Ekonomi Pertanian DUMMY

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 540

EKONOMI PERTANIAN

Konsepsi Dasar Penopang Teori & Terapan


Pembangunan-Pengelolaan-Pengembangan

Catatan untuk penulis:


Terdapat beberapa pertanyaan yang sudah ditandai dengan font
merah

Untuk footnote dari BAB 1 ke BAB 2 dst apakah dilanjut? atau


mulai dari 1 kembali?
EKONOMI PERTANIAN
Konsepsi Dasar Penopang Teori & Terapan
Pembangunan-Pengelolaan-Pengembangan

nama penulisnya

RAJAWALI PERS
Divisi Buku Perguruan Tinggi
PT RajaGrafindo Persada
DEPOK
Perpustakaan Nasional: Katalog dalam terbitan (KDT)
Fachrurrozie Sjarkowi.
Ekonomi Pertanian: Konsepsi Dasar Penopang Teori & Terapan Pembangunan-Pengelolaan-
Pengembangan/Fachrurrozie Sjarkowi.
—Ed. 1, Cet. 1.—Depok: Rajawali Pers, 2023.
xviii, 518 hlm., 23 cm.
Bibliografi: hlm. 477
ISBN -


Hak cipta 2023, pada penulis
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh isi buku ini dengan cara apa pun,
termasuk dengan cara penggunaan mesin fotokopi, tanpa izin sah dari penerbit
2023.- RAJ
Fachrurrozie Sjarkowi, Ph.D.
EKONOMI PERTANIAN
Konsepsi Dasar Penopang Teori & Terapan Pembangunan-Pengelolaan-Pengembangan
Cetakan ke-1, Juli 2023
Hak penerbitan pada PT RajaGrafindo Persada, Depok
Copy Editor : Tim RGP
Setter : Feni Erfiana
Desain cover : Tim RGP
Dicetak di Rajawali Printing

PT RAJAGRAFINDO PERSADA
Anggota IKAPI
Kantor Pusat:
Jl. Raya Leuwinanggung, No.112, Kel. Leuwinanggung, Kec. Tapos, Kota Depok 16456
Telepon : (021) 84311162
E-mail : rajapers@rajagrafindo.co.id http: // www.rajagrafindo.co.id

Perwakilan:
Jakarta-16456 Jl. Raya Leuwinanggung No. 112, Kel. Leuwinanggung, Kec. Tapos, Depok, Telp. (021) 84311162. Bandung-40243,
Jl. H. Kurdi Timur No. 8 Komplek Kurdi, Telp. 022-5206202. Yogyakarta-Perum. Pondok Soragan Indah Blok A1, Jl. Soragan,
Ngestiharjo, Kasihan, Bantul, Telp. 0274-625093. Surabaya-60118, Jl. Rungkut Harapan Blok A No. 09, Telp. 031-8700819.
Palembang-30137, Jl. Macan Kumbang III No. 10/4459 RT 78 Kel. Demang Lebar Daun, Telp. 0711-445062. Pekanbaru-28294,
Perum De' Diandra Land Blok C 1 No. 1, Jl. Kartama Marpoyan Damai, Telp. 0761-65807. Medan-20144, Jl. Eka Rasmi Gg. Eka
Rossa No. 3A Blok A Komplek Johor Residence Kec. Medan Johor, Telp. 061-7871546. Makassar-90221, Jl. Sultan Alauddin
Komp. Bumi Permata Hijau Bumi 14 Blok A14 No. 3, Telp. 0411-861618. Banjarmasin-70114, Jl. Bali No. 31 Rt 05, Telp. 0511-
3352060. Bali, Jl. Imam Bonjol Gg 100/V No. 2, Denpasar Telp. (0361) 8607995. Bandar Lampung-35115, Perum. Bilabong
Jaya Block B8 No. 3 Susunan Baru, Langkapura, Hp. 081299047094.
KATA PENGANTAR

Bersyukur ke hadirat Tuhan YME yang melimpahkan rahmat dan karunia


sehat-afiat kepada kita semua di tengah hiruk pikuk ancaman wabah Covid-19
diikuti varian lokal begitu mencekam. Selama pandemik banyak waktu terluang,
lalu beberapa mata kuliah dapat disiapkan bahan lengkap demi kesempurnaan
kuliah tanpa tatap muka. Penulis dianugerahi kekuatan lahir-batin sehingga sejak
2021 hingga awal 2023 tuntas menyusun naskah buku ini. Berbagai hasil riset dan
pengalaman bina ekonomi kerakyatan di Sumbagsel dan Kalteng selama 30 tahun
telah pula ikut memperkaya 18-bab atau 90 sub-bab meliputi sekitar 300 topik
bahasan. Mudah-mudahan menyusul buku ini segera penulis hadirkan buku-buku
ilmuwan Ekonomi Pertanian bernomor seri lanjutannya.
Buku ini memiliki orisinalitas sajian yang khas dan sepenuhnya bisa diper-
tanggungjawabkan penulis. Secara kategoris buku ini menekankan kepedulian
terhadap nasib petani kecil dan gurem yang kebanyakan masih hidup pas-pasan.
Jika di masa bencana dan pandemi masih tampak jelas sumbangsih kaum tani yang
umumnya lemah itu, secara sukarela mereka bisa memproduksi jumlah kebutuhan
pangan-pakaian-papan (3P) warga konsumen. Ketulusan kerja telah memacu putaran
ekonomi negeri ini hidup berlimpah berkah. Dari usahatani- KCT (Kecil-kecilan,
Cerai-berai, Tradisional-gurem) sumbangsih mereka tetap nyata. Apalagi jika ada

v
konsep agribisnis komersial, mereka tentu lebih sejahtera dan negeri jadi makmur
sentosa.
Terdiri dari 18-bab dan setiap bab berisi 5-sub-bab serta setiap sub-bab
sedikitnya memiliki 3-pokok bahasan, maka buku ini dapat digunakan sebagai
buku-ajar untuk 3-jenjang perkuliahan tentang ekonomi pertanian. Adapun 6-bab
awal berisi konsep dasar ekonomi pertanian, dan bagi kalangan mahasiswa S1 bisa
dijadikan bahan kuliah untuk 14-kali tatap-muka. Lalu 6-bab 7-12 untuk bahan
kuliah S-2 dengan prasyarat memahami bab 1-6. Seterusnya 6-bab terakhir bersama
sejumlah lampiran makalah berbahasa asing, bisa dijadikan bahan bacaan mahasiswa
S-3. Buku ini telah diberi muatan dari hasil pengamatan nyata dan riset terapan di
berbagai penjuru nusantara. Dengan demikian aneka konsep teori telah disajikan
dengan contoh dan informasi faktual bernuansa lebih membumi.
Tentu dengan narasi yang mengedepankan orisinalitas sajian terkait ber-
bagai diksi dan konsepsi terapan Ilmu Ekonomi Pertanian, maka tidak mustahil
di sana-sini terdapat kekurangan dan kealpaan. Untuk itu penulis amat berkenan
menerima koreksi dan saran perbaikan. Sebagai terbitan untuk kali pertamanya,
berbagai kejanggalan pasti tampak jelas di mata pembaca. Walau demikian buku
ini memiliki kekhasan tersendiri yang sengaja ditampilkan guna memudahkan
para pembaca. Ada kesamaan abjad dan jumlah sub-bab di setiap bab yang berawal
di posisi halaman ganjil. Pada tiap halaman ada topik baru atau alinea baru jadi
penanda awal bacaan. Dengan begitu akan memudahkan pembaca menelusuri alur
pemikiran tematik pilihannya.
Sehubungan dengan itu, secara khusus penulis menyampaikan ucapan terima
kasih kepada banyak pribadi yang telah ikut berkontribusi dalam mempersiapkan
naskah buku ini hingga naik cetak. Terima kasih disampaikan kepada mahasiswa
S-3 bimbingan saya: Sherly Novitasari, Julian Junaidi, Erni Purbiyanti yang bersama
beberapa mahasiswa S-2 banyak membantu kelengkapan naskah buku ini. Terima
kasih juga teruntuk kolega dosen (Dr. Desi Adriani; Dr. Dwi Wulan Sari; Dr.
Agustina Bidarti; Dr. Mariadi, Eka Mulyana, M.Si; dan dosen Unmura, yaitu May
Siska; M.Si; Dr. Zaini Amin) yang banyak mengilhami. Juga kepada Dian Indah Sari,
S.P. & Sarima Anggraini, S.P. diucapkan terima kasih atas bantuan mereka. Khusus
kepada Bapak Rektor Universitas Sriwijaya dan Dekan FP-Unsri, terima kasih
atas dukungan dan restu kepada penulis untuk aktif di dalam dan di luar kampus
sehingga berkesempatan menimba banyak pengalaman lapangan dan pengalaman
aktif di pemerintahan.
Mudah-mudahan atas ridho Allah Swt. teriring doa tulus keluarga saya {Ny Ir.
Reni Marsiana, S.E., ananda: Ahmad U. Kaffah, S.H., LL.M. (GL), (EL); Ph.D; dan
Baldad M. Syarifati, S.E., M.Ag. serta Chaza Siti Ikhsanza, S.Pd. dan Dianri Emas

vi Ekonomi Pertanian
Fajriah, S.P.A.}. Semoga taufiq-hidayat dan rahmat-Nya tercurah bersama nikmat
reeki dan sehat bagi kita semua. Semoga kehadiran buku ini dan beberapa seri buku
berikutnya selalu mendatangkan kebaikan kepada negeri dan bangsa Indonesia.
Aamiiin Yaa Robbal Aalamiiin!

Palembang, Mei 2023


Fachrurrozie Sjarkowi, Ph.D.

BAB 1 | Sudut Pandang Etimologis vii


[Halaman ini sengaja dikosongkan]
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
DAFTAR TABEL vi
DAFTAR GAMBAR ix
BAB 1 SUDUT PANDANG ETIMOLOGIS 2
A. Ciri Ekonomi Mendikte Alam 2
B. Cara Pertanian Merespon Pasar 7
C. Ceria Petani Menopang Negeri 11
D. Cermat Agribisnis Maju Agroindustri 14
E. Cagar Usahatani Megah Agribisnis 21

BAB 2 KONSEPSI DASAR PENAWARAN 28


A. Konsep Produksi Tunggal Komoditi 28
B. Konsep Produk Marjinal dan Biaya Marjinal 34
C. Konsep Biaya Produksi dan Laba Usahatani 38

ix
D. Konsep Perlindungan dan Elastisitas Penawaran 40
E. Konsep Penawaran Serba Waktu dan Strategi Pasar 43

BAB 3 SISI-LANJUT KONSEP PENAWARAN 48


A. Perspektif Nilai Keuntungan Semu & Tabungan Usaha 48
B. Perspektif Nilai Komoditi dan Keunggulan Produk Olahan 51
C. Perspektif Nilai Kiprah Biaya-abai dan Pilihan Keputusan 53
D. Perspektif Nilai Kelebihan Alami dan Rente Ekonomi 55
E. Perspektif Nilai Kontrak Penjualan dan Rantai Suplai 59

BAB 4. KONSEPSI DASAR PERMINTAAN 64


A. Konsepsi Pendekatan Gufaat-ordinal dan Garis Harga 64
B. Konsepsi Permintaan Konsumen dan Siasat Pasar 66
C. Konsepsi Permintaan Komoditi dan Produk Olahan 68
D. Konsepsi Perubahan dan Elastisitas Kurva Permintaan 70
E. Konsepsi Perubahan Pendapatan dan Elastisitas Permintaan 71

BAB 5 SISI-LANJUT KONSEP PERMINTAAN 78


A. Perspektif Kapasitas Pembelian dan Keragaman Belanja 78
B. Perspektif Kebutuhan Pokok dan Kecenderungan Inflasi 80
C. Perspektif Kepastian Permintaan dan Kapasitas Agroindustri 83
D. Perspektif Kehadiran Pembeli dan Kedatangan Wisatawan 86
E. Perspektif Kepadatan Penduduk dan Kadar Kemakmuran 88

BAB 6 MEKANISME PEMBENTUK HARGA 96


A. Konsepsi Harga Transaksi dan Sasaran Pasar 96
B. Konsepsi Harga Transaksi dan Marjin Pemasaran 99
C. Konsepsi Harga Transaksi dan Perubahan Kondisi Pasar 101

D. Konsepsi Harga Transaksi dan Batas Harga Minimax 106


E. Konsepsi Harga Transaksi dan Karakter Pasar 107

x Ekonomi Pertanian
BAB 7 MERAJUT KEBIJAKAN 114
A. Perspektip Kebangkitan Nafkah Warga Miskin 112
B. Perspektip Komoditi Niaga & Produk Unggulan 114
C. Perspektip Kerjasama Niaga Antar-pulau dan Ekspor 119
D. Perspektif Kepatutan Nilai Jual Lahan 121
E. Perspektif Komoditi Pangan dan Nilai Tukar Petani 123

BAB 8 LINGKUNGAN PEDESAAN 136


A. Pemberdayaan UMKM Penggerak Laju Monetisasi 134
B. Pembentukan Unit ‘BMT’ Sebagai Instrumen Pro-Investasi 136
C. Pemajuan Usahatani Produktip Berbasis Invensi & Hilirisasi 139
D. Pembinaan Unit BUKD Agribisnis Mitra BUMDes Berprestasi 149
E. Pemantapan Usahatani dan Satuan Agribisnis Non-tradisi 152

BAB 9 LINGKUNGAN PERKOTAAAN 160


A. Peran Agribisnis Kekotaan Pemacu Hilirisasi 158
B. Peran Agroindustri Rumahan Pemicu Hilirisasi 162
C. Peran Aktip PKK-Kelurahan Pemancik Hilirisasi 164
D. Peran Area SUPK-Kekotaan Penunjang Hilirisasi 166
E. Peran Aksi Petak Percontohan Ipteks Hilirisasi 167

BAB 10 BIJAK & CERMAT NIAGA 178


A. Pelaku Aneka Produksi Asalan 174
B. Pebelanja Andalan Produk Unggulan 179
C. Penjaja Asongan Promosi Murahan 185
D. Pemindai Aksi Pasar-maya Mingguan 188
E. Peniaga Antar Panen Gudangan 192

BAB 11 KUAT PERTANIAN NEGERI 202


A. Picu-pacu Agribisnis Pemakmur Nusantara 198
B. Pembangkit Agribisnis Perikanan Serba Lokasi 204
C. Penyangga Agribisnis Peternakan Tanpa Emisi 207
D. Penopang Agribisnis Bio-Energi dan Energi Limbah 211
E. Peluang Agribisnis Kepanganan Nasional 216

BAB 1 | Sudut Pandang Etimologis xi


BAB 12 KIAT SATUAN AGRIBISNIS 230
A. Memahami Dinamika Agribisnis Inovatip 226
B. Masa Depan Agribisnis Perhutanan Kerakyatan 242
C. Mengangkat Dayatangkal Terhadap Struktur Pasar 250
D. Menata Dayajual Produk Agroindustri Kreatip 254
E. Mengendalikan Desakan Apresiasi Nilai Lahan 258

BAB 13 RANCANGAN MAKRO WILAYAH 272


A. Rancangan Pertanian Berpola Kerja THIS 268
B. Rancangan Pertanian Berpadu Kawasan DAS 273
C. Rancangan Pertanian Bermisi Kesejahteraan PDK 281
D. Rancangan Pertanian Bertumpu Kiprah AMK 285
E. Rancangan Pertanian Bertaut Kondisi GIS 288

BAB 14 RANJAU MIKTO-USAHA 301


A. Niaga Terbius Covid-Londo (NTC) 296
B. Niaga Terikat Imingan-tansaksi (NTI) 300
C. Niaga Tau-sama-tau Monopolistik (NTM); 304
D. Niaga Tersalib Orang-dalam (NTO) 311
E. Niaga Terganggu Setor-tunai (NTS) 315

BAB 15 KINERJA SOSIAL EK ONOMI 324


A. Pola Kelembagaan BUKD Pengayom Petani Kecil 320
B. Pola Kemitraan SUPK Pemicu-pacu Ekonomi Desa 323
C. Pola Keberadaan BMTD Pemantik Soliditas Sosial Ekonomi 328
D. Pola Komitmen KWIM Pemacu Kemakmuran Wilayah 333
E. Pola Kerakyatan BSRP Ekonomi Daerah 337

BAB 16 SUKSES PRESTASI EKONOMI 348


A. Kelayakan Satuan Agribisnis untuk Kemakmuran Bangsa 344
B. Kemajuan Agroindustri untuk Kejayaan Negeri 351
C. Kemapanan Ekonomi untuk Kedaulatan NKRI 354
D. Kekuatan Sinergi Agribisnis untuk Kemapanan Nusantara 359
E. Kehandalan Sebaran Agribisnis untuk Kedaulatan NKRI 363

xii Ekonomi Pertanian


BAB 17 BEBERAPA KONSEP TERAPAN 374
A. Konsepsi Dasar Analisis Kelayakan Investasi 370
B. Model Pendeteksi Kearifan Lokal Berpoles Ipteks 391
C. Konsepsi Dasar Analisis Hitung Skala Usaha Komersil 397
D. Konsepsi Dasar Jerat Intimidasi Bisnis 408
E. Membangun Pertanian Berwawasan Sistem Agribisnis 418

BAB 18 ANTISIPASI KEMAJUAN 440


A. Ketepatan Arah Kemajuan Agribisnis Negeri 436
B. Kelitbangan Sebagai Kunci kemajuan agribisnis 443
C. Keanekaan Pola Kajian Agribisnis Lainnya 452
D. Kajian Kasus Penyimpangan Kiprah Agribisnis 459
E. Keunikan Pembangunan Ekonomi Kerakyatan 463

DAFTAR PUSTAKA 477


LAMPIRAN 483
INDEKS 513
BIODATA PENULIS

Ketulusan mengabdi adalah bukti ‘kau patriot bangsa & negara’ ! Kejujuran
menata adalah barometer bagi drajat pengabdian itu ? Keikhlasan memu-
lai kerja tanpa gerutu,saksi penopang jujur mu! Karena itu yakinilah.. pesan
QS58:11 .. resep jitu abdi-negri sejati.

(Fachrurrozie Sjarkowi, 2021)

Daftar Isi xiii


[Halaman ini sengaja dikosongkan]
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Ciri Satuan Usahatani Berbeda dari Satuan Agribisnis 17


Tabel 2. Ilustrasi Sasaran Prestasi Fisik Biaya Produk 35
Tabel 3. Siasat Antisipasi Suplai Pangan Daerah Pengatur Stategi
Kedaulatan Pangan Bangsa 76
Tabel 4. Harga beras di Pasar Tradisional Daerah Lumbung
& Non-Lumbung Pangan 83
Tabel 5. Perubahan Nilai Komoditi Diolah Jadi Produk Tertentu 117
Tabel 6. Kadar NTP Tanaman Pangan Nusantara 128
Tabel 7. Perbandingan Harga Jual Karet dan Harga Beli Beras
Sumatera Selatan 129
Tabel 8. Hitung NTP Tipe-3 pada 3-Tahun Berbeda 131
Tabel 9. Rancangan Kombinasi Cabang Usaha Peduli Lingkungan 217
Tabel 10. Kandungan Hara Makro, Kotoran Padat
& Cair Hewan Ruminansia 219
Tabel 11. Sasaran Riset Potensial Penunjang Inovasi Ekonomi Sumsel 246
Tabel 12. SUPK Sasaran Kelola Kawasan Hutan 250

xv
Tabel 13. Kelompok Negeri Sasaran Ekspor Produk Kreatip 263
Tabel 14. Prilaku dan Kinerja Pasar Bilateral Monopolistik 314
Tabel 15. Komposisi Pertanaman kayu Sebagai Area Hutan Tanaman untuk
Berbagai Tipe Satuan Usaha Pertanian 334
Tabel 16. Lingkup Sasaran Manajemen Strategi Kebijakan Agribisnis 349
Tabel 17. Rumus Hitung ‘Nilai Kini (PV)’ dan ‘Nilai Ke Depan (FV)’
dari Suatu Arus Nilai Tertentu Runtun Terjadi Selama ‘n’ Tahun 354
Tabel 18. Hitung Nilai Kini dari Arus Uang Tunai Bersih 384
Tabel 19. Hitung Nilai Kini dari Anuitas Sebesar A Selama ‘n’ Tahun 385
Tabel 20. Pola Parsial dan Mandiri 392
Tabel 21. Matrik ISEPSA Pelacak Kearifan Lokal ‘Keaktivan Warga 396
Tabel 22. Matrik ‘Anti-Insepsi’ Pelacak Bentuk Toleransi dan Keintiman
Pemukim Wilayah Kumuh Ke Kotaan 398
Tabel 23. Rerata Indeks Rasio Warga/Wilayah di Pulau Besar Nusantara 467

xvi Ekonomi Pertanian


DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1. Ilustrasi Proses Fotosintesis Pada Petumbuhan &Tanaman 4


Gambar 1.2. Contoh Kondisi Satuan Usahatani Vs Satuan Agribisnis 7
Gambar 2.1. Kurva Produksi 3-Tahap 30
Gambar 2.2. Kurva Produksi Y, Produksi Marjinal Dan Produksi
Rata-Rata 13
Gambar 2.3. A. B. C. Kurva Tekno-Produksi & Biaya Produksi 32
Gambar 2.4. A. Kurva Biaya Marjinal, Biaya Rerata (Br), Biaya
Variabel Rerata (Bvr), Biaya Tetap Rerata (Btr) 34
Gambar 2.4. B. Kurva Suplai (Penawaran) Esensinya Adalah Kurva
Bm di Atas Kurva Bvr 34
Gambar 2.5. Tingkat Laba Total Jadi Maksimal Pada Tingkat Harga
Hy dan Quantitas Qy 36
Gambar 2.6. Suplai Komoditi Perorangan Jadi Suplai Pasar
(Komoditi Ditawarkan 3-Individu Q1 + Q2 + Q3 = Q
Sebagai Quantitas Di Tawarkan Pasar) 38
Gambar 2.7. Implikasi Harga Komoditi Akibat Perbedaan
Elastisitas Suplai 42

xvii
Gambar 3.1. Rante Ekonomi Dikmati Perusahaan Karena Punya
Keunggulan Teknis Alami, Kadang Juga Unggal
Manajerial Dibandingkan Perusahaan Lainnya 43
Gambar 3.2. Komoditi Tani Berupa Bahan Segar Punya Kelemahan 7c,
Maka Perlu Olah Iptek-Inovatip Jadi Produk
Berciri 7j Kuat Pemasaran 62
Gambar 4.1. Ilustrasi Konsep Gufaat Ordinal, Garis Harga,
Kurva Permintaan 66
Gambar 4.2. Ilustrasi 3- kurva deman perorangan menjadi
permintaan pasar 67
Gambar 4.3. Kurva Deman Beda Kemiringan (Elastisitas) Merespon
Suatu Kekuatan Panen Penggeser Sulai Sa, A Besar
(Smp-Sgp) 71
Gambar 5.1. Teorema Perangkap Multhusia 91
Gambar 6.1. Kelola Jaringan Niaga Pemasaran Aneka Prukab:
Peran-Aktifkan Program Kepariwisaaan Pemacu
Produk Inovatif & Hasil Indutri Kreatif 98
Gambar 6.2. Harga Komoditi Di Tingkat Produsen & Konsumen
Dan Nilai Marjin Pemasaran 100
Gambar 6.3. Transaksi Saat Suplai Berlimpah; Misal Di Masa
Panen Raya 103
Gambar 6.4. Transaksi Saat Suplai Terjadi Jeblok; Misalnya Di
Masa Hpt Mewabah 104
Gambar 6.5. Transaksi Saat Permintaan Meroket;
Misal Saat Asean Games-18 105
Gambar 6.6. Transaksi Saat Deman Menurun; Misalnya Akibat
Pandemi Covid19 106
Gambar 6.7. Harga Komoditi Di Tingkat Produsen & Konsumen Dan
Nilai Marjin Pemasran 109
Gambar 7.1. Tingkat Pendapatan Rendah Sekitar Garis Kemiskinan 116
Gambar 7.2. Contoh Rantai Paspk Olahan Tekno-Inovatip 120
Gambar 7.3 Perbandingan Harga Jual Karet Dan Harga Beli Besar
Sumatera Selatan 129
Gambar 7.4. Perbandingan Fluktuasi Harga Karet Dan Sawit
Tahun 2011-2023 130

xviii Ekonomi Pertanian


Gambar 8.1. Stategi Pembangunan Berbasis Sda Penguat
Ekonomi Fundanmental 134
Gambar 8.2. Gerakan Ekonomi Kerakyatan untuk kebaikan semua 155
Gambar 9.1. Tiga Jalur Komoditi Utama Dan Rantai Kelembagaan
Agroindustri Kehutanan 174
Gambar 10.1. Beberapa Alternatip Saluran Pemasaran
Berpeluang Terjadi Dan Dialami Umkm-Agribisnis 179
Gambar 10.2. Terap-Guna Ipteks-Inovatif Oleh Umkm Agribisnis
Patut Dipacu 184
Gambar 10.3. Beberapa Alternatip Saluran Pemasaran Berpeluang Terjadi
Di Pilih Umkm-Agribisnis 186
Gambar 10.4. Strategi Bauran Pemasaran Berpola ‘4p Setiap Upaya Inovasi
Dan Kreasi Ada Tambahan Biaya Produksi Tapi akan Selalu
Ada Nilai Tambah Berkat Strategi Bauran Strategi
Bauran Pemasaran 191
Gambar 10 5. Strategi Bauran Pemasaran Pola 4p & 7
Serangkai 193
Gambar 10.6. Ilustrasi Peran Gudang Menopang Suplai Kebutuhan Bahan
Produk Olahan Guna Memenuhi Pasaran Pasar 198
Gambar 10.7. Manajemen Pemasaran & Pangsa Pasar 199
Gambar 11.1. Pola Agrotrisula Dan Aneka Potensi Niaga Terpadu 209
Gambar 11.2. Lalat Buah Bisa Produksi Magoot Sumber Protein 213
Gambar 11.3. Pola Perlindungan Terhadap Emisi Ekologis-Ekonomis 214
Gambar 11.4. Contoh Pola Produksi Terpadu Tanpa Buangan 216
Gambar 11.5. Sistem Peringan Dini, Spd-Kepanganan Kota 225
Gambar 12.1. Tahapan Proses Inovasi Cepat Berpola-Dpin 235
Gambar 12.2. Inovasi Berpola Cermat-Spin 237
Gambar 12.3. Pemda Fasilitator Inovasi & Hilirisasi Pertanian 242
Gambar 12.4. Konsepsi ‘Ancaman Mulut Buaya’ 269
Gambar 13.1. Perencanaan Adalah ‘Berfikir Stategis Sebelum Berbuat’ 273
Gambar 13.2. Sistem Lingkungan Hulu Atau Das Atas Harus Terjaga
Lestari Hingga Lingungan Das-Hilir 278
Gambar 13.3. Perlu Pengalaman “Mutu-Gungsi-Potensi- Atribut”
Ekosistem & Agro-Ekosistem Das-Hulu, Das-Tengah,
Das-Hilir 282

Daftar Gambar xix


Gambar 13.4. Fungsi Hidro-Orologis Selaku Determinan Qqa-Air Di
Lingkungan Das-Musi Tampak Terdegradasi Dari A 294
Gambar 13.5a. Efek Gagal Panen (Ha) Dibarengi Respon Demam
Berjaga-Jaga 295
Gambar 13.5b. Efek Pertambahan Luas (Ha) Terhadap Kejatuhan Harga
Komoditi 295
Gambar 14.1. Proses Fisiologis Alami Pada Tumbuh- Tumbuhan 309
Gambar 14.2. Bokar Dipikul Petani Dan Keadaan Gudang Lelang 312
Gambar 15.1. Ekonomi Rumah Tangga Pelaku Usahatani 326
Gambar 15.2. Sistem Lingungan Sosial Ekonomi Budaya 327
Gambar 15.3. Lingkup Konsepsional Dan Bahasan Ekonomi
Pertanian Nusantara 328
Gambar 15.4. Membaca Potensi Komoditi Andalan
Daerah Bermula Dari Proses Monetisasi Desa Melalui
Pendekatan Bina Klaster Pertanaman 330
Gambar 5.5. Terap-Guna Metode Par & Pra 338
Gambar 15.6. Terap-guna Metode PAR (Participatory Action Research)
dan PRA (Participatory Rural Appraisal) sebagai
Socio-Entropy Controlling Interface (SECI) 345
Gambar 16.1. Sistematika Gerakan Inovasi Dunia Usaha
Maju Sejahtera 356
Gambar 16.2. Peran Sda, Transpormasi Nilai, Sasaran Perdanaan Neger 361
Gambar 16.3. Resep A.3. Gaya-Enterprener bisa memanfaatkan
informasi kondisional agribisnis melengkapi Menejemen
Resiko Demi Keberuntungan 368
Gambar 16.4. Pendekatan Terpadu Koordinatip Pembinaan Kelompok
Petani Kecil jadi Pemasok Satuan Agroindustri 372
Gambar 17.1a. Gugus Aset Peponjen 377
Gambar 17.1b. Gugus Kesempatan Produktip 377
Gambar 17.2. Gugus Kesempatan Komesial Lewati Layanan Pasar Dana
Pinjaman Pemacu Investasi 379
Gambar 17.3. Gugus Kesempatan Raih Laba Senilai D Sebagai Capaian
Sukses Melakukan Investasi 381
Gambar 17.4. Penentu Luas Lahan Dan Skala Usaha Agribisnis 420

xx Ekonomi Pertanian
Gambar 17.5. Gaya Negosiasi Transaksi Antara Pihak Monopsoni
Dan Pisahk Monopoli 427
Gambar 17.6. Ilustrasi Logika Transaksi Bilateral Monopolistik Memicu
Sedikit Penyimpangan Oknum Negosiator Transaksi 429
Gambar 17.7. Pola Kajian Sosio-Enstropik Terkait Rancagan Teknis
Bio-Geofisik Menjurus Pada Kemitraan
Agribisnis Berkelanjutan 431
Gambar 17.8. Ilustrasi Perubahan Ekosistem (Atas)
Jadi Agro-Ekosistem (Bawah) 432
Gambar 17.9. Satuan Agribisnis Wanatani Dan
Bertahan Aneka Pangan 434
Gambar 17.10. Ipteks Agribisnis Mempermudah Warga Mendaya-Gunakan
4- Kategori Sda Dan Memperkuat
Ekonomi Fundanmental Daerah 436
Gambar 17.11. Kinerja Agribisnis Terpadu Lintas Kelembagaan 438
Gambar 18.1a. Pelacak Masalah Agribisnis 453
Gambar 18.1b. Metode BEGFI-GAFETA 453
Gambar 18.2. Metode EBDA-FENOBA 455
Gambar 18.3. Perancangan Terpadu Sistematis Memacu Pembinaan
Agribisnis Kerakyatan dalam Kerangka
Berubah dari Pola Usahatani-KCT 480

Daftar Gambar xxi


[Halaman ini sengaja dikosongkan]
1
BAB

SUDUT PANDANG ETIMOLOGIS

1.1 Cara Ekonomi Mendikte Alam


1.2 Ciri Pertanian Merespons Pasar
1.3 Ceria Petani Menopang Negeri
1.4 Cermat Agribisnis Maju Agroindustri
1.5 Cagar Usahatani Megah Agribisnis

Ekonomi Pertanian: Perspektif Etimologis


Secara etimologis atau ilmu bahasa tentang ragam makna peristilahan, kata
EKONOMI dan PERTANIAN, serta setiap istilah utama di antara keduanya sudah
sepatutnya dipahami terlebih dulu. Dalam konteks sasaran dan bahasan buku ini,
kata ‘ekonomi’ tentu terkait erat dengan istilah bisnis untuk aneka hasil pertanian
dan produk turunannya. Jadi, kegiatan ekonomi di sini meliputi pola usaha pra-
agribisnis (usahatani gaya lama), maupun yang sudah jadi satuan usaha agribisnis.
Kedua pola tersebut tentu terkait konsep ‘kesejahteraan’ para pihak yang ikut
berperan-aktif di sisi produksi hingga konsumsi.
Bagi kaum tani dan para buruh tani, termasuk unsur warga yang ikut dalam
proses kelangsungan transaksi bisnis melalui keaktifan usaha, pastilah kinerja

1
ekonomi dan kadar kesejahteraan itu jadi amat perlu terukur. Sungguh pun keduanya
tidak lagi asing dalam pemikiran, juga selalu jadi target upaya di tengah keseharian
hidup yang harus dijalani dari waktu ke waktu. Capaian kerja tentu sangat ditentukan
oleh kadar kerja dan kinerja yang semakin tergantung pada keberadaan pasar juga
mekanisme penawaran permintaan pada setiap mata rantai suplai komoditi dan
bahkan produk turunan terkait.
Jadi, istilah pertanian sudah biasa dipahami begitu luas cakupannya, yakni
meliputi tiga kelompok usaha hasil bumi, yaitu sebagai berikut.
1. Pertanaman hortikultura sayur-buah, tanaman pangan pokok, tanaman berdaur
produksi tahunan, dan sebenarnya juga termasuk usaha hutan tanaman
industri serta satuan usaha perhutanan sosial (dijumpai di kawasan lindung
dan konservasi yang rusak).
2. Peternakan unggas, ternak kaki empat, bahkan hewan eksotis, yang di zaman
kemajuan ini harus diusahakan selalu serba sehat di media produksi yang
beraneka.
3. Perikanan tambak pada media perairan asli (di danau, rawa-lebak, sungai,
dan wilayah pesisir) serta di tambak artifisial yang mulai hadir di perdesaan
yang tidak banyak memiliki mata air dan terbatas QQA (Quantity, Quality, and
Availability) persediaan air.

Dewasa ini, berkat adanya kemajuan iptek, telah pula berkembang pola
usahatani AGROTRISULA yang mempertautkan ketiga kelompok kegiatan produktif
itu dalam suatu tapak usaha pertanian secara terpadu serta tanpa buangan (zero
waste technology). Tidak dapat dipungkiri bahwa jenis kegiatan produksi pertanian
hingga kini masih sangat tergantung pada sifat KEMURAHAN alam. Padahal alam
yang ramah terhadap kegiatan produksi pada nyatanya sangat tergantung pada ciri
perbuatan bijak manusia ekonomi. Jika sudah berwawasan lingkungan, kinerja
ekonomi akan mengukir KERAMAHAN alam; jika serakah, terjadilah aneka bentuk
KEMARAHAN alam.

1.1 Ciri Ekonomi Mendikte Alam


Sebutan Ekonomi berasal dari bahasa Yunani, terdiri dari dua suku kata, yakni oikos
(rumah tangga) dan nomos (pengaturan). Jadi, ‘ekonomi’ bermakna pengaturan
kebutuhan hidup rumah tangga atau manajemen rumah tangga. Lalu dipertanyakan,
mengapa kebutuhan hidup keluarga harus diatur? Jawabannya karena sumber
pemuas kebutuhan itu terbatas (mengingat “Bumi Hanya Satu”). Sebaliknya,
kebutuhan hidup ideal, bahkan yang minimal tidak serta-merta dapat dipenuhi
dengan leluasa, ini dikarenakan jumlah kebutuhan pribadi dan publik kadang

2 Ekonomi Pertanian
berkembang di luar kendali. Apalagi jika jumlah total penduduk suatu wilayah
terus bertambah dari waktu ke waktu karena beranak pinak sebagaimana kodrat
biologis manusia.
Sementara itu pula, pepatah lama mengatakan ‘ada gula ada semut’ maka selalu
ada gerak perpindahan manusia (migrasi) dari suatu wilayah yang serba terbatas
potensi alamnya, menuju ke wilayah yang kaya SDA (sumber daya alam). Jadi, wajar
jika lebih sedikit jumlah penduduk (per-Km persegi) di suatu wilayah yang miskin
potensi alam dibanding penduduk di wilayah kaya SDA. Dua wilayah dengan potensi
alam berbeda tentu akan ditandai tekanan penduduk berbeda terhadap SDA selaku
sumber materi dan energi pemuas kebutuhan manusia. Semakin tinggi tekanan
penduduk maka perilaku rebutan bentang hutan untuk dijadikan lahan garapan akan
semakin kasar ditandai aneka bentuk keserakahan dan bisa berujung konflik sosial.
Tentu saja, hampir tidak ada yang gratis apa pun materi dan energi yang tersedia
untuk dimanfaatkan dari suatu ruang bentang alam itu. Setiap kali ada kebutuhan
manusia yang harus didapatkannya dari alam, pasti butuh upaya dan biaya, terkecuali
sinar matahari dan udara bersih di wilayah tropis yang selalu tampak menghijau
bersama perairan hijau membiru. Setiap jenis kepentingan hidup manusia yang harus
tersedia secara teratur dalam jumlah dan mutu maupun waktunya, pastilah perlu
didahului dengan upaya yang akan selalu membutuhkan energi dan berimplikasi
biaya.
Adalah juga akal sehat manusia yang senantiasa mengarahkan agar biaya dan
aneka pengorbanan lain se-sedikit mungkin (minimal) guna meraih sejumlah
tertentu bahan kebutuhan hidup sewajarnya selama jangka waktu tertentu. Arah
demikian itu menuntut pertimbangan logis dan perilaku etis untuk dihadirkan
guna mengatur kebutuhan rumah tangga. Gejala perilaku dan sikap inilah yang
sesungguhnya memotori kekuatan ekonomi mengatur alam.
Kekuatan ekonomi akan menghidupkan mesin-mesin produksi yang pada
intinya akan memacu gerak produktif dan langkah aktif manusia ekonomi guna
menghadirkan bahan kebutuhan warga dengan cara mendikte alam, khususnya
bentangan agroekosistem untuk kegiatan produksi pertanian. Bicara tentang
produksi pertanian di tingkat primer, berarti berbincang tentang aksi cipta gufaat
(guna-manfaat = utility) yang bertumpu pada proses fotosintesis secara biokimiawi,
yang bisa diilustrasikan seperti pada Gambar 1.1 berikut.

BAB 1 | Sudut Pandang Etimologis 3


Catatan untuk
penulis:
Gambar
tyidak ada di
word, mohon
cantumkan
gambar yang
dimaksud

Gambar 1.1 Ilustrasi Proses Fotosintesis pada Tetumbuhan dan Tanaman

Gambar 1.1 dalam perspektif ekonomi sesungguhnya mengingatkan bahwa


produksi tanaman secara alami tergantung pada musim. Bila musim hujan, air
tersedia banyak, sinar matahari terpancar agak berkurang intensitasnya. Begitu
juga gas karbon dioksida tetap banyak tersedia selagi ada kehidupan dan kegiatan
perombakan gufaat material lewat pendayagunaan gas oksigen (O2), kemudian
dilepas gas karbon dioksida (CO2). Dari sini muncul argumentasi logis atas judul
subbab 1.1 ini, yaitu jika dipertanyakan bagaimana bisa “ekonomi mengatur alam”?
Pengertian konsepsional ini harus dipahami oleh tiap pengelola wilayah demi
mengendalikan arus gerak dari proses ekonomi dan tekanan penduduk yang cenderung
memanfaatkan potensi alam. Hal-hal terkait yang tidak penuh dipahami tentu bisa
merugikan masa depan kehidupan bersama. Manusia bisa jadi lupa daratan di tengah
aneka rupa persaingan ekonomi, lalu salah langkah dan kurang bijak cara tindaknya
meskipun upayanya berlabel kepentingan membangun kesejahteraan ekonomi rakyat.
Diakui atau tidak, kepentingan ekonomi memang akan selalu mengatur alam yang jadi
tempat sarana hidup manusia, maka sudah seyogianya tampil ekonomi yang cantik.
Berbicara tentang kegiatan produksi pertanian di tingkat primer, berarti
berbincang tentang aksi cipta gufaat (guna-manfaat = utility) yang bertumpu pada
proses fotosintesis secara biokimiawi. Hal ini telah dibahas dan diberi ilustrasi
seperti pada Gambar 1.1 yang disajikan sebelum ini. Dalam perspektif pertanian,
fotosintesis itu mengingatkan beberapa hal teknis, yakni sebagai berikut.
1. Bahwa produksi tanaman secara alami tergantung pada musim, yakni bila
musim hujan, banyak awan hitam dan hujan menghalangi cahaya, tetapi pada
musim kering justru sinar matahari terpancar lebih banyak.

4 Ekonomi Pertanian
2. Bahwa gas karbon dioksida pasti selalu tersedia selagi ada kehidupan yang
merombak gufaat materi, yakni dengan mendayagunakan gas oksigen (O2),
lalu melepas gas karbon dioksida (CO2) sebagai buangan respirasi.
3. Bahwa keberadaan hijauan pada kulit bumi amat penting, karena semakin
meluas tutupan hijau daun, proses fotosintesis pun banyak berlangsung, dan
makin tersebar perakaran tumbuhan, semakin baik siklus air dalam putaran
waktu.

Menyadari adanya tiga fakta ini, tentu diperoleh pengertian tentang adanya
variasi atau turun naik hasil produksi menurut musim hujan (MH) dan musim kering
(MK). Jika hasil pertanaman hanya menuruti ketentuan dan kehendak alam, berarti
suatu jenis komoditi tidak bisa disuplai secara kontinu akibat panen tidak runtun
berjarak waktu pendek sebelum tiba waktu panen berikut secara berkelanjutan.
Tidak selalu bisa panen teratur setiap dua hari (seperti pada sadap karet) atau setiap
minggu (seperti bunga anggrek) atau setiap bulan diatur jadi tiap minggu (panen
pucuk daun Kumis Kucing untuk disuling jadi minyak atsiri). Padahal keberaturan
panen amat penting jika ada pesanan kontrak bahan baku suatu pabrik industri yang
tentu butuh kepastian jumlah barangnya dan selalu tepat waktu.
Salah kelola bisa saja terjadi hanya karena kekhawatiran manusiawi berlebihan,
lalu terjadilah rebutan kesempatan ‘siapa cepat dia mendapat; atau bahkan
persaingan pengaruh lewat strategi kolusi, koalisi, dan intimidasi. Padahal cara
kerja dan berkinerja harus selalu penuh kepedulian pada keserasian antara kebutuhan
hidup dan potensi materi SDA selaku pemuas kebutuhan. Cara ini harus selalu
dikedepankan, agar alam pun punya kesempatan mengatur diri untuk senantiasa
siap tanggap pada kebutuhan warga yang kiranya selalu memberi perhatian baik
dan positif kepada alam itu dari waktu ke waktu, dan dari generasi ke generasi.
Lebih dari pada itu, tindakan apik demikian jadi cerminan pengelolaan SDA yang
ditegakkan atas rasa syukur kepada Tuhan YME yang telah menyediakan segala
sesuatunya bagi manusia hamba-Nya.
Jadi, sesungguhnya manusia selalu dituntut untuk berupaya dengan etika yang
selaras dengan norma ketuhanan Yang Maha Pencipta, tapi cakap pula mengatur
biaya pengorbanannya dengan dasar logika ilmu pengetahuan agar selalu hemat
materi-energi-ruang. Alam selalu perlu waktu untuk bereaksi dengan baik dan
secara alami memulihkan kondisinya, sehingga layanan alam itu akan selalu sehat
berkelanjutan. Sementara itu, jumlah manusia yang kian bertambah, tentu akan
selalu terpacu untuk menyentuh dan menggerayangi lingkungan alam sekitarnya
demi mendapatkan kebutuhan hidup mereka. Kecenderungan untuk bertindak
serakah akan selalu ada untuk berhadapan dengan kesadaran untuk berbuat adil
dan arif bijaksana.

BAB 1 | Sudut Pandang Etimologis 5


Bersamaan dengan itu, kemampuan SDM yang terus meningkat berkat adanya
iptek bersama ciri positif dan negatifnya, patutlah selalu dikawal oleh manusia
berakhlak. Mereka adalah SDM pembangunan yang sepatutnya selalu menyadari
bahwa asal pribadi manusia dijadikan oleh Tuhan Yang Maha Pencipta adalah dari
tanah. Setiap individu SDM seyogianya merupakan sosok pemimpin dan pemakmur
bumi, yang karenanya mereka harus konsisten untuk selalu bersikap dan berperilaku
sebagai pembawa rahmat bagi alam semesta. Demikian patokan etika manusia
pembangunan dalam mengisi kepentingan ekonominya.
Dengan begitu, sangatlah wajar jika manusia ekonomi di suatu wilayah
administrasi pemerintahan sengaja diarahkan agar selalu efektif dan efisien berbuat,
demi capaian ekonomi optimal; dan itu bisa terjadi pada mata rantai suplai pertama
di lokasi persil lahan yang sedang digarapnya. Mata rantai terawal ini seyogianya
terhubung ke mata rantai tingkat kedua, yang idealnya tetap mengandung peran dan
saham para petani. Saham berupa investasi yang menggunakan dana yang berasal
dari prestasi kemitraan sesama para petani yang bergabung secara melembaga di
tingkat produksi primer.
Akan tetapi, untuk agroindustri bermodal investasi mahal, kiranya mata rantai
bisnis ini perlu modal bersama dari kemitraan petani yang sengaja bergabung
melembaga, misalnya koperasi atau BUKD (Badan Kemitraan di Desa) atau bahkan
BUMDes (UU No. 6 Tahun 2014). Tanpa itu, hanya seporsi nilai tambah saja yang
bisa diraih petani, yakni lewat industri rumahan saja. Jika kelahiran BUKD itu
didorong Pemda dan LSM-profesional bersama konsultan ahli, tenaga SDM yang
ditugasi benar-benar konsisten bertugas. Para pembina harus perhatikan nasib
petani agar nilai laba benar-benar jadi milik petani dan porsi nilai tambah mengalir
dari mata rantai agroindustri sudah mulai masuk desa.
Sebagai satuan UMKM, agroindustri primer yang langsung dimiliki dan
ditopang oleh sejumlah petani selaku penghasil bahan bakunya, maka terbuka
jalan mulus untuk menghadirkan laba dan nilai tambah sepenuhnya kepada petani.
Lebih baik lagi jika dari agroindustri primer terhubung lebih lanjut ke perusahaan
penghasil produk setengah jadi (agroindustri sekunder), lalu terus ke mata rantai
ketiga untuk produk siap pakai untuk masuk ke pasar konsumen. Keadaan yang
semakin jelas keterkaitan antarmata rantai agroindustrinya hingga ke tingkat
konsumen (atau tingkat siap ekspor), dengan sendirinya memperjelas tuntutan dan
tekanan ketersediaan serta kepastian jadwal bahan baku. Demikian perkembangan
permintaan pasar akan mendikte agroekosistem atau bahkan bentang alam yang
juga dikenal dengan sebutan ekosistem lindung.

6 Ekonomi Pertanian
Satuan Usahatani Kecil Tradi- Satuan Usaha Agribisnis
sional, 0.75Ha = 1 Bahu Nenas 3 x 5.000Ha

Para petani kecil dari klaster yang sama bisa membentuk


satuan agribisnis BUKD (Badan Usaha Kemitraan di Desa),
yang dijadikan sebagai tangan aktif BUMDes.

Gambar 1.2 Contoh Kondisi Satuan Usahatani vs Satuan Agribisnis

Dapatlah kini dibayangkan mengapa perilaku kedua pihak, yaitu manusia dan
alam lingkungan, tidak boleh berjalan tanpa arah yang tepat (efektif) dan hemat
(efisien). Intervensi ilmu ekonomi normatif (ekonomi kesejahteraan) mengarahkan
perilaku etis terhadap alam. Lalu ilmu ekonomi (mikro dan makro) dan ilmu
manajemen agribisnis jadi pengatur serta penyedia kebutuhan rumah tangga.
Kombinasi iptek ini harus bersifat menggugah etika berwawasan lingkungan pada
para pelaku agribisnis dan pembangunan pertanian pada umumnya. Untuk hal
terakhir ini, ilmu pembangunan berwawasan lingkungan dan berkelanjutan dapat
diperkaya dengan rumus bijak yang banyak dibahas dalam ilmu ekonomi SDA
lingkungan.

1.2 Cara Pertanian Merespons Pasar


Kegiatan pertanian dalam perspektif sejarah (Rohrer dan Douglas, 1969)1 maupun
realita di seputar Nusantara sungguh bisa tampak dalam dua corak, yakni usahatani
subsistens dan perusahaan agribisnis komersial. Usahatani yang subsistens bermakna
upaya dan usaha penafkahan keluarga di bidang pertanian yang ditujukan untuk
sekadar memenuhi kebutuhan rumah tangga petani apa adanya. Ini berarti berapa
pun yang diberikan alam, akan diterima oleh pelaku usahatani dalam mencukupkan
kebutuhan keluarga. Sikap hidup demikian bisa hadir karena tiga sebab berikut.
1. Pengaruh adat istiadat masih menandai kehidupan warga sehingga tradisi tani
berbasis kebiasaan.

Rohrer, W.C. and L.H. Douglas, 1969. The Agrarian Transition in America. The Bobbs and
1

Merrill Company, Inc. New York.

BAB 1 | Sudut Pandang Etimologis 7


2. Peran kesuburan lahan dan kemurahan alam memang masih mendukung cara
usaha tak serakah.
3. Perangkat teknis berbasis iptek masih belum menjangkau kehidupan usaha
warga pedesaan.

Sebaliknya, satuan usaha pertanian komersial (agribisnis, demikian istilah


kerennya) adalah pola berusaha pertanian yang dipengaruhi dua kondisi nyata di
setiap pojok Nusantara, yakni terkait tindakan manusia dan perilaku alam. Keduanya
tentang konsumsi dan produksi, yaitu:
1. perubahan perilaku konsumen yang kian gerah dan gencar mengisyaratkan
permintaan komoditi segar serta produk olahan sesuai quantity, quality, dan
availability; tepat mutu, tepat jumlah, serta tepat tempat dan tepat waktu
seketika dibutuhkan; dan pada sisi lainnya
2. perubahan fungsi penyangga siklus air (fungsi hidro-orologis) yang kian
nyata, menurunkan mutu kesuburan lahan akibat keseimbangan lingkungan
alami semakin cacat mengiringi rusaknya ekosistem lindung dan kacaunya
tatanan kegiatan pelaku pertanian pada bentang agroekosistem.

Dari akibat perubahan itu pula, maka interaksi manusia terhadap lingkungan
alami kian mengkhawatirkan akan merugikan semua pihak, dan persoalannya
semakin merepotkan untuk bisa segera dibenahi. Bersamaan dengan itu pula,
kebutuhan akan strategi manajemen berusahatani yang lebih berwawasan bisnis
dan lebih tinggi produktivitas serta bernas keuntungannya tentu akan semakin
dirasakan oleh para pelaku usahatani yang tertinggal.
Bertolak dari keadaan tradisional dan berskala kecil, maka perbaikan kapasitas
teknis dan komersial yang ditawarkan kepada para pelaku usahatani dapat dipastikan
akan cepat direspons warga, asalkan memang dibina hingga tingkat pemasaran.2
Proses maju lewat paket program pemberdayaan, akan tampil nyata berupa kenaikan
produksi per-Ha dan biaya produksi rata-rata tiap Kg, jadi terbilang murah berkat
adanya lima muatan bisnis komersial yang mulai diterapgunakan. Kelima muatan
ini adalah: (1) teknologi; (2) manajemen, (3) wirausaha, (4) kearifan lokal, dan (5)
etika bisnis berwawasan lingkungan harus terjadi serta kelihatan nyata pada tapak
produksi, bersama tiga ciri utama berikut.
1. Selalu berorientasi pada kehendak pasar, yakni mengutamakan kepedulian pada
‘konsumen sebagai raja’.

2
Produktivitas = “Produksi per-Hektar”, suatu ukuran seberapa tingginya kinerja
pengelolaan tekno-agronomis suatu persil lahan garapan petani atau pengusaha agribisnis.

8 Ekonomi Pertanian
2. Selalu berupaya mengatur strategi produksi dan pemasaran dengan acuan
standar manajemen bisnis.
3. Selalu tanggap terhadap perkembangan iptek pemicu pacu inovasi-kreasi-presisi
hasil produksi yang diterima pasar.

Inovasi diperlukan oleh setiap usaha komersial, karena pada prinsipnya suatu
usaha (pertanian) yang baik harus selalu meningkatkan produktivitas (jumlah
produksi per-Ha; atau tinggi kadar rendemen bahan inti dari bahan baku per-Ton)
agar senantiasa siap menjawab tantangan pasar. Hanya dengan cara demikian, maka
dua sasaran dicapai sekaligus oleh perusahaan agribisnis, yaitu “cermat-hemat
SDA” dan juga “rendah harga pokok”. Dua hal yang jadi mudah dicapai berkat
inovasi yang juga menjanjikan kadar laba.
Kreasi hakikatnya memiliki dua corak orientasi perlakuan pelaku usaha untuk
menambah sandaran komoditi yang tidak hanya lebih menguntungkan, melainkan
juga akan menaikkan peluang keselamatan usaha, yaitu: (1) multi-komoditi untuk
memperkecil risiko usahatani,3 lalu ada strategi manajemen maka suatu komoditi
utama selalu didampingi komoditi sampingan yang bersifat pengaman bagi yang
utama; dan (2) multifungsi limbah usahatani, khususnya berupa buangan dari proses
produksi komoditi dan berupa limbah pasca-peremajaan tanaman semisal potongan
pohon sawit yang direbahkan4 yang tak patut hanya dianggap sampah tak berharga.
Presisi adalah ketepatan, yakni tepat jumlah, tepat mutu, dan tepat waktu
dalam hal hasil produksi, terutama jika hal itu terkait kontrak jual beli dengan pihak
agroindustri yang sangat menuntut kepastian bahan baku. Setiap hasil produksi
pada usaha primer di lapangan harus disuplai secara tepat mutu dan ukuran kepada
satuan usaha pada mata rantai pengguna berikutnya guna menghasilkan produk
olahan baru, dan seterusnya hingga disuplai sampai kepada konsumen akhir sesuai
prasyarat yang telah ditetapkan. Isyarat dari satuan usaha agroindustri pada mata
rantai kedua pun sulit untuk dipenuhi pelaku usahatani, sebelum berubah jadi pelaku
unit agribisnis komersial setelah sukses pembinaan. Tanpa pembinaan, tidak ada
cara bagi para pelaku usahatani untuk keluar dari kerangkeng ketertinggalan yang
membatasi proses cantik meraih kemajuan usaha secara mandiri.
Dapat dipahami bahwa tiga tepat (inovasi-kreasi-presisi) tadi amat terkait
dengan perilaku alam yang tidak dapat diperkirakan secara sempurna lewat
kemampuan tradisional. Akan tetapi, ketika unsur bisnis sudah merasuk dan

3
Multi-komoditi, misalnya: pada sebidang lahan kebun kelapa sawit balita, bisa ditanam
tanaman jagung dan ketela, dan jika kebun berusia >10 tahun bisa dilepas ternak sapi.
4
Pada sebidang lahan kebun kelapa sawit bisa dimanfaatkan setiap lembar pelepah daun
keringnya untuk dijual sebagai bahan dasar (selain tambahan bahan konsentrat lainnya)
penyediaan pakan ternak sapi, ataupun juga perahan alkohol dari setiap potong batangnya.

BAB 1 | Sudut Pandang Etimologis 9


memotivasi kegiatan usahatani yang berubah komersial sebagai satuan usaha
agribisnis kemitraan yang berbasis klaster (atau sekumpulan pelaku usaha sama
tanaman dan cara pasca-panennya), maka ada tugas dan tanggung jawab bidang
manajemen produksi serta manajemen pemasaran untuk menjamin agar komoditi
yang mendekati pembeli atau konsumen bisa tepat waktu, tepat mutu, dan tepat
jumlah serta tepat lokasi.
Dengan teknik manajemen tanam, maka jadwal panen dapat diperkirakan lebih
pasti dan teratur, bahkan disortasi mutu hasil produksinya; dan itu sebabnya, para
pelaku produksi harus terorganisir melembaga. Langkah penataan dan pengaturan
harus bisa dilakukan efektif dengan selalu mengacu ketentuan SOP (standar
operasi prosedural) yang harus disepakati dengan disiplin tegas. Kendala luas
lahan yang tidak mencukupi tentu diatasi lewat cara menambah keanggotaan baru
masuk kelembagaan usaha. Dengan strategi manajemen pemasaran, maka ukuran
tepat jumlah akan dapat dijanjikan lebih tertata menyesuaikan “kontrak jual beli”,
sementara pada saat yang sama, porsi komoditi segar atau produk olahan yang tidak
sesuai isyarat permintaan pasar diupayakan bisa tersalur pada jalur transaksi pasar
di luar kontrak itu. Dapat dibayangkan betapa sulitnya jika para pelaku usahatani
masih dalam keadaan tersebar secara geo-fisik dan tercerai-berai secara sosial
ekonomi setiap kali keputusan bisnis komersial diperlukan.
Bertolak dari sikap terbuka untuk tanggap pada perkembangan iptek inovasi-
kreasi-presisi itu, maka harus ada kesungguhan upaya dari para pihak berbuat
nyata. Sebab, trio upaya demikian tentunya tidak terjadi semudah membalik telapak
tangan, melainkan harus menempuh jalur perubahan yang punya tahap-tahap proses
tersendiri. Harus selalu diingat bahwa perubahan itu harus ditempuh oleh sejumlah
pelaku usahatani kecil tradisional dan tersebar sporadik. Dari posisi awalnya sekadar
berusahatani subsistens, tentu harus terlebih dulu bergabung membentuk suatu
lembaga usaha kemitraan agar bisa tampil sebagai satuan perusahaan agribisnis
yang memiliki perangkat teknis maju dan tim manajemen komersial.
Jelas tahap demi tahap proses transformasi demikian itu perlu melibatkan
berbagai pihak yang peduli serta memiliki kemampuan untuk berperan mendorong
jalannya perubahan yang tidak boleh semu. Perubahan justru langgeng karena sejak
awal para pihak berperan dengan dedikasi dan semangat membangun kuat. Jadi,
peran para pihak untuk memicu proses perubahan itu tidak bisa tanpa konsep
terencana, sehingga program transformasi sosial-ekonomi terbukti menaikkan
capaian laba dan dibarengi porsi nilai tambah. Harus ada dedikasi penuh untuk
mencapai sasaran kemajuan, lalu berkat adanya kesungguhan para pihak, maka
para binaan akan terus terpacu untuk kemudian melakukan langkah maju inovatif
itu secara mandiri.

10 Ekonomi Pertanian
Berkenaan dengan isyarat kesungguhan itu, maka pembinaan ekonomi desa
yang bertumpu pada partisipasi unsur kaum tani tradisional dan ditandai luas
lahan kecil-kecilan itu, tidak bisa dipercayakan begitu saja kepada pihak LSM yang
tidak profesional, ataupun baru berpengalaman setahun jagung. LSM yang akan
dilibatkan harus memiliki SDM dengan bidang ilmu dan keahlian tekno-agronomis,
sosial-ekonomis dan manajemen, juga sosial-keagamaan. LSM yang baru dan belum
punya pengalaman lapangan, sudah seharusnya mendapat pelatihan teknis dan
selalu berkonsultasi kepada tenaga ahli dari perguruan tinggi. Para pihak dari pemda
dan mitra lapangannya dari LPPM PTN/S juga LSM profesional, harus bertugas
memberi pemahaman pragmatis dan menunjukkan alasan praktis mengapa harus
bergabung melembaga dalam klaster pembinaan di ‘desa’-nya. Harus siap konsep
pembinaan sejak dari tahapan paling awal bernuansa sosio-institusional sekaligus
tekno-agronomis, bahkan teknis agro-industrial hingga mencapai tahap kematangan
yang selalu tanggap terhadap isyarat pasar dam dinamika pemasarannya.

1.3 Ceria Petani Menopang Negeri


Peran kaum tani Nusantara yang berjumlah besar, tetapi kebanyakan berskala
usahatani sangat kecil dan tradisional, kiranya terlalu penting volume total produksi
fisik dan nilai nominalnya untuk disepelekan dalam upaya mendukung peningkatan
kesejahteraan bangsa ini. Sungguh pun kebanyakan berusahatani subsistens
(utamanya untuk menjamin kebutuhan keluarga), namun total sumbangsih
ekonomi kaum tani pada umumnya begitu besar, terutama untuk mengangkat
harkat kedaulatan pangan serta nilai devisa ekspor hasil bumi secara keseluruhan.
Bayangkan juga ketulusan kaum tani itu bekerja tanpa dipaksa, tetapi mereka tidak
meminta tanda penghargaan, terkecuali perhatian dari pemda bersama pihak lain
yang peduli untuk mengangkat nasib mereka. Pasti mereka berbinar ceria dan cahaya
syukur mereka karena mendapat perhatian dari pihak pemerintah dan pemda di
setiap wilayah.
Adalah keceriaan tersendiri ketika suatu keluarga mendapat karunia anak
keturunan yang semuanya sehat, dan ini manusiawi. Akan tetapi sebaliknya, juga
patut jadi kehawatiran bangsa jangan sampai para petani selaku orang tua tidak
dapat memberi pendidikan dan kesejahteraan lebih lanjut bagi generasi penerus
itu. Jika rentang usia sekolah sang anak amat pendek, hampir pasti hanya pola-KCT
(kecil-ceraiberai-tradisional) yang dapat diwariskan orang tani kepada anak mereka.
Alasan kewarisan tradisional ini tentu bisa menjadi pemicu gejala fragmentasi
persil lahan, atau terbaginya luas lahan garapan kepada anak-anak, lalu yang
berakibat semakin memperkecil ukuran persil lahan yang dimiliki masing-masing
anggota keluarga. Pada gilirannya pula kenyataan seperti itu akan memicu upaya

BAB 1 | Sudut Pandang Etimologis 11


perambahan bentang hutan yang masih tersedia di alam, tak terkecuali di kawasan
hutan konservasi atau hutan lindung, semisal di kawasan Bukit Barisan pantai barat
Sumatera. Gejala fragmentasi persil lahan pada akhirnya juga akan bisa terjadi di
Kalimantan, Sulawesi, dan bahkan Papua nantinya, sehingga kemiskinan kaum tani
semakin menggejala.
Keceriaan mendapat anak keturunan yang berpendidikan tentu akan
mengantarkan pula keceriaan berikutnya. Utamanya bila keadaan ekonomi keluarga
Pak Tani dirasakan jadi lebih baik sejalan laju kemajuan zaman. Segi kebutuhan
pokok dan sampingan tercukupi, apalagi jika rentang usia sekolah anak-anak bisa
terangkat hingga ke tingkat diploma bahkan sarjana. Capaian begini menjadi keadaan
yang amat positif, karena bisa mengurangi tekanan penduduk pedesaan terhadap
SDA lahan mereka.
Artinya, akan terbuka cara-cara tambahan bagi kaum tani di situ untuk
meningkatkan nilai penghasilan dari bidang lahan garapan yang sama, dan ini
dibarengi tekanan penduduk atas lahan melemah karena keharusan untuk memiliki
petak lahan garapan telah berkurang. Ketika generasi anak gandrung mencari
nafkah tanpa bergantung pada kemurahan alam, maka fragmentasi luas lahan akan
melamban, dan karena itu niat untuk membuka hutan demi memiliki petak lahan
baru akan berkurang adanya.
Jika kemudian diberlakukan aturan perundang-undangan tentang pelestarian
kawasan hutan, dengan keadaan ekonomi keluarga para pelaku usahatani yang sudah
membaik, tentu mudah bersimpati untuk patuh dan mendukung pencapaian sasaran
luhurnya. Tidak akan banyak terjadi ketegangan antara aparat penegak hukum dan
warga setempat. Tinggal perlu konsistensi dan ketegasan aparat pemerintahan desa
dan polhut terhadap para pendatang dari daerah tetangga yang sengaja melakukan
migrasi untuk maksud merambah hutan. Terkadang di lapangan masih selalu ada
kolusi antara rombongan oknum perambah dan penampung kayu tebangan serta
juga pihak-pihak yang seharusnya secara tegas mencegah hal itu terjadi (Sjarkowi,
F., 2019).
Terlepas dari dampak positif terarah pada arti penting kelestarian fungsi dan
mutu lingkungan alam itu, ada kondisi dinamis lain yang positif. Kalaulah pemda
memberikan perhatian dan pemberdayaan serta pembinaan kepada kaum tani
aktif dengan ukuran usahatani kecil-gurem, cerai-berai, dan tradisional (pelaku
usahatani-KCT) itu, maka dampak positifnya jadi berlipat ganda. Manakala para
petani tradisional mulai melihat dan merasakan benar manfaat berusahatani dengan
semangat dan perkuatan iptek-inovatif yang bisa menjawab tantangan kebutuhan
pasar, maka wawasan (orientasi) mencari nafkah secara intensif dapat diarahkan
dan dibekali manajemen inovasi-kreasi-presisi yang dibahas sebelum ini.

12 Ekonomi Pertanian
Hingga titik pembahasan ini, inti persoalan telah menjadi jelas bahwa kaum
tani yang kecil dan kebanyakan masih tradisional butuh pemberdayaan; yang terkait
teknologi-inovatif, manajemen-fungsional, wirausaha-kerakyatan, kearifan-lokal, dan
etika-bisnis berkelanjutan. Beberapa daerah di seputar wilayah Nusantara dihuni
kaum tani KCT yang sangat butuh perhatian pemda setempat. Berkat peran pihak
ahli yang bisa membantu aparat pembina, maka hasil positif akan tampak berupa
kenaikan produktivitas. Intensitas pertanaman jadi tinggi serta arus uang tunai
bulanan dan pendapatan tahunan petani pun meningkat.
Apalagi jika pembinaan mulai melembaga lewat pendekatan klaster berbasis
komoditi pertanaman; misal klaster petani kopi atau sawit ataupun karet juga
pertanaman hortikultura sayur, atau juga klaster usaha petani padi organik.
Pengembangan klaster usaha bisa lancar menghubungkan sektor primer terhadap
basis teknologi pengolahan komoditi di sektor hilir guna menjadi produk inovatif
hingga mencapai konsumen, yang sepatutnya terbingkai dalam suatu pola yang
disebut rantai pasok (supply chain).5 Pada tiap rantai dipastikan akan ada mata rantai
produktif.
Ketika bahan mentah ataupun komoditi segar pada nyatanya bisa terserap oleh
agroindustri, maka aneka produk berkemasan maupun produk olahan kerakyatan
lewat agroindustri rumahan juga yang berskala USM dan USB kian berkembang.
Sebagai satuan usaha skala menengah (USM) dan usaha skala besar (USB)
agroindustri tingkat pertama sekadar melakukan sortasi dan chipping. Diteruskan
ke tingkat sekunder untuk menghasilkan barang setengah jadi, semisal karet remah
(crumb-rubber) ataupun minyak sawit mentah (CPO) lalu disambut agroindustri
tingkat ketiga penghasil suatu produk manufaktur ataupun barang siap pakai.
Dengan demikian, maka arus produktif hubungan produsen dan konsumen bisa
terjadi lebih terukur sehingga lebih berkepastian bernas nilainya. Dalam keadaan
demikian, tentu kaum tani pasti semakin diuntungkan oleh kinerja pasar, karena
hubungan arus informasi (promosi dan transaksi) dan arus fisik barang (distribusi
dan transportasi) akan semakin mudah diselaraskan dari segi waktu serta volume
penyampaiannya kepada konsumen.
Dari situ, akan kian nyata makna dan besarnya nilai sumbangsih kaum tani,
berkat kemajuan perkembangan ekonomi negeri yang mungkin tadinya tidak
banyak memihak kepada kaum yang lemah, tetapi kemudian petani sebagai
pelaku satuan agribisnis kerakyatan justru bisa berubah menguat jadi penopang

5
Supply chain management is the management of the flow of goods and services and includes all
processes that transform raw materials into final products. It involves the active streamlining of a business’s
supply-side activities to maximize customer value and gain a competitive advantage in the market place
(Rujuk Google; Juni 2021).

BAB 1 | Sudut Pandang Etimologis 13


kemakmuran negeri dan kesejahteraan warga bangsa (Sjarkowi, F., 2020). Dalam
keadaan beraturan dan terarah itu, dapat dipastikan semakin ceria dan mapanlah
kehidupan kaum tani, sehingga akan semakin tumbuh semangat bisnis mereka
untuk menopang kemajuan sisi produksi-distribusi-konsumsi bagi negeri Nusantara
yang mereka cintai. Itulah ceria petani sebagai penyangga atau pemeran soko guru
perekonomian bangsa.

1.4 Cermat Agribisnis Maju Agroindustri


Teori ekonomi adalah lumbung strategi dan siasat serta rumus untuk bisa
menjalankan proses niaga sekaligus memenangkan persaingan bisnis. Tanpa ada
konsepsi teoretis maka pola pekerjaan yang berwawasan komersial dan sekaligus
dituntut pula agar berwawasan lingkungan, maka dipastikan akan sulit menjamin
sukses agribisnis sebagai kegiatan usaha yang selalu ditopang oleh kemurahan alam
sehingga terus maju berkelanjutan. Berbagai konsep teori ekonomi yang berkenaan
pencapaian target bisnis komersial harus dicermati oleh setiap unsur pembina
proses transformasi dari perilaku subsistens menjadi komersial. Oleh sebab itu, isi
buku Ekonomi Pertanian ini sengaja disusun untuk sekaligus menampilkan hubungan
konseptual antara ilmu ekonomi dan kebutuhan manajemen unit perusahaan
agribisnis yang sesungguhnya dianggap tepat atau setidaknya lebih relevan.
Tentu pula jika uraian ilustratif tadi diperhatikan dengan saksama, tampak
tahap-tahap perkembangan agribisnis tidak bisa dibiarkan berjalan dengan
sendirinya. Akan selalu ada kondisi dinamis yang dihadapi petani bisa membelokkan
kerja dan kinerja mereka kepada arah keserakahan sehingga akan jadi bumerang
terhadap mereka dan warga pada umumnya. Jelas keterkaitan antarmata rantainya.
Argumentasi yang dituturkan di sini kiranya bisa membetulkan kesalahan
etimologis (nalar berbahasa) yang banyak sekali terjadi selama ini.6 Sering kali

6
Kesalahan yang terjadi terlihat seolah sepele, tetapi bisa berakibat fatal. Ada dua kasus
kejadian akibat kesalahan etimologis dapat dicontohkan di sini. Pada tahun 1973, banyak
petani transmigran di Lampung kecewa dan melemparkan hasil ubi kayu mereka ke tengah
jalan untuk digilas lalu-lalang mobil. Itu bermula dari niat baik seorang menteri yang memacu
para petani di sana menanam ubi kayu varietas unggul, sebab dia yakin usahatani demikian
akan memakmurkan. Lonjakan produksi jadi 10 kali lipat tanpa dibarengi kebijakan menambah
jumlah agribisnis hilir berupa agroindustri tapioka, nyatanya membuat harga ubi kayu jatuh dan
justru merugikan petani. Kasus kedua (2016), yaitu terkait ISPO (Indonesia Sustainable Palm-Oil);
di mana S itu mengisyaratkan cara berusaha kebun yang berwawasan lingkungan, tetapi PO
berarti minyak sawit (seharusnya OP yang berarti kelapa sawit) lalu kesalahan ini merendahkan
harkat dan wibawa label sertifikasi minyak sawit (PO) selaku komoditi ekspor yang pertanaman
kelapa sawit-nya terlanjur dituding Eropa sebagai pemicu KARHUTLA (kebakaran hutan dan
lahan pemacu pemanasan global), sehingga alasan itu dijadikan kesempatan kampanye negatif)
sebagai intimidasi dari podusen minyak nabati asal kedelai, bunga matahari, serta jagung di
USA dan Amerika Latin, juga Eropa. (Kesalahan etimologis ISPO ini sebaiknya dijadikan
bahan diskusi!)

14 Ekonomi Pertanian
ada anggapan bahwa usahatani atau agribisnis tidak cukup andal jadi penopang
kesejahteraan ekonomi negeri. Pandangan yang demikian itu tidak terkecuali terjadi
juga di kalangan para intelektual Nusantara dan para pejabat penting di tingkat
daerah, bahkan di tingkat nasional. Dari sebab itu, tahapan terarah lewat program
HILIRISASI yang jelas rancangannya sesuai dengan RANTAI SUPLAI yang tepat,
sudah saatnya digerakkan.
Sejak lama sudah melekat dalam benak warga bahwa banyak sekali persoalan
teknis pertanian yang harus jadi sasaran kebijakan, dan oleh sebab itu isu-isu teknis
produksi sudah banyak mendapat solusi nyata. Justru aneka isu bisnis yang belum
mendatangkan kebaikan untuk kaum tani kebanyakan adalah terletak pada bidang
bisnisnya, bukan lagi pada dimensi teknis agronomi. Justru urusan pertanian serba
dimensi demikian harus dipahami benar oleh para pembina kaum tani kebanyakan,
termasuk pihak pemda dan departemen, membawahi, antara lain, direktorat jenderal:
(1) pertanian tanaman pangan; (2) horti-kultura; (3) perkebunan; (4) peternakan;
dan (5) kesehatan hewan.
Untuk itulah, di sini sekali lagi perlu digarisbawahi, bahwa Agribusiness memang
harus diterjemahkan menjadi “Niaga-tani”, juga “Bisnis-perta”, dan lebih tepat lagi
niaga-perta. Inti pokoknya adalah soal bisnis (niaga) yang terkait ‘perta’ dalam arti
luas. Sesuai kaidah hukum DM (yang diterangkan mendahului yang menerangkan), kata
‘perta’ (yang menerangkan) sebagai pewarna terhadap kata utama, yakni ‘niaga’
atau ‘bisnis’ (yang diterangkan). Jadi, istilah niaga-perta atau tadinya agribisnis
yang juga dipakai di dalam buku ini, seyogianya menyadarkan semua pihak tentang
makna agribisnis sesuai asalnya.
Jadi, ilmu agribisnis adalah ilmu ekonomi bisnis dengan objek utama
bahasannya tentang kiprah ‘bisnis’ yang terkait dengan produk pertanian. Ini penting
disebarluaskan di kalangan SDM pembangunan demi perbaikan kesejahteraan
ekonomi di seputar Nusantara. Perekonomian negeri masih berbasis pertanian, tapi
segi teknisnya sudah banyak dikembangkan. Justru upaya bisnis untuk menaikkan
laba dan meraih nilai tambah merupakan potensi ekonomi yang masih banyak
terpendam, dan caranya masih perlu dipicu-pacu. Tidak juga bernas jika argumentasi
agribisnis buta dalam hal teknis agronomis-nya, justru laba maksimal tercapai jika
volume hasil tani (produktivitas) dapat dicapai tinggi, sedangkan harga jualnya
terjadi relatif mahal nilainya dibandingkan dengan rata-rata biaya produksinya.
Memang banyak pengamat dan pemikir yang sangat prihatin terhadap kebanyakan
kaum tani Nusantara, walaupun mereka seolah bingung tentang apa yang harus
dilakukan agar efektif memperbaiki nasib kaum tani. Arti penting peran penyuluh
pertanian menunjukkan kepedulian perihal itu. Akan tetapi, faktanya pembinaan

BAB 1 | Sudut Pandang Etimologis 15


melalui penyuluhan yang sudah gencar dilakukan ternyata belum juga banyak
membawa hasil; bahkan program penyuluhan sempat dibekukan pihak deptan.
Mungkin saja upaya pembinaan kaum yang lemah ini lewat penyuluhan lebih
mengarah pada kinerja petani dalam hal agronomi bertanam semata-mata. Justru
urusan pascapanen hingga ke banyak urusan hilir lainnya belum gencar disuluhkan
agar bisa diterapkan para petani, seperti halnya oleh para usahawan kuat yang
berwawasan komersial. Padahal keberdayaan untuk bisa memperbaiki nasib diri tiap
petani dan keluarga mereka, kiranya tidak patut hanya menyentuh urusan teknis-
agronomis, melainkan juga harus mengenai dimensi bisnis komersial berwawasan
lingkungan agar diterapkan oleh kaum tani. Para petani perlu beralih dari pola
usahatani tradisional yang steril iptek kepada pola niagaperta, yakni tampil berupa
satuan ‘agribisnis’.
Tabel 1 Ciri Satuan Usahatani Berbeda dari Satuan Agribisnis
No. Usahatani Agribisnis
1. Bersifat subsistens Bersifat komersial
2. Berskala kecil dan gurem Berskala besar
- petani kecil = 1 Ha - USM dengan luasan 10 s.d. 1000 Ha
- petani gurem = < 1 Ha; Jawa 0,125 Ha - USB dengan luasan > 10.000 Ha

3. Berbasis sosial-budaya tradisional Berbasis iptek wirausaha


4. Bekerja cara individual, gotong royong Beregu SDM (team work) profesional
5. Berkearifan lokal sebagai hasil temuan dalam Berkreasi dan berinovasi juga
pengalaman panjang mendayagunakan kearifan lokal setempat

 Di Indonesia jumlah petani kecil dan gurem sekitar 65% dari kepala keluarga
(sekitar 70 juta KK atau menghidupi sekitar 145 juta jiwa) di seputar Nusantara.
 Dengan membela dan memberdayakan kaum tani ini hingga tampil sebagai
pelaku usaha agribisnis, maka bernas sumbangsihnya pada ekonomi
fundamental RI.
 Di negeri Barat keadaan dan kiprah petani kecil dan gurem hampir tidak pernah
dijumpai, maka teori agribisnis di sana lebih berwawasan perusahaan komersial.

Sumber: F. Sjarkowi, 2020

Harus diakui bahwa perhatian besar untuk menghubungkan kinerja petani agar
jadi mitra dagang yang efektif bagi perusahaan agroindustri olah-perta belum banyak
dilakukan di banyak daerah. Begitu petani bisa mendapat pemihakan sekaligus
perkuatan komersial yang maju berkeadilan, maka bukan hanya kaum tani tradisional
dan kecil itu yang diuntungkan, bahkan semua pihak dan semua unsur kebangsaan
serta semua pelaku ekonomi sejak dari sisi terhulu sampai konsumen terhilir.
Perkuatan ekonomi fundamental negeri tentu terpicu-pacu, jika solusi bisnis itu
maksimal diberikan lewat program pemberdayaan. Ironisnya, di sini ada kesalahan

16 Ekonomi Pertanian
metodologis yang terjadi dan ini memengaruhi cara pikir dan cara tindak berbagai
pihak, antara lain sebagai berikut.
1. Seolah-olah teori dan praktik penyuluhan didasari pemahaman teori bahwa
kesulitan hidup keluarga kaum tani disebabkan oleh kesalahan di pihak petani
semata-mata (‘emang dari sono-nya’ ?).
2. Seperti tidak disadari bahwa peran perusahaan yang selalu gigih menguras
nilai tambah dan rakus laba adalah penyebab dominan bagi kelumpuhan reaksi
kaum tani bertransaksi niaga pertanian.
3. Selalu tidak diyakini bahwa ada banyak cara pemberdayaan kaum tani dan
pemosisian mereka pada status lebih kuat dari apa adanya secara sosial-ekonomi,
asalkan ada komitmen kuat untuk itu.
4. Seakan tidak akan pernah bisa membangun jembatan saling pengertian antara
para pelaku usahatani kecil dan pelaku niagaperta komersial, sehingga ada
anggapan tidak perlu buang-buang waktu untuk itu.
5. Sepertinya amat benar jika investor agribisnis besar akan membawa dampak
‘trickle down effect’ yang membuat penyebaran kemakmuran otomatis ke bawah
(rakyat jelata), tanpa harus repot mengurus mereka.

Demikian kaum tani pelaku usahatani kecil-kecilan, cerai-berai, dan tradisional


(KCT) sungguh sering terlupakan dalam pembangunan. Nasib mereka (Tabel 1)
kian terpuruk jika tak ada strategi kebijakan melindungi dan membesarkan diri
mereka. Bisa-bisa perputaran zaman hanya akan bersimpati pada nasib sial yang
bakal menimpa kaum tani, sementara keniscayaan hidup akan membawa mereka
pada situasi baru yang nista. Banyak kekuatan tanpa segera disadari para pihak terus
mengintai dan bisa menekan nasib kaum tani, karena hal berikut.
1. Setiap keluarga petani akan mengalami proses fragmentasi lahan melalui
proses wakaf ataupun pewarisan lahan milik orang tua yang jadi renta ataupun
meninggal dunia, juga melalui jual sebagian persil lahan karena desakan
ekonomi keluarga; dan akibatnya luasan lahan rata-rata Ha/KK akan terus
menyempit dari waktu ke waktu sebagai keniscayaan di lapangan (Fachrurrozie
dan MacAndrews, Colin, 1978).
2. Setiap persil lahan yang digarap dengan pupuk kimiawi dari waktu ke waktu
pasti akan memburuk kemampuan tekstur tanahnya untuk bisa menyuburkan
tanaman karena struktur tanahnya kian tergerus erosi dan krisis simpanan
air, dan juga mengalami pemadatan geofisik akibat MAT (muka air tanah)
yang semakin menjauh ke bawah sebagai salah satu dampak dari meluasnya

BAB 1 | Sudut Pandang Etimologis 17


bentangan lahan kebun kelapa sawit yang amat rakus terhadap air tanah7
(Sjarkowi, F., 2014).

Selaku pelaku usahatani tradisional, para petani umumnya terkendala untuk


mengelola usahatani dengan pola ‘agribisnis’; karena tak ada tekanan, bahkan tidak
ada kebutuhan bagi mereka menerapkan prinsip manajemen usaha. Ini tantangan
terberat yang dihadapi pihak pemda, sebab di pihak petani kecil itu “manajemen
keuangan cukup dengan catat-simpan di bawah sarung bantal” (petani kecil pun tidak
merasa perlu mengelola kepegawaian, efisiensi produksi, dan efektivitas pemasaran).
Upaya petani agar bisa tampil komersial sekaligus berwawasan lingkungan dapat
dipastikan akan selalu terkendala oleh fakta keterbatasan yang dihadapi petani pelaku
usahatani. Pasalnya, ada tiga kategori petani jika dilihat dari asal kepemilikan aset
lahan mereka, yaitu sebagai berikut.
1. Petani pemilik lahan bukaan sendiri dari persil hutan marga atau hutan adat;
ini umumnya bermula dari luasan 0,75 Ha (atau 1 bahu) hingga 1,50 Ha.
Membuka “hutan” guna mendapatkan luasan awal ini, amat tergantung pada
kapasitas bahu orang membabat dan membersihkan serta menyiapkan lahan
dengan upaya sendiri mengandalkan bahu tiap orang yang harus mengayunkan
parang dan cangkul.
2. Petani pemilik lahan jatah selaku peserta program transmigrasi ke satu daerah
bukaan baru di luar Pulau Jawa dan Bali, dan pada umumnya setiap peserta
terima bagian 2,0 Ha hinga 2,5 Ha/KK jika lahan basah untuk tanaman pangan,
dan bisa mendapat bagian jatah 5,0 Ha jika lahan kering untuk kebun tanaman
tahunan.
3. Petani pemilik lahan yang sengaja dibeli karena ada minat untuk memiliki petak
usahatani oleh mereka pegawai (swasta maupun negeri) yang merasa perlu ada
tambahan pendapatan; pemilik lahan tipe ini umumnya mengaktifkan lahan
seluasan 2,0 s.d. 5,0 Ha, dan mereka biasa dibantu oleh pekerja lapangan.

Sejalan perputaran waktu, jarang sekali rata-rata luas kepemilikan lahan petani
itu bertambah melalui transaksi jual beli biasa. Sebab, ada dinamika sosial-ekonomi-
budaya yang akan dihadapi oleh warga masyarakat; khususnya berupa tradisi hibah
dan atau pewarisan aset lahan ketika atau setelah nanti seorang petani pemiliknya

7
Kebutuhan air tanah terbilang sangat tinggi pada kawasan kebun kelapa sawit, karena
pada pohon berusia 4 tahun lebih tanaman ini, mulai berubah status dari TBM (tanaman belum
menghasilkan) menjadi TSM (tanaman sudah menghasilkan). Di setiap pohon TSM ada sekitar
9 hingga 12 calon TBS (tandan buas segar) yang masih berupa malai hingga yang siap dipanen.
Status malai hingga TBS dipanen butuh waktu 13 bulan, dan semua calon TBS membutuhkan
komponen air yang banyak.

18 Ekonomi Pertanian
meninggal dunia. Selebihnya, persil lahan garapan baru suka didapat dengan
membukanya di kawasan hutan marga atau lindung.
Bayangkan jika seorang petani pada awalnya memiliki 1,5 Ha lahan dan punya
tiga anak lelaki generasi penerus yang secara kebetulan ingin tetap tinggal di desa.
Maka, luasan tadi akan terbagi empat persil, yaitu 0,375 Ha per orang. Dari situ
pula keterbatasan aset lahan terjadi, sehingga pendapatan musiman atau bulanan
terbatas, lalu kemiskinan pun mulai menghantui keluarga petani. Nasib kaum tani
jadi lemah dan hampir sulit mereka ubah perorangan. Selain karena terkendala,
juga orang per orang terlanjur biasa hidup santai.
Selain itu, ada juga tekanan dari pihak luar yang bersifat mafia transaksi pasar
diperkuat tangan jahil premanisme dan pengijon sebagai unsur kekuatan penjangkau
panenan tercepat, tetapi sangat mengikat berat. Jelas tugas pemda amat merepotkan
jika harus membina kaum lemah ini menyeluruh lewat. Perlu kebijakan tata ruang
dan investasi berwawasan agribisnis. Sasaran usahatani kecil jumlah pelakunya
jutaan petani tradisional sehingga perlu dikelompokkan menurut klaster komoditi
pertanaman. Dengan kelompok, maka kekuatan yang tersebar bisa dihimpun terpadu
bermartabat. Lalu, satuan agribisnis-kemitraan komersial tampil, daripada sekadar
terbina atasi kesulitan teknis usahatani.

Gambar 1.3 Transformasi Pelaku Usahatani Jadi Agribisnis

Jadi, untuk suatu wilayah pembangunan, sudah seyogianya dipahami


esensi kelola dan rekayasa “tematik-holistik-terpadu-sistemik” (THIS) terhadap
persoalan tekno-sosial, penentu keharmonisan kemitraan sosial. Potensi sosial di
sini terkait kesiapan SDM pembina petani dan pekebun yang harus aktif memicu
semangat kebersamaan beragribisnis melembaga. Di sini kerakyatan jadi tema kerja
menyeluruh, dimulai dari kegiatan usaha di tingkat demoplot pertanaman primer
hingga pemasaran. Semuanya mesti terpadu rapi, agar akhirnya secara sistemik
diikat rantai transaksi bisnis yang saling menghidupi.

BAB 1 | Sudut Pandang Etimologis 19


Arti penting lembaga adalah sebagai modal sosial untuk bisa mempersatukan
mereka yang terbilang kecil dan tercerai-berai. Adanya unit lembaga memungkinkan
prosedur dan prinsip manajemen maupun kewirausahaan bisa diterapkan. Demikian
ini pasti memudahkan SDM pendamping dan penyuluh pertanian menyalurkan
pengetahuan baru, khususnya paket iptek inovatif. Untuk warga petani-pekebun,
soal pembinaan ini utamanya cukup ditujukan pada segelintir petani miskin (10
orang s.d. 20 orang) suatu desa yang siap sedia bergabung untuk dibina secara
melembaga dan diperlakukan sebagai wakil warga desanya.
Dalam proses selanjutnya, dapat dipastikan ada kecemburuan sosial, dan ini bisa
jadi krikil dalam sepatu bagi proses pembinaan warga. Oleh karenanya, peran aktif
yang cerdas kreatif pada BUKD-kemitraan harus ditampilkan, agar jadi peredam apa
pun ancaman paradoks sosial, lalu jadi pelancar proses interaksi sosial pada urusan
pemasaran dan kerja sama lainnya. Pengalaman nyata dari lapangan mengisyaratkan
berita baik yang tiga di antaranya, yaitu sebagai berikut.
1. Tidaklah sulit untuk mentransfer suatu paket iptek sekaligus juga membentuk
keterampilan warga, sepanjang jelas di mata mereka apa manfaat yang nantinya
akan bisa mereka nikmati.
2. Tidak otomatis keberhasilan (1) yang dialami segelintir warga binaan itu
memicu manfaat yang sama pada warga kebanyakan, sebab nanti over-produksi
bisa jatuhkan harga komoditi.
3. Tidak akan terjadi keadaan keos sosial-ekonomi di kalangan warga desa akibat
(2) itu jika peran kelembagaan berjalan sebagaimana skenario yang diharapkan
lewat konsepsi teori semula.

Sebaliknya, menurut F. Sjarkowi (2017), peran tim SDM pembina dan penyuluh
pertanian harus sejak awal siaga dengan pemahaman, baik terhadap kondisi sosio-
antropologis petani. Wilayah Nusantara yang begitu luas ini terbentang dari Sabang
sampai Merauke, tentu bervariasi dalam hal perilaku sosial antropologis dan ciri
biogeofisik yang ada di tiap provinsi, bahkan juga di tiap kabupaten kota. Secara
sosio-antropologis, pada setiap komunitas suku terdapat ciri ketimpangan-sosial,
yakni entropi sosial-psikologis, entropi sosial-ekologis, entropi sosial-ekonomi,
dan entropi sosial-budaya. Oleh karena itu, harus selalu dicermati kondisi media
lingkungan fisik-kimia, fauna-flora, penduduk, dan kesmas, yang mesti diantisipasi
guna rekonstruksi keapikan sosial sebagai dimensi penting yang harus disadari SDM
pembina agar cermat terhadap tiga hal berikut.
1. Tidak patut menyerap SDM yang hanya berorientasi gaji sebagaimana layaknya
bekerja di perusahaan, melainkan yang peduli pengabdian guna memajukan
satuan usaha kerakyatan swadaya ataupun yang plasma.

20 Ekonomi Pertanian
2. Tidak cukup hanya sekadar mengutamakan titel kesarjanaan yang senyatanya
disandang oleh banyak SDM dari luar wilayah basis sasaran pembinaan,
melainkan SDM desa setempat harus pula sebaiknya aktif diperankan.
3. Tidak boleh hanya bersandar pada SDM konsultan PRA (participatory rural
apraisal), tetapi harus juga PAR (participatory action research) agar tepat kondisi
sesuai dengan tingkat kemajuan sosial antropologis yang ada.

Upaya cermat memahami ciri dan kondisi lapangan sangatlah penting, karena
selalu benar bahwa “lain padang lain belalang, lain lubuk lain ikannya”, sehingga
setiap desa sasaran pembinaan lapangan tidak dapat dipukul rata sama. Tanpa
kecermatan memahami variasi ciri dan kondisi lingkungan sosial dan lingkungan
biogeofisik lapangan tidaklah akan terbina cermat ekonomi. Lalu pada gilirannya,
sasaran pembinaan untuk menghadirkan contoh pionir satuan BUKD agribisnis
berwatak komersial, tetapi berwawasan lingkungan di suatu desa binaan tidak
berhasil dicapai maksimal.
Secara konsepsional, harus dipahami benar bahwa penduduk bumi sudah
semakin padat, maka setiap komponen dan unsur permukaan kawasan sudah
tersentuh oleh pengaruh kegiatan manusia. Mutu dan fungsi lingkungan biogeofisik
pasti dipengaruhi dan memengaruhi kemapanan ekonomi di suatu wilayah daerah
yang jauh ataupun dekat kawasan pembinaan. Tiap komponen permukaan bumi kini
semakin terkait satu sama lain, apalagi jika antar-zona dan antar-ruang yang masuk
dalam suatu kesatuan fungsi hidrologi ekosistem. Dipastikan jika mutu dan fungsi
lingkungan dari suatu ekosistem atau agro-ekosistem di mana kegiatan beberapa
dan berbagai satuan agribisnis komersial dipacu aktif, amat riskan terjadi bumerang
pertumbuhan ekonomi dan akan menekan laju peningkatan kesejahteraan warga.
Begitulah keadaan lapangan yang sangat dianjurkan untuk dicermati setiap
kali upaya pembinaan dan pembukaan satuan-satuan usaha agribisnis hendak
dilakukan. Sungguh selalu ada batas DDL (Daya Dukung Lingkungan) dan DSU
(Daya Serap Urai) serta ada SECI (Socio-Entropic Controlling Interface) harus jadi
perhatian untuk diperkirakan dan diantisipasi kondisinya. Jangan sampai terlanjur
mengubah keapikan siklus hidro-orologis menjadi lingkaran setan yang bisa memicu
malapetaka dan memacu kerugian ekonomi warga.

1.5 Cagar Usahatani Megah Agribisnis


Banyak pihak mengira bahwa pergeseran atau transisi usahatani kecil dan
tradisional sporadik akan menjadi satuan agribisnis kerakyatan yang berlangsung
dengan sendirinya karena dipicu oleh keberlangsungan transaksi pasar. Padahal
keterpicuan para pelaku usahatani yang masih terbilang lemah nyali dan terbatas

BAB 1 | Sudut Pandang Etimologis 21


dalam kapasitas tekno-ekonomi untuk berbisnis-ria tentulah sangat perlu terlebih
dulu dihimpun dalam wujud satuan lembaga kemitraan usaha sesama. Mereka
harus tampil melembaga agar tangkas berwirausaha, sehingga jadi bijak dan
tegas bernegosiasi serta mudah tuntas bertransaksi niaga. Isyarat tiga ini amat
relevan, khususnya yang berkaitan dengan jual beli saprodi (input) dan juga jual
beli hasil produksi (output).
Perubahan wujud dari tampilan sporadik menjadi tampilan melembaga
inilah yang jadi penanda selamat tinggal pada perilaku usahatani subsistens, dan
selamat datang kepada tiap satuan usaha agribisnis kemitraan kerakyatan yang
mulai tampil berwawasan agribisnis komersial. Tentu saja wujud transisi itu pada
awalnya masih serba labil, terutama di saat berakhir proses pembinaan formal
yang didanai pemda ataupun oleh perusahaan besar lewat alokasi dana CSR-nya.
Atas kekhawatiran terhadap kemungkinan balik-mundur (set-back) yang demikian
itulah, maka pembinaan harus dituntaskan dengan membangun hubungan saling
menghidupi (win-win). Satuan agroindustri yang sepantasnya jadi mata rantai hilir
harus terhubung dengan satuan agribisnis kerakyatan sebagai mata rantai suplai
di hulu selaku penjamin bahan bekunya.
Jadi, tiga rerambu tangkas-tegas-tuntas itu hanya mungkin terjadi pada tingkat
petani selaku pelaku usaha agribisnis pedesaan, karena diperkuat tim manajemen
usaha yang sudah mendapat pemberdayaan kapasitas bisnis serta orientasi komersial
bagi suksesnya lembaga usaha mereka. Kehadiran rerambu usaha komersial itu jadi
cagar-usaha yang menjaga keberlanjutan eksistensi kegiatan satuan agribisnis.
Bukankah tiap satuan usaha pasti menghadapai beragam strategi dan taktik para
pesaing bisnis di tengah tipe perilaku, struktur, dan kinerja pasar tertentu. Jadi,
tiga cagar agribisnis itu memberitahukan syarat pokok (necessary condition), yang
berarti akan ada pula syarat kecukupan (sufficient condition) bersifat memperkuat
keberadaan satuan usaha agribisnis demi mendapatkan se-porsi pangsa pasar bagi
komoditi dan atau produk olahan kinerjanya. Oleh sebab itu, maka rantai pasok
atau rantai suplai yang relevan dengan komoditi itu harus dapat diidentifikasi
dengan tepat dan cermat.
Pengenalan terhadap mata rantai suplai yang tepat itu memungkinkan
penentuan langkah bijak menangkap peluang kegiatan usaha yang memang tepat
sasaran, karena bersifat melengkapi (komplementer) bagi komoditi hulunya.
Pada mata rantai pasok lanjutan, bisa saja produk setengah jadi dijadikan sebagai
saprodi atau sarana produksi bagi satuan agroindustri produk jadi (atau produk
siap pakai atau juga produk siap konsumsi) terkait perannya sebagai mata rantai
usaha produktif yang paling hilir. Dari sini sebutan “sufficient condition” jadi penguat
agroindustri, karena sifat komplementer itu menjamin ketepatan saluran pemasaran

22 Ekonomi Pertanian
bagi pihak pelaku usaha di bagian hulu; juga menjamin adanya kepastian pasok
bahan olahan bagi satuan usaha di hilir.
Begitulah rangkaian semua mata rantai produktif seyogianya terhubung sejak
dari sektor hulu terus ke sektor produktif antara hingga ke sektor hilir terujung
sebelum mencapai titik konsumen. Prinsip keterhubungan ini mutlak harus
dipenuhi, jika sasaran penciptaan lapangan kerja serta keterbagian nilai rupiah
berlangsung adil kepada setiap pihak atau pelaku yang aktif berperan serta. Prinsip
keterbagian pendapatan kepada setiap pemeran aktif itu juga sesungguhnya akan jadi
penopang terhadap fundamental ekonomi negeri yang benar-benar kuat untuk negeri
agraris yang menghidupi mayoritas penduduknya. Jika ekonomi fundamental negeri
ini kuat, martabat kehidupan warga bangsa pun jadi makmur dan tinggi terhormat.
Sebegitu jauh pembahasan mengindikasikan bahwa setiap pribadi orang adalah
konsumen, akan tetapi hanya sebagian orang merupakan produsen. Kelompok anak-anak
pra-kerja (< 15 tahun) dan orang tua renta umumnya hanya merupakan konsumen
saja, dan hampir pasti mereka tidak berstatus produsen komoditi pertanian. Setiap
pribadi konsumen perlu mempunyai sumber pendapatan, karena dari nilai rupiah
pendapatan itu pribadi, konsumen dapat mengukur dan menetapkan kadar belanja
konsumsi yang bisa dicapai untuk keluarganya disesuaikan dengan kemampuan
berbudaya.
Atas dasar dua argumentasi demikian itu, maka unit terkecil konsumen selaku
sasaran pembahasan teoretis adalah satuan keluarga, yang secara konsepsional ada
peran kepala keluarga selaku pengelola bagi serangkaian kegiatan produktif yang
dijalankan oleh unsur anggota keluarga. Seorang kepala keluarga akan selalu aktif
bertindak sebagai pengambil keputusan atas suatu urusan produksi juga konsumsi.
Keduanya tentang daya upaya ekonomi kehidupan keluarga, yang jadi sasaran akhir
kajian ekonomi mikro.
Dari itu, maka kepala keluarga tani jadi salah satu sasaran bahasan ilmu ekonomi
pertanian. Selaku pengatur urusan kegiatan serta kebutuhan seluruh anggota
keluarganya, maka wawasan dan keputusan kepala keluarga perlu dibahas dengan
pertimbangan keilmuan terkait lima alasan berikut.
1. Keluarga petani adalah unsur produsen sekaligus konsumen yang secara
langsung maupun tidak langsung ikut menentukan kadar kesejahteraan warga
bangsa.
2. Keluarga petani pada umumnya berupaya secara tradisonal di lahan usaha
berskala kecil dengan tenaga, alat, bahan, dan pola usahatani masih non-
komersial.

BAB 1 | Sudut Pandang Etimologis 23


3. Keluarga petani masih sangat tergantung pada kebaikan alam, yaitu air,
kesuburan tanah, dan sinar matahari, selebihnya petani hanya berserah diri
pada takdir.
4. Keluarga petani selalu hidup dengan kadar kesejahteraan secukupnya sehingga
nasib petani selalu terombang-ambing, sementara pembinaan mereka minim.
5. Keluarga petani di tingkat desa seharusnya mudah diberdayakan jika dibina
secara melembaga menurut klaster usaha mereka agar lebih berkinerja
agribisnis.

Adalah kesalahan terbesar terhadap warga bangsa jika para pemimpin di setiap
jenjang kegiatan formal ataupun nonformal hanya terpukau, lalu tergoda untuk
meniru siasat dan strategi pembangunan ekonomi negeri lain yang amat berbeda
basis kehidupan ekonomi agrarisnya. Negeri lain punya kepentingan lebih terhadap
sektor industri dan jasa, karena memang kondisi alam di sana tidak mendukung
keunggulan ekonomi berbasis pertanian berbiaya produksi rendah, melainkan
berbiaya tinggi. Sebaliknya, Nusantara ini menikmati banyak sinar matahari bagi
kelangsungan aneka produksi pertanian.
Sikap lalai dan abai terhadap ciri khas kekuatan negeri sendiri yang sangat
unggul di bidang pertanian, sesungguhnya membiarkan peluang emas bangsa
berlalu tanpa memberikan manfaat kemakmuran. Kaum tani yang terus dipaksa
oleh keadaan untuk memeras santan kesejahteraan dari sebidang lahan milik, lama-
kelamaan juga akan terpicu menyalahgunakan kawasan hutan konservasi dan hutan
lindung guna menambah sumber perasan baru yang kaya akan hara kesuburan. Ini
justru bisa menimbulkan kerusakan terhadap potensi ekonomi fundamental dan
membawa bencana kerugian bangsa berlipat ganda.
Dalam konteks ancaman kerusakan basis biogeofisik, perekonomian dan
mandeknya kenaikan taraf hidup serta kadar kesejahteraan bangsa, maka
sesungguhnya kemakmuran negeri sedang dibiarkan dalam kondisi terancam.
Sebaliknya pula, sampai di titik uraian ini, mulai tampak jelas mengapa layak
dikatakan bahwa membangkitkan cagar usahatani (cagar budaya pertanian maju)
nyata berpotensi menaikkan kesejahteraan keluarga petani dan sekaligus bersifat
menjaga keasrian mutu serta fungsi ekosistem hutan lindung di hulu. Pada saat
yang sama, ‘cagar usahatani’ berpotensi menjamin ketersediaan bahan baku bagi
usaha produktif agroindustri. Ini juga berarti menunjang tumbuh agribisnis yang
melahirkan banyak lapangan kerja serta mendistribusikan nilai tambah yang tercipta
dari aneka kegiatan agroindustri hilirnya.
Alasan logis yang dikemukakan di atas menegaskan betapa potensialnya
fundamental perekonomian bangsa di seantero wilayah Nusantara ini jika transisi

24 Ekonomi Pertanian
dari budaya pertanian KCT (kecil-kecilan, cerai-berai, tradisional-gurem) dipicu-
pacu ke arah pertanian maju berpola agribisnis yang meliputi aneka agroindustri. Di
antara sebutan industri olah-perta (agro-processing industry), juga kategori industri
tumpu-perta (agro-based industry), dan industri topang perta (agro-related industry)
tentu kategori olah-perta paling banyak mampu menciptakan lapangan kerja untuk
SDM berpendidikan rendah sekalipun.
Di atas itu semua, tentu secara umum sangat penting digerakkan upaya
pembinaan generasi muda milenial untuk dibentuk jadi SDM yang benar-benar
memahami dan menguasai ilmu ekonomi pertanian sehingga punya empati pada
bidang usaha agribisnis komersial sebagai sumber penafkahan hidup yang dapat
diandalkan karena ada sifat berwawasan lingkungan dan berkelanjutan. Dengan
memahami teori ekonomi pertanian dan prinsip bisnis melalui satuan usaha
agribisnis dan agroindustri, maka generasi muda milenial jadi besar dan kuat tugas
serta fungsinya dalam membangun ekonomi fundamental negeri ini.

Daftar Bacaan Lanjut


Todaro, M.P. 1977. Economics for A Developing World. An Introduction to Principles,
Problems and Policies for Development. Longman.
Rieley, J.O. & Page, S.E. 1997. Biodiversity and Sustainability of Tropical Peatlands.
Procidings Edited. Samara Publishing Ltd. England.
Ananta, A., M. Soekarni., S. Arifin. The Indonesian Economy: Entering a New Era. Institute
of Southeast Asian Studies. Singapore.

BAB 1 | Sudut Pandang Etimologis 25


[Halaman ini sengaja dikosongkan]
2
BAB

KONSEPSI DASAR PENAWARAN

2.1 Konsep Produksi Tunggal Komoditi


2.2 Konsep Produk Marginal dan Biaya Marginal
2.3 Konsep Biaya Produksi dan Keuntungan Usahatani
2.4 Konsep Perlindungan dan Elastisitas Penawaran
2.5 Konsep Penawaran Serba Waktu dan Strategi

Ekonomi Pertanian: Konsepsi Dasar Penawaran


Sisi penawaran adalah sasaran pertimbangan bisnis penting yang dapat dijadikan
ukuran seberapa efektif dan efisien kebijakan manajemen suatu satuan usahatani
ataupun satuan agribisnis. Urusan dan ukuran kegiatan penawaran menentukan
kekuatan internal setiap perusahaan sehingga punya daya penetrasi pasar, serta
daya saing niaga juga daya tempa kepercayaan yang kesemuanya terkait dengan
pihak eksternal. Ketiga daya ini secara teori akan menghadapi tantangan mekanisme
pasar. Terdapat tiga konsep pasar (ini akan dibahas dalam subbab 4.3) yang harus
dicermati, yaitu: (1) konsep struktur pasar (market structure); (2) konsep perilaku
pasar (market behaviour), dan berikutnya (3) konsep kinerja pasar (market performance).

27
Persoalannya, para pelaku usahatani tradisional kecil dan sporadik (tercerai-
berai) masih sangat awam terhadap aksi kekuatan pasar yang selalu akan
menampakkan pengaruhnya hingga kepada para pelaku usaha di wilayah hulu
yang pada umumnya berada di posisi sangat lemah. Kaum tani banyak yang belum
paham bahwa isu tiga daya itu amat menentukan kekuatan penawaran (supply) suatu
komoditi atau produk olahan dari pihak produsen. Kebiasaan tanam-tunggu-tampas
pada pertanaman karet, atau tebang-tebas-tunu-tugal-tanam-tunggu-tuai (T-7)
pada pertanaman padi dan jagung di lahan kering berbukit penuh semak belukar
atau hutan tersier; kiranya sempat turun-temurun berlangsung tanpa peduli pada
taktik dan jebakan pasar.
Ketiga daya usaha berwawasan bisnis komersial sudah seharusnya bisa dimiliki
oleh para petani produsen, asalkan ada pihak lain, yakni unsur pemda dan PTN/S
(perguruan tinggi) yang sengaja hadir untuk membangunkan nyali mereka. Tentu
saja proses perkuatan para petani produsen tidaklah sederhana lika-liku prosesnya,
sebab tidak cukup diinisiasi dengan surat perintah dari tingkat nasional, atau dari
tingkat provinsi saja. Ada taktik, siasat, serta strategi dan program yang harus
langsung ditujukan pada sekelompok orang tani pra-tular kepada semua warga suatu
desa. Siasat pengambilan keputusan produksi dan pengelolaan satuan usaha harus
berujung pada efektivitas pemilihan jenis pertanaman dan efisiensi biaya produksi.
Jika produksi per-satuan hektar jadi tinggi dicapai dengan efisiensi (hemat) biaya
produksi, kegiatan usaha bisa meningkatkan laba yang dicapai.

2.1 Konsep Produksi Tunggal Komoditi


Kegiatan produktif adalah kebalikan dari kegiatan konsumtif. Dalam ilmu ekonomi,
istilah kegiatan produktif selalu bersifat menciptakan “utility” atau guna-manfaat dan
di dalam buku ini disingkat “GUFAAT”. Kelangsungan kegiatan cipta gufaat disebut
‘proses produksi’ dan di bidang pertanian tingkat primer (awal) menghasilkan bahan
mentah atau segar disebut KOMODITI. Apabila suatu komoditi pertanian kemudian
diolah jadi barang yang lebih awet ataupun barang setengah jadi, bahkan barang jadi,
status komoditi berubah jadi PRODUK. Lalu, dikenal istilah Komoditi Andalan
suatu daerah juga Produk Unggulan daerah, dan lebih khusus lagi dikenal istilah
PRUKAB (Produk Unggulan Kabupaten) ataupun PRUKOTA (Produk Unggulan
Kota). Istilah ‘unggulan’ yang ditopang oleh ciri geofisik (unggul komparatif) khas,
yang bisa pula berujung daya saing sangat tinggi (unggul kompetitif).
Jika selanjutnya suatu komoditi pangan atau barang jadi itu dimanfaatkan oleh
manusia pada umumnya atau rumah tangga juga pribadi pada khususnya, terjadilah
proses KONSUMSI, artinya gufaat yang terkandung dalam suatu benda dirombak
status keutuhan wujud fisik maupun wujud simpanan energinya. Jadi, suatu

28 Ekonomi Pertanian
kegiatan konsumtif sifatnya merombak atau menghabiskan gufaat suatu benda.
Di sini sebutan ‘merombak’ sesungguhnya mengisyaratkan adanya bahan sisa yang
lebih rendah status gufaatnya. Sisa perombakan gufaat yang masih berwujud tetapi
telah berkurang daya gunanya itu disebut LIMBAH, terutama berupa sampah padat
dan limbah cair.49 Limbah ini secara ekologi disebut ENTROPI (benda yang telah
turun status energinya).
Setiap proses produksi selalu mendayagunakan sejumlah bahan dasar pendukung
kegiatan produktif, dan bahan dimaksud disebut Saprodi (Sarana Produksi) atau
juga disebut INPUT-produksi. Proses produksi pertanian mendayagunakan gufaat
yang ada pada setiap jenis saprodi untuk ditingkatkan statusnya. Dengan pertolongan
sinar matahari dan air tanah, akan terjadi proses fotosintesis pada zat hijau daun
(chlorophyll) sebagai dapur penggodoknya, yang juga perlu didukung unsur-unsur
pelancar proses produksi yang diambil berupa unsur makro (terutama N, P, K) dan
unsur mikro (Mn, Cu, Fe), yang harus ada dalam tanah. Berikut ini kelangsungan
proses produksi bisa dipahami melalui “kurva produksi tiga tahap” komoditi (Y)
dan input tunggal (X).

Gambar 2.1 Kurva Produksi Tiga Tahap

Hubungan jumlah saprodi (X) terhadap jumlah produksi (Y) digambarkan


berupa kurva produksi tiga tahap. Ini direpresentasikan melalui daerah produksi-P
dan Q serta R, yang masing-masing dibatasi oleh kadar penggunaan saprodi X1,
X2, dan X3 dengan kadar hasil komoditinya sebesar YA, YB, serta YC. Titik produksi
YA disebut juga titik belok, di mana terjadi perubahan produktivitas yang awalnya

49
Ada dua jenis bahan buangan lain, yaitu ‘limbah cair’ (benda cair kotor), bahkan kencing
ternak pun disebut limbah cair. Selain itu, ada juga buangan berupa gas buang (emisi), seperti
CO dan CO2, juga CH4.

BAB 2 | Konsepsi Dasar Penawaran 29


(Increasing Return) di daerah P mengikuti hukum KHT (Kenaikan Hasil ber-Tambah
atau LIR =Law of Increasing Return) masuk ke daerah Q yang mengikuti hukum KHK
(Kenaikan Hasil ber-Kurang atau LDR =Law of Deminishing Return). Oleh sebab
itu, pula titik-titik YA, YB, serta YC jadi sasaran perhatian pihak manajemen dalam
menetapkan kebijakan produksi yang mengarah pada keuntungan finansial.

Gambar 2.2 Kurva Produksi Y, Produksi Marginal, dan Produksi Rata-rata

Perhatikan bahwa pertama-tama produksi fisik [Y = f (X)] bergerak naik


sejalan dengan tambahan suatu saprodi X sebagai korbanan. Fungsi produksi fisik
itu mencapai titik maksimum pada titik ketika kadar Ym tercapai, yaitu dengan
topangan pemakaian saprodi sebesar Xm. Adapun istilah Produk Marginal (PM)
adalah gambaran tentang tambahan hasil produksi yang disebabkan penambahan
1-satuan kadar saprodi ∆X; yakni dari suatu posisi Xi (tertentu) yang menopang hasil
sebanyak Yi. Maka, kurva PM mencapai titik maksimum pada posisi titik belok atau
titik perubahan hasil dari status KHT menjadi status KHK yang tadi disinggung.
Dengan sendirinya pula ketika produksi total mencapai maksimum dan segera
diikuti penurunan produksi total, PM tidak lagi mengalami pertambahan hasil positif
walaupun tambahan saprodi X diberi tambahan kadar positif 1-satuan berat (Kg)
lagi. Seterusnya, istilah Produk Rata-rata (Y/X) tentu saja akan mencapai kadar
maksimumnya pada posisi titik singgung Y2, karena pada posisi itu sudut garis
(Y/X) tampak terbesar derajatnya. Akan tetapi, produk rata-rata terus menurun
nilainya, sekalipun total produksi sedang di posisi maksimum, yaitu Ym tertinggi
kadar jumlahnya.
Gambaran tentang tiga macam capaian produksi fisik tadi secara konsepsional
tentu sangat berguna untuk menyusun kebijakan teknis produksi dan manajemen
produksi walaupun informasinya masih bersifat konsepsional teoretis. Apa lagi
kalau informasinya adalah hasil pengamatan dan pengukuran (kenyataan empiris)

30 Ekonomi Pertanian
tentu amat besar gunanya bagi perusahaan terkait, khususnya dalam rangka
menjalankan manajemen kegiatan usahatani secara bijak bestari. Upaya manajemen
yang baik perlu didasarkan pada informasi produktivitas tanah atau lahan usaha.
Baru kemudian bentuk informasi fisik itu tentu dapat dijadikan segugus informasi
biaya dan manfaat, yang menjelaskan arus keluar masuk dana dalam tindakan
usaha yang terjadi senyatanya.
Apabila jumlah fisik produksi (Y) dikalikan dengan harga pasar (Hy) tentu
didapatkan nilai penerimaan atau nilai revenue, yaitu sejumlah nilai uang masuk.
Begitu juga dengan jumlah pemakaian saprodi X jika dikalikan dengan harga
belinya (Hx), didapatkan biaya produksi (C = cost). Di sini suatu perusahaan jadi
jelas kinerjanya, karena nilai penerimaan dikurangi nilai pembiayaan tidak lain
adalah nilai pendapatan bersih atau LABA dalam satu putaran produksi. Secara
simbolik, Profit = Y.Hy – Cost atau nilai Rp Laba = Y.Hy – B, di mana B di sini
merupakan besaran nilai biaya produksi.

BAB 2 | Konsepsi Dasar Penawaran 31


Gambar #2.3a. b. c. Kurva Tekno-Produksi & Biaya Produksi
Y X2& Y saat
2
Produk
Rerata max.
=(YB/X2) YC
YB

YA
Porsi
#1
P

Porsi
#2

Rp B = (Bt + Bv)
atau Biaya Total

Rev
Porsi Bv
#3
WL = wilayah Laba
sbb nilai Rev > Cost

Bt
WR = wilayah Rugi
Nilai Bt
sbb nilai Rev < Cost

O Q
Qi =titik impas

Catatan: Perhatikan fungsi produksi berupa kurva produksi komoditi Qy tunggal juga input tunggal
Gambar 2.3 Kurva Tekno-Produksi dan Biaya Produksi
X (Luas lahan), sementara beberapa input lain dianggap konstan.

Catatan: Perhatikan fungsi produksi berupa kurva produksi komoditi Qy tunggal juga input tunggal X 32
(luas lahan), sementara beberapa input lain dianggap konstan.

32 Ekonomi Pertanian
Di dalam ilmu ekonomi, komponen biaya diklasifikasi dalam dua kategori,
yaitu biaya tetap (Co atau Bt) yang sifatnya konstan karena tidak dipengaruhi
jumlah produksi dan cy atau Bv. Ini tergambar pada gugus Kurva Porsi 3 sebagai
garis datar Bt, yang bermakna tidak akan berubah walau seberapa pun jumlah Qy
yang senyatanya dihasilkan. Misalnya, total Rp biaya membangun kandang ayam
pasti dikeluarkan lebih dulu (di awal) dan tentu tidak akan berubah nilai biayanya
seberapa pun jumlah ayam yang diangon dalam kandang itu kemudian. Titik-titik
Q pada sumbu horizontal didukung adanya kandang ayam senilai Co (datar =
konstan) yang tidak berubah.
Selain kategori biaya tetap Bt atau Co tadi, ada pula konsep biaya variabel (cy)
yang nilainya berubah seiring jumlah Qy. Jadi, B = Biaya Total = (Bt + ΣBv) atau
C = (Co + Σcy). Lebih khusus lagi besarannya adalah sebagai berikut.

C = Co + (Cy1 + Cy2 +… + Cyn),


C = Co + (X1 . HX1) + … + (Xn . HXn) atau juga;
B = Bt + (Bv1 + Bv2 + … + Bvn)
B = Bt + (X1 . HX1) + … + (Xn . HXn)

Perhatikan! Pada Porsi 3 Gambar 2.3 tadi bahwa sumbu horizontal tidak lagi
menggambarkan ukuran saprodi (X), yakni variabel penentu (explanatory variable)
terhadap ukuran fisik komoditi Y pada sumbu vertikal. Melainkan di situ, X telah
berganti variabel Qy, yang sedang bertindak sebagai penentu nilai Rp biaya pada
sumbu vertikal. Ada logika konseptual yang mendasari hal ini, yaitu adalah logis
jika angka produksi tergantung pada banyak atau sedikitnya saprodi X, juga masuk
akal jika nilai biaya produksi variabel yang dikeluarkan oleh suatu perusahaan amat
ditentukan oleh sasaran atau target produksi yang hendak dicapai.
Perhatikan! Pada Porsi 3 itu terdapat variabel kurva biaya variabel berbentuk
huruf S miring terbalik. Bentuk yang demikian disebabkan adanya sifat produksi fisik
yang mengikuti kaidah KHT (Kenaikan Hasil Bertambah) di awalnya, dan kemudian
kaidah KHK (Kenaikan Hasil Berkurang). Kedua pola kelakuan hasil produksi itu
memicu perkembangan biaya produksi bergerak sesuai kebalikan dari pola fisik
produksi (lihat Porsi 2 Gambar 2.3). Saat tidak ada hasil produksi sebagai target,
tentu hanya ada biaya tetap (Bt) yang keluar dan bentuknya datar, karena tetap tak
berubah seberapa pun hasil Y yang bisa difasilitasi sarana yang sudah dibangun.
Dari itulah biaya total tergambar sebagai Bv bertengger pada kurva biaya tetap, Bt.

BAB 2 | Konsepsi Dasar Penawaran 33


2.2 Konsep Produk Marginal dan Biaya Marginal
Jika ada suatu kegiatan produksi sedang berlangsung dengan target hasil produksi
maksimum sebesar Yq (katakanlah dari 2 Ha lahan ditarget 10 ton sebagai total
produksi harapan), siapa pun pengamat boleh berkata bahwa hasil 10 ton itu pukul
rata terhitung dari 2 Ha x 5 ton/Ha = 10 ton. Akan tetapi, si pengamat harus
selalu menyadari bahwa tidak otomatis jika lahan garapan bertambah jadi 3 Ha,
lalu hasilnya adalah 3 Ha x 5 ton/Ha = 15 ton; demikian pula setelah itu ditambah
lagi 1 Ha lagi tidak berarti produksi jadi 20 ton. Faktanya akan selalu ada pengaruh
hukum dan kelakuan KHT dan atau KHK terhadap total hasil produksi.
Di dunia nyata atau di lapangan, 1 Ha lahan dapat dikelola penuh perhatian
tepat dan cermat; tetapi adanya penambahan luas garapan justru perlakuan pada Ha
demi Ha lahan bisa jadi kendor frekuensi dan kebernasannya. Daya dan cara kelola
tidak lagi persis seperti yang diberikan pada Ha lahan yang awal, melainkan mulai
banyak yang terabaikan. Pergeseran bisa terkait intensitas peran manusia maupun
peran fisik dan kimia tanah yang pasti bervariasi karena berbagai faktor penyebab.
Seperti pada saat perut mulai kenyang dan tambahan makanan bisa memicu muntah,
maka pada tanah yang diberi perlakuan teknologi dan saprodi sekalipun respons
lahan terhadap kadar saprodi berlebihan justru kontra produktif. Jadi, dari sini
fungsi produksi dan fungsi penawaran atas hasilnya bisa dipahami.

