura, Lombok, dan
purwa dilakukan oleh dalang Sukarna dari Palembang. Perkembangan kesusasteraan
Yogyakarta, terdapat padanannya, di antaranya Islam pasisir dapat dikelompokkan ke dalam tiga
sebagai berikut (Soedarsono, et al., 1989: 53-54) kelompok, yaitu (1) kelompok timur (Gresik,
Tuban, Madura, Blambangan, dan Lombok); (2)
Tokoh Wayang Tokoh kelompok tengah (Demak, Kudus, Jepara, dan
Golèk Ménak Wayang Purwa Banjarmasin); dan (3) kelompok barat (Cirebon,
Bekti Jamal Abiyasa Banten, Sunda, Lampung, dan Palembang).
Aklas Wajir Sengkuni Serat Ménak Pasisir kemungkinan dianggap teks
Betal Jemur Abiyasa Amir Hamzah Jawa yang langsung ber-
Raja Nusyirwan Suyudana sumberkan HAH.
Bestak Durna Serat Ménak Kartasura yang tertua ditulis
Umar Maya Bathara Narada pada tahun 1639 A.J. (1715 M) atas kehendak
Amir Ambyah Arjuna Kanjeng Ratu Mas Balitar (permaisuri Sri Paduka
Maktal Narayana Paku Buwana I/Pangeran Puger) di Kraton
Lamdahur Werkudara Kartasura. Orang yang mendapat perintah
Umar Madi Burisrawa menulis Serat Ménak adalah Carik Narawita
Kelaswara Srikandi menantu Carik Waladana. Teks Serat Ménak
Adaninggar Banawati Kartasura dekat dengan HAH dan kata-katanya
118
Kun Zachrun Istanti, Warna Lokal Teks Amir Hamzah dalam Serat Menak
119
Humaniora, Vol. 18, No. 2 Juni 2006: 114−124
120
Kun Zachrun Istanti, Warna Lokal Teks Amir Hamzah dalam Serat Menak
HAH Sr.Mn.
Anak Kaisar Rum Bandarngi
Bala tentara Raja Landahur dan asalnya Prabu Siansyah dari Siak
Raja Baskara dari Jambi
Raja Bastulu dari Aceh
Raja Batubara dari Maldewa
Raja Pilkusna dari Prancis
Raja Sanreda dari Inggris
Raja Tahilman dari Spanyol
Dayang-dayang Mahira Nagara Nyi Pradapa
Nyi Salaga
Dua orang wanita yang meracun Amir Hamzah di Serendib Sansikin
Jansikin
Ibu Umar Umayah Siti Maya
Ibu Syekh Siyar Ni Umi Sahsiar
Istri Abdul Mutalib Dewi Katimah
Istri Amir Hamzah (dari Mesir) Sekar Kedaton
Istri Amir Hamzah (adik perempuan Karun) Dewi Sudarawreti
Istri Landahur Retno Prabandari
Istri Raja Sakdan Retno Basirin
Kaisar Rum Raja Kahesa
Ayah Adinigir Hong Tete
Dalam rangka fungsinya, tokoh sentral memerangi raja-raja kafir. Tindakan kepah-
Hamzah dalam HAH mendapat gelar “Amir”. lawanan Amir Hamzah dihubungkan dengan
Bagi Hamzah, gelar merupakan identitas peperangan. Karena keberaniannya dalam
strukturalnya seiring dengan namanya. menghadapi lawannya, terutama ra-ja-raja
Hamzah adalah seorang keturunan bangsa- besar yang menghalang-halangi penyebaran
wan Quraisy. Hamzah mendapat sebutan agama Islam, Amir Hamzah dalam HAH
“amir” karena kata “amir” berasal dari bahasa mendapat berbagai julukan, di antaranya “Raja
Arab amir, yang artinya ‘raja, pangeran, orang Segala Laki-Laki di Medan Perang” (HAH:989),
berpangkat’ (Hava, 1951:13). Keturunan “Amir Arab” (HAH:302, 914), “Johan Pahlawan
bangsawan ini memantapkan kepahlawan-an Mardan Alam” (HAH:145), “Amirul Mukminin”
Hamzah. Dari silsilah ini, dalam Sr.Mn. tokoh (HAH:917, 918). Selain julukan itu, ada julukan
Amir Hamzah mendapat julukan Ménak yang lain bagi Amir Hamzah, yakni “orang yang
dalam bahasa Jawa berarti ‘enak, sebutan mempunyai kelebihan”, “orang yang mengem-
untuk orang berpangkat (raja), sebutan untuk bala alam”.
keturunan bangsawan’ (Poerwadarminta, Dalam Sr.Mn. Ambyah mendapat julukan
1939: 301). Ménak akhirnya menjadi nama yang kemudian menjadi nama panggilannya.
