Ekonomi Pertanian DUMMY
Ekonomi Pertanian DUMMY
Ekonomi Pertanian DUMMY
nama penulisnya
RAJAWALI PERS
Divisi Buku Perguruan Tinggi
PT RajaGrafindo Persada
DEPOK
Perpustakaan Nasional: Katalog dalam terbitan (KDT)
Fachrurrozie Sjarkowi.
Ekonomi Pertanian: Konsepsi Dasar Penopang Teori & Terapan Pembangunan-Pengelolaan-
Pengembangan/Fachrurrozie Sjarkowi.
—Ed. 1, Cet. 1.—Depok: Rajawali Pers, 2023.
xviii, 518 hlm., 23 cm.
Bibliografi: hlm. 477
ISBN -
Hak cipta 2023, pada penulis
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh isi buku ini dengan cara apa pun,
termasuk dengan cara penggunaan mesin fotokopi, tanpa izin sah dari penerbit
2023.- RAJ
Fachrurrozie Sjarkowi, Ph.D.
EKONOMI PERTANIAN
Konsepsi Dasar Penopang Teori & Terapan Pembangunan-Pengelolaan-Pengembangan
Cetakan ke-1, Juli 2023
Hak penerbitan pada PT RajaGrafindo Persada, Depok
Copy Editor : Tim RGP
Setter : Feni Erfiana
Desain cover : Tim RGP
Dicetak di Rajawali Printing
PT RAJAGRAFINDO PERSADA
Anggota IKAPI
Kantor Pusat:
Jl. Raya Leuwinanggung, No.112, Kel. Leuwinanggung, Kec. Tapos, Kota Depok 16456
Telepon : (021) 84311162
E-mail : rajapers@rajagrafindo.co.id http: // www.rajagrafindo.co.id
Perwakilan:
Jakarta-16456 Jl. Raya Leuwinanggung No. 112, Kel. Leuwinanggung, Kec. Tapos, Depok, Telp. (021) 84311162. Bandung-40243,
Jl. H. Kurdi Timur No. 8 Komplek Kurdi, Telp. 022-5206202. Yogyakarta-Perum. Pondok Soragan Indah Blok A1, Jl. Soragan,
Ngestiharjo, Kasihan, Bantul, Telp. 0274-625093. Surabaya-60118, Jl. Rungkut Harapan Blok A No. 09, Telp. 031-8700819.
Palembang-30137, Jl. Macan Kumbang III No. 10/4459 RT 78 Kel. Demang Lebar Daun, Telp. 0711-445062. Pekanbaru-28294,
Perum De' Diandra Land Blok C 1 No. 1, Jl. Kartama Marpoyan Damai, Telp. 0761-65807. Medan-20144, Jl. Eka Rasmi Gg. Eka
Rossa No. 3A Blok A Komplek Johor Residence Kec. Medan Johor, Telp. 061-7871546. Makassar-90221, Jl. Sultan Alauddin
Komp. Bumi Permata Hijau Bumi 14 Blok A14 No. 3, Telp. 0411-861618. Banjarmasin-70114, Jl. Bali No. 31 Rt 05, Telp. 0511-
3352060. Bali, Jl. Imam Bonjol Gg 100/V No. 2, Denpasar Telp. (0361) 8607995. Bandar Lampung-35115, Perum. Bilabong
Jaya Block B8 No. 3 Susunan Baru, Langkapura, Hp. 081299047094.
KATA PENGANTAR
v
konsep agribisnis komersial, mereka tentu lebih sejahtera dan negeri jadi makmur
sentosa.
Terdiri dari 18-bab dan setiap bab berisi 5-sub-bab serta setiap sub-bab
sedikitnya memiliki 3-pokok bahasan, maka buku ini dapat digunakan sebagai
buku-ajar untuk 3-jenjang perkuliahan tentang ekonomi pertanian. Adapun 6-bab
awal berisi konsep dasar ekonomi pertanian, dan bagi kalangan mahasiswa S1 bisa
dijadikan bahan kuliah untuk 14-kali tatap-muka. Lalu 6-bab 7-12 untuk bahan
kuliah S-2 dengan prasyarat memahami bab 1-6. Seterusnya 6-bab terakhir bersama
sejumlah lampiran makalah berbahasa asing, bisa dijadikan bahan bacaan mahasiswa
S-3. Buku ini telah diberi muatan dari hasil pengamatan nyata dan riset terapan di
berbagai penjuru nusantara. Dengan demikian aneka konsep teori telah disajikan
dengan contoh dan informasi faktual bernuansa lebih membumi.
Tentu dengan narasi yang mengedepankan orisinalitas sajian terkait ber-
bagai diksi dan konsepsi terapan Ilmu Ekonomi Pertanian, maka tidak mustahil
di sana-sini terdapat kekurangan dan kealpaan. Untuk itu penulis amat berkenan
menerima koreksi dan saran perbaikan. Sebagai terbitan untuk kali pertamanya,
berbagai kejanggalan pasti tampak jelas di mata pembaca. Walau demikian buku
ini memiliki kekhasan tersendiri yang sengaja ditampilkan guna memudahkan
para pembaca. Ada kesamaan abjad dan jumlah sub-bab di setiap bab yang berawal
di posisi halaman ganjil. Pada tiap halaman ada topik baru atau alinea baru jadi
penanda awal bacaan. Dengan begitu akan memudahkan pembaca menelusuri alur
pemikiran tematik pilihannya.
Sehubungan dengan itu, secara khusus penulis menyampaikan ucapan terima
kasih kepada banyak pribadi yang telah ikut berkontribusi dalam mempersiapkan
naskah buku ini hingga naik cetak. Terima kasih disampaikan kepada mahasiswa
S-3 bimbingan saya: Sherly Novitasari, Julian Junaidi, Erni Purbiyanti yang bersama
beberapa mahasiswa S-2 banyak membantu kelengkapan naskah buku ini. Terima
kasih juga teruntuk kolega dosen (Dr. Desi Adriani; Dr. Dwi Wulan Sari; Dr.
Agustina Bidarti; Dr. Mariadi, Eka Mulyana, M.Si; dan dosen Unmura, yaitu May
Siska; M.Si; Dr. Zaini Amin) yang banyak mengilhami. Juga kepada Dian Indah Sari,
S.P. & Sarima Anggraini, S.P. diucapkan terima kasih atas bantuan mereka. Khusus
kepada Bapak Rektor Universitas Sriwijaya dan Dekan FP-Unsri, terima kasih
atas dukungan dan restu kepada penulis untuk aktif di dalam dan di luar kampus
sehingga berkesempatan menimba banyak pengalaman lapangan dan pengalaman
aktif di pemerintahan.
Mudah-mudahan atas ridho Allah Swt. teriring doa tulus keluarga saya {Ny Ir.
Reni Marsiana, S.E., ananda: Ahmad U. Kaffah, S.H., LL.M. (GL), (EL); Ph.D; dan
Baldad M. Syarifati, S.E., M.Ag. serta Chaza Siti Ikhsanza, S.Pd. dan Dianri Emas
vi Ekonomi Pertanian
Fajriah, S.P.A.}. Semoga taufiq-hidayat dan rahmat-Nya tercurah bersama nikmat
reeki dan sehat bagi kita semua. Semoga kehadiran buku ini dan beberapa seri buku
berikutnya selalu mendatangkan kebaikan kepada negeri dan bangsa Indonesia.
Aamiiin Yaa Robbal Aalamiiin!
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
DAFTAR TABEL vi
DAFTAR GAMBAR ix
BAB 1 SUDUT PANDANG ETIMOLOGIS 2
A. Ciri Ekonomi Mendikte Alam 2
B. Cara Pertanian Merespon Pasar 7
C. Ceria Petani Menopang Negeri 11
D. Cermat Agribisnis Maju Agroindustri 14
E. Cagar Usahatani Megah Agribisnis 21
ix
D. Konsep Perlindungan dan Elastisitas Penawaran 40
E. Konsep Penawaran Serba Waktu dan Strategi Pasar 43
x Ekonomi Pertanian
BAB 7 MERAJUT KEBIJAKAN 114
A. Perspektip Kebangkitan Nafkah Warga Miskin 112
B. Perspektip Komoditi Niaga & Produk Unggulan 114
C. Perspektip Kerjasama Niaga Antar-pulau dan Ekspor 119
D. Perspektif Kepatutan Nilai Jual Lahan 121
E. Perspektif Komoditi Pangan dan Nilai Tukar Petani 123
Ketulusan mengabdi adalah bukti ‘kau patriot bangsa & negara’ ! Kejujuran
menata adalah barometer bagi drajat pengabdian itu ? Keikhlasan memu-
lai kerja tanpa gerutu,saksi penopang jujur mu! Karena itu yakinilah.. pesan
QS58:11 .. resep jitu abdi-negri sejati.
xv
Tabel 13. Kelompok Negeri Sasaran Ekspor Produk Kreatip 263
Tabel 14. Prilaku dan Kinerja Pasar Bilateral Monopolistik 314
Tabel 15. Komposisi Pertanaman kayu Sebagai Area Hutan Tanaman untuk
Berbagai Tipe Satuan Usaha Pertanian 334
Tabel 16. Lingkup Sasaran Manajemen Strategi Kebijakan Agribisnis 349
Tabel 17. Rumus Hitung ‘Nilai Kini (PV)’ dan ‘Nilai Ke Depan (FV)’
dari Suatu Arus Nilai Tertentu Runtun Terjadi Selama ‘n’ Tahun 354
Tabel 18. Hitung Nilai Kini dari Arus Uang Tunai Bersih 384
Tabel 19. Hitung Nilai Kini dari Anuitas Sebesar A Selama ‘n’ Tahun 385
Tabel 20. Pola Parsial dan Mandiri 392
Tabel 21. Matrik ISEPSA Pelacak Kearifan Lokal ‘Keaktivan Warga 396
Tabel 22. Matrik ‘Anti-Insepsi’ Pelacak Bentuk Toleransi dan Keintiman
Pemukim Wilayah Kumuh Ke Kotaan 398
Tabel 23. Rerata Indeks Rasio Warga/Wilayah di Pulau Besar Nusantara 467
xvii
Gambar 3.1. Rante Ekonomi Dikmati Perusahaan Karena Punya
Keunggulan Teknis Alami, Kadang Juga Unggal
Manajerial Dibandingkan Perusahaan Lainnya 43
Gambar 3.2. Komoditi Tani Berupa Bahan Segar Punya Kelemahan 7c,
Maka Perlu Olah Iptek-Inovatip Jadi Produk
Berciri 7j Kuat Pemasaran 62
Gambar 4.1. Ilustrasi Konsep Gufaat Ordinal, Garis Harga,
Kurva Permintaan 66
Gambar 4.2. Ilustrasi 3- kurva deman perorangan menjadi
permintaan pasar 67
Gambar 4.3. Kurva Deman Beda Kemiringan (Elastisitas) Merespon
Suatu Kekuatan Panen Penggeser Sulai Sa, A Besar
(Smp-Sgp) 71
Gambar 5.1. Teorema Perangkap Multhusia 91
Gambar 6.1. Kelola Jaringan Niaga Pemasaran Aneka Prukab:
Peran-Aktifkan Program Kepariwisaaan Pemacu
Produk Inovatif & Hasil Indutri Kreatif 98
Gambar 6.2. Harga Komoditi Di Tingkat Produsen & Konsumen
Dan Nilai Marjin Pemasaran 100
Gambar 6.3. Transaksi Saat Suplai Berlimpah; Misal Di Masa
Panen Raya 103
Gambar 6.4. Transaksi Saat Suplai Terjadi Jeblok; Misalnya Di
Masa Hpt Mewabah 104
Gambar 6.5. Transaksi Saat Permintaan Meroket;
Misal Saat Asean Games-18 105
Gambar 6.6. Transaksi Saat Deman Menurun; Misalnya Akibat
Pandemi Covid19 106
Gambar 6.7. Harga Komoditi Di Tingkat Produsen & Konsumen Dan
Nilai Marjin Pemasran 109
Gambar 7.1. Tingkat Pendapatan Rendah Sekitar Garis Kemiskinan 116
Gambar 7.2. Contoh Rantai Paspk Olahan Tekno-Inovatip 120
Gambar 7.3 Perbandingan Harga Jual Karet Dan Harga Beli Besar
Sumatera Selatan 129
Gambar 7.4. Perbandingan Fluktuasi Harga Karet Dan Sawit
Tahun 2011-2023 130
xx Ekonomi Pertanian
Gambar 17.5. Gaya Negosiasi Transaksi Antara Pihak Monopsoni
Dan Pisahk Monopoli 427
Gambar 17.6. Ilustrasi Logika Transaksi Bilateral Monopolistik Memicu
Sedikit Penyimpangan Oknum Negosiator Transaksi 429
Gambar 17.7. Pola Kajian Sosio-Enstropik Terkait Rancagan Teknis
Bio-Geofisik Menjurus Pada Kemitraan
Agribisnis Berkelanjutan 431
Gambar 17.8. Ilustrasi Perubahan Ekosistem (Atas)
Jadi Agro-Ekosistem (Bawah) 432
Gambar 17.9. Satuan Agribisnis Wanatani Dan
Bertahan Aneka Pangan 434
Gambar 17.10. Ipteks Agribisnis Mempermudah Warga Mendaya-Gunakan
4- Kategori Sda Dan Memperkuat
Ekonomi Fundanmental Daerah 436
Gambar 17.11. Kinerja Agribisnis Terpadu Lintas Kelembagaan 438
Gambar 18.1a. Pelacak Masalah Agribisnis 453
Gambar 18.1b. Metode BEGFI-GAFETA 453
Gambar 18.2. Metode EBDA-FENOBA 455
Gambar 18.3. Perancangan Terpadu Sistematis Memacu Pembinaan
Agribisnis Kerakyatan dalam Kerangka
Berubah dari Pola Usahatani-KCT 480
1
ekonomi dan kadar kesejahteraan itu jadi amat perlu terukur. Sungguh pun keduanya
tidak lagi asing dalam pemikiran, juga selalu jadi target upaya di tengah keseharian
hidup yang harus dijalani dari waktu ke waktu. Capaian kerja tentu sangat ditentukan
oleh kadar kerja dan kinerja yang semakin tergantung pada keberadaan pasar juga
mekanisme penawaran permintaan pada setiap mata rantai suplai komoditi dan
bahkan produk turunan terkait.
Jadi, istilah pertanian sudah biasa dipahami begitu luas cakupannya, yakni
meliputi tiga kelompok usaha hasil bumi, yaitu sebagai berikut.
1. Pertanaman hortikultura sayur-buah, tanaman pangan pokok, tanaman berdaur
produksi tahunan, dan sebenarnya juga termasuk usaha hutan tanaman
industri serta satuan usaha perhutanan sosial (dijumpai di kawasan lindung
dan konservasi yang rusak).
2. Peternakan unggas, ternak kaki empat, bahkan hewan eksotis, yang di zaman
kemajuan ini harus diusahakan selalu serba sehat di media produksi yang
beraneka.
3. Perikanan tambak pada media perairan asli (di danau, rawa-lebak, sungai,
dan wilayah pesisir) serta di tambak artifisial yang mulai hadir di perdesaan
yang tidak banyak memiliki mata air dan terbatas QQA (Quantity, Quality, and
Availability) persediaan air.
Dewasa ini, berkat adanya kemajuan iptek, telah pula berkembang pola
usahatani AGROTRISULA yang mempertautkan ketiga kelompok kegiatan produktif
itu dalam suatu tapak usaha pertanian secara terpadu serta tanpa buangan (zero
waste technology). Tidak dapat dipungkiri bahwa jenis kegiatan produksi pertanian
hingga kini masih sangat tergantung pada sifat KEMURAHAN alam. Padahal alam
yang ramah terhadap kegiatan produksi pada nyatanya sangat tergantung pada ciri
perbuatan bijak manusia ekonomi. Jika sudah berwawasan lingkungan, kinerja
ekonomi akan mengukir KERAMAHAN alam; jika serakah, terjadilah aneka bentuk
KEMARAHAN alam.
2 Ekonomi Pertanian
berkembang di luar kendali. Apalagi jika jumlah total penduduk suatu wilayah
terus bertambah dari waktu ke waktu karena beranak pinak sebagaimana kodrat
biologis manusia.
Sementara itu pula, pepatah lama mengatakan ‘ada gula ada semut’ maka selalu
ada gerak perpindahan manusia (migrasi) dari suatu wilayah yang serba terbatas
potensi alamnya, menuju ke wilayah yang kaya SDA (sumber daya alam). Jadi, wajar
jika lebih sedikit jumlah penduduk (per-Km persegi) di suatu wilayah yang miskin
potensi alam dibanding penduduk di wilayah kaya SDA. Dua wilayah dengan potensi
alam berbeda tentu akan ditandai tekanan penduduk berbeda terhadap SDA selaku
sumber materi dan energi pemuas kebutuhan manusia. Semakin tinggi tekanan
penduduk maka perilaku rebutan bentang hutan untuk dijadikan lahan garapan akan
semakin kasar ditandai aneka bentuk keserakahan dan bisa berujung konflik sosial.
Tentu saja, hampir tidak ada yang gratis apa pun materi dan energi yang tersedia
untuk dimanfaatkan dari suatu ruang bentang alam itu. Setiap kali ada kebutuhan
manusia yang harus didapatkannya dari alam, pasti butuh upaya dan biaya, terkecuali
sinar matahari dan udara bersih di wilayah tropis yang selalu tampak menghijau
bersama perairan hijau membiru. Setiap jenis kepentingan hidup manusia yang harus
tersedia secara teratur dalam jumlah dan mutu maupun waktunya, pastilah perlu
didahului dengan upaya yang akan selalu membutuhkan energi dan berimplikasi
biaya.
Adalah juga akal sehat manusia yang senantiasa mengarahkan agar biaya dan
aneka pengorbanan lain se-sedikit mungkin (minimal) guna meraih sejumlah
tertentu bahan kebutuhan hidup sewajarnya selama jangka waktu tertentu. Arah
demikian itu menuntut pertimbangan logis dan perilaku etis untuk dihadirkan
guna mengatur kebutuhan rumah tangga. Gejala perilaku dan sikap inilah yang
sesungguhnya memotori kekuatan ekonomi mengatur alam.
Kekuatan ekonomi akan menghidupkan mesin-mesin produksi yang pada
intinya akan memacu gerak produktif dan langkah aktif manusia ekonomi guna
menghadirkan bahan kebutuhan warga dengan cara mendikte alam, khususnya
bentangan agroekosistem untuk kegiatan produksi pertanian. Bicara tentang
produksi pertanian di tingkat primer, berarti berbincang tentang aksi cipta gufaat
(guna-manfaat = utility) yang bertumpu pada proses fotosintesis secara biokimiawi,
yang bisa diilustrasikan seperti pada Gambar 1.1 berikut.
4 Ekonomi Pertanian
2. Bahwa gas karbon dioksida pasti selalu tersedia selagi ada kehidupan yang
merombak gufaat materi, yakni dengan mendayagunakan gas oksigen (O2),
lalu melepas gas karbon dioksida (CO2) sebagai buangan respirasi.
3. Bahwa keberadaan hijauan pada kulit bumi amat penting, karena semakin
meluas tutupan hijau daun, proses fotosintesis pun banyak berlangsung, dan
makin tersebar perakaran tumbuhan, semakin baik siklus air dalam putaran
waktu.
Menyadari adanya tiga fakta ini, tentu diperoleh pengertian tentang adanya
variasi atau turun naik hasil produksi menurut musim hujan (MH) dan musim kering
(MK). Jika hasil pertanaman hanya menuruti ketentuan dan kehendak alam, berarti
suatu jenis komoditi tidak bisa disuplai secara kontinu akibat panen tidak runtun
berjarak waktu pendek sebelum tiba waktu panen berikut secara berkelanjutan.
Tidak selalu bisa panen teratur setiap dua hari (seperti pada sadap karet) atau setiap
minggu (seperti bunga anggrek) atau setiap bulan diatur jadi tiap minggu (panen
pucuk daun Kumis Kucing untuk disuling jadi minyak atsiri). Padahal keberaturan
panen amat penting jika ada pesanan kontrak bahan baku suatu pabrik industri yang
tentu butuh kepastian jumlah barangnya dan selalu tepat waktu.
Salah kelola bisa saja terjadi hanya karena kekhawatiran manusiawi berlebihan,
lalu terjadilah rebutan kesempatan ‘siapa cepat dia mendapat; atau bahkan
persaingan pengaruh lewat strategi kolusi, koalisi, dan intimidasi. Padahal cara
kerja dan berkinerja harus selalu penuh kepedulian pada keserasian antara kebutuhan
hidup dan potensi materi SDA selaku pemuas kebutuhan. Cara ini harus selalu
dikedepankan, agar alam pun punya kesempatan mengatur diri untuk senantiasa
siap tanggap pada kebutuhan warga yang kiranya selalu memberi perhatian baik
dan positif kepada alam itu dari waktu ke waktu, dan dari generasi ke generasi.
Lebih dari pada itu, tindakan apik demikian jadi cerminan pengelolaan SDA yang
ditegakkan atas rasa syukur kepada Tuhan YME yang telah menyediakan segala
sesuatunya bagi manusia hamba-Nya.
Jadi, sesungguhnya manusia selalu dituntut untuk berupaya dengan etika yang
selaras dengan norma ketuhanan Yang Maha Pencipta, tapi cakap pula mengatur
biaya pengorbanannya dengan dasar logika ilmu pengetahuan agar selalu hemat
materi-energi-ruang. Alam selalu perlu waktu untuk bereaksi dengan baik dan
secara alami memulihkan kondisinya, sehingga layanan alam itu akan selalu sehat
berkelanjutan. Sementara itu, jumlah manusia yang kian bertambah, tentu akan
selalu terpacu untuk menyentuh dan menggerayangi lingkungan alam sekitarnya
demi mendapatkan kebutuhan hidup mereka. Kecenderungan untuk bertindak
serakah akan selalu ada untuk berhadapan dengan kesadaran untuk berbuat adil
dan arif bijaksana.
6 Ekonomi Pertanian
Satuan Usahatani Kecil Tradi- Satuan Usaha Agribisnis
sional, 0.75Ha = 1 Bahu Nenas 3 x 5.000Ha
Dapatlah kini dibayangkan mengapa perilaku kedua pihak, yaitu manusia dan
alam lingkungan, tidak boleh berjalan tanpa arah yang tepat (efektif) dan hemat
(efisien). Intervensi ilmu ekonomi normatif (ekonomi kesejahteraan) mengarahkan
perilaku etis terhadap alam. Lalu ilmu ekonomi (mikro dan makro) dan ilmu
manajemen agribisnis jadi pengatur serta penyedia kebutuhan rumah tangga.
Kombinasi iptek ini harus bersifat menggugah etika berwawasan lingkungan pada
para pelaku agribisnis dan pembangunan pertanian pada umumnya. Untuk hal
terakhir ini, ilmu pembangunan berwawasan lingkungan dan berkelanjutan dapat
diperkaya dengan rumus bijak yang banyak dibahas dalam ilmu ekonomi SDA
lingkungan.
Rohrer, W.C. and L.H. Douglas, 1969. The Agrarian Transition in America. The Bobbs and
1
Dari akibat perubahan itu pula, maka interaksi manusia terhadap lingkungan
alami kian mengkhawatirkan akan merugikan semua pihak, dan persoalannya
semakin merepotkan untuk bisa segera dibenahi. Bersamaan dengan itu pula,
kebutuhan akan strategi manajemen berusahatani yang lebih berwawasan bisnis
dan lebih tinggi produktivitas serta bernas keuntungannya tentu akan semakin
dirasakan oleh para pelaku usahatani yang tertinggal.
Bertolak dari keadaan tradisional dan berskala kecil, maka perbaikan kapasitas
teknis dan komersial yang ditawarkan kepada para pelaku usahatani dapat dipastikan
akan cepat direspons warga, asalkan memang dibina hingga tingkat pemasaran.2
Proses maju lewat paket program pemberdayaan, akan tampil nyata berupa kenaikan
produksi per-Ha dan biaya produksi rata-rata tiap Kg, jadi terbilang murah berkat
adanya lima muatan bisnis komersial yang mulai diterapgunakan. Kelima muatan
ini adalah: (1) teknologi; (2) manajemen, (3) wirausaha, (4) kearifan lokal, dan (5)
etika bisnis berwawasan lingkungan harus terjadi serta kelihatan nyata pada tapak
produksi, bersama tiga ciri utama berikut.
1. Selalu berorientasi pada kehendak pasar, yakni mengutamakan kepedulian pada
‘konsumen sebagai raja’.
2
Produktivitas = “Produksi per-Hektar”, suatu ukuran seberapa tingginya kinerja
pengelolaan tekno-agronomis suatu persil lahan garapan petani atau pengusaha agribisnis.
8 Ekonomi Pertanian
2. Selalu berupaya mengatur strategi produksi dan pemasaran dengan acuan
standar manajemen bisnis.
3. Selalu tanggap terhadap perkembangan iptek pemicu pacu inovasi-kreasi-presisi
hasil produksi yang diterima pasar.
Inovasi diperlukan oleh setiap usaha komersial, karena pada prinsipnya suatu
usaha (pertanian) yang baik harus selalu meningkatkan produktivitas (jumlah
produksi per-Ha; atau tinggi kadar rendemen bahan inti dari bahan baku per-Ton)
agar senantiasa siap menjawab tantangan pasar. Hanya dengan cara demikian, maka
dua sasaran dicapai sekaligus oleh perusahaan agribisnis, yaitu “cermat-hemat
SDA” dan juga “rendah harga pokok”. Dua hal yang jadi mudah dicapai berkat
inovasi yang juga menjanjikan kadar laba.
Kreasi hakikatnya memiliki dua corak orientasi perlakuan pelaku usaha untuk
menambah sandaran komoditi yang tidak hanya lebih menguntungkan, melainkan
juga akan menaikkan peluang keselamatan usaha, yaitu: (1) multi-komoditi untuk
memperkecil risiko usahatani,3 lalu ada strategi manajemen maka suatu komoditi
utama selalu didampingi komoditi sampingan yang bersifat pengaman bagi yang
utama; dan (2) multifungsi limbah usahatani, khususnya berupa buangan dari proses
produksi komoditi dan berupa limbah pasca-peremajaan tanaman semisal potongan
pohon sawit yang direbahkan4 yang tak patut hanya dianggap sampah tak berharga.
Presisi adalah ketepatan, yakni tepat jumlah, tepat mutu, dan tepat waktu
dalam hal hasil produksi, terutama jika hal itu terkait kontrak jual beli dengan pihak
agroindustri yang sangat menuntut kepastian bahan baku. Setiap hasil produksi
pada usaha primer di lapangan harus disuplai secara tepat mutu dan ukuran kepada
satuan usaha pada mata rantai pengguna berikutnya guna menghasilkan produk
olahan baru, dan seterusnya hingga disuplai sampai kepada konsumen akhir sesuai
prasyarat yang telah ditetapkan. Isyarat dari satuan usaha agroindustri pada mata
rantai kedua pun sulit untuk dipenuhi pelaku usahatani, sebelum berubah jadi pelaku
unit agribisnis komersial setelah sukses pembinaan. Tanpa pembinaan, tidak ada
cara bagi para pelaku usahatani untuk keluar dari kerangkeng ketertinggalan yang
membatasi proses cantik meraih kemajuan usaha secara mandiri.
Dapat dipahami bahwa tiga tepat (inovasi-kreasi-presisi) tadi amat terkait
dengan perilaku alam yang tidak dapat diperkirakan secara sempurna lewat
kemampuan tradisional. Akan tetapi, ketika unsur bisnis sudah merasuk dan
3
Multi-komoditi, misalnya: pada sebidang lahan kebun kelapa sawit balita, bisa ditanam
tanaman jagung dan ketela, dan jika kebun berusia >10 tahun bisa dilepas ternak sapi.
4
Pada sebidang lahan kebun kelapa sawit bisa dimanfaatkan setiap lembar pelepah daun
keringnya untuk dijual sebagai bahan dasar (selain tambahan bahan konsentrat lainnya)
penyediaan pakan ternak sapi, ataupun juga perahan alkohol dari setiap potong batangnya.
10 Ekonomi Pertanian
Berkenaan dengan isyarat kesungguhan itu, maka pembinaan ekonomi desa
yang bertumpu pada partisipasi unsur kaum tani tradisional dan ditandai luas
lahan kecil-kecilan itu, tidak bisa dipercayakan begitu saja kepada pihak LSM yang
tidak profesional, ataupun baru berpengalaman setahun jagung. LSM yang akan
dilibatkan harus memiliki SDM dengan bidang ilmu dan keahlian tekno-agronomis,
sosial-ekonomis dan manajemen, juga sosial-keagamaan. LSM yang baru dan belum
punya pengalaman lapangan, sudah seharusnya mendapat pelatihan teknis dan
selalu berkonsultasi kepada tenaga ahli dari perguruan tinggi. Para pihak dari pemda
dan mitra lapangannya dari LPPM PTN/S juga LSM profesional, harus bertugas
memberi pemahaman pragmatis dan menunjukkan alasan praktis mengapa harus
bergabung melembaga dalam klaster pembinaan di ‘desa’-nya. Harus siap konsep
pembinaan sejak dari tahapan paling awal bernuansa sosio-institusional sekaligus
tekno-agronomis, bahkan teknis agro-industrial hingga mencapai tahap kematangan
yang selalu tanggap terhadap isyarat pasar dam dinamika pemasarannya.
12 Ekonomi Pertanian
Hingga titik pembahasan ini, inti persoalan telah menjadi jelas bahwa kaum
tani yang kecil dan kebanyakan masih tradisional butuh pemberdayaan; yang terkait
teknologi-inovatif, manajemen-fungsional, wirausaha-kerakyatan, kearifan-lokal, dan
etika-bisnis berkelanjutan. Beberapa daerah di seputar wilayah Nusantara dihuni
kaum tani KCT yang sangat butuh perhatian pemda setempat. Berkat peran pihak
ahli yang bisa membantu aparat pembina, maka hasil positif akan tampak berupa
kenaikan produktivitas. Intensitas pertanaman jadi tinggi serta arus uang tunai
bulanan dan pendapatan tahunan petani pun meningkat.
Apalagi jika pembinaan mulai melembaga lewat pendekatan klaster berbasis
komoditi pertanaman; misal klaster petani kopi atau sawit ataupun karet juga
pertanaman hortikultura sayur, atau juga klaster usaha petani padi organik.
Pengembangan klaster usaha bisa lancar menghubungkan sektor primer terhadap
basis teknologi pengolahan komoditi di sektor hilir guna menjadi produk inovatif
hingga mencapai konsumen, yang sepatutnya terbingkai dalam suatu pola yang
disebut rantai pasok (supply chain).5 Pada tiap rantai dipastikan akan ada mata rantai
produktif.
Ketika bahan mentah ataupun komoditi segar pada nyatanya bisa terserap oleh
agroindustri, maka aneka produk berkemasan maupun produk olahan kerakyatan
lewat agroindustri rumahan juga yang berskala USM dan USB kian berkembang.
Sebagai satuan usaha skala menengah (USM) dan usaha skala besar (USB)
agroindustri tingkat pertama sekadar melakukan sortasi dan chipping. Diteruskan
ke tingkat sekunder untuk menghasilkan barang setengah jadi, semisal karet remah
(crumb-rubber) ataupun minyak sawit mentah (CPO) lalu disambut agroindustri
tingkat ketiga penghasil suatu produk manufaktur ataupun barang siap pakai.
Dengan demikian, maka arus produktif hubungan produsen dan konsumen bisa
terjadi lebih terukur sehingga lebih berkepastian bernas nilainya. Dalam keadaan
demikian, tentu kaum tani pasti semakin diuntungkan oleh kinerja pasar, karena
hubungan arus informasi (promosi dan transaksi) dan arus fisik barang (distribusi
dan transportasi) akan semakin mudah diselaraskan dari segi waktu serta volume
penyampaiannya kepada konsumen.
Dari situ, akan kian nyata makna dan besarnya nilai sumbangsih kaum tani,
berkat kemajuan perkembangan ekonomi negeri yang mungkin tadinya tidak
banyak memihak kepada kaum yang lemah, tetapi kemudian petani sebagai
pelaku satuan agribisnis kerakyatan justru bisa berubah menguat jadi penopang
5
Supply chain management is the management of the flow of goods and services and includes all
processes that transform raw materials into final products. It involves the active streamlining of a business’s
supply-side activities to maximize customer value and gain a competitive advantage in the market place
(Rujuk Google; Juni 2021).
6
Kesalahan yang terjadi terlihat seolah sepele, tetapi bisa berakibat fatal. Ada dua kasus
kejadian akibat kesalahan etimologis dapat dicontohkan di sini. Pada tahun 1973, banyak
petani transmigran di Lampung kecewa dan melemparkan hasil ubi kayu mereka ke tengah
jalan untuk digilas lalu-lalang mobil. Itu bermula dari niat baik seorang menteri yang memacu
para petani di sana menanam ubi kayu varietas unggul, sebab dia yakin usahatani demikian
akan memakmurkan. Lonjakan produksi jadi 10 kali lipat tanpa dibarengi kebijakan menambah
jumlah agribisnis hilir berupa agroindustri tapioka, nyatanya membuat harga ubi kayu jatuh dan
justru merugikan petani. Kasus kedua (2016), yaitu terkait ISPO (Indonesia Sustainable Palm-Oil);
di mana S itu mengisyaratkan cara berusaha kebun yang berwawasan lingkungan, tetapi PO
berarti minyak sawit (seharusnya OP yang berarti kelapa sawit) lalu kesalahan ini merendahkan
harkat dan wibawa label sertifikasi minyak sawit (PO) selaku komoditi ekspor yang pertanaman
kelapa sawit-nya terlanjur dituding Eropa sebagai pemicu KARHUTLA (kebakaran hutan dan
lahan pemacu pemanasan global), sehingga alasan itu dijadikan kesempatan kampanye negatif)
sebagai intimidasi dari podusen minyak nabati asal kedelai, bunga matahari, serta jagung di
USA dan Amerika Latin, juga Eropa. (Kesalahan etimologis ISPO ini sebaiknya dijadikan
bahan diskusi!)
14 Ekonomi Pertanian
ada anggapan bahwa usahatani atau agribisnis tidak cukup andal jadi penopang
kesejahteraan ekonomi negeri. Pandangan yang demikian itu tidak terkecuali terjadi
juga di kalangan para intelektual Nusantara dan para pejabat penting di tingkat
daerah, bahkan di tingkat nasional. Dari sebab itu, tahapan terarah lewat program
HILIRISASI yang jelas rancangannya sesuai dengan RANTAI SUPLAI yang tepat,
sudah saatnya digerakkan.
Sejak lama sudah melekat dalam benak warga bahwa banyak sekali persoalan
teknis pertanian yang harus jadi sasaran kebijakan, dan oleh sebab itu isu-isu teknis
produksi sudah banyak mendapat solusi nyata. Justru aneka isu bisnis yang belum
mendatangkan kebaikan untuk kaum tani kebanyakan adalah terletak pada bidang
bisnisnya, bukan lagi pada dimensi teknis agronomi. Justru urusan pertanian serba
dimensi demikian harus dipahami benar oleh para pembina kaum tani kebanyakan,
termasuk pihak pemda dan departemen, membawahi, antara lain, direktorat jenderal:
(1) pertanian tanaman pangan; (2) horti-kultura; (3) perkebunan; (4) peternakan;
dan (5) kesehatan hewan.
Untuk itulah, di sini sekali lagi perlu digarisbawahi, bahwa Agribusiness memang
harus diterjemahkan menjadi “Niaga-tani”, juga “Bisnis-perta”, dan lebih tepat lagi
niaga-perta. Inti pokoknya adalah soal bisnis (niaga) yang terkait ‘perta’ dalam arti
luas. Sesuai kaidah hukum DM (yang diterangkan mendahului yang menerangkan), kata
‘perta’ (yang menerangkan) sebagai pewarna terhadap kata utama, yakni ‘niaga’
atau ‘bisnis’ (yang diterangkan). Jadi, istilah niaga-perta atau tadinya agribisnis
yang juga dipakai di dalam buku ini, seyogianya menyadarkan semua pihak tentang
makna agribisnis sesuai asalnya.
Jadi, ilmu agribisnis adalah ilmu ekonomi bisnis dengan objek utama
bahasannya tentang kiprah ‘bisnis’ yang terkait dengan produk pertanian. Ini penting
disebarluaskan di kalangan SDM pembangunan demi perbaikan kesejahteraan
ekonomi di seputar Nusantara. Perekonomian negeri masih berbasis pertanian, tapi
segi teknisnya sudah banyak dikembangkan. Justru upaya bisnis untuk menaikkan
laba dan meraih nilai tambah merupakan potensi ekonomi yang masih banyak
terpendam, dan caranya masih perlu dipicu-pacu. Tidak juga bernas jika argumentasi
agribisnis buta dalam hal teknis agronomis-nya, justru laba maksimal tercapai jika
volume hasil tani (produktivitas) dapat dicapai tinggi, sedangkan harga jualnya
terjadi relatif mahal nilainya dibandingkan dengan rata-rata biaya produksinya.
Memang banyak pengamat dan pemikir yang sangat prihatin terhadap kebanyakan
kaum tani Nusantara, walaupun mereka seolah bingung tentang apa yang harus
dilakukan agar efektif memperbaiki nasib kaum tani. Arti penting peran penyuluh
pertanian menunjukkan kepedulian perihal itu. Akan tetapi, faktanya pembinaan
Di Indonesia jumlah petani kecil dan gurem sekitar 65% dari kepala keluarga
(sekitar 70 juta KK atau menghidupi sekitar 145 juta jiwa) di seputar Nusantara.
Dengan membela dan memberdayakan kaum tani ini hingga tampil sebagai
pelaku usaha agribisnis, maka bernas sumbangsihnya pada ekonomi
fundamental RI.
Di negeri Barat keadaan dan kiprah petani kecil dan gurem hampir tidak pernah
dijumpai, maka teori agribisnis di sana lebih berwawasan perusahaan komersial.
Harus diakui bahwa perhatian besar untuk menghubungkan kinerja petani agar
jadi mitra dagang yang efektif bagi perusahaan agroindustri olah-perta belum banyak
dilakukan di banyak daerah. Begitu petani bisa mendapat pemihakan sekaligus
perkuatan komersial yang maju berkeadilan, maka bukan hanya kaum tani tradisional
dan kecil itu yang diuntungkan, bahkan semua pihak dan semua unsur kebangsaan
serta semua pelaku ekonomi sejak dari sisi terhulu sampai konsumen terhilir.
Perkuatan ekonomi fundamental negeri tentu terpicu-pacu, jika solusi bisnis itu
maksimal diberikan lewat program pemberdayaan. Ironisnya, di sini ada kesalahan
16 Ekonomi Pertanian
metodologis yang terjadi dan ini memengaruhi cara pikir dan cara tindak berbagai
pihak, antara lain sebagai berikut.
1. Seolah-olah teori dan praktik penyuluhan didasari pemahaman teori bahwa
kesulitan hidup keluarga kaum tani disebabkan oleh kesalahan di pihak petani
semata-mata (‘emang dari sono-nya’ ?).
2. Seperti tidak disadari bahwa peran perusahaan yang selalu gigih menguras
nilai tambah dan rakus laba adalah penyebab dominan bagi kelumpuhan reaksi
kaum tani bertransaksi niaga pertanian.
3. Selalu tidak diyakini bahwa ada banyak cara pemberdayaan kaum tani dan
pemosisian mereka pada status lebih kuat dari apa adanya secara sosial-ekonomi,
asalkan ada komitmen kuat untuk itu.
4. Seakan tidak akan pernah bisa membangun jembatan saling pengertian antara
para pelaku usahatani kecil dan pelaku niagaperta komersial, sehingga ada
anggapan tidak perlu buang-buang waktu untuk itu.
5. Sepertinya amat benar jika investor agribisnis besar akan membawa dampak
‘trickle down effect’ yang membuat penyebaran kemakmuran otomatis ke bawah
(rakyat jelata), tanpa harus repot mengurus mereka.
Sejalan perputaran waktu, jarang sekali rata-rata luas kepemilikan lahan petani
itu bertambah melalui transaksi jual beli biasa. Sebab, ada dinamika sosial-ekonomi-
budaya yang akan dihadapi oleh warga masyarakat; khususnya berupa tradisi hibah
dan atau pewarisan aset lahan ketika atau setelah nanti seorang petani pemiliknya
7
Kebutuhan air tanah terbilang sangat tinggi pada kawasan kebun kelapa sawit, karena
pada pohon berusia 4 tahun lebih tanaman ini, mulai berubah status dari TBM (tanaman belum
menghasilkan) menjadi TSM (tanaman sudah menghasilkan). Di setiap pohon TSM ada sekitar
9 hingga 12 calon TBS (tandan buas segar) yang masih berupa malai hingga yang siap dipanen.
Status malai hingga TBS dipanen butuh waktu 13 bulan, dan semua calon TBS membutuhkan
komponen air yang banyak.
18 Ekonomi Pertanian
meninggal dunia. Selebihnya, persil lahan garapan baru suka didapat dengan
membukanya di kawasan hutan marga atau lindung.
Bayangkan jika seorang petani pada awalnya memiliki 1,5 Ha lahan dan punya
tiga anak lelaki generasi penerus yang secara kebetulan ingin tetap tinggal di desa.
Maka, luasan tadi akan terbagi empat persil, yaitu 0,375 Ha per orang. Dari situ
pula keterbatasan aset lahan terjadi, sehingga pendapatan musiman atau bulanan
terbatas, lalu kemiskinan pun mulai menghantui keluarga petani. Nasib kaum tani
jadi lemah dan hampir sulit mereka ubah perorangan. Selain karena terkendala,
juga orang per orang terlanjur biasa hidup santai.
Selain itu, ada juga tekanan dari pihak luar yang bersifat mafia transaksi pasar
diperkuat tangan jahil premanisme dan pengijon sebagai unsur kekuatan penjangkau
panenan tercepat, tetapi sangat mengikat berat. Jelas tugas pemda amat merepotkan
jika harus membina kaum lemah ini menyeluruh lewat. Perlu kebijakan tata ruang
dan investasi berwawasan agribisnis. Sasaran usahatani kecil jumlah pelakunya
jutaan petani tradisional sehingga perlu dikelompokkan menurut klaster komoditi
pertanaman. Dengan kelompok, maka kekuatan yang tersebar bisa dihimpun terpadu
bermartabat. Lalu, satuan agribisnis-kemitraan komersial tampil, daripada sekadar
terbina atasi kesulitan teknis usahatani.
Sebaliknya, menurut F. Sjarkowi (2017), peran tim SDM pembina dan penyuluh
pertanian harus sejak awal siaga dengan pemahaman, baik terhadap kondisi sosio-
antropologis petani. Wilayah Nusantara yang begitu luas ini terbentang dari Sabang
sampai Merauke, tentu bervariasi dalam hal perilaku sosial antropologis dan ciri
biogeofisik yang ada di tiap provinsi, bahkan juga di tiap kabupaten kota. Secara
sosio-antropologis, pada setiap komunitas suku terdapat ciri ketimpangan-sosial,
yakni entropi sosial-psikologis, entropi sosial-ekologis, entropi sosial-ekonomi,
dan entropi sosial-budaya. Oleh karena itu, harus selalu dicermati kondisi media
lingkungan fisik-kimia, fauna-flora, penduduk, dan kesmas, yang mesti diantisipasi
guna rekonstruksi keapikan sosial sebagai dimensi penting yang harus disadari SDM
pembina agar cermat terhadap tiga hal berikut.
1. Tidak patut menyerap SDM yang hanya berorientasi gaji sebagaimana layaknya
bekerja di perusahaan, melainkan yang peduli pengabdian guna memajukan
satuan usaha kerakyatan swadaya ataupun yang plasma.
20 Ekonomi Pertanian
2. Tidak cukup hanya sekadar mengutamakan titel kesarjanaan yang senyatanya
disandang oleh banyak SDM dari luar wilayah basis sasaran pembinaan,
melainkan SDM desa setempat harus pula sebaiknya aktif diperankan.
3. Tidak boleh hanya bersandar pada SDM konsultan PRA (participatory rural
apraisal), tetapi harus juga PAR (participatory action research) agar tepat kondisi
sesuai dengan tingkat kemajuan sosial antropologis yang ada.
Upaya cermat memahami ciri dan kondisi lapangan sangatlah penting, karena
selalu benar bahwa “lain padang lain belalang, lain lubuk lain ikannya”, sehingga
setiap desa sasaran pembinaan lapangan tidak dapat dipukul rata sama. Tanpa
kecermatan memahami variasi ciri dan kondisi lingkungan sosial dan lingkungan
biogeofisik lapangan tidaklah akan terbina cermat ekonomi. Lalu pada gilirannya,
sasaran pembinaan untuk menghadirkan contoh pionir satuan BUKD agribisnis
berwatak komersial, tetapi berwawasan lingkungan di suatu desa binaan tidak
berhasil dicapai maksimal.
Secara konsepsional, harus dipahami benar bahwa penduduk bumi sudah
semakin padat, maka setiap komponen dan unsur permukaan kawasan sudah
tersentuh oleh pengaruh kegiatan manusia. Mutu dan fungsi lingkungan biogeofisik
pasti dipengaruhi dan memengaruhi kemapanan ekonomi di suatu wilayah daerah
yang jauh ataupun dekat kawasan pembinaan. Tiap komponen permukaan bumi kini
semakin terkait satu sama lain, apalagi jika antar-zona dan antar-ruang yang masuk
dalam suatu kesatuan fungsi hidrologi ekosistem. Dipastikan jika mutu dan fungsi
lingkungan dari suatu ekosistem atau agro-ekosistem di mana kegiatan beberapa
dan berbagai satuan agribisnis komersial dipacu aktif, amat riskan terjadi bumerang
pertumbuhan ekonomi dan akan menekan laju peningkatan kesejahteraan warga.
Begitulah keadaan lapangan yang sangat dianjurkan untuk dicermati setiap
kali upaya pembinaan dan pembukaan satuan-satuan usaha agribisnis hendak
dilakukan. Sungguh selalu ada batas DDL (Daya Dukung Lingkungan) dan DSU
(Daya Serap Urai) serta ada SECI (Socio-Entropic Controlling Interface) harus jadi
perhatian untuk diperkirakan dan diantisipasi kondisinya. Jangan sampai terlanjur
mengubah keapikan siklus hidro-orologis menjadi lingkaran setan yang bisa memicu
malapetaka dan memacu kerugian ekonomi warga.
22 Ekonomi Pertanian
bagi pihak pelaku usaha di bagian hulu; juga menjamin adanya kepastian pasok
bahan olahan bagi satuan usaha di hilir.
Begitulah rangkaian semua mata rantai produktif seyogianya terhubung sejak
dari sektor hulu terus ke sektor produktif antara hingga ke sektor hilir terujung
sebelum mencapai titik konsumen. Prinsip keterhubungan ini mutlak harus
dipenuhi, jika sasaran penciptaan lapangan kerja serta keterbagian nilai rupiah
berlangsung adil kepada setiap pihak atau pelaku yang aktif berperan serta. Prinsip
keterbagian pendapatan kepada setiap pemeran aktif itu juga sesungguhnya akan jadi
penopang terhadap fundamental ekonomi negeri yang benar-benar kuat untuk negeri
agraris yang menghidupi mayoritas penduduknya. Jika ekonomi fundamental negeri
ini kuat, martabat kehidupan warga bangsa pun jadi makmur dan tinggi terhormat.
Sebegitu jauh pembahasan mengindikasikan bahwa setiap pribadi orang adalah
konsumen, akan tetapi hanya sebagian orang merupakan produsen. Kelompok anak-anak
pra-kerja (< 15 tahun) dan orang tua renta umumnya hanya merupakan konsumen
saja, dan hampir pasti mereka tidak berstatus produsen komoditi pertanian. Setiap
pribadi konsumen perlu mempunyai sumber pendapatan, karena dari nilai rupiah
pendapatan itu pribadi, konsumen dapat mengukur dan menetapkan kadar belanja
konsumsi yang bisa dicapai untuk keluarganya disesuaikan dengan kemampuan
berbudaya.
Atas dasar dua argumentasi demikian itu, maka unit terkecil konsumen selaku
sasaran pembahasan teoretis adalah satuan keluarga, yang secara konsepsional ada
peran kepala keluarga selaku pengelola bagi serangkaian kegiatan produktif yang
dijalankan oleh unsur anggota keluarga. Seorang kepala keluarga akan selalu aktif
bertindak sebagai pengambil keputusan atas suatu urusan produksi juga konsumsi.
Keduanya tentang daya upaya ekonomi kehidupan keluarga, yang jadi sasaran akhir
kajian ekonomi mikro.
Dari itu, maka kepala keluarga tani jadi salah satu sasaran bahasan ilmu ekonomi
pertanian. Selaku pengatur urusan kegiatan serta kebutuhan seluruh anggota
keluarganya, maka wawasan dan keputusan kepala keluarga perlu dibahas dengan
pertimbangan keilmuan terkait lima alasan berikut.
1. Keluarga petani adalah unsur produsen sekaligus konsumen yang secara
langsung maupun tidak langsung ikut menentukan kadar kesejahteraan warga
bangsa.
2. Keluarga petani pada umumnya berupaya secara tradisonal di lahan usaha
berskala kecil dengan tenaga, alat, bahan, dan pola usahatani masih non-
komersial.