Jika keuntungan maksimum dicapai dengan tingkat produksi Q di posisi Hy = BM, setiap Q yang ditunjukkan oleh
tingkat harga di atas tingkat biaya BR adalah juga kadar jumlah Q yang akan memberikan laba maksimal; bahkan jika
sekali Hy jatuh di bawah BR, tetapi masih di atas BvR, produksi masih bisa berlangsung karena biaya variabel (upah,
biaya m-solar, dan lainnya masih bisa dibayar dan sedikit laba masih didapatkan). Jadi, KURVA SUPLAI tidak lain adalah
KURVA BM di sebelah atas kurva BvR.
Gambar 2.4 (a) Kurva Biaya Marginal, Biaya Rerata (BR), Gambar 2.4 (b) Kurva Suplai (Penawaran) Esensinya
Biaya Variabel Rerata (BvR), dan Biaya Tetap Rerata Adalah Kurva BM di atas Kurva BvR
(BtR)

Guna memperjelas hubungan data fisik dan dana pembiayaan yang terkait
dengan konsep produksi dan biaya produksi, maka Tabel 2 berikut ini memberi
gambaran numeric (angka-angka) hipotetis. Biaya marginal pada kolom terakhir
berbeda dari biaya rerata (BR) guna menghasilkan tiap satuan produk, dan beda

34 Ekonomi Pertanian
pula biaya tambahan yang perlu diketahui untuk bisa menghitung biaya marginal.
Perhatikan bahwa isyarat upah ideal adalah Upah = NPM terpenuhi jika tingkat upah
= Rp9000,- pada kolom biaya marginal. Dari itu pula, maka teori ekonomi produksi
mengingatkan arti penting konsep Produk Marginal (PM) dan Biaya Marginal (BM).
Tabel 2 Ilustrasi Sasaran Prestasi Fisik dan Biaya Produksi

Untuk lebih realistis, konsep PM dan BM itu dapat diartikan sebagai biaya
tambahan untuk menaikkan 1-satuan hasil tambahan. Pada prinsipnya, di dunia
nyata “tidak ada yang gratis”, karena tambahan hasil hanya akan terjadi jika ada
input-produksi (saprodi) sudah ditambahkan. Dari itu, kalkulasi dapat dibuat
tentang seberapa besar tambahan biaya dimaksud, sebagaimana bisa disimak pada
ungkapan angka hipotetis Tabel 2 di atas.
Perhatikan untuk memahami pengaruh perubahan PM dan implikasinya
terhadap BM, maka pada tabel ditampilkan beberapa kolom variabel fisik yang
disusul kolom lainnya bernilai rupiah. Dengan begitu, maka hubungan antara
prestasi fisik dengan alokasi dana pembiayaan kegiatan produktif akan tampak di
mata manajer dan pimpinan perusahaan ataupun pengamat. Data demikian ini tentu
berguna untuk pengambilan keputusan dan koreksi manajemen.
Contoh hubungan nilai Rp sebagai konsekuensi adanya pengorbanan dan
prestasi produksi fisik adalah tentang hal berikut.
1. Kepatutan nilai Upah = NPM sehingga produksi merugi jika Upah > NPM.
2. Kesamaan harga satuan hasil Hy = NPM-rata-rata per-satuan berat (Kg).
3. Kadar capaian produksi Qy mendatangkan laba maksimum jika Hy = BM.

BAB 2 | Konsepsi Dasar Penawaran 35


Untuk kelangsungan suatu proses produksi, tentu upah yang dibayarkan
sepatutnya ditetapkan berdasarkan hasil yang diperkirakan bakal didapatkan.
Artinya, tingkat upah pasti kemahalan dibayarkan jika nilainya lebih besar dari
pada nilai tambahan hasil yang bisa dipersembahkan oleh seorang pekerja baru
ditambahkan; Upah = NPM. Dari logika ini pula, maka “tambahan biaya untuk
menaikkan volume 1-satuan produksi (mis: 1 Kg) harus bisa diganti lewat
pemasukan senilai Rp itu, yaitu harganya per-Kg, dan dalam bentuk rumus bisa
dinyatakan Hy = NPM-rerata. Jika selanjutnya dipertimbangkan pula dari sudut
pandang pembiayaan, argumentasi (1) dan (2) menjurus pada satu simpul rumus Hy
= BM, yang pada posisi itu volume produksi Qy memberikan kadar laba maksimum.
Lihat ilustrasinya diberikan lewat gambar di bawah ini.

Gambar 2.5 Tingkat Laba Total Jadi Maksimal pada Tingkat Harga Hy dan Kuantitas Qy

Tampak pada Gambar 2.5 ada laba total maksimum (terbesar) dicapai saat harga
komoditi setinggi Hy dan setara dengan nilai BM, sedang Hy berada di atas BR
(biaya rata-rata). Artinya, total keuntungan produksi adalah sebesar kotak biru muda
senilai Qy x (Hy –BR) sebagai rumusnya. Dari situ, lalu taktik strategi mencapainya
perlu dikawal manajemen produksi dan dituntaskan dengan manajemen pemasaran.
Tentu sepasang langkah manajerial ini sulit dipenuhi petani produsen yang masih
lemah. Kebanyakan mereka tidak punya kekuatan tawar-menawar, dan tercerai-berai
tidak punya unit kelembagaan bisnis yang konsisten berjuang dan membela nasib
komunitas mereka.
Arti penting konsep elastisitas penawaran akan sangat dirasakan ketika ada
pihak produsen merasa harus mengambil langkah bijak untuk menjawab adanya
tantangan pasar agar produsen menurunkan harga komoditi ataupun produk. Logika
selintas tentu mengingatkan pihak produsen bahwa jika harga turun, jumlah yang
akan ditawarkan juga terpaksa diturunkan. Ini pun harus sesuai isyarat yang telah
dibahas sebelum ini, yaitu sebagai berikut.

36 Ekonomi Pertanian
Laba maksimal jika Hy = BM
dan besaran harga itu harus Hy > BVR, agar untung
bahkan kalau bisa, Hy > BR, laba mutlak.

Sesekali bisa saja Hy < BVR atau merugi dan pada posisi itu tidak semua belanja
variabel dapat dibayar, kecuali dengan berhutang. Padahal belanja BVR (misal uang
bensin, upah tukang) jadi penentu kelangsungan proses produksi, dan produksi
jadi berhenti jika masih ada belanja BVR tidak dapat dibayar secara beruntun.
Belanja tersebut adalah tuntutan rutinitas, yang berarti tidak bisa bersandar pada
duit hutang terus-menerus. Tentu pada posisi Hy > BVR nilai laba hanya sedikit
kadarnya, namun bisa penuh menutupi kebutuhan BVR sebagai belanja operasional
proses produksi. Oleh sebab itu pula, saat terjadi Hy> BR maka porsi BTR (Biaya
Tetap Rata-rata) sudah seharusnya ditabung cicil agar kemudian tersedia cadangan
biaya investasi.
Jelas ketika status kaum tani hanya jadi penerima harga (price taker), maka
mereka mudah disepelekan dan dikecohkan pihak pedagang perantara serta diculasi
dan dipecundangi oleh para pihak pesaing. Petani produsen sudah seharusnya
dibina sejak dari tingkat produksi hingga ke pemasaran, dan karena itu, bentuk
dan karakter suplai mereka sudah sepatutnya diketahui serta dipahami terlebih
dulu. Diilustrasikan pada Gambar 2.6, ada tiga pelaku produksi pertanian aktif
menjalankan produksi sehingga masing-masing menampilkan penawaran; kurva
Suplai perorangan petani (Spp-1, 2, 3). Digambarkan tiap kurva penawaran
individual memiliki kemiringan berbeda, walaupun komoditi yang ditawarkan
sama. Perbedaan demikian sangatlah wajar, sebab tiap satuan usahatani punya ciri
tanah, muka air tanah, tingkat kesuburan, serta ciri media lingkungan (suhu, RH,
atau kelembapan) yang berbeda-beda; lalu semua faktor itu diramu petani dengan
kemampuan pengusahaan yang berbeda-beda pula. Keadaan ini digambarkan
untuk kegiatan usahatani tradisional dan berskala kecil sebagaimana yang terjadi
di pedesaan.
Terkait upaya pembinaan kaum tani, maka para pihak yang bersimpati perlu
mendalami sejumlah variabel di balik kekuatan penawaran petani, yakni sebagai
berikut.

SQ = f [ Hy, LLG, SDM, SDB, Spt, SMP ]

Jadi, suplai Q akan sangat dipengaruhi harganya (Hy), luas lahan garapan
(LLG), sumber daya manusiawi (SDM), sumber daya bibit (SDB), sumber daya
penyubur tanaman (Spt = pupuk, obat), serta strategi manajemen produksi dan pemasaran

BAB 2 | Konsepsi Dasar Penawaran 37


(SMP). Adalah keenam variabel itu yang berperan aktif dalam kegiatan produksi
yang dijalankan oleh petani perorangan, lalu atas dasar itu maka secara konseptual
terbentuk penawaran Sq dari dan oleh setiap pelaku usahatani. Jika digambarkan,
akan tampak kurva penawaran yang bervariasi secara perorangan petani pelaku
produksi.
Oleh sebab itu, jika bentuk suplai suatu hasil produksi pertanian dari suatu
wilayah hendak diketahui, sesungguhnya yang dibicarakan adalah suplai gabungan
perorangan (Sgp, Gambar 2.6) atau kurva penawaran pasar tingkat wilayah
kecamatan atau kabupaten, mungkin juga provinsi, bahkan negeri. Untuk itu,
sejumlah individu petani contoh (sampel) perlu diamati dan diwawancarai mewakili
komunitas petani di wilayah sasaran. Keterangan yang didapatkan dari para petani
itu adalah data primer, dikumpulkan pakai metode kajian survei untuk kemudian
diolah dengan metode ekonometrika. Akhirnya, akan diperoleh satu persamaan
fungsi penawaran pasar semisal Sp tadi.

Gambar 2.6 Suplai Komoditi Perorangan Bergabung Jadi Suplai Pasar (Komoditi
Ditawarkan Tiga Individu: q1 + q2 + q3 = Q Sebagi Kuantitas Ditawarkan Pasar)

Satu catatan perlu digarisbawahi di sini, yaitu tentang fungsi penawaran dari:
(1) satuan perusahaan agribisnis (Spa); ataupun (2) suatu wilayah dengan total
penawaran suatu komoditi. Kedua gugus data tampak dari data sekunder di buku
catatan perusahaan, atau yang diterbitkan secara resmi oleh pemda. Untuk jenis
kajian ini, data yang diperlukan akan lebih mudah diperoleh.

2.3 Konsep Biaya Produksi dan Laba Usahatani


Ketika konsepsi teori ekonomi pertanian diarahkan pada persoalan yang dihadapi
mayoritas kaum tani di pedesaan seantero wilayah Nusantara, maka pokok bahasan
dan analisis tidak patut lagi hanya tentang nasib kaum tani yang nihil teknologi
agar bisa dipacu lebih sejahtera. Cara hidup mereka yang masih ditandai upaya
memenuhi kebutuhan keluarga secukupnya (subsistens), harus pula diberi wawasan
lebih maju dan berani tanggap kepada peluang PASAR demi memacu kenaikan
kesejahteraan. Dalam faktanya, tantangan dan peluang pasar itu mereka hadapi

38 Ekonomi Pertanian
sebagai kekuatan nyata yang hanya bisa mereka terima apa adanya, tanpa berstrategi
untuk menaklukkan tantangan pasar.
Tentu saja daya upaya bertani yang hanya bergantung pada belas kasih alam
harus ditinggalkan dan bergeser jadi cara tani yang ditunjang siasat dan strategi
komersial di tengah tantangan kekuatan pasar. Oleh sebab itu, maka prinsip
transaksi untuk bisa meraih laba usahatani di tengah persaingan pasar harus jadi
pengetahuan dasar bagi setiap petani dan SDM pembina petani. Lalu, diperkuat
lagi dengan prinsip inovasi teknologi dan ditambah juga prinsip manajemen unit
usaha serta prinsip wirausaha di tengah kancah persaingan niaga. Dengan semua
prinsip itu, maka kaum tani tradisional serta pelaku usaha lain di setiap kawasan
desa dapat didorong untuk menghimpun kekuatan bersama berupa unit klaster
usaha sejalur rantai usaha mereka.
Dari situ, maka semacam badan usaha berbasis kelompok yang terdiri dari
pelaku usaha sejenis dapat dibina agar bergabung membentuk satuan badan usaha
kemitraan bernapas kerakyatan. Kelompok dimaksud, semisal klaster petani sawit,
klaster petani karet, klaster petani padi sawah, klaster petani sayur-mayur, klaster
Nanti dapat petani hortikultura buah, klaster usaha ternak kaki empat, klaster pelaku industri
apa ya, Pak/
Bu? Sepertinya rumahan pengolah makanan ringan, juga klaster pengrajin industri genteng dan
kalimat ini batu bata yang pada gilirannya nanti dapat . Setiap klaster yang sudah melembaga
menggantung.
sebagai satuan badan usaha sejenis tentunya akan dapat mengatur kegiatan usaha
yang berpola komersial penuh. Badan usaha itu disebut satuan usaha AGRIBISNIS,
yang di dalamnya bisa pula hadir satuan usaha pelengkap berupa cabang usaha
AGROINDUSTRI olah-perta. Dari sini mudah dipahami mengapa sebutan
agribisnis adalah predikat yang tepat diberikan pada “usahatani komersial”. Kata
lainnya suatu satuan usahatani belum tentu agribisnis, tetapi sebaliknya, sebutan
agribisnis primer dipastikan adalah satuan usahatani komersial atau sedang dibina
agar jadi komersial.
Pembedaan makna kedua istilah ini penting, karena di kalangan para pembina
ekonomi pertanian masih terdapat kesalahpahaman dan seterusnya jadi salah
kebijakan. Masih sering orang mengira bahwa nasib kaum tani tertinggal hanya
disebabkan faktor teknis yang belum sempat mengubah kadar produktivitas usaha.
Istilah kadar PRODUKTIVITAS memang berarti jumlah produksi per-Ha lahan
yang diusahakan. Oleh sebab itu, upaya pembinaan selalu akan berkisar pada aspek
teknis; bagaimana menambah kesuburan tanah, dan benih atau bibit mana yang
lebih unggul dalam arti lebih tanggap terhadap pemberian pupuk serta lebih kebal
terhadap hama dan penyakit, ataupun seperti apa teknik bertanam campuran yang
bisa mendatangkan aneka hasil tanpa menambah biaya produksi.

BAB 2 | Konsepsi Dasar Penawaran 39


Rangkaian pembinaan teknis tentu juga panjang prosesnya, yakni lewat
penyuluhan teknis, demoplot uji coba pertanaman maupun obat-obatan HPT
(hama dan penyakit tanaman), promosi benih unggul bersertifikat, dan tentu juga
pemakaian alat mekanistik tepat guna, serta kelengkapan prasarana dan sarana
teknisnya. Secara konsepsional, biaya produksi relatif porsinya tidak naik luar
biasa jika dibarengi kenaikan produktivitas berlipat ganda. Hal ini tentu berarti
peningkatan nilai jual hasil produksi bersih. Secara hitung dagang optimistik,
nilai produksi dipastikan meningkat, karena hasil produksi Qy x Hy (jumlah
produksi dikalikan harga) pasca-pembinaan petani akan bisa naik berlipat pula jika
dibandingkan dengan penerimaan gaya lama sebelum pembinaan.50
Apabila selanjutnya perihal produksi ini dilihat pula dari sisi biaya yang
dikeluarkan, biaya produksi menurut teori ekonomi harus dikelompokkan jadi biaya
tetap (BT yang tidak berubah akibat beda kadar produksinya) dan biaya variabel
(BV yang tergantung pada kadar produksi pada luasan yang sama). Jadi, kalau
tadi ada konsep penerimaan atau revenue sebesar Qy x Hy, maka hasil produksi (y)
dimungkinkan terjadi karena ada belanja produksi sebesar Co + [c.x1 + c.x2+ … +
c.xn] di mana Co = Biaya Tetap (BT), dan c.xi = nilai biaya variabel terkait pembelian
sarana produksi (Saprodi = INPUT) xi. Dari sini pula konsep keuntungan (laba
usaha) disimbolkan sebagai berikut.

LABA = Nilai Penerimaan – Nilai Pembiayaan


Laba = [ Qy x Hy ] – [Co + {c.x1 + c.x2+ … + c.xn } ]

2.4 Konsep Perlindungan dan Elastisitas Penawaran


Jika ada total uang masuk berupa penerimaan = revenue = [Qy x Hy ], kebetulan
agak lebih banyak daripada total biaya variabel teknis produksi. Ilmu ekonomi
mikro menyebut nilai Hy – BVR itu “contribution to over-head” atau di sini bisa
disebut SBBT (Sumbangan Bagi Biaya Tetap); bukankah total Rp BT nyatanya telah
dikeluarkan sejak awal persiapan produksi dilakukan. Kalau justru Hy < BVR maka
keadaan memaksa penghentian produksi, sebab upah pekerja, pembelian pupuk,
atau bahkan benih tidak tersedia dananya; kecuali jika dengan berhutang selama
satu putaran proses produksi. Lebih lama dari satu putaran produksi, maka syarat
berhutang pasti diperberat.
Sampai pada bahasan tentang hubungan antara harga transaksi pasar (Hy)
terhadap besaran biaya variabel, maka bisa dipahami bahwa kebijakan bisnis

Cara pikir optimistik ini tentu saja mengabaikan kemunculan faktor buruk yang memicu
50

serangan hama atau kemarau panjang pengancam hasil panen.

40 Ekonomi Pertanian
untuk meraih laba bisa melalui beberapa pendekatan. Bisa dengan cara mengatur
dan menekan jumlah nilai biaya variabel, yaitu upaya efisiensi tanpa mengurangi
efektivitas pemakaian saprodi sesuai saran ahli teknik pertanian. Sasaran bijak lain
tentu berkaitaan dengan tingkat harga jual; misalnya dengan mengatur kontrak jual
beli pada suatu tingkat harga yang disepakati, atau juga dengan membuat klasifikasi
produk untuk diberi harga mulai dari termahal hingga termurah, tetapi rerata
harga jual harus di atas biaya rerata dan Hy = BM tetap dipenuhi. Bisa juga dengan
cara mengolah sebagian komoditi rendah kualitas dan rendah harga jualnya untuk
dijadikan semacam produk olahan yang lebih tahan lama dan berharga lebih mahal
serta bernilai tambah. Juga lewat upaya promosi dan layanan lebih memuaskan
pembeli sambil mengalahkan para pesaing, lalu terjadi geseran kurva permintaan
komoditi menaikkan harga jual. Demikian siasat agribisnis masuk pasar, tetapi bagi
kaum tani tradisional perlu perlindungan oleh pemerintah agar tidak jadi pecundang.
Secara umum, tiap pendekatan tadi memoles kekuatan suplai yang menjurus
pada keadaan terlalu elastis di saat musim panen (atau keadaan daerah produksi di
pedesaan) dan kurang elastis di musim pra-panen (atau keadaan di kota). Melainkan
ada dua langkah antisipasi mengurangi risiko kerugian, yaitu: (1) langkah menekan
rem atas penawaran komoditi untuk tidak masuk pasar semuanya, tetapi justru
diberi terapi inovasi terlebih dulu; (2) langkah memacu permintaan pasar agar
bergeser ke kanan, misalnya karena ada selera baru di kalangan konsumen terpicu-
pacu oleh kreativitas promosi keunggulan barang dari pihak produsen dalam
kerangka strategi pemasaran.
Secara umum, produsen harus dapat menyelamatkan hasil produksi dari
ancaman harga turun. Jika tidak punya cara memicu-pacu permintaan atau juga tidak
bisa mengolah komoditi yang sedang berlebih, upaya dan perilaku produsen yang
demikian lemah akan terpaksa mudah menuruti kehendak kekuatan permintaan.
Kelemahan yang demikian ini tentu bisa disiasati oleh unit perusahaan yang maju
berwawasan komersial, misalnya dengan menyimpan bahan di dalam gudang
pendingin (cool storage). Bagi petani tradisional hal itu tentu sulit, kecuali jika mereka
berstrategi melembaga untuk bersiasat bisnis.
Harus diingat, pada saat hasil berlimpah maka kurva penawaran jadi elastis
terhadap perubahan harga komoditi. Artinya, ketika puncak musim panen terjadi,
perubahan jumlah yang ditawarkan bukan bertambah karena harga membaik,
melainkan lebih karena pengaruh positif faktor alamiah51 yang justru telah menggeser
kurva penawaran ke kanan. Ini tentu membatasi peningkatan kemakmuran petani,

51
Walaupun juga pernah ada kasus petani sawit di Sumatera Selatan tak mau memanen
tandan buah segar (TBS) karena harga <Rp400/kg (di bawah biaya dan upah panen), jumlah
suplai mengecil drastis hingga harga kembali bergerak naik lambat tergantung kebijakan kartel
Oligopsoni sejumlah pabrik CPO (crude palm oil) di daerahnya.

BAB 2 | Konsepsi Dasar Penawaran 41


terkecuali jika kelebihan jumlah suplai dapat disiasati melalui sarana inovasi
pengolahan komoditi yang guna menunda penjualan. Dengan sarana iptek-inovatif,
sebagian komoditas terlebih dulu diolah dan diberi kemasan sehingga tahan lama dan
mengandung nilai tambah. Dari sini promosi sifatnya membangkitkan lebih banyak
jumlah pembeli lalu komoditi terjual lebih banyak dengan harga jual tidak terlalu
murah. Hal terakhir ini mengubah elastisitas fungsi penawaran pada Gambar 2.7.

Gambar 2.7 Implikasi Harga Komoditi Akibat Perbedaan Elastisitas Suplai

Konsepsi elastisitas penawaran (juga ada konsep elastisitas permintaan) amat


sederhana untuk dipahami, tetapi besar implikasinya terhadap kebijakan ekonomi
terkait bina kesejahteraaan warga. Perhatikan satu simpul bahasan tentang ekonomi
kepanganan (beras), dengan sifat permintaan yang relatif stabil sebagaimana ciri
komoditi makanan pokok. Melalui konsep elastisitas penawaran pada Gambar 2.6
ditunjukkan perlu adanya transaksi pembelian ∆QA atau ∆QB oleh BULOG (Badan
Urusan Logistik) agar harga pasar komoditi itu naik. Kenaikan sebesar ∆H jika ada
operasi beli ∆Q dari pasar di tingkat produsen; perhatikan berbeda kadar akibat
beda elastisitas penawaran.
Jika kondisi pasar beras di A digambarkan berbeda dari keadaan di B, itu
senyatanya bisa terjadi tidak hanya disebabkan oleh produktivitas hasil panenan
yang melimpah. Mungkin saja secara sosial ekonomi para petani di situ belum punya
sarana penjemuran padi pascapanen, juga tak punya sarana lumbung atau peti besar
penyimpan padi di rumah, sedangkan hutang mingguan di warung mendesak harus
dibayar. Tentu rangsangan penjualan bisa memicu gejala harga jatuh dan merugikan
petani, sehingga perlu kebijakan pemerintah menaikkan harga, misalnya sebesar
∆HA. Bahkan lebih besar lagi jika efek elastisititas kurva permintaan terhadap
kenaikan suplai dari petani, sedang jumlah yang diminta jadi turun akibat harga
dimahalkan; sementara para petani pun terpacu menjual padi lebih banyak mumpung
harga membaik. Bayangkan apa jadinya jika di dua daerah produsen A dan B, justru

42 Ekonomi Pertanian
BULOG mengaktifkan HARGA DASAR dengan operasi pembelian surplus tonase
padi tanpa jeli melihat ELASTISITAS penawaran dan permintaan yang melemah.52
Jika keadaan pasar beras di B ini terjadi pada tingkat primer di pedesaan, tingkat
kesejahteraan para petani produsen yang biasanya tampil serba lemah di masa panen
justru lebih baik. Akan tetapi, keadaan B demikian ini harus juga diwaspadai efeknya.
Jika situasi B yang menguntungkan itu dialami petani berulang kali dari tahun ke
tahun, akan muncul rangsangan baru agar petani menambah luas lahan garapan
atau ekstensifikasi yang terkadang dengan merambah kawasan hutan. Ilustrasi
keadaan musim panen dan pada elastisitas penawaran (dan elastisitas permintaan)
dibarengi hasil panen per-Ha melebihi normalnya, tentu hal itu menghendaki bentuk
kebijakan jangka pendek tertentu yang perlu dibuat. Kebijakan jangka panjang pun
harus cepat diantisipasi, jika ada gejala tertentu yang cenderung berulang terjadi.

2.5 Konsep Penawaran Serba Waktu dan Strategi Pasar


Bagi pihak petani produsen, sering kali pengaruh kelakuan dan kondisi alam tidak
bisa dielakkan atau dimanipulasi, misalnya pada musim hujan (MH) curah hujan
lebih banyak dan kelembapan udara lebih tinggi mengikuti kenyataan sinar matahari
yang kurang cerah cahayanya dibandingkan pada musim kemarau (MK). Waktu dan
pola pertanaman akan sangat dipengaruhi oleh musim hujan dan musim kering,
dan perihal ini telah mengatur kebiasaan komunitas petani KCT yang berkiprah
di daerah mereka masing-masing. Jadi, perilaku alam mendikte pelaku usahatani,
petani terpaksa mematuhi.
Persoalan dan tantangan menjadi berbeda apabila dimensi komersial yang lebih
tergantung pada struktur-perilaku-kinerja pasar (market structure, market behavior,
market performance) yang justru harus dikedepankan karena ada sasaran NILAI
LABA dan NILAI TAMBAH yang akan dikejar dan diraih sebesar mungkin. Dalam
hal ini, perilaku petani KCT yang subsistens (sekadar memenuhi kebutuhan hidup
keluarga) harus berubah menjadi pengusaha dan pengelola satuan usaha agribisnis.
Pengusaha satuan agribisnis primer maupun yang sudah dilengkapi unit
agroindustri perlu menerapkan strategi MANAJEMEN dan siasat WIRAUSAHA
untuk bisa menggeliat di tengah dinamika peluang dan tantangan serta tekanan pasar.
Dinamika pasar akan lebih perhatian pada kepentingan konsumen, sesuai pemeo
“pembeli adalah raja”. Kehendak konsumen hampir tidak terpengaruh oleh kondisi
alam, melainkan lebih disetir oleh jumlah pendapatan, anggota keluarga, dan gengsi
keluarga; dan tekanan perut individu konsumen hampir tidak mengenal musim.

Di Bab 6 dibahas pengaruh kebijakan menaikkan harga barang peduli elastisitas permintaan
52

dan penawaran.

BAB 2 | Konsepsi Dasar Penawaran 43


Oleh sebab itu, maka mekanisme kekuatan penawaran dan permintaan pasar
selalu akan meneruskan informasi tentang kebutuhan pihak konsumen kepada
pihak produsen. Bagi produsen, semakin sering frekuensi petik atau panen hasil
pertanaman, berarti semakin padat jadwal transaksi penawaran dan jual beli.
Produsen pun menyadari bahwa jadwal uang masuk pun tergantung pada jadwal
petik atau panen, sedangkan waktu panen tentu tergantung pada waktu tanam.
Frekuensi tanam dan panen yang kian padat pasti diikuti jadwal uang tunai masuk
dan tersedia di dalam kas.
Oleh karena itu, dalam rangka tanggap terhadap informasi pasar, maka para
pelaku usahatani KCT harus mengubah dari mereka jadi pengusaha atau pengelola
satuan agribisnis dengan berupaya merealisasikan lima siasat berikut.
1. Pandai mengatur waktu tanam bagi pertanaman berdaur hidup tertentu, agar
waktu panen akan runtun setiap n-hari setelah panen terawal karena waktu
tanam setiap n-hari berbeda petak (misalnya: n= 2 hari).
2. Patut melakukan manajemen tanam campuran dengan saprodi bersama (joint
inputs) bagi 2–4 jenis tanaman pada petak yang sama, namun nanti bisa saja
serentak atau tidak harus sama waktu panennya.
3. Panen tanaman tahunan dilakukan secara bergilir setiap minggu sekali atas
sejumlah pohon dari petak demi petak dalam persil lahan yang luas, sesuai
kapasitas teknis memanen dan prosesi pascapanennya.
4. Perangsang tumbuh (propagasi) pertanaman sebaiknya diberikan berupa pupuk
organik buatan sendiri menggunakan bakteri PBO (Pengurai Bahan Organik)
demi efisiensi dan efektivitas NPK pupuk kimiawi.
5. Pola usaha komersial berbasis kebersamaan kelompok berupa UMKM agribisnis
kemitraan harus punya SDM pengelola, yang menerapkan sistem manajemen
dan wirausaha secara jujur serta profesional.

Begitulah pola suplai hasil produksi dapat diatur supaya petani tidak krisis
uang tunai, dan dari itu perlu manajemen tanam panen dikaitkan target waktu
pemasaran hasil panenan. Apabila lima butir uraian terakhir tadi dicermati, terpetik
satu hikmah tentang tantangan kemajuan agribisnis yang pada kenyataannya bisa
terjawab dengan pendayagunaan invensi TEKNOLOGI dan terap-guna strategi
MANAJEMEN serta siasat piawai WIRAUSAHA. Akan tetapi dengan itu, belum
berarti semua persoalan produksi telah dapat diatasi 100%, sebab perihal biogeofisik
pertanaman yang terkait dengan perubahan musim, pergeseran cuaca, maupun
keadaan ekstrem yang terkait gejala pemanasan global (adanya El-Nino = panas dan
kekeringan berkepanjangan, dan juga La-nina = dingin dan hujan berlebih-lebihan),
akan tetap merupakan faktor luar kendali yang bisa mengancam kelangsungan
produksi tiap petak lahan.

44 Ekonomi Pertanian
Terkait itu semua, tetap harus disadari bahwa gejala pemanasan global
amat erat keterkaitannya dengan kegiatan KONVERSI hutan menjadi kawasan
agroekosistem yang cepat atau lambat akan terus terkuras. Perlu diwaspadai tindak
perilaku warga yang melakukan ALIH-FUNGSI lahan pertanian menjadi wilayah
non-pertanian, sebagaimana harus antisipasi adanya upaya KONVERSI LAHAN dari
suatu pertanaman lama jadi baru (misalnya dari karet jadi kelapa sawit; dari hutan
jadi kebun jagung). Gejala seperti ini ikut jadi penyumbang terhadap pemanasan
global, yakni lewat proses lanjutan sebagai berikut.
1. Banyak kawasan pengendali pemanasan global rusak bahkan hilang, yang
semustinya dilakukan fotosintesis, yakni menangkap gas CO2 atau gas rumah
kaca (green house gas = GHG) justru drastis berkurang.
2. Banyak kehilangan kawasan hutan primer-sekunder dan hutan tanaman
termasuk area kebun, semuanya akan merusak SIKLUS HIDRO-OROLOGI
dan gejala ini akan memicu tragedi KARHUTLA dan BANJIR-LONGSOR.
3. Banyak kegagalan berusahatani dan beragribisnis tentu mengguncangkan
pendapatan warga dan kesejahteraan rakyat, hal ini memicu gaya hidup serakah,
dan dapat memacu pola penafkahan tak hemat karbon.

Perhatikan ketiga hal di atas ini dibarengi proses pembakaran untuk penyiapan
lahan (land clearing), justru secara langsung dan tak langsung jadi penyumbang aktif
terhadap peningkatan konsentrasi serta volume GHG, dan akhirnya jadi salah satu
faktor utama penyebab pemanasan global. Oleh sebab itu, maka strategi penawaran
yang kuat posisi bargaining-nya sangat penting diolah sejak tingkat produksi di
lapangan. Keteraturan permintaan komoditi terjadi, dan jumlah uang masuk kas
pun dapat diperkirakan kadarnya, sehingga melancarkan kegiatan agribisnis sejak
dari proses produksi hingga proses pemasaran. Kepastian suplai atas permintaan
yang saling berkait sesuai urutan rantai pasok (supply change) amat berguna.
Untuk itu, maka setiap unsur generasi milenial negeri, yang notabene disebut
orang bonus demografi dan aset SDM yang tidak dimiliki oleh bangsa lain,
kiranya harus segera diarahkan jadi penggerak utama ratusan jenis usaha (aneka)
agroindustri di seputar Nusantara. Jenis agroindustri pangan kaya protein, berhasiat
obat herbal, maupun non-pangan semisal biosolar, bioethanol, aneka minyak atsiri,
serta esens minyak wangi; kesemuanya bisa diproduksi oleh anak bangsa sejak dari
tingkat lapangan primer hingga mendekati posisi konsumen. Langkah berantai dan
berciri inovatif serta kreatif, kini lebih mudah diorganisir.

BAB 2 | Konsepsi Dasar Penawaran 45


Daftar Bacaan Lanjut
Ryan, W.J.L. & D.W. Pearce. 1977. Price Theory. Reviced Edition. 400 halaman.
London: The Macmillan Press Ltd.
Sutanto, Yusuf. 2006. Revitalisasi Pertanian dan Dialog Peradaban. Hasil Rangkuman
tim-editor. 846 halaman. Jakarta: Penerbit Kompas.

46 Ekonomi Pertanian
3
BAB

SISI LANJUT KONSEP PENAWARAN

3.1 Perspektif Nilai Keuntungan Semu dan Tabungan Usaha


3.2 Perspektif Nilai Komoditi dan Keunggulan Produk Olahan
3.3 Perspektif Nilai Kiprah Biaya-abai dan Pilihan Keputusan
3.4 Perspektif Nilai Kelebihan Alami dan Rente Ekonomi
3.5 Perspektif Nilai Kontrak Penjualan dan Rantai Suplai

Ekonomi Pertanian: Sisi Lanjut Konsep Penawaran


Kurva Penawaran untuk suatu jenis komoditi hasil pertanian telah bisa dipahami
berpangkal dari kurva biaya marginal yang berada pada posisi di atas kurva biaya
rerata atau paling tidaknya di atas biaya variabel rata-rata. Biaya marginal dijadikan
patokan karena apabila harga jual sama besar dengan biaya marginal (Hy = BM)
maka pada posisi capaian itu total laba maksimum (Gambar 2.5). Konsepsi ini
di atas kertas setidaknya bisa dijadikan barometer produksi, tapi di lapangan
banyak isyarat lain yang perlu dijadikan bahan pertimbangan oleh kaum tani dan
pelaku agribisnis bijak. Dalam praktiknya ada 3 konsideran utama perlu mendapat
perhatian, dan ini penting demi berpihak pada nasib kaum tani dan demi penguatan

47
sumbangsih ekonomi pertanian untuk fundamental ekonomi negeri. Konsideran
dimaksud adalah:
(1) Konsideran efisiensi biaya produksi. Biaya jadi efisien jika total biaya yang
terpakai dapat menghasilkan produktivitas tinggi sehingga biaya rerata menjadi
minimal, BR = [∑B : Qy] sehingga BR per satuan sudah seharusnya tertutupi
oleh Rp harga jual komoditi = Hy pilihan. Sayangnya petani hanya penerima
harga, konsumen justru lebih kuasa menentukan harga transaksi Hy.
(2) Konsideran upah atau sewa harus diminimalkan, konsekuensi petani produsen
hanya di posisi penerima harga, maka antisipasi harus dimulai dari hitungan
nilai produk marginal (NPM) = volume PM × Hy maksimum (pilih Hy-prakira
tertinggi dari semua Hy yang diprakira akan rendah); barulah ‘NPM = upah’,
dan ‘NPM = ‘harga–saprosi’ dijadikan acuan tawar-menawar.
(3) Konsideran diversifikasi komoditi dan produk. Ini pendekatan alternatif
yang perlu dibarengi strategi inovasi atas sebagian dari komoditi yang bakal
menerima harga terendah lalu diolah untuk dijadikan produk baru yang tahan
lama dan punya daya guna alternatif dan patut dipromosikan guna memicu
penawaran yang berharga mahal dan bernilai tambah.

Demikian konsideran 1 dapat disiasati titik lemahnya lewat bina klaster petani
yang membentuk lembaga usaha kemitraan agar mendongkrak posisi dan daya tawar.
Lalu konsideran 2 bisa dilakukan jika kekuatan SDM satuan usaha kelompok paham
benar kombinasi saprosi yang tepat. Sedangkan konsideran 3 perlu Pemda untuk
membantu modal dan teknologi sebagai pelancar proses menghadirkan produk
inovatif. Akhirnya, sebutan klaster kini dapat diartikan sebagai penggabungan secara
horizontal antarsesama petani dan secara vertikal antarpara pelaku beda tingkatan
peran yang saling berkaitan.

3.1 Perspektif Nilai Keuntungan Semu dan Tabungan Usaha


Nilai penerimaan (revenuee) bagi suatu kegiatan usaha adalah uang masuk yang
berasal dari penjualan komoditi utama dan komoditi sampingan serta bahan
limbah. Komoditi utama bisa berupa hasil panen tanaman tahunan seperti kopi,
coklat, karet, sawit, duren (annual crops). Komoditi sampingan bisa merupakan hasil
tanaman campuran yang nebeng saprosi (joint inputs) kepada pertanaman utama
alias tumpang sari (seperti jagung terhadap pertanaman sawit atau karet balita,
atau juga memang terpisah manajemen produksinya semisal ternak sapi di bawah
pepohonan kelapa sawit usia sawit >10 tahun. Ada pula limbah produksi yaitu jenis
limbah disebutkan terakhir tadi, yang terkadang dengan mudah dapat disediakan
oleh unit usaha agribisnis komersial terutama ketika ada potensi permintaan pasar.

48 Ekonomi Pertanian
Hal ini secara khusus didefinisikan dalam buku Ekonomi Pertanian dengan istilah
sebagai berikut:
1. Komoditi Utama adalah suatu jenis bahan mentah (atau bahan segar)
yang diproduksi melalui kegiatan satuan usaha agribisnis sesuai dengan
rancangan investasi modal sejak awalnya. Jika petani kecil tradisional yang
memproduksinya, maka komoditi utama biasanya jadi andalan produksi yang
ditanam dan dipanen oleh kebanyakan pelaku usaha tani atas kebiasaan dan
kekhasan alami suatu daerah.
2. Komoditi Sampingan adalah hasil kegiatan produksi antara melalui siasat
tumpang-sari (sesama tanaman musiman seperti sayur-sayuran), atau siasat
tumpang-tebar (yakni tanaman musiman memanfaatkan ruang di antara baris
pohon), juga tumpang-sanding (tanaman pembatas, atau tanaman musiman
tertentu di ruang sekat-bakar terhadap blok pertanaman tahunan selaku
komoditi utamanya).
3. Komoditi Limbah adalah apa pun bentuk buangan dari kegiatan produksi
pertanian atau peternakan, yaitu berupa bahan organik yang masih bisa
dimanfaatkan untuk pakan ternak atau untuk pupuk organik bagi tanaman, dan
karena sifat yang demikian itu maka komoditi limbah bisa berharga dan jadi
sumber uang tunai tambahan bagi pihak pelaku suatu usaha produksi komoditi
utama pertanian.

Pada setiap kegiatan produksi pertanian yang dikelola dengan benar, ketiga
macam komoditi itu akan selalu hadir, tentu atas kombinasi ketiganya dengan
porsi yang berbeda-beda. Sebab itu pula maka ketiganya adalah sumber uang tunai
yang sepatutnya diunduh dan atau dimanfaatkan sebaik-baiknya. Melalui upaya
manajemen dan entrepreneurship yang mumpuni maka setiap peluang mendapatkan
revenuee dari 3 sumber uang tadi mustahil jadi nihil (Rp0) nilainya. Besaran secara
simbolik Total Nilai Penerimaan (TNP) dari komoditi utama (Y1), sampingan
(Y2) dan limbah (Y3) yang tentu punya nilai Rp. Harga untuk masing-masingnya
adalah sebagai berikut.
Untuk individu petani selaku kepala keluarga TLU (Total Laba Usaha) adalah
besaran nilai yang amat bermakna bagi kehidupan dan kesejahteraan keluarganya.
Dari suatu satuan usaha tani milik petani perorangan, bisa didapat Total Nilai
Penerimaan (TNP) yang dapat digunakan untuk tiga (3) pokok keperluan, yaitu
‘biaya kegiatan (operasional) produksi (BKOP)’ berikutnya, juga untuk ‘biaya
kebutuhan hidup keluarga (BKHK)’ dan menyisihkan nilai ‘tabungan sisa usaha
keluarga (TSUK)’. Jika kegiatan usaha terbilang sebagai satuan perusahaan
agribisnis komersial, maka komponen BKHK tidak masuk bilangan perhitungan.

BAB 3 | Sisi Lanjut Konsep Penawaran 49


Pengelompokan tiga (3) komponen manfaat tadi dilihat dari perspektif pembinaan
petani tentunya berguna jika sejumlah petani kecil tradisional dipacu agar kemudian
mereka membentuk satuan UMKM agribisnis dengan sebutan BUKD (Badan Usaha
Kemitraan di Desa).
Atas keberlakuan 3 komponen tadi, maka 3 kelompok manfaat TNP tadi secara
simbolik dapat dikemukakan sebagai berikut:

TNP = Hy . Y

Disini nilai hasil sampingan dan nilai limbah diasumsikan nihil demi
penyederhanaan.

TNP = BKOP + BKHK + TSUK


TNP – BKOP = TLU
TLU = BKHK + TSUK

Terkait skenario laba usaha tani ini selalu ada kecenderungan petani untuk
membelanjakan nilai TSUK, dan godaan tentunya amat besar di zaman serba
materi hedonistik ini. Padahal di dalam besaran nilai TSUK itu sebenarnya selalu
Catatan untuk ada komponen Biaya Tetap (BT) yang target tahunannya sering kali tidak sempat
penulis: yang
tertutupi, akibat nilai laba turun-naik tanpa kepastian. Perlu diingatkan di sini
dimaksud dari
gambar 5 ini bahwa cara mudah mengukur laba adalah menghitung nilai laba rata-rata (LR)
yang mana ya seperti pada Gambar 5 (Sub-Bab 2.3 di mana Biaya Total adalah B =BT + BV; jika
gambarnya?
dalam bilangan rata-rata per kg hasil produksi Y adalah BR = BTR + BVR). Jadi
LR rerata per kg Y adalah:1

LRy = Hy – BR
LRy = Hy – [ BTRy + BVRy ]12

Dari sini Laba Total satu periode produksi adalah LRy × Y (atau nilai Rp laba
rerata per kg dikalikan jumlah produksi total Y).
Idealnya nilai LR atas [ BTR + BVR ] itu selalu positif, tapi kenyataannya
sering kali LR hanya positif di atas BVR saja, atau [ Hy – BVR ] > 0. Dalam hal ini
nilai laba dari putaran produksi kebetulan menemui harga rendah, mungkin hanya
sedikit di atas Biaya Variabel Rerata (BVR). Jadi hanya keperluan belanja BKOP-r
(= BVR) yang tertutupi, sehingga selebihnya hanya sejumlah laba kecil yang ada

Penjumlahan biaya rerata di sini sengaja tidak tanda kurung biasa seperti (BTR + BVR)
1

karena dalam tradisi Akutansi tanda kurung demikian menyibolkan nilai negatif.

50 Ekonomi Pertanian
dan sebab itu dapat dianggap sebagai LABA SEMU. Disebut semu karena nilainya
hanya dapat menutupi sebagian porsi nilai BTS rerata tahunan (BTS amortisasi)2
yang dananya perlu disisihkan sebagai angsuran pengganti dan ditempatkan dalam
kelompok TSUK. Sebab itu pula seharusnya TUSK dapat dipertahankan dalam
bentuk logam emas, yakni aset yang tidak bisa jadi korban inflasi. Nanti ketika akan
mulai dilakukan peremajaan tanaman tahunan (selaku komoditi utama yg sudah
tua) maka cadangan emas dapat dicairkan, sehingga tersedia sebagian modal awal
yang akan bisa meyakinkan pihak bank. Kesiapan ini penting, sekiranya sejumlah
pinjaman dana masih perlu ditambahkan demi putaran (siklus) produksi berikutnya.
Potensi tabungan juga sedemikian strategis arti pentingnya, tapi tidak disadari
pihak petani. Tabungan itu sudah seyogianya dicarikan cara tepat penanganan
manajerialnya. Secara konsepsional tentu perlu unit kelembagaan khusus yang dapat
dipercaya jadi tempat penyimpanan oleh komunitas petani setempat. Disayangkan
BRI, Bank Bukopin, dan lainnya belum jauh peduli melihat kepentingan petani lalu
ambil posisi geografis terdekat pada tiap desa. Ini disebabkan terlalu mahal ongkos
operasional pelayanannya jika harus lebih dekat kepada warga desa. Rasionalitas
demikian juga baik dan wajar, untuk tidak membebani warga desa dengan porsi
biaya layanan yang mahal.
Sungguh pun begitu, kebutuhan nyata komunitas petani pedesaan terhadap
kehadiran lembaga pengelola keuangan, kiranya mutlak harus ada jalan keluarnya.
Atas alasan ini, maka unit kelembagaan BMT (Bersama Menabung Terencana)
secara konsepsional bisa dianggap paling layak untuk warga desa. Unit BMT ini bisa
dengan mudah diselaraskan dengan kegiatan BUKD, dan dipandang akan mudah
dipayungi oleh BUMDes, dan juga mudah berafiliasi dengan rumah ibadah yang
ada di setiap desa. Kehadiran setiap BMT tentu akan memudahkan akses Bank BRI
atau lainnya kepada warga desa.

3.2 Perspektif Nilai Komoditi dan Keunggulan Produk Olahan


Upaya peningkatan capaian bisnis oleh pelaku usaha (yakni UMKM dan juga usaha
skala besar) berbasis SDA setempat dengan nilai komoditi yang perlu dikembangkan
agar bisa maksimal mendatangkan nilai ekonomi. Secara umum dapat dikatakan,
bahwa upaya bisnis yang digeluti para pelaku bisnis mungkin saja masih menghadapi
hambatan dan kendala tertentu, sehingga sangat perlu diberi sentuhan program

Nilai Biaya Tetap sejak awal sekali sudah habis dikeluarkan atau diinvestasikan, dan jika
2

bukan pinjaman dari bank sering kali lupa diperhitungkan. Padahal porsi nilai BTS tahunan
harusnya tertabung dari laba usaha jika nilai revenuee 1-putaran produksi di atas biaya total
tahunan. Cara hitung porsi tahunan BTS yang paling mudah adalah BTS dibagi umur ekonomis
tanaman; atau dengan rumus Amortisasi jika pengaruh inflasi diperhitungkan.

BAB 3 | Sisi Lanjut Konsep Penawaran 51


INOVASI berupa paket invensi teknologi dilengkapi strategi manajemen.
Sementara itu di lapangan bisa saja dijumpai atau terjadi fakta nyata sebagai berikut:
1. Para pelaku usaha telah bekerja keras dengan cara lama tapi hasilnya rendah,
sehingga untuk menambah pendapatan keluarga pelaku hanya bisa melakukan
perluasan lahan garapan (ekstensifikasi) terkadang merambah kawasan lindung
(ini MASALAH TEKNOLOGI).
2. Para pelaku usaha telah memakai teknologi-inovatif sehingga produksi berlipat
ganda dari skala usaha yang sama, tapi keluarga masih tetap hidup di bawah
garis kemiskinan akibat terlanjur hedonis tanpa ada upaya menguatkan
kapasitas usaha (ini LEMAH MANAJEMEN).
3. Para pelaku usaha telah melakukan inovasi selengkapnya dan berhasil nyata
sehingga ditiru banyak orang dan terjadilah limpah-ruah produksi lalu harga
jual turun; pelaku usaha tetap hidup miskin akibat pabrik penampung hanya
segelintir (ini KETIDAKPASTIAN PASAR).

Pada persoalan lapangan seperti itu tentunya diperlukan program inovasi dan
hilirisasi. Karena itu pemahaman terhadap duduk persoalan yang sebenarnya terjadi
di lapangan sangat penting untuk membuat langkah perbaikan. Di lapangan perlu
penularan teknologi, manajemen, siasat pemasaran melalui program CD (community
development = pemberdayaan masyarakat). Juga bisa berupa acara diklat di unit
Inkubator Bisinis bagi pebisnis pemula, atau juga berbentuk bina keterampilan
teknis operasional mendayagunakan sarana penyehatan bisnis di Klinik Bisnis.
Dewasa ini hampir di setiap daerah kabupaten atau kota telah terdapat
perguruan tinggi bidang ilmu keteknikan (eksakta) dan ilmu kemasyarakatan
(sosial). Dalam urusan keteknikan biasa dijumpai sekolah tinggi (PTS) bidang
ilmu teknik pertanian. Dalam urusan sosial kemasyarakatan sudah umum pula di
daerah ada perguruan tinggi ilmu ekonomi manajemen dan pembangunan, ilmu
sosial politik.
Bersamaan dengan itu pula antardaerah selalu terdapat perbedaan potensi
Sumber Daya Alami (SDA) biogeofisik termasuk perbedaan suhu, curah hujan,
dan jenis tanah. Akibatnya bagi setiap pelaku dan calon pelaku usaha yang ingin
berkiprah maju di suatu daerah, sudah sepatutnya berupaya memahami apa
kebutuhan inovasi yang sepadan dengan potensi usaha sesuai kondisi dan situasi
di suatu pojok Nusantara. Suatu tindakan inovasi kadang masih sekadar berkisar
pada upaya penyediaan pupuk dan pemberantasan hama-penyakit tapi tidak boleh
mencemari perairan atau sungai di sekitar usaha. Bisa pula sedikit lebih jauh
yakni inovasi terkait pascapanen di kebun yang jauh terisolir dan tidak terdapat
agroindustri.

52 Ekonomi Pertanian
Jelas upaya melakukan inovasi bisa terkendala oleh ketiadaan paket teknologi
karena lokasi satuan-satuan usaha yang masih perlu dibina begitu terpencil dan sulit
dijangkau. Jika dikaitkan dengan soal penawaran suatu komoditi andalan ataupun
produk unggulan suatu daerah, maka ada beberapa isu pokok tentang apa saja
pemacu suplai berbasis inovasi. Agar terjadi kemapanan penawaran dan sukses
dalam pemasaran suatu produk agribisnis, mungkin perlu diberikan perhatian
terhadap kebutuhan Ipteks-inovatif yang antara lain terkait dengan hal berikut ini:
(1) Persoalan yang ada pada SDA basis komoditi andalan, misal kebanyakan pelaku
usaha tani belum menggunakan benih atau bibit unggul.
(2) Persoalan kendala produksi dan pengolahan produk unggulan; misal belum
stabil jumlah dan mutu komoditi bahan baku dari bulan ke bulan.
(3) Persoalan memenuhi ketentuan standar yang ditetapkan oleh pihak calon
pembeli sebelum bersepakat untuk kontrak jual-beli berjangka.

Upaya pihak produsen untuk mengatasi setiap persoalan yang ada tentu punya
konsekuensi tambahan biaya produksi rata-rata yang harus diemban. Akan tetapi
upaya yang lancar mengatasi kendala dan sukses menaikkan kadar produktivitas
maupun taraf mutu barang yang diproduksi namun menjanjikan Nilai Tambah
(added value) yang dapat melipat-gandakan laba. Justru prihal mendasar yang
selalu dihadapi kaum tani di pedesaan dan perlu jalan keluar adalah menyangkut
tambahan modal untuk memenuhi belanja prasarana dan sarana penopang inovasi
itu. Oleh sebab itu isu pemberdayaan petani lewat pendekatan kelompok dan klaster
berbasis komoditi andalan menuju produk unggulan desa adalah jalan terbaik untuk
memperlancar proses inovasi di tingkat primer, pascapanen, tingkat agroindustri
olah perta menghasilkan produk ½ jadi atau bahkan produk jadi adalah bagian dari
penguatan suplai.

3.3 Perspektif Nilai Kiprah Biaya-Abai dan Pilihan Keputusan


Pada setiap petualangan bisnis yang komersial ataupun yang subsistem akan selalu
ada peluang untuk meraih peningkatan kemakmuran. Bagi pihak manajer atau
pribadi yang jeli dan berkemampuan nyata, maka peluang melakukan lompatan
kemakmuran sedikit banyaknya akan jadi kenyataan. Sebaliknya jika kejelian dan
kemampuan itu tidak sempat dihadirkan maka peluang melakukan lompatan
keberuntungan akan terlewatkan, yaitu sekadar terkesan jadi besaran biaya-abai
(Opportunity Cost) atau semacam ‘ongkos penyesalan mengapa sampai terabaikan’.
Apa yang dimaksud ‘jeli’ dan apa pula makna ‘kemampuan nyata’ di situ?
Tentu saja kejelian adalah cermin ‘ketepatan berfikir sebelum bertindak’ penuh
antisipasi terhadap apa saja peluang menggoda dan tantangan yang sedang dijumpai.

BAB 3 | Sisi Lanjut Konsep Penawaran 53


Selanjutnya antisipasi pikiran itu adalah semacam keputusan reaktif yang dianggap
bijak terhadap suatu tantangan agar ditindaklanjuti secara nyata. Oleh sebab itu
perlu ada kemampuan nyata sebagai energi untuk berbuat; dan di sini arti penting
TABUNGAN sebagai lumbung persediaan energi yang siap didayagunakan untuk
meraih suatu peluang.
Besaran biaya-abai secara nominal bisa lebih tinggi nilainya daripada nilai
senyatanya dicapai ketika tak-peduli pada adanya peluang yang ada. Bisa juga justru
nominalnya lebih kecil daripada nominal senyatanya tapi padanya terselip nilai
kelestarian lingkungan usaha yang dipertahankan. Mungkin saja fungsi dan mutu
ekologis jadi rusak bilamana peluang tidak dikejar lalu didapat pelajaran berharga.
Dalam hal ini, ilmu ekonomi pertanian memang harus memicu bisnis yang bernilai
luhur. Jadi penonjolan konsep biaya-abai ini punya tujuan ekonomi normatif
(ekonomi kesejahteraan), yaitu: 1) bisa mengingatkan langkah bisnis seperti apa
yang baik dilakukan meski terlanjur telah diabaikan; dan 2) bisa menggugah simpati
dan kesadaran ke arah mana siasat dan langkah pelengkap seyogianya disiapkan?
Dari segi ekonomi positif, pemahaman atas konsep biaya abai ini juga memberi
hikmah pelajaran untuk dua tindakan nyata, yaitu: 1) Seberapa besar tambahan biaya
boleh dipertaruhkan dalam putaran produksi berikutnya supaya mudah merebut
suatu peluang positif yang tiba-tiba muncul?; dan 2) Seberapa rugi akibat siaga
biaya jangka pendek, tapi untuk seberapa besar keuntungan nyata yang akhirnya
dapat dinikmati nanti dalam jangka panjang ke masa depan? Demikian rerambu
keilmuan di balik konsep biaya-abai.
Jadi jelas sekali bahwa kehadiran nilai biaya-abai potensial itu hanya mungkin
terbaca kalaulah ada kejelian manajemen SDM yang memang selalu konsisten
menjalankan roda bisnis komersial secara profesional, tapi juga peduli membangun
kemampuan nyata guna mengukir keberlanjutan usaha ke depan. Oleh sebab itu,
maka konsep biaya-abai atas pertimbangan ekonomi normatif dan ekonomi positif
mem ungkinkan antisipasi terhadap arti penting melibatkan konsep lain, di antaranya
yaitu konsep NHAL (Nilai Harapan Atas Lahan = land expectated value; lihat Sub-Bab
6.5), dan konsep tabungan investasi bukan tabungan atas pendapatan siap-belanja
(disposable income).
Konsep NHAL sangat erat kaitannya dengan konsep biaya-abai dalam soal
transaksi jual-beli persil atau petak lahan. Di daerah yang penduduknya semakin
padat maka kian banyak hiruk-pikuk jual-beli petak lahan pertanian. Mungkin
untuk suatu rencana investasi agribisnis komersial, membangun ruko, atau untuk
pemerintah membangun prasarana ekonomi semisal ruas jalan tol. Petani yang
nafkahnya berbasis lahan sering kali mudah digoda untuk menjual sebagian lahannya
dari persil yang dianggap kurang produktif. Maka di situ pengamat perlu menghitung

54 Ekonomi Pertanian
nilai kini (present value) manfaat persil lahan sesuai rumus NHAL. Pihak pemerhati
(LSM-peduli atau OPD-Pemda) melalui hitungan NHAL jadi mengetahui nilai kini
dari semua aliran pendapatan bersih tahunan yang bisa didapat oleh pemilik lahan
selama sisa umurnya, seandai lahan digarap produktif. Jika hitungan NHAL lebih
tinggi daripada harga jual godaan, maka NHAL jadi biaya abai jika lahan jadi dijual,
dan semestinya jadi alasan rasional bagi petani menolak transaksi jual-beli murah.
Jika pada suatu unit usaha pertanian hadir manajemen profesional, maka
komitmen membangun ponjen tabungan sebagai dana cadangan investasi (seperti
halnya via BMT tadi) adalah ukuran nyata dari kesungguhan membangun usaha
agar terus tumbuh. Tabungan investasi demikian bagi petani perorangan tentu
kecil nilainya walau sudah bergabung dalam wadah UMKM agribisnis kemitraan.
Tapi secara patungan dengan tabungan pada beberapa BMT lintas desa, maka
inovasi lewat pembelian pabrik mini untuk mengolah komoditi andalan jadi produk
unggulan tentu bisa terjadi. Perilaku yang cermat demikian bisa mendobrak kendala
pendidikan yang rendah dan sering terpengaruh pola hidup materialistis. Pembinaan
kaum tani bisa dilakukan melalui pendekatan kelembagaan BUKD dan BUMDes
asalkan diselenggarakan dengan tulus dan penuh kesungguhan.

3.4 Perspektif Nilai Kelebihan Alami dan Rente Ekonomi


Bermula dari kenyataan di lapangan tentang posisi pihak petani yang biasanya
sebagai penerima harga (bukan penentu harga), maka dari itu rumus penentuan
sasaran produksi berkeuntungan maksimum tidak serta-merta bisa diterapkan.
Patokan rumus petunjuk laba maksimum apabila Hy = BM, sedang Biaya Marginal
tergantung pada manajemen pemakaian sarana produksi secara efektif (tepat) dan
hemat (efisien), sehingga menghasilkan produktivitas tinggi. Jika produktivitas (Qy
/ Ha) tercapai maksimum, maka biaya produksi total rata-rata untuk menghasilkan
tiap satuan komoditi, yakni BR = [BtR + BvR] rendah dan status BM akan relatif
bersaing terhadap BM para pelaku usaha lainnya. Disebut berdaya saing jika BM
itu ditopang oleh BR yang jauh lebih rendah sehingga kurva suplai (yaitu kurva
BM pada posisi di atas BR)3 jadi lebih kuat ketika harga produk sedang menurun.
Keuntungan akan tetap hadir selama harga (Hy) yang sedang jatuh masih di atas
BR yang amat rendah.
Pertanyaannya kini, bagaimana efektivitas dan efisiensi biaya produksi itu bisa
terjadi hingga memungkinkan BR rendah dan sulit ditandingi hematnya oleh para
pelaku usaha tani lain? Tentu bisa bermacam sebab yang membuat itu jadi mungkin.

3
Harus selalu diingat, besaran biaya rerata (BR) untuk menghasilkan komoditi Y tidak lain
adalah nilai Biaya total (BTR + BVR) dibagi volume produksi (Qy). Jadi, BR adalah sejumlah
modal Rp penghasil satuan Y.

BAB 3 | Sisi Lanjut Konsep Penawaran 55


Bisa unggul faktor alami semisal jenis tanah yang amat subur punya unsur hara
yang paling cocok bagi tumbuhnya suatu jenis tanaman, dan terkesan sebagai
tanaman khas daerah. Kelebihan alami dan keunggulan teknis akan lebih bernas
lagi menekan BR jika dibarengi kepiawaian pengusaha menerapkan manajemen
agribisnis, dan memakai benih unggul yang responsif terhadap pupuk atau kebal
hama penyakit tanaman
Dari perspektif manajemen agribisnis, pelaku produksi harus piawai memilih
SDM handal (mandor, pegawai, dan tenaga lapangan), punya kelebihan ilmu
pengetahuan, pengalaman, dan kejujuran. Hanya dengan adanya tangan manajerial
piawai maka rumus “NPM = Upah” bisa mudah direalisasikan. Bilamana capaian
produktivitas tinggi sesuai harapan, maka upah tinggi pun bisa dikawal dengan
strategi efektif dan taktik efisien sesuai prinsip ekonomi, yaitu: “Maksimumkan
capaian atas pemakaian sejumlah biaya tertentu” atau sebaliknya; “Minimumkan biaya
demi menghasilkan kadar capaian tertentu”. Dari sini faktor-faktor unggul alami dan
Ipteks itu memungkinkan pihak produsen menikmati RENTE EKONOMI sebagai
ekstra laba.
Konsep kurva penawaran terbentuk dari kurva biaya marginal yang posisi
nya di atas kurva biaya rata-rata, kiranya berhubungan pula dengan konsep rente
ekonomi lahan yang perlu dipahami. Di sini rente ekonomi sengaja dimaknakan
sebagai nilai “hutang budi” si penggarap terhadap bidang lahan pertanian yang
begitu menguntungkan karena kemurahan alam yang memberi kelebihan alami
Catatan untuk
lebih tinggi daripada bidang lahan garapan pihak lain. Adanya rente ekonomi juga
penulis: akan bisa memicu daya saing usaha sehingga jadi sulit ditandingi pihak lain. Jadi
yang dimaksud selain menikmati rente ekonomi senilai LA (Gambar 7) maka usaha tani A memiliki
dari gambar 7
ini yang mana ya keunggulan banding (comparative advantage) dibandingkan B dan C. Rente ekonomi
gambarnya? dan keunggulan banding jadikan ukuran prestasi usaha yang didukung oleh variabel
alami (selain teknologi dan manajemen. Pada prestasi berbasis teknologi dan
manajemen yang membuat suplai berdiri di atas efisiensi biaya dan efektivitas
produksi dan pemasaran, itu mendasari keunggulan-saing (competitive advantage).
Jika kehebatan alami bergabung menyatu dengan teknologi dan manajemen tentu
daya saing jadi tidak tertandingi.

56 Ekonomi Pertanian
Catatan untuk
penulis:
Mohon
cantumkan judul
Gambar 3.2 gambar

Dapatlah dimengerti bagaimana nasib mereka para pelaku usaha tani kecil
tradisional yang mengusahakan suatu pertanaman di persil lahan yang tersisa milik
mereka masing-masing. Persil lahan yang tidak punya kelebihan alami dan digarap
tanpa teknologi serta tanpa siasat dan strategi manajemen baku (sebagaimana yang
biasanya terjadi pada usaha tani di suatu desa miskin), tentu saja mereka petani
penggarap demikian mudah jadi pecundang bisnis yang tunduk kepada ketentuan
para pelaku bisnis komersial.
Satuan usah agribisnis komersial hampir pasti lebih berdaya karena memiliki
kapasitas wirausaha, manajemen dan Ipteks inovatif bahkan mungkin sedang
mengusahakan pula persil-persil lahan terbaik yang mereka beli dari kaum tani di
suatu lokasi. Kata lainnya akan sangat sulit untuk meningkatkan taraf kesejahteraan
kaum tani kebanyakan itu jika belum diberdayakan untuk bisa tampil dengan
kelengkapan perangkat komersial serta melembaga BUKD sebagai pelaku unit
UMKM usaha tani kemitraan yang lebih handal. Lagi pula tidak jarang petani desa
hanya mengusahakan lahan sisa yang kurang baik tanahnya, setelah persil lahan
terbaiknya terjual dengan hanya menerima NGRL (Nilai Ganti Rugi Lahan) yang jauh
lebih kecil dari NHAL (Nilai Harapan petani Atas Lahan; jika digarap sendiri cara
agribisnis). dan itu berarti dia dirugikan walaupun nanti setiap jengkal lahan yang
tersisa di sekitar prasarana fisik (misal jalan tol) tentu akan mengalami kenaikan
harga berlipat-ganda.
Padahal persil lahan yang harus dijual itu boleh jadi memiliki nilai rente ekonomi
yang besar dari tahun ke tahun bisa dinikmati sebagai anugerah Tuhan YME kepada
pemiliknya. Selain itu dengan mengedepankan informasi keunggulan produksi
yang benar sesuai potensi daerah, maka rente ekonomi cermin keberuntungan
pemilik bidang lahan terbaik di suatu wilayah justru bisa dijadikan basis pembinaan
agribisnis khas setempat. Komoditi andalan daerah seyogianya ditransformasi jadi
produk unggulan dan itu menopang perdagangan antardaerah atau niaga antarpulau.

BAB 3 | Sisi Lanjut Konsep Penawaran 57


Suatu kegiatan produksi pertanian yang menikmati rente ekonomi dari sebidang
lahan garapan tentu berimplikasi positif-negatif bagi perkembangan ekonomi
pertanian wilayah setempat. Dikatakan berimplikasi positif jika dari aneka alasan
keunggulan bisnis berupa rente ekonomi itu berhasil mendorong intensifikasi pada
petak lahan terkait. Sebaliknya akan berimplikasi negatif bila faktanya kemudian
keunggulan bisnis itu justru memicu ekstensifikasi menambah persil lahan lewat
perambahan kawasan hutan (yang mungkin berstatus ekosistem lindung maupun
agroekosistem kuasa desa).
Ciri positif dan negatif itu harus dapat diantisipasi faktor pemicunya. Hal ini
penting antara lain karena 2 alasan konseptual berikut: (1) Implikasi positif, jika
intensifikasi terus diperkuat upaya inovasi dan perluasan pangsa pasar lewat jalur
rantai-pasok (supply chain) yang terhubung erat; (2) Implikasi negatif, jika tekanan
penduduk dan godaan hedonis-materialistik terhadap kaum tani tanpa ada upaya
penyadaran mereka.
Rente Ekonomi Berimplikasi Positif
1. Ketika rente ekonomi terangkat dari sebidang lahan garapan sebagaimana
tampak dari laba positif pada setiap putaran produksi atau setiap kali panen
dari tahun ke tahun, sehingga produsen bisa menikmati LABA tinggi karena
permintaan terus berlipat ganda dari pasar domestik dan ekspor.
2. Ketika rente ekonomi terjadi membawa laba puncak sehingga memicu-pacu
langkah hilirisasi mengolah komoditi yang dihasilkan jadi produk inovatif
dengan nilai tambah yang berkepastian, walau berskala rumahan tetapi
memacu-skala usaha untuk didukung mitra petani produsen lain.

Rente Ekonomi Berimplikasi Negatif


1. Tidak mustahil terjadi kehadiran rente ekonomi dibarengi permintaan naik
berlipat dalam bentuk bahan segar siap ekspor atau bahan baku tanpa perlu
hilirisasi melainkan ditampung satuan agroindustri skala besar tapi masih
kekurangan bahan baku, lalu memicu buka hutan cara merambah.
2. Tidak mustahil terjadi kebernasan rente ekonomi meninabobokan mereka para
petani sehingga lalai menjaga kebugaran tanaman utama karena ada komoditi
sampingan yang juga sedang mengalami permintaan pasar yang menarik,
pendapatan utama tak maksimal lalu terhambat jadi sejahtera.

Adanya bukti faktual negatif yang bisa terjadi di lapangan ini, maka amat perlu
tindakan bijak Pemda untuk senantiasa memantau arah dan laju perkembangan
produksi pertanian di daerahnya. Politik pembinaan kehidupan petani kecil
memang harus berbobot kesengajaan yang memihak pada mereka. Para petani kecil

58 Ekonomi Pertanian
tradisonal tidak terlalu bodoh apabila terus diberi perhatian dan dibina dengan
segala kesungguhan. Artinya, berkesungguhan memberi mereka pengetahuan
praktis sejak urusan teknis produksi hingga pada urusan pemasaran dan transaksi
bisnis. Kesungguhan dalam artian diberi perlakuan tidak tanggung-tanggung, bukan
hanya sekadar berupa proyek (yang penting ada bukti dijalankan) melainkan berupa
program yang mesti sukses menanamkan cara dan ciri kerja sistemis. Tidak patut
kinerja meredup setelah fase pembinaan (proyek) berakhir karena putaran bisnis
yang sistemik tidak sempat terbina, akibat daya saing tidak terbentuk guna berpacu
bisnis dengan cara dan kemampuan wirausaha mandiri).4

3.5 Perspektif Nilai Kontrak Penjualan dan Rantai Suplai


Pengertian kontrak penjualan adalah kesepakatan perjanjian transaksi berjangka waktu
tertentu, antara suatu pihak pemasok (supplier) dan pihak penampung barang (buyer);
baik berupa bahan baku bagi kegiatan produktif lanjutan (yakni pabrikan agroindustri)
maupun berupa bahan perniagaan untuk memenuhi kebutuhan konsumen. Kalaulah
barang dimaksud berstatus komoditi primer (yaitu hasil pertanian segar), maka
kontrak penjualan itu akan sangat menolong pemberdayaan pihak petani penghasilnya.
Para pelaku usaha tani berskala kecil tradisional hanya berpatokan pada belas kasih
alam, juga tidak mampu bersiasat apalagi berstrategi pemasaran. Mereka selalu dikejar
oleh waktu yang sungguh singkat untuk bisa mencapai titik transaksi pasar yang
memuaskan. Mereka harus bergegas karena komoditi pertanian tidak bisa bertahan
lama untuk disimpan setelah dilakukan panen.
Sifat komoditi pertanian pascapanen umumnya berisiko 7C yaitu: (1) Cepat
rusak; (2) Compang-mutu; (3) Condong-susut; (4) Cecer-jumlah; (5) Cacat- rupa;
(6) Cenderung-beragam; (7) Cakup-gudang alias makan tempat atau ruang timbun
sementara belum terjual. Dikarenakan sifat yang serba cingkrang inilah maka pihak
pembeli akan mudah menekan harga transaksi, terkecuali jika ada KONTRAK JUAL
yang jelas berkait dengan mata rantai pembeli, khususnya agroindustri penghasil
produk hilirisasi. Kontrak jual akan membuat kepastian hadirnya pihak pembeli
tetap terhadap komoditi hasil tani yang berkarakter 7C itu. Tentu saja para petani
kecil tidak otomatis melihat di mana jalur kontak harus dituju agar efektif ke arah
kesepakatan kontrak jual. Oleh sebab itu untuk merealisasikan proses yang tampak
samar-samar ini, maka pihak pemda sudah sepatutnya melakukan langkah-langkah
pembinaan yang benar-benar berpihak pada perbaikan nasib kaum tani.

4
Mengenai hal ini dunia patut kagum menyaksikan bagaimana pemerintah Tiongkok bekerja
sama dengan pihak swasta guna memastikan sekecil apa pun produk atau barang manufaktur
yang dihasilkan UMKM harus bisa dijual ke negara-negara lain hingga pedagang asongan pun
tertarik untuk ikut menjualnya .

BAB 3 | Sisi Lanjut Konsep Penawaran 59


Harus diingat bahwa langkah pembinaan kaum tani yang ideal tidaklah hanya
sebatas kontrak jual yang menciptakan pembeli tetap bagi komoditi, karena hal ini
hanya memastikan adanya laba saja. Taktik dagang akan selalu mendorong pihak
pembeli untuk menekan harga transaksi guna menjaga efisiensi biaya produksi
pada lingkup kegiatan bisnis mereka. Padahal di pihak petani harus bekerja keras
di samping berbiaya dan perlu waktu dalam upaya mereka menghasilkan komoditi
berbasis otot yang melelahkan. Atas kepedulian terhadap hal ini, maka satuan
agroindustri primer (atas komoditi pascapanen) sudah sepaturnya diupayakan
untuk dimiliki oleh kelompok petani.
Pernyataan semua pihak bahwa perekonomian Nusantara memang berbasis
pertanian kiranya tidak patut diragukan, apalagi sektor dasar ini memang melibatkan
kerja nyata dari separuh lebih penduduk negeri. Justru hal yang demikian faktual
tapi juga potensial seyogianya ditelusuri dan diupayakan jadi basis perekonomian
bangsa, dan pasti menyangkut kebutuhan hidup orang banyak. Produksi komoditi
kebutuhan hidup itu sampai kapanpun akan tetap bergantung pada peran alam,
sebagaimana kenyataan tentang kelangsungan proses foto sintesis (pada Sub-Bab
1.1). Bermula dari keunggulan komoditi berbasis kemurahan alam itu maka tidak
semua bangsa bisa mendapat kesempatan produksi leluasa. Produksi primer hanya
perlu diperkuat lagi dengan teknologi dan manajemen produksi serta kepiawaian
bersiasat wirausaha sehingga jitu strategi pemasaran. Dengan dukungan dan
dorongan pemda terhadap komoditi andalan (khas daerah) dan produk unggulan
(karya daerah) maka kemajuan ekonomi akan besar pengaruhnya terhadap
kehidupan bangsa sekaligus sulit disaingi oleh bangsa lain.
Argumentasi ekonomi pertanian di atas mengandung dua kata kunci yang
menjadi medan juang jika hendak merealisasikan ekonomi fundamental yang
kuat, yaitu: (1) khas daerah, yang mengisyaratkan adanya keunggulan banding
(comparative advantage) yang ditopang kesuburan khas tanah setempat dan
kesesuaiannya dengan suatu pilihan komoditi pertanian; (2) keunggulan saing
(competetive adventage) yang amat terkait pada teknologi dan manajemen. Ciri
alami di balik kata kunci (1) memang nyata variasinya dari daerah ke daerah lainnya,
walaupun karena alasan kesesuaian alam lalu komoditi pilihan bisa tumpangtindih
antardaerah bertetangga. Dari itu dimensi inovasi berbasis Ipteks–inovatif akan
jadi penentu kekhasan komoditi dan sekaligus kreativitas agroindustri pascapanen
hingga kepada fase lanjutan rantai produksi prakonsumsi atau tekno-produksi
tingkat akhir.
Upaya nyata seperti demikian itu tentunya akan bisa mengangkat nasib kaum
tani dan bisa dijamin berpengaruh positif terhadap penguatan fundamental ekonomi
negeri ini. Argumentasi demikian harus mengingatkan semua perangkat abdi

60 Ekonomi Pertanian
negara, karena: (1) Sektor pertanian itu sumber penghidupan bagi lebih dari separuh
anak negeri ini; (2) Sektor pertanian menjamin ketersediaan pangan bangsa, dan
juga ketersediaan energi terbarukan asal sawit dan lainnya; (3) Sektor pertanian
sesungguhnya bisa menumbuhkan aneka agro- industri, sehingga berpotensi
menopang niaga antar-pulau dan niaga ekspor.

Gambar 3.1. Komoditi Tani Berupa Bahan Segar Punya Kelemahan 7C, Maka Perlu Olah
Ipteks-Inovatif Jadi Produk Berciri 7J Kuat Pemasaran

Argumentasi tentang perilaku agribisnis bergandeng aneka agroindustri itulah


yang masih perlu dikembangkan di tiap daerah seputar Nusantara. Argumentasi
rasional ilmiah selanjutnya harus ditransformasi jadi diplomasi niaga lintas daerah di
seputar Nusantara, kemudian jadi bahan diplomasi dagang lintas benua. Perdagangan
ekspor berbasis keunggulan banding dan keunggulan kompetetif amat potensial
menyejahterakan semua anak negeri, serta menaikkan harkat dan martabat NKRI.
Penulis buku ini berkeyakinan kuat bahwa dengan langkah perbaikan
manajemen pembangunan sektor pertanian lebih digencarkan, maka peran kaum
tani bisa tampil sebagai pelaku UMKM agribisnis kemitraan juga bisa lebih inovatif
sebagai penopang aneka agroindustri di tanah air. Bukankah di masa akan datang
hampir dapat dipastikan banyak negara terutama di jazirah Afrika, Timur Tengah
juga negeri tetangga, akan makin dihantui ancaman kekurangan pangan. Kebutuhan
bahan pangan maupun produk energi terbarukan itu boleh jadi bisa melimpah
dihasilkan oleh kekuatan agribisnis yang lebih maju di Indonesia, yang dikenal amat
subur serta kaya aneka SDA dan biodiversitas ini.

Daftar Pustaka
Reynolds, L.G. 1975. Agriculture in Development Theory. Edited pp. 510. London:
Yale University Press.
Wibowo, R. B. Krisnamurthi & B. Arifin. 2004. Rekonstruksi & Restrukturisasi
Ekonomi Pertanian. Ed. Beberapa pandangan kritis PERHEPI. hlm. 368.

BAB 3 | Sisi Lanjut Konsep Penawaran 61


[Halaman ini sengaja dikosongkan]
4
BAB

KONSEPSI DASAR PERMINTAAN

4.1 Konsepsi Pendekatan Gufaat-Ordinal dan Garis Harga


4.2 Konsepsi Permintaan Konsumen dan Siasat Pasar
4.3 Konsepsi Permintaan Komoditi dan Produk Olahan
4.4 Konsepsi Perubahan dan Elastisitas Kurva Permintaan
4.5 Konsepsi Perubahan Pendapatan dan Elastisitas Permintaan

Ekonomi Pertanian: Konsepsi Dasar Permintaan


Arti penting perilaku permintaan pasar selanjutnya permintaan konsumen terhadap
komoditi pertanian, kiranya sangat perlu dipahami para pengamat dan bahkan oleh
setiap pelaku produki sektor pertanian. Secara konseptual teoretis harus dibedakan
antara dua konsep permintaan pasar dan permintaan konsumen. Sesungguhnya
permintaan pasar diartikan sebagai turunan dari permintaan individu. Antara
produsen dan konsumen biasanya terdapat peran pasar di mana kekuatan banyak
individu saling bertemu dan berinteraksi. Apa yang ada di tangan produsen
ditawarkan lewat mekanisme pasar, khususnya terkait proses pengumpulan,
pengepakan, pengolahan, dan pendistribusian hingga akhirnya diterima para
konsumen sesuai permintaan mereka. Jadi jelas faktor penentu akhir besar-kecilnya

63
volume hasil pertanian di titik produksi adalah permintaan konsumen. Persisnya,
jumlah diminta (quantity of demand) adalah penggerak utama hasil produksi menuju
konsumen.
Kebutuhan warga konsumen selalu berkisar pada aneka jenis pangan, pakaian
dan papan, hampir semuanya merupakan hasil produksi pertanian di lapangan dan
umumnya di pedesaan. Bentuk barangnya ketika masih berada di tangan produsen
disebut KOMODITAS yang berupa bahan segar (semisal jeruk dan pisang) atau
juga berupa bahan mentah semisal TBS (Tandan Buah Sawit) ataupun BOKAR
(Bahan Olahan Karet). Untuk sampai ke tangan para konsumen akhir maka suatu
komoditi bisa berupa barang yang sudah diolah jadi produk dan bisa juga masih
berupa komoditi segar siap konsumsi. Apa pun bentuknya dipastikan sudah ada
campur tangan kekuatan pasar yang memilah-pilah komoditi dengan pengepakan
bahkan mengolahnya jadi produk sehingga tahan lama dan sampai dengan baik di
tangan konsumen akhir.
Sering kali disebutkan orang “consumer is the king” atau pembeli adalah raja,
dan sebutan ini dapat dipahami dengan akal sehat sebagai istilah yang tidak
mengada-ada. Betapa pun besarnya peran mekanisme pasar dalam penyediaan
barang melalui aneka bentuk jasa pemasaran termasuk jasa promosi, tapi keputusan
untuk membeli dan memakai barang itu tetap dibentuk oleh kekuatan permintaan
konsumen. Dari sini konsep permintaan sangat penting untuk dipahami dengan
cermat untuk didayagunakan dengan seksama sehingga menguntungkan petani
maupun konsumen.

4.1 Konsepsi Pendekatan Gufaat-Ordinal dan Garis Harga


Terhadap setiap jenis barang, baik yang berupa komoditi primer (hasil pertanian)
maupun berupa produk olahan (keluaran agroindustri), teori ekonomi mikro
menegaskan adanya konsep gufaat (guna-manfaat = utility). Sesungguhnya gufaat
lah awal pemicu minat konsumen terhadap suatu barang bahkan juga suatu jenis
jasa. Mulanya gufaat akan merangsang tumbuh minat sesorang untuk mendapatkan
suatu barang, lalu kemudian minat disesuaikan dengan faktor pembatas pada pribadi
itu sehingga terbentuk kadar kebutuhan yang wajar untuk diupayakan pribadi orang
untuk meraihnya.
Sebagai keinginan (want) maka boleh jadi bobotnya berlebihan karena ada peran
emosi atau nafsu manusiawi. Setelah menyadari berapa kemampuan finansial yang
dimiliki keluarga barulah terungkap secara realistik seberapa besar kebutuhan (need)
yang sewajarnya diraih lewat transaksi pembelian. Konsepsi teori ekonomi mikro
memberi istilah garis-harga (price line) sebagai patokan penentu kebutuhan yang
rasional sebagaimana dibatasi pendapatan. Dikatakan rasional karena garis harga itu

64 Ekonomi Pertanian
terbentuk dari 2 unsur pembatas, yakni jumlah pendapatan yang dapat dibelanjakan
(disposable income) dan harga relatif dari dua dimensi kelompok barang kebutuhan.
Jadi, jumlah kebutuhan tidak sama ukurannya antarpribadi konsumen atau
bahkan kelompok konsumen, walau terhadap jenis barang yang sama. Oleh karena
itu, teori permintaan konsumen lebih peduli pada tingkat kebutuhan yang sifatnya
relatif daripada peduli terhadap kadar kebutuhan mutlak dengan satuan ukur kg
atau meter dan lainnya. Ordo atau derajat kebutuhan cukup dinyatakan derajatnya,
yaitu lebih tinggi atau rendah serta lebih banyak atau sedikit. Jika ordo kebutuhan
ini digambarkan untuk 2 jenis atau 2 kelompok kebutuhan barang A dan B, maka
akan ada jejak Gambar 4.1 (a),(b),(c) yang terkait taraf kepuasan dan kemampuan
konsumen.
Perhatikan bahwa kurva permintaan dapat diidentifikasi adanya di suatu
komunitas konsumen dengan dasar ukuran relatif 5 unsur variabel pembentuknya,
yaitu sebagai berikut:
1) Ukuran kadar pendapatan (P) rata-rata yang mereka bisa belanjakan;
2) Ukuran harga 2 jenis komoditi (A dan B) yang mereka butuhkan;
3) Ukuran kepuasan sama (indifference) dari beberapa kombinasi A dan B.
4) Ukuran derajat kepuasan beda (ordinal) antarkelompok kombinasi itu.
5) Ukuran derajat kepuasan optimal sesuai tingkat kemampuan yang ada.

Dari 5 komponen informasi hipotetik di atas, maka dapat dibuat Gambar 4.1
diberikan berikut ini.

Catatan untuk
penulis:
Gambar pada
word error
mohon kirim
ulang gambar 4.1

Gambar 4.1 Ilustrasi Konsep Gufaat-Ordinal, Garis Harga, Kurva Permintaan

Perhatikan keterangan yang diberikan pada masing-masing kotak kuning itu


yang intinya adalah Gambar 4.1 (c), yaitu kurva ‘demand’ diturunkan dari kurva

BAB 4 | Konsepsi Dasar Permintaan 65


8B. Sedangkan kurva dan garis harga pada Gambar diramu berdasarkan tingkatan
kepuasan sama (indifference), yaitu serangkai andaian kombinasi qA & qB yang
memberi kepuasan sama. Lalu dipadu dengan data harga barang hA dan hB, maka
suatu tingkatan gapaian kepuasan-sama dapat dijangkau konsumen yang hanya
menyisihkan rata-rata pendapatan sebesar P (lihat titik singgung garis harga g1
dan kurva indiferens I1.
Perhatikan juga beda yang nyata antara kurva penawaran (Gambar 2.4)
dibandingkan kurva permintaan. Kurva penawaran bersudut positif, karena miring
dari kiri bawah ke kanan atas. Kurva permintaan bersudut negatif, karena miring
dari kiri atas ke kanan bawah. Perbedaan sudut itu sesuai dengan hukum penawaran
yakni; “Jika harga barang naik maka jumlah ditawarkan bertambah, atau sebaliknya”.
Sesuai dengan hukum permintaan; “Jika harga turun maka jumlah yang diminta
bertambah, atau sebaliknya jika harga naik maka jumlah barang yang diminta
jadi turun”. Kemiringan kurva permintaan menunjukkan elastisitas kurva, seperti
juga kemiringan pada kurva penawaran.

4.2 Konsepsi Permintaan Konsumen dan Siasat Pasar


Bahasan pada sub-Bab 4.1 telah memperkenalkan peran mendasar dari setiap
individu konsumen yang pasti memiliki segugus kebutuhan hidup, yang tentu harus
dipenuhi. Untuk memenuhi kebutuhan bersifat materialistik yang tidak dimiliki,
maka individu konsumen hanya dapat menggapai sebatas tingkat pendapatan yang
bisa diperoleh masing-masing konsumen dalam perannya selaku pencari nafkah.
Dengan argumentasi demikian maka atas landasan teori gufaat-ordinal sambil
memperhatikan batas pendapatan perorangan konsumen maka secara konseptual
ada bentuk dan kadar permintaan dapat digambarkan berupa suatu kurva permintaan
pribadi konsumen.
Dari situ dapat diturunkan salah satu konsep dasar permintaan yang bisa disebut
kurva permintaan perorangan (individual). Tentu saja bagi setiap pihak produsen
atau pelaku bisnis penentu kurva atau kekuatan penawaran selalu berkepentingan
untuk berinteraksi dan bertransaksi jual-beli dengan sebanyak mungkin inividu
konsumen. Karenanya kebijakan bisnis pihak produsen sekaligus penjual suatu
komoditi atau suatu produk memang harus memperhatikan kekuatan permintaan
orang banyak atau sejumlah konsumen individual berupa kurva permintaan pasar
(Gambar 4.2). Begitu pula sebaliknya argumentasi yang terkait penawaran pasar,
oleh pihak konsumen akan dibaca dengan kekuatan permintaan, yang sempat dibahas
dalam sub-Bab 3.3 terdahulu.

66 Ekonomi Pertanian
Gambar 4.2 Ilustrasi tiga Kurva Deman Perorangan Menjadi Permintaan Pasar (Quantitas
Diminta Individual; q1 + q2 + q3 = Q (Jumlah Diminta Pasar)

Adalah perjumpaan aktif atau interaksi kekuatan permintaan pasar dan


penawaran pasar yang jadi penentu harga suatu barang. Pihak penjual akan
menggunakan siasat dan strategi untuk mendapatkan harga setinggi mungkin,
sedang pihak pembeli inginkan harga barang yang murah tapi tetap mengharap
mutu barang yang baik. Ini bisa saja disiasati oleh pihak yang kuat melalui pilihan
strategi rekayasa struktur pasar, perilaku pasar dan kinerja pasar (Bab 6).
Perbincangan konsepsional tentang permintaan pasar di kalangan petani pelaku
usaha tani pada umumnya tentu juga relevan, khususnya ketika hal itu berkenaan
dengan saprosi (sarana produksi) semisal benih atau bibit unggul, pupuk dan
obat pembasmi hama dan penyakit tanaman (HPT). Pelaku usaha- tani jumlahnya
banyak dan tersebar, dan mereka berkinerja tradisional dan berskala usaha kecil
serta tersebar sembari bertindak sendiri perorangan. Tentulah mereka berada
di posisi yang lemah. Secara perorangan tentu mereka mudah dipengaruhi oleh
pihak penyuplai termasuk oleh pihak pedagang perantara aneka barang saprosi
itu. Sebaliknya tidak akan begitu mudah dipecundangi apabila para petani sejenis
telah tampil melembaga resmi dan kian berwawasan komersil sehingga pengadaan
kebutuhan tuntas dengan baik.
Di dunia nyata amat sering dijumpai kehadiran tenaga penyuluh pertanian
yang tugasnya memberikan pemahaman dan ketegaran hati petani untuk siap
menerima dan memakai resep Ipteks serta pola manajemen dan taktik wirausaha
guna mengatasi kelemahan petani, tapi belum terbilang sukses. Justru tenaga SDM
penyuluh jadi bertindak sebagai tangan-tangan aktif pihak pemasok atas nama
perusahaan pembuat saprosi. Kegiatan para penyuluh di suatu daerah sering kali
tidak menyentuh program Pemda, melainkan semata-mata memengaruhi petani
agar membeli dan memakai produk ‘baru’ dari pabriknya. Kegiatan sang penyuluh
jadinya berubah dari misi dan amanat yang seharusnya mereka emban sejak diangkat
dan ditugasi Pemda. Pada situasi demikian ini justru pihak petani tidak banyak
diuntungkan, bahkan diposisikan pada pengeluaran biaya produksi dengan modal
agak lebih mahal.

BAB 4 | Konsepsi Dasar Permintaan 67


Tentu pula para petani punya kebutuhan rumah tangga berupa bahan pangan
yang tidak mereka hasilkan sendiri. Ironis sekali bagi para petani pelaku usaha tani
tanaman pangan pokok (beras), karena pendapatan mereka amat tergantung pada
harga komoditi beras yang selalu dalam kendali pemerintah. Tidak boleh melampaui
harga maksimum sebelum musim panen padi, dan juga tidak boleh lebih rendah
dari harga dasar (minimum) ketika musim panen padi. Harga agak rendah harus
diterima petani, tetapi ketika belanja kebutuhan keluarga tingkat harganya relatif
mahal sehingga NTP (Nilai Tukar Petani) jadi rendah. Ketimpangan NTP tidak akan
banyak menolong kesejahteraan serta perbaikan nasib petani. Karenanya program
pemberdayaan kaum tani sangat penting dilakukan. Peningkatan intensitas tanam
dan terap-guna pertanaman campuran juga pengolahan komoditi perlu ditularkan
kepada petani.

4.3 Konsepsi Permintaan Komoditi dan Produk Olahan


Terkait dengan judul anak bab ini, ada beberapa asumsi pemikiran perlu dibahas
sejak awalnya. Komoditi primer diartikan di sini sebagai hasil tani baik yang sifatnya
bahan segar (jenis sayur-mayur dan buah-buahan) atau berupa bahan baku (sejenis
getah-bokar, TBS-sawit, biji kopi dan lainnya). Tidak pula sedikit dari jenis bahan
segar yang digunakan sebagai bahan baku agroindustri olah-perta (agro-processing
industry) sehingga dihasilkan produk olahan setengah jadi. Contohnya BOKAR
(bahan olahan karet) untuk diproses jadi balok karet remah (crumb rubber, yaitu
produk olahan setengah jadi) yang dibutuhkan pabrik penghasil produk siap pakai
berupa ban, misalnya.
Dari kedua istilah tadi, lalu diperkenalkan di sini sebutan komoditi andalan
(mis: bokar) dan produk unggulan daerah (mis: karet remah), dan dua kategori
barang disebutkan terakhir ini sepatutnya ada di setiap daerah. Tanpa membahas
kedua konsep barang itu maka diskursus ekonomi pertanian kehilangan bidang
terapan nyata, artinya terjebak pada omong kosong saja. Padahal diskursus ini
berbeda orientasi daripada sekadar tentang agronomi pertanian. Di dalamnya harus
disentuh beberapa isu makro dan mikro ekonomi, juga isu manajemen produksi
hingga pemasaran hasil, niaga nasional–internasional dan isu kerakyatan bersanding
dengan keswastaan profesional.
Adanya komoditi dan produk yang khas daerah adalah syarat pokok bagi
keberlangsungan niaga barter antara dua daerah, karena barang khas daerah melebihi
kebutuhan di suatu wilayah Barat, tapi perlu dimiliki warga di suatu wilayah timur
dan begitu pula sebaliknya. Berkenaan arus barang itu, maka proses barter komoditi
primer antara dua daerah yang sangat berjauhan tentunya akan terkendala oleh
adanya sifat 7C yang selalu mencirikan tampilan berbagai hasil pertanian berupa

68 Ekonomi Pertanian
bahan segar ataupun bahan baku, seperti yang sudah dibahas sebelum ini (sub-Bab
3.5).
Atas alasan demikian itu maka komoditi andalan suatu daerah perlu
ditransformasi menjadi produk unggulan daerah. Atas perlakuan Ipteks-inovatif
terhadap suatu komoditi, maka dihasilkan suatu produk olahan yang tidak lagi
memiliki sifat 7C seperti semula. Sifat baru yang lebih luwes untuk diangkut jauh
tentu memperlancar proses bater produk unggulan untuk dipertukarkan secara
transaksional oleh para pelaku bisnis dari masing-masing daerah. Perlakuan inovatif
dan kreatif ini seyogianya mendatangkan nilai tambah dan memperbesar raihan
laba, yang sepatutnya pula menambah pendapatan petani.
Jadi, rutinitas pertukaran barang khas antardaerah (barter) tentu berfungsi
memperlancar aktivitas ekonomi di kedua daerah, mempercepat laju pertumbuhan
ekonomi di sesama daerah melalui peran aktif banyak warga. Fundamental ekonomi
bangsa mengua dan menambah keeratan hubungan sosial–ekoniomi–budaya
(sosekbud) antara warga, dan pasti berpengaruh positif bagi perkuatan kesatuan
dan persatuan bangsa. Justru skenario cantik yang seperti disebutkan ini kiranya jadi
sasaran penting yang harus dibidik dengan alat teleskop dan senjata konsepsional
ilmu ekonomi pertanian. Atas dasar pertimbangan yang serba indah dan berbuah
manis ini juga, maka setiap pembina ekonomi kerakyatan di daerah sepatutnya
melihat hal itu sebagai satu target pembinaan di daerah masing-masing.
Upaya untuk menciptakan perluasan pangsa pasar tiap produk unggulan
memang sebaiknya dimulai dari penetapan komoditi andalan masing-masing daerah,
yang berarti juga menyangkut nafkah hidup mayoritas warga dan juga paling cocok
dengan ciri lingkungan biogeofisik setempat. Jika suatu komoditi andalan sudah
teridentifikasi, maka selanjutnya harus dicermati dari sudut pandang hulu dan
hilirnya. Dari sisi hulu harus dipertanyakan masih perlu jenis Ipteks apa untuk bisa
manaikkan produksi per ha (atau produktivitas) usaha tani itu? Dari sisi hilir sangat
penting dipertanyakan seperti apa perlakuan ipteks usaha tani yang lebih cocok
untuk memenuhi selera dan pola permintaan konsumen-antara maupun konsumen-
akhir; konsumen di daerah tetangga maupun konsumen jauh di daerah lain?
Orientasi pertimbangan selera dan pola permintaan konsumen-antara berarti
pihak pembeli yang akan memberikan perlakuan lanjut pada barang itu demi
menambah daya tarik barang (terkait rasa dan khasiat) di mata konsumen akhir.
Sekaligus pada saat yang sama perlakuan teknis harus mereka berikan guna
memperlancar arus transportasi produk unggulan itu hingga ke luar daerah yang jauh
bahkan akhirnya ke luar negeri sebagai barang niaga ekspor. Demikian pula ada isu
pola permintaan yang berkenaan dengan konsumen-akhir, dan pola permintaan itu
pasti berkaitan dengan taraf pendapatan (sosial ekonomi) dan terkait pula dengan

BAB 4 | Konsepsi Dasar Permintaan 69


tradisi hidup mereka (sosial budaya). Pada konsumen bertaraf pendapatan per-
kapita (income/orang) tinggi, tentulah sasaran konsumsi mereka adalah produk
unggulan yang sehat dan bergizi. Jadi bukan sekadar asal kenyang atau sekadar pakai,
apalagi jika ada aspek halal ikut pula memagari selera konsumsi warga beragama.

4.4 Konsepsi Perubahan dan Elastisitas Kurva Permintaan


Dalam kaitan elastisitas atau tingkat kemiringan kurva permintaan itu ada ilustrasi
sederhana yang baik untuk dipahami dan disadari setiap pribadi pemula yang
belajar ilmu ekonomi pertanian. Sebagai mana telah disinggung lebih awal ketika
membahas soal kurva penawaran dalam sub-Bab 2 dan 3 sebelum ini, ada baiknya
memahami efek perubahan harga terhadap jumlah barang yang dimintakan.
Dalam bahasa Inggrisnya, sebutan ‘move along the demand curve’ (atau bergerak di
sepanjang kurva) yang menyatakan efek perubahan harga suatu barang terhadap
“jumlah yang diminta” (quantity of demand). AWAS: Hendaklah diperhatikan beda
konsep perubahan pada sebutan “jumlah yang diminta” daripada perubahan “jumlah
permintaan”. Melalui ilustrasi pada Gambar 4.3, tampak titik A jadi B di sepanjang
kurva permintaan, sedang kurva Dpp1(permintaan) tidak berubah sama sekali.
Catatan untuk
penulis:
Gambar pada
Word tidak
muncul, mohon
kirimkan ulang
apabila pada
bagian ini
seharusnya
terdapat
gambar

Gambar 4.3 menunjukkan gerak perubahan posisi titik potong A ke B di


sepanjang kurva permintaan, sebagai akbat pergeseran kurva penawaran dari posisi
sebelum panen jadi keadaan masa panen. Guna menunjukkan the shift along the
demand curve, maka pergeseran kurva suplai diasumsikan sama jauhnya pada tiga
keadaan yang terkait dengan adanya musim panen di suatu wilayah produksi. Ketika
kemudian perhatian diberikan hanya pada kurva permintaan, maka tampak efeknya
berupa perubahan harga (∆H); yakni ∆H3 > ∆H2 > ∆H1 sedangkan perubahan jumlah
barang ∆Q3 < ∆Q2 < ∆Q1 terjadi sebaliknya, yakni disebabkan perbedaan sudut
(elastisitas) kurva permintaan. Semakin tidak elastis kurva permintaan seperti Dpp3

70 Ekonomi Pertanian
di desa (dibanding Dpp1 yang biasa adanya di kota) semakin kecil kadar perubahan
jumlah yang diminta (∆Q3) jikapun harga barang menurun begitu bernas (∆H3).
Tampak pergerakan titik potong dari A ke B pada kurva permintaan, dan itulah
‘gerak di sepanjang kurva’ diikuti ‘perubahan jumlah yang diminta’ sebesar ∆Q1,
∆Q2, ∆Q3 sebagai akibat turunnya harga sebesar ∆H1, ∆H2, ∆H3. Dalam hal ini harga
komoditi pertanian menurun karena terjadi pergeseran kurva penawaran sementara
permintaan tidak berubah sama sekali sebab pada ketiga gambar tidak terjadi
“pergeseran kurva permintaan”. Sejauh yang terkait dengan kurva permintaan,
pada gambar hanya ditampakkan adanya semacam “perbedaan kemiringan
(elastisitas)” kurva permintaan. Di situ tampak adanya perbedaan (bukan perubahan
) kurva permintaan yang sengaja digambarkan atas asumsi adanya perbedaan lokasi
transaksi pasar; yakni di desa (Dpp1), di tingkat pedagang penghubung (Dpp2) dari
pedesaan kepada konsumen yang pada umumnya berada di kota (Dpp3).
Rincian sasaran pemahaman yang berbeda-beda itu sengaja diberikan di sini
untuk sekaligus mengingatkan pembaca naskah teori ini tentang tiga diksi penting
dalam upaya mengkaji dan membahas keadaan di dunia nyata, yang mungkin
dijumpai oleh pengamat ekonomi di lapangan. Pemahaman rinci dan komprehensif
di zaman serba kemajuan dan cepat berubah dewasa ini apalagi di masa depan
tentu membuat rumit setap persoalan sosial ekonomi maupun sosial-ekologis
dan sosial-politik. Dari itu akan sangat tidak efektif kebijakan untuk mengatasi
persoalan itu jika bersifat parsial dan kasus per-kasus, ter-lebih lagi pengaruh
perkembangan teknologi inforkom sudah pula tersebar di pedesaan. Bersamaan
itu juga pertumbuhan jumlah penduduk dan kebutuhan hidup mendasar warga
kian berlipat ganda, semuanya memacu persaingan dan terkadang bisa memacu
keserakahan yang berujung ketegangan sosial. Suatu rancangan pembangunan
ekonomi berbasis mikro ekonomi perusahaan pada suatu zona makro ekonomi
kewilayahan sangat besar perannya.
Guna membangun daya-kaji terhadap masalah perekonomian dalam rangka
merumuskan kebijakan ekonomi dan meningkatkan kapasitas tekno-ekonomi
pembinaan wilayah, maka para pihak yang mungkin dilibatkan harus sejak awal
memahami komponen teori itu agar konsepsi teori yang benar dan relevan dapat
dipakai dalam rangka analisis masalah dan kemudian menyusun rancangan
prasarana-sarana fisik dan kebijakan pembangunan, pengelolaan dan pengembangan
kegiatan agribsinis termasuk agroindustri dan layan-jasa jual-beli yang kuat
kapasitasnya serta sistemik jejaring bisnisnya karena sudah tepat diantisipasi arah
perubahan ke depan terkait permintaan komoditi.

BAB 4 | Konsepsi Dasar Permintaan 71


4.5 Konsepsi Perubahan Pendapatan dan Elastisitas Permintaan
Sebegitu jauh telah dipahami bahwa faktor penentu utama pada kadar dan pilihan
konsumen terhadap suatu barang adalah pendapatan keluarga atau juga tingkat
pendapatan per kapita warga di suatu wilayah. Arah dan kadar perubahan pendapatan
itu tentu diharapkan selalu positif, yaitu tumbuh karena adanya pembangunan
ekonomi di setiap wilayah negeri. Akan tetapi kadar prestasi pertumbuhan ekonomi
juga mengalami pasang surut. Kadang hal itu hanya merupakan dampak naik-turun
gelombang permukaan air, tapi tidak juga mustahil tampilan dampaknya dahsyat
seperti halnya akibat gelombang tsunami. Berkenaan ini, wanti-wanti tentang turun
naik kadar pendapatan keluarga sudah diberikan pada bagian ujung sub-Bab 1.5
kalaulah salah urus kegiatan ekonomi mikro di atas bentang kawasan permukaan
bumi ini.
Secara khusus, pasang-surut pendapatan keluarga juga bisa terjadi karena
adanya dinamika ekonomi makro, semisal krisis moneter, kenaikan inflasi yang
melambung luar biasa akibat gejolak politik di negeri tetangga. Ketika bagian bab
ini ditulis, sedang terjadi banyak kebangkrutan perusahaan berskala besar, sedang
dan kecil akibat wabah pandemik Corona-19 yang sempat merebak, lalu membatasi
ruang gerak orang banyak dan belanja warga masyarakat. Tidak sedikit jumlah
warga kehilangan sumber pendapatan karena ter-PHK, dan dapat dipastikan tingkat
pendapatan per kapita negeri turun pula. Tentu secara umum pendapatan keluarga
menurun dan membawa akibat pada penurunan jumlah barang diminta untuk
dibeli. Secara teori, kurva permintaan bergeser ke kiri sementara kurva penawaran
tetap tak-berubah, sehingga terjadilah kenaikan tingkat harga keseimbangan pasar.
Beruntung bahwa drama pendapatan yang turun tidak selalu drastis ber-
pengaruh kepada permintaan hasil pertanian tanaman pangan, baik yang dihasilkan
oleh pertanian semusim seperti PAJALE (padi-jagung-kedele), karena pajale
terbilang kebutuhan pokok warga bangsa. Begitu juga dengan hasil per- tanaman
tahunan, yaitu dari usaha perkebunan semisal kopi, sawit, lada dan karet; yang
banyak diperlukan untuk obat-obatan, bahan energi pengganti serta komestik juga
pakaian. Dalam konteks wabah C-19 patut disyukuri juga warga tani perdesaan
tidak banyak terkena langsung, mungkin karena mereka selalu berpanas-terik
sambil mengayun parang dan cangkul. Lagipula, mereka cukupi kebutuhan pangan
mereka dengan bahan segar dan pola yang serba alami, dan keadaan itu adalah juga
keberuntungan bagi pihak konsumen.
Walaupun demikian dinamika efek perubahan pendapatan keluarga dan warga
masyarakat pada umumnya terhadap kadar jumlah barang pertanian yang diminta
menarik dan perlu dipahami secara konsepsional. Setidaknya ada lima konsepsi
teori yang terkait dengan permintaan. Dalam teori ekonomi mikro ada dua macam

72 Ekonomi Pertanian
konsep elastisitas sering jadi topik diskusi, dan terkait dengan itu ada tiga konsep
alokasi pendapatan untuk permintaan. Tentang elastisitas, dua yang sering dibahas
yaitu konsep elastisitas harga atas permintaan (price elasticity of demand) dan juga
konsep elastisitas pendapatan atas permintaan (income elasticity of demand). Tentang
alokasi pendapatan patut dibaca sesuai konsep alokasi proporsional variatip (ala-
Ernest Engel). Ada konsep alokasi lintas-guna konsumsi dan nonkonsumsi. Selain
itu ada konsep alokasi jaga-jaga, dan konsep alokasi kaku-belanja bagi konsumen
yang hidup di bawah garis kemiskinan (poverty line). Kelima konsep tersebut ini
jelas ada hubungannya dengan konsep elastisitas pendapatan atas permintaaan
terhadap suatu komoditi pertanian ataupun produk agroindustri olah-perta yang
pasti berpengaruh pada kehidupan kaum tani pada umumnya.
Tentu saja ketika harga komoditi pertanian mengalami kenaikan sedang dihadapi
oleh konsumen di perkotaan, maka pengaruhnya terhadap porsi belanja pangan
pokok tidak akan drastis menurun. Akan tetapi pada kondisi daerah atau negeri
masih terbilang agraris, maka suatu kenaikan harga pangan pokok akan memicu
laju inflasi ekonomi karena harga-harga barang selain pangan pokok akan ikut
terdorong naik. Situasi demikian akan menciptakan keadaan ekonomi keluarga
konsumen mengalami penurunan pendapatan riil. Cepat atau lambat pengaruh
perubahan pendapatan riil itu dipastikan akan memaksa warga lapisan bawah jadi
konsumen yang memilih pangan bermutu rendah, walaupun dari segi volume relatif
tidak berubah atau kata lainnya tidak banyak merubah elastisitas permintaannya.
Di sini ada lima sebab rendahnya elastisitas pendapatan pada permintaan
hasil pertanian, yakni: 1) tidak selalu terjadi penurunan porsi belanja untuk barang
kebutuhan rutin suatu keluarga; 2) tidak setiap negeri dapat menghasilkan komoditi
segar dan olahan kecuali lewat impor; 3) tidak serta-merta bencana atau krisis
ekonomi akan menaikkan harga hasil pertanian; 4) tidak sampai lama kekurangan
hasil pertanian, boleh jadi ada stok cadangan sebelum ada hasil panen baru; 5) tidak
semua wilayah terkena bencana yang lepas dari adanya bantuan kemanusiaan dan
dukungan diplomatik dari negeri sahabat.
Terkait elastisitas pendapatan atas permintaan komoditi pertanian maka
keadaan yang akan tergambarkan dengan kurva permintaan, adalah: 1) ketika rerata
pendapatan warga meningkat keras, maka akan terjadi pergeseran kurva permintaan
ke kanan untuk komoditi nonpangan, tapi relatif mantap kadar permintaan untuk
pangan pokok dan pelengkap alaminya; 2) karena kadar pangan tidak banyak
dipengaruhi oleh pendapatan yang mulai merangkak naik dari posisi sekadar cukup,
maka otomatis akan ada porsi pendapatan untuk jaga-jaga jika situasi darurat
sewaktu-waktu datang dibawa oleh bencana alam atau ketegangan sosio-politik
atau bahkan oleh semacam krisis ekonomi global.

BAB 4 | Konsepsi Dasar Permintaan 73


Keberadaan kaum tani KCT memang sering kali mengecohkan perhatian
dan pemahaman para tokoh pembina yang berstatus ‘orang kota’. Orang kota
tidak cepat dan langsung terpanggil perhatiannya untuk secara khusus ambil
langkah upaya pengendalian aneka kendala pembinaan warga demi peningkatan
kesejahteraan kaum tani di desa. Ini disebabkan fakta lapangan di mana ukuran
pendapatan orang desa tidak selalu menjadikan mereka terpojok oleh suatu bencana
ekonomi yang sedang terjadi di negeri. Orang kota bisa saja memprotes kejadian
inflasi yang sedang meroket, tapi orang desa tidak menjerit kelaparan walau harus
hemat belanja barang nonpangan dan belanja bergengsi. Salah paham ini berulang
kali terjadi di seputar nusantara, yaitu terkait kehidupan kaum tani perdesaan yang
lebih banyak terkesan adem ayem ketika banyak keluhan di antara pembelanjaan
orang kota. Sering pula para pengamat menyatakan bingung di tengah keadaan
di daerah-daerah kaya SDA (sumber daya alami) ternyata tingkat ketimpangan
pendapatan begitu tajam (nanti pada bab belasan disebut gini-rasio tinggi).
Ada pula kenyataan di mana jumlah penduduk berpendapatan rendah
masih tinggi presentasenya, padahal daerahnya terbilang kaya SDA dan banyak
dieksploitasi. Juga indeks pembangunan manusia (IPM) relatif tinggi tapi kasus
“stunting (balita kerdil)” tercatat tinggi dan memalukan daerah.
Sungguh fakta-fakta berlawanan atau paradoksal demikian itu bisa menyebabkan
pihak-pihak perumus kebijakan dan pihak eksekutif pengelola program pembangunan
jadi salah kaprah. Ungkapan sinisme “ayam jago mati kelaparan di lumbung” sering
terungkap melukiskan kejanggalan kemajuan ekonomi dan ketertinggalan kesra di
suatu daerah. Kejanggalan informasi seperti ini bisa memojokkan kepala daerah,
karena dianggap tak becus dalam mengelola pembangunan daerah.
Tabel 4.1 Siasat Antisipasi Suplai Pangan Daerah Pengatur Strategi Kedaulatan Pangan Bangsa
No. Strategi Siasat Tindak Terpadu Bentuk Upaya Nyata Pendekatan Mikro Usaha
1. Food Self- Perlu mekanisme SPT Pangan a) Aktivitas pertanaman pangan Agrotrisula
Sufficiency (Sistem Pertanaman Terpadu) b) Aktivitas penanganan terpadu ekosistem
DEMI LENGKAP PANGAN c) Aktivitas Pemulihan terpadu tata air permukaan

2. Food Perlu mekanisme SPD Pangan a) Berkala pemantauan dan pendataan


Security (Sistem Peringatan Dini) b) Berkala analisis dan penyimpulan
DEMI AMAN PANGAN c) Berkala publikasi dan informasi dadakan
3. Food Perlu mekanisme SPC Pangan a) Cipta penganan olahan khas daerah
Diversity (Sistem Pengaman Cadangan) b) Cipta penganan bergizi khas
DEMI SEHAT PANGAN c) Cipta penganan obat khas
4. Food Perlu mekanisme SPB-Pangan a) Darurat layan tragedi PIG (perubahan iklim
Adecuacy (Sistem Penanganan Bencana) global)
DEMI HEMAT PANGAN b) Darurat layan tragedi GLB (gempa luar biasa)
c) Darurat layan tragedi KPD (krisis pangan dunia)
Sumber: F. Sjarkowi, 2019

74 Ekonomi Pertanian
Contoh persoalan petani pelaku usaha tani KCT tanaman pangan dapat dikaitkan
dengan informasi konsepsional teoretis dalam Tabel 4.1 di atas. Di dalamnya terdapat
empat dimensi penyediaan pangan daerah, yang bisa muncul meresahkan konsumen
karena terbebani kenaikan harga pangan; juga meresahkan produsen karena harga
padi-beras terhadap harga barang lain relatif makin melemah atau mengecil. Jadi
tingkat pendapatan riil petani pangan semakin rendah. Boleh jadi mereka tetap di
posisi “mandiri pangan = food self sufficiency” dan tercukupi oleh tangkapan dan
panenan gratis dari keanekaragaman potensi alam sekitar (food diversity). Bagi
kaum buruh di kota atau konsumen di daerah yang “nonpenghasil pangan” tentu
muncul penderitaan warga akibat turun dan lemahnya tingkat pendapatan relatif,
sementara pangan keburu sedang sulit didapat (= food in security) terlebih sulit lagi
jika yang terjadi bencana atau krisis pangan (food in addecuacy). Jadi di kalangan
rakyat di lapisan bawah, isu kepanganan amat mudah terhubung kepada persoalan
pendapatan dan kesejahteraan.

Daftar Pustaka
Boediono. 2009. “Ekonomi Indonesia, Mau ke Mana?”; Kumpulan esai ekonomi.
KPG, Kepustakaan Populer Gramedia. Jakarta
Manning, C. & S. Sumarto. 2011. “Employment, Living Standard And Poverty in
Contemporary Indonesia”. ISEAS. Singapore.

BAB 4 | Konsepsi Dasar Permintaan 75


[Halaman ini sengaja dikosongkan]
5
BAB

SISI-LANJUT KONSEP PERMINTAAN

5.1 Perspektif Kemampuan Beli dan Keragaman Belanja.


5.2 Perspektif Kebutuhan Pokok dan Kecenderungan Inflasi.
5.3 Perspektif Kepastian Permintaan dan Kapasitas Agroindustri.
5.4 Perspektif Kehadiran Pembeli dan Kadatangan Wisatawan.
5.5 Perspektif Kepadatan Penduduk dan Kadar Sejahtera.

Ekonomi Pertanian: Sisi-Lanjut Konsep Permintaan


Banyak kekhasan yang terkait dengan konsep permintaan di dunia pertanian
khususnya di seputar Nusantara, yang sangat padat penduduknya dan ekonomi
sebagian besar warganya masih bergantung pada sektor pertanian. Kekhasan sisi
produksi dan juga suplai komoditi hasil pertanian sedikit banyaknya sudah dibahas
sebelum ini. Dari sisi konsumsi dan permintaan juga tampak keunikan yang agak
beda dari apa yang terjadi di negeri Eropa dan Amerika juga negeri lainnya, termasuk
di Afrika. Beda yang khas itu tentunya terkait dengan ciri Nusantara, berada di
bawah naungan khatulistiwa, sehingga mendapat sinar matahari merata sepanjang
tahun dan cukup lama sepanjang hari. Ada jenis tanah yang subur di perbukitan
hingga ke kawasan bawah sebab dipengaruhi oleh sedimentasi partikel tanah subur

77
dan gembur yang terbawa erosi; bukankah curah hujan tahunan berbagai daerah di
negeri ini kebanyakan dalam bilangan rata-rata 2500-an mm per tahun.
Dilihat dari perspektif produksi, maka hasil pertanian Nusantara selalu ditandai
dengan aneka ragam hasil tani yang berbeda-beda jenis dari provinsi ke provinsi
karena memang iklim dan jenis tanahnya berbeda. Bahkan di pulau Sumatera,
keanekaragaman hayati itu dapat dijumpai berbeda dari kabupaten ke kabupaten
lainnya. Misalnya saja dikenal ada pertanaman jeruk Brastagi juga tembakau Deli,
ada pula nilam terbaik di Aceh Barat. Begitupun ada hasil tanaman getah Gambir
(Kab. MUBA) juga hasil pertanaman kayu HTI-Acacia Mangium (Kab. Muara Enim)
Sumatera Selatan. Ada pula pertanaman lada hitam Lampung Utara yang berbeda
dari hasil tanaman lada putih Bangka atau Perikanan Hias dari laut Kabupaten
Belitung.
Jika hasil pertanian diklasifikasi jadi 2 kelompok, maka yang pertama adalah
jenis bahan baku agroindustri dan umumnya berasal dari aneka jenis tanaman
tahunan. Kelompok kedua adalah jenis bahan segar siap dikonsumsi, terkecuali jika
terjadi surplus jumlah berlebihan di musim panen dan harus diselamatkan dengan
olah komoditi menjadi produk agroindustri makanan dan obat-obatan. Kekhasan
dari 2 kelompok hasil pertanian ini sungguh nyata, bahkan jika dibina dengan
pendekatan agrobisnis maju. Kehadiran produk khas dan unggulan tiap kabupaten
Nusantara tentu akan bisa memicu permintaan sendiri lintas kabupaten, sebagai
basis pemicu perdagangan antarpulau.

5.1 Perspektif Kapasitas Pembelian dan Keragaman Belanja


Kapasitas pembelian barang kebutuhan keluarga konsumen tentu akan tergantung
pada banyak variabel. Permintaan akan sangat ditentukan oleh harga barang (Hq),
jumlah pendapatan atau gaji harian atau mingguan bahkan hanya bulanan (Gj),
Selera warga (Sw), harga barang penggantinya (Hx) selain juga pengaruh cuaca
(C). Jadi secara simbolik, persamaannya sebagai berikut:

DQ = f [HQ, Gj, Sw, Hx, Ic]

Para pembaca diharapkan Penulis untuk mencoba menyatakan secara logis


seperti apa hubungan setiap variabel penentu itu terhadap DQ tentu menarik, namun
perlu dibahas di sini peran variabel S dan Ic. Keduanya kadang terkesan serupa, tapi
tak sama, padahal jika dikritisi, maka sebaiknya harus berbeda. Bayangkan banyak
orang tak berselera membeli minuman es rumput laut ataupun es krim pada hari-
hari yang selalu berawan gelap dan sesekali turun hujan gerimis. Pada pernyataan
ini, ada kata selera dan cuaca.