untuk Amir Hamzah. Selain itu, Amir Hamzah Julukan-julukan itu adalah Jayèngmurti, artinya
dalam Sr.Mn. juga memperoleh gelar Wong ‘berperang dengan kekuatan fisik selalu
Agung ‘orang besar/ berpangkat’. menang,’ Surayèngjagat, Surayèngbumi,
Kepahlawanan Amir Hamzah, baik dalam artinya ‘pemberani,’ Kakungingrat, Kakunging-
teks HAH maupun Sr.Mn., terutama dihubung- jagat, artinya ‘laki-laki yang perwira, raja segala
kan dengan tugasnya sebagai pahlawan laki-laki,’ Jayèngrana, artinya ‘menang perang
penyebar agama Islam, seorang yang harus di dalam pengembaraan,’ Wiradiningprang,
121
Humaniora, Vol. 18, No. 2 Juni 2006: 114−124
artinya ‘panglima besar angkatan perang,’ dan panakawan bagi tokoh pahlawan Amir Ambyah
Wong Agung Jayèngpupuh, artinya ‘orang apabila dijuluki “si pencuri” akan menimbulkan
besar/berpangkat yang selalu menang di dalam kesan yang kurang baik di kalangan
peperangan’. Julukan yang dikemukakan masyarakat Jawa.
dalam Sr. Mn. Itu merupakan penyesuaian Motif angka yang di dalam HAH dipakai
dengan budaya Jawa, yakni merupakan untuk membangun struktur teks, khususnya
dasanama (sepuluh nama) yang diambil dari untuk menonjolkan kehebatan tokoh sentral
pewayangan Jawa untuk tokoh sentral. (Amir Hamzah), dalam Sr.Mn. diadaptasikan
Umar Umayah adalah tokoh pendamping ke dalam kebudayaan Jawa. Angka tujuh dalam
Amir Hamzah dalam segala situasi dan di HAH dipakai untuk memberi kesan adanya
segala tempat. Dalam teks HAH, orang tua kesaktian yang mengagumkan bagi tokoh Amir
Umar Umayah (Umayah Zamhari) adalah Hamzah. Dalam Sr.Mn. angka yang dipakai
pesuruh Abdul Mutalib. untuk memberi kesan adanya kesaktian yang
Demi kebutuhan teksnya, Sr.Mn. me- mengagumkan bagi tokoh Amir Ambyah
nyimpangi fungsi Umar Umayah dalam HAH. bukanlah angka tujuh, melainkan angka
Oleh karena hubungan yang akrab antara sembilan. Disebutkan bahwa Amir Ambyah
Umarmaya dengan Amir Ambyah seperti dua mulai menunjukkan kegagahperkasaannya
bersaudara, Umarmaya dikemukakan masih pada usia sembilan tahun. Setelah wafat, dada
saudara sepupu dengan Amir Ambyah, yakni Amir Ambyah dibedah oleh Raja Jenggi lalu
bahwa ‘ibu’ Umarmaya (Siti Maya) adalah hatinya dikeluarkan. Hati Amir Ambyah itu
kakak ‘ayah’ Amir Ambyah (Abdul Mutalib). besar, bernas, dan mempunyai sembilan
Dalam fungsinya sebagai unsur pencetak pasak.
citra kebesaran Amir Hamzah, sebagai Angka sembilan dalam Sr.Mn. yang telah
panglima perang, baik dalam teks HAH diubah dari HAH bukan tidak bermakna. Dalam
maupun dalam teks Sr.Mn., Umar Umayah budaya Jawa, angka sembilan merupakan
mendapat fungsi sebagai ‘abdi’ yang selalu siap angka yang tertinggi dan menjadi simbol
menerima perintah dan melindungi ‘tuannya’ kekuatan. Hal itu dapat diketahui bahwa dalam
atau disebut juga sebagai panakawan. penyebaran agama Islam di Jawa dijumpai
Sementara itu, Umar Umayah dalam HAH adanya sembilan orang wali (wali sanga); pada
diberi julukan “si pencuri”. Hal terakhir itu terjadi setiap badan manusia terdapat sembilan
karena Umar Umayah mempunyai tabiat “suka lubang; ada sembilan orang penari bedhaya
mencuri”. Sejak kecil, Umar Umayah sudah kraton di Yogyakarta dan Surakarta, tetapi di
sering melakukan perbuatan yang kurang luar kraton jumlah penari boleh tujuh orang. Hal
terpuji itu. Di antara perbuatannya itu adalah itu terjadi agar orang luar kraton tidak
mencuri kaos gurunya, mencuri kuda milik menyamai kraton.