Adalah kesalahan terbesar terhadap warga bangsa jika para pemimpin di setiap
jenjang kegiatan formal ataupun nonformal hanya terpukau, lalu tergoda untuk
meniru siasat dan strategi pembangunan ekonomi negeri lain yang amat berbeda
basis kehidupan ekonomi agrarisnya. Negeri lain punya kepentingan lebih terhadap
sektor industri dan jasa, karena memang kondisi alam di sana tidak mendukung
keunggulan ekonomi berbasis pertanian berbiaya produksi rendah, melainkan
berbiaya tinggi. Sebaliknya, Nusantara ini menikmati banyak sinar matahari bagi
kelangsungan aneka produksi pertanian.
Sikap lalai dan abai terhadap ciri khas kekuatan negeri sendiri yang sangat
unggul di bidang pertanian, sesungguhnya membiarkan peluang emas bangsa
berlalu tanpa memberikan manfaat kemakmuran. Kaum tani yang terus dipaksa
oleh keadaan untuk memeras santan kesejahteraan dari sebidang lahan milik, lama-
kelamaan juga akan terpicu menyalahgunakan kawasan hutan konservasi dan hutan
lindung guna menambah sumber perasan baru yang kaya akan hara kesuburan. Ini
justru bisa menimbulkan kerusakan terhadap potensi ekonomi fundamental dan
membawa bencana kerugian bangsa berlipat ganda.
Dalam konteks ancaman kerusakan basis biogeofisik, perekonomian dan
mandeknya kenaikan taraf hidup serta kadar kesejahteraan bangsa, maka
sesungguhnya kemakmuran negeri sedang dibiarkan dalam kondisi terancam.
Sebaliknya pula, sampai di titik uraian ini, mulai tampak jelas mengapa layak
dikatakan bahwa membangkitkan cagar usahatani (cagar budaya pertanian maju)
nyata berpotensi menaikkan kesejahteraan keluarga petani dan sekaligus bersifat
menjaga keasrian mutu serta fungsi ekosistem hutan lindung di hulu. Pada saat
yang sama, ‘cagar usahatani’ berpotensi menjamin ketersediaan bahan baku bagi
usaha produktif agroindustri. Ini juga berarti menunjang tumbuh agribisnis yang
melahirkan banyak lapangan kerja serta mendistribusikan nilai tambah yang tercipta
dari aneka kegiatan agroindustri hilirnya.
Alasan logis yang dikemukakan di atas menegaskan betapa potensialnya
fundamental perekonomian bangsa di seantero wilayah Nusantara ini jika transisi
24 Ekonomi Pertanian
dari budaya pertanian KCT (kecil-kecilan, cerai-berai, tradisional-gurem) dipicu-
pacu ke arah pertanian maju berpola agribisnis yang meliputi aneka agroindustri. Di
antara sebutan industri olah-perta (agro-processing industry), juga kategori industri
tumpu-perta (agro-based industry), dan industri topang perta (agro-related industry)
tentu kategori olah-perta paling banyak mampu menciptakan lapangan kerja untuk
SDM berpendidikan rendah sekalipun.
Di atas itu semua, tentu secara umum sangat penting digerakkan upaya
pembinaan generasi muda milenial untuk dibentuk jadi SDM yang benar-benar
memahami dan menguasai ilmu ekonomi pertanian sehingga punya empati pada
bidang usaha agribisnis komersial sebagai sumber penafkahan hidup yang dapat
diandalkan karena ada sifat berwawasan lingkungan dan berkelanjutan. Dengan
memahami teori ekonomi pertanian dan prinsip bisnis melalui satuan usaha
agribisnis dan agroindustri, maka generasi muda milenial jadi besar dan kuat tugas
serta fungsinya dalam membangun ekonomi fundamental negeri ini.
27
Persoalannya, para pelaku usahatani tradisional kecil dan sporadik (tercerai-
berai) masih sangat awam terhadap aksi kekuatan pasar yang selalu akan
menampakkan pengaruhnya hingga kepada para pelaku usaha di wilayah hulu
yang pada umumnya berada di posisi sangat lemah. Kaum tani banyak yang belum
paham bahwa isu tiga daya itu amat menentukan kekuatan penawaran (supply) suatu
komoditi atau produk olahan dari pihak produsen. Kebiasaan tanam-tunggu-tampas
pada pertanaman karet, atau tebang-tebas-tunu-tugal-tanam-tunggu-tuai (T-7)
pada pertanaman padi dan jagung di lahan kering berbukit penuh semak belukar
atau hutan tersier; kiranya sempat turun-temurun berlangsung tanpa peduli pada
taktik dan jebakan pasar.
Ketiga daya usaha berwawasan bisnis komersial sudah seharusnya bisa dimiliki
oleh para petani produsen, asalkan ada pihak lain, yakni unsur pemda dan PTN/S
(perguruan tinggi) yang sengaja hadir untuk membangunkan nyali mereka. Tentu
saja proses perkuatan para petani produsen tidaklah sederhana lika-liku prosesnya,
sebab tidak cukup diinisiasi dengan surat perintah dari tingkat nasional, atau dari
tingkat provinsi saja. Ada taktik, siasat, serta strategi dan program yang harus
langsung ditujukan pada sekelompok orang tani pra-tular kepada semua warga suatu
desa. Siasat pengambilan keputusan produksi dan pengelolaan satuan usaha harus
berujung pada efektivitas pemilihan jenis pertanaman dan efisiensi biaya produksi.
Jika produksi per-satuan hektar jadi tinggi dicapai dengan efisiensi (hemat) biaya
produksi, kegiatan usaha bisa meningkatkan laba yang dicapai.
28 Ekonomi Pertanian
kegiatan konsumtif sifatnya merombak atau menghabiskan gufaat suatu benda.
Di sini sebutan ‘merombak’ sesungguhnya mengisyaratkan adanya bahan sisa yang
lebih rendah status gufaatnya. Sisa perombakan gufaat yang masih berwujud tetapi
telah berkurang daya gunanya itu disebut LIMBAH, terutama berupa sampah padat
dan limbah cair.49 Limbah ini secara ekologi disebut ENTROPI (benda yang telah
turun status energinya).
Setiap proses produksi selalu mendayagunakan sejumlah bahan dasar pendukung
kegiatan produktif, dan bahan dimaksud disebut Saprodi (Sarana Produksi) atau
juga disebut INPUT-produksi. Proses produksi pertanian mendayagunakan gufaat
yang ada pada setiap jenis saprodi untuk ditingkatkan statusnya. Dengan pertolongan
sinar matahari dan air tanah, akan terjadi proses fotosintesis pada zat hijau daun
(chlorophyll) sebagai dapur penggodoknya, yang juga perlu didukung unsur-unsur
pelancar proses produksi yang diambil berupa unsur makro (terutama N, P, K) dan
unsur mikro (Mn, Cu, Fe), yang harus ada dalam tanah. Berikut ini kelangsungan
proses produksi bisa dipahami melalui “kurva produksi tiga tahap” komoditi (Y)
dan input tunggal (X).
49
Ada dua jenis bahan buangan lain, yaitu ‘limbah cair’ (benda cair kotor), bahkan kencing
ternak pun disebut limbah cair. Selain itu, ada juga buangan berupa gas buang (emisi), seperti
CO dan CO2, juga CH4.
30 Ekonomi Pertanian
tentu amat besar gunanya bagi perusahaan terkait, khususnya dalam rangka
menjalankan manajemen kegiatan usahatani secara bijak bestari. Upaya manajemen
yang baik perlu didasarkan pada informasi produktivitas tanah atau lahan usaha.
Baru kemudian bentuk informasi fisik itu tentu dapat dijadikan segugus informasi
biaya dan manfaat, yang menjelaskan arus keluar masuk dana dalam tindakan
usaha yang terjadi senyatanya.
Apabila jumlah fisik produksi (Y) dikalikan dengan harga pasar (Hy) tentu
didapatkan nilai penerimaan atau nilai revenue, yaitu sejumlah nilai uang masuk.
Begitu juga dengan jumlah pemakaian saprodi X jika dikalikan dengan harga
belinya (Hx), didapatkan biaya produksi (C = cost). Di sini suatu perusahaan jadi
jelas kinerjanya, karena nilai penerimaan dikurangi nilai pembiayaan tidak lain
adalah nilai pendapatan bersih atau LABA dalam satu putaran produksi. Secara
simbolik, Profit = Y.Hy – Cost atau nilai Rp Laba = Y.Hy – B, di mana B di sini
merupakan besaran nilai biaya produksi.
YA
Porsi
#1
P
Porsi
#2
Rp B = (Bt + Bv)
atau Biaya Total
Rev
Porsi Bv
#3
WL = wilayah Laba
sbb nilai Rev > Cost
Bt
WR = wilayah Rugi
Nilai Bt
sbb nilai Rev < Cost
O Q
Qi =titik impas
Catatan: Perhatikan fungsi produksi berupa kurva produksi komoditi Qy tunggal juga input tunggal
Gambar 2.3 Kurva Tekno-Produksi dan Biaya Produksi
X (Luas lahan), sementara beberapa input lain dianggap konstan.
Catatan: Perhatikan fungsi produksi berupa kurva produksi komoditi Qy tunggal juga input tunggal X 32
(luas lahan), sementara beberapa input lain dianggap konstan.
32 Ekonomi Pertanian
Di dalam ilmu ekonomi, komponen biaya diklasifikasi dalam dua kategori,
yaitu biaya tetap (Co atau Bt) yang sifatnya konstan karena tidak dipengaruhi
jumlah produksi dan cy atau Bv. Ini tergambar pada gugus Kurva Porsi 3 sebagai
garis datar Bt, yang bermakna tidak akan berubah walau seberapa pun jumlah Qy
yang senyatanya dihasilkan. Misalnya, total Rp biaya membangun kandang ayam
pasti dikeluarkan lebih dulu (di awal) dan tentu tidak akan berubah nilai biayanya
seberapa pun jumlah ayam yang diangon dalam kandang itu kemudian. Titik-titik
Q pada sumbu horizontal didukung adanya kandang ayam senilai Co (datar =
konstan) yang tidak berubah.
Selain kategori biaya tetap Bt atau Co tadi, ada pula konsep biaya variabel (cy)
yang nilainya berubah seiring jumlah Qy. Jadi, B = Biaya Total = (Bt + ΣBv) atau
C = (Co + Σcy). Lebih khusus lagi besarannya adalah sebagai berikut.
Perhatikan! Pada Porsi 3 Gambar 2.3 tadi bahwa sumbu horizontal tidak lagi
menggambarkan ukuran saprodi (X), yakni variabel penentu (explanatory variable)
terhadap ukuran fisik komoditi Y pada sumbu vertikal. Melainkan di situ, X telah
berganti variabel Qy, yang sedang bertindak sebagai penentu nilai Rp biaya pada
sumbu vertikal. Ada logika konseptual yang mendasari hal ini, yaitu adalah logis
jika angka produksi tergantung pada banyak atau sedikitnya saprodi X, juga masuk
akal jika nilai biaya produksi variabel yang dikeluarkan oleh suatu perusahaan amat
ditentukan oleh sasaran atau target produksi yang hendak dicapai.
Perhatikan! Pada Porsi 3 itu terdapat variabel kurva biaya variabel berbentuk
huruf S miring terbalik. Bentuk yang demikian disebabkan adanya sifat produksi fisik
yang mengikuti kaidah KHT (Kenaikan Hasil Bertambah) di awalnya, dan kemudian
kaidah KHK (Kenaikan Hasil Berkurang). Kedua pola kelakuan hasil produksi itu
memicu perkembangan biaya produksi bergerak sesuai kebalikan dari pola fisik
produksi (lihat Porsi 2 Gambar 2.3). Saat tidak ada hasil produksi sebagai target,
tentu hanya ada biaya tetap (Bt) yang keluar dan bentuknya datar, karena tetap tak
berubah seberapa pun hasil Y yang bisa difasilitasi sarana yang sudah dibangun.
Dari itulah biaya total tergambar sebagai Bv bertengger pada kurva biaya tetap, Bt.
Jika keuntungan maksimum dicapai dengan tingkat produksi Q di posisi Hy = BM, setiap Q yang ditunjukkan oleh
tingkat harga di atas tingkat biaya BR adalah juga kadar jumlah Q yang akan memberikan laba maksimal; bahkan jika
sekali Hy jatuh di bawah BR, tetapi masih di atas BvR, produksi masih bisa berlangsung karena biaya variabel (upah,
biaya m-solar, dan lainnya masih bisa dibayar dan sedikit laba masih didapatkan). Jadi, KURVA SUPLAI tidak lain adalah
KURVA BM di sebelah atas kurva BvR.
Gambar 2.4 (a) Kurva Biaya Marginal, Biaya Rerata (BR), Gambar 2.4 (b) Kurva Suplai (Penawaran) Esensinya
Biaya Variabel Rerata (BvR), dan Biaya Tetap Rerata Adalah Kurva BM di atas Kurva BvR
(BtR)
Guna memperjelas hubungan data fisik dan dana pembiayaan yang terkait
dengan konsep produksi dan biaya produksi, maka Tabel 2 berikut ini memberi
gambaran numeric (angka-angka) hipotetis. Biaya marginal pada kolom terakhir
berbeda dari biaya rerata (BR) guna menghasilkan tiap satuan produk, dan beda
34 Ekonomi Pertanian
pula biaya tambahan yang perlu diketahui untuk bisa menghitung biaya marginal.
Perhatikan bahwa isyarat upah ideal adalah Upah = NPM terpenuhi jika tingkat upah
= Rp9000,- pada kolom biaya marginal. Dari itu pula, maka teori ekonomi produksi
mengingatkan arti penting konsep Produk Marginal (PM) dan Biaya Marginal (BM).
Tabel 2 Ilustrasi Sasaran Prestasi Fisik dan Biaya Produksi
Untuk lebih realistis, konsep PM dan BM itu dapat diartikan sebagai biaya
tambahan untuk menaikkan 1-satuan hasil tambahan. Pada prinsipnya, di dunia
nyata “tidak ada yang gratis”, karena tambahan hasil hanya akan terjadi jika ada
input-produksi (saprodi) sudah ditambahkan. Dari itu, kalkulasi dapat dibuat
tentang seberapa besar tambahan biaya dimaksud, sebagaimana bisa disimak pada
ungkapan angka hipotetis Tabel 2 di atas.
Perhatikan untuk memahami pengaruh perubahan PM dan implikasinya
terhadap BM, maka pada tabel ditampilkan beberapa kolom variabel fisik yang
disusul kolom lainnya bernilai rupiah. Dengan begitu, maka hubungan antara
prestasi fisik dengan alokasi dana pembiayaan kegiatan produktif akan tampak di
mata manajer dan pimpinan perusahaan ataupun pengamat. Data demikian ini tentu
berguna untuk pengambilan keputusan dan koreksi manajemen.
Contoh hubungan nilai Rp sebagai konsekuensi adanya pengorbanan dan
prestasi produksi fisik adalah tentang hal berikut.
1. Kepatutan nilai Upah = NPM sehingga produksi merugi jika Upah > NPM.
2. Kesamaan harga satuan hasil Hy = NPM-rata-rata per-satuan berat (Kg).
3. Kadar capaian produksi Qy mendatangkan laba maksimum jika Hy = BM.
Gambar 2.5 Tingkat Laba Total Jadi Maksimal pada Tingkat Harga Hy dan Kuantitas Qy
Tampak pada Gambar 2.5 ada laba total maksimum (terbesar) dicapai saat harga
komoditi setinggi Hy dan setara dengan nilai BM, sedang Hy berada di atas BR
(biaya rata-rata). Artinya, total keuntungan produksi adalah sebesar kotak biru muda
senilai Qy x (Hy –BR) sebagai rumusnya. Dari situ, lalu taktik strategi mencapainya
perlu dikawal manajemen produksi dan dituntaskan dengan manajemen pemasaran.
Tentu sepasang langkah manajerial ini sulit dipenuhi petani produsen yang masih
lemah. Kebanyakan mereka tidak punya kekuatan tawar-menawar, dan tercerai-berai
tidak punya unit kelembagaan bisnis yang konsisten berjuang dan membela nasib
komunitas mereka.
Arti penting konsep elastisitas penawaran akan sangat dirasakan ketika ada
pihak produsen merasa harus mengambil langkah bijak untuk menjawab adanya
tantangan pasar agar produsen menurunkan harga komoditi ataupun produk. Logika
selintas tentu mengingatkan pihak produsen bahwa jika harga turun, jumlah yang
akan ditawarkan juga terpaksa diturunkan. Ini pun harus sesuai isyarat yang telah
dibahas sebelum ini, yaitu sebagai berikut.
36 Ekonomi Pertanian
Laba maksimal jika Hy = BM
dan besaran harga itu harus Hy > BVR, agar untung
bahkan kalau bisa, Hy > BR, laba mutlak.
Sesekali bisa saja Hy < BVR atau merugi dan pada posisi itu tidak semua belanja
variabel dapat dibayar, kecuali dengan berhutang. Padahal belanja BVR (misal uang
bensin, upah tukang) jadi penentu kelangsungan proses produksi, dan produksi
jadi berhenti jika masih ada belanja BVR tidak dapat dibayar secara beruntun.
Belanja tersebut adalah tuntutan rutinitas, yang berarti tidak bisa bersandar pada
duit hutang terus-menerus. Tentu pada posisi Hy > BVR nilai laba hanya sedikit
kadarnya, namun bisa penuh menutupi kebutuhan BVR sebagai belanja operasional
proses produksi. Oleh sebab itu pula, saat terjadi Hy> BR maka porsi BTR (Biaya
Tetap Rata-rata) sudah seharusnya ditabung cicil agar kemudian tersedia cadangan
biaya investasi.
Jelas ketika status kaum tani hanya jadi penerima harga (price taker), maka
mereka mudah disepelekan dan dikecohkan pihak pedagang perantara serta diculasi
dan dipecundangi oleh para pihak pesaing. Petani produsen sudah seharusnya
dibina sejak dari tingkat produksi hingga ke pemasaran, dan karena itu, bentuk
dan karakter suplai mereka sudah sepatutnya diketahui serta dipahami terlebih
dulu. Diilustrasikan pada Gambar 2.6, ada tiga pelaku produksi pertanian aktif
menjalankan produksi sehingga masing-masing menampilkan penawaran; kurva
Suplai perorangan petani (Spp-1, 2, 3). Digambarkan tiap kurva penawaran
individual memiliki kemiringan berbeda, walaupun komoditi yang ditawarkan
sama. Perbedaan demikian sangatlah wajar, sebab tiap satuan usahatani punya ciri
tanah, muka air tanah, tingkat kesuburan, serta ciri media lingkungan (suhu, RH,
atau kelembapan) yang berbeda-beda; lalu semua faktor itu diramu petani dengan
kemampuan pengusahaan yang berbeda-beda pula. Keadaan ini digambarkan
untuk kegiatan usahatani tradisional dan berskala kecil sebagaimana yang terjadi
di pedesaan.
Terkait upaya pembinaan kaum tani, maka para pihak yang bersimpati perlu
mendalami sejumlah variabel di balik kekuatan penawaran petani, yakni sebagai
berikut.
Jadi, suplai Q akan sangat dipengaruhi harganya (Hy), luas lahan garapan
(LLG), sumber daya manusiawi (SDM), sumber daya bibit (SDB), sumber daya
penyubur tanaman (Spt = pupuk, obat), serta strategi manajemen produksi dan pemasaran
Gambar 2.6 Suplai Komoditi Perorangan Bergabung Jadi Suplai Pasar (Komoditi
Ditawarkan Tiga Individu: q1 + q2 + q3 = Q Sebagi Kuantitas Ditawarkan Pasar)
Satu catatan perlu digarisbawahi di sini, yaitu tentang fungsi penawaran dari:
(1) satuan perusahaan agribisnis (Spa); ataupun (2) suatu wilayah dengan total
penawaran suatu komoditi. Kedua gugus data tampak dari data sekunder di buku
catatan perusahaan, atau yang diterbitkan secara resmi oleh pemda. Untuk jenis
kajian ini, data yang diperlukan akan lebih mudah diperoleh.
38 Ekonomi Pertanian
sebagai kekuatan nyata yang hanya bisa mereka terima apa adanya, tanpa berstrategi
untuk menaklukkan tantangan pasar.
Tentu saja daya upaya bertani yang hanya bergantung pada belas kasih alam
harus ditinggalkan dan bergeser jadi cara tani yang ditunjang siasat dan strategi
komersial di tengah tantangan kekuatan pasar. Oleh sebab itu, maka prinsip
transaksi untuk bisa meraih laba usahatani di tengah persaingan pasar harus jadi
pengetahuan dasar bagi setiap petani dan SDM pembina petani. Lalu, diperkuat
lagi dengan prinsip inovasi teknologi dan ditambah juga prinsip manajemen unit
usaha serta prinsip wirausaha di tengah kancah persaingan niaga. Dengan semua
prinsip itu, maka kaum tani tradisional serta pelaku usaha lain di setiap kawasan
desa dapat didorong untuk menghimpun kekuatan bersama berupa unit klaster
usaha sejalur rantai usaha mereka.
Dari situ, maka semacam badan usaha berbasis kelompok yang terdiri dari
pelaku usaha sejenis dapat dibina agar bergabung membentuk satuan badan usaha
kemitraan bernapas kerakyatan. Kelompok dimaksud, semisal klaster petani sawit,
klaster petani karet, klaster petani padi sawah, klaster petani sayur-mayur, klaster
Nanti dapat petani hortikultura buah, klaster usaha ternak kaki empat, klaster pelaku industri
apa ya, Pak/
Bu? Sepertinya rumahan pengolah makanan ringan, juga klaster pengrajin industri genteng dan
kalimat ini batu bata yang pada gilirannya nanti dapat . Setiap klaster yang sudah melembaga
menggantung.
sebagai satuan badan usaha sejenis tentunya akan dapat mengatur kegiatan usaha
yang berpola komersial penuh. Badan usaha itu disebut satuan usaha AGRIBISNIS,
yang di dalamnya bisa pula hadir satuan usaha pelengkap berupa cabang usaha
AGROINDUSTRI olah-perta. Dari sini mudah dipahami mengapa sebutan
agribisnis adalah predikat yang tepat diberikan pada “usahatani komersial”. Kata
lainnya suatu satuan usahatani belum tentu agribisnis, tetapi sebaliknya, sebutan
agribisnis primer dipastikan adalah satuan usahatani komersial atau sedang dibina
agar jadi komersial.
Pembedaan makna kedua istilah ini penting, karena di kalangan para pembina
ekonomi pertanian masih terdapat kesalahpahaman dan seterusnya jadi salah
kebijakan. Masih sering orang mengira bahwa nasib kaum tani tertinggal hanya
disebabkan faktor teknis yang belum sempat mengubah kadar produktivitas usaha.
Istilah kadar PRODUKTIVITAS memang berarti jumlah produksi per-Ha lahan
yang diusahakan. Oleh sebab itu, upaya pembinaan selalu akan berkisar pada aspek
teknis; bagaimana menambah kesuburan tanah, dan benih atau bibit mana yang
lebih unggul dalam arti lebih tanggap terhadap pemberian pupuk serta lebih kebal
terhadap hama dan penyakit, ataupun seperti apa teknik bertanam campuran yang
bisa mendatangkan aneka hasil tanpa menambah biaya produksi.
Cara pikir optimistik ini tentu saja mengabaikan kemunculan faktor buruk yang memicu
50
40 Ekonomi Pertanian
untuk meraih laba bisa melalui beberapa pendekatan. Bisa dengan cara mengatur
dan menekan jumlah nilai biaya variabel, yaitu upaya efisiensi tanpa mengurangi
efektivitas pemakaian saprodi sesuai saran ahli teknik pertanian. Sasaran bijak lain
tentu berkaitaan dengan tingkat harga jual; misalnya dengan mengatur kontrak jual
beli pada suatu tingkat harga yang disepakati, atau juga dengan membuat klasifikasi
produk untuk diberi harga mulai dari termahal hingga termurah, tetapi rerata
harga jual harus di atas biaya rerata dan Hy = BM tetap dipenuhi. Bisa juga dengan
cara mengolah sebagian komoditi rendah kualitas dan rendah harga jualnya untuk
dijadikan semacam produk olahan yang lebih tahan lama dan berharga lebih mahal
serta bernilai tambah. Juga lewat upaya promosi dan layanan lebih memuaskan
pembeli sambil mengalahkan para pesaing, lalu terjadi geseran kurva permintaan
komoditi menaikkan harga jual. Demikian siasat agribisnis masuk pasar, tetapi bagi
kaum tani tradisional perlu perlindungan oleh pemerintah agar tidak jadi pecundang.
Secara umum, tiap pendekatan tadi memoles kekuatan suplai yang menjurus
pada keadaan terlalu elastis di saat musim panen (atau keadaan daerah produksi di
pedesaan) dan kurang elastis di musim pra-panen (atau keadaan di kota). Melainkan
ada dua langkah antisipasi mengurangi risiko kerugian, yaitu: (1) langkah menekan
rem atas penawaran komoditi untuk tidak masuk pasar semuanya, tetapi justru
diberi terapi inovasi terlebih dulu; (2) langkah memacu permintaan pasar agar
bergeser ke kanan, misalnya karena ada selera baru di kalangan konsumen terpicu-
pacu oleh kreativitas promosi keunggulan barang dari pihak produsen dalam
kerangka strategi pemasaran.
Secara umum, produsen harus dapat menyelamatkan hasil produksi dari
ancaman harga turun. Jika tidak punya cara memicu-pacu permintaan atau juga tidak
bisa mengolah komoditi yang sedang berlebih, upaya dan perilaku produsen yang
demikian lemah akan terpaksa mudah menuruti kehendak kekuatan permintaan.
Kelemahan yang demikian ini tentu bisa disiasati oleh unit perusahaan yang maju
berwawasan komersial, misalnya dengan menyimpan bahan di dalam gudang
pendingin (cool storage). Bagi petani tradisional hal itu tentu sulit, kecuali jika mereka
berstrategi melembaga untuk bersiasat bisnis.
Harus diingat, pada saat hasil berlimpah maka kurva penawaran jadi elastis
terhadap perubahan harga komoditi. Artinya, ketika puncak musim panen terjadi,
perubahan jumlah yang ditawarkan bukan bertambah karena harga membaik,
melainkan lebih karena pengaruh positif faktor alamiah51 yang justru telah menggeser
kurva penawaran ke kanan. Ini tentu membatasi peningkatan kemakmuran petani,
51
Walaupun juga pernah ada kasus petani sawit di Sumatera Selatan tak mau memanen
tandan buah segar (TBS) karena harga <Rp400/kg (di bawah biaya dan upah panen), jumlah
suplai mengecil drastis hingga harga kembali bergerak naik lambat tergantung kebijakan kartel
Oligopsoni sejumlah pabrik CPO (crude palm oil) di daerahnya.
42 Ekonomi Pertanian
BULOG mengaktifkan HARGA DASAR dengan operasi pembelian surplus tonase
padi tanpa jeli melihat ELASTISITAS penawaran dan permintaan yang melemah.52
Jika keadaan pasar beras di B ini terjadi pada tingkat primer di pedesaan, tingkat
kesejahteraan para petani produsen yang biasanya tampil serba lemah di masa panen
justru lebih baik. Akan tetapi, keadaan B demikian ini harus juga diwaspadai efeknya.
Jika situasi B yang menguntungkan itu dialami petani berulang kali dari tahun ke
tahun, akan muncul rangsangan baru agar petani menambah luas lahan garapan
atau ekstensifikasi yang terkadang dengan merambah kawasan hutan. Ilustrasi
keadaan musim panen dan pada elastisitas penawaran (dan elastisitas permintaan)
dibarengi hasil panen per-Ha melebihi normalnya, tentu hal itu menghendaki bentuk
kebijakan jangka pendek tertentu yang perlu dibuat. Kebijakan jangka panjang pun
harus cepat diantisipasi, jika ada gejala tertentu yang cenderung berulang terjadi.
Di Bab 6 dibahas pengaruh kebijakan menaikkan harga barang peduli elastisitas permintaan
52
dan penawaran.
Begitulah pola suplai hasil produksi dapat diatur supaya petani tidak krisis
uang tunai, dan dari itu perlu manajemen tanam panen dikaitkan target waktu
pemasaran hasil panenan. Apabila lima butir uraian terakhir tadi dicermati, terpetik
satu hikmah tentang tantangan kemajuan agribisnis yang pada kenyataannya bisa
terjawab dengan pendayagunaan invensi TEKNOLOGI dan terap-guna strategi
MANAJEMEN serta siasat piawai WIRAUSAHA. Akan tetapi dengan itu, belum
berarti semua persoalan produksi telah dapat diatasi 100%, sebab perihal biogeofisik
pertanaman yang terkait dengan perubahan musim, pergeseran cuaca, maupun
keadaan ekstrem yang terkait gejala pemanasan global (adanya El-Nino = panas dan
kekeringan berkepanjangan, dan juga La-nina = dingin dan hujan berlebih-lebihan),
akan tetap merupakan faktor luar kendali yang bisa mengancam kelangsungan
produksi tiap petak lahan.
44 Ekonomi Pertanian
Terkait itu semua, tetap harus disadari bahwa gejala pemanasan global
amat erat keterkaitannya dengan kegiatan KONVERSI hutan menjadi kawasan
agroekosistem yang cepat atau lambat akan terus terkuras. Perlu diwaspadai tindak
perilaku warga yang melakukan ALIH-FUNGSI lahan pertanian menjadi wilayah
non-pertanian, sebagaimana harus antisipasi adanya upaya KONVERSI LAHAN dari
suatu pertanaman lama jadi baru (misalnya dari karet jadi kelapa sawit; dari hutan
jadi kebun jagung). Gejala seperti ini ikut jadi penyumbang terhadap pemanasan
global, yakni lewat proses lanjutan sebagai berikut.
1. Banyak kawasan pengendali pemanasan global rusak bahkan hilang, yang
semustinya dilakukan fotosintesis, yakni menangkap gas CO2 atau gas rumah
kaca (green house gas = GHG) justru drastis berkurang.
2. Banyak kehilangan kawasan hutan primer-sekunder dan hutan tanaman
termasuk area kebun, semuanya akan merusak SIKLUS HIDRO-OROLOGI
dan gejala ini akan memicu tragedi KARHUTLA dan BANJIR-LONGSOR.
3. Banyak kegagalan berusahatani dan beragribisnis tentu mengguncangkan
pendapatan warga dan kesejahteraan rakyat, hal ini memicu gaya hidup serakah,
dan dapat memacu pola penafkahan tak hemat karbon.
Perhatikan ketiga hal di atas ini dibarengi proses pembakaran untuk penyiapan
lahan (land clearing), justru secara langsung dan tak langsung jadi penyumbang aktif
terhadap peningkatan konsentrasi serta volume GHG, dan akhirnya jadi salah satu
faktor utama penyebab pemanasan global. Oleh sebab itu, maka strategi penawaran
yang kuat posisi bargaining-nya sangat penting diolah sejak tingkat produksi di
lapangan. Keteraturan permintaan komoditi terjadi, dan jumlah uang masuk kas
pun dapat diperkirakan kadarnya, sehingga melancarkan kegiatan agribisnis sejak
dari proses produksi hingga proses pemasaran. Kepastian suplai atas permintaan
yang saling berkait sesuai urutan rantai pasok (supply change) amat berguna.
Untuk itu, maka setiap unsur generasi milenial negeri, yang notabene disebut
orang bonus demografi dan aset SDM yang tidak dimiliki oleh bangsa lain,
kiranya harus segera diarahkan jadi penggerak utama ratusan jenis usaha (aneka)
agroindustri di seputar Nusantara. Jenis agroindustri pangan kaya protein, berhasiat
obat herbal, maupun non-pangan semisal biosolar, bioethanol, aneka minyak atsiri,
serta esens minyak wangi; kesemuanya bisa diproduksi oleh anak bangsa sejak dari
tingkat lapangan primer hingga mendekati posisi konsumen. Langkah berantai dan
berciri inovatif serta kreatif, kini lebih mudah diorganisir.
46 Ekonomi Pertanian
3
BAB
47
sumbangsih ekonomi pertanian untuk fundamental ekonomi negeri. Konsideran
dimaksud adalah:
(1) Konsideran efisiensi biaya produksi. Biaya jadi efisien jika total biaya yang
terpakai dapat menghasilkan produktivitas tinggi sehingga biaya rerata menjadi
minimal, BR = [∑B : Qy] sehingga BR per satuan sudah seharusnya tertutupi
oleh Rp harga jual komoditi = Hy pilihan. Sayangnya petani hanya penerima
harga, konsumen justru lebih kuasa menentukan harga transaksi Hy.
(2) Konsideran upah atau sewa harus diminimalkan, konsekuensi petani produsen
hanya di posisi penerima harga, maka antisipasi harus dimulai dari hitungan
nilai produk marginal (NPM) = volume PM × Hy maksimum (pilih Hy-prakira
tertinggi dari semua Hy yang diprakira akan rendah); barulah ‘NPM = upah’,
dan ‘NPM = ‘harga–saprosi’ dijadikan acuan tawar-menawar.
(3) Konsideran diversifikasi komoditi dan produk. Ini pendekatan alternatif
yang perlu dibarengi strategi inovasi atas sebagian dari komoditi yang bakal
menerima harga terendah lalu diolah untuk dijadikan produk baru yang tahan
lama dan punya daya guna alternatif dan patut dipromosikan guna memicu
penawaran yang berharga mahal dan bernilai tambah.
Demikian konsideran 1 dapat disiasati titik lemahnya lewat bina klaster petani
yang membentuk lembaga usaha kemitraan agar mendongkrak posisi dan daya tawar.
Lalu konsideran 2 bisa dilakukan jika kekuatan SDM satuan usaha kelompok paham
benar kombinasi saprosi yang tepat. Sedangkan konsideran 3 perlu Pemda untuk
membantu modal dan teknologi sebagai pelancar proses menghadirkan produk
inovatif. Akhirnya, sebutan klaster kini dapat diartikan sebagai penggabungan secara
horizontal antarsesama petani dan secara vertikal antarpara pelaku beda tingkatan
peran yang saling berkaitan.
48 Ekonomi Pertanian
Hal ini secara khusus didefinisikan dalam buku Ekonomi Pertanian dengan istilah
sebagai berikut:
1. Komoditi Utama adalah suatu jenis bahan mentah (atau bahan segar)
yang diproduksi melalui kegiatan satuan usaha agribisnis sesuai dengan
rancangan investasi modal sejak awalnya. Jika petani kecil tradisional yang
memproduksinya, maka komoditi utama biasanya jadi andalan produksi yang
ditanam dan dipanen oleh kebanyakan pelaku usaha tani atas kebiasaan dan
kekhasan alami suatu daerah.
2. Komoditi Sampingan adalah hasil kegiatan produksi antara melalui siasat
tumpang-sari (sesama tanaman musiman seperti sayur-sayuran), atau siasat
tumpang-tebar (yakni tanaman musiman memanfaatkan ruang di antara baris
pohon), juga tumpang-sanding (tanaman pembatas, atau tanaman musiman
tertentu di ruang sekat-bakar terhadap blok pertanaman tahunan selaku
komoditi utamanya).
3. Komoditi Limbah adalah apa pun bentuk buangan dari kegiatan produksi
pertanian atau peternakan, yaitu berupa bahan organik yang masih bisa
dimanfaatkan untuk pakan ternak atau untuk pupuk organik bagi tanaman, dan
karena sifat yang demikian itu maka komoditi limbah bisa berharga dan jadi
sumber uang tunai tambahan bagi pihak pelaku suatu usaha produksi komoditi
utama pertanian.
Pada setiap kegiatan produksi pertanian yang dikelola dengan benar, ketiga
macam komoditi itu akan selalu hadir, tentu atas kombinasi ketiganya dengan
porsi yang berbeda-beda. Sebab itu pula maka ketiganya adalah sumber uang tunai
yang sepatutnya diunduh dan atau dimanfaatkan sebaik-baiknya. Melalui upaya
manajemen dan entrepreneurship yang mumpuni maka setiap peluang mendapatkan
revenuee dari 3 sumber uang tadi mustahil jadi nihil (Rp0) nilainya. Besaran secara
simbolik Total Nilai Penerimaan (TNP) dari komoditi utama (Y1), sampingan
(Y2) dan limbah (Y3) yang tentu punya nilai Rp. Harga untuk masing-masingnya
adalah sebagai berikut.
Untuk individu petani selaku kepala keluarga TLU (Total Laba Usaha) adalah
besaran nilai yang amat bermakna bagi kehidupan dan kesejahteraan keluarganya.
Dari suatu satuan usaha tani milik petani perorangan, bisa didapat Total Nilai
Penerimaan (TNP) yang dapat digunakan untuk tiga (3) pokok keperluan, yaitu
‘biaya kegiatan (operasional) produksi (BKOP)’ berikutnya, juga untuk ‘biaya
kebutuhan hidup keluarga (BKHK)’ dan menyisihkan nilai ‘tabungan sisa usaha
keluarga (TSUK)’. Jika kegiatan usaha terbilang sebagai satuan perusahaan
agribisnis komersial, maka komponen BKHK tidak masuk bilangan perhitungan.
TNP = Hy . Y
Disini nilai hasil sampingan dan nilai limbah diasumsikan nihil demi
penyederhanaan.
Terkait skenario laba usaha tani ini selalu ada kecenderungan petani untuk
membelanjakan nilai TSUK, dan godaan tentunya amat besar di zaman serba
materi hedonistik ini. Padahal di dalam besaran nilai TSUK itu sebenarnya selalu
Catatan untuk ada komponen Biaya Tetap (BT) yang target tahunannya sering kali tidak sempat
penulis: yang
tertutupi, akibat nilai laba turun-naik tanpa kepastian. Perlu diingatkan di sini
dimaksud dari
gambar 5 ini bahwa cara mudah mengukur laba adalah menghitung nilai laba rata-rata (LR)
yang mana ya seperti pada Gambar 5 (Sub-Bab 2.3 di mana Biaya Total adalah B =BT + BV; jika
gambarnya?
dalam bilangan rata-rata per kg hasil produksi Y adalah BR = BTR + BVR). Jadi
LR rerata per kg Y adalah:1
LRy = Hy – BR
LRy = Hy – [ BTRy + BVRy ]12
Dari sini Laba Total satu periode produksi adalah LRy × Y (atau nilai Rp laba
rerata per kg dikalikan jumlah produksi total Y).
Idealnya nilai LR atas [ BTR + BVR ] itu selalu positif, tapi kenyataannya
sering kali LR hanya positif di atas BVR saja, atau [ Hy – BVR ] > 0. Dalam hal ini
nilai laba dari putaran produksi kebetulan menemui harga rendah, mungkin hanya
sedikit di atas Biaya Variabel Rerata (BVR). Jadi hanya keperluan belanja BKOP-r
(= BVR) yang tertutupi, sehingga selebihnya hanya sejumlah laba kecil yang ada
Penjumlahan biaya rerata di sini sengaja tidak tanda kurung biasa seperti (BTR + BVR)
1
karena dalam tradisi Akutansi tanda kurung demikian menyibolkan nilai negatif.
50 Ekonomi Pertanian
dan sebab itu dapat dianggap sebagai LABA SEMU. Disebut semu karena nilainya
hanya dapat menutupi sebagian porsi nilai BTS rerata tahunan (BTS amortisasi)2
yang dananya perlu disisihkan sebagai angsuran pengganti dan ditempatkan dalam
kelompok TSUK. Sebab itu pula seharusnya TUSK dapat dipertahankan dalam
bentuk logam emas, yakni aset yang tidak bisa jadi korban inflasi. Nanti ketika akan
mulai dilakukan peremajaan tanaman tahunan (selaku komoditi utama yg sudah
tua) maka cadangan emas dapat dicairkan, sehingga tersedia sebagian modal awal
yang akan bisa meyakinkan pihak bank. Kesiapan ini penting, sekiranya sejumlah
pinjaman dana masih perlu ditambahkan demi putaran (siklus) produksi berikutnya.
Potensi tabungan juga sedemikian strategis arti pentingnya, tapi tidak disadari
pihak petani. Tabungan itu sudah seyogianya dicarikan cara tepat penanganan
manajerialnya. Secara konsepsional tentu perlu unit kelembagaan khusus yang dapat
dipercaya jadi tempat penyimpanan oleh komunitas petani setempat. Disayangkan
BRI, Bank Bukopin, dan lainnya belum jauh peduli melihat kepentingan petani lalu
ambil posisi geografis terdekat pada tiap desa. Ini disebabkan terlalu mahal ongkos
operasional pelayanannya jika harus lebih dekat kepada warga desa. Rasionalitas
demikian juga baik dan wajar, untuk tidak membebani warga desa dengan porsi
biaya layanan yang mahal.
Sungguh pun begitu, kebutuhan nyata komunitas petani pedesaan terhadap
kehadiran lembaga pengelola keuangan, kiranya mutlak harus ada jalan keluarnya.
Atas alasan ini, maka unit kelembagaan BMT (Bersama Menabung Terencana)
secara konsepsional bisa dianggap paling layak untuk warga desa. Unit BMT ini bisa
dengan mudah diselaraskan dengan kegiatan BUKD, dan dipandang akan mudah
dipayungi oleh BUMDes, dan juga mudah berafiliasi dengan rumah ibadah yang
ada di setiap desa. Kehadiran setiap BMT tentu akan memudahkan akses Bank BRI
atau lainnya kepada warga desa.
Nilai Biaya Tetap sejak awal sekali sudah habis dikeluarkan atau diinvestasikan, dan jika
2
bukan pinjaman dari bank sering kali lupa diperhitungkan. Padahal porsi nilai BTS tahunan
harusnya tertabung dari laba usaha jika nilai revenuee 1-putaran produksi di atas biaya total
tahunan. Cara hitung porsi tahunan BTS yang paling mudah adalah BTS dibagi umur ekonomis
tanaman; atau dengan rumus Amortisasi jika pengaruh inflasi diperhitungkan.
Pada persoalan lapangan seperti itu tentunya diperlukan program inovasi dan
hilirisasi. Karena itu pemahaman terhadap duduk persoalan yang sebenarnya terjadi
di lapangan sangat penting untuk membuat langkah perbaikan. Di lapangan perlu
penularan teknologi, manajemen, siasat pemasaran melalui program CD (community
development = pemberdayaan masyarakat). Juga bisa berupa acara diklat di unit
Inkubator Bisinis bagi pebisnis pemula, atau juga berbentuk bina keterampilan
teknis operasional mendayagunakan sarana penyehatan bisnis di Klinik Bisnis.
Dewasa ini hampir di setiap daerah kabupaten atau kota telah terdapat
perguruan tinggi bidang ilmu keteknikan (eksakta) dan ilmu kemasyarakatan
(sosial). Dalam urusan keteknikan biasa dijumpai sekolah tinggi (PTS) bidang
ilmu teknik pertanian. Dalam urusan sosial kemasyarakatan sudah umum pula di
daerah ada perguruan tinggi ilmu ekonomi manajemen dan pembangunan, ilmu
sosial politik.
Bersamaan dengan itu pula antardaerah selalu terdapat perbedaan potensi
Sumber Daya Alami (SDA) biogeofisik termasuk perbedaan suhu, curah hujan,
dan jenis tanah. Akibatnya bagi setiap pelaku dan calon pelaku usaha yang ingin
berkiprah maju di suatu daerah, sudah sepatutnya berupaya memahami apa
kebutuhan inovasi yang sepadan dengan potensi usaha sesuai kondisi dan situasi
di suatu pojok Nusantara. Suatu tindakan inovasi kadang masih sekadar berkisar
pada upaya penyediaan pupuk dan pemberantasan hama-penyakit tapi tidak boleh
mencemari perairan atau sungai di sekitar usaha. Bisa pula sedikit lebih jauh
yakni inovasi terkait pascapanen di kebun yang jauh terisolir dan tidak terdapat
agroindustri.
52 Ekonomi Pertanian
Jelas upaya melakukan inovasi bisa terkendala oleh ketiadaan paket teknologi
karena lokasi satuan-satuan usaha yang masih perlu dibina begitu terpencil dan sulit
dijangkau. Jika dikaitkan dengan soal penawaran suatu komoditi andalan ataupun
produk unggulan suatu daerah, maka ada beberapa isu pokok tentang apa saja
pemacu suplai berbasis inovasi. Agar terjadi kemapanan penawaran dan sukses
dalam pemasaran suatu produk agribisnis, mungkin perlu diberikan perhatian
terhadap kebutuhan Ipteks-inovatif yang antara lain terkait dengan hal berikut ini:
(1) Persoalan yang ada pada SDA basis komoditi andalan, misal kebanyakan pelaku
usaha tani belum menggunakan benih atau bibit unggul.
(2) Persoalan kendala produksi dan pengolahan produk unggulan; misal belum
stabil jumlah dan mutu komoditi bahan baku dari bulan ke bulan.
(3) Persoalan memenuhi ketentuan standar yang ditetapkan oleh pihak calon
pembeli sebelum bersepakat untuk kontrak jual-beli berjangka.
Upaya pihak produsen untuk mengatasi setiap persoalan yang ada tentu punya
konsekuensi tambahan biaya produksi rata-rata yang harus diemban. Akan tetapi
upaya yang lancar mengatasi kendala dan sukses menaikkan kadar produktivitas
maupun taraf mutu barang yang diproduksi namun menjanjikan Nilai Tambah
(added value) yang dapat melipat-gandakan laba. Justru prihal mendasar yang
selalu dihadapi kaum tani di pedesaan dan perlu jalan keluar adalah menyangkut
tambahan modal untuk memenuhi belanja prasarana dan sarana penopang inovasi
itu. Oleh sebab itu isu pemberdayaan petani lewat pendekatan kelompok dan klaster
berbasis komoditi andalan menuju produk unggulan desa adalah jalan terbaik untuk
memperlancar proses inovasi di tingkat primer, pascapanen, tingkat agroindustri
olah perta menghasilkan produk ½ jadi atau bahkan produk jadi adalah bagian dari
penguatan suplai.
54 Ekonomi Pertanian
nilai kini (present value) manfaat persil lahan sesuai rumus NHAL. Pihak pemerhati
(LSM-peduli atau OPD-Pemda) melalui hitungan NHAL jadi mengetahui nilai kini
dari semua aliran pendapatan bersih tahunan yang bisa didapat oleh pemilik lahan
selama sisa umurnya, seandai lahan digarap produktif. Jika hitungan NHAL lebih
tinggi daripada harga jual godaan, maka NHAL jadi biaya abai jika lahan jadi dijual,
dan semestinya jadi alasan rasional bagi petani menolak transaksi jual-beli murah.
Jika pada suatu unit usaha pertanian hadir manajemen profesional, maka
komitmen membangun ponjen tabungan sebagai dana cadangan investasi (seperti
halnya via BMT tadi) adalah ukuran nyata dari kesungguhan membangun usaha
agar terus tumbuh. Tabungan investasi demikian bagi petani perorangan tentu
kecil nilainya walau sudah bergabung dalam wadah UMKM agribisnis kemitraan.
Tapi secara patungan dengan tabungan pada beberapa BMT lintas desa, maka
inovasi lewat pembelian pabrik mini untuk mengolah komoditi andalan jadi produk
unggulan tentu bisa terjadi. Perilaku yang cermat demikian bisa mendobrak kendala
pendidikan yang rendah dan sering terpengaruh pola hidup materialistis. Pembinaan
kaum tani bisa dilakukan melalui pendekatan kelembagaan BUKD dan BUMDes
asalkan diselenggarakan dengan tulus dan penuh kesungguhan.
3
Harus selalu diingat, besaran biaya rerata (BR) untuk menghasilkan komoditi Y tidak lain
adalah nilai Biaya total (BTR + BVR) dibagi volume produksi (Qy). Jadi, BR adalah sejumlah
modal Rp penghasil satuan Y.
56 Ekonomi Pertanian
Catatan untuk
penulis:
Mohon
cantumkan judul
Gambar 3.2 gambar
Dapatlah dimengerti bagaimana nasib mereka para pelaku usaha tani kecil
tradisional yang mengusahakan suatu pertanaman di persil lahan yang tersisa milik
mereka masing-masing. Persil lahan yang tidak punya kelebihan alami dan digarap
tanpa teknologi serta tanpa siasat dan strategi manajemen baku (sebagaimana yang
biasanya terjadi pada usaha tani di suatu desa miskin), tentu saja mereka petani
penggarap demikian mudah jadi pecundang bisnis yang tunduk kepada ketentuan
para pelaku bisnis komersial.
Satuan usah agribisnis komersial hampir pasti lebih berdaya karena memiliki
kapasitas wirausaha, manajemen dan Ipteks inovatif bahkan mungkin sedang
mengusahakan pula persil-persil lahan terbaik yang mereka beli dari kaum tani di
suatu lokasi. Kata lainnya akan sangat sulit untuk meningkatkan taraf kesejahteraan
kaum tani kebanyakan itu jika belum diberdayakan untuk bisa tampil dengan
kelengkapan perangkat komersial serta melembaga BUKD sebagai pelaku unit
UMKM usaha tani kemitraan yang lebih handal. Lagi pula tidak jarang petani desa
hanya mengusahakan lahan sisa yang kurang baik tanahnya, setelah persil lahan
terbaiknya terjual dengan hanya menerima NGRL (Nilai Ganti Rugi Lahan) yang jauh
lebih kecil dari NHAL (Nilai Harapan petani Atas Lahan; jika digarap sendiri cara
agribisnis). dan itu berarti dia dirugikan walaupun nanti setiap jengkal lahan yang
tersisa di sekitar prasarana fisik (misal jalan tol) tentu akan mengalami kenaikan
harga berlipat-ganda.