78 Ekonomi Pertanian
Jika teori ekonomi mikro membedakan antara Selera (S) yang dianggap beda dari
variabel cuaca-iklim (Ic), maka di bagian ini hal tersebut diperjelas arti pentingnya.
Selera di dalam teori konsumsi boleh dihubungkan dengan pesan hukum Ernest
Engel (1889) dan hukum Gosen (1959). Sementara itu, variabel cuaca boleh
dihubungkan dengan risiko surutnya konsumen karena dibatasi cuaca yang tidak
kondusif, maupun cuaca akan mudah memicu gejala sakit jika salah merespons cuaca
itu untuk kecukupan energi tubuh. Hal yang terakhir ini sering jadi alat promosi
pemacu permintaan suatu barang yang diproduksi, tapi juga untuk menggerus
permintaan barang yang diproduksi oleh pihak saingan. Sentimen lingkungan dan
agama sangat sering jadi alasan.
Ernest Engel (1889) dengan teliti telah menggagas bagaimana hubungan
relatif antara tingkat pendapatan konsumen terhadap selera permintaan barang di
suatu saat karena pendapatan konsumen naik nilainya pada suatu periode waktu
lain. Kategori makanan pokok tentu tidak akan banyak berubah jumlahnya ketika
pendapatan sesorang atau komunitasnya naik atau sebaliknya turun, karena sesuatu
yang pokok mutlak harus dipenuhi demi kesehatan diri. Akan tetapi ketika tingkat
pendapatan naik, boleh jadi selera terhadap barang mewah (luxury) mulai terpicu,
dan begitu juga permintaan atas layanan wisata dan kebugaran akan meningkat
secara ‘alami’. Mungkin kebutuhan lama yang diidamkan bisa dibeli saat pendapatan
jauh meningkat.
Walaupun sepertinya variabel G dan S jadi tumpang tindih jika didatakan untuk
proses analisa permintaan, namun dalam hal ini ada 2 hal yang jadi garis pemisah
efek kedua variabel itu, yakni (selera PATUH & selera URGEN):
1. Jika suatu jenis barang telah ditetapkan untuk dibuat analisis permintaannya,
maka ketika itu hukum Gosen (dalam arti sesaat apalagi seperiode) akan berlaku
jadi penentu kadar selera seseorang terhadap barang itu; jika kebosanan atau
ketakutan terjadi dalam suatu periode, maka akan lama upaya pemulihan ke
posisi suka periode semula. Ini tidak ada kaitan dengan tingkat pendapatan
konsumen atau penawaran berharga murah. Bayangkan bagaimana efek dari
kampanye anti minyak sawit di Eropa pada surut permintaan atas produk
minyak sawit-RI selama 2 dekade ini.
2. Jika merebak suatu jenis wabah pandemi seperti Covid-19, maka bisa terjadi
selera untuk mengonsumsi obat herbal yang dipromosikan jadi naik berlipat
ganda, walaupun tingkat pendapatan rata-rata di semua negeri justru menurun
setelah banyak orang kehilangan lapangan kerja akibat banyak perusahaan
mengalamai tutup usaha, alias bangkrut. Perhatikan bahwa dalam hal ini,
pengaruh tingkat pendapatan terputus dari pengaruh selera yang urgen sekali.
Dengan contoh ini, maka sangat penting adanya daya analisis yang cermat &
komprehensif oleh pihak pengamat.

BAB 5 | Sisi-lanjut Konsep Permintaan 79


Begitulah terdapat rahasia-rahasia kekuatan demand (permintaan) juga suplai
(penawaran) yang perlu dipahami dengan cermat agar bisa dibuat prakira kualitatif
bahkan kuantitatif tentang keduanya, khususnya ketika ada niat atau program untuk
membina nasib kaum tani yang umumnya masih serba tradisional dan kecil-kecilan.
Dengan informasi lengkap berbasis prakira ilmiah, tentu lebih jelas ke mana arah
pembinaan, seberapa besar kadar pembinaan yang diperlukan, serta berupa apa,
kapan dan di mana pembinaan harus diberikan untuk segmen petani yang mana
saja; tentu bisa tampak akurat.
Jika pun yang hendak diintervensi adalah perusahaan agribisnis kategori USM
(Usaha Skala Menengah) atau juga USB (Usaha Skala Besar) yang sering kali
melakukan investasi agribisnis hingga satuan usaha agroindustrinya, maka ada
prakira kekuatan permintaan sesama USM & USB itu terhadap bahan bakunya
berupa komoditas hasil pertanian harus bisa dicermati dari informasi kekuatan
permintaan konsumen terhadap produknya. Dari situ, dapat dibaca implikasi negatif
dan positifnya terhadap kinerja usaha tani pada umumnya. Pembelaan nasib kaum
tani kebanyakan bisa bermula dari akar rumput ke atas, selain akan tetap, juga ada
bagian pembinaannya dari atas ke bawah. Apalagi jika pembinaan hendak dilakukan
sejak dari tingkat produksi hingga kepada tingkat pasarnya, bersama orientasi
pembangunan berwawasan lingkungan, maka rancangan program sudah harusnya
lengkap komprehensif.

5.2 Perspektif Kebutuhan Pokok dan Kecenderungan Inflasi


Berbicara tentang kebutuhan pokok warga, maka dikenal istilah ‘sembilan kebutuhan
pokok (sembako)’, dan di antara barang yang amat perlu diwaspadai adalah beras.
Sebagai bahan pangan pokok, beras dihasilkan oleh petani padi yang tak pernah lelah
mengayunkan cangkul mereka, dan tak merasa hina membungkuk ketika memanen
hasil sawah dengan menebas rumpun padi mereka. Walau sebegitu tulusnya mereka
berbuat, tapi petani padi yang jadi kaya jarang terjadi di lapangan. Sebabnya, karena
tingkat harga padi yang mereka terima tidak bisa terlalu tinggi. Ini akibat tekanan
konsumen perkotaan, terutama dari golongan buruh industri dan pegawai negeri
yang menginginkan harga bahan kebutuhan pokok mereka, terutama beras tidak
terlalu mahal.
Itulah ciri permintaan hasil pertanian yang jadi kebutuhan pokok warga pada
umumnya. Akan tetapi, akan selalu ada persoalan kritis yang harus dihadapi kaum
tani, yakni 5 K sebagaimana yang dapat dirincikan berikut ini:
1. Kesejahteraan petani komoditi pangan selalu terjepit oleh kejatuhan harga
komoditi di masa panen, tetapi kenaikan harga ketika musim paceklik
(prapanen) dibatasi oleh kepentingan kaum buruh dan pegawai di perkotaan.

80 Ekonomi Pertanian
2. Kelancaran pemasaran memang terjamin dengan sendirinya akibat adanya
keharusan tiap orang untuk mencukupi kebutuhan pangan keluarga, namun
permintaan bulanan relatif konstan, sehingga tiap petani perlu ‘gudang’.
3. Kegiatan kaum tani penghasil komoditi pangan pokok selalu akan terpacu di
antara pengaruh permintaan yang stabil tapi proses produksi musiman, yaitu
hanya 2 atau 3 kali musim tanam & panen, itu pun jika ada irigasi.
4. Kecenderungan melakukan tanam dan panen dengan frekuensi 3x setahun jika
apik prasarana-sarana irigasi, sementara itu pertanaman agrotrisula sumber
nafkah lain agak terbatas pasar dan komoditi ini mudah rusak.
5. Kebutuhan pangan lambat dan pasti meningkat, tapi luas lahan tidak selalu
mudah ditambah, maka pangan amat perlu hara dan air tanah yang selalu
tersedia teratur dengan apik dan lancarnya siklus hidro-orologis.

Oleh sebab itu, kepedulian Pemda dalam memperhatikan nasib kaum tani adalah
sama pentingnya dengan kepedulian memantau & mengendalikan pengaruh bisnis
kepanganan terhadap inflasi ekonomi di daerah. Peran aktif dari Dewan Ketahanan
Pangan Daerah (DKPD) penting guna memperkuat kebijakan Pemda lewat
pemantauan dan pendataan luas tanam & hasil panen. Dari data yang ada berurutan
waktu (time series), maka fungsi penawaran beras dapat diestimasi (diprakira) dan
dianalisa setiap 6 bulanan ataupun sekali tiap jangka waktu setahunan.
Metode regresi linier multivariabel selaras DQ=f[HQ, Gj, Sw, Hx, Ic] perlu
data berurut-waktu untuk setiap variabel permintaan. Biasanya data tersedia
sebagai data sekunder konsumsi dipublikasi oleh kantor resmi, yakni Kantor
Statistik provinsi atau oleh dinas pertanian setempat. Suatu persamaan regresi
linier ditampilkan disini, yakni DQ sebagai fungsi permintaan beras:

DQ = β0 + β1HQ + β2Gj + β3Sw+ β4Hx + β5Ic + ε

Jika diinginkan berbentuk persamaan linier logaritmik, maka dilakukan


transformasi data menjadi data Log:

Log DQ = Log β0 + β1Log HQ + β2LogGj + β3log Sw+ β4Log Hx + β5Log Ic +


log ε

Bentuk logaritmik ini setara dengan persamaan “pola Cob-Douglas” berikut:

DQ = β0. HQ β1. Gj β2. Sw β3. Hx β4. Ic β5 ε

BAB 5 | Sisi-lanjut Konsep Permintaan 81


Bilamana suatu bentuk persamaan sudah diestimasi jadi persamaan statistik
penduganya tentu validitas dan reabilitas hasil kajian harus diperiksa. Barulah
setelah itu persamaan statistik penduga bisa siap ditafsirkan, dan sasarannya akan
menyangkut informasi perihal kebijakan, antara lain sebagai berikut:
1. Apa tanda penduga parameter βi sesuai hukum permintaan, yakni b1< 0 dan
selainnya sesuai harapan bertanda positif, bi > 0 bila i selain 1?
2. Apakah setiap koefisien penduga itu berbeda nyata dari 0, dan pengaruh semua
variabel sepatutnya cukup tinggi, antara 80% hingga < 100%?
3. Apabila pengaruh harga (beras) yang naik 10% sempat menurunkan jumlah
diminta (quantity of demand), apa tindakan bijak BULOG?
4. Andai terjadi gagal panen pada tahun sedang berjalan, seberapa jauh kekurangan
pangan bisa terjadi, lalu seberapa besar perlu impor?
5. Akan seberapa parah kenaikan harga beras jika hanya ada 50% impor, lalu apa
jenis sembako yang terpengaruh memacu kadar inflasi ekonomi?

Memang pada sisi konsumsi, warga masyarakat hendaknya mampu menambah


ragam konsumsi keluarga sumber kalori-protein-lemak-vitamin dari bahan
pangan nonberas, sehingga konsumsi beras berlebihan tidak terpacu seperti selalu
terjadi selama ini. Sejalan dengan tingkat pertambahan penduduk yang tinggi
akibat kelahiran dan migrasi, tentu saja kebutuhan bahan pangan tidak selalu
dapat disiapkan dari tambahan hasil panen yang juga musiman. Akan selalu ada
keadaan permintaan pangan pokok tidak bisa diisi dan diimbangi oleh produksi
yang tersedia di sisi penawaran. Jika terjadi rutinitas volume permintaan konsumen
tidak dapat diimbangi oleh penawaran barang, maka ketika itulah harganya mulai
merangkak naik.
Seterusnya, kenaikan harga pangan pokok termasuk aneka jenis barang
‘sembako’ ikut naik dan mulai terjadi INFLASI ekonomi, maka situasi ekonomi
yang menyulitkan banyak warga akan berpotensi ikut memicu aneka gangguan
sosial yang sungguh tidak diinginkan. Sebagai bahan pertimbangan, pada Tabel 5.1
diperbandingkan keadaan tingkat inflasi yang dihubungkan dengan keadaan harga
beras di 3 kota daerah surplus beras (Palembang, Surabaya, Makassar) dan 3 yang
bukan lumbung beras (Bengkulu, Pontianak, Ambon) di Indonesia.

82 Ekonomi Pertanian
Tabel 5.1 Harga Beras di Pasar Tradisional Daerah Lumbung & Non-Lumbung Pangan
Nama Kota Tahun Pencatatan Keterangan
No.
Provinsi 2015* 2016* 2017* 2019** 2022** Ciri Lokasi
1. Palembang 9644.30 10370.57 ? 9450.00 9000.00
Wilayah
2. Serang 9151.21 10379.40 ? 8950.00 11100.00 Lumbung
pangan
3. Makasar 9040.99 10666.58 ? 9000.00 9000.00

4 Bengkulu 10411.91 11141.46 ? 11000.00 10000.00


Wilayah
5. Pontianak 12012.61 12477.20 ? 10000.00 12600.00 bukan Lumbung
pangan
6. Ambon 11440.15 11818.78 ? 10250.00 11500.00

Sumber: *BPS Indonesia, dan **Google Pilar Pertanian

Perhatikan bahwa dinamika inflasi sengaja diulas pada Bab Permintaan ini,
mengingat pengaruh konsumen memang begitu kuat untuk memenuhi pangan
keluarga, seolah bisa sedikit menggeser kurva permintaan ke kanan, sehingga harga
beras mudah terpicu naik di bulan prapanen atau di tahun defisit suplai beras. Ketika
musim panen harga di tingkat petani tertekan keras, tapi pada musim prapanen
harga naik membubung, walau tanpa imbas positif kepada petani. Jadi, ‘kepastian
permintaan pasar’ akan sangat membantu petani, dan oleh sebab itu pula, maka para
petani harus tampil melembaga BUKD-agribisnis. Dengan cara Bersatu melembaga,
maka posisi tawar petani jadi membaik.
Berbeda dari keadaan itu, isu pembiayaan kebutuhan pangan keluarga bagi
petani tentu berbeda daripada pribadi konsumen pada umumnya. Dengan usaha
tani kecil dan tradisional ataupun UMKM-agribisnis berupa BUKD, pak tani harus
mencukupi jatah-pangan keluarga, sekaligus meraih laba-usaha. Di luar 2 hal
itu, petani ada dana kembali modal yang bisa digunakan untuk memutar lagi
roda produksi berikutnya. Memang tidak akan ada bahan pangan jika kaum tani
tidak mengayunkan cangkul mereka, tapi tidak otomatis petani kecil tradisional itu
jadi sejahtera jika konsumen pada umumnya bersikukuh inginkan harga semurah
mungkin tanpa peduli pengorbanan dan nasib para petani produsen.

5.3 Perspektif Kepastian Permintaan dan Kapasitas Agroindustri


Seberapapun ongkos produksi yang langsung dan tak langsung jadi belanja produktif,
para petani selalu di posisi tawar lemah saat bertransaksi tunai. Kaum tani tidak
dapat menetapkan harga komoditi yang mereka hasilkan, melainkan hanya bisa
menerima harga atas ketentuan pasar. Untuk keperluan cadangan pangan dan
capaian laba, serta dana kembali modal petani UMKM-agribisnis dan apalagi pelaku
usaha tani serabutan tradisional & kecil tidak punya cukup kekuatan mengendalikan

BAB 5 | Sisi-lanjut Konsep Permintaan 83


harga pasar. Justru pihak konsumen seolah bebas mendikte petani, sehingga dengan
sekadar terbantu oleh kebijakan harga dasar (floor price) oleh pemerintah, maka
kaum tani hanya bisa pasrah menerima tekanan transaksi jual-beli.
Itu sebabnya, para petani penghasil komoditi bahan pangan pokok atau pangan
pelengkap yang masih berciri 7C yaitu: (1) Cepat rusak; (2) Compang-mutu; (3)
Condong-susut; (4) Cecer-jumlah; (5) Cacat-rupa; (6) Cenderung-beragam; (7)
Cakup-gudang, justru sering kali hanya beraksi dan bereaksi jadi pecundang pasar.
Selintas hal itu bisa dimaklumi, sebab untuk urusan jual beli komoditi pertanian
memang berlaku peribahasa “pembeli adalah raja”. Ketika sang raja ingin menekan
harga beli karena alasan 7C itu, maka titah pun berlaku, sehingga harga transaksi
pun tidak memihak petani.
Dari itu persoalan fisik 7C komoditi pertanian demikian rentan itu, jadilah
alasan kekuatan pasar yang dengan mudah menempatkan petani produsen
sebagai penerima harga (price taker) bukan penentu harga (price maker). Jelas
harus dihadirkan perangkat kebijakan agar para petani tradisional & kecil bisa
mendayagunakan prasarana-sarana Ipteks-inovatif, lalu melakukan inovasi
mengubah komoditi jadi produk agroindustri yang ½ jadi maupun produk jadi.
Jika hal itu belum terpenuhi, maka posisi selaku pecundang agribisnis atas tekanan
mekanisme transaksi pasar akan tetap sulit dihindari oleh petani.
Dari bentuk murni kegiatan usaha tani tradisional, meningkat ke bentuk
kegiatan agroindustri tentu saja tidak semudah membalik telapak tangan. Adanya
komoditi pertanian berlanjut kepada status bahan baku agroindustri tentu banyak
faktor ikut menentukan. Secara teknis, prosesnya akan terkendala oleh kesulitan
menyatu-hubungkan dua pola kerja-kinerja yang berbeda dari segi kapasitas dan
waktu prosesi. Namun keduanya harus dipertemukan agar hadir situasi harmoni
dengan format rancangan kerja ‘gayung-bersambut’ mengikuti suatu alur mata
rantai pasok (supply chain) yang runtun bersambung.
Di satu sisi, ada dinamika negatif 7C yang selalu akan menguras mutu dan
kadar manfaat suatu komoditi pertanian dalam tempo amat singkat, dan inilah ciri
bahan segar hasil usaha tani musiman. Di sisi lain, ada fungsi perangkat metal
dan api pada pabrik yang perannya harus berketerusan dengan ciri agroindustri
nonmusiman dan tak boleh sering melakukan jeda prosesi. Lalu, ciri paradoksal ini
harus dicari titik komprominya agar mengantarkan solusi sama-menang (win-win
solution) bagi pihak petani juga bagi pihak pabrik.
Sebaliknya, hasil pertanian bisa jadi berlimpah pada fase tertentu dapat diatur
kadar dan periode panennya untuk ditampung oleh satuan agroindustri yang sifatnya
harus aktif berketerusan itu. Manajemen pertanaman dapat menata irama paradoksal
frekuensi & kadar panen terhadap waktu & volume kegiatan (kapasitas) pabrik.

84 Ekonomi Pertanian
Pihak pelaku usahatani dan pihak agroindustri pun terbantu memapankan tampilan
masing-masing. Hubungan kontrak jual beli terjalin harmonis antara kedua pihak
itu benar-benar gayung bersambut, sehingga menciptakan semacam kepastian pasar
bagi para petani. Implikasi positifnya dipastikan bisa menihilkan tekanan hantu 7-C
dan sekaligus menjadikan lancar kegiatan pabrik untuk menciptakan nilai-tambah.
Di sini, kehadiran BUKD binaan amat diharapkan berfungsi memayungi dan
berperan mengayomi para petani komoditi sejenis dan seklaster, tetapi sekaligus
lebih menguatkan harmoni rantai perniagaan. Kebangunan agribisnis berbasis
ipteks-inovatif yang demikian tentunya akan terpacu lebih bernas lagi, jika ciri
intensifikasi yang berkembang juga dibarengi tindak pembangunan berwawasan
lingkungan. Artinya, ancaman nyata yang bisa datang dari perilaku ekstensifikasi
beriring konversi hutan akan teratasi lewat proses intensifikasi itu, terlebih lagi jika
didukung keapikan kawasan DAS (Daerah Aliran Sungai) yang menjamin sehatnya
fungsi hidroorologis penopang sukses agribisnis.
Dalam kaitan skenario harmoni hubungan vertikal lintas pelaku agribisnis yang
indah itu beruntunglah jika selain alokasi dana APBD (yang dipastikan terbatas)
juga tersedia sumber dana CSR-perusahaan guna membiayai gerakan monetisasi
desa dan pemberdayaan kaum tani tradisional. Akan tetapi, bertolak dari ungkapan
lama bahwa ‘Tidak Ada Sumbangsih Gratis’, melainkan ‘Selalu Ada Udang di Balik
Batu’, maka ada pesan pendistribusian dana CSR. Sesuai dengan PP #47 Tahun 2012
tentang “Tanggung Jawab Sosial & Lingkungan Perusahaan” yang terpancar dari
UU #40 Tahun 2007 (Pasal 74); tentu tidak akan mulus dan merata berlangsung,
jika tanpa manfaat balik positif kepada korporasi.
Adapun manfaat balik yang diharap muncul tentu berupa iklim bisnis dan
kondisi positif bagi kelancaran proses kewirausahaan. Pada unit perusahaan pemberi
dana CSR antara lain hendaknya muncul keadaan seperti berikut:
1. Jaminan keamanan lingkungan dalam lingkup konsesi kegiatan lapangan dan
perkantoran korporasi.
2. Jaminan aliran komoditi yang diproduksi UMKM sebagai bahan baku bermutu
bagi produksi korporasi.
3. Jaminan produktivitas oleh UMKM penerima CSR yang bisa bermanfaat bagi
SDM & pekerja korporasi.
4. Jaminan interaksi bisnis saling menguntungkan atas dasar transaksi barter
produk UMKM dan korporasi.
5. Jaminan interaksi produktif saling menunjang terkait dengan penggunaan
sumber air, penting bagi kedua pihak.

BAB 5 | Sisi-lanjut Konsep Permintaan 85


Hal-hal yang bakal jadi kendala terhadap keterjaminan kepentingan itu, tentunya
harus menjadi sasaran kesepakatan yang dibahas dan diputuskan lewat Forum CSR
Daerah, untuk seterusnya jadi perhatian para pihak yang terkait dan Organisasi
Pemerintahan Daerah (OPD, khususnya Perkebunan; Penanaman-modal, Indag,
Koperasi yang berkepentingan). Akan tetapi harus direncanakan dalam kerangka
Agenda Kelitbangan Inovatif agar benar-benar berjalan dan berkinerja positif.
Pertumbuhan ekonomi kerakyatan selaku bagian dari program besar
MONETISASI DAERAH melalui pebinaan agribisnis harus sukses berkelanjutan.
Tidak boleh ada dana APBD dan dana CSR tersia-sia alias negatif capaiannya.
Partisipasi korporasi yang telah menyediakan dan membagi porsi keuntungan
perusahaan guna memajukan perekonomian daerah, sudah sepantasnya berhasil
memicu-pacu perputaran nilai perekonomian daerah, sehingga nyata meningkatkan
kesejahteraan warga bangsa.
Demikian seb-Bab ini menunjukkan betapa penting membuka kepastian pasar
untuk menjamin berbagai komoditi pertanian bisa terjual dengan harga yang pantas
bagi petani produsen. Harga suatu komoditi terutama di saat puncak musim panen
jangan sampai turun drastik. Jika tidak ada antisipasi, maka para pelaku usaha
tani yang belum terbina berstrategi agribisnis tentu akan sangat dirugikan. Tanpa
kepastian pasar, maka mekanisme suplai-demand akan memaksa proses transaksi
lebih berpihak pada kepentingan konsumen, tapi kurang peduli nasib kaum tani
yang ingin perbaikan tingkat kesejahteraan.

5.4 Perspektif Kehadiran Pembeli dan Kedatangan Wisatawan


Perhatian yang mungkin lebih besar diberikan kepada pihak konsumen di perkotaan
akan terpancar jadi kekuatan permintaan yang kaku, tidak mudah bergeser kurvanya.
Tidak mudah bergerak ke kiri di masa prapanen karena ada operasi pasar bila perlu
diisi dengan komoditi impor, dan begitu juga hanya bergeser sedikit ke kanan
jika musim panen karena tidak ada keharusan berjaga-jaga. Sebab, ada kegiatan
agroindustri yang siap mengolah komoditi pertanian menjadi produk agroindustri
yang bisa bertahan lebih lama, sehingga dapat diperniagakan untuk memenuhi
permintaan di masa prapanen maupun permintaan dari pasar jarak jauh.
Terkait dengan kenyataan positif yang demikian itu, maka akan muncul masalah
kelimpahan hasil produksi suatu komoditas jika kemudian banyak pelaku produksi
sudah sempat mengerti manfaat program pemberdayaan oleh sejumlah petani
anggota KUBE dengan proses produksi yang telah mendapat sentuhan teknologi
inovasi. Kalaulah dalam perkembangan ini ternyata urusan pemasaran hasil produksi
yang berlimpah itu terabaikan karena belum masuk dalam agenda pembinaan, maka

86 Ekonomi Pertanian
otomatis proses inovasi bisnis akan berhenti alias ‘habis proyek pupus pula semua
kegiatan’ tanpa berlanjut.
Sudah seharusnya ada dampak positif yaitu: tumbuh lapangan kerja, tambah
peredaran uang, dan muncul aneka sumber PAD baru. Proses ini harus cepat
berlangsung karena hasil pertanian praolah pascapanen amat riskan merosot mutu
dan susut volumenya. Jika transaksi banyak merugi, maka reduplah semangat
inovasi para petani sasaran pembinaan agribisnis. Gagal penularan Ipteks-inovasi
dan manajemen bisnis-inovatif bisa terjadi karena kelupaan membina secara tuntas,
yakni sejak dari titik-produksi hingga ke titik-titik pemasaran.
Tentu saja setiap proses bisnis perlu tingkat harga baik berkat kinerja kekuatan
permintaan dan penawaran barang, dan harapan demikian sering kali tidak terealisasi
hanya karena 2 kekuatan itu tidak berimbang. Sisi permintaan dimanjakan, sedang
sisi penawaran dibiarkan sebagai kekuatan yang sepenuhnya direkayasa oleh
alam saja. Kegagalan jadi amat sering terjadi karena pada saat pembinaan mulai
tampak nyata setiap petani binaan bisa menaikkan jumlah dan mutu produksi
per-Ha. Prestasi ini masih dibarengi tingkat harga komoditi yang normal, sehingga
memuaskan keluarga petani produsen, dan setidaknya nampak menyejahterkan
para pelaku produsen binaan.
Melihat itu, maka lebih banyak unsur warga akan meniru prestasi yang mereka
saksikan, lalu kebaikan alam memfasilitasi keinginan warga kebanyakan dan
hasilnya adalah volume produksi berlimpah. Ketika ini justru maksud awal untuk
mengkondisikan kemakmuran bagi para petani produsen justru berbalik arah jadi
menistakan nasib kaum tani. Oleh sebab itu, maka aneka strategi dan taktik harus
dipakai untuk mengendus peran pasar agar aktif menyerap hasil produksi dari
lapangan.
Tidak aneh jika upaya cipta daya serap pasar itu bisa bervariasi, yaitu dari
bentuk yang paling sederhana tradisional hingga yang serba fenomenal mengikuti
perkembangan teknologi inforkom. Di antara yang sederhana tradisional adalah
peran pedagang asongan dan lapak dadakan yang aktip beraksi di setiap lokasi objek
wisata yang banyak dikunjungi para wisatawan. Dari sekadar terjual kebetulan kepada
wisatawan yang sedang bersantai, boleh jadi pembelian itu disertai berkembang jadi
beli komoditi dan produknya untuk oleh-oleh. Rantai transaksi jual-beli bisa saja
berkembang lebih jauh melewati serangkai urutan mata rantai pembelian lewat
pesanan dari jarak jauh, sehingga kemudian menjelma jadi mata rantai perniagaan
partai besar lintas kabupaten, lalu menjadi lintas provinsi di lingkup nasional dan
akhirnya berlanjut ke tahap go international yang berarti kehadiran permintaan dari
luar negeri.

BAB 5 | Sisi-lanjut Konsep Permintaan 87


Demikian rangkaian cipta permintaan yang sudah sering dan banyak terjadi
dengan titik awal transaksi jual-beli serabutan di lokasi objek wisata yang didatangi
wisatawan dari berbagai daerah (WISNU = wisatawan Nusantara) dan berbagai
kebangsaan (WISMAN = wisatawan mancanegara). Jika drama tumbuh permintaan
demikian ini terjadi untuk suatu komoditi andalan atau juga produk unggulan dari
suatu daerah, maka itulah salah satu pertanda akan menguatnya perekonomian
setempat.
Gejala perkuatan ekonomi lokal itu adalah kinerja proses monetisasi
perekonomian daerah, dan tampilan demikian boleh dilihat sebagai momentum
tibanya saat lepas landas perkembangan ekonomi daerah. Jika hal itu diiringi
pembangunan prasarana transpotasi dan lainnya, maka aneka kegiatan bisnis jadi
ikut terpacu. Langkah kreatif & inovatif tim SIDA (Sistem Inovasi Daerah) tinggal
meneguhkan komitmen koordinatif para pihak, agar jangan sampai hal yang sedang
hangat untuk terus berkembang menciptakan lapangan kerja, juga menaikkan
tingkat upah atau pendapatan keluarga, menumbuhkembangkan variasi sumber
PAD (Pendapatan Asli Daerah) terlanjur jadi dingin kembali.

5.5 Perspektif Kepadatan Penduduk dan Kadar Kemakmuran


Sebenarnya tidak ada masalah yang perlu ditakutkan berkenaan dengan adanya
penduduk yang terus bertambah akibat tingkat kelahiran jauh di atas tingkat
kematian (“angka natalitas lebih tinggi dari pada angka mortalitas”). Sesungguhnya,
Tuhan YME pasti menjamin rejeki semua makhluk ciptaan-Nya. Walaupun demikian,
ibarat burung yang bertelur dan menetas di sarangnya, sang induk harus terbang
dulu menjemput rejeki diri dan berupaya mencari makanan bagi anaknya. Pada
kehidupan manusia di suatu wilayah di sinilah letak persoalannya, perbedaan ciri
bio-geofisik dan iklim menyebabkan tiap kawasan lebih cocok untuk suatu jenis
pertanaman, sehingga mengharuskan adanya perdagangan. Lagipula jika produksi
pertanian diganggu bencana, maka taraf kesejahteraan warga merosot. Bisa ada
kekurangan bahan pangan, dan muncul pula pengaruh negatif terhadap inflasi
ekonomi yang pada gilirannya pasti pula menekan daya beli dan memicu keresahan
sosial.
Antisipasi warga harus sempat diingatkan atau digerakkan oleh Pemda.
Mengikuti filosofi upaya induk burung, kadang langkah terbang cari makan itu
terlambat dilakukan manusia karena tidak ada antisipasi hitungan kebutuhan
dibanding dengan potensi ketersediaan hasil produksi. Kalaupun ada langkah maju
mencari nafkah makanan, yang terjadi sering salah arah dan salah siasat. Justru
terjadi ketergesaan membuka hutan lindung yang mestinya dijaga mutu dan fungsi
alaminya selaku pengatur siklus air agar selalu lestari. Tanpa fungsi hidro-orologis

88 Ekonomi Pertanian
terjaga apik guna menata keseimbangan siklus air, maka mudah terjadi longsor dan
banjir di musim hujan diiringi erosi partikel tanah dari kawasan atas. Di musim
kemarau mudah pula terjadi kekurangan air, dan kedua gejala negatif ini tentu
merobek penawaran dan menohok permintaan hasil pertanian. Oleh karena itu
langkah antisipasi sangat diperlukan.
Pendekatan yang terbaik, tentunya harus berpangkal-tolak dari kegiatan riset
sosial-ekonomi pertanian. Pengaruh pertambahan jumlah penduduk dan konsentrasi
keberadaan warga itu di suatu wilayah harus dihubungkan dengan ketersediaan
lapangan potensial untuk berladang, bersawah juga berkebun. Dengan riset
tekonologi dan agronomi pertanian, maka produktivitas pertanian harus dipacu
tinggi, supaya tekanan kebutuhan lahan dapat dibatasi. Riset sosial ekonomi
dan manajemen pembangunan tentu memberi arah terbaik bagi pengembangan
agribisnis dan aneka agroindustri yang memperhatikan potensi permintaannya
secara cermat.
Perhitungan produksi dan konsumsi berbasis riset tentu akan lebih bernas
mengurangi ancaman krisis pangan. Isyarat dan kehendak Ilahi agar manusia selalu
bijak menjaga kelestarian alam demi martabat dan misi kehidupannya (Hud QS
[11]: 61 dan QS [55]: 9), tapi juga harus dibarengi upaya bijak konsumsi yang anti
pemubaziran (QS [2]: 168). Amatlah lucu jika upaya produksi bahan pangan telah
disadari sangat dibatasi oleh berbagai kendala tapi orang masih membuang-buang
makanan ketika mengonsumsi atau masih juga tidak tergugah untuk mengantisipasi
langkah terbaik guna mengatasi setiap kemungkinan yang terburuk jika kemudian
terjadi.
Di negeri-negeri sedang berkembang turun-naik tingkat kesejahteraan warga
ditentukan oleh turun-naik pendapatan per kapita, dan ini terukur pula dari tingkat
konsumsi pangan per kapita, yang tentu juga erat kaitannya dengan produksi pangan
warga bangsa. Akan tetapi harus digarisbawahi, 2 variabel ini (pendapatan per
kapita & konsumsi pangan) tidak akan selalu seiring sejalan naik searah positif.
Ketika sebagian warga mengalami kenaikan kadar pendapatan, maka secara finansial
mereka jadi lebih sejahtera, dan tentu jadi mudah bagi mereka mencukupi pangan.
Akan tetapi, ini menjadikan warga pada umumnya lebih sehat, termasuk juga sehat
organ reproduksi mereka, sehingga kondusif untuk memacu kelahiran anak dan laju
pertumbuhan jumlah penduduk. Sampai titik ini hubungan itu tetap naik positif.
Apabila kemudian terjadi kenaikan jumlah penduduk terlalu cepat daripada
kecepatan tumbuh sarana penyejahtera (pendapatan petani umumnya berasal
dari produksi pangan dan selainnya), maka selanjutnya keadaan akan berbalik lagi
menurunkan kadar kesejahteraan. Pendapatan per kapita jadi turun kembali, dan
konsumsi rata-rata warga jadi turun, lalu menurunkan taraf kesehatan mereka,

BAB 5 | Sisi-lanjut Konsep Permintaan 89


hingga seterusnya kembali lagi memaksa turun laju pertumbuhan penduduk negeri
dengan sendirinya.
Misalnya ketika laju pertumbuhan pendapatan melamban hanya 2.0% setahun,
tapi kepesatan tumbuh jumlah penduduk justru pada angka 2.5% setahun; maka
konsekuensinya pendapatan nilai per kapita jadi turun, lalu kemampuan beli bahan
pangan rata-rata melemah, dan ini berarti memicu kekurangan konsumsi pangan per
kapita. Pada gilirannya pula, keadaan kurang menyehatkan ini menandai kehidupan
warga pada umumnya, dan hal ini kembali akan menurunkan laju pertumbuhan
penduduk untuk bergerak balik mendekati titik A yaitu posisi awal kemajuan semula.
Seperti ditunjukkan oleh anak panah yang cenderung bergerak menuju ke titik
A (Gambar 5.1), di mana hubungan kausal antara variabel sumber pendapatan
dan variabel jumlah penduduk seolah-olah terjebak ke dalam perangkap (antara
A dan B lalu cenderung ke A lagi). Secara demografis, hal ini disebut Perangkap
Populasi Malthusian (PPM). Dilihat dari perspektif pendapatan, maka disebut
juga Perangkap Pendapatan Tanggung (PPT= Middle Income Trap) yang membuat
kemajuan suatu negeri seolah jalan di tempat.

Gambar 5.1 Teorema Perangkap Malthusian

Argumentasi hipotesis PPM perlu diwaspadai, karena secara teoretis gerak


pembangunan dari titik A tidak bisa berangsur mencapai titik B. Antara titik A
dan B posisi kurva LPK (Laju Pertumbuhan Penduduk) berada di atas, yakni lebih
besar dari pada kurva LPN (Laju Pertumbuhan Pendapatan), jadinya pertumbuhan
ekonomi ke arah B selalu akan terjebak dan mengalami stagnasi. Ketika terjadi
stagnasi, maka kenaikan tingkat kesejahteraan warga bangsa tidak bisa mencapai
titik B untuk terus ke C, malah ganderung kembali ke posisi titik A. Ini berarti kesia-
siaan manfaat SDA juga SDM selaku sumber daya pembangunan negeri. Keadaan

90 Ekonomi Pertanian
seperti ini tentu memprihatinkan, khususnya terhadap potensi Bonus Demografi
(75 jutaan generasi muda) yang terancam lumpuh tidak punya kekuatan memecut
pembangunan. Sungguh suatu tragedi kebangsaan jika kesia-siaan SDM itu terjadi.
Kalaulah sekadar jadi generasi kuat otot, tapi lemah otak, maka cuma permintaan
pangan yang membanyak tak terkira, tapi inovasi pelipat-ganda produksi dan suplai
pangan tidak terjadi.
Sebaliknya, keadaan yang baik bisa terjadi kalaulah bersama semangat dan tekad,
serta gerak langkah kemajuan bangsa terdapat pula suatu lompatan teknologi yang
besar (semacam revolusi hijau awal abad ke-21). Jika inovasi benar-benar terjadi,
maka hal itu bisa menjadikan gerak kenaikan variabel pendapatan dan tingkat
kesejahteraan berjalan bareng tanpa ada bumerang berupa kekurangan pangan
bangsa. Berkah kehadiran Iptek inovatif (yakni lompatan teknologi yang terpakai di
dunia usaha) ini digambarkan berupa perpindahan kurva pendapatan (putus-putus)
yaitu melompat ke arah atas hingga sekadar (cuma) menyentuh kurva pertumbuhan
penduduk. Prestasi Iptek demikian itu akan memicu dan memacu pertumbuhan
pendapatan terjadi tanpa dibuntuti ancaman kemunduran peradaban yang terkait
PPM atau PPT tadi. Keadaan perekonomian negara terbilang maju, jika terus melaju
seperti keadaan dalam wilayah prestasi antara titik B dan C. Di permulaan abad
ke-20 dulu, lompatan teknologi cenderung beriring tindakan penjajahan terhadap
negeri lain, dan upaya memahami perbedaan potensi kesejahteraan berarti juga
antisipasi terhadap penjajahan fisik & nonfisik gaya baru di zaman itu.
Akan tetapi, harus selalu disadari bahwa tanpa lompatan teknologis yang
terpacu keras itu, maka keberlakuan teori neo-Malthusian tadi mengatakan bahwa
turun dan naik tingkat kesejahteraan (khususnya kecukupan pangan) ekonomi bangsa
cenderung berkait dengan naik dan turun pertumbuhan jumlah penduduk. Suatu
hubungan berbanding terbalik antara laju pertumbuhan warga dan laju pertumbuhan
kesejahteraan ekonomi rata-rata warga bangsa. Bagi bangsa Indonesia di awal abad
ke-21 dewasa ini, justru hal ini tidak dibiarkan terjadi apa adanya, karena kealpaan
negeri dalam membuat suatu lompatan teknologi tentu akan berakibat sangat
menyedihkan. Jika alpa demikian terjadi, maka berarti potensi kekayaan alam berupa
aneka SDA dan kekayaan SDM berupa Bonus Demografi tersia-sia. Jangankan aktif
membawa manfaat, justru menimbulkan banyak permasalahan pelik, tapi menuntut
solusi cepat.
Di sini, implikasi negatif perkembangan itu sekali lagi harus lebih dipahami
untuk diantisipasi, ‘Sukses Bangsa Membangun Kedaulatan Pangan’ sudah
semestinya kini menjadi tema besar program pembangunan negeri ini. Tema besar
itu harus didukung oleh semua komponen dan elemen bangsa melalui gugah
kapasitas profesional di bidang kerja dan pengabdian menurut jalur keahlian dan

BAB 5 | Sisi-lanjut Konsep Permintaan 91


profesi masing-masing tanpa kecuali. Bilamana sukses, ambil langkah antisipasi
bersama, niscaya kejayaan bangsa terpelihara.
Mulai dari tahap perencanaan dan identifikasi peran siapa harus berbuat apa di bidang
yang manapun, semuanya harus sudah mengarah kepada upaya menunjang pencapaian
sasaran pangan & energi yang berkecukupan dari waktu ke waktu. Selaku tema besar, maka
semua upaya pembangunan selainnya terus digerakkan dengan memberikan sumbangsih
wajib kepada program kedaulatan pangan nasional sebagai prioritas utama.
Perangkap penghalang kemajuan kesejahteraan antara titik A dan B yang
ditandai laju pertumbuhan penduduk (faktor konsumsi) lebih tinggi dari pada
laju pertumbuhan pendapatan (sarana sehat, produktif, sejahtera) itu memang
bisa menekan pertumbuhan penduduk dan pendapatan hingga kembali ke titik A
sebelum sempat kesejahteraan bangsa mencapai titik B (Tayangan Gambar- 12 tadi). Catatan untuk
penulis:
Padahal upaya menggapai titik-maju B hingga C yang bermakna kenaikan tingkat Tayangan
pendapatan itu sesungguhnya berarti upaya keluar dari perangkap PPM (= PPT Gambar- 12
bisa-bisa mengabaikan potensi ekonomi untuk tumbuh berbasis bonus demografi). tadi. Gambar
yang dimaksud
Akan tetapi menurut hukum Engel (tentang hubungan ‘income’ dan ‘spending’), gambar yang
jika pendapatan warga menaik jauh, maka konsumen cenderung mengurangi porsi mana ya Pak/
Bu? mohon
belanja pangan mereka dengan mengalihkan transaksi pangan ke belanja barang lux
dicek kembali,
yang tahan lama, serta juga belanja hiburan dan wisata. Dalam kenyataannya itu, terima kasih.
akan tampak berupa peningkatan jumlah orang mengisi waktu senggang mereka
bukan untuk masak nasi dan lauk-pauknya di rumah, melainkan santai saja jalan
ke mal, lalu jajan piza atau kue donat dan makanan cepat saji lainnya di sana.
Hukum ekonomi tentang belanja konsumsi menurut teori Engel tadi berisyarat,
bahwa pada keadaan tingkat kemajuan tertentu, maka kedua variabel tingkat
pendapatan dan tingkat kesejahteraan bisa tumbuh bersama seiring-sejalan tanpa
berakibat kenaikan konsumsi pangan beras. Hal itu juga akan berlangsung tanpa
memacu pertambahan penduduk, karena perubahan gaya hidup jadi ‘luxury’
dibarengi kerja keras biasanya diterapi dengan kegiatan wisata, serta olahraga.
Dengan begitu, maka banyak orang secara otomatis mengurangi peluang kontak
suami-istri daripada asyik melulu berhubungan badan, sehingga memacu banyak
kelahiran anak keturunan.49
Jadi jika ada revolusi hijau atau faktor teknologis lain yang menyebabkan
lompatan ke titik B atau bahkan melewatinya, maka posisi pertumbuhan pendapatan
yang lebih tinggi dari laju pertumbuhan penduduk bisa diramalkan tidak akan

49
Hukum Engel yang telah disempurnakan (Stanton, W. 1975, halaman 71 pp.752) berbunyi, jika
pendapatan naik, maka: (1) Porsi untuk pangan mengecil; (2) Porsi untuk pakaian tak banyak
berubah; (3) Porsi yang disisihkan untuk rumah dan prabotannya juga relatif tak berubah; (4)
Belanja untuk rekreasi, pendidikan dan kesehatan, dan lainnya akan meningkat.

92 Ekonomi Pertanian
membahayakan potensi kesiapan dan kecukupan pangan beras. Laju pertambahan
penduduk antara titik situasi B dan C tergambar sudah lebih stabil sebagai ciri
budaya maju, walau kewaspadaan terhadap krisis pangan harus selalu ada, khususnya
yang terkait dengan kemunculan ancaman bencana alam. Kewaspadaan dengan
pola pikir dan strategi bertindak antisipatif komprehensif dengan pendekatan
multidisiplin dan lintas sektor.
Kesimpulannya bahwa dengan argumentasi hukum Ernest Engel (1821-1896;
dan masih mengandung kebenaran hingga zaman ini), maka boleh diyakini ada
peluang di mana kenaikan kadar dan tingkat pendapatan dan kesejahteraan itu tidak
akan memperparah situasi keterbatasan pangan. Ini karena kenaikan kesejahteraan
warga tidak selalu akan memacu konsumsi pangan pokok yang kemudian bisa
membuat defisit pangan pokok bangsa. Apalagi jika pada saat bersamaan sudah
disosialisasikan pola keanekaragaman pangan dan pola konsumsi berkecukupan
gizi berimbang. Warga masyarakat harus dibuat tidak mudah terprovokasi untuk
berfoya-foya sambil mubazirkan bahan pangan yang sudah jadi mudah mereka
jangkau karena sudah di posisi lebih sejahtera.
Justru yang penting adalah kerja keras semua pihak guna membawa pembangunan
ekonomi keluar dari perangkap PPM (antara titik A&B) tadi, khususnya lewat aneka
upaya inovasi. Adanya teknologi olah hasil pangan, yang melengkapi lompatan
teknologi produksi di tingkat hulu atau primer (petani produsen), tentu harus
diupayakan agar jadi nyata sambil menciptakan banyak lapangan kerja. Saat garis
kurva yang kian melambung tinggi akibat adanya peningkatan pendapatan, itu justru
pangan pokok diperhemat.17

Daftar Pustaka
Todaro, M.P. 1977. Economic of Population and Development. Economic for A Developing
World; Chapter 12. Longman Press.
Kelley, A.C. “Economic Consequences of Population Change in the Third World”. Journal
of Economic Literature. Vol. 26, No. 4.

BAB 5 | Sisi-lanjut Konsep Permintaan 93


[Halaman ini sengaja dikosongkan]
BAB

6
MEKANISME PEMBENTUKAN HARGA

6.1 Konsepsi Harga Transaksi dan Sasaran Pasar.


6.2 Konsepsi Harga Transaksi dan Marjin Pemasaran.
6.3 Konsepsi Harga Transaksi dan Perubahan Kondisi Pasar.
6.4 Konsepsi Harga Transaksi dan Batas Harga Mini-max.
6.5 Konsepsi Harga Transaksi dan Karakter Pasar.

Ekonomi Pertanian: Mekanisme Pembentukan Harga


Kebanyakan hasil-hasil pertanian sangat mudah rusak membusuk, mudah susut
beratnya, mudah tercecer jumlahnya, dan juga amat makan tempat. Di sini, perlu
ada manajemen produksi, pascapanen dan pemasaran demi menarik simpati pasar.
Apa saja maunya pasar bersama konsumen, tentu perlu direspons demi keberlanjutan
eksistensi usaha. Sejak dari titik produksi sampai ke titik konsumen akhir, harus
dicermati. Sementara setiap gejala perubahan komoditi pertanian harus dikelola,
tentu membawa konsekuensi biaya pengolahan dan penanganan yang tidak sedikit.
Dari sub-Bab 2.3, dipahami bahwa setiap konsekuensi biaya harus masuk dalam
perhitungkan dengan cermat agar produsen dapat menikmati hasil jerih payah
mereka. Suatu pengorbanan seyogianya terbalas dari pembayaran konsumen, yaitu

95
senilai yang memang patut jadi milik kaum tani. Dari setiap nilai akhir komoditi
tertentu, terdapat bagian petani yang di sini disebut pangsa petani atau gapaian
petani (farmer-share). Hanya lewat siasat satuan agribisnis kemitraan, pihak petani
akan bisa memperbesar gapaiannya.
Kata gapaian (≠capaian) dipilih agar mencerminkan nilai sesungguhnya dari
hasil kerja keras petani. Walaupun belum pasti kadarnya, tetapi patut menjadi nilai
yang benar-benar sampai ke tangan petani sebagai hak untuk dinikmati. Bertolak dari
istilah ini, maka beberapa konsepsi pemikiran ekonomi pertanian sudah sepatutnya
selalu memihak kepada petani kebanyakan yang memang berada pada posisi lemah.
Alasan logisnya adalah:
1. Bahwa pola pembentukan harga untuk aneka hasil pertanian selalu akan
bermula dari transaksi bisnis di tingkat konsumen di perkotaan, lalu kemudian
informasi harga itu ditransfer atau diturunkan ke tiap tingkat penyalur hingga
sampai kepada tingkat petani di pedesaan.
2. Bahwa pihak petani hanya berperan sebagai pekerja yang didalangi (didikte)
oleh kekuatan pasar, dan status petani hanya penerima harga (price taker)
bukan sebagai penentu harga (price maker), lalu karenanya mereka akan mudah
dipecundangi oleh pemburu rente ekonomi.
3. Bahwa perkuatan kapasitas bisnis para petani harus diasah secara melembaga
berbasis klaster jenis usaha tani agar nyata bisa menaikkan kesejahteraan
warga, sekaligus keluarga populasi petani yang terbilang >50% penduduk
RI, sehingga bisa berdampak positif memakmurkan negeri.

6.1 Konsepsi Harga Transaksi dan Sasaran Pasar


Istilah atau sebutan PASAR secara konsepsional adalah tempat bertemu kekuatan
permintaan dan penawaran untuk suatu barang atau jasa. Sejak dari bahasan dalam
Bab 1 hingga Bab 5, sudah diperkenalkan sebutan KOMODITI barang itu merupakan
hasil produksi pertanian tingkat primer yaitu berbasis SDA lahan. Seterusnya,
ada sebutan PRODUK ditujukan pada komoditi pertanian sebagai bahan baku
ataupun bahan segar yang telah mengalami proses pengolahan pascapanen lewat
suatu kegiatan produktif pada pabrik olah-perta yang juga disebut satuan usaha Catatan untuk
agroindustri. penulis:
maksud dari kata
Setiap proses transaksi jual beli yang mencapai kesepakatan diistilahkan pabrik olah-perta
berhasil menemukan titik keseimbangan harga He untuk secara sah pihak pembeli bagaimana ya
bisa mendapatkan suatu jumlah keseimbangan yang diperjual-belikan yaitu Qe. Pak/Bu? Mohon
dicek kembali,
Mekanisme jual beli ini disederhanakan dengan asumsi bahwa transaksi diharapkan terima kasih.
berlangsung pada struktur pasar bersaing sempurna, karena banyak penjual, banyak

96 Ekonomi Pertanian
calon pembeli, terhadap barang yang relatifhomogen atau seragam. Keseimbangan
pasar bisa dicapai, sebagaimana yang ditunjukkan oleh titik silang kedua kurva
permintaan dan penawaran.
Berpangkal tolak dari konsep dasar bahwa pasar adalah pertemuan antara
suplai dan demand dalam suatu wadah lokasi-maya ataupun lokasi-nyata, maka
pada setiap pertemuan 2 kekuatan itu dapat digambarkan mekanisme interaksi
niaganya jika dilihat dari sudut pandang teori ekonomi mikro. Dicontohkan dengan
konsep pasar di dunia nyata suatu komoditi segar atau juga produk olahannya,
diharapkan mengalami transaksi jual beli di suatu lokasi yang banyak dikunjungi
wisatawan. Pada Gambar #14 terdapat 5 unsur pasar yang dapat direkayasa agar Catatan untuk
penulis:
berperan aktif, yaitu: Gambar yang
1. Kebijakan pihak Pemda menggiring langkah penjual & pembeli ke suatu arah dimaksud
gambar yang
Objek Kunjung Wisata (OKW). mana ya Pak/
2. Kesiapan pihak penjual barang untuk seketika dipakai atau akan dibawa sebagai Bu? mohon
dicek kembali,
oleh-oleh untuk keluarganya. terima kasih.
3. Keberadaan lapak penjualan benda segar dan barang oleh-oleh tadi di titik
jelang maupun di objek wisata.
4. Kegesitan para peniaga asongan menawarkan barang kepada wisatawan dan
harga yang bisa tawar-menawar.
5. Kadang transaksi jual beli juga bisa tanpa pedagang perantara, asalkan produsen
menjajakan sendiri hasil taninya.

Gambar 6.1 Kelola Jaringan Niaga Pemasaran Aneka Prukab: Peran-Aktifkan Program
Kepariwisataan Pemacu Produk Inovatif dan Hasil Indutri Kreatif

BAB 6 | Mekanisme Pembentukan Harga 97


Logika pada Gambar 6.1 ini, berkaitan dengan bahasan dalam Bab 3 dan Bab
5. Peran agroindustri sempat ditonjolkan sangat penting untuk 2 sasaran pokok
dalam memperluas pangsa pasar bagi komoditi hasil pertanian yang amat rentan
gagal pemasaran. Adapun pintu masuk menambah pangsa pasar antara lainnya
langsung terkait tampilan komoditi jadi produk adalah:
1. Menambah daya-tembus komoditi terhadap pasar berskala luas yang jauh dari
titik produksi, dan lewat peran agroindustri skala kecil juga rumahan sebagai
upaya produktif menghasilkan produk yang bisa mempertemukan kinerja
produsen dan kehendak konsumen. Sasaran pasar akan makin jauh dari lokasi
produksi komoditi, tapi karena tahan lama, maka kian dekat ke konsumen yang
kebanyakan di perkotaan.
2. Membangun kemitraan dengan pihak agroindustri yang butuh bahan baku
sebagai sasaran pasar pasti (captive market) bagi komoditi yang masih berkarakter
7C, karena jika hanya mengharap dari transaksi pasar biasa, maka komoditi
yang masih berupa bahan baku apalagi bahan segar akan sangat rentan ditekan
harganya oleh kekuatan permintaan yang tegar dibanding penawaran si 7C yang
serba rapuh.

Sebenarnya, diskusi tentang pasar secara konsepsional luas cakupan dan isinya,
tapi juga sangat penting dipahami dengan baik agar tampak gunanya. Setiap kali ada
persoalan yang terkait dengan perniagaan di dunia nyata bisa dikaji latar belakang
penyebabnya, lalu kemudian dirumuskan solusinya. Kadar pengetahuan dan
pemahaman yang baik tentang transaksi pasar akan sangat memudahkan analisa yang
mengarah pada rumusan kebijakan yang efektif memupuk kesejahteraan ekonomi.
Sepatutnya Ipteks yang berkaitan dengan pasar benar-benar dari sisi permintaan
dan penawaran, juga paham perihal struktur pasar, serta perilaku pasar dan kinerja
pasar yang bisa memfasilitasi kelangsungan setiap proses transaksi jual beli yang
wajar, atau sebaliknya pula transaksi jual beli tak wajar.
Ironisnya terkadang di tengah komunitas warga masyarakat pada umumnya
pemahaman keilmuan tentang pasar masih juga belum terlalu dianggap perlu.
Ini dapat dimaklumi, karena transaksi jual beli seolah dapat dilakukan kapan saja
tanpa harus memiliki ijazah keilmuan. Pendapat awam demikian jadi lumpuh ketika
disadari bahwa transaksi jual beli di manapun oleh siapapun selalu ditujukan untuk
menaikkan kadar kesejahteraan hidup para-pihak yang terkait. Tujuan itu tidak
selalu dapat tercapai dengan sendirinya, karena pada setiap arena transaksi jual beli
akan selalu ada kadar persaingan antarpelaku, ada strategi dan taktik yang bisa saja
tampil dibarengi keculasan ataupun kejujuran. Sasaran politik jual beli akan selalu
tampak berupa upaya mendapatkan harga murah agar kemudian ketika barang dijual
kembali, maka ada marjin pemasaran yang nilainya mengandung laba relatif besar.

98 Ekonomi Pertanian
Jadi, pemahaman baik tentang proses pembentukan harga secara wajar
dan memuaskan tentu menjadi penting demi kebaikan bersama. Dalam hal ini,
rumusan kebijakan yang mengawal transaksi jual beli yang baik tentu bisa menebar
keberkahan rezeki kepada penduduk negeri dan warga bangsa pada umumnya.
Keberkahan itu akan tampak nyata dari: 1) Angka pengangguran menurun; 2)
Aneka lapangan kerja bertumbuh baru; 3) Angka kriminalitas turun kian rendah,
dan; 4) Ajang kerusuhan sosial nihil adanya, serta yang terakhir; 5) Jumlah nilai
PAD meningkat, khususnya yang berasal dari pajak dan retribusi dipungut Pemda
setiap tahun. Demikian kelima ukuran prestasi ini pula yang semustinya jadi sasaran
kerja para abdi Negara pembela ekonomi kerakyatan, sebelum akhirnya bersyukur
karena berhasil sukses merealisasikan setiap MISI, sehingga VISI pembangunan
tercapai nyata.

6.2 Konsepsi Harga Transaksi dan Marjin Pemasaran


Harga transaksi jual beli perlu dikritisi kejadiannya dari perspektif petani produsen di
perdesaan, juga perspektif konsumen di perkotaan. Perbedaan kontras antara kedua
sudut pandang adalah adanya keinginan konsumen untuk mendapatkan harga yang
semurah-murahnya, tapi sebaliknya keinginan petani produsen adalah menerima
harga yang setinggi-tingginya. Padahal, perbedaan harga beli yang dibayar konsumen
dan harga jual yang diterima petani produsen adalah nilai Rp marjin pemasaran
(Gambar 6.2). Dari titik produsen hingga konsumen itu, ada marjin pemasaran
berisi 3 komponen nilai, yaitu: 1) Kadar laba bersih petani produsen; 2) Kadar laba
pedagang perantara, dan 3) Kadar biaya angkut & bongkar muat. Ketiga komponen
ini perlu dicermati. Khusus komponen 3, disebutkan di sini karena pasti melibatkan
banyak unsur warga yang aktif mencari sesuap nasi bagi keluarga.
Di tingkat petani produsen, kiranya pergeseran kurva suplai ke kanan berarti
pertambahan jumlah barang terjadi bukan karena perubahan harga. Pergeseran
kurva ke kanan disebabkan panen raya tentunya akan menggeser sambil mengubah
bentuk kurva penawaran. Jika perubahan kurva penawaran akibat panen itu disambut
oleh permintaan konsumen yang relatif stabil, maka akhirnya panen mengubah
tingkat harga transaksi. Terkait ini ekonomi pertanian membedakan perubahan titik
harga transaksi, yaitu titik “harga bergerak turun di sepanjang kurva” permintaan.
Implikasinya jelas terhadap jumlah diminta terhadap suatu barang sesuai hukum
permintaan (Bab 2.2).
Tentu skenario jadi berbeda ketika perubahan harga dan jumlah barang
dipicu permintaan yang bergeser kurvanya. Pergeseran kurva permintaan akibat
pertambahan penduduk ketika berinteraksi dengan kurva penawaran yang kali
ini diasumsikan stabil, tentu memicu ‘gerak harga naik di sepanjang kurva’

BAB 6 | Mekanisme Pembentukan Harga 99


penawaran. Nyatanya, kurva penawaran lebih sering bergeser ke kanan karena
adanya panen raya tiap musim, sehingga kecenderungan kenaikan harga tidak bisa
bernas terjadi, kecuali kenaikan nominal tipis, tapi justru sangat mungkin secara riil
harga turun menjadi kian murah. Jadi, para petani memang perlu tampil lebih teratur
dan bersatu demi cermat ber-inovasi teknis, dan bersiasat manajemen bisnis,
serta berstrategi wirausaha (enterprenerurship); di samping tetap harus berkearifan
lokal maju, serta beretika bisnis (berwawasan lingkungan demi pembangunan
berkelanjutan).
Dari sisi permintaan, kiranya kekuatan dan keinginan pasar sejak dari tingkat
konsumen sudah banyak campur tangan berbagai pihak perantara sebelum tampil
di tingkat petani, maka petani kebanyakan tentu lemah posisi tawarnya. Sebaliknya
dari sisi penawaran, sungguhpun banyak variabel biaya produksi yang mutlak harus
dipenuhi, tetapi di masa panen justru tidak banyak cara petani untuk tampil dengan
posisi tawar yang lebih kuat. Selain posisi dan situasi pasar yang tidak serta-merta
memihak kepada kaum tani, juga ada tekanan hutang keluarga juga hutang produksi
sudah menunggu bayaran segera. Panen hasil usaha tani tradisional dan skala kecil
tidak bisa lagi ditunda dan harus cepat terjual, selain juga sarana penampungan
hasil panen pasti pula terbatas mutu dan ruang tampungnya (Perhatikan analisa
sub-Bab 6.3).
Pendek kata, tekanan dari atas dan dari bawah menjadikan para petani berada di
posisi “maju kena mundur kena”, dan inilah kodrat petani yang sulit untuk mereka
elakkan. Terkecuali, jika mereka diberi pembinaan teknis, dan manajemen, serta
wirausaha oleh Pemda, yang kiranya memang tulus untuk selalu berbuat sembari
berpihak kepada mereka kaum tani yang lemah.
Di sinilah alasan luhurnya mengapa politik ekonomi pertanian sangat penting
dipelajari. Bayangkan ada 160-an juta penduduk RI yang hidup dalam belas kasih
alam untuk menyediakan pangan-pakaian-papan bagi mereka dan 100 jutaan warga
selainnya. Gairah dan semangat mereka yang merasa dibela pasti berpengaruh besar
pada pertumbuhan ekonomi nasional. Fundamental ekonomi bangsa dipastikan
kuat jika kaum tani pada umumnya sejahtera dan berkecukupan untuk menopang
pendidikan generasi penerus mereka.
Pada sisi permintaan, tidak banyak yang bisa diperbuat petani untuk bisa
mengubahnya. Variabel pendapatan konsumen justru paling menentukan ciri
kurva permintaan. Jika di kalangan keluarga ada kenaikan tingkat pendapatan rata-
rata, justru terhadap bahan pangan belum tentu terjadi penambahan atau malah
sebaliknya menggeser kurva permintaan ke kiri. Gejala ini terdorong misalnya oleh
bangkitnya selera terhadap makanan cepat saji (KFC, McDonald atau mi ayam
bakso), sehingga membeli bahan pangan segar sering terabaikan. Akan tetapi,

100 Ekonomi Pertanian


bisa pula terjadi pergeseran kurva permintaan ke kanan karena banyak orang kaya
menjadi vegetarian dan makanan berbasis komoditi hortikultura berhasiat kesehatan.
Gejala ini jika direspons petani produsen dengan penyediaan produk pascaolah jadi
produk agroindustri, walaupun berskala rumahan, tentu inovasi demikian akan
lebih menguntungkan petani.
Variabel kuantitas dan kualitas adalah penentu utama penawaran, dan itulah
yang bisa diotak-atik oleh petani produsen. Harga jual sifatnya naik turun berupa
gerak harga transaksi di sepanjang kurva permintaan; karena otak-atik setiap variabel
suplai selain Hy secara konsepsional bisa menggeser kurva ke kanan juga ke kiri.
Perubahan jumlah komoditi dari suatu musim panen ke musim berikut digambarkan
berupa pergeseran kurva penawaran. Pengolahan komoditi primer menjadi suatu
produk baru tentunya bisa saja dilakukan sendiri oleh petani produsen. Itu berarti
jumlah yang tersisa untuk dijual justru menggeser kurva penawaran komoditi primer
itu ke arah kiri karena dari jumlah yang tadi dipanen sebagiannya telah berubah
jadi kurva produk olahan bersama kurva penawaran tersendiri.
Tentu saja ketika petani secara pribadi maupun selaku lembaga kemitraan
berhasil memanen sejumlah komoditi, tapi kemudian sebagian dari hasil panen
itu sudah bisa langsung diolah jadi produk agroindustri, maka berarti proses
pemasaran terbagi jadi 2 jalur penawaran ataupun 2 jalur pemasaran. Dengan begitu,
kebijakan sang pelaku produksi untuk memperbesar laba usaha dari komoditi segar
atau bahan baku tidak lagi tergantung pada satu nilai marjin transaksi pasar saja.
Melainkan secara leluasa dapat lebih fokus dan mengarah pada lokus yang lebih
menjamin kehadiran laba dan nilai tambah atau jalur pemasaran yang tampak lebih
menjanjikan. Tentang jalur pemasaran yang selainnya tetap dijalani sebagaimana
biasa dengan target sekadar menghindari kerugian nominal. Boleh jadi pada suatu
fase waktu yang terus berputar ini fokus dan lokuspun perlu digeser karena keadaan
sudah berubah.

6.3 Konsepsi Harga Transaksi dan Perubahan Kondisi Pasar


Dilihat dari sudut proses pembentukan harga, keadaan yang tidak terlalu
menguntungkan petani terjadi pada 4 waktu yang secara teknis nyata ada di lapangan.
Aktivitas berusaha dimaksud adalah sebagai berikut:
1. Waktu panen raya: Ada tahun kebaikan pertanian di suatu daerah, di mana
suhu, jumlah hari hujan dan jumlah curah hujan amat cocok untuk pertanaman
tertentu, padi di lahan basah dan jagung di lahan kering misalnya. Pada
kondisi yang demikian bisa terjadi panen raya, yang memungkinkan hasil
produksi berlimpah. Ketika panen raya terjadi, maka kurva penawaran akan
bergeser jauh ke arah kanan, sementara pada periode waktu yang sama sisi

BAB 6 | Mekanisme Pembentukan Harga 101


permintaan terhadap komoditi semisal bahan pangan pokok, seperti beras dan
jagung tidak mengalami perubahan yang berarti. Keadaan ini tentu akan lebih
menguntungkan pihak pembeli karena posisi & kekuatan permintaannya.
Keadaan demikian itu dapat digambarkan berupa perubahan posisi titik
potong kurva penawaran pada suatu kurva permintaan. Artinya, pada kurva
permintaan yang tak bergeser itu sedang terjadi 2 titik potong atas kurva
penawaran, yaitu dari A ke B, yakni bergerak dari atas ke bawah di sepanjang
kurva penawaran (movement along the curve). Akibatnya, harga barang turun
sedikit, tapi jumlah jual komoditi diperjualbelikan justru bertambah. Jika kurva
permintaan tampil agak tegak atau (nonelastis), misal di musim duren, jatuh
harga di pasar tidak banyak menambah pembeli dan jumlah diminta.

Gambar 6.3 Transaksi Saat Suplai Berlimpah; Misalnya di Masa Panen Raya

Pada keadaan itu, harga hasil pertanian terkait sering kali mengalami
penurunan drastik. Gambar 6.3 menunjukkan turun dari H1 jadi H2 (karena titik
potong kurva D dengan S1 di titik A, lalu dengan S2 di titik B). Dalam situasi
seperti itu, tentu saja para petani produsen amat kesulitan untuk mereguk
keuntungan selaras dengan unduhan fisik hasil panen yang sedang melimpah
ruah. Inilah persoalan klasik sektor pertanian yang justru banyak melibatkan
para petani kecil dan tradisional yang sama sekali belum berciri agribisnis.
2. Waktu panen gagal: Tidak jarang terjadi gagal panen dialami kaum petani
kecil yang berhadapan dengan perubahan iklim diikuti kemunculan hama dan
penyakit tanaman atau diikuti masalah krisis air juga karhutla (kebakaran
hutan dan lahan). Keadaan di luar dugaan demikian ini faktanya amat sering
menyudutkan capaian bisnis kaum tani di tingkat lokal dan cacat gapaian
bisnis dalam lingkup perdagangan antar daerah, antarprovinsi, apalagi
antarbangsa. Jika jiwa wirausaha dan keterampilan manajemen belum dimiliki

102 Ekonomi Pertanian


pelaku UMKM misalnya, maka rusaklah kredibilitas satuan usaha. Apalagi
jika berkenaan dengan komoditi buah-buahan musiman, seperti duku dan
rambutan, yang harus berhadapan dengan kurva permintaan elastis (lebih
mendatar; Gambar 6.4). Perubahan jumlah diminta banyak, tapi kenaikan harga
tidak seberapa besar. Dalam situasi kurang kondusif ini, tentu perhatian dan
kebijakan yang memihak pada petani amat berguna; misalnya ada semacam
keringanan pajak retribusi lapak penjualan.

Gambar 6.4 Transaksi Saat Suplai Terjadi Jeblok; Misal di Masa HPT Mewabah

Sebagaimana pada Gambar 6.4, kegagalan panen tergambarkan berupa


kebalikan arah pergeseran kurva S1 jadi S2 yang secara konseptual teoretis
akan mendongkrak harga jadi mahal. Amat disayangkan keadaan harga yang
demikian membaik justru hanya bisa dinikmati oleh sedikit pelaku usaha tani
di tingkat pedesaan yang masih sempat mengalami kegiatan panen normal.
Pelaku agroindustri di perkotaan, yang memang berinovasi dilengkapi sarana
prasarana agroindustri di sektor hilir akan menangkap peluang laba besar pada
saat harga bahan olahan masih agak murah, sehingga keadaan yang berubah
dan mendongkrak harga tentu lebih menguntungkan perusahaan mereka.
3. Waktu Abai Peluang: Dimaksudkan di sini adalah suatu keadaan di mana waktu
panen tidak bertepatan dengan waktu lonjakan harga komoditi sesaat momen
pasar yang muncul kondusif; misalnya karena ada lonjakan jumlah wisatawan ke
suatu daerah ketika berlangsung suatu pesta olahraga regional. Tidak disangka
sambutan para atlet & keluarga begitu besar, lalu jumlah peminat produk
khas lokal mengalami kenaikan, terutama yang berupa produk oleh-oleh atau
suvenir yang khas daerah setempat. Peluang bisnis yang ada di hadapan terjadi
dalam waktu yang tidak bersamaan dengan waktu panen komoditi. Akibatnya,
sungguhpun harga suvenir bisa berimbas positif pada harga bahan dasarnya,

BAB 6 | Mekanisme Pembentukan Harga 103


namun apa daya waktu panennya tidak pas dengan waktu kenaikan harga jual
produk suvenir selaku turunan komoditi tersebut Gambar 6.5.

Gambar 6.5 Transaksi Saat Permintaan Meroket; Misal di Saat ASEAN Games-18

4. Waktu Ada Krisis: Tidak pula mustahil ada waktunya krisis terjadi di luar
dugaan, sehingga mengurangi kadar jumlah barang yang diminta bukan
dikarenakan perubahan harga, melainkan disebabkan adanya kondisi yang
mengubah perngaruh variabel selain harga, yang seolah memberi tekanan pada
kurva permintaan agar bergeser ke kiri bawah. Misalnya saja di masa Covid-19
berlarut-larut waktu, telah menyebabkan berbagai peluang nafkah keluarga
memicu turunnya daya beli, sebab hampir tiap keluarga konsumen mengalami
susut pendapatan. Banyak jenis barang jadi sulit terjual, tidak terkecuali kurva
permintaan bahan makanan ikut tertekan hingga bergeser ke kiri bawah, dan
konsekuensinya harga barang jadi turun bernas dan bisa merugikan.
Andai angka elastisitas suplai atas harga hanya berkisar pada angka 0.5 yang
artinya agak tegak (jika harga turun 1%, maka jumlah penawaran hanya bisa
turun sekitar 0.5%). Pada kondisi suplai seperti itu, andai geseran kurva
permintaan ke kiri bawah (Gambar 6.6) menyebabkan titik potongnya dengan
kurva penawaran memposisikan harga turun, maka akan terjadi Q dan H
transaksi turun keduanya. Apabila hal ini nyata terjadi, maka pengangguran akan
marak terjadi karena komoditi kurang laku terjual sekali pun, harga bawangnya
amat murah. Para petani produsen pasti jadi sangat prihatin, karena boleh jadi
upah buruh tani pun sulit untuk dibayar, hutang belanja saprosi periode yang
lalu bakal jatuh tempo sedang alat bayar masih saja terbatas. Keadaan yang
kurang baik ini hendaknya jangan sampai terjadi berulang kali.

104 Ekonomi Pertanian


Gambar 6.6 Transaksi Saat Demand Menurun; Misalnya Akibat Pandemi Covid-19

Kejadian turunnya permintaan tentu menekan harga, tetapi tidak bisa direspons
dengan menahan jumlah penjualan sambil menunggu harga naik nantinya. Komoditi
yang dihasilkan selain berisiko rusak juga bisa susut, sehingga terpaksa dijual
murah. Keterpaksaan menjual jadi ibarat ‘makan buah simalakama’ (dijual rugi tak
dijual rugi) dan yang seperti ini memang sering dialami kaum tani pedesaan yang
jauh dari pusat pasar. Simalakama mengisyaratkan tidak mungkin menunda jual,
karena tidak ada sarana gudang rumah tangga atau pun sarana pergudangan yang
disediakan desa. Sebaliknya menjual segera justru harga jual sedang murah dan
akan tertekan makin murah, sehingga rugi tak terelakkan.
Berkat sistem penyimpanan maka volume hasil yang terpaksa harus ditawarkan
ke pasar pada bulan-bulan panen akan dapat dikurangi, sehingga tekanan
transaksional (jual beli) yang sering dipaksakan itu tidak sempat merugikan para
petani. Tentu mekanisme pembelian kelebihan penawaran .6 memadai, dalam Catatan untuk
arti terbebas dari gangguan inseks dan binatang liar lainnya, serta teratur suhu penulis:
Mohon cek
dan kelembaban, serta kebersihannya. Namun persoalannya di sini adalah tidak kembali
mungkin pemerintah menyediakan gudang simpan di setiap desa, dan begitu juga kalimat
tidak mungkin bagi warga setiap desa menyediakan gudang simpan padi yang baik bertanda
merah, apakah
sesuai ketentuan teknis yang tepat, terkecuali pada desa yang maju dan makmur, sudah benar?
dan biasanya dekat kota kabupaten. Demikian lika-liku mekanisme pasar dalam sepertinya
upaya pemberlakuan dukungan harga pada transaksi jual beli produk pangan. kalimat kurang
jelas.
Sebegitu jauh telah dapat dipahami, bahwa pembicaraan soal harga barang
pertanian tentu meliputi harga saprosi, harga komoditi, harga produk unggulan,
harga dasar dan harga maksimum; yang ke semuanya jadi penentu kesejahteraan
kaum tani juga rakyat (kesra) pada umumnya. Tentu juga sudah dipahami bahwa
kekuatan penawaran (suplai) dan kekuatan permintaan (demand), serta struktur-

BAB 6 | Mekanisme Pembentukan Harga 105


perilaku-kinerja pasar adalah unsur dan ajang penentu harga barang yang paling
utama. Jadi, kekuatan penawaran bermula dari lapangan produksi, tetapi kekuatan
konsumsi bermula dari rumah tangga atau unit keluarga. Bilamana permintaan
sempat bertemu penawaran, maka transaksi pasar akan terjadi pada suatu titik
perpotongan kedua kurva, yang disebut titik keseimbangan yang sekaligus jadi
penunjuk kesepakatan harga antara pihak penjual dan pembeli. Dari sinilah muncul
argumentasi tentang “posisi tawar” petani dikatakan LEMAH karena sesuatu sebab
dan lain hal.

6.4 Konsepsi Harga Transaksi dan Batas Harga Minimax


Istilah harga minimum disebut juga harga dasar (floor price) dimaksudkan sebagai
patokan harga terendah yang boleh terjadi pada transaksi jual beli suatu komoditi.
Harga dasar diberlakukan demi melindungi petani produsen jangan sampai merugi.
Apalagi pengorbanan para petani kecil sebagai pelaku usaha tani tradisional dan
tersebar di semua penjuru Nusantara sesungguhnya amat tulus, walaupun mereka
masih serba lemah. Petani selalu berbuat tanpa didasari suatu perjanjian dengan
pihak konsumen di mana pun, tetapi mereka selalu tekun membaca tanda-tanda
alam guna mengetahui kapan waktu tepat memulai suatu usaha pertanaman.
Tentulah dimulai usaha tani itu dengan penuh harap kiranya akan mendatangkan
hasil panen yang banyak untuk keperluan keluarga sendiri (subsisten), di samping
sebagian ikhlas dialokasi dan didistribusi untuk khalayak warga, termasuk orang
tani di daerahnya yang tidak melakukan pertanaman serupa.
Oleh sebab itu, wajar jika pemerintah antara lain melalui institusi semisal
Badan Urusan Logistik (BULOG) akan dengan sengaja mengeluarkan kebijakan
perlindungan petani lewat penetapan harga dasar suatu komoditi pangan. Kalau
kemudian saat panen puncak lalu ada volume hasil panen naik berlipat ganda tentu
akan memicu efek boomerang dan menggeser kurva penawaran ke kanan. Nanti
ketika berinteraksi dengan permintaan yang relatif stabil berupa kurva permintaan
yang tidak berubah posisi, maka efek penurunan harga transaksi tidak akan
berlebihan karena dihadang oleh nilai harga dasar yang ditetapkan pemerintah.
Begitulah niat baik pemerintah sudah seyogianya selalu hadir membela kaum
lemah, khususnya para petani tradisional maupun petani yang sudah sempat
maju sebagai anggota dan pelaku satuan agribisnis BUKD-kemitraan yang telah
mengalami pembinaan.
Suatu pelajaran dapat dipetik dari topik bahasan ini, bahwa pemberian teknologi
dan manajemen produksi kepada para petani belum bisa dijadikan pertolongan
final. Pada nyatanya justru nilai Rp dari hasil panen jugalah yang amat diharapkan
kaum tani akan dapat menaikkan tingkat kesejahteraan hidup mereka. Justru hal

106 Ekonomi Pertanian


yang diharapkan itu tidak dapat mereka kendalikan penuh karena ada peran pasar
yang mengondisikan interaksi suplai-demand dan melengkapi prasarana dan sarana
yang menentukan kelancaran jual beli. Pada keadaan pasar yang normal dan tampil
tanpa gejolak yang mengancam, posisi petani justru tetap harus menerima harga
apa adanya.
Sebenarnya, akan terbuka semacam kesempatan bagi para petani yang kebetulan
punya surplus hasil panen dibarengi sarana simpan cukup baik berupa kotak atau
lumbung di rumah. Petani yang terbilang mapan simpanan komoditi padi bisa
menunggu sinyal pasar harga merangkak naik. Namun demikian ketika musim
panen masih belum tiba, apalagi jika memang sebelumnya musim panen kurang
baik, justru akan ada pula kebijakan melindungi kepentingan kelompok konsumen
yang memang juga terbilang lemah. Aktualisasi pembelaan pihak pemerintah itu
akan tampak berupa operasi pasar penopang harga maksimum (ceiling price atau
maximum price), yaitu suatu batas harga transaksi tertinggi yang boleh terjadi.
Batasan ini tentu menguntungkan kaum konsumen lemah, tetapi sebaliknya juga
menutup peluang petani, sehingga tidak bisa menikmati nilai marjin yang besar
dengan kandungan laba yang diharapkan relatif bernas.
Pada Gambar 6.7, ada harga dasar Hp untuk pasar produsen di desa dan harga
maksimum Hk untuk pasar konsumen di kota. Operasi pasar di daerah surplus
harus diperankan oleh suatu lembaga (BUKD; ataupun perwakilan Bulog) yang
bertindak selaku pembeli ekses suplai ∆Qp akibat harga dinaikkan jadi harga dasar.
Lalu ketika diberlakukan harga batas tertinggi Hk di kota, maka stok dijual kembali
sebesar ∆Qc = ∆Qp, sehingga marketing marjin hanya tinggal sebesar ‘mm’. Di sini,
lembaga eksekutor tadi seolah berada di antara produsen dan konsumen, sengaja
berperan aktif guna melindungi konsumen dan juga membela kaum tani yang sering
kali mudah terpojokkan.

6.5 Konsepsi Harga Transaksi dan Karakter Pasar


Bagaimana kekuatan penawaran dan permintaan itu bisa bertemu satu sama lain,
tentunya akan sangat tergantung pada peran pasar, yang akan sengaja menampilkan
kinerja pasar bertolak dari perilaku pasar yang amat dipengaruhi oleh struktur
pasar yang sedang berperan berbasis izin usaha yang dimiliki tiap pengusaha. Di
tengah suatu ciri dan karakter pasar, maka posisi komoditi hanyalah objek, dan pasar
lebih tampil sebagai subjek penentu. Karakter pasar juga lah yang pada akhirnya
mengesahkan seberapa benar nilai yang pantas bagi suatu barang pertanian. Pada
struktur pasar monopoli pihak penjual adalah raja yang amat menentukan, tapi
tipe ini amat jarang dijumpai pada komoditi tani primer. Itu berbeda dari struktur
pasar bersaing sempurna yang bercirikan banyak penjual dan banyak pembeli,

BAB 6 | Mekanisme Pembentukan Harga 107


dan barangnya hampir ataupun sangat seragam, serta para penjual pembeli bebas
keluar masuk pasar. Ciri ini dijumpai di bidang pertanian, walaupun tidak selalu
murni ada di pedesaan di mana banyak para penjualnya, tapi agak sedikit pembeli.
Struktur pasar bersaing sempurna memposisikan setiap pelaku bebas masuk
dan keluar pasar (sebagaimana para penjual dan pembeli rokok). Jika hanya ada
1 penjual terhadap banyak pembeli, maka hadir struktur monopoli. Akan tetapi
di dunia pertanian pedesaan justru yang ada hanya 1 pembeli (pabrik pengolah
bahan baku) yang harus dihadapi oleh banyak petani dan sebab itu terjadi pasar
monopsoni, yang cenderung menekan nasib kaum tani. Ada pula duopoli (hanya
2 penjual) ataupun oligopoli (beberapa penjual) yang terkadang saling berkolusi;
ini jarang menandai ekonomi pedesaan. Sebab ketika banyak penduduk sebagai
produsen hasil pertanian keleluasaan ke-2 struktur pasar duopoli dan oligopoli
itu terkebiri, karena akan selalu ada mata dan sikap reaktif berlawanan, sehingga
merugikan semua pihak.
Segi konsep perilaku pasar, memang terkait aksi-reaksi pihak pembeli maupun
penjual pada struktur pasar yang aktif mengukir ekonomi pasar. Semacam perilaku
pasar pasti akan dijumpai terpengaruh pula oleh 3 hal:
1. Daya saing niaga, cermin kesiapan satuan usaha untuk mempertahankan dan
meningkatkan pangsa pasar;
2. Daya inovasi niaga untuk meraih laba dapat dibarengi kemampuan merebut
peluang menikmati nilai-tambah;
3. Daya tindak risiko perlu kemampuan & kreativitas pengendali risiko agar raihan
laba tetap bisa diperbesar.

Secara konseptual suatu risiko dalam menjalankan satuan agribisnis dapat


diklasifikasi sumbernya yaitu datang dari kinerja alam yang sulit diprakira pasti.
Selain itu juga akan datang dari perilaku pasar (market behavior) bentukan dari
aktivitas suatu struktur pasar (market structure) dan penciri kinerja pasar (market
performance). Jadi ketiga komponen pasar itu beraksi sebagaimana layaknya faktor
internal suatu sistem, yakni adanya 3 faktor internal yang saling memengaruhi
ditandai dengan panah bolak-balik. Terhadap wajah sistemik pasar ini, tetap saja hasil
akhirnya akan selalu dibayangi oleh pengaruh faktor eksternal, khususnya perilaku
alam berupa kondisi iklim dan suhu yang karena kondisi ekosistem hulu kian
rusak lalu membawa risiko negatif. Jadi, suatu risiko agribisnis bisa terjadi karena
pengaruh faktor luar & dalam sistem pasar. Tentu saja pemicu risiko agribisnis yang
bersifat alami membutuhkan pendekatan kebijakan ekonomi pembangunan secara
makro kewilayahan, misalnya dengan memulih-hijaukan kawasan Bukit Barisan
yang gundul, atau meningkatkan penghijauan zona tangkapan air hujan penyuplai

108 Ekonomi Pertanian


irigasi dengan segala kesungguhan dan penuh rasa tanggung jawab. Sebaliknya
yang terkait dengan faktor sosial-ekonomi justru lebih memerlukan taktik strategi
ekonomi mikro, yang diolah dan diejawantahkan secara nyata pada sisi manajerial
dan kewirausahaan. Kelompok petani dari pertanaman sejenis (atau klaster petani
yang sama mengusahakan tanaman tertentu) melalui proses pembinaan dari
tingkat KUBE (Kelompok Usaha Bersama Efektif) dapat maju berbisnis melalui
satuan perusahaan agribisnis disebut BUKD sebagai UMKM-kemitraan petani dan
merupakan tangan bisnis dari BUMDes di suatu desa.
Ketika organisasi niaga semacam BUKD hadir dan aktif di suatu desa, maka
satuan usaha itu sebenarnya telah menempatkan para petani anggota pada umumnya
bisa duduk sama tinggi dan berdiri sama tegak. Akan tetapi ketika suatu BUKD
hanya berhadapan dengan 1 satuan agroindustri pihak lain, maka saat itu akan terjadi
suasana pasar Bilateral Monopolistik. Pada situasi niaga dan transaksi yang kian
intens antara kedua belah pihak, maka rapat musyawarah di pihak BUKD sangat
penting dilakukan rutin berkala. Sebab pada situasi demikian itu antara utusan
BUMDes dan orang BUMS (ataupun BUMN) jadi gampang main mata, lalu kolusi
antara pribadi mereka akan terjadi secara sesembunyi. Dengan rapat berkala sambil
ada ritual zikir-doa, kiranya cara demikian akan membatasi ambisi dan kepentingan
pribadi, sehingga kolusi dan korupsi jadi terbatas ruang geraknya dan mudah untuk
dihindarkan.
Manakala tawaran kekuatan suplai mendapat respons alami dari pihak penentu
kekuatan permintaan, maka saat itu rundingan menuju persetujuan harga terjadi.
Transaksi untuk suatu komoditi dengan kadar jumlah dan mutu tertentu akhirnya
disepakati secara otomatis dan lebih didasari semangat menang-menang. Jika
interaksi bisnis pada tingkat terbawah yaitu kontak jual beli antara petani produsen
dan pedagang pengumpul akhirnya bisa berlangsung mulus dan saling mendukung
hingga sama menguntungkan, maka pada tingkat selanjutnya transaksi bisnis
diharapkan akan terpacu mulus pula.
Melalui kontak jual beli mengikuti alur Rantai Pasok yang sifatnya menghadirkan
suatu jenis komoditi bahan baku bagi unit agroindustri pengolah dan penghasil
suatu produk ½-jadi, tentu akan berlanjut ke mata rantai pasok berikutnya. Akan
sampai aktivitas penyaluran produk ½-jadi itu berlanjut ke mata rantai pasok yang
menjangkau mata rantai aneka agroindustri, yang artinya terdiri dari beberapa
macam satuan agroindustri penghasil beberapa jenis produk-jadi (Contohnya: Dari
CPO sawit bisa dihasilkan sekitar 60 macam produk jadi, termasuk bio-solar dan
bio-ethanol).
Boleh jadi agribisnis dan agroindustri yang berada di daerah setingkat kecamatan
hanya akan berupa kegiatan yang menghasilkan komoditi primer, dan lebih dari itu

BAB 6 | Mekanisme Pembentukan Harga 109


berupa produk olahan pascapanen, serta paling jauh pun berbentuk produk ½-jadi.
Akan tetapi putaran roda perniagaan dan pembukaan lapangan kerja, serta aneka
kegiatan pelengkap dan penunjang, tentunya akan terus bergerak menghidupkan
proses MONETISASI desa (dan daerah setingkat kecamatan). Sebagaimana putaran
bola salju senantiasa putih berseri menggelinding kian lama semakin besar, hal
demikian adalah bentuk dan luas kegiatan bisnis di tingkat daerah ‘hulu’ yang
sangat baik dan akan banyak mendatangkan dampak positif.

Daftar Pustaka
Reynolds, L. G. 1975. Agriculture in Development Theory. Yale University Press New
Haven & London.
Sjarkowi, F. 2019. Pengelolaan Usahatani vs Agribisnis: Strategi Kebijakan dan Manajemen
Niagaperta Penguat Fundamental Ekonomi Negeri. Palembang: Baldad Graffiti Press.
ISBN 979-96207-1-6.

110 Ekonomi Pertanian


BAB

7
MERAJUT KEBIJAKAN

7.1 Perspektif Kebangkitan Nafkah Warga Miskin


7.2 Perspektif Komoditi Niaga dan Produk Unggulan
7.3 Perspektif Kerja Sama Niaga Antarpulau dan Ekspor
7.4 Perspektif Kepatutan Nilai Harapan atas Lahan
7.5 Perspektif Komoditi dan Nilai Tukar Petani

Ekonomi Pertanian: Merajut Kebijakan


Hingga pada titik bahasan ini, seharusnya telah dapat dimengerti apa-apa saja
piranti konsepsional dari teori ekonomi mikro dan manajemen agribisnis yang dapat
ditawarkan sebagai instrumen pembelaan kepada kaum tani. Sebegitu jauh sudah
tampak tiga bentuk perlindungan yang dapat dimiliki kaum tani tradisional yang
bertebaran dalam jumlah banyak di seputar Nusantara, dan ketiganya dinukilkan
kembali di bawah ini bersama dua butir stratak yang baru akan dibahas dalam Bab
7 ini, yaitu sebagai berikut.
1. Pembelaan klaster petani produsen yang lemah dan tradisional di suatu desa
untuk kemudian mewujud jadi BUKD sebagai UMKM agribisnis komersial;

111
sehingga kisi-kisi fungsi dan bidang manajemen dapat didayagunakan oleh
satuan usaha klaster orang tani itu.
2. Pembelaan proses inovasi dihadirkan langsung ke tangan petani di ranah
pertanaman hingga ranah pascapanen (hilirisasi) maupun lewat ikatan kontrak
penghubung UMKM kemitraan terhadap satuan perusahaan agroindustri skala
menengah (USM) dan skala besar (USB).
3. Pembelaan harga transaksi atas niat baik pihak pemerintah untuk membuat dan
memberlakukan kebijakan nasional berupa patok harga acuan guna melindungi
kaum tani yang masih lemah dan pra-sejahtera tetapi juga tanpa menyakiti
kaum buruh yang juga rentan ekonomi.
4. Pembelaan kadar NTP yang sesungguhnya jadi parameter perubahan
kesejahteraan warga dan jadi ukuran nyata tentang seberapa jauh keberhasilan
pembelaan para pemerhati kepada kaum tani tradisional yang perlu mendapatkan
paket pembinaan dan pemberdayaan.
5. Pembelaan harkat moralitas bisnis kepada kaum lemah khususnya pelaku
usahatani dan satuan agribisns di hulu hingga hilir, sebab apa pun taraf
pendidikan dan pergaulan niaga harus menyadari bahwa interaksi bisnis
dipengaruhi struktur pasar bersama sifat baik serta buruknya.

Pendekatan pragmatis secara konsepsional teoretis untuk poin 1 hingga 3


sudah dibahas di dalam enam bab sebelumnya, dan di dalam Bab 7 ini, dua bentuk
pembelaan pada poin 4 dan 5 akan dibahas, khususnya dalam subbab 7.4 dan 7.5.
Sebelum itu, ada baiknya dipahami bagaimana sulitnya para petani selaku warga
miskin untuk mengubah diri mereka secara mandiri. Dari situ akan didapatkan
ide tentang apa saja yang perlu dilakukan untuk membina mereka yang tertinggal.

7.1 Perspektif Kebangkitan Nafkah Warga Miskin


Data statistik tahun 2020 menunjukkan jumlah penduduk yang berstatus kaum tani
di seluruh Nusantara berkisar pada angka 56% atau sekitar 160 juta jiwa. Kebanyakan
dari mereka petani tradisional mengusahakan pertanaman padi, kelapa sawit, karet,
kopi, lada, dan tanaman minyak atsiri seperti nilam, serey wangi, serta kumis kucing.
Secara ekonomi kebanyakan petani memperoleh laba atau keuntungan dari usahtani
mereka, walaupun tidak sedikit warga pedesaan hingga kini masih berstatus warga
miskin hidup di sekitar garis kemiskinan. Ini pula alasan yang kuat untuk melakukan
total strategi-taktik berbasis konsepsi teori agribisnis guna memberikan pembelaan
kepada kaum tani tradisional pada umumnya. Mereka sudah sepatutnya dibela,
karena mereka adalah sokoguru perekonomian nasional yang tulus berbakti untuk
bangsa. Akan tetapi, sengaja di dalam subbab 7.1 ini mereka tidak dijadikan sasaran

112 Ekonomi Pertanian


bahasan karena petani di desa relatif lebih sejahtera daripada pekerja buruh bergaji
kecil tetap. Ini karena para petani tradisional banyak memanfaatkan bahan pangan
alami yang gratis bisa diperoleh dari lingkungan desa.
Berasumsi tentang kehidupan keluarga kaum buruh di daerah urban, maka ada
pengaruh pendapatan keluarga miskin (khususnya para buruh dan tenaga kasar
pekerja serabutan) terhadap permintaan komoditi pertanian yang juga merupakan
kebutuhan pokok keluarga mereka. Sebab kadar pendapatan buruh di kota patut
diduga merupakan salah satu variabel penentu elastisitas dan tingkat kekuatan
permintaan hasil pertanian (pangan-pakaian-papan).
Analisis konsepsional teoretis pada Gambar 7.1 mengingatkan betapa Catatan untuk
penulis:
pentingnya pembinaan dilakukan kepada para buruh khususnya yang bermukim
Gambar 7.1 ini
di kota kecamatan dan kabupaten. Godaan untuk jadi konsumtif pada keluarga yang mana ya,
buruh tani dan buruh lainnya ketika mereka mengalami kenaikan gaji dan tambahan Pak/Bu?
uang lembur, patut untuk dibatasi. Jika kenaikan pendapatan terjadi, tambahan
duit keluarga buruh sebaiknya dijadikan modal usaha produktif daripada untuk
konsumtif. Demikian harus selalu disadari bahwa setiap program yang berpihak
kepada rakyat apalagi yang sengaja ditujukan untuk mengangkat kesejahteraan warga
miskin, adalah upaya luhur yang tidak boleh ternoda oleh kelicikan hawa nafsu
penyelenggara. Untuk itu, antar para pihak yang telah berkomitmen ikut melakukan
pembelaan kepada kaum lemah, perlu secara berkala ada rapat koordinasi lintas
sektor dan musyawarah para pihak agar gejala penyimpangan dapat diminimalkan.
Individu A dan keluarga hidup di bawah garis kemiskinan, sehingga semua
pendapatannya dibelanjakan untuk kebutuhan pokok keluarga senilai Rp titik YA
di titik potong garis harga G1 dan sumbu tegak Rp. Sambilan jadi badud individu
A bisa tambah pendapatan senilai delta-Y yang bisa dipakai untuk modal suatu
usaha produktif daripada berlama-lama hanya jadi badud pengemis. Sebab dengan
perolehan senilai UMR maka konsumsi pokok keluarga sudah terpenuhi pada taraf
yang menyehatkan suami-istri dan anggota keluarga. Jika ada tambahan perolehan
uang tunai bulanan, instrumen tabungan bisa diselamatkan mereka lebih lanjut.
Di desa yang sudah memiliki BUKD, tentu akan mudah mengadakan instrumen
tabungan yang di dalam buku ini sengaja dinamai BMT (Bersama Menabung
Terencana). Program berlabel CD tak cukup hanya membina teknis dan pemasaran
saja, justru sebaiknya lengkap hingga BMT.
Pada Gambar 7.1, ada ekstra perolehan pendapatan melebihi tingkat upah
buruh setara UMR, yaitu surplus sebesar Rp ∆Y = ( YB –YA ) dimisalkan dialami
oleh buruh A dan keluarganya. Di era serba materialistik dewasa ini, akan selalu
ada godaan keras untuk menghabiskan surplus itu untuk bersenang-senang. Andai
ada pembinaan teknologis dan kewirausahaan bagi para keluarga miskin agar bisa

BAB 7 | Merajut Kebijakan 113


mengubah nasib perekonomian rumah tangga mereka, maka niscaya mudah bagi
mereka menggapai perbaikan hidup. Apalagi bagi para buruh tani, tentu terdapat
banyak cara memulai usaha mandiri bermodal kecil, tetapi melalui pendekatan
kemitraan dan kelembagaan ditopang sarana BMT.

7.2 Perspektif Komoditi Niaga dan Produk Unggulan


Istilah komoditi andalan bagi suatu komunitas petani atau andalan bagi daerah
tentu ditopang keunggulan komparatif (jaminan keuntungan dari alam) dalam
mengusahakan dan menjalankan proses produksi. Bahkan bisa memiliki pula nilai
keunggulan kompetitif, karena ada anugerah rente ekonomi juga diberkati oleh
adanya manajemen strategis dan teknologi inovasi. Dalam hal ini, bilamana yang
dipasarkan adalah bahan segar dan bahan mentah, sebaiknya digunakan istilah
komoditi andalan. Manakala sudah ada campur tangan teknologi agroindustri
maka sebutan berubah jadi produk unggulan. Apabila komoditi andalan masih
dominan diperdagangkan, capaian para pelaku produksi masih sebatas LABA =
Nilai Penjualan – Nilai Pembiayaan. Akan tetapi, hadirnya inovasi olah komoditi jadi
produk unggulan membuat pelaku usaha mendapatkan LABA dan NILAI TAMBAH.
Tabel 5 Perubahan Nilai Komoditi Diolah Menjadi Produk Tertentu
No. Bentuk Komoditi dan Produk Harga Niai Tambah
1. Kelapa pra-kupas 1 buah Rp500,- Rp0,-
2. Pasca-parut dari 1 buah Rp750,- Rp250,-
3. Perasan santan 1 buah Rp1.000,- Rp250,-
4. Pasca-olah jadi VCO dari 1 buah Rp15.000,- Rp14.000,-

Demikian pula halnya dengan agroindustri khususnya industri kuliner, tentu


banyak sekali hubungannya dengan kegiatan produksi pertanian. Di sini ada fungsi
pengawetan, ada fungsi pemilahan (sortasi) dan ada fungsi olah cita rasa, serta
fungsi pengepakan; yang kesemuanya menambah keunggulan dan daya saing produk
yang dihasilkan petani bahan pangan. Pada gilirannya, setiap perlakuan industri dan
olah kuliner terhadap bahan pangan itu tentu akan secara nyata memperbaiki NTP,
asalkan nyata ada mekanisme kemitraan dapat memberikan porsi peran tambahan
kepada keluarga petani.
Kehadiran nilai tambah adalah kinerja teknologi dan manajemen yang perlu
dijadikan ukuran penghargaan kepada kaum tani, khususnya petani bahan pangan.
Jika kaum tani telah susah payah berbuat untuk bisa menghasilkan bahan pangan
yang jadi hajad hidup setiap orang, amat wajar apabila porsi nilai tambah yang
tercipta dari bahan primer itu dijadikan hak kaum tani. Dalam hal ini, sejumlah

114 Ekonomi Pertanian


manfaat dapat dinikmati daerah dan kaum taninya jika industri pembentuk
nilai tambah itu dikembangkan. Setidaknya tujuh manfaat berikut ini akan bisa
didapatkan, yaitu sebagai berikut.
1. Manfaat berupa nilai tambah karena tekstur kimiawi produk bertambah stabil
sehingga langgeng masa kedaluwarsa dan didistribusikan pada jarak jauh tanpa
ada perubahan aroma dan rasa sebab terlindungi oleh kemasan, sehingga tidak
ada ketergesaan untuk menjual, bahkan dapat menaikkan harga produk olahan
berlipat ganda lebih tinggi.
2. Manfaat kendali risiko kerugian bisnis, karena produksi sektor hilir itu akan
berlanjut untuk memproduksi aneka produk lainnya yang tidak mungkin
dihasilkan sebelum bahan dasar segar diolah di tingkat industri primer
(contohnya: ubi kayu jadi tapioka dulu sebelum diolah jadi aneka penganan
bergizi tinggi; TBS sawit terlebih dulu jadi CPO sebelum jadi minyak goreng,
mentega, ataupun 50-an produk lain turunannya).
3. Manfaat pemasaran tepat waktu dan tepat lokasi, karena produk olahan punya
daya simpan yang jauh lebih lama daripada bahan pertanian segar; apalagi jika
sudah dilengkapi kemasan bersama zat pengawet tanpa bahaya dan dijamin
menopang nutrisi empat sehat lima sempurna, sehingga dari sebab itu lah maka
layanan jual COD pun mudah dipenuhi.
4. Manfaat ekonomi terbebas dari tekanan negatif permintaan pasar setelah
barang olahan tidak hanya tahan lama, tetapi juga mudah dipilah-pilih kelas
kategorinya untuk disesuaikan dengan segmen permintaan pasar, misalnya
jadi lebih mudah menjangkau pasar khusus konsumen yang kebanyakan warga
pembeli oleh-oleh (suvenir) penganan.
5. Manfaat sosial-ekonomi terkait dengan kesempatan kerja massal bagi warga
yang kurang berpendidikan, karena pada tingkat sortasi dan pembersihan
serta pemotongan hanya dibutuhkan ketekunan dan keterampilan kerja
secara bersama serta seragam, tentunya dibimbing beberapa tenaga ahli yang
berpendidikan tinggi.
6. Manfaat lain berupa limbah organik yang mudah terkumpul, sehingga mudah
pula diolah jadi pupuk organik untuk penyubur lahan pertanian dan bahkan
jadi penyedia energi gas methan sebagai bahan bakar pengganti untuk dapur
keluarga.
7. Manfaat untuk daerah adalah kesempatan menambah sumber PAD (pendapatan
asli daerah dari PBB, angkutan, dan transaksi niaga) yang apabila efektif
pungutannya tentu akan menguatkan ekonomi fundamental negeri lewat
pertumbuhan ekonomi yang berputar kian cepat di daerah (kabupaten dan
kota) sejak dari desa-desa.

BAB 7 | Merajut Kebijakan 115


Jadi, demikian banyak manfaat dari industrialisasi hasil pangan termasuk beras
dan jagung, ikan, dan daging ternak kaki empat. Demikian itu bukan mustahil
akan mampu berdampak langsung menyejahterakan keluarga petani, baik anggota
keluarga mereka yang tetap akan mau mengayunkan cangkul maupun anggota
keluarga lain yang karena pendidikan mereka sudah mampu dan siap menyambut era
agroindustri. Jelas hal ini akan banyak membuka lapangan kerja bagi warga kurang
terampil, tekun, dan berpengalaman. Tentu kemajuan pangan yang diharapkan
tercapai secara demikian itu tak mungkin akan menyebabkan petani kehilangan
daya beli atau lemah kemampuan belanja. Hasil produksi bisa sukses meningkat
di waktu panen hanya saja mendapatkan nilai pasar bahan mentah (segar) relatif
terlalu rendah.
Dengan agroindustri untuk aneka produk pangan, maka kaum tani memang
dipacu agar menjadi mulia hidup dan perannya sebagai sokoguru andalan
perekonomian nasional. Dari sini eksistensi peran kaum tani sudah sepatutnya jadi
lebih nyata dihargai. Hal ini dimungkinkan oleh peningkatan daya dan penguatan
posisi tawar petani produsen yang layak terlindungi oleh kekuatan agroindustri kian
memasyarakat, di antaranya, masuk melalui program kedaulatan pangan nasional.
Justru kini banyak sarana mesin agroindustri yang bersifat tepat guna dan murah
bisa dijangkau pebisnis tingkat desa. Tinggal pembinaan secara holistik dan terpadu
tetap memerlukan pihak pendamping yang berdedikasi, yakni siap membina para
petani tradisional dengan segala kesungguhan niat dan tekad untuk memberdayakan
sampai berhasil. Secara holistik memang petani tradisional membutuhkan piranti
teknologis-manajemen-kewirausahaan-kearifan-etika berbisnis yang maju dan
berwawasan lingkungan, sehingga terus berkembang berkelanjutan.
Seperti pada Gambar 7.2, selain terdapat aneka rupa produk turunan, juga ada
produk inovatif yang menihilkan limbah hingga bermanfaat. Pola usaha terpadu
‘Agrotrisula’ (sayur cepat, ternak cepat, ikan cepat) bisa diatur saling memanfaatkan
limbahnya masing-masing. Sayur daun ubi kayu mengiringi pengolahan ubi kayu
unggul (150 ton/Ha) jadi bioetanol substitusi minyak bensin. Penihilan limbah
organik dari masing-masing kegiatan usaha itu dimungkinkan oleh adanya teknologi
bakteri PBO (pengurai bahan organik; atau EM-4); juga dengan manajemen tanam
serta manajemen pemanfaatan limbah jadi pupuk organik guna mendukung
produktivitas kegiatan usaha lainnya, secara berantai dan saling menguatkan.

116 Ekonomi Pertanian


Catatan untuk
penulis:
Gambar pada
word error,
mohon kirimkan
kembali gambar
7.2

Gambar 7.2 Rantai Komoditi serta Produk Agrotrisula Bernilai Tambah, Berteknologi
Bakteri ‘PBO’ (Pengurai Bahan Organik), dan Tanpa Buan

Secara khusus, kini tak hanya kotoran kasar untuk pupuk organik, tetapi juga
dengan teknologi bakteri (PBO, EM4) kencing sapi dapat dijadikan pembangkit
produktivitas sawah. Limbah pertanian berupa hijauan atau surplus karbohidrat
segar jika diberi limbah tulang dan sisik ikan yang dikeringkan serta ditepungkan
bisa dibuat pelet pakan ikan (P). Jika adonan P itu ditambah limbah agroindustri
tahu, terbentuk pakan ternak ayam (A). Bilamana adonan A diberi pula tambahan
bubur (sludge) limbah pabrik CPO (pabrik minyak sawit mentah), bisa dihasilkan
pakan ternak kaki empat. Begitu rangkaian komoditi juga produk merupakan siklus
atau lingkar mata rantai yang saling berkaitan.
Jadi, berkat pertanian terpadu agrotrisula itu, selain ada hasil produksi segar
dari setiap kegiatan, yang bisa diatur pula waktu bertanam dengan frekuensi panen
diarahkan sesuai saat diinginkan (misal tiap tiga harian ataupun mingguan). Secara
berantai diperoleh pula hasil sampingan berupa produk pakan ikan (kombinasi
tepung ubi kayu, tepung tulang-sirip-sisik-kepala ikan) atau pakan unggas (tepung
ubi + tepung ikan + limbah tahu) atau bahkan ditambah juga konsentrat dedak halus
juga bubur limbah CPO sehingga jadi pakan sapi program penggemukan. Demikian
bisa seterusnya dirangkai jalinan produk dan limbah dengan produk agrotrisula
lain, kesemuanya dapat diatur saling berguna dan menggunakan satu sama lain.
Seterusnya, teknologi penyimpanan dapat pula secara langsung menaikkan
daya belanja atau daya beli petani. Ketika musim panen terjadi maka pasti akan
terjadi kelebihan jumlah yang diminta pasar (excess supply) dan jika tidak ada
tindakan instrumental yang memihak pada kepentingan petani semisal teknologi
penyimpanan dan pengawetan, tentulah jumlah kelebihan itu akan menjatuhkan
harga jual produk hasil tani. Ini demikian mengingat sifat 7C pada komoditi
pertanian yang amat mudah dimanipulir oleh kekuatan pasar hingga menekan harga
hasil tani dan merugikan petani.

BAB 7 | Merajut Kebijakan 117


Di sini peran teknologi pascapanen akan sangat besar maknanya, khususnya
dalam rangka penyimpanan produk agar lebih tahan lama tanpa banyak mengurangi
mutu produk, sehingga dapat dijual kemudian pada saat yang lebih tepat dan tidak
merugikan. Untuk komoditi gabah, jelas bahwa: (1) harga yang diterima petani akan
membaik, sementara juga padi gabah yang masih disimpan dalam lumbung akan
dapat mereka jual pada saat yang dianggap tepat; (2) harga jual akan lebih stabil
sehingga dapat diprakirakan besar kecil perubahannya, asalkan ada kegiatan Bulog
membeli padi gabah kering panen pada batas kadar air tertentu, sehingga harga yang
bisa diterima petani tentu lebih tinggi dari harga transaksi pasar desa tanpa kendali.
Di mana pun kegiatan petani untuk menghasilkan komoditi tunggal tentu
akan menghadapi masalah “jenuh permintaan”. Kata jenuh ini juga akan berarti
terdapat ekses suplai atau juga ‘surplus produksi’, yang kemudian akan menjatuhkan
harganya sehingga menekan kesejahteraan kaum tani (pemilik penggarap, penyewa,
juga buruh tani). Ide yang baik jika bersama itu diterapkan pola pertanian agrotrisula
yang multikomoditi (sayur cepat, ternak cepat, ikan cepat). Tiga kategori cabang
usaha itu diproduksi terpadu, terutama saling membutuhkan limbah cabang usaha
terpadu, dan lebih baik lagi jika dibarengi hilirisasi dan inovasi guna meminimalkan
risiko kejatuhan harga. Akan cantik pula jika petani menggarap petak-petak
pertanaman organik, sebab harga komoditinya mahal (2,5 x lipat)49 daripada harga
komoditi non-organik apalagi jika dapat diekspor. Komoditi beras organik misalnya
siap dibeli mahal demi kesehatan prima. Dari itu jenis pangan organik ini sangat
dicari oleh kaum atas, yang secara rasional selalu cenderung ingin sehat karena
akan lebih baik jika “mencegah daripada mengobati” penyakit.
Dengan penerapan strategi pertanaman “agrotrisula” maka risiko rugi mutlak
dapat dinihilkan oleh adanya uang masuk dari sumber pendapatan sisipan yang
menghasilkan Rp rutin berkala. Dengan strategi pertanaman agrotrisula yang
sebenarnya juga pertanian organik itu, maka otomatis nilai tukar petani (NTP)
yang bergantung pada satu pertanaman utama tentu akan membaik tanpa ada
keresahan dan gejolak sosial menjelma sebagai gangguan. Tekanan untuk melakukan
ekstensifikasi dengan merambah kawasan hutan sedikit banyaknya bisa direm.
Pada saat yang sama, para petani akan terlindung juga dari kejadian bencana alam
terkait lingkungan biogeofisik yang kian rusak dan sewaktu-waktu menggagalkan
pertanian pangan.
Tentu saja masih banyak contoh tindak perlakuan teknis dan manajemen yang
dapat dibuat dan diberlakukan jadi payung perlindungan kaum tani dari aneka
ancaman yang selalu membayangi dan menyulitkan langkah mereka. Ada saja

Ketika tulisan ini dibuat (akhir 2014), harga beras biasa Rp9.000,-/Kg, tetapi harga beras
49

organik sudah mencapai Rp25.000,-/Kg.

118 Ekonomi Pertanian


strategi-taktik kebijakan yang dapat dilakukan sesuai kekhasan hasil tani, seraya
memperhatikan situasi-kondisi lokal serta tantangan eksternal suatu sasaran sistem
agribisnis. Melalui langkah monitoring dan evaluasi terhadap perkembangan pasar
yang dihadapi kaum tani di suatu wilayah, tentu akan ada pilihan kebijakan yang
dapat diberlakukan untuk menolong dan membela kepentingan petani. Selagi masih
ada keberpihakan pada arti penting kinerja sektor agribisnis sebagai sokoguru
perekonomian, maka pasti amunisi kemauan politik berupa dukungan legislatif bisa
ditampilkal nyata oleh DPR atau DPRD diberikan kepada pihak eksekutif.
Satu hal yang pasti adalah peran para pihak harus dipadu lewat langkah
koordinasi kerja secara tulus saling mendukung demi kaum tani sejahtera dan demi
misi pemenuhan kebutuhan hakiki kemanusiaan. Sampai kapan pun, tiap orang
manusia perlu pangan-papan-pakaian (food-fiber-fashion), sementara di negeri ini
“tongkat dan batu bisa jadi tanaman”. Logika demikian ini menegaskan bahwa
tidak ada ruginya bagi pemerintah maupun pemda untuk memberikan pembelaan
kepada kaum tani secara konseptual dan terencana, baik dengan menggunakan
APBD maupun pemanfaatan dana CSR.
Pada hakikatnya, di mana ada kemauan di sana ada jalan; where’s the will
there’s the way. Sesungguhnya juga bahwa gerak pembelaan dari bawah (bottom-up
development) ini akan besar sumbangsihnya kepada kemajuan ekonomi nasional,
tanpa mengesampingkan upaya pengembangan ekonomi manufaktur yang lebih
berbasis perkotaan. Demikian ini tidak berarti mundur.

7.3 Perspektif Kerja Sama Niaga Antarpulau dan Ekspor


Pertanian berpola multi-komoditi dan terpadu tanpa buangan, akan lebih
memperkuat perekonomian suatu daerah bilamana berlanjut kepada pengolahan
hasil dalam rangkaian hilirisasi yang mengubah komoditi jadi produk inovatif
berkemasan. Proses pascapanen dengan lintasan terpadu horizontal dalam rangka
pemasaran, tentu meningkatkan efisiensi dan efektivitas pemasaran sesama
komoditi. Lalu, untuk sebagian komoditi yang tidak sempat diserap pasar, maka
masing-masing ataupun kombinasinya masuk lintasan vertikal untuk diubah jadi
produk inovatif yang lebih menarik dan tahan lama.
Produk inovatif berkemasan memiliki daya adaptasi masuk pasar karena ada
beberapa kelebihannya, yaitu antara lain sebagai berikut.
1. Dapat menambah jarak jelajah produk, dari sekadar pemasaran lokal akan bisa
menembus lokasi jauh antarprovinsi atau antarpulau.
2. Dapat memperkecil margin pemasaran, tetapi tetap menaikkan nilai laba dan
juga nilai tambah yang jadi komponen margin pemasaran.

BAB 7 | Merajut Kebijakan 119


3. Dapat memicu kelangsungan barter produk unggulan dua daerah pulau yang
memiliki comparative advantage alami dan sosio-kultural.
4. Dapat menjadi arena pematangan proses dan kinerja inovatif yang awalnya
punya aneka keterbatasan lama-lama baik dan siap ekspor.
5. Dapat mempererat hubungan politik kultural antardaerah yang sudah saling
menikmati kontak niaga yang memacu kesejahteraan.

Barter komoditi apalagi barter produk dikenal sebagai jembatan penghubung


baik antara dua komunitas beda daerah berjauhan serta hidup di atas keunggulan
dan kekhasan daerah. Sejak awal peradaban bisnis Nusantara (sebelum zaman VOC
Hindia Belanda) ciri barter produk itu sudah biasa berlangsung dalam kerangka
hubungan baik dan saling menghormati walau suku atau ras berbeda. Barter barang
secara fisik dapat berlangsung karena kesepakatan dua pihak atas dasar suka sama
suka. Akan tetapi, memasuki era persaingan bisnis yang makin sengit dan akhir-
akhir ini ditunjang teknologi inforkom semakin canggih, maka kerja sama barter fisik
tidak cukup kuat, melainkan harus diberi kelengkapan prasyarat 5K serba digital,
yaitu kepastian harga, kontrak tertulis, ketepatan KKW (kualitas-kuantitas-waktu),
kemudahan bayar, dan komitmen tinggi; semua ini harus melengkapi sistem tata
niaga antarwilayah dan antarnegeri.
Walaupun begitu, niaga berbasis barter masih tetap penting di zaman serba cepat
dan serba canggih ini, karena keunggulan alami dan kekhasan sosio-kultural suatu
daerah kabupaten atau provinsi menjadi unsur pokok yang membentuk keunggulan
banding (comparative advantage). Bahkan lebih jauh lagi hal itu bisa menjadi unsur
andalan untuk menikmati keunggulan kompetitif (competitive advantage) yang dengan
teknologi dan manajemen dapat mengubah keunggulan banding tadi menjadi produk
inovatif unggulan daerah. Tanpa adanya keunggulan banding dan keunggulan
kompetitif, akan sangat sulit untuk meyakinkan pihak lain selaku mitra dagang
bahwa barang niaga yang dipasarkan antarpulau berupa produk unggulan daerah
terjamin KKW atau TQQ (timing of delivery coming along with quality and quantity of
product) barangnya terjamin tidak mengecewakan.
Sementara itu tidak sedikit dari jenis-jenis komoditi pertanian yang sejak dari
pedesaan tempat panennya sudah sempat diolah sebagian jadi produk industri
rumahan. Contohnya, ikan salai, aneka kerupuk, dodol, tempe, tahu, serta aneka
keripik singkong, pisang, dan kripik sayur. Aneka produk agroindustri rumahan
seperti ini tidak gampang menemukan pasar di lintasan antarpulau. Oleh sebab
itu, sangat bijak jika pasar lokalnya dipacu dengan memasuki semua jenis pasar
yang memungkinkan. Boleh jadi dari mulut ke mulut akan kian berkembang jumlah
konsumen langsung dan juga konsumen pemesan.

120 Ekonomi Pertanian


Di antara sasaran pasar yang paling layak dan potensial adalah pasar di sekitar
dan di dalam objek-objek wisata daerah. Seperti halnya pada ilustrasi konseptual
Gambar 6.1 sebelum ini, selain terdapat pasar P dan Q di jalur jalan menuju objek
wisata dan ada lapak tipe A dan B di lokasi objek wisata juga ada upaya pemasaran
melalui para pedagang asongan yang sifatnya mengejar konsumen. Tentunya para
pedagang asongan tidak bisa diremehkan pengaruhnya, karena di tempat-tempat
wisata ada aneka asal pengunjung termasuk berasal dari Negeri Jiran, bahkan lebih
jauh lagi adalah unsur keluarga investor asing yang sedang berwisata.
Peran informasi yang tertera pada kemasan produk agroindustri non-rumahan
sangat penting dibuat meyakinkan, terutama untuk jenis produk unggulan kabupaten
atau kota (PRUKAB dan PRUKOT) semisal produk obat herbal. Warga dunia sedang
dilanda penyakit yang umumnya terkait dengan penyimpangan ke arah kebiasaan
terlarang. Dengan adanya informasi yang isinya disahkan oleh lembaga pemerintahan
resmi, tentu jadi promosi efektif.

7.4 Perspektif Kepatutan Nilai Jual Lahan


Secara konsepsional, teoretis komoditi hasil pertanaman petani dan harga transaksi
yang biasa diterima petani tradisional pemilik usaha itu amat terkait dengan gejala
pergeseran kepemilikan lahan di pedesaan. Pergeseran ini bisa berupa alih fungsi
lahan atau berubah pola usaha di atasnya secara permanen, juga berupa konversi
lahan pertanaman sementara. Dari kajian dan pengamatan lapangan di Sumatera
dan Kalimantan (Sjarkowi, F., 2002; Erni dan Sherly, 2021) pergeseran kepemilikan
bisa melalui proses jual beli untuk keperluan pembangunan non-pertanian dan bisa
juga dijual petani pemiliknya kepada pihak investor ataupun antarsesama petani.
Lalu, segugus pertanyaan muncul: (1) mengapa petani menjual salah satu
lahannya? (2) adakah petani merugi bilamana menjual suatu persil lahan?
(3) faktor apakah yang telah mendorong hal itu terjadi? dan (4) akankah
ada implikasi sosial ekonomi dari gejala demikian andai dibiarkan terus
menerus terjadi sebebasnya? Begitu hal-hal yang patut jadi perhatian jika sedang
membahas perkembangan usahatani di daerah belakang yang biasanya masih punya
banyak luasan agro-ekosistem. Jawaban dari lapangan di daerah tertentu diyakini
spesifik lokasi, dan akan sangat berguna untuk mengatur perilaku para petani. Juga
perilaku calon penanam modal yang berminat masuk untuk membangun satuan
agribisnis yang bersifat komersial sekaligus berwawasan lingkungan. Jika sekiranya
perkembangan itu dibiarkan tanpa arahan yang benar, tentu akan muncul berbagai
akibat yang merugikan petani dan warga pada umumnya.
Sebagai sasaran pengembangan agribisnis daerah belakang juga biasanya masih
terbatas prasarana-sarana penunjangnya. Lebih dari pada itu, daerah belakang

BAB 7 | Merajut Kebijakan 121


biasanya juga merupakan kawasan bukaan baru oleh unsur warga desa terdekat
melalui tradisi membuka TALANG50 oleh sejumlah 5 s.d. 7 orang kampung yang
hendak memulai hidup mandiri demi menghidupi satuan keluarga masing-masing
yang baru mereka bangun. Boleh jadi gejala T-7, yaitu “tebang-tebas-tunu-tugal-
tanam-tunggu-tuai” yang terkait pertanaman padi dan jagung kiranya merupakan
indikasi rendahnya pendapatan petani. Hal ini karena dimensi usahatani memang
masih steril dari prinsip lima isyarat komersial, yakni “teknologi-manajemen-
wirausaha-kearifan-etika” berbisnis. Pada posisi yang masih serba tradisional
demikian, para petani pemula gandrung akan memperluas lahan usaha milik dengan
merambah hutan.
Adanya peluang dan potensi ruang pengembangan agribisnis tentu merupakan
sasaran yang akan cepat dilirik para calon investor pembangunan satuan usaha
agribisnis. Tentunya dewasa ini tidak lagi semudah dulu bagi untuk menemukan
satu hamparan lahan seluas kebutuhan investor, sekalipun luasan itu dicari di daerah
belakang yang belum jauh berkembang akibat terbatas prasarana dan sarana terkait.
Sementara itu, guna menjamin hasil panen sebagai bahan baku agroindustri dengan
kapasitas terpasang mesinnya sudah tertentu ‘sejak dari sononya’, calon investor
dibolehkan mengajak warga yang berminat untuk beserta lahan garapannya ikut
serta masuk arus investasi.
Upaya memenuhi seluasan lahan dibutuhkan bisa saja mendorong calon
investor mengacu pada rerambu perundang-undangan yang ada dengan prinsip
patuh terhadap aturan perundang-undangan, di antara rerambunya sebagai berikut.
1. Memperhatikan semangat di balik UUD 1945 Pasal 33 ayat 1–2–3 dan siap
mengejawantahkan pesan dan aturan main usaha berbasis lahan (PP No. 47
Tahun 2012; UU No. 40 Tahun 2007 (Pasal74 tentang CSR) mewajibkan kemitraan
pihak perusahaan selaku satuan INTI, dan di pihak warga penyedia tambahan
lahan hingga 45% dari kebutuhan luas total dan bertindak sebagai PLASMA
secara melembaga resmi.
2. Menularkan SOP satuan usaha agribisnis inti kepada plasma dan dengan cara
itu maka kebutuhan bahan baku agroindustri jadi tercukupi, tetapi di saat yang
sama pemberdayaan ekonomi warga sekitar tapak investasi inti akan dihargai
warga dan Pemda karena bisa memacu proses monetisasi desa dan kemajuan
perekonomian daerah; ini semacam HILIRISASI yang juga akan diikuti oleh
sebagian warga lainnya.