seorang kafilah, dan mencuri sujen Raja
Nusyirwan. SIMPULAN
Julukan Umarmaya dalam Sr.Mn. diubah Transformasi teks Amir Hamzah dari
oleh penyusunnya. Ia mendapat julukan Ki sastra Melayu (HAH) ke dalam sastra Jawa
Pulangwesi, artinya ‘mempunyai kekuatan luar (Sr.Mn.) terjadi penyimpangan. Ada nama yang
biasa’, Ki Tambakcangkol, artinya ‘orang yang disesuaikan dengan lafal budaya Jawa untuk
berasal dari Tambakcangkol’, Cemuris, artinya memperlancar ucapan bagi orang Jawa,
‘panakawan’, Pothet Tambakcangkol, artinya misalnya: Keyusnihzehdar – Kewusnendar;
‘si pendek dari Tambakcangkol’, dan Guritwesi, Mahira Nagara – Muninggar; Syah Sur Alam –
artinya ‘memiliki kekuatan besar dalam ber- Sirul Ngalam. Ada nama yang dihilangkan satu
syair/menyanyi’. Penyimpangan untuk julukan fonem, misalnya Umar Umayah – Marmaya;
Umar Umayah itu terjadi karena seorang Umar Makdi – Marmadi. Ada na-ma yang
122
Kun Zachrun Istanti, Warna Lokal Teks Amir Hamzah dalam Serat Menak
dibaca berbeda, misalnya: Kilisuri – Kelaswara; ———. 1957. Kapustakaan Djawa. Djakarta: Djambatan.
Gawilinggi – Gulangge. Ada nama yang diberi Poerwadarminta, W.J.S; C.S. Hardjasudarmo, J.C.H.R;
identitas, misalnya: anak Kaisar Rum – Poedjasoedira. 1939. Baoesastra Djawa.Batavia:J.B
Bardangi; dayang-dayang Mahira Nagara – Nyi Wolters Uitgevers Maatschappij N.V.
Riffaterre, Michael. 1978. Semiotic of Poetry. Bloomington
Pradopo dan Nyi Salaga. Ada julukan yang
and London: Indiana University Press.
merupakan penyesuaian dengan pewayangan
Ronkel, Ph.S. van. 1895. De Roman van Amir Hamza.Leiden:
Jawa (dasanama = sepuluh nama), misalnya E.J.Brill.
Amir Hamzah – Jayèngrana, Jayèngmurti, Simuh. 1985. “Unsur-Unsur Islam dalam Kepustakaan
Surayèngjagat, Surayèngbumi, Ménak, Jawa” dalam Soedarsono etal. (1985) Pengaruh India,
Wiradiningprang, Jayèngpupuh, Wong Agung, Islam, dan Barat dalam Proses
Kakungingrat, Kakuningjaga. Motif angka Pembentukan Kebudayaan Jawa. Yogyakarta: Proyek
dalam Sr.Mn. juga disesuaikan dengan budaya Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara
(Javanologi) Direktorat Jenderal Kebudayaan
Jawa.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Soedarsono, R.M. 1984/1985. “Sejarah Visualisasi
DAFTAR RUJUKAN Karakter dalam Tari Jawa Yogyakarta” dalam
Behrend, T.E. 1998. Katalog Induk Naskah-Naskah Soedarsono, R.M etal. 1984/1985. Gamelan, Drama
Nusantara (Jilid 4) Perpustakaan Nasional Republik Tari, dan Komedi Jawa. Yogyakarta: Proyek Penelitian
Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara (Javanologi)
Culler, Jonathan. 1977. Structuralist Poetics: Structuralism, Direktorat Jendral Kebudayaan Departemen
Linguistics and the Study of Literature. London: Pendidikan dan Kebudayaan.
Routledge and Kegan Paul. ———. 1999. Seni Pertunjukan Indonesia & Pariwisata.
Ekadjati, Edi dan Undang A. Darsa. 1999. Katalog Induk Bandung: Masyarakat Seni Pertunjukan.
Naskah-Naskah Nusantara jilid 5A: Jawa Barat (Koleksi ————, Darusuprapta, Harjana Hardjawijana. 1989.
Lima Lembaga). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Sultan Hamengkubuwono IX Pengembang dan
Hikayat Amir Hamzah. Cod. 1697 (manuskrip). Pembaharu Tari Jawa Gaya Yogyakarta. Yogyakarta:
Pemerintah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
———. Cod. 1698 (manuskrip).
Sulastin–Sutrisno. 1983. Hikayat Hang Tuah: Analisa Struktur
Iser, Wolfgang. 1978. The Act of Reading: A Theory of
dan Fungsi. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Aesthetic Response. London:The John Hopkins
Press.