Padahal persil lahan yang harus dijual itu boleh jadi memiliki nilai rente ekonomi
yang besar dari tahun ke tahun bisa dinikmati sebagai anugerah Tuhan YME kepada
pemiliknya. Selain itu dengan mengedepankan informasi keunggulan produksi
yang benar sesuai potensi daerah, maka rente ekonomi cermin keberuntungan
pemilik bidang lahan terbaik di suatu wilayah justru bisa dijadikan basis pembinaan
agribisnis khas setempat. Komoditi andalan daerah seyogianya ditransformasi jadi
produk unggulan dan itu menopang perdagangan antardaerah atau niaga antarpulau.
Adanya bukti faktual negatif yang bisa terjadi di lapangan ini, maka amat perlu
tindakan bijak Pemda untuk senantiasa memantau arah dan laju perkembangan
produksi pertanian di daerahnya. Politik pembinaan kehidupan petani kecil
memang harus berbobot kesengajaan yang memihak pada mereka. Para petani kecil
58 Ekonomi Pertanian
tradisonal tidak terlalu bodoh apabila terus diberi perhatian dan dibina dengan
segala kesungguhan. Artinya, berkesungguhan memberi mereka pengetahuan
praktis sejak urusan teknis produksi hingga pada urusan pemasaran dan transaksi
bisnis. Kesungguhan dalam artian diberi perlakuan tidak tanggung-tanggung, bukan
hanya sekadar berupa proyek (yang penting ada bukti dijalankan) melainkan berupa
program yang mesti sukses menanamkan cara dan ciri kerja sistemis. Tidak patut
kinerja meredup setelah fase pembinaan (proyek) berakhir karena putaran bisnis
yang sistemik tidak sempat terbina, akibat daya saing tidak terbentuk guna berpacu
bisnis dengan cara dan kemampuan wirausaha mandiri).4
4
Mengenai hal ini dunia patut kagum menyaksikan bagaimana pemerintah Tiongkok bekerja
sama dengan pihak swasta guna memastikan sekecil apa pun produk atau barang manufaktur
yang dihasilkan UMKM harus bisa dijual ke negara-negara lain hingga pedagang asongan pun
tertarik untuk ikut menjualnya .
60 Ekonomi Pertanian
negara, karena: (1) Sektor pertanian itu sumber penghidupan bagi lebih dari separuh
anak negeri ini; (2) Sektor pertanian menjamin ketersediaan pangan bangsa, dan
juga ketersediaan energi terbarukan asal sawit dan lainnya; (3) Sektor pertanian
sesungguhnya bisa menumbuhkan aneka agro- industri, sehingga berpotensi
menopang niaga antar-pulau dan niaga ekspor.
Gambar 3.1. Komoditi Tani Berupa Bahan Segar Punya Kelemahan 7C, Maka Perlu Olah
Ipteks-Inovatif Jadi Produk Berciri 7J Kuat Pemasaran
Daftar Pustaka
Reynolds, L.G. 1975. Agriculture in Development Theory. Edited pp. 510. London:
Yale University Press.
Wibowo, R. B. Krisnamurthi & B. Arifin. 2004. Rekonstruksi & Restrukturisasi
Ekonomi Pertanian. Ed. Beberapa pandangan kritis PERHEPI. hlm. 368.
63
volume hasil pertanian di titik produksi adalah permintaan konsumen. Persisnya,
jumlah diminta (quantity of demand) adalah penggerak utama hasil produksi menuju
konsumen.
Kebutuhan warga konsumen selalu berkisar pada aneka jenis pangan, pakaian
dan papan, hampir semuanya merupakan hasil produksi pertanian di lapangan dan
umumnya di pedesaan. Bentuk barangnya ketika masih berada di tangan produsen
disebut KOMODITAS yang berupa bahan segar (semisal jeruk dan pisang) atau
juga berupa bahan mentah semisal TBS (Tandan Buah Sawit) ataupun BOKAR
(Bahan Olahan Karet). Untuk sampai ke tangan para konsumen akhir maka suatu
komoditi bisa berupa barang yang sudah diolah jadi produk dan bisa juga masih
berupa komoditi segar siap konsumsi. Apa pun bentuknya dipastikan sudah ada
campur tangan kekuatan pasar yang memilah-pilah komoditi dengan pengepakan
bahkan mengolahnya jadi produk sehingga tahan lama dan sampai dengan baik di
tangan konsumen akhir.
Sering kali disebutkan orang “consumer is the king” atau pembeli adalah raja,
dan sebutan ini dapat dipahami dengan akal sehat sebagai istilah yang tidak
mengada-ada. Betapa pun besarnya peran mekanisme pasar dalam penyediaan
barang melalui aneka bentuk jasa pemasaran termasuk jasa promosi, tapi keputusan
untuk membeli dan memakai barang itu tetap dibentuk oleh kekuatan permintaan
konsumen. Dari sini konsep permintaan sangat penting untuk dipahami dengan
cermat untuk didayagunakan dengan seksama sehingga menguntungkan petani
maupun konsumen.
64 Ekonomi Pertanian
terbentuk dari 2 unsur pembatas, yakni jumlah pendapatan yang dapat dibelanjakan
(disposable income) dan harga relatif dari dua dimensi kelompok barang kebutuhan.
Jadi, jumlah kebutuhan tidak sama ukurannya antarpribadi konsumen atau
bahkan kelompok konsumen, walau terhadap jenis barang yang sama. Oleh karena
itu, teori permintaan konsumen lebih peduli pada tingkat kebutuhan yang sifatnya
relatif daripada peduli terhadap kadar kebutuhan mutlak dengan satuan ukur kg
atau meter dan lainnya. Ordo atau derajat kebutuhan cukup dinyatakan derajatnya,
yaitu lebih tinggi atau rendah serta lebih banyak atau sedikit. Jika ordo kebutuhan
ini digambarkan untuk 2 jenis atau 2 kelompok kebutuhan barang A dan B, maka
akan ada jejak Gambar 4.1 (a),(b),(c) yang terkait taraf kepuasan dan kemampuan
konsumen.
Perhatikan bahwa kurva permintaan dapat diidentifikasi adanya di suatu
komunitas konsumen dengan dasar ukuran relatif 5 unsur variabel pembentuknya,
yaitu sebagai berikut:
1) Ukuran kadar pendapatan (P) rata-rata yang mereka bisa belanjakan;
2) Ukuran harga 2 jenis komoditi (A dan B) yang mereka butuhkan;
3) Ukuran kepuasan sama (indifference) dari beberapa kombinasi A dan B.
4) Ukuran derajat kepuasan beda (ordinal) antarkelompok kombinasi itu.
5) Ukuran derajat kepuasan optimal sesuai tingkat kemampuan yang ada.
Dari 5 komponen informasi hipotetik di atas, maka dapat dibuat Gambar 4.1
diberikan berikut ini.
Catatan untuk
penulis:
Gambar pada
word error
mohon kirim
ulang gambar 4.1
66 Ekonomi Pertanian
Gambar 4.2 Ilustrasi tiga Kurva Deman Perorangan Menjadi Permintaan Pasar (Quantitas
Diminta Individual; q1 + q2 + q3 = Q (Jumlah Diminta Pasar)
68 Ekonomi Pertanian
bahan segar ataupun bahan baku, seperti yang sudah dibahas sebelum ini (sub-Bab
3.5).
Atas alasan demikian itu maka komoditi andalan suatu daerah perlu
ditransformasi menjadi produk unggulan daerah. Atas perlakuan Ipteks-inovatif
terhadap suatu komoditi, maka dihasilkan suatu produk olahan yang tidak lagi
memiliki sifat 7C seperti semula. Sifat baru yang lebih luwes untuk diangkut jauh
tentu memperlancar proses bater produk unggulan untuk dipertukarkan secara
transaksional oleh para pelaku bisnis dari masing-masing daerah. Perlakuan inovatif
dan kreatif ini seyogianya mendatangkan nilai tambah dan memperbesar raihan
laba, yang sepatutnya pula menambah pendapatan petani.
Jadi, rutinitas pertukaran barang khas antardaerah (barter) tentu berfungsi
memperlancar aktivitas ekonomi di kedua daerah, mempercepat laju pertumbuhan
ekonomi di sesama daerah melalui peran aktif banyak warga. Fundamental ekonomi
bangsa mengua dan menambah keeratan hubungan sosial–ekoniomi–budaya
(sosekbud) antara warga, dan pasti berpengaruh positif bagi perkuatan kesatuan
dan persatuan bangsa. Justru skenario cantik yang seperti disebutkan ini kiranya jadi
sasaran penting yang harus dibidik dengan alat teleskop dan senjata konsepsional
ilmu ekonomi pertanian. Atas dasar pertimbangan yang serba indah dan berbuah
manis ini juga, maka setiap pembina ekonomi kerakyatan di daerah sepatutnya
melihat hal itu sebagai satu target pembinaan di daerah masing-masing.
Upaya untuk menciptakan perluasan pangsa pasar tiap produk unggulan
memang sebaiknya dimulai dari penetapan komoditi andalan masing-masing daerah,
yang berarti juga menyangkut nafkah hidup mayoritas warga dan juga paling cocok
dengan ciri lingkungan biogeofisik setempat. Jika suatu komoditi andalan sudah
teridentifikasi, maka selanjutnya harus dicermati dari sudut pandang hulu dan
hilirnya. Dari sisi hulu harus dipertanyakan masih perlu jenis Ipteks apa untuk bisa
manaikkan produksi per ha (atau produktivitas) usaha tani itu? Dari sisi hilir sangat
penting dipertanyakan seperti apa perlakuan ipteks usaha tani yang lebih cocok
untuk memenuhi selera dan pola permintaan konsumen-antara maupun konsumen-
akhir; konsumen di daerah tetangga maupun konsumen jauh di daerah lain?
Orientasi pertimbangan selera dan pola permintaan konsumen-antara berarti
pihak pembeli yang akan memberikan perlakuan lanjut pada barang itu demi
menambah daya tarik barang (terkait rasa dan khasiat) di mata konsumen akhir.
Sekaligus pada saat yang sama perlakuan teknis harus mereka berikan guna
memperlancar arus transportasi produk unggulan itu hingga ke luar daerah yang jauh
bahkan akhirnya ke luar negeri sebagai barang niaga ekspor. Demikian pula ada isu
pola permintaan yang berkenaan dengan konsumen-akhir, dan pola permintaan itu
pasti berkaitan dengan taraf pendapatan (sosial ekonomi) dan terkait pula dengan
70 Ekonomi Pertanian
di desa (dibanding Dpp1 yang biasa adanya di kota) semakin kecil kadar perubahan
jumlah yang diminta (∆Q3) jikapun harga barang menurun begitu bernas (∆H3).
Tampak pergerakan titik potong dari A ke B pada kurva permintaan, dan itulah
‘gerak di sepanjang kurva’ diikuti ‘perubahan jumlah yang diminta’ sebesar ∆Q1,
∆Q2, ∆Q3 sebagai akibat turunnya harga sebesar ∆H1, ∆H2, ∆H3. Dalam hal ini harga
komoditi pertanian menurun karena terjadi pergeseran kurva penawaran sementara
permintaan tidak berubah sama sekali sebab pada ketiga gambar tidak terjadi
“pergeseran kurva permintaan”. Sejauh yang terkait dengan kurva permintaan,
pada gambar hanya ditampakkan adanya semacam “perbedaan kemiringan
(elastisitas)” kurva permintaan. Di situ tampak adanya perbedaan (bukan perubahan
) kurva permintaan yang sengaja digambarkan atas asumsi adanya perbedaan lokasi
transaksi pasar; yakni di desa (Dpp1), di tingkat pedagang penghubung (Dpp2) dari
pedesaan kepada konsumen yang pada umumnya berada di kota (Dpp3).
Rincian sasaran pemahaman yang berbeda-beda itu sengaja diberikan di sini
untuk sekaligus mengingatkan pembaca naskah teori ini tentang tiga diksi penting
dalam upaya mengkaji dan membahas keadaan di dunia nyata, yang mungkin
dijumpai oleh pengamat ekonomi di lapangan. Pemahaman rinci dan komprehensif
di zaman serba kemajuan dan cepat berubah dewasa ini apalagi di masa depan
tentu membuat rumit setap persoalan sosial ekonomi maupun sosial-ekologis
dan sosial-politik. Dari itu akan sangat tidak efektif kebijakan untuk mengatasi
persoalan itu jika bersifat parsial dan kasus per-kasus, ter-lebih lagi pengaruh
perkembangan teknologi inforkom sudah pula tersebar di pedesaan. Bersamaan
itu juga pertumbuhan jumlah penduduk dan kebutuhan hidup mendasar warga
kian berlipat ganda, semuanya memacu persaingan dan terkadang bisa memacu
keserakahan yang berujung ketegangan sosial. Suatu rancangan pembangunan
ekonomi berbasis mikro ekonomi perusahaan pada suatu zona makro ekonomi
kewilayahan sangat besar perannya.
Guna membangun daya-kaji terhadap masalah perekonomian dalam rangka
merumuskan kebijakan ekonomi dan meningkatkan kapasitas tekno-ekonomi
pembinaan wilayah, maka para pihak yang mungkin dilibatkan harus sejak awal
memahami komponen teori itu agar konsepsi teori yang benar dan relevan dapat
dipakai dalam rangka analisis masalah dan kemudian menyusun rancangan
prasarana-sarana fisik dan kebijakan pembangunan, pengelolaan dan pengembangan
kegiatan agribsinis termasuk agroindustri dan layan-jasa jual-beli yang kuat
kapasitasnya serta sistemik jejaring bisnisnya karena sudah tepat diantisipasi arah
perubahan ke depan terkait permintaan komoditi.
72 Ekonomi Pertanian
konsep elastisitas sering jadi topik diskusi, dan terkait dengan itu ada tiga konsep
alokasi pendapatan untuk permintaan. Tentang elastisitas, dua yang sering dibahas
yaitu konsep elastisitas harga atas permintaan (price elasticity of demand) dan juga
konsep elastisitas pendapatan atas permintaan (income elasticity of demand). Tentang
alokasi pendapatan patut dibaca sesuai konsep alokasi proporsional variatip (ala-
Ernest Engel). Ada konsep alokasi lintas-guna konsumsi dan nonkonsumsi. Selain
itu ada konsep alokasi jaga-jaga, dan konsep alokasi kaku-belanja bagi konsumen
yang hidup di bawah garis kemiskinan (poverty line). Kelima konsep tersebut ini
jelas ada hubungannya dengan konsep elastisitas pendapatan atas permintaaan
terhadap suatu komoditi pertanian ataupun produk agroindustri olah-perta yang
pasti berpengaruh pada kehidupan kaum tani pada umumnya.
Tentu saja ketika harga komoditi pertanian mengalami kenaikan sedang dihadapi
oleh konsumen di perkotaan, maka pengaruhnya terhadap porsi belanja pangan
pokok tidak akan drastis menurun. Akan tetapi pada kondisi daerah atau negeri
masih terbilang agraris, maka suatu kenaikan harga pangan pokok akan memicu
laju inflasi ekonomi karena harga-harga barang selain pangan pokok akan ikut
terdorong naik. Situasi demikian akan menciptakan keadaan ekonomi keluarga
konsumen mengalami penurunan pendapatan riil. Cepat atau lambat pengaruh
perubahan pendapatan riil itu dipastikan akan memaksa warga lapisan bawah jadi
konsumen yang memilih pangan bermutu rendah, walaupun dari segi volume relatif
tidak berubah atau kata lainnya tidak banyak merubah elastisitas permintaannya.
Di sini ada lima sebab rendahnya elastisitas pendapatan pada permintaan
hasil pertanian, yakni: 1) tidak selalu terjadi penurunan porsi belanja untuk barang
kebutuhan rutin suatu keluarga; 2) tidak setiap negeri dapat menghasilkan komoditi
segar dan olahan kecuali lewat impor; 3) tidak serta-merta bencana atau krisis
ekonomi akan menaikkan harga hasil pertanian; 4) tidak sampai lama kekurangan
hasil pertanian, boleh jadi ada stok cadangan sebelum ada hasil panen baru; 5) tidak
semua wilayah terkena bencana yang lepas dari adanya bantuan kemanusiaan dan
dukungan diplomatik dari negeri sahabat.
Terkait elastisitas pendapatan atas permintaan komoditi pertanian maka
keadaan yang akan tergambarkan dengan kurva permintaan, adalah: 1) ketika rerata
pendapatan warga meningkat keras, maka akan terjadi pergeseran kurva permintaan
ke kanan untuk komoditi nonpangan, tapi relatif mantap kadar permintaan untuk
pangan pokok dan pelengkap alaminya; 2) karena kadar pangan tidak banyak
dipengaruhi oleh pendapatan yang mulai merangkak naik dari posisi sekadar cukup,
maka otomatis akan ada porsi pendapatan untuk jaga-jaga jika situasi darurat
sewaktu-waktu datang dibawa oleh bencana alam atau ketegangan sosio-politik
atau bahkan oleh semacam krisis ekonomi global.
74 Ekonomi Pertanian
Contoh persoalan petani pelaku usaha tani KCT tanaman pangan dapat dikaitkan
dengan informasi konsepsional teoretis dalam Tabel 4.1 di atas. Di dalamnya terdapat
empat dimensi penyediaan pangan daerah, yang bisa muncul meresahkan konsumen
karena terbebani kenaikan harga pangan; juga meresahkan produsen karena harga
padi-beras terhadap harga barang lain relatif makin melemah atau mengecil. Jadi
tingkat pendapatan riil petani pangan semakin rendah. Boleh jadi mereka tetap di
posisi “mandiri pangan = food self sufficiency” dan tercukupi oleh tangkapan dan
panenan gratis dari keanekaragaman potensi alam sekitar (food diversity). Bagi
kaum buruh di kota atau konsumen di daerah yang “nonpenghasil pangan” tentu
muncul penderitaan warga akibat turun dan lemahnya tingkat pendapatan relatif,
sementara pangan keburu sedang sulit didapat (= food in security) terlebih sulit lagi
jika yang terjadi bencana atau krisis pangan (food in addecuacy). Jadi di kalangan
rakyat di lapisan bawah, isu kepanganan amat mudah terhubung kepada persoalan
pendapatan dan kesejahteraan.
Daftar Pustaka
Boediono. 2009. “Ekonomi Indonesia, Mau ke Mana?”; Kumpulan esai ekonomi.
KPG, Kepustakaan Populer Gramedia. Jakarta
Manning, C. & S. Sumarto. 2011. “Employment, Living Standard And Poverty in
Contemporary Indonesia”. ISEAS. Singapore.
77
dan gembur yang terbawa erosi; bukankah curah hujan tahunan berbagai daerah di
negeri ini kebanyakan dalam bilangan rata-rata 2500-an mm per tahun.
Dilihat dari perspektif produksi, maka hasil pertanian Nusantara selalu ditandai
dengan aneka ragam hasil tani yang berbeda-beda jenis dari provinsi ke provinsi
karena memang iklim dan jenis tanahnya berbeda. Bahkan di pulau Sumatera,
keanekaragaman hayati itu dapat dijumpai berbeda dari kabupaten ke kabupaten
lainnya. Misalnya saja dikenal ada pertanaman jeruk Brastagi juga tembakau Deli,
ada pula nilam terbaik di Aceh Barat. Begitupun ada hasil tanaman getah Gambir
(Kab. MUBA) juga hasil pertanaman kayu HTI-Acacia Mangium (Kab. Muara Enim)
Sumatera Selatan. Ada pula pertanaman lada hitam Lampung Utara yang berbeda
dari hasil tanaman lada putih Bangka atau Perikanan Hias dari laut Kabupaten
Belitung.
Jika hasil pertanian diklasifikasi jadi 2 kelompok, maka yang pertama adalah
jenis bahan baku agroindustri dan umumnya berasal dari aneka jenis tanaman
tahunan. Kelompok kedua adalah jenis bahan segar siap dikonsumsi, terkecuali jika
terjadi surplus jumlah berlebihan di musim panen dan harus diselamatkan dengan
olah komoditi menjadi produk agroindustri makanan dan obat-obatan. Kekhasan
dari 2 kelompok hasil pertanian ini sungguh nyata, bahkan jika dibina dengan
pendekatan agrobisnis maju. Kehadiran produk khas dan unggulan tiap kabupaten
Nusantara tentu akan bisa memicu permintaan sendiri lintas kabupaten, sebagai
basis pemicu perdagangan antarpulau.
78 Ekonomi Pertanian
Jika teori ekonomi mikro membedakan antara Selera (S) yang dianggap beda dari
variabel cuaca-iklim (Ic), maka di bagian ini hal tersebut diperjelas arti pentingnya.
Selera di dalam teori konsumsi boleh dihubungkan dengan pesan hukum Ernest
Engel (1889) dan hukum Gosen (1959). Sementara itu, variabel cuaca boleh
dihubungkan dengan risiko surutnya konsumen karena dibatasi cuaca yang tidak
kondusif, maupun cuaca akan mudah memicu gejala sakit jika salah merespons cuaca
itu untuk kecukupan energi tubuh. Hal yang terakhir ini sering jadi alat promosi
pemacu permintaan suatu barang yang diproduksi, tapi juga untuk menggerus
permintaan barang yang diproduksi oleh pihak saingan. Sentimen lingkungan dan
agama sangat sering jadi alasan.
Ernest Engel (1889) dengan teliti telah menggagas bagaimana hubungan
relatif antara tingkat pendapatan konsumen terhadap selera permintaan barang di
suatu saat karena pendapatan konsumen naik nilainya pada suatu periode waktu
lain. Kategori makanan pokok tentu tidak akan banyak berubah jumlahnya ketika
pendapatan sesorang atau komunitasnya naik atau sebaliknya turun, karena sesuatu
yang pokok mutlak harus dipenuhi demi kesehatan diri. Akan tetapi ketika tingkat
pendapatan naik, boleh jadi selera terhadap barang mewah (luxury) mulai terpicu,
dan begitu juga permintaan atas layanan wisata dan kebugaran akan meningkat
secara ‘alami’. Mungkin kebutuhan lama yang diidamkan bisa dibeli saat pendapatan
jauh meningkat.
Walaupun sepertinya variabel G dan S jadi tumpang tindih jika didatakan untuk
proses analisa permintaan, namun dalam hal ini ada 2 hal yang jadi garis pemisah
efek kedua variabel itu, yakni (selera PATUH & selera URGEN):
1. Jika suatu jenis barang telah ditetapkan untuk dibuat analisis permintaannya,
maka ketika itu hukum Gosen (dalam arti sesaat apalagi seperiode) akan berlaku
jadi penentu kadar selera seseorang terhadap barang itu; jika kebosanan atau
ketakutan terjadi dalam suatu periode, maka akan lama upaya pemulihan ke
posisi suka periode semula. Ini tidak ada kaitan dengan tingkat pendapatan
konsumen atau penawaran berharga murah. Bayangkan bagaimana efek dari
kampanye anti minyak sawit di Eropa pada surut permintaan atas produk
minyak sawit-RI selama 2 dekade ini.
2. Jika merebak suatu jenis wabah pandemi seperti Covid-19, maka bisa terjadi
selera untuk mengonsumsi obat herbal yang dipromosikan jadi naik berlipat
ganda, walaupun tingkat pendapatan rata-rata di semua negeri justru menurun
setelah banyak orang kehilangan lapangan kerja akibat banyak perusahaan
mengalamai tutup usaha, alias bangkrut. Perhatikan bahwa dalam hal ini,
pengaruh tingkat pendapatan terputus dari pengaruh selera yang urgen sekali.
Dengan contoh ini, maka sangat penting adanya daya analisis yang cermat &
komprehensif oleh pihak pengamat.
80 Ekonomi Pertanian
2. Kelancaran pemasaran memang terjamin dengan sendirinya akibat adanya
keharusan tiap orang untuk mencukupi kebutuhan pangan keluarga, namun
permintaan bulanan relatif konstan, sehingga tiap petani perlu ‘gudang’.
3. Kegiatan kaum tani penghasil komoditi pangan pokok selalu akan terpacu di
antara pengaruh permintaan yang stabil tapi proses produksi musiman, yaitu
hanya 2 atau 3 kali musim tanam & panen, itu pun jika ada irigasi.
4. Kecenderungan melakukan tanam dan panen dengan frekuensi 3x setahun jika
apik prasarana-sarana irigasi, sementara itu pertanaman agrotrisula sumber
nafkah lain agak terbatas pasar dan komoditi ini mudah rusak.
5. Kebutuhan pangan lambat dan pasti meningkat, tapi luas lahan tidak selalu
mudah ditambah, maka pangan amat perlu hara dan air tanah yang selalu
tersedia teratur dengan apik dan lancarnya siklus hidro-orologis.
Oleh sebab itu, kepedulian Pemda dalam memperhatikan nasib kaum tani adalah
sama pentingnya dengan kepedulian memantau & mengendalikan pengaruh bisnis
kepanganan terhadap inflasi ekonomi di daerah. Peran aktif dari Dewan Ketahanan
Pangan Daerah (DKPD) penting guna memperkuat kebijakan Pemda lewat
pemantauan dan pendataan luas tanam & hasil panen. Dari data yang ada berurutan
waktu (time series), maka fungsi penawaran beras dapat diestimasi (diprakira) dan
dianalisa setiap 6 bulanan ataupun sekali tiap jangka waktu setahunan.
Metode regresi linier multivariabel selaras DQ=f[HQ, Gj, Sw, Hx, Ic] perlu
data berurut-waktu untuk setiap variabel permintaan. Biasanya data tersedia
sebagai data sekunder konsumsi dipublikasi oleh kantor resmi, yakni Kantor
Statistik provinsi atau oleh dinas pertanian setempat. Suatu persamaan regresi
linier ditampilkan disini, yakni DQ sebagai fungsi permintaan beras:
82 Ekonomi Pertanian
Tabel 5.1 Harga Beras di Pasar Tradisional Daerah Lumbung & Non-Lumbung Pangan
Nama Kota Tahun Pencatatan Keterangan
No.
Provinsi 2015* 2016* 2017* 2019** 2022** Ciri Lokasi
1. Palembang 9644.30 10370.57 ? 9450.00 9000.00
Wilayah
2. Serang 9151.21 10379.40 ? 8950.00 11100.00 Lumbung
pangan
3. Makasar 9040.99 10666.58 ? 9000.00 9000.00
Perhatikan bahwa dinamika inflasi sengaja diulas pada Bab Permintaan ini,
mengingat pengaruh konsumen memang begitu kuat untuk memenuhi pangan
keluarga, seolah bisa sedikit menggeser kurva permintaan ke kanan, sehingga harga
beras mudah terpicu naik di bulan prapanen atau di tahun defisit suplai beras. Ketika
musim panen harga di tingkat petani tertekan keras, tapi pada musim prapanen
harga naik membubung, walau tanpa imbas positif kepada petani. Jadi, ‘kepastian
permintaan pasar’ akan sangat membantu petani, dan oleh sebab itu pula, maka para
petani harus tampil melembaga BUKD-agribisnis. Dengan cara Bersatu melembaga,
maka posisi tawar petani jadi membaik.
Berbeda dari keadaan itu, isu pembiayaan kebutuhan pangan keluarga bagi
petani tentu berbeda daripada pribadi konsumen pada umumnya. Dengan usaha
tani kecil dan tradisional ataupun UMKM-agribisnis berupa BUKD, pak tani harus
mencukupi jatah-pangan keluarga, sekaligus meraih laba-usaha. Di luar 2 hal
itu, petani ada dana kembali modal yang bisa digunakan untuk memutar lagi
roda produksi berikutnya. Memang tidak akan ada bahan pangan jika kaum tani
tidak mengayunkan cangkul mereka, tapi tidak otomatis petani kecil tradisional itu
jadi sejahtera jika konsumen pada umumnya bersikukuh inginkan harga semurah
mungkin tanpa peduli pengorbanan dan nasib para petani produsen.
84 Ekonomi Pertanian
Pihak pelaku usahatani dan pihak agroindustri pun terbantu memapankan tampilan
masing-masing. Hubungan kontrak jual beli terjalin harmonis antara kedua pihak
itu benar-benar gayung bersambut, sehingga menciptakan semacam kepastian pasar
bagi para petani. Implikasi positifnya dipastikan bisa menihilkan tekanan hantu 7-C
dan sekaligus menjadikan lancar kegiatan pabrik untuk menciptakan nilai-tambah.
Di sini, kehadiran BUKD binaan amat diharapkan berfungsi memayungi dan
berperan mengayomi para petani komoditi sejenis dan seklaster, tetapi sekaligus
lebih menguatkan harmoni rantai perniagaan. Kebangunan agribisnis berbasis
ipteks-inovatif yang demikian tentunya akan terpacu lebih bernas lagi, jika ciri
intensifikasi yang berkembang juga dibarengi tindak pembangunan berwawasan
lingkungan. Artinya, ancaman nyata yang bisa datang dari perilaku ekstensifikasi
beriring konversi hutan akan teratasi lewat proses intensifikasi itu, terlebih lagi jika
didukung keapikan kawasan DAS (Daerah Aliran Sungai) yang menjamin sehatnya
fungsi hidroorologis penopang sukses agribisnis.
Dalam kaitan skenario harmoni hubungan vertikal lintas pelaku agribisnis yang
indah itu beruntunglah jika selain alokasi dana APBD (yang dipastikan terbatas)
juga tersedia sumber dana CSR-perusahaan guna membiayai gerakan monetisasi
desa dan pemberdayaan kaum tani tradisional. Akan tetapi, bertolak dari ungkapan
lama bahwa ‘Tidak Ada Sumbangsih Gratis’, melainkan ‘Selalu Ada Udang di Balik
Batu’, maka ada pesan pendistribusian dana CSR. Sesuai dengan PP #47 Tahun 2012
tentang “Tanggung Jawab Sosial & Lingkungan Perusahaan” yang terpancar dari
UU #40 Tahun 2007 (Pasal 74); tentu tidak akan mulus dan merata berlangsung,
jika tanpa manfaat balik positif kepada korporasi.
Adapun manfaat balik yang diharap muncul tentu berupa iklim bisnis dan
kondisi positif bagi kelancaran proses kewirausahaan. Pada unit perusahaan pemberi
dana CSR antara lain hendaknya muncul keadaan seperti berikut:
1. Jaminan keamanan lingkungan dalam lingkup konsesi kegiatan lapangan dan
perkantoran korporasi.
2. Jaminan aliran komoditi yang diproduksi UMKM sebagai bahan baku bermutu
bagi produksi korporasi.
3. Jaminan produktivitas oleh UMKM penerima CSR yang bisa bermanfaat bagi
SDM & pekerja korporasi.
4. Jaminan interaksi bisnis saling menguntungkan atas dasar transaksi barter
produk UMKM dan korporasi.
5. Jaminan interaksi produktif saling menunjang terkait dengan penggunaan
sumber air, penting bagi kedua pihak.
86 Ekonomi Pertanian
otomatis proses inovasi bisnis akan berhenti alias ‘habis proyek pupus pula semua
kegiatan’ tanpa berlanjut.
Sudah seharusnya ada dampak positif yaitu: tumbuh lapangan kerja, tambah
peredaran uang, dan muncul aneka sumber PAD baru. Proses ini harus cepat
berlangsung karena hasil pertanian praolah pascapanen amat riskan merosot mutu
dan susut volumenya. Jika transaksi banyak merugi, maka reduplah semangat
inovasi para petani sasaran pembinaan agribisnis. Gagal penularan Ipteks-inovasi
dan manajemen bisnis-inovatif bisa terjadi karena kelupaan membina secara tuntas,
yakni sejak dari titik-produksi hingga ke titik-titik pemasaran.
Tentu saja setiap proses bisnis perlu tingkat harga baik berkat kinerja kekuatan
permintaan dan penawaran barang, dan harapan demikian sering kali tidak terealisasi
hanya karena 2 kekuatan itu tidak berimbang. Sisi permintaan dimanjakan, sedang
sisi penawaran dibiarkan sebagai kekuatan yang sepenuhnya direkayasa oleh
alam saja. Kegagalan jadi amat sering terjadi karena pada saat pembinaan mulai
tampak nyata setiap petani binaan bisa menaikkan jumlah dan mutu produksi
per-Ha. Prestasi ini masih dibarengi tingkat harga komoditi yang normal, sehingga
memuaskan keluarga petani produsen, dan setidaknya nampak menyejahterkan
para pelaku produsen binaan.
Melihat itu, maka lebih banyak unsur warga akan meniru prestasi yang mereka
saksikan, lalu kebaikan alam memfasilitasi keinginan warga kebanyakan dan
hasilnya adalah volume produksi berlimpah. Ketika ini justru maksud awal untuk
mengkondisikan kemakmuran bagi para petani produsen justru berbalik arah jadi
menistakan nasib kaum tani. Oleh sebab itu, maka aneka strategi dan taktik harus
dipakai untuk mengendus peran pasar agar aktif menyerap hasil produksi dari
lapangan.
Tidak aneh jika upaya cipta daya serap pasar itu bisa bervariasi, yaitu dari
bentuk yang paling sederhana tradisional hingga yang serba fenomenal mengikuti
perkembangan teknologi inforkom. Di antara yang sederhana tradisional adalah
peran pedagang asongan dan lapak dadakan yang aktip beraksi di setiap lokasi objek
wisata yang banyak dikunjungi para wisatawan. Dari sekadar terjual kebetulan kepada
wisatawan yang sedang bersantai, boleh jadi pembelian itu disertai berkembang jadi
beli komoditi dan produknya untuk oleh-oleh. Rantai transaksi jual-beli bisa saja
berkembang lebih jauh melewati serangkai urutan mata rantai pembelian lewat
pesanan dari jarak jauh, sehingga kemudian menjelma jadi mata rantai perniagaan
partai besar lintas kabupaten, lalu menjadi lintas provinsi di lingkup nasional dan
akhirnya berlanjut ke tahap go international yang berarti kehadiran permintaan dari
luar negeri.
88 Ekonomi Pertanian
terjaga apik guna menata keseimbangan siklus air, maka mudah terjadi longsor dan
banjir di musim hujan diiringi erosi partikel tanah dari kawasan atas. Di musim
kemarau mudah pula terjadi kekurangan air, dan kedua gejala negatif ini tentu
merobek penawaran dan menohok permintaan hasil pertanian. Oleh karena itu
langkah antisipasi sangat diperlukan.
Pendekatan yang terbaik, tentunya harus berpangkal-tolak dari kegiatan riset
sosial-ekonomi pertanian. Pengaruh pertambahan jumlah penduduk dan konsentrasi
keberadaan warga itu di suatu wilayah harus dihubungkan dengan ketersediaan
lapangan potensial untuk berladang, bersawah juga berkebun. Dengan riset
tekonologi dan agronomi pertanian, maka produktivitas pertanian harus dipacu
tinggi, supaya tekanan kebutuhan lahan dapat dibatasi. Riset sosial ekonomi
dan manajemen pembangunan tentu memberi arah terbaik bagi pengembangan
agribisnis dan aneka agroindustri yang memperhatikan potensi permintaannya
secara cermat.
Perhitungan produksi dan konsumsi berbasis riset tentu akan lebih bernas
mengurangi ancaman krisis pangan. Isyarat dan kehendak Ilahi agar manusia selalu
bijak menjaga kelestarian alam demi martabat dan misi kehidupannya (Hud QS
[11]: 61 dan QS [55]: 9), tapi juga harus dibarengi upaya bijak konsumsi yang anti
pemubaziran (QS [2]: 168). Amatlah lucu jika upaya produksi bahan pangan telah
disadari sangat dibatasi oleh berbagai kendala tapi orang masih membuang-buang
makanan ketika mengonsumsi atau masih juga tidak tergugah untuk mengantisipasi
langkah terbaik guna mengatasi setiap kemungkinan yang terburuk jika kemudian
terjadi.
Di negeri-negeri sedang berkembang turun-naik tingkat kesejahteraan warga
ditentukan oleh turun-naik pendapatan per kapita, dan ini terukur pula dari tingkat
konsumsi pangan per kapita, yang tentu juga erat kaitannya dengan produksi pangan
warga bangsa. Akan tetapi harus digarisbawahi, 2 variabel ini (pendapatan per
kapita & konsumsi pangan) tidak akan selalu seiring sejalan naik searah positif.
Ketika sebagian warga mengalami kenaikan kadar pendapatan, maka secara finansial
mereka jadi lebih sejahtera, dan tentu jadi mudah bagi mereka mencukupi pangan.
Akan tetapi, ini menjadikan warga pada umumnya lebih sehat, termasuk juga sehat
organ reproduksi mereka, sehingga kondusif untuk memacu kelahiran anak dan laju
pertumbuhan jumlah penduduk. Sampai titik ini hubungan itu tetap naik positif.
Apabila kemudian terjadi kenaikan jumlah penduduk terlalu cepat daripada
kecepatan tumbuh sarana penyejahtera (pendapatan petani umumnya berasal
dari produksi pangan dan selainnya), maka selanjutnya keadaan akan berbalik lagi
menurunkan kadar kesejahteraan. Pendapatan per kapita jadi turun kembali, dan
konsumsi rata-rata warga jadi turun, lalu menurunkan taraf kesehatan mereka,
90 Ekonomi Pertanian
seperti ini tentu memprihatinkan, khususnya terhadap potensi Bonus Demografi
(75 jutaan generasi muda) yang terancam lumpuh tidak punya kekuatan memecut
pembangunan. Sungguh suatu tragedi kebangsaan jika kesia-siaan SDM itu terjadi.
Kalaulah sekadar jadi generasi kuat otot, tapi lemah otak, maka cuma permintaan
pangan yang membanyak tak terkira, tapi inovasi pelipat-ganda produksi dan suplai
pangan tidak terjadi.
Sebaliknya, keadaan yang baik bisa terjadi kalaulah bersama semangat dan tekad,
serta gerak langkah kemajuan bangsa terdapat pula suatu lompatan teknologi yang
besar (semacam revolusi hijau awal abad ke-21). Jika inovasi benar-benar terjadi,
maka hal itu bisa menjadikan gerak kenaikan variabel pendapatan dan tingkat
kesejahteraan berjalan bareng tanpa ada bumerang berupa kekurangan pangan
bangsa. Berkah kehadiran Iptek inovatif (yakni lompatan teknologi yang terpakai di
dunia usaha) ini digambarkan berupa perpindahan kurva pendapatan (putus-putus)
yaitu melompat ke arah atas hingga sekadar (cuma) menyentuh kurva pertumbuhan
penduduk. Prestasi Iptek demikian itu akan memicu dan memacu pertumbuhan
pendapatan terjadi tanpa dibuntuti ancaman kemunduran peradaban yang terkait
PPM atau PPT tadi. Keadaan perekonomian negara terbilang maju, jika terus melaju
seperti keadaan dalam wilayah prestasi antara titik B dan C. Di permulaan abad
ke-20 dulu, lompatan teknologi cenderung beriring tindakan penjajahan terhadap
negeri lain, dan upaya memahami perbedaan potensi kesejahteraan berarti juga
antisipasi terhadap penjajahan fisik & nonfisik gaya baru di zaman itu.
Akan tetapi, harus selalu disadari bahwa tanpa lompatan teknologis yang
terpacu keras itu, maka keberlakuan teori neo-Malthusian tadi mengatakan bahwa
turun dan naik tingkat kesejahteraan (khususnya kecukupan pangan) ekonomi bangsa
cenderung berkait dengan naik dan turun pertumbuhan jumlah penduduk. Suatu
hubungan berbanding terbalik antara laju pertumbuhan warga dan laju pertumbuhan
kesejahteraan ekonomi rata-rata warga bangsa. Bagi bangsa Indonesia di awal abad
ke-21 dewasa ini, justru hal ini tidak dibiarkan terjadi apa adanya, karena kealpaan
negeri dalam membuat suatu lompatan teknologi tentu akan berakibat sangat
menyedihkan. Jika alpa demikian terjadi, maka berarti potensi kekayaan alam berupa
aneka SDA dan kekayaan SDM berupa Bonus Demografi tersia-sia. Jangankan aktif
membawa manfaat, justru menimbulkan banyak permasalahan pelik, tapi menuntut
solusi cepat.
Di sini, implikasi negatif perkembangan itu sekali lagi harus lebih dipahami
untuk diantisipasi, ‘Sukses Bangsa Membangun Kedaulatan Pangan’ sudah
semestinya kini menjadi tema besar program pembangunan negeri ini. Tema besar
itu harus didukung oleh semua komponen dan elemen bangsa melalui gugah
kapasitas profesional di bidang kerja dan pengabdian menurut jalur keahlian dan
49
Hukum Engel yang telah disempurnakan (Stanton, W. 1975, halaman 71 pp.752) berbunyi, jika
pendapatan naik, maka: (1) Porsi untuk pangan mengecil; (2) Porsi untuk pakaian tak banyak
berubah; (3) Porsi yang disisihkan untuk rumah dan prabotannya juga relatif tak berubah; (4)
Belanja untuk rekreasi, pendidikan dan kesehatan, dan lainnya akan meningkat.
92 Ekonomi Pertanian
membahayakan potensi kesiapan dan kecukupan pangan beras. Laju pertambahan
penduduk antara titik situasi B dan C tergambar sudah lebih stabil sebagai ciri
budaya maju, walau kewaspadaan terhadap krisis pangan harus selalu ada, khususnya
yang terkait dengan kemunculan ancaman bencana alam. Kewaspadaan dengan
pola pikir dan strategi bertindak antisipatif komprehensif dengan pendekatan
multidisiplin dan lintas sektor.
Kesimpulannya bahwa dengan argumentasi hukum Ernest Engel (1821-1896;
dan masih mengandung kebenaran hingga zaman ini), maka boleh diyakini ada
peluang di mana kenaikan kadar dan tingkat pendapatan dan kesejahteraan itu tidak
akan memperparah situasi keterbatasan pangan. Ini karena kenaikan kesejahteraan
warga tidak selalu akan memacu konsumsi pangan pokok yang kemudian bisa
membuat defisit pangan pokok bangsa. Apalagi jika pada saat bersamaan sudah
disosialisasikan pola keanekaragaman pangan dan pola konsumsi berkecukupan
gizi berimbang. Warga masyarakat harus dibuat tidak mudah terprovokasi untuk
berfoya-foya sambil mubazirkan bahan pangan yang sudah jadi mudah mereka
jangkau karena sudah di posisi lebih sejahtera.
Justru yang penting adalah kerja keras semua pihak guna membawa pembangunan
ekonomi keluar dari perangkap PPM (antara titik A&B) tadi, khususnya lewat aneka
upaya inovasi. Adanya teknologi olah hasil pangan, yang melengkapi lompatan
teknologi produksi di tingkat hulu atau primer (petani produsen), tentu harus
diupayakan agar jadi nyata sambil menciptakan banyak lapangan kerja. Saat garis
kurva yang kian melambung tinggi akibat adanya peningkatan pendapatan, itu justru
pangan pokok diperhemat.17
Daftar Pustaka
Todaro, M.P. 1977. Economic of Population and Development. Economic for A Developing
World; Chapter 12. Longman Press.
Kelley, A.C. “Economic Consequences of Population Change in the Third World”. Journal
of Economic Literature. Vol. 26, No. 4.
6
MEKANISME PEMBENTUKAN HARGA
95
senilai yang memang patut jadi milik kaum tani. Dari setiap nilai akhir komoditi
tertentu, terdapat bagian petani yang di sini disebut pangsa petani atau gapaian
petani (farmer-share). Hanya lewat siasat satuan agribisnis kemitraan, pihak petani
akan bisa memperbesar gapaiannya.
Kata gapaian (≠capaian) dipilih agar mencerminkan nilai sesungguhnya dari
hasil kerja keras petani. Walaupun belum pasti kadarnya, tetapi patut menjadi nilai
yang benar-benar sampai ke tangan petani sebagai hak untuk dinikmati. Bertolak dari
istilah ini, maka beberapa konsepsi pemikiran ekonomi pertanian sudah sepatutnya
selalu memihak kepada petani kebanyakan yang memang berada pada posisi lemah.
Alasan logisnya adalah:
1. Bahwa pola pembentukan harga untuk aneka hasil pertanian selalu akan
bermula dari transaksi bisnis di tingkat konsumen di perkotaan, lalu kemudian
informasi harga itu ditransfer atau diturunkan ke tiap tingkat penyalur hingga
sampai kepada tingkat petani di pedesaan.
2. Bahwa pihak petani hanya berperan sebagai pekerja yang didalangi (didikte)
oleh kekuatan pasar, dan status petani hanya penerima harga (price taker)
bukan sebagai penentu harga (price maker), lalu karenanya mereka akan mudah
dipecundangi oleh pemburu rente ekonomi.
3. Bahwa perkuatan kapasitas bisnis para petani harus diasah secara melembaga
berbasis klaster jenis usaha tani agar nyata bisa menaikkan kesejahteraan
warga, sekaligus keluarga populasi petani yang terbilang >50% penduduk
RI, sehingga bisa berdampak positif memakmurkan negeri.
96 Ekonomi Pertanian
calon pembeli, terhadap barang yang relatifhomogen atau seragam. Keseimbangan
pasar bisa dicapai, sebagaimana yang ditunjukkan oleh titik silang kedua kurva
permintaan dan penawaran.
Berpangkal tolak dari konsep dasar bahwa pasar adalah pertemuan antara
suplai dan demand dalam suatu wadah lokasi-maya ataupun lokasi-nyata, maka
pada setiap pertemuan 2 kekuatan itu dapat digambarkan mekanisme interaksi
niaganya jika dilihat dari sudut pandang teori ekonomi mikro. Dicontohkan dengan
konsep pasar di dunia nyata suatu komoditi segar atau juga produk olahannya,
diharapkan mengalami transaksi jual beli di suatu lokasi yang banyak dikunjungi
wisatawan. Pada Gambar #14 terdapat 5 unsur pasar yang dapat direkayasa agar Catatan untuk
penulis:
berperan aktif, yaitu: Gambar yang
1. Kebijakan pihak Pemda menggiring langkah penjual & pembeli ke suatu arah dimaksud
gambar yang
Objek Kunjung Wisata (OKW). mana ya Pak/
2. Kesiapan pihak penjual barang untuk seketika dipakai atau akan dibawa sebagai Bu? mohon
dicek kembali,
oleh-oleh untuk keluarganya. terima kasih.
3. Keberadaan lapak penjualan benda segar dan barang oleh-oleh tadi di titik
jelang maupun di objek wisata.
4. Kegesitan para peniaga asongan menawarkan barang kepada wisatawan dan
harga yang bisa tawar-menawar.
5. Kadang transaksi jual beli juga bisa tanpa pedagang perantara, asalkan produsen
menjajakan sendiri hasil taninya.
Gambar 6.1 Kelola Jaringan Niaga Pemasaran Aneka Prukab: Peran-Aktifkan Program
Kepariwisataan Pemacu Produk Inovatif dan Hasil Indutri Kreatif
Sebenarnya, diskusi tentang pasar secara konsepsional luas cakupan dan isinya,
tapi juga sangat penting dipahami dengan baik agar tampak gunanya. Setiap kali ada
persoalan yang terkait dengan perniagaan di dunia nyata bisa dikaji latar belakang
penyebabnya, lalu kemudian dirumuskan solusinya. Kadar pengetahuan dan
pemahaman yang baik tentang transaksi pasar akan sangat memudahkan analisa yang
mengarah pada rumusan kebijakan yang efektif memupuk kesejahteraan ekonomi.
Sepatutnya Ipteks yang berkaitan dengan pasar benar-benar dari sisi permintaan
dan penawaran, juga paham perihal struktur pasar, serta perilaku pasar dan kinerja
pasar yang bisa memfasilitasi kelangsungan setiap proses transaksi jual beli yang
wajar, atau sebaliknya pula transaksi jual beli tak wajar.
Ironisnya terkadang di tengah komunitas warga masyarakat pada umumnya
pemahaman keilmuan tentang pasar masih juga belum terlalu dianggap perlu.
Ini dapat dimaklumi, karena transaksi jual beli seolah dapat dilakukan kapan saja
tanpa harus memiliki ijazah keilmuan. Pendapat awam demikian jadi lumpuh ketika
disadari bahwa transaksi jual beli di manapun oleh siapapun selalu ditujukan untuk
menaikkan kadar kesejahteraan hidup para-pihak yang terkait. Tujuan itu tidak
selalu dapat tercapai dengan sendirinya, karena pada setiap arena transaksi jual beli
akan selalu ada kadar persaingan antarpelaku, ada strategi dan taktik yang bisa saja
tampil dibarengi keculasan ataupun kejujuran. Sasaran politik jual beli akan selalu
tampak berupa upaya mendapatkan harga murah agar kemudian ketika barang dijual
kembali, maka ada marjin pemasaran yang nilainya mengandung laba relatif besar.
98 Ekonomi Pertanian
Jadi, pemahaman baik tentang proses pembentukan harga secara wajar
dan memuaskan tentu menjadi penting demi kebaikan bersama. Dalam hal ini,
rumusan kebijakan yang mengawal transaksi jual beli yang baik tentu bisa menebar
keberkahan rezeki kepada penduduk negeri dan warga bangsa pada umumnya.
Keberkahan itu akan tampak nyata dari: 1) Angka pengangguran menurun; 2)
Aneka lapangan kerja bertumbuh baru; 3) Angka kriminalitas turun kian rendah,
dan; 4) Ajang kerusuhan sosial nihil adanya, serta yang terakhir; 5) Jumlah nilai
PAD meningkat, khususnya yang berasal dari pajak dan retribusi dipungut Pemda
setiap tahun. Demikian kelima ukuran prestasi ini pula yang semustinya jadi sasaran
kerja para abdi Negara pembela ekonomi kerakyatan, sebelum akhirnya bersyukur
karena berhasil sukses merealisasikan setiap MISI, sehingga VISI pembangunan
tercapai nyata.