Bermula sebagai kelompok kecil pelaku T-7, lalu menetap diikuti anggota keluarga, jadilah
50

cikal bakal desa.

122 Ekonomi Pertanian


Tentu saja kesadaran para calon investor yang sudah mulai beroperasi hendaknya
terus dipantau perkembangannya guna dijadikan bahan koreksi terhadaap kebijakan
Pemda. Melalui peran konsultan lapangan ahli dan berpengalaman, maka koreksi jadi
upaya “mencegah pasti lebih baik daripada mengobati” sebelum kemunculan suatu
permasalahan sosial ataupun biogeofisik yang pelik. Oleh sebab itu, perlu instrumen
analisis NHAL (Nilai Harapan Atas Lahan) sebagai patokan harga minimal untuk
bernegosiasi sebelum bertransaksi. Rumusnya amat terkait harga komoditi terkait.

Dengan proksi Ricardian, NHAL = – Co + Σ [Bt – Ct] x [1+r] –t + Q -T


dan di sini C = biaya dan Q = nilai aset sisa di akhir putaran produksi
T, atas asumsi bahwa T = (umur harapan) – (rerata umur petani
responden); di mana t = 0, 1, 2, … T.

7.5 Perspektif Komoditi Pangan dan Nilai Tukar Petani


Keberdayaan petani produsen komoditi pangan pada umumnya patut diberi
perhatian. Untuk itu, perlu ada ukuran NTP (nilai tukar petani) yang sepatutnya
diperjuangkan agar nasib dan kehidupan mereka tidak dirugikan. NTP sebagian
besar tergantung pada tingkat harga produk yang seharusnya relatif lebih tinggi
dibanding harga-harga kebutuhan petani untuk konsumsi dan kelangsungan
produksi kembali. Kalau sebaliknya pihak konsumen selalu mengharapkan tingkat
harga pangan murah agar nilai belanja pangan per orang minimal, maka harapan
ini tidak sepatutnya mematikan gairah kaum tani dalam menjalankan produksi.
Demikian ironi kecukupan pangan pokok negeri, dan ini pula alasan utamanya
mengapa untuk urusan pangan harus ada kebijakan harga dasar (floor price) di mata
produsen dan para peniaga, juga harga maksimum (ceiling price) di mata konsumen
dan para pedagang beras. Adanya batas bawah dan batas atas harga produk pangan
beras demikian tentu sedikit banyaknya membatasi kinerja produksi pangan.
Tidak otomatis ada rangsangan positif bagi kaum tani untuk memproduksi
produk terbaik dan berjumlah lipat ganda, sebab sulit bagi petani menjangkau
kebutuhan saprosi (sarana produksi, terutama benih unggul dan pupuk tepat guna)
yang relatif mahal. Sebaliknya, bagi konsumen tidak juga mudah diingatkan agar
menghemat konsumsi agar tak sampai ada pemubaziran atau sia-sia cadangan
bahan pangan. Atas alasan ini dan demi peningkatan kesejahteraan kaum tani tanpa
mengurangi kadar kesejahteraan warga konsumen, maka diperlukan siasat lain yang
tak langsung menaikkan NTP.
Indeks NTP jelas merujuk pada perbandingan komponen pemasukan uang

BAB 7 | Merajut Kebijakan 123


dari usaha keluarga petani terhadap komponen belanja atau sumber pengeluaran
mereka. Dari sini maka siasat pembelaan terhadap kaum tani ini, antara lain, perlu
melalui tiga pendekatan teknis, yaitu: (1) pendekatan teknologi produksi organik;
(2) pendekatan teknologi penyimpanan; dan (3) pendekatan teknologi pengolahan
hasil (agro-industri).
Teknologi produksi pertanian organik sudah semakin maju dalam ukuran
efisiensi dan efektivitas. Ukuran efisiensi tampak dari satuan biaya produksi yang
kian murah, dan ukuran efektivitas akan tampak dari produktivitas (hasil/Ha) yang
semakin tinggi. Solusi pertanian organik berbasis bakteri kini sangat menjanjikan.
Pertumbuhan ekonomi yang kian pesat telah memperbanyak jumlah keluarga berduit
dan berpendidikan, siap membeli produk tani organik.
Tabel 6 Kadar NTP Tanaman Pangan Nusantara*
Indeks Nilai yang Indeks Nilai yangg Kadar NTP (iT/iB)
Pulau Nusantara
Diterima Petani (iT) Dibayar Petani (iB) x100%
1. Sumatera 111,555 111,552 100,025
2. Jawa 114,990 112,008 102,650
3. Bali 111,310 113,630 102,080
4. Kalimantan 110,890 111,555 99,402
5. Sulawesi 114,545 111,988 102,285
6. Papua dan 112,422 111,635 100,695
Maluku

Rata-rata Nasional 114,370 112,060 102,060


*Sumber BPS

Orang tani di tempat terpencil dan belum sempat tersentuh oleh pola
berusaha satuan usaha niaga-perta (‘agribisnis’) komersial, biasa memperhatikan
perkembangan NTP (nilai tukar petani) yang diperlukan sebagai ramuan awal
ketika hendak memutuskan bertanam apa dan seberapa luas? Berproduksi
dengan siasat manajemen tanam seperti apa? Jika berkaitan dengan jenis tanaman
perkebunan tahunan yang kebetulan berstatus TST (tanaman sudah tua), kapan
saatnya diremajakan, mengingat nantinya akan ada fase TBM (tanaman belum
menghasilkan); ataukah dikonversi ke jenis pertanaman lain yang jauh berbeda
daripada sebelumnya?
Petani kecil pun memerlukan semacam patokan Ketika hendak membuat
keputusan mengusahakan sesuatu jenis pertanaman. Secara teoretis dan untuk
kepentingan manajemen agribisnis maka ada konsep hitung NTP atas komoditi
pilihan, ini dapat dipilih oleh pelaku usaha, tidak terkecuali petani kecil tradisional.

124 Ekonomi Pertanian


Di antara rumus hitung NTP itu, adalah sebagai berikut.
(1) NTP harga relatif beras:
Diperbandingkan pada dua masa atau situasi berbeda.
(2) NTP harga relatif komoditi:
Diperbandingkan seperti rumus (1).
(3) NTP laba relatif KHM:
Diperbandingkan pada dua masa atau situasi berbeda.
Keterangan:
HKom = Harga Komoditi
HBrs = Harga Beras
VKom = Volume Komoditi
BV a = Biaya Variabel, beraneka sumber atau pasalnya, sehingga harus dijumlahkan ( ∑ )

Besaran hitung NTP adalah informasi bisnis yang paling sederhana dan mudah
dijadikan bahan pertimbangan oleh petani kecil tradisional yang berusaha lebih
rasional dalam setiap pengambilan keputusan produksi. Dikatakan sederhana
karena informasi NTP lebih bersifat ketentuan bisnis yang harus diterima petani apa
adanya. Bagi petani NTP jadi kurang bermakna ketika kemajuan iptek-inovatif telah
menandai satuan usahanya. Namun, terhadap NTP (1) di atas, setiap keluarga petani
secara sadar atau sengaja mereka pernah melakukan hitung-hitungan sederhana itu
dalam suatu proses pengambilan keputusan produksi yang pernah mereka lalui.
NTP harga makanan pokok adalah yang termudah dihitung dan paling biasa
dijadikan patokan oleh petani. Kata relatif pada rumus memberi indikasi bahwa
informasi perkembangan NTP itu sekurang-kurangnya dua tahun berbeda; yakni
yang paling terkesan dan dapat diingat perkembangannya oleh petani sejalan putaran
waktu. Pada kasus harga karet petani mudah mengingat dan dapat mengatakan,
“Ketika harga BOKAR (bahan olahan karet) tinggi sekitar dua kali harga beras
mereka beramai-ramai bertanam karet di akhir puluhan pertama hingga awal tahun
2000-an dekade pertama.”
Akan tetapi, ketika akhir-akhir ini (2000-an dekade ke-2) harga karet ½ kali
harga beras maka mereka cenderung mengganti kebun karet TST (tanaman sudah
tua) dengan kelapa sawit. Jelas angka NTP harga karet yang membaik relatif terhadap
harga beras, kiranya berguna bagi petani untuk membuat keputusan produksi
apalagi jika hal itu ditunjang oleh kebijakan pemerintah. Perhatikan Tabel 6 dan
Gambar 7.3 berikut ini.

BAB 7 | Merajut Kebijakan 125


NTP (1) dapat mereka hitung untuk dua situasi pada tahun berbeda. Misal
keadaan harga beras di tahun 2011 (masa-masa makmur) adalah Rp7.631,- per-Kg
tapi harga karet rata-rata Rp15.850,-/Kg. Pada tahun 2015 (masa-masa mencekam)
harga beras rata-rata Rp9.644,- per-Kg, tapi harga BOKAR ketika itu hanya
Rp6.856,-/Kg. Jadi, NTP-HR 2011 = 2,07 untuk karet terhadap beras; dan NTP-
HR 2015 karet terhadap beras hanya sebesar Rp6.856,- : Rp9.644,- = 0,71 suatu
gambaran yang mengecewakan pak tani.
Tidak mengherankan ketika petani menoleh ke pertanaman lain (sawit misalnya)
tidak sedikit mereka jadi terpengaruh oleh kepastian pasar TBS (tandan buah segar)
yang lebih stabil dan terus mengalami sedikit kenaikan setiap tahun; ini berkat
adanya pabrik minyak sawit mentah (CPO = crude palm oil) dekat lokasi perkebunan
sawit.51 Tentu moralitas dari uraian ini terletak pada keterbandingan NTP (1) yang
dialami pada dua masa (tahun) yang berbeda; dan inilah sejatinya makna kata relatif
pada hitungan nilai tukar petani ini.
NTP harga relatif (2) sedikit lebih rumit hitungannya dibandingkan NTP (1).
Walaupun struktur rumusnya sama, tapi unsur pembagi pada rumus (2) tak lagi
tentang harga beras. Sebaliknya, unsur pembagi pada NTP (2) adalah variabel harga
komoditi lain sebagai alternatif yang mungkin belum dikenal di daerah setempat.
Sungguh pun rumusnya mirip dengan rumus NTP (1), tetapi hakikat kegunaannya
lebih kepada pengukuran tingkat kesejahteraan petani komoditi tertentu. NTP (2)
tentu hanya digunakan oleh pihak pengamat dalam rangka menilai kinerja usahatani
dan kinerja agribisnis di suatu wilayah. NTP laba relatif terhadap nilai KHM (rumus
3) lebih informatif lagi (Gambar 7.3).

Ada pendapat bahwa TBS sawit harus segera diolah di pabrik CPO kurang dari 10 jam
51

setelah diunduh; jika tidak cepat, rendaman minyak sawit jadi turun.

126 Ekonomi Pertanian


Gambar 7.4 Grafik Perkembangan Harga Relatif Komoditi Sawit dan Karet Catatan untuk
penulis:
Gambar grafis ini ada keterkaitan dengan Tabel C1
Tabel C1 ini
NTP laba bisa menggambarkan tiga hal tentang kinerja petani sebagai basis yang mana ya,
Pak/Bu?
penentu kesejahteraan keluarganya. Ketiganya adalah (1) relatif sejahtera mana, jadi
petani sawit atau petani karet misalnya; (2) rasional pilih yang mana, pertanaman
yang kini ada ataukah yang baru; (3) realitas kenaikan harga sembako tentu menekan
kadar kesejahteraan kaum tani pelaku usaha pertanaman tertentu? Jadi, ini berarti
NTP usahatani tipe 1. Tentunya, NTP (2) dan (3) akan banyak digunakan oleh
para pengamat termasuk konsultan perancang investasi usaha niaga-perta (satuan
usaha agribisnis). Hanya petani berdasi intelektual skala kecil yang mungkin
sesekali bisa melakukan kedua NTP (2) dan (3) yang agak lebih rumit data dan
cara perhitungannya.
Tabel 8 Hitung NTP Tipe 3 pada Tiga Tahun Berbeda
Bahan Hitung Tahun 2005 Tahun 2010 Tahun 2015
Prakira Laba
• Karet per-Ha ? ? Rp21.253.968,-
• Kelapa sawit per-Ha ? ? Rp29.334.017,-
• Padi Sawah ps-surut ? ? Rp15.972.688,-
Nilai KHM Rp/jw/thn Rp495.242,- Rp1.031.902,- Rp1.902.598,-
Rp/klg/thn Rp11.415.588,-
(Catatan. 1 klg = 6 jiwa)
NTP tipe-3 =Laba : KHM
• Petani karet
• Petani k-sawit ? ? 1.95
• Petani padi swh ? ? 2.43
? ? 1.34
Tidak heran jika sejak tahun 2015 godaan untuk bertanam sawit lebih menggugah petani di daerah lahan basah.

BAB 7 | Merajut Kebijakan 127


Sehubungan ungkapan dan tafsiran serta kegunaan angka NTP (1), (2), dan
(3) di atas, dari situ ada semacam landasan pertimbangan empiris dan ilmiah bagi
pengamat dalam memahami nasib kaum tani tradisional. Dari ukuran itu, bisa
direkayasa secara cermat, seperti apa sebaiknya paket upaya menggugah mereka
agar bersemangat mencari cara yang lebih baik atau terbaik untuk mengangkat
nasib mereka. Dewasa ini tidak serta-merta pengenalan pupuk kimiawi dosis tinggi
akan memberi tambahan kebaikan pada kinerja kaum tani, justru karena pada
kenyataannya banyak lahan telah jenuh (kalau bukan keracunan) zat kimia. Terap-
guna pupuk organik justru lebih dianjurkan.
Teknologi bakteri PBO (pengurai bahan organik) yang diperkenalkan oleh Teruo
Higa (1996) amat mudah digunakan untuk menghasilkan pupuk organik, kalaulah
mau biomassa dari luar lahan dan dari limbah agroindustri. Upaya demikian jelas
ada kaitan dengan arti penting pembinaan kaum tani tradisional itu agar berkiprah
komersial di bawah manajemen ‘agribisnis’.
Tentu ada perbedaan antara upaya dan proses membangun satuan usaha
‘agribisnis’ murni sebagai perusahaan komersial dibanding satuan usaha ‘agribisnis’
yang harus dibentuk melalui rekayasa proses pemberdayaan kaum tani tradisional
di pedesaan. Rekayasa murni biasa memanfaatkan jasa konsultan profesional,
dan kedua dirancang atas landasan kesepakatan sejumlah petani yang ikhlas
bergabung jadi kelompok binaan. Beda keduanya di sini tampak dari upaya dan
proses pembentukan badan usaha, bukan dari segi cara produksi dan pemasaran
komoditi yang basis teknisnya memang sudah digeluti oleh warga binaan itu lewat
proses pembentukan KUBE. Sampai BUKD jadi aktif, maka pengetahuan teknis
pertanian, pemasaran, manajemen, dan wirausaha hingga siasat strategis mencapai
fase agroindustri yang mungkin belum total terbina justru perlu diberi percepatan
oleh pemda.
Jadi, masing-masing petani anggota BUKD seolah tidak perlu lagi terlalu
perhatian terhadap perkembangan angka NTP dari musim ke musim, karena hal
itu sudah dengan sendirinya jadi sasaran siasat dan strategi manajemen ditangani
oleh pengurus BUKD sebagai UMKM-kemitraan. Seperti halnya juga pandangan
pengusaha satuan agribisnis skala menengah (USM) dan skala besar (USB) ada
tim manajemen yang menangani. Tentu dalih kesetaraan taraf kematangan terap
manajemen di tiga kategori satuan usaha itu tidak bisa sepenuhnya benar, karena
ada saja saat kritis yang bisa membuat anggota BUKD jadi hilang percaya diri dan
perlu bantuan jalan keluar.
Persoalan yang justru harus diwaspadai adalah yang terkait dengan dua hal,
yaitu: (1) adanya fase transisi di tengah panjang atau pendeknya rentang waktu
perubahan dari BUKD muda selaku BUMDes setahun-jagung untuk mapan dan

128 Ekonomi Pertanian


andal, lalu pada fase itu jika terjadi harga komoditas jatuh drastis, kegalauan para
petani anggota tidak terhindarkan; (2) adanya fase frustrasi terutama terkait luas
lahan pada petani, maka kejatuhan harga bisa-bisa menyebabkan nilai KHM keluarga
tidak dapat lagi dicukupi oleh pendapatan petani anggota BUKD. Oleh karena itu,
NTP yang memadai tetap relevan, agar efek kejatuhan harga selalu diantisipasi.
Desakralisasi status niaga-perta atau perwujudan satuan usaha agribisnis
perlu nyata dilakukan. Artinya, pola usaha agribisnis tidak boleh dianggap tabu
bagi kaum tani pedesaan. Demi perbaikan nasib kaum tani yang serba lemah dan
cenderung melihat status ‘agribisnis’ itu terlalu sakral dari jangkauan mereka
(eksklusif) tidak boleh dibiarkan. Di sinilah arti penting intervensi pemda.
Melalui program bina KUBE jadi BUKD, kiranya agribisnis bisa secara nyata
dijalankan oleh petani binaan agar menular kepada kaum tani semua. Alasannya
sederhana, karena para petani-lah yang selalu siaga dan sukarela bekerja keras
menjamin pangan-papan-pakaian bagi setiap orang setanah air. Sesungguhnya warga
bangsa ini berhutang budi kepada kaum tani yang lemah tetapi tulus itu. Maka,
sudah sepatutnya mereka hidup sejahtera, tak boleh dibiarkan sengsara. Kehadiran
NTP (1) adalah mimpi petani, alias fantasi semua kaum tani.
Pembelaan terhadap kaum tani secara konsepsional juga sudah jelas rutenya.
Awalnya sejumlah petani kecil yang hampir-hampir tak berdaya, hanya sedikit yang
mau dibina, mungkin karena sering dikecewakan. Dianjurkan agar secara sukarela
berkelompok untuk memadu kekuatan bersama lewat KUBE yang kemudian dibina
agar bisa maju melalui bentuk satuan BUKD berikut.
1. Diberi pengetahuan praktis tentang cara teknis membina basis usaha produksi
pertanian (bercocok-tanam, beternak, pelihara ikan, dan lainnya).
2. Diberi bantuan sosial-ekonomi untuk menjalankan usaha terpadu demi
optimalkan penggunaan petakvlahan lewat teknik penyuburan organik.
3. Diberi siasat wirausaha dan strategi manajemen satuan usaha kemitraan
agribisnis berwawasan laba dan nilai tambah serta tepat lingkungan.
4. Diberi legalitas keabsahan yang menaikkan statusnya sebagai satuan usaha
agribisnis agar ‘duduk sama tinggi berdiri sama tegak’ dengan lainnya.
5. Diberi wawasan berusaha komersial dan sarana-prasarana penunjang, seperti
bangunan pasar, instalasi inforkom, terus maju berkelanjutan.

Dari setiap upaya pembinaan kepada kelompok demi kelompok pelaku usahatani
demikian, maka tumbuh cara baru penguatan kegiatan bisnis mereka yang tadinya
begitu lemah. Keterbatasan prasarana ekonomi di perdesaan, ketiadaan strategi
manajemen untuk menembus pasar, keterbatasan siasat dan daya wirausaha;
semuanya lewat KUBE diberi penguatan sejak dari desa hingga tangguh berwahana

BAB 7 | Merajut Kebijakan 129


BUKD. Bagian kelemahan yang terkait sifat khas komoditi bahan mentah dikuatkan
pula dengan program hilirisasi.
Pembinaan untuk sekadar menaikkan prestasi usahatani lewat terap-guna iptek
agronomi yang hanya menaikkan produktivitas (ton/Ha), kiranya tidak cukup untuk
memicu laba tinggi, jika daya saing dan mekanisme penetrasi dan perluasan pangsa
pasar tidak juga dibenahi. Tentu pembinaan hal-hal teknis harus lanjut hingga
melibatkan kerja sama kelembagaan guna mengakrabkan para pemeran pasar yang
diperluas pangsanya. Proses produksi inovatif harus tepat jumlah dan tepat mutu
komoditi harus dipastikan sejalan tuntutan teknis agroindustri demi produk olahan
benar-benar disukai pasar dan konsumen.
Dengan suatu program bina kapasitas inovasi berwujud agroindustri kecil-
kecilan pencipta nilai tambah, maka fantasi petani meraih kesejahteraan lebih
tinggi memang sudah seharusnya terus diperjuangkan. Kejelian dan kecermatan
menghitung-hitung lima kepentingan itu pasti akan pula menunjukkan status
GCG (good corporate governance), yang tentu ditugaskan kepada tim manajemen
perusahaan. Bagi perusahaan perkebunan berskala menengah dan besar GCG akan
terjadi dengan sendirinya, tetapi hal itu sepatutnya dibantu agar bisa terjadi pula
pada satuan usaha BUKD kemitraan agribisnis.
Jika masih perlu dibarengi daya manajemen profesional dan gaya wirausaha
(entrepreneurship) tinggi, intervensi kebijakan pemda untuk membina pengurus
BUKD atau UMKM agribisnis kemitraan melalui pelatihan khusus di lembaga
‘inkubator bisnis’ dan jika sedang menghadapi suatu masalah perawatan badan
usaha pesakitan seyogianya dirawat di ‘klinik bisnis’. Tentu pola pembinaan yang
demikian sangat diperlukan oleh para pelaku usaha agribisnis berskala kecil dan
kiprahnya tertatih-tatih. Hal-hal yang bersifat inovasi akan berlangsung dengan
mudah dan lancar jika memang perhatian serta bantuan pemda dihadirkan secara
terencana dan terealisasi penuh kesungguhan.
Upaya membuat faktor pemicu berupa peraturan pemda, tentu akan lebih
siap ditanggapi oleh tiap satuan BUKD kemitraan agribisnis yang menginginkan
kiprahnya maju pesat. Dari kebijakan itu, maka arah manfaat dukungan dana
yang terencana baik oleh Forkom-CSR atas arahan pemda tentu yang merupakan
upaya nyata tidak melupakan kehidupan bisnis kerakyatan. Lebih daripada itu,
pendayagunaan potensi dana CSR akan nyata bermanfaat untuk memacu gerak
kebangkitkan ekonomi sejak dari tingkat desa lewat proses monetisasi desa, sehingga
NTP tidak mudah ditekan oleh kekuatan perilaku pasar.

130 Ekonomi Pertanian


Daftar Bacaan Lanjut
Budihardjo, A. dkk. 2011. Pijar-pijar Manajemen Bisnis Indonesia. Jakarta: Prasetiya
Mulya Publishing.
McCain, R. A. 1981. Markets, Decision, and Organizations; Intermediate Micro- economic
Theory. London: Prentice-Hall.
Shim, J.K. & J.G. Siegel. 1991. Modern Cost Management & Analysis. Italy: Barron’s
Business Library.

BAB 7 | Merajut Kebijakan 131


[Halaman ini sengaja dikosongkan]
BAB

8
DENGAN KARAKTER PERDESAAN

8.1 Pemberdayaan UMKM Penggerak Laju Monetisasi


8.2 Pembentukan Unit ‘BMT’ sebagai Instrumen Pro-Investasi
8.3 Pemajuan Usahatani Produktif Berbasis Invensi dan Hilirisasi
8.4 Pembinaan Unit BUKD Mitra BUMDes Berprestasi
8.5 Pemantapan Usahatani dan Agribisnis Non-Tradisi

Ekonomi Pertanian: Dengan Karakter Pedesaan


Modal pembangunan ekonomi pedesaan bukanlah hanya SDM yang masih berbudaya
lokal, melainkan beberapa jenis SDA (sumber daya alam) dan juga SDB (sumber
daya buatan) sedikit banyaknya ada dalam jangkauan warga. Pameo budaya “Ada
Gula Ada Semut” mengindikasikan adanya sumber daya yang mengundang orang-
orang untuk bermukim di suatu talang-kampung-dusun-desa, yakni satuan ruang
geografis berstatus permukiman. Awalnya ukuran terkecil disebut talang, dirintis
oleh sekitar 5 KK s.d. 10 KK hingga berkembang menjadi desa berpenduduk
sekitar 250 KK, yakni satuan permukiman definitif dipimpin kepala desa di bawah

133
administrasi pemerintah kecamatan (UU No. 6 Tahun 2014 dan PP No. 47 Tahun
2015, c.f. UU No. 5 Tahun 1979).49
Dari perspektif pembangunan ekonomi, desa punya aneka kelebihan. Di
antaranya adalah: (1) jumlahnya banyak; di tahun 2021 ini ada hampir 77.000
jumlah desa sejak dari ujung timur di Papua hingga ke ujung Aceh di barat; (2)
jenis biogeografisnya juga beraneka ragam, karena bertaut pada jauh dekat posisinya
dari garis khatulistiwa dan letaknya dari pengaruh benua Australia dan Asia-besar;
(3) jemaah penduduknya amat terlatih menghadapi berbagai rintangan, kesulitan,
dan keterbatasan, tetapi bermanja pada Ibu Pertiwi. Oleh karena itu, ketika
negara menerapkan strategi pembangunan menetes ke bawah (trickle down effect of
development), sulit dijamin efek pembangunan bisa menyebar lalu dinikmati oleh
semua desa dan warganya.
Teori pembangunan menyebar dari atas ke bawah hanya akan benar untuk
negeri yang kecil luasan dan jumlah penduduknya, ibarat setetes minyak di atas
selembar kertas kecil maka semua permukaan akan terbasahi pada akhirnya.
Sebaliknya, di negeri Nusantara seluas ini, tentu hal itu tidak mungkin cepat
meluas jika APBN terbatas, apalagi jika sambil berhianat. Membangun dari bawah
(bottom-up) menjadikan mayoritas warga langsung disentuh, tetapi efektivitasnya
bagi perkuatan fundamental ekonomi negeri sering diragukan. Ini benar bila hanya
benah teknologi produksi primer saja yang dilakukan. Jika ada program inovasi
dan hilirisasi penerobos pasar, penguatan ekonomi fundamental negeri pasti bisa
direalisasikan.

8.1 Pemberdayaan UMKM Penggerak Laju Monetisasi


Seberapa lancar putaran roda produksi utama diikuti oleh aneka proses produksi
penunjang-pelengkap-pendamping lain yang terjadi dalam keseharian hiruk-pikuk
kehidupan masyarakat pedesaan? Jawabnya terbilang dari total kapasitas produksi
dan capaian nilai produksi kotor serta laju pertumbuhan nilai produksi bruto. Di
balik setiap besaran kerja dan kinerja itu, pasti ada sederet variabel yang mendasari
intensitas kegiatan. Bisa berupa variabel tenaga kerja terserap di tiap satuan kegiatan
produksi, juga transaksi jual beli aneka saprodi dan belanja keluarga, serta semua
kegiatan lalu lintas komoditi produksi dan barang konsumsi. Perputaran uang terus

49
Proses perkembangan ini sifatnya diawali pembukaan kawasan agro-ekosistem sebagai
upaya ekstensifikasi untuk mendapatkan persil lahan bukaan baru, biasanya mencapai luasan 1
bahu (0,75 Ha) hingga 1 Ha. Akan tetapi, berbeda prosesnya dengan suku Kubu yang hidup liar
berkelompok dan mengembara di tengah areal hutan belantara Sumbagsel (Kubu sengaja hendak
dibina oleh Pemkab agar bisa jadi warga tani menetap); memberdayakan mereka memang perlu
kesabaran dan strategi khusus yang menuntut dedikasi.

134 Ekonomi Pertanian


menerus terkait dengan semua itu harus menambah masa retensi uang di daerah
pertanda adanya berkat dari proses monetisasi desa.
Efektivitas pembangunan ekonomi yang digerakkan akan otomatis menciptakan
nilai kinerja berupa margin transaksi (upah tenaga kerja resmi, jasa kuli bongkar
muat, jasa sewa, jasa awas, jasa simpan pinjam, jasa angkut, bahkan jasa sewa
prasarana dan sarana). Di samping itu, ada pula yang berupa nilai laba cermin
kemampuan mengatur harga pokok lewat proses produksi yang efisien. Di samping
itu, patut pula ada nilai tambah (yakni, berasal dari peningkatan cita rasa, citra
manfaat, daya tahan pra-kedaluwarsa, tentu juga kepastian informasi khasiat
produk karena ketepatan bahan dasarnya). Semua jenis dan besaran nilai margin,
nilai laba, nilai tambah itu dengan sendirinya tersebar dan seyogianya akan terus
bergerak dinamis menyebar horizontal dan sekaligus juga vertikal dari bawah ke
atas mengikuti proses produktif dari hulu ke hilir.
Dinamika gerak produktif diiringi pembentukan nilai margin, nilai laba, dan nilai
tambah itu disebut proses pembangunan dari bawah ke atas (bottom- up development).
Proses pembangunan ‘bawah-unggak’ ini patut berlangsung efektif dalam skala
wilayah Nusantara yang melibatkan kaum tani lebih dari 50% penduduk negeri ini,
sehingga bisa memperkuat ekonomi fundamental negeri. Perkuatan makroekonomi
bisa dipastikan berlangsung dalam lingkup wilayah suatu kabupaten dan lintas
kabupaten serta kota dalam provinsi, melaju lintas provinsi (nasional). Semua kinerja
produktif ini seyogianya juga terukur lewat parameter pertumbuhan ekonomi. Akan
tampak dari sehat tidaknya neraca perdagangan, laju inflasi, tingkat bunga bank,
tingkat kesenjangan sosial-ekonomi (Rasio Gini), juga dampak lingkungan di dalam
dan sekitar wilayah ekosistem di mana berlangsung panen SDA penopangnya.

BAB 8 | Dengan Karakter Perdesaan 135


Proses monetisasi desa jadi penting direalisasikan karena ini berawal dari
kelangsungan proses produksi di setiap wilayah dan pulau berpenghuni seputar
Nusantara, dan kegiatan produksi berciri kerakyatan itu umumnya bersifat
agraris. Kesesuaian dan keunggulan tiap daerah serta wilayah negeri ini memang
menjadi tumpuan kegiatan pertanian yang disebabkan oleh adanya kelimpahan
sinar matahari, kecukupan air permukaan, dan tanah yang tidak juga gersang pada
umumnya. Oleh sebab itu, kemajuan perekonomian daerah yang siap dikembangkan
pasti pula menyangkut interaksi antara manusia pembangunan dalam jumlah besar
terhadap sebaran luas lahan pertanian yang diketahui oleh warga pemukim di dalam
dan sekitar suatu agroekosistem.
Proses monetisasi desa jalur ‘bawah-unggak’ itu dengan sendirinya menjelaskan
dari titik mana faktor api pemancik harus dinyalakan, dan kepada unsur mana
pembinaan harus digerakkan. Dalam subbab terdahulu sejak awal ditekankan akan
perlunya pembinaan para pelaku usahatani tradisional dan kecil melalui pendekatan
kelompok yang terdiri dari sejumlah kecil pelaku suatu klaster pertanaman. Dari
situ, maka faktor pemancik disuguhkan kepada satuan BUKD yang telah terbina jadi
UMKM kemitraan agar mendayagunakan teknologi-manajemen-kewirausahaan-
kearifan-etika bisnis. Pembinaan tidak boleh berhenti pada urusan teknik unggul
berproduksi dan sosial kelembagaan, tetapi hingga ke tingkat pasar sumber
pengaliran uang pasca-aneka transaksi.

8.2 Pembentukan Unit ‘BMT’ sebagai Instrumen Pro-Investasi


Setiap satuan agribisnis berbentuk badan usaha milik swasta (BUMS) ataupun
berupa BUMN berplat merah nasional ataupun BUMD milik pemda, semua
harus peduli pada basis usaha yang pasti selalu terkait dengan fungsi dan mutu
lingkungan di wilayah operasi mereka. Adalah suatu kodrat alami, bahwa isyarat
teknis biogeofisik itu dipenuhi melalui tiga koridor pembangunan berwawasan
lingkungan, yaitu: (1) koridor ketentuan tata ruang daerah; (2) koridor ketentuan
teknis AMDAL; dan (3) koridor ketentuan teknis pemantauan lingkungan.50 Jika
para pihak mengabaikan tiga syarat ini, sejak dari urusan produksi komoditi segar
dan bahan baku agro-industri bahkan produk olahan pun terancam jadi pecundang
persaingan pasar dan bencana alam.
Selain potensi persoalan biogeofisik pengayom kegiatan agribisnis, ada pula
persoalan kemiskinan yang sepertinya masih menandai sasaran keberhasilan
pembangunan ekonomi di banyak daerah, apalagi daerah yang masih masuk kategori

50
Ketentuan Tata Ruang (TR) mejelaskan TR daerah untuk dipatuhi pelaku pembangunan
ketentuan AMDAL diharuskan untuk setiap rencana kegiatan yang berpotensi dampak negatif.
Ketentuan RKL (rencana kelola lingkungan) dan RPL (rencana pantau lingkungan) mengharuskan.

136 Ekonomi Pertanian


tertinggal. Dari segugus hasil riset lapangan oleh Tim Peneliti FP-Unsri (F. Sjarkowi,
2018) ditemukan bahwa fakta kemiskinan di daerah terkait dengan tiga hal: (1)
faktor kemiskinan konjungtural; (2) faktor kemiskinan kultural; dan (3) faktor
kemiskinan struktural. Dari kenyataan lapangan, ada petunjuk bahwa ketiga hal itu
saling berinteraksi. Kemiskinan konjungtural dilatarbelakangi perilaku turun-naik
harga komoditi dan produk di pasar internasional, dan karena itu pemda hanya
menunggu kebijakan nasional karena itu lebih merupakan tugas pokok dan fungsi
kementerian terkait.
Terkait dengan kemiskinan kultural yang isunya lebih me-lokal dan jenis
kemiskinan struktural yang lebih menyangkut kebijakan formal, maka tentunya
pembinaan perlu pendekatan sistemik yang dimulai dari bawah di tingkat desa
atau bahkan di Talang (calon desa). Pendekatan yang sifatnya bersistem tentu harus
terkait dengan pemberdayaan peran SDM yang harus jadi arif-bijaksana terhadap
isu hulu (biogeofisik) dan isu hilir khusus soal bisnis yang berorientasi komersial
(manajerial pasar). Pendekatan aktif-interaktif akan tertuju pada persoalan akar
rumput di samping warga masyarakat umum yang masih serba tradisional. Wawasan
dan kemampuan bertransaksi pasar tentu bisa memicu nyali warga untuk berupaya
intensif dan efektif merespons pasar.
Pembangunan ekonomi kerakyatan perlu pendekatan yang interaktif dan
bersistem. Ini tentu mengisyaratkan arti penting peran prasarana dan sarana
berbisnis. Ketersediaan prasarana bisnis adalah cermin kesiapan di pihak warga
binaan untuk terus maju dengan bisnis komersial secara berkelanjutan. Sementara
itu, adanya sarana bisnis tentu jadi penanda keaktifan pihak pemda untuk
memajukan aktivitas bisnis sekaligus mengangkat kesejahteraan ekonomi para
pelaku usahatani dan masyarakat pada umumnya. Contoh prasarana bisnis yang
dimaksudkan di sini adalah (1) kebulatan tekad warga desa untuk menghidupkan
BUKD sebagai UMKM kemitraan agribisnis; dan (2) keihlasan niat warga desa
menyisihkan sebagian nilai perolehan usaha kemitraan menjadi dana BMT (Bersama
Menabung Terencana). Contoh sarana bisnis di sini, yakni:
1. sarana pasar desa (bangunan pasar kalangan);
2. sarana teknologi dan perangkat manajemen agar maju dalam berbisnis.

Pertama-tama harus dipahami kedua hal tadi terkait peran penting BMT dalam
proses monetisasi desa. Oleh karenanya, perlu diketahui bagaimana wujud BMT
itu tampil nyata di tengah hiruk pikuk proses transaksi jual beli hasil dan barang
kebutuhan desa. Untuk pola pembangunan ekonomi bawah-unggak (bottom-up)
tentu ada prasyaratnya yang harus dipenuhi, yakni sebagai berikut.

BAB 8 | Dengan Karakter Perdesaan 137


1. Ada upaya produksi yang benar-benar memperhatikan isyarat pasar, khususnya
soal apa bentuk serta kuantitas dan kualitas benda yang sesuai keinginan pihak
konsumennya.
2. Ada lalu lintas aliran uang yang nyata mengikuti laju kelancaran, bobot
kebernasan dan frekuensi kelangsungan transaksi jual beli; ketiganya di sini
disebut intensitas transaksi bisnis.
3. Ada upaya pengawasan proses transaksi pasar demi keamanan setiap kegiatan
cipta gufaat (guna-manfaat = utility) atau aktivitas produktif di semua jalur
dan titik interaksi bisnis.

Prasyarat (1) menghendaki adanya pembaruan proses produksi agar selalu baik
dan lebih baik dari waktu ke waktu; prasyarat ini membutuhkan modal investasi,
yang bisa diatasi melalui kemitraan para petani kecil berbasis BUKD di tingkat
desa. Prasyarat (2) perlu unit lembaga keuangan yang mumpuni, tapi ketika
harapan tertuju pada layanan perbankan seperti BRI, sayangnya hanya hadir di kota
kecamatan maju; karena memang tidak efisien jika lembaga ini hadir langsung di
desa-desa. Prasyarat (3), terkait ancaman perilaku preman desa pemburu rente-
ekonomi, apalagi transaksi jual beli masih serba tunai dari tangan ke tangan. Maka,
prasyarat (1, 2, dan 3) perlu peran BMT.
Di dunia nyata tingkat pedesaan, ketidakhadiran lembaga keuangan resmi itu
akan benar-benar jadi kendala bagi kemajuan gerak pertumbuhan bisnis. Hal ini
bisa karena: (1) pendeknya masa retensi karena beraneka ragam tawaran belanja
konsumtif berupa cicilan kredit telah biasa masuk desa; (2) kecilnya volume
retensi dana di desa jika sekiranya ragam usaha tidak sempat dikembangkan guna
merespons selera dan keinginan konsumen. Padahal kedua faktor ini mengharuskan
dana tersedia untuk dimobilisasi ketika dibutuhkan bagi pengembangan kapasitas
dan kualitas usaha kerakyatan, khususnya melalui peningkatan peran positif satuan
bisnis BUKD di setiap desa.
Dalam rangka memperpanjang masa retensi dana di dalam desa, maka sisi
positif kebiasaan warga desa menyumbang di rumah ibadah adalah potensi dasar
untuk mengembangkan BMT desa. Adanya lima ciri yang banyak tampak mewarnai
wajah desa dan menggambarkan adanya kemajuan ekonomi setempat adalah: (1) ada
pemekaran dan pengecatan masjid atau gereja dan lainnya; (2) ada gejala perubahan
pada rumah kediaman warga (yaitu pagar semakin bersifat permanen, ada tambahan
ruang baru, atap rumah berwarna terang); (3) ada lapak dan gerobak jajanan anak
terutama di dekat sekolah; (4) ada penampilan nisan berkeramik pada kebanyakan
makam di TPU desa; (5) ada mini-supermarket Alfamaret atau sejenisnya telah masuk
desa sebagai tempat rekreasi tua-muda sambil berbelanja barang yang terjangkau

138 Ekonomi Pertanian


sesuai tag harga dan isi kocek siapa pun dengan sejumlah uang tunai yang sedikit
atau bahkan dengan pembayaran kartu debit. Patutlah diyakini jika kombinasi ciri
di atas mulai tampak, itulah situasi kondusif bagi pembentukan BMT desa.
Setelah pembentukan resminya, maka unit BMT desa sebisa mungkin agar
diurus oleh lima unsur perwakilan, yaitu: (1) unsur pengawas dari DPD juga aparat
kades; (2) unsur profesionalis pembukuan yang sedapat mungkin Sarjana S1 putri
yang kembali ke desanya setelah masuk diklat khusus; (3) unsur bendaharawan
masjid sebagai pemegang kas karena seminggu sekali berbarengan dana masjid
ditabung ke cabang pembantu BRI; (4) unsur kelompok PKK desa; dan (5) unsur
pengawas, yaitu Kades. Kelima unsur ini harus ada di dalam kepengurusan BMT
yang dijamin berperan aktif dengan amanah dan bersih dari hal tercela. Ada tiga
bentuk manfaat BMT penunjang laju monetisasi desa, yaitu: (1) BMT akan jadi
perpanjangan tangan layanan BRI kepada warga desa; (2) BMT maju bisa membantu
koperasi plasma unit PIRBun; dan (3) beberapa BUKD bertetangga bisa turun dana
investasi agro-industri mini.

8.3 Pemajuan Usahatani Produktif Berbasis Invensi dan Hilirisasi


Dalam upaya pengembangan produk inovatif ke depan, maka bukan hanya
persoalan bahan baku yang terkait dengan persoalan keberlanjutan produksi dan
kestabilan pasar. Ketersediaan bahan baku agro-industri hanya persoalan teknis
yang memerlukan lompatan teknologi baru. Lebih dari itu, tetap juga terkait dengan
kestabilan sosial yang sangat perlu dikawal agar tidak mudah buyar mengingkari niat
dan komitmen semula untuk maju bersama. Ini berarti semua pihak yang peduli
terhadap penguatan ekonomi fundamental bangsa ke depan tidak boleh lengah
membaca perkembangan berikut ini.
1. Di era kebangkitan inovasi dunia usaha berlangsung dewasa ini, dan karena arti
pentingnya bagi proses perkuatan ekonomi fundamental bangsa maka sepatutnya
para pihak bersatu-bermitra-berupaya keras untuk menyukseskannya, baik para
pihak di pusat maupun di daerah.
2. Di antara para pihak yang sangat dituntut peran aktifnya adalah PTN dan PTS
khususnya untuk gencar menampilkan kinerja yang membuahkan banyak
invensi (HAKI dan Paten) di daerah masing-masing sehingga jadi pemacu
komoditi PRUKAB sebagai andalan dunia usaha inovatif.
3. Dukungan pemerintah terhadap daerah hendaknya menyediakan payung hukum
luwes dan menggugah kinerja semua pemain khususnya DRD, OPD, dan UPT
Litbang serta PTN dan PTS; juga perlu memacu SKB kementerian terkait guna
memuluskan niaga proses antarpulau yang jadi penunjang kelangsungan inovasi
di semua penjuru tanah air.

BAB 8 | Dengan Karakter Perdesaan 139


4. Di tengah itu semua, akan sangat bermanfaat untuk mengawal laju perkembangan
inovasi di tanah air jika para ilmuan dan cerdik cendekia membentuk semacam
organisasi peduli gerakan inovasi serentak di seluruh penjuru Nusantara.

Jadi, potensi ekonomi rakyat amat besar, tetapi justru belum terangkat banyak.
Dikatakan besar dan banyak, karena terkait peran warga masyarakat yang tidak
sedikit, yaitu melebihi bilangan 50 jutaan pelaku UMKM dan dengan keragaman
jenis usaha yang relatif tinggi. Beraneka ragam kekayaan flora dan fauna ataupun
mineral patra dan non-patra sebagai kapital alami spesifik lokasi terdapat di
pelosok Nusantara, tersebar sejak “dari Sabang hingga Merauke”. Potensi besar ini
memungkinkan daerah untuk saling membutuhkan, saling membantu, sehingga
menyadari perlu bersatu dalam bingkai indah NKRI.51
Tentu tidak mudah untuk memacu tumbuh UMKM inovatif dan kreatif di tengah
masyarakat yang masih kental budaya agraris. Dari 10 wajah budaya inovatif (Kelley,
T., 2016) kebanyakan warga lapisan bawah masih pada tahap awal dari pola budaya
kreatif penciri masyarakat industri. Belum lagi untuk beradaptasi khusus dengan
budaya persaingan pasar tanpa henti, mereka masih perlu dibina dan digerakkan.
Padahal menurut Kotler, P. (2017), dunia usaha modern sudah memainkan strategi
marketing fase 4.0 (berkecepatan tinggi lewat digitalisasi di setiap lini produksi).
Kreativitas menelusup pasar pun masih lemah karena terbiasa dibelenggu kebiasaan
jadi penerima harga (price taker) atas hasil pertanian dari perdesaan.
Jelas pula wawasan industrial mengharuskan setiap pelaku usaha selalu aktif
menjangkau pasar yang lebih menjanjikan nilai tambah selain laba (Drucker, P.,
1985). Ketika dunia sudah bermain di fase keempat Revolusi Industri: pertanian
menetap; industri mesin uap; komputerisasi; robotik dan digitalisasi (Schwab,
K., 2016). Maka, keinginan bangsa untuk berinovasi merebut nilai tambah akan
dipaksa oleh keadaan untuk sekaligus masuk fase keempat. Tentu ini perlu strategi
jitu dibarengi kerja keras dan kesungguhan hati, serta niat tulus membela warga
bangsa yang masih tertinggal petugas harus siap berkorban di tengah keadaan
lapangan seperti apa pun. Prasarana dan sarana di suatu wilayah tidak selalu siap
mendukung perilaku positif fase keempat itu. Kompleksitas persoalan inovasi pasti
bervariasi antara Jawa dan luar Jawa, wilayah perkotaan-perdesaan, bahkan antarzona
ekosistem berbeda di satu wilayah provinsi sekalipun.
Ada sisi positif kenyataan Nusantara yang seperti itu, yaitu menyadarkan
semua pihak tentang adanya potensi keanekaragaman komoditi agribisnis dan

51
Adalah logis jika provinsi dan rakyat Papua lebih memilih bertransaksi niaga dengan
saudara di 450 kabupaten dan 35 provinsi lain ketimbang hanya dengan Papua Nugini). NKRI
harga mati, bukan isapan jempol belaka.

140 Ekonomi Pertanian


produk agro-industri, bahkan jika terkait aneka industri kecil dan menengah
berbasis bahan mineral (mis: industri kecil kemasan). Potensi demikian bisa
berada di wilayah belakang terpencil, tapi hal itu menunjukkan arti penting strategi
transformasi sumber daya. Tidak boleh hanya memproduksi dan menjual bahan
segar, melainkan produk yang berpoles iptek-inovatif, agar jadi pemacu kadar
kesejahteraan warga setempat. Lapangan kerja baru, nilai pendapatan utama dan
beberapa yang sampingan, serta cara berinteraksi bisnis komersial dan gaya hidup
serba baru akan bermunculan. Strateginya harus terencana melembaga sehingga
ekonomi fundamental negeri bernapas kerakyatan bisa terbangun sejak dari desa
hingga bergerak vertikal ke sektor hilir perkotaan. Demikian semangat UU No. 6
Tahun 2014 tentang Pembangunan Desa.
Dengan asumsi bahwa sumber daya yang keberadaan dan potensinya ada dalam
jangkauan rakyat, maka spektrum komoditi sasaran pembinaan sungguh jadi amat
luas secara nasional, bahkan di tingkat daerah (kabupaten) sekalipun. Pemerintah
bersama pemda dapat mulai memacu tumbuh agribisnis primer dan agro-industri
penghasil komoditi unggulan tertentu secara fokus dan terkelola profesional.
Sebutlah fokusnya adalah PRUKAB (produk unggulan kabupaten) yang khas daerah
dan pasti berbeda-beda jenisnya sesuai ciri khas biogeofisik dan sosio-antropologis
di tiap wilayah.
Uraian di atas menggarisbawahi bahwa upaya bina usaha (UMKM) inovatif
adalah satu keharusan. Namun, kompleksitas persoalan menuntut kebijakan yang
tidak bisa tunggal. Menurut hemat penulis, ada isyarat bijak 7S penciri usaha inovatif
yang perlu dibina di setiap daerah sasaran, yaitu sebagai berikut.
1. Sasaran usaha inovatif dimulai difokuskan pada komoditi khas dan unggulan
daerah agar ada keanekaan produk antardaerah.
2. Strategi inovasi tematik-holistik-terpadu-sistemik, untuk satuan usaha
kerakyatan berantai hulu hilir, guna menjamin pasarnya.
3. Setiap pihak yang berperan serta harus mengangkat segi positif sentimen
kedaerahan menuju transaksi niaga lintas daerah.
4. Sumber kebutuhan finansial bagi proses difusi-adopsi-inovasi bisa diberi gizi
lewat BUMDes dan dana desa sejalan UU No. 6 Tahun 2014.
5. Siasat perdagangan domestik antarpulau jadi ajang cipta pasar pra-ekspor,
sekaligus kesempatan membina strategi pemasaran.
6. Sarana pemancik pasar (multi-tahap) sangat perlu sejak dari lini terawal pada
objek-objek wisata daerah bagi wisman dan wisnu.
7. Saham BUMDes (BUKD) atas investasi agro-industri milik investor-mitra jadi
penjamin kerja sama sistemik bagi keberlanjutan inovasi.

BAB 8 | Dengan Karakter Perdesaan 141


Adalah cita-cita luhur bangsa untuk hidup sejahtera berkeadilan dan terbebas
dari jerat utangan-LN. Sehubungan dengan itu, perlu dikembangkan komoditi
niaga berbasis iptek inovatif dan wirausaha yang mampu berinovasi dengan sifat
kerakyatan. Komoditi inovatif yang khas daerah dengan sendirinya akan lebih banyak
berbasis sumber daya konvensional, yang biasa diusahakan warga kebanyakan
utamanya kaum tani. Dengan begitu, maka produk inovatif berbasis tani tentu akan
lebih banyak datang dari daerah non-perkotaan, yaitu wilayah pembangunan serba
terbatas. Sekalipun semua itu akan menyediakan lapangan kerja dan aneka sumber
pendapatan warga pada umumnya, namun proses pembinaan yang sistemik masih
jarang terjadi. Dengan begitu, wilayah belakang bisa terpacu jadi penopang aneka
produk khas dan unggulan provinsi.
Aneka jenis prukab akan dihasilkan oleh satuan-satuan usaha agribisnis primer
digandengkan dengan upaya pengembangan aneka agro-industri primer (untuk
produk setengah jadi dan siap dimakan) maupun yang sekunder (untuk produk jadi
dan siap pakai). Jadi, dengan hasil ristek-inovatif bisa ditumbuhkan agro-industri
dan aneka industri lain lewat proses pembinaan wirausaha inovatif, dan inilah
sumber lapangan kerja dan kenaikan PDB (produk regional bruto), utamanya PAD.
Pendekatan ini sangat relevan dengan instruksi Deperindag agar setiap daerah
mengembangkan produk unggulan kabupaten (PRUKAB).
Tepatlah jika fokus gerakan pacu inovasi tertuju pada 1 s.d. 3 komoditi prukab
khas dan andalan masing-masing daerah. Namun, upaya pengembangan komoditi
inovatif itu sebaiknya meliputi sebanyak mungkin produk turunan langsung
maupun yang terkait. Hakikat pembinaan adalah pergeseran dari perputaran roda
kecil jadi roda besar perekonomian yang bisa berbuah nilai tambah besar, tetapi
sekaligus bisa menghemat potensi sumber daya alami pendukung. Rakyat tentu
bergairah melibatkan diri, bila kadar kesejahteraan ekonomi bernas bertambah
berkat terjaminnya transaksi pasar antarpulau.
Terkait dengan ini, bolehlah dipastikan bahwa sukses transaksi niaga atas
berbagai komoditi prukab lintas pulau, lintas provinsi atau kabupaten/kota, pasti
berimbas positif kepada berbagai komoditi non-prukab di masing-masing daerah.
Produk non-prukab akan mengekor secara sistemik pada transaksi komoditi prukab,
mengingat transaksi niaga prukab punya tiga sasaran, yaitu sebagai berikut.
1. Sebesar mungkin suplai komoditi inovatif yang sukses dihasilkan petani dapat
terserap pasar dengan harga tepat tanpa ada yang tersisa mubazir.
2. Setiap transaksi niaga komoditi olahan inovatif sepatutnya terbagi sebagian
nilai tambahnya kepada para petani penghasil bahan baku penopangnya.
3. Status kontak negosiasi sudah seharusnya difasilitasi agar proses niaga
antarpulau itu terus berdampak positif pada persatuan bangsa.

142 Ekonomi Pertanian


Demikian idealnya, pada skenario cantik itu banyak dampak positif ikutannya
yang akan berbuah manis bagi bangsa dan negara. Transaksi niaga antarpulau yang
bisa terjadi, sungguh merupakan unsur perekat esensial bagi kelanggengan persatuan
antarsuku bangsa, penguat kesatuan wilayah NKRI untuk selalu utuh berkelanjutan.
Menggerakkan roda besar perekonomian dengan niat tulus dan tekad luhur adalah
prasyarat dasarnya. Tentunya motivasi harus dibarengi kerja keras yang memihak
pada rakyat demi harkat, bangsa, dan kemuliaan negeri.
Ketika gerakan ini dimulai lewat program produksi dan niaga pemasaran prukab
yang jadi penanda gerakan ekonomi dan wirausaha inovatif khas suatu daerah,
maka pola pembinaan roda-roda kecil perekonomian daerah (yang ternyata hanya
menghasilkan total nilai manfaat yang tidak besar) harus segera ditinggalkan.
Gerakan pembangunan ekonomi dari bawah ini harus manfaatkan iptek-inovatif
dan jangkauan pasar yang luas sehingga memutar perekonomian roda besar sejak
dari tingkat daerah. Roda perekonomian dipaksa berubah dari sekadar investasi
berbasis sumber daya lahan atau RBE (resource based economy) yang seolah hanya bisa
memberi nilai upah cangkul bagi rakyat. Berubah jadi roda besar yang memacu nilai
tambah RBE dengan siasat KBE (knowledge based economy) berbasis iptek inovatif lalu
kemudian bersiasat MBE (market based economy) demi kepesatan niaga antarpulau
sebelum mapan dan siap menembus pasar ekspor (F. Sjarkowi, 2014).
Sementara itu, di negeri yang masih kental ciri agrarisnya ini, masih sangat
mungkin ada tambahan PAD (pendapatan asli daerah) berasal dari nilai tambah
aneka produk inovatif yang berhasil dikembangkan di daerah. Dari perspektif ini,
maka pemda yang berhasil bukanlah yang semata-mata hanya bisa menggulirkan
dana pembangunan kucuran APBN dan APBD provinsi, yang notabene sebagian
besarnya adalah dana utangan luar negeri. Pemda (kabupuaten dan kota) yang
sukses adalah yang berprestasi memacu kadar PAD dalam porsi yang semakin besar
dari tahun ke tahun memperkuat anggaran dana pembangunan di masing-masing
daerah. Disayangkan, justru di sisi inilah kebanyakan SKPD pemda masih lengah
dan belum juga menumpahkan perhatian banyak untuk kesejahteraan warga serta
kemaslahatan daerahnya.
Padahal ada contoh dari NTB terbukti bisa mengikuti jejak Malang Jatim
memproduksi aneka produk makanan ringan berkemasan, dan itu sangat pesat
berkembang memperkuat industri pariwisata dengan beragam produk suvenir yang
memicu berbagai transaksi berimplikasi pajak dan retribusi. Ternyata aneka produk
berkemasan dan olahan berbasis padi organik kini telah pula bergulir terus dan
semakin berkembang memacu banyak transaksi niaga di Seragen, dan kini mulai
diikuti jejaknya oleh Kabupaten OKU Timur dan Kabupaten MURA, Sumatera
Selatan. Bahkan di setiap daerah kabupaten ataupun kota yang warganya terdiri

BAB 8 | Dengan Karakter Perdesaan 143


dari beberapa suku asli setempat boleh dipastikan selalu ada saja jenis masakan
dari tanaman dan jenis fauna khas setempat yang amat berpotensi jadi barang niaga
berkemasan inovatif.
Demikian pun DIY punya prestasi unik berupa penataan lingkungan hijau
lestari kawasan Imogiri di sekitar kompleks makam raja-raja; tetapi sekaligus jadi
ladang kepompong ulat sutra Athacus atlas sebagai basis industri ringan benang
sutra, kain sutra, dan kertas karton sutra yang amat digandrungi wisman Jepang.
Selain itu, Provinsi Gorontalo juga terbukti bisa mengukir prestasi dengan fokus
agribisnis pertanaman jagung dan hilirisasi pascapanen; dan prestasi lebih jauh
lagi bisa mereka ukir dengan bekerja lebih inovatif dan kreatif, lalu tambahan PAD
yang bernas tinggal menghitung jumlah.
Memang harus diakui, prihal inovasi wirausaha dan produk inovatif ini
gampang-gampang susah untuk direalisasikan (Gill, S.K dan Jain, K., 2003). Di
negeri Nusantara ini diskursus tentang hal ini sudah sekitar dua dekade bergema,
tetapi efek dan hasilnya tak kunjung mewabah pesat ke seluruh daerah. Tampaknya
sistem pembinaan inovasi daerah harus dipolakan dan secara terpadu ditegakkan
sesuai keadaan atau kebutuhan dinamis lapangan. Tentu pula kendala SDM
bermutu dan berdedikasi selaku penggerak di lapangan harus diatasi terlebih dulu
oleh setiap daerah bahkan di setiap desa. Kehadiran SDM yang cekatan, jeli, dan
kreatif akan memungkinkan penyatuan kekuatan yang kecil serta tersebar di antara
penduduk desa untuk bisa dimobilisasi. Mekanisme kerja pembinaan prukab inovatif
kerakyatan yang kuat dan relevan akan jadi siap untuk kemudian memacu putaran
roda besar perekonomian.
Sehubungan itu, kehadiran SIDa (sistem inovasi daerah) bisa dipolakan
secara sengaja tentu sangat diperlukan. Pada tahun 2011, ketika SINas (sistem
inovasi nasional) mulai digaungkan (lewat Kepres No. 10 Tahun 2010), maka pada
suatu rakernas DRN (dewan riset nasional) di BPPT Jakarta disepakati perlunya
mengaktifkan SIDa setidaknya di tingkat provinsi. Konsepsi SIDa dan perannya
yang demikian strategis telah disampaikan pada rapat paripurna DRN oleh
narasumber (F. Sjarkowi, 2011). Khususnya untuk tanggap terhadap keluhan dan
kebutuhan yang datang dari dunia usaha, maka harus ada peran SKPD yang sangat
diperlukan untuk memfasilitasi dan mengawal program pacu inovasi, khususnya
inovasi pada tingkat satuan UMKM berskala kecil dan sedang yang lebih bersifat
kerakyatan. Pihak SKPD pun harus bekerja sama dengan pihak LSM profesional atau
para tenaga penyuluh yang sudah mendapat pelatihan khusus untuk melakukan
transfer paket iptek-inovatif kepada pihak warga. Ini meliputi terap-tular teknologi-
manajemen-wirausaha-kearifan-etika berbisnis peduli lingkungan biogeofisik dan
sosio-kerakyatan.

144 Ekonomi Pertanian


Adalah logis jika persoalan inovasi dunia usaha dipacu segera dari tingkat daerah
yang memiliki kekhasan SDA di tingkat kabupaten sekalipun. Kalaulah instruksi
kementerian indag tentang prukab sempat dikaitkan dengan mekanisme kerja SIDa,
maka banyak sasaran tugas percepatan inovasi dunia usaha diselesaikan di tingkat
daerah sehingga mengurangi tugas kelola di tingkat nasional oleh BPPT, DRN, dan
kementerian terkait. Dari pengalaman lapangan ada dana pembinaan bisa didapatkan
dari SKPD pemda setempat dan juga dari dana CSR perusahaan yang peduli pada
nasib rakyat sekitarnya.
Dengan mekanisme kerja SIDa, maksud luhur mentransfer hasil ristek inovatif
yang ada (masih tersimpan) tinggal perlu disediakan semudah mungkin kapan pun
dunia usaha UMKM memintanya (sebagai proses ‘inovasi tarik pinta’= DPIN =
demand-pulled innovation);52 atau justru dipacu agar didayagunakan oleh para pelaku
usaha lewat proses ‘inovasi dorong pasok’ (supply-pushed innovation =SPIN). Patut
diduga, proses berciri DPIN itu akan lebih mudah digulirkan dan cepat diadopsi
oleh dunia usaha, sedangkan proses SPIN cenderung agak lambat terutama proses
penemuan paket invensi hingga penularan terap pakainya oleh warga pelaku UMKM
dalam skala kecil dan lokalitas non-perkotaan.
Tentu saja pengembangan produk unggul dan wirausaha inovatif harus
ditopang kebijakan menegakkan SIDa yang disesuaikan dengan kebutuhan dunia
usaha. Apa pun prosesnya (DPIN ataupun SPIN), kiranya proses pendayagunaan
suatu perangkat iptek-inovatif hingga senyatanya dipakai oleh para pelaku usaha
haruslah dipacu oleh pihak pemda. Melalui mekanisme kerja SIDa yang didukung
oleh Himpunan Peneliti Daerah dan DRD =Dewan Riset Daerah. Upaya ini perlu
dilengkapi pula dengan sarana penunjang seperti PUI (pusat unggulan inovasi di
PTN dan PTS) juga inkubator bisnis (dikelola pemda) dan ATP (agro-tekno park)
atau STP (sains-tekno park) dikelola LPND (lembaga pemerintah non-departemen);
semuanya diaktifkan untuk membina suatu klaster usaha agribisnis-agro-industri.
Semua perangkat kelembagaan ini dikaitkan dengan komoditi prukab khas daerah,
sehingga gerakan inovasi bermula dari bawah (UMKM) ke arah aktivitas usaha di
‘hilir’ pada jejaring bisnis komoditi dan produk pertanian terkait.
Pola pikir argumentatif ini mengingatkan para pihak agar memahami adanya
instrumen pacu ristek inovatif. Instrumen ini bisa melahirkan ‘hak-paten’ atas
teknologi tepat guna dan tepat lingkungan sebagai temuan baru pada jalur ilmu
eksakta; serta HAKI atas strategi dan seni sebagai temuan baru pada jalur ilmu

52
Penulis tidak menggunakan istilah ‘demand driven innovation’ yang lebih mencerminkan
proses kemandirian satuan usaha guna berinovasi tanpa perlu pembinaan; pada kasus inovasi
di negeri ini, individu produsen perlu bergabung jadi klaster guna dibina untuk berinovasi cara
DPIN atau SPIN.

BAB 8 | Dengan Karakter Perdesaan 145


sosial dan humaniora. Temuan-temuan demikian adalah ramuan dasar pewujudan
“produk inovatif”, dan untuk mendapatkannya negeri ini tidak perlu lagi bergerak
dari titik nol. Tidak sedikit temuan sudah tersimpan di berbagai lembaga Litbang
dan lembaga akademik, khususnya di berbagai perguruan tinggi (PTN dan PTS)
yang jumlahnya ada 4000-an tersebar di seantero Nusantara.53 Sesungguhnya telah
tersimpan banyak temuan iptek-inovatif. Tinggal dibutuhkan pola pelembagaan
kerja sama sehinga mudah melahirkan produk “ekonomi kreatif”54 memenuhi
syarat promosi lewat multimedia.
Di atas kertas harus diakui tidak ada alasan bagi Ppemda tingkat kabupaten
untuk tidak bisa memacu inovasi dunia usaha. Kalau ada pemda yang lengah, itu
karena terbelenggu oleh kekuatan 3K negatif di bawah ini.
1. Kerasnya pengaruh mafia pasar yang selalu hendak menguasai dan merebut
porsi terbesar dari rente ekonomi yang mudah direkayasa di daerah subur dan
kaya sumber daya alami (SDA) dan lemah SDM.
2. Kerasnya pengaruh para free riders yang dengan segala kelicikan mereka selalu
mau ikut panen tanpa merasa perlu ikut bertanam; pengaruh premanisme ini
tidak mungkin merajalela tanpa ada dalangnya.
3. Kerasnya pengaruh politik uang sebagai jalan pintas menggiurkan bagi pihak-
pihak pemeran politik demokrasi ‘setengah hati’ sehingga manfaat program
pembinaan investasi inovatif terlupakan begitu saja.

Terlepas dari pengaruh 3K negatif ini, justru masih ada daerah setingkat
kabupaten belum sepenuhnya memahami makna otonomi daerah. Padahal ada
banyak kesempatan diberikan kepada aparat membangun kemandirian daerah.
Kucuran dana dari pusat harus didayagunakan setepat mungkin, lalu dengan
konsepsi yang jelas dilakukan percepatan pembangunan dengan modal sosial dan
biogeofisik yang ada untuk secepatnya membuahkan energi kemandirian. Dari sini
negeri yang makmur gemah ripah kerta raharja penuh berkah dan rida Tuhan YME
(Baldatun thoyibatun wa Robbun Ghafur) selain menggugah dan mengungkit harga
diri kebangsaan, sesungguhnya jadi zat perekat bangsa ini.
Program pengembangan prukab di daerah boleh jadi tidak menarik bagi
perusahaan besar yang investasinya di daerah tertuju hanya pada suatu komoditi
andalannya. Suatu perusahaan agribisnis berskala besar, akan lebih perhatian dan
fokus pada soal kesesuaian serta ketepatan teknis biogeofisik dan minim kepedulian

Dari jumlah tersebut, setidaknya 5% atau 200 PTN/PTS dapat dipastikan telah menyimpan
53

berbagai temuan iptek; sekalipun tidak semuanya sudah berstatus hak paten dan atau HAKI.
54
Ekonomi kreatif menurut Howkins, J. dalam buku Setiawan, I (2012; halaman 102)
adalah proses ekonomi yang input-output-nya terlahir dari gagasan orisinal yang ditandai hak
paten dan atau HAKI.

146 Ekonomi Pertanian


sosial. Tanpa mesti sejak awal direpotkan oleh keharusan membina warga setempat
dalam kerangka berbagi nikmat kesejahteraan, justru isu pembukaan lahan beribu
bahkan puluh ribu Ha, tampak lebih relevan dan penting. Ini dikarenakan dimensi
biogeofisik yang meliputi areal begitu luas akan punya sangat banyak isu teknis
penentu keberhasilan produksi yang berkelanjutan. Sementara itu, isu sosial lebih
cenderung didekati dengan konsep ekonomi kesejahteraan yang biasa diukur secara
sumir oleh perusahaan, yakni hanya dari tingkat upah yang wajar dan berkeadilan.
Lebih dari itu, perusahaan akan merasa cukup membina hubungan industrial yang
sehat dan komunikatif, di samping sekadar peduli membina hubungan sosial yang
simpatik.
Logika percaya diri amat sering dikemukakan pihak pengelola (manajer)
perusahaan agribisnis berskala besar. Ada tiga alasan sederhana, yaitu sebagai
berikut.
1. Kehadiran dan kiprah perusahaan agribisnis yang mereka kelola pada suatu
konsesi lahan yang sudah punya izin resmi dari pemda, alias bukan kegiatan
ilegal yang patut dicurigai oleh oknum ataupun warga.
2. Keharusan untuk membina hubungan baik dengan warga masyarakat akan
dipatuhi perusahaan melalui dana CSR yang lebih cenderung dibagikan berupa
bantuan berwujud bangunan (sekolah, klinik, dan lain-lain).
3. Kegiatan pemberdayaan masyarakat seyogianya menjadi tugas pemda, yang
untuk itu perusahaan sudah membayar pajak (PBB, Air) dan membayar retribusi
prasarana-sarana, agar fokus secara teknis.

Begitulah tiga alasan argumentatif yang suka terdengar dikeluhkan dan sering
dikemukakan oleh perusahaan agribisnis berbasis PMA (penanaman modal asing).
Bagi perusahaan agribisnis yang berbasis PMDN (penanaman modal dalam negeri)
memang masih ada kepedulian yang diberikan untuk membangun kemaslahatan desa
dan warganya, tetapi kadar perhatian untuk ini selalu terbatas nilainya. Menyadari
dan menyikapi keadaan seperti ini, pihak DRD bersama Balitbangda masih punya
jurus-jurus jitu untuk menggali dan mendorong peran serta perusahaan besar agar
nyata berperan serta mengangkat kinerja UMKM agar lebih kokoh kedudukan mereka
sebagai penopang andal bagi ekonomi fundamental negeri ini. Ada tiga siasat dapat
diketengahkan, yakni sebagai berikut.
1. Kepada perusahaan yang kurang peduli patut dicari celah pemberlakuan perda
untuk memungut iuran risteks inovatif dari mereka masing-masing pemakai.
2. Keberadaan perusahaan dapat didekati dalam hubungan yang lebih bernuansa
ekonomi bisnis, yaitu sebagai lembaga yang membutuhkan barang prukab.

BAB 8 | Dengan Karakter Perdesaan 147


3. Kiprah perusahaan besar biasanya selalu jadi pemicu tumbuh industri
kepariwisataan lokal, maka hasil UMKM inovatif bisa ambil manfaat pasar
imbasnya.

Oleh sebab itu pula, maka kepiawaian LSM dan OPD pembina (lewat
inkubator bisnis atau juga ATP= agro-tekno park) diperlukan. Ini setidaknya untuk
memanfaatkan keberadaan perusahaan besar bersama ribuan pegawai lapangan dan
kantorannya sebagai pasar tetap (captive market) bagi produk agro-industri binaan.
Dengan cara kreatif dan piawai itu, maka BUKD mendapatkan mitra niaga besar
bagi produk inovatif yang dihasilkan anggota, walaupun dari segi bantuan finansial
dan kepedulian sosial perusahaan besar terkait hanya bersifat meluangkan waktu
membantu alakadarnya.
Jadi, kaum tani misalnya, agar bisa dibina inovatif mereka diaktifkan untuk
jadi basis komoditi prukab di bawah satuan lembaga BUKD (Sjarkowi, F., 2017).
Tidak pula salah jika bisa diupayakan semacam kemitraan antara badan usaha yang
mewakili UMKM binaan dengan pihak pelaku usaha padat modal, sepanjang hal
itu disetujui bersama dengan prinsip saling menguntungkan. Mencermati capaian
program CD dari pengalaman membina kaum tani selama 20 tahunan terakhir,
kiranya membawa penulis55 pada arti penting konsep pembinaan UMKM terpadu
sistemik dengan pihak USM (usaha skala menengah) bahkan seyogianya hingga
ke USB (usaha skala besar, semisal eksportir ke luar provinsi dan luar negeri).
Hanya dengan cara demikian itu akan bisa dihindari perilaku mafia bisnis yang
selalu dijumpai pada hampir setiap transaksi niaga yang terkait dengan UMKM.
Para pemburu rente ekonomi selalu berupaya merongrong pihak yang lemah pada
mata rantai terhulu yang umumnya diperankan kaum tani. Ketika sudah melembaga
agribisnis, maka setiap rongrongan jadi tidak mudah mempecundangi kaum tani.
Untuk maksud pembinaan rantai kerja sama wirausaha yang saling terkait bagai
Catatan untuk
penulis: segugus klaster industri yang besar dan saling menguntungkan, maka prinsip kerja
Gambar yang sama pada Gambar-Skematik 7 bisa dipakai. Dari situ kontak dan komunikasi niaga
dimaksud ini
untuk membina kelangsungan transaksi niaga terhadap pihak luar provinsi atau
yang mana ya,
Pak/Bu? luar kabupaten akan mudah dilakukan oleh sesama BUMDes dan atau BUKD yang
dibina mengembangkan prukab suatu desa. Hal ini bisa melalui:
1. kontak langsung;
2. ketanggap promosi online;
3. kontrak niaga antarwaktu.

55
Selaku ilmuan, atau konsultan CSR, dan pernah sebagai Kepala BKPMD dan Koperasi
serta Bappeda Sumsel dan juga Koordinator Promosi Komoditi Sumsel lewat Kantor Online dan
Display di Singapura.

148 Ekonomi Pertanian


Ketiganya adalah kontak dagang lintas wilayah, khususnya niaga antarpulau
penting, sebelum pasar luar negeri menjangkau komoditi inovatif yang matang. Ini
semacam upaya benah diri pada fase awal produk niaga masih belum mapan mutu
dan jumlah produksinya.
Dengan ATP (agro techno-park) atau Inkubator Bisnis Daerah (IBD), maka
sebagai sasaran difusi seperangkat iptek-inovatif dari lembaga Litbang kepada BUKD
bisa langsung dipacu oleh SKPD guna mempercepat kelangsungan proses adopsi
Catatan untuk
sehingga nyata terjadi inovasi oleh para pelaku usaha binaan. Kerja sama lima pihak
penulis:
Gambar yang (Gambar Skematik 3) akan memicu pencarian nafkah cara baru, dari yang selama
dimaksud ini ini hanya berupa transaksi jual beli biasa berubah menjadi upaya wirausaha inovatif
yang mana ya,
yang mengejar laba dan nilai tambah. Tentu begitu panjang rangkaian mata rantai
Pak/Bu?
harus dijalin dan dipadu, sebelum keterbatasan fungsi dan peran orang bawah (kaum
tani) itu dapat diperkuat dengan iptek-inovatif. Di tingkat klaster UMKM binaan,
semua pihak terkait sudah seharusnya siap berperan aktif di daerah masing-masing.
Untuk suatu prukab agribisnis, proses difusi-adopsi-inovasi yang berhasil
selalu harus diawali aktivitas penyiapan diri para pelaku usaha (UMKM; petani)
melalui lembaga kemitraan, yaitu BUKD sebagai pelaku agribisnis maju. Satuan
usaha agribisnis kemitraan yang berbasisiptek inovatif itu akan bisa memacu kinerja
mereka yang dalam binaan. Kinerja teknis, kinerja pasar, dan juga kinerja sosial
semua bisa dipastikan meningkat. Ketika para petani binaan telah melihat bukti
dan menikmati kesejahteraan yang lebih baik, maka mereka akan tinggalkan pola
kerja usahatani tradisional, dan cara berusaha inovatif pun bergulir menular kepada
semua petani setempat. Di sini kearifan program pembangunan ekonomi yang
mengambil tema ‘inovasi memperkuat ekonomi fundamental bangsa’ menemukan
lapangan pengabdian luhurnya. Lalu di sinilah ajang pembuktian keberpihakan
program pembangunan pada rakyat pelaku UMKM yang kebanyakan hidup serba
terbatas di pedesaan.

8.4 Pembinaan Unit BUKD Agribisnis Mitra BUMDes Berprestasi


Proses transfer iptek inovatif yang sudah berhasil seyogianya dibarengi penguatan
jaringan wirausaha di sektor saprodi (input) juga sektor industri pengolahan (output)
primer dan sekunder; serta sektor niaga dan penopang transaksi perniagaan yang
bisa memicu nilai tambah (bukan sekadar laba) bagi bahan segar asalnya. Demikian
strategi pengembangan prukab dan wirausaha inovatif tidak boleh parsial, melainkan
harus total. Pembinaan harus diberikan tematik-holistik-terpadu-sistemik agar
tidak layu sebelum berkembang.
Ciri inovasi pada prukab bukanlah yang padat modal, melainkan bersifat padat
karya supaya lebih banyak melibatkan rakyat daerah setempat. Statusnya selaku

BAB 8 | Dengan Karakter Perdesaan 149


UMKM agribisnis kemitraan, tentu tetap merupakan gabungan usahatani kecil
yang sepakat bermitra dalam satuan badan usaha kemitraan di desa. Jika kemudian
BUKD diharapkan jadi bagian BUMDes (UU No. 6 Tahun 2014) tentu ketegaran
bisnisnya benar-benar andal untuk menggerakkan proses monetisasi desa. Tiap
satuan BUKD atau BUMDes jadi motor penggerak secara pragmatik, tetapi tetap
berwawasan nasional. Kiprah mematuhi kebijakan strategis kedaerahan mutlak
diperlukan di tengah beragamnya ciri biogeofisik dan karakter sosio antropologis.
Ini bisa diteropong terkait empat sasaran, yaitu sebagai berikut.
1. Mengingat paket ristek-inovatif sedikit banyaknya akan berimplikasi biaya
ekstra daripada sekadar biaya rutin dari teknik konvensional yang sudah
dikenal petani, maka peran non-agribisnis dan apalagi perusahaan agribisnis
swasta yang sudah (atau akan) beroperasi di sekitar kaum tani seyogianya jadi
inisiator dan inspirator difusi-adopsi-inovasi melalui suatu format kerja sama
positif (saling menguntungkan). Justru soal inilah yang sempat diingatkan oleh
Gunnar Myrdal dan Theodor Dams (1971) sejak acara international conference
of agricultural economists ke-14 pada tahun 1970 (di Rusia, USSR).56 Hingga 50
tahunan kemudian saran seperti itu belum juga tuntas terealisasi di banyak
daerah. Ada dinamika sosial politik di negara berkembang diringi kompleksitas
masalah yang jadi penghambat.
2. Menerapkan paket ristek-inovatif itu sangat penting perannya dalam memacu
peningkatan kinerja pertanian tanpa banyak bergantung pada tambahan lahan,
maka diperlukan perubahan pola pendekatan konseptual yang menyangkut
cara pandang teknis maupun sosial. Secara teknis, pola ristek inovatif memang
harus ditujukan pada pencarian teknologi pascapanen guna menjaga kesegaran
bahan dan pengolahan hasil, baik olah primer pembentuk bahan setengah jadi
dan olah produk jadi siap konsumsi (Muchtadi, D., 2012). Namun, prasyarat
agronomis perlu dipenuhi, misal berupa teknologi penyedia bibit unggul yang
dapat membawa hasil segar dalam jumlah dan mutu seperti yang diisyaratkan
oleh agro-industrinya.

G. Myrdal diperkuat kritik Theodor Dams mengingatkan (IAAE Report, 1971): pertama,
56

sudah siapkah negara-negara sedang berkembang dengan konsep strategis pembangunan


pertanian atas landasan teori yang seperti apa? Jika diperlukan semacam perubahan mendasar,
apa kebijakan tepat yang dapat menjamin ketersediaan dan kemanfaatan perangkat atau
instrumen yang dibutuhkan untuk itu? Kedua, terlepas dari hal pertama itu masih juga diperlukan
manajemen dan kerja keras pembangunan terkait empat hal: (1)bagaimana memacu peran serta
bagian terbesar dari pelaku pertanian untuk mau melakukan inovasi; (2) bagaimana menjamin
kelangsungan industrialisasi pertanian yang bisa menaikkan daya beli warga setempat (internal)
juga internasional?; (3) bagaimana memenuhi kepentingan kaum tani itu terhadap kapital dan
penyuluh pertanian perihal teknis dan ekonomis?; dan (4) bagaimana mengatasi kendala politik,
sosial, dan ekonomi terhadap (1) s.d. (4).

150 Ekonomi Pertanian


3. Menyikapi proses adopsi iptek-inovatif dari sisi sosial semakin tampil sebagai
faktor determinan, karenanya jadi penentu sukses proses produksi dan upaya
terobosan pasar lebih luas dan bertingkat. Apalagi ketika ketersediaan input
teknis (selain input lahan) sudah berada pada batas layanan puncaknya
(mentok) sehingga mengarah pada kenaikan hasil yang menurun (sesuai
pesan dalil produksi “the law of deminishing return”. Dari aspek ekonometrika,
Arifin Bustanul (2004) menuding hubungan input ke output kini janggal.
Justru variabel kelembagaan lebih mewarnai capaian ekonomi, dan variabel
hasil seperti berada pada batas maksimal. Ada hubungan fungsional dari
faktor kelembagaan (manajemen dan lainnya) sebagai variabel bebas yang
mendominasi kombinasi input tepat guna dan tepat lingkungan terhadap
variabel terikat.57 Di sini perlu instrumen kaji seperti metode riset operasi
dan manajemen sumber daya sebagai acuan sehingga menjawab wanti-wanti
(Myrdal G. pada catatan kaki 1).
4. Menyadari pentingnya semangat ‘bersatu teguh, bercerai runtuh’ maka upaya
seleksi-difusi-adopsi-inovasi sangat tergantung pada pola rekapadu atau
‘social ordering’ demi terbentuk kemitraan sosial sejak awal proses itu. Menurut
Sjarkowi F. (2017), tanpa ada langkah antisipatip itu maka dukungan sosial
cenderung semu dan gampang berhianat. Antisipasi tertuju pada potensi
kemunculan paradoks sosial (S-paradox tipe 1 dan tipe 2) pemancik empat
entropi sosial (cacat sosial, yakni: Entropi-sosial psikologis; E-sosial ekologis;
E-sosial ekonomis; E-sosial budaya) untuk cepat terdeteksi. Berdasar deteksi ini,
maka SECI (socio-entropic controlling interface selaras dua dalil kemitraan sosial
dari Fachsyar Law 1 dan Law 2).

Dengan sendirinya, pihak utama dan yang pertama harus berperan aktif
mempromosikan semua isyarat teknis biogeofisik dan sosial kelembagaan itu kepada
para pelaku usaha adalah pihak pemda. Baik lembaga pemprov maupun pemkab
dan pemkot adalah unsur pengarah serta pengatur perizinan yang memiliki rentang
kendali terpendek terhadap setiap jengkal lahan usaha yang ada di dalam wilayahnya.
Alat kendali bagi pemda adalah kebijakan dan ketetapan tata ruang. Tentu saja di
mata pemda, setiap pelaku usaha agribisnis, baik yang berplat merah apalagi yang

57
Selanjutnya, menurut Arifin B., faktor institusi yang dalam hal ini dianggap lebih efektif
pengaruhnya terhadap kombinasi penggunaan variabel “input modern”, itu dapat dihimpun
menjadi: (1) akses terhadap sarpras publik, seperti jalan dan saluran irigasi; (2) sarpras pasar
penyedia tenaga kerja luar keluarga, begitupun jenis input pupuk, juga kredit ataupun pasar
(lelang) output; (3) sarpras penyampai informasi pertanian (baik yang bersifat ekonomi maupun
geofisik-kimia); (4) struktur kepemilikan (dan sewa-pakai) lahan atau juga traktor; (5) struktur
sosial (dalam semangat kemitraan berpengaruh dalam merespons dan bersikap agronomis atas
status iklim yang dihadapi).

BAB 8 | Dengan Karakter Perdesaan 151


swasta (PMA dan PMDN) penting memahami setiap pasal ketentuan tata ruang.
Hal tersebut sudah seyogianya jadi pertimbangan pokok ketika hendak memulai
dan mengembangkan usaha agribisnis.
Dari situ konsistensi warga terhadap lembaga kemitraan bisnis harus
diselaraskan dengan rerambu UU No. 6 Tahun 2014, agar bisa mempercepat putaran
roda ekonomi bisnis ke arah laba dan porsi nilai tambah. Keharusan memenuhi
kehendak pasar harus ditunjang inovasi sejak dari pedesaan, karena agribisnis
inovatif akan lebih mudah meyakinkan perusahaan penyandang dana CSR. Pada
gilirannya nanti, akan mudah terbina hubungan niaga dua arah BUKD ke BUMS/N
dan juga sebaliknya. Sekali rantai hubungan ini tercapai, maka pemasaran produk
unggulan kabupaten/kota mudah dipacu meluas ke lintas pulau baik segi jumlah
maupun kualitas barangnya mampu menembus pasar.

Gambar 8.1 Gerakan Ekonomi Kerakyatan untuk Kebaikan Semua: Menghubungkan Mata
Rantai Transaksi UMKM-USM-USB Terpadu Sistemik

8.5 Pemantapan Usahatani dan Satuan Agribisnis Non-Tradisi


Istilah usahatani tradisional telah diperkenalkan sejak dari bagian awal buku ini.
Mengubah penampilan dan kinerja usahatani tradisional agar jadi satuan agribisnis
kemitraan komersial sudah dibahas dalam Bab 7. Bahasan dalam subbab ini sasaran
bahasannya agak sedikit berbeda, yaitu dalam hal sasaran komoditi yang sengaja
akan digeser dari jenis pertanaman tradisi setempat menjadi suatu jenis pertanaman
non-tradisi. Perubahan demikian bisa terjadi karena salah satu dari tiga faktor
penyebab, yaitu sebagai berikut.

152 Ekonomi Pertanian


1. Atas tawaran calon investor yang datang dengan rencana pertanaman non-tradisi
sesuai rancangan investasi yang baru akan digulirkannya.
2. Atas tuntutan program khusus yang digalakkan pemerintah dalam upaya
merehabilitasi kerusakan bentang lahan peka yang terlanjur dirambah.
3. Atas tantangan peluang pasar ekspor dengan harga menggiurkan karena sedang
terjadi permintaan pasar internasional rutin berjumlah besar.

Di sini istilah komoditi non-tradisi menunjuk perubahan pertanaman tipe


lama menjadi jenis pertanaman yang menghasilkan komoditi baru atas ajakan dan
pengaruh pihak luar, bukan pengaruh godaan yang datang dari dalam komunitas
kaum tani setempat. Faktor penyebab (1) menunjukkan perubahan diinisiasi oleh
calon investor, yang misalnya hendak membuka perkebunan tebu untuk dijadikan
bahan baku pabrik gula atau agro-industri olah-perta tebu (sugarcane agro-processing
industry); jadi berubah dari tradisi pertanaman karet atau lainnya yang sudah
diusahakan turun-temurun.
Faktor penyebab (2) juga merupakan ajakan yang datang dari pihak pemerintah
(Departemen LHK) kepada warga yang aktif berusahatani di dalam kawasan dan
sekitar kawasan hutan yang oleh tindak perambahan. Kebiasaan perambah adalah
tebang kayu berharga komersial lalu bertanam padi ladang dan jagung beralih kepada
pertanaman kopi, atau lada, atau cokelat. Dari sebab pola bertanam tidak berwawasan
lingkungan (7T = tebang-tebas-tunu-tugal-tanam- tunggu-tuai), lahan bukaan
berangsur gersang dan produktivitas pun rendah; lalu area lahan jadi terbuka dan
tidak mendukung keapikan fungsi dan mutu hidro-orologis kawasan. Pemerintah
perlu merehabilitasi dan melakukan revitalisasi kawasan, menyelenggarakan program
perhutanan sosial, yaitu:
Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan Desa (HD), Hutan Tanaman Rakyat
(HTR), Hutan Adat (HA), dan Hutan Kemitraan (HK). Sebagai program,
maka introduksi jenis tanaman yang sama sekali baru tentu mengubah tradisi
pertanaman komunitas perambah.
Faktor penyebab (3) sesungguhnya tantangan yang menggoda keputusan dan
selera para petani tradisional, untuk menjawab peluang pasar untuk jenis komoditi
baru dengan tingkat harga yang lebih menjanjikan. Jenis komoditi minyak atsiri
yang berasal dari tanaman nilam (pogostemon cablin benth), serey wangi (cymbopogon
nardus L), atau juga kumis kucing (orthosiphon aristatus), selain relatif mudah ditanam
dengan intensitas pertanaman dan panen yang tinggi; tentu cukup menggoda.
Akan tetapi, reaksi kemauan para petani pedesaan lebih banyak tergantung pada
keputusan pribadi mereka sendiri, alias kurang dipengaruhi oleh tekanan dari pihak
selain petani. Sifat yang terahir ini tentunya berbeda dari faktor (1) dan (2), walau
ketiganya godaan yang datang dari luar (eksternal) komunitas petani.

BAB 8 | Dengan Karakter Perdesaan 153


Untuk kepentingan pendalaman masalah dan mencari solusi tepat, maka
ketiga faktor tadi memosisikan pelaku usahatani tradisional pemilik persil lahan
agar melakukan KONVERSI pola dan pertanaman pada sebagian atau semua persil
lahan usahatani mereka. Dalam hal ini, arti penting pendalaman patut diarahkan
kepada sasaran berpikir konseptual sebagai berikut.
1. Pada godaan (1) dan (2) bisa terkait soal transaksi jual beli (ganti rugi) persil
lahan milik petani pelaku usahatani tradisional. Lalu dipertanyakan akankah
transaksi jual beli ‘tanah’ itu merugikan petani pemilik, kemudian jadi bagian
dari proses marginalisasi petani sebelum akhirnya pada tingkat generasi anak
mereka hanya bisa tampil jadi buruh tani?
2. Pada godaan (1) dan (2) perlu ditemukan semacam patokan penentu apakah
nilai dan harga transaksi sudah terbilang wajar atau kah merugi dan mungkin
pula bernuansa “ganti untung”; maksud baik ini patut diberi rumus hitung
yang berbobot ilmiah, yaitu sebagai berikut.
a. Rumus hitung atas asumsi dasar persil lahan terus diusahakan petani sejak
kini sampai saat uzur atau ketidakberdayaan dirinya; misalnya dihitung
lewat rumus proksi Ricardian:

NHAL = – Co + Σ [Bt – Ct] x [1+r] –t + Q-T

C = Biaya
Q = Nilai aset sisa di akhir putaran produksi T, atas asumsi
T = (umur harapan) – (rerata umur petani responden)
Di mana:
t = 0, 1, 2, … T.

Sementara itu, nilai sisa sumber daya Q semisal pohon kayu karet tua
yang kini laku dijual, ataupun pohon kelapa sawit yang bisa menghasilkan
alkohol sekitar tiga liter per pohon pasca-penebangan.
b. Rumus hitung atas asumsi dasar transaksi jual lahan bisa jadi pemicu
perambahan kawasan hutan untuk pengganti persil lahan yang terjual,
padahal ekosistem hutan kian kritis mutu dan fungsi hidro-orologisnya.
Maka dari itu, rumus hitung harus peduli nilai potensial persil ekosistem
hutan yang berpotensi hilang. Dengan rumus beda, lalu respons pemda
diharapkan jadi lebih tepat waktu demi ekosistem terjaga fungsi dan
mutunya agar minim risiko rugi terkait bencana alam. Harus dibuat estimasi
potensi nilai penuh persil hutan yang hilang.

NSDHhilang = {Σ(Yi . Vi) + Σ(-QFj . –OBj) + ΣOVk + ΣBVm + ΣEVn} [1+r]-T

154 Ekonomi Pertanian


QF = Qualitas Fungsi SDL
OB = Ongkos Bencana terkait
OV = Optional Value SDA
BV = Nilai Kewarisan SDA d
EV = Nilai Keberadaan SDA-khas

Oleh sebab itu, asumsi kedua ini mewaspadai bumerang NSDH, dengan
cara membuat prakira nilai bersih persil hutan jika dijadikan persil lahan
usahatani (NHAL) yang akan didapat petani bila merambah, sehingga
NBPH = NHAL – NSDHhilang; dan diduga kuat, NBPH < 0.

3. Pada godaan (2) dan (3) ada unsur kesamaan antara keduanya, yaitu sama-
sama rapuh dan sulit bertahan lama; karena pada (2) maupun (3) komitmen
pribadi petani bisa luntur jika terjadi penurunan harga dan nilai manfaat total
dari keikut-sertaan pada ajakan pemda atau godaan pasar merebut peluang lain
yang mungkin sedang muncul, dan dapat diupayakan merebutnya dengan modal
uang dari transaksi jual persil lahan. Konsekuensinya adalah upaya pembinaan
harus diberikan kepada para pemilik lahan agar pasca-jual lahan bisa menjadi
bijak dan lebih produktif dalam mendayagunakan uang pengganti persil setelah
mereka dapatkan.
4. Pembeda (2) dan (3) ada unsur tampilannya; tampak petani penjual lahan
pada kondisi (3) tidak harus aktif produktif. Pada kondisi (1) komitmen petani
yang berpartisipasi bisa cepat luntur apabila tak ada pengawasan dan pantauan
rutin dari pemerintah. Konsekuensinya, perlu diadakan upaya pembimbingan,
yang terkait pelanggaran aneka peraturan pemerintah tentang pembangunan
berwawasan lingkungan. Tentu upaya bina UMKM ini harus mengingatkan agar
pasca-jual lahan mereka jadi bijak dan justru lebih produktif mendayagunakan
uang pengganti yang didapatkan.

Daftar Bacaan Lanjut


Kasryno, F. J.F. Stepanek. 1985. Dinamika Pembangunan Pedesaan. Yayasan Obor
Indonesia. Jakarta: PT Gramedia.
Jayadinata, J.T. 1986. Tata Guna Tanah dalam Perencanaan Pedesaan, Perkotaan dan Wilayah.
Bandung: ITB Press.

BAB 8 | Dengan Karakter Perdesaan 155


[Halaman ini sengaja dikosongkan]
BAB

9
DI LINGKUNGAN PERKOTAAN

9.1 Peran Agribisnis Kekotaan Pemacu Hilirisasi


Catatan untuk
penulis: 9.2 Peran Agroindustri Rumahan Pemicu Hilirisasi
apakah 9.3 Peran Aktif PKK Kelurahan Pemaancik Hilirisasi
penulsannya
benar 9.4 Peran Area SUPK Perkotaan Penunjang Hilirisasi
“pemaancik” 9.5 Peran Aksi Petak Percontohan Ipteks Hilirisasi
seperti ini?

Ekonomi Pertanian: Di Lingkungan Perkotaan


Kondisi perkotaan bagi aneka hasil pertanian dan produk olahan tentu punya
keunggulan, karena lebih banyak jumlah konsumen bermukim di kota. Warga kota
juga boleh dikata berpendapatan rutin yang lebih berkepastian, sehingga daya beli
merekapun relatif lebih tinggi. Lebih dari itu semua, warga kota mudah tertekan oleh
krisis bahan pangan yang sewaktu-waktu terjadi. Sebaliknya warga perdesaan akan
lebih leluasa berupaya memanfaatkan alam sekitar mereka yang tentu selalu memiliki
sesuatu yang dapat didayagunakan untuk mengisi kebutuhan hidup secara gratis.
Atas dasar perbedaan keadaan itu maka di perkotaan ada potensi pasar yang relatif
selalu siap menerima kiriman pasar dari perdesaan. Walaupun begitu kondisi perkotaan
cepat atau lambat akan semakin mendekat ke desa-desa yang semakin terbangun

157
prasarana perhubungannya. Artinya potensi suplai hasil tani perdesaan akan berkurang
jumlahnya sedangkan jumlah orang yang membutuhkan komoditi usaha tani itu semakin
banyak dan saling berebut di desa-desa penghasil. Asumsi yang terkesan kelabu ini tak
patut diremehkan oleh warga perkotaan, melainkan perlu langkah-langkah antisipasi
dan penyesuaian yang perlu dibuat sebelum serba terlambat.
Berpangkal tolak dari argumentasi itu pula maka sejak awal abad ke-21 ini
telah mulai berkembang teori usaha tani perkotaan (urban farming). Tidak terkecuali
di negeri subur dijuluki ‘bak untaian zamrud di zona khatulistiwa’, maka isu
usaha tani perkotaan harus mulai dikajiterapkan. Pendekatan sama dengan pola
usaha tani pedesaan boleh saja diteruskan walau dengan prinsip pendayagunaan
prasarana dan sarana agak berbeda. Pengenalan teknologi pertanian minim lahan
terutama pertanian hidrophonic dan aerophonic perlu ditemukan rahasia teknis dan
manajemen unggulnya.
Pendekatan usaha rumahan yang bersifat sambilan atau juga pola usaha
kemitraan yang sengaja memanfaatkan prasarana kelurahan semisal tim PKK dan
organisasi Karang Taruna, sepatutnya tidak lagi berpola asalan dan hobi melainkan
kian berbasis satuan agribisnis kekotaan. Warga kota di tiap sudut wilayah
administrasi RW juga RT harus terbiasa memanfaatkan ruang sempit horizontal
maupun vertikal pada setiap bangunan beton yang terpaksa sempit dan butuh
sirkulasi udara yang pasti terkait suhu optimal pertanian.

9.1 Peran Agribisnis Kekotaan Pemacu Hilirisasi


Ketergantungan manusia yang hidup di perkotaan terhadap komoditi segar
didatangkan dari pedesaan tidak mungkin tergantikan oleh produksi usaha tani di
kota, khususnya jika kebutuhan itu bersifat rutin dalam jumlah besar. Begitulah
kodratnya hubungan kota dengan desa otomatis terbina lewat kegiatan produksi
aneka hasil pertanian. Di antara jenis komoditi yang sangat dibutuhkan konsumen di
kota dan harus diproduksi di desa adalah jenis kacang kedele (bahan tempe), kacang
tanah (untuk aneka kuliner), jagung, ubi, dan padi (untuk pakan dan makanan),
biji kopi (bubuk minuman).
Akan tetapi untuk kondisi kota ada aneka jenis pertanaman dapat dilakukan di
rumah-rumah yang punya sedikit luasan tanah atau bahkan punya sekadar ruang
tak bertanah. Jika bangunan rumah masih punya sedikit ruang bertanah, maka ada
dua kelompok pendekatan olah tani, pertama yaitu:
1) Bertanam dalam pot-pot berisi tanah yang digemburkan dengan pupuk organik
sebagai amelioran agar tambahan sedikit pupuk NPK jadi tersedia lebih efektif
oleh mudah diserap tanaman.

158 Ekonomi Pertanian


2) Bertanam dalam kantong-kantong plastik yang diisi media campuran sedikit
tanah gembur ditambahkan pupuk organik dan dapat disusun di atas rak kayu
guna bertanam jenis jamur.
3) Bertanam langsung di tanah sempit dengan kombinasi beberapa jenis tanaman
yang diatur sistemik bersifat tanaman campuran dan tumpang-sari, ataupun
tanaman kerdil cepat berbuah.

Jika tidak ada sedikit pun ruang bertanah karena bangunan rumah berupa
apartemen, maka ada cara lain yang bisa dilakukan, yakni cara vertikal dan cara
horizontal. Ini tentang pertanian kota bertapak rumahan guna menghasilkan
komoditi yang kira-kira dibutuhkan di perkotaan. Ini dapat diarahkan untuk jadi
penambah bahan baku agroindustri dari desa, sekaligus sumber pendapatan warga
kota yang hidup di sekitar garis kemiskinan kelompok, kedua yaitu:
1) Bertanam pola vertikal dengan sistem aerophonic, bisa berbasis uap air campur
hara, juga susunan pot untuk tanaman pemanjat (misal, sirih Piper battle, R;
cincau Cocculus orbiculatus, markisa Passiflora edulis).
2) Bertanam pola horizontal sistem hidrophonic; yang sifat tanamnya bermedia air
dalam wadah plastik disusun berlapis pada penyangga bertiang kayu (seledri
Apium graveolens; daun bawang Allium fistulosum).
3) Bertanam pola horizontal sistem aqua kultur diberi busa terapung atau deretan
pot plastik terhubung oleh pipa atau selang penyalur air bagi jenis sayuran
(sawi caisim =Brassica spp) diayomi pepohon dalam pot.

Terkait dengan ini, bisa pula dibuat kegiatan pertanian kota lain yang dapat
digerakkan dan diatur jadi pasar penampung bagi berbagai hasil pertanian kota
berbasis rumahan itu. Demikian masih ada lagi tiga pasal lain yang bisa dijadikan
sasaran bina kemajuan pertanian perkotaan. Berikut dimaksudkan keberadaannya
jadi kesempatan membuka pasar, pasti bagi hasil-hasil kegiatan pertanian rumahan
perkotaan. Ketiga pasal sasaran itu adalah:
1) Pertamanan kota, baik yang berstatus RTH atau Ruang Terbuka Hijau, lingkar
persimpangan jalan, marka jalan, dan beberapa TPU atau tempat pemakaman
umum;
2) Penghijauan lorong kota, simbol pertanaman di muara masuk dan ke luar
setiap lorong yang lebarnya lebih dari 2 meter, biasa terkesan gersang tanpa
tumbuhan.
3) Pertanaman penguat bantaran kanal dan anak-anak sungai, perlu akar pepohonan
buah agar jadi pencegah erosi bantaran dan sumber dana bagi warga sekitar.

BAB 9 | Di Lingkungan Perkotaan 159


Terkait dengan poin 1, yaitu pertamanan kota, tentu saja punya tradisi pelimpahan
kerja dari Pemerintah Kota (Pemkot) kepada pihak kontraktor. Pola yang sudah
mentradisi ini hanya perlu ditambah sedikit aturan agar juga aktif menunjang
program pertanian kota di tingkat rumahan. Berkenaan isu poin 2 tumbuhan hijau
harus jadi pemancik kesadaran lingkungan warga agar peduli keasrian dan kebersihan
lingkungan, juga untuk kota-kota di kawasan pesisir yang padat hunian, maka gerakan
tanam pohon ini diharapkan berguna untuk memperlambat proses subsidensi lahan
di kawasan berketinggian <10 mdpl. Sedangkan poin 3 amat perlu untuk menata
keindahan dan keasrian pinggiran kiri dan kanan setiap kanal dan anak sungai, guna
menghindarkan okupasi warga dan biasanya akan membelakangi jalur perairan,
sehingga perkembangan demikian memacu kebiasaan buang sampah ke alur perairan.
Tentu pula semua bentuk kegiatan pertanian kota yang diterangkan di atas
perlu dikembangkan secara sistemik, yang berarti masing-masing bentuk kegiatan
harus terpola saling menguatkan satu sama lain dengan sendirinya. Hal itu bisa
jadi kenyataan jika ada manfaat sosial ekonomi dan manfaat geofisik yang nyata
dirasakan oleh para pihak, baik bagi mereka yang terlibat secara langsung maupun
tidak langsung. Tentunya hal terakhir ini mengisyaratkan lagi betapa pentingnya
perencanaan berpola THIS (Tematik-Holistik-Integratif-Sistemik) dikelola; melalui
kesungguhan petugas dengan kepemimpinan yang memang visioner ingin membawa
daerah dan warganya maju terdepan.
Secara pragmatik rancangan program yang sudah terencana baik pasti harus
dieksekusi, sekalipun itu bisa digarap oleh satu OPD sektor pertanian Kota
namun satuan tugasnya harus pula melibatkan tim PKK kelurahan dan desa di
bawah koordinasi pengurus Dharmawanita. Kegiatan pertanian primer kekotaan
bersambung ke agroindustri rumahan pasti harus diarahkan untuk memacu tumbuh
kegiatan produktif di kalangan kaum ibu bersama anggota keluarga mereka. Terlebih
sulit lagi jika sasaran lokasi akan tertuju pada BWK (Bagian Wilayah Kota) yang
semakin menampakkan gejala kumuh.
Bersamaan dengan itu diharapkan akan terpicu pula hilirisasi untuk komoditi
yang berdatangan dari desa-desa melengkapi bahan baku dari apa yang sudah ada
dan dihasilkan dari geliat kehidupan pertanian Kota sendiri. Suatu proses hilirisasi
yang sekadar mengaktifkan peran agroindustri olah-perta rumahan dengan produk
popular seperti tempe, tahu, kerupuk, dan aneka penganan jajanan tentu tidak
sedikit perannya menciptakan lapangan kerja juga transaksi perputaran uang di
daerah secara keseluruhan. Hilirisasi berbasis penggunaan teknologi pengolahan
tepat guna dan teknologi unggul di tingkat pertanian primer adalah proses yang
sudah seharusnya kian memperkuat keberadaan UMKM agribisnis kemitraan dan
agroindustri rumahan di semua penjuru kota dan ibu kota kabupaten tetangga.

160 Ekonomi Pertanian


Perkembangan kegiatan ekonomi pertanian di kota dan ibu kota kabupaten
yang demikian itu tentunya membuka peluang hadirnya aneka sumber-sumber baru
penyumbang PAD. Efek positif pertama tentu membuka lapangan kerja sekaligus
menekan tingkat kemiskinan serta kasus-kasus kriminalitas sosial. Selain itu secara
fisik akan meningkatkan kebersihan kampung dan mengurangi berbagai sumber
penyakit. Ini juga interaksi ekonomi yang sifatnya menarik seporsi uang dari nilai
prestasi warga pelakunya berupa pajak dan retribusi. Lalu peningkatan PAD terjadi,
dan pada gilirannya terjadi proses balik penyaluran dana diberikan kepada warga
dalam bentuk aneka perangkat teknis yang mereka butuhkan demi kemajuan dan
kesejahteraan lebih tinggi.
Arus perputaran dana yang sifatnya “beri-tarik” dan “tarik-beri” seperti inilah
yang seharusnya terjadi di setiap kecamatan yang konsisten bersungguh-sungguh
membangun perekonomian rakyatnya. Tidaklah terpuji kalau kepala daerah hanya
tertarik dengan urusan jual-beli tanah perkotaan yang terus akan meningkat nilai
rente ekonominya, tapi sama sekali tidak perduli pada masa depan nasib dan harkat
ekonomi rakyat yang dipimpinnya.
Dengan cara itu pula maka gerak pembinaan pertanian urban di suatu kota
sesungguhnya juga otomatis jadi persiapan jangka panjang bagi upaya penguatan
ketahanan pangan masa depan warga kota bersangkutan. Justru upaya seperti ini
sudah jadi sasaran kepedulian banyak negeri maju, sekalipun jumlah dan tekanan
penduduk terhadap SDA yang mereka miliki tidak juga sebesar yang dihadapi oleh
negeri-negeri di Asia Tenggara. Isu goncangan perekonomian negeri oleh adanya
bencana alam dadakan maupun yang tak terduga juga tak terelakkan semisal La
Nina yang memacu kemarau panjang atau juga akibat kasus pandemi (C-19) yang
bisa mengguncang dunia serta menghambat gerak produktif penduduk, semuanya
jangan sampai membuat banyak orang mati konyol atas kelengahan mereka.
Melalui pengalaman panjang dipastikan akan banyak hikmah pelajaran yang
didapatkan. Lalu tepat pada waktu yang paling kritis sekiranya nanti datang maka
ketika itu semua jenis upaya yang diperlukan sesungguhnya pula telah dalam
genggaman tangan. Langkah antisipasi penting dirancang dengan sebaik-baiknya,
apalagi hal itu jelas memenuhi isyarat bijak dari petuah leluhur “Sekali Merangkuh
Dayung Empat Hingga Lima Pulau Dilampaui”. Demikian ini perlu pertimbangan
menyeluruh juga terpadu dan sistemik. Ketiga pasal sasaran pertanian urban tadi
harus dibuat daftar unit-unit sasarannya yang ada di setiap wilayah kota dan tiap
ibu kota. Keberadaan agroindustri rumahan yang sudah ada di tiap wilayah bersama
status hilirisasi yang sedang berjalan, berapa saja yang organik dan berapa pula
berstatus kontrak. Faktor-faktor kondusif pendukung maupun penghambat harus
teridentifikasi.

BAB 9 | Di Lingkungan Perkotaan 161


Bayangkan jalan panjang proses Risteks-inovatif dan laju proses hilirisasi yang
sesungguhnya perlu dilakukan sejak dini sebagai langkah antisipasi jauh terhadap
keadaan krisis kepanganan, dan pihak pemda sudah sepatutnya aktif memfasilitasi
prasarana dan sarana Inforkom canggih serta mendayagunakan SDM yang tepat
untuk itu. Target jangka panjang adalah penyiapan jalur cepat serta sarana inovasi
yang cermat bagi ketersediaan aneka pangan olahan dan penganan yang tahan lama
untuk bisa dikirim hingga jarak yang jauh sekalipun. Akan tetapi target antara
adalah rekayasa keadaan ekonomi yang mencipta banyak lapangan kerja, banyak
jenis transaksi niaga, menaikkan pendapatan anak bangsa tanpa memperparah
tingkat kesenjangan ekonomi antardaerah, khususnya antarlapisan masyarakat.
Proses pembangunan yang seperti ini dipastikan akan besar pengaruh positifnya
bagi monetisasi daerah.

2.1 Peran Agroindustri Rumahan Pemicu Hilirisasi


Pembahasan konseptual teoretis tentang pembinaan produksi pertanian perkotaan
telah diberikan pada sub-Bab 9.1 sebelum ini. Inti bahasan yakni prihal tuntutan
keadaan geofisik permukiman dan sosial ekonomi penduduk kota atau ibu kota
kabupaten yang menghendaki pola pertanian kekotaan patutnya dibedakan dari
pola yang biasa dijumpai di kawasan perdesaan. Di tiap kota dan ibu kota idealnya
kegiatan pertanian lebih berhemat lahan dan sekaligus memenuhi misi tambahan
lain yang mengedepankan kepentingan orang banyak bahkan kepentingan negeri,
sehingga lima ciri kinerja pertanian kekotaan berikut ini memang perlu ada di suatu
kota dan ibu kota.
1) Kota dan ibu kota perlu ruang ekosistem dan agroekosistem sayur-mayur dan
ternak yang sehat lingkungan dan berpola satuan agribisnis.
2) Kota dan ibu kota menuntut bagian wilayah dengan tapal batas kewilayahan
selalu hijau guna meretas kesan asal-bangun dan jadi kumuh.
3) Kota dan ibu kota patutnya memiliki basis wanatani ‘satuan usaha perhutanan
kerakyatan kekotaan’ (SUPK-K) sebagai sumber PAD-nya.
4) Kota dan ibu kota mengantisipasi krisis bahan bakar bagi lokasi pinggiran yang
tak dijangkau prasarana, sewaktu-waktu amat diperlukan.
5) Kota dan ibu kota merespons petunjuk nasional agar pemda siaga membangun
berwawasan lingkungan, peduli hijau (green development).

Tiga ciri kinerja poin 1, 2, dan 3 sangat terkait dengan peran hilirisasi yang akan
lebih menjamin raihan laba dan juga nilai tambah di kalangan pelaku usaha bidang
pertanian. Ciri poin 1, tentang satuan agribisnis yakni bukan satuan usaha tani
tradisional dan bukan pula sekadar usaha pengisi waktu bagi yang hobi bertanam.

162 Ekonomi Pertanian


Terkait posisi yang berlabel kota dan ibu kota, maka pertanian kota sepatutnya jadi
upaya pionir cipta lapangan kerja dan sumber pendapatan bernas bagi warga kota
termasuk wilayah belakang dari ibu kota kabupaten terdekatnya. Dengan sasaran
ideal ini, lalu kehadiran agroindustri rumahan bisa saja jadi titik awal perkembangan
UKM agroindustri olah-perta di kota. Untuk kemudian jadi yang lebih besar dan maju
maka diarahkan agar menempati suatu area kawasan industri yang ada atau bakal ada
sesuai rencana. Dengan cara demikian maka proses hilirisasi yang mengisyaratkan
adanya hubungan kontrak antara produsen primer penghasil bahan baku bagi pelaku
usaha agroindustri olah-perta akan terjadi lebih mudah. Ini akan jadi perangsang
tumbuh satuan agroindustri kekotaan, sebab ketika jadi UKM maka agroindustri
itu butuh pasok bahan baku lebih banyak lagi dari desa sekitar.
Selanjutnya ciri poin 2 tentang kawasan tapal batas antarwilayah administrasi
suatu kota terhadap satu atau lebih kabupaten terdekat dan saling berbatasan,
dan kawasan perbatasan itu terjaga lestari hijau tapi produktif bagi kesejahteraan
warga. Bukan sebagai lahan tidur, namun dijadikan sebagai lahan produktif yang
setidaknya berupa tempat wisata kamping jika fungsi lindung padanya dirasa juga
penting. Bisa juga sebagai kawasan agrowisata dilengkapi usaha bertipe kebun
perkotaan dan petak-petak usaha tani tanaman sayur-mayur yang bisa dijadikan
sasaran ‘panen di tempat’ oleh para wisatawan pengunjung yang datang dari jauh
maupun dari wilayah sekitar.
Meskipun di kawasan pinggiran kota, akan tetapi kondisi Bagian Wilayah Kota
(BWK) yang terjaga hijau lestari tapi produktif demikian itu tentu akan jadi tempat
pemasaran produk agroindustri makanan yang berkembang pada poin 1 tadi. Dalam
perkembangan yang berlangsung demikian, tentu proses hilirisasi tersebut tadi
mendapatkan faktor pemacu tambahan. Pola simbiosis mutualisme antara pihak
UKM agroindustri di kota dan UMKM pertanian primer di banyak desa-desa dalam
wilayah kabupaten terdekat akan terjadi cantik dengan sendirinya. Kondisi yang
kondusif demikian tentu tidak sedikit akan membuka lapangan kerja baru informal
seperti pedagang asongan, kuli bongkar muat, tukang parkir, pelayan restoran, serta
pramuria dan penyedia jasa lainnya.
Pada ciri poin 3 tentu akan dihasilkan pula aneka kayu pertukangan jenis cepat
hasil dan ringan. Komoditi kayu demikian jika terus diatur produksi dan fungsinya
sebagai penyejuk suhu kota, dan garda lindung-badai, juga sebagai penangkap air
hujan serta juga penangkal subsidensi tanah setelah mengalami kehilangan geopori
akibat pengaspalan dan pelantaian beton. Dengan adanya tanaman kayu cepat
tumbuh tentunya akan memicu tumbuh agroindustri kayu pertukangan ringan
untuk peralatan dapur dan kamar anak-anak, serta kursi dan bangku sekolah, yang
kesemuanya memicu-pacu dampak positif.

BAB 9 | Di Lingkungan Perkotaan 163


Ketiga pola perkembangan ekonomi kerakyatan itu jelas sumbangsihnya bagi
pertumbuhan ekonomi berwawasan kota dan ibu kota hijau tanpa menghambat
proses monetisasi atau perputaran uang mengikuti rantai kegitan ekonomi produktif.
Perancangan program pembangunan yang berpola THIS (Tematik-Holistik-Terpadu-
Sistemik) setidaknya amat realistik untuk dilakukan oleh pemda. Lalu terkikislah
pameo “teori tidak diperlukan dalam kegiatan praktik”, karena cara pikir pendek
demikian faktanya justru hanya merepotkan pemda mengurus aneka masalah
sampingan yang tidak perlu terjadi.

9.3 Peran Aktif PKK Kelurahan Pemancik Hilirisasi


Satuan usaha agribisnis kekotaan harus berlanjut ke satuan agroindustri rumahan
dan berkembang maju ke taraf UKM kemitraan juga dalam kerangka hilirisasi.
Ini tentunya untuk wilayah perkotaan perlu pembinaan dengan melibatkan tim
PKK kelurahan. Dengan cara begitu bisa diharapkan akan banyak ibu-ibu rumah
tangga di tingkat RW yang terpikat untuk aktif berperan serta. Pengembangan
kegiatan pertanian dan pertumbuhan satuan agroindustri rumahan di lingkungan
kelurahan yang bukan sekadar untuk hobi dan bukan pula untuk mengulangi
program pertanaman TOGA (= Tanaman Obat-obatan Keluarga) 1990-an hingga
awal 2000-an. Sasaran sub-Bab 9.3 ini justru lebih tertuju pada upaya monetisasi
daerah dengan pola pembangunan strategis bawah-unggak (bottom-up), alias berawal
dari akar rumput.
Sesungguhnya di setiap desa dan kelurahan sudah tersedia prasarana yang
berharga dan di antaranya yaitu organisasi PKK dan organisasi Karang Taruna
yang jadi penopang organisasi pemerintahan desa yang ditokohi oleh kades dan
ketua DPD. Dua perangkat desa itu adalah infrastruktur yang memang sudah
sejak lama punya pengaruh terhadap warga desa dan kelurahan, dan oleh sebab itu
maka efektivitas program pembangunan pertanian di lingkup perkotaan akan lebih
efektif jika mendayagunakan infrastruktur sosial tersebut. Pertanaman TOGA yang
pernah digarap regu PKK tentu merupakan pengalaman berharga bagi kegiatan
bina pertanian kota yang lebih bersifat komersil itu. Kelancaran program yang akan
melibatkan ibu-ibu dalam lingkup RW tentunya akan sangat tertolong jika tim OPD
mendayagunakan tim PKK.
Dalam sub-Bab 9.1 dan 9.2 arti penting perlibatan tim PKK dalam soal
pengembangan usaha agribisnis dan agroindustri sudah sempat disinggung. Di
sub-Bab 9.3 ini peran tim PKK sengaja dihubungkan dengan prihal hilirisasi.
Logika dasarnya tentu berkaitan dengan keahlian kaum ibu dalam urusan kuliner.
Pengenalan jenis kue khas dan menu khas kelompok etnis tertentu yang telah
bermukim di kota atau ibu kota adalah potensi ekonomi yang masih banyak

164 Ekonomi Pertanian


terpendam. Kekhasan resep suatu jenis menu makan dan penganan kampung tentu
akan berpotensi untuk mempunyai banyak konsumen yang merindukan. Guna
mengelola proses produksi berskala satuan agroindustri dengan sasaran memasok
pasar lokal ataupun kabupaten dan provinsi, maka perlu pelembagaan satuan usaha
sebagai upaya taktis keberhasilan pemasaran. Taktis berarti bersifat memudahkan
pencapaian sasaran transaksi jual-beli.
Hilirisasi berstruktur organik dan hilirisasi berstruktur kontrak sengaja
dibedakan di dalam buku ini. Keduanya dalam perspektif ekonomi kerakyatan dan
akan dirasakan berguna untuk dibahas sebelum dihubungkan dengan peran strategis
tim PKK kelurahan yang jadi topik bahasan di dalam subbab ini. Pertama-tama
perlu diingatkan lagi uraian dalam sub-Bab 1.4 di bagian awal buku ini, bahwa
hilirisasi sengaja dibedakan dari proses inovasi suatu satuan usaha. Hilirisasi selalu
sifatnya menghubungkan suatu satuan usaha agribisnis di hulu dengan satuan
usaha lain selaku agroindustri penghasil produk olahan. Jika kedua satuan usaha
milik pengusaha yang sama, maka ini disebut hilirisasi berstruktur organik, sebab
bersifat mengembangkan suatu satuan usaha hulu yang masih nihil inovasi. Jika
kedua satuan usaha bukan milik pengusaha yang sama dan juga berbeda tapak lokasi
kegiatan, maka transaksi bisnis keduanya harus diawali perjanjian kontrak. Inilah
hilirisasi berstruktur kontrak.
Di kota atau kawasan urban akan lebih mudah tumbuh banyak satuan usaha
agroindustri rumahan karena di sana berkumpul banyak konsumen aneka jenis
produk pangan olahan selain juga komoditi segar. Selama ini bahan baku agroindustri
banyak didatangkan dari perdesaan dan dari kawasan pinggiran kota. Pada gilirannya
nanti ketika pertanian urban bertumbuhan di wilayah kota, maka tersedia satu
faktor baru lagi ikut jadi pemicu hilirisasi. Bentuk hilirisasi organik atau pun
hilirisasi berstruktur kontrak sama-sama berpeluang untuk terpicu-pacu tumbuh
di suatu kota. Sebagaimana yang banyak terjadi selama ini produk olahan seperti
tempe-tahu yang diproduksi di kota kebanyakan menggunakan bahan baku kedele
yang dihasilkan di desa, selain juga menggunakan kedele impor. Jenis penganan
kripik pisang, kripik singkong, kripik ketela umumnya menggunakan komoditi yang
dihasilkan di kawasan pinggiran kota. Proses hilirisasi ini rata-rata tidak terencana,
dan agroindustri rumahan juga musiman sehingga hilirisasi berstruktur organik.
Berkenaan dengan sifat bisnis yang tidak terencana dan serba kebetulan itu
maka keberadaan pelaku usaha mudah timbul dan tenggelam dan tidak jelas arah
perkembangannya jika dikaitkan dengan program cipta lapangan kerja dan entas
kemiskinan di wilayah kota. Oleh karena itu pula amat sering terdengar keluhan
OPD pertanian kota, terkait kesulitan membuat program berbasis APBD. Padahal
jika citra pertanian-urban dikembangkan berbeda dari pertanian perdesaan, maka

BAB 9 | Di Lingkungan Perkotaan 165


satuan usaha agribisnis dan agroindustri akan berkembang lebih beraneka membawa
aneka dampak positifnya.