University Press.
Tashadi (Ed.). 1979-1980/1980-1981. Risalah Sejarah dan
Jauss, Hans Robert. 1974. “Literary History as a Budaya. Yogyakarta: Balai Penelitian Sejarah dan
Challenge” dalam Ralp Cohen (ed.). New Direction Budaya.
onLiteraryHistory. London: Routledge and Kegan Paul. Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan
Kratz, E.U. 1981. “The Editing of Malay Manuscripts and Bahasa. 1989 dan
Textual Criticism” dalam BKI 137: halaman 229-243. 1994. Kamus Besar Bahasa Indonesia.Jakarta:BalaiPustaka.
Marrison, Geoffrey E. 1999a. Catalogue of Javanese and Tim Penyusun Pustaka Azet. 1988. Leksikon Islam.Jakarta:
Sasak Texts. (KITLV Or. 508).Leiden: KITLV Press. Penerbit Pustazet Perkasa.
———. 1999b. Sasak and Javanese Literatue of Lombok. Wellek, Rene dan Austin Warren 1963. Theory of Literature.
Leiden: KITLV Press. Harmondswoth, Middlesex: Pinguin Books.
Molen, W. van der. 1980. “Aims and Methods of Javanese Yasadipura I. 1982a. Ménak Saréhas. Jakarta: Proyek
Philology” dalam Indonesia Circle. 26: 5-12 Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah.
Pigeaud, Th.G.Th. 1967. Literature of Java (Vol.I): Catalogue ———. 1982b. Ménak Laré I,II,III,IV. Jakarta: Proyek
of Javenese Manuscripts in The University of Leiden and Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah.
Other Public Collections in The Netherlands (Synopsis ———. 1982c. Ménak Serandil. Jakarta: Proyek Penerbitan
of Javanese Literature 900-1900). The Hague: Buku Sastra Indonesia dan Daerah.
Martinus Nijhoff. ———. 1982d. Ménak Sulub I,II. Jakarta: Proyek Penerbitan
Poerbatjaraka,R.M.Ng.1940a. Beschrijving der Buku Sastra Indonesia dan Daerah.
Handschriften-Menak. Bandoeng: A.C. Nix & Co. ———. 1982e. Ménak Ngajrak. Jakarta: Proyek Penerbitan
———.1940b. Pandji-Verhalen Onderling Vergeleken Buku Sastra Indonesia dan Daerah.
(Tjerita Pandji dalam Perbandingan). Bandoeng: A.C. ———. 1982f. Ménak Demis. Jakarta: Proyek Penerbitan
Nix & Co. Buku Sastra Indonesia dan Daerah.
123
Humaniora, Vol. 18, No. 2 Juni 2006: 114−124
———. 1982g. Ménak Kaos. Jakarta: Proyek Penerbitan Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah.
Buku Sastra Indonesia dan Daerah. ———. 1982q. Ménak Purwa Kandha I,II,III. Jakarta: Proyek
———. 1982h. Ménak Kuristam. Jakarta: Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah.
Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah. ———. 1982r. Ménak Kustup I,II. Jakarta: Proyek
———. 1982i. Ménak Biraji. Jakarta: Proyek Penerbitan Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah.
Buku Sastra Indonesia dan Daerah. ———. 1982s. Ménak Kalakodrat I,II. Jakarta: Proyek
———. 1982j. Ménak Kanin. Jakarta: Proyek Penerbitan Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah.
Buku Sastra Indonesia dan Daerah. ———. 1982t. Ménak Sorangan I,II. Jakarta: Proyek
———. 1982k. Ménak Gandrung. Jakarta: Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah.
Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah. ———. 1982n. Ménak Jamintoran I,II. Jakarta: Proyek
———. 1982l. Ménak Kanjun. Jakarta: Proyek Penerbitan Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah.
Buku Sastra Indonesia dan Daerah. ———. 1982v. Ménak Jaminambar I,II,III. Jakarta: Proyek
———. 1982m. Ménak Kandha Bumi. Jakarta: Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah.
Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah. ———. 1982w. Ménak Thalsamat. Jakarta: Proyek
———. 1982n. Ménak Kuwari. Jakarta: Proyek Penerbitan Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah.
Buku Sastra Indonesia dan Daerah. ———. 1982q. Ménak Lakat I,II,III. Jakarta: Proyek
———. 1982o. Ménak Cina I,II,III,IV,V. Jakarta: Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah.
Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah. Zarkasi, Effendy. 1977. Unsur Islam dalam Pewayangan.
———. 1982p. MénakMalebariI,II,III,IV,V. Jakarta: Proyek Bandung: Al Ma’arif.
124