Gambar 6.3 Transaksi Saat Suplai Berlimpah; Misalnya di Masa Panen Raya
Pada keadaan itu, harga hasil pertanian terkait sering kali mengalami
penurunan drastik. Gambar 6.3 menunjukkan turun dari H1 jadi H2 (karena titik
potong kurva D dengan S1 di titik A, lalu dengan S2 di titik B). Dalam situasi
seperti itu, tentu saja para petani produsen amat kesulitan untuk mereguk
keuntungan selaras dengan unduhan fisik hasil panen yang sedang melimpah
ruah. Inilah persoalan klasik sektor pertanian yang justru banyak melibatkan
para petani kecil dan tradisional yang sama sekali belum berciri agribisnis.
2. Waktu panen gagal: Tidak jarang terjadi gagal panen dialami kaum petani
kecil yang berhadapan dengan perubahan iklim diikuti kemunculan hama dan
penyakit tanaman atau diikuti masalah krisis air juga karhutla (kebakaran
hutan dan lahan). Keadaan di luar dugaan demikian ini faktanya amat sering
menyudutkan capaian bisnis kaum tani di tingkat lokal dan cacat gapaian
bisnis dalam lingkup perdagangan antar daerah, antarprovinsi, apalagi
antarbangsa. Jika jiwa wirausaha dan keterampilan manajemen belum dimiliki
Gambar 6.4 Transaksi Saat Suplai Terjadi Jeblok; Misal di Masa HPT Mewabah
Gambar 6.5 Transaksi Saat Permintaan Meroket; Misal di Saat ASEAN Games-18
4. Waktu Ada Krisis: Tidak pula mustahil ada waktunya krisis terjadi di luar
dugaan, sehingga mengurangi kadar jumlah barang yang diminta bukan
dikarenakan perubahan harga, melainkan disebabkan adanya kondisi yang
mengubah perngaruh variabel selain harga, yang seolah memberi tekanan pada
kurva permintaan agar bergeser ke kiri bawah. Misalnya saja di masa Covid-19
berlarut-larut waktu, telah menyebabkan berbagai peluang nafkah keluarga
memicu turunnya daya beli, sebab hampir tiap keluarga konsumen mengalami
susut pendapatan. Banyak jenis barang jadi sulit terjual, tidak terkecuali kurva
permintaan bahan makanan ikut tertekan hingga bergeser ke kiri bawah, dan
konsekuensinya harga barang jadi turun bernas dan bisa merugikan.
Andai angka elastisitas suplai atas harga hanya berkisar pada angka 0.5 yang
artinya agak tegak (jika harga turun 1%, maka jumlah penawaran hanya bisa
turun sekitar 0.5%). Pada kondisi suplai seperti itu, andai geseran kurva
permintaan ke kiri bawah (Gambar 6.6) menyebabkan titik potongnya dengan
kurva penawaran memposisikan harga turun, maka akan terjadi Q dan H
transaksi turun keduanya. Apabila hal ini nyata terjadi, maka pengangguran akan
marak terjadi karena komoditi kurang laku terjual sekali pun, harga bawangnya
amat murah. Para petani produsen pasti jadi sangat prihatin, karena boleh jadi
upah buruh tani pun sulit untuk dibayar, hutang belanja saprosi periode yang
lalu bakal jatuh tempo sedang alat bayar masih saja terbatas. Keadaan yang
kurang baik ini hendaknya jangan sampai terjadi berulang kali.
Kejadian turunnya permintaan tentu menekan harga, tetapi tidak bisa direspons
dengan menahan jumlah penjualan sambil menunggu harga naik nantinya. Komoditi
yang dihasilkan selain berisiko rusak juga bisa susut, sehingga terpaksa dijual
murah. Keterpaksaan menjual jadi ibarat ‘makan buah simalakama’ (dijual rugi tak
dijual rugi) dan yang seperti ini memang sering dialami kaum tani pedesaan yang
jauh dari pusat pasar. Simalakama mengisyaratkan tidak mungkin menunda jual,
karena tidak ada sarana gudang rumah tangga atau pun sarana pergudangan yang
disediakan desa. Sebaliknya menjual segera justru harga jual sedang murah dan
akan tertekan makin murah, sehingga rugi tak terelakkan.
Berkat sistem penyimpanan maka volume hasil yang terpaksa harus ditawarkan
ke pasar pada bulan-bulan panen akan dapat dikurangi, sehingga tekanan
transaksional (jual beli) yang sering dipaksakan itu tidak sempat merugikan para
petani. Tentu mekanisme pembelian kelebihan penawaran .6 memadai, dalam Catatan untuk
arti terbebas dari gangguan inseks dan binatang liar lainnya, serta teratur suhu penulis:
Mohon cek
dan kelembaban, serta kebersihannya. Namun persoalannya di sini adalah tidak kembali
mungkin pemerintah menyediakan gudang simpan di setiap desa, dan begitu juga kalimat
tidak mungkin bagi warga setiap desa menyediakan gudang simpan padi yang baik bertanda
merah, apakah
sesuai ketentuan teknis yang tepat, terkecuali pada desa yang maju dan makmur, sudah benar?
dan biasanya dekat kota kabupaten. Demikian lika-liku mekanisme pasar dalam sepertinya
upaya pemberlakuan dukungan harga pada transaksi jual beli produk pangan. kalimat kurang
jelas.
Sebegitu jauh telah dapat dipahami, bahwa pembicaraan soal harga barang
pertanian tentu meliputi harga saprosi, harga komoditi, harga produk unggulan,
harga dasar dan harga maksimum; yang ke semuanya jadi penentu kesejahteraan
kaum tani juga rakyat (kesra) pada umumnya. Tentu juga sudah dipahami bahwa
kekuatan penawaran (suplai) dan kekuatan permintaan (demand), serta struktur-
Daftar Pustaka
Reynolds, L. G. 1975. Agriculture in Development Theory. Yale University Press New
Haven & London.
Sjarkowi, F. 2019. Pengelolaan Usahatani vs Agribisnis: Strategi Kebijakan dan Manajemen
Niagaperta Penguat Fundamental Ekonomi Negeri. Palembang: Baldad Graffiti Press.
ISBN 979-96207-1-6.
7
MERAJUT KEBIJAKAN
111
sehingga kisi-kisi fungsi dan bidang manajemen dapat didayagunakan oleh
satuan usaha klaster orang tani itu.
2. Pembelaan proses inovasi dihadirkan langsung ke tangan petani di ranah
pertanaman hingga ranah pascapanen (hilirisasi) maupun lewat ikatan kontrak
penghubung UMKM kemitraan terhadap satuan perusahaan agroindustri skala
menengah (USM) dan skala besar (USB).
3. Pembelaan harga transaksi atas niat baik pihak pemerintah untuk membuat dan
memberlakukan kebijakan nasional berupa patok harga acuan guna melindungi
kaum tani yang masih lemah dan pra-sejahtera tetapi juga tanpa menyakiti
kaum buruh yang juga rentan ekonomi.
4. Pembelaan kadar NTP yang sesungguhnya jadi parameter perubahan
kesejahteraan warga dan jadi ukuran nyata tentang seberapa jauh keberhasilan
pembelaan para pemerhati kepada kaum tani tradisional yang perlu mendapatkan
paket pembinaan dan pemberdayaan.
5. Pembelaan harkat moralitas bisnis kepada kaum lemah khususnya pelaku
usahatani dan satuan agribisns di hulu hingga hilir, sebab apa pun taraf
pendidikan dan pergaulan niaga harus menyadari bahwa interaksi bisnis
dipengaruhi struktur pasar bersama sifat baik serta buruknya.
Gambar 7.2 Rantai Komoditi serta Produk Agrotrisula Bernilai Tambah, Berteknologi
Bakteri ‘PBO’ (Pengurai Bahan Organik), dan Tanpa Buan
Secara khusus, kini tak hanya kotoran kasar untuk pupuk organik, tetapi juga
dengan teknologi bakteri (PBO, EM4) kencing sapi dapat dijadikan pembangkit
produktivitas sawah. Limbah pertanian berupa hijauan atau surplus karbohidrat
segar jika diberi limbah tulang dan sisik ikan yang dikeringkan serta ditepungkan
bisa dibuat pelet pakan ikan (P). Jika adonan P itu ditambah limbah agroindustri
tahu, terbentuk pakan ternak ayam (A). Bilamana adonan A diberi pula tambahan
bubur (sludge) limbah pabrik CPO (pabrik minyak sawit mentah), bisa dihasilkan
pakan ternak kaki empat. Begitu rangkaian komoditi juga produk merupakan siklus
atau lingkar mata rantai yang saling berkaitan.
Jadi, berkat pertanian terpadu agrotrisula itu, selain ada hasil produksi segar
dari setiap kegiatan, yang bisa diatur pula waktu bertanam dengan frekuensi panen
diarahkan sesuai saat diinginkan (misal tiap tiga harian ataupun mingguan). Secara
berantai diperoleh pula hasil sampingan berupa produk pakan ikan (kombinasi
tepung ubi kayu, tepung tulang-sirip-sisik-kepala ikan) atau pakan unggas (tepung
ubi + tepung ikan + limbah tahu) atau bahkan ditambah juga konsentrat dedak halus
juga bubur limbah CPO sehingga jadi pakan sapi program penggemukan. Demikian
bisa seterusnya dirangkai jalinan produk dan limbah dengan produk agrotrisula
lain, kesemuanya dapat diatur saling berguna dan menggunakan satu sama lain.
Seterusnya, teknologi penyimpanan dapat pula secara langsung menaikkan
daya belanja atau daya beli petani. Ketika musim panen terjadi maka pasti akan
terjadi kelebihan jumlah yang diminta pasar (excess supply) dan jika tidak ada
tindakan instrumental yang memihak pada kepentingan petani semisal teknologi
penyimpanan dan pengawetan, tentulah jumlah kelebihan itu akan menjatuhkan
harga jual produk hasil tani. Ini demikian mengingat sifat 7C pada komoditi
pertanian yang amat mudah dimanipulir oleh kekuatan pasar hingga menekan harga
hasil tani dan merugikan petani.
Ketika tulisan ini dibuat (akhir 2014), harga beras biasa Rp9.000,-/Kg, tetapi harga beras
49
Bermula sebagai kelompok kecil pelaku T-7, lalu menetap diikuti anggota keluarga, jadilah
50
Orang tani di tempat terpencil dan belum sempat tersentuh oleh pola
berusaha satuan usaha niaga-perta (‘agribisnis’) komersial, biasa memperhatikan
perkembangan NTP (nilai tukar petani) yang diperlukan sebagai ramuan awal
ketika hendak memutuskan bertanam apa dan seberapa luas? Berproduksi
dengan siasat manajemen tanam seperti apa? Jika berkaitan dengan jenis tanaman
perkebunan tahunan yang kebetulan berstatus TST (tanaman sudah tua), kapan
saatnya diremajakan, mengingat nantinya akan ada fase TBM (tanaman belum
menghasilkan); ataukah dikonversi ke jenis pertanaman lain yang jauh berbeda
daripada sebelumnya?
Petani kecil pun memerlukan semacam patokan Ketika hendak membuat
keputusan mengusahakan sesuatu jenis pertanaman. Secara teoretis dan untuk
kepentingan manajemen agribisnis maka ada konsep hitung NTP atas komoditi
pilihan, ini dapat dipilih oleh pelaku usaha, tidak terkecuali petani kecil tradisional.
Besaran hitung NTP adalah informasi bisnis yang paling sederhana dan mudah
dijadikan bahan pertimbangan oleh petani kecil tradisional yang berusaha lebih
rasional dalam setiap pengambilan keputusan produksi. Dikatakan sederhana
karena informasi NTP lebih bersifat ketentuan bisnis yang harus diterima petani apa
adanya. Bagi petani NTP jadi kurang bermakna ketika kemajuan iptek-inovatif telah
menandai satuan usahanya. Namun, terhadap NTP (1) di atas, setiap keluarga petani
secara sadar atau sengaja mereka pernah melakukan hitung-hitungan sederhana itu
dalam suatu proses pengambilan keputusan produksi yang pernah mereka lalui.
NTP harga makanan pokok adalah yang termudah dihitung dan paling biasa
dijadikan patokan oleh petani. Kata relatif pada rumus memberi indikasi bahwa
informasi perkembangan NTP itu sekurang-kurangnya dua tahun berbeda; yakni
yang paling terkesan dan dapat diingat perkembangannya oleh petani sejalan putaran
waktu. Pada kasus harga karet petani mudah mengingat dan dapat mengatakan,
“Ketika harga BOKAR (bahan olahan karet) tinggi sekitar dua kali harga beras
mereka beramai-ramai bertanam karet di akhir puluhan pertama hingga awal tahun
2000-an dekade pertama.”
Akan tetapi, ketika akhir-akhir ini (2000-an dekade ke-2) harga karet ½ kali
harga beras maka mereka cenderung mengganti kebun karet TST (tanaman sudah
tua) dengan kelapa sawit. Jelas angka NTP harga karet yang membaik relatif terhadap
harga beras, kiranya berguna bagi petani untuk membuat keputusan produksi
apalagi jika hal itu ditunjang oleh kebijakan pemerintah. Perhatikan Tabel 6 dan
Gambar 7.3 berikut ini.
Ada pendapat bahwa TBS sawit harus segera diolah di pabrik CPO kurang dari 10 jam
51
setelah diunduh; jika tidak cepat, rendaman minyak sawit jadi turun.
Dari setiap upaya pembinaan kepada kelompok demi kelompok pelaku usahatani
demikian, maka tumbuh cara baru penguatan kegiatan bisnis mereka yang tadinya
begitu lemah. Keterbatasan prasarana ekonomi di perdesaan, ketiadaan strategi
manajemen untuk menembus pasar, keterbatasan siasat dan daya wirausaha;
semuanya lewat KUBE diberi penguatan sejak dari desa hingga tangguh berwahana
8
DENGAN KARAKTER PERDESAAN
133
administrasi pemerintah kecamatan (UU No. 6 Tahun 2014 dan PP No. 47 Tahun
2015, c.f. UU No. 5 Tahun 1979).49
Dari perspektif pembangunan ekonomi, desa punya aneka kelebihan. Di
antaranya adalah: (1) jumlahnya banyak; di tahun 2021 ini ada hampir 77.000
jumlah desa sejak dari ujung timur di Papua hingga ke ujung Aceh di barat; (2)
jenis biogeografisnya juga beraneka ragam, karena bertaut pada jauh dekat posisinya
dari garis khatulistiwa dan letaknya dari pengaruh benua Australia dan Asia-besar;
(3) jemaah penduduknya amat terlatih menghadapi berbagai rintangan, kesulitan,
dan keterbatasan, tetapi bermanja pada Ibu Pertiwi. Oleh karena itu, ketika
negara menerapkan strategi pembangunan menetes ke bawah (trickle down effect of
development), sulit dijamin efek pembangunan bisa menyebar lalu dinikmati oleh
semua desa dan warganya.
Teori pembangunan menyebar dari atas ke bawah hanya akan benar untuk
negeri yang kecil luasan dan jumlah penduduknya, ibarat setetes minyak di atas
selembar kertas kecil maka semua permukaan akan terbasahi pada akhirnya.
Sebaliknya, di negeri Nusantara seluas ini, tentu hal itu tidak mungkin cepat
meluas jika APBN terbatas, apalagi jika sambil berhianat. Membangun dari bawah
(bottom-up) menjadikan mayoritas warga langsung disentuh, tetapi efektivitasnya
bagi perkuatan fundamental ekonomi negeri sering diragukan. Ini benar bila hanya
benah teknologi produksi primer saja yang dilakukan. Jika ada program inovasi
dan hilirisasi penerobos pasar, penguatan ekonomi fundamental negeri pasti bisa
direalisasikan.
49
Proses perkembangan ini sifatnya diawali pembukaan kawasan agro-ekosistem sebagai
upaya ekstensifikasi untuk mendapatkan persil lahan bukaan baru, biasanya mencapai luasan 1
bahu (0,75 Ha) hingga 1 Ha. Akan tetapi, berbeda prosesnya dengan suku Kubu yang hidup liar
berkelompok dan mengembara di tengah areal hutan belantara Sumbagsel (Kubu sengaja hendak
dibina oleh Pemkab agar bisa jadi warga tani menetap); memberdayakan mereka memang perlu
kesabaran dan strategi khusus yang menuntut dedikasi.
50
Ketentuan Tata Ruang (TR) mejelaskan TR daerah untuk dipatuhi pelaku pembangunan
ketentuan AMDAL diharuskan untuk setiap rencana kegiatan yang berpotensi dampak negatif.
Ketentuan RKL (rencana kelola lingkungan) dan RPL (rencana pantau lingkungan) mengharuskan.
Pertama-tama harus dipahami kedua hal tadi terkait peran penting BMT dalam
proses monetisasi desa. Oleh karenanya, perlu diketahui bagaimana wujud BMT
itu tampil nyata di tengah hiruk pikuk proses transaksi jual beli hasil dan barang
kebutuhan desa. Untuk pola pembangunan ekonomi bawah-unggak (bottom-up)
tentu ada prasyaratnya yang harus dipenuhi, yakni sebagai berikut.
Prasyarat (1) menghendaki adanya pembaruan proses produksi agar selalu baik
dan lebih baik dari waktu ke waktu; prasyarat ini membutuhkan modal investasi,
yang bisa diatasi melalui kemitraan para petani kecil berbasis BUKD di tingkat
desa. Prasyarat (2) perlu unit lembaga keuangan yang mumpuni, tapi ketika
harapan tertuju pada layanan perbankan seperti BRI, sayangnya hanya hadir di kota
kecamatan maju; karena memang tidak efisien jika lembaga ini hadir langsung di
desa-desa. Prasyarat (3), terkait ancaman perilaku preman desa pemburu rente-
ekonomi, apalagi transaksi jual beli masih serba tunai dari tangan ke tangan. Maka,
prasyarat (1, 2, dan 3) perlu peran BMT.
Di dunia nyata tingkat pedesaan, ketidakhadiran lembaga keuangan resmi itu
akan benar-benar jadi kendala bagi kemajuan gerak pertumbuhan bisnis. Hal ini
bisa karena: (1) pendeknya masa retensi karena beraneka ragam tawaran belanja
konsumtif berupa cicilan kredit telah biasa masuk desa; (2) kecilnya volume
retensi dana di desa jika sekiranya ragam usaha tidak sempat dikembangkan guna
merespons selera dan keinginan konsumen. Padahal kedua faktor ini mengharuskan
dana tersedia untuk dimobilisasi ketika dibutuhkan bagi pengembangan kapasitas
dan kualitas usaha kerakyatan, khususnya melalui peningkatan peran positif satuan
bisnis BUKD di setiap desa.
Dalam rangka memperpanjang masa retensi dana di dalam desa, maka sisi
positif kebiasaan warga desa menyumbang di rumah ibadah adalah potensi dasar
untuk mengembangkan BMT desa. Adanya lima ciri yang banyak tampak mewarnai
wajah desa dan menggambarkan adanya kemajuan ekonomi setempat adalah: (1) ada
pemekaran dan pengecatan masjid atau gereja dan lainnya; (2) ada gejala perubahan
pada rumah kediaman warga (yaitu pagar semakin bersifat permanen, ada tambahan
ruang baru, atap rumah berwarna terang); (3) ada lapak dan gerobak jajanan anak
terutama di dekat sekolah; (4) ada penampilan nisan berkeramik pada kebanyakan
makam di TPU desa; (5) ada mini-supermarket Alfamaret atau sejenisnya telah masuk
desa sebagai tempat rekreasi tua-muda sambil berbelanja barang yang terjangkau
Jadi, potensi ekonomi rakyat amat besar, tetapi justru belum terangkat banyak.
Dikatakan besar dan banyak, karena terkait peran warga masyarakat yang tidak
sedikit, yaitu melebihi bilangan 50 jutaan pelaku UMKM dan dengan keragaman
jenis usaha yang relatif tinggi. Beraneka ragam kekayaan flora dan fauna ataupun
mineral patra dan non-patra sebagai kapital alami spesifik lokasi terdapat di
pelosok Nusantara, tersebar sejak “dari Sabang hingga Merauke”. Potensi besar ini
memungkinkan daerah untuk saling membutuhkan, saling membantu, sehingga
menyadari perlu bersatu dalam bingkai indah NKRI.51
Tentu tidak mudah untuk memacu tumbuh UMKM inovatif dan kreatif di tengah
masyarakat yang masih kental budaya agraris. Dari 10 wajah budaya inovatif (Kelley,
T., 2016) kebanyakan warga lapisan bawah masih pada tahap awal dari pola budaya
kreatif penciri masyarakat industri. Belum lagi untuk beradaptasi khusus dengan
budaya persaingan pasar tanpa henti, mereka masih perlu dibina dan digerakkan.
Padahal menurut Kotler, P. (2017), dunia usaha modern sudah memainkan strategi
marketing fase 4.0 (berkecepatan tinggi lewat digitalisasi di setiap lini produksi).
Kreativitas menelusup pasar pun masih lemah karena terbiasa dibelenggu kebiasaan
jadi penerima harga (price taker) atas hasil pertanian dari perdesaan.
Jelas pula wawasan industrial mengharuskan setiap pelaku usaha selalu aktif
menjangkau pasar yang lebih menjanjikan nilai tambah selain laba (Drucker, P.,
1985). Ketika dunia sudah bermain di fase keempat Revolusi Industri: pertanian
menetap; industri mesin uap; komputerisasi; robotik dan digitalisasi (Schwab,
K., 2016). Maka, keinginan bangsa untuk berinovasi merebut nilai tambah akan
dipaksa oleh keadaan untuk sekaligus masuk fase keempat. Tentu ini perlu strategi
jitu dibarengi kerja keras dan kesungguhan hati, serta niat tulus membela warga
bangsa yang masih tertinggal petugas harus siap berkorban di tengah keadaan
lapangan seperti apa pun. Prasarana dan sarana di suatu wilayah tidak selalu siap
mendukung perilaku positif fase keempat itu. Kompleksitas persoalan inovasi pasti
bervariasi antara Jawa dan luar Jawa, wilayah perkotaan-perdesaan, bahkan antarzona
ekosistem berbeda di satu wilayah provinsi sekalipun.
Ada sisi positif kenyataan Nusantara yang seperti itu, yaitu menyadarkan
semua pihak tentang adanya potensi keanekaragaman komoditi agribisnis dan
51
Adalah logis jika provinsi dan rakyat Papua lebih memilih bertransaksi niaga dengan
saudara di 450 kabupaten dan 35 provinsi lain ketimbang hanya dengan Papua Nugini). NKRI
harga mati, bukan isapan jempol belaka.
52
Penulis tidak menggunakan istilah ‘demand driven innovation’ yang lebih mencerminkan
proses kemandirian satuan usaha guna berinovasi tanpa perlu pembinaan; pada kasus inovasi
di negeri ini, individu produsen perlu bergabung jadi klaster guna dibina untuk berinovasi cara
DPIN atau SPIN.
Terlepas dari pengaruh 3K negatif ini, justru masih ada daerah setingkat
kabupaten belum sepenuhnya memahami makna otonomi daerah. Padahal ada
banyak kesempatan diberikan kepada aparat membangun kemandirian daerah.
Kucuran dana dari pusat harus didayagunakan setepat mungkin, lalu dengan
konsepsi yang jelas dilakukan percepatan pembangunan dengan modal sosial dan
biogeofisik yang ada untuk secepatnya membuahkan energi kemandirian. Dari sini
negeri yang makmur gemah ripah kerta raharja penuh berkah dan rida Tuhan YME
(Baldatun thoyibatun wa Robbun Ghafur) selain menggugah dan mengungkit harga
diri kebangsaan, sesungguhnya jadi zat perekat bangsa ini.
Program pengembangan prukab di daerah boleh jadi tidak menarik bagi
perusahaan besar yang investasinya di daerah tertuju hanya pada suatu komoditi
andalannya. Suatu perusahaan agribisnis berskala besar, akan lebih perhatian dan
fokus pada soal kesesuaian serta ketepatan teknis biogeofisik dan minim kepedulian
Dari jumlah tersebut, setidaknya 5% atau 200 PTN/PTS dapat dipastikan telah menyimpan
53
berbagai temuan iptek; sekalipun tidak semuanya sudah berstatus hak paten dan atau HAKI.
54
Ekonomi kreatif menurut Howkins, J. dalam buku Setiawan, I (2012; halaman 102)
adalah proses ekonomi yang input-output-nya terlahir dari gagasan orisinal yang ditandai hak
paten dan atau HAKI.
Begitulah tiga alasan argumentatif yang suka terdengar dikeluhkan dan sering
dikemukakan oleh perusahaan agribisnis berbasis PMA (penanaman modal asing).
Bagi perusahaan agribisnis yang berbasis PMDN (penanaman modal dalam negeri)
memang masih ada kepedulian yang diberikan untuk membangun kemaslahatan desa
dan warganya, tetapi kadar perhatian untuk ini selalu terbatas nilainya. Menyadari
dan menyikapi keadaan seperti ini, pihak DRD bersama Balitbangda masih punya
jurus-jurus jitu untuk menggali dan mendorong peran serta perusahaan besar agar
nyata berperan serta mengangkat kinerja UMKM agar lebih kokoh kedudukan mereka
sebagai penopang andal bagi ekonomi fundamental negeri ini. Ada tiga siasat dapat
diketengahkan, yakni sebagai berikut.
1. Kepada perusahaan yang kurang peduli patut dicari celah pemberlakuan perda
untuk memungut iuran risteks inovatif dari mereka masing-masing pemakai.
2. Keberadaan perusahaan dapat didekati dalam hubungan yang lebih bernuansa
ekonomi bisnis, yaitu sebagai lembaga yang membutuhkan barang prukab.
Oleh sebab itu pula, maka kepiawaian LSM dan OPD pembina (lewat
inkubator bisnis atau juga ATP= agro-tekno park) diperlukan. Ini setidaknya untuk
memanfaatkan keberadaan perusahaan besar bersama ribuan pegawai lapangan dan
kantorannya sebagai pasar tetap (captive market) bagi produk agro-industri binaan.
Dengan cara kreatif dan piawai itu, maka BUKD mendapatkan mitra niaga besar
bagi produk inovatif yang dihasilkan anggota, walaupun dari segi bantuan finansial
dan kepedulian sosial perusahaan besar terkait hanya bersifat meluangkan waktu
membantu alakadarnya.
Jadi, kaum tani misalnya, agar bisa dibina inovatif mereka diaktifkan untuk
jadi basis komoditi prukab di bawah satuan lembaga BUKD (Sjarkowi, F., 2017).
Tidak pula salah jika bisa diupayakan semacam kemitraan antara badan usaha yang
mewakili UMKM binaan dengan pihak pelaku usaha padat modal, sepanjang hal
itu disetujui bersama dengan prinsip saling menguntungkan. Mencermati capaian
program CD dari pengalaman membina kaum tani selama 20 tahunan terakhir,
kiranya membawa penulis55 pada arti penting konsep pembinaan UMKM terpadu
sistemik dengan pihak USM (usaha skala menengah) bahkan seyogianya hingga
ke USB (usaha skala besar, semisal eksportir ke luar provinsi dan luar negeri).
Hanya dengan cara demikian itu akan bisa dihindari perilaku mafia bisnis yang
selalu dijumpai pada hampir setiap transaksi niaga yang terkait dengan UMKM.
Para pemburu rente ekonomi selalu berupaya merongrong pihak yang lemah pada
mata rantai terhulu yang umumnya diperankan kaum tani. Ketika sudah melembaga
agribisnis, maka setiap rongrongan jadi tidak mudah mempecundangi kaum tani.
Untuk maksud pembinaan rantai kerja sama wirausaha yang saling terkait bagai
Catatan untuk
penulis: segugus klaster industri yang besar dan saling menguntungkan, maka prinsip kerja
Gambar yang sama pada Gambar-Skematik 7 bisa dipakai. Dari situ kontak dan komunikasi niaga
dimaksud ini
untuk membina kelangsungan transaksi niaga terhadap pihak luar provinsi atau
yang mana ya,
Pak/Bu? luar kabupaten akan mudah dilakukan oleh sesama BUMDes dan atau BUKD yang
dibina mengembangkan prukab suatu desa. Hal ini bisa melalui:
1. kontak langsung;
2. ketanggap promosi online;
3. kontrak niaga antarwaktu.
55
Selaku ilmuan, atau konsultan CSR, dan pernah sebagai Kepala BKPMD dan Koperasi
serta Bappeda Sumsel dan juga Koordinator Promosi Komoditi Sumsel lewat Kantor Online dan
Display di Singapura.
G. Myrdal diperkuat kritik Theodor Dams mengingatkan (IAAE Report, 1971): pertama,
56
Dengan sendirinya, pihak utama dan yang pertama harus berperan aktif
mempromosikan semua isyarat teknis biogeofisik dan sosial kelembagaan itu kepada
para pelaku usaha adalah pihak pemda. Baik lembaga pemprov maupun pemkab
dan pemkot adalah unsur pengarah serta pengatur perizinan yang memiliki rentang
kendali terpendek terhadap setiap jengkal lahan usaha yang ada di dalam wilayahnya.
Alat kendali bagi pemda adalah kebijakan dan ketetapan tata ruang. Tentu saja di
mata pemda, setiap pelaku usaha agribisnis, baik yang berplat merah apalagi yang
57
Selanjutnya, menurut Arifin B., faktor institusi yang dalam hal ini dianggap lebih efektif
pengaruhnya terhadap kombinasi penggunaan variabel “input modern”, itu dapat dihimpun
menjadi: (1) akses terhadap sarpras publik, seperti jalan dan saluran irigasi; (2) sarpras pasar
penyedia tenaga kerja luar keluarga, begitupun jenis input pupuk, juga kredit ataupun pasar
(lelang) output; (3) sarpras penyampai informasi pertanian (baik yang bersifat ekonomi maupun
geofisik-kimia); (4) struktur kepemilikan (dan sewa-pakai) lahan atau juga traktor; (5) struktur
sosial (dalam semangat kemitraan berpengaruh dalam merespons dan bersikap agronomis atas
status iklim yang dihadapi).
Gambar 8.1 Gerakan Ekonomi Kerakyatan untuk Kebaikan Semua: Menghubungkan Mata
Rantai Transaksi UMKM-USM-USB Terpadu Sistemik
C = Biaya
Q = Nilai aset sisa di akhir putaran produksi T, atas asumsi
T = (umur harapan) – (rerata umur petani responden)
Di mana:
t = 0, 1, 2, … T.
Sementara itu, nilai sisa sumber daya Q semisal pohon kayu karet tua
yang kini laku dijual, ataupun pohon kelapa sawit yang bisa menghasilkan
alkohol sekitar tiga liter per pohon pasca-penebangan.
b. Rumus hitung atas asumsi dasar transaksi jual lahan bisa jadi pemicu
perambahan kawasan hutan untuk pengganti persil lahan yang terjual,
padahal ekosistem hutan kian kritis mutu dan fungsi hidro-orologisnya.
Maka dari itu, rumus hitung harus peduli nilai potensial persil ekosistem
hutan yang berpotensi hilang. Dengan rumus beda, lalu respons pemda
diharapkan jadi lebih tepat waktu demi ekosistem terjaga fungsi dan
mutunya agar minim risiko rugi terkait bencana alam. Harus dibuat estimasi
potensi nilai penuh persil hutan yang hilang.
Oleh sebab itu, asumsi kedua ini mewaspadai bumerang NSDH, dengan
cara membuat prakira nilai bersih persil hutan jika dijadikan persil lahan
usahatani (NHAL) yang akan didapat petani bila merambah, sehingga
NBPH = NHAL – NSDHhilang; dan diduga kuat, NBPH < 0.
3. Pada godaan (2) dan (3) ada unsur kesamaan antara keduanya, yaitu sama-
sama rapuh dan sulit bertahan lama; karena pada (2) maupun (3) komitmen
pribadi petani bisa luntur jika terjadi penurunan harga dan nilai manfaat total
dari keikut-sertaan pada ajakan pemda atau godaan pasar merebut peluang lain
yang mungkin sedang muncul, dan dapat diupayakan merebutnya dengan modal
uang dari transaksi jual persil lahan. Konsekuensinya adalah upaya pembinaan
harus diberikan kepada para pemilik lahan agar pasca-jual lahan bisa menjadi
bijak dan lebih produktif dalam mendayagunakan uang pengganti persil setelah
mereka dapatkan.
4. Pembeda (2) dan (3) ada unsur tampilannya; tampak petani penjual lahan
pada kondisi (3) tidak harus aktif produktif. Pada kondisi (1) komitmen petani
yang berpartisipasi bisa cepat luntur apabila tak ada pengawasan dan pantauan
rutin dari pemerintah. Konsekuensinya, perlu diadakan upaya pembimbingan,
yang terkait pelanggaran aneka peraturan pemerintah tentang pembangunan
berwawasan lingkungan. Tentu upaya bina UMKM ini harus mengingatkan agar
pasca-jual lahan mereka jadi bijak dan justru lebih produktif mendayagunakan
uang pengganti yang didapatkan.
9
DI LINGKUNGAN PERKOTAAN
157
prasarana perhubungannya. Artinya potensi suplai hasil tani perdesaan akan berkurang
jumlahnya sedangkan jumlah orang yang membutuhkan komoditi usaha tani itu semakin
banyak dan saling berebut di desa-desa penghasil. Asumsi yang terkesan kelabu ini tak
patut diremehkan oleh warga perkotaan, melainkan perlu langkah-langkah antisipasi
dan penyesuaian yang perlu dibuat sebelum serba terlambat.
Berpangkal tolak dari argumentasi itu pula maka sejak awal abad ke-21 ini
telah mulai berkembang teori usaha tani perkotaan (urban farming). Tidak terkecuali
di negeri subur dijuluki ‘bak untaian zamrud di zona khatulistiwa’, maka isu
usaha tani perkotaan harus mulai dikajiterapkan. Pendekatan sama dengan pola
usaha tani pedesaan boleh saja diteruskan walau dengan prinsip pendayagunaan
prasarana dan sarana agak berbeda. Pengenalan teknologi pertanian minim lahan
terutama pertanian hidrophonic dan aerophonic perlu ditemukan rahasia teknis dan
manajemen unggulnya.
Pendekatan usaha rumahan yang bersifat sambilan atau juga pola usaha
kemitraan yang sengaja memanfaatkan prasarana kelurahan semisal tim PKK dan
organisasi Karang Taruna, sepatutnya tidak lagi berpola asalan dan hobi melainkan
kian berbasis satuan agribisnis kekotaan. Warga kota di tiap sudut wilayah
administrasi RW juga RT harus terbiasa memanfaatkan ruang sempit horizontal
maupun vertikal pada setiap bangunan beton yang terpaksa sempit dan butuh
sirkulasi udara yang pasti terkait suhu optimal pertanian.
Jika tidak ada sedikit pun ruang bertanah karena bangunan rumah berupa
apartemen, maka ada cara lain yang bisa dilakukan, yakni cara vertikal dan cara
horizontal. Ini tentang pertanian kota bertapak rumahan guna menghasilkan
komoditi yang kira-kira dibutuhkan di perkotaan. Ini dapat diarahkan untuk jadi
penambah bahan baku agroindustri dari desa, sekaligus sumber pendapatan warga
kota yang hidup di sekitar garis kemiskinan kelompok, kedua yaitu:
1) Bertanam pola vertikal dengan sistem aerophonic, bisa berbasis uap air campur
hara, juga susunan pot untuk tanaman pemanjat (misal, sirih Piper battle, R;
cincau Cocculus orbiculatus, markisa Passiflora edulis).
2) Bertanam pola horizontal sistem hidrophonic; yang sifat tanamnya bermedia air
dalam wadah plastik disusun berlapis pada penyangga bertiang kayu (seledri
Apium graveolens; daun bawang Allium fistulosum).
3) Bertanam pola horizontal sistem aqua kultur diberi busa terapung atau deretan
pot plastik terhubung oleh pipa atau selang penyalur air bagi jenis sayuran
(sawi caisim =Brassica spp) diayomi pepohon dalam pot.
Terkait dengan ini, bisa pula dibuat kegiatan pertanian kota lain yang dapat
digerakkan dan diatur jadi pasar penampung bagi berbagai hasil pertanian kota
berbasis rumahan itu. Demikian masih ada lagi tiga pasal lain yang bisa dijadikan
sasaran bina kemajuan pertanian perkotaan. Berikut dimaksudkan keberadaannya
jadi kesempatan membuka pasar, pasti bagi hasil-hasil kegiatan pertanian rumahan
perkotaan. Ketiga pasal sasaran itu adalah:
1) Pertamanan kota, baik yang berstatus RTH atau Ruang Terbuka Hijau, lingkar
persimpangan jalan, marka jalan, dan beberapa TPU atau tempat pemakaman
umum;
2) Penghijauan lorong kota, simbol pertanaman di muara masuk dan ke luar
setiap lorong yang lebarnya lebih dari 2 meter, biasa terkesan gersang tanpa
tumbuhan.
3) Pertanaman penguat bantaran kanal dan anak-anak sungai, perlu akar pepohonan
buah agar jadi pencegah erosi bantaran dan sumber dana bagi warga sekitar.
Tiga ciri kinerja poin 1, 2, dan 3 sangat terkait dengan peran hilirisasi yang akan
lebih menjamin raihan laba dan juga nilai tambah di kalangan pelaku usaha bidang
pertanian. Ciri poin 1, tentang satuan agribisnis yakni bukan satuan usaha tani
tradisional dan bukan pula sekadar usaha pengisi waktu bagi yang hobi bertanam.
Daftar Pustaka
Colman, D. & F. Nixson. 1985. Economics of Change in Less Developed Countries.
University of Manchester.
Schultz, T.W. 1978. Distortions of Agricultural Incentives (ed.). Bloomington: Indiana
University Press.
10
UPAYA BIJAK DAN CERMAT NIAGA
173
4. Ukuran elastisitas produksi merespons capaian pemasaran suatu barang privat
mengiring layanan suatu barang publik terkait;
5. Ukuran elastisitas kemapanan pemasaran dilihat dari fase siklus produknya.
49
Ketika bagian ini ditulis, terjadi paradoks produksi sawit di banyak daerah penghasilnya.
Di satu sisi produktivitas sedang tinggi dan harga TBS yang diterima petani tidak jauh beranjak
naik (sesuai hukum suplai); tapi di sisi lain terjadi lonjakan harga minyak goreng bahkan terjadi
kelangkaan barangnya di berbagai daerah. Kaum tani pekebun sawit rakyat maupun plasma
seolah tidak dipedulikan para penentu kebijakan pemasaran sawit.
Gambar 10.1 Beberapa Alternatif Saluran Pemasaran Berpeluang Terjadi dan Dialami
UMKM Agribisnis Inovatif
Begitulah keadaannya manakala para pelaku usaha tani kecil dan masih
subsistem hanya berkiprah sendiri-sendiri. Tidak banyak faktor pendorong yang
bisa mengangkat kehidupan mereka untuk jadi lebih sejahtera, sampai para petani
yang sejenis atau seklaster menemukan jalan dan cara menyatu melembaga sebagai
UMKM agribisnis. Dalam hal ini peran pemda akan sangat menentukan datangnya
pembinaan. Mungkin langsung diberdayakan dengan program CD (community
development) yang didanai dengan porsi APBD (kabupaten atau provinsi) atau juga
dengan dana CSR yang jadi kewajiban perusahaan besar untuk membagikannya,
serta dari sumber lainnya.
Ketika kelompok demi kelompok berbasis klaster pertanaman tertentu berhasil
melembaga menjadi pelaku satuan BUKD sebagai UMKM agribisnis kemitraan,
maka setiap muncul paket Ipteks-inovatif akan bisa ditangkap dan didayagunakan.
Semua kisi-kisi manajemen perusahaan mulai dapat diterapgunakan oleh tim
manajemen yang bertugas menggiatkan 4K yang tepat pada bidang manajemen
(keuangan-kepegawaian-keproduksian-kepemasaran). Hal yang khusus dalam
konteks pemasaran, bahkan bisa dijalankan strategi frontal meliputi semua saluran
pemasaran sedang terbuka. BUKD sebagai satuan badan usaha setingkat UMKM
agribisnis kemitraan patut ada tim manajemen yang handal profesional. Pola
manajemen professional tentu diperkuat tenaga SDM berkualifikasi S-1 terlatih
dan sesuai tugasnya, tentu dapat dipekerjakan dan digaji oleh BUKD secara wajar,
apalagi oleh satuan BUMDes.
Tindakan bijak akan tampak lebih jelas bila fokus pada komoditi andalan
daerah. Lalu tiga paket rekabina bagi para pelaku usaha tani bisa lebih komprehensif
Dari dua waktu niaga itu eh = -0.5, maka bila harga naik 1% tentu Q turun
5%. Jika data beruntun waktu, maka ‘e’ dihitung dengan metode statistika regresi.
Jika kedua terjadi maka tinggal diperlukan strategi taktik pemasaran untuk
memastikan siapa pembeli andalan sebagai sasaran kebijakan menerobos pasar
dan merangkul konsumen. Di sini kelompok demi kelompok, klaster demi klaster
kaum tani secara melembaga dipastikan siap jadi pelaku satuan BUKD agribisnis
kemitraan serta terbina jadi pelopor kemajuan daerah kecamatan.
Argumentasi sebelum ini tentang memperlama waktu simpan atau juga waktu
aman prajual tanpa berubah mutu, maka terhadap suatu komoditi pertanian perlu
diberi perlakuan inovasi olah-bahan sekaligus olah pengawet berupa zat herbal
yang mudah didapatkan. Pascaproses pengolahan yang demikian ini, maka istilah
‘komoditi’ sudah sepatutnya diganti dengan sebutan ‘produk’. Di dalam buku ini
sengaja dibedakan pengertian KOMODITI ANDALAN yang pascaolah dan bertekstur
baru, lalu disebut PRODUK UNGGULAN. Sebutan andalan dan unggulan demikian
itu identik dengan kekhasan bentang alam lingkungan biogeofisik dan keadaan
sosekbud-kesmas yang ada di suatu daerah tempat kelangsungan proses agronomi
dan agroindustri barang niaga (yang disebut produk unggulan) tadi.
Upaya gencar menembus pasar lebih luas akan mudah menambah pangsa
pasar produk unggulan itu. Rangkaian teknis hingga terjadi transaksi jual-beli ini
jika sengaja dirancang secara sistemik tentunya akan jadi proses ANDALAN dan
UNGGULAN bagi kelangsungan proses MONETISASI desa dan daerah (sub-Bab
7.5; 8.2 dan 9.2). Untuk membuat bobot kebernasan ekonomi dan percepatan
proses monetisasi desa dan daerah itu maka sesuai resep sub-Bab 10.1 tadi perlu
perkuatan daya saing, yaitu sebagai berikut:
1) Para petani harus terus diperingatkan untuk tidak berubah kembali pada cara
berusaha tani sendiri-sendiri tradisional, tapi konsisten tampil melembaga
bersama sebagai satuan BUKD agribisnis kemitraan maju.
2) Para pedagang perantara harus terus disiasati agar lebih memihak pada
kepentingan petani, untuk itu harus ada mekanisme transaksi pada jalur
pemasaran yang lebih pendek dan lebih massal sebagai pemicunya.
3) Para pedagang asongan yang sengaja dibina untuk diarahkan melayani sasaran
konsumen di tiap titik objek wisata, sementara semua jalur lain hingga titik
lokasi dan posisi konsumen perkotaan harus dijangkau.
Ketiga butir tersebut ini merupakan siasat aktif dan agresip sambangi berbagai
segmen potensial konsumen suatu produk unggulan juga komoditi andalan dari
suatu desa atau daerah binaan. Sebagai strategi pemasaran, semua itu harus selalu
dilengkapi hitung dagang oleh tim SDM berkekuatan ilmiah. Bukan hanya analisis
elastisitas permintaan atas harga agar kemudian bisa menyesuaikan harga dan
tampilan barang, tapi juga perlu diketahui elastisitas pendapatan sesuai sasaran
komsumen yang dibidik. Jadi secara taktis, terap guna strategi bauran pemasaran
tidak mengabaikan hitungan ELASTISITAS PENDAPATAN dari komunitas calon
konsumen di masing-masing daerah sasaran. Terutama dalam menjangkau pasar
ekspor di benua lain (misalnya; konsumen di benua Afrika utara umumnya lebih
kaya dari pada di Afrika tengah dan Asia Tengah) tidaklah sama. Harga dan tampilan
kemasan yang juga beda ukuran berat untuk produk yang sejenis tapi berbeda resep
cita-rasanya bisa dipromosikan. Salah satu dimensi pembeda itu semua adalah
informasi tentang tingkat pendapatan calon konsumen atas perubahan daya beli
mereka pada tingkat harga produk yang berlaku.
epLibia = [(Qt−Qt−1)
Qt−1
/
(Ht−Ht−1)
Ht−1
= [[
55−50
4.0
]/10% ] = 1.0;ep = [ 48−40
nig
40
] /8% = 2.5
Tentu hal itu tidak mudah bagi kelompok UMKM agribisnis kemitraan yang
ada di tingkat perdesaan dan juga baru berusaha “melaut” di samudra bisnis.
Iklim persaingan bisnis yang biasanya liar akan selalu ada godaan dan tantangan
kewirausahaan. Gambaran tentang dinamika kesulitan di hadapan pelaku bisnis
pemula dan berskala kecil itu dapat diilustrasikan melalui tiga sasaran kewaspadaan
berikut ini:
(1) Terkait dengan sistem pemasaran, tentu akan selalu ada mekanisme GODAAN
(di baliknya ada potensi CULAS) atau TANTANGAN (di baliknya ada potensi
RESIKO rugi), maka stratak Bauran Pemasaran akan juga mendapati hal-hal
negatif ini.
(2) Terhadap calon konsumen godaan POSITIF berupa promosi jual berbonus, atau
godaan NEGATIF harga diskon barang hampir kadaluarsa. Tantangan IKATAN
NIAGA agar pembeli setia, justru bisa merugi saat pesaing baru masuki pasar
Dalam konteks itu di antara beberapa jenis komoditi tentu ada satu jenis
pertanaman untuk diberi lebih banyak perhatian bisnis. Ini khususnya dilihat dari
sudut pertimbangan proses agronomis, dan juga proses produksi, lalu hasil panen
dilihat segi proses agroindustri. Demi mendukung perdagangan antarpulau dan
Para pihak perlu peran aktifkan upaya promosi nyata terutama di tiap objek
wisata yang ada di daerah setempat. Sungguh para pedagang asongan merupakan
kelompok pionir pemasaran untuk komoditi andalan atau suatu produk olahan
yang baru diunggulkan lewat program hilirisasi bagi suatu daerah binaan (desa/
kelurahan). Status komoditi dan/atau produk, keberadaan objek wisata, dan peran
pedagang asongan sedemikian itu dilengkapi langkah bijak memicu-pacu omzet
penjualan untuk jenis barang yang relatif terkesan disukai konsumen. Produk olahan
dan komoditi andalan demikian perlu efektif memasuki pasar. Syukur jika berawal
dari harapan bertemu calon pembeli kuat karena kebetulan berorientasi bisnis,
karena ramai pengunjung objek wisata dari provinsi lain bahkan mancanegara.
Dari situ pula para pelaku usaha tani kecil tradisional akan tampak mana yang
pantas masuk jadi penghasil komoditi andalan, dan patut mendapat pemberdayaan
agar jadi pelaku satuan agribisnis kemitraan komersial. Dengan rangkaian program
yang sistemik, maka kaum tani bisa membina kehidupan keluarga masing-masing,
bukan hanya terpaku menjalankan unit usaha tani tradisional serta kecil-kecilan.
Dari situ para petani kecil bisa tampil melembaga usaha BUKD agribisnis, lalu
dipacu lewat hilirisasi berstruktur kontrak ataupun hilirisasi berstruktur
organik (sub-bab 8.4) agar berkembang mengakar kuat di sisi hulu sejak dari titik
produsen hingga sisi hilir yang dekat pada konsumen. Sekaligus atas pembinaan
demikian, kegiatan bisnis binaan itu telah masuk ke tahap agroindustri olah-perta
(agro-processing industry).
Di sini peran penting para pedagang asongan tetap dikedepankan untuk
diaktifkan oleh pelaku usaha yang sudah berorientasi komersial dan mungkin sedang
mengarah kepada pasar ekspor. Pada sasaran OTW hakikatnya peran asongan tidak
hanya sebagai penjual eceran, tapi juga sekaligus berupaya menyentuh konsumen
luas melalui promosi ‘murahan’ yang menggugah para wiskal-wisnu-wisman. Dari
sini satuan usaha yang telah komersial, maka setiap saluran pemasaran harus bisa
dimasuki dengan strategi bauran pemasaran.
Nilai esY > 0 ini contoh berita baik bagi para pengusaha agribisnis domestik
penghasil Y. Tentu produksi Y perlu ditingkatkan. Bisa jadi importir minta spesifikasi
Y tertentu, maka pihak Manajer BUKD terkait harus siap penuhinya.
Gambar 10.3 Ilustrasi Peran Gudang Menopang Suplai Kebutuhan Bahan Baku Produk
Olahan Guna Memenuhi Pesanan Pasar
Sumber: F. Sjarkowi, 2022
Asumsi Optimistik (Perspektif kini 2022 dan nanti tahun 2045) yang
siidasari adanya inovasi dan manajemen agribisnis maju pesat:
(1) Pra-2045 tekanan suplai secara progresif ke pasar ekspor sekaligus juga ke pasar
domestik lewat niaga antarpulau bersemangat barter.