9.4 Peran Area SUPK Kekotaan Penunjang Hilirisasi


Istilah SUPK diperkenalkan oleh penulis pada tahun 2010, yakni sebagai satu konsep
terapan untuk menggalakkan pertanaman kayu berpola satuan usaha agribisnis
hutan tanaman yang mengedepankan upaya kerakyatan. Konsep SUPK itu lahir
dari upaya melibatkan warga sekitar satu perusahaan HTI untuk ikut melakukan
pertanaman kayu; yakni disebut MHBM (Mengelola Hutan Bersama Masyarakat)
jika di lahan dalam konsesi, dan disebut MHR (Mengelola Hutan Rakyat) jika
bertanam kayu yang sama di luar konsesi pada lahan milik warga. Penulis 3 tahun
(1997–2000) berperan sebagai penasihat lapangan bagi warga dan perusahaan
HTI tersebut, di samping juga sempat melakukan kajian sosial-ekonomi di tiga
kecamatan di mana perusahaan yang sama berkiprah pada tahun 2005“2008 dan
banyak hikmah pelajaran didapat lalu lahir konsep umum SUPK (Satuan Usaha
Perhutanan Kerakyatan).
Secara umum konsep SUPK bisa digunakan pada satuan usaha produksi
pertanian apa pun yang berbasis tapak lahan di mana pun. Upaya riset aksi tadi
sempat memicu penulis membuat generalisasi konsep SUPK guna menekan
potensi konflik kepentingan antara pihak perusahaan dan warga yang merasa
sedang terdampak. Banyak kasus konflik menuntut hak penguasaan atas lahan
yang diberikan kepada pihak perusahaan. Aneka konflik juga bermula dari dampak
lingkungan datang dari aktivitas perusahaan (perkebunan sawit, HTI, dan Pertamina
dan perusahaan pengeboran migas lainnya).
Akan tetapi dalam subbab ini, konsep SUPK itu menemukan bidang terapan
terbaru dan patut diberi penamaan SUPK-Kekotaan, karena sasaran kelola dan
sasaran manusia pembangunan yang harus digerakkan sungguh berbeda dari sasaran
program SUPK untuk kawasan perdesaan dan kawasan khusus seperti hutan lindung
dan hutan konservasi. Setidaknya konsep SUPK-K ini bisa dihubungkan dengan
dua sasaran, yaitu: (1) manajemen BWK zona hijau yang ada di dalam ataupun
di pinggran kota; (2) manajemen marka jalan yang diberi deretan pertanaman
peneduh. Keduanya juga menghasilkan semacam HBK-HT (Hasil Bukan Kayu-Hutan
Tanaman). Kedua sasaran SUPK-K ini jadi menarik karena bisa dihubungkan kepada
kegiatan usaha pertanian perkotaan, baik satuan produksi agribisnis primer maupun
satuan agroindustri dalam rangka menunjang proses hilirisasi. Ini terutama relevan
ketika disadari bahwa banyak jenis produk yang butuh peran tumbuhan peneduh,
maupun penyedia bahan baku dan energi bersumber tumbuhan kayu.

166 Ekonomi Pertanian


Tentang BWK (Bagian Wilayah Kota) zona hijau, tentu populasi aneka spesies
tumbuhan yang sengaja ditanam terbagi tiga bagian yang terbilang sebagai berikut:
1) jenis pertanaman tahunan penghasil HBK; 2) jenis pertanaman SDOR (Sumber
Dana Operasional Rutinitas) dan; 3) Jenis pertanaman SDOT (Sumber Dana
Operasional Terencana). Terkait dua hal disebut terakhir ini tentu akan sangat
menarik perhatian bagi pihak Dharma Wanita (DW) unit pemkot dan juga menarik
perhatian DW unit pemkab. Dari itu ada tiga hasil produksi yang didapat dari zona
hijau selaku BWK produktif.
Adapun potensi dana operasional poin 2 dapat diatur dengan mengambil petak
lahan seluas 0.25 ha untuk cabang usaha Agrotrisula (terdiri dari “sayur-cepat,
ternak-cepat, ikan-cepat” dengan pola organik tanpa limbah terbuang). Pertanaman
ini diatur jumlah petak dan waktu tanamnya agar masing-masing dipanen harian,
mingguan, dan dua mingguan, sehingga satuan usaha SUPK-K bisa memiliki sumber
dana-tunai bernilai sekitar Rp15juta/bulan; dan nilai ini untuk mencukupi belanja
teknis operasional dan gaji bulanan pekerja dan tim khusus DW pengelola semua
sub-unit SUPK-Kekotaan.
Selanjutnya potensi dana operasional poin 3 secara terencana diatur mengalir
dari cabang usaha tanaman peluang semisal tanaman sereh wangi (Cimbopogon
nardus), tanaman kumis kucing (Orthosiphon aristatus), ataupun jenis nilam
(Pogostemon cablin) untuk bahan minyak atsiri dan dipilih yang paling cocok dengan
lokasi serta yang potensial menguntungkan. Ini dinamakan tanaman peluang karena
dua alasan, yaitu: (a) relatif terjamin pasarnya sebagai minyak atsiri untuk ekspor,
serta; (b) rata–rata produksi dari tapak usaha tipe poin 3 yang dikelola langsung
bisa memicu pembangunan pabrik minyak atsiri skala pionir. Skala menengah
nanti bisa dibangun agar dapat menampung bahan baku dari warga yang tertarik
ikut bertanam.
Demikian dengan program kelola usaha pertanian perkotaan dan khususnya
melalui program SUPK-K di zona hijau kota dan ibu kota tentu bisa menjaga potensi
lingkungan dalam keasrian mutu dan keaktifan fungsi ekologisnya, sesuatu yang
amat positif terhadap kenyamanan wilayah kota. Lebih dari itu olah komoditi
pertanian cepat berkembang berupa hilirisasi berstruktur organik dan bisa
terus maju jadi hilirisasi berstruktur kontrak. Programnya bisa mendapat faktor
percepatan lewat peran aktif tim PKK bersama pengurus DW unit Pemkot juga
Pemkab. Bersama warga di lingkup wilayah belakang yang luas, maka orientasi
pasar agribisnis dan agroindustri lebih mudah dipacu.

BAB 9 | Di Lingkungan Perkotaan 167


9.5 Peran Aksi Petak Percontohan Ipteks Hilirisasi
Berbicara tentang inovasi ataupun hilirisasi, ada satu aksi pokok dan mendasar
harus dihidupkan di setiap kota dan ibu kota, yaitu riset tiada henti dalam rangka
menemukan paket invensi yang bersifat unggul teknologis, dan handal manajemen,
serta sesuai dengan kondisi daerah setempat. Kegiatan kajian ini sepatutnya
dilakukan oleh tiga jenis institusi, yaitu: (1) LPPM pada perguruan tinggi yang
biasanya sudah ada di hampir setiap kota dan ibu kota kabupaten; (2) stasiun lokal
dari suatu LPND (Lembaga Pemerintah Non-Departemen seperti Organisasi Riset
BATAN LIPI) atau dari suatu kementerian, yakni seperti LP-Perkebunan Karet,
dan lain sejenisnya; (3) divisi penelitian terapan suatu BUMN seperti yang ada
di PT Pusri, walaupun tidak juga jarang terjadi yang terdeteksi lewat acara lomba
Ristek-inovatif tahunan terkait karya monumental siswa dan guru pembimbing di
tingkat SMTA.
Sebagai paket invensi yang baru, maka uji coba kesesuaian lapangan perlu
dilakukan sebelum segala sesuatunya diyakini siap untuk diteraptularkan kepada
warga pada umumnya. Dengan asumsi realistik tentang adanya ciri khas biogeofisik
dan sosio-antropologis setiap daerah kabupaten ataupun kota, maka suatu paket
invensi perlu diuji coba hingga dijalani beberapa kali siklus produksi pada petak-
UCA (Uji Coba Adaptasi atau “test farm”). Sesudah didapatkan pola terapan
yang terbaik (terukur dari produktivitas hasil dan efisiensi biaya; juga terlihat
dari intensitas pertanaman yang ideal) maka paket invensi boleh dipakai warga
masyarakat. Selanjutnya tepat guna petak UCA baik dilanjutkan guna memantau
efek perubahan kondisi makro wilayah dan pergeseran perilaku iklim global.
Tentu baru satu tahapan proses inovasi dilangsungkan hingga pada fase kegiatan
ini. Selanjutnya tahapan inovasi masih harus diteruskan dengan teknik dan pola
olah komoditi untuk dijadikan produk agroindustri. Idealnya hal itu dilakukan di
setiap kota dan ibu kota di seluruh penjuru nusantara dalam rangka menyambut
peluang emas yang tampil ketika nantinya bangsa lain mengharap banyak dari
peran agribisnis negeri ini. Ribuan jenis masakan kuliner yang ada di setiap sudut
nusantara sangat jelas basis utamanya adalah puluhan ribu tumbuhan rempah-
rempah menyertai begitu banyak ragam fauna dan flora khas masing-masing
daerah. Proses transformasi setiap jenis kuliner-khas jadi bentuk awetan ber-bahan
pengawet herbal tentu perlu jadi agenda penting yang harus segera dimulai sejak
kini.
Sebagai persiapan secara terencana dan sistemik, agribisnis kepanganan
nusantara tidak mustahil jadi solusi terhadap ancaman krisis pangan dunia, dengan
nyata mengisi apa saja jenis dan jumlah kebutuhan pangan di suatu negeri krisis

168 Ekonomi Pertanian


pangan. Seberapa jauh pun jaraknya dari negeri ini namun respons cepat dan cermat
harus dapat diberikan. Setiap daerah dan pulau yang punya stok siap ekspor untuk
jenis kebutuhan yang berkesesuaian dengan selera utama di negeri tujuan tertentu.
Produk yang dibutuhkan harus terjamin sehat untuk siap diekspor oleh masing-
masing daerah yang punya stok komoditi tersebar di negeri khatulistiwa ini. Tentu
di situ perlu proses sortasi, grading, labelling, packing, dan packaging, apalagi kalau
produk olahan yang memang sedang terbuka lebar peluang pasar ekspornya.
Kehadiran agroindustri di suatu wilayah pengembangan komoditi dan produk
dari satuan BUKD-kemitraan agribisnis sudah seyogianya terus-menerus dirangsang
tumbuh, karena proses cipta nilai tambah yang dibawanya akan mendatangkan
banyak manfaat kepada daerah dan warga masyarakat khususnya kaum tani dan
pekebun. Perkembangan agroindustri diharapkan mampu meningkatkan pendapatan
petani maju dan para pelaku agribisnis pada umumnya. Ini akan berpengaruh positif
menyerap lebih banyak tenaga kerja, tingkatkan perolehan devisa, lalu memicu
kemunculan aneka industri hilir lanjutannya. Dalam konteks ini ada beberapa alasan
ekonomi mengapa kehadiran berbagai agroindustri secara terencana berwawasan
lingkungan akan bisa membawa dampak positif bagi masyarakat dan daerah:
(1) Kerentanan pasar bagi produk primer dapat dikurangi dengan transformasi
bahan mentah itu ke produk agroindustri. Sebagaimana sudah disadari bahwa
gejolak harga untuk produk olahan jarang ditemui; padahal ini salah satu isyarat
untuk memperbaiki tingkat pendapatan petani pekebun sekalipun nyatanya
kedudukan para produsen dan petani-pekebun hanya bersifat penerima harga
atau ‘price taker’.
(2) Keunggulan kompetetif suatu produk olahan bisa datang dari kenyataan
agroindustri yang dapat mengefisienkan biaya. Antara lain biaya tenaga
kerja karena SDM-nya tidak selalu harus berpendidikan tinggi, lalu dari sini
manajemen harga pokok bisa menaikkan daya saing, dan dengan begitu maka
surplus tenaga kerja yang nyata adanya pada kebanyakan daerah justru akan
sangat mendukung perkembangan agroindustri.
(3) Kemapanan hubungan kontrak dan transaksi jual-beli produk agroindustri
terhadap pihak pembeli domestik maupun luar negeri jadi lebih terjamin,
namun perlu dibarengi jaminan produksi bahan baku pada tingkat kebun
milik para petani pekebun selain milik perusahaan. Hal yang terakhir ini harus
dapat dikelola lebih ajeg dan lancar dari waktu ke waktu sehingga tempo jeda
produksi akibat pengaruh perputaran musim dapat ditiadakan; dan ini memacu
perolehan devisa berkesinambungan.
(4) Kekuatan usaha suatu agroindustri dalam struktur pasar domestik akan
terpacu menguat apabila kemudian tumbuh industri hilir yang memproses

BAB 9 | Di Lingkungan Perkotaan 169


barang jadi turunannya karena merespons kebutuhan konsumen domestik
yang besar jumlahnya dan semakin memiliki potensi daya beli. Sementara itu
kemudahan pengembangan usaha aneka agroindustri di daerah akan makin
nyata diuntungkan oleh kebijakan otonomi daerah dan kebijakan nasional
pembangunan pertanian berwawasan agribisnis

Dengan asumsi bahwa di era Otonomi Daerah setiap provinsi maupun


kabupaten sangat berkepentingan untuk memberi kemudahan investasi, maka
perburuan investor sudah sewajarnya terjadi atas dasar pemahaman dan perhatian
lebih terhadap potensi khas daerah yang memang ditopang oleh adanya kenyataan
alami berbeda dari daerah lainnya. Bagi setiap daerah yang ada tersebar di seluruh
nusantara, keunikan ciri dan potensi biogeofisik khas bukanlah isapan jempol. Dapat
dikatakan setiap 50 km orang bergerak menuju arah depan, maka dia akan melihat
kekhasan tetumbuhan yang nyata berbeda dominasi keanekaragaman hayatinya
(flora meupun fauna). Ini memang bisa jadi basis pertumbuhan ekonomi melalui
peran usahawan swasta.
Terkait itu maka dorongan dan rangsangan Pemda harus memperhatikan tiga
faktor pelancar pertumbuhan agroindustri, yaitu: (1) Kelancaran kegiatan produksi
bahan baku (bahan mentah) pada tingkat kebun sehingga satuan agroindustri
relatif pasti mendapat dukungan pasok bahan baku, asalkan pola dan intensitas
tanam sengaja diatur untuk menjamin ketersediaan bahan baku itu; (2) kelancaran
kegiatan cipta nilai tambah pada tingkat pabrik pengolahan karena kuantitas dan
kualitas hasilnya terjamin mengikuti standardisasi produk yang sepatutnya secara
berkala dipantau petugas pemda; (3) kelancaran kegiatan transaksi penjualan yang
selalu mendatangkan laba karena adanya iklim usaha kondusif khususnya berkat
dukungan prasarana dan sarana prima mengiringi komitmen nyata pemda untuk
memacu pertumbuhan ekonomi.
Ketiga hal itu jelas akan sangat terkait dengan aspek internal kegiatan produktif
perusahaan (disebut pertimbangan ‘tekno-ekonomi’) dan aspek eksternal perusahaan
(disebut pertimbangan ‘sosio-ekonomi’) di samping juga terkait dengan aspek
regional dan internasional (disebut pertimbangan ‘struktur ekonomi’). Di dalam
kancah perencanaan investasi agroindustri oleh calon investor, aspek tekno-ekonomi
sedikit banyaknya akan tercakup di dalam studi kelayakan teknis dan kelayakan
finansial. Demikian pun aspek sosio-ekonomi khusus diperhatikan dalam studi
kelayakan ekologis (AMDAL) yang peduli pada dimensi kelayakan ekonomis dan
kesehatan masyarkat.
Di atas semua itu kelangsungan inovasi di usaha tani dan kehidupan ‘akar rumput’
sesungguhnya tidak otomatis bisa merubah arah dan capaian agroindustrialisasi.
Berkat Ipteks-inovatif, nilai tambah produk bisa diangkat dari suatu komoditi

170 Ekonomi Pertanian


unggulan suatu daerah; prosesnya amat terbantu jika diprogramkan oleh pemda
lewat jalur HILIRISASI. Proses inovasi untuk usaha tani dan UMKM kerakyatan
akan banyak menghadapi kendala dan hambatan. Peran aktif pemberdayaan rakyat
miskin oleh pihak pemda tentu sangat membantu, dan proses pembantuan inilah
yang menegaskan makna hilirisasi itu, berbeda dari inovasi yang berlangsung secara
mandiri oleh pelaku UKM.
Sebagai penutup ada satu hal yang perlu digarisbawahi di sini, bahwa
kelangsungan proses hilirisasi yang hakikatnya harus mengolah hasil pertanian
sebagai bahan baku pabrik seyogianya harus selalu tersedia tanpa jeda, maka
kedudukan unit usaha agroindustri demikian akan lebih kondusif apabila berlokasi
di kota. Pertimbangannya adalah untuk memudahkan upaya menghadirkan bahan
baku yang mungkin pada bulan tertentu harus didatangkan dari daerah lain, yang
mungkin berjauhan ataupun bertetangga.

Daftar Pustaka
Colman, D. & F. Nixson. 1985. Economics of Change in Less Developed Countries.
University of Manchester.
Schultz, T.W. 1978. Distortions of Agricultural Incentives (ed.). Bloomington: Indiana
University Press.

BAB 9 | Di Lingkungan Perkotaan 171


[Halaman ini sengaja dikosongkan]
BAB

10
UPAYA BIJAK DAN CERMAT NIAGA

10.1Pelaku Aneka Produksi Asalan


10.2Pembelanja Andalan Produk Unggulan
10.3Penjaja Asongan Promosi Murahan
10.4Pemindai Aksi Pasar Maya Mingguan
10.5Peniaga Antar-Panen Gudangan

Ekonomi Pertanian: Upaya Bijak dan Cermat Niaga


Untuk setiap interaksi bisnis tersedia patokan dan ukuran tentang seberapa jauh
suatu upaya meraih manfaat ekonomi seyogianya dilakukan agar berhasil mencapai
sasaran yang diinginkan. Di antara patokan dimaksud adalah:
1. Ukuran elastisitas harga atas permintaan terhadap suatu jenis barang yang
hendak dipasarkan;
2. Ukuran elastisitas pendapatan (konsumen) bagi permintaan barang yang biasa
dibeli konsumen;
3. Ukuran elastisitas silang atas permintaan suatu barang Y ketika terjadi
perubahan harga suatu barang Z saingan barang Y;

173
4. Ukuran elastisitas produksi merespons capaian pemasaran suatu barang privat
mengiring layanan suatu barang publik terkait;
5. Ukuran elastisitas kemapanan pemasaran dilihat dari fase siklus produknya.

Semua besaran dan rumus hitung elastisitas berguna untuk menambah


minat permintaan konsumen terhadap suatu komoditi pertanian yang sedang
diatur langkah pemasarannya. Setiap ukuran elastisitas tentu dapat dihitung
secara aritmatik biasa, yakni menggunakan data capaian pemasaran dari suatu
periode waktu ke periode waktu lanjutannya yang senyatanya terjadi. Akan tetapi
ketika tersedia data berkala (time series data) dengan rangkaian waktu tahunan,
atau semesteran bahkan juga serial data bulanan memang tersedia dengan baik
dan akurat berdasarkan dokumen satuan perusahaan, maka perhitungan nilai
elastisitas bisa pula dilakukan lewat analisis persamaan yang khusus diestimasi
menggunakan metode ekonometri. Pendekatan yang kedua ini tentunya bersifat
penguat dan pembanding saja.
Terlepas dari itu tentu setiap ukuran elastisitas yang manapun hanya akan
berguna efektif manakala diperhatikan dengan seksama apa saja variabel penting
yang secara meyakinkan telah ikut berperan membentuk nilai elastis dan nir-elastis
yang sedang terbaca secara aritmatik. Sebab, jika teliti membaca variabel-variabel
yang sedang bermain tentunya akan memudahkan pengambil keputusan untuk
mengatur taktik dan strategi yang sedang diperlukan oleh satuan perusahaan
(agribisnis dan/atau agroindustri). Jika tersedia segugus informasi tentang elastisitas
yang dimaksudkan itu di saat menjelang awal tahun, maka taktik strategi tadi
ditampilkan dalam kerangka susunan kebijaksanaan bisnis suatu perusahaan untuk
tahun yang selanjutnya. Hubungan sistemik demikian ini selanjutnya akan dibahas
dalam lima subbab di bawah ini.

10.1 Pelaku Aneka Produksi Asalan


Kelakuan produksi orang tani di negeri ini kebanyakan masih bersifat asalan, tanpa
sasaran pendapatan maksimal. Sifat asalan terjadi karena tujuan pokok usaha adalah
mencukupi kebutuhan pangan keluarga, sementara untuk kebutuhan uang tunai
akan dipanen apa pun yang kebetulan siap untuk dijual seketika; misalnya memetik
daun singkong (Manihot utilissima), daun muda pohon melinjo (Gnetum gnemon)
atau daun muda jambu mente (Anacardium occidentale) untuk konsumsi keluarga
selain untuk dijual sebagai sayur lalapan. Terkadang dari suatu kolam atau balong
rawa akan dipetik pula daun kangkung liar (Ipomoea aquatic F.) sambil memancing
ikannya, atau menangkap kepiting rajungan (Portunus plagicus) juga untuk maksud
yang sama. Jadi demikianlah usaha tani bersifat subsistem. Sifat produksi alami,

174 Ekonomi Pertanian


sangat oportunis, hasilnya beragam, dan tidak berpola, juga tidak menjamin taraf
ekonomi petani untuk tumbuh lebih sejahtera sejalan dengan perjalanan waktu.
Akan tetapi, sekecil apa pun luas lahan garapan, petani pasti menginginkan tinggi
capaian produksinya. Tinggi-rendah capaian ini biasa diukur dengan produktivitas,
yaitu hasil produksi tiap hektare atau tiap tahunnya; maka produktivitas = produksi
kg/ha; atau juga = produksi ton/tahun). Produktivitas usaha tani bisa tinggi
jika diterapkan Ipteks-inovatif & strategi manajemen agribisnis. Sayangnya
produktivitas tinggi belum tentu menjamin peningkatan kadar kesejahteraan petani
dan kemakmuran desa apalagi daerah. Sebab harga transaksi jual-beli jugalah yang
akhirnya jadi penentu total nilai prestasi agribisnis. Di dunia nyata harga lebih
sering menurun ketika produksi membaik dari pada kenyataan harga meningkat
yang justru biasanya lebih disebabkan oleh kenyataan gagal panen.49
Bersamaan dengan itu ketika menghadapi harga jual yang rendah, para petani
produsen suatu komoditi pertanian segar tidak punya cara dan daya simpan untuk
menahan komoditi mereka lebih lama (7C, yakni “cepat rusak” misalnya), melainkan
selalu terpaksa untuk menjual cepat sebelum terlanjur rusak. Produsen juga tidak
pada posisi tawar-menawar yang kuat, tidak pula punya jalan pintas pemasaran ke
arah transaksi yang memihak pada nasib petani kurang makmur. Posisi usaha tani
subsistem selalu terpojokkan.
Dalam bahasa Ekonomi Mikro, tingkat harga transaksi komoditi selalu
didominasi oleh pergeseran kurva penawaran ke kanan saat panen, sehingga harga
transaksi ganderung tertekan. Kalau suatu saat terjadi gagal panen maka kurva
penawaran terpicu bergeser ke kiri dan harga terpacu naik ke titik keseimbangan
baru, yang bukan karena kurva permintaan ke kanan (sub-Bab 6.3). Dari alasan ini
maka kaum tani suatu daerah sebaiknya diajak memproduksi komoditi andalan.
Sebutan andalan di sini bermaksud:
1) Lebih fokus sehingga beralasan mendapat perhatian sepatutnya dari para pihak
ketika ada kepentingan menaikkan produktivitas.
2) Leluasa mencari jalan keluar jika suatu saat terjadi kejatuhan harga pasar, untuk
tidak menekan kadar pendapatan petani lemah.
3) Lekas mendapat dukungan dari pihak otoritas terkait ketika ternyata komoditi
mendapat sambutan besar dari pasar internasional.

49
Ketika bagian ini ditulis, terjadi paradoks produksi sawit di banyak daerah penghasilnya.
Di satu sisi produktivitas sedang tinggi dan harga TBS yang diterima petani tidak jauh beranjak
naik (sesuai hukum suplai); tapi di sisi lain terjadi lonjakan harga minyak goreng bahkan terjadi
kelangkaan barangnya di berbagai daerah. Kaum tani pekebun sawit rakyat maupun plasma
seolah tidak dipedulikan para penentu kebijakan pemasaran sawit.

BAB 10 | Upaya Bijak dan Cermat Niaga 175


Memang persoalan yang paling mendasar selalu dihadapi terkait urusan
produksi pertanian adalah posisi dan status bisnisnya sebagai penerima harga
(price taker). Sebagaimana telah diulas dalam Bab 2 dan 3 tentang penawaran,
maka produsen komoditi pangan segar dan komoditi nonpangan cenderung jarang
jadi sasaran perhatian para peniaga. Justru mereka lebih peduli kepada konsumen,
sebagaimana pameo “Konsumen Adalah Raja”. Ketika para pelaku niaga sedang
berhadapan dengan petani produsen yang berjumlah banyak, maka mereka bisa
memainkan jurus transaksi jual-beli lewat struktur pasar monopsoni. Para peniaga
pembeli yang relatif sedikit tentu mudah bertindak satu nada (mono-irama) dan
pada situasi itu mereka mengatur siasat pasar guna menekan posisi tawar petani;
sekaligus membuka lebar pintu laba saat nanti bertransaksi dengan pembeli atau
konsumen.
Suatu nilai harga yang dianggap normal di tingkat konsumen di kota dan ibu
kota kabupaten bahkan ibu kota negara atau pasar internasional akan diteruskan
informasinya oleh pelaku niaga yang di posisi hilir kepada pedagang di posisi lebih
hulu dekat ke daerah produksi. Keharusan bayar ongkos angkut dan biaya lain
termasuk tip pak ‘Ogah’ ditambah nilai laba ingin didapatkan, tentu akan ditutupi
dengan cara menekan harga beli dari peniaga di hulu; hingga dari para petani yang
masih serba lemah. Peniaga tau selagi sifat komoditi masih 7C maka petani akan
mudah dirayu untuk menerima seberapa pun harga. Sesungguhnya tekad untuk
memupuk modal investasi teknologi dan manajemen boleh jadi ada, tapi para petani
kecil tak punya lindung diri.
Bersamaan itu para pedagang perantara kadang bergandeng tangan dengan para
oknum pemburu rente ekonomi yang tak jarang bergaya begal premanis. Demikian
harga transaksi terus akan tertekan hingga pada jenjang transaksi terawal di tingkat
desa. Suatu tingkat harga jual murah terpaksa diterima oleh setiap petani produsen.
Tentunya terhadap keadaan seperti ini telah ada upaya kebijakan seperti ketetapan
harga dasar, keberadaan pasar lelang; ataupun kesiapan peti pendingin (cool storage),
tetapi juga sering kali tidak cukup ampuh, akibat gencarnya siasat tawar para peniaga.
Pada posisi tertekan pihak petani produsen yang berjalan sendiri-sendiri tidak
punya banyak pilihan, terkecuali memilih SALURAN PEMASARAN yang dia
duga akan memberi harga transaksi lebih baik. Saluran pemasaran pada Gambar
10.1 meliputi lima pola saluran pemasaran yang dapat dipilih oleh para petani
produsen. Hanya pola 1 yang bisa memberikan perolehan uang tunai lumayan,
tapi selain menyita waktu petani juga tidak banyak volume komoditi yang bisa
dipasarkan sendiri. Pola saluran 2 memang tidak merepotkan pak tani, tetapi
harga jual pasti lebih rendah dari pada pilihan 1. Adapun saluran pemasaran 3
paling menguntungkan, tapi tentu perlu modal investasi untuk merubah proses

176 Ekonomi Pertanian


industri rumahan menjadi agroindustri pabrikan. Sedangkan saluran 4 dan 5 hanya
kelengkapan bagi komoditi untuk bisa habis terjual.

Gambar 10.1 Beberapa Alternatif Saluran Pemasaran Berpeluang Terjadi dan Dialami
UMKM Agribisnis Inovatif

Begitulah keadaannya manakala para pelaku usaha tani kecil dan masih
subsistem hanya berkiprah sendiri-sendiri. Tidak banyak faktor pendorong yang
bisa mengangkat kehidupan mereka untuk jadi lebih sejahtera, sampai para petani
yang sejenis atau seklaster menemukan jalan dan cara menyatu melembaga sebagai
UMKM agribisnis. Dalam hal ini peran pemda akan sangat menentukan datangnya
pembinaan. Mungkin langsung diberdayakan dengan program CD (community
development) yang didanai dengan porsi APBD (kabupaten atau provinsi) atau juga
dengan dana CSR yang jadi kewajiban perusahaan besar untuk membagikannya,
serta dari sumber lainnya.
Ketika kelompok demi kelompok berbasis klaster pertanaman tertentu berhasil
melembaga menjadi pelaku satuan BUKD sebagai UMKM agribisnis kemitraan,
maka setiap muncul paket Ipteks-inovatif akan bisa ditangkap dan didayagunakan.
Semua kisi-kisi manajemen perusahaan mulai dapat diterapgunakan oleh tim
manajemen yang bertugas menggiatkan 4K yang tepat pada bidang manajemen
(keuangan-kepegawaian-keproduksian-kepemasaran). Hal yang khusus dalam
konteks pemasaran, bahkan bisa dijalankan strategi frontal meliputi semua saluran
pemasaran sedang terbuka. BUKD sebagai satuan badan usaha setingkat UMKM
agribisnis kemitraan patut ada tim manajemen yang handal profesional. Pola
manajemen professional tentu diperkuat tenaga SDM berkualifikasi S-1 terlatih
dan sesuai tugasnya, tentu dapat dipekerjakan dan digaji oleh BUKD secara wajar,
apalagi oleh satuan BUMDes.

BAB 10 | Upaya Bijak dan Cermat Niaga 177


Dari kenyataan pasar dan tampilan struktur-pasar, perilaku pasar, serta kinerja
pasar yang dibahas tadi, jelas pembinaan dan pemberdayaan kaum tani pada posisi
lemah tadi maka upaya rekabina dan pemberdayaan harus fokus. Di sinilah arti
penting memproduksi komoditi andalan yang tepat bagi suatu daerah. Terhadap
para petani komoditi andalan, secara terfokus pembinaan harus dilakukan bersifat
melembaga. Di fase selanjutnya mereka yang dibina harus dapat menampilkan
kinerja satuan usaha tani maju bersifat agribisnis komersial. Sebagai lembaga,
satuan agribisnis kemitraan bisa punya perangkat dan sistem manajemen keuangan,
kepegawaian, keproduksian, kepemasaran. Strategi dan siasat pemasaran yang
berpihak pada petani produsen komoditi andalan akan bisa cepat membeli perangkat
teknologi dan sistem manajemen agar dampak sosial ekonominya terpicu-pacu.
Keadaan yang kurang berpihak kepada kaum tani hanya dapat berubah melalui
kebijakan ekonomi kerakyatan yang sudah seharusnya diluncurkan oleh pemda,
dan itu setidaknya meliputi:
1. Penguatan posisi tawar dengan cara:
 Memacu klaster petani (palawija misalnya) membentuk lembaga kemitraan
agribisnis BUKD yakni semacam BUMDes, sehingga dapat diterapkan
sistem manajemen professional atas mandat musyawarah.
 Menetapkan tanaman penghasil suatu komoditi andalan suatu desa dan
kecamatan atau andalan daerah; sehingga dari sini dapat diupayakan
kemudian agar jadi produk unggulan yang tidak lagi berciri 7C.
2. Peningkatan produktivitas dengan cara:
 Memicu BUKD agar mengadopsi Ipteks inovatif terkait pertanaman,
pascapanen punya kuantitas dan kualitas hasil produksi tinggi dan tepat
waktu, yang memacu keunggulan komparatif di mata pembeli.
 Menekankan agar berwawasan pasar dengan lima tingkatan pasar (pasar
lokal-kabupaten- provinsi-antarpulau-internasional) yang dimungkinkan
dewasa ini lewat teknologi komunikasi dan pengiriman cepat.
3. Pemberlanjutan kemitraan bisnis dengan cara:
 Menekan godaan bagi anggota klaster memisah diri dan kegiatan usaha tani
kemitraan dan kembali bergerak perorangan hanya karena telah merasa
tau rahasia dan bisa beragribisnis menguntungkan.
 Memupuk terus klaster petani berprestasi agar berupaya memperluas
pangsa pasar dan terus konsisten konsekuen menabung sisa hasil usaha
untuk memperkuat modal sendiri dan merintis agroindustri.

Tindakan bijak akan tampak lebih jelas bila fokus pada komoditi andalan
daerah. Lalu tiga paket rekabina bagi para pelaku usaha tani bisa lebih komprehensif

178 Ekonomi Pertanian


dilakukan. Jika rekabina produksi sukses, maka strategi manajemen pemasaran
adalah sasaran kerja kelembagaan yang harus dicermati kinerjanya dari fase ke fase
waktu. Pada Gambar 10.1 ada lima jalur pemasaran bisa ditempuh petani kecil, tapi
sebelum jadi lembaga komersil tentu hanya jalur 1 langsung berinteraksi dengan
konsumen terdekat (atau kebetulan singgahi objek wisata di perdesaan) yang bisa
mereka jumpai. Ketika klaster para petani sudah bersatu dalam wadah BUKD dan
tampil sebagai UMKM komersial, maka setiap tindakan bijak pemasaran jadi bisa
didasari perhitungan. Contoh hitungan kasar: jika pada t-1 harga Ht-1 = Rp1.0
juta/ton terjual Qt-1 = 4 ton/thn; tapi pada waktu kini ‘t’ terjual Q =3.6 ton/thn
harga Ht = Rp1.2juta/ton, maka ada konsep ELASTISITAS HARGA (eh) yang bisa
dihitung sebagai berikut:

(Qt−Qt−1) (Ht−Ht−1) (3.6−4.0) (1.2−1.0) -10%


eh = [ / = / = = -0.5
Qt−1 Ht−1 4.0 1.0 20%

Dari dua waktu niaga itu eh = -0.5, maka bila harga naik 1% tentu Q turun
5%. Jika data beruntun waktu, maka ‘e’ dihitung dengan metode statistika regresi.

10.2 Pembelanja Andalan Produk Unggulan


Jadi, pola produksi asalan haruslah diganti dengan pola andalan yakni dari lemah
7C jadi kuat 7J. Untuk maksud ini harus ada program pembinaan oleh pemda
guna menghidupkan dan memicu-pacu kapasitas ekonomi para petani berubah jadi
pelaku satuan usaha agribisnis komersial. Pembinaan kelompok pelaku agribisnis
dan agroindustrinya adalah membangun prestasi satuan usaha agribisnis kemitraan,
yang mengupayakan kemajuan dan mengasah kekuatan bisnis meliputi dua segi
kehandalan dan keunggulan, yakni:
(1) Segi tekno-agronomis, dengan hitung dagang kemudian diukur sebagai
keunggulan komparatif jika dapat mendatangkan nilai laba tertinggi di antara
komoditi lainnya patut disebut KOMODITI ANDALAN.
(2) Segi tekno-agribisnis, dengan hitung dagang kemudian diukur sebagai
keunggulan kompetetif jika kemampuan cipta nilai tambah ini terbilang unggul
lalu dalam buku ini diberi istilah PRODUK UNGGULAN .

Jika kedua terjadi maka tinggal diperlukan strategi taktik pemasaran untuk
memastikan siapa pembeli andalan sebagai sasaran kebijakan menerobos pasar
dan merangkul konsumen. Di sini kelompok demi kelompok, klaster demi klaster
kaum tani secara melembaga dipastikan siap jadi pelaku satuan BUKD agribisnis
kemitraan serta terbina jadi pelopor kemajuan daerah kecamatan.

BAB 10 | Upaya Bijak dan Cermat Niaga 179


Unit BUKD yang handal bisa cepat tampil beraksi unggul karena dibina lewat
metode RISET AKSI partisipatif (participatory action research, PAR), sejak fase produksi
hingga pemasaran. Kelompok atau klaster petani yang terbina melembaga bisa
merasakan lewat partisipasi langsung dalam kegiatan program di lapangan. Prestasi
ini akan ditiru dan diadopsi petani lainnya. Dari situ petani komoditi asalan berubah
perilaku dari individualis jadi melembaga. Satuan BUKD atau UMKM kemitraan
agribisnis telah siap menerap guna sistem MANAJEMEN USAHA TANI unsur dari
MANAJEMEN AGRIBISNIS, sebab:
1) Pembinaan petani klaster usaha tani suatu komoditi sifatnya menempa individu
anggota klaster jadi penopang UMKM agribinis kemitraan, barulah prinsip
manajemen usaha komersial jadi bisa dilakukan. Pada tingkat kemitraan yang
sudah melembaga itu memungkinkan untuk diterap guna fungsi kelola 5P =
(perencanaan-pengorganisasian-personal staf-pengarahan-pengawasan). Demi
5P fungsi manajemen yang dihidupkan pada setiap bidang bidang manajemen
4K (keuangan-kepegawaian-keproduksian-kepemasaran), maka strategi taktik
untuk mencapai laba dan nilai tambah bisa diupayakan mencapainya secara
terencana, terpadu, dan sistemik berwawasan lingkungan.
2) Perkembangan positif yang bakal dialami dan didapatkan manfaatnya oleh
setiap anggota klaster terbina masih tetap bisa terganjal bahkan buyar kembali,
karena ada saja yang tidak sabar atau tidak kuat godaan untuk cepat kaya
dengan memodifikasi sendiri siasat dan strateginya. Hal seperti ini harus selalu
diwaspadai dan diantisipasi dengan siasat pembinaan berkelanjutan sehingga
mampu menembus aneka sasaran pasar lalu dapat meningkatkan pangsa pasar.
Tidak cukup hanya membenahi kegiatan produksi diberi strategi produksi yang
lebih intensif, lebih efektif-efisien, tapi juga harus dibenahi pascapanen dan
pemasarannya. Sebab produksi yang berlimpah memicu kejatuhan harga, perlu
strategi taktik pemasaran agar pangsa pasar terpacu secara inovatif dan kreatif.

Argumentasi sebelum ini tentang memperlama waktu simpan atau juga waktu
aman prajual tanpa berubah mutu, maka terhadap suatu komoditi pertanian perlu
diberi perlakuan inovasi olah-bahan sekaligus olah pengawet berupa zat herbal
yang mudah didapatkan. Pascaproses pengolahan yang demikian ini, maka istilah
‘komoditi’ sudah sepatutnya diganti dengan sebutan ‘produk’. Di dalam buku ini
sengaja dibedakan pengertian KOMODITI ANDALAN yang pascaolah dan bertekstur
baru, lalu disebut PRODUK UNGGULAN. Sebutan andalan dan unggulan demikian
itu identik dengan kekhasan bentang alam lingkungan biogeofisik dan keadaan
sosekbud-kesmas yang ada di suatu daerah tempat kelangsungan proses agronomi
dan agroindustri barang niaga (yang disebut produk unggulan) tadi.

180 Ekonomi Pertanian


Sesungguhnyalah setiap daerah kabupaten di pelosok nusantara ini bisa
memproduksi aneka hasil pertanian dengan khas dan bermutu baik. Kekhasan
nya tidak hanya baik untuk satu jenis hasil pertanian saja, melainkan beberapa
komoditi tumbuhan, ternak, ataupun ikan. Dikarenakan variasi iklim dan jenis tanah
relatif sangat kontras di antara setiap daerah walau relatif berdekatan dalam tiap
provinsi, maka otomatis tersedia satu atau dua jenis hasil pertanian yang terbaik
bisa dihasilkan oleh setiap daerah setingkat kabupaten atau kota sekalipun. Keadaan
seperti ini membuka peluang daerah memilih satu atau beberapa jenis komoditi khas,
yang selanjutnya bisa memicu pertukaran komoditi antardaerah lewat perdagangan.
Tentu transaksi niaga cenderung antardaerah berjarak jauh, dan karena itu kejelasan
produk 7J pengganti sifat 7C sangat penting peran niaga perdagangan-nya. Dengan
ciri barang niaga hasil agroindustri yang sudah berpola pabrikan (alias bukan lagi
agroindustri rumahan) dan tampilan produk 7 J satuan BUKD sudah lebih beralasan
untuk menjangkau semua sasaran pasar yang terbuka (Gambar 10.2).
Dari itu maka kaum tani yang hanya berkiprah sebagai pelaku usaha tani
kecil tradisional penghasil aneka komoditi asalan harus mendapat program
pemberdayaan agar memproduksi komoditi andalan (bukan asalan) dan jadi pelaku
satuan agribisnis kemitraan komersial. Dengan rangkaian program yang sistemik
ini, maka kaum tani bisa membina kehidupan ekonomi keluarga masing-masing
serta kemakmuran desa dan daerah mereka, bukan hanya terpaku menjalankan
unit usaha tani tradisional serta kecil-kecilan yang subsistem. Dari situ langkah
maju sekelompok petani kecil bisa tampil sebagai satuan usaha BUKD agribisnis
kemitraan, yang terus bisa dipacu berkembang sampai bisa melakukan hilirisasi
berstruktur kontrak atau juga hilirisasi berstruktur organik seperti yang telah
didefinisikan pada sub-bab 8.4. Dengan demikian satuan usaha agribisnis yang
awalnya hanya terlibat dalam kegiatan produksi primer, jadi sekaligus juga memasuki
kegiatan bisnis pada tahap agroindustri olah-perta (agro-processing industry) pola
pabrikan.
Adalah fakta, bahwa hampir seluruh hasil pertanian yang bersifat benda segar
dan juga bahan baku sangat membutuhkan perlakuan teknis pasca-panen agar dapat
bertahan lama. Ini dipahami penting dilakukan, karena setiap upaya pemasaran
harus ditopang dengan stratgi penyimpanan. Proses ini harus dilangsungkan
tanpa kehilangan nilai nutrisi dan nilai rendemen dari suatu bahan esensial yang
ada di dalam barang niaga tadi. Arti penting pengolahan hasil pertanian berdasar
peng-amatan lapangan tentu tidak terlepas dari pengertian teknis untuk maksud
mempertahankan 5M penting berikut ini:
(1) Menjaga kadar nutrisi komoditi agar tidak luntur berubah cita rasanya.
(2) Menjaga kandungan bahan esensial agar tidak berubah sifat dan hampa.

BAB 10 | Upaya Bijak dan Cermat Niaga 181


(3) Menjaga keseragaman mutu dan khasiat tanpa mencederai konsumen.
(4) Menjaga keaslian barang atas pengepakan dan pengangkutan kebal cuaca.
(5) Menjaga kesiapan pemasaran sesuai waktu yang diharapkan pembeli.

Upaya gencar menembus pasar lebih luas akan mudah menambah pangsa
pasar produk unggulan itu. Rangkaian teknis hingga terjadi transaksi jual-beli ini
jika sengaja dirancang secara sistemik tentunya akan jadi proses ANDALAN dan
UNGGULAN bagi kelangsungan proses MONETISASI desa dan daerah (sub-Bab
7.5; 8.2 dan 9.2). Untuk membuat bobot kebernasan ekonomi dan percepatan
proses monetisasi desa dan daerah itu maka sesuai resep sub-Bab 10.1 tadi perlu
perkuatan daya saing, yaitu sebagai berikut:
1) Para petani harus terus diperingatkan untuk tidak berubah kembali pada cara
berusaha tani sendiri-sendiri tradisional, tapi konsisten tampil melembaga
bersama sebagai satuan BUKD agribisnis kemitraan maju.
2) Para pedagang perantara harus terus disiasati agar lebih memihak pada
kepentingan petani, untuk itu harus ada mekanisme transaksi pada jalur
pemasaran yang lebih pendek dan lebih massal sebagai pemicunya.
3) Para pedagang asongan yang sengaja dibina untuk diarahkan melayani sasaran
konsumen di tiap titik objek wisata, sementara semua jalur lain hingga titik
lokasi dan posisi konsumen perkotaan harus dijangkau.

Ketiga butir tersebut ini merupakan siasat aktif dan agresip sambangi berbagai
segmen potensial konsumen suatu produk unggulan juga komoditi andalan dari
suatu desa atau daerah binaan. Sebagai strategi pemasaran, semua itu harus selalu
dilengkapi hitung dagang oleh tim SDM berkekuatan ilmiah. Bukan hanya analisis
elastisitas permintaan atas harga agar kemudian bisa menyesuaikan harga dan
tampilan barang, tapi juga perlu diketahui elastisitas pendapatan sesuai sasaran
komsumen yang dibidik. Jadi secara taktis, terap guna strategi bauran pemasaran
tidak mengabaikan hitungan ELASTISITAS PENDAPATAN dari komunitas calon
konsumen di masing-masing daerah sasaran. Terutama dalam menjangkau pasar
ekspor di benua lain (misalnya; konsumen di benua Afrika utara umumnya lebih
kaya dari pada di Afrika tengah dan Asia Tengah) tidaklah sama. Harga dan tampilan
kemasan yang juga beda ukuran berat untuk produk yang sejenis tapi berbeda resep
cita-rasanya bisa dipromosikan. Salah satu dimensi pembeda itu semua adalah
informasi tentang tingkat pendapatan calon konsumen atas perubahan daya beli
mereka pada tingkat harga produk yang berlaku.

182 Ekonomi Pertanian


Gambar 10.2 Beberapa Alternatif Saluran Pemasaran Berpeluang Terjadi dan Dipilih
UMKM Agribisnis Inovatif (PT X)

Perhatikan pada tujuan pasar 4 dan 5 diilustrasikan masing-masing ada dua


sasaran, yaitu Jakarta dan/atau Surabaya (pada poin 4) serta Libia dan/atau Nigeria 1
di Afrika (pada poin 5). Dari 10 saluran (tanda panah biru dan merah) yang bisa
ditempuh, diasumsikan pada tujuan poin 4 dan poin 5, manajer pemasaran harus
mencermati perkembangan ekonomi (pendapatan pddk) dan efeknya terhadap
elastisitas pendapatan 2
Informasi tentang tingkat pendapatan perkapita di suatu negeri atau suatu
negara bagian mudah didapatkan dari penelusuran informasi google. Begitu pun
dengan status daya beli warganya tentu harus diketahui dengan mencermati kurs
mata uang negeri itu terhadap $ dan selanjutnya terhadap Rp pada saat yang relatif
3
sama. Dengan asumsi perdagangan ekspor langsung antarkedua negeri, maka
berdasarkan catatan pengalaman transaksi jual-beli beberapa kali saja sudah dapat
dipantau hasil perhitungan nilai elastisitas pendapatan (ep) warga negara mitra
itu atas jumlah barang dimintakan dalam setiap periode waktu di mana tingkat
4
pendapatan itu mengalami perubahan.
Elastisitas pendapatan atas jumlah barang yang dimintakan oleh suatu
komunitas konsumen di suatu daerah ataupun di suatu negeri. Kondisi dinamis 5
calon konsemen itu tentu saja berbeda tingkatan kadarnya, tergantung pada tingkat
F. Sjarkowi,
kemajuan 2022 ekonomi di suatu daerah atau negeri. Di atas kertas, kadar
pembangunan

BAB 10 | Upaya Bijak dan Cermat Niaga 183


pembangunan memacu laju pertumbuhan ekonomi, lalu capaian ekonomi akan
memengaruhi tingkat pendapatan penduduk secara nominal.
Tentu nilai pendapatan riil penduduk amat menentukan daya-beli warga calon
konsumen terhadap suatu barang. Sebab itu informasi tentang daya beli konsumen
sangat berguna dalam menentukan stratak “bauran pemasaran” khususnya terkait
ketepatan mutu dan berat produk berkemasan untuk masuk daerah atau negeri dan
pemasaran produk unggulan jadi tepat sasaran. Terkait dengan ini, manajer bidang
pemasaran dapat memilih strategi bauran pemasaran 4P (produk – pehargaan – penempatan
– promosi) bahkan ditambah (penampilan – pemeran – proses melengkapi 4P) hingga jadi 7P.
Jika sasaran pasar yang dibidik adalah suatu negeri lain, maka upaya awal untuk
mengetahui potensi pasar dapat dilakukan dengan melacak data dan informasi
dari internet. Untuk kopi bubuk instan ‘3 in 1’ yang memang telah diproduksi di
desa Sipatuhu Ranau (dekat perbatasan Sumsel dan Lampung), diasumsikan harga
pokoknya sekarang Rp21.000/kg. Harga ini setara $1.5/kg sedangkan lain komoditi
yakni terigu di ibu kota provinsi senilai Rp10.000/kg ($0.75). Dalam hal ini tepung
terigu jadi rujukan karena bahan itu jadi makanan pokok orang Afrika, seperti Libia
dan Nigeria). Andaikan harga tepung terigu di Libia kini $1.0/kg, maka tampak
tampak kopi tidak terlalu mahal dibanding terigu, lalu terbuka kesempatan ekspor
kopi bubuk ke sana pada harga pantas. Ketika ada informasi terjadi kemajuan
ekonomi Nigeria menaikkan GNP/kap.- nya dari 10% sedangkan di Libia hanya 8%,
ini saat yang baik untuk memacu ekspor kopi yang masih terlalu kecil ke wilayah itu.
Guna mengetahui efek kepekaan daya beli konsumen, maka di antara alat
ukurnya dinyatakan lewat definisi elastisitas pendapatan agak berbeda, yakni;
Tingkat perubahan persentase jumlah barang dimintakan dan dibeli konsumen akibat
perubahan 1% pendapatan riil perkapita senyatanya dialami warga. Jika sudah sempat
terjadi transaksi ekspor minimal 3 kali, misalnya didapatkan informasi pendapatan
per-kapita naik 10% (Libia) dan 8% (Nigeria). Jumlah ekspor naik dari QLibia =
50ton (2020) jadi Q = 55 ton (2021) juga QN = 44ton (2020) dan QN =48ton
(2021) mengiringi dengan informasi kasar ini, maka:

epLibia = [(Qt−Qt−1)
Qt−1
/
(Ht−Ht−1)
Ht−1
= [[
55−50
4.0
]/10% ] = 1.0;ep = [ 48−40
nig
40
] /8% = 2.5

Dengan informasi ep ini strategi-taktik bauran pemasaran mulai melihat


titik sasaran bidiknya, khususnya untuk mengatur siasat pemasaran ke arah Libia
yang menunjukkan elastisitas pendapatan tinggi. Jika eN = 2.5 maka setiap ada
pendapatan warga Nigeria naik 10% akan terjadi tambahan jumlah barang yang
diminta sebesar 25%. Tentu saja pasar Nigeria lebih menarik dan berguna.

184 Ekonomi Pertanian


10.3 Penjaja Asongan Promosi Murahan
Seperti diilustrasikan pada Gambar 10.3, terdapat 10 macam jalur saluran pemasaran
bisa ditempuh oleh suatu badan usaha untuk meningkatkan pangsa pasar dari
komoditi dan juga produk olahannya. Maka tidak salah jika pihak pemda harus
dengan sengaja menjalankan program pemberdayaan menggunakan dana APBD.
Tentu untuk merubah komoditi jadi produk, maka konsep pembinaan harus jelas
mengandung unsur inovasi produksi dan hilirisasi hingga ke konsumen. Harus
juga ada sasaran pengembangan satuan usaha agribisnis secara totalitas sehingga
setiap UMKM kemitraan mampu menjalankan kisi-kisi manajemen pemasaran
misalnya berstrategi ‘bauran pemasaran’. Hal terakhir ini bisa dicapai lewat tiga
proses intervensi sebagai berikut:
1) Melalui intervensi pemda selaku faktor eksternal bagi pengembangan agribisnis
di suatu daerah, yaitu pintu gerbang kebijakan berupa penyediaan sarana Lapak
UMKM dan memacu pengunjung Objek Wisata calon pembeli oleh-oleh (souvenir).
2) Memicu intervensi Kadinda untuk memacu HILIRISASI berdasar kesepakatan
antara pihak HULU dan pihak HILIR guna saling bantu pemasaran; komoditi
dijual kepada pihak pabrik kemudian produkinya dipasarkan UMKM an penjaja
asongan.
3) Membina pengembangan jaringan pemasaran berbasis manajemen berstrategi
Bauran Pemasaran (Marketing Mixed), setidaknya berpola 4P (produk-pas harga-
penempatan-promosi) atau 7P =4P+ P5 +P6 +P7) pemicu pangsa dan jejaring
pasar.

Tentu hal itu tidak mudah bagi kelompok UMKM agribisnis kemitraan yang
ada di tingkat perdesaan dan juga baru berusaha “melaut” di samudra bisnis.
Iklim persaingan bisnis yang biasanya liar akan selalu ada godaan dan tantangan
kewirausahaan. Gambaran tentang dinamika kesulitan di hadapan pelaku bisnis
pemula dan berskala kecil itu dapat diilustrasikan melalui tiga sasaran kewaspadaan
berikut ini:
(1) Terkait dengan sistem pemasaran, tentu akan selalu ada mekanisme GODAAN
(di baliknya ada potensi CULAS) atau TANTANGAN (di baliknya ada potensi
RESIKO rugi), maka stratak Bauran Pemasaran akan juga mendapati hal-hal
negatif ini.
(2) Terhadap calon konsumen godaan POSITIF berupa promosi jual berbonus, atau
godaan NEGATIF harga diskon barang hampir kadaluarsa. Tantangan IKATAN
NIAGA agar pembeli setia, justru bisa merugi saat pesaing baru masuki pasar

BAB 10 | Upaya Bijak dan Cermat Niaga 185


(3) Terhadap produsen, tentu selalu ada pihak calon konsumen yg coba tampilkan
godaan berupa iming-iming minat jadi pembeli tetap dengan volume tertentu,
tapi tantangan yang biasa dimainkan adalah UTANG (bayar kemudian).

Guna mencermati dan memahami cara elegan mengatasi berbagai persoalan


lapangan itu harus diingat adanya struktur pasar (market structure = kehadiran
sejumlah pemeran kekuatan permintaan dan/atau penawaran yang cenderung
punya naluri mengecoh lawan niaga); perilaku pasar (market behavior = bagaimana
persaingan dan intimidasi harga sebisa mungkin dimainkan oleh sejumlah pelaku
transaksi pasar yang leluasa bersiasat), kinerja pasar (market conduct = siapa yang
didominasi oleh pelaku bisnis kuat, yang telah bersiasat serta berpengaruh politik
ekonomi). Para UMKM kemitraan perlu selalu memperbarui perekat ikatan niaga
dengan para pelanggan agar tidak buyar, juga agar potensi pelanggan baru tidak
direbut para pesaing besar. Taktik pemasaran yang tepat dan bernas bisa diaktifkan,
jika UMKM selalu mencermati respons konsumen terhadap produk yang dipasarkan.
Guna mencermati dan memahami cara elegan mengatasi berbagai persoalan
lapangan itu harus diingat adanya struktur pasar, perilaku pasar, kinerja pasar
yang lebih didominasi oleh pelaku bisnis berskala lebih besar, bermodal lebih
kuat serta punya pengaruh politik ekonomi. Para UMKM kemitraan perlu selalu
memperbarui perekat ikatan niaga dengan para pelanggan agar tidak sempat
buyar, juga agar potensi pelanggan baru tidak semua direbut para pesaing besar.
Jika pihak UMKM senantiasa siap mencermati respons konsumen terhadap suatu
produk dan strategi pemasarannya, maka tepat pemasaran dan bernas pemasaran
selalu bisa diaktifkan. Kemudian diatur program nyata di lapangan agar jadi tiga
langkah berikut ini:
1) Harus ada program di tiap kabupaten dan kota yang khusus ditujukan menata
objek parawisata agar banyak wisnu dan wisman berkunjung, sebagai calon
konsumen aneka komoditi segar dan produk olahan.
2) Harus ada program pembinaan lapak-lapak penjualan komoditi dan produk
serta tenda kafe juga resto dengan aneka kuliner khas, yang diposisikan khusus
di objek-objek wisata yang siap menyambut wisnu dan wisman.
3) Harus ada program OPD atau SKPD Indag yang melakukan klasifikasi tiap
komoditi atau produk olahan meliputi kelas atau kelompok barang yang khusus
untuk dipacu jual oleh para pedagang asongan binaan resmi.

Dalam konteks itu di antara beberapa jenis komoditi tentu ada satu jenis
pertanaman untuk diberi lebih banyak perhatian bisnis. Ini khususnya dilihat dari
sudut pertimbangan proses agronomis, dan juga proses produksi, lalu hasil panen
dilihat segi proses agroindustri. Demi mendukung perdagangan antarpulau dan

186 Ekonomi Pertanian


antarnegeri, maka produk unggulan patut diberi perhatian lebih dan dirancang
secara totalitas dimensi teknis produksinya hingga pemasaran.
Dalam sub-Bab 10.3 ini diangkat peran khusus pedagang asongan, yaitu:
1) Peran aktif sebagai pemanfaat lapangan kerja tanpa kualifikasi formal.
2) Peran kreatif sebagai penjaja gesit yang bisa jeli melihat calon pembeli.
3) Peran produktif sebagai tenaga pionir pemasaran suatu produk baru.
4) Peran antisipatif sebagai penyampai berita promosi cara murah meriah.
5) Peran selektif sebagai pemerhati reaksi suka dan tak suka tiap pembeli.

Para pihak perlu peran aktifkan upaya promosi nyata terutama di tiap objek
wisata yang ada di daerah setempat. Sungguh para pedagang asongan merupakan
kelompok pionir pemasaran untuk komoditi andalan atau suatu produk olahan
yang baru diunggulkan lewat program hilirisasi bagi suatu daerah binaan (desa/
kelurahan). Status komoditi dan/atau produk, keberadaan objek wisata, dan peran
pedagang asongan sedemikian itu dilengkapi langkah bijak memicu-pacu omzet
penjualan untuk jenis barang yang relatif terkesan disukai konsumen. Produk olahan
dan komoditi andalan demikian perlu efektif memasuki pasar. Syukur jika berawal
dari harapan bertemu calon pembeli kuat karena kebetulan berorientasi bisnis,
karena ramai pengunjung objek wisata dari provinsi lain bahkan mancanegara.
Dari situ pula para pelaku usaha tani kecil tradisional akan tampak mana yang
pantas masuk jadi penghasil komoditi andalan, dan patut mendapat pemberdayaan
agar jadi pelaku satuan agribisnis kemitraan komersial. Dengan rangkaian program
yang sistemik, maka kaum tani bisa membina kehidupan keluarga masing-masing,
bukan hanya terpaku menjalankan unit usaha tani tradisional serta kecil-kecilan.
Dari situ para petani kecil bisa tampil melembaga usaha BUKD agribisnis, lalu
dipacu lewat hilirisasi berstruktur kontrak ataupun hilirisasi berstruktur
organik (sub-bab 8.4) agar berkembang mengakar kuat di sisi hulu sejak dari titik
produsen hingga sisi hilir yang dekat pada konsumen. Sekaligus atas pembinaan
demikian, kegiatan bisnis binaan itu telah masuk ke tahap agroindustri olah-perta
(agro-processing industry).
Di sini peran penting para pedagang asongan tetap dikedepankan untuk
diaktifkan oleh pelaku usaha yang sudah berorientasi komersial dan mungkin sedang
mengarah kepada pasar ekspor. Pada sasaran OTW hakikatnya peran asongan tidak
hanya sebagai penjual eceran, tapi juga sekaligus berupaya menyentuh konsumen
luas melalui promosi ‘murahan’ yang menggugah para wiskal-wisnu-wisman. Dari
sini satuan usaha yang telah komersial, maka setiap saluran pemasaran harus bisa
dimasuki dengan strategi bauran pemasaran.

BAB 10 | Upaya Bijak dan Cermat Niaga 187


Begitulah semestinya, sama sekali tidak ganjil jika UMKM agribisnis di
perdesaan dengan semangat kemitraan berupaya komersial dan menerapkan strategi
bauran pemasaran guna memasuki aneka jalur pemasaran yang ada. Bersamaan itu
transaksi online juga kian terbuka, karena perangkat teknologi wi fi sudah menjangkau
perdesaan, dan SDM wanita berstatus sarjana S-1 lulusani PTS kini tinggal diajak
pulang kampung jadi pengurus BUKD, BUMDes .
Selain demi kelancaran komunikasi bisnis, SDM S-1 pengelola lembaga
agribisnis memang harus bisa menghitung parameter bisnis, seperti elastisitas
harga, elastisitas pendapatan, dan juga kini elastisitas silang (es). Jika esYz > 1
untuk penjualan suatu barang Y dari desa dalam negeri, dan Y selaku pendukung
(komplementer) atau pun pengganti (substitut) suatu barang Z yang diekspor oleh
negeri selain RI, maka berarti ada prospek amat bagus bagi Y. Perlu upaya lebih
gencar masuk ke pasar ekspor yaitu negeri pengimpor Z. Katakanlah harga Z yaitu
Hz2020 = $5/kg naik jadi Hz2021 = $6/kg serta impor Vz2020 = 250 ton turun
jadi Vz2021 = 190 ton; sedangkan di negeri pengimpor Z itu ternyata ada Y dengan
Hy2020 = $4.8/kg volume impor Vy2020 =160 ton dan Vy2021 = 180 ton, maka
nilai cross-price elasticity of demand esY = [20% : 12.5%] =1.6 terhitung berikut ini:

esY = [Hz2021-Hz2020]:Hz2020 / [Vy2021-Vy2020]:Vy2020 = [6-5]:5 / [180-160]:160 =1.6

Nilai esY > 0 ini contoh berita baik bagi para pengusaha agribisnis domestik
penghasil Y. Tentu produksi Y perlu ditingkatkan. Bisa jadi importir minta spesifikasi
Y tertentu, maka pihak Manajer BUKD terkait harus siap penuhinya.

10.4 Pemindai Aksi Pasar Maya Mingguan


Promosi terbilang sebagai unsur penting dalam pemasaran suatu barang. Promosi
merupakan cara cepat untuk menjangkau para konsumen potensial yang berada di
berbagai titik mukim, sehingga terjadi perluasan zona dan wilayah pemasaran lalu
akhirnya menambah pangsa pasar. Adanya kemajuan teknologi kini memposisikan
strategi promosi semakin penting karena inforkom serba digital sehingga cepat
menembus wilayah mancanegara di semua benua. Kemajuan demikian tidak
terkecuali untuk klaster para petani yang sudah dibina jadi pelaku usaha agribisnis
pedesaan, karena dewasa ini hampir semua desa telah menikmati sarana wifi
sehingga setiap lembaga agribisnis kemitraan dan yang murni komersial sudah
bisa memanfaatkannya.
Tentu persoalan teknis mendasar untuk pendayagunaan promosi sangat terkait
dengan bahasa komunikasi yang seharusnya digunakan. Lewat bahasa Inggris
promosi akan mudah mendunia khususnya menjangkau benua Eropa dan Amerika.

188 Ekonomi Pertanian


serta Kanada. Dengan bahasa Arab maka promosi bisa menembus dunia Timur
Tengah dan sebagian Afrika. Dengan bahasa Melayu tentu juga sekitar 350 juta
orang di Jazirah Asia Tenggara dapat memahaminya. Orang desa pun tidak terlalu
‘gaptek’ untuk menggunakan sarana Informkom, karena saeana HP canggih sudah
dimiliki warga, dan hampir setiap rumah sudah ada anggota keluarga yang mengecap
pendidikan tinggi. Apalagi dewasa ini di setiap daerah kabupaten dan kota sudah
ada PTS yang memudahkan pemuda desa untuk bisa tampil intelektual. Namun
tentu persoalan komunikasi pratransaksi yang menyangkut bahasa komunikasi
bisnis adalah kendala besar bagi orang desa, yang sarjana sekalipun.
Sehubungan dengan itu demi kepentingan memacu monetisasi desa dan daerah
maka di setiap perguruan tinggi swasta (PTS) idealnya harus ada sarana pengabdian
pada masyarakat berupa Inkubator Bisnis dan Klinik Bisnis. Keduanya bisa berada di
bawah LPPM (Lembaga Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat) yang memang
sudah jadi tuntutan Tridharma Perguruan Tinggi. Klinik bisnis tentu jadi tempat
satuan-satuan usaha kerakyatan yang sedang sakit (misal karena terdampak iklim
yang ganas, atau wabah hama penyakit). Inkubator bisnis melayani kepentingan
satuan usaha yang masih prematur, baru belajar berkiprah atau terkendala bahasa
komunikasi lintas bangsa terkait suatu peluang pasar yang sedang terbuka tapi
masih harus digarap. Bahkan UMKM desa perlu bimbingan terkait persaingan yang
kian berat.
Arti penting hubungan manajemen PRODUKSI dan PEMASARAN harus sudah
diperhitungkan dengan bijak. Boleh jadi untuk sasaran konsumen suatu benua yang
sudah lama maju, kiranya kebutuhan produk dengan mutu bahan baku berupa
komoditi pertanaman organik amat dicari sekalipun dengan harga lebih mahal.
Sebaliknya di negeri-negeri dan benua baru berkembang kiranya mutu barang
dari pertanaman biasa (nonorganik) tetap masih disukai warga di sana asalkan
harganya tetap bersaing dengan produk negeri eksportir lainnya. Variasi produk
berpola kemasan berat minimal pun perlu dipertimbangkan demi efektivitas iklan
pemasarannya ke suatu negeri relatif baru menggeliat berkembang atau bahkan
masih relatif miskin.
Untuk bisa menerobos sasaran pasar yang kian luas dan lebih memancanegara,
tentu tidak cukup memainkan strategi taktik bauran pemasaran 4P. Ini karena
tantangan kerumitan pasar sudah ditandai kerasnya persaingan antarpara pelaku
niaga yang berasal dari berbagai eksportir lain dan dari negeri lain. Oleh sebab
itu, strategi bauran pemasaran 7P perlu diaktifkan secara cermat, apalagi atas
tekanan eksportir produknya terhadap para UMKM agribisnis kemitraan yang
basis produksinya memang masih sederhana dan labil sehingga harus diwaspadai.
Terkait dengan hal ini ada dua pasal pertimbangan perlu jadi perhatian, sebagaimana
diuraikan di bawah ini.

BAB 10 | Upaya Bijak dan Cermat Niaga 189


Pertama, iklan pemasaran on-line ke daerah lain atau bahkan negera-negara lain.
Untuk sasaran negeri berkembang maju tentu promosi niaga perlu menonjolkan
proses produksi yang sejatinya sudah berwawasan lingkungan terkait komoditi
andalan maupun produk unggulan oleh perusahaan UMKM atau UKM yang jelas
nama dan alamatnya. Sewaktu-waktu ada keluhan atau saran dari pihak importir
dan peniaga distributor maka tidak ada kesulitan dan keraguan, karena bisa
berkomunikasi internet secara cepat. Dalam hal ini promosi produk yang berasal
dari BUKD sebaiknya juga dicantumkan alamat pihak pengawas produksi berstatus
klinik dan inkubator bisnis pembinanya. Profil BUKD dicantumkan lengkap dalam
paket info-keberadaan lembaga niaga itu di internet, dan ditingkatkan kebaruan
informasinya.
Kedua adalah soal yang menyangkut langkah membangun kerja sama bisnis
lintas kelembagaan dalam kerangka menembus sasaran konsumen di pulau lain
atau negeri konsumen lewat promosi pasar maya. Pemasaran online kini tidak lagi
hanya dominasi pelaku bisnis di kota melainkan sudah juga dalam jangkauan BUKD
dan BUMDes atau UMKM di perdesaan. Akan tetapi kerja sama tulus tiga pihak
yakni UMKM-LPPMPTS-Pemda amat sangat dianjurkan dan ini terkait tiga alasan
pragmatis penting sebagai berikut:
1) Sambangi mitra distributor di negeri lain, tentunya perlu tepat-bahasa dan dari
itu bantuan fasilitasi pemda (Dinas Indag) amat berguna.
2) Sambangi para konsumnen baru yang sempat langsung minta layanan cepat
tanggap, maka perlu bantuan inkubator bisnis pihak LPPM.
3) Sambangi sasaran konsumen di negeri lain yang lebih potensial ketika ekonomi
di negeri mitra lama sedang mengalami krisis ekonomi.

Kepentingan poin 1 dengan sendirinya menuntut kesiapan sarana-prasarana


inforkom di pihak pemda, terutama pada seksi pelayanan UMKM pada Dinas
Indag perlu perlengkapan hubungan online dengan pihak BUKD atau BUMdes
selaku UMKM yang dibina. Kepentingan poin 2 otomatis pula menuntut layanan
pengabdian pada masyarakat dari pihak PTS/PTN terkait, agar keinginan konsumen
negeri lain bisa ditanggapi dengan segera; dan dalam hal ini pihak UMKM di kota dan
desa punya kenadala yang sama. Kepentingan poin 3 tentu pula biasa terjadi di dunia
bisnis, karena banyak variabel teknis dan sosial yang sangat dinamis pengaruhnya,
sehingga antisipasi pemasaran dan strategi pilih tujuan negeri haruslah cermat. Jadi
untuk setiap program pacu kapasitas bisnis para UMKM binaan, maka pemda dan
pihak LPPM-PTS perlu erat bekerja sama.
Ketika strategi marketing 4P diteruskan ke 7P, maka P yang ke-7 adalah proses
yang harus serba tepat waktu, tepat mutu dan tepat jumlah, sebagaimana yang

190 Ekonomi Pertanian


tampak pada iklan dan ikatan perjanjian kontrak jual-beli. Sangat penting dipahami,
bahwa apa yang dijanjikan oleh promosi kepada konsumen melalui setiap pelaku
niaga-antara, tentunya harus dipenuhi secara runtun. Sejak dari pelaku niaga terdekat
langsung ke konsumen terus ke arah balik kepada pelaku produksi agroindustri di
belakang hingga pelaku produksi primer (pertanaman) di lapangan. Proses yang
disebut terakhir ini tentu saja amat genting karena pengaturan produksi primer
tetap dalam pengaruh variabel alami; khususnya suhu udara dan kelembaban (Rh),
kesuburan dan muka air tanah (MAT) serta kelimpahan air permukaan dari sungai
dan kanal.
Urusan pengaturan variabel alami pada proses produksi pertanian tentu hanya
bersifat meminimalkan ancaman risiko, lewat pendekatan teknis perlengkapan
sarana produksi yang ada di lapangan. Di luar itu taktik manajemen produksi
dapat dimainkan dengan mengatur pola pertanaman, karena manajemen tanam
akan langsung berpengaruh pada pola panen yang dikehendaki. Tentang ini ada 2
pertimbangan tekno-ekonomi bisa dicermati, yaitu:
1) Parameter fungsi produksi berbasis saprosi optimal tiap periode tanam:
 Y = f(POM, PKM, DAJ, JBH) = f(Pupuk Organik Murni; Pupuk Kimia
Mikro; Debit Air per Jam; Jumlah Benih per Hektare), dan data survei
sosek dengan jumlah sampel relatif banyak.
 Y = β0 POMβ1.PKMβ2.DAJβ3 persamaan Cob-Douglas bersyarat Σβi = 1.0;
dengan data hasil survei sosek cermat, maka βi =elastisitas produksi dari
penggunaan saprosi (input) ke-i; i =1, 2, 3.
 Y sebagai fungsi Cob-Douglas tiga variabel eksogen bisa juga diestimasi
menggunakan data sekunder dari lembaga riset, dengan catatan data
bervariasi cukup untuk estimasi; dan rumus ey biasa bisa dihitung.
2) Parameter fungsi produksi berbasis pseudo-input multipanen tiap tahun.
 Y sebagai hasil panen dua bulanan (6 kali panen setiap tahun), dan data
tiga tahunan bisa diestimasi fungsi produksi semu dengan variabel eksogen
dibatasi hanya yang paling bervariasi untuk kemudian ey dihitung pakai
rumus hitung biasa elastisitas produksi ey atas input tersebut.
 Y yang telah dapat diestimasi fungsi produksinya, bisa dijadikan ey-nya
untuk dasar penetapan kebijakan produksi, pengolahan dan pemasaran
produk, agar tidak sampai terjadi vakum jumlah pengiriman barang pesanan
yang seharusnya dikirim.

BAB 10 | Upaya Bijak dan Cermat Niaga 191


10.5 Peniaga Antar-Panen Gudangan
Uraian yang diberikan sejak bagian awal buku ini selalu menekankan arti penting
para petani kecil dan tradisional sejenis (satu klaster kegiatan usaha) untuk tampil
melembaga BUKD atau bahkan BUMDes. Artinya, para petani kecil di suatu desa
perlu bersatu lalu berkiprah sebagai satuan usaha agribisnis kemitraan. Kiprah unit
UMKM demikian tentunya lebih didasari oleh modal sosial yang berpadu jadi satu
kekuatan melembaga. Dari situ diharapkan kemudian kegiatan bisnis komersial
akan mudah berbuah modal finansial yang bernas, karena telah bisa diatur lewat
manajemen komersial. Apalagi jika berkah promosi semakin nyata terjadi, yaitu
berupa perluasan pangsa pasar diiringi tuntutan kualitas dan kuantitas produk
yang terus membaik.
Oleh sebab itu, proses bisnis produktif berupa hilirisasi “berstruktur kontrak”
patut diduga akan semakin mewarnai interaksi jual-beli, dan tentu memunculkan
pula kebutuhan bahan baku baru. Tambahan itu patut dipenuhi oleh satuan usaha
yang bersifat kerakyatan setingkat satuan BUKD. Ini dengan sendirinya pula terkait
dengan perlunya sarana gudang untuk penyimpanan stok barang yang masih
menunggu waktu pengiriman. Proses pemasaran antarwaktu akan semakin marak
terjadi. Tentunya pemacuan jumlah dan pengaturan waktu pemasaran ini jadi alasan
akan pentingnya peran sarana gudang sesuai persyaratan teknis ketahanan produk
dan tepat kapasitas.
Dengan begitu maka idealnya setiap satuan BUKD memiliki gudang yang cukup
memadai, atau paling tidak beberapa BUKD bertetangga perlu memiliki satu gudang
bagi kepentingan bersama. Kecenderungan perkembangan demikian sudah saatnya
diantisipasi sejak dini agar persiapan yang baik dapat dilakukan oleh setiap daerah.
Apalagi laju kesibukan pemasaran hasil-hasil pertanian olahan setengah jadi dan
produk jadi dari negeri ini, cepat atau lambat akan mulai pula menjawab jumlah
permintaan dari mancanegara yang kian sulit memenuhi kebutuhan pangan-papan-
pakaian (3P; food-fiber-pakaian) akibat berbagai keterbatasan alami di negeri mereka.
Jika hal itu diantisipasi segera dengan memacu produksi maka nanti akan
ada saatnya total produksi berbagai klaster agribisnis jadi berlimpah ruah akibat
lompatan teknologi dan kepiawaian manajemen. Surplus terjadi sebab volume
suplai terpacu lebih tinggi dari permintaan (yang belum terpicu naik jauh volume
nya). Keadaan demikian ini menuntut fungsi dan peran gudang yang amat diperlukan
guna menyimpan hasil, sementara waktu sebelum laku terjual.
Tentu saja bukan perkara sulit untuk membagi guna ruang gudang bagi keperluan
penitipan produk dari anggota BUKD. Keperluan ruang untuk menyimpan beda-
beda volume barang anggota BUKD yang berbeda, tentu bisa diatur dengan metode

192 Ekonomi Pertanian


penitipan. Isyarat teknis dan waktu pakai gudang tentu perlu siasat dan metode
kelola, yang sesungguhnya tidak rumit. Ini bisa berubah jadi lebih rumit ketika peran
gudang beranjak melebar untuk melayani kepentingan penitipan barang dari beberapa
BUKD dari beberapa desa yang bertetangga, misalnya karena sasaran pasar tertuju
pada lokasi pemasaran (negeri importir) yang sama. Transaksi pasar aneka produk
unggulan ke depan akan semakin mendesak untuk diberi fasilitas gudang yang selalu
baik. Di daerah penghasil karet ada gudang pasar lelang Bokar (bahan olahan karet,
berupa slab kotor dan bersih) ada juga gudang lembar karet asapan (RSS).
Adanya kerumitan jadi terasa karena harus memenuhi pemakaian ruang
antarwaktu yang berbeda-beda tergantung pada titik pengiriman sesuai isi perjanjian
kontrak jual barang, yang juga harus dilihat dari perspektif waktu dan volume
produksi. Terkait ini setiap BUKD harus punya perhitungan waktu produksi dan
waktu jual lebih tepat, dan sekali lagi tolok ukur elastisitas harga, elastisitas silang
dan elastisitas pendapatan serta cermat terhadap siklus produk di tengah perniagaan
tentu akan sangat berguna. Profesionalisme manajemen satuan usaha secara total
harus terus ditingkatkan, khususnya yang terkait dengan persoalan gudang maka
perlu manajemen kuat agar perencanaan produksi dan pemasaran aneka produk
yang efektif dan efisien selalu terjaga menguatkan perusahaan.
Manajemen pemasaran yang jeli terhadap hubungan fungsional antara intensitas
dan frekuensi transaksi niaga di pasar ekspor terhadap transaksi niaga di pasar
domestik, tentu pula menarik dan penting dipahami. Terkait itu sangat perlu
membaca keadaan stok pangan guna menjembatani suplai antarwaktu diperankan
sarana gudang yang baik. Peran fungsional gudang untuk menjaga dan menambah
pangsa pasar di ranah ekspor dan di ranah domestik, tentu saja harus saling isi-
mengisi. Akan tetapi patut diingatkan pada bagian ini, bahwa iklim pemasaran
produk 3F (food-fiber-fashion) dewasa ini hingga 2045 (saat penduduk bumi
hampir 9 miliar jiwa) patut diduga akan berbeda terbalik dengan iklim pemasaran
pasca-2045. Untuk situasi pasca-2045 kiranya permintaan 3F itu akan berbeda
orientasi pemasaran, tergantung pada asumsi pesimistik atau optimistik.
Pertimbangan terkait manajemen penggudangan produk akan menjadi penting
jika nanti ada perkembangan besar yang sangat mungkin terjadi di masa depan untuk
pelaku agribisnis nusantara yang lebih maju. Ada alasan pesimistik dan optimistik
yang sebaiknya jadi landasan kebijakan guna mempersiapkan para pelaku usaha,
khususnya kekuatan tiap BUKD sebagai tangan BUMDes selaku UMKM agribisnis
yang tersebar di seluruh penjuru nusantara. Sistem pengadaan berbasis peran
gudang bahan baku dan stok barang patutlah mulai dibangun secara bertahap dan
dibiasakan sejak dini sekarang ini.

BAB 10 | Upaya Bijak dan Cermat Niaga 193


Asumsi Pesimistik (Perspektif kini 2022 dan nanti tahun 2045):
Dilandasi praduga kehidupan agribisnis RI tidak sempat maju secara berarti:
(1) Pra-2045 tekanan suplai masih untuk ekspor karena alasan surplus dibanding
kebutuhan domestik yang belum melewati titik kritis.
(2) Pasca-2045 tekanan suplai mengutamakan kebutuhan domestik yang terancam
defisit terkait penduduk akan melewati 350juta jiwa.

Gambar 10.3 Ilustrasi Peran Gudang Menopang Suplai Kebutuhan Bahan Baku Produk
Olahan Guna Memenuhi Pesanan Pasar
Sumber: F. Sjarkowi, 2022

Asumsi Optimistik (Perspektif kini 2022 dan nanti tahun 2045) yang
siidasari adanya inovasi dan manajemen agribisnis maju pesat:
(1) Pra-2045 tekanan suplai secara progresif ke pasar ekspor sekaligus juga ke pasar
domestik lewat niaga antarpulau bersemangat barter.
(2) Pasca-2045 tekanan suplai diberikan ecara impresif berkomitmen sahabat
timbal-balik, sehingga secara ekonomi baik bagi kedua pihak
Terlepas dari maksud itu, ada juga kepentingan lain harus diperankan lewat
manajemen penggudangan maju, yakni terkait dengan kelancaran suplai barang
dari periode ke periode panen dan dari tahun ke tahun. Indikator yang harus
selalu dicermati adalah ukuran stok komoditi bahan baku untuk jaga-jaga. Ketika
permintaan barang sedang tumbuh, maka volume stok jaga-jaga akan terkuras lebih
cepat, dalam arti mengecil di bawah ukuran rata-rata yang sudah diperhitungkan
dan ditetapkan. Sebaliknya ketika permintaan mengendor tentu volume stok jaga-
jaga akan terkesan kebesaran alias berlebihan.

194 Ekonomi Pertanian


Gambar 10.4 Manajemen Pemasaran dan Pangsa Pasar Membaca Siklus Kehidupan
Produk: Fase-4 Harus Diwaspadai

Mengingat adanya persaingan pasar demi mempertahankan bahkan memper­


besar pangsa pasar, maka perubahan stok jaga-jaga itu harus dengan jeli mewaspadai
posisi permintaan pada fase siklus produk. Jika tampak gejala perubahan selera
pasar terhadap barang yang suplainya sedang memasuki fase jenuh dan berarti
sedang terancam jatuh ke fase surut permintaan, maka manajemen pemasaran terus
harus ambil langkah bijak. Tampilan produk dan kemasan serta merek dagangnya
mungkin perlu diperbaiki.
Berkenaan dengan langkah-langkah bijak yang penuh perhitungan pada
sisi produksi dan pemasaran itu dapatlah di sini dicontohkan informasi yang
dicantumkan pada kolom fase 4 pada Gambar 10.7. Misalkan data pemasaran
menunjukkan total stok jaga-jaga ΣSt ≤ ΣSt-1, t-2, t-3 dan ini berarti total suplai
di waktu ‘t’ (kini, katakanlah pantauan di akhir 2022) lebih besar dari pada
beberapa waktu sebelumnya berulang kali.50 Fakta demikian itu bisa berarti keadaan
permintaan pasar yang biasanya maju dan atau mapan telah berubah jadi kendor
dan bisa jadi pertanda siklus produk telah memasuki fase ke-4 yang perlu segera
ada pembenahan sejak tingkat produksi hingga pemasaran.
Informasi yang terdata menurut periode waktu “t” simbol tahunan, pernah
terjadi kasus CPO di akhir tahun 2015. Volume ekspor yang tampak cenderung
menurun telah diantisipasi dengan upaya pengolahan CPO untuk dijadikan produk
biodiesel dan bioetanol yang kemudian sukses merubah sifat kejenuhan permintaan
dan tekanan pasar internasional. Gejala penurunan itu memang terus menguat,

50
Untuk jenis komoditi pertanian tahunan seperti karet remah, coklat atau bahkan CPO
(minyak sawit mentah) yang didominasi permintaan pasar ekspor, maka simbol waktu “t” akan
lebih tepat mewakili periode tahun. Jadi t0 = tahun kini, yakni di sekitar bulan Desember, dan
t-1 = setahun lalu; t-2 = dua tahun lalu, dan seterusnya.

BAB 10 | Upaya Bijak dan Cermat Niaga 195


karena isu CPO dan produksi sawitnya sering dikemas oleh pihak pesaing minyak
nabati lain (misal minyak bunga matahari) banyak diproduksi di negeri Barat; bahwa
perkebunan sawit adalah penyebab susutnya hutan tropika dan jadi pemanasan
global sehingga merugikan kehidupan.
Tanda-tanda permintaan pasar yang berubah melemah, tentunya akan lebih
berguna untuk menyusun kebijakan, jika diperhatikan juga elastisitas harga,
elastisitas pendapatan serta elastisitas silang, apakah ada tanda-tanda eh ≤ 1 dan
ep > 1 serta es ≤ 1. Kebijakan produksi dan pemasaran memang harus melahirkan
tindakan tepat serta bijaksana tidak boleh terlambat. Lalu terkait dengan ilustrasi
perubahan volume permintaan yang telah dibahas di atas, kiranya data tentang
indeks perkembangan elastisitas tadi sebaiknya dijadikan bahan diskusi oleh para
pembaca yang berstatus mahasiswa S-1 di sini.

Daftar Bacaan Lanjut


Kotler, P. Hermawan, K & Iwan S. 2017. Marketing 4.0: Moving from Traditional to
Digital. USA: Wiley.

196 Ekonomi Pertanian


BAB

11
GERAK MAJU PERTANIAN NUSANTARA

11.1 Picu-pacu Agribisnis Pemakmur Nusantara.


11.2 Pembangkit Agribisnis Perikanan Serba Lokasi.
11.3 Penyangga Agribisnis Peternakan Tanpa Emisi.
11.4 Penopang Agribisnis Bio-Energi dan Energi Limbah.
11.5 Peluang Agribisnis Kepanganan Nasional.

Ekonomi Pertanian: Kuat Pertanian Nusantara


Kelebihan kinerja sektor pertanian Nusantara tentu banyak dan cukup
membanggakan, tetapi banyak pula kekurangan yang menyertai kelebihannya.
Katakanlah kelebihan yang bisa memancik kecemburuan warga bangsa negeri lain
adalah: 1) Keanekaan potensi kesuburan lahan yang berpadu dengan iklim khas
tiap daerah, sebagai basis pertanaman komoditi untuk produk olahan khas masing-
masing daerah, sehingga memicu transaksi antardaerah dan jadi penguat “Bhinneka
Tunggal Ika”; 2) Keanekaan ekosistem sepulau (misal yang ada di hulu) sebagai
penopang suatu wilayah agroekosistem (misal yang ada di bawah pada 1 rangkaian
mata rantai fungsi hidro-orologis) penjaga keberlanjutan proses produksi di tiap
zona pertanian aktif; 3) Kearifan lokal terkait usaha tani pertanaman-peternakan-

197
perikanan tentunya selalu ada pada setiap komunitas petani. Kearifan lokal itu dapat
diberi perkuatan Ipteks-baru (Ipteks inovatif) guna menaikkan efek produktivitas
yang berwawasan lingkungan, serta manfaat kesejahteraan berkelanjutan.
Kekurangan kinerja sektor pertanian negeri ini juga ada, seperti telah dibahas
yaitu: 1) Mayoritas satuan-satuan kegiatan usaha tani yang belum berkelas agribisnis
karena tidak serta-merta bisa berjalan sebagai satuan usaha sesuai kaidah keilmuan
manajemen bisnis; 2) Manajemen produksi usaha tani masih terbatas pada upaya
menaikkan produktivitas dan panen bahan segar untuk konsumsi atau bahan baku
untuk agroindustri barang ½-jadi; 3) Metode pemasaran oleh para petani masih
lebih banyak bersifat lokalistik antara pihak petani dengan pedagang perantara,
sehingga terbatas pangsa pasar dan petani hanya bertindak sebagai penerima harga
(price taker) bukan penentu harga (price maker), sehingga mudah dipojokkan.
Faktor-faktor positif 3K itu adalah basis kebijakan yang perlu diangkat
agar faktor-faktor negatif 3M-nya tidak terus menggerogoti tingkat dan kadar
kesejahteraan kaum tani khususnya, serta warga bangsa pada umumnya. Akan
tetapi, kompleksitas permasalahan yang tampaknya kian menggejala itu harus diatasi
secara holistic. Artinya, tidak bisa lagi secara parsial karena bumi sudah ditempa oleh
perubahan iklim global; maupun kepadatan penduduk yang makin bebas bergerak
ke semua arah. Begitu pula arus informasi niaga, kini mudah menyebar ke semua
penjuru bumi dan boleh jadi hal itu peluang bisnis.

11.1 Picu-pacu Agribisnis Pemakmur Nusantara


Perlu diulas kembali seperti apa kondisi pertanian saat ini dan apa pula sasaran
kebijakan yang diperlukan guna membangun dunia agribisnis demi kesejahteraan
bangsa dan kemakmuran negeri ini. Sebaliknya pula apa ciri kebutuhan dunia yang
patut diantisipasi jika sesungguhnya hal ini menawarkan peluang dan tantangan
kepada kaum tani di masa datang, dan oleh sebab itu kapasitas agribisnis mereka
perlu secara khusus dipersiapkan.
Telah digambarkan dalam Bab 1 makna usaha tani yang umumnya berskala kecil
dan tradisional, serta individualistik (usaha tani gurem = peasantry farming).
Di dalam sub-Bab 11.1 ini dikemukakan lagi ciri-umum usaha tani gurem yang
bersifat subsistens itu sebagai berikut:
1. Berupa usaha perorangan berbasis lahan, gantungan hidup bagi 150-an juta
warga desa di semua penjuru negeri yang subur & kaya SDA ini.
2. Bersifat musiman, dan karenanya capaian hasil usaha tani masih amat
tergantung pada belas-kasih alam, yang tidak jarang berisiko rugi.

198 Ekonomi Pertanian


3. Berjalan menurut kebiasaan turun-temurun ataupun kebiasaan baru yang
meniru proses pertanaman pada lahan perusahaan di sekitar warga.
4. Berubah ukuran persil lahan dari generasi orangtua kepada anak, selalu mengecil
(<< 0.5Ha) akibat pewarisan & hibah ke anak-anak lelaki.
5. Berlangsung tanpa kebijakan manajemen yang karena luas usaha begitu kecil,
kegiatan tani tidak perlu diberi fungsi & bidang manajemen.
6. Berupaya hadapi setiap peluang tanpa terap-guna 5-instrumen bisnis “iptek-
inovatif sistem-manajemen, siasat-wirausaha, kearifan-lokal kreatif, etika-
bisnis”.
7. Berharap banyak pada bantuan sarana permodalan dan prasarana usaha dari
Pemda agar setiap persoalan yang muncul akan mudah diatasi.
Catatan untuk Dengan ciri 7B utamanya #B4 di atas, maka jadi mudah dimengerti mengapa
penulis:
Dengan ciri 7B sudah 76 tahun negeri ini merdeka, tapi nasib kaum tani kebanyakan masih saja
utamanya #B4 dalam tahap kesederhanaan belum beranjak naik ke tahap hidup sejahtera berpayung
di atas, kalimat kemakmuran. Adanya ciri B4, B5, dan B6 jadi memperparah keberadaan ciri B1,
ini, #B4 yang
dimaksud, yang B2, dan B3; sementara ciri B7 hanya sesekali hadir di suatu desa berupa bantuan
mana ya Pak, proyek yang biasanya tanpa pendekatan totalitas dan mengarah pada bentuk satuan
Bu? usaha agribisnis. Ada kesan bahwa terlalu sulit mengurus jumlah perorangan yang
begitu banyak, kecuali cukup dengan bantuan teknis dan akses modal tambahan,
serta sarana pasar & pemasaran secara bertahap. Totalitas pembinaan ‘tepat
saprosi’ (input), ‘andal produksi’ (proses), ‘unggul produktivitas’ (output), ‘efektif
pascapanen’ (outcome), amat perlu agar lebih sukses transaksi pemasaran komodi
dan produk dengan raihan laba tinggi, serta nilai tambah pun memuaskan tiap
pihak yang terlibat.
Perhatikan pernyataan itu jadi alasan kuat mengapa para pemerhati pertanian
harus jelas membedakan ciri satuan usaha tani subsistens dari pada ciri satuan
agribisnis sesungguhnya, yang juga sudah ada di negeri ini. Keadaan usaha pertanian
rakyat yang kebanyakan masih kental sifat subsisten satuan usaha tani mereka,
umumnya masih berciri 7B dengan hasil berciri 7C. Itulah kondisi dinamis yang
harus dipahami agar tepat sasaran, lalu sukses membina ekonomi pertanian di
negeri ini. Tanpa menyadari dan memahami semua itu, maka pembinaan akan jadi
salah sasaran bahkan mudah diselewengkan.
Amat sering terjadi di nusantara ini orang memahami istilah usaha tani sebagai
makna harfiah yang dipahami di dunia Barat yaitu “farm”, lalu cara membina dan
mengelolanya merujuk pada konsep “farm management”. Paham yang demikian tidak
sepenuhnya benar, dan di negeri ini tidak tepat sasaran, atau kata lainnya tak relevan
untuk kebanyakan pelaku usaha tani yang 7B itu. Konsep ‘farm’ sebagaimana adanya

BAB 11 | Gerak Maju Pertanian Nusantara 199


di barat itu baru bisa tepat makna dan tepat-guna di negeri ini bila per kelompok
pelaku usaha tani kecil-tradisional-gurem-subsisten di desa terlebih dulu dibina
hingga melembaga agar berciri farming, seperti halnya yang dikonsepkan di dunia
Barat.
Sebagai faktor penentu kebernasan ekonomi fundamental negeri, peran kaum
tani tidaklah patut diremehkan. Mereka harus dilihat sebagai pelaku ekonomi
kerakyatan, baik sebagai produsen berjumlah amat besar dan juga sebagai konsumen
yang nasib mereka masih belum sepenuhnya sejahtera. Ini sebenarnya titik tolak
perubahan dan peningkatan perekonomian negeri. Berikut ini ada 5 pokok rancangan
pragmatik perbaikan nasib mereka, sekaligus pemacu kemajuan ekonomi desa, serta
keseluruhan daerah Nusantara.
1. Rancangan kelestarian wilayah usaha agribisnis, yang biasanya diatur apik
berwawasan lingkungan, yang hanya boleh ada pada zona budi daya sesuai
ketentuan tata ruang Daerah Aliran Sungai, yakni di DAS-hulu, DAS-tengah
dan DAS-hilir, selalu bersinergi 2 zona (ekosistem lindung & agroekosistem
budi daya) agar tetap lestari berkelanjutan.
2. Rancangan prestasi pertanian, dari kinerja per orangan berubah menjadi
kinerja kesatuan klaster pertanaman, tampil sebagai KUBE (Kelompok Usaha
Bersama Efektip) sebagai usaha KEMITRAAN HORIZONTAL yang akhirnya
akan tampil jadi BUKD (Badan Usaha Kemitraan di-Desa), yakni bagian dari
BUMDes (Badan Usaha Milik Desa. UU#6/2014).
3. Rancangan prestasi BUKD sebagai satuan usaha agribisnis dari sejumlah
individu pelaku usaha tani perorangan telah tampil melembaga, sehingga
untuk kesatuan kerja dan kinerja produksi, serta kinerja pascapanen dan kinerja
pemasaran komoditi & produk bersama sudah layak diupayakan efektif berkat
7 faktor penciri bisnis komersial B #6 tadi.
4. Rancangan prestasi sektoral agribisnis, yaitu sektor pertanaman yang berlanjut
ke sektor pengolahan sampai ke sektor niaga pemasaran; ke-3nya diperkuat
Ipteks- inovatif, yakni industri tumpu-perta (agro-based industry; semisal
unit perusahaan benih bersertifikat & bibit unggul), industri olah-perta
(agro-processing industry seperti perusahaan sawit & pabrik CPO-nya), serta
sektor industri topang-perta (agro-supporting industry seumpama perusahaan
pergudangan, permodalan).
5. Rancangan prestasi usaha KEMITRAAN VERTIKAL antara pelaku usaha
di sektor hulu, sektor tengah dan sektor hilir yang patut dihubungkan demi
menjamin; (1) Serapan pasar bagi komoditi tani sektor hulu; (2) Saluran nilai
tambah produk agroindustri dari sektor tengah agar bisa sebagian ikut dinikmati
kaum tani di sektor hulunya; (3) Sarana mempertahankan daya saing daerah dan

200 Ekonomi Pertanian


negeri penghasil komoditi juga produk pertanian di pasar nasional antarpulau
dan pasar internasional.

Bagi kaum tani sebagai produsen masih ada aneka sumber nilai tambah
belum terjangkau, sebab pengolahan komoditi hasil pertanian menjadi aneka
produk tahan lama dan bernilai tinggi belum sempat terjadi. Produk olahan desa
seharusnya dapat memenuhi kebutuhan kota antarprovinsi. Bahkan kontrak niaga
perdagangan antarpulau akan memastikan adanya nilai tambah yang tinggi ikut
dinikmati warga desa, daripada sekadar menjual bahan segar atau pun bahan baku
mentah. Sebagai konsumen atas beragam barang jadi (siap pakai & siap konsumsi)
oleh warga perdesaan yang begitu besar tentu tidak kecil pengaruh positipnya jika
mereka sudah pada posisi makmur.
Satu misal, jika konsumsi orang desa diarahkan kepada rumus 4 sehat 5
sempurna, maka akan banyak jenis hasil tani di desa dapat mencukupi gizi tinggi,
sehingga protein hewani & nabati, vitamin, lemak dan mineral tercukupi, tapi
sekaligus mungurangi karbohidrat asal beras. Akibatnya dari tingkat konsumsi
120Kg/kapita bisa turun ke tingkat rendah, yakni sekitar 90kg/kapita, dan
selanjutnya surplus beras mutu tinggi di daerah penghasil bisa diarahkan ke pasar
ekspor. Siklus transaksi jual beli produk asal perdesaan dan asal perkotaan pun akan
hidup dan terus membesar volumenya, sehingga bisa dipastikan perputaran uang
akan terus memperkuat ekonomi fundamental negeri ini.
Argumentasi optimistik di atas, tentu tidak boleh sekadar bualan kosong.
Proses pelembagaan yang telah dibahas dalam Bab 1, 7, dan 10 sebelum ini harus
benar-benar diberi muatan bisnis yang nyata mendatangkan tambahan kesejahteraan
finansial bagi tiap anggota kelompok tani. Muatan bisnis yang dimaksudkan antara
lainnya adalah sebagai berikut:
1. Muatan kelembagaan (satuan usaha maupun jaringan bisnis).
2. Muatan keuntungan (laba utama maupun sampingan).
3. Muatan kenikmatan nilai-tambah (pokok maupun pelengkap).

1. Muatan Kelembagaan (MK#1)


Dimulai dengan pembinaan sekelompok orang tani dari suatu klaster pertanaman
tertentu, misalnya klaster petani-pekebun kelapa sawit, petani hortikultura sayur
mayor, peternak unggas, ataupun petambak waring ikan. Dapatlah diperhatikan 3
hal yang patut terjadi pada proses pembinaan klaster:
a. Kebiasaan musyawarah guna membuat suatu keputusan produktif tentunya
sangat demokratik;

BAB 11 | Gerak Maju Pertanian Nusantara 201


b. Kepercayaan pada tokoh musyawarah (ketua-sekretaris-bendahara) pasti bisa
terbina subur, dan;
c. Keberhasilan kelompok yang kemudian dicapai tentu akan berbuah suka-cita
anggota. Kondisi ke-3 ini pasti kan bentuk KUBE (Kelompok Usaha Bersama
Efektif) telah berhasil mewujud secara nyata menjadi BUKD.

Kepentingan berikutnya dapat diteruskan, yaitu mentransformasi KUBE


menjadi BUKD (Badan Usaha Kemitraan di-Desa). Prosesnya sama sekali
bukan bersifat administrasi atau instruksi, melainkan tetap merupakan proses
pemberdayaan masyarakat (CD= Community Development). Urutan proses tersimpul
yaitu:
a. Membimbing kesatuan anggota klaster agar getol mengadopsi paket-paket
Ipteks inovatif, khususnya tentang olah komoditi pasca panen agar jadi produk
yang tahan lama;
b. Menyadarkan kesatuan klaster & warga tentang daya-saing usaha mereka berkat
komoditi 7C berubah jadi produk 7J yang dibaliknya harus ada nama resmi
BUKD terdaftar;
c. Memacu semangat bisnis para anggota klaster dan pengurus BUKD untuk terus
mempromosikan komoditi andalan dan produk unggulan guna memperluas
jaringan dan memperbesar pangsa pasar, demi keberlanjutan upaya dan kinerja
bisnisnya.

Jika fase 3K dan 3M itu telah tuntas, maka di saat itulah kedudukan BUKD (bisa
3 sampai dengan 5 satuan nama per desa sesuai klasternya) harus sudah terdaftar
pada Dinas INDAG Kabupaten & Kota. Sebagai satuan usaha sukses, maka akhirnya
tiap BUKD tidak mungkin lagi ditolak Kades, justru diterima keberadaannya sebagai
tangan operasional dari BUMDes di desanya. Jadi di sini kelahiran BUKD jadi
tangan kuat BUMDes lewat proses yang bukan parsial, melainkan harus totalitas
berpola THIS (Tematik-kerakyatan; Holistik-hulu hilir; Inovatif-kreatif, Sistemik-
sistematik) sehingga dengan demikian kelincahan bisnis lembaga BUKD jadi
sangat tampak. Keadaan yang berproses seperti ini tanpa disadari akan berbuah
kekompakan warga dan aparat desa dalam memperkuat perekonomian desa. Tidak
mungkin lagi keaktifan BUMDes terkesan disaingi oleh warga yang aktif menghela
agribisnis melembaga BUKD.

2. Muatan Keuntungan (MK #2)


Di zaman serba bisnis hedonistik dewasa ini, daya tarik suatu bentuk kegiatan
baru apa pun adalah ada-tidaknya keuntungan yang bisa didapatkan si pelaku.
Selagi kegiatan usaha tani masih sekadar menghasilkan komoditi bersifat 7C,

202 Ekonomi Pertanian


maka keuntungan tipis yang biasa diperoleh akan dapat dipertebal oleh kenaikan
produktivitas (hasil/Ha). Produktivitas yang bisa membaik dan terkesan akan
menaikkan nilai penerimaan tunai (revenue), serta nilai laba (net-revenue) tentunya
jadi daya tarik tersendiri bagi para petani binaan. Ketika jumlah orang yang tertarik
dibina beranjak makin banyak tentulah jumlah produksi naik drastis. Hasil produksi
naik drastik demikian akan diganggu oleh mekanisme harga yang sulit memihak
petani produsen. Status petani sebagai penerima harga (price taker), maka tekno-
agronomi (produktivitas) dan tekno-ekonomi (manajemen) pada MK#1 & MK#2
belum akan mampu mengatasi kelemahan mendasar satuan usaha tani binaan.
Mesti ada semacam strategi tambahan yang bisa memudahkan perluasan pangsa
pasar yang ditunjang perkuatan jejaring-saluran pemasaran. Untuk perkuatan
jejaring-saluran syaratnya ‘komoditi 7C harus ditransformasi jadi produk 7J’. Untuk
perluasan pangsa pasar tentu manajemen pemasaran diperlukan serba taktis dan
teknis. Apa yang sesungguhnya diminati dan disukai pihak pembeli dari aneka
strata sosial-ekonomi di zona pemasaran yang berbeda pada suatu jalur pemasaran,
sudah seharusnya dipahami oleh pihak penjual. Keandalan manajemen demikian,
tentu sangat sulit untuk dipenuhi oleh para petani kecil, terkecuali bila mereka
telah terhimpun dan terbina jadi kekuatan bisnis komersil, sehingga mampu tampil
melembaga di tengah dinamika struktur-perilaku-kinerja pasar yang dalam jangkauan.
Mengingat kedudukan suatu komoditi pertanian ataupun produk agroindustrinya
biasa berbeda satu sama lain, maka tim manajemen suatu BUKD harus belajar dari
pengalaman guna memperkaya taktik dan strategi produksi dan pemasaran.1 Namun
jika prinsip musyawarah dan jujur, serta komitmen kerjasama berupaya bisnis
selalu dikedepankan tentu sukses jadi lebih mudah didapat. Jadi, bina kemampuan
agribisnis inovatif jangan berhenti pada tahap produksi, melainkan harus sampai
ke taraf komersialisasi.

3. Muatan Kenikmatan Nilai-Tambah (MK#3)


Nilai laba akan lebih terjamin bilamana ada proses olah-komoditi pascapanen,
sebab dengan pengolahan hasil produksi, maka petani tidak sepenuhnya dalam
ancaman merugi. Adanya proses pengolahan komoditi berarti petani sudah punya
2 lapak pasti, yaitu lapak agroindustri yang selalu siap jadi gerbang penyelamat
dari ancaman kejatuhan harga hasil tani berciri 7C. Lebih selamat lagi jika melalui
lembaga kemitraan mereka (BUKD) para petani yang kuat bersatu lalu menerapkan

1
Misalnya hasil karet alam 90% lebih diproduksi oleh usahatani rakyat, sedangkan hasil
TBS-sawit 90% lebih diproduksi oleh korporasi besar; dan berbeda pula antara pelaku usaha tani
kop & coklat yang rada panjang kegiatan pascapanennya jika dibandingkan dengan ringkasnya
kinerja petani hortikultura sayur-mayur.

BAB 11 | Gerak Maju Pertanian Nusantara 203


strategi manajemen pemasaran secara gencar (Bab 10.4 & 10.5). Strategi pemasaran
tidak bisa leluasa dilakukan sebelum produk berciri 7J dapat terjadi di bawah
komando manajerial dari para petani sendiri, yaitu melalui musyawarah BUKD.
Semua proses 3M & 3-MK tadi harus secara konsepsional mengikuti isyarat tekno-
ekonomi (Gambar 12.1).
Sesungguhnya, upaya mengubah komoditi 7C menjadi produk 7J adalah
proses inovasi yang meliputi tahap difusi (penularan) Ipteks inovatif lalu tahap
‘adopsi’ hingga tahap komersiaslisasi. Apalagi di kalangan satuan agroindustri
olah-komoditi, tentu ada yang masih rumahan selain juga yang sudah bersifat
pabrikan. Demi produk 7J siap masuk pasar, maka diperlukan semacam RUMAH
PRODUKSI INOVATIF penjamin proses berkualitas dan wawasan lingkungan.
Ini karena ada persyaratan higienis harus dipenuhi dan juga ada proses standar
agroindustri penentu kuantitas dan kualitas produk yang bersifat 7J. Prestasi patut
juga termasuk pemanfaaatan limbahnya agar jadi pelengkap sumber pendapatan.
Tetapi perubahan teknis hingga fase cipta produk 7J identik dengan tuntasnya fase
ADOPSI paket Ipteks. Perlu proses KOMERSIALISASI agar proses produksi inovatif
sungguh telah ditunjang sistem dan strategi manajemen pemasaran. Banyak dana
APBD daerah telah digelontorkan untuk program CD, tetapi setelah proses tekno-
ekonomi berhenti di ujung kegiatan proyek, justru kegiatan kelompok jadi stagnasi
dan anggotanya bubar sukarela akibat abai terhadap fase komersialisasi.
Dari itu pembentukan BUKD sepatutnya tidak dimulai dengan surat edaran yang
bersifat instruksional kepada Kades. Ini pula alasan mengapa amanat UU #6/2014
yang masih dijalankan secara instruksional faktanya di lapangan cenderung gagal
membumi. Disayangkan banyak jenis program pemberdayaan kaum tani walaupun
sifatnya terstruktur ditopang perangkat peraturan perundangan, tapi justru gagal.
Bab 11.1 ini memberikan resep alternatif pembangkit ekonomi negeri dan pemakmur
warga Nusantara.

11.2 Pembangkit Agribisnis Perikanan Serba Lokasi


Di luar sistem perikanan tangkap kini semakin populer sistem usaha perikanan budi
daya. Dengan teknologi bakteri pengurai bahan organic (PBO = anti pembusukan air,
maka hanya diperlukan sedikit siasat kelola genang-air dan siasat pemberian pakan
ikan yang bergizi dan terjadwal. Perlakuan teknis aqua kultur tidak lagi menghadapi
kendala serius. Siapapun bisa melakukannya cara sengaja sebagai hobi, apalagi
sebagai mata rantai kegiatan bisnis kecil-kecilan kini mudah untuk melaksanakannya.

204 Ekonomi Pertanian


1. Tekno-ekonomi Aquakultur Penopang Agrotrisula
Berikut ini diperkenalkan teknik pertanian terpadu tanpa limbah, yang penulis beri
nama AGROTRISULA, teknik ini sudah biasa diperkenalkan pada petani anggota
KUBE pedesaan binaan Penulis di berbagai daerah. Dalam hal ini, perikanan dengan
kolam terpal ditopang 5 prinsip terpadu; 1) Air sedalam 70-90 cm; 2) Diberi Catatan untuk
3-sendok makan EM4; 4) Eceng gondok 1/3 permukaan air (guna peneduh ikan, penulis:
untuk yang 5
kendali kimiawi terlarut, sumber pupuk organik) dan; 5) Solusi keterbatasan air prinsip terpadu
tanpa perlu menggantinya hingga 3 bulan sekali. di atas, nomor
3-nya tidak ada
Pak/Bu.
mohon untuk
dilengkapi,
terima kasih.

Gambar 11.1 Pola Agrotrisula & Aneka Potensi Niaga Terpadu (Tinggi Frekuensi Panen
Fermentasi Kotoran Hewan Jadi Pupuk Organik Berbasis Bakteri PBO "Pengurai Bahan
Organik" T4

Pada Gambar 11.1 di atas, ada ditunjukkan 3 informasi:


a. Bentuk segitiga merah Agrotrisula ditandai tanda panah kuning bolak-balik
pertanda saling menunjang tanpa buangan sia-sia.
b. Bentuk hubungan kegiatan usaha tani primer dan agroindustri pascapanen
ditopang hasil sampingan, energy gas CH4.
c. Bentuk hasil organik segar & sisa tidak boleh ada terbuang, bakteri PBO aktif
membuatnya berguna bagi setiap sula-tani.

2. Tantangan Ekonomi Perikanan Selain Mina Padi


Pada sula-tani ‘ikan kolam-terpal’, petani bisa memilih jenis ikannya: a) Lele-dumbo;
b) Nila-merah &/biru; c) Patin-jambal; d) Ikan Gurame. Jenis a) dan b) bisa dipanen
umur 60 harian, dan manajemen produksi bisa mengatur panen setiap minggu
sekali, sedangkan jenis c) dan d) bisa dipanen pada umur 100 harian, serta dengan
manajemen produksi bisa diatur untuk panen setiap 3 minggu sekali. Ketika yang

BAB 11 | Gerak Maju Pertanian Nusantara 205


diusahakan adalah perikanan mina-padi, maka hanya nila dan jenis ikan mas yang
bisa jadi pilihan.
Dari pengalaman Riset Aksi di lapangan, diketahui kunci sukses budi daya
ikan di kolam buatan ada 5 faktor dalam prinsip 2K, yaitu: 1) Kualitas pakan bergizi
(sementara dibeli, sebelum KUBE bikin sendiri jika punya mesin pengering agar pakan meng-
apung, BD < 1.0); pakan pokok harus diberikan setiap 6 jam sekali atau 4 kali/hari agar
tak-ada kanibalisme, sedangkan pakan selingan dedaunan atau lainnya boleh sewaktu-waktu;
2) Kualitas air harus sehat, dijaga rendah-BOD, pH = 5-6, suhu normal; serta bersih dari
suatu zat atau bahan berbahaya beracun (B3) dengan cara memberi bakteri PBO atau EM4
sesendok, diberi aerator jika ada, diberi tumbuhan Eceng gondok 1/3 permukaan air yang
hanya perlu ditambah sebulan sekali agar kedalaman tetap sekitar 80 Cm bersuhu normal
berkat anomaly air. Prinsip 2K inilah yang memungkinkan budi daya perikanan bisa
berlangsung serba lokasi, termasuk untuk budi daya mina padi.
Peran bakteri PBO dapat disediakan lewat penempatan pupuk organik pada
pangkal cucuran air dari setiap petak lahan sawah (irigasi teknis, ½ teknis, ataupun
tadah hujan). Tentu suatu cabang usaha atau sula-tani perikanan adalah sasaran
manajemen produksi yang sebaiknya ditegaskan berupa SOP (prosedur operasional
tetap) yang tidak patut diabaikan. Misalnya rumus pemberian pakan tiap 6 jam harus
dipenuhi pada pukul 6.00, 12.00, 18.00, dan terakhir pukul 24.00 dengan jumlah
yang pas atau tak bersisa, terutama untuk waktu tengah malam. Sekali jenis ikan
lele kelaparan, maka kanibalisme akan terjadi dan ini harus selalu jadi perhatian
petugas giliran jaga. Jika terkandung maksud menghasilkan populasi ikan untuk
dijual sebagai nener atau anak ikan untuk jadi penunjang kegiatan bisnis pembesaran
skala besar. Pola usahanya ada isyarat tekno-ekonomi khusus terkait aerasi air dan
reduksi metabolisme anak ikan saat pengiriman. Jika akan dijual sebagai ikan-
hias berukuran sedang, maka tekno-ekonomi pembesaran bisa dilakukan dengan
membuat komunitas induk-semang dari kalangan warga yang berminat, sebagaimana
perusahaan inti melibatkan petani-plasma di konsesi perkebunan.

3. Topangan Sosio-ekonomi Kulineria Ikan


Kegiatan kuliner berbahan dasar ikan adalah proses olah-komoditi jadi produk yang
pasti bisa tanpa buangan, sebab isi perut serta sisik dan tulangnya merupakan bahan
organik yang berguna untuk dijadikan bahan dasar pakan. Uniknya kegiatan ini bisa
bersifat rumahan oleh siapa pun, asalkan kemudian diberi perlakuan standarisasi
pada rumah produksi yang higienis dilengkapi peralatan. Proses pengolahan pun
bervariasi resep dasarnya 5 RSP, yakni:
a. Resep pengasapan bergaram ringan, pengasapan berbumbu ringan;
b. Resep penjemuran bergaram; ataupun berbumbu coriander;

206 Ekonomi Pertanian


c. Resep presto dan pengalengan berbumbu khas olahan rumah produksi;
d. Resep pengolahan dengan fermentasi berbumbu khas berupa Bekasam;
e. Resep pengolahan bertepung sago ataupun tapioka untuk jadi aneka produk
siap saji maupun produk olahan sekunder sebagai kerupuk kemplang.

Sungguhpun hampir setiap 5 kelompok resep olah bahan itu bisa saja dilakukan
pada tingkat agroindustri rumahan, namun penyediaan rumah produksi bersama
oleh setiap desa (cantiknya di bawah koordinasi BUMDes) guna menjaga standar
produk yang perlu disahkan lewat pemeriksaan BPOM (= Badan Pengawasan Obat
dan Makanan; sesuai Perpres #80 2017), serta pengesahaan oleh pihak otoritas
Depkes-RI. Ingat syarat ini adalah salah satu unsur ciri 7J pada produk, dan
amat berguna jika kemudian perluasan pangsa pasar diperlukan guna memenuhi
permintaan dari jauh (antarpulau) khususnya dalam menjawab tantangan ekspor.2
Menariknya sisi tekno-ekonomi jika di desa bisa dihidupkan suatu rumah
produksi yang punya sasaran jumlah produksi tertentu atas permintaan pasar
antarpulau, maka setiap proses yang 5-RP tadi mudah terpicu membuka banyak
kesempatan kerja. Padahal untuk kategori dan jenis usaha olah-bahan berbasis ikan,
tentunya tidak perlu kualifikasi SDM pekerja berpendidikan tinggi, terkecuali untuk
SDM bertugas sebagai manajer tengahan. Bahkan pada usaha ekspor ikan segar
wanita lulusan SMP dapat dilatih keterampilannya agar cekatan, tinggi produktivitas,
serta menaati prasyarat formal higienis dari peraturan niaga yang berlaku di suatu
Negara tujuan ekspor.

11.3 Penyangga Agribisnis Peternakan Tanpa Emisi


Memperhatikan aspek sosial ekonomi dan ekonomi perniagaan, tentu usaha ternak
ruminansia maupun unggas paling dominan dijumpai di tengah kehidupan warga
pedesaan adalah “ngangon sapi pedaging” dan “beternak unggas petelur & pedaging”.
Persoalan yang dihadapi petani-peternak adalah kendala menaikkan produksi (100
kg berat/ekor/minggu?; 1000 telor ayam/minggu?) maupun produktivitas (kenaikan
berat basah 1,0 kg/hari?; dan 25 telor/induk/bulan?). Kedudukan ternak dalam
satuan usahatan & ekonomi perdesaan pada umumnya hanya sebagai sumber
pendapatan sampingan. Jika ada caranya untuk menambah jumlah produksi dan
kadar produktivitas, tentu para peternak akan merespons peluang yang muncul dan

2
Wawancara Penulis (selaku Kepala Bappeda Sumsel) di tahun 2003 dengan pihak Bank
Indover (cabang Bank Mandiri untuk urusan transaksi ekspor & impor) berkedudukan di Den
Hag Belanda; pernah terjadi pengiriman 2 kontainer kerupuk kemplang berbahan dasar ikan
digagalkan oleh petugas Bes-Cukai di pelabuhan Rotterdam disebabkan ketidaklengkapan
dokumen kualitas produk sedangkan saat diperiksa, petugas menemukan sedikit dari barang
itu ternyata agak berjamur akibat kurang kering dan berbau ikan (fishy).

BAB 11 | Gerak Maju Pertanian Nusantara 207


hampir jarang disia-siakan demi menambah kesempatan penerimaan dan pendapatan
nyata. Lalu, di sinilah arti penting penularan Ipteks-inovatif kepada petani peternak
binaan di desa, dan pembinaan tidak hanya sebatas taraf produksi melainkan
harus sampai ke taraf olah produk hingga ke taraf pemasaran yang menembus ke 5
tingkatan pasar potensial (= Lokal-Kabupaten-Provinsi-Nusantara-Ekspor).

1. Faktor Mikroorganisme Produksi Maggot


Tentu saja Ipteks pemicu produktivitas utamanya adalah pakan bergizi yang diberi
konsentrat bermuatan bakteri PBO-unggul pemacu daya-cerna; sedangkan faktor
utama pembangkit volume produksi adalah jumlah populasi ternak dikalikan
produktivitas. Hal-hal yang bersifat teknis ini tidak perlu waktu yang lama akan
mampu diserap dan terapkan oleh para petani binaan. Seterusnya dari upaya benah
produksi harus diteruskan ke upaya olah-komoditi untuk dijadikan produk tahan
lama dan punya nilai tambah. Produk demikian adalah prasyarat untuk memudahkan
manuver peningkatan pangsa pasar, sekaligus memperluas jaringan pemasaran ke
luar daerah bahkan luar negeri.
Dalam iring-iringan proses produktip itu pula akan bertaut hadir aneka
limbah organik vegetatif (‘dedaunan’-‘kulit buah’-‘akar & ranting’-‘sisa umbi’) juga
nonvegetatif (usus-darah-tulang-sisik-bulu-urine-bongkah BAB); semuanya dapat
dijadikan pupuk organik maupun unsur protein ‘maggot’ didayagunakan sendiri
maupun dijual tunai. Uniknya penggunaan mikroorganisme unggul demikian
itu mengubah bahan kotoran hewan terurai dari bentuk molekul asalnya jadi
aneka senyawa tanpa bau busuk, tidak lagi diboncengi pathogen, tak ada lagi rupa
menjijikkan yang mengesankan haram. Sebab itu sekali orang tau hasilnya, tentu
berminat menerapkan metodenya.
Pasar komoditi maggot adalah Negara-negara maju di Eropa dan Asia karena
di sana tidak mudah memproduksi bahan konsentrat pakan berkadar protein
tinggi, tapi berharga murah. Sebaliknya di daerah beriklim tropis produksi maggot
(belatung) lalat buah (Hermetia illucens) terbilang sangat mudah dilakukan di
samping persediaan bahan dasarnya, yakni sisa bahan organik berasal dari sisa
organ hewani juga relatif berlimpah dan species lalat buah mudah berkembang biak.
Dengan naiknya jumlah permintaan atas komoditi daging ruminansia dan terutama
unggas di berbagai negeri maju dan berpendapatan tinggi dibarengi pendapatan
per kapita warganya terus meningkat, maka jumlah permintaan daging hewan ikut
pesat melonjak dan peningkatan ini adalah informasi bisnis yang baik.
Keadaan demikian itu tentu jadi pemicu tumbuh kebutuhan pakan ternak
bermutu, kebutuhan jumlah bahan konsentrat otomatis pula meningkat drastik.
Perkembangan permintaan magoot sebagai sumber protein akan ikut naik pesat, dan

208 Ekonomi Pertanian


ini sesungguhnya adalah peluang ekonomi baru yang bisa ditanggap dengan mudah
oleh unit perusahaan agribisnis berskala besar. Tetapi lebih cantik lagi dan terpuji
jika di antaranya satuan-satuan usaha BUKD di desa yang banyak warganya ikut
mengusahakan ternak unggas digerakkan untuk memproduksi maggot lalat buah itu.
Desa-desa dekat kota kabupaten biasanya selalu memiliki petani-peternak unggas
sebagai cabang usaha atau bahkan merupakan satuan usaha utama. Soal bisa atau
tidaknya peluang bisnis itu ditangkap oleh pelaku usaha kecil di desa tentu amat
tergantung pada bimbingan dan pembinaan oleh Pemda bekerjasama dengan pihak
Perguruan Tinggi Swasta (PTS) yang memang punya program studi terkait dengan
hal itu. Maggot atau belatung lalat buah ini setelah diberi perlakuan ringan dapat
berubah status jadi produk ekspor. Adanya peran bakteri PBO perombak molekul
limbah organik jadi pakan larva, maka tidak ada hal yang menjijikkan.

Larvae dari Lalat Buah (Hermetia Illucens


= BSF (Black Soldiers Fly) dapat diproduksi
secara cepat dgn memanfaatkan bahan
organik dari sisa tetumbuhan & kotoran
hewan; Fakta ini akan jadi solusi pakan &
pangan di masa depan (Wang, Yu-Shiang
& Matan, S. 2017). T.04.

Gambar 11.2 Lalat Buah Bisa Produksi Magoot Sumber Protein

2. Faktor Vegetasi Produktif Pengarah Angin Penjegal Bau


Sebagai potensi limbah padat-cair-emisi, tentulah jenis emisi yang akan paling
merepotkan perusahaan. Ini karena emisi bau bisa terbawa hembusan angin menurut
kebiasaan arahnya sebagaimana tampak dari informasi Bunga Angin (wind rosse)
dikeluarkan stasion BMKG setempat. Walaupun demikian, dampak negatif emisi
bau bisa dikendalikan lewat 3M, yakni:
a. Mengisolir sambil manfaatkan limbah, semisal produksi maggot lalat buah;
b. Memberi sabuk hijau antara titik sumber emisi dan zona permukiman, dan;
c. Menanam vegetasi berdaun kecil dan padat, ditanam berurut mulai dari semak
bebungaan yang terdepan diikuti tumbuhan berbuah (sawo, jeruk), lalu bambu
batang kecil, akhirnya pepohonan di posisi belakang berukuran lebih tinggi dari
rumah sekitar.

BAB 11 | Gerak Maju Pertanian Nusantara 209


Gambar 11.3 Pola Perlindungan terhadap Emisi Ekologis-Ekonomis

Solusi M(1) telah banyak dibahas sebelum ini, sifatnya mendayagunakan limbah
padat maupun limbah cair untuk mendukung kegiatan produktif yang sifatnya tidak
merugikan, malahan jadi sumber pendapatan sampingan dan berlangsung sebagai
tambahan rutin. Solusi M(2) tergambar sebagaimana posisi tetumbuhan berdaun
rapat dan padat (vegetasi) di tengah-tengah pada Gambar 11.3 di atas. Solusi M(3)
yaitu penataan RTH (Ruang Terbuka Hijau) yang dalam rancangannya sengaja
dibentuk tersusun dari pertanaman bunga-bungaan perdu yang terdepan disusul
pertanaman hortikultura buah berpohon rendah, tapi berkanopi padat (semisal
tanaman jeruk), lalu disusul oleh barisan pertanaman Bambu-hias yang berdaun
jarum dan juga padat, barulah disusul oleh tanaman pohon berharga semisal Mahoni
yang juga berdaun kecil & padat. Dikarenakan sifatnya sebagai zona penyangga angin
dan pembelok arah angin dan emisi gas atau bau yang dibawanya, maka disebut
Sabuk Hijau (Green Belt).

3. Faktor Lapangan-kebun Jadi Padang Gembala


Jikalau diperbandingkan kesesuaian lahan NTB dan Sumatera Selatan bagi
peternakan ruminansia, maka indeks LQ (Location Quotient) NTB akan jauh di atas
2.0, sedangkan di Sumsel hanya di bawah angka 1.0 atau tidak layak jadi lokasi
investasi usaha peternakan sapi. Artinya dengan pola usaha peternakan yang baku
berbasis pakan rumput gembala, tidak akan dapat menguntungkan berinvestasi
ruminansia, kecuali di NTB. Indeks LQ menunjukkan konsentrasi peran SDM
pembangunan di NTB lebih banyak terlibat di sektor peternakan dari pada tenaga
kerja di Sumsel. Keterlibatan lebih tinggi terjadi kalau kegiatan investasi ekonomi di
sektor itu memang tinggi dalam jumlah nilai & sumbangsihnya bagi perekonomian
nasional (PDRB sektor wN); mengingat NTB dan Sumsel adalah 2-provinsi berbeda
(PDRB sektor wi). Demi memahami makna indeks LQ, berikut ini rumusnya, misal
untuk provinsi Bangka).

210 Ekonomi Pertanian


LQ = (Yij / Zj) / (Yj / Z);

Yij = PDRB sektor ekonomi ‘i’ di provinsi ‘j’;


Zj = Total PDRB provinsi j;
Yj = PDRB sektor i nasional;
Z = Total ‘PDRB’ nasional

Pengelolaan usaha peternakan ruminansia berbalik jadi prospektif jika lapangan


kebun sawit yang tanamannya telah berumur di atas 8 tahun justru dijadikan
lapangan gembala sapi pedaging. Upaya nebeng ternak tentu harus dibarengi
pemberian pakan ekstra, yang dapat memanfaatkan daun tua kelapa sawit sebagai
salah satu bahan dasar pakan yang disukai sapi. Ukuran layak investasi usaha
peternakan terpadu dengan lapangan kebun sawit (SISKA=Sistem Integrasi Sapi &
Kelapa Sawit) ini telah dibuat hitung dagangnya oleh banyak tim peneliti agribisnis
di wilayah Sumsel dan Bangka, ternyata NPV > 0 (positif), IRR > r (tingkat bunga),
dan B/C > 1 secara ekonomi prospektif.
Memang bagi perusahaan skala besar perpaduan ruminansia dan kebun
sawit tidak terlalu menarik, melainkan masih dianggap hanya akan merepotkan
pihak manajemen produksi. Persoalan jadi lebih menarik jika dipandang dari segi
perkebunan sawit milik BUKD beranggotakan banyak petani dengan petak lahan
kebun masing-masing berbatasan satu sama lain. Sistem usaha agribisnis terpadu
sawit-ruminansia bagi kelompok petani kemitraan demikian akan bermanfaat
ekstra selain layak diusahakan, yakni sebagai berikut: 1) Memberikan tambahan
pendapatan bagi petani-peternak; 2) Menambah pupuk organik asal kotoran sapi
penyubur pohon sawit; 3) Mengurangi sarang tikus dan hewan liar lainnya, sehingga
tidak mengundang kehadiran ular Phyton di dalam kebun; 4) Memberikan kesan
kebun bersih dan aman dari ancaman api & hewan buas.

11.4 Penopang Agribisnis Bio-Energi dan Energi Limbah


Peran mikroorganisme unggul (bakteri EM4) memungkinkan semua proses teknis
tadi bisa terjadi dengan kecepatan waktu yang amat efisisien dan sangat efektif.
Bahkan teknologi fermentasi terhadap bongkah-BAB ternak bercampur sampah
pakan-nya kini bisa dimanfaatkan sebagai bahan & media fermentasi dalam rangka
memproduksi magoot (ulat) lalat-buah. Sebagai hasil sampingan, komoditi magoot di
sini bisa bernilai $ di pasar ekspor karena kandungan proteinnya 45% pas buat pakan
yang sepatutnya bergizi tinggi. Akan tetapi ciri tersebut tentu lebih leluasa untuk
dilakukan oleh perusahaan peternak yang berskala besar, bukan ternak berskala usaha
rumahan. Maka berkaitan dengan skala besar itu tentu potensi limbah padat, emisi
bau, dan limbah cair tentu berukuran besar. Di sini, pola Gambar 11.4 amat berguna.

BAB 11 | Gerak Maju Pertanian Nusantara 211


Gambar 11.4 Contoh Pola Produksi Terpadu Tanpa Buangan

Harus selalu diingat bahwa para petani kecil bisa berkekuatan besar jika mereka
bersatu menurut jenis klaster usahanya (misalnya: klaster petani sawit). Mereka
tampil melembaga dengan menerapkan system manajemen agribisnis yang baku.
Dengan cara demikian mereka pun bisa menerapkan pola produksi terpadu tanpa
buangan tersia-sia. Tambahan pendapatan pun akan masuk.

1. Simbiose Mutualistis Pangan-Energi Tanpa Emisi


Beranjak dari pemahaman tentang potensi energi di dalam setiap limbah dan
sekaligus potensi ekonomi bisnis yang dapat diunduh dari limbah maupun energinya,
di sini keterkaitan antara usaha pertanian komoditi pangan dan komoditi energi bisa
dilihat. Di sini pula kajian akan dibagi 3 sasaran pembahasannya, yaitu: (a) Aneka
bentuk proses fermentasi penghasil gas CH4 yang dapat ditimba-ditimbun; (b)
Aneka bentuk usaha tani berkombinasikan jenis tanaman kayu pro-energi bahan
bakar; (c) Aneka bentuk sisa tebangan yang bisa didayagunakan untuk bahan baku
arang.
Untuk menguatkan hubungan antara pertanian pangan dan bio-energi, maka
bisa diterapkan pola pertanaman terpadu seperti yang dicontohkan pada Tabel 11.1.
Berikut ini. Tampak bahwa sasaran menjaga proses produksi tanpa gangguan geo-
fisik lingkungan bisa dijadikan gerakan bersama dari semua pelaku usahatani kecil
juga pelaku usaha agribisnis primer berskala menengah (ratusan hingga ribuan Ha)
dan skala besar (puluhan hingga ratusan ribu Ha).

212 Ekonomi Pertanian


Tabel 11.1 Rancangan Kombinasi Cabang Usaha Peduli Lingkungan
Proporsi Jenis Usahatani Selain Utama (%)
Tipe Pelaku Usahatani Tanaman Agrotrisula S-T-I Tan-Kayu Agroindustri Primer
(Agribisnis Primer) Pangan Cepat (Efsiensi & Nilai-tambah
Pokok Sayur Ternak Ikan Tumbuh
1. Ptn Klaster-Gurem 75 5 5 5 10 Agroindustri Olah-perta
2. Ptn Klaster Pekebun 20 15 40 10 15 Agroindustri Olah-perta
3. Ptn Klaster Peternak 25 5 45 5 20 Agroindustri Pakan
4. BUMN-Perkebunan 30 15 40 5 10 Agroindustri Pengawetan
5. BUMS-Perkebunan 25 15 40 5 15 Agroindustri Pengawetan

6. KPH-HKemasyarakatan 5 15 5 5 70 Agroindustri Olah-kreatif


7. KPH-HLind/Tmn-Nas’l. 5 10 5 15 65 Agroindustri Olah-inovatif

Keterangan: Tanaman Pangan-pokok (TPp) adalah padi atau jagung atau kedele (PAJALE) diusahakan sebagai bagian
dari pola perusahaan komoditi pangan (food-estate) guna menjaga kecukupan pangan daerah & nasional. Usahatani
agrotrisula didudukkan sebagai penunjang TPp, sedangkan TKc berstatus sbg pelengkap fungsi hidro-orologis. Istilah
‘petani klaster’ indikasi kelompok petani sejenis yang terbina.

Keterpaduan aksi lapangan pada kegiatan agribisnis primer sangat berguna dalam
rangka menjaga keseimbangan biogeofisik, ketersediaan energi, dan keterjaminan
pendapatan. Ada 3 ciri keterpaduan pada Tabel 11.1 tadi antara lain yaitu;
a. Penjamin sumber pendapatan harian dan mingguan bagi para pelaku teknis
lapisan terbawah (pekerja kasar) adalah pertanian AGROTRISULA (terpadu
oleh peran bakteri PBO, yang membuat usaha tani ‘sayur-cepat, ternak-cepat,
ikan-cepat’ saling mendukung, saling membutuhkan).
b. Penjamin keseimbangan mutu dan fungsi hidro-orologis yaitu melalui peran
pertanaman kayu, yang sepatutnya mudah tumbuh karena ada peran penyubur
disediakan dari hasil fermentasi bahan organik berupa aneka limbah kegiatan,
setelah diberi perlakuan bakteri unggul PBO.
c. Penjamin kestabilan sumber pendapatan berbasis frekuensi panen yang teratur,
berkah padu-usaha tanaman-perikanan-peternakan; dan diatur waktu tebar
benih, nener, bina-ternak; lalu hal sama diulang tiap 3 hari jika panen diharap
tiap 3 hari di sejumlah galengan secara bersiklus.

Maksud bersiklus di sini adalah upaya yang sama dilakukan kembali dan kembali
pada galengan atau kolam yang pertama, tergantung pada rumusnya “Umur-panen
dibagi 3 hari”. Jika umur panen sayur 15 hari, maka harus dibuat 15:3 = 5 galengan
(atau 2x5 =10 galengan jika volume panen dilipat dua). Lalu begitu juga kolam
ikan dapat ditebari berurutan (misal 400 nener per kolam) bersiklus umur panen
10 minggu dibagi frekuensi panen tiap 2 minggu berarti 10:2 =5 kolam terpal (atau
kelipatannya) harus disiapkan. Rumus yang sama dipakai untuk bina ternak dengan
waktu tunggu panen (telur ataupun daging yang juga dapat diatur guna menambah
pendapatan pelaku usaha.

BAB 11 | Gerak Maju Pertanian Nusantara 213


Pada tipe pelaku #1 dan #2, agroindustri olah-perta diperlukan untuk bisa
mengubah komoditi yang berciri 7C menjadi produk 7J agar didapat nilai tambah
yang bernas guna menaikkan perolehan pendapatan para petani terbina tipe #1 dan
#2. Tipe pelaku #3 amat terbantu jika ada mesin pengering pakan buatan sendiri
pakai resep pakan tinggi protein. Untuk tipe pelaku #4 & 5 tidak mengherankan
jika hasil usaha tani agrotrisula lebih diperlukan untuk memenuhi kebutuhan
pangan warga persusahaan sendiri (selain untuk dijual sebagian), untuk itu jenis
agroindustri rumahan berperan mengawetkan tentu sangat berguna. Sementara itu
untuk pelaku tipe #6 dan #7, jenis hasil pertanian pangan pada prinsipnya untuk
memenuhi kebutuhan internal kelompok petani pelaku HKM dan HTN tanpa harus
merambah tumbuhan kayu alami, tapi ada ‘hutan tanaman kayu’ yang pasti ada
bagian tetumbuhan di kawasannya yang dapat diolah jadi barang-barang berdaya
guna dalam perspektif keindahan seni (kreatif) maupun kemanfaatan unggul
(inovatif) bernilai-tambah tinggi.

2. Sumber Pupuk Organik Padat (POP) dan Pupuk Organik Cair (POC)
Dari kegiatan pertanian primer dan olah pascapanen selalu ada jenis limbah organik
padat dan juga cair. Sungguhpun kandungan hara-makro pada jenis limbah organik
itu relatif rendah, namun bilamana telah dilakukan proses fermentasi menjadi
pupuk organik padat & cair, maka manfaatnya amat besar. Jenis POP pada tanah
gersang, berperan sebagai ameliorant (penggembur tanah dan pelancar penyerapan
hara tanah oleh tanaman, sekaligus sebagai sumber hara makro tambahan (Lihat
Tabel 11.2 di bawah). Jenis POC selain bersifat kandungan hara umumnya lebih
tinggi dari pada POP, juga bersifat cari sehingga lebih mudah digunakan dan lebih
lancer untuk diserap akar tanaman, terutama pada pertanaman berakar dangkal.
Tabel 11.2 Kandungan Hara Makro, Kotoran Padat & Cair Hewan Ruminansia
Kandungan Harga Makro (%)
Jenis Ternak Jenis Kotoran
N P K Ca
Sapi Padat 0.33 0.11 0.13 0.26
Cair 1.52 0.01 0.56 0.007
Kerbau Padat 0.26 0.08 0.14 0.33
Cair 1.62 - 1.34 -
Domba Padat 0.65 0.22 0.14 0.33
Cair 1.43 0.01 0.55 0.11
Kuda Padat 0.56 0.13 0.23 0.12
Cair 1.24 0.001 1.26 0.32
Sumber: BSN, 2011

214 Ekonomi Pertanian


Jika dilihat dari sudut pandang ekonomi pertanian, tentu banyak macam manfaat
terlahir dari pemanfaatan limbah untuk dijadikan pupuk organik padat dan cair
ini. Tidak dapat disangkal bahwa proses fermentasi limbah organik lewat proses
sederhana menggunakan mikroorganisme bakteri unggul seperti EM4 (Effective
Micro-organism 4) adalah teknologi pengomposan termurah dan tercepat. Dengan
proses itu, senyawa organik yang kompleks diubah jadi aneka zat organik dengan
ikatan lebih sederhana, sehingga proses penguraian lebih lanjut akan diteruskan
di dalam tanah secara berangsur dan siap diserap oleh perakaran tanaman secara
bertahap pula. Adanya teknologi semudah ini tentu mudah ditularkan kepada
petani binaan, dan tentu terjadi penghematan biaya pemakaian pupuk diiringi
kenaikan produktivitas karena ada efektivitas pemupukan meningkat; antara lain
karena cengkeraman pupuk organik atas partikel pupuk kimiawi justru mengurangi
jumlah kehilangan pupuk kimiawi akibat limpasan air hujan. Bersamaan ini, maka
kampanye anti-ceceran limbah padat-cair-gas akan semakin merasuk jiwa masyarakat
desa sekalipun.

3. Siasat Pertanaman Kayu Penghasil Arang Bahan Bakar


Pengalaman hidup manusia di manapun pasti memerlukan bahan kayu, ketika
Balita perlu kandang main terbuat dari kayu; ketika perlu perabotan rumah; sampai
akhirnya harus hadir di “tempat peristirahatan akhir” seorang manusia pasti
membutuhkan bahan kayu. Di lain pihak, jumlah area bervegetasi hutan kayu di
muka bumi semakin lama semakin menciut, lalu area hutan yang masih tersisa
pun disepakati umat manusia untuk dipertahankan keberadaannya demi terjaganya
mutu & fungsi hidro-orologis dan daya dukung ruang kehidupan manusia. Dengan
adanya pertumbuhan penduduk di setiap penjuru bumi keberadaan hutan alam,
serta hutan tanaman sepertinya tidak mungkin lagi ditambah luasannya, melainkan
akan terus berkurang walau dengan laju yang harus tetap dipaksa untuk supaya
kian melamban prosesnya.
Persoalan yang justru tidak juga patut dibiarkan terjadi adalah penyia-siaan sisa
panen batang kayu, khususnya setiap kali penebangan dilakukan di mana pun di
setiap desa seputar Nusantara. Dapat dipastikan bahwa di luar volume kayu yang
sepatutnya jadi kebutuhan pokok keluarga akan selalu ada tersisa cabang ranting
dan bongkot batang yang cenderung hanya dibersihkan dengan pembakaran. Tentu
dibakar bersama jenis sampah lainnya, alias terbuang percuma dan justru memicu
permasalahan asap dan gejala bahkan persebaran titik api jadi karhutla jika kurang
waspada di musim kemarau. Padahal semua sisa-sisa kayu yang bakal tersedia setiap
bulan di sepanjang tahun, sesungguhnya dapat diangkut dengan kenderaan roda
dua untuk ditimbun dan dijadikan arang sebulan sekali demi cadangan sumber
energi di desa.

BAB 11 | Gerak Maju Pertanian Nusantara 215


Siasat tadi punya banyak manfaat: (1) Tidak semua bahan organik terbuang
percuma, melainkan dapat didayagunakan manfaat fisik maupun finansialnya untuk
kemaslahatan warga desa; (2) Tidak semua sisa kayu dibakar sekaligus, lalu tidak
akan timbul persoalan asap dan jelaga yang mengganggu lingkungan kehidupan
lokal yang berlebihan, dan; (3) Tidak semua desa-desa bisa bisa tergantung pada
energi fosil dan nonfosil nabati ataupun nonnabati (PLT mikro-hidro), sehingga
timbunan stok arang tetap jadi pilihan bijak di situ. Dikatakan pilihan bijak, karena
sedikit banyaknya ada keputusan berwawasan lingkungan dibiasakan untuk dibuat
tanpa pertimbangan yang melulu hedonis dan materialistik yang terkesan berciri
pemborosan. Terakhir jangan dilupakan bahwa dalam perspektif ekonomi bisnis,
jika volume persediaan arang di suatu kabupaten terbilang banyak, maka berarti di
situ ada stok arang untuk ekspor.

11.5 Peluang Agribisnis Kepanganan Nasional


Jika nanti terbesit harapan kepada Nusantara yang lahannya terkenal subur dan
masih tersedia luas, sehingga patut jadi sumber pangan dunia, maka adakah
kemungkinan peran luhur penyedia pangan itu bisa jadi kenyataan di suatu saat?
Jika perihal itu dilihat dari perspektif menjaga perdamaian, serta kemaslahatan
dunia, maka jawabnya “mengapa tidak mungkin?” Justru hal itu pasti akan
melibatkan kaum tani se-Nusantara, maka di situ ada peluang ekonomi pertanian
dan kesejahteraan yang tidak boleh diremehkan. Justru sejak kini harus ada upaya
maksimal untuk menuju ke arah itu, apalagi secara konseptual hal itu memang
layak untuk ditempuh oleh negeri ini.
Di lihat dari sisi produksi, terdapat alasan realistis 3P, bahwa komoditas pangan
sangat bisa ditingkatkan jumlah produksinya. Beralasan karena:
1. Pertanaman padi di kebanyakan lahan irigasi telah berlangsung puluhan tahun,
mutu fisik tanahnya dipastikan merosot akibat olah tanah maupun akibat
proses alami aliran air; jika diberi perlakuan pemulihan mutu organiknya bisa
jadi produktivitas akan naik berlipat ganda.
2. Pertanaman padi masih bisa ditingkatkan frekuensi panennya dengan sistem
tanam terpadu yang tepat waktu tanam, pola-tanam, kelola pertanaman, tapi
tentunya selalu dengan memperhatikan kondisi khas masing-masing daerah
melalui satuan ‘test-farm’ di tiap daerah.
3. Pertanaman padi tentu amat bergantung pada keteraturan suplai air (tidak
terkecuali untuk padi “talang” di lahan kering; hal ini tentu amat tergantung
pada keseimbangan ekologis Daerah Aliran Sungai bersama Area Tangkapan
Airnya, juga kesiapan teknis pola manajemen P3A (Perkumpulan Petani Pemakai
Air).

216 Ekonomi Pertanian


Jika dilihat dari sisi konsumsi, terdapat pula alasan yang realistis 3K atas
perlunya memposisikan surplus pangan pokok di negeri ini.
1. Kepiawaian mengatur jumlah konsumsi beras per kepala terpantau secara
akurat, dihitung berbasis daerah kabupaten.
2. Kepiawaian mengatur menu makan bergizi tinggi guna menunjang penghematan
konsumsi karbohidrat berasal dari beras.
3. Kepiawaian mengatur tepat menu, guna menghindari pemubaziran pada
konsumsi aneka bahan makanan di setiap kenduri.

Seterusnya bila dilihat dari sisi distribusi, sedikitnya ada 3B alasan pokok
mengapa kelancaran suplai bahan pangan untuk seluruh wilayah Nusantara bisa
terjamin, agar peran penyedia pangan antarbangsa juga bisa dipenuhi.
1. Bijak mengelola sistem peringatan dini terhadap gejala Krisis Pangan, dan ini
sepatutnya diberlakukan aktif di setiap ibukota provinsi.
2. Bijak menata sistem pendistribusian bahan PAJALE antardaerah, dengan tujuan
utama untuk pelayanan cepat dan tepat harga.
3. Bijak memacu sistem pemanfaatan limbah sisa konsumsi makanan, karena hal
ini adalah bagian dari siklus manajemen kepanganan.

1. Pemicu Surplus Produksi dan Rasional Konsumsi


Surplus produksi selalu dalam konteks keterpenuhan jumlah konsumsi di negeri
atau daerah sendiri. Oleh sebab itu, ukuran sederhananya adalah:

Surplus Pangan = Total Produksi – Total Konsumsi

Baik besaran produksi maupun konsumsi punya berbagai variabel yang


berpengaruh dominan. Dari itu kadar surplus bisa diupayakan dengan 2x3
kemungkinan siasat, yaitu: 1a) Menambah luasan hektar lapangan produksi yaitu
pada zona agroekosistem yang memang sah; 1b) Meningkatkan kadar produktivitas
(produksi/Ha) sepanjang strategi itu terbilang layak & efisien; 1c) Mengatur pola
kelola usaha produktif setiap jengkal lahan yang telah ditunjuk untuk produksi
PAJALE (Padi-Jagung-Kedele), termasuk kombinasi pertanaman selainnya termasuk
usaha peternakan dan perikanan dirancang terpadu.
Tentang pertimbangan ekonomi terhadap arti penting langkah 1b & 1c, telah
disajikan lewat Gambar 11.6, dan khususnya mengenai arti penting pergeseran
kurva KPSH yang terputus-putus untuk bergerak ke arah atas. Tanpa adanya
teknologi unggul (1b) dan manajemen peningkatan frekwensi panen (1c), yang bisa
menggeser kurva KPSH naik ke atas, pergeseran kurva ke atas tentu sulit terjadi.

BAB 11 | Gerak Maju Pertanian Nusantara 217


Tanpa pergeseran kurva KPSH ke atas, maka jebakan perangkap Malthusian terjadi
dan pembangunan mengalami stagnasi. Ini secara konsepsional bisa membuat kaum
tani kebanyakan yang belum mendapat bimbingan strategi manajemen agribisnis
akan kian sulit mencapai sejahtera.
Selain lewat pendekatan produksi itu, bisa pula ditempuh siasat dari sisi
konsumsi, yakni: 2a) Menghimbau pengaturan komposisi makanan dengan gizi
berimbang akan tetapi berhemat jumlah karbohidrat dari konsumsi biji-bijian yang
jadi sumbernya; 2b) Memacu kreativitas kuliner guna memperkaya aneka ragam
resep dan jenis makanan, yang dibarengi minimalisasi sisa-sisa bahan terbuang
percuma, juga; 2c) Mengarahkan cara makan yang sehat dan tidak berlebih-lebihan
yang memicu banyak sisa-sisa makanan sia-sia.
Butir siasat #2c) ini amat krusial untuk diperhatikan, jangan sampai
kecenderungan strategi 1a) yang sebelum ini tidak sampai menekan kelestarian
bentang bio-geofisik berstatus kawasan hutan lindung atau hutan konservasi, lalu
merusak fungsi hidro-orologis, sehingga berisiko jadi boomerang terhadap proses
produksi pangan pokok di hulu, di tengah, maupun di hilir. Kawasan itu bisa dengan
mudah dihancurkan oleh terjangan longsor ataupun banjir yang bisa melanda suatu
daerah produksi.
Jika peningkatan total produksi tercapai berlipat-ganda naik, dan pada saat yang
sama total konsumsi berhasil ditekan tanpa efek negatif mengurangi kualitas hidup
bangsa, maka di atas kertas dan faktual di surplus pangan bisa bernas volumenya.
Jika potensi ekonomi pertanian demikian dilihat dari sudut pandang perniagaan
komoditi pangan dalam negeri, maka tinggal persoalan ketepatan distribusi ke
semua wilayah nusantara idealnya berlangsung tanpa ada daerah yang tertinggal
disuplai secukupnya. Dilihat dari perspektif peluang mengisi kebutuhan bangsa
lain, kata lainnya peluang ekspor, maka harus ada 3 ketepatan antisipatif harus
dipastikan akurasinya:
a. Prakira jumlah surplus komoditi pangan tahunan, dan pada rata-rata tonase
berapa besar angka per tahun untuk jadi pegangan eksportir?
b. Prakira arah kecenderungan produksi yang akan terjadi di setiap 5 tahun akan
berjalan, adakah gejala kenaikan hasil berkurang di hadapan?
c. Prakira kecenderungan harga dan gejolak kenaikannya di pasar utama
internasional demi keputusan bisnis tepat-ekspor dan tepat-waktu?

Persoalan mendasarnya, ketidakpastian angka-angka prakira itu sangat mudah


terpicu oleh kesalahan komitmen dari pihak pengambil keputusan pembangunan
ekonomi di tingkat Pemda, terutama di daerah-daerah lumbung pangan. Bentuk
kesalahan komitmen itu ialah:

218 Ekonomi Pertanian


a. Sikap ABS berupa penyajian angka pertumbuhan positif dalam rangka cari muka
terhadap atasan, lalu tidak mengutamakan daya kritis untuk menyajikan data
prestasi yang lebih objektif;
b. Sikap AMB (=Aji Mumpung Bisa) jadi kaya membonceng pada kebijakan yang
dibuat sekaligus membuka peluang digarap demi keuntungan pribadi.

Akan lebih baik jika ada SDA andalan daerah untuk mendukung program
pangan demi kedaulatan pangan nasional, sekaligus siap menjadi penyangga
kebutuhan pangan antarbangsa jika terjadi krisis pangan. Upaya ini menuntut
pendayagunaan lahan berwawasan lingkungan, tapi harus produktif dan efektif
menaikkan kesejahteraan keluarga petani. Ketepatan pilih bentang kawasan yang
sebaiknya dikonversi jadi lahan pangan berwawasan lingkungan harus cermat,
dilengkapi kondisi prasarana dan sarana angkut pelancar transaksi bisnis kemudian.
Mekanisme pasarnya tidak boleh mengorbankan kepentingan petani untuk bisa
lebih sejahtera. Sementara susut luasan hutan terus deras terjadi di setiap daerah
Nusantara, namun penurunan drastic fungsi hidro-orologis pada ekosistem hutan
tetap harus dihindari.
Memang iklim dan cuaca di tiap wilayah daerah dan bahkan di tiap negeri kian
meluntur ke arah kesamaan, tapi semakin tidak-beraturan (c.f. Brown. L.R. 1988).3
Bencana perubahan iklim bisa saja menimbulkan masalah kekurangan hasil pangan
di sejumlah negeri secara bersamaan, misalnya selingkup wilayah ASEAN. Jadi harus
ada cara untuk saling bantu saat terjadi kesulitan pangan di suatu negeri dan kawasan
regional, jangan sampai makna Negara sahabat hanya isapan jempol, dan dampak
bencana sulit diatasi. Ke depan antarnegara bertetangga ada baiknya dihidupkan
kerja sama regional dalam bidang produksi, serta krisis pangan. Untuk kepentingan
menaikkan produksi harus ada tindakan alokasi kawasan hutan penopang kedaulatan
pangan regional yang diapresiasi di dalam negeri dan internasional.
Sisa kawasan hutan harus dipertahankan bahkan seyogianya ditambah dengan
luasan hutan tanaman reboisasi, khususnya pada Kawasan lahan pascapenambangan.
Semua ini perlu dilakukan dalam rangka mengendalikan emisi Carbon dan mengganjel
laju pemanasan global. Lebih dari itu bersama konversi hutan pascaalokasi lahannya
baik diberlakukan sistem manajemen sumberdaya hutan di bawah 1 payung
manajemen hutan kemasyarakatan. Hal yang disebut terakhir ini berguna untuk
memudahkan manajemen pengawasan dan juga pemanfaatan. Sebab di masa

3
Dalam World Watch Paper #85 (1988) pernah dilaporkan dengan judul ‘The Changing
World Food Prospect: The Nineties & Beyond’ oleh Lester R. Brown, bahwa bencana hampir
kekeringan pernah terjadi di India, USA, Canada, dan Cina hampir berbarengan menurunkan
produksi pangan dunia 161 juta ton di tahun 1987/1988.

BAB 11 | Gerak Maju Pertanian Nusantara 219


datang, bisa terjadi banyak krisis hasil pangan-papan-pakaian (3-F) yang sifatnya
mendunia dan memaksa pemanfaatan hasil panen dari kawasan hutan yang masih
ada tersedia di negeri ini.
Pada suatu kawasan ekosistem lindung juga zona agroekosistem dan kawasan
pertanian aktif, memang harus ada porsi manajemen hutan tanaman warga
masyarakat. Di satu sisi, warga akan puas karena ada ruang dan cara mencari nafkah,
di sisi lain, mereka tidak sulit didapatkan untuk dijadikan ‘petugas’ penyelamat
lingkungan dan pembela kedaulatan pangan. Pola ini akan membawa nama baik
bangsa, tapi juga secara nyata menyehatkan fungsi hidro-orologis, serta kecukupan
pangan antarbangsa. Dari pengalaman ledakan Covid varian Delta yang mematikan
banyak warga Hindu di India pada pertengahan tahun 2021, kiranya menyadarkan
dunia betapa banyak kayu bakar mendadak dibutuhkan seketika untuk bahan
pembakar dan mengabukan mayat warga miskin dari kasta terbawah.

2. Pemberlakuan Sistem Peringatan Dini (SPD) Kepanganan


Para konsumen bahan pangan pokok tentunya lebih terpusat di Kota dan Ibukota.
Sebagai warga kota mereka dengan demikian jadi kelompok konsumen rentan
terhadap 2 hal: (1) Kekurangan jumlah bahan pokok pangan lalu berdampak pada
kesehatan keluarga; (2) Kesulitan ekonomi ketika ada gejala inflasi terpicu oleh
kenaikan harga sembako (beras, jagung, minyak goreng).
Dari sebab itu, maka di kota sangat diperlukan semacam Sistem Peringatan
Dini (SPD) guna melindungi konsumen pangan di perkotaan; seperti tertera pada
Gambar 11.6. Perhatikan terdapat 3 kategori simbol panah yaitu A, B, C, A’, A’’,
B’ menjelaskan proses acak tak beraturan tentang kemungkinan kemunculan hasil
prakira SPD. Untuk suatu tahun berjalan ke depan bisa saja muncul tanda salah satu
dari symbol tadi. Dari status A berubah di tahun berikutnya jadi C secara langsung
karena ada proses A’’ yang ditimbulkan oleh bencana alam. Jadi, tidak beraturan
seperti pada sistem lampu hijau-merah-kuning di perempatan jalan. Sifatnya yang
acak itu terjadi karena tergantung pada aneka variabel alami yang akan terjadi, dan
variabel manajemen produksi dan harga komoditi di pasaran.

220 Ekonomi Pertanian


Keterangan: F. Sjarkowi, 2022
A : Dasar tindakan antisipatif untuk jaga-jaga jika kemudian A’ atau A’’ terjadi sesuai SPD.
B : Dapat terjadi DARURAT karena pengaruh prilaku variabel-variabel alam.
C : Dari status darurat berlanjut jadi KRISIS jika terapi B tidak cukup efektif.
A’ & A” bisa terjadi karena efek ekstrem kondisi PIG (pemanasan iklim global), atau karena dampak
bencana alam atau juga dampak lingkungan hidup lainnya; B’ dapat terjadi akibat perilaku alam terus
menggejala dahsyat berkepanjangan.
Jika ada suatu kota transit dengan kelengkapan moda transportasi darat, udara,
sungai, maka arus peredaran pangan ke daerah lain akan sangat lancar dan sulit
dikendalikan. Perekonomian kota transit bisa tumbuh pesat, tapi tidak otomatis
kebal dari tragedi pangan mengejutkan. Tidak mustahil secara tiba-tiba muncul
masalah pangan karena keteledoran urusan pangan di tingkat produsen atau bencana
di tingkat konsumen, dan tentu merugikan. Oleh sebab itu, SPD-pangan di kota
padat penduduk akan sangat berguna.
Selain itu, keengganan duduk bersama antar-Pemda bertetangga khusus untuk
mengantisipasi kerentanan pangan di wilayah hulu, tentu bisa dinihilkan jika sistem
SPD sudah diaktipkan. Tentu tidak kalah strategisnya jika Pemda bertetangga
menyusun strategi kendali konsumsi pangan beras dan pangan penyerta. Apalagi
jika jaringan kerja bottom-up itu lebih mengakar karena libatkan tim penggerak PKK
kelurahan & Kecamatan.
Jika sekiranya terdapat 2 atau 3 daerah & Pemda bertetangga sama-sama
menyumbang surplus produksi pangan dan sama akses ke jalur lintasan hasil
produksi ke daerah lain, maka Pemda demikian perlu juga memiliki pusat pemasaran
dengan sistem perdagangan & pergudangan yang terpantau, sehingga arus pangan
dan arus transaksi bisa terdata dari waktu ke waktu. Untung-rugi program kerja
sama wilayah bertetangga tentu harus dihitung cermat, demi terbina suatu kerangka
ketahanan pangan yang benar-benar terencana dan bisa menjawab tantangan
keamanan pangan. Pola kerja sama yang sistemik harus dikembangkan atas dasar
apa yang telah dialami.

BAB 11 | Gerak Maju Pertanian Nusantara 221


Pembiasaan hemat-pangan, sehat-pangan, serta aman-pangan sudah
selayaknya dikembangkan sejak dini atau kini. Hemat-pangan menuntut setiap
keluarga konsumen tidak menyisa pangan dan membuang percuma. Sehat pangan
mengingatkan relevansi rumus 4 sehat 5 sempurna. Lalu jika kian banyak keluarga
yang makin terbiasa dengan pangan pengganti berbahan lokal, tapi terjaga mutu
dan jumlah gizinya, maka kebiasaan itu pasti ikut menaikkan angka NTP (Nilai
Tukar Petani) dan NHAL (Nilai Harapan Atas Lahan) yang menguatkan status lahan
untuk kesejahteraan keluarga petani, sekaligus manjamin keamanan pangan daerah.
Aman pangan harus dijadikan pesan dan imbauan kepada keluarga konsumen untuk
selalu berjaga-jaga lewat siasat stok pangan di dalam kulkas, di dapur bersih, serta
di halaman belakang rumah. Aman pangan yang terbina di daerah, tentu tidak kecil
perannya dalam menopang kedaulatan pangan nasional.

3. Pengelola Bijak Menjawab Tantangan dan Peluang Ekspor


Atas pertimbangan adanya kelebihan alami sebagai karunia Tuhan YME kepada
negeri Ibu Pertiwi ini, maka tidaklah berlebihan jika kemudian dengan rasa
optimisme bangsa ini diyakinkan tentang peran penting di masa depan sebagai salah
satu negeri penyedia pangan dunia. Peran mulia dan bergengsi ini sudah sepatutnya
diwacanakan sejak sekarang, agar para pihak berupaya keras untuk mengisi peran itu
tepat waktu, tepat jumlah, dan tepat diplomasi. Semangat kerja-keras dan semboyan
kepedulian luhur di balik itu semua, tentu setidaknya pada kondisi terburuk akan
tercukupi kebutuhan pangan domestik.
Syarat pokok untuk melakukan niaga ekspor bahan pangan pokok sudah
dipahami adalah surplus produksinya dapat diprakira secara meyakinkan, dan
ini harus diantisipasi melalui perilaku aneka variabel dominan di sisi produksi
maupun sisi total konsumsi. Akan tetapi segi diplomasi perdagangan regional dan
internasional tentu tidak sedikit aturan niaga yang memang sudah seharusnya
dipahami dan dipenuhi oleh tiap pelaku niaga ekspor di dalam negeri. Ada beberapa
isyarat umum yang harus menjadi perhatian semua pihak sejak dari kalangan pelaku
produksi khusus untuk tujuan ekspor, yaitu:
a. Harus diutamakan komoditi pangan untuk tujuan ekspor itu dipanen dari area
lahan yang dikelola sejak lama, bukan dari lahan bukaan baru demi menghindari
tudingan “mengorbankan kawasan hutan lindung”.
b. Harus disertifikasi secara sah jika beras organik, dan jika beras biasa sepatutnya
diiringi surat keterangan asal daerah produksi, bulan panen, uraian singkat cara
produksi tertera pada kemasan barang pangannya.

222 Ekonomi Pertanian


c. Harus dipastikan tanpa penggunaan zat pengawet kimiawi dan tidak juga
terjadi penggunaan apa pun bentuk pupuk dan obat-obatan kimiawi secara
serampangan akibat tiada arahan baku & pemantauan Pemda.

Ketiga prasyarat umum mendasar di atas, tentu akan sulit dijamin adanya jika
melibatkan para petani tradisional yang tidak tergabung dalam BUKD atau UMKM
agribisnis kemitraan yang terorganisir resmi. Sebaliknya, bilamana hal-hal yang amat
mendasar itu diabaikan, maka akan banyak persoalan rumit dan merugikan bakal
sewaktu-waktu dihadapi dan tentulah amat merepotkan. Konsistensi mengikuti
aturan main juga akan membawa dampak positif kepada warga bangsa sendiri,
karena secara otomatis kondisi dan prosesi ekonomi bisnis kepanganan domestik
akan terbawa naik berklas internasional. Jadi lahir batin, nyata maupun tersembunyi
ekonomi kepanganan semakin terbina kuat.
Implikasi ketimpangan nilai neraca perdagangan itu akan tampak nyata berupa
gangguan yang memicu pelemahan kurs Rp/$, perubahan beberapa indikator
makro ekonomi, juga penebalan jumlah nilai hutang luar negeri, bahkan berujung
pengurasan SDA di tiap provinsi. Ini demi partisipasi daerah menjaga sehat ekonomi
makro negeri ini. Upaya untuk meningkatkan nilai ekspor dan menyehatkan defisit
neraca perdagangan luar negeri jelas tidak sepatutnya mengabaikan peran para
pelaku usaha tani yang jumlahnya meliputi lebih dari separoh penduduk negeri ini,
dan ini tentunya dengan beberapa catatan sebagai berikut:
a. Para petani kecil-tradisional harus dibina agar tampil melembaga berupa UMKM
Agribisnis-Kemitraan (dengan label nama BUKD bahkan BUMDes).
b. Prestasi UMKM-agribisnis kemitraan tidak sekadar pada tataran produksi
komoditi primer, namun terus dipacu memproduksi aneka produk-inovatif.
c. Proses pembinaan lewat program Hilirisasi Berstruktur Organistik (HBO) dan
Hilirisasi Berstruktur Kontrak (HBK) terus dipicu mengikuti kemajuan Ipteks.

Demikian 3 simpul pembinaan minimal harus dirintis berkembang di setiap


penjuru Nusantara oleh setiap Pemda Kabupaten dan juga Pemerintahan Kota. Misi
pembinaan harus diperjelas dengan menekankan 3 jalur tempuh menuju sasaran
antara, yakni: (1) Menjamin kecukupan 3-P (pangan-pakaian-papan) keperluan
dalam negeri; (2) Meningkatkan kemapanan niaga ekspor B-2-B (antarbisnis) juga
G-2-G (antarpemerintah) yang sehat dan adil; (3) Menata kepastian belanja impor
peralatan pertanian & agroindustri tahunan (tak-perlu berlebihan) jangan sampai
defisit.
Berkaitan dengan itu, perlu aktivitas 3 misi pengembangan agribisnis yang kuat
guna menunjang kinerja makro-ekonomi negeri. Ini harus dibina sejak dari tingkat
produksi komoditi pertanian oleh pelaku tani berwawasan agribisnis komersial.

BAB 11 | Gerak Maju Pertanian Nusantara 223


Sejak dari pelaku di lapis terbawah sudah harus ada pembinaan satuan agribisnis
inovatif. Olah komoditi primer menjadi produk-inovatif harus dipacu lewat hilirisasi
berstruktur organis & berstruktur kontrak (Sub-bab 9.3).

Daftar Pustaka
Sjarkowi, F. 2014. Agro-ekosistem Lahan Basah Lestari: Titah Inovasi Kedaulatan Pangan
dan Kesejahteraan Masyarakat Agraris. Palembang: Baldad Grafiti Press.

224 Ekonomi Pertanian


BAB

12
DAYA-LENTING SATUAN AGRIBISNIS
NUSANTARA

12.1 Memahami Dinamika Agribisnis Inovatif.


12.2 Masa Depan Agribisnis Perhutanan Kerakyatan.
12.3 Mengangkat Daya-tangkal terhadap Struktur Pasar.
12.4 Menindai Daya jual Produk Agroindustri Kreatif.
12.5 Mengendalikan Desakan Apresiasi Nilai Tanah.

Ekonomi Pertanian: Kiat Satuan Agribisnis Nusantara


Satuan agribinis yang tersebar di semua bagian Nusantara ini tidak sedikit jumlahnya
diusahakan oleh petani kecil tradisional. Pada sisi produksi, upaya kebanyakan
petani itu bergantung banyak pada kebaikan alam pembawa karunia Tuhan,
atau juga gerahnya alam yang akan membatasi anugerah-Nya. Pada sisi pembeli,
keberuntungan petani tidak pula mereka nikmati sendiri, tapi mesti berbagi dengan
para pemeran transportasi-distribusi- transaksi jual dan beli. Para petani kebanyakan
selalu dalam tuntutan kewaspadaan tinggi, padahal kemampuan ilmu pengetahuan
dan teknologi tiap pribadi mereka serba pas-pasan bahkan amat terbatas.
Sebaliknya, keadaan itu sungguh berbanding terbalik dengan keadaan para
pengusaha agribisnis berskala besar yang dapat menghadirkan satuan pabrik

225
agroindustri sebagai pengaman komoditi yang berisiko tak terjual di pasar
konvensional. Malahan bukan sekadar perkecil risiko, satuan pabrik yang bisa
berperan sebagai penampung hasil tani, lalu mengolahnya jadi suatu jenis produk
yang tahan lama untuk disimpan dan dapat pula diberi perlakuan pencipta nilai
tambah yang cenderung amat besar porsinya dibandingkan nilai laba yang biasa
diperoleh dari transaksi komoditi, selaku bahan segar ataupun bahan baku hasil
kegiatan usaha tani.
Sepak terjang kaum tani kebanyakan tetap patut diberi pujian dan terlebih dari
itu sudah seharusnya diberi perhatian lebih demi kemaslahatan negeri dan setiap
anak bangsa. Sepintas para petani kecil tradisional punya semacam daya lenting
ketika menjalani apa pun tantangan dan peluang selain kesulitan. Naluri mereka ada
yang pakai tebeng pengaman ekonomi keluarga dengan mengusahakan pertanian
tanaman pangan padi-jagung-kedele (pajale), sebab di mana-mana hadir konsumen
selaku pembeli. Ada pula yang memilih tanaman bahan baku agar bisa berlindung
pada kesediaan pabrik selaku satuan pasar yang lebih pasti, walau tangan pabrik
suka beraksi menekan mimpi petani mendapatkan harga yang tinggi.
Sedemikian terbatas daya-lenting para pelaku usaha tani tradisional itu,
sehingga mereka harus mendapat simpati semua pihak yang mempunyai alat dan
cara untuk menaikkan daya lenting petani di tengah keterpaksaan. Penularan siasat
inovasi agribisnis dan agroindustri, serta kreasi pasar sepatutnya tidak melupakan
mereka. Di sini, terkandung pesan kasih dari Ibu Pertiwi.

12.1 Memahami Dinamika Agribisnis Inovatif


Inovasi adalah “penerapan sebuah ide mengiringi suatu temuan baru yang bisa
mendatangkan suatu kemajuan berharga” (Rabbe, B. Cynthia; 2006). Dalam bahasa
manajemen yang dicetuskan Edward Robert (2009) dari MIT, “Inovasi = Invensi
* Komersialisasi” (= invensi dikalikan komersialisasi) dan ini kemudian dianut
Dewan Riset Nasional (DRN) sejak 2017. Di sini, terdapat misi pendayagunaan
dan pemanfaatan invensi (temuan baru Ipteks, ataupun suatu kearifan lokal siap
berpoles Ipteks) pemicu tampil produk inovatif, sehingga lebih leluasa diperjual-
belikan dan diterima dengan baik oleh pasar.
Sebagai konsep terapan, seksi ini diwarnai catatan pengalaman panjang yang
diperoleh dari lapangan. Banyak kegiatan riset aksi tentang ekonomi kerakyatan
pernah melibatkan Penulis, didukung dana dari aneka sponsor. Sejumlah riset aksi
dalam kurun waktu 20 tahun terakhir dilakukan di lokasi berbeda-beda dan berbagai
Kabupaten dan Kota di beberapa Provinsi (Sumsel, Babel, Kalteng). Kegiatan selalu
dilakukan sebagai landasan kerja program hilirisasi agribisnis primer pedesaan.
Kegiatan lapangan itu bertema pemberdayaan ekonomi rakyat, sebagaimana selalu

226 Ekonomi Pertanian


diamanatkan oleh pihak sponsor (khususnya perusahaan yang sedang menghadapi
masalah sosial), sehingga keakraban dan kerja sama kedua belah pihak bisa terjalin
harmonis.
Suatu program pemberdayaan dan eksekusi lapangan perlu ditopang metode
PAR (Participatory Action Research) yang diawali langkah PRA (Participatory Rural
Appraisal), sehingga sejak fase awal melibatkan peran warga sasaran (F. Sjarkowi,
2007). Tentu dari setiap kegiatan riset aksi dapat ditemukan kendala atau hambatan
nonteknis baru (yang belum dipahami sebelumnya) bagi upaya penumbuhan
UMKM-inovatif yang diinginkan. Maka setiap temuan baru memunculan konsep
dan pola pembinaan baru yang lebih baik dari pada cara terdahulu. Kristalisasi
gugus pengalaman teoretik dan praktik itu seyogianya jadi konsepsi pragmatic,
seperti pada Sub-bab ini.
Tentu pemahaman yang rinci terhadap 3 pokok bahasan itu berguna untuk
menyukseskan pembangunan ekonomi kerakyatan yang diyakini berimplikasi
sangat penting perekonomian nasional. Terlebih lagi isu ini terasa jadi amat sentral,
ketika akhir-akhir ini pemerintah mencanangkan gerakan pembangunan ekonomi
dari bawah. Sesuai isi pesan UU#6 /2014, gerakan BUMDes sepatutnya jadi bagian
gerakan usaha inovatif kerakyatan, yang mengangkat tiap potensi SDA khas daerah
di setiap pelosok Nusantara.

1. Konsep Hilirisasi Komoditi Andalan Daerah


Secara ringkas, apa yang hendak dikemukakan ini adalah tentang arti penting
mengangkat nasib kaum tani melalui gerakan modernisasi cara berusaha di sektor
pertanian yang sekaligus jadi unsur perkuatan bagi ekonomi fundamental negeri.
Di sini, dibahas: (a) Hilirisasi komoditi andalan melalui jalur inovasi tepat-DPIN
dan inovasi cermat-SPIN; (b) Komersialisasi produk unggulan agribisnis primer
lewat gerakan pacu UMKM-inovatif; (c) Organisasi & tatalaksana beberapa OPD
terkait, yang harus siap menopang-aktifkan SIDA (sistem inovasi daerah) agar
kelangsungan proses (a) dan (b) jadi nyata.
Istilah hilirisasi yang terkait dengan komoditi primer dari titik produksi di sektor
pertanian maupun nonpertanian sangat marak dibicarakan dewasa ini. Alasannya
karena kepentingan nasional sangat mendesak untuk 2 hal:
a. Membangun kepastian kecukupan pangan warga setiap daerah di semua penjuru
Nusantara, tanpa kecuali,
b. Menaikkan nilai ekspor nonmigas berupa produk inovatif dan produk
manufaktur dan bentuk lainnya.

BAB 12 | Daya-Lenting Satuan Agribisnis Nusantara 227


Upaya demikian diharapkan bisa menaikkan perolehan devisa lebih bernas
lalu menambah kadar kesejahteraan rakyat, mengurangi ketergantungan pada
dana hutangan luar negeri, serta mempercepat mesin pembangunan nasional
berkelanjutan. Pada ujungnya semua itu menguatkan ekonomi fundamental negeri,
serta manikkan kemandirian dan kehormatan bangsa.
Dari segi teoritika, kata hilirisasi dipastikan terkait 3 unsur konsepsional,
yaitu: (a) Unsur primer berupa komoditi segar atau bahan mentah hasil kegiatan
pertanian primer; (b) Unsur teknologi-unggul inovatif perubah tampilan fisik,
ukuran kandungan gizi & khasiatnya; (c) Unsur pelengkap daya tahan terhadap
gerusan waktu, cuaca, reaksi bio-kimiawi dan goncangan, serta efek jarak dan waktu
tempuh. Jadi, produk inovatif adalah buah inovasi yang jadi kata kunci dalam
proses produktif disebut hilirisasi.
Dari situ kehadiran pebisnis inovatif sangat diperlukan agar supaya aktif
melalui 2 alternatif cara yaitu: (1) Hilirisasi Organis; (2) Hilirisasi Kontrak. Bagi
petani kebanyakan, kelangsungan hilirisasi harus ada peran aktif Pemda lewat
koordinasi lintas OPD inovatif. Aparat Pemda yang lamban harus berubah jadi
cekatan operasional dan koordinatif konsepsional. Kebiasaan hanya peduli proyek
diubah jadi peduli produk inovatif dan para aktif para pebisnis inovatif. UMKM-
inovatif pasti tumbuh pesat jika ada keberpihakan Pemda.
Tentu dari suatu kejadian inovasi bisa hadir nilai tambah selain nilai laba.
Proses hilirisasi menampilkan komoditi andalan jadi produk inovatif yang berkelas
dan berkualitas & tahan lama. Dengan itu sasaran pasar yang jauh pun dapat
dijangkaunya. Dari situ inovasi bisa memicu perolehan PAD sumber baru, baik
berupa pajak, retribusi dan bagi-hasil daerah. Selain itu, perolehan devisa Negara
yang terjadi tentu berperan memperbaiki neraca perdagangan, lalu kemudian
di tingkat makro-ekonomi ikut menguatkan rupiah. Oleh sebab itu, inovasi amat
diperlukan dalam rangka membangun kesejahteraan bangsa di semua daerah yang
punya aneka jenis potensi kekayaan alami khas setempat. Bahkan logis jika dikatakan,
inovasi menambah sibuk perdagangan domestik dan bisa dipastikan jadi faktor
perekat negeri penguat kejayaan NKRI.
Dari segi pragmatika lapangan, proses hilirisasi komoditi sudah semestinya
dilakukan setiap pelaku bisnis, yang terbilang USB (Usaha Skala Besar), USM
(Usaha Skala Menengah), maupun satuan UMK (Usaha Mikro & Kecil). Tentu saja
kemampuan tiap jenis satuan usaha itu berbeda-beda, ada yang perlu bimbingan
dan dorongan, tapi ada juga yang bisa mandiri melakukannya. Karena itu pada suatu
proses hilirisasi komoditi, perlu diperhatikan siapa pebisnisnya. Hampir pasti, untuk
komoditi pertanian yang kental porsi peran kerakyatannya, maka proses hilirisasi
oleh UMKM perlu layanan Pemda. Dengan layanan pembinaan, lalu paket invensi

228 Ekonomi Pertanian


dapat mereka jangkau, mereka pahami, mereka pakai, dan bisa mereka dayagunakan untuk
merebut porsi nilai tambah komersial yang diberikan oleh pasar tingkat konsumen
akhir.
Dari itu, maka Hilirisasi adalah: Upaya bisnis atas suatu komoditi primer yang lebih
lanjut diolah dengan suatu paket INVENSI teknologis yang terjangkau lewat DIFUSI (atau
sekadar SELEKSI) dan diteruskan ke langkah ADOPSI hingga diperkuat dengan upaya
KOMERSIALISASI guna menaikkan capaian Laba dan Nilai-tambah atas produk inovatif
yang diusahakan oleh 2 pihak pelaku bisnis saling bertautan. Bisa saja pertautan itu terjadi
rumahan melalui peran keluarga petani yang sama, dan buku ini menyebutnya
hilirisasi-organik. Apabila 2 pelaku usaha primer dan sekunder saling mengisi
proses inovasi itu, maka disebut hilirisasi kontrak. Andainya prosesnya belum
sampai pada tahap akhir itu berarti inovasi belum berhasil; komoditi inovatif
belum terjadi dan pebisnis inovatif belum hadir, dan mungkin sekali karena peran
koordinasi lintas OPD-inovatif masih jauh panggang dari api. Hilirisasi demikian
belum sempat memberi nilai tambah kepada perekonomian daerah.

2. Kegiatan UMKM-Inovatif Menuju Komersialisasi


Proses hilirisasi harus nyata sejak dari tahap seleksi, lalu difusi paket invensi, hingga ke
tahap adopsi dan terakhir yaitu komersialisasi. Untuk dapat bertahan dan berkembang
menguasai pangsa pasar agar semakin besar, komersialisasi sedikitnya harus dapat
memberi 3-macam perlakuan, yaitu: (a) Kekhasan mutu diperkuat KODE-Sertifikasi;
(b) Konsistensi mutu diperkuat KEMASAN-Higienis & halal; (c) Kepastian volume
di peti KONTAINER-pengepakan. Tanpa ketiganya tidak dijamin inovasi akan terus
hidup dan bertahan menandai aneka transaksi niaga inovatif berkelanjutan menembus
aneka peringkat pasar (pasar-Kecamatan, pasar-Kabupaten, pasar-Provinsi, pasar-
Lintaspulau, pasar-Mayaekspor). Sebelum melalui fase-fase hilirisasi tidak mungkin
bagi komoditi pertanian melakukan transaksi jarak jauh dan niaga-elektronik, karena Catatan untuk
penulis:
yang noninovatif dan praolah gampang rusak akibat sifat 7C-nya (halaman ). karena yang
Khusus bagi pelaku bisnis kategori UMKM yang hanya bisa melakukan semua noninovatif
dan praolah
itu melalui klaster usaha, kiranya proses hilirisasi perlu dilakukan berpangkal dari gampang
tindakan memilah pilah (seleksi) di antara sejumlah paket invensi teknologis, tapi rusak akibat
dibarengi pendampingan (difusi) agar paket invensi yang sesuai sungguh diterap- sifat 7C-nya
(halaman).
gunakan (adopsi) oleh pelaku usaha, dan di mata mereka terbukti nyata dapat halaman yang
menaikkan laba, serta memberi nilai tambah. Lalu, pangsa pasar (komersialisasi) dimaksud,
dipacu pascaresep 3K terpenuhi. Komoditi inovatif dan pebisnis inovatif, serta halaman berapa
ya Pak/Bu?
jaringan pasarnya dijaga dan dirawat, sehingga otomatis mendorong UMKM- mohon untuk
inovatif untuk terus aktif. Jadi, adopsi jangan sampai berlangsung sesaat, melainkan dilengkapi,
berkelanjutan. Tinggal lagi pebisnisnya harus jeli terhadap sinyal siklus produk, terima kasih.

BAB 12 | Daya-Lenting Satuan Agribisnis Nusantara 229


yang di suatu saat mungkin sudah bergerak menurun akibat kebosanan konsumen
dan pengaruh para pesaing. Boleh jadi keadaan menuntut inovasi berbasis invensi
yang lebih baru, dan inilah makna capaian hilirisasi tak hanya bernas semusim,
melainkan terus berkelanjutan.
Sehubungan itu, jika komoditi primer diolah untuk keperluan konsumsi pangan,
maka proses hilirisasinya sederhana karena tinggal memilih di antara aneka paket
invensi yang sudah banyak tersedia di dunia akademik dan laboratorium penelitian.
Faktanya hampir setiap kabupaten & kota dewasa ini sudah memiliki Perguruan
Tinggi yang seyogianya jadi sumber invensi. Jika produk nonpangan perlu paket
invensi sederhana demi efisiensi energi dan waktu, maka proses hilirisasi tidaklah
rumit bahkan tidak perlu digali lewat proses panjang riset inovatif, dan untuk proses
ini perlu inovasi pola DPIN.
Hilirisasi dan komersialisasi produk inovatif oleh UMKM inovatif yang telah
dibahas sebelum ini memang butuh proses sederhana tapi cepat, agar iklim usaha
berpihak pada kebutuhan para pelaku usaha yang memang baru diaktifkan, dan ini
disebut hilirisasi jalur cepat-DPIN (Demand Pull Innovation). Jika paket invensinya
masih perlu diriset dan dirancang terlebih dulu sebelum ditawarkan ke dunia
usaha, maka kecenderungannya hanya pelaku usaha yang sudah mapan dan berskala
menengah ke atas yang bisa tanggap, dan ciri ini disebut hilirisasi jalur cermat-
SPIN1 (Supply Push Innovation) dan lewat waktu yang panjang dan berbiaya tinggi,
lalu nilai transfer invensi jadi mahal.
Jelas kedua jalur hilirisasi itu tidak serta-merta bisa memindahkan suatu hasil
Ristek-inovatif (invensi) dari tangan penemunya ke tangan pengguna di dunia
agribisnis. Apalagi jika pelaku bisnis adalah UMKM prainovatif yang serba lemah
untuk melakukannya, dan ini pula sebab pokok dunia usaha pertanian Nusantara
selama ini lambat maju. Apalagi dua proses inovasi itu secara pragmatik memerlukan
langkah bijak CD (Community Development) berbeda, serta momentum operasional
yang juga berbeda.

Jalur cepat-DPIN (Demand-Pull Innovation = inovasi tarik-pinta) cenderung banyak dimintakan


1

oleh pebisnis UMKM; sedangkan jalur cermat-SPIN (Supply-Push Innovation = inovasi dorong-
pasok) amat tergantung pada kebijakan dan kemauan politik Pemerintah untuk menggalinya yaitu
dengan memicu kinerja lembaga Litbang PTN & PTS, Libang perusahaan besar swasta maupun
berplat merah.

230 Ekonomi Pertanian


Gambar 12.1 Tahapan Proses Inovasi Cepat Berpola-DPIN (=Demand Pull Inovation)
Bertumpu Dukungan Pemda

Sesuai jalur cepat-DPIN (Gambar 12.1) prosesnya dimulai dengan memilah


pilah stok invensi yang hendak digunakan oleh sejumlah pelaku niaga pemula,
khususnya mereka yang tergabung dalam suatu klaster pembinaan UMKM kemitraan
agribisnis. Bersamaan ini penularan paket invensi sudah bisa dimulai dengan aneka
kegiatan persiapan petak Demoplot, yang dijadikan arena difusi, berupa praktik
dengan partisipasi langsung dari para anggota-CD binaan. Proses difusi berjalan
tidak lama, biasanya pada hari ke-10 para anggota yang dibina mulai takjub melihat
keunggulan teknologi penyubur lahan berbasis bakteri-PBO (Pengurai Bahan
Organik). Ini selalu tampak dari peningkatan kesungguhan kerja dan kekompakan
kerja sama mereka.
Proses adopsi pun mulai terjadi, artinya pengakuan anggota mulai jadi bahan
cerita mereka kepada warga sedesa lainnya. Penerapan di lahan sendiri (di luar petak
Demoplot) mulai terjadi asalkan beberapa bahan yang diperlukan tersedia gratis
kepada anggota yang hendak memulai adopsi di lahan sendiri. Akan tetapi, proses
adopsi bisa terjadi sementara, jika kesempatan niaga untuk komoditi dalam jumlah
Catatan untuk
besar justru masih terkendala. Sekali terjadi kejatuhan harga akibat suplai komoditi
penulis:
berlebihan (surplus produksi), maka buyarlah adopsi tidak sempat mencapai taraf
Akan m jalur
komersialisasi. Oleh karena itu pembinaan proses pemasaran harus dilakukan, baik inovasi cermat-
yang termasuk hilirisasi-organis rumahan atau hilirisasi-kontrak lintas satuan SPIN dan hanya
peduli pada
usaha & perusahaan. hilirisasi-kontrak.
Akan m jalur inovasi cermat-SPIN dan hanya peduli pada hilirisasi-kontrak. maksud dari
Istilah inovasi memberi rasa makna tentang berkah temuan Ipteks baru dan biasanya kalimat ini
bagaimana ya?
berupa INVENSI yang dipatenkan. Kesan demikian ini jadi tampak jelas ketika mohon untuk
dilengkapi,
terima kasih.
BAB 12 | Daya-Lenting Satuan Agribisnis Nusantara 231
dipotret dengan Gambar 12.2 di bawah ini, tapi juga terkesan butuh, tetapi di tingkat
perumus kebijakan pengertian inovasi sering terkurung dalam waktu lama dan
biaya besar sebelum suatu invensi dapat ditemukan. Lebih makan waktu lagi, karena
untuk bisa suatu invensi canggih atau invensi unggul dipandang sudah siap dan layak
untuk ditawarkan kepada korporasi yang punya cukup modal guna membeli suatu
invensi. Proses inovasi SPIN itu jadi semacam proses elitis melibatkan pengusaha
pemodal (investor) besar, yang nantinya bisa saja ikut berperan lewat inovasi tipe
2. Ini alasannya mengapa para pelaku UMKM penghasil bahan pangan atau pelaku
agroindustri kecil umumnya perlu inovasi melalui bentuk hilirisasi organis. Inovasi
yang dimintakan pelaku usaha justru karena ada kebutuhan mendesak, dan memang
jalur cepat-DPIN tidak menuntut dana besar.
Berikut disajikan Gambar 12.2 tentang inovasi jalur Cermat-SPIN. Waktu
prosesnya yang lama justru terjadi pada mata rantai pertama yang menjadi tanggung
jawab lembaga Litbang. Tentu diperlukan beberapa tahap uji lapangan sebelum
suatu paket inovasi baru dapat ditawarkan kepada dunia usaha pada umumnya.
Bilamana tahap uji lapangan sudah menghasilkan butir-butir kesimpulan matang,
maka paket invensi yang baru ditemukan itu bisa menempuh alur pikir 1, yakni
dengan menjualnya kepada calon investor atau korporasi, yang mungkin tertarik
untuk memanfaatkan suatu peluang merebut potensi pasar yang baru.

Catatan untuk
penulis:
untuk Gambar
12.2 tidak ada
gambarnya,
mohon untuk
dilengkapi,
terima kasih.
Gambar 12.2 Inovasi Berpola Cermat-SPIN (= Suply Push Inovation) Bertumpu Kinerja
Sains Tekno-Park (STP)

Walaupun demikian bilamana tidak laku dijual, maka jalur lain sudah siap
menunggu yaitu jalur kebajikan ditawarkan kepada UMKM yang dibina Pemda.
Proses hilirisasi berbeda dari alur pikir 1 sebelumnya, tentu dengan kemungkinan
pendananya adalah bantuan bersubsidi dari Pemda, atau inisiatif pihak UMKM

232 Ekonomi Pertanian


sendiri melalui mekanisme dana patungan beberapa BUKD 3 sampai dengan 5 desa
bertetangga yang bekerja sama. Tentu saja progam hilirisasi komoditi lewat alur pikir
2 ini, mencerminkan kepedulian kepada kaum tani yang diayomi BUKD untuk siap
berbisnis inovatif, setelah dibina tampil melembaga berbasis klaster usaha tertentu.
Kaum tani negeri ini begitu besar jumlahnya, maka porsi peran mereka pasti
berimbas pada warga masyarakat. Jika telah dibina, tidak kurang dari 30 jutaan
pelaku dan keluarga UMKM aktif dengan keragaman jenis usaha yang relatif tinggi.
Di hadapan mereka ada beraneka ragam kekayaan flora-fauna ataupun mineral
patra & nonpatra sebagai kapital alami yang bersifat spesifik lokasi di tiap pelosok
Nusantara, sejak “dari Sabang hingga Merauke”.
Tentu juga tidak mudah untuk memacu tumbuh UMKM inovatif dan kreatif,
yang justru sangat penting bagi perkuatan fundamental ekonomi negeri di tengah
penduduknya yang masih kental budaya agraris (Zuhal, 2010; Muchtadi, D., 2012;
Setiawan, I. 2012). Namun potensi ekonomi yang besar dan punya kekhasan
masing-masing itu memungkinkan daerah saling membutuhkan, lalu saling
membantu. Atas kesadaran begitu, jadi mudah dipahami betapa perlunya bersatu
dalam bingkai transaksi niaga dan interaksi indah antardaerah berpayung kuat
NKRI. Persoalan pragmatiknya adalah, dari 10 wajah budaya inovatif (Kelley, T.,
2016) kebanyakan warga lapisan bawah masih pada tahap awal dari pola budaya
kreatif penciri masyarakat industri. Belum lagi untuk beradaptasi khusus dengan
budaya persaingan pasar tanpa henti, mereka masih perlu dibina dan digerakkan.
Padahal menurut Kotler, P., (2017), dunia usaha moderen sudah mulai memainkan
strategi ‘marketing’ fase 4.0 berkecepatan tinggi lewat digitalisasi di setiap lini
pada semua waktu.
Kiranya talenta dan kreatifitas menelusup pasar pun masih lemah dan pasif
karena (warga desa khususnya) masih terlanjur dibelenggu kebiasaan berprilaku
penerima harga (disebut price taker) atas hasil pertanian segar yang dibeli “orang
perkotaan” dari “orang pedesaan”. Oleh sebab itu, komoditi dan UMKM-inovatif
tidak mungkin berlangsung lancar dan sukses jika tidak ada intervensi Pemda di
masing-masing daerah. Sangat penting untuk membina dan memuluskan gerakan
mereka melalui pembinaan SDM, dimotori dana pembangunan yang datang atas
koordinasi lintas OPD-inovatif yang ada di daerah dan sudah maju ortala, serta
tulus dedikasi aparat dan pegawainya.
Di balik itu semua, peran kebijakan pragmatik setingkat Kepmentan &
Kepmenindag amat penting diarahkan pada zonasi komoditi andalan daerah dan
produk unggulan terkait. Ini dimaksudkan jadi acuan kebijakan UMKM dan korporasi
agar lebih tanggap pada arti penting jaringan pemasaran domestik yang berwawasan

BAB 12 | Daya-Lenting Satuan Agribisnis Nusantara 233


barter komoditi antardaerah. Selain regionalisasi pasar domestik bisa memperkuat
NKRI, juga jadi ajang perkuatan bisnis ekspor.

3. Keharusan Organisasi dan Talalaksana Inovatif


Kemudian isu penting lainnya terkait hilirisasi yang menyangkut peran pebisnis
UMKM adalah tentang pentingnya memahami peran OPD (Organisasi Perangkat
Daerah) yang amat perlu melakukan benah diri ke dalam. Seperti sudah dikemukakan
apabila proses hilirisasi itu ditujukan kepada komoditi dan pebisnis yang berkelas
kerakyatan, maka layanan Pemda dengan ortala yang inovatif kiranya sangat
diperlukan. Ortala-OPD yang belum inovatif tidak mungkin siap berdedikasi dan
siap berkorban untuk menunjang komoditi-inovatif dan pebisnis inovatif. Tidak
bisa diabaikan, tampilan dan kinerja ortala-OPD harus dan bahkan sepatutnya lebih
duluan bernada inovatif, karena ada 3 alasannya yaitu:
a. Gerakan klaster UMKM-inovatif di setiap desa, sebaiknya dipayungi oleh
BUMDes, sedangkan Kades memegang kendali & tongkat komando penggunaan
dana desa yang seyogianya untuk kemajuan kehidupan bisnis di desa, dan
karena itu mereka perlu diberitahu arah maju perkembangan bisnis daerah,
serta perekonomian antardaerah Nusantara;
b. Gerak maju klaster UMKM-inovatif seyogianya berdampak cipta lapangan kerja,
cipta sumber dana bagi hasil untuk desa dan aparat desa, menambah waktu dan
volume peredaran uang, mengurangi kemiskinan mutlak di desa, dan muncul
aneka sumber PAD yang sah untuk PEMDA;
c. Gerbong klaster UMKM-inovatif butuh pembinaan penuh perhatian dari OPD-
pembina hilirisasi, tidak sekadar meluncurkan, mendanai, melaporkan dengan
Berita Acara Proyek (BAP) tuntas; melainkan benar-benar interaktif, sehingga
peluang bisnis bisa direbut karena ancaman bisnis ditaklukkan dan kendala
bisnis bisa diatasi atau setidaknya dijinakkan.

Pendekatan kelola proyek tidak pas untuk program hilirisasi, karena berbagai
persoalan dan ancaman bisnis bisa muncul sewaktu-waktu. Gerak bisnis amat
dinamis, dan tidak berlangsung dalam suatu sistem perekonomian tertutup, apalagi
dunia telah menyatu tanpa sekat fisik yang membatasi. Dari itu pihak OPD-pembina
harus mengerti aturan main dan seluk-beluk aktivitas bisnis agar mudah berwawasan
bisnis, serta bersifat mumpuni, bekerja penuh dedikasi terhadap anggota klaster
UMKM yang pada umumnya lemah dan masih harus dibina. Banyak fakta lapangan
yang akan dihadapi UMKM agri-bisnis kerakyatan selalu perlu perhatian dan bantuan
Pemda, sebelum mereka jadi dewasa mengelola dan matang menjalankan satuan
usaha.

234 Ekonomi Pertanian


Tentu saja pihak OPD-pembina dan beberapa OPD terkait perlu berperan
aktif dan saling menunjang dalam urusan produksi maupun urusan pemasaran.
Suatu program hilirisasi kadang dihadang oleh berbagai kendala teknis, dana dan
administrasi. Jika para petugas OPD-pembina berkompetensi dan sudah berwawasan
bisnis inovatif, maka arus monetisasi desa akan lancar. Bersama monetisasi itu
kaum tani dan warga desa pada umumnya akan lebih bergairah menempuh proses
transaksi bisnis yang nyata menyentuh dan membuat mereka semakin sejahtera.
Demikian organisasi tata-laksana OPD-inovatif (dinas sektoral dan badan) sangat
penting dihadirkan, agar di setiap daerah dapat ditonjolkan PRUKAB atau PROKOTA
masing-masing.
Pembinaan jalur kerjasama berbasis Inforkom untuk menunjang agenda
Kelitbangan yang akan berguna untuk memacu aktif para pihak agar segera
menjalankan program Penelitian-pengembangan (Risteks-inovatif) menuju sukses
inovasi. Maka dari itu, kelengkapan perangkat teknis dan kesiapan SDM Pemerintah
Kota dan Kabupaten seyogianya segera direalisasikan. Diharapkan jalur kerja sama
berbasis Inforkom Risteks-inovatif bisa efektif memacu GERAKAN INOVASI,
sesuai jejak jelajah (road mapping) Risteks-inovatif, yakni agenda gerakan inovasi
dan hilirisasi di tiap daerah.
Di zaman penuh persaingan ini jika suatu daerah ingin maju pesat, maka
cara-cara kerja santai yang tanpa pola dan target tentulah harus diganti dengan
cara kerja baru yang lebih INOVATIF agar secara ekonomi jadi progresif (karena
cerdas), juga atraktif (karena tuntas) dan kontributif (karena bernas). Pola atau
‘rancangan’ itu harus dipastikan selaras rencana pembangunan jangka menengah
daerah (RPJMD). Dalam dokumen RPJMD sudah seharusnya tersusun sejumlah
program inovatif yang benar-benar menjurus kepada pencapaian VISI dan MISI
pembangunan daerah. Tentu visi misi dimaksud pernah dipromosikan oleh (calon)
Kepala Daerah selaku pemenang Pilkada, dan telah pula dikoreksi dan diperkaya,
serta disahkan oleh DPRD setempat.
Satu hal perlu disadari, bahwa di zaman ini setiap sasaran program pembangunan
tidak bisa lagi berdiri sendiri, melainkan perlu ditopang oleh banyak OPD yang tepat
jadi pilarnya. Keharusan ini akibat lingkungan alam dan lingkungan binaan sudah
makin terbuka dan terhubung satu sama lain, maka dampak dan isyarat kegiatan
apa pun kian berkaitan satu sama lain. Untuk itu, perlu kerja sama dan koordinasi
lintas sektor, dan setiap OPD mitra perlu SOP acuan berkoordinasi. Tentang ini ada
3 alasan pragmatik, yaitu:
a. Internal OPD sering kali miskin rapim (rapat pimpinan), lalu staf terbiasa santai,
kecuali kalau telah ada SOP khusus sebagai acuan dan selalu diingatkan oleh
setiap unsur pimpinan;

BAB 12 | Daya-Lenting Satuan Agribisnis Nusantara 235


b. Internal OPD perlu cepat menyadari posisinya, kalau sebagai sektor-mitra
ataupun sektor utama harus mengetahui bobot kerjanya agar tidak ada kriteria
SPM terlanjur diabaikan;
c. Internal OPD perlu mengukir kinerja maksimal dengan porsi dana yang jelas
alokasinya dan tak mudah terjebak korupsi, sepantasnya ditargetkan tercapai
berkat ada transparansi.

Benar bahwa wujud kue pembangunan di daerah kabupaten dan kota, ketika
diukur dalam bilangan PDRB dan bilangan nilai PAD umumnya masih relatif kecil.
Perkecualian kedua nilai capaian tahunan itu bisa tinggi bagi daerah yang kaya
SDA-mineral strategis, dan menerima Dana Bagi Hasil (DBH dari pemerintah
pusat) bernilai relatif besar. Kebanyakan daerah lainnya yang tidak memiliki basis
SDA mineral strategis akan tampak memiliki nilai PDRB relatif rendah ditopang
oleh sektor pertanian. Biasanya daerah demikian menampilkan tingkat kesenjangan
ekonomi rendah (tidak ada yang amat kaya dan sangat miskin, alias rendah angka
rasio gini) dan rendah pula persentase penduduk miskinnya.
Secara konsepsional, kenyataan angka PDRB dan PAD terbatas bisa dikarenakan
kebanyakan proses produktif masih mengalami turun-naik LABA karena mekanisme
pasar yang tidak berkepastian, yang pasti berdampak kurang kondusif pada kenaikan
pendapatan daerah. Jadi, proses monetisasi berlangsung tanpa manajemen kreatif
dan tanpa polesan Ipteks-inovatip pemicu NILAI-TAMBAH. Gejala ini biasanya nyata
sekali dialami pelaku produksi di sektor primer (pertanian & pertambangan rakyat)
dibarengi adanya pola niaga perdagangan yang masih belum jauh beranjak maju.
Biasanya komoditi dan produk daerah demikian itu masih jauh untuk sampai
menembus aneka sasaran pasar yang terkait dengan perniagaan antarpulau dan
pasar ekspor. Tentunya komoditi dan produk khas daerah baru bisa menjangkau
sasaran pasar yang jauh dan apalagi pasar luar negeri jika sudah bisa memenuhi
tuntutan standarisasi barang yang menjamin mutu-jumlah-atribut sesuai dengan
berita promosi yang dilancarkan. Isyarat yang terakhir ini erat kaitannya dengan
inovasi dan hilirisasi yang sepatutnya dikembangkan oleh daerah secara terencana,
sebagaimana isyarat proses pembangunan yang berwawasan Ipteks-inovatif pada
Gambar berikut ini.

236 Ekonomi Pertanian


Gambar 12.3 Pemda Fasilitator Inovasi & Hilirisasi Pertanian
F. Sjarkowi, 2021

Perhatikan keterangan Gambar 12.3 ini pada 2 kotak bahasan di bagian ujung
sub-Bab ini. Ungkapan keterangan tentang modernisasi dan digitalisasi bisnis
yang mengandalkan perangkat teknologi internet itu punya pesan khusus jika akan
didayagunakan untuk mengangkat prestasi ekonomi dan kinerja penafkahan rakyat;
alias gerak maju ekonomi kerakyatan, yaitu:
a. Berbagai aspek konomi kerakyatan tidak bisa berinovasi secara mandiri, karena
keterbatasan modal SDM dan dana penopang inovasi.
b. Bentuk ekonomi kerakyatan yang masih bertaraf petani-KCT (=Kecil, Cerai-
Berai dan tradisional) perlu pembinaan dari pihak Pemda.
c. Berbisnis maju perlu perangkat teknologi dan manajemen yang hanya bisa
ditularkan kepada kelompok-KCT per klaster pertanaman.
d. Berkat adanya teknologi & manajemen maka tiap kelompok-KCT bisa tampil
melembaga sebagai UMKM-kemitraan yang maju adaptif.
e. Banyak kendala dan keterbatasan UMKM untuk maju beradaptasi terhadap
tuntutan pasar tentu harus dibantu para OPD inovatif.

Itulah 5 pokok pesan yang ditekankan oleh gambar di atas tadi. Di sini, terkesan
proses inovasi bisnis itu rumit dan mahal, akan tetapi dampak positifnya sungguh
besar. Bukan hanya cipta produk unggulan daerah dibarengi persaingan pasar, tapi
juga bisa terjadi percepatan pertumbuhan ekonominya.

BAB 12 | Daya-Lenting Satuan Agribisnis Nusantara 237


CATATAN UNTUK GAMBAR 12.3
(Ditulis berdasarkan hasil kajian pengamatan di satu Kota Provinsi Sumatera Selatan, 2020)

Upaya inovasi di tingkat OPD berkesungguhan tentu jadi pintu gerbang penguatan
3-prasarana-sarana, yaitu: 1) Ekosistem inovasi; 2) Kapasitas inovasi, dan; 3) Efektivitas
Inovasi PRUKOT (Produk Unggulan Kota). Selanjutnya, program bina inovasi di tingkat
pelaku usaha ini harus sekaligus mendorong para pelaku UMKM maju ke tahap hilirisasi,
yaitu berusaha untuk penafkahan hidup dari sekadar memproduksi komoditi andalan
berubah menjadi bisnis produk unggulan bernilai-tambah dan punya jangkauan pasar
lebih jauh, serta lebih luas cakupan geografisnya. Dalam hal ini berbeda dari pengertian
istilah inovasi, dan pada hakikatnya HILIRISASI adalah upaya sistematis merekayasa
kesepakatan transaksional 2 jenis perusahaan, yang memproduksi suatu komoditi bahan
segar (=bahan mentah) terhadap perusahaan hilirnya yang membutuhkan bahan baku
untuk menghasilkan produk inovatip ½ jadi atau produk siap pakai siap konsumsi.
Jadi, semua paket agenda kelitbangan yang kemudian mulai mengarah pada
penciptaan inovasi dunia usaha tentunya membutuhkan koordinasi intensif antarpara
pihak yang berperan-aktif. Khususnya para pihak dalam kerangka kerja SIDa atau
SIKa (Sistem Inovasi Kota) koordinasi itu sangat penting untuk diagendakan. Lalu
dengan selalu mengacu pada isyarat penilaian prestasi Pemda oleh Bappenas, maka
secara sistemik ada 3 sasaran kinerja yang hendak dicapai dengan pola dan strategi
pembangunan berwawasan lingkungan dan bertema inovasi yaitu:
a. Dalam rangka apik Ortala lintas OPD guna menunjang kecermatan dan kecepatan
kerja, maka perlu EKOSISTEM INOVASI salah satu penanda sebagai Kota-CERDAS
(smart city) yang amat penting jika Kota ingin memperbaiki pelayanan publik,
khususnya layanan bagi para wisatawan;
b. Dalam rangka meng-efektifkan kinerja kemitraan lintas OPD guna menaikkan
KAPASITAS INOVASI kepemerintahan yang tentunya ingin secara cerdas dapat
memicu proses inovasi di semua sektor oleh semua pihak dan di setiap organisasi
pemerintahan daerah dan kelembagaan bisnis.
c. Dalam rangka menaikkan kesejahteraan warga kota-CERDAS, maka produk
unggulan kota atau EFEKTIVITAS-INOVASI sudah sepatutnya kian berkembang
dan menambah lapangan kerja menunjang kegiatan UMKM inovatif di kecamatan
yang berinovasi, serta menambah aneka sumber PAD.
Dalam rangka menyusun rencana induk kelitbangan (RIK) Kota perlu langkah
sistematis membangun Ekosistem INOVASI, Kapasitas Inovasi dan Efektifitas INOVASI,
maka perlu 3 rancangan Ristek-inovatif dengan paket program berikut:
a. Agenda # 1) Mengembangkan Ekosistem Inovasi Kota;
Program 1.1) Membangun Sarpras Inovasi Tingkat OPD
Program 1.2) Menyusun Agenda Kerja Kelitbangan Pemerintah Kota/Ibukota.
Program 1.3) Memicu-pacu MOU Lintas Lembaga di Lingkup Ass-1, 2, 3 Sekda.

Dapat diperhatikan pada bahwa setiap Program yang terkait dengan Agenda
Kelitbangan #1 terdapat 3 paket kinerja yang harus diupayakan terealisasi baik. Kalau
ada bagian diabaikan, itulah tindakan pembinaan parsial. Padahal untuk persoalan
multidimensi, pendekatan holistic, terpadu & sistemik amat diperlukan. Perhatikan judul
program yang ada dalam agenda #1) adalah Pengembangan Ekosistem Inovasi”. Ini terkait
aspek prasarana-sarana yang harus dilengkapi, dan ini pasti tentang internet dan aneka
perangkat teknis operasional.

238 Ekonomi Pertanian


Selanjutnya harus dipastikan agar sejumlah fungsi dan peran berbeda-beda pada
tataran OPD baik difokuskan pada suatu rancangan kerja sama kelitbangan, agar jelas
‘siapa harus berbuat apa, kapan dan seperti apa’. Ikatan kerja sama dan langkah nyata
dimulai pasca-MOU ditanda-tangani para pihak.
b. Agenda # 2) Mengembangkan Kapasitas Inovasi Kota;
Program 2.1) Membentuk SIKa (Sistem Inovasi Kota)
Program 2.2) Membina Kemitraan-inovatip, lintas OPD dan lainnya.
Program 2.3) Melengkapi Sarana pokok 4 Tema Gerakan Inovasi Ass-1, 2, 3 Sekda.

Arti penting SIKa akan sangat terasa bagi Kota & Ibukota yang kenyataannya hanya
memiliki SDA nonstrategis untuk didayagunakan jadi energi pembangunan ekonomi
dan kesejahteraan warganya. SDA mineral tambang tidak ada depositnya; sedangkan
SDA berbasis lahan harus jeli memperhatikan kawasan lindung. Basis. lahan harus
dioptimalkan dengan pola manajemen badan usaha agribisnis UKM dan dalam rangka
tumbuh kembang pelaku usaha agroindustri dan layanan jasa pariwisata. Dari itu SIKa
sangat penting diaktifkan; gerakan inovasi lewat pengembangan PRUKOT yang dimulai
dari kecamatan. Program pemacu Ristrek-inovasi diarahkan pada tema andalan.
c. Agenda # 3) Mengembangkan Efektivitas Inovasi UMKM Kota/Ibukota; Program
3.1) Memfasilitasi Keperluan Kelitbangan-Inovasi (HAKI, Lab) Program 3.2)
Membina Paket Invensi untuk PRUKOT (Khas Kecamatan) Program 3.3) Menopang
PRUKOT masuk Pasar; tugas Ass-1, 2, 3 Sekda.

Prinsip pemberdayaan dunia usaha, khususnya dalam rangka memacu inovasi


seharusnya memudahkan dan mempercepat proses inovasi, sehingga mereka para
pelaku dan badan usaha dapat meraih LABA maksimal dan NILAI-TAMBAH optimal;
pada gilirannya aneka sumber PAD bisa tercipta dan membuahkan tambahan dana
pembangunan daerah lebih lanjut. Bersamaan itu fasilitas pelayanan SATU-ATAP
dan dukungan Pemda untuk melancarkan inovasi usaha semisal pengurusan HAKI,
laboratorium analisa gizi (senyawa herbal penyembuh suatu penyakit) sepatutnya
disediakan Pemda setidaknya di tingkat Provinsi. Efektivitas inovasi bisa terjaga
berkelanjutan, jika promosi pasar terus dipacu Pemda hingga ke tingkat ekspor.
Demikian bagi pihak Pemda sendiri proses inovasi sepatutnya dibuat dalam rangka
menyehatkan ekosistem inovasi, menguatkan kapasitas inovasi dan memacu efektivitas
inovasi. Untuk 3 agenda pokok program kelitbangan itu, maka harus dibuat Tabel Matriks
tentang agenda dan sumber dana eksekusi. Tentu saja harus ada upaya OPD secara
terpadu dan di bawah koordinasi Asisten Sekda. Dari itu, ada 3 hal yang kemudian bisa
didapatkan sebagai berkat dari sukses program EKOSISTEM INOVASI, KAPASITAS
INOVASI dan EFEKTIVITAS INOVASI, yaitu:
a. Penampilan Kota atau Ibukota Cerdas (disebut smart city);
b. Perilaku Kota atau Ibukota berupa Kepemerintahan Baik (good governance);
c. Prestasi Kota atau Ibukota yang Kaya PRUKOT dan atau PRUKAB.

Ketiga capaian ini pasti membanggakan semua aparatnya, serta warga Kota &
Ibukota. Ke-3 capaian itu sangat pas dengan upaya pacu pertumbuhan ekonomi dan
kesejahteraan masyarakat yang masih berbasis pertanian. Begitu idealnya capaian, karena
bersama itu juga bisa pula dipacu “pelayanan satu atap” dari Pemda terhadap para calon
investor karena kelengkapan dan akurasi informasi jadi lebih terjamin adanya.

BAB 12 | Daya-Lenting Satuan Agribisnis Nusantara 239


Selain itu, Gambar 12.3 juga menjelaskan adanya 3 unsur perangkat inovasi
yang perlu siap dan aktif melancarkan proses koordinasi lintas kelembagaan OPD
dan mitra lain. Kelengkapannya harus tampak pada setiap lintasan kerja sama
kemitraan antar-OPD, dan ketiga unsur itu adalah:
a. Perangkat dasar teknologi inforkom, yakni menara pancar, jaringan distribusi
dan perangkat teknis penerima sinyal wi-fi;
b. Perpaduan beberapa OPD terkait suatu misi inovasi berbasis data mutakhir
yang disepakati bagi sukses program pembangunan;
c. Pernyataan aturan main para OPD terkait agar masing-masing mengacu
ketentuan SOP dan SPM, sehingga saling memaklumi.

Dari sisi materi atau bahan inovasi, maka OPD harus dapat bekerja sama
dengan pihak LPPM (Lembaga Pengabdian Pada Masyarakat PTN/S) atau pihak
LPND (semisal LIPI, BATAN yang memiliki berbagai program kelitbangan-inovatif).
Pihak perguruan tinggi setempat pasti bergiat ketika perannya diharapkan menonjol
dalam urusan inovasi yang memang berawal dari kegiatan riset terapan atau Risteks-
inovatif. Lewat peran DRD (Dewan Riset Daerah), maka kebutuhan perangkat
manajemen kreatif dan paket teknologi-inovatif UMKM dapat dicari oleh LPPM
PTN/S mitra Balitbangda.
Produk Unggulan Kabupaten (PRUKAB, dan PRUKOT berasal dari Kota),
sangat dimungkinkan oleh adanya variasi iklim, serta jenis tanah, serta tradisi
kemasyarakatan yang beraneka di lintas kabupaten. Bahkan di kecamatan pun bisa
dijumpai berbagai produk penganan yang berbeda cara pengolahannya. Tinggal lagi
kriteria unggulan daerah sepatutnya memenuhi syarat pokok dan syarat kecukupan
tertentu. Terdapat 3 syarat pokok unggul: 1) Didasari SDA yang banyak tersedia
dan khas setempat; 2) Ditandai lapangan kerja sesuai dan diminati SDM lokal, dan;
3) Didukung kelancaran prasarana ekonomi yang baik. Syarat kecukupan: a) Bahan
olahan tersedia terus-menerus tiap bulan-tahun; b) Bisa dijadikan produk pasangan
barter niaga dengan provinsi lain.
Gerakan bina UMKM-inovatif yang dikaitkan pula dengan PRUKAB- inovatif
jika ditekuni di setiap daerah dan dijalankan dengan baik oleh SDM dari OPD
dengan ortala-inovatif tentu pada gilirannya akan dengan mudah memacu kehadiran
berbagai sumber pajak & retribusi di suatu daerah. Lewat peran aktif para wakil
rakyat dan kader partai yang benar-benar peduli komunitas konstituennya, maka
program yang secara politis didukung oleh para tokoh dan wakil rakyat dan harus
dibiayai dengan ‘dana aspirasi’ tentu akan sekaligus menumbuhkan simpati warga
masyarakat kepada mereka.

240 Ekonomi Pertanian


Jadi, akan ada juga anugerah tersembunyi di balik gerakan inovasi daerah.
‘Blessing in disguised’ tersebut sesungguhnya datang dari gerakan yang bisa dijadikan
pintu gerbang nyata bagi upaya menggerus ongkos politik pragmatis yang suka
dibudayakan dan jadi biang kerok yang melatarbelakangi budaya korupsi. Sungguh
bersama tegasnya penegakan hukum harus ada tegaknya pemerataan ekonomi dan
kesejahteraan umum; tidak cukup hanya sebelah. Padahal bersama hilirisasi komoditi
primer kerakyatan, ada pertumbuhan ekonomi, sekaligus pemerataan kesempatan
kerja, peluang pendapatan, dan nilai tambah besar penentu kue pembangunan
penjamin kemakmuran.
Tabel 12.1 Sasaran Riset Potensial Penunjang Inovasi Ekonomi Sumsel
Aneka Jenis Tugas Riset Untuk Lembaga Litbang
Ekosistem
dalam Wilayah PTN &PTS LPD & LPND BUMN & BUMS
Sumsel
1. Bkt Barisan Spc Endemik, Energi Baru Mineral Energi Uranium KimiaFarma Herbal
2. Dat- Tinggi Tbr Sist-Hidroorologis SDA-Energi Panas Bumi Langka Usaha
3. Dat-rendah &Mata-air Sensitifitas Sist-Pentau Lingk Jarak Wanatani Kerakyatan
4. Kwsn Lebak Sub-DAS Musi Pertanian Jauh SistTan Pangan Aneka Agroindustri
5. KwRw Gmbt Pangan Unggul Terapung Prilaku Muka UnggulDa Agroind.
6. KwPs Surut Pertanian Tanpa Bakar Air Tanah(MAT) Spc Purun&SusuKerbo HTI
7. KwPantai Intensitas Pertanian- Unggul thdp Air Asam Non-Acasia
8. ES-Air Payau pangan Potensi TN- Objek Wisata Lingkungan Ush SuplaiAirBersih TAA
9. ES-Danau Sembilang Dayaguna Pra-FS.Industri Gula SarprasTitik2 pantau
Nipah & Air Keanekaan Nipah Pelestarian Plasma wisata FS.Industri
SDA-Hayati Nutfah Gula Nipah Usaha Ikan
Terapung

Jelasnya, hilirisasi komoditi bisa dilakukan di tingkat negeri, provinsi,


kabupaten, dan tingkat desa; persisnya melalui alternatif 2 jalur yaitu: (1) Jalur
cepat-DPIN (cocok untuk UMKM); (2) Jalur cermat-SPIN, yang cocok untuk satuan
korporasi; dan tipe 2 ini adalah garapan nasional & provinsi. Hilirisasi komoditi
UMKM pra-inovatif perlu diisi 3 muatan invensi, yaitu: (1) Inovasi komoditi; (2)
Inovasi pebisnis; (3) Inovasi ortala OPD di tingkat Pemda; sembari penuhi 3 syarat
pokok & 2 syarat kecukupannya.
Program hilirisasi komoditi dibarengi pembinaan UMKM-inovatif adalah proses
penguatan ekonomi daerah yang dijalankan dengan upaya bersama, terkoordinir
dengan apik; patut dilakukan di setiap kabupaten, dimulai dari setiap desa. Hilirisasi
komoditi dan pebisnis inovatif harus dimulai dan dikembangkan di seluruh pelosok
tanah air sebagai gerakan benah dan bina perekonomian daerah karena memicu
pemerataan ekonomi dan perekat kuat NKRI. Inovasi dan hilirisasi maju sejak dari
tingkat desa akan berdampak positif mengebiri politik uang, perlemah premanisme,
dan bisa efektif, serta efisien dalam memperkuat ekonomi fundamental negeri ini.

BAB 12 | Daya-Lenting Satuan Agribisnis Nusantara 241


12.2 Masa Depan Agribisnis Perhutanan Kerakyatan
Bentuk satuan usaha agribisnis perhutanan kerakyatan secara konsepsional diyakini
perlu dikembang di setiap pulau besar negeri ini sebagai suatu keniscayaan.
Kehadiran kawasan agroekosistem hutan memang boleh dibuka untuk keperluan
pertanian tanaman pangan, tanaman keras, tanaman horti-kultura, dan dipastikan
akibatnya cepat terkuras. Kawasan hutan lindung & konservasi pun semakin kritis,
baik mutu maupun jumlah luasannya. Padahal fungsi hutan begitu penting, yakni:
(1) Sebagai unsur utama pengatur siklus hidro-orologis, khususnya pengendali
banjir; (2) Sebagai pengatur suhu dan iklim mikro di suatu permukaan zona
pembangunan; (3) Sebagai peponjen cadangan SDA-hayati, flora dan fauna; (4)
Sebagai penopang kehidupan fauna dan flora mikro-aquatik & mikro-teresterial
khas; (5) Sebagai satu mata rantai penyangga bencana polusi juga kebakaran (sekat
bakar); (6) Sebagai “ATM”-alami bagi warga sekitar, terutama pada saat kondisi
darurat, serta; (7) Sebagai zona penghubung antarjenis ekosistem.2 Jika ada bagian
kawasan hutan yang sempat dialih-fungsi untuk kepentingan ‘pembangunan’ maka
pergeseran itu harus diiringi penambahan porsi hutan tanaman dengan topangan
upaya sadar warga masyarakat dipenuhi rasa tanggung jawab.
Langkah penetapan sasaran manajemen hutan berpola SUPK (Satuan Usaha
Perhutanan Kerakyatan) sepatutnya semakin diperjelas dengan konsep operasional
program agribisnis. Pola selama ini lebih berwawasan proyek dan ukuran suksesnya
sangat individualistik dan sporadik. Kini perlu berwawasan kesatuan-wilayah,
keterpaduan-kegiatan, bahkan kandungan strategi agribisnis diselipkan demi
kemaslahatan rakyat dan daerah. Ini berarti pola manajemen persil hutan tidak
boleh murni privat, tetapi juga tidak patut jadi sepenuhnya sosial kemasyarakatan.
Karenanya sasaran kelola Satuan Usaha Perhutanan sosial (SUPK) dimaksudkan di
sini harus berfungsi menekan 4-entropi sosial (=entropi sosial-psikologis, e.sosial-
ekologis; e. sosial-ekono-mis; e. sosial budaya) agar 4-unsur monetisasi pedesaan (yakni:
stabilitas-produktivitas-equitabilitas-sustenabilitas) niaga jadi terangkat. Di sini, makna
konsepsional entropi sosial adalah kemerosotan sumbangsih dari 4 modal sosial,
yakni “sikap akomodatif, kearifan lokal, nalar-imtaq SDM, dan nilai adat-budaya”.

Di Provinsi Sumatera Selatan diketahui ada 9 jenis ekosistem, yakni (1) E- Bukit Barisan,
2

(2) E- Dataran TInggi, (3) E-Dataran Rendah, (4) E-Danau/sungai, (5) E. rawa lebak (lbk-
pematang, lbk-tengahan, lbk-dalam); (6) E- rawa pasang-surut, (7) E-rawa payau, (8) E- bakau
pantai, (9) E-padanglamun (sea grass). Setiap ekosistem harus punya seluasan hutan sebagai
mata-rantai ruang penyangga-penghubung.

242 Ekonomi Pertanian


1. Beberapa Alasan Mendasar
Kehadiran agribisnis SUPK bisa dilihat dari perspektif makro-wilayah dan juga
mikro-usaha. Keberhasilan pengelolaan tergantung pada kelengkapan informasi
biogeofisik dan sosio-antropologis ekosistem hutan, di samping aneka jenis
ekosistem lainnya. Ketepatan informasi demikian diperlukan agar suatu SUPK
sebagai kesatuan kelola perhutanan kerakyatan dapat dibentuk kuat sebagai berkat
dari rancangan rekayasa sosial (social engineering) dan rekayasa perhutanan (forestry
engineering).3 Bahwa di lapangan telah digunakan sebutan HKM, BHM, HTR dan
lainnya tentu tidak perlu dipermasalahkan, karena sebutan demikian merupakan
kotak ‘casing’-nya dan lebih penting dari itu adalah substansi programnya yang
harus berefek ganda. Di satu sisi bisa menyelamatkan fungsi dan mutu kawasan,
dan di sisi lain harus mampu memacu kerja sama warga di luar dan di dalam
kawasan untuk meningkatkan kesejahteraan mereka secara bernas, tapi hemat
SDA.
Bertolak dari teori sosial-paradox (Sjarkowi, F. 2014), rekayasa sosial penopang
usaha perhutanan kerakyatan perlu ditopang 2 instrumen kelola: (1) Rancangan
SECI (socio-entropic controlling interface); (2) Rancangan BPFM (business planned
on forest management) yaitu satuan agribisnis berorientasi kelola sumber daya
hutan). Syarat ke-1 mengharuskan kajian socio-antropologis terhadap warga
setempat untuk mendeteksi aneka potensi penyimpangan sosial. Entropi ini jadi
pemicu gangguan pada kemitraan interaktif (antarsesama warga) terlebih lagi
jadi ancaman bagi kemitraan konstruktif (antara warga dan investor). Syarat
ke-2 juga perlu dipenuhi sebagai rancangan target usaha ramah lingkungan dan
bernuansa wanatani sebagai penangkar carbon (carbon squestering) yang menjurus
pada semacam usaha bisnis carbon atau wana-niaga (carbon trading) yang pernah
banyak diwacanakan.
Adapun BPFM berbasis wanatani dan merupakan ajang usaha kemitraan
konstruktif setidaknya ada 2 macam yang di sini disebut WTAK (Wanatani Tumpuan
Agroindustri Kehutanan) dan juga WTWA (Wanatani Tumpuan Wisata-Alam).
Sementara itu, BPFM bersifat wana-niaga yaitu usaha kemitraan interaktif, tampil
2 macam, yakni KUAT (kelompok usaha agro-trisula), serta yang disebut kegiatan
KUAK (kelompok usaha agrokreatif). Setiap bentuk BPFM ini tentunya bisa ambil
tempat di dalam kawasan hutan lindung terlanjur dirambah, dan bisa pula di luar
kawasan dan di kawasan desa.

3
Reed F. Noss (1992) dengan jelas membedakan pengertian forest management dari forestry
management.

BAB 12 | Daya-Lenting Satuan Agribisnis Nusantara 243


Dapat diartikan di sini, bahwa perekayasaan WTAK untuk menunjang suatu
satuan usaha bisnis perhutanan kerakyatan sesungguhnya memerlukan upaya
perkuatan kemampuan Ipteksi (ilmu pengetahuan-teknologi-seni) dalam hal aneka
proses olah kapanel, produksi arang-kayu dan pemanfaatan kulit kayu yang sering
kali hanya terbuang percuma. Rekayasa WTWA perlu langkah diklat teknis jasa-
wisata, penyediaan sarana wisata, pandu-wisata alam. Semuanya itu ditujukan untuk
mengisi masa pratebang kayu yang untuk usaha perhutanan memakan waktu “puasa”
cukup panjang. Demikian pun KUAT mengundang pemberdayaan dengan Ipteksi
ke arah cash-cropping, yakni sayur cepat, ternak cepat, dan perikanan cepat sebagai
sumber uang tunai cepat-hasil. Selanjutnya, pola KUAK memerlukan Ipteksi dalam
hal tangkar hewan ex-situ, tangkar lebah madu, tangkar benih/bibit, olah bahan obat
herbal, olah bahan pernak-pernik organic.
Di sini sasaran manajemen agribisnis SUPK berarti mengubah sasaran
operasional reboisasi yang selama ini lebih berwawasan proyek parsial. Ukuran
sukses biasanya sangat individualistik selain sporadik, kini harus lebih berwawasan
kesatuan-wilayah, keterpaduan-kegiatan, dan kemaslahatan-rakyat. Ini berarti
sasaran manajemen persil hutan telah berubah jadi sasaran manajemen kawasan
agribisnis perhutanan sosial. Karena itu keberhasilan pengelolaan amat tergantung
pada ketersediaan gugus informasi biogeofisik dan sosio-antropologis dari kawasan
ekosistem hutan lindung sasaran. Gugus informasi terkait fakta perilaku para
perambah suatu kawasan, dan karena itu harus pula diketahui ciri dan potensi
bio-geofisiknya. Pola kelola ‘pukul-rata’ dan anggap sama permasalahan, serta
pola penanganan untuk setiap kawasan ekosistem yang terambah, sungguh ini
tidak dapat dibenarkan. Jangankan dimensi teknis dan manajemen biogeofisik
berbeda antarpulau, antarprovinsi, justru berbeda dan bahkan antarkawasan hutan
di provinsi yang sama.
Ketepatan informasi demikian diperlukan agar suatu SUPK sebagai kesatuan
kelola perhutanan kerakyatan dapat dibentuk kuat berkat dari rancangan rekayasa
sosial (social engineering) dan rekayasa perhutanan (forestry engineering).4 Bahwa di
lapangan telah ada kegiatan pembinaan warga dengan sebutan HKM, BHM, HTR dan
lainnya, tentu hal itu tidak dipermasalahkan, karena sebutan demikian merupakan
kotak ‘casing’-nya. Lebih penting dari itu adalah substansi program harus berefek
ganda.

Reed F. Noss (1992) dengan jelas membedakan pengertian forest management dari forestry
4

management.

244 Ekonomi Pertanian


2. Beberapa Bentuk Konsepsional SUPK
Secara garis besar sasaran pengembangan pola usaha wanatani SUPK yang
dimaksudkan oleh Penulis buku ini terbagi dalam 2 sasaran pengendalian perilaku
deforestasi oleh unsur warga ‘sekitar’5 kawasan hutan. Dua sasaran dimaksud:
a. Para perambah yang sudah berada di dalam dan mengembangkan cara
penafkahan dari petak usaha di kawasan hutan lindung;
b. Para calon perambah yang cenderung tergoda untuk melakukan aksi
ekstensifikasi lahan usaha tani melalui perambahan persil lahan kawasan
lindung.

Lebih diperjelas lagi di sini, bahwa kategori ‘kawasan lindung’ bisa saja suatu
zona yang masih alami, atau suatu zona yang telah secara resmi dialih-fungsi,
misalnya sebagai zona Area Penggunaan Lain (APL), Area Hutan Marga (AHM),
posisi sempadan sungai atau balong dan danau dalam Area Persetujuan Konsesi
(APK), atau juga Area Garis Pantai (AGP); yang menurut ketentuan peraturan
perundangan (Permen-KLHK #8/2021)6 harus dijaga keutuhan ciri alaminya demi
menghindari bencana dan kerusakan pada konsesi.
Tabel 12.2 SUPK pada Sasaran Kelola Kawasan Hutan

Bentuk Sasaran Kelola Kawasan Penyangga Sasaran dalam Kawasan Lindung


Rekayasa Gugus lahan Ggs Enclave dalam Gugus Area Ggs Sempa dan
Sosial Marga & APL kawasan Konserv/Lind Sungai & Danau
WTAK 1.MHR tipe-1 2.MHR tipe-2 3.MHBM tipe-1 4.MHBM tipe-2
WTWA 5. MP-LW 6. MHR+ 7.MHBM+ 8. MK-LW
KUAT 9. MA-PS 10. MA-PS 11. MA-AT 12. MA-AT
KUAK 13. MP-AS 14. MA-AS 15. MA-AS 16. MP-AC
Catatan: Setiap sel ini merupakan satuan kegiatan nyata bagian dari upaya kelola SUPK. MP-LW=
manjemen pemasaran & layanan wisata; MK-LW= manajemen konservasi & layanan wisata; MP-
AT= manajemen agrotrisula perhutanan sosial; MATT= manajemen agroforestri agrotrisula terbatas.
MAAS= Manajemen Agroforestri adat setempat; MP-AC= manajemen perniagaan agro-cipta. Lalu MHR
=Mengelola Hutan Rakyat; MHBM = Mengelola Hutan Bersama Masyarakat (T-1 = rehabilitasi, T-2 =
konservasi).

Tabel 12.2 menggambarkan sejumlah kombinasi sasaran kelola perilaku


warga dan kondisi lokasi. Di situ SOP manajemen agribisnis sosial-forestri, maka
keseluruhan wilayah (pada # register tertentu atau pun zona KHE-LB (Kesatuan

5
Kata ‘sekitar’ di sini berarti warga setempat, walaupun bisa melibatkan orang pendatang
dari daerah lain.
6
Permen KLHK #8/2021 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan
serta Pemanfaatan Hutan di Hutan Lindung dan Hutan Produksi.

BAB 12 | Daya-Lenting Satuan Agribisnis Nusantara 245


Hidrologi Ekosistem Lahan Basah) jadi sasaran pelestarian lewat suatu program
manajemen SUPK. Pembinaan holistik-terpadu-sistemik jadi bagian sistem
manajemen kawasan di bawah tanggung jawab pemangku kawasan hutan, biasa
disebut KPHL (Kesatuan Pemangku Hutan Lindung).
Sasaran kajian pernah ditujukan ke wilayah Bukit-Barisan (F. Sjarkowi &
Ismalia, 2016 di Tenggamus, Provinsi Lampung).7 Terkait Tabel 12.2 jenis kegiatan
dalam kotak #1 & 3 (ada di wilayah Pesisir Barat, sebagian eks- HPT); lalu # 5 &
8 (ada di wilayah Teluk Kiluan, Register 27, 25); kotak # 9 & 13 (ada di wilayah
Kota Agung, Register 28, 30, 31, 39). Selain itu di Sumatera Selatan dijumpai pola
kotak # 2 MHR dan Kotak #4 MHBM yaitu melengkapi konsesi 190.000Ha HTI-
Acacia PT-Musi Hutan Persada (MHP, Kab-Muaraenim), yakni 2 pola yang pernah
sukses meredam gejolak protes sosio-psikologis dan sosio-ekonomis warga di sana.
Sementara itu, pola kotak # 11, 12, 15 & 16 pernah dijumpai di konsesi korporasi
COBA-Tin, Bangka di awal dekade 2000-an.
Tentu setiap jenis kegiatan produktif harus dibina lewat kegiatan program
CD (Community Development) untuk kelompok warga sasaran dan sesuai ruang, di
mana mereka berada agar bisa kembali dan terjaga fungsi, serta mutu ekologisnya.
Tentunya program CD dimaksud tidak cukup hanya sebatas penularan suatu
keterampilan teknis dan penggunaan hasil ristek inovatif saja. Agar terbangun
komitmen untuk ikut menjaga kelestarian mutu dan fungsi ekosistem, maka
pembinaan harus meliputi upaya rekayasa pasar bagi setiap macam produk hasil
pembinaan keterampilan yang inovatif dan kreatif.
Peran-serta para pelaku perambahan justru harus terbina berubah dari destruktif
menjadi konstruktif, dari abai jadi peduli lingkungan, dan dari prasejahtera jadi
sejahtera. Ini patut dijadikan alternatif pola pengamanan zona dan kawasan lindung
di bawah tekanan pertumbuhan penduduk dan proses pembangunan ekonomi
nasional. Dari situ ukuran peningkatan kesejahteraan para pelaku SUPK yang
senyatanya berlangsung di lapangan harus pula jadi jelas, baik dalam bilangan
finansial maupun dalam bilangan modal sosial. Ukuran yang dimaksudkan harus
dipahami oleh para Pembina.
Sudah tentu cara menghitung ukuran yang dimaksudkan itu agak lebih rumit
karena beberapa alasan: (1) Kegiatan wanatani berbasis pertanaman kayu tidaklah
serta merta dapat dipanen dalam jangka tahunan yang pendek, walaupun bukan
pula berarti TIDAK BOLEH ditebang mengingat selalu ada petir yang juga merusak,
serta bisa membakarnya; (2) Kehidupan pelaku & keluarga perlu belanja kebutuhan
mingguan, yang pasti lebih mahal karena terisolasi dari keramaian desa, hanya

7
Merujuk makalah seminar ditulis oleh: Ismalia, Sherly & Sjarkowi (2014).

246 Ekonomi Pertanian


peniaga bermotor mendatangi; (3) Kegiatan pertanaman kayu tentu harus dibarengi
sumber nafkah & pendapatan tambahan.

3. Isyarat Kelengkapan SUPK


Ke semua nilai konseptual yang hendak diukur tadi tentu punya implikasi manajerial
bagi suatu pelaksana kegiatan organisasi satuan usaha. Hubungan antarbesaran
nilai yang terukur secara empirik sebagai kenyataan lapangan, tentu bisa dijadikan
ramuan penyusun paket kebijakan dan program peningkat kesejahteraan warga dan
kemakmuran daerah setempat. Implikasinya pada kebijakan tingkat makro-wilayah
tentu bisa memperjelas jejak kewenangan Pemda, dan pada tataran mikro-usaha
dapat menopang strategi produktif pelaku usaha seperti UMKM-kemitraan yang
terdiri dari sejumlah petani binaan (Sjarkowi, F. 2018). Dixi ini amat penting Catatan untuk
dipahami guna menata program pembangunan ekonomi pedesaan yang berbatasan penulis:
Dixi ini amat
dengan wilayah ekosistem hutan lindung di suatu daerah. penting
Adapun ukuran penentu nilai prestasi agribisnis (dalam hal ini kegiatan satuan dipahami.
maksud dari
UMKM kemitraaan wanatani) dalam bilangan yang terkecil tampak dari harga kalimat ini
komoditi atau harga produk yang dialami senyatanya, dan diterima rata-rata oleh bagaimana ya
petani selama satu periode jangka pendek (misalnya kwartalan, semesteran atau Pak/Bu? mohon
untuk dicek
setahunan). Nilai harga hasil usaha tani nonkayu selaku penyela atau pendamping kembali, terima
pertanaman utama wanatani dalam petak lahan yang sama, katakanlah rata-rata kasih.
sebesar H = Rp5000,-/Kg jagung pipil. Adalah naluri setiap pelaku usaha tani untuk
menghitung luar kepala 3 hal berikut:

H(jp) ≥ Hbrs atau H(jp) / Hbrs ≥ 1 ? (1)

Jika ya atau sama…syukur! Jika tidak, maka bisakah:

[ H(jp) . Q(jp) ] >> [ Hbrs . Q(brs-4) ] ? (2)

Jika ‘bisa’ maka optimis laba bersih dari jagung pipil akan bisa menutupi
kebutuhan makanan pokok petani sekeluarga & belanja lain-lain (L) selama semusim
tanam padi (beras) hingga panennya 4 bulan kemudian, yaitu:

[ H(jp) . Q(jp) ] – (Co + Cjp) ≥ Hbrs . Q(brs-4) + Σ [ HL . QL]? (2)

Begitulah pola pikir sederhana tiap petani yang masih berusaha tani tradisional
atau semi-agribisnis komersial. Jika keadaan positif pada #(3) memang terjadi, maka
beralasan tumbuh kuat komitmen orang sebagai pelestari dan penjaga kawasan

BAB 12 | Daya-Lenting Satuan Agribisnis Nusantara 247


hutan. Para pelaku SUPK di dalam kawasan lindung dan di dekat perbatasan kian
dituntut komitmen mereka sebagai pelestari fungsi hidroorologis.
Dibantu logika persamaan #2 dan #3, maka persamaan #1 dipakai jadi indeks
NTP (Nilai Tukar Petani), yakni suatu ukuran dari nilai prestasi petani untuk
menjamin kesejahteraan keluarga masing-masing. Dari apa yang dialami dari musim
ke musim, perubahan NTP secara gampangan bisa dijadikan dasar pengambilan
keputusan dalam memilih komoditi pertanaman di suatu musim. Turun naik
indeks NTP pasti tunduk pada kinerja mekanisme pasar, lalu indeks NTP itu akan
mempengaruhi kinerja petani. Oleh sebab itu dalam rangka sukses SUPK di suatu
wilayah pelestarian ekosistem, maka penataan pasar komoditi dan produk nonkayu
terkait dengan keberadaan SUPK di wilayah dalam ataupun di perbatasan luar
kawasan lindung, amatlah diperlukan.
Dari itu, ada alasan mengapa peran Objek Tujuan Wisata (OTW) sebaiknya
dibina di dekat ekosistem yang perlu dijaga lestari, sekaligus punya daya tarik wisata.
Ada 3 manfaat positif bisa terkait kesibukan di OTW:
a. Setiap OTW praktis berpotensi mengundang orang yang di keramaian urban
untuk berkunjung dan mengalirkan uang dari kota ke pedesaan.
b. Setiap wisatawan (wisnu atau wisman) cenderung mencari keunikan penganan
selain suvenir yang dapat menatahkan indahnya kenangan.
c. Setiap nilai belanja wisatawan yang terkait dengan komoditi dan produk khas
OTW patut dikaitkan dengan hasil kerja dan kinerja pelaku SUPK.