(2) Pasca-2045 tekanan suplai diberikan ecara impresif berkomitmen sahabat
timbal-balik, sehingga secara ekonomi baik bagi kedua pihak
Terlepas dari maksud itu, ada juga kepentingan lain harus diperankan lewat
manajemen penggudangan maju, yakni terkait dengan kelancaran suplai barang
dari periode ke periode panen dan dari tahun ke tahun. Indikator yang harus
selalu dicermati adalah ukuran stok komoditi bahan baku untuk jaga-jaga. Ketika
permintaan barang sedang tumbuh, maka volume stok jaga-jaga akan terkuras lebih
cepat, dalam arti mengecil di bawah ukuran rata-rata yang sudah diperhitungkan
dan ditetapkan. Sebaliknya ketika permintaan mengendor tentu volume stok jaga-
jaga akan terkesan kebesaran alias berlebihan.
50
Untuk jenis komoditi pertanian tahunan seperti karet remah, coklat atau bahkan CPO
(minyak sawit mentah) yang didominasi permintaan pasar ekspor, maka simbol waktu “t” akan
lebih tepat mewakili periode tahun. Jadi t0 = tahun kini, yakni di sekitar bulan Desember, dan
t-1 = setahun lalu; t-2 = dua tahun lalu, dan seterusnya.
11
GERAK MAJU PERTANIAN NUSANTARA
197
perikanan tentunya selalu ada pada setiap komunitas petani. Kearifan lokal itu dapat
diberi perkuatan Ipteks-baru (Ipteks inovatif) guna menaikkan efek produktivitas
yang berwawasan lingkungan, serta manfaat kesejahteraan berkelanjutan.
Kekurangan kinerja sektor pertanian negeri ini juga ada, seperti telah dibahas
yaitu: 1) Mayoritas satuan-satuan kegiatan usaha tani yang belum berkelas agribisnis
karena tidak serta-merta bisa berjalan sebagai satuan usaha sesuai kaidah keilmuan
manajemen bisnis; 2) Manajemen produksi usaha tani masih terbatas pada upaya
menaikkan produktivitas dan panen bahan segar untuk konsumsi atau bahan baku
untuk agroindustri barang ½-jadi; 3) Metode pemasaran oleh para petani masih
lebih banyak bersifat lokalistik antara pihak petani dengan pedagang perantara,
sehingga terbatas pangsa pasar dan petani hanya bertindak sebagai penerima harga
(price taker) bukan penentu harga (price maker), sehingga mudah dipojokkan.
Faktor-faktor positif 3K itu adalah basis kebijakan yang perlu diangkat
agar faktor-faktor negatif 3M-nya tidak terus menggerogoti tingkat dan kadar
kesejahteraan kaum tani khususnya, serta warga bangsa pada umumnya. Akan
tetapi, kompleksitas permasalahan yang tampaknya kian menggejala itu harus diatasi
secara holistic. Artinya, tidak bisa lagi secara parsial karena bumi sudah ditempa oleh
perubahan iklim global; maupun kepadatan penduduk yang makin bebas bergerak
ke semua arah. Begitu pula arus informasi niaga, kini mudah menyebar ke semua
penjuru bumi dan boleh jadi hal itu peluang bisnis.
Bagi kaum tani sebagai produsen masih ada aneka sumber nilai tambah
belum terjangkau, sebab pengolahan komoditi hasil pertanian menjadi aneka
produk tahan lama dan bernilai tinggi belum sempat terjadi. Produk olahan desa
seharusnya dapat memenuhi kebutuhan kota antarprovinsi. Bahkan kontrak niaga
perdagangan antarpulau akan memastikan adanya nilai tambah yang tinggi ikut
dinikmati warga desa, daripada sekadar menjual bahan segar atau pun bahan baku
mentah. Sebagai konsumen atas beragam barang jadi (siap pakai & siap konsumsi)
oleh warga perdesaan yang begitu besar tentu tidak kecil pengaruh positipnya jika
mereka sudah pada posisi makmur.
Satu misal, jika konsumsi orang desa diarahkan kepada rumus 4 sehat 5
sempurna, maka akan banyak jenis hasil tani di desa dapat mencukupi gizi tinggi,
sehingga protein hewani & nabati, vitamin, lemak dan mineral tercukupi, tapi
sekaligus mungurangi karbohidrat asal beras. Akibatnya dari tingkat konsumsi
120Kg/kapita bisa turun ke tingkat rendah, yakni sekitar 90kg/kapita, dan
selanjutnya surplus beras mutu tinggi di daerah penghasil bisa diarahkan ke pasar
ekspor. Siklus transaksi jual beli produk asal perdesaan dan asal perkotaan pun akan
hidup dan terus membesar volumenya, sehingga bisa dipastikan perputaran uang
akan terus memperkuat ekonomi fundamental negeri ini.
Argumentasi optimistik di atas, tentu tidak boleh sekadar bualan kosong.
Proses pelembagaan yang telah dibahas dalam Bab 1, 7, dan 10 sebelum ini harus
benar-benar diberi muatan bisnis yang nyata mendatangkan tambahan kesejahteraan
finansial bagi tiap anggota kelompok tani. Muatan bisnis yang dimaksudkan antara
lainnya adalah sebagai berikut:
1. Muatan kelembagaan (satuan usaha maupun jaringan bisnis).
2. Muatan keuntungan (laba utama maupun sampingan).
3. Muatan kenikmatan nilai-tambah (pokok maupun pelengkap).
Jika fase 3K dan 3M itu telah tuntas, maka di saat itulah kedudukan BUKD (bisa
3 sampai dengan 5 satuan nama per desa sesuai klasternya) harus sudah terdaftar
pada Dinas INDAG Kabupaten & Kota. Sebagai satuan usaha sukses, maka akhirnya
tiap BUKD tidak mungkin lagi ditolak Kades, justru diterima keberadaannya sebagai
tangan operasional dari BUMDes di desanya. Jadi di sini kelahiran BUKD jadi
tangan kuat BUMDes lewat proses yang bukan parsial, melainkan harus totalitas
berpola THIS (Tematik-kerakyatan; Holistik-hulu hilir; Inovatif-kreatif, Sistemik-
sistematik) sehingga dengan demikian kelincahan bisnis lembaga BUKD jadi
sangat tampak. Keadaan yang berproses seperti ini tanpa disadari akan berbuah
kekompakan warga dan aparat desa dalam memperkuat perekonomian desa. Tidak
mungkin lagi keaktifan BUMDes terkesan disaingi oleh warga yang aktif menghela
agribisnis melembaga BUKD.
1
Misalnya hasil karet alam 90% lebih diproduksi oleh usahatani rakyat, sedangkan hasil
TBS-sawit 90% lebih diproduksi oleh korporasi besar; dan berbeda pula antara pelaku usaha tani
kop & coklat yang rada panjang kegiatan pascapanennya jika dibandingkan dengan ringkasnya
kinerja petani hortikultura sayur-mayur.
Gambar 11.1 Pola Agrotrisula & Aneka Potensi Niaga Terpadu (Tinggi Frekuensi Panen
Fermentasi Kotoran Hewan Jadi Pupuk Organik Berbasis Bakteri PBO "Pengurai Bahan
Organik" T4
Sungguhpun hampir setiap 5 kelompok resep olah bahan itu bisa saja dilakukan
pada tingkat agroindustri rumahan, namun penyediaan rumah produksi bersama
oleh setiap desa (cantiknya di bawah koordinasi BUMDes) guna menjaga standar
produk yang perlu disahkan lewat pemeriksaan BPOM (= Badan Pengawasan Obat
dan Makanan; sesuai Perpres #80 2017), serta pengesahaan oleh pihak otoritas
Depkes-RI. Ingat syarat ini adalah salah satu unsur ciri 7J pada produk, dan
amat berguna jika kemudian perluasan pangsa pasar diperlukan guna memenuhi
permintaan dari jauh (antarpulau) khususnya dalam menjawab tantangan ekspor.2
Menariknya sisi tekno-ekonomi jika di desa bisa dihidupkan suatu rumah
produksi yang punya sasaran jumlah produksi tertentu atas permintaan pasar
antarpulau, maka setiap proses yang 5-RP tadi mudah terpicu membuka banyak
kesempatan kerja. Padahal untuk kategori dan jenis usaha olah-bahan berbasis ikan,
tentunya tidak perlu kualifikasi SDM pekerja berpendidikan tinggi, terkecuali untuk
SDM bertugas sebagai manajer tengahan. Bahkan pada usaha ekspor ikan segar
wanita lulusan SMP dapat dilatih keterampilannya agar cekatan, tinggi produktivitas,
serta menaati prasyarat formal higienis dari peraturan niaga yang berlaku di suatu
Negara tujuan ekspor.
2
Wawancara Penulis (selaku Kepala Bappeda Sumsel) di tahun 2003 dengan pihak Bank
Indover (cabang Bank Mandiri untuk urusan transaksi ekspor & impor) berkedudukan di Den
Hag Belanda; pernah terjadi pengiriman 2 kontainer kerupuk kemplang berbahan dasar ikan
digagalkan oleh petugas Bes-Cukai di pelabuhan Rotterdam disebabkan ketidaklengkapan
dokumen kualitas produk sedangkan saat diperiksa, petugas menemukan sedikit dari barang
itu ternyata agak berjamur akibat kurang kering dan berbau ikan (fishy).
Solusi M(1) telah banyak dibahas sebelum ini, sifatnya mendayagunakan limbah
padat maupun limbah cair untuk mendukung kegiatan produktif yang sifatnya tidak
merugikan, malahan jadi sumber pendapatan sampingan dan berlangsung sebagai
tambahan rutin. Solusi M(2) tergambar sebagaimana posisi tetumbuhan berdaun
rapat dan padat (vegetasi) di tengah-tengah pada Gambar 11.3 di atas. Solusi M(3)
yaitu penataan RTH (Ruang Terbuka Hijau) yang dalam rancangannya sengaja
dibentuk tersusun dari pertanaman bunga-bungaan perdu yang terdepan disusul
pertanaman hortikultura buah berpohon rendah, tapi berkanopi padat (semisal
tanaman jeruk), lalu disusul oleh barisan pertanaman Bambu-hias yang berdaun
jarum dan juga padat, barulah disusul oleh tanaman pohon berharga semisal Mahoni
yang juga berdaun kecil & padat. Dikarenakan sifatnya sebagai zona penyangga angin
dan pembelok arah angin dan emisi gas atau bau yang dibawanya, maka disebut
Sabuk Hijau (Green Belt).
Harus selalu diingat bahwa para petani kecil bisa berkekuatan besar jika mereka
bersatu menurut jenis klaster usahanya (misalnya: klaster petani sawit). Mereka
tampil melembaga dengan menerapkan system manajemen agribisnis yang baku.
Dengan cara demikian mereka pun bisa menerapkan pola produksi terpadu tanpa
buangan tersia-sia. Tambahan pendapatan pun akan masuk.
Keterangan: Tanaman Pangan-pokok (TPp) adalah padi atau jagung atau kedele (PAJALE) diusahakan sebagai bagian
dari pola perusahaan komoditi pangan (food-estate) guna menjaga kecukupan pangan daerah & nasional. Usahatani
agrotrisula didudukkan sebagai penunjang TPp, sedangkan TKc berstatus sbg pelengkap fungsi hidro-orologis. Istilah
‘petani klaster’ indikasi kelompok petani sejenis yang terbina.
Keterpaduan aksi lapangan pada kegiatan agribisnis primer sangat berguna dalam
rangka menjaga keseimbangan biogeofisik, ketersediaan energi, dan keterjaminan
pendapatan. Ada 3 ciri keterpaduan pada Tabel 11.1 tadi antara lain yaitu;
a. Penjamin sumber pendapatan harian dan mingguan bagi para pelaku teknis
lapisan terbawah (pekerja kasar) adalah pertanian AGROTRISULA (terpadu
oleh peran bakteri PBO, yang membuat usaha tani ‘sayur-cepat, ternak-cepat,
ikan-cepat’ saling mendukung, saling membutuhkan).
b. Penjamin keseimbangan mutu dan fungsi hidro-orologis yaitu melalui peran
pertanaman kayu, yang sepatutnya mudah tumbuh karena ada peran penyubur
disediakan dari hasil fermentasi bahan organik berupa aneka limbah kegiatan,
setelah diberi perlakuan bakteri unggul PBO.
c. Penjamin kestabilan sumber pendapatan berbasis frekuensi panen yang teratur,
berkah padu-usaha tanaman-perikanan-peternakan; dan diatur waktu tebar
benih, nener, bina-ternak; lalu hal sama diulang tiap 3 hari jika panen diharap
tiap 3 hari di sejumlah galengan secara bersiklus.
Maksud bersiklus di sini adalah upaya yang sama dilakukan kembali dan kembali
pada galengan atau kolam yang pertama, tergantung pada rumusnya “Umur-panen
dibagi 3 hari”. Jika umur panen sayur 15 hari, maka harus dibuat 15:3 = 5 galengan
(atau 2x5 =10 galengan jika volume panen dilipat dua). Lalu begitu juga kolam
ikan dapat ditebari berurutan (misal 400 nener per kolam) bersiklus umur panen
10 minggu dibagi frekuensi panen tiap 2 minggu berarti 10:2 =5 kolam terpal (atau
kelipatannya) harus disiapkan. Rumus yang sama dipakai untuk bina ternak dengan
waktu tunggu panen (telur ataupun daging yang juga dapat diatur guna menambah
pendapatan pelaku usaha.
2. Sumber Pupuk Organik Padat (POP) dan Pupuk Organik Cair (POC)
Dari kegiatan pertanian primer dan olah pascapanen selalu ada jenis limbah organik
padat dan juga cair. Sungguhpun kandungan hara-makro pada jenis limbah organik
itu relatif rendah, namun bilamana telah dilakukan proses fermentasi menjadi
pupuk organik padat & cair, maka manfaatnya amat besar. Jenis POP pada tanah
gersang, berperan sebagai ameliorant (penggembur tanah dan pelancar penyerapan
hara tanah oleh tanaman, sekaligus sebagai sumber hara makro tambahan (Lihat
Tabel 11.2 di bawah). Jenis POC selain bersifat kandungan hara umumnya lebih
tinggi dari pada POP, juga bersifat cari sehingga lebih mudah digunakan dan lebih
lancer untuk diserap akar tanaman, terutama pada pertanaman berakar dangkal.
Tabel 11.2 Kandungan Hara Makro, Kotoran Padat & Cair Hewan Ruminansia
Kandungan Harga Makro (%)
Jenis Ternak Jenis Kotoran
N P K Ca
Sapi Padat 0.33 0.11 0.13 0.26
Cair 1.52 0.01 0.56 0.007
Kerbau Padat 0.26 0.08 0.14 0.33
Cair 1.62 - 1.34 -
Domba Padat 0.65 0.22 0.14 0.33
Cair 1.43 0.01 0.55 0.11
Kuda Padat 0.56 0.13 0.23 0.12
Cair 1.24 0.001 1.26 0.32
Sumber: BSN, 2011
Seterusnya bila dilihat dari sisi distribusi, sedikitnya ada 3B alasan pokok
mengapa kelancaran suplai bahan pangan untuk seluruh wilayah Nusantara bisa
terjamin, agar peran penyedia pangan antarbangsa juga bisa dipenuhi.
1. Bijak mengelola sistem peringatan dini terhadap gejala Krisis Pangan, dan ini
sepatutnya diberlakukan aktif di setiap ibukota provinsi.
2. Bijak menata sistem pendistribusian bahan PAJALE antardaerah, dengan tujuan
utama untuk pelayanan cepat dan tepat harga.
3. Bijak memacu sistem pemanfaatan limbah sisa konsumsi makanan, karena hal
ini adalah bagian dari siklus manajemen kepanganan.
Akan lebih baik jika ada SDA andalan daerah untuk mendukung program
pangan demi kedaulatan pangan nasional, sekaligus siap menjadi penyangga
kebutuhan pangan antarbangsa jika terjadi krisis pangan. Upaya ini menuntut
pendayagunaan lahan berwawasan lingkungan, tapi harus produktif dan efektif
menaikkan kesejahteraan keluarga petani. Ketepatan pilih bentang kawasan yang
sebaiknya dikonversi jadi lahan pangan berwawasan lingkungan harus cermat,
dilengkapi kondisi prasarana dan sarana angkut pelancar transaksi bisnis kemudian.
Mekanisme pasarnya tidak boleh mengorbankan kepentingan petani untuk bisa
lebih sejahtera. Sementara susut luasan hutan terus deras terjadi di setiap daerah
Nusantara, namun penurunan drastic fungsi hidro-orologis pada ekosistem hutan
tetap harus dihindari.
Memang iklim dan cuaca di tiap wilayah daerah dan bahkan di tiap negeri kian
meluntur ke arah kesamaan, tapi semakin tidak-beraturan (c.f. Brown. L.R. 1988).3
Bencana perubahan iklim bisa saja menimbulkan masalah kekurangan hasil pangan
di sejumlah negeri secara bersamaan, misalnya selingkup wilayah ASEAN. Jadi harus
ada cara untuk saling bantu saat terjadi kesulitan pangan di suatu negeri dan kawasan
regional, jangan sampai makna Negara sahabat hanya isapan jempol, dan dampak
bencana sulit diatasi. Ke depan antarnegara bertetangga ada baiknya dihidupkan
kerja sama regional dalam bidang produksi, serta krisis pangan. Untuk kepentingan
menaikkan produksi harus ada tindakan alokasi kawasan hutan penopang kedaulatan
pangan regional yang diapresiasi di dalam negeri dan internasional.
Sisa kawasan hutan harus dipertahankan bahkan seyogianya ditambah dengan
luasan hutan tanaman reboisasi, khususnya pada Kawasan lahan pascapenambangan.
Semua ini perlu dilakukan dalam rangka mengendalikan emisi Carbon dan mengganjel
laju pemanasan global. Lebih dari itu bersama konversi hutan pascaalokasi lahannya
baik diberlakukan sistem manajemen sumberdaya hutan di bawah 1 payung
manajemen hutan kemasyarakatan. Hal yang disebut terakhir ini berguna untuk
memudahkan manajemen pengawasan dan juga pemanfaatan. Sebab di masa
3
Dalam World Watch Paper #85 (1988) pernah dilaporkan dengan judul ‘The Changing
World Food Prospect: The Nineties & Beyond’ oleh Lester R. Brown, bahwa bencana hampir
kekeringan pernah terjadi di India, USA, Canada, dan Cina hampir berbarengan menurunkan
produksi pangan dunia 161 juta ton di tahun 1987/1988.
Ketiga prasyarat umum mendasar di atas, tentu akan sulit dijamin adanya jika
melibatkan para petani tradisional yang tidak tergabung dalam BUKD atau UMKM
agribisnis kemitraan yang terorganisir resmi. Sebaliknya, bilamana hal-hal yang amat
mendasar itu diabaikan, maka akan banyak persoalan rumit dan merugikan bakal
sewaktu-waktu dihadapi dan tentulah amat merepotkan. Konsistensi mengikuti
aturan main juga akan membawa dampak positif kepada warga bangsa sendiri,
karena secara otomatis kondisi dan prosesi ekonomi bisnis kepanganan domestik
akan terbawa naik berklas internasional. Jadi lahir batin, nyata maupun tersembunyi
ekonomi kepanganan semakin terbina kuat.
Implikasi ketimpangan nilai neraca perdagangan itu akan tampak nyata berupa
gangguan yang memicu pelemahan kurs Rp/$, perubahan beberapa indikator
makro ekonomi, juga penebalan jumlah nilai hutang luar negeri, bahkan berujung
pengurasan SDA di tiap provinsi. Ini demi partisipasi daerah menjaga sehat ekonomi
makro negeri ini. Upaya untuk meningkatkan nilai ekspor dan menyehatkan defisit
neraca perdagangan luar negeri jelas tidak sepatutnya mengabaikan peran para
pelaku usaha tani yang jumlahnya meliputi lebih dari separoh penduduk negeri ini,
dan ini tentunya dengan beberapa catatan sebagai berikut:
a. Para petani kecil-tradisional harus dibina agar tampil melembaga berupa UMKM
Agribisnis-Kemitraan (dengan label nama BUKD bahkan BUMDes).
b. Prestasi UMKM-agribisnis kemitraan tidak sekadar pada tataran produksi
komoditi primer, namun terus dipacu memproduksi aneka produk-inovatif.
c. Proses pembinaan lewat program Hilirisasi Berstruktur Organistik (HBO) dan
Hilirisasi Berstruktur Kontrak (HBK) terus dipicu mengikuti kemajuan Ipteks.
Daftar Pustaka
Sjarkowi, F. 2014. Agro-ekosistem Lahan Basah Lestari: Titah Inovasi Kedaulatan Pangan
dan Kesejahteraan Masyarakat Agraris. Palembang: Baldad Grafiti Press.
12
DAYA-LENTING SATUAN AGRIBISNIS
NUSANTARA
225
agroindustri sebagai pengaman komoditi yang berisiko tak terjual di pasar
konvensional. Malahan bukan sekadar perkecil risiko, satuan pabrik yang bisa
berperan sebagai penampung hasil tani, lalu mengolahnya jadi suatu jenis produk
yang tahan lama untuk disimpan dan dapat pula diberi perlakuan pencipta nilai
tambah yang cenderung amat besar porsinya dibandingkan nilai laba yang biasa
diperoleh dari transaksi komoditi, selaku bahan segar ataupun bahan baku hasil
kegiatan usaha tani.
Sepak terjang kaum tani kebanyakan tetap patut diberi pujian dan terlebih dari
itu sudah seharusnya diberi perhatian lebih demi kemaslahatan negeri dan setiap
anak bangsa. Sepintas para petani kecil tradisional punya semacam daya lenting
ketika menjalani apa pun tantangan dan peluang selain kesulitan. Naluri mereka ada
yang pakai tebeng pengaman ekonomi keluarga dengan mengusahakan pertanian
tanaman pangan padi-jagung-kedele (pajale), sebab di mana-mana hadir konsumen
selaku pembeli. Ada pula yang memilih tanaman bahan baku agar bisa berlindung
pada kesediaan pabrik selaku satuan pasar yang lebih pasti, walau tangan pabrik
suka beraksi menekan mimpi petani mendapatkan harga yang tinggi.
Sedemikian terbatas daya-lenting para pelaku usaha tani tradisional itu,
sehingga mereka harus mendapat simpati semua pihak yang mempunyai alat dan
cara untuk menaikkan daya lenting petani di tengah keterpaksaan. Penularan siasat
inovasi agribisnis dan agroindustri, serta kreasi pasar sepatutnya tidak melupakan
mereka. Di sini, terkandung pesan kasih dari Ibu Pertiwi.
oleh pebisnis UMKM; sedangkan jalur cermat-SPIN (Supply-Push Innovation = inovasi dorong-
pasok) amat tergantung pada kebijakan dan kemauan politik Pemerintah untuk menggalinya yaitu
dengan memicu kinerja lembaga Litbang PTN & PTS, Libang perusahaan besar swasta maupun
berplat merah.
Catatan untuk
penulis:
untuk Gambar
12.2 tidak ada
gambarnya,
mohon untuk
dilengkapi,
terima kasih.
Gambar 12.2 Inovasi Berpola Cermat-SPIN (= Suply Push Inovation) Bertumpu Kinerja
Sains Tekno-Park (STP)
Walaupun demikian bilamana tidak laku dijual, maka jalur lain sudah siap
menunggu yaitu jalur kebajikan ditawarkan kepada UMKM yang dibina Pemda.
Proses hilirisasi berbeda dari alur pikir 1 sebelumnya, tentu dengan kemungkinan
pendananya adalah bantuan bersubsidi dari Pemda, atau inisiatif pihak UMKM
Pendekatan kelola proyek tidak pas untuk program hilirisasi, karena berbagai
persoalan dan ancaman bisnis bisa muncul sewaktu-waktu. Gerak bisnis amat
dinamis, dan tidak berlangsung dalam suatu sistem perekonomian tertutup, apalagi
dunia telah menyatu tanpa sekat fisik yang membatasi. Dari itu pihak OPD-pembina
harus mengerti aturan main dan seluk-beluk aktivitas bisnis agar mudah berwawasan
bisnis, serta bersifat mumpuni, bekerja penuh dedikasi terhadap anggota klaster
UMKM yang pada umumnya lemah dan masih harus dibina. Banyak fakta lapangan
yang akan dihadapi UMKM agri-bisnis kerakyatan selalu perlu perhatian dan bantuan
Pemda, sebelum mereka jadi dewasa mengelola dan matang menjalankan satuan
usaha.
Benar bahwa wujud kue pembangunan di daerah kabupaten dan kota, ketika
diukur dalam bilangan PDRB dan bilangan nilai PAD umumnya masih relatif kecil.
Perkecualian kedua nilai capaian tahunan itu bisa tinggi bagi daerah yang kaya
SDA-mineral strategis, dan menerima Dana Bagi Hasil (DBH dari pemerintah
pusat) bernilai relatif besar. Kebanyakan daerah lainnya yang tidak memiliki basis
SDA mineral strategis akan tampak memiliki nilai PDRB relatif rendah ditopang
oleh sektor pertanian. Biasanya daerah demikian menampilkan tingkat kesenjangan
ekonomi rendah (tidak ada yang amat kaya dan sangat miskin, alias rendah angka
rasio gini) dan rendah pula persentase penduduk miskinnya.
Secara konsepsional, kenyataan angka PDRB dan PAD terbatas bisa dikarenakan
kebanyakan proses produktif masih mengalami turun-naik LABA karena mekanisme
pasar yang tidak berkepastian, yang pasti berdampak kurang kondusif pada kenaikan
pendapatan daerah. Jadi, proses monetisasi berlangsung tanpa manajemen kreatif
dan tanpa polesan Ipteks-inovatip pemicu NILAI-TAMBAH. Gejala ini biasanya nyata
sekali dialami pelaku produksi di sektor primer (pertanian & pertambangan rakyat)
dibarengi adanya pola niaga perdagangan yang masih belum jauh beranjak maju.
Biasanya komoditi dan produk daerah demikian itu masih jauh untuk sampai
menembus aneka sasaran pasar yang terkait dengan perniagaan antarpulau dan
pasar ekspor. Tentunya komoditi dan produk khas daerah baru bisa menjangkau
sasaran pasar yang jauh dan apalagi pasar luar negeri jika sudah bisa memenuhi
tuntutan standarisasi barang yang menjamin mutu-jumlah-atribut sesuai dengan
berita promosi yang dilancarkan. Isyarat yang terakhir ini erat kaitannya dengan
inovasi dan hilirisasi yang sepatutnya dikembangkan oleh daerah secara terencana,
sebagaimana isyarat proses pembangunan yang berwawasan Ipteks-inovatif pada
Gambar berikut ini.
Perhatikan keterangan Gambar 12.3 ini pada 2 kotak bahasan di bagian ujung
sub-Bab ini. Ungkapan keterangan tentang modernisasi dan digitalisasi bisnis
yang mengandalkan perangkat teknologi internet itu punya pesan khusus jika akan
didayagunakan untuk mengangkat prestasi ekonomi dan kinerja penafkahan rakyat;
alias gerak maju ekonomi kerakyatan, yaitu:
a. Berbagai aspek konomi kerakyatan tidak bisa berinovasi secara mandiri, karena
keterbatasan modal SDM dan dana penopang inovasi.
b. Bentuk ekonomi kerakyatan yang masih bertaraf petani-KCT (=Kecil, Cerai-
Berai dan tradisional) perlu pembinaan dari pihak Pemda.
c. Berbisnis maju perlu perangkat teknologi dan manajemen yang hanya bisa
ditularkan kepada kelompok-KCT per klaster pertanaman.
d. Berkat adanya teknologi & manajemen maka tiap kelompok-KCT bisa tampil
melembaga sebagai UMKM-kemitraan yang maju adaptif.
e. Banyak kendala dan keterbatasan UMKM untuk maju beradaptasi terhadap
tuntutan pasar tentu harus dibantu para OPD inovatif.
Itulah 5 pokok pesan yang ditekankan oleh gambar di atas tadi. Di sini, terkesan
proses inovasi bisnis itu rumit dan mahal, akan tetapi dampak positifnya sungguh
besar. Bukan hanya cipta produk unggulan daerah dibarengi persaingan pasar, tapi
juga bisa terjadi percepatan pertumbuhan ekonominya.
Upaya inovasi di tingkat OPD berkesungguhan tentu jadi pintu gerbang penguatan
3-prasarana-sarana, yaitu: 1) Ekosistem inovasi; 2) Kapasitas inovasi, dan; 3) Efektivitas
Inovasi PRUKOT (Produk Unggulan Kota). Selanjutnya, program bina inovasi di tingkat
pelaku usaha ini harus sekaligus mendorong para pelaku UMKM maju ke tahap hilirisasi,
yaitu berusaha untuk penafkahan hidup dari sekadar memproduksi komoditi andalan
berubah menjadi bisnis produk unggulan bernilai-tambah dan punya jangkauan pasar
lebih jauh, serta lebih luas cakupan geografisnya. Dalam hal ini berbeda dari pengertian
istilah inovasi, dan pada hakikatnya HILIRISASI adalah upaya sistematis merekayasa
kesepakatan transaksional 2 jenis perusahaan, yang memproduksi suatu komoditi bahan
segar (=bahan mentah) terhadap perusahaan hilirnya yang membutuhkan bahan baku
untuk menghasilkan produk inovatip ½ jadi atau produk siap pakai siap konsumsi.
Jadi, semua paket agenda kelitbangan yang kemudian mulai mengarah pada
penciptaan inovasi dunia usaha tentunya membutuhkan koordinasi intensif antarpara
pihak yang berperan-aktif. Khususnya para pihak dalam kerangka kerja SIDa atau
SIKa (Sistem Inovasi Kota) koordinasi itu sangat penting untuk diagendakan. Lalu
dengan selalu mengacu pada isyarat penilaian prestasi Pemda oleh Bappenas, maka
secara sistemik ada 3 sasaran kinerja yang hendak dicapai dengan pola dan strategi
pembangunan berwawasan lingkungan dan bertema inovasi yaitu:
a. Dalam rangka apik Ortala lintas OPD guna menunjang kecermatan dan kecepatan
kerja, maka perlu EKOSISTEM INOVASI salah satu penanda sebagai Kota-CERDAS
(smart city) yang amat penting jika Kota ingin memperbaiki pelayanan publik,
khususnya layanan bagi para wisatawan;
b. Dalam rangka meng-efektifkan kinerja kemitraan lintas OPD guna menaikkan
KAPASITAS INOVASI kepemerintahan yang tentunya ingin secara cerdas dapat
memicu proses inovasi di semua sektor oleh semua pihak dan di setiap organisasi
pemerintahan daerah dan kelembagaan bisnis.
c. Dalam rangka menaikkan kesejahteraan warga kota-CERDAS, maka produk
unggulan kota atau EFEKTIVITAS-INOVASI sudah sepatutnya kian berkembang
dan menambah lapangan kerja menunjang kegiatan UMKM inovatif di kecamatan
yang berinovasi, serta menambah aneka sumber PAD.
Dalam rangka menyusun rencana induk kelitbangan (RIK) Kota perlu langkah
sistematis membangun Ekosistem INOVASI, Kapasitas Inovasi dan Efektifitas INOVASI,
maka perlu 3 rancangan Ristek-inovatif dengan paket program berikut:
a. Agenda # 1) Mengembangkan Ekosistem Inovasi Kota;
Program 1.1) Membangun Sarpras Inovasi Tingkat OPD
Program 1.2) Menyusun Agenda Kerja Kelitbangan Pemerintah Kota/Ibukota.
Program 1.3) Memicu-pacu MOU Lintas Lembaga di Lingkup Ass-1, 2, 3 Sekda.
Dapat diperhatikan pada bahwa setiap Program yang terkait dengan Agenda
Kelitbangan #1 terdapat 3 paket kinerja yang harus diupayakan terealisasi baik. Kalau
ada bagian diabaikan, itulah tindakan pembinaan parsial. Padahal untuk persoalan
multidimensi, pendekatan holistic, terpadu & sistemik amat diperlukan. Perhatikan judul
program yang ada dalam agenda #1) adalah Pengembangan Ekosistem Inovasi”. Ini terkait
aspek prasarana-sarana yang harus dilengkapi, dan ini pasti tentang internet dan aneka
perangkat teknis operasional.
Arti penting SIKa akan sangat terasa bagi Kota & Ibukota yang kenyataannya hanya
memiliki SDA nonstrategis untuk didayagunakan jadi energi pembangunan ekonomi
dan kesejahteraan warganya. SDA mineral tambang tidak ada depositnya; sedangkan
SDA berbasis lahan harus jeli memperhatikan kawasan lindung. Basis. lahan harus
dioptimalkan dengan pola manajemen badan usaha agribisnis UKM dan dalam rangka
tumbuh kembang pelaku usaha agroindustri dan layanan jasa pariwisata. Dari itu SIKa
sangat penting diaktifkan; gerakan inovasi lewat pengembangan PRUKOT yang dimulai
dari kecamatan. Program pemacu Ristrek-inovasi diarahkan pada tema andalan.
c. Agenda # 3) Mengembangkan Efektivitas Inovasi UMKM Kota/Ibukota; Program
3.1) Memfasilitasi Keperluan Kelitbangan-Inovasi (HAKI, Lab) Program 3.2)
Membina Paket Invensi untuk PRUKOT (Khas Kecamatan) Program 3.3) Menopang
PRUKOT masuk Pasar; tugas Ass-1, 2, 3 Sekda.
Ketiga capaian ini pasti membanggakan semua aparatnya, serta warga Kota &
Ibukota. Ke-3 capaian itu sangat pas dengan upaya pacu pertumbuhan ekonomi dan
kesejahteraan masyarakat yang masih berbasis pertanian. Begitu idealnya capaian, karena
bersama itu juga bisa pula dipacu “pelayanan satu atap” dari Pemda terhadap para calon
investor karena kelengkapan dan akurasi informasi jadi lebih terjamin adanya.
Dari sisi materi atau bahan inovasi, maka OPD harus dapat bekerja sama
dengan pihak LPPM (Lembaga Pengabdian Pada Masyarakat PTN/S) atau pihak
LPND (semisal LIPI, BATAN yang memiliki berbagai program kelitbangan-inovatif).
Pihak perguruan tinggi setempat pasti bergiat ketika perannya diharapkan menonjol
dalam urusan inovasi yang memang berawal dari kegiatan riset terapan atau Risteks-
inovatif. Lewat peran DRD (Dewan Riset Daerah), maka kebutuhan perangkat
manajemen kreatif dan paket teknologi-inovatif UMKM dapat dicari oleh LPPM
PTN/S mitra Balitbangda.
Produk Unggulan Kabupaten (PRUKAB, dan PRUKOT berasal dari Kota),
sangat dimungkinkan oleh adanya variasi iklim, serta jenis tanah, serta tradisi
kemasyarakatan yang beraneka di lintas kabupaten. Bahkan di kecamatan pun bisa
dijumpai berbagai produk penganan yang berbeda cara pengolahannya. Tinggal lagi
kriteria unggulan daerah sepatutnya memenuhi syarat pokok dan syarat kecukupan
tertentu. Terdapat 3 syarat pokok unggul: 1) Didasari SDA yang banyak tersedia
dan khas setempat; 2) Ditandai lapangan kerja sesuai dan diminati SDM lokal, dan;
3) Didukung kelancaran prasarana ekonomi yang baik. Syarat kecukupan: a) Bahan
olahan tersedia terus-menerus tiap bulan-tahun; b) Bisa dijadikan produk pasangan
barter niaga dengan provinsi lain.
Gerakan bina UMKM-inovatif yang dikaitkan pula dengan PRUKAB- inovatif
jika ditekuni di setiap daerah dan dijalankan dengan baik oleh SDM dari OPD
dengan ortala-inovatif tentu pada gilirannya akan dengan mudah memacu kehadiran
berbagai sumber pajak & retribusi di suatu daerah. Lewat peran aktif para wakil
rakyat dan kader partai yang benar-benar peduli komunitas konstituennya, maka
program yang secara politis didukung oleh para tokoh dan wakil rakyat dan harus
dibiayai dengan ‘dana aspirasi’ tentu akan sekaligus menumbuhkan simpati warga
masyarakat kepada mereka.
Di Provinsi Sumatera Selatan diketahui ada 9 jenis ekosistem, yakni (1) E- Bukit Barisan,
2
(2) E- Dataran TInggi, (3) E-Dataran Rendah, (4) E-Danau/sungai, (5) E. rawa lebak (lbk-
pematang, lbk-tengahan, lbk-dalam); (6) E- rawa pasang-surut, (7) E-rawa payau, (8) E- bakau
pantai, (9) E-padanglamun (sea grass). Setiap ekosistem harus punya seluasan hutan sebagai
mata-rantai ruang penyangga-penghubung.
3
Reed F. Noss (1992) dengan jelas membedakan pengertian forest management dari forestry
management.
Reed F. Noss (1992) dengan jelas membedakan pengertian forest management dari forestry
4
management.
Lebih diperjelas lagi di sini, bahwa kategori ‘kawasan lindung’ bisa saja suatu
zona yang masih alami, atau suatu zona yang telah secara resmi dialih-fungsi,
misalnya sebagai zona Area Penggunaan Lain (APL), Area Hutan Marga (AHM),
posisi sempadan sungai atau balong dan danau dalam Area Persetujuan Konsesi
(APK), atau juga Area Garis Pantai (AGP); yang menurut ketentuan peraturan
perundangan (Permen-KLHK #8/2021)6 harus dijaga keutuhan ciri alaminya demi
menghindari bencana dan kerusakan pada konsesi.
Tabel 12.2 SUPK pada Sasaran Kelola Kawasan Hutan
5
Kata ‘sekitar’ di sini berarti warga setempat, walaupun bisa melibatkan orang pendatang
dari daerah lain.
6
Permen KLHK #8/2021 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan
serta Pemanfaatan Hutan di Hutan Lindung dan Hutan Produksi.
7
Merujuk makalah seminar ditulis oleh: Ismalia, Sherly & Sjarkowi (2014).
Jika ‘bisa’ maka optimis laba bersih dari jagung pipil akan bisa menutupi
kebutuhan makanan pokok petani sekeluarga & belanja lain-lain (L) selama semusim
tanam padi (beras) hingga panennya 4 bulan kemudian, yaitu:
Begitulah pola pikir sederhana tiap petani yang masih berusaha tani tradisional
atau semi-agribisnis komersial. Jika keadaan positif pada #(3) memang terjadi, maka
beralasan tumbuh kuat komitmen orang sebagai pelestari dan penjaga kawasan
Tentu selain panggung pasar OTW, ada pula jenis pasar potensial lain, yakni
korporasi bidang pertambangan atau juga bidang agribisnis dan agroindustri,
khususnya yang berada tidak jauh dari wilayah pembinaan SUPK yang multifungsi
itu. Biasanya kegiatan korporasi besar yang bertumpu pada area lahan yang luas
cenderung melibatkan tenaga kerja yang banyak. TIdak jarang di lokasi kerja sesekali
akan berdatangan unsur keluarga mereka dari daerah lain, dan sebab itu dinamika
keberadaan orang di konsesi perusahaan adalah potensi pasar bagi komoditi dan
produk usaha tani sampingan SUPK.
Bentuk kegiatan bisnis yang bisa jadi ancaman dan menekan indeks NTP tentu
juga ada dan tidak mustahil akan dijumpai di sekitar wilayah sasaran pemulihan
dan penataan, serta pelestarian suatu kawasan lindung. Di antara hal yang bisa jadi
ancaman terhadap misi pelestarian kawasan hutan adalah:
a. Kemunculan calon investor yang berminat membeli persil-persil lahan warga
desa guna mencukupi luasan lahan inti konsesi perusahaan.
b. Kebiasaan warga pedesaan mewariskan sebagian lahan kepada anak lelaki
menikah, luas lahan usaha jadi kecil dan memicu niat merambah.
Di sini perkembangan harga suatu komoditi, kopi yang secara terbatas bisa
diatur mendampingi tanaman kayu SUPK, relatif terhadap harga komoditi acuan
(beras) biasa juga dicermati petani. Utamanya ketika harga beras terkesan kian
mahal karena harga kopi terus menurun dan membuat resah para petani pekebun.
Begitulah indeks NTP akan jadi rujukan petani mengingat angka ideal yang akan
memacu semangat para petani adalah NTP ≥ 1.
Selain besaran NTP, patut juga diperhitungkan prestasi usaha selama 1 periode
aktip petani rata-rata. Pola hitungnya tentu bukan untuk dilakukan petani, melainkan
oleh pihak pemerhati, yang sepatutnya mencermati apakah firasat bisnis kaum
tani dan para pembina mereka telah bertindak benar; setidaknya baik menurut
barometer NTP dan kriteria nilai relatif selainnya. Tentu saja implikasi dari adanya
kriteria prestasi yang terukur jelas akan memudahkan pihak pengamat dan pembina
menetapkan kebijakan strategis dan taktis untuk 3 sasaran kepentingan, yakni:
a. Mendorong para petani tradisional dan kecil agar dapat membangun kekuatan
institusional yang dapat melindungi mereka dari godaan dan tekanan pihak
luar yang datang ke pedesaan dalam rangka kegiatan investasi yang cenderung
merugikan.
b. Mengawal para petani agar tidak terintimidasi oleh keadaan sosial ekonomi
yang belum tentu sangat merugikan atau terprovolasi keadaan yang sepertinya
amat menguntungkan, justru jadi pemicu tindak perambahan hutan sebagai
dampaknya;
c. Merumuskan kebijakan pengendali kawasan peka dan terlanjur diusahakan
persil lahannya oleh para perambah, lalu melalui Satuan Usaha Perhutanan
Kerakyatan (SUPK) yang ramah lingkungan bisa didapat solusi ‘win-win’ yang
baik bagi semua.
Memang di lapangan yang kian ditandai tekanan penduduk dan upaya perebutan
manfaat SDA, maka demi perencanaan pembangunan kerakyatan berwawasan
lingkungan ukuran NTP terlalu sumir. Adanya persaingan merebut potensi rente
ekonomi tidak boleh dibiarkan liar tanpa ada tindakan resmi pemantauan dan
pengendalian terencana. Ukuran nilai prestasi & disprestasi para pelaku panen
SDA, khususnya di bidang pertanian (yang amat berkaitan dengan keberadaan zona
ekosistem hutan lindung) kiranya perlu diperluas dari pada sekadar NTP. Arahan
yang bijaksana tentu bisa memberikan manfaat ekonomi bagi para pelaku, tapi
sekaligus minim mala petaka. Program SUPK hendak meyakinkan adanya alternatip
cara pengamanan ancaman potensial terhadap suatu kawasan lindung. Untuk itu
Beberapa gejala lapangan tersebut di atas menuntut antisipasi dan solusi agar
tidak mengulangi kesalahan seperti pada pembinaan KUD. Topangan UU #6/ 2014
disertai modal dan pola kerja BUMDes tak boleh disia-siakan, melainkan benar-
benar didayagunakan untuk menggerakkan perekonomian dan memperlama waktu
peredaran uang di daerah. Pada akhirnya taraf sejahtera warga, serta kemakmuran
daerah harus terangkat nyata.
Dengan pengertian produk kreatif seperti itu, maka produk kreatif dari desa
amat sulit menemukan pasar yang menunggu pasok jenis barang tertentu secara
berkala terus menerus. Di antara yang mendapatkan pasar memadai adalah jenis
produk kreatif berupa; (1) Obat herbal bentuk jejamu & minyak poles (contoh: VCO
= minyak kelapa perawan); (2) Pernak-pernik rumah-tangga pakai-buang (contoh:
piring dari bahan pelepah palma); (3) Pewarna alami dari bahan dedaunan (contoh:
pewarna rotan, batik); (4) Pakan penggemuk hewan ternak kaki 4 (contoh: cercah
daun sawit prakonsentrat); (5) Kerajinan berbahan kayu tebangan pohon kelapa atau
juga sembelihan ternak unggas dan ternak kaki 4 di Rumah Potong Hewan (RPH).
Walaupun demikian upaya pencarian dan pengembangan produk kreatif
bukan hanya untuk mengangkat sumbangsih pelaku ekonomi kreatif, tetapi juga
untuk tujuan kebersihan dan kelestarian lingkungan. Jika keberuntungan hadir
berkelanjutan, maka suatu produk kreatif jadi mata dagangan bisnis yang bisa
memberikan banyak umpan balik bagi ekonomi pedesaan. Keadaan demikian jadi
sumber nafkah baru yang akan menambah dan memperlama peredaran uang di
desa-desa terkait, dan menaikkan kesejahteraan warga.
Dengan mengandalkan sistem perniagaan antarpulau, maka suatu desa atau daerah
harus sudah siap dan mampu mengikuti aneka irama niaga dan pola transaksi yang
tidak berciri tunai-langsung seperti yang biasanya terjadi. Produsen dan pelaku niaga
harus sangat jeli mengantisipasi kecurangan yang bisa saja dilakukan oleh orang-orang
pemburu rente-ekonomi yang serakah. Pola transaksi digital maupun pola COD (Cash
On Delivery, bayar ketika barang diterima) tentu saja rawan penyelewengan dan rawan
pelanggaran oleh pihak yang ikut nimbrung secara tidak bertanggung jawab. Persoalan
seperti ini bisa mematikan semangat ‘pebisnis’ pemula di daerah jika sampai terjadi
dan merugikan mereka.
Oleh sebab itu di tingkat daerah harus ada semacam ‘inkubator & klinik bisnis’
yang selalu mendampingi kegiatan produksi dan pemasaran oleh para UMKM
penghasil produk kreatip yang ada di lingkup suatu Kabupaten atau Kota. Akan
tetapi justru pada bagian ini dituntut adanya pengalaman dan naluri bisnis yang
baik, untuk kiranya dimiliki oleh para petugas Pembina. Baikpun mereka di OPD
Pemda maupun yang bertugas di lembaga perguruan tinggi (swasta ataupun negeri)
harus dapat menjalin kerja sama dengan pihak asosiasi pelaku bisnis yang bernaung
di bawah Kadin pusat dan Kadinda. Dari kerja sama tripartit itu tumbuhlah prestasi
bisnis kalangan pelaku lapis bawah.
Demikian hal-hal yang perlu jadi bahan pemikiran lebih lanjut, jika terkait
upaya mengangkat potensi ekonomi bangsa khusus aspek produksi dan pemasaran
produk kreatip kerakyatan. Tidak tertutup kesempatan untuk memasukkan unsur
Ipteks yang bisa mengedepankan dimensi kearifan lokal yang tersimpan pada suatu
produk kreatif. Ekonomi kreatif memang selama ini belum diberi banyak perhatian
dan pembinaan untuk para produsennya selaku orang-orang langka yang bermukim
di desa, maka kini saatnya mereka mesti diberdayakan.
Jika rumus NHAL ditulis dengan simbol lain dari persamaan #(1) tadi, maka
NHAL = - Co + Σ [Bt – Ct] x [1+r] –t + Q -T di mana C =biaya dan Q = nilai aset
sisa di akhir masa panjang produksi, maka sesuai dengan argumentasi tentang
rente ekonomi yang telah dibahas dalam sub-Bab 3.4; NREL > 0 selisih NHAL di
2 persil sebanding, tapi nilai Q -T sama, maka:
Senada dengan nilai relatif NREL > NJPL tadi, maka besaran NREL yang
terdeteksi di suatu kawasan dapat dijadikan tolok-ukur ketepatan keputusan
transaksional acuan; yakni sebagai ‘nilai kewajaran’ saat mengawal keputusan
transaksional yang sedang akan atau sudah sempat dilakukan petani.
Selanjutnya, dapatlah kini dibuat ukuran kepatutan (prestasi) ataupun
kejanggalan (disprestasi) dari NPV yang diharapkan, dibanding apa yang senyatanya
Konsep acuan evaluasi prestasi atau disprestasi kegiatan petani selaku pelaku
kegiatan mikro usaha, tentu tidak boleh dilupakan segi pertimbangan makro-
wilayah yang tidak kalah penting pengaruhnya terhadap mikro usaha. Bahasan
tematik berikutnya khusus berdimensi makro-wilayah sebagaimana digunakan
dengan data statistik kawasan PLG sejuta Ha seadanya (F. Sjarkowi, 1999).
Gambar 12.4 Konsepsi ‘Ancaman Mulut Buaya’: Konsep ini pernah tepat memprediksi
tragedi konflik social di Kalteng, 1999
(SESA. F.Sjarkowi, 2001)
Daftar Pustaka
Carlson, G.A. David, Z. Miranowski. J.A. 1993. Agricultural and Environmental Resource
Economics. Oxford: Oxford University Press., 528 pp.
Sanbukt, Oyvind. 1995. Management of Tropical Forests: Towards An Integrated Perspective.
Univ. of Oslo: Center for Development and the Environment.
13
MENANGKAL KEKELIRUAN RANCANGAN
MAKRO WILAYAH
267
Tentulah tidak bakal ada permasalahan ekonomi dan ekologi pertanian jika
kesempatan mendapatkan persil lahan lewat ekstensifikasi secara bebas sudah kian
mentok. Perhatian petani bisa dipacu ke arah intensifikasi produksi dengan topangan
Ipteks-inovatif dan manajemen pemasaran komersial seperti telah dibahas dalam
sub-Bab 12.1. Demikian ini adalah kecenderungan yang lebih alami yang bisa terjadi
pada tingkat mikro usaha. Naluri cari nafkah yang memberi kenyamanan adalah
naluri manusia normal dan berakhlak.