Tentu selain panggung pasar OTW, ada pula jenis pasar potensial lain, yakni
korporasi bidang pertambangan atau juga bidang agribisnis dan agroindustri,
khususnya yang berada tidak jauh dari wilayah pembinaan SUPK yang multifungsi
itu. Biasanya kegiatan korporasi besar yang bertumpu pada area lahan yang luas
cenderung melibatkan tenaga kerja yang banyak. TIdak jarang di lokasi kerja sesekali
akan berdatangan unsur keluarga mereka dari daerah lain, dan sebab itu dinamika
keberadaan orang di konsesi perusahaan adalah potensi pasar bagi komoditi dan
produk usaha tani sampingan SUPK.
Bentuk kegiatan bisnis yang bisa jadi ancaman dan menekan indeks NTP tentu
juga ada dan tidak mustahil akan dijumpai di sekitar wilayah sasaran pemulihan
dan penataan, serta pelestarian suatu kawasan lindung. Di antara hal yang bisa jadi
ancaman terhadap misi pelestarian kawasan hutan adalah:
a. Kemunculan calon investor yang berminat membeli persil-persil lahan warga
desa guna mencukupi luasan lahan inti konsesi perusahaan.
b. Kebiasaan warga pedesaan mewariskan sebagian lahan kepada anak lelaki
menikah, luas lahan usaha jadi kecil dan memicu niat merambah.

248 Ekonomi Pertanian


c. Keputusan pihak pemerintah mengalih-fungsi selintasan lahan usaha milik
warga desa untuk kepentingan publik seperti jalan tol & pasar.

Di sini perkembangan harga suatu komoditi, kopi yang secara terbatas bisa
diatur mendampingi tanaman kayu SUPK, relatif terhadap harga komoditi acuan
(beras) biasa juga dicermati petani. Utamanya ketika harga beras terkesan kian
mahal karena harga kopi terus menurun dan membuat resah para petani pekebun.
Begitulah indeks NTP akan jadi rujukan petani mengingat angka ideal yang akan
memacu semangat para petani adalah NTP ≥ 1.
Selain besaran NTP, patut juga diperhitungkan prestasi usaha selama 1 periode
aktip petani rata-rata. Pola hitungnya tentu bukan untuk dilakukan petani, melainkan
oleh pihak pemerhati, yang sepatutnya mencermati apakah firasat bisnis kaum
tani dan para pembina mereka telah bertindak benar; setidaknya baik menurut
barometer NTP dan kriteria nilai relatif selainnya. Tentu saja implikasi dari adanya
kriteria prestasi yang terukur jelas akan memudahkan pihak pengamat dan pembina
menetapkan kebijakan strategis dan taktis untuk 3 sasaran kepentingan, yakni:
a. Mendorong para petani tradisional dan kecil agar dapat membangun kekuatan
institusional yang dapat melindungi mereka dari godaan dan tekanan pihak
luar yang datang ke pedesaan dalam rangka kegiatan investasi yang cenderung
merugikan.
b. Mengawal para petani agar tidak terintimidasi oleh keadaan sosial ekonomi
yang belum tentu sangat merugikan atau terprovolasi keadaan yang sepertinya
amat menguntungkan, justru jadi pemicu tindak perambahan hutan sebagai
dampaknya;
c. Merumuskan kebijakan pengendali kawasan peka dan terlanjur diusahakan
persil lahannya oleh para perambah, lalu melalui Satuan Usaha Perhutanan
Kerakyatan (SUPK) yang ramah lingkungan bisa didapat solusi ‘win-win’ yang
baik bagi semua.

Memang di lapangan yang kian ditandai tekanan penduduk dan upaya perebutan
manfaat SDA, maka demi perencanaan pembangunan kerakyatan berwawasan
lingkungan ukuran NTP terlalu sumir. Adanya persaingan merebut potensi rente
ekonomi tidak boleh dibiarkan liar tanpa ada tindakan resmi pemantauan dan
pengendalian terencana. Ukuran nilai prestasi & disprestasi para pelaku panen
SDA, khususnya di bidang pertanian (yang amat berkaitan dengan keberadaan zona
ekosistem hutan lindung) kiranya perlu diperluas dari pada sekadar NTP. Arahan
yang bijaksana tentu bisa memberikan manfaat ekonomi bagi para pelaku, tapi
sekaligus minim mala petaka. Program SUPK hendak meyakinkan adanya alternatip
cara pengamanan ancaman potensial terhadap suatu kawasan lindung. Untuk itu

BAB 12 | Daya-Lenting Satuan Agribisnis Nusantara 249


maka ukuran prestasi & disprestasi program SUPK dapat dicermati bahasannya pada
Bab 15. Sementara dalam sub-bab ini ada baiknya diperluas lebih dulu beberapa
pemahaman dasarnya.

12.3 Mengangkat Dayatangkal terhadap Struktur Pasar


Bicara tentang struktur pasar (market structure) berarti berbicara soal pengakuan
betapa pentingnya peran pasar dan kekuatan para pemeran yang akan melakukan
transformasi & transaksi terhadap benda fisik atau jasa (yang wujudnya memberi
manfaat tertentu) untuk dijelmakan jadi uang. Bentuk atau struktur pasar tertentu
akan mewarnai perilaku pasar (market behaviour) lewat kekuatan penawaran atau
(supply) dan permintaan atau (demand) yang kemudian menampilkan kinerja pasar
(market performance) yakni tentang siapa berkinerja dan bisa memperoleh berapa.
Dari itu, capaian transaksi akan sangat tergantung pada struktur pasar di mana
proses itu berlangsung.
Dari sisi penjual yang ‘berdaulat’, maka yang berpengaruh adalah banyak atau
sedikitnya jumlah penjual di hadapan pembeli. Jika sama banyak, maka struktur
pasar menjurus jadi bersaing sempurna. Jika penjual hanya satu, tapi pembelinya
banyak, maka muncul pasar monopoli dan harga bisa terjadi semaunya. Jika
penjualnya banyak tapi bersepakat sama seirama seolah hanya satu penjual maka
namanya monopolistik. Kalau hanya ada 2 penjual, maka disebut duopoli. Kalau
lebih dari dua, tapi hanya beberapa saja, maka disebut oligopoli, dan jika mereka
bersekongkol, maka disebut oligopoli kolusif atau oligopoli bersekongkol. Ini
kadang menguntungkan juga merugikan pembeli.
Bisa pula di pasar yang lebih berdaulat adalah pembeli, berarti pihak pembeli
lebih kuasa sebagai penentu harga atau price maker, sedang pihak penjual hanya jadi
penerima harga atau price taker), dan keadaan pasar inilah yang banyak dihadapi oleh
kaum tani Nusantara. Bahkan harga komoditi lebih ditentukan oleh pasar Eropa yang
ditransformasikan jadi harga Singapura, barulah kemudian diterjemahkan jadi harga
di pasar domestik provinsi dan kabupaten dan akhirnya harus diterima oleh petani
di perdesaan. Daulat pembeli ini memberi julukan nama kepada struktur pasarnya
dengan akhiran kata ‘soni’, semisal monopsoni dan duopsoni, serta oligopsoni.
Akan tetapi, tidak pula jarang terjadi ‘kedip mata’ antara pihak pembeli
(diwakili perilaku perantara mewakili korporasi) dan pihak penjual (oknum culas
yang mewakili kelompok pelaku usaha semisal koperasi juga BUMDes). Kedip mata
mereka berlanjut jadi interaksi untuk bersepakat satu sama lain dalam transaksi jual
beli resmi, tapi menyembunyikan kepentingan oknum yang aktip berperan. Dari
sisi pembeli, ada pelaku ‘tunggal’ dan dari sisi penjual juga tunggal, lalu terjadilah
struktur & perilaku pasar ‘bilateral monopolistik’.

250 Ekonomi Pertanian


1. Efek Kolusi Bilateral-Monopolistik
Di banyak pelosok Nusantara peran lembaga koperasi khususnya KUD (Koperasi
Unit Desa) yang didorong berkembang di tahun 1980-an ternyata banyak mengalami
kegagalan. Papan nama KUD masih tampak tetap terpampang hanya untuk jadi
alamat bantuan pemerintah, sehingga pengurus dapat menampung bantuan itu atas
nama satuan organisasi KUD. Sementara itu, kegiatan koperasi tetap terkesan hampa
di mata para anggota, pada hal aspirasi kaum tani sebagai anggota KUD semestinya
tersalurkan dan dapat direpresentasikan pada sang Ketua. Patutnya pada setiap
acara negosiasi harus selalu dalam rangka transaksi yang lebih menguntungkan
petani anggota selain mitra niaga (semisal suatu perusahaan agroindustri yang akan
membeli bahan baku pabriknya) yang memang perannya penting bagi pihak petani.
Mengapa skenario pembinaan perekonomian kaum tani yang harus diperan-
aktifkan oleh KUD itu tidak mencapai sasarannya? Mengapa pada posisi duduk sama
tinggi berdiri sama tegak antara dua pihak yaitu KUD dan perusahaan agroindustri
tidak terjadi transaksi yang lebih sehat? Tentu 2 pertanyaan ini perlu didapatkan
jawabannya, karena tanpa jawaban itu, maka kejadian yang sama boleh jadi akan
terus berulang, dan sama sekali tidak membawa suatu keberuntungan apa pun bagi
kaum tani yang lemah.
Adapun jawaban atas pertanyaan pertama itu adalah kegagalan, karena antara
oknum pengurus KUD dan oknum pihak perusahaan agroindustri saling main
mata’ alias TST = ‘Tau-Sama-Tau’ setiap kali akan bertransaksi. Sementara itu
terhadap pertanyaan yang kedua, jawabannya adalah: ‘Ada permainan struktur
pasar bilateral-monopolistik, kekuatan monopsoni dan monopoli yang diam-diam
berkolusi’. Padahal tadinya hubungan transaksi niaga kedua pihak yang sama kuat
lewat peran koperasi dimaksudkan agar supaya transaksi tidak bisa dimanfaatkan
satu pihak yang kuat (monopsoni) untuk menekan kaum tani dan warga desa di
posisi yang lemah.
Sungguh pada proses transaksi niaga tak-jarang muncul perilaku culas oknum
pengurus yang sama sekali lupa diri untuk memperjuangkan kepentingan dan
aspirasi kaum tani yang memberi amanat kepada pihak pengurus agar membawakan
aspirasi petani. Memang peran KUD yang monopolistik banyak terjadi dalam 2
dekade lalu, maka kini peran KUD bisa digantikan oleh BUMDes (Badan Usaha
Milik Desa) sesuai amanat UU#6 tahun 2014. Akan tetapi, patut untuk diwaspadai
jangan sampai nasib BUMDes hanya mengulangi nasib KUD.
Akan tetapi, persekongkolan bilateral monopolistik tentu merupakan penyakit
niaga yang merugikan banyak pihak, dan hanya akan menguntungkan beberapa
orang pengambil keputusan dalam proses transaksi. Ini sering terjadi, sehingga
KUD yang mengatasnamakan kaum tani itu hanya sekadar membuat petani tidak

BAB 12 | Daya-Lenting Satuan Agribisnis Nusantara 251


terlalu dirugikan seperti biasanya; yakni lebih baik dari apabila tidak bergabung
dalam satu organisasi koperasi, melainkan individualistik.
Tampilan pasar yang tidak menguntungkan kaum tani seperti pada Tabel matriks
di atas sesungguhnya banyak terjadi di berbagai daerah produsen; ini dimungkinkan
oleh dinamika 3U yaitu:
a. Unsur pimpinan KUD tidak dipilih melalui seleksi calon yang berprestasi dan
berdedikasi nyata demi keberkatan;
b. Untuk diam-diam tambah pendapatan, lewat kolusi dua pihak atau beberapa
oknum berbagi sembunyi;
c. Unik adanya, yakni jika total kapasitas sejumlah pabrik di suatu wilayah
melebihi total volume bahan baku (semisal Bokar) hasil produksi semua pelaku
usaha tani kerakyatan; maka inilah kesempatan membuat kontrak beli jual yang
hanya akan sedikit menguntungkan sementara petani yang umumnya lugu akan
mudah menerima alibi keculasan.

Tentunya gejala 3U tidak boleh terjadi di tengah perekonomian suatu desa


atau kecamatan. Akan tetapi situasi pasar berciri 3U ini bisa saja berulang ketika
peran BUMDes disalahgunakan dan menyimpag dari misi luhur menghidupkan
perekonomian desa demi kepentingan kaum tani lemah di setiap desa. Justru peran-
aktif BUMDes yang terbentuk atas acuan instruksional dari atas cenderung tidak
mencapai misi luhurnya, disebabkan hal berikut:
a. Ketua dan pengurus inti BUMDes cenderung ditunjuk dari orang dekat Kades,
bukan yang terbaik dipilih lewat musyawarah warga desa.
b. Kebiasaan bisnis yang disukai para prabot desa adalah berpola projek bukan
berpola produksi dan transaksi pemasaran yang lebih ribet.
c. Kata ‘milik desa’ pada BUMDes bisa jadi ajang perseteruan antara Kades dan
Ka-BPD menanamkan pengaruh bak pahlawan kesiangan.
d. Kemampuan wirausaha dan manajemen di kalangan orang desa amat terbatas
dan tidak mudah dihadirkan, terkecuali melalui pembinaan.

Beberapa gejala lapangan tersebut di atas menuntut antisipasi dan solusi agar
tidak mengulangi kesalahan seperti pada pembinaan KUD. Topangan UU #6/ 2014
disertai modal dan pola kerja BUMDes tak boleh disia-siakan, melainkan benar-
benar didayagunakan untuk menggerakkan perekonomian dan memperlama waktu
peredaran uang di daerah. Pada akhirnya taraf sejahtera warga, serta kemakmuran
daerah harus terangkat nyata.

252 Ekonomi Pertanian


2. Efek Kampanye Hitam Para Pesaing
Sementara di dalam wilayah sendiri ada penyakit seperti 3U, justru petani pada
umumnya juga sering dirugikan oleh persaingan pasar di tingkat internasional
yang kejam karena bersenjatakan kampanye hitam. Jadi, nasib petani ‘sudah jatuh
malah tertimpa tangga pula’. Pihak pesaing internasional sekalipun mereka bisa
menerapkan teknologi unggul, tapi proses produksi mereka berbiaya tinggi, sehingga
sangat sulit bagi komoditi mereka bersaing dengan suatu komoditi pengganti
(substitut). Seperti halnya yang terjadi pada minyak biji bunga matahari Eropa yang
digeser oleh minyak CPO atau minyak sawit mentah berbiaya sangat murah karena
diproduksi pada lahan yang sangat cocok di negeri tropika.
Maka cara kejam untuk mengalahkan digdaya CPO itu adalah dengan
menghembuskan kampanye hitam berupa berita negatip tentang kebun kelapa
sawit yang jadi pangkal produksi CPO. Dikatakan ditanam pada lahan gambut
yang seharusnya lindung, penyebab kebakaran hutan dan lahan basah tropika jadi
pemacu pemanasan global. Harganya jatuh di pasar internasional dan menekan harga
yang diterima kaum tani. Untuk memulihkannya harus ada sertifikasi berwawasan
lingkungan dilengkapi label sertifikasi yang harus diakui internasional. Bersamaan
itu penggunaan CPO jadi bahan dasar bio-salar dan bio-ethanol, tentu juga bisa
meredam protes para produsen minyak nabati lain dari para pesaing internasional;
walau solusi ini bisa juga memicu perseteruan CPO untuk minyak goreng dan CPO
bagi bio-fuel di pasar domestik. Kolusi oli-gopolistik sesama pengusaha CPO skala
besar bisa dengan mudah melanggar ketentuan DMO (Domestic Market Obligation)
CPO untuk minyak goreng.
Sebegitu jauh dunia persawitan Nusantara sudah punya ISPO (Indonesian
Standard of Palm Oil), walaupun penamaan ini sebenarnya agak sedikit keliru, karena
mengesankan sertifikasi untuk minyak sawit, dimana baku mutu itu tekanannya lebih
pada soal kesehatan produk yang suka dituduh carcinogenic (penyebab penyakit cancer);
melainkan tidak berkaitan langsung dengan sertifikasi kebun kelapa sawit (semisal
ESOPP (Environmentally Sertified oil-palm plantation). Dari itulah para pelaku niagaperta
kecil-menengah-besar di tanah air ini harus bersatu dalam asosiasi pengusaha yang
menginduk pada KADINDA. Sebutlah APKASINDO (Asosiasi Pengusaha Kelapa
Sawit Indonesia), lalu ancaman dihadapi dengan strategi bersama. Termasuk soal
keserakahan oligopolistik yang bisa merugikan konsumen domestik tentu bisa diatasi.
Pada kasus komoditi lain, hasil agribisnis kayu Acacia spp untuk industri
bubur kertas (pulp) pernah juga mengalami nasip yang sama seperti minyak sawit,
karena alasan pengusahaannya mengkonversi hutan alami menjadi hutan tanaman.
Bayangkan pada kasus industri kehutanan di Eropah dan Amerika rata-rata umur
kayu pinus (Pinus mercusii) memakan waktu 30 sampai dengan 40 tahun sebelum

BAB 12 | Daya-Lenting Satuan Agribisnis Nusantara 253


ditebang untuk bahan baku pabrik kertas, sedangkan di Sumatera Selatan kayu
Acacia crassicarpa dan Acacia mangium hanya perlu daur produksi 4 sampai dengan
5 tahun saja untuk siap tebang. Tentu saja harga pokok bahan kertas Nusantara
jauh lebih murah dari pada bahan kertas negeri lain, dan itulah yang mendorong
berbagai kampanye hitam yang mengatakan bahwa agribisnis HTI (Hutan Tanaman
Industri) Indonesia harus diboikot karena diusahakan pada wilayah hutan lindung.
Kampanye hitam baru reda setelah investor Amerika dan Jepang ikut mengusahakan
Acacia sp di Sumatera.
Contoh lain lagi berkenaan komoditi jamu dan rokok kretek, yang telah
berhasil dikebiri lewat kampanye hitam di tengah iklim persaingan dagang
internasional justru di pasar domestik. Rokok kretek dituding pemicu penyakit
kanker paru-paru karena zat nicotin berlebihan yang terkandung di dalamnya, tapi
nihil pengawasan Pemerintah karena sengaja memanjakan perusahaan rokok sebagai
sumber pajak bernilai besar dan juga penyedia lapangan kerja bagi ratusan ribu
orang. Kampanye anti rokok diperluas (bukan dipersempit hanya di area publik),
dan akhirnya aneka rokok putih impor merajalela. Sementara itu, jamu jadi dibenci
konsumen domestik pun karena menurut banyak dokter ahli didikan luar negeri
ada aneka zat yang membuat ketagihan (nyandu =addictive) termasuk zat nonherbal
atau kimiawi anorganik yang sengaja disusupkan sebagai pembangkit nafsu sex.
Jika kemudian terlalu sering minum jamunya, maka penyakit gagal ginjal pun
akan diderita; padahal penyakit itu bukan disebabkan jamu herbalnya, melainkan
oleh air minum yang di mana-mana kini sudah tercemar, tapi tidak sempurna
dimurnikan. Terlepas mana fakta yang mana informasi ‘hoax’, pastinya pada kasus
persaingan kotor justru ada 3 hal; 1) Perusahaan dan rantai kegiatan bisnis warga
amat dipojokkan; 2) Pembelaan Pemda guna membina & memayungi sumber
nafkah warga hampir minim; 3) Para pelaku usaha tidak sempat bersatu melawan
kampanye hitam yang mengebiri bisnis mereka. Di zaman inforkom canggih sudah
seharusnya lewat asosiasi pengusaha komoditi selalu ada tindakan cermat-akurat-
cepat untuk mengatasinya.

12.4 Menata Dayajual Produk Agroindustri Kreatif


Pengertian produk sengaja dimaknakan di sini sebagai hasil olah suatu komoditi
segar atau komoditi bahan-baku. Jadi di dalam buku ini istilah produk adalah ‘output’
agroindustri, dari perusahaan murni ataupun bersifat rumahan Produk memang
sengaja dibedakan dari istilah komoditi yang belum diolah, atau ‘output’ agribisnis
primer. Ketika ada sebutan agroindustri kreatif, maka di sini diindikasikan adanya
bentuk kegiatan produktif dengan bahan ataupun hasilnya tidak biasa dikenal di
waktu-waktu sebelumnya. Arti penting bahasan tentang produk kreatip ini perlu

254 Ekonomi Pertanian


dicermati karena di banyak daerah seputar nusantara banyak kinerja berbasis bakat
(talenta), tapi justru sikap menghargai produk kreatip masih terbilang minor hingga
moderat.
Di atas kertas produk kreatip yang terkait dengan kegiatan pedesaan bisa terjadi
karena salah satu sebab yang biasa dijumpai terjadi atas sesuatu alasan, yaitu berkisar
pada bahan, proses, bentuk sebagai berikut:
1. Penggunaan bahan sisa yang sebelumnya selalu terbuang.
2. Penggunaan bahan limbah untuk fungsi dan manfaat baru.
3. Penerapan proses dengan pola & hasil memicu rasa kagum.
4. Penerapan proses temu-solusi ringkas bagi suatu masalah.
5. Pemanfaatan suatu jenis SDA-hayati tanpa suatu buangan.

Dengan pengertian produk kreatif seperti itu, maka produk kreatif dari desa
amat sulit menemukan pasar yang menunggu pasok jenis barang tertentu secara
berkala terus menerus. Di antara yang mendapatkan pasar memadai adalah jenis
produk kreatif berupa; (1) Obat herbal bentuk jejamu & minyak poles (contoh: VCO
= minyak kelapa perawan); (2) Pernak-pernik rumah-tangga pakai-buang (contoh:
piring dari bahan pelepah palma); (3) Pewarna alami dari bahan dedaunan (contoh:
pewarna rotan, batik); (4) Pakan penggemuk hewan ternak kaki 4 (contoh: cercah
daun sawit prakonsentrat); (5) Kerajinan berbahan kayu tebangan pohon kelapa atau
juga sembelihan ternak unggas dan ternak kaki 4 di Rumah Potong Hewan (RPH).
Walaupun demikian upaya pencarian dan pengembangan produk kreatif
bukan hanya untuk mengangkat sumbangsih pelaku ekonomi kreatif, tetapi juga
untuk tujuan kebersihan dan kelestarian lingkungan. Jika keberuntungan hadir
berkelanjutan, maka suatu produk kreatif jadi mata dagangan bisnis yang bisa
memberikan banyak umpan balik bagi ekonomi pedesaan. Keadaan demikian jadi
sumber nafkah baru yang akan menambah dan memperlama peredaran uang di
desa-desa terkait, dan menaikkan kesejahteraan warga.

1. Produk Kreatif untuk Pasar Lokal


Suatu produk kreatif dari produsen yang keberadaannya di suatu desa, bukan
berarti tidak punya peluang pasar di tempat asalnya, terkecuali untuk produk yang
dikerjakan oleh kebanyakan warga desa. Memang biasa produk kreatif berbasis bahan
baku khas dan banyak didapati di suatu daerah. Namun produk kreatif biasanya
amat tergantung pada talenta orang, maka tidak lazim kalau langsung banyak
jumlah produsen setempat. Selalu demikian terkecuali untuk talenta kerajinan ukir
yang telah lama berkembang seperti di daerah Bali dan Jepara (Jawa Tengah) atau
kerajinan batik di daerah Jogyakarta.

BAB 12 | Daya-Lenting Satuan Agribisnis Nusantara 255


Dengan menyisakan banyak penduduk di suatu desa atau kecamatan yang
tidak ikut jadi pelaku aktif atas suatu produk kreatif, tinggal tergantung pada
mutu dan daya-guna produknya bisa memicu keunikan. Adanya ciri khas daerah
berpotensi jadi pemicu rasa bangga warga setempat. Ketika rasa bangga itu ada,
maka sesungguhnya setiap unsur warga setempat berpotensi jadi pelaku promosi
insidental kepada calon konsumen yang rindu kampung dan punya nostalgia tentang
suatu desa dikenagnya dari luar daerah. Produk bisa saja dikirim ke luar desa pada
waktu-waktu tertentu kepada keluarga di perantauan, atau bisa juga jadi oleh-oleh
saat kunjungan ke luar desa.
Argumentasi pada alinea kedua itu sebenarnya mengungkapkan 2 pesan
berharga: (1) Sudah sepatutnya pihak Pemda memberi pembinaan perbaikan
mutu dan daya-guna dari produk kreatif yang terbilang unggul di daerahnya;
(2) Sudah sewajarnya pula jika BUMDes di setiap desa mulai dipacu untuk ikut
mempromosikan produk inovatif yang mulai bertumbuh-kembang di suatu desa;
(3) Sah-sah saja jika program LACAK-BINA produk kreatif dari masing-masing
desa, sengaja dijadikan salah satu pemicu atau pembangkit naluri bisnis yang baik
bagi pengurus BUMDes pedesaan.
Ketika akan mengawali suatu program pengembangan ekonomi kreatif di
suatu daerah kecil (apalagi desa) memang siapa pun cenderung meremehkan hasil
dan dampak yang dapat terjadi untuk daerah setempat. Belum akan terlihat daya
tawar program pengembangan produk kreatif terhadap lapangan kerja, terhadap arus
peredaran uang di daerah, terhadap semarak bisnis di lapak pedesaan. Sungguhpun
begitu, ketika muncul suatu pemantik ekonomi semisal aktifnya suatu objek tujuan
wisata di sekitar desa-desa yang memiliki produk kreatif, maka suasana yang tadinya
adem bisa mendadak sibuk. Ini mengingatkan para pihak terkait agar tidak ragu
membina produk kreatif.

2. Produk Kreatif untuk Pasar Antar-Pulau


Pasar lokal tadi adalah pasar terawal yang harus dihidupkan demi tumbuh dan
kembangnya produk kreatif di daerah. Berbeda dari pola itu, pasar antarpulau
lebih menghendaki kemapanan produksi suatu produk kreatif. Ada beberapa alasan
dinamis mengapa kemapanan itu amat diharapkan. Berikut ini dikemukakan 5 alasan:
a. Alasan kepastian suplai, jangan fluktuatif dan jangan sampai demand dan suplai
harus dadakan lalu cacat kualtas standar.
b. Alasan kelangsungan niaga barter harus terjaga sama menguntungkan bagi
kedua daerah yang berjauhan dan berbeda pulau.
c. Alasan keluwesan menyesuaikan selera orang di pulau tujuan, karena sifat
komunitas konsumen bisa berbeda satu sama lain.

256 Ekonomi Pertanian


d. Alasan diferensiasi barang, ada barang siap pakai berkemasan kecil, sedang dan
besar dengan perode waktu kedaluwarsa jelas.
e. Alasan sistem promosi dan transaksi yang memuliakan pihak pembeli perantara
& pembeli selaku konsumen sasaran akhir.

Dengan mengandalkan sistem perniagaan antarpulau, maka suatu desa atau daerah
harus sudah siap dan mampu mengikuti aneka irama niaga dan pola transaksi yang
tidak berciri tunai-langsung seperti yang biasanya terjadi. Produsen dan pelaku niaga
harus sangat jeli mengantisipasi kecurangan yang bisa saja dilakukan oleh orang-orang
pemburu rente-ekonomi yang serakah. Pola transaksi digital maupun pola COD (Cash
On Delivery, bayar ketika barang diterima) tentu saja rawan penyelewengan dan rawan
pelanggaran oleh pihak yang ikut nimbrung secara tidak bertanggung jawab. Persoalan
seperti ini bisa mematikan semangat ‘pebisnis’ pemula di daerah jika sampai terjadi
dan merugikan mereka.
Oleh sebab itu di tingkat daerah harus ada semacam ‘inkubator & klinik bisnis’
yang selalu mendampingi kegiatan produksi dan pemasaran oleh para UMKM
penghasil produk kreatip yang ada di lingkup suatu Kabupaten atau Kota. Akan
tetapi justru pada bagian ini dituntut adanya pengalaman dan naluri bisnis yang
baik, untuk kiranya dimiliki oleh para petugas Pembina. Baikpun mereka di OPD
Pemda maupun yang bertugas di lembaga perguruan tinggi (swasta ataupun negeri)
harus dapat menjalin kerja sama dengan pihak asosiasi pelaku bisnis yang bernaung
di bawah Kadin pusat dan Kadinda. Dari kerja sama tripartit itu tumbuhlah prestasi
bisnis kalangan pelaku lapis bawah.

3. Produk Kreatif untuk Pasar Maya-ekspor


Pengalaman penulis mengamati peluang ekspor produk kreatif ke negeri Belanda,
ternyata ada kendala dan sandungan budaya yang membuat aktivitas ekspor itu
tidak serta-merta mudah direalisasikan. Misalnya promosi pernak-pernik berbahan
songket di festival bunga, Amsterdam. Tampak budaya orang sana tidak melihat
daya tarik produk, disitu apresiasi budaya tidak terjadi. Justru pertimbangan
sosial ekonomi atas dasar kebutuhan dapur, ornamen ruangan, dan simplifikasi
prabotan, tentu memiliki basis permintaan lebih besar volumenya. Selain itu adanya
informasi produk kreatif yang ramah lingkungan dan sehat herbal adalah faktor
pertimbangan bagi para konsumen yang kritis. Jelasnya, jika pasar ekspor dibagi
menurut pertimbangan benua dengan segala ciri khas satu sama lain, maka didapat
gambaran berikut ini:

BAB 12 | Daya-Lenting Satuan Agribisnis Nusantara 257


Tabel 12.3 Kelompok Negeri Sasaran Ekspor Produk Kreatip
Kelompok Negeri Kesesuaian Tema Produk Kreatif*
Mitra Niaga Potensial. Tema Sos-budaya Tema Sos-ekonomi Tema Sos-ekologi
1. ASEAN ü (2.1)
2. Asia Timur ü (2.2)
3. Asia Tengah ü (1.3) ü (3.3)
4. Amerika Utara/Cn. ü (2.4)
5. Amerika Latin ü (2.5) ü (3.5)
6. Afrika Utara ü (1.6)
7. Afrika Sel /Teng. ü (1.7) ü (2.7)
8. Timur Tengah ü (1.8) ü (2.8)
9. Eropah Barat ü (2.9) ü (3.9)
10. Eropah Timur ü (3.10)
11. Australia/NZ./PG. ü (2.11)

* Produk kreatif yang berbasis SDA-hayati ataupun hasil pertanian umumnya.


Contoh:
1.3 = Ikan olahan; 1.6 = Kopi sarobat; 1.7 = Rokok kretek; 1.8= Mebeler Jepara; 2.1= Aloevera 1/2 olah;
2.2= Kertas sutra;2.4 = Produk rotan; 2.5= Minyak rempah; 2.7= Batik khusus; 2.8= Bumbu rempah; 2.9=
Ukiran kayu; 2.11= Prabot-bayi kayu-ringan; 3.3= Pewarna herbal; 3.5= Ornamen agamis; 3.9= Bonsai
tropic; 3.10= Kerajian rotan

Demikian hal-hal yang perlu jadi bahan pemikiran lebih lanjut, jika terkait
upaya mengangkat potensi ekonomi bangsa khusus aspek produksi dan pemasaran
produk kreatip kerakyatan. Tidak tertutup kesempatan untuk memasukkan unsur
Ipteks yang bisa mengedepankan dimensi kearifan lokal yang tersimpan pada suatu
produk kreatif. Ekonomi kreatif memang selama ini belum diberi banyak perhatian
dan pembinaan untuk para produsennya selaku orang-orang langka yang bermukim
di desa, maka kini saatnya mereka mesti diberdayakan.

12.5 Mengendalikan Desakan Apresiasi Nilai Lahan


Di daerah dan khususnya di pedesaan, aneka apresiasi tanah didapati tidak kalah
rumitnya dari persoalan apresiasi tanah di area perkotaan yang memang banyak
mengalami tekanan pergolakan bisnis dan roda kegiatan pembangunan berbagai
prasarana ekonomi. Persoalan di desa jadi rumit karena berbagai sebab, ada karena
keteledoran sosial psikologi politik, ada karena faktor sosial ekologi, bahkan ada
yang karena faktor sosial ekonomi-budaya.
Ketika arus desentralisasi bergerak di awal decade 2000-an, maka terjadi aneka
transfer kewenangan dari tingkat pusat ke tingkat kabupaten, khususnya untuk

258 Ekonomi Pertanian


urusan manajemen aset lahan yang sebelumnya ada dalam kuasa pihak pemerintah
di wilayah provinsi. Contohnya pusat pengembangan pertanian tanaman pangan dan
perkebunan pada seluasan lahan percobaan ± 1000 Ha lahan usaha PT Patratani di
Inderalaya Sumsel. Awalnya berupa persil lahan HGU dikelola oleh anak perusahaan
Pertamina lalu berpindah kuasa kelolanya kepada pihak provinsi sejak tahun 2001.
Aneka masalah sosial-psikologi politik muncul karena banyak warga segera masuk
ke kawasan itu berbagi persil lahan hingga tersisa 300-an Ha di bawah pengawasan
Pemda Ogan Ilir.
Ada pula permasalahan tanah yang berawal dari faktor sosial ekologi pernah
terjadi di pulau Kurau di Provinsi Kepri, berawal dari izin konsesi diberikan kepada
perusahaan asing selaku kontraktor Pertamina (1990). Ternyata sekalipun pulau
Kurau itu terisolir jauh, namun info-konsesi bisa diketahui warga. Ketika survei
lapangan untuk memulai kegiatan manajemen kantoran dan pengeboran migas,
tak sempat diantisipasi bermunculan merek-merek kepemilikan persil lahan. Hal
ini kemudian berlanjut jadi masalah ganti-rugi dan konflik yang terkait dengan
penguasaan persil-persil lahan di situ.
Begitu pula yang terkait faktor sosekbud, pernah muncul ke permukaan
persoalan penguasaan lahan yang ujung kejadiannya dahsyat. Banyak orang Madura
sempat bermukim di pedalaman Kalimantan Tengah sejak 1980-an dan jadi 200
ribuan jiwa di akhir 1990-an selaku petani. Ketika pemerintah memulai proyek lahan
gambut 1 juta Ha secara tergesa-gesa (1998) dan gagal, terjadilah pembalakan liar
melibatkan warga transmigran proyek itu. Area hutan di luar & dalam zona 1 juta Ha
jadi rusak mutu dan fungsi hidroorologis dan berdampak negatip pada produktivitas
usaha tani warga Dayak. Disayangkan petani Madura terkena getahnya, lalu terjadi
tragedi berdarah pengusiran mereka di awal tahun 2000 dan menyisakan banyak
persoalan tanah di sana.

1. Menemukan Nilai Kompromistik Manajemen Lahan


Tidak sedikit bentuk masalah pertanahan terjadi di tingkat akar rumput antara pihak
perusahaan agribisnis juga wanatani terhadap unsur warga lokal yang mengaku
pemilik sah dari persil lahan yang termasuk dalam cakupan area konsesi kegiatan
korporasi. Di antara yang pernah melibatkan penulis untuk mencari solusinya adalah
yang terjadi di konsesi PT-MHP selaku perusahaan Hutan Tanaman Industri (HTI)
di Muaraenim Sumsel (1996-2000); dan yang terjadi di konsesi pertanaman tebu
45 ribu Ha (PTPN-VII) bagi pabrik gula nasional Cinta Manis di Ogan Ilir Sumsel
(2009).
Ada 3 pihak yang harus berperan untuk mengaktifkan segitiga kompromi dalam
rangka menihilkan potensi konflik pertanahan yang sering kali terjadi di banyak

BAB 12 | Daya-Lenting Satuan Agribisnis Nusantara 259


pelosok daerah Nusantara. Antara pihak warga dan pihak perusahaan harus ada
pihak penengah, dan ini nyatanya berlapis ‘dua’ yaitu lapis depan tampil LSM-
profesional bersama unsur Pemda tampil di lapis belakang. Solusi kompromistik
harus bisa muncul guna menemukan solusi masalah penguasaan dan pemilikan
persil-persil tanah yang diperebutkan. Secara teori, tidak sulit untuk menemukan
simpul kebersamaan sama-menang.
Logika #1, bahwa semua pihak harus memanfaatkan sumber daya lahan untuk
kegiatan produktif mengangkat kesejahteraan semua warga, menempa kemaslahatan
negeri. Logika #2, bahwa setiap kegiatan produktif yang manapun, sasarannya untuk
menjaga likuiditas finansial di tingkat rumah tangga, di kelembagaan korporasi,
Pemda demi PAD. Logika #3, bahwa dengan peduli pada semua kepentingan dan
mengaktifkan peran semua pihak, maka keberlangsungan usaha akan berjalan mulus
dan terus membawa semua gerbong kepentingan, sehingga setiap pihak berhak
peroleh bagian secara proporsional sesuai sumbangsih perannya masing-masing.
Ketiga logika itu harus tampak dengan jelas dalam 3 tampilan manajerial yang
setogianya disepakati untuk diangkat dan dipatuhi oleh setiap unsur aktif dari semua
pihak. Ketiganya adalah: a) Tampilan konsepsional rancangan usaha seutuhnya;
b) Tampilan SOP setiap mata rantai kerja; c) Tampilan aturan main terkait setiap
prestasi dan disprestasi oleh siapa pun, bisa berupa bonus dan penghargaan atau
sangsi denda bahkan sangsi hukum positif. Tentu saja rerambu 3L dan juga 3T
turunannya harus dijabarkan secara tertulis dengan piawai melalui pertimbangan
spesifik lokasi. Konsultan profesional boleh jadi harus diminta untuk itu, agar
sesuai & siap terap-guna.
Dari tampilan 3T menjadi 3L yang diangkat dan dijadikan acuan kerja
bersama dalam semangat kemitraan yang tulus, maka para pihak sudah sepatutnya
mengetahui ukuran-ukuran prestasi dan disprestasi. Faktanya di lapangan, sering
terjadi salah perhitungan atau salah pertimbangan di pihak pelaku produksi bukan
binaan, atau di luar keanggotaan lembaga kemitraan. Sudah diulas sebelumnya,
petani pada umumnya mengerti makna gerak turun & naik harga suatu komoditi dan
paham akan makna perubahan NTP bagi keputusan produksi yang harus dijalaninya.
Namun ketika ada hitung-hitungan lain di luar itu sedang menggoda petani agar
melakukan transaksi jual persil lahan sebaiknya tidak cepat tergiur, sebab bisa-bisa
mereka justru dirugikan.
Pihak pembina yang peduli pada nasib warga dan berkomitmen memacu
kemaslahatan daerah, justru perlu memahami makna dan ukuran adanya semacam
prestasi ataupun disprestasi sedang dialami oleh petani yang terkait. Tentu dalam hal
ini ada rumus hitung yang bukan bernuansa 1 periode produksi, melainkan bersifat
multi periode. Sebab, keputusan yang tepat tidak hanya peduli kepentingan sesaat

260 Ekonomi Pertanian


‘kini’ saja, melainkan patut saat kini hingga jangka panjang sebatas umur produktif
petani. Di sini konsep perhitungan nilai kini bersih (NPV) harus digunakan dan
karena itu pula tidak bisa dilakukan oleh petani pada umumnya. Adalah 3 bilangan
berikut ini menyangkut capaian prestasi 1-putaran proses produksi, dan hitungannya
hanya saat kini:
a. Harga komoditi per satuan hasil produksi;
b. NTP harga komoditi relative terhadap komoditi lainnya;
c. Laba = Revenu – Biaya produksi; maka:
Ada pula hitung prestasi yang boleh diantisipasi atau diprakira, seperti berikut:
d. NHAL = Nilai Harapan Atas Lahan (atau LEV= land expectation value)
= Laba t=o + Σ [ Laba t=i ] (1+r)-t + Q (1+r)-T
= Laba periode sekarang ditambah arus laba dari beberapa periode produksi
ke depan seandainya terus berlangsung hingga akhir masa produktif, T,
rata-rata petani; Qt adalah nilai aset sisa (kayu tebangan) di akhir periode
T. Ini selaras #(5);
e. NREL = Nilai Rente Ekonomi Lahan (LREV = Land Economic-Rent Value)
= nilai positif dari selisih 2 hitungan NHAL komoditi sama dari 2-persil
lahan berbeda, pertanda persil pertama lebih subur. Jika NREL > NJPL (=
nilai jual persil lahan sekiranya baru terjadi), maka jangan sampai persil
lahan lebih subur justru terjual.

Jika rumus NHAL ditulis dengan simbol lain dari persamaan #(1) tadi, maka
NHAL = - Co + Σ [Bt – Ct] x [1+r] –t + Q -T di mana C =biaya dan Q = nilai aset
sisa di akhir masa panjang produksi, maka sesuai dengan argumentasi tentang
rente ekonomi yang telah dibahas dalam sub-Bab 3.4; NREL > 0 selisih NHAL di
2 persil sebanding, tapi nilai Q -T sama, maka:

NREL ={-Comin + Σ [Bt – Ct]max x [1+r] –t}


– {-Comax + Σ [Bt – Ct]min x [1+r] –t}; dan NREL > 0, atau
NREL ={-Comin + Σ [Bt –Ct]max x [1+r] –t} - {-Comax + Σ [Bt –Ct]min x [1+r] –t}

Senada dengan nilai relatif NREL > NJPL tadi, maka besaran NREL yang
terdeteksi di suatu kawasan dapat dijadikan tolok-ukur ketepatan keputusan
transaksional acuan; yakni sebagai ‘nilai kewajaran’ saat mengawal keputusan
transaksional yang sedang akan atau sudah sempat dilakukan petani.
Selanjutnya, dapatlah kini dibuat ukuran kepatutan (prestasi) ataupun
kejanggalan (disprestasi) dari NPV yang diharapkan, dibanding apa yang senyatanya

BAB 12 | Daya-Lenting Satuan Agribisnis Nusantara 261


(atau bakal) diterima petani. Dari riset empirik (Sjarkowi, F., 2019) soal konversi
dan juga alih-fungsi lahan yang terkait ‘nilai ganti rugi lahan’ (NGRL), maka didapat
5 konsep ukuran prestasi (disprestasi jika sebaliknya):
a. NGRL > NHAL; bahwa persetujuan terima ganti-rugi suatu persil lahan usaha
petani sudah tepat, karena melebihi potensi capaian andai persil lahan digarap
sendiri;
b. NJPL > NHAL; bahwa harga jual suatu persil lahan (Rp/Ha) sudah benar
dan tidak mendatangkan sesal kemudian, ceteris paribus alias tidak sempat
dipecundangi;
c. NGRL > [NREL + NHALx]; ataupun NJPL > [NREL + NHALx]; maka
berdasarkan NREL, lahan (x) yang dilepas tidak terindikasi sebagai persil
lahan terbaik dari yang ada;
d. NBAT < NHAL; bahwa persil lahan yang nyatanya mengalami konversi
pertanaman tradisi jadi pertanaman komoditi baru sudah terjadi atas keputusan
tepat pilihan;
e. NLUT = (NBKT + NIPT + NTUT); bahwa rasionalitas bisnis telah terjadi
karena Nilai Laba Usaha Tahunan (NLUT) sudah digunakan petani untuk
Nilai Belanja Keluarga Tahunan (NBKT) dan nilai investasi produktif tahunan
(NIPT) serta untuk Nilai Tabungan Usaha Tahunan (NTUT). Besaran ini bisa
jadi acuan untuk kajian kemampuan ‘Bersama Menabung Terencana’ (BMT).

Konsep acuan evaluasi prestasi atau disprestasi kegiatan petani selaku pelaku
kegiatan mikro usaha, tentu tidak boleh dilupakan segi pertimbangan makro-
wilayah yang tidak kalah penting pengaruhnya terhadap mikro usaha. Bahasan
tematik berikutnya khusus berdimensi makro-wilayah sebagaimana digunakan
dengan data statistik kawasan PLG sejuta Ha seadanya (F. Sjarkowi, 1999).

2. Mengantisipasi Tragedi Mulut Buaya


Sekiranya di suatu ketika hubungan segitiga itu tidak menjurus pada keputusan benar
melainkan disprestasi justru terjadi, maka anomali prilaku telah mewarnai keputusan
interaktip, mungkin oleh petani anggota, mungkin oleh oknum perusahaan, atau
juga oknum pembina. Akan tetapi pelajaran yang didapat dari tragedi di proyek
LG-sejuta hektar di Kalimantan mengingatkan bahwa keresahan sosial apapun
bentuknya justru muncul karena terlanjur ada perubahan fungsi-fungsi ekologis
yang tidak cermat diantisipasi. Persoalan gerak pembangunan berjalan menggandeng
gerak pertumbuhan penduduk akan terus menekan luasan tanah dan SDA lain
yang tersimpan di dalam bentang lahan. Ketika keluhan alam cenderung berubah
lebih cepat dari pada kesadaran manusia pelaku pembangunan, maka setiap pihak

262 Ekonomi Pertanian


akan terpancing untuk menuding siapa sesungguhnya yang melanggar SOP. Dalam
keadaan ini amat diperlukan kepiawaian dari lembaga kemitraan para pihak untuk
menengahi.
Tentu lembaga kemitraan harus berfungsi pada tataran kebijakan selain pada
tataran operasional di lapangan. Arti penting konsepsi & mekanisme pemanfaatan
lahan secara terencana harus tamak transparan tanpa ‘udang di balik batu’.
Kepentingan memandu kebutuhan tanah di suatu kawasan ‘pusat pertumbuhan
ekonomi’, di suatu kawasan peruntukan kompleks perumahan dan Ruko, atau
suatu kawasan pembinaan peran & fungsi multiguna satuan usaha perhutanan
sosial (semisal SKHM, SUPK) perlu dipahami benar oleh para pihak. Bermula dari
pemahaman kebijakan dan kesepakatan bersama para pihak pada taraf kebijakan
tentang rancangan yang telah dibuat secara komprehensif (tematik-holistik-
integratif-sistemik), konsep rancangan itu harus jelas pula di mata para pihak di
lembaga operasional.
Di zaman inforkom canggih dewasa ini, tentunya hal yang demikian tidak
lagi berkendala. Peta bumi sebagai informasi geografi sistemik (GIS) yang semula
disepakati jadi kondisi awal, selalu bisa dipantau dengan teknologi citra satelit dan
komunikasi digital internet, sehingga dapat dimutahirkan secara berkala idealnya
6-bulan sekali. Pembinaan kemakmuran daerah yang terus dilakukan oleh SDM
pembangunan dan warga pada umumnya, kiranya penting dievaluasi secara berkala
pada waktu bersamaan. Dari kelompok informasi hasil pemantauan, maka Marginal-
Resource Revenue (MRR) atas tataguna bentang lahan dan Marginal Resource Cost
(MRC), yakni biaya lingkungan terbeban pada kawasan lahan dan SDA potensial
tersisa (MRC) tentu bisa diproyeksikan.
Jadi, secara konsepsional dinamika alih-fungsi lahan bisa terdorong oleh upaya
menambah kepemilikan persil lahan pertanian sebagai pengganti alih-fungsi lahan
yang mengekori proses pembangunan ekonomi. Di suatu kawasan yang sedang
terimbas proses pembangunan, dinamika perubahan nilai MRR (sebagai efek
apresiasi fungsi lahan) dan MRC (sebagai efek depresiasi mutu lahan) tentu dapat
dipantau dan diukur perubahannya sejalan putaran waktu. Besaran MRR akan
menurun selama belum ada pembaruan Ipteks-inovatif; juga MRC akan merangkak
naik akibat peningkatan tekanan sosial Kemajuan ipteks-inovatif dan kearifan lokal
kreatip bisa terjadi dalam perjalanan waktu. Ketika MRV turun dan berpotongan
dengan MRC yang menaik, maka terjadi ancaman “mulut buaya” (Gambar 12.4).
Begitu ancaman mulut buaya itu sempat terdeteksi, maka gejala berpotensi
bahaya itu bisa diperkecil ancamannya. Ini bisa asalkan titik kritis dapat bergeser
ke kanan karena kenaikan MRR, yang berarti Ipteks-inovatif menunda ancaman
(sementara terkait mutu lingkungan, MRC juga bisa walau cenderung sulit untuk

BAB 12 | Daya-Lenting Satuan Agribisnis Nusantara 263


ditekan). Secara teoretis, dinamika pergeseran atau perubahan dimaksud dapat
digambarkan pada Gambar 12.4 berikut ini.

Gambar 12.4 Konsepsi ‘Ancaman Mulut Buaya’: Konsep ini pernah tepat memprediksi
tragedi konflik social di Kalteng, 1999
(SESA. F.Sjarkowi, 2001)

Logika valuasi makro-wilayah tertentu mengacu pada 2 besaran nilai. Pertama


nilai MRR (Marginal Resource Revenue) yang bisa ditingkatkan lewat terap-guna Ipteks
inovatif pemantik efektivitas kemanfaatan SDA (lahan). Kedua, MRC (marginal
Resource Cost) yang dapat ditekan dengan peningkatan efisiensi (produktivitas)
& efektivitas rebut nilai-tambah. Khususnya nilai tambah dari produk dan dari
pemanfaatan limbah melalui 4-R (Reuse, Recycling, Recovery, Recuperation; atau pakai-
balik, pintas-balik, peras-balik, pilah-balik) di semua aktivitas mikro usaha.
Sembari menunggu revolusi hijau di bidang agronomi tanaman pangan dan
tanaman lainnya, sebaiknya harus ada upaya pemicu-pacu peran Ipteks inovatif. Ini
harus ada pada tingkat produksi pertanian primer, serta penciptaan aneka produk
setengah jadi dan siap konsumsi. Dibina efisien & efektif dan serta bernilai tambah,
sehingga bisa jadi ladang bisnis di kalangan dunia usaha khususnya agribisnis
kerakyatan. Langkah demikian adalah langkah antisipatif, sekaligus upaya kreatif
dan adaptif guna mengantisipasi keadaan serba terbatas yang bisa menjurus pada
krisis pangan nasional, suatu hal yang harus dihindari jangan sampai terjadi dadakan.
Bersamaan itu tentu harus ada prasarana kehidupan publik yang lebih baik dan
merata, dan selalu terjamin berfungsi dan berdaya-guna. Terlebih-lebih prasarana
angkutan (di darat terutama jalan desa; di laut terutama pinisi antarpulau; di udara

264 Ekonomi Pertanian


terutama penerbangan perintis dan kargo; semuanya akan sangat menentukan kadar
perbaikan kesejahteraan rakyat, dan kemakmuran daerah, serta kedaulatan nasional.
Sesungguhnya perencanaan pembangunan di tingkat makro-wilayah amat penting
diarahkan ke arah kelancaran upaya mentransfer kemajuan Iptekin kegiatan mikro.

Daftar Pustaka
Carlson, G.A. David, Z. Miranowski. J.A. 1993. Agricultural and Environmental Resource
Economics. Oxford: Oxford University Press., 528 pp.
Sanbukt, Oyvind. 1995. Management of Tropical Forests: Towards An Integrated Perspective.
Univ. of Oslo: Center for Development and the Environment.

BAB 12 | Daya-Lenting Satuan Agribisnis Nusantara 265


[Halaman ini sengaja dikosongkan]
BAB

13
MENANGKAL KEKELIRUAN RANCANGAN
MAKRO WILAYAH

13.1Rancangan Pertanian Berpola Kerja THIS


13.2Rancangan Pertanian Berpadu Kawasan DAS
13.3Rancangan Pertanian Bermisi Kesejahteraan PDK
13.4Rancangan Pertanian Bertumpu Kiprah AMK
13.5Rancangan Pertanian Bertaut Kondisi GIS

Ekonomi Pertanian: Menangkal Kekeliruan Rancangan Makro


Wilayah
Di dunia nyata Nusantara biasa terdapat dua kelompok lahan garapan, yaitu:
1. Persil lahan aset warisan orang tua, bisa pula dari persil pembagian proyek
transmigrasi, atau didapatkan oleh buruh tani sukses yang kemudian mampu
membelinya dari pihak lain;
2. Persil lahan garapan didapatkan dari hubungan kontrak sewa, kontrak bagi hasil
(bawon), bahkan sekadar pinjam pakai. Kalaupun ada kegiatan perambahan
hutan untuk membuka persil lahan garapan baru, tapi jumlahnya akhir-akhir
ini semakin dibatasi oleh topografi yang kian terjal dan sulit dijadikan tumpuan
kegiatan pertanian.

267
Tentulah tidak bakal ada permasalahan ekonomi dan ekologi pertanian jika
kesempatan mendapatkan persil lahan lewat ekstensifikasi secara bebas sudah kian
mentok. Perhatian petani bisa dipacu ke arah intensifikasi produksi dengan topangan
Ipteks-inovatif dan manajemen pemasaran komersial seperti telah dibahas dalam
sub-Bab 12.1. Demikian ini adalah kecenderungan yang lebih alami yang bisa terjadi
pada tingkat mikro usaha. Naluri cari nafkah yang memberi kenyamanan adalah
naluri manusia normal dan berakhlak.
Akan tetapi pemantauan dan perancangan berbasis makro wilayah masih
tetap diperlukan, karena dua alasan pokok: (1) interaksi antarvariabel mikro usaha
mudah berubah di luar prakira antisipatif ketika ada faktor iklim global El Nino atau
La Nina muncul dengan pengaruh yang dominan, dan (2) interaksi sosial kemitraan
mudah bergeser jadi liar dan tak patuh pada komando kemitraan ketika perilaku
pasar banyak dipengaruhi kondisi perekonomian global yang memburuk, sehingga
tiap pelaku satuan agribisnis kecil cenderung berusaha menyelamatkan diri masing-
masing. Kedua faktor ini berkapasitas global, tapi respons para pelaku UMKM
tradisional tidak bisa cepat memanfaatkan peluang melainkan justru tertimpa
dampaknya sehingga merubah gejala interaksi yang harmonis menjadi acak-acakan.
Dari sebab itu maka peran perencanaan ekonomi pertanian berdimensi makro
wilayah sangat diperlukan. Segala sesuatu yang terencana dengan baik akan mudah
dikenali variabel-variabel utamanya yang berubah, lalu tindakan kendali dan
pembenahan akan mudah dilakukan. Walaupun begitu tindakan di daerah harus
tetap spesifik lokasi, karena variabel tanah dan air serta komoditi dan produk tetap
berbeda pada suatu daerah dibandingkan daerah lainnya.

13.1 Rancangan Pertanian Berpola Kerja THIS


Gambar 13.1 berikut ini menggambarkan lingkup perancangan pembangunan
pertanian berpola ‘tematik-holistik-integratif-sistemik’ (THIS). Berawal dari narasi
tematik (T) yang berwawasan lingkungan dan kerakyatan, diakhiri huruf S mewakili
istilah ‘sistemik’. Di sini S ≠ ‘spasial’ atau wawasan keruangan dibantu Sistem
Informasi Geografis (GIS) atas dua alasan:
1. Spasial sudah tercakup otomasis dalam istilah holistik yang menekankan makna
kawasan, yang tentunya direpresentasikan dengan informasi keruangan, dan;
2. Sistemik justru menekankan arti penting merancang pola-pola hubungan
antarvariabel, pola yang jelas karena bersistem dan subsistem agar kendali dan
koreksi jadi mudah dilakukan bahkan terpantik atau terpicu sendiri.

Skema 13.1 terinci demikian diilhami pengalaman penulis sebagai Kepala Bappeda
Provinsi Sumsel (2003).

268 Ekonomi Pertanian


Gambar 13.1 Perencanaan Adalah ‘Berfikir Strategis Sebelum Berbuat’ (Strategi-Taktik
“Tematik-Holistik-Terpadu-Sistemik” Mewujudkan Visi-Misi Bangda)

Perhatikan pada Gambar 13.1 ini ada tiga kelompok sasaran rancangan meliputi
rancangan makro wilayah dan mikro usaha serta rancangan keterpaduan hubungan
kepentingan pusat dan daerah. Jadi pembangunan pertanian boleh spesifik lokasi tapi
tetap mengedepankan kepentingan warga bangsa sekaligus juga kemaslahatan NKRI.

1. Rekabina Makro Wilayah: RMW = f (SDP, CDP, BDP, TDP, LDP)


Langkah awal menyusun rancangan pembangunan pertanian yakni upaya memastikan
ketepatan dan kesesuaian ruang untuk proses produksi dan pascapanen serta sasaran
pasar bagi konsumen yang dituju. Upaya tertib ‘rancangan pembangunan keruangan’
(RPK atau SDP = spatial development planning) terkait pembangunan pertanian adalah
hal yang utama. Sebab, ada tiga alasannya:
(1) Setiap kawasan hijau di suatu daerah administrasi provinsi dan kabupaten
selalu akan terdiri dari tiga zona, yaitu zona ekosistem lindung dan konservasi
(protected and conservation ecosystem), zona penyangga (buffer zone), dan zona
budidaya atau agroekosistem (convertible or agroecosystem zone); maka rencana
lokasi agribisnis baru maupun lama jangan sampai melanggar dua zona yang
telah disebutkan pertamanya.
(2) Setiap calon konsesi dan kegiatan pertanian baru hampir selalu memiliki sistem
anak sungai di dalamnya, dan setiap bantaran kiri kanan sungai kecil pun 7
meter dari bibir sungai harus dipertahankan hijau alami; sebab itu maka melalui

BAB 13 | Menangkal Kekeliruan Rancangan Makro Wilayah 269


zonasi spasial semua bagian sensitif dan bagian yang terlarang akan jadi jelas
dapat dipantau perubahannya.
(3) Setiap rencana kegiatan ekonomi pertanian apa pun pasti membutuhkan tenaga
kerja, dan oleh karena itu lokasi kegiatan atau konsesi usaha pasti tidak terlalu
jauh dari barak pemukiman tenaga kerja dan SDM yang harus bermukim dan
berkantor, maupun warga sekitar di kompleks permukiman; maka mereka harus
diamankan dari setiap bentuk limbah dan emisi gas atau bunyi dapat dicermati
dampaknya.

Berikutnya tertib rancangan pembinaan warga (RPW atau CDP = community


development planning) semacam rancangan penyiapan komunitas warga, yaitu
mereka yang langsung maupun tidak langsung terkait dengan rencana kegiatan
pembangunan pertanian tahunan (ataupun lima tahunan) di suatu daerah. Jelang
gerak pembangunan berorientasi agribisnis harus pula disambut oleh warga dengan
sikap dan perilaku orang-orang pebisnis komersil, tidak sepatutnya lagi program
pembangunan pertanian hanya dipercayakan pada para investor tapi selebihnya
warga desa hanya diserahi persil tanah untuk digarap sebagaimana pun yang mereka
bisa dan biasanya. Selain upaya penularan lewat program agribisnis inti-plasma,
juga bisa ditempuh melalui program pemberdayaan kelompok (KUBE) untuk
kemudian diharapkan akan menular meluas kepada warga berkat aktivitas bisnis
yang melembaga BUKD.
Seterusnya harus ada rancangan pembinaan bisnis (RPB atau BDP = Business
Development Planning). Pada fase RPB inilah proses hilirisasi organik ataupun
hilirisasi kontrak, ataupun proses inovasi jalur cepat dalam rangka memperlancar
dan memperluas jaringan pemasaran (seperti bahasan dalam sub-Bab 12.1).
Seperti ditegaskan sejak awal bab buku ini, strategi pendekatan agribisnis selalu
menghendaki kemajuan pada urusan proses produksi hingga proses pemasaran.
Pembinaan bisnis diperlukan, karena kultur warga bangsa selama ini terlanjur lebih
mengagungkan profesi pegawai negeri “makan gaji tetap”. Dari itu watak dan naluri
bisnis terlanjur agak jauh dari angan dan bakat SDM berpendidikan maupun warga
bangsa sebagai orang kebanyakan. Jika gerakan usaha berbasis agribisnis hendak
digencarkan, maka program pembinaan bisnis itu sepatutnya harus benar-benar
direncanakan.
Ada pula rancangan penguatan tradisi (RPT atau TDP = traditional-wisdom
development planning) tidak pula kalah pentingnya untuk dirancang demi kemajuan
bidang pertanian tanpa merusak tatanan kehidupan selaras kultur budaya kedaerahan
yang bersifat khas lokalistik. Pengalaman bertani turun temurun dipastikan
mewariskan aneka jenis kearifan lokal, yang tinggal diberi polesan Ipteks agar
lebih cocok dengan gerak kemajuan bisnis modern yang berwawasan lingkungan.

270 Ekonomi Pertanian


Cara demikian ini tidak mungkin akan memosisikan warga desa di suatu daerah
jadi orang asing di daerah sendiri sambil jadi penonton pembangunan agribisnis
yang sama sekali baru, tanpa berpijak pada bumi setempat yang amat dikenal oleh
warganya. Pendekatan seperti ini adalah cara terbaik untuk meminimalkan potensi
konflik sosial.
Terakhir adalah rancangan penegasan legalitas (RPL atau LDP) yang jadi
kunci penghubung antara setiap gerak perubahan dan penyimpangan di ‘desa’ yang
melanggar ketentuan hukum nasional, baik yang sifatnya hukum perdata maupun
hukum pidana. Peningkatan aktivitas bisnis di suatu daerah berarti pula peningkatan
arus lalu lintas uang di sana, dan perilaku persaingan akan menandai setiap proses
transaksi jual-beli dan transaksi lainnya. Dalam hal ini dipandang sangat perlu
untuk menyosialisasikan peraturan perundangan lebih terencana, terutama yang
berhubungan dengan peraturan perundangan terkait pembangunan berwawasan
lingkungan. Juga tentang aturan main terkait transaksi jual-beli berbasis elektronik,
cara COD, maupun cara titip barang bayar kemudian, cara kontrak yang mengacu
pada standar produk seperti yang tertera pada iklan promosi maupun sesuai jumlah
pesanan yang disepakati.

2. Rekabina Usaha Mikro: RUM= f (Tanah, TK, Tekper, Manajemen)


Tentu saja untuk merealisasikan setiap rancangan itu sangat diperlukan adanya
segugus SOP (Standard Operating Procedure = Prosedur Operasional Tetap atau
‘PROTAP’) yang harus dijadikan acuan tertib dan disiplin pekerja operasional
lapangan. Jadi SOP sudah seharusnya menata sikap dan perilaku berusaha di tingkat
mikro usaha, agar tidak ada yang bertindak liar atau malas dan semaunya sendiri
serta sulit diatur. Kehadiran SOP harus jadi jembatan antara kepentingan nasional
selaras peraturan tingkat undang-undang hingga sampai ke tingkat manajemen
satuan usaha, UMKM atau BUKD atau BUMDes sekalipun. Sebagai misal, kegiatan
program rehabilitasi kawasan hutan lewat multiperan SUPK tentunya tidak patut
jika status legal-formalnya tidak terhubung kepada ketentuan reforma agraria
(UU No. 19 Tahun 2018); tentang pola kegiatan agribisnis serta agroforestri dan
agroindustri perhutanan.
Selain harus tunduk pada ketentuan peraturan perundangan, tentu saja wujud
nyata kegiatan kosepsional seperti SUPK harus jelas. Untuk itu konsep teori tentang
satuan mikro usaha dalam konteks makro wilayah sangat penting bagi satuan
perhutanan sosial; dan hubungan ini harus jelas diutamakan. Konsep teori satuan
usaha yang dinamai SUPK harus khas bagi suatu zona makro wilayah (penentu mutu
dan fungsi hidro-orologis yang sehat). Konsepsi ini harus jadi faktor penghubung
antara rekabina makro wilayah ke mikro usaha. Pertalian fungsional keduanya saling

BAB 13 | Menangkal Kekeliruan Rancangan Makro Wilayah 271


melengkapi & menguatkan, sesuai teori SECI (Socio-Entropic Controlling Interface;
Sjarkowi, F. 2016).
Jadi pola rehabilitasi baku terkait pemulihan fungsi dan mutu hidro-orologis
suatu kawasan yang disebut program satuan usaha perhutanan sosial (SUPK).
Jika Gambar 13.1. menampilkan empat syarat utama sukses mikro usaha yakni
stabilitas-produktivitas-ekuitabilitas-kontinuitas, keempatnya menjamin suatu badan
usaha jadi kuat dan hidup aktif berkelanjutan. Upaya jembatani SOP harus tampak
menunjang keempat syarat utama itu, dan jembatan itu berhasil mendapat muatan
dari RMW maka hasilnya akan langsung berdampak positif kepada ruang ekosistem
dan agroekosistem sisa. Misalnya, ukuran sukses SUPK secara biogeofisik bisa
dinyatakan dalam besaran nilai KPC (Kadar Penambatan Carbon per ha atau CSH
= Carbon Sequestered per-Ha) tapi juga sebisa meungkin mendatangkan tujuh sumber
laba usaha, yakni harian, mingguan, bulanan, triwulan, semesteran, setahunan,
serta rezki nomplok yang biasanya muncul atas perbuatan amal baik bagi alam
dan kemanusiaan.

3. Rekabina Kepentingan Nasional dan Daerah


Jika terjadi bencana alam semisal banjir dan longsor maka daerah sekitar DAS hilir
dan warga pemukim di situ adalah yang pertama mengalami derita. Sering kali
kejadian bencana alam demikian akibat ulah warga masyarakat yang tidak peduli
pada ancaman yang bisa terjadi. Boleh jadi pihak Pemda yang abai dan lengah tidak
mengatur dan tak mengingatkan warganya, bisa juga unsur warganya yang memang
bandel dan selalu bertindak sekehendaknya tanpa mau diatur oleh pihak Pemda
dan aturan adat.
Ketika dilihat dari perspektif kawasan lindung, tidak jarang pengamanan
meliputi zona hijau yang jadi kepentingan nasional dan bahkan komitmen negeri
terhadap kepentingan dunia (internasional) menjaga zona paru-paru bumi. Sebab
itu perlindungan dan pengaturan serta pemantauan oleh negara jadi bagian yang
menentukan di mata dunia maupun terhadap kepatuhan pemda terhadap peraturan
dan perundangan nasional. Jika ada hubungan organik peraturan perundangan
sepatutnya terjalin antara pemerintah pusat dan pemda, maka hal ini patut jadi
keniscayaan pula pada tingkat program.
Suatu perencanaan pembangunan daerah sudah seharusnya memberi perhatian
yang sungguh-sungguh kepada program apa yang sedang dirancang dengan
dana APBN. Akan tetapi justru hubungan organik yang sepatutnya dihidupkan
dan dikelola dengan baik hendaknya jadi tampak dalam penganggaran: (1) dana
pendampingan dari APBD untuk suatu program tertentu di suatu zona strategis;
(2) dana penyertaan APBD untuk urusan stabilitas (sosio-psikologis harmonis);

272 Ekonomi Pertanian


produktivitas (penataaan sosio-ekologis pelestari); ekuitabilitas (sosio-ekonomis
berkeadilan); dan unsur sustainability (sosio-kultural melembaga); kesemuanya
sebagai persiapan daerah menyambut kebangkitan dunia mikro usaha di daerah,
dan; (3) Dana antisipatif APBD bagi prastudi kelayakan (pre feasibility study) dan
studi Amdal pendahulu.
Dengan respons APBD dan keterbukaan atau transparansi APBN, maka bentuk-
bentuk rancangan program yang berkaki dua (daerah dan pusat) akan otomatis
terjaga. Tidak ada gejala persaingan jadi terpicu-pacu antara pusat dan daerah.
Harmoni pembangunan yang memperkuat persatuan NKRI justru terjaga dari tahun
ke tahun. Berkat adanya manajemen perancangan rencana pembangunan berkaki
‘dua’ tanpa ada kebohongan yang tega dilakukan oleh oknum dari salah satu pihak.
Dengan konsepsi perancangan demikian, maka siapa pun yang menyimpang akan
cepat dikoreksi sebelum diberikan sanksi.

13.2 Rancangan Pertanian Berpadu Kawasan DAS


Daerah aliran sungai tentu bermula dari kawasan tinggi di bagian hulu (atas =
upstream) berlanjut hingga ke arah pantai di bagian hilir (bawah = downstream)
lalu menyatu dengan laut. Di sepanjang aliran dipastikan terjadi ‘evaporasi’
yang merupakan penguapan secara alami akibat adanya suhu panas juga proses-
kinetik (air membentur bebatuan pada alur dan arus), di samping karena proses
‘transpirasi’ oleh setiap SDA hayati. Kedua jenis proses alami ini lebih dikenal
dengan istilah ‘evapo-transpirasi’, yang melengkapi keberlangsungan fungsi
ekologis berupa putaran atau siklus hidro-orologis.
Proses alami selalu mengembalikan air dalam bentuk uap air dari arah laut
kembali menuju perbukitan. Uap air berjumpa dengan suhu rendah di perbukitan
(tempat awal pelepasan air) sehingga melalui proses kondensasi, uap air berubah
jadi air hujan. Kehadiran air hujan di bagian hulu tentunya sangat memerlukan
peran bentang hutan sebagai pengatur distribusi. Tanpa peran bentangan hutan
lestari maka air hujan yang turun di kawasan perbukitan bisa membawa malapetaka
berupa banjir bandang dan erosi serta sedimentasi. Berkat bentang hutan yang
terjaga menghijau, pengaliran air akan baik secara alami, untuk seterusnya kembali
ke kawasan bawah menuju pantai dan masuk lagi jadi bagian air laut, dan inilah
siklus hidro-orologis.

BAB 13 | Menangkal Kekeliruan Rancangan Makro Wilayah 273


Gambar 13.2 Sistem Lingkungan Hulu atau DAS Atas (Up Stream River Basin) Harus
Terjaga Lestari Hingga Lingkungan DAS-Hilir (Down Stream)
Sumber: F. Sjarkowi, 2021

1. Bagaimana Mungkin DAS Hulu Bisa Terjaga


Dapatlah kini dipahami, bahwa tindakan alih fungsi persil kawasan hutan pada
zona ekosistem maupun zona agroekosistem sisa bisa membawa sederet kegiatan
pertanian pemicu pertumbuhan ekonomi daerah. Akan tetapi harus diantisipasi
juga dampak negatif terhadap hasil usaha jangka panjang yang mengecewakan
(disprestasi), terutama jika tanpa rancangan berwawasan lingkungan. Sebaliknya
tindakan itu memang akan dapat berhasil menambah kesejahteraan (prestasi)
bagi pemilik penggarapnya asalkan dilengkapi strategi taktis dan teratur secara
melembaga, sehingga bisa dikawal dengan sistem manajemen pertanaman yang
cermat, serta dilengkapi SOP kerja yang rapi dan tegas. Optimisme konsepsional ini
sudah sepatutnya direalisasikan dalam satu kerangka kerja pembangunan yang selalu
konsisten dan konsekuen terhadap pesan sila kelima Pancasila dan UUD 1945 Pasal 33.
Untuk menata laksana hal itu lewat pendekatan rehabilitasi teknis biogeofisik
(reboisasi, reforestasi, penghijauan) semata-mata adalah pola yang kini hampir
tidak lagi relevan. Jika hanya bersifat tekno-kultur dilakukan pada suatu kawasan
terisolir tidak akan mudah efektif, karena rawan penyimpangan dan gangguan.
Perlu upaya rekabina sosial melibatkan unsur warga yang harus dibuat peduli pada
tanggung-jawab untuk berperan aktif sekaligus protektif. Warga sekitar kawasan
umumnya haus kesejahteraan, maka pemberdayaan totalitas kepada mereka harus
mencakup aspek tekno-agronomis, tekno-agribisnis, aspek sosio-ekologis, serta
sosio-ekonomis sesuai konsepsi satuan usaha perhutanan sosial (SUPK) walaupun
aspek sosio-psikologis dan kultural sudah dapat dikendalikan.

274 Ekonomi Pertanian


Tentut tindakan alih fungsi ekosistem hutan menjadi persil kawasan usaha
pertanian yang diberi nama SUPK pun masih akan tergantung pada kepiawaian
mengelola lahan usaha sembari cermat mengendalikan pengaruh mekanisme pasar
terhadap kondisi sosekbud. Jika tidak demikian, maka akan tetap ada persoalan
muncul dan terlanjur sulit diatasi. Proses alih fungsi tetap mudah jadi amburadul
seolah terjadi tanpa arah, karena lebih dipengaruhi oleh perilaku faktor-faktor sosial
ekonomi dan bisnis; walau pertimbangan kesesuaian sifat biogeofisik lahan sudah
ada. Apalagi jika gejala alih fungsi mewabah di zona hutan lindung dan konservasi;
sebab hal itu bisa memicu-pacu erosi, sedimentasi, bencana banjir dan longsor
sebagai ancaman La Nina, serta karhutla saaat kemarau panjang bersama El Nino.

2. Bagaimana Keterjagaan DAS Hulu Tanpa Efek Boomerang?


Ini harus dipahami benar oleh pihak pembina di kementerian maupun pemda
setempat, bagaimana tanpa efek boomerang.49 Siap memacu peran sosekbud sebagai
pengaman kawasan hutan lindung, penata agroekosistem sisa tanpa alih fungsi
maupun dikonversi. Tentu saja petani kecil dan tradisional yang lemah hanya akan
dapat mengatur lingkungan setelah terlebih dulu berbenah sesama diri mereka, dan
di situlah arti penting kelembagaan.
Untuk menghidupkan peran aktif lembaga kemitraan SUPK harus dapat
direkayasa satu rancangan program pelestarian ekosistem berpola THIS, agar para
satuan usaha agribisnis perhutanan kemitraan sekaligus menyatu dengan rancanagn
makro wilayah berwawasan lingkungan. Para pelaku operasionalnya adalah garda
terdepan pelestari fungsi dan mutu ekosistem dilindungi. Sesuai pola THIS yaitu
‘Tematik’ (kerakyatan berwawasan lingkungan); dan ‘Holistik’ (totalitas ruang
lestari fungsional); ‘Terpadu’ (kestabilan siklus hidro-orologis); ‘Sistemik’
(keseimbangan biogeofisik dan ekonomi bisnis terpicu berkelanjutan). Rancangan
THIS (Gambar 13.1) meliputi langkah sistematik berikut ini:
(1) Kajian dimensional makro wilayah; yang memang harus diawali dengan
mencermati kondisi keruangan kawasan ekosistem dan agroekosistem yang
saling berdampingan sehingga bisa terbilang peka sentuhan, karena mudah
jadi pemicu gangguan fungsional ekologis yang membahayakan semua pihak.

49
Istilah alih fungsi lahan dan konversi lahan dibedakan di sini demi kejelasan argumentasi.
Alih fungsi lahan adalah tindakan kesengajaan untuk memanfaatkan suatu bentang lahan yang
sedang berfungsi (sebagai lahan usaha pertanaman ataupun sebagai semak belukar habitat fauna
dan flora) dengan cara merubah geofisiknya secara permanen hingga berfungsi baru; setidaknya
perlu biaya pengorbanan dan biaya tambahan besar untuk bisa kembali pada fungsi semula.
Konversi lahan adalah tindakan tak permanen terhadap suatu lahan usaha pertanaman yang atas
sesuatu alasan hendak dirubah jadi lahan usaha pertanaman baru secara berangsur atau pun
sekaligus, tetapi dapat saja dikembalikan ke tataguna semula tanpa risiko kerugian terlalu besar.

BAB 13 | Menangkal Kekeliruan Rancangan Makro Wilayah 275


(2) Kajian dimensional mikro usaha dengan memahami faktor pemacu empat
kondisi sosial ekonomi: a) stabilitas; b) produktivitas; c) ekuitabilitas; c)
kontinuitas prestasi sosial kondusif secara sosio-psikologis, sosio-ekologis,
sosio ekonomis dan sosio-kultural (sesuai konsesi satuan usaha; F. Sjarkowi,
2021).
(3) Kajian entropi-sosial yakni aneka benih keresahan sosial terkait aksesibilitas
terhadap sumber nafkah yang perlu dikendalikan lewat pendekatan SECI50
(Sjarkowi, F. 2016) sekaligus jadi rancangan teknis yang tepat biogeofisik agar
tampil sebagai SUPK yang berfungsi ganda (pelestari dan penyejahtera).
(4) Dalam hal ini kajian tata ruang berbasis peta GIS tingkat wilayah adalah alat
pantau triwulanan dan tahunan. Bina satuan usaha seperti ini amat tergantung
pada kemajuan dan ketersediaan perangkat teknologi inforkom, yang sebenarnya
kini sudah bisa menjangkau daerah bahkan desa belakang.

Perlu selalu diingat ada keragaman ekosistem yang satu sama lain saling berkait
walau berbeda potensi biogeofisiknya. Di pulau Sumatera sejak dari kawasan Bukit
Barisan di wilayah barat (DAS hulu) hingga ke ekosistem pantai di wilayah pesisir
timur (DAS hilir) arah ke Selat Bangka atau Selat Natuna terdapat sekitar sembilan
mata rantai ekosistem yang keberadaan bentang hutannya menentukan mutu sistem
hidro-orologis. Ketika banyak satuan usaha kebun karet dibuka menggantikan persil
Hutan Tanaman Industri (HTI), pasti berbeda akibatnya ketika banyak persil kebun
karet itu dikonversi jadi konsesi kebun nenas. Karena itu pengaturan luas konversi
yang bisa ditolerir harus dilihat dari perspektif kelestarian mutu dan fungsi hidro-
orologis, dan harus selalu dipantau demi tata kelola kawasan yang cermat dan logis
bisa menyejahterakan. Idealnya, bentangan hutan tropika basah alami yang merekat
mata rantai zona ekosistem itu jangan sampai habis tercabik-cabik dan berganti
tanaman kebun dan tanaman kehidupan tanpa pola. Ini agar tidak berpengaruh
negatif terhadap keteraturan sebaran curah hujan sepanjang musim dan tahun, serta
tidak justru merugikan kegiatan produktif yang ada (Gambar 13.2).
Bisa saja ada hubungan biogeofisik berbanding antara antara arah perubahan
mutu dan fungsi hidro-orologis yang memburuk di kawasan atas yang kemudian
lapisan humus dan erosi tanah lapisan atas terbawa banjir ke arah kawasan bawah.
Ini justru menyuburkan kawasan lahan dataran rendah khususnya lahan basah
(di zona hilir dan bawah), sehingga hubungan itu bisa membawa prestasi satuan
agribisnis. Ini bisa diterangkan sebagai berikut:

50
SECI adalah singkatan dari Socio-Entropic Controlling Interface, yang dirumuskan oleh F.
Sjarkowi,2010 lewat alur pemikiran yang bermula dari konsepnya tentang SESA (Socio-Entropic
System Approach; oleh F. Sjarkowi, 2002, suatu konsep pragmatik tersimpul dari kajian penulis
di Proyek Lahan Gambut Sejuta Ha; 1999–2002)

276 Ekonomi Pertanian


(1) Efek kerusakan ekosistem penopang siklus hidro-orologis di kawasan
perbukitan dan lahan kering bisa dicek melalui parameter biogeofisik (seperti
debit air dan kadar erosi tanah dan sedimentasi) dan diukur pada waduk dan
balong penangkap air. Terlepas dari kemungkinan adanya senyawa pestisida
terbawa limpasan air, tapi ada indikasi terjadi timbunan (sedimentasi) unsur
tanah dan bahan organik pada permukaan lahan, lalu merubah tekstur tanah
dan menyuburkan lahan petani.
(2) Efek keseimbangan input yang tercecer selain terpakai (di lahan produksi)
serta yang dialirkan lewat pintu gerbang (‘inlet’) dan akhirnya tersalur ke
lokasi pembuangan (outlet) bersama lumpur TSS (total-suspended solid); mesti
diwaspadai agar tidak memicu bencana banjir dan longsor dari titik drainase
ke kawasan hilir sembari merusak habitat biota perikanan alami di kawasan
air tawar dan air payau, bahkan juga merusak usaha pertambakan sehingga
merugi terus-menerus.
(3) Dipastikan harus tetap ada tindakan tekno-biogeofisik dan tekno-sosekbud
dikendalikan lewat suatu sistem manajemen kawasan peka sentuhan itu.
Hubungan fungsional antara kondisi hutan kawasan atas (hulu) terhadap mutu
dan kadar variabel lingkungan biogeofisik kawasan bawah (hilir), ini membuat
mungkin hitung nilai ancaman bencana kekeringan (MK) dan bencana banjir
di musim hujan (MH). Data hasil pantauan berkala (time series) bisa dianalisis
jadi kebijakan bina sosial-ekonomi.

Gambar 13.3 Perlu Pengamanan “Mutu-Fungsi-Potensi-Atribut” Ekosistem dan


Agroekosistem Das-Hulu, Das-Tengah, Das-Hilir
Sumber: F. Sjarkowi, 2022

BAB 13 | Menangkal Kekeliruan Rancangan Makro Wilayah 277


Permukaan laut diyakini para ilmuan akan naik sebagai efek perubahan iklim
global (GCC-Global Climate Change). Perlu diwaspadai adanya penurunan hasil
pertanian padi serta efek pemiskinan warga pesisir. Selain itu efek La Nina dan El
Nino juga akan menaikkan suhu air pada agroekosistem pesisir. Di atas kertas pada
kawasan dekat pesisir laut tentu pengaruhnya akan lebih berair, dan ini memicu
Catatan untuk konversi tata guna lahan padi sawah, dari dua musim (MH dan MK) menjadi
penulis: pertanaman padi sawah MK saja. Alih fungsi dari lahan sawah berubah jadi tambak
tolong baca ikan permanen atau sekadar diberakan agar ditumbuhi bakau. Keterkaitan ini dapat
kembali dijabarkan lebih kuantitatif sehingga tampak jadi besaran nilai ekonomi agribisnis.
kalimat yang Demikian landasan kebijakan pengelolaan kawasan peka harus bisa dilakukan
diberi warna tanpa mengorban kan kepentingan hidup kaum tani yang senyatanya terlibat dalam
merah, apakah “perusakan sistem hidro-orologis”. Ingat, UUD 1945 Pasal 33 mengingatkan perlu
susunan adanya solusi berkeadilan.
kalimatnya
sudah benar
3. Bagaimana Kelestarian DAS Hulu dan Arah Reforma Agraria
Bijak alokasi potensi keruangan di tingkat makro wilayah tentu terkait pemanfaatan
ruang pada bentangan kawasan agroekosistem sisa, juga pada bentangan zona
ekosistem lindung peka sentuhan. Jika salah strategi kebijakan dan manajemen maka
kegiatan legal di zona agroekosistem mudah memicu dampak negatif dan berisiko
bencana. Pada tataran mikro usaha tentu pemahaman para pelaku tentang strategi
bijak manajerial kelangsungan satuan usaha akan sangat penting guna membela
kaum tani di tiap daerah. Di satu sisi ekosistem dan agroekosistem mesti terjaga
fungsi hidro-orologis serta keanekaan hayatinya, tetapi di sisi lain misi peningkatan
kesejahteraan hidup warga bangsa harus direalisasikan. Dua hal ini pula yang harus
dijembatani oleh arahan reforma agraria.
Sikap bijak dan taktis strategis diperlukan untuk menyiasati alokasi lahan agar
tercipta manfaat ekonomi maksimal secara berkelanjutan tanpa ada dampak negatif
yang terlanjur tidak terkendali. Memang dalam kegiatan usaha atau berbisnis,
pastilah setiap upaya berwawasan lingkungan perlu ekstra ongkos produksi
walaupun hasilnya yang baik terkadang perlu waktu lama untuk jadi nyata. Dari itu
untuk mengawal perencanaan serta memberi sinyal pengawalan lapangan dengan
peraturan perundangan maupun perda ke arah sukses pembangunan berkelanjutan,
maka prinsip hitung NPV (net present value) yang maksimal harus dijadikan patokan
demi menghela kegiatan yang berisiko minimal. Paling tidak, upaya terbaik di antara
semua pilihan harus bisa memberi total pendapatan bersih positif secara nominal
maupun riil finansial, walaupun biaya produksi terkesan sebagai ekstra belanja yang
mahal tapi berguna untuk mengatur realitas lapangan.
Jelas dari segi objek perencanaan kiranya rancangan pembangunan ekonomi

278 Ekonomi Pertanian


pertanian di suatu daerah, kini semakin mendekati kawasan DAS hulu yang peka
sentuhan. Sejak sekarang diantisipasi konsepsinya agar bermuka-dua atau berbobot
dwi fungsi sebagaimana tersebut harus tadi, dan strategi kebijakan serta pengaturan
yang efektif jangan sampai terlambat. Persoalan intinya adalah penyiapan strategi
antisipatif guna mengendalikan ancaman perut warga bangsa sendiri dan warga
negara sahabat yang semakin berisiko lapar, padahal panen potensi tambang dapat
saja ditunda sementara kalau perut lapar amat bahaya akibatnya. Oleh sebab itu
konsepsi yang antisipatif itu harus diberi legalitas pijakan yang kuat untuk supaya
dipatuhi oleh para pihak, dan jelas tantangan ini terkait dengan tugas pokok
fungsional Kementerian Pertanahan Agraria.
Patutlah dipahami bahwa pengaturan dwi fungsi harus tertuju pada dua
objek sasaran yaitu ruang dialokasi dan orang diamanati. Bersamaan itu konsep
kegiatan akan terpaku pada dua misi program, yaitu pelestarian kawasan hijau dan
peningkatan kesejahteraan. Program bermisi ganda ini pasti pula harus tertuju pada
dua sifat pelaku, yaitu pelaku yang sudah terlanjur merambah dan sejak beberapa
tahun sudah berada di dalam ruang kawasan lindung; dan calon pelaku potensial
yang masih berada di luar kawasan tapi kebanyakan di sekitar perbatasan zona
penyangga (buffer zone atau zona antara). Jadi dalam hitungan kasar akan terdapat
2 (objek) × 2 (misi/objek) × 2 (sifat/misi) = 8 jenis sasaran kebijakan yang harus
direalisasikan, dan kesemuanya menjadi sasaran kendali peraturan perundangan
reforma agraria.
Adapun dimensi objeknya yang tentu akan terjadi di pulau nusantara yang
manapun tapi harus jadi perhatian serta pertimbangan secara cermat bisalah dibagi
dua kelompok sebagai berikut: (a) ruang agroekosistem yang masih tersisa dan juga
yang sedang digarap dan lokasinya kian mendekat ke zona penyangga, dan; (2) ruang
ekosistem yang terbilang zona lindung bersama zona konservasi dan umumnya di
sana sini bagian lerengnya telah digarap para ‘perambah’ hutan dan pembalak kayu
berkelas. Tentang dua kelompok ruang dan lahannya yang masih menghijau dapat
diidentifikasi ciri potensialnya di mata warga, yaitu:
Konsep Kemapanan Ruang Agroekosistem (di Luar Zona Ekosistem)
a) Persoalan yang patut diantisipasi akan jadi pemicu masalah yaitu adanya tekanan
kemiskinan kultural51 ataupun euforia kesejahteraan materialis hedonistik,

Berbeda dari sifat kemiskinan struktural (efek kebijakan formal) ataupun


51

kemiskinan konjungtural (atas efek kekuatan mekanisme pasar), dimaksud


kemiskinan kultural adalah efek dari kebiasaan tradisional yang masih serba
subsistem dan masih kering dari pengaruh Ipteks-inovatif dan belum berwawasan
komersial.

BAB 13 | Menangkal Kekeliruan Rancangan Makro Wilayah 279


yang keduanya dapat berakibat negatif memacu pembalakan dan perambahan
hutan secara liar demi nafsu ekstensifikasi lahan pada zona ekosistem peka.
b) Perlu penetapan garis kemiskinan jaga-jaga (GKJ) sebagai batas terbawah dari
tingkat pendapatan yang patutnya di atas nilai garis kemiskinan konvensional
(GKK); karena ada komponen belanja produksi inovatif, ada tabungan minimal,
dan ada persentase bagian belanja konsumtif yang masih bisa ditolerir demi
intensifikasi.
c) Proyeksi nilai GKK bisa merujuk ketentuan Pemda dan Kantor Statistik
setempat, sedangkan nilai tabungan wajib (NTW) di tingkat BUKD atau
BUMDes, lalu belanja produksi inovatif (BPI) dan biaya hidup kuliah (BHK)
anak yang bisa dianggap wajar konsumtif. Jadi GKJ =GKK + NTW + BPI +
BHK, bisa dijadikan nilai kritis.
d) Peran kelembagaan UMKM atau BUKD ataupun BUMDes di lokasi perdesaan
yang demikian akan memudahkan pemantauan produksi serta hitung
pendapatan (PUMKM) si pelaku ‘agribisnis’ itu: Jika PUMKM < GKJ maka di situ
nafsu merambah akan terpicu; tapi jika PUMKM >> GKJ, maka lapangan kerja
agroindustri.

Konsep Kelestarian Ruang Ekosistem Peka (di dalam Zona Ekosistem)


a) Salah satu faktor alasan perlunya kebijakan di ruang ekosistem peka yakni
adanya aktivitas perambah yang sudah terlanjur terjadi di dalam kawasan
lindung, sedangkan informasi lapangan menunjukkan selain penduduk setempat
juga banyak dari para perambah adalah pendatang dari aneka asal suku dan
daerah lainnya.
b) Secara sosio-antropologis perambah kawasan lindung tentu punya latar
belakang jiwa pendobrak dan pekerja keras, bisa hidup dalam keterbatasan dan
keterpaksaan serta terbiasa jauh dari jangkauan pengawasan usaha berwawasan
lingkungan; kini harus diberi peran menjaga kelestarian fungsi dan mutu
ekologis kawasan.
c) Sesuai falsafah keadilan sosial, maka perlu dicari pola rekabina yang terbaik
dan justru berperan positif dalam program rehabilitasi kawasan lindung yang
memang terkendala segi pengawasan. Sepatutnya berlaku rumus rekabina THIS
pada tingkat makro wilayah dan rumus PUMKM >> GKJ dipicu-pacu di tingkat
pelaku SUPK.
d) Strategi keterpaduan pembiayaan program dengan dana pusat dan dana
pendamping dari APBD seharusnya bisa memancik pengendalian sepenuhnya
hingga memastikan kelangsungan program pelestarian ekosistem peka sentuhan

280 Ekonomi Pertanian


itu berjalan sebagaimana mestinya, sesuai kaidah tanggung-jawab mutlak (strict
liability rule).52

13.3 Rancangan Pertanian Bermisi Kesejahteraan PDK


Kinerja dan kesejahteraan petani desa dan kota (PDK) sebenarnya serupa tapi tak
sama, seperti segitiga setangkup tapi berbeda warna karena berbeda ‘kuadran’.
Pertanian di perdesaan tetap bersandar pada kearifan lokal dalam membaca tanda-
tanda alam, sedangkan petani di perkotaan ditantang tampilkan kreativitas menata
harmoni dan keindahan fisik kota dengan meningkatkan fungsi bentangan hijau di
tengah dinamika keterbatasan potensi ekonomi pertanian dan keragaman suku-asal
komunitas orang kota.
Di zaman yang semakin dibatasi ketersediaan ruang untuk lahan usaha
pertanian sebagaimana tampak di banyak bagian daerah nusantara ini, tentu upaya
mengaktifkan petani perdesaan maupun perkotaan mempunyai suatu sasaran
bersama ketika dikaitkan dengan persoalan kedaulatan pangan negeri. Demi
kecukupan dan kedaulatan pangan warga bangsa, maka langkah bijak pembinaan
petani perdesaan dan perkotaan sepatutnya patut mendapat perhatian dan porsi
pendanaan relatif memadai dan efektif.
Dipandang dari sudut keilmuan ekonomi pertanian, pernyataan dalam alinea
kedua itu beralasan untuk direkayasa jadi kenyataan lapangan, yakni sebagai berikut:
(1) Konsumen terbesar dari hasil pertanian adalah warga kota khususnya kaum
buruh; yang cenderung butuh energi pangan perkapita lebih besar akibat
keragaman pangannya dibatasi pendapatan perkapita.
(2) Konsumen pangan di perkotaan sekiranya juga mengenal dan pahami seluk
beluk produksi pertanian secara langsung ataupun tak langsung tentunya bisa
lebih rasional dalam memberi harga wajar hasil tani.
(3) Konsumen pangan perkotaaan yang sekiranya dapat merasionalkan jenis
makanan tanpa kekurangan pasok gizi keluarga masing-masing, tentunya tidak
akan gegabah menuntut harga pangan terlalu murah di kota.

Tentu pula akan banyak manfaat sampingan lain didapat warga kota dari
keberadaan aktivitas pertanian di wilayah kota. Tidak bermasalah jika kegitan itu
bernuansa semikomersial, semisal pengaturan tanaman bunga Kamboja (Plumeria
spp) di Tempat Pemakaman Umum (TPU); yang tetap berfungsi penghijauan tapi
bermanfaat juga untuk panen bunga yang bisa dijual oleh para pekerja untuk

52
Siapa lalai atau bersalah harus bertanggung-jawab dan siap diberi sangsi hukum sesuai
aturan perundangan.

BAB 13 | Menangkal Kekeliruan Rancangan Makro Wilayah 281


‘peziarah tabur bunga’ atau juga bisa dijual di pasar sebagai komoditi ekspor
(pengharum teh). Kegiatan pertanian perkotaan pasti juga bisa berlangsung di
banyak bentangan ruang terbuka lainnya.

1. Konsumen Pangan Terbesar Ada di Kota


Sejak lama distribusi penduduk di setiap daerah nusantara ditandai adanya
urbanisasi, yakni perpindahan sebagian warga yang sempat merasa kurang beruntung
dari desa eksodus ke kota yang sepertinya menawarkan beragam sumber mata
pencaharian tanpa bergantung hanya pada tanah. Di kota pekerjaan memburuh
mudah didapatkan asalkan berani memeras keringat, dan begitu juga aneka cara
niaga terbuka kesempatannya asalkan berani menyimpan rasa malu untuk diganti
dengan sikap jujur dalam setiap kontak transaksi jual-beli.
Akan tetapi gejala urbanisasi yang kadang terlalu deras berlangsung, bisa
memicu aneka permasalahan lingkungan alami-sosial-binaan amat merepotkan
jika tidak diantisipasi dengan perencanaan pembangunan wilayah perkotaan sesuai
dengan pola THIS (Tematik-Holistik-Integratif-Sistemik). Di antara persoalan besar
yang sering dikeluhkan di tengah perkembangan dan pertumbuhan ekonomi suatu
kota adalah:
(1) Permukiman kumuh tumbuh di kawasan pinggiran kota, yang kemudian
menandai lingkungan sosial semrawut dan sarang kriminal; lingkungan fisik
yang terkuras zona hijau-nya, lingkungan binaan serba terbatas prasarana
sanitasi MCK, kurang suplai air bersih, perumahan berserakan serba tak
beraturan.
(2) Perkembangan suasana resah harian tampak di tengah kompleks mukim yang
padat bersuhu panas—gerah, tentu mudah menyulut kegaduhan terutama
ketika muncul masalah yang terkait dengan kebutuhan perut dan prasarana
lingkungan penentu kondisi kesehatan masyarakat; sumber penyakit menular.
(3) Perekonomian kota terasa serba komersial dibandingkan di pedesaan, ini pasti
berimplikasi kepada kerasnya mekanisme pasar untuk urusan beli-jual produk
pangan pokok (beras, migor, gula) sehingga gerak perubahan harga-harga barang
sangat erat kaitannya dengan inflasi ekonomi bulanan di suatu kota.

Ketiga butir gejala permasalahan ekonomi perkotaan ini sedikit banyak akan
bisa diredam kalaulah diterapkan pola pembangunan ekonomi dengan rancangan
tematik yang menjaga keseimbangan produksi komoditi pertanian perkotaan,
dipolakan menyertai produksi pertanian pangan pedesaan. Ancang ancang penataan
ekonomi pertanian demikian sungguh tidak boleh terlambat.

282 Ekonomi Pertanian


2. Konsumen Pangan Tanpa Kekurangan Gizi
Masalah kecukupan gizi orang kota sangat penting untuk dicermati, karena orang
kota harus mengandalkan kapasitas otak (ketimbang kekuatan otot bagi orang desa),
anak balita lebih mudah terkena penderitaan ‘stunting’ terutama di kawasan kumuh,
sedangkan orang dewasa mudah terserang sepuluh sumber prevalensi dan jenis
penyakit yang umumnya menular dan mewabah. Isu kecukupan pangan keluarga
sesuai rumus empat sehat lima sempurna seperti telah disinggung di sub-Bab 9.4
sebelum ini tidak patut hanya dikendalikan dengan mengandalkan hasil produksi
pedesaan. Justru kegiatan pertanian kekotaan akan mengisi stok pangan jaga-jaga
penyeimbang pangan kiriman produksi di pedesaan. Logika ini dapat dibenarkan
adanya di setiap daerah Nusantara karena setidaknya ada tiga kekuatan pelengkap
kini semakin tersedia dan terbuka kesempatan mendayagunakannya di wilayah
kota, yaitu:
(1) Tersedia prasarana Ipteks pertanian perkotaan yang sudah siap pakai yang
diperlukan untuk menunjang program kebun herbal tim penggerak PKK setiap
kelurahan ataupun desa sehat lingkungan.
(2) Terdapat sarana pasar tradisional yang memenuhi persyaratan bisnis yang
tanpa kadaluarsa dan memenuhi standar kesehatan lingkungan dan kesehatan
masyarakat maju layaknya di perkotaan.
(3) Terbuka kesempatan pendanaan sisipan untuk pertanian pangan yaitu
membonceng program Kota Hijau yang kini isyarat pembangunan hemat karbon
demi menangkal penyebab pemanasan global.

Hampir dapat dipastikan ada peningkatan jumlah dan mutu keanekaragaman


bahan pangan akan terjadi di suatu daerah perkotaan (kota dan ibu kota) sekiranya
menerapkan konsep pembangunan pertanian perkotaan yang bertema ‘menopang
konsumsi pangan tanpa kekurangan gizi’. Keadaan yang demikian tentu pula
berdampak positif mengurangi tekanan ekonomi bisnis terhadap fluktuasi harga
bahan pangan pokok. Tekanan ekonomi bisnis yang berkurang terhadap kehadiran
komoditi pangan pokok yang tidak jauh dari keberadaan konsumen tentu menempa
tingkat harga jadi lebih alami. Artinya, tidak akan muncul upaya politisasi atau juga
kriminalisasi perkembangan harga bahan pangan di suatu kota, ketika kecukupan jadi
lebih tampak sebagai simbol kedaulatan pangan. Suasana kota lestari hijau pun akan
tampak di antara bangunan gedung, di setiap marka jalan, di lokasi ruang terbuka
hijau (RTH), di perbatasan ke daerah lain, bahkan di TPU yang menghijau rapi.

BAB 13 | Menangkal Kekeliruan Rancangan Makro Wilayah 283


3. Konsumen Pangan Rasional di Kota
Ada manfaat tersembunyi lainnya yang dapat dihimpun dari strategi penghijauan
kota yang dikaitkan dengan aktivitas usaha sambilan, ataupun usaha sampingan
selain usaha agribisnis pangan komersil. Jika rangkaian kegiatan sengaja ditata dan
dihidupkan di perkotaan, memang akan tampak kerimbunan-keindahan-kelimpahan
aneka komoditi pertanian. Ini sebenarnya simbol kedaulatan pangan, sekaligus
jadi sarana pendidikan non-formal bagi generasi konsumen rasional masa depan
di perkotaan dan perdesaan.
Pengertian usaha sambilan karena upaya pembinaan ‘gaya urban peduli
kedaulatan pangan’ bisa nebeng pada program yang mungkin sebagian besar
bertengger pada rencana kerja pembangunan daerah (RKPD) dinas Pekerjaan
Umum (PU). Juga pada dinas pertanian kota dan lingkungan hidup (PKLH) dengan
peruntukan biaya APBD kota atau ibu kota yang jelas rancangannya. Persoalan
selama ini, pertanian kota hampir diremehkan dari segi peng- anggaran biaya
pembangunan, karena hal itu dianggap ranah pembangunan perdesaan. Padahal di
zaman pembangunan kota hijau yang marak mendunia dewasa ini, ada lima fungsi
kehijauan kota layak diperlombakan sebagai cerminan kota sehat huni, yaitu:
(1) Ekosistem Hutan Kota Berpola Lima Hijau
a) Hijau petak pertamanan kota
b) Hijau pada peruntukan RTH serbaguna
c) Hijau pada pinggiran kolam retensi
d) Hijau pada petak-ruang penyangga (TPU antara lain)
e) Hijau pada petak ruang pra alih fungsi dan konversi
(2) Etalase penyangga ancaman banjir dan suhu panas
(3) Estetika prasarana keindahan-keasrian-kenyamanan kota
a) Pola Divergensi; menyebarkan titik-titk kerumunan warga (sekitar Mall,
Hotel Berbintang, Stadion, dan venue olah raga).
b) Pola Convergensi; memudahkan layanan Satu-atap Satu-taman Setungguan
(Sarana wi fi umum dan gedung perizinan plus klinik darurat).
(4) Entitas peredam kebisingan dan kebauan
(5) Edukasi perhatian sosial (pendidikan non-formal)
a) Sarana kota bernuansa hijau alami.
b) Sarana kota berambu lalu lintas.
c) Sarana kota bersanitasi-drainase
d) Sarana kota bertaman Ipteks estetis.

284 Ekonomi Pertanian


e) Sarana kota beraneka objek santai-wisata hijau lestari (Restoran resih
pujasera, Tempat main balita).

13.4 Rancangan Pertanian Bertumpu Kiprah AMK


Kiprah satuan ‘agroindustri mikro dan kecil’ (AMK) sesungguhnya adalah berkah
terselubung bagi perekonomian nasional. Agroindustri mikro boleh dipastikan
adalah kegiatan rumahan yang melakukan olah komoditi secara serabutan, yaitu:
(a) umumnya untuk memanfaatkan surplus komoditi pascapemasaran karena cacat
mutu ataupun susut jumlah, tidak terjual (contoh: asinan buah kedondong atau
salak); (b) Biasanya untuk mendayagunakan limbah yang memang sejak lama sudah
diketahui cara memanfaatkannya (contoh: kulit sapi sembelihan dibuat cecek dan
kerupuk jangek).
Ciri kegiatan produktip (a) dan (b) sesungguhnya adalah berkah terselubung,
khususnya ketika pemilik agroindustri rumahan yang sifat produksinya serabutan
berhasil menemukan pembeli tetap, sehingga pola produksi harus berubah jadi pola
agroindustri kecil yang sudah punya spesifikasi produk dan rutinitas produksi
berkesinambungan waktu. Posisi satuan agroindustri kecil ini bisa berubah lagi
menjadi agroindustri menengah, jika pangsa pasar produk yang dihasilkannya
meningkat setelah berhasil menembus jaringan pemasaran lebih meluas diikuti
volume transaksi lebih besar.
Walaupun demikian transisi karakter usaha dari tingkatan agribisnis pra-
komersial yang masih berskala rumahan hingga meningkat jadi agroindustri skala
menengah tidak selalu bisa terjadi dengan sendirinya, melainkan harus ada peran
aktif pembinaan dari Pemda setempat. Harus diingat, upaya bina UMKM pertanian
perlu benar-benar dirancang sesuai arahan berpola THIS (sub-Bab 13.1) di muka.
Jika hal ini difasilitasi pemda, maka cara ini akan dapat menggerakkan transisi
perubahan secara serentak di seluruh nusantara. Dari situ bisa terjadi gerakan
besar-besaran, sehingga hasilnya bisa memberikan topangan kuat pada fundamental
ekonomi negeri agraris ini.
Dalam kerangka tindak nyata merealisasikan suatu rancangan AMK demi
meningkatkan kesejahteraan dan kiprah luhur para petani kecil tradisional di suatu
daerah, maka kata kuncinya adalah kesungguhan perhatian tiap Pemda terhadap
rakyat di tingkat akar rumput. Sejak dari penyusunan rancangan pembinaan produksi
komoditi hingga produk AMK bisa masuk ke dalam satu atau beberapa segmen pasar
sebagai pembeli tetap amat diperlukan peran tiga lembaga, yaitu:
a) Peran aktif OPD terkait;
b) Peran aktif sain tekno-park (STP);

BAB 13 | Menangkal Kekeliruan Rancangan Makro Wilayah 285


c) Peran aktif LSM pendamping lapangan. Tiga pihak ini dapat saling bantu dan
isi mengisi guna suksesnya program pembinaan AMK.

1. Peran Aktif OPD terkait


Kepedulian pihak Pemda diperlukan untuk menggerakkan peningkatan status petani
kecil tradisional agar jadi pelaku UMKM agribisnis kemitraan, lalu berubah maju
melengkapi usaha dengan kegiatan agroindustri. Walaupun awalnya sudah bisa
tampil berupa agroindustri rumahan serabutan, yang penting terbuka cara bangkit
dan maju jadi satuan agroindustri kecil hingga terus menjadi satuan agroindustri
menengah. Pemancik dan penggerak usaha kerakyatan untuk berevolusi maju
tentu harus datang dari OPD yang terkait. Bisa saja dimulai dengan sentuhan dinas
pertanian atau dinas koperasi, lalu kemudian diteruskan oleh Dinas Indag. Lebih
cantik lagi jika diinisiasi oleh Badan Litbangda dengan rancangan konsepsional
pemberdayaan UMKM inovatif dengan mendorong peran aktif STP (Sains Tekno-
Park) bekerja sama dengan Forkom Pendana CSR daerah.
Rancangan konsepsional seperti apa yang harus dipersiapkan oleh suatu OPD
pemancik gerakan inovasi ini telah dibahas dalam Bab 10.3 dan Bab 2.1. Akan tetapi
yang cukup merepotkan adalah penyususnan strategi efektif guna membangkitkan
‘Gerakan Membangun UMKM Inovatif’ di setiap kecamatan dan akhirnya di setiap
daerah kabupaten dan kota di suatu provinsi. Istilah gerakan sekali lagi menegaskan
keterlibatan semua wilayah dan warga sasaran untuk berperan menghidupkan
kegiatan bisnis komersial secara serentak bersamaan. Sifat yang serentak ini
diperlukan agar terjadi barter niaga atas produk unggulan antardaerah, agar dampak
perniagaan antardaerah seluruh nusantara secara bernas memperkuat fundamental
ekonomi negeri sembari mempererat tali persatuan dan kesatuan bangsa dalam
bingkai NKRI.
Untuk maksud itu maka tiga macam mekanisme gerakan harus terjadi di setiap
provinsi dan setiap daerah kabupaten dan kota dimulai dari tingkat kecamatannya
atau bahkan desa, yaitu: (a) mekanisme pembentukan BUKD atau UMKM agribisnis
kemitraan; (b) mekanisme inovasi tarik-pinta (DPIN = Demand Pull Inovation),
dan; (c) mekanisme niaga antardaerah dan antarpulau. Untuk ketiga mekanisme
itu harus tersedia iklim usaha yang inovatif dan ramah lingkungan. Iklim usaha
inovatif itulah yang harus diinisiasi oleh pemda dibantu lembaga-lembaga bisnis
terkait semisal kadinda dan asosiasi-asosiasi di bawah koordinasinya. Ciri iklim
usaha inovatif telah berfungsi akan tampak dari kegiatan pameran produk-produk
unggulan di setiap daerah kabupaten dan kota. Bersama itu ada evaluasi keberhasilan
lewat proses kompetisi prestasi.

286 Ekonomi Pertanian


2. Peran Aktif Sains Tekno-Park (STP)
Telah dipahami sebelum ini, invensi tepat guna adalah hasil nyata riset terapan di
lembaga penelitian PTN dan PTS serta UPTD kementerian (Indag, BPPT, Pertanian)
untuk pengembangan Ipteks-inovatif bagi beberapa subsektor pertanian maupun
subsektor industri. Terap guna invensi itu oleh para pelaku bisnis tingkat akar
rumput tidak selalu gampang karena ada berbagai kendala dan hambatan. Para
petani kecil tidaklah bodoh, tetapi budaya inovasi dengan semangat DPIN (Bab
12.1) boleh jadi belum hadir mewarnai ciri sosial budaya di suatu daerah apalagi
di desa-desa belakang. Lebih parah lagi jika di tengah kehidupan kaum tani masih
banyak yang sedang dirundung masalah tekno-biogeofisik (rusak kesuburan tanah
pascakarhutla), persoalan tekno-ekonomi (kehabisan modal kerja pascabencana),
serta hamnbatan tekno-kultur (sulit gotong-royong akibat urbanisasi). Dapat
dibayangkan bagaimana sulitnya mereka hendak berupaya sendiri untuk menerapkan
cara dan gaya baru, kalau tidak ada pemberdayaan oleh pemda setempat.
Gejala kesulitan yang tampak di lapangan mungkin berupa pesakitan sosekbud,
maka perlu ada Klinik Bisnis Inovatif. Mungkin juga yang tampak adalah krisis
motivasi dan ketiadaan gagasan untuk menemukan solusi, maka amat diperlukan
adanya Inkubator Bisnis Kreatif. Kedua masalah lapangan ini berintikan krisis
tiga dimensi, yaitu: (a) krisis Ipteks-inovatif; (b) krisis Talenta Bisnis; (c) krisis
Relasi Usaha. Ketiga ini perlu uluran tangan OPD terkait, tapi terkait urusan bisnis
maju dan komersial, umumnya OPD mengalami krisis yang sama. Kekuatan SDM
yang biasa makan gaji dan hanya terbiasa menangani urusan administrasi proyek,
hampir-hampir buta dalam hal ihwal wirausaha dan inovasi bisnis. Menyadari hal
ini hanya ada dua jalan keluarnya, yaitu perlu ada STP (yang siap aktif selaku klinik
bisnis dan sebagai inkubator bisnis) dan jika STP daerah tidak ada, maka LPPM
PTN/S yang kini ada di setiap daerah hendaknya menjalankan peran pengganti STP.
Jadi peran Pemda lebih berupa fasilitasi penyaluran dana APBD saja.
Sebenarnya jika mekanisme peran serta STP atau LPPM itu benar aktif dengan
misi pemberdayaan kewirausahaan, maka kegiatan bina kapasitas talenta-bisnis
otomatis bisa melebar jadi pembinaan jaringan-bisnis, dan seterusnya membina
monetisasi-wilayah. Jaringan bisnis bisa direkayasa antarpesakitan yang datang
dengan sasaran bisnis berbeda tapi bertautan. Lalu monetisasi wilayah terpicu jika
lembaga penunjang (Bank, Kadinda) ikut aktif.

c) Peran Aktif LSM Pendamping Lapangan


Proses pemberdayaan sebagaimana diringkaskan pada tayangan 9.3 di muka belum
cukup dijalankan oleh lembaga OPD, STP, LPPM saja, melainkan perlu peran LSM
agribisnis profesional. Ketiga lembaga tersebut di atas aktivitasnya masih bernuansa

BAB 13 | Menangkal Kekeliruan Rancangan Makro Wilayah 287


satuan demi satuan usaha, sehingga belum sama sekali mencerminkan gerakan bisnis
inovatif. Istilah gerakan menuntut semua pihak dan semua unsur warga serentak
akatif berperan serta seperti pada gerak gotong-royong. Satuan usaha yang terbina
di STP ataupun LPPM harus jadi prototipe atau stereotipe panutan dan pemicu-pacu
semua warga yang lain dalam suatu desa.
Kehadiran LSM di pedesaan dewasa ini sudah lumrah. Ini dikarenakan banyak
sekali generasi muda desa yang telah berkualifikasi sarjana S-1 dari PTN/S yang
belum sempat mendapatkan lapangan kerja kemudian memilih berkiprah untuk
desa asal mereka. Keadaan ini memunculkan wanti-wanti tentang peran penting
LSM profesional, bukan LSM “merpati”. Apabila LSM profesional harus diperankan,
maka LSM “merpati” harus lebih dulu diberi ‘diklat’ yang sesuai dengan kebutuhan
lapangan.
Sebagai pendamping, LSM profesional punya tugas fungsional vertikal dan
horizontal. Secara vertikal LSM-P itu harus bisa jadi penghubung dan pemacu
keharmonisan kerja ketiga lembaga OPD-STP-LPPM. Secara horizontal LSM harus
dapat menumbuhkan kegairahan anggota klaster petani binaan untuk menjalani
proses PRA (Participatory Rural Appraisal, sehingga persis tau potensi dan solusi
kebutuhan warga dan desa) dan PAR (Participatory Action Research; sehingga tidak
ada solusi aneh di mata orang desa). Rintisan PRA dan PAR ini akan tampak pada
keberhasilan kerja pemberdayaan, baik di demplot maupun di ruang kantor BUKD
yang ditunjuk Kades.
Rangkaian proses transformasi Ipteks inovatif dan bina kelembagaan
yang dikonsepkan itu diyakini sangat besar manfaatnya untuk kesuksesan tiap
program APBD yang masuk desa. Hambatan serius selama ini terkait banyak
pada penyimpangan dana pemberdayaan masyarakat bawah yang diselewengkan
oleh oknum OPD bermain mata dengan oknum LSM merpati. Sudah tentu gejala
kegagalan program pembangunan perdesaan tidak boleh dibiarkan berkepanjangan.
Justru kejelasan dan keterujian konsep pembangunan ekonomi seperti yang dibahas
di atas adalah salah satu kunci penting yang bisa mengebiri nafsu dan akal licik
penyelewengan.

13.5 Rancangan Pertanian Bertaut Kondisi GIS


Sistem Informasi Geografik (GIS) baru dikenal luas di Inonesia pada awal 1980-an.
Sistem komputerisasi pendataan-penyimpanan-penafsiran tentang kondisi dan isi
ruang kebumian (geo-spasial) di tiap bulan kini dapat dibuat berbasis teknologi
modern penginderaan jauh. Peta bumi bisa dibuat berbasis citra satelit (NOA)
yang terus mengitari bumi dan melewati angkasa nusantara setiap 16 hari dan
menghasilkan lempeng atau lembaran foto hasil pengindraan jauh terhadap suatu

288 Ekonomi Pertanian


sasaran permukaan bumi (2 km × 2 km). Untuk bisa ditransformasi jadi peta
bumi, maka informasi citra ini tetap harus didukung hasil periksa terhadap sasaran
lapangan.
Suatu citra satelit memberi gambaran citra sangat nyata jika seandainya tidak
terganggu oleh tutupan awan tebal di angkasa. Lembaran citra satelit yang bersih
dapat memberikan pemahaman detil lebih berarti jika dikombinasi kan dengan
hasil foto bentang bumi yang diambil dari suatu ketinggian alat (0.2 km × 0.2
km). Teknologi pengindraan jauh berupa foto udara akan sangat berguna dalam
manajemen kawasan pertanaman komoditi. Hasil pemotretan dari ketinggian alat
ringan dan portable untuk mendapatkan potret kawasan (0.02 km × 0.02 km), dan
ini menggunakan teknologi drone.
Jadi perkembangan pendayagunaan lahan tersebut bisa juga dijadikan dasar
pertimbangan logis mendasari manajemen ekosistem peka sentuhan. Ini terkait
manajemen kendali perilaku dari: a) pelaku calon yang masih berada di kampung
(dekat ke perbatasan zona lindung) dan; b) pelaku nyata yang sudah dalam kawasan
dan berstatus perambah suatu bentang ekosistem lindung. Pengendalian tiap
kategori perilaku petualang ekstensifikasi (para calon pelaku ataupun perambah
itu) selama ini dikendalikan lewat tekanan hukum positif oleh polhut terkait risiko
bencana yang bisa terjadi.
Kini berkat kemajuan teknologi inforkom dan GIS berbasis citra satelit atau
sekadar hasil pantauan teknologi drone, maka manajemen kawasan peka bisa
didasari pola baru. Pendekatan demikian adalah suatu keniscayaan, sebab cepat
atau lambat kawasan hutan yang peka sentuhan pun terpaksa dirambah oleh unsur
warga yang kekurangan kecuali mendayagunakan SDA yang dalam jangkauan diri
mereka. Mereka yang terpaksa harus berbuat penuh risiko bagi diri sendiri dan orang
banyak tentunya tidak patut diperlakukan dengan tidak semena-mena, terutama
jika nanti dipandang dari perspektif UUD 1945 Pasal 33 dan Pancasila sila kelima.
Manajemen risiko produksi harus bisa diberlakukan.

1. Manajemen Resiko Produksi Pantauan Satelit


Jika perkembangan tutupan lahan seluas DAS Musi yaitu 5.4 juta ha bisa dipantau
perubahannya berkat teknologi digital GIS, akan lebih mudah lagi untuk memantau
bentangan luas yang amat kecil. Perkembangan suatu jenis tanaman peluang (catch
crop) di suatu wilayah berkisar lima ribu ha lahan 5 s.d. 10 desa di zona hortikultura
khas suatu kabupaten dilengkapi teknologi drone.

BAB 13 | Menangkal Kekeliruan Rancangan Makro Wilayah 289


Gambar 13.4 Fungsi Hidro-Orologis Selaku Determinan QQA-Air di Lingkup DAS-Musi
Tampak Terdegradasi dari A (2000) Jadi (2015)
Sumber: BLH Provinsi Sumatra Selatan

Tampak pada Gambar 13.3, zona hutan penentu kualitas siklus hidro-orologis
telah berkurang drastis tapi total luas perkebunan bertambah pesat persentase
ha-nya. Juga ada tanda-tanda pertambakan Bandeng di dekat Selat Bangka mulai
menyusut, boleh jadi dikarenakan hutan bakau di sana kian banyak dibuka lalu
memicu intrusi air garam ke arah darat. Jadi hasil pantauan pengindraan jauh
setahun akan sangat berguna untuk mendasari kebijakan pengamanan suatu kawasan
ekosistem dan agroekosistem peka sentuhan. Tetapi pantauan lebih cepat akan sangat
berguna untuk membatasi luas produksi total jangan sampai terjadi over-supply
diikuti kejatuhan harga komoditi yang biasa dan bisa diproduksi oleh suatu daerah.

2. Manajemen Resiko Produksi Pantauan Drone


Pengambilan video dan foto udara menggunakan drone dari ketinggian maksimumnya
bisa sangat berguna untuk mendapatkan data lapangan senyatanya tentang kepadatan
suatu jenis tanaman. Ketika ada gejala lonjakan harga suatu komoditi pertanaman,
akan bangkit respons besar dari kalangan petani untuk cepat-cepat bertanam, sambil
besar harap kiranya ketika panen di awal 60-an hari. Kemudian masih bisa jumpa
harga mahal itu dan menikmati untung besar yang sejak lama diidamkan.
Respons berlebihan tanpa kendali bisa berisiko rugi. Apa ukuran pembatas
produksi jangan berlebihan? Sinyal SPD-LPBM (Sistem Peringatan Dini tentang Luas
Pertanaman Berisiko Merugi) sudah seharusnya dibuat berdasarkan data berkala

290 Ekonomi Pertanian


(time series) yang menggambarkan hubungan nyata dua determinan suplai dan demand
suatu komoditi terkait. Proyeksi lompatan suplai (kurva S-1 ke S-3) sepatutnya
diprakira kapan saat tepat membatasi para petani, agar total luas tanaman tidak
melewati titik keseimbangan pasar (Gambar 13.3b).53

Gambar 13.5a Efek Gagal Panen (ha) Dibarengi Gambar 13.5b Efek Pertambahan Luas (ha)
Respons Demand Berjaga-jaga terhadap Kejatuhan Harga Komoditi

Secara konsepsional ancaman kejatuhan harga bisa diantisipasi lewat hitung


prakira volume produksi dari kisaran ha bentang lahan pertanaman. Hukum
penawaran (suplai) mewanti-wanti, bahwa harga akan jatuh drastis bila terjadi
surplus produksi, yang dalam jumlah besar sulit diserap pasar. Jadi luas ha suatu
pertanaman peluang (catch crop) harus dipantau agar bisa dikendalikan. Respons
kaum tani berlebihan tidak boleh menjerumuskan mereka ke lembah hutang.
Semangat pembelaan patut direalisasikan di setiap daerah.