Akan tetapi pemantauan dan perancangan berbasis makro wilayah masih
tetap diperlukan, karena dua alasan pokok: (1) interaksi antarvariabel mikro usaha
mudah berubah di luar prakira antisipatif ketika ada faktor iklim global El Nino atau
La Nina muncul dengan pengaruh yang dominan, dan (2) interaksi sosial kemitraan
mudah bergeser jadi liar dan tak patuh pada komando kemitraan ketika perilaku
pasar banyak dipengaruhi kondisi perekonomian global yang memburuk, sehingga
tiap pelaku satuan agribisnis kecil cenderung berusaha menyelamatkan diri masing-
masing. Kedua faktor ini berkapasitas global, tapi respons para pelaku UMKM
tradisional tidak bisa cepat memanfaatkan peluang melainkan justru tertimpa
dampaknya sehingga merubah gejala interaksi yang harmonis menjadi acak-acakan.
Dari sebab itu maka peran perencanaan ekonomi pertanian berdimensi makro
wilayah sangat diperlukan. Segala sesuatu yang terencana dengan baik akan mudah
dikenali variabel-variabel utamanya yang berubah, lalu tindakan kendali dan
pembenahan akan mudah dilakukan. Walaupun begitu tindakan di daerah harus
tetap spesifik lokasi, karena variabel tanah dan air serta komoditi dan produk tetap
berbeda pada suatu daerah dibandingkan daerah lainnya.
Skema 13.1 terinci demikian diilhami pengalaman penulis sebagai Kepala Bappeda
Provinsi Sumsel (2003).
Perhatikan pada Gambar 13.1 ini ada tiga kelompok sasaran rancangan meliputi
rancangan makro wilayah dan mikro usaha serta rancangan keterpaduan hubungan
kepentingan pusat dan daerah. Jadi pembangunan pertanian boleh spesifik lokasi tapi
tetap mengedepankan kepentingan warga bangsa sekaligus juga kemaslahatan NKRI.
49
Istilah alih fungsi lahan dan konversi lahan dibedakan di sini demi kejelasan argumentasi.
Alih fungsi lahan adalah tindakan kesengajaan untuk memanfaatkan suatu bentang lahan yang
sedang berfungsi (sebagai lahan usaha pertanaman ataupun sebagai semak belukar habitat fauna
dan flora) dengan cara merubah geofisiknya secara permanen hingga berfungsi baru; setidaknya
perlu biaya pengorbanan dan biaya tambahan besar untuk bisa kembali pada fungsi semula.
Konversi lahan adalah tindakan tak permanen terhadap suatu lahan usaha pertanaman yang atas
sesuatu alasan hendak dirubah jadi lahan usaha pertanaman baru secara berangsur atau pun
sekaligus, tetapi dapat saja dikembalikan ke tataguna semula tanpa risiko kerugian terlalu besar.
Perlu selalu diingat ada keragaman ekosistem yang satu sama lain saling berkait
walau berbeda potensi biogeofisiknya. Di pulau Sumatera sejak dari kawasan Bukit
Barisan di wilayah barat (DAS hulu) hingga ke ekosistem pantai di wilayah pesisir
timur (DAS hilir) arah ke Selat Bangka atau Selat Natuna terdapat sekitar sembilan
mata rantai ekosistem yang keberadaan bentang hutannya menentukan mutu sistem
hidro-orologis. Ketika banyak satuan usaha kebun karet dibuka menggantikan persil
Hutan Tanaman Industri (HTI), pasti berbeda akibatnya ketika banyak persil kebun
karet itu dikonversi jadi konsesi kebun nenas. Karena itu pengaturan luas konversi
yang bisa ditolerir harus dilihat dari perspektif kelestarian mutu dan fungsi hidro-
orologis, dan harus selalu dipantau demi tata kelola kawasan yang cermat dan logis
bisa menyejahterakan. Idealnya, bentangan hutan tropika basah alami yang merekat
mata rantai zona ekosistem itu jangan sampai habis tercabik-cabik dan berganti
tanaman kebun dan tanaman kehidupan tanpa pola. Ini agar tidak berpengaruh
negatif terhadap keteraturan sebaran curah hujan sepanjang musim dan tahun, serta
tidak justru merugikan kegiatan produktif yang ada (Gambar 13.2).
Bisa saja ada hubungan biogeofisik berbanding antara antara arah perubahan
mutu dan fungsi hidro-orologis yang memburuk di kawasan atas yang kemudian
lapisan humus dan erosi tanah lapisan atas terbawa banjir ke arah kawasan bawah.
Ini justru menyuburkan kawasan lahan dataran rendah khususnya lahan basah
(di zona hilir dan bawah), sehingga hubungan itu bisa membawa prestasi satuan
agribisnis. Ini bisa diterangkan sebagai berikut:
50
SECI adalah singkatan dari Socio-Entropic Controlling Interface, yang dirumuskan oleh F.
Sjarkowi,2010 lewat alur pemikiran yang bermula dari konsepnya tentang SESA (Socio-Entropic
System Approach; oleh F. Sjarkowi, 2002, suatu konsep pragmatik tersimpul dari kajian penulis
di Proyek Lahan Gambut Sejuta Ha; 1999–2002)
Tentu pula akan banyak manfaat sampingan lain didapat warga kota dari
keberadaan aktivitas pertanian di wilayah kota. Tidak bermasalah jika kegitan itu
bernuansa semikomersial, semisal pengaturan tanaman bunga Kamboja (Plumeria
spp) di Tempat Pemakaman Umum (TPU); yang tetap berfungsi penghijauan tapi
bermanfaat juga untuk panen bunga yang bisa dijual oleh para pekerja untuk
52
Siapa lalai atau bersalah harus bertanggung-jawab dan siap diberi sangsi hukum sesuai
aturan perundangan.
Ketiga butir gejala permasalahan ekonomi perkotaan ini sedikit banyak akan
bisa diredam kalaulah diterapkan pola pembangunan ekonomi dengan rancangan
tematik yang menjaga keseimbangan produksi komoditi pertanian perkotaan,
dipolakan menyertai produksi pertanian pangan pedesaan. Ancang ancang penataan
ekonomi pertanian demikian sungguh tidak boleh terlambat.
Tampak pada Gambar 13.3, zona hutan penentu kualitas siklus hidro-orologis
telah berkurang drastis tapi total luas perkebunan bertambah pesat persentase
ha-nya. Juga ada tanda-tanda pertambakan Bandeng di dekat Selat Bangka mulai
menyusut, boleh jadi dikarenakan hutan bakau di sana kian banyak dibuka lalu
memicu intrusi air garam ke arah darat. Jadi hasil pantauan pengindraan jauh
setahun akan sangat berguna untuk mendasari kebijakan pengamanan suatu kawasan
ekosistem dan agroekosistem peka sentuhan. Tetapi pantauan lebih cepat akan sangat
berguna untuk membatasi luas produksi total jangan sampai terjadi over-supply
diikuti kejatuhan harga komoditi yang biasa dan bisa diproduksi oleh suatu daerah.
Gambar 13.5a Efek Gagal Panen (ha) Dibarengi Gambar 13.5b Efek Pertambahan Luas (ha)
Respons Demand Berjaga-jaga terhadap Kejatuhan Harga Komoditi
53
Gambar 13.1 mencontohkan kondisi pemicu kenaikan harga cabai merah, sehingga Gambar
13.1 menunjukkan respons emosional petani. Guna menyederhanakan ilustrasi maka diasumsikan
Q= 1 ton/ha, agar Q pada Gambar 13.1 = L pada Gambar 13.1. Agar asumsi terkesan realistis,
maka dipilih cabe merah tanaman peluangnya.
Jadi upaya lima V harus ada sebagai pengendali risiko produksi komoditi yang
dihasilkan petani untuk kemudian diolah oleh pabrik pengolahan milik UKM skala
kecil. Ini bisa juga berupa satuan agroindustri rumahan berskala mikro (dengan
karyawan sekitar 3 s.d. 5 orang) berkedudukan di desa atau ibu kota kecamatan
di suatu dearah. Persoalan tekno-ekonomi jalur transisi untuk berubah dari
komoditi asalan jadi komoditi berkualifikasi QQA (qualitas-quantitas-avilibilitas atau
ketersedian) yang memenuhi ketentuan agroindustri tentu juga tetap tidak dengan
sendirinya terjadi. Oleh sebab itu, perlu semacam pengarah dan pengendali serta
pengawasan produk olahan di tingkat kecamatan.
Dapat dibayangkan betapa banyak peluang kerja yang tidak lagi berkait langsung
dengan pertanian tradisional dan tidak disukai kaum muda daerah, melainkan akan
bermunculan lapangan pekerjaan baru yang lebih cocok untuk SDM berpendidikan,
tapi adanya di wilayah kecamatan. Justru Langkah-langkah sistematik dan sistemik
seperti ini tidak boleh terlambat direalisasikan, karena generasi baru yang terbilang
BONUS DEMOGRAFI itu sudah semakin banyak. Ditingkat kabupaten mereka
tidak sedikit yang mengikuti pendidikan tinggi. Walaupun dengan mutu yang agak
rendah, tapi kehadiran mereka harus dihargai.
Sampai pada titik bahasan ini harus disadari bahwa sumber risiko agribisnis,
tidak hanya butuh tepat manajemen dan cermat wirausaha terhadap sasaran tekno-
fisiologis dan tekno-ekonomis kegiatan usaha, tetapi juga terkait dengan persoalan
sosio-antropologis yang menuntut sentuhan bijak agar tidak jadi sumber risiko
kerugian satuan agribisnis meskipun sudah nontradisional. Efek positif dari daya
dan gaya kendali persoalan teknis, eknomis dan sosiologis demikian tentu banyak
sekali, asalkan memang diupayakan melalui koordinasi lintas sektor yang terencana
dan terjadwal penuh kesungguhan. Ini harus sudah terjadi sejak tingkat kecamatan,
karena dirancang dengan tepat oleh kabupaten serta diarahkan dengan bijak oleh
pihak terkait di tingkat provinsi sebagaimana petunjuk pelaksanaan yang datang
dari kementerian yang terkait.
Bukan hanya kepada unsur dinas dan badan dari pemda kabupaten atau kota,
justru atas arahan provinsi akan sangat berguna jika aspirasi teknis yang dimau
Daftar Pustaka
Arifin, S., R.A. Djaafara., & Aida S. Budiman. 2008. Masyarakat Ekonomi ASEAN
2015 (ed). Jakarta: PT. Elex Media Komputindo, Gramedia.
Murdiyarso, D. 2003. Sepuluh Tahun Perjalanan Negosiasi Konvensi Perubahan Iklim.
Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
14
MENANGKAL KEKELIRUAN SIASAT
SATUAN MIKRO USAHA
Catatan untuk penulis: apakah benar
ini covid-londo? atau Covid-london?
295
Tentang kendala di tingkat mikro usaha tentu erat hubungannya dengan
keterbatasan pemakaian input produksi dan juga prasarana niaga pemasaran. Terkait
soal kesulitan yang amat sering dihadapi pelaku mikro usaha, biasanya sangat terkait
dengan tekanan ekonomi atau shock ekonomi yang datang dari luar sistem usaha
(misal: perubahan kebutuhan bahan baku agroindustri) maupun dari luar sistem
ekonomi (misal: goncangan perang).
Di dalam Bab 14 ini beberapa contoh jebakan persaingan pasar yang bisa
membawa konsekuensi kerugian akan dibahas secara ringkas. Bahasan ini penting
karena ini terkait dengan kekeliruan manajemen, dan gejala itu tidak jarang berlatar
belakang kealpaan oknum bahkan terkadang penghianatan.
1) Niaga Terbius Covid-londo (NTC): a) abai terhadap persaingan, b) abai terhadap
perangkap pinjaman, c) abai terhadap produk substitusi.
2) Niaga Terikat Imingan-transaksi (NTI): a) godaan bonus kepercayaan, b) godaan
pelanggan kekeluargaan, c) godaan pembonceng transaksi.
3) Niaga TST-Monopolistik (NTM): a) Pelaku solusi win-winan; b) Pelaku siasat
wajib- kontrak; c) Pelaku selang waktu-bayar.
4) Niaga Tersalib Orang-dalam (NTO): a) arti penting tata pelembagaan, b) arti
penting terang pembukuan, c) arti penting tupoksi periodik.
5) Niaga Terhambat Setor-tunai (NTS): a) akibat dipakai sementara, b) akibat
digarong sesama kawan, c) akibat dibelok guna sebagian.
Di tengah kancah transaksi bisnis oleh unsur pelaku yang diberi amanah, tentu
akan selalu ada bentuk penghianatan orang dalam. Di sini diulas tiga bentuknya,
yaitu: penghianatan tak sengaja, diulas guna menyiasati NTC dan NTI; penghianatan
sengaja, diulas terkait cara mengebiri NTM dan NTO; penghianatan terpaksa, yang
dibahas terkait NTS. Padahal filosofi bisnis yang berbuah positif dan tumbuh kuat
selalu dilandasi sikap jujur dan perilaku kerja keras.
49
Tematik: “Upaya menjaga keseimbangan fungsi hidro-orologis pada luas bentangan
ekosistem (hutan lindung dan hutan konservasi) terhadap agroekosistem (pertanaman tahunan
berkanopi lebat, pertanaman semusim berkanopi ringan), demi mengurangi risiko bencana
banjir dan erosi longsor di Musim Hujan (MH)dan KARHUTLA saat Musim Kemarau (MK)”.
Holistik: “Upaya menjamin aspek sistem, faktor, variabel lingkungan alami telah masuk
dalam pertimbangan analitik dan aritmatik, sehingga dampak perubahan luas kawasan dan risiko
bencana dapat diprakira secara ilmiah agar lebih siap dimitigasi. Hal ini perlu perangkat GIS dan
hasil pantau kamera drone penopang analisis spesifik lokasi.
Integrasi: “Upaya menjaga keterpaduan antara semua tindak pendayagunaan SDA (Sumber
Daya Alami) dan SDB (Sumber Daya Buatan) serta SDM (Sumber Daya Manusiawi) dan SDI
(Sumber Daya Institusional) agar terpacu sinergi dalam rangka maksimalkan manfaat, minimal
dampak dan risiko dengan selalu menjaga efisiensi biaya yang bisa tersedia”.
Sistemik: “Upaya swabangkit yang terpicu oleh apiknya rancang bangun kegiatan pelestarian
manfaat dan fungsi setiap kawasan untuk sebesar-besar kemakmuran warga atau rakyat jelata
di sekitar lokasi sasaran investasi pembangunan dan pengembangan agribisnis dan kegiatan
agroindustri serta kesibukan perniagaan pada umumnya.
Dapat terlihat jelas dari lima butir alasan yang tepat dan baik bagi suatu
komunitas warga untuk mengusahakan produksi produk pengganti dan
menyosialisasikan serta mengiklankan sebagai produk niaga yang berpotensi besar.
Dikatakan besar karena sesungguhnya sifat produk substitusi bisa menjadi kunci
pembuka banyak pintu peluang pasar. Di zaman teknologi inforkom serba canggih
kini, apa pun yang secara ilmiah bisa menyehatkan diri dan lingkungan akan mudah
mengundang simpati orang dari lintas daerah, lintas wilayah, lintas negeri agar
siap mencoba jadi konsumen. Sungguh banyak peluang bisa dijangkau, sebab di
balik potensi produk pengganti ada ‘vaksin C-Londo” bisa didayagunakan, dan ini
sekaligus bisa menutupi kelemahan ekonomi negeri. Hanya produk pengganti pada
poin 1 yang tidak terkait produktivitas petani dan kinerja agribisnis. Tentu saja
semangat membangun bangsa sejahtera harus diutamakan, bukan gencar berpolitik
ekonomi lalu bertindak sebagai ‘pemburu rente’ guna mendapatkan kontrak proyek
lalu dijual lagi demi porsi nilai rentenya.
Di pihak lain, banyak upaya untuk membangun kekuatan kaum tani selaku
pihak yang lemah, di antaranya melalui program kelembagaan Koperasi Unit Desa
(KUD) di tahun 1990-an. Tentu banyak hikmah bisa didapat dari kegagalan KUD,
tapi tak kalah jumlahnya pelajaran dari KUD sukses. Sedikitnya satu pelajaran
penting terpetik dari KUD berhasil adalah simpulan bahwa dengan dedikasi setulus
hati sepenuh jiwa, program pemberdayaan kaum tani bisa membuat mereka dan
perdesaan jadi lebih maju dan sejahtera. Pernyataan ini mengingatkan para pihak
agar tidak ragu membangun interaksi satuan kelembagaan agribisnis (seolah jasa-
bisnis) terhadap perusahaan agroindustri yang butuh kepastian bahan baku sekaligus
bisa dijanjikan (sebagai jasa bisnis). Namun demikian dalam setiap proses interaksi
dan transaksi oleh perwakilan dua lembaga tetap harus diwaspadai gejala relasi
dua monopolis jasa bisnis itu. Adanya kontak inspiratif dan kontrak kreatif mudah
memicu aksi ambil untung bagi diri petugas, yang bisa tampak cacat dedikasi di
mata petani dan lembaga.
Terkait celah kerawanan pangsa, akan sering terjadi suatu kondisi tingkat
volume transaksi bulanan secara mencolok bakal kurang dari rata-rata target
perjanjian kontrak. Ini bisa saja dihindarkan dengan inisiatif TST yang meminta
petugas untuk mengisi potensi kekurangan pasok komoditi itu dengan membiarkan
50
Penulis pernah mengemban amanah sebagai pimpinan organisasi pemerintahan daerah
dan terbilang sukses membina koordinasi dengan pihak kementerian dan juga pihak pemda
kabupaten dan kota yaitu selaku Kepala Bapedalda, dan Kepala BKPMD Koperasi; serta Kepala
Bappeda Provinsi Sumatra Selatan.
Selain syarat pokok 3K perlu juga dilengkapi dengan satu syarat pelengkap
yaitu kesiapan dan kualifikasi SDM yang ditugasi mewakili organisasi sektoral (para
pihak). Kualifikasi SDM itu sepatutnya disesuaikan dengan tupoksi yang diperbarui
setiap tahun sebagai patokan kerja bagi setiap unsur para pihak, agar tanpa kendala
profesional. Ini sekaligus untuk mengebiri penyimpangan.
Begitu simpelnya persoalan transaksi (apalagi jika di tingkat desa sudah dapat
pula bertransaksi digital), namun selalu ada celah pemicu penyimpangan yang
cepat atau lambat akan terdeteksi oleh petugas kurang jujur untuk dia manfaatkan
bagi keuntungan pribadi. Pribadi petugas yang kurang jujur akan jadi luar biasa
parah bilamana terlibat pula dengan urusan narkoba yang kini semakin marak
hingga ke perdesaan. Hanya dengan terap-guna manajemen agribisnis baku hal itu
15
KELEMBAGAAN SOSIAL EKONOMI
PRASYARAT SUKSES PERISTIWA EKONOMI
319
Secara sosio-antropologis, di pihak warga selalu ada ego sosio-psikologis, cacat
sosio-ekologis, juga terkendala sosio-ekonomis meski tanaman pokok mereka sama,
serta ada kerancuan sosio-kultural lintas individu dan antaretnis suku. Kesemua
karakter sosio-antropologis itu tidak mudah dilebur jadi satu kekuatan bisnis,
kecuali melalui proses pelembagaan yang terancang tepat lokasi dan tepat strategi.
Lewat proses pelembagaan, maka peristiwa sosial itu sungguh merupakan upaya
penyediaan kendaraan harmonisasi dan kolaborasi kekuatan positif lintas individu.
Dengan siasat demikian, maka sasaran sukses peristiwa ekonomi perdesaan akan
dapat dipacu, sehingga skala usaha kerakyatan lebih mampu meraih laba tinggi
dan atau bagi hasil memuaskan semua pihak. Jadilah peristiwa sosial itu penampil
gerbong kemitraan anggota, lalu maju lewat sukses peristiwa ekonomi sebagai
lokomotif cepat menuju kesejahteraan warga dan kemakmuran daerah berkat
kohesivitas sosial.
Tentu saja lokomotif peristiwa ekonomi bisnis bisa melaju lebih cepat ketika
diberi mesin penggerak ganda dengan kekuatan pengendali yang andal dan kuat,
yaitu manajemen dan wirausaha (P. Drucker, 1995). Tanpa manajemen, maka prosesi
langkah penata dana-pekerja-produksi-pemasaran bisa terjebak dalam gulita
spekulasi. Tanpa wirausaha (bijak-entrepreneur) prosesi 4P itu akan terkendala oleh
kekakuan birokrasi manajemen. Kedua mesin harus serentak aktif agar peluang
bisnis tidak terlewat begitu saja jadi hampa. Justru kenyataan yang demikian
terbiasa dirasakan kaum tani-KTC itu sejak lama. Ibarat gerak perahu kecil tak
bermesin, sulit bagi petani mengubah nasib sendiri. Sungguh pun demikian, proses
pelembagaan sosial itu juga tidak semudah membalik telapak tangan. Namun,
karena arti pentingnya, maka peristiwa sosial itu harus dijalani dengan strategi
ilmiah dan siasat seni.
Pada satuan usaha agribisnis skala menengah dan skala besar, wujud
kelembagaan sudah tertanam sejak awal, karena adanya keharusan investor untuk
melengkapi dua macam fondasi kegiatan berikut ini.
1. Diawali dengan tiga dokumen perencanaan; FS-Teknis, FS-Finansial; dan FS-
Ekologis (andal) yang kemudian diadikan cetak biru konstruksi.
2. Dibekali pemda dengan izin prinsip dan izin lokasi sebagai bukti dukungan
warga setempat serta kesiapan lahan untuk digarap secara teknis.
Dengan adanya dua modal (lima dokumen) tersebut, maka semua kegiatan
dan kiprah satuan usaha selalu dijalankan terarah berkat topangan mekanisme
manajemen dan kewirausahaan. Perubahan seperti ini sudah sepatutnya terjadi
pada kaum tani marginal pelaku usahatani KCT.
Untuk maksud ini, perlu proses transformasi kelembagaan, yaitu bermula
sebagai KUBE (Kelompok Usaha Bersama Efektif) guna menjalani proses transfer
iptek terapan dan taktik manajemen serta siasat wirausaha berbasis sebidang
kegiatan Demoplot AGROTRISULA. Mula-mula sejumlah kecil pelaku usahatani
KCT yang bersedia dibina berawal dari KUBE, kemudian dipicu jadi BUKD (Badan
Usaha Kemitraan di Desa) yang resmi terdaftar di dinas koperasi. Seterusnya dipacu
jadi MRPA (Mata Rantai Pasok Agroindustri), dan disebut hilirisasi jika rantai
pasok diinisiasi pemda. Dari 10-an anggota KUBE, akan bertambah anggota bila
sukses BUKD kian tampak jelas di mata warga desa.
Lebih jauh lagi, BUKD yang maju bisa tampil sebagai suatu UMKM agri bisnis
kemitraan yang masuk kategori kuat-mapan-unggul, jika berhasil akses terhadap
layanan lembaga pemerintahan, seperti: lembaga pendana risteks-inovatif; lembaga
pembinaan klaster usahatani sejenis; lembaga pematangan wirausaha pemula, serta
lembaga asosiasi niaga antarpulau dan ekspor-impor/exim. Hubungan horizontal
demikian tidak haram untuk ditempuh oleh suatu BUKD kuat dan tumbuh mapan
di suatu desa. Justru di situ ada batu ujian bagi tim pengelola atau para manajer
untuk membuktikan kelas dan kinerja kepemimpinan mereka sehingga patut menjadi
contoh bagi BUKD atau UMKM yang lain. Lembaga pemerintahan yang banyak
kaitan dengan ekonomi kerakyatan patut memberi penghargaan berupa hadiah
untuk satuan usaha BUKD yang maju demikian.
Dengan batasan pengertian yang diberikan di atas, maka pesan dalam Gambar
15.2 akan jadi jelas logika yang diberikannya. Bermula dari upaya menyukseskan
peristiwa sosial lewat misi dan kegiatan mengikut arah panah, berlanjut pada
keharusan mencapai sukses peristiwa ekonomi. Capaian akhir harus memacu
kesejahteraan rakyat pedesaan dan daerah.
49
Selaku dosen UNSRI yang juga sempat jadi Kepala Bapedalda, BKPMD-Kop, Bappeda
Prov-Sumsel.
Optimisme yang didukung logika dan adanya fakta empiris khas setiap desa,
tentu dapat didalami lebih lanjut sehingga didapatkan resep-resep terapan dilengkapi
sederet SOP manajerial bagi pencapaian kinerja BUKD dan BUMDes berprestasi di
perdesaan. Lembaga ekonomi demikian ini bisa jadi penggerak proses MONETISASI
perekonomian desa sekaligus jadi pemacu ekonomi tumbuh pesat, sejak dari para
pelaku bisnis lapis terbawah. Justru di situ akan hadir peran petani pedesaan penguat
fundamental ekonomi negeri.
Dari kajian awal yang bertitik tolak dari tiga butir pertimbangan itu, maka upaya
penataan jalan pertumbuhan perekonomian desa dan kecamatan tidak akan terlalu
berliku. Dari gerakan pacu ekonomi pedesaan yang serentak berlangsung di seluruh
penjuru Nusantara, kiranya perkuatan fundamental ekonomi nasional dimulai dari
pedesaan (sebagaimana cita-cita UU No. 6 Tahun 2014) bukanlah isapan jempol
karena melibatkan peran 150 jutaan warga pedesaan.
Upaya logis memajukan perekonomian daerah tentu amat tergantung pada
rumusan kebijakan meningkatkan daya beli (NTP) warga di setiap kabupaten
dan kota sewilayah NKRI, kesatuan pasar besar Nusantara. Semua daerah secara
totalitas harus bangkit saling memperkuat, saling membutuhkan, dan saling
mengisi kekurangan hasil produksi melalui mekanisme perdagangan antarpulau.
Pembangunan ekonomi bermula dari tingkat desa akan mampu memunculkan
ribuan jenis produk olahan baru nantinya. Tentunya niaga antarpulau yang secara
fisik berciri barter antardaerah perlu ditunjang dengan mekanisme transaksi pasar
yang direkayasa secara cermat.
Jika suatu klaster terdiri dari N-orang tani, yang masing-masing mengusahakan
suatu pertanaman komoditi Z sama jenisnya yang harga pasarnya Hz, dari satu
putaran produksi milik petani ‘i’ ada penerimaan Zi x RpHz dikurangi biaya total
TCi = FCi + VCi atau (Biaya Produksi Total) = (Biaya Tetap Total) + (Biaya Variabel
Total). Jadi, hitungan penerimaan bersihnya adalah sebagai berikut.
Belanja keluarga Z bisa berupa belanja pokok (BP) juga belanja barang lux (BL)
semisal HP dan biaya kelanjutan sekolah anak, serta belanja Aneka-rupa (BA) seperti
paket pulsanya. Kini asumsikan jika NPT > 1, BUKD seharusnya bisa mengarahkan
agar supaya setiap anggota menabungkan Rev(z) – BK(z) = Nilai BMT (Bersama
Menabung Terencana). Pada perkembangan lanjut, nilai BMT dapat diperbesar lagi
melalui dua cara, yakni: (1) memacu BUKD mengolah KOMODITI jadi PRODUK
bernilai tambah; (2) membina kepastian mata rantai pasok ‘input produksi’ guna
menghasilkan komoditi secara runtun terjadwal, dan menjamin pasok komoditi
selaku bahan baku produk agroindustri-organis atau agroindustri yang dibangun
sendiri oleh BUKD.
Mengupayakan agar komoditi yang dihasilkan itu sebagian besar diolah jadi
produk setengah jadi atau produk jadi yang siap konsumsi atau siap pakai; maka
ada nilai tambah hasil (NTH) didapatkan. Sebagai produk olahan, tentu lebih
Gambar 15.3 Membaca Potensi Komoditi Andalan Daerah Bermula dari Proses Monetisasi
Desa Melalui Pendekatan Bina Klaster Pertanaman
Seandainya kelima langkah itu dapat berjalan lancar, maka hubungan bilateral
antara BUKD di suatu desa dan kantor cabang BRI terdekat terjalin lebih dari sekadar
untuk urusan tabungan BMTD. Dari sini dapat diharapkan laju roda monetisasi
desa akan terpicu-pacu berputar menciptakan lapangan kerja, menaikkan peredaran
uang, dan meningkatkan kemakmuran desa.
50
Tulisan ini terbit di Bulletin of Indonesian Economic Studies, Vol. 13, No. 2, 1979 dengan
salah cetak nama penulis, seharusnya Fachrurrozie S.
Gambar 15.4 Terap Guna Metode PAR (Participatory Action Research) dan PRA
(Participatory Rural Appraisal) sebagai Socio-Entropy Controlling Interface (SECI)
Perlu jadi perhatian bahwa program pembinaan klaster petani KCT tidak
berakhir ketika rancangan kegiatan SECI sudah diimplementasikan, karena roda
perubahan tetap akan berputar cepat dan tidak mustahil memancik hal-ihwal baru
diiringi entropi sosial baru. Oleh sebab itu, pembinaan UMKM kemitraan agri-
bisnis yang diamankan dengan siasat bijak SECI tetap perlu diperlengkapi dengan
menaikkan intensitas komunikasi lintas kelembagaan mitra horizontal, sehingga
kiprah BUKD selalu jeli di tengah tiap tantangan iklim bisnis. Terlepas dari itu,
pimpinan dan staf harus terlatih profesional dalam menjalankan manajemen, serta
jujur dan berdedikasi saat memainkan jurus wirausaha.
Kesatupaduan gerak pelaku bisnis anggota BUKD atau UMKM agribisnis
kemitraan yang terbina sistemik sesuai konsep SECI sebagai perekat hubungan sosial
antropologis di dunia bisnis, tentu cukup kuat menghadapi tantangan persoalan
bisnis. Akan tetapi, kesatupaduan yang kuat itu belum bisa menjamin kiprah dan
kinerja BUKD untuk maju cepat, melainkan masih diperlukan benteng pertahanan
bisnis mengacu pada paham dan pengalaman pengusaha bidang lain.
16
SUKSES PERISTIWA EKONOMI MAPAN
SOSIAL EKONOMI BERKELANJUTAN
343
Pada awalnya orang-orang bisa saja bersikap saling tenggang rasa dan se-nasib
se-penanggungan. Namun, bila perorangan menyadari ada kendala dan hambatan,
ada keterbatasan dan kesempatan ketika itulah keserakahan atau juga kesepakatan
muncul ke permukaan. Sikap serakah mudah tampil di saat orang-orang tidak
saling kenal, dan sebaliknya kesepakatan akan terbit kalau orang-orang sudah saling
mengenal atau juga diperkenalkan satu sama lain melalui suatu upaya prosesi sosial
ekonomi. Walaupun demikian kesepakatan yang ternyata gagal memuaskan semua,
pasti akan membuat sebagian kecewa. Rasa tidak puas bisa memantik iri-dengki
lalu mengumbas onar keresahan.
Prosesi peristiwa ekonomi yang sukses adalah capaian yang akan terus
merekat persatuan dalam kesatuan. Namun, keberhasilan urusan pertanian tak
bisa sepenuhnya dalam kendali upaya manusia, karena ada peran biogeofisik
alami, terutama yang terkait dengan air, tanah, dan udara yang dipengaruhi oleh
iklim bumi yang diselimuti atmosfer disinari matahari. Pelaku pertanian yang bijak
perlu berupaya mengatur diri sambil mengajak orang-orang lain agar berhati-hati.
Konsekuensinya, visi dan misi bersama harus dibina dan ini perlu biaya. Mungkin
itu dari bantuan pihak penguasa, tetapi lebih baik jika didanai dari hasil jerih payah
bersama sebagai pemantik awalnya. Permufakatan bersama menabung terencana
jadi resepnya, tetapi BMT haruslah terus berkelanjutan.
Oleh sebab itu, prosesi cara hidup di lapangan akar rumput memang harus
berubah total, karena perkembangan dunia dan peradaban makin mengingatkan arti
penting menjaga kesempurnaan ciptaan Tuhan YME selalu dalam keseimbangan
makro-kosmos dan mikro-kosmos. Harus ada cara merekayasa keseimbangan itu di
tingkat makro-wilayah dan mikro-usaha. Seberapa pun kerumitan dan keruwetan
sudah tampak menggejala di antara kesadaran dan keserakahan, upaya luhur
berkonsep jelas karena penuh dengan pertimbangan keilmuan dan keimanan harus
terus dilakukan agar kian mapan. Sesungguhnya yang demikian itu adalah tanda
bersyukur dalam nikmat tanpa lupa daratan.
PV = No + Σ Nt (1+r)--t
Di mana t = 1, 2, …, n; serta (1+r)—-t sudah ada tabelnya
Oleh sebab itu, maka metode hitung PV yang sederhana itu ada tiga kegunaan:
(1) bisa menghitung NPV (Net Present Value; nilai kini pendapatan bersih) sebagai
ukuran arus NILAI KEUNTUNGAN mengalir selama n-tahun; (2) bisa digunakan
untuk menghitung NILAI KEADILAN yang dicapai pada suatu proses transaksi,
misalnya NGRL (Nilai Ganti Rugi Lahan); jangan sampai harga lahan per-Ha yang
diterima petani pemilik jauh lebih kecil daripada nilai kini arus pendapatan bersih
atau NPV untuk n = sisa umur produktif petani atau ADIL jika NGRL ≥ NPV;
akhirnya (3) bisa dipakai sebagai UKURAN KEBERLANJUTAN, yaitu perhatikan
NPV pada ‘n’ beda yang patut meningkat.
Untuk suatu analisis kelayakan usaha yang sama sekali belum berjalan, maka
nilai FV (Future Value) akan terjadi pada suatu titik waktu ‘t’ di muka. Bilamana
status TBM (Tanaman Belum Menghasilkan) pada umur tumbuh 0 tahun hingga 4
tahun telah dilewati, maka status tanaman berubah dari TBM jadi TSM (Tanaman
Sudah Menghasilkan). Bisa runtun produksi per-Ha, mulai dari awalnya rendah lalu
naik menuju produktivitas maksimal dan kemudian turun kembali. Data tentang
ini ada di LPPM perguruan tinggi setempat ataupun Balai Litbang di suatu daerah.
Data itu boleh digunakan dengan asumsi-asumsi penyesuaian, dan rumus dana
masuk bersih-nya adalah sebagai berikut.
Di mana: NIT = Nilai Investasi Total (sewa lahan, bangan sarpras; perizinan; Ct = biaya produksi tahun
ke-t; waktu t = 0 = kini; n = t + (0, 1, 2, 3); m = t +1,2,3, …, dst.
Tabel 17 Rumus Hitung ‘Nilai Kini (PV)’ dan ‘Nilai ke Depan (FV)’ dari Suatu Arus Nilai
Tertentu Runtun Terjadi Selama ‘n’ Tahun
Dua kegiatan itu di zaman yang ditandai aneka bentuk transisi karena bersandar
pada revolusi iptek inovatif, dewasa ini tanpa mengecualikan kaum tani KCT ikut
pula terdampak. Kemajuan iptek inovatif akan mudah memacu pemodal untuk
merintis dan merealisasikan suatu bentuk rancangan satuan usaha agribisnis
berskala menengah (USM) atau bahkan berskala besar (USB). Untuk tujuan
rancangan itu, jika harus berbasis lahan yang luas, upaya pembebasan lahan dengan
cara membayar sejumlah Rp NGRL, dan ini berarti investasi berpola ‘alih fungsi’
lahan segera akan terjadi.
Proses transformasi lahan seperti itu tak jarang justru merugikan petani pemilik
persil lahan. Diperlukan semacam tolok ukur keadilan bagi petani yang digoda
untuk menjual lahan mereka. Rumus hitung NPV yang sebelum ini dapat digunakan
sebagai pembanding terhadap Rp NGRL, dan asumsi-asumsi boleh digunakan
dalam perhitungan NPV itu. Misalnya: (a) NPV dihitung tanpa besaran NIT; (b)
NPV dihitung untuk jenis pertanaman yang diusahakan tanpa perhatian pada fase
TBM, dan ‘m’ = sisa umur harapan petani rata-rata; (c) NPV dihitung jika petani
sebagai plasma. Indikator keadilan: NPVhitungan ≥ Rp NGRL.
Akan ada tiga kategori agroindustri yang dapat dijumpai di dunia nyata, yaitu
sebagai berikut.
a. Satuan industri olah-perta (agro-processing industry); contohnya, yakni pabrik
CPO yang bisa mengolah TBS (tandan buah segar sawit).
b. Satuan industri tumpu-perta (agro-based industry); contohnya, yakni industri
penghasil benih unggul ‘Jagung Bisi Dua”.
c. Satuan industri topang-perta (agro-related industry); contohnya, yakni pabrik
pupuk urea dan NPK yang dikenal sebagai PT PUSRI.
Gambar 16.2 Panen SDA, Transformasi Nilai, dan Sasaran Pendanaan Negeri
51
Penulis berpengalaman sebagai Kepala OPD, khususnya selaku Kepala Bappeda Provinsi
Sumatera Selatan (2000–2003) amat prihatin pada isu penyimpangan ini, karena pelakunya sama
sekali TIDAK menyadari bahwa sangat tidak mungkin modal pembangunan yang hanya digulirkan
efektif sebesar 40% bisa menghasilkan buah investasi pembangunan senilai 100% atau lebih
besar lagi dari dana proyek pembangunan yang notabene didapat dari utangan pihak luar negeri.
Sinergi (1) dan (2) di kalangan perusahaan agribisnis skala menengah dan
skala besar tentunya bisa berlangsung otomatis mengikuti dinamika pasar. Akan
tetapi, bagi satuan usaha agribisnis berupa BUKD atau BUMDes persisnya berskala
UMKM kemitraan tidak jarang sinergi kegiatan niaga lebih bersifat saling kenal
dan saling percaya serta saling tolong. Nilai transaksi tetap harus menghadapi
risiko perniagaan, akibat gejolak ekonomi dan non-ekonomi yang datang dari luar
dan terjadi secara insidental. Pola sinergi (3), yakni jalur rantai pasok terbentuk
lewat program hilirisasi; ini tentu efektif jadi pemacu usaha agribisnis kemitraan
berskala kecil. Pola ini harus totalitas sejak dari proses produktif di hulu hingga ke
agroindustri olah-perta di hilir.
Pembangunan ekonomi pertanian di daerah yang berpola bawah-unggak (bottom-
up) sudah sepatutnya dijalankan lewat tiap jalur kemitraan antarlembaga yang
Sebagaimana sudah diuraikan dalam Bab 12 di muka, tentu harus ada perangkat
pemacu perkembangan bisnis produk inovatif dan produk kreatif. Namun di dunia
usaha kerakyatan, pembinaan sumber nafkah yang sistemik amat diperlukan. Pola
pembangunan inklusif untuk UMKM naik kelas, hampir sama seperti pola “trickle
down effect” selama ini, yang terbukti kurang berhasil. Pengaruh produk inovatif
dan kreatif, serta dipacu perdagangan antarpulau tentu akan menaikkan efektivitas
pemasaran hasil usaha kerakyatan.
17
BEBERAPA KONSEPSI TERAPAN
369
Tentu banyak konsep pemikiran penting ditemukan relevan dengan dunia
kehidupan warga masyarakat agraris. Terkait itu akan dibahas dalam Bab 17 ini
konsep layak dan tidak layaknya suatu rancangan investasi agribisnis, baik investasi
pembangunan wilayah pengembangan agribisnis maupun juga rencana investasi
satuan usaha. Ketika sasaran investasi adalah satuan wilayah yang bakal digarap
nantinya oleh warga selaku petani biasa, maka rancangan program pemerintah itu
tetap perlu dipastikan punya status layak eksekusi. Selanjutnya dengan pemikiran
yang terukur, perlu pula dipahami konsep skala usaha, yang tentu berkaitan erat
dengan capaian produktivitas teknis, raihan laba dan cipta nilai tambah di tingkat
satuan usaha kelompok petani komersial.
Tentunya tidak semua yang digeluti kaum tani-KCT selalu ketinggalan, paling
tidak akan terdapat kearifan lokal (local wisdom) sebagai buah dari pengalaman
kerja puluhan tahun dan turun-temurun di kalangan petani lokal di suatu daerah.
Andaikan suatu paket kerja berkearifan lokal sempat terlacak, tentu mudah
mencermati apa kekurangan dan kelebihannya. Bagian yang kurang masih dapat diisi
dengan perkuatan Ipteks-INOVATIF, sehingga sisi kearifannya jadi lebih sempurna
akibat adanya polesan inovasi. Selain itu sikap euforia agri-bisnis tidak boleh memicu
kealpaan pengambilan keputusan manajerial maupun keputusan wirausaha memilih
jalur yang efektif meraih capaian satuan usaha. Dari ke-4 konsep dasar itu, dapat
pula diperhatikan konsep terpadu-serasi (bukan kecemburuan) dalam suatu kancah
kemitraan usaha ‘wong-cilik’, yang tidak rewel ketika ada capaian komersial kebetulan
senyatanya terbilang kecil. Transparansi hitung dagang adalah faktor penopang rasa
saling percaya, adalah perekat kuat satuan usaha kemitraan agribisnis.
Dalam konteks 5 pertanyaan pokok di atas, maka dasar pemikiran yang melatar-
belakangi pemakaian rumus-rumus pada Tabel 15.3 di muka kiranya jadi sangat
relevan. Misalnya kapan konsep PV (Nilai Kini) harus digunakan dan kapan rumus
FV (Nilai Ke-depan) jadi lebih relevan, dan kapan pula kedua rumus dapat digunakan
untuk kemudian hasil hitungnya bisa dijadikan dasar analisa dan revisi kebijakan dan
penetapan isi kebijakan baru untuk suatu satuan usaha agribisnis. Logika ini sangat
berguna bagi para pengamat ahli atau konsultan, bagi para dosen yang memberi
kuliah untuk bidang kajian studi kelayakan finansial, serta bagi para mahasiswa
yang berminat jadi ahli perencanaan. Dengan logika teori yang benar, maka suatu
konsep rancangan yang dirumuskan akan beralasan kuat sisi operasionalnya.
Gambar 17.1a Gugus Aset Peponjen; Gambar 17.1b Gugus Kesempatan Produktif
Dari teori ekonomi mikro diketahui bahwa kesempatan produktif yang sedang
dihadapi seorang pengusaha dapat dilukiskan dengan KKP (Kurva Kemungkinan
Produksi). Seorang (calon) pengusaha yang memiliki sejumlah kekayaan andalan
(Ky; Gambaran 16.1) bisa memilih strategi produksi optimal berbasis kekayaan
andalan. Posisi optimal dicapai jika proses produksi berlangsung di titik singgung
KKP dan KI2 (Gambar 16.2). Sebab, secara teknis kekayaan andalan A hanya bisa
menambah nilai kekayaan jika proses produksi dilakukan terjauh di titik kombinasi
R. Tambahan gufaat terjadi secara konsepsional teoretis karena kurva indiferens KI2
lebih tinggi dari KI1, mengindikasikan tambahan gufaat lebih besar akan didapat.
Gufaat tersebut bisa dihitung dengan perangkat analisis numerik lebih konkret.
Katakanlah pada dua rentang waktu, yaitu sekarang (to) dan waktu berikutnya (t1),
model analisis dua periode, maka nilai kekayaan andalan dapat dinyatakan menurut
kaedah nilai kini (present value) sebagai Ky yaitu:
Gambar 17.2 Gugus Kesempatan Komersial Lewat Layanan Pasar Dana Pinjaman Pemacu
Investasi
Pada Gambar 17.2. dengan jasa pasar pengusaha akan mampu menikmati tingkat
kesejahteraan tertinggi yang bisa dicapainya, yaitu pada tingkat konsumsi S, titik
singgung antara kurva indiferens (KI3) dan garis MM. Jadi suatu proses investasi
dapat terjadi secara konseptual teoretis melalui 2 cara, yaitu dengan: (1) Cara
Investasi Mandiri, yang sepenuhnya mengandalkan aset peponjen atau kekayaan
andalan milik calon pengusaha; (2) Cara Investasi Komersial, yang bersandar
pada aset peponjen sebagai suatu jaminan untuk membangun kepercayaan pihak
penyedia layanan pendanaan (perbankan). Prasyarat #(2) ini sangat sulit dipenuhi
individu petani-KCT.
Selanjutnya di sini diasumsikan bahwa pasar menyediakan jasa bagi kebutuhan
pengusaha akan modal. Dengan jasa itu, maka pengusaha dapat mempertahankan
tingkat konsumsinya lebih besar lagi (Co>Yo) & pada saat yang sama melangsungkan
kegiatan investasi (produksi)-nya. Ditunjukkan dalam Gambar 16.3. bila jasa
pasar itu dimanfaatkan oleh si pengusaha, maka ia akan mampu mencapai tingkat
kesejahteraan yang paling tinggi yang bisa dicapainya, yaitu pada tingkat konsumsi
S*. Tingkat konsumsi itu tergambarkan sebagai titik singgung antara kurva indiferens
KI3 dan garis MM yang terjauh bisa dijangkau dengan aset andalan dan KKP-nya.
Ketiga tahapan proses pengkajian kelayakan usaha dikenal luas sebagai: (1)
Studi kelayakan teknis, dan (2) studi kelayakan ekonomis. Sementara itu, macam
studi yang ketiga yaitu (3) Studi kelayakan ekologis (ANDAL) sama sekali tidak
tercakup. Penting untuk digarisbawahi, bahwa ketiga macam studi itu sangat besar
perannya dalam mengarahkan keputusan investasi yang dibuat seorang calon
penanam modal. Dari itu, penyelenggaraan studi kelayakan sebaiknya dilakukan
dengan sebaik mungkin. Tidak jarang untuk maksud itu pemrakarsa proyek meminta
pelaksana studi kelayakan melakukan suatu prastudi kelayakan. Ini tentunya
dimaksudkan untuk: 1) memperoleh informasi dasar yang dapat meyakinkan
calon investor akan perlunya studi kelayakan lebih lanjut tentang proyek yang
diinginkannya; 2) mengidentifikasi unsur-unsur pertimbangan yang perlu secara
rinci diketahui sebelum diadakan kajian lebih lanjut; dan 3) mengetahui lebih awal
pokok-pokok hambatan dan ketidakjelasan yang masih membayangi proyek.
Setiap calon investor perlu melakukan 3 jenis studi kelayakan (feasibility study),
dan dengan ketelitian studi pendahuluan, maka langkah pengambilan keputusan
investasi harus dapat dibuat berdasarkan informasi yang sepatutnya terinci jelas
dalam bagian studi kelayakan aspek finansial. Sehubungan dengan itu perlu
diperhatikan kriteria dan aturan dasar keputusan finansial. Perhatikan di sini ada
istilah kriteria atau tolok ukur, dan ada pula istilah kaidah. Kriteria pengambilan
keputusan itu ada yang memperhatikan NUW (Nilai Uang menurut Waktu = Time
Value of Money) misalnya kriteria NPV (Nilai Kini Bersih atau “Net Present Value”) dan
kriteria IRR (Internal Rate of Return), serta kriteria BCR (Benefit Cost Ratio). Ada pula
yang dengan kaidah hitung yang tidak mempertimbangkan (r) tingkat bunga tanpa
memperhatikan NUW; misalnya kriteria TI (Titik Impas) & kriteria JPK (Jangka
Waktu Pengembalian). Yang akan dibicarakan di sini hanyalah kriteria NPV dan
IRR yang sangat umum digunakan dalam studi kelayakan. Kedua kriteria ini dapat
dipahami dan dihitung dengan mudah, apalagi dengan perangkat canggih komputer.
Akan tetapi, kajian mendalam yang pernah dilakukan para ahli menyimpulkan
bahwa penggunaan kriteria NPV dan IRR itu haruslah dengan berhati-hati.
Keselarasan hasil kajian dengan kedua tolok ukur ini tidak selalu tercermin
untuk semua proyek apa saja. Pada jenis proyek yang ditandai arus tunai (biaya
& penerimaan) yang kadang positif dan kadang negatif, selisih bersihnya amat
sering terjadi tolok ukur NPV dan IRR memberi arah keputusan berbeda lalu
membingungkan, dan sebab itu perlu diperhatikan aturan pengunaannya.
Dengan keempat asumsi ini, maka uraian tentang kriteria dan aturan
pengambilan keputusan investasi dapat dijabarkan selanjutnya dengan mudah tidak
jelimet. Uraian selanjutnya memberbincangkan aturan main itu secara konseptual
teoritis, dan lebih tampak berdimensi kuantitatif dan mudah untuk dilakukan
perhitungan finansialnya. Pengusaha biasanya membuat perhitungan kelayakan
finansial ketika akan memulai suatu kegiatan usaha. Kelayakan finansial lebih
cenderung melihat beberapa tolok ukur (kriteria) layak investasi, antara lain NPV dan
IRR. Segi kelayakan ekonomi yang bersandar pada analisis manfaat dibanding biaya
sosial (social benefit-cost analysis) cenderung tidak diberi perhatian besar.
Dalam konteks wawasan kepedulian dan kecenderungan yang demikian, maka
dituntut perhatian dan pertimbangan antisipatif dari Pemda setempat, yakni untuk
melakukan semacam prastudi kelayakan investasi di setiap bagian wilayah yang telah
ditetapkan sebagai sasaran proyek investasi. Kajian prastudi ini sudah seyogianya
dengan cermat memberikan perhatian pada aspek akibat yang bakal merugikan
jika suatu kategori proyek investasi diizinkan untuk ambil tapak lokasi. Seberapa
besar tekanan suatu jenis proyek bakal membawa perubahan mutu-fungsi-manfaat
biogefisik dan sosial, lalu bagaimana rerambu aturan main seharusnya diberlakukan
bagi para calon investor.
T-1
1) Pilih proyek yang memberikan NPV > 0 dan terima setiap proyek yang NPV-
nya positif seperti itu sampai modal dana yang tersedia habis terpakai.
2) Pilih sejumlah proyek yang mendatangkan total NPV terbesar, sekiranya jumlah
kapital terbatas.
3) Sementara itu, kaidah pegangan jika asumsi dilanggar adalah sebagai berikut:
a) Bila asumsi (1) dilanggar, maka analisis harus memperhatikan peluang
ketidak-pastian pasar. Harus dikaji informasi tentang “peluang” munculnya
suatu kejadian yang berpotensi jadi sumber ketidakpastian itu. Dengan
angka peluang, maka dibuat analisis risiko berdasarkan arah gerak dan
apa implikasi teknis dan ekonomisnya. NPV dihitung seperti biasa.
b) Jika terdapat dua atau lebih proyek yang bisa saling meniadakan, maka
asumsi (2) terlanggar. Kedua proyek itu harus mengarah kepada proyek
yang KKP-nya menyentuh garis harga tertinggi. Masing-masing NPV-nya
dihitung seperti biasa.
c) Jika kombinasi input suatu jenis proyek mencerminkan serangkaian proyek
yang diskrit (asumsi #3 dilanggar), berarti KKP yang mulus tidak terdapat.
Maka, cukup perhatikan proyek yang ditunjukkan oleh persinggungan
antara garis harga dengan suatu titik sudut KKP.
d) Jika rentang waktu keaktifan masing-masing proyek tidak sama (asumsi
#4 dilanggar), ada tiga kemungkinan langkah bisa dilakukan, yaitu:
(1) Usahakan menyamakan rentang waktu kegiatan tiap proyek, lalu
hitung NPV dan bandingkan.
(2) Lakukan amortisasi NPV setiap proyek, lalu bandingkan mana yang
menunjukkan nilai anuitas tertinggi.
(3) Anggaplah tiap proyek memiliki masa ganti (penyegaran atau
peremajaan) yang kontinyus tak putus-putus (seperti pada kasus
peremajaan kebun kopi dengan teknik “sambung pucuk” tanpa
Dengan nalar pemahaman praktis, maka makna Net Present Value adalah nilai kini
bersih dari serangkaian pemasukan uang diperkirakan akan terjadi selama jangka
waktu tertentu. NPV pada tingkat inflasi (ataupun bunga pinjaman tertentu) harus
positif dan sebesar mungkin. Sengaja dalam bahasan ini berulang dipakai istilah
inflasi karena 2 alasan: (1) Baik bagi yang alergi dengan bunga bank; (2) Besaran
bunga bank r = i + j, di mana j= jasa layanan bank. Contoh perhitungan NPV
diperlihatkan oleh tabel berikut ini.
Tabel 17.1 Hitung Nilai Kini dari Arus Uang Tunai Bersih
Tahun Perkiraan (Rp) Nilai kini
Manfaat Biaya Laba
1992 0 500 -500 -500 (1+i)0
1993 1200 700 500 500 (1+i)1
1994 1800 900 900 900 (1+i)3
: : : : :
: : : : :
2012 7000 3500 3500 3500 (1+i)19
N + Ni N (1 + i)
RpN = =
(1 + i)1 (1 + i)1
Jadi, NPV adalah suatu nilai laba yang akan terjadi setahun kemudian, tapi
dihitung sekarang dengan mendiskonto nilai itu sesuai dengan tingkat bunga yang
berlaku, atau lebih umum dikatakan “sesuai dengan laju diskonto (discount rate)
tertentu (i)” yang merupakan unsur dari faktor diskonto (discount factor) yaitu (1+i)-t.
Akan tetapi, bisa pula terjadi dalam suatu proses perhitungan NPV atas sesuatu
“proyek lingkungan” yang serba tidak pasti dan sulit diukur dengan jitu, maka
dengan angka-angka rekaan didapatkan arus nilai bersih yang seragam pada kolom
laba. pada situasi ketersediaan informasi seragam itu sesungguhnya NPV dapat
dihitung dengan cara biasa yang mencari nilai kini dari nilai laba yang muncul pada
setiap periode. Tetapi besaran itu bisa juga dihitung dengan rumus pintas untuk
menghitung nilai kini anuitas (A), yaitu:
Besaran B adalah nilai kini dari suatu nilai yang diterima (atau dibayarkan)
di satu masa depan sebesar Rp. A tiap tahun selama ‘n’ tahun, Rp. 50.000/tahun
selama 10 tahun selain tahun awal 0.
2) Dengan rentang waktu proyek yaitu t = 1,2, T maka penghitungan “ρ” dari
(1) tidak segampang mengucapkannya, kecuali bila menggunakan program
komputer. Dari itu, hakikat perhitungannya dilakukan melalui interpolasi nilai
NPV=0 di antara NPV<0 dan NPV>0; dan caranya adalah: Tetapkan ‘r2” yang
menunjukkan suatu NPV< 0 dan satu lagi “r1” penunjuk NPV> 0. IRR atau
ρ akan didapat melalui teknik interpolasi yang rumusnya adalah:
NPV1
IRR = ρ = r1 + (r2 – r1)
NPV1 – NPV2
Kaidah keputusan:
1) Bandingkan “ρ” dengan tingkat bunga yang berlaku “r” jika ρ > r maka proyek
dinyatakan “go” (terpilih), jika ρ < r maka proyek dinyatakan “no-go” (tak-ter-
pilih). Dari kriteria ini, tentunya pihak calon penyandang dana investasi (Bank)
akan mengkritisi hasil perhitungan untuk dijadikan bahan pertimbangan.
2) Perbandingan ρ dan r biasanya menunjukkan keputusan yang sama dengan
keputusan atas dasar NPV; maksudnya NPV > 0 biasa dibarangi oleh IRR >
r secara searah. Jika tidak, maka penarikan keputusan harus ekstra hati-hati.
Untuk kemudian, berikan perhatian pada NPV saja. Tapi ada cara lain seperti
dianjurkan Bailey (1959) biasa diterapkan bila ada dua atau lebih proyek yang
dipertimbangkan, yaitu:
3) Untuk perbandingan 2 proyek agar didapat satu pilihan, maka kaidahnya yakni:
“Pilih proyek pasca bila ρ > r, pilih proyek pra bila ρ < r. Proyek pasca adalah
proyek A yang jika dibanding dengan proyek B akan memperlihatkan angka-
angka (Qat – Qbt) negatif pada masa-masa awal proyek, sedangkan yang pra jika
terlihat sebaliknya”. Dengan kaedah terakhir ini, pemilihan ρ yang maksimum
kurang dianjurkan.
Jadi, kriteria IRR ini digunakan untuk mengetahui seberapa besar tenaga dalam
suatu usaha direncanakan yang memungkinkan usaha itu dapat menutup balik
modal & bunga yang dikeluarkan. IRR tidak lain adalah nilai bunga yang dicari pada
kedudukan impas, NPV=0. Cara mencarinya menggunakan teknik interpolasi yang
rumusnya seperti ρ yang dinyatakan di atas. Untuk itu suatu hitungan NPV1 dengan
memakai tingkat bunga r1 harus dihitung terlebih dahulu; misalnya, diperoleh
NPV1 > 0 atau positif. Perhitungan harus dilanjutkan untuk mencari NPV kedua
dengan memakai tingkat bunga r2. Besaran nilai NPV2 harus diupayakan bernilai
52
Sungguhpun pembicaraan ini terkait kebijakan Bank konvensional yang mengandung
unsur ribawi, namun ini tetap berguna untuk diperbandingkan dengan hitungan prestasi pola
Syariah yang dianggap lebih unggul.
Akhirnya dapat disimpulkan bahwa untuk suatu kategori proyek sosial dan
yang semi-sosial laju diskonto sosial perlu ditetapkan dengan hati-hati penuh
pertimbangan. Laju dikonto itu seyogianya tidak setinggi tingkat bunga komersial
terendah, tapi juga tidak terlalu rendah mendekati 0%. Biasanya untuk Indonesia,
yang dianggap pas adalah di sekitar r = 6% atau setengah dari tingkat bunga
komersial terendah. Sebagaimana dipahami, tingkat inflasi di negeri ini berkisar
10% hingga 12% setahun.T.4
Gambar 17.3b Ilustrasi Proyek Kepentingan Publik Berupa Zona Sabuk Hijau Berupa
Vegetasi Pengendali Emisi Pabrik
2) Dimisalkan ada dua cara untuk memulai agribisnis yang justru sedang
dipertimbangkan, yaitu pola “Parsial” (mengembangkan yang sudah ada) dan
pola “Mandiri” (membuka usaha dari nol di lokasi baru). Diprakirakan arus
manfaat bersihnya sebagai berikut:
a) Hitung NPV dari “pola mandiri” dan “pola parsial” dengan tingkat
bunga inflasi sama dengan tingkat bunga; i = r = 12% ! Mana yang lebih
menguntungkan dari keduanya?
b) Hitung IRR dari “pola parsial”! Layakkah usaha itu dijalankan bila tingkat
bunga modal r = 24%?
3) Pada keadaan pascakrisis moneter, banyak pihak yang bersemangat
mengembangkan atau berusaha di bidang agribisnis dan agroindustri.
Karenanya, ada ancaman over-supply yang bakal jadi bumerang usaha. Jika Anda
termasuk di antara mereka yang terancam, sebutkan apa bentuk kewaspadaan
Anda;
a) Pada tahap perencanaan usaha (antara lain seperti rancangan Gambar 17.1);
b) Pada tahap kerja manajemen keuangan – kepegawaian – keproduksian –
kepemasaran?
389
390
Tabel #20 . Nilai Kini Rp1 Diterima Setiap Tahun Selama N-Tahun Tergantung Tingkat Bunga
r%
Ekonomi Pertanian
Halaman 393
17.2 Model Pendeteksi Kearifan Lokal Berpoles Ipteks
Salah satu bentuk informasi lapangan yang harus jadi sasaran perhatian terkait
NILAI & ETIKA pendayagunaan potensi lingkungan adalah berupa KEARIFAN
LOKAL (Local Wisdom) yang nyata ada dan dilakoni warga dalam pemanfaatan
SDA (lahan hutan setempat). Akan sangat etis dan amat dianjurkan bila setiap
upaya pemanfaatan suatu bentang ekosistem terlebih dulu dilacak kemungkinan
adanya bentuk-bentuk kearifan lokal di daerah setempat yang perlu ditarik hikmah
pelajarannya untuk didayagunakan. Tentu selalu ada tantangan lapangan yang harus
ditanggapi dengan tepat terapi, tepat siasat dan tepat strategi berpoles Ipteks. Ini
penting ketika rancangan usaha tidak boleh lagi bernuansa usaha tani, melainkan
berpola satuan agribisnis komersial maju.
Di zaman kini yang serba Ipteks canggih ditandai teknologi inforkom digital,
tentu upaya penghematan SDA apapun harus dikedepankan. Untuk meminimalkan
masalah akibat rebutan sumber daya di tengah suasana penuh persaingan, maka
ada baiknya untuk tidak 100% bergantung pada teknologi maju. Pengalaman
berharga yang sempat didapatkan dipetik warga dan sudah turun-temurun diterap-
guna sebagai suatu kearifan lokal harus tetap jadi rujukan andalan, yang justru
efek positifnya bisa naik berlipat jika dipoles dengan unsur Ipteks maju; polesan
dimaksud boleh jadi diperlukan guna memudahkan kegiatan usaha ke arah efisiensi
dan efektivitas manajemen maupun siasat wirausaha di tengah persaingan bisnis.
Logika mendasar terkait arti penting paket tekno-ekonomi kearifan local adalah
adanya interaksi antara aspek bio-geofisik dan sosekbud pasti berbeda-beda dari
suatu daerah ke daerah lainnya di seantero pojok nusantara ini. Tipe iklim maupun
tipe lahan dan jenis tanah sebagai ciri biogeofisik-kimia dikenal sangat bervariasi.
Sifat dan perilaku kelompok etnis dari tiap suku bangsa juga amat beragam. Di situ
interaksi kedua komponen itu akan dapat memberikan warna kegiatan dan warna
prestasi yang berbeda-beda dari suatu daerah ke daerah yang lainnya. Bak kata
pepatah, “Lain padang lain belalang, lain lubuk lain ikannya”, dan isyarat ini jadi
dasar bagi kelangsungan niaga antardaerah.
Begitulah diyakini secara konsepsional teoretis ada interaksi antara suatu ciri
biogeofisik kimia sebagai kinerja Fungsional Ekologis (FE) ketika musti merespons
suatu kebiasaan perilaku sosial dari warga setempat yang hendak meningkatkan
Kemakmuran Masyarakat (KM). Di antara bentuk dan akibat dari interaksi itu
digambarkan pada Tabel Matriks ISEPSA berikut ini.
Tentu saja perlu ada faktor pemacu bagi ketiga gerak pembinaan itu, misalnya
untuk setiap kelompok kemitraan saha di permukiman kumuh Pemda & Pemkot
sepatutnya membantu sarana pemakaian air bersih secara hemat. Juga perlu sarana
disinfektan lingkungan, serta sarana pengolah aneka bahan organik kasar jadi serbuk
agar mudah difermentasi bakteri PBO (Pengurai Bahan Organik) menjadi pupuk
organik. Ketiga sarana ini sesungguhnya adalah sarana transformasi pola hidup
kumuh yang harmoni berarah negatif jadi berarah positif. Ketika pola CM6, CM8,
CM9 telah berjalan dengan perkuatan sarana yang diberikan oleh Pemkot setempat
maka pada saat itu hasil usaha tani warga kumuh tak patut lagi para konsumen
umumnya khawatir dan enggan membeli & mengonsumsi produk agrotrisula dari
kompleks kumuh perkotaan.
Demikian terdapat dimensi ekonomi dan bisnis khusus dapat digerakan di
tengah kehidupan masyarakat kumuh untuk mereka hidup lebih layak dan lebih
sejahtera dari pada sekadar harmoni bercitra negatif seperti kebanyakan kehidupan
kumuh tanpa pembinaan. Justru dengan sedikit dana dan strategi pembinaan yang
tepat, ancaman yang bisa merugikan banyak pihak dan sejenis tantangan yang
mudah ditaklukkan untuk kebaikan semua pihak, maka kondisi kehidupan kumuh
akan berangsur jadi kehidupan yang lebih sejahtera.
KHMin = Kebutuhan Hidup Minimum sesuai ketentuan garis kemiskinan tahunan yang diumumkan
oleh pihak Pemda. (Miskin = Nilai Daya Beli ≤ Angka Garis Kemiskinan setempat)
KHSew = Kebutuhan Hedonistik Sewajarnya, dihitung berdasar survai sosial ekonomi tingkat aman
belanja warga. (Aman = Nilai belanja ekstra < Nilai tabung potensial, rerata petani)
KPCus = Kebutuhan Produksi Cabang usahatani, yang dapat dihitung berdasarkan data survai biaya
produksi cabang usaha pertanaman. (Produksi = Luasan x Produktivitas, lapangan)
Akan tetapi, tampilan hubungan fungsional pada persamaan BKS di atas belum
sama sekali mempertimbangkan kemungkinan adanya dinamika sosial-ekonomi
yang senyatanya bisa menggerakkan 3 variabel yaitu: (1) Kemungkinan pengaruh
gencarnya promosi dagang berbagai barang kebutuhan hedonistic semisal HP android
tipe baru lebih canggih, berefek ke KHM ; (2) Kelumpuhan produktivitas (jumlah &
mutu) tanaman lalu berakibat tingkat laba menurun sdan memicu nafsu menambah
luas lahan, berefek ke KHS; (3) Kemudahan terap guna suatu jenis saprosi cara
‘COD-k’ (obat semprot HPT & pupuk ditawarkan lewat jasa pengantar bersepeda
motor ‘trail’ ke lokasi terpencil di perbukitan), ini tentu pula berpengaruh pada
variable KPC.
Aneka efek terhadap BKS tersebut tadi tentu sepatutnya diperhatikan dan
dipertimbangkan, jika hendak memproyeksi apa dan seberapa kecenderungan
perubahan ukuran skala luas lahan garapan rata-rata pelaku usaha tani di suatu desa.
Apakah luasan itu dirasakan cukup ataukah kurang menghidupi? Akankah muncul
efek untuk memperluas usaha? Dapatkah luasan itu memicu kehidupan keluarga
petani jadi lebih sejahtera tanpa musti menambah petak lahan baru?
Jika pola fikir DeShazo tentang teori latar belakang perambahan hutan dipakai
di sini, maka upaya maksimisasi gufaat pada persamaan itu harus memperhatikan
3 macam kendala pembatas yakni pendapatan (p.X), tenaga kerja keluarga (F), dan
jumlah produksi (Q), pada 3 persamaan sebagai berikut:
Pendapatan pada persamaan pembatas (1) ini ditentukan komoditas tani yang
dihasilkan sebesar Q secara keseluruhan dan dipengaruhi harga komoditas nontani
yang diperlukan, selain juga tergantung pada upah (w) yang bisa didapat jika
sebagian tenaga kerja keluarga L-off aktif di luar usahatani; ini mengingat:
Pembatas ke-2 adalah total tenaga kerja yang tersedia dari dalam keluarga (F),
di mana Lon tenaga kerja keluarga yang dipakai dalam kegiatan usaha tani, dan
tentu secara keseluruhan tenaga kerja bisa juga ditarik dari luar keluarga untuk
kelangsungan usahatani.
Perhatikan persamaan # (4) ini tidak membahas potensi dan makna menabung.
T-1
untuk saprosi nontenaga kerja ‘j’, tanaman ’r’ lahan garapan ke ’i’; serta z = jenis tanaman, h= jenis
saprosi selain l = tenaga kerja), sedangkan d = biaya pembukaan lahan baru.
i-1
Dimana, i=1…n; r=1…n; peruntukan lahan jenis ke-i hanya bagi jenis tanaman ‘r’ yang sesuai.
Dari capaian maksimal itu, petani produsen patut memaksimal fungsi gufaat:
Ar ≤ Ã i .......................................................................... (2a)
Di sini, vektor unitas (1xn) bertaut vector (nx1) aneka petak garapan dengan
tanaman ke-r dari jenis lahan ke-i, dan skalar i sebagai total luasan lahan yang
maksimal ada tersedia untuk jenis lahan ke-i (persamaan 2a). Apabila penerimaan
berasal dari tenaga kerja dan sumber ekstra nonusaha tani diperhitungkan pula,
maka total perolehan nafkah keluarga petani demikian itu menjadi faktor pembatas
kedua dari capaian kepuasan keluarga petani (persamaan 2b).
Di sini, p adalah vektor 1xh atas aneka harga untuk aneka komoditi a dan m
pada vektor X (hx1). Lalu adalah vektor 1xm dari besaran ‘i‘ (penerimaan bersih
i=1
.................................................... (3)
Dimana λ adalah nilai bayangan (shadow value of) pendapatan petani, sedangkan κi adalah nilai bayangan
atas lahan dari tipe ke-i sehingga;
K = Σ Ki dan, i = 1 ... n
i
i=1
Isyarat Khun Tucker untuk persamaan Lagrangian (3) adalah sebagai berikut:
λπ – K ≤ 0 .................................................... (6)
Persamaan (4) dan (5) isyarat ordo ke-1 menggambarkan perilaku petani
sebagai konsumen, dan persamaan (6) sampai dengan (9) menggambarkan perilaku
petani sebagai produsen. Dalam hal ini jika suatu tipe lahan ke-i ternyata memang
terikat pada isyarat persamaan (8) itu, maka nilai bayangan atas jenis lahan ke-i
tersebut, yang ternyata bernilai positif dan lebih besar dari ongkos pembukaan
petak lahan baru (dengan menyewa atau merambah hutan); maka pembukaan
petak baru dari jenis ke-i tersebut akan direalisasikan petani. Jika untuk jenis lahan
tertentu ke-i ternyata persamaan (8) tidak mengikatnya, maka lahan jenis itu tidak
menguntungkan untuk digarap petani. Seterusnya bila untuk suatu jenis pertanaman
‘n’ hanya berlaku ketidak-samaan berikut.
maka semua petak lahan dari tipe ke-i sebaiknya ditanami semua dengan jenis
‘m’. Sementara itu, terimplikasi juga dari persamaan (7) bahwa nilai bayangan
πλ = Ki
KTM = Kapasitas terpasang mesin; yang tertera pada mesin ukuran tertentu
KRM = Kadar rendemen mesin; sebagaimana juga tertera sejak dari perusahaan ‘sono’-nya. TDID =
Total Dana Invtesasi diprakira (= dana-pinjaman sesuai tingkat bunga; dana mandiri).
P3HI = Produktivitas pertanaman per-Hektar ideal, memperhatikan seberapa bebas satuan
perusahaan mengatur target luas peremajaan atau waktu tebang.
(Vt − C )e-rt Vt − C
= −C= −C
1 − e-rt e-rt − 1
dNHL d2NHL
Syarat Maksimum = = 0, <0
dt dt2
dNHL/dt = V't (ert−1) rert (Vt − C) = 0 .................................................................. (2)
atau, V't (ert−1) rert (Vt − C)
rert
V'(t) (V(t) − C .................................................................. (3)
e-rt − 1
Pada skala makro wilayah, struktur pasar mendekati bentuk oligopsoni yang
menjurus kepada pasar duopsoni (khususnya di daerah padat produksi karet, seperti
Sumsel dan Jambi). Kenyataan ini berkaitan dengan kehadiran pabrik-pabrik Crumb
Rubber dan pabrik lateks pekat yang cenderung bersaing dengan pabrik milik PIR
untuk mendapatkan bahan baku berasal dari karet rakyat. Keadaan seperti itu punya
konsekuensi yang kadang merugikan karena pembeli yang non-PIR cenderung
berkolusi sesama mereka dalam perang harga beli agar bokar dari plasma PIR dapat
terjual sebagian kepada pembeli noninti yang berada di luar PIR. Sampai di mana
kadar persaingan terkait struktur pasar itu tentu masih perlu dikaji melalui analisis
kejadian pasar dan tingkah laku pasar secara saksama.
Biaya pengolahan bokar mutu rendah dan mutu tinggi untuk dijadikan
SIR biasanya relatif sama dialami pengusaha inti, kecuali jika kebijakan daerah
mengendalikan pencemaran lingkungan akibat pengolahan Bokar mutu rendah
sudah berimplikasi tambahan biaya produksi pada perusahaan. Penetapan rumus
harga beli bokar dari petani plasma sesuai ketentuan pemerintah yaitu sebesar H
= K (He-B); di mana K adalah kadar karet kering; He = harga ekspor; dan B =
biaya pengolahan di luar harga bokar sebagai bahan baku. Di sini, perusahaan inti
akan untung lebih besar jika kebanyakan dari petani plasma memproduksi bokar
mutu rendah karena merasa mudah menaikkan bobot bokarnya menjadi lebih
besar, sekalipun petani plasma menyadari harga bokar mutu rendah itu murah,
tapi seolah menguntungkan karena bobot yang lebih besar akibat berisi kotoran.
a. Penyakit Londo-klasik
Komplikasi ini dialami oleh Venezuela yang terjadi pada tahun 2018 jadi babak
belur perekonomiannya. Ini terjadi setelah presiden Nicholas Maduro (2013-
kini) demi kemenangan Pemilu beliau menekankan kembali kebijakan sosialis
komunal yang semula dirintis oleh pendahulunya (Hugo Chaves; 1999-2013); di
mana rakyat miskin dimanjakan dengan limpahan uang ekspor migas negeri itu.
Sementara kelimpahan devisa ($) hasil ekspor SDA yang dipanen, secara mudah
dibelanjakan untuk barang-barang impor tanpa mengantisipasi dampaknya terhadap
perekonomian domestik. Belanja untuk barang-barang domestik cenderung memicu
naik harga, akibat sedikitnya produksi domestik juga banyaknya uang beredar dari
ekonomi sektor tunggal yang menguat.
Dana besar dari ekspor migas andalan utama perekonomian Venezuela,
memacu subsidi untuk rakyat agar harga berbagai kebutuhan domestik dijamin
rendah demi kebahagiaan rakyat. Jadi ada semacam kemakmuran asli tapi palsu,
yang justru memicu budaya santai di kalangan warga. Lalu muncul bencana penyakit
Londo membawa malapetaka serius bagi bangsa dan Negara itu. Ketika harga minyak
dunia jatuh jadi $30/barrel dibarengi utangan besar-besaran dari Cina telah mulai
jatuh tempo, lalu pasar barang domestik jadi lesu, sehingga tak mampu menahan
investor asing keluar Venezuela akibat produksi mereka kemahalan dan tidak
kompetetip. Pengangguran dan kemiskinan meningkat, krisis bahan pangan terjadi
dan Venezuela jadi negara gagal.
Pada ilustrasi konseptual pada Gambar 17.4a, b tentang 2 strategi jual beli yang
mewakili sekelompok klaster petani yang bersatu melembaga (BUKD) bersiasat
MONOPOLI agar tak mudah dipecundangi pihak pembeli. Pada kasus agribisnis
sawit, TBS (tandan buah segar sawit) pascaunduh dari pohonnya harus segera diolah
jadi CPO (Crude Palm Oil = minyak sawit mentah); karenanya harus cepat terjual
ke pabrik agroindustri, yang akan berprilaku MONOPSONI (pembeli tunggal, di
suatu wilayah konsesi agroekosistem). Berikut transaksi Gambar 17.4c diberi istilah
”Bilateral Monopolistik”, yang seolah terasa cocok karena pihak penjual (perwakilan
petani monopolis) setuju menerima harga agak murah (HTn < HKs), tapi harga
yang terlalu murah sudah berhasil dihindari; sementara diam-diam wakil pabrik
menikmati marjin itu dengan berbagi sama untung dengan pihak wakil petani. Oleh
karena itu, besaran [Qt. HFs – Qt. HTn ] adalah semacam penyimpangan nilai hasil
transaksi penjualan oleh petugas operasional perwakilan BUKD terhadap perwakilan
Ada satu kabupaten pada suatu ketika sedang jadi sasaran pengamatan penulis,
dan andalan ekonomi utamanya adalah karet rakyat. Saat harga karet melonjak, akan
dengan cepat pula harga-harga barang untuk kebutuhan rumah tangga sehari-hari
mengalami kenaikan akibat adanya sisi permintaan meroket, dan biaya hidup di
daerah itu pun jadi mahal. Tapi ketika harga karet jatuh, ternyata tidak juga diikuti
penurunan harga-harga dan biaya hidup setempat. Kabupaten ini kebetulan kaya
SDA terbarukan dan SDA terludesi. Berbagai deposit tambang yang belum sempat
dieksploitasi sebagai sumber pendapatan selain yang berasal dari ekonomi karet
yang diandalkan itu.
a. Dengan potensi dan kadar gerak perekonomian yang paradoks itu, daerah
pembangunan tadi senyatanya akan tampil ganjil ditandai IPM terlalu rendah
dan angka kemiskinan tinggi. Kondisi demikian ini patut dicatat sebagai satu
contoh kontemporer bagaimana komplikasi penyakit Londo dapat menyerang
perekonomian daerah, akibat adanya kebijakan mengangkat potensi suatu
jenis SDA andalan (yaitu karet), lalu terjadi ganjelan kemajuan dan hambatan
kemakmuran yang menyimpang dari tujuan utama.
b. Derita kaum tani yang terbelenggu dalam pusaran penghambat gerak maju
perekonomian daerah tentu juga merugikan warga pada umumnya. Daya beli
masyarakat jadi lemah dan perputaran uang di perdesaan akan terbatas, lalu
gangguan kriminalitas social akan menggejala. Keadaan perekonomian ini
tentu akan berimbas negatif pada daerah tetangga, dan pada ujungnya akan
merendahkan prestasi daerah juga negeri secara keseluruhan.
c. Dari itu maka salah besar jika sebagian orang bahkan pejabat berpendapat bahwa
program pembangunan daerah tidak memerlukan konsep-konsep teori muluk,
sebab yang penting pragmatik programnya dan ada dana mengeksekusinya.
Uraian dalam bab ini mengingatkan SDM pembangunan agar bekerja secara
konsepsional dan bersungguh-sungguh di lapangan. Dengan konsep teori yang
kuat, lalu setiap kali ada hambatan akan mudah menelusuri letak kesalahan;
sehingga jalan keluar akan ditemukan segera.
53
Secara konsepsional lingkungan hidup terdiri dari 3-komponen yaitu LH-alami berunsurkan SDA=
sumber-daya alami, LH-sosial meliputi SDM= sumberdaya manusiawi & aturan juga adat, dan LH-binaan
yang mencakup SDB= sumberdaya buatan).
54
Maknanya; ‘Sempurnakanlah takaran (dimensi ‘ketepatan’) dan timbangan (dimensi
‘keseimbangan’) itu dengan seadil-adilnya, dan janganlah mengambil hak diantara manusia, dan
janganlah menimbulkan kerusakan di muka bumi! (Qs. Huud-85)’. Allah pasti akan menjamin
sisa (kelanjutannya) baik bagimu, asalkan kamu meyaqini (Qs. Huud-86)’.
Isyarat #(1) mengingatkan arti penting perencanaan yang harus terukur cermat,
dan karena itu tentu harus berbasis Iptek yang tepat selain ditopang tekad Imtaq
yang kuat, cerminan komitmen menjaga keseimbangan fungsi lingkungan sebagai
wujud syukur kepada Tuhan Maha Pencipta. Akan tetapi peran SDM berkualitas
dan berdedikasi seperti isyarat #2 amat sentral untuk dihadirkan sebagai pelaku
utamanya, sehingga untuk isyarat #3 tinggal diperlukan sistem pemantau kadar
perubahan alami dengan ditopang sistem penegakan hukum secara tegas. Maka
dari itu program pembangunan di mana pun memerlukan strategi kelola sejak dari
perencanan yang apik di tingkat wilayah. Lalu pada tingkat proyek atau satuan usaha
harus ada dimensi POSDC (perencanaan-pengorganisasian-penstafan-pengarahan-
pengawasan) sepatutnya terselenggara secara ‘tematik-holistik-terpadu-sistemik’
disingkat THIS.
Di sini, tematik menunjukkan fokus kebijakan utama, semisal melestarikan
alam tanpa mengorbankan kepentingan warga. Kata holistik (= menyeluruh pada
tataran suatu wilayah ekosistem) artinya bertolak dari dasar pemahaman terhadap
informasi yang lengkap di tingkat kesatuan wilayah ekosistem, baik tentang potensi,
tantangan teknis bio-geofisik juga kecenderungan respons sosio-antropologis warga;
yang kesemuanya harus dimengerti dan dimaknai cermat dan saksama. Sasaran
wilayah ini peduli kepada ritme keseimbangan wilayah sasaran pengamatan, yakni
selingkup batas-batas ekologis yang berpengaruh sistemik. Artinya langsung bakal
dipengaruhi oleh setiap perubahan kondisi bio-geofisik, serta daerah permukiman
yang secara sosio-antropologis punya kepentingan terhadap lingkup ekosistem
tersebut.
Istilah terpadu memposisikan harmoni keterkaitan antar-proyek pembangunan
yang akan mengambil ruang di sebagian wilayah ekosistem tadi. Inilah tindak lanjut
upaya rekayasa teknis dan rekayasa sosial bertolak dari informasi tentang tantangan
bio-geofisik dan tuntutan sosio-antropologis di lapangan. Sejak dari tahapan cetak-
biru sudah sepatutnya terancang saling topang dan saling mumpuni, supaya mudah
untuk didukung, serta diselenggarakan para pihak-terkait berlandaskan semangat
kerja sama.
Gambar 17.5 Pola Kajian Sosio-Entropik Terkait Rancangan Teknis Biogoeofisik Menjurus
pada Kemitraan Bisnis Berkelanjutan
Pelacakan data teknis tentang potensi dan kegiatan warga pelaku usaha berpola
wanatani (agro-forestry) di suatu wilayah harus terkait ciri keluarga (FBL), adat
(ABL), konversi-lahan (CBL), tambang (MBL jika ada) pada kotak-2. Dari sini bisa
terdeteksi faktor sosio-entropi psikologis, sosio-ekologis, sosio-ekonomis, sosio-
kultural yang bisa saja muncul jadi kendala atau bahkan penghambat pembangunan
berwawasan-LH (Kotak ke-3) di suatu wilayah. Setiap faktor entropi-sosial harus
diredam agar memaksimalkan 5 macam nilai capaian ekonomi di wilayah sasaran.
Dari sini pra-studi kelayakan suatu program agribisnis berwawasan lingkungan
(Kotak ke-4) setingkat wilayah kiranya layak rekomendasi. Lalu muatan SECI (Socio-
Entropic Controlling Interface) bisa menjamin stabilitas-produktivitas-ekuitabilitas-
keberlanjutan pertumbuhan ekonomi akan tercapai. Capaian seperti ini tinggal
dihubungkan dengan supra-sistem pasar.
Jika di atas tadi dibahas efek pembukaan ekosistem lahan basah menjadi
agroekosistem wana-tani (agro-forestry) ataupun agroekosistem tanaman lain seperti
Aloevera (lidah buaya) atau juga nenas, tentu pada agroekosistem lahan kering tidak
kalah pula kompleksitas permasalahannya. Untuk lahan kering harus diwaspadai
isyarat dari Arnon (1972), bahwa pendayagunaan kawasan lahan kering apalagi jika
di zona ‘arid’ perlu perhatian pada 2 hal, yakni:
Kedua ciri fungsional itu selalu secara otomatis selalu diperankan oleh
kawasan hutan alami, tapi ini pada kenyataannya sudah berubah banyak akibat
ekosistem hutan lahan kering yang cepat terkuras. Sebab itu bagi kawasan lahan
kering tropika Nusantara yang kebanyakan berkemiringan dan bergelombang, maka
harus ditegaskan agar setiap upaya konversi bentangan ekosistem hutan selalu ada
disisipkan upaya bertanam kayu. Pada setiap persil agroekosistem, pertanaman
kayu selalu bisa dilakukan, yaitu: (a) Pada titik-titik pembatas persil lahan; (b)
Pada sekat bakar (lorong pemisah antarblok persil lahan pertanaman pangan
semusim; (c) Pada bantaran selebar 7m kiri-kanan suatu aliran sungai kecil; (d)
Pada sela-sela populasi tanaman perdu, sebagai tumbuhan peneduh yang mengatur
cahaya matahari agar tidak berlebihan intensitas panasnya, dan; (e) Pada pinggiran
pematang atau sepanjang sisi jalan penghubung. Pertanaman kayu di 5-sasaran itu
sedikit banyaknya akan berperan menjaga kondisi mikro-klimat dari perubahan
drastik, menjadi sumber kayu bakar dan dalam batas tertentu jadi sumber tambahan
pendapatan petani. Layanan fungsi hidro-orologis terbaik tentu didapat dari hutan
pertanaman kayu, namun bagian tanaman kayu yang terselip di pinggir atau di tengah
luasan persil lahan tetaplah positif perannya. Selain segi hukum lingkungan juga
segi keindahan tata-letak persil lahan pasti terdapat di lapangan, walaupun layanan
ekologis ini tak akan sebaik yang diperankan oleh kawasan hutan alami. Jadi fungsi
hidro-orologis dari kombinasi agro-ekosistem terpadu dan ekosistem-sisa tentu
tidak patut diabaikan pengaruhnya.
Ketika disadari bahwa sisa aset berharga bagi pemenuhan kebutuhan bangsa dan
kemakmuran negeri akan semakin bergantung pada ekosistem lahan basah, maka
pengamanan fungsi dan mutu ekosistem lahan basah tidak boleh longgar ditandai
tawar-menawar. Pengembangan produksi pertanian lewat cara lama tidak bisa lagi
diandalkan. Jika upaya pembangunan dan pengembangan produksi pertanian selama
ini selalu dengan 2 cara yaitu ekstensifikasi dan intensifikasi, maka ke depan cara
demikian tidak dapat lagi diandalkan.
Ekstensifikasi sifatnya menambah lahan produksi dengan cara membuka
bentang hutan. Akan tetapi mengkonversi suatu sebagian bentang ekosistem menjadi
seluasan agroekosistem itu akan terkendala ketiadaan ruang yang tak bertuan, sebab
semua bentanganl lahan nonlindung sudah bertuan (kecuali di Papua dan sedikit
di Kalimantan). Cara intensifikasi sifatnya menaikkan produksi dengan memacu
produktivitas lahan usaha yang sudah ada melalui penggunaan bibit unggul dan
saprosi optimal, tapi ancaman gagal tanam dan gagal panen karena kekeringan dan
kebanjiran, serta angin puting beliung dewasa ini kian marak disebabkan sistem
hidro-orologis semakin rusak.
Oleh sebab itu produksi pertanian terlebih-lebih tanaman pangan akan
semakin tergantung pada strategi perpaduan ruang ekosistem & agroekosistem
yang kondusif terhadap peningkatan fungsi hidro-orologis. Ini perlu agar lahan
pertanaman pangan aman dari gagal tanam dan gagal panen akibat kebanjiran
atau kekeringan atau juga tendangan angin puting beliung dadakan. Di situ siasat
Para pelaku usaha tani-KCT selalu terhambat oleh kealpaan dan keterbatasan
kemampuan untuk memenuhi isyarat baku keindustrian melekat pada komoditi
hasil pertanian sebagai saprosi (input) agroindustri. Ciri usahatani-KCT harus
ditransformasi terlebih dulu jadi ciri agribisnis secara melembaga. Tanpa upaya
itu maka pengusaha di mata rantai hilir kesulitan memicu-pacu peran aktif petani-
KCT. Inilah sebenarnya penghambat utama program “foot estate” pemerintah yang
dicanangkan pada tahun 2021 di beberapa provinsi.
Karena sifat yang berantai itu lebih mudah dibentuk dan dikembangkan di
bidang produksi pertanian yang musiman, maka akan lebih bijak pula jika pertanian
tanaman pangan pokok (padi, jagung, dan tebu) dijadikan titik sentral sasaran
produksi, sementara pertanaman dan proses produksi hilirannya dijadikan sebagai
pelengkap dan pendukung pelestarian fungsi dan mutu agroekosistem maupun
ekosistem-sisanya. Berikut ini uraian tentang pembangunan pertanian yang diyakini
akan semakin mengarah ke kawasan ekosistem lahan basah itu, akan dihubungkan
dengan sasaran pokok yang dititahkan Ibu Pertiwi, yakni soal produksi pangan.
Tentunya konsep yang dikembangkan harus selalu dalam konteks membangun
kesejahteraan bangsa dan kedaulatan NKRI.
Daftar Pustaka
Baum, K. H. & Schertz, L.P. 1983. Modeling Farm Decisions for Policy Analysis (ed.).
Boulder Colorado: West View Press.
Hirshleifer, J. 1970. Investment, Interest, and Capital. Prentice-Hall International Series
in Management. England Cliff: Prentice-Hall Inc.
Richard, J.B., and Jack, L. 1981. A Practical Approach To Business Investment Decisions.
In the United States Of America.
18
PERSPEKTIF ‘3P’ TANTANGAN DUNIA
435
Banyak orang masih seolah tuli dan ‘cuek’, bahwa kebutuhan pokok manusia
berupa PANGAN-PAKAIAN-PAPAN (3P) menunggu kemajuan kinerja sektor
pertanian nusantara. Komoditi segar dan produk-olahan amat potensial untuk jadi
andalan wirausaha di negeri ini. Dikatakan potensial, karena SDA-geofisik lahan
negeri ini subur, berkat curah hujan dan sinar matahari melimpah ruah. Tinggal
diatur dan dikelola daya dukung sumberdaya itu terhadap produksi 3P yang butuh
aneka tindakan pascapanen sampai sukses masuk pasar dan menemukan konsumen
tetapnya. Keragaman jenis komoditi-segar & produk-olahan khas tiap daerah justru
bisa membuka kesempatan kerja yang tidak sedikit bagi SDM pelaku agribisnis
primer-sekunder-tersier. Aneka jenis dan bentuk 3P sebagai komoditi maupun
produk unggulan suatu daerah semakin mudah menjangkau jumlah pembeli di zona
konsumen yang semakin luas, bahkan hingga ke mancanegara. Sungguh potensi
kegiatan agribisnis dapat dikatakan sangat menjanjikan, kini dan di masa depan.
Tentu upaya penetrasi pasar melalui promosi berbasis teknologi internet sangat
penting. Sistem inforkom serba digital bisa melayani kerja dan kinerja serba cepat,
khusus dalam rangka menyapa warga konsumen di hampir semua pelosok daerah.
Bayangkan betapa sukses perusahaan agribisnis & agroindustri Indomie memikat
selera konsumen di semua desa seputar nusantara. Bahan utamanya tepung trigu-
impor, tetapi aneka bahan lain yang melengkapinya adalah komoditi agribisnis
produksi dalam negeri. Di tahun 2022, ada 84.843 desa definitif (rerata 250-an KK
dan 800 jiwa/desa) biasa menikmati mi instan. Ini bukti betapa dahsyat prospek
agribisnis, sehingga tak patut diremehkan oleh generasi millennial, khususnya anak-
anak yang lahir di pedesaan.
Terkait dengan strategi #1 telah dikupas dalam sub-Bab 5.4 dan sub-Bab 9.3
secara konseptual pragmatis. Oleh karena itu, pembahasan berikutnya dalam sub-
Bab 1.c. khusus terkait kepentingan mempersiapkan langkah dan upaya pendekatan
terhadap strategi #2 dan #3; yaitu siasat mendayagunakan Lembaga LITBANG
Inovatip yang ada dalam organisasi perusahaan, maupun yang ada di lingkungan
perguruan tinggi dan UPTD Pemda atau UPT-Litbang pusat di lingkup Depdagri,
BRIN (Badan Riset & Inovasi Nasional).
Kehadiran Divisi Litbang di dalam organisasi suatu perusahaan dengan
sendirinya menambah tugas manajerial yang sedikit berbeda dari manajemen
keuangan, ketenagakerjaan, keproduksian, dan kepemasaran karena sifat ilmiah
akademis sedikit-banyak manandai lembaga Litbang perusahaan. Jadi, manajemen
Litbang perlu diselenggarakan dengan saksama dan benar agar dapat mendatangkan
manfaat yang menguntungkan perusahaan.
Apabila dianut hakikat ‘bersatu teguh bercerai runtuh’ di samping juga dihayati
kebenaran prinsip ‘kemitraan yang akrab dan tulus akan membuahkan sinergi yang
produktif berlipat-ganda’, maka tidak ada alasan bagi sekelompok perusahaan sejenis
di suatu daerah atau wilayah untuk tidak bekerja sama dalam satu ikatan bersama
yang disebut Jaringan Bisnis. Membentuk jaringan bisnis ini kadang merupakan
pula suatu keterpaksaan termotivasi oleh keadaan dan tekanan luar, khususnya
sistem perdagangan internasional yang menetapkan kuota ekspor dan standar
mutu komoditas yang harus dipenuhi. Ketetapan internasional itu harus diadopsi
ke dalam negeri oleh pihak asosiasi pengusaha agribisnis untuk diteruskan kepada
para pengusaha anggotanya.
Setiap ketentuan internasional yang semisal kesepakatan AFTA (Asian Free
Trade Agreement), GATT (General Agreement on Tarriff and Trade) harus berimplikasi
kepada kebijakan internal perusahaan, termasuk Divisi Litbangnya. Dalam hal ini,
cara pikir manajer perusahaan agribisnis yang serba tertutup dan egois sudah jadi
usang atau tidak relevan. Ketika upaya mematuhi ketentuan standar GATT berhasil
dicapai oleh suatu perusahaan, maka hasil Litbang individu perusahaan itu perlu
pula ditransformasi kepada perusahaan sejenis lainnya sebagai anggota asosiasi. Ini
sesuai dengan prinsip “Bersatu Kita Teguh & Bercerai Kita Runtuh).
Tentu saja asosiasi yang bijak akan memberi semacam penghargaan materiil
(dana partisipasi) dan nonmateriil kepada perusahaan berprestasi dan peduli
kemajuan bersama. Di sini, arus informasi dari individu perusahaan akan berguna
bagi keseluruhan peserta jaringan bisnis atau anggota asosiasi. Tetapi yang menjadi
kepentingan utama adalah tegaknya daya saing seluruh anggota asosiasi saat mesti
menghadapi persaingan global dan tuntutan pasar internasional. Keadaan seperti
ini sudah dinikmati oleh asosiasi perusahaan GAPKINDO (gabungan pengusaha
karet Indonesia) dan AEKI (Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia) dan lainnya.
Siasat kerja sama demikian itu perlu terus dimaksimalkan mengingat daya
penetrasi ekspor komoditi antarnegeri secara alami tidak sama. Adanya jumlah
konsumen potensial dunia terus bertambah, tentu membuka kesempatan; lalu:
Sasaran kajian Litbang agribisnis itu bisa meliputi: (1) Sasaran kajian tunggal
(individu) perusahaan, dan; (2) Sasaran kajian kelompok perusahaan. Jika wawasan
kajian bersifat mikro-bisnis, maka objek kajian adalah satuan individu perusahaan
agribisnis murni. Selaku individu-objek, serta bisa juga sekelompok pelaku usaha
tani yang tergabung dalam badan usaha kemitraan ataupun koperasi. Misalnya
berupa satuan perusahaan PIR (Perusahaan Inti Rakyat; selaku kelompok-objek
di bidang pertanaman kelapa sawit). Di tingkat individu pelaku usaha atau juga
individu perusahaan kemitraan beranggotakan banyak petani-pekebun, tentu
instrumen Ipteks-inovatif adalah modal dasar untuk mendorong kemajuan satuan
agribisnis & agroindustri.
Jika wawasan kajian bersifat makro-bisnis, maka objek yang dikaji boleh
jadi keseluruhan satuan perusahaan, termasuk aneka perusahaan nonagribisnis
penunjang agribisnis. Tentu termasuk pula kelompok perusahaan yang jadi mata
rantai pasok agroindustri dari aneka jenis produk olahan ataupun sejenis; semua
berkinerja di atas suatu lingkungan bisnis dan suatu wilayah pembangunan suatu
jenis komoditi agribisnis unggulan. Seperti diketahui dari komoditi TBS (Tandan
Buah Sawit atau fresh fruit bunch) kini setelah diolah pascapanen menjadi CPO (Crude
Palm Oil atau minyak sawit mentah) bisa dilanjutkan pengolahannya jadi sekitar 60
jenis produk turunan CPO termasuk bio-solar dan bio-ethanol sejenis bensin hayati
yang bisa semakin sempurna menggantikan bahan bakar fosil.
Teknik BEGFI-GAFETA;
Teknik ini sifatnya melacak Beda Garis Fenomena Ideal terhadap Garis Fenomena
Nyata (BEGFI-GAFETA). Metode ini tepat dipakai dalam rangka mencermati dan
mengevaluasi suatu kinerja yang sedang berlangsung dan akan terus berjalan selama
beberapa waktu ke depan berkelanjutan. Jadi, kinerja fenomenal dimaksud bisa yang
rutin sifatnya dan bisa pula berupa program pembangunan yang berakhİr setelah
berjalan sampai pada titik waktu sekarang yakni di posisi t=0.
1) Langkah-langkah metodik
a) Tetapkan terlebih dahulu program pembangunan mana yang perlu dievaluasi
tingkat keberhasilannya dan dalam jangka pendek perlu ditindaklanjuti sambil
mengatasi fenomena kegagalan yang mungkin telah ada terjadi.
b) Lakukan pengukuran kadar keberhasilan program pembangunan itu sebagai-
mana adanya yang nyata dicapai hingga sekarang, waktu t=0, sebutlah kadar
itu dengan simbol “F-n”.
2) Langkah-langkah Penunjang
Bilamana langkah pengukuran F-n (atau 1.c) tadi harus dilakukan melalui survei,
maka beberapa langkah penunjang perlu pula dilakukan, yaitu:
(1) Tetapkan populasi sasaran program pembangunan atau satuan agribisnis yang
dijadikan sasaran pengukuran, dan catat ukuran besar atau kecilnya anggota
populasi itu (secara simbolik N = ?).
Teknik EBDA-FENOBA
Teknik ini melacak Efek Benturan Dua Arus Fenomena BerIawanan Arah (EBDA-
FENOBA). Teknik ini baik digunakan untuk membaca permasalahan (kegagalan)
yang bisa terjadi pada masa mendatang, ketika penyelenggara suatu program
pembangunan telah berlangsung sejak dari titik waktu awal (t=0) hingga ke titik
waktu t=p. Pendekatan di sini bersifat dinamik, karena setiap variabel yang berperan
semuanya dipengaruhi oleh waktu putaran T.
1) Langkah-langkah Metodik
(a) Tetapkan terlebih dulu program atau aspek pembangunan yang hendak
direncanakan dan perlu diamankan jalannya dari ancaman kegagalan, yang
disebabkan suatu faktor kendala, atau suatu perubahan iklim bisnis akibat
perubahan politik pemerintahan pascapemilihan kepala negara atau sekadar
berganti kebijakan menteri baru.
(b) Bila program pembangunan itu adalah sesuatu yang baru, maka teruskan ke
langkah b). Bila program itu sifatnya hendak melanjutkan apa yang sudah
diprogramkan sejak periode sebelumnya, maka teruskan ke langkah c).
Demikian kedua cara identifikasi kejelasan masalah. Itu dipandang dari dua
perspektif, yaitu: (1) Semua variabel pemancik masalah itu telah dikenali dan berada
dalam kendali pihak perencana; (2) Langkah kebijakan strategis bagi pemecahan
masalah itu secara jelas dan tegas dapat diukur kriteria sukses tidaknya. Dengan
pemahaman setiap masalah yang secara nyata maupun tidak nyata, maka tidak boleh
dilupakan, bahwa upaya mengatasi aneka masalah itu bukan hanya perlu strategi
pembangunan di tingkat makro wilayah, tetapi juga strategi manajemen & wirausaha
tingkat mikro-bisnis. Dari alasan ini pula, penggunaan kedua teknik pelacak masalah
agribisnis tadi tak patut melupakan nasib kaum tani yang kebanyakan lemah. Para
pelaku usaha tani-KCT harus dibina klister demi klister secara melembaga kemitraan
(BUKD) agribisnis maju.
Harus diingat, hasil kegiatan Lit-bang dalam suatu perusahaan akan menjadi bahan
55
masukan pengambilan keputusan oleh unsur pimpinan. Keadaannya tentu berbeda daripada
pendayagunaan hasil penelitian di lingkungan perguruan tinggi. Di lingkungan perusahaan,
bahasa dan substansi laporan yang terlalu rumit akan sulit dinalar oleh para manajer, dan karena
itu harus dibuat dalam pola pelaporan yang lebih sederhana.
Akar permasalahan pertama tentu terkait dengan sistem pendidikan dan sistem
pembelajaran SDM yang seyogianya secara konsisten dan konsekuen dikaitkan dengan
Hal ini tentu menuntut adanya kebijakan makro kewilayahan yang memberi
kejelasan arah dan pola keterpaduan pengembangan agribisnis agar tidak mengancam
produktivitas usaha dan kesejahteraan masyarakat petani-pekebun, serta para
pengusaha agribisnis hulu-tengah-hilir pada umum-nya jangkauan cepat terhadap
devisa berasal dari transaksi luar negeri, walaupun nilai tukar yang timpang dan
merugikan pelaku usaha agribisnis sungguh tidak pula jarang terjadi, sehingga
merugikan capaian usaha.
Dengan asumsi bahwa setiap provinsi, serta kabupaten & kota sangat
berkepentingan untuk memberikan kemudahan investasi guna mempercepat
pembangunan melalui peran swasta yang lebih besar, maka Pemda harus
Gambarnya
tidak ada
Pak/Bu?
mohon untuk
dilengkapi,
terima kasih.
Gambar 18.3
Keterangan: Perhatikan perbedaan antara ukuran skala usaha yang cenderung menjadi sasaran calon
investor (lingkaran lebih besar) dan skala usahatani teluarga (lingkaran kecil) yang cenderung jauh lebih
kecil. Perhatikan skala usaha target investor sesungguhnya diperlukannya untuk memenuhi kapasitas yang
ditetapkan dari agroindustri olah-perta dan perlu dibangun. Perhatikan bahwa pilihan jenis komoditas
yang perlu dikembangkan investor seyogianya melalui analisis SWOT terhadap kondisi dinamis lingkungan
setempat; setelah membaca informasi prastudi kelayakan & layanan perizinan.
Pada Gambar 18.3 di atas terbaca arti penting visi misi pembangunan yang
kebetulan bertumpu agribisnis, yang seyogianya merupakan keputusan semua pihak
yang ada di suatu daerah. Perlu pula analisis SWOT guna menetapkan jenis pertanian
yang patut diunggulkan karena didukung oleh lingkungan alami-sosial-buatan,
dan itu adalah mandat konsultan dan para pemikir. Peran swasta tentu melakukan
investasi yang menserasikan kapasitas pabrik (agroindustri) dan potensi kebun inti.
Jika kaum tani hendak dilibatkan, maka kombinasi dua skala usaha besar dan kecil
kerakyatan harus jadi sasaran pertimbangan.
Contoh kasus lain yang menarik untuk disebutkan adalah agroindustri karbon-
aktif yang menggunakan batok kelapa sebagai bahan bakunya. Permasalahan yang
banyak dihadapi sesungguhnya bermula dari kenyataan bahwa, di satu sisi kebun
kelapa rakyat selalu tersebar di berbagai daerah dan memanen buah kelapanya
tiga bulan sekali Di sisi lain, pabrik karbon-aktif harus beroperasi 24 jam nonstop
karena alasan tanur penggosongan batok kelapa menggunakan panas berderajat
tinggi >1000 F sehingga tidak efisien untuk dinyalakan kembali dan dimatikan
berulang kali. Karenanya pabrik karbon-aktif itu harus dekat kota pelabuhan agar
siap menampung bahan baku yang datang dari semua penjuru, lalu mudah pula
mengekspor produknya. Isu kontinuitas bahan baku yang tetap tidak terjamin, maka
peran organisasi pemasok bahan batok kelapa sangat diperlukan; misalnya KUD
atau BUMDes perlu mengatur jadwal panen kelapa di berbagai daerah, sehingga
terjadwal panen kelapa di berbagai lokasi hingga pasok bahan baku jadi terjamin &
teratur. Ini berarti investasi agroindustri itu memerlukan fasilitas layanan Pemda.
Bentuk kasus yang lebih ekstrem lagi akan dirasakan pada rencana kegiatan
investasi agroindustri olah-perta yang bahan bakunya adalah hasil pertanaman
semusim, misalnya pabrik minyak atsiri yang memerlukan bahan baku lengkuas,
sereh wangi, atau tanaman sejenis lainnya. Sementara tipe agroindustri itu
memerlukan hasis kebun yang luas untuk menjamin pasok bahan bakunya, tetapi
kombinasi kebun inti dan kebun rakyat akan cenderung terbentur pada persoalan
“mana duluan, telur apu ayamnya?”. Jika pabrik dibangun lebih dulu, tapi kesiapan
kebun rakyat belum dapat langsung mencukupi kebutuhan kapasitas pabrik. Jika
kebun rakyat yang dipacu lebih dulu, apakah kehadiran pabrik bisa tepat waktu
sehingga tidak mengecewakan rakyat peserta? Dalam hal ini, peran konsultan
yang mampu membuat hitungan akurat tentu sangat diperlukan. Tentu saja survei
lapangan untuk memastikan kesesuaian teknis-agronomi dan sosial-ekonomi akan
memakan waktu kaji oleh pihak konsultan. Akan tetapi kerja cepat, akurat dan
bertanggung jawab harus tetap dipacu, karena “time is money” akan selalu jadi prinsip
kerja para pelaku bisnis apa pun di era persaingan ketat ini.
Adamowicz, W.L. Boxall, P.C. Luckert, M.K. Phillips W.E. and White W.A. 1996.
Forestry, Economics and The Environment. CAB International. Wallingford.
Afriani, I. 2016. Dinamika Sosio-Entropy; Determinan Pengelolaan Agribisnis Wanatani
Kerakyatan di Kawasan Perhutanan Sosial. Prov. Lampung. Disertasi. Fakultas
Pertanian Universitas Sriwiwijaya. Tidak dipublikasi.
Aplet, G.H. Johnson N. Olson J.T. and Sample V.A. 1993. Defining Sustainable Forestry
(The Wilderness Society). Island Press; Washington, D.C.
Arifin, Bustanul. 2004. Analisis Ekonomi Pertanian Indonesia. Kompas Media Nusantara.
Jakarta. 301 halaman
Ashworth, W.1995. The Economy Of Nature (Rethinking The onnections Between Ecology
And Economics).Houghton Mifflin Company.New York. ISBN 0-395-65566-8.
Austin, J.E.1981. Agroindustrial Project Analysis. The Johns Hopkins University Press.
London.
Bailey, M. 1959. Formal Criteria for Investment Decision. J. Political Economy, 67
(Oct. 1959).
Baleg dan Ditjen BP.Perkebunan. 2002. Rancangan Undangan-Undang Republik Indonesia
tentang Perkebunan, dan Drap Penjelasannya.
477
Barton, Rabbe, C. Innovation Killer; Batasan-Batasan yang Dapat Kita Bayangkan, dan
Perusahaan Cerdas Mana yang Menggunakannya. Penerbit: PT. Elex Media Kom;
Kompas Gramedia ISBN :978-602-02-5349-7.
Basu Das, S. 2012. Achieving The ASEAN Economics Community 2015; Challenges for
Member Countries & Bussinesses. Institute of Southeast Asian Studies. ISBN 978-
981-4379-64-9.
Baumol, William J, Litian, Robert E and Schram, Carl J. 2007. Good Capitalism, Bad
Capitalism & the Economics of Growth and Prosperity. Penerjemah: Yossinilayanti.
Gramedia, Jakarta, 2010. ISBN : 978-979-22-6201-0.
Binswanger & Ruttan. 1989. Induced Innovation. The John Hopkins University Press.
Baltimore and London.
Brennan, Jason. 2011. The Ethics of Voting. Princeton Univ. Press. Princeton Briones,
N.D.1995. The Integrated Social Forestry Program: Experiences in the Philippines.
In Management of Tropical Forests: Towards an Integrated.
Perspective. Edited by Ǿyvind Sandbukt. Centre for Dev. and the Environment,
University of Oslo. ISSN 0804-4988.
Chi-Wei, Khan, K. Toa, R. and Umar, M. 2020. A Review Of Resource Curse Burden
On Iflation In Vennezuela. Journal School Economics. China.
C.Smith, L. 2011. The World in 2050 ; Four Forces Shaping Civilization’s NorthernFuture.
USA : Penguin Group. ISBN 978-0-452-29747-0.
Coleman, D. 2006. Social Intelligence; The New Science of Human Relationships. New
York : Arrow Books. ISBN 978-0-099-46492-1.
Constanza, R. 1991. Ecological Economics: the science and management of
sustainability. Edited by Robert Constanza. Columbia Univ. Press. ISBN 0- 231-
07562-6. Daly, H.E. 1996. Beyond Growth; the Economics of Sustainable Development.
Beacon Press. Boston. 254 pgs.
Dillon, H.F. 1974. Management Agribusinness. Volume 1 & 2. SEARCA, Loss Banos
Philliphine.
Drucker, Peter F. 1985. Innovation and Entrepreneurship. United States of America
(USA). ISBN : 0-06-091360-6 (pbk.). New Jersey.184 pp.
Fillius, A.M. 1986. Forest Regeneration and Land Use Policy in Areas With High Population
Pressure. In Forest Regeneration in Southeast Asia. Biotrop Special Publication No.
25 ISSN 0125-975X. SEAMEO BIOTROP Bogor- Indonesia.
Geertz, C.1976. Involusi Pertanian; Proses Perubahan Ekologi di Indonesia. Bhratara Karya
Aksara, Jakarta.
483
LAMPIRAN ARTIKEL 1
Public and Private Partnership for Sustainable Resource Use Initiative: Strategically
Comprehensive Management To Back-up Formal Status of The ‘Cagar Biosfir Berbak-
Sembilang’ as Another Targeting Site for The World Biosphere1
Fachrurrozie Sjarkowi (Agribusiness and Natural Resource Management, Faculty of
Agriculture, University of Sriwijaya). *Corresponding Email : fsjarkowi13@gmail.com
Tulisan ini dipaparkan penulis pada konferensi UNESCO-PBB ke-17, sekaligus membuktikan
komitmen Indonesia pada upaya pelestarian ekosistem alami khususnya fauna & flora
kepentingan internasional, tidak terkecuali untuk penyelamatan bumi dari gejala dan efek
pemanasan global. Komitmen nasional diungkapkan tulisan ini bukan cuma terkait tanggung
jawab pemerintah pusat-provinsial-kabupaten melainkan juga terkait peran-serta warga yang
bermukim di sekitar wilayah ekosistem sasaran. Soal apakah tanggung jawab kemitraan itu
bisa direalisasikan di lapangan, makalah ini telah memberikan pola yang jelas dan tidak akan
merugikan siapapun, melainkan justru menguntungkan semua pihak.
Abstract: As clearly indicated in Lima Action Plan as adopted by MAB-ICC on March 19th 2016;
UNESCO’s MAB will harness lessons learned by communicating and sharing information so that the
WNBR (World Network of Biosphere Reserves) could develop appropriate but effectively functioning
model of sustainable development for each site of World Biosphere. Appropriate management model for
an ecosystem including its potential natural resources should get improved over time, “mainly in terms
of governance, collaboration, net working within the MAB and WNBR, by developing effective external
partnership to ensure long term viability” (MAB-ICC, 2016). Clearly, a totally comprehensive ecosystem
and multi-resource management must be prepared in order to fulfil the UNESCO’s expectation. Ecosystem
management is more on-site oriented action, while multi-resource management is needed to control all
socio-economic interests of the nearby people for the sake of their livelihoods. Of course the indigenous
interests to those resource potentials must be fulfil selectively and directly connected with innovative roles
of all other business actors as off-site economic beneficiaries. Hence, all activities (on-site and off-site
CBBS-WB) have to come along with environmentally sound development strategies. There are 30 points
of integrated management being offered herewith for effective execution.
A. Introduction
1. Significance of CBBS-WB to People and Local Governments
The targeting site, to be called herewith ‘CBBS-WB’, is of consider-able import- ance to the
people living in the eastern part of South Sumatra and of Jambi provinces (Figure 1). The
site is mostly wetland ecosystem, typified by peatland and tidal swamp ‘forest’ [1-3]; and
to the local dwellers it offers various natural resources that they have perceived and utilized
as dependable economic basis for local livelihoods. This type of man and biosphere inter-
dependency is unique [3-6]. For example, it has become source of traditional roof made
from nipa leaf and gelam trunks that are cheaply harvested from the area sustainably (in facts
Nipa buds could be utilized as source of glucose as raw material for sugar). All these must
1
Content from this work may be used under the terms of theCreativeCommonsAttribution
3.0 licence. Any further distribution of this work must maintain attribution to the author and
the title of the work, journal citation and DOI. Published under licence by IOP Publishing Ltd.
Lampiran 485
be taken into account when special approaches should be designed to maintain sustainable
use and ecological functions of the CBBS-WB including all potential natural resources that
support local livelihoods.
Figure 1. Map of CBBS-WB Site and Its Current Status Roughly Illustrated
Conceptually speaking, therefore, the area of would be CBBS-WB site is really a unique
landscape of tropical and wetland forest ecosystem, previously dedicated as national park
and now being assigned as a new site of world biosphere. Hence, the following attributes
truly apply:
• Wetland ecosystem (peatland in particular) is basically kidney of the land scape (ginjalnya
bentang alam), and this natural attribute ought to be maintaned sustainably healthy [7].
• Wetland ecosystem also function as biological supermarket perfecting food chains to
its neighbouring ecosystems; so beware of not cutting natural complexity of the food
chains [8]
• Wetland ecosystem throughout Indonesia is recognizable as natural ATM to people
living nearby; for which the symbiosis mutualistic between them should always be
comprehensively managed so as to remain ecologically conducive and socio-economically
beneficial over time [6].
Surely, one has to keep in mind that the CBBS-WB site essentially needs specific wetland
ecosystem management. It has quite high value of natural resource endowments and the
only remaining site usually visited seasonally as terminal and playing ground for some avian
species of intercontinental migrat- ory birds [5,9-11]. The site is somewhat isolated and rather
sterile zone out of the other zones of fast growing economy (i.e. the capital of Districts).
Never- theless, the significance of the CBBS-WB to both provinces may be highlighted as
the following arguments:
There are 5+5 guiding and operational principles of ecosystem management for wetland
2
Lampiran 487
B. Conceptual Framework for Effective Intervention
The wetland ecosystem argument signifies the importance of various economic potential
in that particular CBBS-WB site especially to fulfil various local livelihood activities which
are basically supported by legal rights of indi- genous people in accordance with indigenous
law. Any kind of threat to such traditional accessibility onto any natural resource potential is
surely perceive- able by the local people as violation of their right [12,13]. Hence, vigorous
management model leading to a green commitment by all stakeholders are certainly needed.
Lampiran 489
should be made institutionally workable, b) equitable opportunity (w.r.t. local people and
corporation roles) for tapping economic benefits in accordance with the relevant SOP
that must be formulated by way of action researches, c) eligible resource development
(w.r.t. more economic gain upon ex-post harvest marketing) due to innovative product
processing and market inspiring CSR programs [17,18].
The green principles that must be consistently applied in field are: a) every on- site
crop farming must have direct effort to uplift quality of ecological function of nearby zone
of conservation, namely by way of making successful an agreeable plot of SFMU (social
forestry management unit); b) every livelihood effort must do an on-site field action only
up to the maximum permit given right from the beginning.
Meanwhile, the financial back-up may be obtained by the people in accord-ance with
two possible schemes, namely: a) bio-right scheme, which is a right given to the indigenous
people to take various NTPs (non tree products) out of a on-site forestland plot and a right
to use the associated REDD (reduced emission from forest degradation and deforestation)
fund for the sake of sedentary farming as Green Livelihood activities on the convertible zone,
and; b) Bio-credit scheme, that is an opportunity for the on-site livelihood actors to take
advantage of an easy and cheap scheme of credit to be used at off-site CBBS-WB, as long as
they help a rehabilitation program at on-site area.
It is then industrial company or home industrial community as the existing market for
land based products that may legally utilized the fresh and raw materials with full guidance
by the CBBS-WB management. Both types of interactive partners should get special treatment
from the local government and the CBBS-WB team of management. Either one of: a) Special
SME’s credit facility, or; b) a kind of tax subsidy and business support could be provided for
such contributing business actors.
Lampiran 491
2. Strategic Pragmatic Commitments
Clearly a very serious effort needs to dedicate in doing a landscape management over an
isolated area that covers a huge size (> 300.000Has) of an already disturbed ecosystem
such as the one to be assigned as the CBBS-WB. Two important supporting factors needed
to be prepared properly, namely: a) a set of stimulant needed for every potential on-site and
off-site resource based activity; b) a set of partnership program linking up mutual interest
of private (on-site livelihood actors and off-site SMEs).
The required stimulants are needed, such that every actor will be fully committed to
environmentally sound principles which supposed to be implied in the SOP of Sustainable
Development CBBS-WB so as to:
• Maintain ecological sustainability and socio-environmental harmony by ensuring
prudent management of CBBS-WB.
• Motivate business web to be more innovative & creative leading to the so-called Green
Commitment leading to some new sources of retribution fee and VAT revenues to the
Districts governments that provide support with managerial responsibility.
• Modernize institutional base for effective clearing house to direct every effort to uplift
economic potential with acceptable method of harvesting, especially over the most
valuable resources to be developed feasibly in due time.
With respect to the specific partnership program, then a matrix table can be developed
(Table 1). This matrix is conceptually formed by referring to issues targeted in the spatial
model, socio-anthropological model as well as the evaluation model mentioned before. The
matrix table is the following:
Lampiran 493
Role of Local People (Private) Role of Government (Public)
The Target-ted On-site
Zone to Be Recommen- Indiginous SMEs Unit Provincial & /
Managed dation GOI
(onsite zon) (off-site loc.) Districts
(Ministry)
I. Local Off-site Coor- Active people The related Every 5 Several
government dinative works ofsurrounding off siteSMEs years local government
policy on across central the CBBS- have to be government institutions
equitable government WB must consistent in need to in Jakarta
resource and local obey spatial opening their reevaluate such asLIPI,
allocation government arrangement agroprocessing the existing Department
for people of institutions setby local industries for condition of Forestry,
surrounding to up-lift government the allowable of spatial and BPN-
the CBBSWB economic along withSOP commodities arrangement Agraria are
site. welfare and to for all possible from on-site. of CBBSWB expected
(9) eradicate rural parts of and make to give
and social beneficiaries. a better & necessary
poverty. more effective support to
spatial government
arrangement of South
for the next 5 Sumatra to
years bring the
mission
into a
success..
Note: SFMU = Social Forestry Management Unit, specially needed to empower those people already
doing crop farming in the buffer or protected zone but management needs to minimize their activity while
encourage them to keep an eye on a plot of planted trees in a forest zone [6][20].
D. Concluding Remarks
This paper reveals a set of comprehensive strategy for sustainable management of CBBS-WB
ecosystem and natural resources use. The conceptual discussion above, it can be stated here
3-points of conclusion:
References
Aswandi. 2017. Model Pengelolaan Air Rawa Gambut Bekelanjutan (Kasus di Delta Berbak,
Provinsi Jambi). Unpublished Disertation. Postgraduate Program, Universitas of
Sriwijaya.
Sjarkowi, F.1997. Economic Valution of Biodiversity Resources in the Coastal Zone Of South
Sumatra. In Rieley, J. & Page, S.E (ed.) Biodiversity and Sustainability of Tropical Peatlands.
Samara Publishing Ltd.
Dirschl, J.H. 1988. Coastal Zone Management in the Strait of Malacca: Review of Major
Issues and Proposals for Action (Tinjauan Masalah pokok dan Usulan Tindakan);
EMDI; pp.183-193.
Purwoko, A. and Wolf, W.J. 2008. Low Biomas of Macrobenthic Fauna at a Tropical Mudflat:
An Effect of Latitude?. Jurnal Estuarine, Coastal and Sheft Science (ELSEVIER) 76. 4. 869-875
Hastiana. 2013. Manjemen Kesesuaian Ekosistem Mangrove Taman Nasional Sembilang
Berdasarkan Kondisi Lingkungan Kawasan Pantai Timur Sumsel. Unpublished
Disertation, University of Sriwijaya
Sjarkowi, F. 2014. Agro-Ekosistem and Ekosistem Lahan Basah Lestari; Penopang Kedaulatan Pangan
dan Kemakmuran NKRI. Penerbit CV Baldad Grafiti Press, Palembang. ISBN.
Mitch, W.J. and Gosselink, J.G. 1993. Weatlands. Van Nostrand Reinhold, New York.2nd
Edition. In Barbier, B.E. et.al. 1997. Economics Valuation of Wetlands (A Guide For
Policy Makers and Planners. IUCN-The World Conservation Union.
Barbier, E.B., Acreman, M.C. and Knowler, D. 1996. Economic Valuation Of Wetlands; A
Guide For Policy Makers And Planners. Ramsar Convention Bureau, Gland, Switzerland.
Silvius, M.J,. Simons, H. and Verheugt, W,J,M,. 1984. Soils, vegetation, fauna and nature
conservation of the Berbak Game Reserver, Sumatra .RIN contributions to research on
management of natural resources 1983-84. Research Institute for Nature Management.
Arnhem, Netherlands.130pp
Verheught, W.J.M, and Kadarisman, R. 1991. Integrating Mangrove and Swamp Forests
Conservation with Coastal Lowland Dev.; the Banyuasin Sembilang Swamps Case Study,
South Sumatera Province, Indonesia.
Haidir, Sjarkowi.F, and Armanto, M.Edi. 2006. Strategi Konsepsional Pengelolaan Sumber Daya
Perika
nan di Zona Pemanfaatan Taman Nasional Sembilang Kabupaten Banyuasin Provinsi Sumatera Selatan.
Jurnal Pengelolaan Lingkungan dan Sumberdaya Alam, 5 (4).pp70-83.
Lampiran 495
Mareza, 2018. 7-Tuntutan Petani untuk Pemerintah. Bandot diakses 19 Juli 2018 Tribunjambi.
com http;//jambi.tribunnews.com/2018/05/11/7-tuntutan-inilah- yangdisampaikan-
petani-untuk-pemerintah? page-2 ; Jumat 11 Mei 2018.
Steni, B. and Muhajir, M. 2010. Hukum, Perubahan Iklim dan REDD. HUMA-Jakarta.
Rieley, J. O. et.al. 2008; Tropical Peatlands: Carbon Stores, Carbon Gas Emissions and
Contribution to Climate Change Process. In Strack, M. (ed). Peatlands and Climate
Change. Internasional Peat Society, Vapaudenkatu 12, 40100 Jyvaskyla, Finland.
University of Calgary. Canada.
Safford, L. and Maltby, E. 1998. Guidelines for Integrated Planning and Management of
Tropical Lowland Peatlands with special reference to Southeast Asia IUCN Commission
on Ecosystem Management Tropical Peatland Expert Group. Internasional Union
for Conservation of Nature and Natural Resources; IUCN, Gland, Switzerland and
Cambridge, UK.
Maltby, E. Martin Holdgate,Mike Acreman, Antony Weir, A. 1999. Ecosystem Management:
Questions for science and Society. Royal Holloway Institute for Env’l Research, Royal
Holloway, Univ. of London, UK.
Ministrial Decree. No. Kep-236/MBV/2003 tentang Program Kemitraan BUMN dengan
Usaha Kecil Dan Program Bina Lingkungan. Ministry of BUMN
Ministrial Decree. No. Per-02/MBU/7/2017 tentang Program Kemitran dan Bina Lingkungan.
Ministry of BUMN (Ministry fot State Enterprise)
Sitepu, M. & Sjarkowi, F. 2018. Chayanov’s Syndrome As Faced By ‘BAP’ Agribusiness
Corporation and Peasant Communities Living In and Nearby The Forestry Estate
Concession. Russian Journal of Agricultural and Socio-Economic Sciences.
Sjarkowi, F. 2001. Socio-Entropic System Approach (‘SESA’) Towards Sustainable Management
of Peatland Forest Ecosystem in Central Kalimantan.Tropical Peatland. 1(1) : 48-63.
Diantara 11 negara ASEAN hanya Indonesia yang masih memiliki sekitar belasan
juta Ha luas ekosistem lahan basah yang tentu sebagiannya dapat dikonversi jadi areal
lahan pertanian untuk kebutuhan pangan masa depan. Tentu saja upaya ke arah ini amat
membutuhkan pertimbangan Ipteks yang komprehensip. Ini mengingat ekosistem lahan
basah sangat peka sentuhan dengan efek dan dampak negatip kadang tak-terduga. Paper ini
mengingatkan dan menghimbau kerja sama lintas negara guna memikirkan dan mengkaji
cara terbaik pengembangan ekosistem-LB itu demi menjamin kecukupan pangan ASEAN
di masa depan.
Abstract : Every country with a large number of population but has got a limited stock and deposit
of natural resources must always anticipate domestic problems of poverty, hunger, poorer health and
declining wellbeing. However, such a classic chain of problems is no longer to be faced alone by a country,
as human environment has become so borderless. Neighbouring nations of densely populated countries
may frequently have to face sequence of such problems especially in years when the world undergoing an
extreme condition. Anticipative collaboration among them could presumably overcome the problems in
more elegant way with effective resource utilization and efficient use of funds, while all stakeholders
across borders getting mutual benefit with just and pride. The countries have to determine 2- starting
points of concern: 1) Focus on the most challenging problem that urgently needs solution (e.g. potential
problem of hunger); 2) Focus on particular natural resource base (e.g. a portion of remaining wetland
ecosystem) that each country ready to allocate. Subsequent collaborative efforts should be focused on
innovative science-tech inquiry and appropriate programs to tackle root of the main problem as trigger
to overcome all other problems.
A. Introduction
A chain of problems about poverty, hunger, health and wellbeing is certainly classics. It
repeatedly occurred to challenge nation after nation, and for that matter it could force
domestic human resources to seek for internal recipes towards an effective solution.
Nowadays, however, such a classic chain of problems is no longer closely isolated to be faced
alone by a country, as human environment has become so borderless. Regional cooperation
is a necessity, as ASEAN countries of may have to face serious problems in decades to come.
Therefore, a kind of common strategy needed in order to make efficient and effective
use of resources and scientific recipes of innovation. Indeed, neighbouring nations need
to identify common but strategic target of economic development (e.g. AEC-2015) in
3
Paper presented at The 1st International Webminar hosted by The Univ. of Sriwijaya,
April 2020
Lampiran 497
anticipation of economic shortcoming in years to come. A set of identified programs to tackle
future potential problems using ommon recipe and the relevant natural resources of each
country, out of which output mainly to meet each national demand as well as regional deficit.
As development target is aimed at solving problems of poverty, hunger, worsening
health and wellbeing, then more land resource is certainly required. Unfortunately, the only
remaining land resources are those potential acreages of wetland ecosystem. Moreover, with
current state of the art only a small portion of the existing wetland forest landscape that
could be safely opened for effective food production, job creation, eradicate hunger, health
support, and up-lift wellbeing. Out of each particular wetland ecosystem, the largest portion
of the landscape is supposed to be conserved and protected.
Each unit of wetland ecosystem entity is pretty much location specific as perceived
in terms of its ecological character[1], [2]. Hence, proper development and wise use of
its natural resources have not been fully understood by interdisciplinary scientists. The
associated ecological functions and attributes very much depend upon the existence and
characteristics of two main rivers which pinch around each landscape basin. Each basin
should have received much influence from the rivers inundation, and over an extremely long
time frame then the natural process would form a specific ‘hydrological unit of wetland
ecosystem’ (HUWE) which location specific in ecological character.
Of course, there are success stories of wetland agro-ecosystem development, and the
success apparently achieved due to best site of an HUWE was still easy to select in order
to meet project purpose[3].4 However, more records of failures were reported especially
due to project inability to cope with various technical constraints inherent with the use of
wetland ecosystem. The 1-million has project of peatland reclamation (1989) in Kalimantan
was completely failed and halted in year 2000[4], [5] [6]. The Ha Tien plain of the Mekong
Delta as another bad record experienced in Vietnam [7].
process conducted by 500 transmigrant families from Java and up until now more than
100.000Has of irrigated paddy field already developed. In Malaysia Peninsular, also successful
wetland reclamation involving Proto-Malaysian farmers were reported among others by A.T.
Rambo (1982).
Lampiran 499
lacking job availability and triggering more poverty that would eventually followed by stagnant
improvement in actual living standard. Further more, the business set back is apparently
causing serious escalation of unemployment number and worsening Gini ratio, more stunting
incidents throughout many sub-regions.
Mohon
kirimkan ulang
untuk gambar
Figure 1.
Figure 1. Reduce Hunger, Eliminate Poverty, Establish Health, and Enhance Well-Being : A
relevant theme of collaborative net working among densely populated countries
Vicious cycle of problems must be avoided directly and indirectly by all parties likely
get affected. Various collaboration should be developed by the neighbouring nations, so that
any future shortcomings could be minimized even fully avoided. Human resources must
be fully aware of how important for a wetland development plan to be provided with bio-
geophysical accounting as well as socio-ecological engineering (F. Sjarkowi, 2006; F.S. 2014),
namely a scientific prescription to get a set of environmentally sound programs. A plan to
use sensitive part of a HUWE’s landscape should anticipate any action that might destroy
the associated ecological function & attributes. It must be good for the associated actors
not to waste time and energy simply for amending negative outcomes that are avoidable
right from the very beginning.
Of course, several reasons perceivable here to be the cause of economic short-comings
in the future. It relates especially to availability of wetland ecosystem as the very basic
natural resource that could be used in the future to support the overall welfare among
people in the neighbouring countries (say the ASEAN). It may also relate to various types of
mismanagement of development activities that improperly designed in various sub-regions,
such that, people in general and the private sectors in particular, instead of using wise
strategy of low carbon development unexpectedly some greedy investors and their program
operators might easily dismiss the LCD principles.
On top of all this, un-integrated plans of development and various environmental
negligent in designing and executing overall programs in each nation are likely to cause loss
of mutual trust among the nations. Concerning wetland, especially the largest remaining
Indeed local people usually taking advantage a nearby HUWE’s natural resources in a
variety of ways to support their family livelihoods. This is an important reason for which the
existing symbiotic mutualistic between them should be managed in a holistically integrative
way. Taking into consideration all those 3-reasons into a THIS-plan7 of a wetland based
development could then be expected to maintain function and attribute of the remaining
area of an HUWE entity. The allocated agro-ecosystem zone ought to be carefully managed
to remain systemically alive, socio-ecologically productive, socio-economically beneficial,
socio-culturally harmonious, and socio-psychologically conducive over time so as to support
overall programs of sustainable development.
The significance of the above mentioned advice relates to the fact that all living and
non-living activities and their interactions within the ecosystem are complex. Hence, one
must take into consideration the socio-anthropological dimension of peatland as part of total
complexity of the ecosystem.8 Human intervention causes a change in natural complexity,
or even worse a much harsher natural interaction might be resulted within a newly opened
wetland agro-ecosystem and the remaining ecosystem.
The proper way for wetland (peatland) ecosystem conversion is surely getting better
better over time, but then a much better way for optimal solution might be technically
and socio-economically found in the future due to intensive research collaboration among
nations as stake-holders. Basic research as well as R & D action research collaboration
would be scientifically very fruitful [16][17]. According to [18] there are 4-main interacting
components of a peatland ecosystem, namely living organisms (flora, fauna and micro-
organisms), peat chemical and physical characteristics, peat-C stock, and peatland hydrology.
Any change in one component will influence the others. A physical disturbance to one
component triggers responses from the others that will bring the system sooner or later
back to an equilibrium status owing to the natural homeostasis capacity of the ecosystem.
However, only by practicing low-Carbon development strategies while taking advantage of
local wisdom, then a natural and unnatural disturbances could be followed by functional
reaction of the natural system leading to a convergence healing process[19][20].
5
In South Sumatra province for example, peatland may be found in the up-hill valley in the
west part, in lowland areas of the middle part, and in the tidal swamp zone of the eastern part.
6
F. Sjarkowi (2014) added role #3 of wetland ecosystem that significantly support local
people livelihood.
7
THIS stands for Thematic-Holystic-Integrative-Systemic strategy for ecosystem based
development planning.
8
Remember that the wetland especially peatland ecosystem is functioned as natural ATM
by the local people.
Lampiran 501
Therefore, a proposal to use an area of peatland might be possible. For example,
ecosystem conversion from condition A to B may be considered acceptable considering
the fact that organic matter from outside an agronomic landscape (such as livestock urine
and dunk including compiled weeds) to some extent may slow down decomposition of the
existing organic matter in the peat layer. A change from A to a poorer condition C (with
only recycling of leaves & twigs described as dotted lines in the system) could eventually
cause divergent disequilibrium, leading to catastrophic failure and socio-economic tragedy.
Peatland forest fire, causing extremely high temperature and loss of peat soil is a case in
point, bringing economic disaster to a region and its community.
Given the fact that various types of ecosystem, wetland forest in particular, are getting
more vulnerable while the associated natural resources are getting much scarce, then a
set of LCD principles of resource development is extremely important to be applied. The
2020 Covid-19 tragedy has shed some lights on this important issue. In every ecosystem
development there would be a set of intrinsic endowment that require a status quo to be
sustained naturally. A better way to maintain intrinsic endowment is to apply scientific
principles of LCD, which conceptually consist of 9-positive (with uppercase) versus 9-negative
(with lowercase) technical approach.
In order to maintain natural process of Carbon abatement and minimize any action
to waste Carbon element out of its biochemical compound and natural status.9 A natural
system could be enriched every day by sunshine nurturing food web and strengthening role of
biodiversity within the ecosystem. Conversely speaking, as an ecosystem has lost much of its
ecological function and natural attributes, some of the existing food chains are being destroyed
likewise. A 3x3 matrix table consist of 3 types of action (action C1,2,3 or c1, 2 &3) and 3
categories of land use management aspects (1.Bio-geophysical, 2. Socio-anthropological, and
3. Political-economy aspects). Precisely; they are as classified in this paper, the 9-positive
actions are 1.1).C-Sequestering; 2.1) C-Up grading; 3.1) C-Storing; 1.2) C-Collaborating;
2.2) C-Harmonizing; 3.2) C- Recycling; 1.3) C-Economizing; 2.3) C-Certifying; and 3.3)
C-trading; just as the 9-negative actions are 1.1) C-burning; C-downgrading; C-dissipating;
C- scrambling; C-converting; C- dispersing; C-competing; C-punishing, and 3.3) C- down
grading. The C-Uppercases are considered to be a set of LCD actions.
Local
Vir
Notice that the 3x3 matrix on the yellow box actually contains 9 x 2 status of Carbon
9
COV
compound due to each particular development process.
C. Concluding Remarks
Partnership among nations is clearly needed for effective and efficient efforts to tackle future
SDG’s problems leading to enhancing nations well-being as the ultimate goal. Assuming
that millions of wetland ecosystem in some ASEAN countries needed in larger portion to be
converted into agro-ecosystem landscape, then the countries have to determine 2-starting
points of concern: 1) Focus on the most challenging problem that urgently needs solution
(e.g. potential problem of hunger); 2) Focus on particular natural resource base (e.g. a
portion of remaining wetland ecosystem) that each country ready to allocate. Subsequently,
l Corona 3) Collaborative efforts should be focused on innovative sciencetech inquiry and appropriate
rus & programs planning to tackle root of the main problem as trigger to overcome all other
existing problems.
VID19:
Lampiran 503
Partnership among nations is clearly needed to tackle future SDG’s problems by way of
effective and efficient collaboration leading to enhancing nations well-being as the ultimate
goal. Assuming that millions HAs of wetland ecosystem in some ASEAN countries needed
in larger portion to be converted into agro-ecosystem landscape, then the countries have
to determine 2-starting points of concern: 1) Focus on the most challenging problem that
urgently needs solution (e.g. potential problem of hunger); 2) Focus on particular natural
resource base (e.g. a portion of remaining wetland ecosystem representing types of HUWE)
that each country ready to allocate.
References
R. C. O’Reilly, “Biologically based computational models of high-level cognition,” Science
(80-. )., vol. 314, no. 5796, pp. 91–94, 2006.
S. Rajagukguk, S. Yang, C.-A. Yu, L. Yu, B. Durham, and F. Millett, “Effect of Mutations in
the Cytochrome b ef Loop on the Electron-Transfer Reactions of the Rieske Iron− Sulfur
Protein in the Cytochrome bc 1 Complex,” Biochemistry, vol. 46, no. 7, pp. 1791–1798,
2007.
L. R. Rambo, “Current research on religious conversion,” Relig. Stud. Rev., vol. 8, no. 2, pp.
146–159, 1982.
S. E. Page, R. A. J. Wűst, D. Weiss, J. O. Rieley, W. Shotyk, and S. H. Limin, “A record of Late
Pleistocene and Holocene carbon accumulation and climate change from an equatorial
peat bog (Kalimantan, Indonesia): implications for past, present and future carbon
dynamics,” J. Quat. Sci., vol. 19, no. 7, pp. 625–635, 2004.
F. Sjarkowi, “Social-entrophy system approach (SESA) towards sustainable manage-ment of
a peatland forest ecosystem in Central Kalimantan (Indonesia),” 2002.
F. Sjarkowi, Socio-Entropic Controlling Interface (SECI) An Applied Theory On SocialPartnership
Endeavor. Penerbit: Baldad Grafiti Press, 2017.
H. Nguyen, “A Study of the Drivers of Land Use Change in the Ha Tien Plain,” 2017.
M. Gharibreza, J. K. Raj, I. Yusoff, Z. Othman, W. Z. W. M. Tahir, and M. A. Ashraf, “Land
use changes and soil redistribution estimation using 137Cs in the tropical Bera Lake
catchment, Malaysia,” Soil Tillage Res., vol. 131, pp. 1–10, 2013.
J. A. Greenwood, J. M. Landwehr, N. C. Matalas, and J. R. Wallis, “Probability weighted
moments: definition and relation to parameters of several distributions expressable in
inverse form,” Water Resour. Res., vol. 15, no. 5, pp. 1049–1054, 1979.
M. Colin and C. L. Sien, Too rapid rural development: perceptions and perspectives from Southeast
Asia. 1982.
R. Severino, ASEAN Rises to the Challenge. ASEAN Secretariat, 1999.
R. C. Severino Jr, “ASEAN Faces the Future,”Rodolfo C. Sev. Jr, p. 240, 2001.
CIMTROP, 2005. “Seminar and Workshop Papers. Proceeding on Fieldwork Team Reports
on Peatland Restoration and Management Reesearch in Central Kalimantan”; held in
Jogyakarta. University of Palangkaraya, Kalimantan Tengah.
E. B. Barbier, M. Acreman, and D. Knowler, “Economic valuation of wetlands: a guide for
policy makers and planners,” 1997.
F. Sjarkowi, Agro Ekosistem Lahan Basah Lestari. Baldad Grafiti Press, Edisi I. Palembang, 2014.
F. Sjarkowi, “Public and Private Partnership for Sustainable Resource Use Initiative
(Strategically Comprehensive Management To Back Up Formal Status of The ‘Cagar
Lampiran 505
LAMPIRAN ARTIKEL 3
Abstrak
Pepatah nusantara “tak-kenal maka tak sayang” agaknya perlu diberlakukan terhadap
ekosistem lahan basah di mana pun tak-kecuali yang ada masih tersisa 700.000Ha luasnya
di kawasan pesisir timur Sumatera Selatan (KPTSS) dan belum banyak dipahami potensi
manfaatnya. Tanpa pemahaman itu maka manusia pembangunan termasuk para pengambil
keputusan tentu merendahkan dan meremehkan kadar nilai aset alami di kawasan KPTSS
itu. Tanpa mengerti nilai, maka tindak manusia pembangunan akan terbuai manja oleh
kekayaan alam, sekedar bertumpu pada Ipteksi alakadarnya serta jauh dari keluhuran etika
lingkungan. Akibatmnya hampir pasti, yaitu rusak bahkan punahnya potensi SDA beserta
wadah ekosistemnya, dan berbagai dampak negatif yang merugikan akan muncul, semisal
ratusan titik api dan asap KLBH (kebakaran lahan dan bentangan hutan), berkurangnya
sumber nafkah dan pendapatan warga setempat, sehingga muncul beraneka masalah konflik
sosial serta gangguan kriminalitas terhadap manusia maupun alam.
Keywords: Biodiversity, ecological value, economic value, Sumatra, marine habitats, wetlands.
A. Introduction
Biodiversity resources based products are widely considered to be the future Indonesian
export commodities, on the basis of which the country will enjoy a ompetitive advantage
and become potentially efficient in production. Efforts to boost anual economic growth,
however, have often taken place provincially at the expense of biodiversity resources. In the
eastern wetland zone of South Sumatra the problem has been characterized by persistent
conflicts of interest among businesses, NGOs, local people and the provincial goverment.
It has become apparent, that only when environmental conflicts have been resolved can
economic development be maximised.
This paper presents an estimates of the full economic value of bio- diversity resources
in the marine and coastal zone of South Sumatra, and which maybe relevant elsewhere.
This area is presently under pressure from The Powerful who wish to make substantial
economic gain out of various current and proposed business activities. Future utilization
and conservation efforts to protect peat swamp and mangrove forest must take account
of the full economic potential of these ecosystem. Otherwise, wasting natural resources
could certainly followed by various environ- mental tragedies (such as peat fire that causes
smoke and haze problems, and river flooding likewise) that would reduce overall values of
development achevements.
10
Including 1,2 million hectares covers the islands of Bangka and Belitung altogether.
Lampiran 507
the parties involved since they each give different economic values to the natural resource
potential of coastal and marine ecosystem. For this reason, each biological resource has
to be considered in terms of its full pricing value, and economic valuation using methods
environmental economy has to be carried out for each ecosystem & biodiversity resource.
Estimates of biodiversity values based on available data and calculated using a shadow pricing
method are provided in Table 1 below.
As one may see in Table 1, the estimated economic value per-HA of potential benefit
that could be obtained from each ecosystem is quite a small value as seen as local government
revenue. However, it is quite a signifficant income as seen in terms of local livelihood that
usually become object of daily struggle of people who live in the coastal region. The tendency
of government officials of Kabupaten (district) level is then to deliver concession permit in
large scale unit of peatland ecosystem (5000 HAs or 10.000 Has up to 15.000 HAs to each
investor on Oilpalm Estate) for the sake of formal other than informal or illegal tax revenue.
Consequently the following cases are likely to occur unexpectedly:
1. The allocated land acreages often include some areas that are supposed to be protected
due to its importance for nature conservation .
2. The danger of land and forest fire increases as hot spot at one point nearby rural
settlement may easily spread over to the ecosystem.
3. The case of spreading peatland fire quickly and heavily produces smoke and haze that
cause complaints from neighboring provinces & states.
4. The phenomena of wasting biological and geophisical resources could become severe
when abnormal wheather of el-Nino exist in a particular year.
5. The end result of all is that various environmental tragedies would follow and bring
with them huge economic losses to the people and the region.
Table 1. Full pricing of biodiversity resources values (BRVs), based on five categories of
ecologicalvalue for different ecosystem in the eastern coastal zone of South Sumatra
(values given are equalized in 2015 Rupiah)
Table 2. Agribusiness revenue under different management system, taking into consideration
total values of biodiversity resources (equalized values in 2015, Indonesian Rp)
* Forest business industry (for example, HTI-Bakau (mangrove plantation) for mangrove forest which
maintains the existence of original plants; the figures obtained by using the Sinking Fund factor (Gittinger,
1984) based on an interest level of 10% an eight year harvest, wood production of 82 m3 ha-1 (Anon., 1993)
and a wood price of Rp 200,000 m-3 for HTI-Bakau and Rp 250,000 m-3 for other timbers
**Based on Daswir (1985) in Sjarkowi (1994) with a price assumption for oil palm fruits of Rp 170 bag-1
***Based on data from the Fishery Office, Bangka (17 July, 1995)
D. Conclucion
In order to generate the maximum economic benefit from the marine and wetland coastal
zone of South Sumatra, environmentally compatible management of its biodiversity resource
potential is urgently required. Integrated and holistic management approaches are essential;
otherwise sustainable development within the region will simply be a dream. Shortly speaking
the watland areas actually need more science and technology
Lampiran 509
Bibliography References
Anon. (1993) Pengolahan Hutan Lestari untuk Kelangsungan Industri Chip.PT. Bina Mandah
Pratama Chip Industries da Yayasan Mangrove.
Danielsen, F. & Verheugt, W. (1990) Integrating Conservation and Land- Use Planning in the Coastal
Region of South Sumatra, Indonesia. PHPA AWB-Indonesia, Bogor, Indonesia.
Gittinger, J.P. (1984) Economic Analysis of Agricultural Projects. EDI series in Economic
Development. The John Hopkins University Press, Baltimore, USA.
Mulia, F., Hidayat, T. & Priyanto, G. (1992) Pembangunan HTI Mangrove di PT Ciptamas Bumi
Subur Air Sugihan-Sumatra Selatan. PT Ciptamas Bumi Subur, Palembang.
Pearce, D. & Moran, D. (1994) The Economic Value of Biodiversity. Earthscan Publications,
London.
Sjarkowi, F. (1994) Agribisnis Berwawasan Lingkungan; Kiat Pembinaan di Tingkat Mikro dan Makro.
University of Sriwijaya, Indonesia. 297 pp. Sjarkowi, F., Verheugt, W. & Dirschl, H.
(1988) Coastal Zone Environmental Planning in The Straits of Malacca. Proceedings of The
Technical
Workshop, “Towards Sustainable Development”, EMDI-Kantor Menteri Negara KLH.
Table 1. Five categories of ecological values for biodiversity resources in the coastal zone of South
Sumatra, specified by ecosystem
Lampiran 511
[Halaman ini sengaja dikosongkan]
INDEKS
513
A. Sosial-Budaya, 21 Inovasi, 9, 88, 231, 235, 236,
E. Sosial-Ekologi, 21 Intensifikasi, 339
E. Sosial-Ekonomi, 21 Eksploitasi Bilateral Ilmu Ekonomi, 62, 69, 79, 95, 125, 126, 433
Monopolistik, 418 Inovasi, 63, 144, 289, 293, 294, 295, 301,
Ekstensifikasi, 433 304, 506, 548, 45, 46
El-Nino, 45, 279, 330, 362 Inovatip, 4, 142, 264, 287, 288, 291, 349,
350, 430, 487, 506, 510, 529
Entropi, 21, 154, 248, 344
Input, 8
Entropi Sosial-Psikologis, 21
Ekonometrika, 93
J
Ekonomi, 2, 3, 4, 5, 55, 57, 61, 69, 76, 79,
95, 102, 104, 109, 111, 118, 125, 126, Jangka, 413, 441
132, 150, Jarak, 17
Ekonomi Kerakyatan, 5, 502, 536
Ekonomi Kesejahteraan, 61 K
Ekonomi Mikro, 61, 235 Kajian Manajemen Audit, 461
Ekonomi Pertanian, 2, 69, 79, Kelayakan, 5, 407, 409, 432, 434, 440, 442,
Elastisitas, 2, 82, 95, 118, 126, 469
Elastisitas Penawaran, 2, 82, 95 Kemakmuran Desa, 5, 407
Energi Limbah, 4, 259, 273
Etimologis, 2 Kemitraan,
Indeks 515
STP, 148, 237, 289, 290, 291,
292, 349, 448
Struktur Interaksi Sosial, 349
T
Tantangan, 188, 210, 227, 412,
440, 441, 473
Tim, 139
Tradisional, 83
Turun, 253, 312
U
Unggulan, 29, 113, 117, 175,
182, 243, 245
Usahatani, 1, 7, 8, 17, 20, 23, 27,
39, 112, 135, 142, 156, 328,
480
W
Waktu Abai Peluang, 105
Waktu Ada Krisis, 106
Wirausaha, 9, 328, 436
Y
Yang Menerangkan, 44
Z
Zaman, 403, 537
Zero-sum game, 390
Indeks 517
sebagai Ketua PBSI se-Indonesia (1991–1992). Juga menjabat Kepala Bapedalda,
BKPMD & Koperasi, Bapedda Pemprov Sumsel (2000–2004). Dipercaya selaku
Ketua DRD (Dewan Riset Daerah) Sumsel mima DRN (2008–2018). Sempat pula
menjabat Rektor Universitas Musirawas (2017–2021) dan anggota TGUPP Pemprov
Sumsel (2019–2022), serta Ketua Dewan Pengarah FU3SS (Forum Ukhuwah Ulama-
Umaro Sumatera Selatan; (2022–2024).