3. Manajemen Resiko Produksi via Tekno-Ekonomi


Tekanan penduduk dan tambahan sarana-prasarana ekonomi dapat dipastikan
kian menempa eskalasi penggunaan lahan ke luar sektor pertanian dalam arti luas.
Untuk memenuhi kebutuhan akan lahan pertanian, maka perhatian warga pasti akan
tertuju pada bentang sisa agroekosistem atau bahkan bentang ekosistem lindung
dalam rangka mendapatkan persil lahan bukaan baru. Memang pada persil lahan
garapan yang sudah ada, justru peningkatan produksi bisa dilakukan dengan strategi
intensifikasi. Artinya, jumlah hasil panen per-ha dilipatgandakan lewat manajemen
pemakaian input produksi unggul tanpa harus membuka lahan garapan baru.

53
Gambar 13.1 mencontohkan kondisi pemicu kenaikan harga cabai merah, sehingga Gambar
13.1 menunjukkan respons emosional petani. Guna menyederhanakan ilustrasi maka diasumsikan
Q= 1 ton/ha, agar Q pada Gambar 13.1 = L pada Gambar 13.1. Agar asumsi terkesan realistis,
maka dipilih cabe merah tanaman peluangnya.

BAB 13 | Menangkal Kekeliruan Rancangan Makro Wilayah 291


Akan tetapi kemajuan ekonomi harus pula ditunjang lewat perkembangan
satuan usaha agribisnis dan agroindustri. Hal terakhir ini tentunya bersifat investasi
besar, yang perlu kepastian adanya lahan pertanaman untuk kegiatan produksi
primer. Kegiatan pabrik perlu ada kepastian komoditi pertanian sebagai bahan baku
agroindustri. Untuk maksud ini pula maka sebagian persil lahan garapan milik
petani suka terjual kepada pengusaha agroindustri dengan kompensasi harga sedikit
di atas harga pasar perdesaan. Dalam keadaan demikian ini, godaan melakukan
ekstensifikasi melalui perambahan ekosistem lindung jadi terpicu untuk dilakukan
sebagian petani petualang.
Perhatian pihak pembina petani amat berharga, utamanya jika terkait dengan
pertanaman komoditi yang berpeluang memberikan keuntungan besar dan memang
dapat diproduksi warga tani pada suatu wilayah berkesesuaian. Ketika para petani
sedang terpikat untuk merebut peluang bisnis demikian, tindakan mereka perlu
diberi sandaran rasional agar tidak terbuai harapan emosional semata ataupun
sekadar mengikuti kecenderungan di tempat lain. Jangan sampai pengaruh over
supply terjadi dan menjatuhkan harga komoditi di pasaran ketika waktu panen tiba.
Lalu di sinilah peran bimbingan manajemen risiko untuk produksi hasil
tanaman peluang itu. Para petani harus mengerti pola dan teknik pertanaman
Agribisnis Multi-Komoditi pro-Ekosistem (AMKE), baik yang bersifat pengaturan
tanaman AMKE pola horizontal dengan waktu panen hampir bersamaan atau secara
vertikal dengan waktu panen beda, waktu berurutan. Teknik pertanian Agrotrisula
mengusahakan pertanaman “sayur cepat, ikan cepat, ternak cepat” juga termasuk
berpola AMKE. Ketiga gugus pertanaman dirancang saling topang secara tekno-
biofisiologis dan tekno-ekonomis, dan jadi sumber uang tunai.
Perhatian pihak pembina hendaknya terpatrikan untuk kaum tani di suatu
desa ataupun suatu kawasan homogen melalui kegiatan uji coba dan adaptasi
pertanaman berupa petak percontohan serba inovatif. Di situ penularan daya
manajemen dan gaya wirausaha harus dimulai, sehingga cara berusaha dengan
wawasan agribisnis komersial dapat berangsur dipahami para petani. Ada beberapa
sasaran perhatian pihak pembinan sebagai patok rerambu dan faktor pengendali
risiko teknis dan ekonomis, yaitu dirumuskan sebagai Patok lima V bagi kuantitas,
kualitas, availabilitas hasil dari satuan usaha agribisnis serta satuan agroindustri
sebagaimana dirincikan berikut ini:
(1) Volume aman produksi (peran manajerial pelaku ‘agribisnis’ dan pihak pemda
sudah dibahas dalam sub-Bab 13.5a dan b)
(2) Verifikasi QQA komoditi propasar (berapa pun qualitas, quantitas, avilibilitas
perlu disortasi dan diberi perlakuan sesuai kehendak pasar dan konsumen)

292 Ekonomi Pertanian


(3) Variasi produksi prapanen dan pascapanen (hasil sortasi QQA diatur arah
pemasarannya disesuaikan dengan budaya penduduk sasaran)
(4) Variasi pengawet propasar (terkait ketahanan bahan atau kadaluarsa produk
maka pengawet kimiawi diminimalkan, zat herbal didayagunakan )
(5) Verifikasi QQA produk olahan propasar (segmentasi pasar butuh QQA beda,
siasat diversifikasi pola kemasan akan sangat berguna)

Jadi upaya lima V harus ada sebagai pengendali risiko produksi komoditi yang
dihasilkan petani untuk kemudian diolah oleh pabrik pengolahan milik UKM skala
kecil. Ini bisa juga berupa satuan agroindustri rumahan berskala mikro (dengan
karyawan sekitar 3 s.d. 5 orang) berkedudukan di desa atau ibu kota kecamatan
di suatu dearah. Persoalan tekno-ekonomi jalur transisi untuk berubah dari
komoditi asalan jadi komoditi berkualifikasi QQA (qualitas-quantitas-avilibilitas atau
ketersedian) yang memenuhi ketentuan agroindustri tentu juga tetap tidak dengan
sendirinya terjadi. Oleh sebab itu, perlu semacam pengarah dan pengendali serta
pengawasan produk olahan di tingkat kecamatan.
Dapat dibayangkan betapa banyak peluang kerja yang tidak lagi berkait langsung
dengan pertanian tradisional dan tidak disukai kaum muda daerah, melainkan akan
bermunculan lapangan pekerjaan baru yang lebih cocok untuk SDM berpendidikan,
tapi adanya di wilayah kecamatan. Justru Langkah-langkah sistematik dan sistemik
seperti ini tidak boleh terlambat direalisasikan, karena generasi baru yang terbilang
BONUS DEMOGRAFI itu sudah semakin banyak. Ditingkat kabupaten mereka
tidak sedikit yang mengikuti pendidikan tinggi. Walaupun dengan mutu yang agak
rendah, tapi kehadiran mereka harus dihargai.
Sampai pada titik bahasan ini harus disadari bahwa sumber risiko agribisnis,
tidak hanya butuh tepat manajemen dan cermat wirausaha terhadap sasaran tekno-
fisiologis dan tekno-ekonomis kegiatan usaha, tetapi juga terkait dengan persoalan
sosio-antropologis yang menuntut sentuhan bijak agar tidak jadi sumber risiko
kerugian satuan agribisnis meskipun sudah nontradisional. Efek positif dari daya
dan gaya kendali persoalan teknis, eknomis dan sosiologis demikian tentu banyak
sekali, asalkan memang diupayakan melalui koordinasi lintas sektor yang terencana
dan terjadwal penuh kesungguhan. Ini harus sudah terjadi sejak tingkat kecamatan,
karena dirancang dengan tepat oleh kabupaten serta diarahkan dengan bijak oleh
pihak terkait di tingkat provinsi sebagaimana petunjuk pelaksanaan yang datang
dari kementerian yang terkait.
Bukan hanya kepada unsur dinas dan badan dari pemda kabupaten atau kota,
justru atas arahan provinsi akan sangat berguna jika aspirasi teknis yang dimau

BAB 13 | Menangkal Kekeliruan Rancangan Makro Wilayah 293


oleh pihak perusahaan UMKM dan mitra usaha berskala menengah (USM) dan
skala besar (USB) telah diberi perhatian dengan sepenuhnya. Upaya terkait dengan
keharusan yang demikian ini sangat beralasan, karena apa pun bentuk produk
olahan agroindustri yang dihasilkan di suatu kabupaten hendaknya menjadi
bagian taktis-strategis untuk menghidupkan perniagaan komoditi dan produk yang
menguntungkan anak bangsa di daerah yang manapun. Hal ini sangat penting guna
menghidupkan perekonomian domestik berdimensi NIAGA ANTAR-PULAU dan
bahkan nantinya dapat menembus pasar ekspor mengisi kecukupan produk 3P
(pangan, pakaian, papan) selaras harapan internasional. Semangat kerja sama saling
menguntungkan para pihak adalah esensi kehidupan bermartabat di atas landasan
perdamaian sejati.

Daftar Pustaka
Arifin, S., R.A. Djaafara., & Aida S. Budiman. 2008. Masyarakat Ekonomi ASEAN
2015 (ed). Jakarta: PT. Elex Media Komputindo, Gramedia.
Murdiyarso, D. 2003. Sepuluh Tahun Perjalanan Negosiasi Konvensi Perubahan Iklim.
Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

294 Ekonomi Pertanian


BAB

14
MENANGKAL KEKELIRUAN SIASAT
SATUAN MIKRO USAHA
Catatan untuk penulis: apakah benar
ini covid-londo? atau Covid-london?

14.1 Kekeliruan ‘Niaga Terbius Covid-londo’ (NTC)


14.2 Kekeliruan ‘Niaga Terpicu Imingan-transaksi’ (NTI)
14.3 Kekeliruan ‘Niaga Tau-sama-tau Monopolistik’ (NTM)
14.4 Kekeliruan ‘Niaga Tersalib Orang-dalam’ (NTO)
14.5 Kekeliruan ‘Niaga Terganggu Setor-tunai’ (NTS)

Ekonomi Pertanian: Menangkal Kekeliruan Siasat Satuan Mikro


Usaha
Sub-Bab 13.1 telah mengulas konsepsi perencanaan berpola THIS guna merancang
pembangunan pertanian berlingkup wilayah. Tentunya di dalam ruang setiap wilayah
pembangunan akan hadir berbagai kegiatan mikro usaha meliputi satuan usaha
agribisnis, satuan pabrik agroindustri, satuan jasa niaga pengumpul, perantara,
distributor, dan peniaga kebutuhan konsumen. Bukan hanya KENDALA dan
KESULITAN mengatasi persoalan bisnis, setiap satuan usaha (agribisnis) bisa
terjebak dalam KEKELIRUAN dalam merespons suatu tantangan pasar yang di
dunia nyata memang penuh dengan trik dan tipu daya persaingan pasar menelikung
pelaku usaha yang abai.

295
Tentang kendala di tingkat mikro usaha tentu erat hubungannya dengan
keterbatasan pemakaian input produksi dan juga prasarana niaga pemasaran. Terkait
soal kesulitan yang amat sering dihadapi pelaku mikro usaha, biasanya sangat terkait
dengan tekanan ekonomi atau shock ekonomi yang datang dari luar sistem usaha
(misal: perubahan kebutuhan bahan baku agroindustri) maupun dari luar sistem
ekonomi (misal: goncangan perang).
Di dalam Bab 14 ini beberapa contoh jebakan persaingan pasar yang bisa
membawa konsekuensi kerugian akan dibahas secara ringkas. Bahasan ini penting
karena ini terkait dengan kekeliruan manajemen, dan gejala itu tidak jarang berlatar
belakang kealpaan oknum bahkan terkadang penghianatan.
1) Niaga Terbius Covid-londo (NTC): a) abai terhadap persaingan, b) abai terhadap
perangkap pinjaman, c) abai terhadap produk substitusi.
2) Niaga Terikat Imingan-transaksi (NTI): a) godaan bonus kepercayaan, b) godaan
pelanggan kekeluargaan, c) godaan pembonceng transaksi.
3) Niaga TST-Monopolistik (NTM): a) Pelaku solusi win-winan; b) Pelaku siasat
wajib- kontrak; c) Pelaku selang waktu-bayar.
4) Niaga Tersalib Orang-dalam (NTO): a) arti penting tata pelembagaan, b) arti
penting terang pembukuan, c) arti penting tupoksi periodik.
5) Niaga Terhambat Setor-tunai (NTS): a) akibat dipakai sementara, b) akibat
digarong sesama kawan, c) akibat dibelok guna sebagian.

Di tengah kancah transaksi bisnis oleh unsur pelaku yang diberi amanah, tentu
akan selalu ada bentuk penghianatan orang dalam. Di sini diulas tiga bentuknya,
yaitu: penghianatan tak sengaja, diulas guna menyiasati NTC dan NTI; penghianatan
sengaja, diulas terkait cara mengebiri NTM dan NTO; penghianatan terpaksa, yang
dibahas terkait NTS. Padahal filosofi bisnis yang berbuah positif dan tumbuh kuat
selalu dilandasi sikap jujur dan perilaku kerja keras.

14.1 Niaga Terbius Covid-londo (NTC)


Tema pengendalian isu makro wilayah lewat pendekatan THIS (13.1) tidak akan
bisa totalitas efektif, karena di tingkat mikro usaha akan banyak ancaman, jebakan,
dan shock-ekonomi dan semua ini dadakan tapi berpengaruh dahsyat. Ketika
kegiatan satuan usaha agribisnis harus berhadapan dengan ancaman yang bersifat
dadakan atau di luar prakira antisipasi, maka justru kepiawaian manajemen satuan
perusahaan yang harus tepat meresponsnya.
Baiklah diperhatikan kembali jangkauan bijak strategi perencanaan THIS dan
pahami mengapa ancaman di luar praduga alias dadakan tidak serta-merta sudah
terbentengi. Terkecuali, ancaman dari arah manapun hanya akan mudah ditelusuri

296 Ekonomi Pertanian


faktor penyebab dan variabel dominannya karena pola THIS telah menyediakan
prasarana untuk para manajer membaca situasi. Sedikit berbeda dari bahasan sub-
Bab 13.1. di muka, pada catatan kaki berikut ada tema THIS menurut perspektif
pembangunan pertanian berwawasan lingkungan.49
Seterusnya bahasan teori mikro usaha diberikan dalam sub-Bab 14.1 ini
dibahas satu pokok permasalahan bisnis disebut dalam teori ekonomi dengan
istilah “The Dutch Desease” dan diterjemahkan dalam buku ini sebagai NTC atau
niaga terbius covid-londo. Konsep teori tentang masalah NTC ini dikenal dalam
hasanah kepustakaan di sekitar awal 1970-an. Walaupun konteks bahasannya
tentang “kutukan kekayaan SDA”, namun inti masalahnya juga berlaku untuk kajian
agribisnis terkait tiga isu: a) abai terhadap persaingan, b) abai terhadap perangkap
utangan (pinjaman bersyarat), dan c) abai terhadap produk substitusi.

1. Petaka Bisnis Akibat Abai pada Tekstur Ekonomi


Bahaya mengintai bisnis yang dijalankan dengan manajemen mata kuda delman.
Jangankan perusahaan berskala mikro kecil atau skala menengah justru yang
berskala besar dan berbasis suatu SDA andalan negeri (karena khas dan berlimpah)
bisa saja membuat negeri tiba-tiba bangkrut. Ini bisa terjadi jika kecenderungan
mengandalkan sumbangsih satu jenis SDA pada puncaknya melemahkan daya saing
harga-harga komoditi lain, lalu permintaan pasar terhadap aneka produk di sektor
lainnya berubah drastis dan kehilangan pangsa pasar. Pada mulanya ada kegiatan
produksi besar-besaran berbasis kelimpahan SDA, hasilnya dinikmati warga juga
diminati banyak negeri sahabat. Negeri dan produsen jadi sangat kaya karena mudah
mendapatkan revenue uang besar tapi kemudian muncul gaya hidup santai, terlalu
yakin akan terus sejahtera.

49
Tematik: “Upaya menjaga keseimbangan fungsi hidro-orologis pada luas bentangan
ekosistem (hutan lindung dan hutan konservasi) terhadap agroekosistem (pertanaman tahunan
berkanopi lebat, pertanaman semusim berkanopi ringan), demi mengurangi risiko bencana
banjir dan erosi longsor di Musim Hujan (MH)dan KARHUTLA saat Musim Kemarau (MK)”.
Holistik: “Upaya menjamin aspek sistem, faktor, variabel lingkungan alami telah masuk
dalam pertimbangan analitik dan aritmatik, sehingga dampak perubahan luas kawasan dan risiko
bencana dapat diprakira secara ilmiah agar lebih siap dimitigasi. Hal ini perlu perangkat GIS dan
hasil pantau kamera drone penopang analisis spesifik lokasi.
Integrasi: “Upaya menjaga keterpaduan antara semua tindak pendayagunaan SDA (Sumber
Daya Alami) dan SDB (Sumber Daya Buatan) serta SDM (Sumber Daya Manusiawi) dan SDI
(Sumber Daya Institusional) agar terpacu sinergi dalam rangka maksimalkan manfaat, minimal
dampak dan risiko dengan selalu menjaga efisiensi biaya yang bisa tersedia”.
Sistemik: “Upaya swabangkit yang terpicu oleh apiknya rancang bangun kegiatan pelestarian
manfaat dan fungsi setiap kawasan untuk sebesar-besar kemakmuran warga atau rakyat jelata
di sekitar lokasi sasaran investasi pembangunan dan pengembangan agribisnis dan kegiatan
agroindustri serta kesibukan perniagaan pada umumnya.

BAB 14 | Menangkal Kekeliruan Siasat Satuan Mikro Usaha 297


Dilema kelimpahan finansial seperti itu telah membuat banyak bangsa
mengalami penyesalan (Belanda, 1960–1970; Canada, 1980, Indonesia, 1990;
Veneuzela, 2015). Seperti ada Covid-Londo (Dutch Desease) yang amat berbisa
dan sembunyi di balik nikmat ekonomi berkelimpahan SDA khas. Soalnya ketika
SDA mineral yang jadi andalan, maka harga satuan komoditi dan aneka produk
turunannya pasti akan naik. Harga produk-produk lain ikut merangkak naik, dan
di situlah ada naluri pasar dan naluri konsumen untuk mencari alternatif yang
lebih mudah. Kalau produsen dan peniaga aneka produk lain yang murah itu ada
di negeri lain, maka proses impor mulai ikut mengganggu, neraca perdagangan pun
terganggu dan kurs mata uang kian melemah.
Mulailah kekuatan aneka produksi dalam negeri terimbas virus Covid-Londo
mematikan itu. Awalnya persoalan lebih bernuansa makro ekonomi, tapi kemudian
menggerogoti satuan-satuan mikro usaha atau pelaku mikro ekonomi. Uang datang
mudah dan berlimpah ruah tanpa harus kerja keras dan perlu tergopoh mensyukuri
berkah, kemudian sikap abai dan lengah produktif terjadi meluas di kalangan warga.
Akan tetapi di sini ada pelajaran berharga:
(1) Kelimpahan ekonomi dari SDA (mineral) andalan suatu sektor cepat menguatkan
nilai rupiah serta memicu inflasi pada sektor-sektor lain, sementara warga usia
produktif terlanjur santai sehingga menjadikan lamban kemajuan produksinya,
lalu jika suplai lemah dibanding permintaan maka laju inflasi jadi terpicu-pacu.
(2) Kelimpahan ekonomi dari SDA (nonmineral) sawit sang primadona negeri
ketika CPO-nya bisa dibuat biosolar dan bioetanol, maka permintaan pasar
pun melesat tinggi. Harga produk turunan CPO ikut melambung dibarengi
euforia aji mumpung para pelaku usahanya lalu menggerogoti perekonomian
pada umumnya.

2. Petaka Bisnis Karena Abai terhadap Perangkap ‘Utangan’


Keadaan neraca keuangan negeri yang mulai terganggu diikuti kesulitan arus
tunai dialami oleh para pelaku usaha, maka jebakan utang luar negeri pun akan
mulai muncul. Logika hutang pasti terbayar oleh kelimpahan potensi SDA
(mineral ataupun nonmineral) akan dijadikan argumentasi diplomatik yang akan
memudahkan lembaga negeri dan pihak swasta menerima utangan. Ciri kehidupan
santai mudah diperburuk perilaku foya-foya dalam penggunaan dana utangan. Lalu
apa jadinya jika kemudian di luar perkiraan terjadi suatu keadaan ekonomi yang
eksterim tidak normal? Tidak heran jika hal itu akan memicu penjadwalan ulang
urusan jatuh tempo pembayaran hutang, baik yang berupa hutang negara mau pun
hutang perusahaan swasta.
Situasi kondisi seperti itu pasti berpengaruh negatif hingga ke tingkat ekonomi

298 Ekonomi Pertanian


kerakyatan, tidak terkecuali kaum tani perdesaan. Apalagi jika sikon itu memang
terkait dengan adanya gejala perekonomian yang terserang Covid-Londo. Suatu
keadaan yang diibaratkan “sudah terjatuh tertimpa tangga pula” akan diwaspadai
oleh negara pemberi hutang (kreditor). Jika terdeteksi tanda keadaan akan semakin
parah, maka di situlah hegemoni pihak kreditor akan menampakkan taring penekan
yang bisa mengancam kedaulatan negara penerima hutang. Akan mulai terjadi
perubahan struktur kekuatan pelaku bisnis skala besar dan skala menengah,
serta tekstur rantai pasok bagi barang-barang kebutuhan hidup penduduk
selaku konsumen produk yang bukan khas kinerja produktif warga umumnya.
Biasanya dalam keadaan seperti itu pula akan mulai dimainkan diplomasi politik
penuh tekanan dari pihak kreditor yakni negeri yang pada awalnya berbudi baik
menawarkan dana hutangan, lalu dalam situasi dan keadaan ini “sebutan jebakan
hutang” mulai kelihatan.
Situasi “makan buah si malakama” akan tampil amat kentara andai secara
kebetulan dinamika perekonomian semakin diperburuk oleh kericuhan politik
ekonomi di dalam negeri. Demi kepulihan dari kemerosotan ekonomi maka keadaan
cenderung berlanjut dengan pergantian rezim pemerintahan, namun terkungkung
langkah kebijakannya di bawah intimidasi kepentingan negeri kreditor. Dalam
keadaan ekonomi yang terseok-seok maka di atas kertas daya pulih akan sangat
tergantung pada tiga unsur kehadiran ratu adil:
(1) Rancangan makro wilayah (THIS) yang sudah ada akan sangat berguna.
(2) Rancangan mikro usaha agribisnis kerakyatan bisa jadi kekuatan andalan.
(3) Rencana pemulihan perlu SDM Pemda yang konsisten dan berdedikasi.

3. Petaka Bisnis Karena Abai terhadap Produk Substitusi


Beraneka jenis komoditi primer dan produk olahan yang dibutuhkan warga
konsumen bukan hanya memerlukan luasan tanah tempat mengusahakan atau lokasi
penggaliannya, sehingga perlu sikap bijak untuk menghasilkannya. Dipastikan juga
perlu bijak ekologis dalam pendayagunaannya, dan arif bijaksana dalam urusan hal
transaksi perniagaannya. Dalam konteks transaksi bisnis ini, baik pihak produsen
maupun pihak konsumen harus cermat membaca keadaan dan sinyal pasar agar
tidak terjadi efek dan dampak perubahan pasar yang terkesan dadakan dan serba
merepotkan.
Pihak produsen harus cekatan menyediakan produk pengganti dan pihak
konsumen harus siap beradaptasi memakai produk pengganti. Produk substitusi
atau produk pengganti bisa tampil aneka bentuk kejadian, yaitu:
(1) Produk impor yang dirasakan warga semakin mahal harganya, sehingga patut

BAB 14 | Menangkal Kekeliruan Siasat Satuan Mikro Usaha 299


memicu penggunaan produk domestik penggantinya.
(2) Produk kebutuhan pokok yang mulai dirasakan langka jumlah dibanding volume
kebutuhan warga patut dicarikan produk pengganti.
(3) Produk obat-obatan kimiawi makin dihindari efek sampinya, maka obat-obatan
herbal perlu dipacu jadi berperan produk pengganti.
(4) Produk pelengkap sebagai wadah plastik amat bahaya buangannya pada habitat
satwa, perlu produk pengganti bisa diuraikan bakteri.
(5) Produk berbahan dasar kayu-tanaman tetap perlu hemat pemakaiannya demi
ekosistem lestari, ini perlu bahan dan produk pengganti.

Dapat terlihat jelas dari lima butir alasan yang tepat dan baik bagi suatu
komunitas warga untuk mengusahakan produksi produk pengganti dan
menyosialisasikan serta mengiklankan sebagai produk niaga yang berpotensi besar.
Dikatakan besar karena sesungguhnya sifat produk substitusi bisa menjadi kunci
pembuka banyak pintu peluang pasar. Di zaman teknologi inforkom serba canggih
kini, apa pun yang secara ilmiah bisa menyehatkan diri dan lingkungan akan mudah
mengundang simpati orang dari lintas daerah, lintas wilayah, lintas negeri agar
siap mencoba jadi konsumen. Sungguh banyak peluang bisa dijangkau, sebab di
balik potensi produk pengganti ada ‘vaksin C-Londo” bisa didayagunakan, dan ini
sekaligus bisa menutupi kelemahan ekonomi negeri. Hanya produk pengganti pada
poin 1 yang tidak terkait produktivitas petani dan kinerja agribisnis. Tentu saja
semangat membangun bangsa sejahtera harus diutamakan, bukan gencar berpolitik
ekonomi lalu bertindak sebagai ‘pemburu rente’ guna mendapatkan kontrak proyek
lalu dijual lagi demi porsi nilai rentenya.

14.2 Niaga Terikat Imingan-tansaksi (NTI)


Inti kegiatan setiap satuan perusahaan bisnis dilihat dari teori mikro usaha tidak
lain adalah cipta ‘gufaat’ (guna-manfaat = utility) yang bernilai komersial dan
juga bernilai sosial atau semikomersial. Capaian nilai komersial punya daya tarik
bagi kebanyakan orang untuk diperebutkan ataupun sekadar ikut menikmati
seberapa rupiah saja yang mungkin dan wajar. Ketika terlihat ada peluang untuk
berbuat produktif dan menikmati hasilnya, maka orang yang melihat akan berupaya
meraihnya, secara transparan maupun tersembunyi diam-diam. Proses yang
tersembunyi bisa jadi sah-sah saja, tetapi ada saatnya akan memicu kekeliruan
manajemen satuan usaha. Jika satuan niaga berupa UMKM agribisnis kemitraan
(BUKD = Badan Usaha Kemitraan di Desa, yang bisa berkiprah sebagai tangan
operasional bisnis BUMDes) maka kekeliruan niaga akan memicu loyalitas anggota
jadi luntur lalu satuan usaha lemah.

300 Ekonomi Pertanian


Banyak bentuk kekeliruan niaga yang pernah terjadi dan memicu olok-olok
warga masyarakat; contohnya “ketua untung duluan”, “koperasi”, dan lainnya.
Olok-olok akan memacu pelecehan oleh pihak publik sehingga kesatuan usaha untuk
kepentingan bersama akan ditinggalkan para anggota, dan misi luhur yang semula
dibangun untuk mencapai suatu visi kemajuan usaha malah lumpuh berantakan.
Mulanya kekeliruan niaga bukanlah kesengajaan yang sifatnya pelanggaran, tapi
suatu proses dan perilaku niaga yang wajar bisa jadi negatif ketika muncul perubahan
besar dalam dinamika makro-ekonomi dan berpengaruh pada kegiatan mikro usaha
umumnya.
Adanya dinamika perekonomian nasional dan provinsi yang tiba-tiba
memberikan tekanan terhadap pelaku usaha kemitraan (bukan UMKM pribadi
swasta) tentu akan direspons oleh tim manajemen agar tidak berpengaruh negatif
terhadap kinerja UMKM kemitraan. Respons manajerial pada tingkat mikro
usaha tentu akan mengungkap tabir rahasia yang sempat menyelubungi perilaku
oknum pelaksana kemitraan yang tersandung masalah, padahal sama sekali tidak
bermasalah ketika keadaan normal perekonomian. Khususnya di dalam bab ini ada
rahasia kekeliruan niaga yang sempat diperankan oleh oknum pengurus. Antara
lain dianggap perlu diberikan perhatian pada tiga isu, yaitu: a) godaan pembonceng
transaksi, b) godaan pelanggan kekeluargaan, dan c) godaan bonus kepercayaan.
Ketiganya tampak sebagai gejala biasa yang tidak bermasalah sepanjang sumbangsih
kerja memang telah diberikan oleh sosok pribadi demi organisasi kemitraan, tetapi
dianjurkan dihindari.

1. Godaan Jadi Pembonceng Transaksi Gratisan (Free Riders)


Di negeri nusantara yang agraris ini proses transaksi komoditi pertanian tentunya
bermula dari tangan petani produsen di wilayah perdesaan, hingga akhirnya
sampai pada transaksi niaga komoditi primer ataupun produk olahan agroindustri
di tingkat konsumen akhir yang umumnya berada di perkotaan. Banyak transaksi
spontan berlangsung antara dua titik produsen perdesan dan konsumen perkotaan
itu, terkecuali jika transaksi pemasaran yang telah berpola RANTAI PASOK (rantai
transaksi yang terstruktur berbasis kontrak sejak dari satuan pelaku produksi di
hulu hingga pelaku distributor menjelang pengecer) sebagaimana ada pada sistem
manajemen agribisnis maju.
Jika bahasan selanjutnya ini dibatasi pada lalu lintas transaksi pemasaran yang
tidak terstruktur, maka dapat dibayangkan begitu banyak mata rantai pemasaran
yang aktif. Ini melibatkan pelaku yang secara totalitas berjumlah ribuan orang untuk
aneka jenis komoditi yang ada di seluruh pelosok nusantara. Dikarenakan sifatnya
yang tidak terstruktur maka proses transaksi bisa mudah diintervensi oleh siapa

BAB 14 | Menangkal Kekeliruan Siasat Satuan Mikro Usaha 301


yang terlibat, termasuk orang jahat dari unsur preman dan pengangguran. Dari
kelompok terakhir ini ada yang jadi pembonceng gratisan, karena keterlibatan mereka
hampir tanpa energi tapi meminta porsi margin yang sama sekali tidak wajar. Dari
pengamatan lapangan ada beberapa contoh bisa diberikan di sini sebagai berikut:
(a) Premanisme di gerbang pusat pasar tradisional: setiap hasil pertanian yang akan
masuk pasar harus dijual kepada si ‘preman’ dengan harga diskon (10%–20%)
untuk kemudian dijualnya kepada pedagang eceran sekaligus distributor di
dalam pasar.
(b) Premanisme angkutan antara distributor dalam pasar terhadap pembeli partai
besar yang harus terima barang di parkiran, dan semua harus mematuhi ‘SOP’
yang di pihak penjaga parkiran sehingga sejumlah nilai margin transaksi bisa
didapat oleh ‘penguasa’ parkiran untuk kepentingan tertib pasar.
(c) Pelaku niaga yang harus mengangkut hasil pertanian dari pedalaman ke pasar
di perkotaan tidak aman karena ada titik-titik perhentian di rute perjalanan
yang dimanfaatkan oleh pelaku premanisme uang ‘keamanan’, atau harus siap
uang sewa ‘petugas jaga’ sopir agar aman dan lancar.

Perhatikan bahwa sejumlah nilai margin pemasaran harus dibayarkan oleh


pelaku niaga jual-beli di kota tujuan. Nilai tersebut pasti menekan harga yang
diterima petani produsen. Nilai margin membengkak untuk petugas yang secara
tidak sah (ilegal) memerankan diri sebagai pembonceng gratisan dalam beberapa
proses transaksi sebelum barang sampai ke konsumen akhir.

2. Godaan Praktik Transaksi Sempalan (Insider Tradings)


Satuan usaha UMKM agribisnis kemitraan tentu sibuk dengan kegiatan pemasaran
dan transaksi jual-beli yang semakin lazim dilakukan oleh petugas pemasaran.
Petugas semakin lama makin menguasai medan dan mengetahui seluk-beluk
peluang pemasaran yang mereka jalankan. Pemahaman petugas UMKM tentang
strategi dan siasat pemasaran yang menguntungkan pasti berlipat ganda sejalan
dengan perputaran waktu.
Ketika sasaran pasar ditandai volume suplai jauh lebih besar dari pada kekuatan
permintaan pasar, maka proses transaksi jual-beli akan dijalankan petugas satuan
usaha tanpa adanya godaan dan niat melakukan semacam ambil kesempatan. Jika
terjadi keadaan sebaliknya di mana kekuatan permintaan pasar melebihi kapasitas
suplai pasar, ketika itulah petugas pemasaran yang biasanya mewakili UMKM
agribisnis kemitraannya segera menyadari ada peluang bisnis yang menggoda dan
bisa dia manfaatkan.

302 Ekonomi Pertanian


Tentu saja surutnya suplai komoditi (bahan baku) di suatu periode waktu
akan mengganggu kinerja satuan agroindustri. Maka boleh jadi ada transaksi
sempalan yang memang dititipkan pihak pengusaha agroindustri untuk
diboncengkan pada kinerja pemasaran pihak UMKM agribisnis kemitraan. Demi
alasan menjaga kedekatan hubungan bisnis UMKM kemitraan dan mitra, maka
pengalaman mengisi celah kekurangan suplai di bawah normal itu berpotensi jadi
semacam apologia transaksi bisnis sempalan yang sah-sah saja dilakukan. Raihan
laba ekstra melebihi laba normal bisa saja berlanjut dilakukan. Transaksi kembar
jadi kebiasaan baru, berasal dari suplai yang sah seperti normalnya dan juga yang
setengah sah, sebab hanya terang di mata petugas mitra niaga dan petugas UMKM
namun tersembunyi terhadap lembaga UMKM. Dalam perkembangan selanjutnya
petugas UMKM-kemitraan tak-mustahil akan berlepas diri dari statusnya sebagai
orang kepercayaan lembaga. Hal demikian ini menghianati UMKM-kemitraan yang
sejak awal jadi pemberi amanah kepada pribadi petugas. Tampak jelas pola kegiatan
transaksi sempalan itu jadi dilema rekrutmen
SDM selama kiprah kegiatan satuan mikro usaha pertanian. Satuan agribisnis
tidak mudah memberikan gaji besar kepada petugas manajerial. Dunia usaha
pertanian semaju apa pun tetap akan tergantung pada perilaku alam yang tidak
mudah diantisipasi. Kepastian harga komoditi dan produk turunannya tetap
mengandung risiko fluktuasi volume niaga dan transaksi jual-beli.

3. Godaan Meraup Perolehan Menggiurkan (Rent Seekers)


Pemberian bonus pada orang kepercayaan bisa saja memicu pribadi SDM penerima
jadi meningkat kinerjanya, tetapi bisa juga sebaliknya terpicu nafsunya untuk berulah
seperti kacang lupa dengan kulitnya. Logikanya setiap penerima bonus tentu pribadi
yang memang berprestasi dalam bekerja, tapi bonus memicu sasaran belanja baru,
yang sebelumnya tidak dikenal orang bersangkutan. Kenikmatan yang terasa dari
belanjaan baru bisa memacu diri membuat prestasi ulang, ini juga yang diinginkan
unit usaha. Kecenderungan yang demikian bisa menjadi perangsang bagi timbulnya
rencana baru untuk jadi pemburu rente melalui kerja sama dengan petugas lain di
satuan UMKM- kemitraan lain yang punya tema perjuangan bisnis sama. Disadari
atau tidak, adanya kecenderungan ini bisa menggeser loyalitas petugas tersebut di
awal berpaling dari organisasi niaga yang awalnya membesarkan dia.
Bentuk terendah pemburu rente adalah “CALO”, bentuk yang terhormat adalah
“Pedagang Perantara”. Baik sang calo maupun pedagang perantara bisa semata-
mata perorangan, tapi juga bisa lembaga satuan usaha. Bentuk terakhir ini mudah
diperanaktifkan di zaman serba inforkom atau serba digital sekarang ini. Bentuk
calo tadi tidak banyak menggunakan modal kerja justru lebih mengandalkan intuisi

BAB 14 | Menangkal Kekeliruan Siasat Satuan Mikro Usaha 303


dan komunikasi. Sedangkan yang melembaga tentu memerlukan modal investasi
dan modal kerja, juga strategi & siasat manajemen pemasaran yang kuat. Karenanya
yang berkelas calo tidak akan banyak merugikan petani, kecuali jika sang calo suka
bergaya preman.
Justru sang pemburu rente yang melembaga akan lebih berkemampuan untuk
meraih keuntungan besar, tapi dengan cara yang mungkin positif ataupun cara
negatif. Keuntungan bisa besar dengan cara positif, jika rente ekonomi yang hendak
diraih bernilai kecil tetapi melayani transaksi jual-beli cukup banyak. Jadi hasil kali
nilai rente kecil terhadap jumlah transaksi yang banyak tentu bisa menghasilkan
keuntungan besar bagi lembaga. Sebaliknya strategi dan siasat yang negatif akan
memperoleh keuntungan lebih besar lewat perilaku tidak jujur dalam berbisnis pasti
cepat atau lambat ditinggalkan oleh kekuatan pasar yang dilayani. Persoalan yang
jadi perhatian disini adalah tampilan lembaga perantara tidak jujur. Misalnya, unit
pelelangan hasil karet yang dipercaya anggota KUD memanipulasi kadar karet kering
(K3) bantalan slab lalu harga dipermurah. Adapula upaya lembaga perwakilan warga
justru membujuk petani menjual persil tanah yang lebih subur tapi harga rata-rata.

14.3 Niaga Tau-sama-tau Monopolistik (NTM)


Niaga komoditi agribisnis berbasis pertanaman sejatinya selalu punya kelemahan,
karena proses produksinya masih tetap bergantung pada kebaikan alam. Proses
fotosintesis, respirasi dan transpirasi tetap tergantung pada keadaan cuaca dan
atmosfir (Gambar Tematik #14.1). Jika nyatanya cuaca kering dan atmosfir
diselubungi awan maka fotosintesis terganggu, respirasi terhambat, transpirasi
berlebihan; tanaman segera layu sehingga di lapangan yang jauh dari perairan mudah
terjadi gagal panen. Perilaku alam ini tidak akan dapat diantisipasi sepenuhnya,
terutama jika dikaitkan dengan waktu tanam yang paling tepat sasaran pemasaran
hasil suatu jenis tanaman musiman pada wilayah agroekosistem berciri lahan baik
sekalipun. Maka ketidakpastian ini adalah bagian yang ditakuti satuan lembaga
agroindustri di posisi hilir.

304 Ekonomi Pertanian


Gambar 14.1 Proses Fisiologis Alami pada Tumbuh-tumbuhan
Sumber: Diadopsi dan dimodifikasi dari buku Human Environments and Natural System 2nd halaman 13; (Greenwood, NJ &
JM Edwards:Duxbury Press, Massachusetts, 1979)

Di pihak lain, banyak upaya untuk membangun kekuatan kaum tani selaku
pihak yang lemah, di antaranya melalui program kelembagaan Koperasi Unit Desa
(KUD) di tahun 1990-an. Tentu banyak hikmah bisa didapat dari kegagalan KUD,
tapi tak kalah jumlahnya pelajaran dari KUD sukses. Sedikitnya satu pelajaran
penting terpetik dari KUD berhasil adalah simpulan bahwa dengan dedikasi setulus
hati sepenuh jiwa, program pemberdayaan kaum tani bisa membuat mereka dan
perdesaan jadi lebih maju dan sejahtera. Pernyataan ini mengingatkan para pihak
agar tidak ragu membangun interaksi satuan kelembagaan agribisnis (seolah jasa-
bisnis) terhadap perusahaan agroindustri yang butuh kepastian bahan baku sekaligus
bisa dijanjikan (sebagai jasa bisnis). Namun demikian dalam setiap proses interaksi
dan transaksi oleh perwakilan dua lembaga tetap harus diwaspadai gejala relasi
dua monopolis jasa bisnis itu. Adanya kontak inspiratif dan kontrak kreatif mudah
memicu aksi ambil untung bagi diri petugas, yang bisa tampak cacat dedikasi di
mata petani dan lembaga.

BAB 14 | Menangkal Kekeliruan Siasat Satuan Mikro Usaha 305


1. Perilaku Menyiasati Kontraksi Suplai dan Nilai Transaksi
Dalam hubungan niaga berbasis rantai pasok antara dua pelaku hulu dan hilirnya
di dunia bisnis maju kini pasti ditandai ‘hitam di atas putih’. Ini dalam rangka
menegaskan komitmen transaksi bisnis dua pihak, pemasok dan penerima
suatu jenis barang. Bahkan wajar jika setiap kesepakatan dan capaian transaksi
selalu dikuatkan dengan digitalisasi informasi. Tentunya informasi digital tidak
harus merinci hal-hal kecil yang tidak perlu diketahui setiap orang (para pihak)
selengkapnya, melainkan hanya data dan informasi yang secara garis besar totalnya
direkam dan ditayangkan.
Didukung baik oleh Ipteks inovatif bagi kegiatan produksi dan didukung
teknologi digital inforkom, suatu satuan usaha UMKM agribisnis kemitraan tidak
serta-merta terbebas dari gangguan panen atau terbebas sama sekali dari gagal
panen. Jika gangguan produksi sempat terjadi dan mengurangi sebagian volume
suplai tertera dalam naskah kontrak, maka demi nama baik UMKM agribisnis
kemitraan wajar jika muncul inisiatif petugas agar menyiasati suplai yang kurang
lewat pengadaan dari sumber luar.
Inisiatif dan ide itu tentu baik jika saja pribadi petugas bisa konsisten dengan
tatalaksana tugas kelembagaan secara bersih dan transparan, penuh rasa tanggung
jawab terhadap anggota petani klaster yang diayomi UMKM. Adanya sistem
agribisnis dijalankan oleh perusahaan tentu pula momongi hal itu. Namun siasat
waspada tetap harus ada demi menghindari penghianatan.

2. Penguatan Harga Transaksi Komoditi Kerakyatan


Dengan teropong konsepsi teori ‘bilateral monopolistik’ (hubungan dua pelaku
pasar jasa monopolis) bisa diungkap kesalahan dan kekeliruan yang jadi penyebab
kegagalan, khusus misalnya kegagalan KUD melayani kepentingan petani. Perlu
diingat, bahwa petani kecil adalah produsen utama komoditi kopi, lada, dan karet
di nusantara, berbeda dari produsen komoditi sawit yang didominasi perkebunan
besar. Akan tetapi posisi mereka di pasar dunia dan nasional bersifat penerima
harga (price takers, bukan price makers).
Pada kasus komoditi karet SIR (Standard Indonesian Rubber), harga di pasar
Internasional harus dikoreksi nilai margin perjalanan ekspor untuk jadi harga f.o.b.
(free on board = siap ekspor) di pelabuhan semisal Boom Baru (Palembang), Tanjung
Periok (Jakarta). Tingkat harga f.o.b. di pelabuhan harus dikurangi berbagai biaya
dan pajak ekspor agar jadi harga karet berkandungan 100% K3 (kadar karet kering)
di daerah. Jadi harga f.o.b. harus dikoreksi (dikurangi) lagi aneka biaya agar jadi
harga yang bakal diterima petani.

306 Ekonomi Pertanian


Bertolak dari sifat ‘penerima harga’ tadi maka dari harga f.o.b. masih harus
dikonversi jadi harga Bokar (Bahan olahan karet) seyogianya dibayarkan kepada
petani karet di desa. Sebab itu harga f.o.b. berkadar K3 100% itu masih perlu
dikoreksi, sebab karet bantalan (slab) yang dijual petani biasanya rendah K3-nya
karena basah. Bantalan bokar hanya mengandung sekitar 60% K3, dan sisanya
berupa air dan meteri lain. Oleh sebab itu harga f.o.b. ber-K3 100% sebagai patokan
di tingkat daerah harus dikonversi jadi harga Bokar yang cuma ber-K3 60%. Jika
harga f.o.b. ber-K3 100% adalah Rp15.000,-/kg maka (prakoreksi margin pemasaran
antara desa dan kota) harga transaksi bokar ber-K3 60% adalah 60% × Rp15.000.-
= Rp9.000,- bakal diterima petani dari petugas pembeli di rumah lelang, dan tentu
lebih rendah lagi di pasar umum.
Jadi di tempat lelang karet KUD pada hakikatnya terjadi dua proses transaksi
yaitu antara petani anggota dan petugas lelang, dan antara petugas lelang terhadap
petugas perusahaan agroindustri karet remah (crumb rubber). Dua hakikat transaksi
tingkat KUD sama sekali tidak jadi masalah jika para petugasnya bisa konsisten pada
prinsip manajemen baik dan bersih. Jika sebaliknya tidak konsisten, tentu mudah
terjadi dua macam kegiatan dengan penyimpangan terselubung yang hanya sedikit
atau bahkan nihil manfaatnya bagi KUD, yaitu: (1) harga bokar standar, bawah K3
antara petugas lelang dan individu petani; (2) harga bokar standar, atas K3 antara
petugas lelang dan petugas agroindustri.

(1) Terkait Harga Bokar Ber-K3 Bawah Standar


Tentang fenomena ini bisa terjadi pada saat timbang bokar yang dibawa petani ke
gudang lelang. Bokar dengan kadar karet kering disepakati pada % rata-rata tertentu,
misalnya 58% K3 sebagai angka logis berdasarkan sekian lama transaksi Bokar
petani berulang-ulang. Di sini ada celah keunggulan K3, bila tampak kondisi bokar
berbeda dari 58% K3. Dalam perjalanan waktu, berkat adanya penyuluhan tentu
beralasan jika angka K3 membaik di atas rata-rata semula, tapi efek positif itu boleh
jadi sempat tidak diperhitungkan. Ini pada satu atau dua pasang mata ‘culas’, bisa
tampak peluang berlaku curang.
Kecenderungan transaksi Bokar dari petani yang demikian itu memang
sepatutnya dicermati untuk tidak diabaikan begitu saja efeknya. Jika kemudian ada
penyimpangan yang sempat tercium petani anggota, hal itu dapat memicu olok-olok
warga. Pada peristiwa demikian kejanggalan memang mudah terjadi jika petugas
cenderung berperilaku lupa terhadap amanat dan tanggung jawab yang diembannya.
Ada aji mumpung di balik lupa ini: (a) mumpung ada celah fluktuasi (naik-turun)
harga; (b) mumpung ada celah kerawanan pangsa pasar (market share) bersama lika-
liku pemasaran komoditi terkait.

BAB 14 | Menangkal Kekeliruan Siasat Satuan Mikro Usaha 307


Gambar 14.2 Bokar Dipikul Petani dan Keadaan Gudang Lelang

Turun-naik harga komoditi biasa terjadi sekalipun pada tingkat pasar


internasional, apalagi bagi negeri produsen yang tidak mendominasi pangsa pasar
dunia. Ketika harga bergerak turun, biasanya kekuatan supply demand segera akan
melakukan koreksi harga, yaitu harga f.o.b. turun cepat hingga ke tingkat harga
Bokar di tingkat desa. Sebaliknya jika ada gerak harga naik di pasar internasional
justru penyesuaian (koreksi) harga di tingkat daerah hingga ke desa tak serta-merta
dikoreksi karena di situ ada peluang untung berniaga, sementara petani cuma
‘nerima’, sebab menaruh percaya tinggi pada petugas.
Begitu pula dengan perubahan pangsa pasar, tidak jarang potensi pangsa pasar
di luar dugaan meningkat bagi negeri produsen yang bukan pemasok dominan.
Sebab bisa saja terjadi gangguan produksi dan suplai dari negeri eksportir lain,
sehingga membuka tambahan permintaan terhadap produksi dalam negeri. Pada
awal 2022 pecah perang antara Rusia dan Ukraina yang didukung pihak NATO,
maka pasar Migas dan gandum di Eropa terganggu luar biasa. Akibatnya permintaan
terhadap minyak sawit mentah atau CPO yang dapat dibuat biosolar dan bioetanol
meningkat drastis, dan begitu juga permintaan terhadap tepung ubikayu (tapioka)
untuk pakan ternak.
Perubahan permintaan pasar seperti itu bisa membuka lebar kenaikan pangsa
pasar komoditi dalam negeri untuk ekspor, sekaligus memicu harga komoditi
minyak goreng di pasar domestik. Dari kejadian ini tidak sedikit pihak yang ambil
kesempatan menangguk rejeki nomplok untuk perusahaannya, dan untuk kelompok
dan kroninya. Aksi menangguk untung besar itu setidaknya tidak banyak diketahui
oleh orang awam khususnya kaum tani di perdesaan, sebelum pecah berita tentang
dampak lain dari kejadian itu yang kemudian dirasakan merugikan berbagai
komponen bangsa.
Terhadap gejala ekonomi yang mendadak muncul seperti jamur tumbuh di
musim panas ketika terjadi hujan beberapa hari, tentunya hal itu menuntut antisipasi
manajemen di tingkat kelembagaan UMKM (BUKD dan BUMDes). Dengan

308 Ekonomi Pertanian


memahami aneka sumber penyimpangan dan aneka kondisi pemancik sumber itu,
maka pengelola UMKM agribisnis kemitraan harus membuat atau mengoreksi SOP
internal kelembagaannya. Jika terjadi tindakan petugas tidak konsisten pada misi
lembaga saat dan kondisi serta celah transaksi bawah standar ini akibat tidak ada
SOP, maka dari situ keluhan dan olok-olok orang banyak akan bermunculan.

(2) Terkait Harga Bokar Ber-K3 atas Standar


Terkait celah kerancuan fluktuasi harga (dikira harga masih rendah, tapi rupanya
sudah membaik), maka reaksi ambil untung tanpa terlalu merugikan petani anggota
dan perusahaan mitra bisa saja dilakukan dengan saling kedip mata (Tau-Sama-
Tau) TST. Perilaku TST antara dua oknum perwakilan terjadi karena kesadaran
mengemban amanah warga desa dan kepercayaan perusahaan justru terbius oleh
kerdipan mata kedua petugas. Sementara isi pesan kerdip mata TST ini tidak tampak
di mata anggota KUD maupun di mata pimpinan perusahaan, maka aksi culas tidak
menambah manfaat bagi kedua lembaga.
Ketika iman pribadi sedang terbius uang, lalu dua kekuatan mitra niaga yang
dibangun demi memenuhi-menjaga-melindungi misi dan kepentingan luhur
kedua pihak justru jadi ternoda. Ilustrasi pada Tabel 14.1 di bawah ini merincikan
permainan TST yang bisa mencoreng nama baik kedua belah pihak, yakni lembaga
UMKM kemitraan (semisal KUD) dan lembaga niaga mitra sehubungan rantai pasok
bahan baku industri olah-perta (misal, agroindustri karet remah berkualifikasi SIR
= Standard Indonesian Rubber).
Tabel 14.1 Perilaku dan Kinerja Pasar Bilateral Monopolistik
Tampilan Nyata Menurut Kajian Kualitatif
Pihak Penentu
Struktur Pasar Perilaku pasar Kinerja pasar
Pembeli monopsonis Tampil sebagai Oknum pemain Terjadi semacam
atas nama suatu pemain tunggal atas bertindak tekan harga ‘insider trading’
satuan agroindustri nama satuan usaha beli dengan dalih bokar yang lebih
agroindutri terkait. mutu rendah 1% menguntungkan
s.d. 3% K3 oknum pelaku
Penjual (KUD) Tampil sebagai pemain Oknum pengurusKUD Oknum pengurus
monopolis atas nama tunggal yang berwujud diam-diam setuju dapat bagian dari
komunitas petani KUD demi para petani untuk menerima harga selisih harga transaksi
anggota agak rendah yang sesungguhnya.

Terkait celah kerawanan pangsa, akan sering terjadi suatu kondisi tingkat
volume transaksi bulanan secara mencolok bakal kurang dari rata-rata target
perjanjian kontrak. Ini bisa saja dihindarkan dengan inisiatif TST yang meminta
petugas untuk mengisi potensi kekurangan pasok komoditi itu dengan membiarkan

BAB 14 | Menangkal Kekeliruan Siasat Satuan Mikro Usaha 309


petugas perwakilan untuk mengisi kekurangan dengan membeli dari sumber lain.
Tindakan demikian bisa terjadi berulang kali bahkan jadi rutinitas jika kemudian
ada kesepakatan terselubung, sehingga tidak membawa dampak positif kepada
lembaga yang mewakili petani.
Begitulah alam permainan transaksi pasar yang dapat terjadi di lapangan
khususnya pada situasi-kondisi pihak petani produsen yang berjumlah banyak itu
memang hanya berstatus sebagai pihak penerima harga. Tampak sekali pihak petani
yang lemah gampang dipecundangi lewat dalih kewajaran dalam proses transaksi
pasar. Terhadap posisi kaum tani kebanyakan yang lemah itu pula sangat diperlukan
proses pemberdayaan mereka dengan penuh dedikasi dan tulus keberpihakan. Tidak
terkecuali di luar petani karet, selagi ciri dan status penerima harga menonjol maka
perlu cara lebih bijak membela mereka.

3. Pelaku Abai Waktu Pasca-Transaksi Jual-Beli


Selepas dari proses transaksi pasar maka ada proses pembukuan hasil transaksi
yang harus dipertanggungjawabkan petugas dan pihak pengelola lembaga agribisnis
kemitraan. Hal ini harus dipahami oleh para pembela nasib dan pelaku pemberdayaan
ekonomi kaum tani yang lemah dan terkadang sama sekali tidak mengetahui seluk-
beluk transaksi pasar. Tidak pula ambil pusing terhadap persoalan upaya di waktu
sebelum dan sesudah transaksi pasar, di mana banyak kemajuan Ipteks agribisnis
sudah terjadi dewasa ini.
Berkenaan soal uang pascatransaksi pasar, ada tiga macam perilaku petugas
yang harus dipantau dengan cermat, yaitu: (1) petugas tepercaya bisa berubah santai
dan kurang disiplin (prosesi keuangan sempat ditunda hanya dengan dukungan
ingatan dan sedikit catatan transaksi); (2) petugas terlupa karena menunda kegiatan
pencatatan dan kadang mencampuradukan ponjen dana milik lembaga untuk
direcoki pula dengan uang pribadi; (3) petugas tampak perlu pembaruan skill dan
kompetensi sesuai kemajuan Ipteks, yang kini serba cepat dan kian tergantung pada
teknik digital maju.
Tentunya pola penyimpangan (1) dapat diatasi dengan instrumen manajemen
berupa SOP yang diberlakukan secara konsisten dan dipantau secara berkala oleh
tim pimpinan manajerial maupun oleh dewan pengawas. Akan tetapi di sini harus
diwaspadai adanya perilaku TST petugas keuangan dengan unsur atasan. Sebagai
oknum yang mungkin ikut bermain di belakang layar atau setidaknya ikut menerima
setoran tunai ilegal, permainan seperti ini akan mudah dilakukan bilamana petugas
memang tadinya ditunjuk oleh orang yang berpengaruh di desa karena alasan
kekeluargaan.

310 Ekonomi Pertanian


Terhadap pola (2) tidak banyak pilihan manajemen bisa dilakukan kecuali harus
segera dilakukan ‘mutasi jabatan’, dan lebih baik lagi petugasnya diberhentikan.
Dengan begitu ada kesempatan merekrut SDM pengganti yang berkualifikasi lebih
tinggi, baik segi IQ-SQ-EQ selain sehat dan cekatan. Dalam proses ini jangan sampai
terjadi ‘takut hantu, malah lari ke kuburan’, dan dari sebab itu prinsip anti-KKN
kotor harus konsisten ditegakkan.
Sedangkan terhadap persoalan pola (3) memang harus ada peningkatan skill
dan kompetensi SDM lewat Diklat Manajemen Keuangan. Diklat ini dipastikan
bertahap sesuai fase dan tingkatan yang diselenggarakan oleh lembaga lain sesuai
urutan konsepsi teori. Dipastikan setiap fase diklat itu selalu berbayar, maka dari
itu dana lembaga selain untuk gaji juga untuk hal seperti ini.

14.4 Niaga Tersalib Orang-dalam (NTO)


Perilaku alpa dan sikap lupa diri gampang terjadi ketika orang terbius oleh
sesuatu yang dikaguminya. Tiga lejanggalan niaga yang mudah terjadi ketika
seorang petugas sedang terbius oleh nikmat perolehan kinerja, yaitu sebagai
‘pembonceng [transaksi] gratisan (free rider)’, atau ‘pemburu rente (rent seeker)’
alias mau ikut dapat bagian padahal tak ikut berbuat apa-apa, atau ‘perniagaan
internal terselubung (sempalan) (insider trading)’. Hampir-hampir tiap perilaku
penyimpangan ini amat biasa dan seperti alami saja bilamana terjadi. Apalagi jika
memang sistem dan taraf penggajian masih terlalu rendah daripada yang diharapkan
layak oleh para petugas.
Dari banyak pengamatan-kebetulan saat pemantauan lapangan, boleh dipahami
bahwa pelaku ‘perniagaan internal terselubung (insider trading)’ tentunya bersifat
ambil kesempatan dalam kesempitan. Sekali paham rasa manisnya maka perilaku
menguntungkan sendiri itu cenderung akan diulangi sehingga berubah jadi perilaku
penghianatan kepada anggota dan pengurus satuan lembaga usaha kemitraan-
agribisnis. Pribadi pelakunya pasti cukup cermat terhadap hitung-hitungan nilai
margin pemasaran, nilai selisih positif dari upaya ‘bijak’ yang bisa disisipkan, serta
nilai aman dan alami dalam transaksi melibatkan pribadi sebagai orang dalam
organisasi bisnis.
Sebenarnya perniagaan pola NTO paling mengesalkan sebab pelakunya seperti
‘duri dalam daging’, yang tak mudah terdeteksi karena tersembunyi dengan rapi atau
tidak nyata di depan mata tapi juga ketika mulai samar-samar biasanya orang dalam
selalu rasa “ewuh pakewuh”. Gejala permainan orang dalam ini suka terpicu karena
sang duri itu SDM sekolahan berkualifikasi S-1, generasi anak dari anggota (KUD
atau BUKD) yang telah ikut menghidupkan lembaga UMKM kemitraan agribisnis,
itulah awal rasa serba segan.

BAB 14 | Menangkal Kekeliruan Siasat Satuan Mikro Usaha 311


Atas adanya potensi gejala seperti ini, maka SDM pekerja sebagai petugas urusan
luar sekaligus urusan keuangan ada baiknya juga sosok Kartini Desa yang cekatan
dan berakhlak baik. Profesionalisme di bidang keuangan ini sangatlah penting.
Selain memahami faktor-faktor penentu keuntungan dan kerugian serta hitung
dagang yang terkait potensi dan akurasi nilai laba, juga harus memahami benar
cara cepat dan cermat membuat pokok-pokok Berita Laba-Rugi setiap kali proses
transaksi jual-beli terjadi selama satu periode rentang waktu (mis: Januari–Maret).
Keterampilan mencatat hasil transaksi ini lanjut kepada dokumen Neraca Keuangan
tertanggal ‘tutup-waktu triwulanan’.

1. Arti Penting Tatanan Pelembagaan


Kelembagaan UMKM agribisnis kemitraan tentu memiliki instrumen inti yang
bisa memperjelas posisi dan memperkuat ikatan kelompok petani anggota dalam
berinteraksi dan bertransaksi dengan pihak lain. Instrumen dimaksud hakikatnya
berwujud lima AS, yaitu: (1) Ada Sekretariat, seperti alamat dan identitas pada
lembar kertas korespondensi; (2) Ada Seperangkat izin resmi yang mendasari
langkah bisnis dan kebijakan wirausaha benar dan juga sah; (3) Ada SOP (protap)
sebagai patokan dan mistar kelangsungan tindak operasional; (4) Ada Sasaran visi
dan misi kelembagaan yang memastikan arah langkah nyata di lapangan selalu fokus
sehingga sukses dalam rentang waktu yang telah ditentukan; dan (5) Ada Sistem
manajemen profesional selalu harus didaya gunakan oleh lembaga UMKM agribisnis
kemitraan dengan diawasi lewat mekanisme rapat pengurus dan musyawarah
anggota secara teratur dan rutin berkala.
Dengan kelengkapan lima instrumen keberlangsungan kegiatan bisnis tersebut
di atas, maka kelancaran tekno-ekonomi suatu UMKM terjamin untuk kemudian
juga jadi mudah meyakinkan pihak mitra niaga di mana pun tentang kiprah bisnis
yang dijalankannya. Jika manajemen profesional dan wirausaha fungsional benar-
benar diaktifkan demi kemaslahatan para anggota dan warga beserta daerah pada
umumnya, maka otomatis terpicu pula komitmen setiap petugas untuk bekerja
dengan baik dan penuh dedikasi. Sikap dan perilaku yang baik dan terpuji dari
setiap unsur pimpinan otomatis akan meminimalkan penyimpangan kinerja setiap
pengurus juga petugas suatu UMKM agribisnis kemitraan berbasis pertanaman-
utama tertentu di suatu desa.
Justru demi menghadirkan kesemua lima AS hingga berwujud nyata, maka
diperlukan program pemberdayaan KUBE dari klaster pertanaman tertentu oleh
pihak pemda setempat. Kegiatan pemberdayaan ini harus didudukkan berupa
program alias bukan sekadar proyek. Sebagaimana sudah dibahas dalam bab-bab
awal buku ini, ciri suatu program haruslah berbasis rekayasa makro wilayah dan

312 Ekonomi Pertanian


rancangan kegiatan khas satuan mikro usaha. Sifat dan ciri demikian menuntut
tuntas keterhubungan rantai kegiatan dari titik terbawah di desa hingga titik teratas
yaitu lembaga distribusi yang terdekat konsumen; juga rantai pengaruh timbal balik
yang menyehatkan wilayah pembangunan sejak dari kawasan agroekosistem hulu
hingga ke wilayah hilir. Program yang sukses dipastikan nyata sumbangsihnya bagi
fundamental ekonomi negeri.

2. Arti Penting Periodisasi Tupoksi


Ada tahap-tahapan pencapaian visi melalui tahap-tahapan pelaksanaan misi suatu
organisasi UMKM agribisnis kemitraan. Selaku satuan kelembagaan yang sudah
dilengkapi dengan struktur organisasi jelas dan mumpuni setiap rantai kegiatan
produksi, maka setiap paket tugas pokok dan fungsi (tupoksi) untuk setiap rantai
kegiatan sudah sepatutnya jelas, bahkan jadi lebih luas dan disesuaikan dengan
kemajuan Ipteks pada tahap demi tahap pelaksanaan misi organisasi sejalan putaran
waktu. Pembaruan Tupoksi mengebiri disprestasi
Pergeseran tugas pokok dan fungsi untuk tahap demi tahap pelaksanaan
misi UMKM agribisnis kemitraan itu. Memang di banyak organisasi Pemda pun
upaya periodesasi Tupoksi itu tidak dilakukan, dan menurut pengamatan penulis50
kegagalan perangkat organisasi pemerintah daerah selalu terjadi pada urusan
KOORDINASI. Padahal suatu program pembangunan pertanian untuk menaikkan
kesejahteraan kaum tani amat membutuhkan koordinasi vertikal (dari titik produksi
komoditi naik ke titik produksi produk setengah jadi atau siap pakai hingga ke
titik pasar konsumen); dan juga koordinasi horizontal yaitu antarpelaku produksi
komoditi primer (agribisnis tanaman pangan ke sektor peternakan dan sektor
perikanan terkait kebutuhan pakan dan pangan).
Kegagalan mengaktifkan koordinasi selalu terjadi apabila 3 + 1 syarat tidak
dihadirkan, yaitu 3K:
(1) Konsepsi rancangan program tidak dibuat terlebih dulu dengan jelas; akibatnya
tidak tampak siapa (pihak mana) harus mengerjakan apa (yang mana), kapan,
dan di mana.
(2) Kepemimpinan yang mampu membagi tugas dan tanggung jawab paket kegiatan
kepada pihak pelaksana lintas sektor, diiringi tupoksi tim antarsektor khas
berkaitan.

50
Penulis pernah mengemban amanah sebagai pimpinan organisasi pemerintahan daerah
dan terbilang sukses membina koordinasi dengan pihak kementerian dan juga pihak pemda
kabupaten dan kota yaitu selaku Kepala Bapedalda, dan Kepala BKPMD Koperasi; serta Kepala
Bappeda Provinsi Sumatra Selatan.

BAB 14 | Menangkal Kekeliruan Siasat Satuan Mikro Usaha 313


(3) Ketersediaan porsi dana yang jelas jumlah dan kegunaannya serta jelas prosedur
penarikan dan pengamanan proses penggunaan sesuai dengan ketentuan yang
berlaku.

Selain syarat pokok 3K perlu juga dilengkapi dengan satu syarat pelengkap
yaitu kesiapan dan kualifikasi SDM yang ditugasi mewakili organisasi sektoral (para
pihak). Kualifikasi SDM itu sepatutnya disesuaikan dengan tupoksi yang diperbarui
setiap tahun sebagai patokan kerja bagi setiap unsur para pihak, agar tanpa kendala
profesional. Ini sekaligus untuk mengebiri penyimpangan.

3. Arti Penting Penguatan Rantai Kelembagaan


Hubungan antarlembaga pelaku bisnis memang seyogianya direkat kuat. Rantai
hubungan kelembagaan itu akan sangat kuat jika sifatnya ‘organik’, yaitu dua
lembaga pelaku agribisnis di sisi hulu dan hilirnya dibentuk dan dimiliki oleh
kelompok pebisnis sama (walau beda nama). Keduanya menjalankan peran
ganda, sebagai sepasang mata ‘rantai pasok’ juga ‘penangkal risiko-kerugian’ di
tengah ketidakstabilan pasar. Berkat peran unsur organik itu, pertama tidak perlu
pertimbangan rumit bisa berlangsung proses transaksi dengan lancar dan baik
tanpa harus mengikuti prosedur birokrasi yang rumit. Peran kedua, cepat memupuk
loyalitas pengurus supaya godaan berbuat penyimpangan jadi minimal karena
dibatasi dan cepat dikendalikan.
Jika hubungan kelembagaan tidak bersifat ‘organik’, tentu aneka bentuk kasus
penyimpangan yang dibahas sebelum subbab ini lebih berpeluang untuk terjadi.
Semakin panjang rantai pasok lintas kelembagaan sejak yang terhulu hingga terhilir,
tentu akan semakin banyak pelaku transaksi yang terlibat serta makin banyak pula
kesempatan kerja terbuka. Secara teori semakin panjang lintasan rantai kelembagaan,
maka interaksi bisnis antarlembaga jadi kurang stabil. Gampang terganggu, pada
pengaliran komoditi dari titik produsen hingga ke distributor produk menjelang
sampai ke pihak konsumen akhir. Walaupun begitu justru pada dua mata rantai
yang terawal (yakni BUKD atau UMKM agribisnis kemitraan) akan tidak mudah
satu pihak menekan petani jika ada ikatan kontrak jual-beli binaan pemda.
Demikian penguatan rantai kelembagaan di tingkat terawal dipastikan bisa
memperlancar arus transaksi bahan makanan dan komoditi perkebunan. Makna
perkuatan di sini bisa melalui bentuk sebagai berikut:
(1) Pembinaan kapasitas UMKM agribisnis kemitraan agar membentuk tabungan
kelembagaan melalui dua mekanisme, yaitu: a) cara sesama petani ‘Bersama
Menabung Terencana’ (BMT); b) cara sengaja dan rutin menyisihkan pendapatan
lembaga untuk jadi pemancik bantuan pemda berupa tambahan modal investasi

314 Ekonomi Pertanian


pembangunan unit industri olah-perta (agro-processing industry) selaku mata
rantai kedua terawal organik.
(2) Pembinaan kredibilitas UMKM agribisnis kemitraan agar dipercaya jadi pemasok
kebutuhan bahan baku bagi satuan agroindustri selaku mitra bisnis di posisi
hilir langsung, sehingga atas kawalan pemda semua pasal persyaratan tekno-
ekonomi agroindustri itu dapat dipenuhi para petani,

14.5 Niaga Terganggu Setor Tunai (NTS)


Bagi siapa saja godaan kelimpahan uang selalu hadir hingga terbawa jadi mimpi
yang memotivasi perilaku positif, dan tidak jarang pula negatif. Dikatakan
positif jika perilakunya meneguhkan komitmen diri untuk menjaga amanah dan
mengembangkan aneka potensi desa untuk mendatangkan aliran uang lebih
banyak lagi, demi kesejahteraan warganya. Tentunya dikatakan negatif jika yang
terjadi sebaliknya. Persoalannya, bagi orang desa pada umumnya suatu keadaan
yang berkelimpahan uang di tangan, bisa jadi semacam kejutan budaya atau shock
kultural. Ketika sesorang sedang mengalami kejutan budaya, tidak aneh pula jika
jadi salah tingkah (over acting) dan janggal perilaku.
Mengangkat orang kota berkualifikasi sarjana S-1 untuk dipekerjakan di
BUMDes juga BUKD atau UMKM agribisnis kemitraan berlokasi di desa tentu selain
memicu shock kultural juga perasaan tak betah. Akan tetapi mengangkat seorang
sarjana S-1 dari keluarga dan warga desa setempat, juga masih akan mengalami
kejutan budaya andainya ditugaskan untuk urusan manajemen keuangan dan
transaksi jual-beli komoditi yang dihasilkan lembaganya. Orang desa berkualifikasi
sarjana S-1 tidak sulit menemukannya dewasa ini karena hampir setiap Kabupaten
apalagi kota kini sudah memiliki perguruan tinggi yang melayani warga setempat.
Soal bidang keilmuan yang belum tentu cocok dengan tugas kelembagaan agribisnis
akan mudah diatasi melalui diklat sebagaimana disinggung sebelum ini.
Artinya, kejutan budaya pada keadaan berkelimpahan uang itu bisa terjadi dan
harus diantisipasi, terlepas SDM tipe mana yang akan diterima bekerja. Banyak
hal yang berpotensi merugikan jika yang muncul kemudian justru perilaku negatif
individu petugas ketika sedang aktif selaku perwakilan UMKM dan mewakili para
petani anggota, khususnya saat melakukan interaksi dan mengurus pembukuan
uang hasil transaksi agribisnis. Situasi yang sedang dihadapi dalam keadaan shock
budaya bisa menyebabkan terjadi penyimpangan yang di antaranya berupa: a)
ambil inisiatif ‘pakai sementara’ seporsi dana segar yang belum dibukukan; b) aksi
kamuflase ‘preman asli tapi palsu’ dan; c) atur sejumlah dana untuk kegunaan
sisipan di antara kegiatan lembaga.

BAB 14 | Menangkal Kekeliruan Siasat Satuan Mikro Usaha 315


Demikian prasyarat bagi SDM agar mengikuti Diklat profesionalisme dan
keterampilan tekno-ekonomi kiranya sangat dianjurkan. Dalam hal dan urusan
kelembagaan agribisnis kemitraan yang ada di desa tentu gejala negatif lebih mudah
terpicu-pacu, karena miliu bisnis yang masih serba adem ayem.

1. Akibat Dipakai Tunai Sementara


Bentuk keberanian berinisiatif menggunakan sementara dana milik lembaga seperti
UMKM agribisnis kemitraan petani dari suatu klaster pertanaman sama adalah hal
yang banyak dijumpai di mana-mana dalam urusan bisnis maupun nonagribisnis.
Selintas tindakan itu bisa dan boleh-boleh saja. Misal sehabis terima uang tunai di
gudang lelang (di kota kecamatan) lalu seorang petugas mampir sejenak di pasar
untuk belanja sesuatu yang mahal dengan nimbrung pakai uang hasil lelang.
Ada tiga hal berisiko dalam tindakan demikian: (1) Jika tidak ada tabungannya
di lembaga keuangan maka uang pengganti perlu waktu sebelum siap pengembalian,
dan ini merepotkan dia untuk setor uang tadi ke “bank”; (2) Jika faktur transaksi
lelang tercecer hilang, maka ada risiko salah ingat dan salah hitung sehingga
merugikan lembaganya ketimbang kantong pribadinya; (3) Jika terjadi kecelakaan
fatal, maka orang rumah tidak persis tau tentang hal-ihwal uang tadi, dan ada risiko
ricuh terpicu di situ.
Oleh sebab itu tindakan manajemen SDM lembaga sangat berguna untuk
minimalkan risiko dan tidak mengimbas jadi risiko lembaga. Upaya untuk
minimalisasi risiko ini bisa diterapkan tiga siasat berikut ini.
(1) Perpindahan (rotasi) tugas agar sucara berkala selalu ada penyegaran semangat
SDM, sambil dan mematikan nafsu penyimpangan pada diri petugas yang mulai
lebih memahami lika liku transaksi,
(2) Pengecekan kinerja petugas secara teratur berkala sesuai SOP, sangat berguna
untuk menjalankan evaluasi mingguan terhadap kinerja petugas sambil
mendeteksi adanya suatu kejangalan kinerja.
(3) Pemeriksaan pembukuan dan kinerja transaksi bisnis diperlukan setiap
menjelang musyawarah rutin sebulan sekali, tinggal dibuat ringkasan hasil
periksa sebagai bahan rapat berpola transparansi.

Begitu simpelnya persoalan transaksi (apalagi jika di tingkat desa sudah dapat
pula bertransaksi digital), namun selalu ada celah pemicu penyimpangan yang
cepat atau lambat akan terdeteksi oleh petugas kurang jujur untuk dia manfaatkan
bagi keuntungan pribadi. Pribadi petugas yang kurang jujur akan jadi luar biasa
parah bilamana terlibat pula dengan urusan narkoba yang kini semakin marak
hingga ke perdesaan. Hanya dengan terap-guna manajemen agribisnis baku hal itu

316 Ekonomi Pertanian


diminimalkan. Jelas pula di sini alasannya mengapa para petani pertanaman yang
sejenis mesti bersatu-padu membentuk lembaga usaha agribisnis kemitraan, sebab
di situ sistem manajemen bisa efektif.

2. Akibat Digarong Sesama Kawan


Modus operandi garong bergaya ASPAL (Asli Kawan, Palsu Peran) sangat lumrah
terjadi bersifat penggelapan uang lembaga bisnis pascatransaksi jual-beli tunai.
Di desa harus selalu diwaspadai titik-titik rawan, khususnya jarak antara titik
pembayaran transaksi dan titik pengamanan sebagian uang tunai untuk keperluan
aneka belanja kebutuhan kantoran lembaga. Oknum petugas yang mungkin dalam
keadaan kesulitan luar biasa, bisa saja mengatur siasat busuk bersama kawan untuk
merampas tas uang yang sengaja diskenariokan.
Tindak pidana demikian itu sebenarnya mudah diantisipasi pada saat sebelum
terjadi. Hanya saja tidak mudah terendus ke permukaan jika aktivitas lembaga
agribisnis kemitraan punya intensitas tinggi, dan kontak antarpribadi kantoran jadi
intens secara nyata. Pemahaman pribadi atas psikologi kawan sekantor dan gerak
geriknya dengan pihak luar mudah terbaca. Tetapi kasus perampokan murni bisa
saja terjadi tiba-tiba; dan kasus murni demikian sering kali dipicu oleh maraknya
lalu-lintas narkoba hingga ke perdesaan.

3. Akibat Dibelok Produktif Sebagian


Kegiatan petugas yang agresif dan cekatan akan selalu berjumpa dengan bermacam
celah penyalahgunaan wewenang. Bagi petugas yang gesit bekerja hal-hal menggoda
dan pintu-pintu masuknya yang kabur akan mudah dideteksi dan dibukanya.
Sekali dia coba masuk dan meraba peluang untung dan manisnya mengantongi
uang tambahan gaji tentu akan memacu petugas untuk melakukan lagi dan lebih
besar lagi. Pada awalnya pakai uang tunai dari kocek sendiri, tapi ketika tuntutan
transaksi perlu uang modal lebih besar, maka di saat itulah ‘insider trading’ atau
“niaga sempalan” punya kesempatan diterapkan.
Implikasi persoalannya dibahas dalam subbab sebelumnya, tetapi ada implikasi
lain bisa terjadi mengejutkan. Tidak perlu waktu lama hal yang sudah jelas jalur
salurannya serta dirasakan menguntungkan akan bisa memicu pikiran oknum
untuk berhenti dari lembaga yang diurusnya bergaji bulanan pas-pasan. Lalu bebas
melakukan tindak transaksi legal sendiri tanpa ragu, tetapi kinerja lembaga untuk
sementara justru jadi terganggu.

BAB 14 | Menangkal Kekeliruan Siasat Satuan Mikro Usaha 317


Daftar Pustaka
Greenwood, N.H. & J.M.B. Edwards. 1979. Human Environments and Natural Systems
(2’nd. Ed). Massachusetts: Duxbury Press.
Sanbubukt, Oyvind. 1995. Management of Tropical Forest; Towards an Integrated Perspective
(ed.). Norway: Center for Development and The Environment, Univ. of Oslo.

318 Ekonomi Pertanian


BAB

15
KELEMBAGAAN SOSIAL EKONOMI
PRASYARAT SUKSES PERISTIWA EKONOMI

15.1 Pola Kelembagaan BUKD Pengayom Petani Kecil


15.2 Pola Keberadaan SUPK Pemicu Pacu Ekonomi Desa
15.3 Pola Keberadaan BMTD Pemantik Soliditas Sosial Ekonomi
15.4 Pola Kesepakatan KWIM Pemacu Kemakmuran Wilayah
15.5 Pola Kerakyatan BSRP Penguat Ekonomi Daerah

Ekonomi Pertanian: Kelembagaan Sosial Ekonomi Prasyarat Sukses


Peristiwa Ekonomi
Bab 15 ini menukik pada pragmatisasi pembangunan satuan usaha agribisnis. Di
sini sengaja dibahas konsepsi peristiwa sosial, walaupun hal ini hampir tidak
perlu didalami jika pemikiran hanya tentang peristiwa ekonomi berupa rencana
investasi satuan agribisnis skala menengah dan skala besar. Ini disebabkan setiap
investor satuan usaha agribisnis skala menengah dan skala besar punya banyak aset
dan modal sendiri untuk memulai langkah investasi secara mandiri. Sementara itu,
modal finansial amat penting untuk memuluskan aktivitas berusaha yang bergantung
pada kondisi lingkungan tak pasti.

319
Secara sosio-antropologis, di pihak warga selalu ada ego sosio-psikologis, cacat
sosio-ekologis, juga terkendala sosio-ekonomis meski tanaman pokok mereka sama,
serta ada kerancuan sosio-kultural lintas individu dan antaretnis suku. Kesemua
karakter sosio-antropologis itu tidak mudah dilebur jadi satu kekuatan bisnis,
kecuali melalui proses pelembagaan yang terancang tepat lokasi dan tepat strategi.
Lewat proses pelembagaan, maka peristiwa sosial itu sungguh merupakan upaya
penyediaan kendaraan harmonisasi dan kolaborasi kekuatan positif lintas individu.
Dengan siasat demikian, maka sasaran sukses peristiwa ekonomi perdesaan akan
dapat dipacu, sehingga skala usaha kerakyatan lebih mampu meraih laba tinggi
dan atau bagi hasil memuaskan semua pihak. Jadilah peristiwa sosial itu penampil
gerbong kemitraan anggota, lalu maju lewat sukses peristiwa ekonomi sebagai
lokomotif cepat menuju kesejahteraan warga dan kemakmuran daerah berkat
kohesivitas sosial.
Tentu saja lokomotif peristiwa ekonomi bisnis bisa melaju lebih cepat ketika
diberi mesin penggerak ganda dengan kekuatan pengendali yang andal dan kuat,
yaitu manajemen dan wirausaha (P. Drucker, 1995). Tanpa manajemen, maka prosesi
langkah penata dana-pekerja-produksi-pemasaran bisa terjebak dalam gulita
spekulasi. Tanpa wirausaha (bijak-entrepreneur) prosesi 4P itu akan terkendala oleh
kekakuan birokrasi manajemen. Kedua mesin harus serentak aktif agar peluang
bisnis tidak terlewat begitu saja jadi hampa. Justru kenyataan yang demikian
terbiasa dirasakan kaum tani-KTC itu sejak lama. Ibarat gerak perahu kecil tak
bermesin, sulit bagi petani mengubah nasib sendiri. Sungguh pun demikian, proses
pelembagaan sosial itu juga tidak semudah membalik telapak tangan. Namun,
karena arti pentingnya, maka peristiwa sosial itu harus dijalani dengan strategi
ilmiah dan siasat seni.

15.1 Pola Kelembagaan BUKD Pengayom Petani Kecil


Keberadaan rakyat yang berkecimpung di sektor pertanian negeri ini ada sekitar
165 juta dari keseluruhan 270 juta penduduk NKRI. Diperkirakan tidak kurang dari
140 juta jiwa di antara jumlah itu tergabung dalam keluarga petani kecil, cerai-berai
dan tradisional, disebut di sini keluarga pelaku usahatani KCT (± 35juta satuan
keluarga). Sebagai pelaku usahatani KCT yang jadi gantungan hidup penduduk yang
tersebar dari Sabang hingga Merauke dan dari Miangas hingga Pulau Rote. Maka,
ketertinggalan kegiatan penafkahan hidup keluarga dan warga yang sebegitu besar
punya beberapa implikasi, yakni sebagai berikut.
1. Dimaklumi jika sejumlah besar warga negara yang hidup di sektor pertanian
justru terbilang kurang sejahtera dan senantiasa miskin.

320 Ekonomi Pertanian


2. Dijamin jika kelompok petani KCT dibina jadi BUKD agribisnis kemitraan,
strategi manajemen dan siasat wirausaha terpacu unggul.
3. Dibanggakan jika pembinaan BUKD itu diadakan di seluruh Nusantara, maka
fundamental ekonomi RI akan terpacu jadi semakin kuat.

Pada satuan usaha agribisnis skala menengah dan skala besar, wujud
kelembagaan sudah tertanam sejak awal, karena adanya keharusan investor untuk
melengkapi dua macam fondasi kegiatan berikut ini.
1. Diawali dengan tiga dokumen perencanaan; FS-Teknis, FS-Finansial; dan FS-
Ekologis (andal) yang kemudian diadikan cetak biru konstruksi.
2. Dibekali pemda dengan izin prinsip dan izin lokasi sebagai bukti dukungan
warga setempat serta kesiapan lahan untuk digarap secara teknis.

Dengan adanya dua modal (lima dokumen) tersebut, maka semua kegiatan
dan kiprah satuan usaha selalu dijalankan terarah berkat topangan mekanisme
manajemen dan kewirausahaan. Perubahan seperti ini sudah sepatutnya terjadi
pada kaum tani marginal pelaku usahatani KCT.
Untuk maksud ini, perlu proses transformasi kelembagaan, yaitu bermula
sebagai KUBE (Kelompok Usaha Bersama Efektif) guna menjalani proses transfer
iptek terapan dan taktik manajemen serta siasat wirausaha berbasis sebidang
kegiatan Demoplot AGROTRISULA. Mula-mula sejumlah kecil pelaku usahatani
KCT yang bersedia dibina berawal dari KUBE, kemudian dipicu jadi BUKD (Badan
Usaha Kemitraan di Desa) yang resmi terdaftar di dinas koperasi. Seterusnya dipacu
jadi MRPA (Mata Rantai Pasok Agroindustri), dan disebut hilirisasi jika rantai
pasok diinisiasi pemda. Dari 10-an anggota KUBE, akan bertambah anggota bila
sukses BUKD kian tampak jelas di mata warga desa.

1. Proses Pelembagaan UMKM Kemitraan Agribisnis


Gambaran umum tentang kelemahan kaum tani pelaku usahatani KCT dapat
diilustrasikan sebagaimana Gambar Skematik 15.6 di bawah ini. Dilihat dari kinerja
usahatani umumnya cuma menghasilkan komoditi berciri 7C (Gambar Tematik Gambar
yang
14.5). Dilihat dari segi proses bisnis, kedudukan petani umumnya hanya berstatus
dimaksud
“penerima harga” (price taker) tanpa daya tawar-menawar yang berarti. Dilihat dari ini yang
mana ya,
aspek keberlanjutan usaha justru sangat lemah dan acak tanpa kepastian, karena Pak/Bu?
selalu dibayangi gangguan lingkungan biogeofisik (hama penyakit dan bencana
alam) dan sekadar menjamin pangan keluaga atau lemah serta bersifat subsistens.
Dari itu, upaya bina klaster petani KCT perlu kelembagaan penghimpun kekuatan
bersama para petani.

BAB 15 | Kelembagaan Sosial Ekonomi Prasyarat Sukses Peristiwa Ekonomi 321


Untuk memulai proses pembinaan kelompok usaha bersama efektif (KUBE)
tidaklah serta-merta mudah dijalankan, terkecuali jika suatu desa punya unsur
pimpinan dan tokoh desa yang bijak dan penuh keterbukaan tanpa ada siasat “ada
udang di balik batu”. Sikap curiga dan anti-pati selalu akan muncul dari pihak preman
desa dan kaum begal-nya yang cenderung menebar sikap kurang bersahabat. Hanya
tinggal strategi musyawarah melalui pendekatan agamis dan pintu rumah ibadah
yang masih memungkinkan suatu pihak pembina mengajak warga masyarakat
berubah dari kebiasaan lama menjadi kebiasaan baru ke arah suatu kerja sama
kemitraan tulus bagi kemaslahatan bersama. Pendekatan musyawarah menuju
kemufakatan warga yang bersedia berubah, sepatutnya dibarengi acara Yasinan dan
arisan kelompok seminggu sekali diselingi penyuluhan tentang cara baru berusaha
menggunakan iptek sebagai penopang satuan BUKD atau UMKM kemitraan agar
efektif dan efisien.

2. Proses Pengelolaan UMKM Kemitraan Agribisnis


Ketika ciri pelaku usahatani KCT telah dilebur jadi para anggota BUKD yang
resmi terdaftar, maka pola manajemen UMKM agribisnis kemitraan sudah bisa
diterapkan secara profesional. Keempat bidang manajemen untuk suatu perusahaan
niaga “keuangan-kepegawaian-keproduksian-kepemasaran” bisa ditegakkan oleh
sedikitnya dua orang kepala bidang profesional, masing-masing satu kabid keuangan
dan kepegawaian, serta satu kabid produksi dan pemasaran. Jika kemudian telah
banyak kemajuan nyata dicapai, dua kabid lagi dapat diterima dan ditambahkan.
Hingga pada fase perkembangan ini, kedudukan setiap BUKD di suatu desa
(misalnya, klaster petani produsen kopi dan produsen sayur-mayur) sudah bisa jadi
tangan-tangan aktif dari lembaga BUMDes di bawah pengawasan dan pengarahan
kades setempat.
Hubungan dan kontak langsung ataupun tidak langsung antara suatu satuan
agribisnis BUKD terhadap para konsumen haruslah dibina lewat jalur saluran
pemasaran yang terbuka umum atau saluran tertutup rantai pasok yang ditandai
adanya kontrak pengadaan dan transaksi jual beli. Tentu lewat rantai pasok ada
kepastian pasar bagi sebagian komoditi primer yang sesuai standar agroindustri
pengolahan produk antara, produk setengah jadi ataupun produk jadi atau juga
produk siap pakai juga produk kuliner siap saji. Adanya saluran rantai pasok Gambar
yang
demikian tentu sangat menolong petani produsen anggota BUKD terutama karena: dimaksud
(a) ada kepastian pasar; (b) ada transaksi nihil gangguan; serta (c) ada proses ini yang
mana ya,
pemberdayaan iptek dan aturan main (Gambar Skematik 5.7). Pak/Bu?

322 Ekonomi Pertanian


3. Proses Pematangan UMKM Kemitraan Agribisnis
Kematangan BUKD selaku UMKM kemitraan agribisnis primer akan kuat jika
komoditinya sudah berhasil masuk saluran pemasaran tingkat lokal, tingkat
daerah, dan antarpulau tingkat nasional, apalagi berhasil menembus pasar ekspor.
Seterusnya, dapat dikatakan kuat dan matang jika sudah bisa memiliki ponjen-
BMT (kas Bersama Menabung Terencana) sehingga siap berperan sebagai mitra
BRI masuk desa, juga punya kerja sama aktif dengan lembaga mitra kaum tani
lain, semisal KTNA daerah dan LSM lingkungan alami, seperti WALHI yang
konsisten memantau kelestarian DAS (Daerah Aliran Sungai) dan karena itu memacu
kemajuan iptek di kalangan lembaga usaha pertanian.

Gambar 15.1 Ilustrasi Sistemi Kelembagaan Penopang Kinerja Satuan Agribisnis


Kemitraan

Lebih jauh lagi, BUKD yang maju bisa tampil sebagai suatu UMKM agri bisnis
kemitraan yang masuk kategori kuat-mapan-unggul, jika berhasil akses terhadap
layanan lembaga pemerintahan, seperti: lembaga pendana risteks-inovatif; lembaga
pembinaan klaster usahatani sejenis; lembaga pematangan wirausaha pemula, serta
lembaga asosiasi niaga antarpulau dan ekspor-impor/exim. Hubungan horizontal
demikian tidak haram untuk ditempuh oleh suatu BUKD kuat dan tumbuh mapan
di suatu desa. Justru di situ ada batu ujian bagi tim pengelola atau para manajer
untuk membuktikan kelas dan kinerja kepemimpinan mereka sehingga patut menjadi
contoh bagi BUKD atau UMKM yang lain. Lembaga pemerintahan yang banyak
kaitan dengan ekonomi kerakyatan patut memberi penghargaan berupa hadiah
untuk satuan usaha BUKD yang maju demikian.

BAB 15 | Kelembagaan Sosial Ekonomi Prasyarat Sukses Peristiwa Ekonomi 323


15.2 Pola Kemitraan SUPK Pemicu Pacu Ekonomi Desa
Bina pertanian kerakyatan perlu didahului peristiwa sosial, yang baru bisa mulai
dipacu setelah sekelompok petani se-klaster menyapih kekuatan bersama secara
melembaga disebut BUKD (Badan Usaha Kemitraan di Desa). Ini semacam lembaga
UMKM agribisnis kemitraan pola SUPK (Satuan Usaha Pertanian Kerakyatan) yang
sengaja dibina untuk dapat melakukan suatu peristiwa ekonomi lebih baik, selalu
bersih dan jujur demi kemaslahatan kaum tani. Pada awal prosesi pembinaan,
biasanya tak banyak petani langsung tertarik bergabung, karena mereka kebanyakan
belum melihat hasil nyata.
Peristiwa sosial yang misinya hendak membangun kapal kaum tani se-
klaster pertanaman perlu lapangan DEMOPLOT tempat kegiatan tekno-praktis
melibatkan para binaan, disebut PAR (Participatory Action Research). Juga perlu
semacam ‘PANGGUNG’ untuk tempat PRA (Participatory Rural Appraisal) tampil
berupa musyawarah tentang visi-misi-program, pengambilan keputusan terbaik
dari klaster-tani oleh kelompok-tani untuk keluarga-petani.
Kalau dulu proses sosial berupa pemberdayaan petani lebih dikenal dengan
sebutan “penyuluhan”, memang masih terbatas capaiannya. Ketika itu, program
penyuluhan lebih ditandai bina kemampuan teknis produksi, dan kurang memberi
perhatian lebih terhadap upaya sukses pemasaran. Padahal kelanjutan sukses
produksi ke sukses pemasaran, justru jadi upaya sempurna masuk ke dalam kancah
agribisnis inovatif (bukan ‘usahatani KTC’). Sejak akhir abad-20, sentimen krisis
lingkungan global telah berpengaruh banyak kepada dunia pertanian, maka isu
kerja sama dan kemitraan antarbangsa (multilateral) semakin menggantikan isu
persaingan agribisnis.
Perkembangan terbaru itu tentu menuntut pola pembinaan masyarakat tani
tidak lagi hanya soal bisa berbisnis, tetapi juga bisa menjaga kelestarian lingkungan
hidup. Jadi, wawasan kemajuan di bidang pertanian kian meluas, bukan hanya
terkait hitung-hitungan laba dan nilai tambah dalam satu periode jangka
pendek apalagi hanya semusim tanam. Peran SDA perhutanan lestari sepanjang
waktu jauh ke depan berimplikasi perolehan pendapatan bersih dari usaha tahunan
antarmasa, yang perlu dinisbahkan hitungannya ke nilai uang saat kini (karena
suatu kebijakan bisnis harus dibuat saat kini). Di sini konsepsi “Nilai Bersih Kini
atau NPV” (Net Present Value)” jadi begitu penting. Ini bukan karena isu kelayakan
finansial jadi perhatian investor dan perbankan. Justru, perlu untuk mengatur arus
biaya dan revenue yang harus dialirkan antarwaktu.

324 Ekonomi Pertanian


1. Filosofi Kemitraan SUPK “Bersatu Teguh, Bercerai Runtuh”
Ada argumentasi kuat tentang hitung dagang satuan agribisnis harus mencapai laba
usaha selama beberapa siklus tanam, jika pertanaman semusim juga mengalami
beberapa kali panen/tahun selama bergabung dalam satu siklus tanaman tahunan
perkebunan. Di sini perlu diingat bahwa konsep agribisnis SUPK selalu menampilkan
kombinasi pertanaman semusim (‘Agrotrisula’ = sayur-ternak-ikan cepat panen,
tanpa buangan), di samping pertanaman kayu CT (cepat tumbuh). Dalam kerangka
ini, pertanaman kayu memang selalu harus dihadirkan pada setiap satuan agribisnis
jenis apa pun, sebab semakin tua peradaban, justru tanaman kayu semakin dirasa
penting dihadirkan walau pada seporsi kecil luas arealnya. Tanaman kayu efektif
untuk menjaga kelestarian fungsi dan mutu siklus hidro-orologis (perisai terhadap
El-Nino dan La-Nina), efektif untuk menghalangi sebaran titik api di kawasan
berlahan gambut, jenis serat amat berguna untuk mebeler, bahkan pelengkap prosesi
kematian orang.
Itulah argumentasi dasar bagi arti penting pembinaan dan penerapan serta
pengembangan program SUPK yang esensinya untuk menaikkan rasa percaya diri
kaum tani yang bersatu melembaga. Bersama, harus mampu memberikan sumbangsih
banyak dan bermakna bagi bangsa, tapi sekaligus bisa lebih sejahtera tanpa merusak
basis SDA andalan mereka. Di sini dalam kancah dunia ekonomi bisnis, metode
hitung-hitungan NPV dapat dijadikan patokan baku untuk meyakinkan nilai logis
Rp dari tiap strategi pencapaian, yang sengaja diperbandingkan ‘mana dan seberapa
sebaiknya’ diusahakan.

Gambar 15.2 Lingkup Konsepsional dan Bahasan Ekonomi Pertanian Nusantara


Sumber: F. Sjarkowi, 2022

Untuk memahami dinamika peristiwa sosial-ekonomi yang ikut melatarbelakangi


pembentukan suatu SUPK, ada baiknya jika dipahami lebih dulu beberapa istilah

BAB 15 | Kelembagaan Sosial Ekonomi Prasyarat Sukses Peristiwa Ekonomi 325


ekonomi agribisnis yang tampak pada Gambar 15.2 di atas. Istilah ini sengaja diberi
kesan konsepsional pragmatis guna merangsang nalar tindak operasional untuk
suatu misi pemberdayaan ekonomi kerakyatan sebagai berikut.
a. Struktur interaksi sosial. Ini sepatutnya berjenjang untuk mata rantai bisnis yang
relevan dan tepat untuk dijalankan lembaga usaha kemitraan, yakni sejak fase awal
bertumpu pada DEMOPLOT untuk kelangsungan diklat teknis langsung melibatkan
bagi semua SDM lewat proses PRA (participatory rural appraisal) dan proses produksi
inovatif maupun olah-perta yang harus ditularkan melalui proses PAR (participatory
action research) = riset aksi yang langsung diperanaktifkan.
b. Tekstur prestasi sosial. Ini tentunya merupakan hasil musyawarah tentang
kesepakatan rencana kerja dan pembagian laba serta nilai tambah untuk para
pemilik penggarap lahan, lembaga kemitraan, penghimpunan dana cadangan
dalam semangat BMT (Bersama Menabung Terencana) yang kesemuanya
dibimbing lewat proses A–Z pembinaan masyarakat atau program CD
(community development) lengkap. Sejak dari ‘A’wal mengatur kekuatan bersama
mendayagunakan iptek-inovatif di jalur bisnis berantai transaksi wajar, tidak
‘Zero-sum game’ (saling cotok menang dan kalah), melainkan demi prestasi win-
win (sama menang).
c. Pasar. Ini terkhusus untuk bentuk skala kecil-tradisional-individualis agar
jadi produksi berkinerja kemitraan berpatron tekno-bisnis. Struktur pasar,
hendaknya berubah dari bentuk ‘kontak kebetulan’ agar jadi kontak bisnis
bersandar sebisa mungkin pada perjanjian (kontrak) sesuai komunikasi
informatif beraturan antara dua petugas perwakilan produsen dan konsumen
pembeli sesuai janji yang diiklankan.
d. Tekstur transaksi bisnis yang sudah sepatutnya memacu transaksi yang
tanpa ada gaya intimidasi, melainkan selalu konsisten mengedepankan harga
keseimbangan yang adil karena terbentuknya transparan, demi capaian unit
agribisnis jadi maksimum, yaitu merupakan nilai Rp yang terbit dari komoditi
terbaik ataupun dari produk inovatif berkat iptek penambah laba dan pemberi
nilai tambah yang diterap-gunakan.

Dengan batasan pengertian yang diberikan di atas, maka pesan dalam Gambar
15.2 akan jadi jelas logika yang diberikannya. Bermula dari upaya menyukseskan
peristiwa sosial lewat misi dan kegiatan mengikut arah panah, berlanjut pada
keharusan mencapai sukses peristiwa ekonomi. Capaian akhir harus memacu
kesejahteraan rakyat pedesaan dan daerah.

326 Ekonomi Pertanian


2. Petani KCT Klaster Sejenis Bergabung Melembaga KUBE
Dalam peristiwa sosial yang diperkuat struktur interaksi sosial dan tekstur
prestasi sosial, ada istilah KUBE (Kelompok Usaha Bersama Efektif) sebagaimana
sudah diterangkan dalam Bab 1. KUBE perlu dihidupkan paling awal dalam upaya
mencapai sukses pembinaan kaum tani KCT di suatu desa sasaran. Dalam tempo
21 hari, secara cepat bentuk KUBE sudah bisa berkembang jadi BUKD (Badan
Usaha Kemitraan di Desa) yang apabila telah didaftarkan di Dinas Koperasi atau
Dinas Indag di Kabupaten. BUMDes sebaiknya diposisikan sebagai tangan aktif
dari BUMDes agar jadi aktif berbisnis memperkuat perekonomian desa. Target ini
memaksa para pihak untuk benar-benar sungguhan menjalankan agenda sukses
peristiwa sosial, karena satuan kelembagaan petani KCT harus siap untuk bisa
menguatkan kelompoknya agar bisa digerakkan oleh lokomotif peristiwa ekonomi
bermesin ganda, berstrategi manajemen, dan berstrategi wirausaha.
Dilihat dari struktur-interaksi pasar, di situ TIDAK boleh ada peristiwa sosial
yang hanya dilakoni oleh dua tokoh eksklusif (tidak membawa aspirasi kaum tani
KCT yang mereka wakili). Pada peristiwa ekonomi yang tampak dari tekstur-
interaksi bisnis, substansi negosiasi transaksi haruslah mewujudkan capaian
transaksi bisnis sebagai penopang, sukses ekonomi bagi kenaikan kesejahteraan
warga desa maupun kemaslahatan daerah. Ini merupakan berkat adanya ritme
dan proses transaksi jual beli komoditi pertanian ataupun produk agroindustri
dengan sasaran pasar dan pangsa pasar yang jelas serta berkembang meluas sejalan
perputaran waktu secara berkelanjutan.
Tentu juga argumentasi itu dasarnya dari kenyataan lapangan yang banyak
dialami kelompok usaha KUD, yang justru terbukti sebaliknya. Filosofi ‘bersatu
teguh daripada bercerai runtuh’ tidak tampak pada kinerja KUD yang gagal,
sehingga terjadi olok-olok. Ada tiga macam bunyi sinisme suka dilontarkan warga
terhadap KUD, di antaranya, yaitu: (1) KUD = ketua untung duluan; (2) KUD =
koperasi udah diponis ‘mati suri’; dan (3) KUD = koperasi urip dari ‘papan nama’
(maksudnya beraktivitas ketika datang bantuan pemerintah ke alamat yang ada di
papan nama resmi). Olok-olok tentu mengungkap kekecewaan warga karena sejak
awal satuan KUD berkepentingan mengangkat nasib kaum lemah di desa, namun
tak kunjung berhasil nyata. Misi naikkan kesejahteraan kaum tani dan warga desa
dalam banyak kasus masih ‘jauh panggang dari api’ tampil sebagai program visioner
sejak A hingga Z.
Olok-olok tadi bisa membuat banyak pihak tidak lagi getol membela apalagi
optimistik membina warga desa. Padahal sikap pesismistik demikian bisa mematikan
nyali pengabdian yang seyogianya diberikan secara tulus ikhlas kepada orang desa.
Sudah semestinya dicari dan dipelajari apa dan di mana titik lemah yang dihadapi

BAB 15 | Kelembagaan Sosial Ekonomi Prasyarat Sukses Peristiwa Ekonomi 327


oleh aneka KUD yang mengalami gagal. Apakah itu semata-mata persoalan sosial,
persoalan ekonomi, ataukah juga terkait pada persoalan biogeofisik yang berbarengan
dengan perubahan lingkungan global. Optimisme membina seharusnya selalu hadir
pada pihak yang beruntung, sehingga sukses mereka sengaja akan ditularkan kepada
pihak yang masih lemah. Apa yang lemah dan juga apa yang tampak positif pada
cara kerja KUD, sudah sepatutnya ditarik pelajaran berharga untuk penyempurnaan
kebijakan selanjutnya. Berkenaan dengan ini, persoalan terkait peristiwa sosial dan
persoalan terkait peristiwa ekonomi telah dibahas, terkecuali yang alami.
Memang selalu ada persoalan yang bisa muncul kemudian di luar kendali
manusiawi sepenuhnya, adalah ketika terjadi gangguan alam yang sepatutnya
diantisipasi efek biogeofisiknya terhadap volume komoditi jadi ikut terganggu. Lalai
dalam mewaspadai hal ini bisa memantik kesempatan bagi personel perwakilan
lembaga untuk berinisiatif menutupi defisit volume. Di sini bisa muncul perilaku
kreatif dan eksklusif yang memicu perilaku “insider trading” gaya kampung, alias
niaga ‘nebeng’ untuk keuntungan pribadi pelaku. Bentuk-bentuk penyimpangan lain
yang pernah dibahas dalam bab sebelum ini, selalu ada kaitannya dengan masalah
antisipasi dan kewaspadaan terhadap perubahan alam yang tidak sepenuhnya
terduga totalitasnya.
Manajemen satuan BUKD atau UMKM agribisnis kemitraan harus selalu
peka sehingga aktif menghindarkan kemunculan gejala perilaku yang sedikit
menyimpang. Seolah tampak baik untuk kelancaran bisnis melembaga antara kedua
belah pihak, padahal ada peran petugas dua perwakilan yang berperilaku eksklusif
secara sembunyi terselubung. Keadaan itu membahayakan karena bisa lebih lanjut
berkembang jadi kebiasaan yang bakal merugikan semua pihak, terutama kaum tani
yang awalnya hendak diberdayakan sampai kuat dan maju. Sehubungan dengan
aneka kendala, peluang, tantangan, dan kelalaian itu, tentunya masih diperlukan satu
instrumen tambahan yang bisa berfungsi, guna untuk memperkuat ikatan komitmen
para pihak di tingkat akar rumput agar terus maju. Ikatan itu akan dibahas dalam
subbab 15.3 berikut ini, dalam format “Bersama Menabung Terencana” (BMT) di
tingkat perdesaan.

15.3 Pola Keberadaan BMTD Pemantik Soliditas Sosial Ekonomi


Dengan argumentasi dasar prestasi sosial-ekonomi dan prestasi ekonomi-bisnis,
tampak bahwa prestasi biogeofisik yang telah dibahas tadi perlu penyetabil, yaitu
kombinasi jenis pertanaman utama sebagai basis pertanaman program SUPK
(Satuan Usaha Perhutanan Kerakyatan) dibarengi apa pun cabang usaha pertanian
penunjangnya. Kombinasi ini amat berguna untuk menyehatkan fungsi hidro-
orologis pada semua kawasan agro-ekosistem yang sedang diusahakan, agar tidak

328 Ekonomi Pertanian


terlalu rentan terhadap gangguan musim kemarau (MK), musim hujan (MH),
ancaman karhutla-banjir-longsor, dan lainnya.
Oleh sebab itu pula, tidak salah jika pengertian SUPK diperluas makna dan
pengertian konsepsional serta operasionalnya. SUPK bisa diterap-gunakan untuk
semua bentuk badan usaha agribisnis yang ada di sektor pertanian dalam arti yang
luas, seperti disajikan pada tabel berikut.
Tabel 15 Komposisi Pertanaman Kayu sebagai Area Hutan Tanaman untuk Berbagai Tipe
Satuan Usaha Pertanian

Dari pengalaman49 dan pengamatan lapangan di Sumatera Selatan, Bangka


Belitung, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Lampung,
serta Bone-bone Sulawesi Selatan, pantai utara dan pantai selatan Pulau Jawa
selama berkarir 30 tahunan mengabdi bangsa; tersimpul bahwa masih ada satu
syarat kecukupan (sufficient condition) perlu dihadirkan untuk menggerakkan
perekonomian tingkat akar rumput. Itulah lembaga pemicu komitmen untuk terus
menghela lokomotif pembawa gerbong wong tani terus maju berkelanjutan, yaitu
kehadiran gerbong restorasi yang baiknya disebut lembaga Bersama Menabung
Terencana (BMT).

1. Kapasitas BMTD Warga dan Kaum Tani Suatu Desa


Kebanyakan dari kaum tani yang berstatus petani KCT (kecil, cerai-berai, dan
tradisional) umumnya masih bersifat subsistens atau sekadar mencukupi kebutuhan
keluarga. Menurut Sjarkowi, F. (2021), sifat demikian itu tidak cukup kondusif bagi
upaya membuat petani langsung jadi pelaku bisnis maju yang tanggap terhadap

49
Selaku dosen UNSRI yang juga sempat jadi Kepala Bapedalda, BKPMD-Kop, Bappeda
Prov-Sumsel.

BAB 15 | Kelembagaan Sosial Ekonomi Prasyarat Sukses Peristiwa Ekonomi 329


sistem manajemen agribisnis profesional. Namun, kajian lapangan berpola riset
aksi oleh Sjarkowi, F. (2012 di OKU-Timur; 2014 di MURA; 2019 di MURATARA,
Sumatera Selatan), mengungkap tiga butir temuan penting pembuka optimisme
terkait peran kaum tani untuk dibina bagi perkuatan perekonomian nasional. Ketiga
temuan dimaksud adalah sebagai berikut.
a. Sesungguhnya kapasitas para petani pertanaman sama masih dapat dibina
secara tematik-holistik-inovatif-sistemik, lalu sebagai klaster petani bisa
diarahkan membentuk BUKD (Badan Usaha Kemitraan di Desa), yakni tampil
sebagai satuan UMKM agribisnis komersial untuk kemudian bisa dikelola oleh
pengurus dengan sistem manajemen agribisnis profesional pemacu kemajuan,
ditandai raihan laba disertai adanya tabungan.
b. Sesungguhnya kaum tani di setiap desa bisa terdiri dari dua atau lebih klaster
petani (pertanaman pangan; pertanaman tahunan; petani peternak atau juga
petani-petambak ikan). Jika setiap jenis klaster yang ada dapat dibina masing-
masing jadi satuan-satuan BUKD, semua BUKD yang sempat terbentuk bisa
menjadi tangan aktif BUMDes (UU No. 6 Tahun 2014; yang hingga 2022 ini
kebanyakan masih terkendala untuk tampil sukses berbisnis).
c. Sesungguhnya peran aktif petani kecil yang sudah melembaga jadi BUKD bahkan
BUMDes, bisa jadi basis kekuatan ekonomi desa ketika paket iptek-inovatif dan
bina pemasaran memacu hadir aneka produk olahan penghasil nilai tambah,
yang bisa jadi pemicu tumbuh BMTD (Bersama Menabung Terencana) di
desa. Lembaga BMT potensial jadi lembaga mitra dan mata rantai ampuh bagi
layanan BRI kecamatan masuk desa.

Optimisme yang didukung logika dan adanya fakta empiris khas setiap desa,
tentu dapat didalami lebih lanjut sehingga didapatkan resep-resep terapan dilengkapi
sederet SOP manajerial bagi pencapaian kinerja BUKD dan BUMDes berprestasi di
perdesaan. Lembaga ekonomi demikian ini bisa jadi penggerak proses MONETISASI
perekonomian desa sekaligus jadi pemacu ekonomi tumbuh pesat, sejak dari para
pelaku bisnis lapis terbawah. Justru di situ akan hadir peran petani pedesaan penguat
fundamental ekonomi negeri.

2. Kapasitas Desa Mengaktifkan BMTD Tingkat Klaster Pertanaman


Guna menjaga kecermatan analisis dan kebernasan hasil penelitian, maka berpangkal
tolak dari tiga temuan empiris tadi. Untuk memulai upaya pembinaan ekonomi
kerakyatan di suatu desa, boleh jadi tiga butir sasaran kajian awal perlu dicermati
terlebih dulu, yaitu sebagai berikut.

330 Ekonomi Pertanian


a. Apa komoditi unggulan kecamatan dilihat dari jarak dekat-tengah-jauh suatu
desa dari pusat pasar kecamatan dan terkait klasifikasi jarak itu seberapa
pengaruhnya terhadap kisaran NTP, yang senyatanya dialami keluarga petani,
khususnya terhadap tingkat kemahalan nilai belanja yang dialami warga desa
pada jarak tertentu.
b. Apa efek kehadiran BUKD berprestasi baik-sedang-buruk, seperti terukur dari
omzet penjualan komoditi andalan dan produk unggulan terhadap kapasitas
menabung lembaga agribisnis di tingkat desa serta kapasitas menabung warga,
antara lain, sebagaimana yang bisa terukur dari infak jumatan warga kepada
masjid setempat.
c. Apa pengaruh hubungan kuat-biasa-lemah yang senyatanya akan potensi
hubungan antara BUKD dan BRI di kecamatan terdekat serta lembaga pegadaian
serta kantor desa serta peran rumah ibadah, sekaligus bisa diperan-aktifkan
sebagai lembaga penataan mental bisnis warga, agar terpacu jadi pelaku bisnis
komersial tangguh.

Dari kajian awal yang bertitik tolak dari tiga butir pertimbangan itu, maka upaya
penataan jalan pertumbuhan perekonomian desa dan kecamatan tidak akan terlalu
berliku. Dari gerakan pacu ekonomi pedesaan yang serentak berlangsung di seluruh
penjuru Nusantara, kiranya perkuatan fundamental ekonomi nasional dimulai dari
pedesaan (sebagaimana cita-cita UU No. 6 Tahun 2014) bukanlah isapan jempol
karena melibatkan peran 150 jutaan warga pedesaan.
Upaya logis memajukan perekonomian daerah tentu amat tergantung pada
rumusan kebijakan meningkatkan daya beli (NTP) warga di setiap kabupaten
dan kota sewilayah NKRI, kesatuan pasar besar Nusantara. Semua daerah secara
totalitas harus bangkit saling memperkuat, saling membutuhkan, dan saling
mengisi kekurangan hasil produksi melalui mekanisme perdagangan antarpulau.
Pembangunan ekonomi bermula dari tingkat desa akan mampu memunculkan
ribuan jenis produk olahan baru nantinya. Tentunya niaga antarpulau yang secara
fisik berciri barter antardaerah perlu ditunjang dengan mekanisme transaksi pasar
yang direkayasa secara cermat.
Jika suatu klaster terdiri dari N-orang tani, yang masing-masing mengusahakan
suatu pertanaman komoditi Z sama jenisnya yang harga pasarnya Hz, dari satu
putaran produksi milik petani ‘i’ ada penerimaan Zi x RpHz dikurangi biaya total
TCi = FCi + VCi atau (Biaya Produksi Total) = (Biaya Tetap Total) + (Biaya Variabel
Total). Jadi, hitungan penerimaan bersihnya adalah sebagai berikut.

BAB 15 | Kelembagaan Sosial Ekonomi Prasyarat Sukses Peristiwa Ekonomi 331


Rev(z) = ∑Nn=1[(Zn.Hz – (FCn + VCn)])
BK(z) = ∑Nn=1((BnP.HP) + (BnL.HL) + (BnA.HA)])

Belanja keluarga Z bisa berupa belanja pokok (BP) juga belanja barang lux (BL)
semisal HP dan biaya kelanjutan sekolah anak, serta belanja Aneka-rupa (BA) seperti
paket pulsanya. Kini asumsikan jika NPT > 1, BUKD seharusnya bisa mengarahkan
agar supaya setiap anggota menabungkan Rev(z) – BK(z) = Nilai BMT (Bersama
Menabung Terencana). Pada perkembangan lanjut, nilai BMT dapat diperbesar lagi
melalui dua cara, yakni: (1) memacu BUKD mengolah KOMODITI jadi PRODUK
bernilai tambah; (2) membina kepastian mata rantai pasok ‘input produksi’ guna
menghasilkan komoditi secara runtun terjadwal, dan menjamin pasok komoditi
selaku bahan baku produk agroindustri-organis atau agroindustri yang dibangun
sendiri oleh BUKD.

3. Kapasitas Perekonomian Desa dan Keberlanjutan Kiprah BMTD


Pertukaran barang antardaerah adalah prasyarat bisnis transaksional yang harus
diadakan. Pola perdagangan antarpulau itu penting perannya, sebelum nanti berbagai
produk unggulan daerah bisa masuk ke pasar ekspor. Kemapanan produksi komoditi
pertanian dan produk agroindustri setengah jadi maupun barang jadi harus tampak
jelas jika tantangan pasar ekspor (tentu juga harus dijawab). Terkait optimisme ini,
maka perlu dicermati hal berikut.
a. Realitas kekuatan perekonomian tingkat kecamatan yang terbilang maju-sedang-
tertinggal benar berkorelasi positif dengan volume produksi jenis komoditi
pertanian yang dominan diusahakan di perdesaan-nya, tapi berkorelasi negatif
dengan indeks NTP (nilai tukar petani) setempat.
b. Realitas kemampuan menabung warga desa berbeda menurut klaster
pertanaman, kreativitas lembaga bisnis, nilai tambah produk inovatif, dan
hubungan BUKD terhadap lembaga mitra pemasaran; lalu apa pelajaran yang
bisa dipetik dari kinerja tiap klaster itu bagi pembangunan ekonomi.
c. Realitas pelengkap iklim perekonomian khas desa setempat didukung oleh
adanya prasarana dan sarana bisnis modern, di antaranya, layanan perbankan
yang hingga kini belum tampak jauh jadi motor penggerak laju pertumbuhan
ekonomi daerah, karena hanya hadir di tingkat kabupaten.

Mengupayakan agar komoditi yang dihasilkan itu sebagian besar diolah jadi
produk setengah jadi atau produk jadi yang siap konsumsi atau siap pakai; maka
ada nilai tambah hasil (NTH) didapatkan. Sebagai produk olahan, tentu lebih

332 Ekonomi Pertanian


tahan lama apalagi berkemasan yang menarik. NTH bisa menambah nilai BMT,
sehingga nanti bisa digunakan untuk dana patungan investasi kelengkapan sarana
agroindustri, dan bisa juga sebagian untuk investasi pembangunan rumah agar
lebih layak hunian.
Meningkatkan upaya dan strategi pemasaran sehingga bisa menambah rantai
dan saluran pemasaran baru guna menaikkan pangsa pasar serta menambah kadar
keuntungan BUKD selaku pengelola strategi pemasaran. Kenaikan pangsa pasar
boleh jadi juga menaikkan NTH dari tiap satuan produk dan menaikkan kadar total
NTH, sehingga dipastikan memacu naik nilai BMT. Demi amannya capaian ini,
maka BUKD berada pada posisi terdesak untuk menghubungkan BMT dengan BRI.
Dalam rangka memperkuat jaringan pemasaran dan sekaligus menempa
kekuatan ekonomi fundamental NKRI, maka pada fase riset aksi tentang produksi-
inovatif dan pengolahan komoditi kreatif, harus diteruskan kepada perintisan
hubungan dan prosesi niaga antarpulau (provinsi).

Gambar 15.3 Membaca Potensi Komoditi Andalan Daerah Bermula dari Proses Monetisasi
Desa Melalui Pendekatan Bina Klaster Pertanaman

15.4 Pola Komitmen KWIM Pemacu Kemakmuran Wilayah


Ketika prospek perekonomian desa mulai tampak membaik, maka gairah bisnis warga
desa akan tumbuh semakin intensif ataupun juga tumbuh bersifat ekstensifikasi.
Intensifikasi bisa dirasakan nyata berkat adanya wadah BUKD sebagai satuan usaha
UMKM agribisnis yang jadi lebih mudah menerima “paket iptek, strategi manajemen,

BAB 15 | Kelembagaan Sosial Ekonomi Prasyarat Sukses Peristiwa Ekonomi 333


siasat wirausaha, dan kearifan lokal yang telah disempurnakan”. Sementara itu,
kecenderungan ekstensifikasi harus ditekan karena berisiko perambahan hutan
desa bahkan merambah hutan lindung.
Adanya kecenderungan intensifikasi kegiatan satuan agribisnis BUKD, tentu
tidak cukup sebatas bimbingan CD (pemberdayaan komunitas) tentang cara bertani
maju yang ditularkan lewat kegiatan Demoplot. Melainkan perlu ada rangsangan
kemajuan dari lintas kelembagaan yang seyogianya peduli pada kaum tani. Prestasi
kemajuan BUKD tentu saja akan menular kepada warga tani di luar BUKD, akan
Empat hal
tetapi kemajuan di tingkat produksi komoditi primer masih akan terancam oleh
pembawa tekanan pasar saat produksi melimpah.
kemajuan ini
yang mana, Oleh sebab itu, empat hal pembawa kemajuan tersebut tadi sudah sepatutnya
ya, Pak/Bu? ditopang lagi dengan hal kelima pembawa kemajuan berkelanjutan, yaitu rantai
hubungan kelembagaan eksternal, terutama lembaga mitra penyedia finansial dan
jasa perbankan lainnya. Topangan bank kepada warga desa tetap perlu dukungan
kekompakan sosial, terutama yang sifatnya GOTONG ROYONG menabung lewat
BMT (Bersama Menabung Terencana) dan juga sikap kebersamaan berupa janji
TANGGUNG RENTENG atas tanggung jawab bersama.
Pola komitmen Kerja-sama Warga Ingin Maju (KWIM) sudah sewajarnya
terbina guna meyakinkan pihak BUMDes yang ada di desa-desa tetangga, lalu
berupaya urun kekuatan, misalnya dalam rangka menghimpun dana BMT yang
dapat didayagunakan untuk membangun satuan agroindustri skala MINI. Hal ini
juga punya dua makna penting, yaitu untuk mendapatkan simpati kepercayaan dari
lembaga mitra finansial (BRI yang masih berkedudukan di kota kecamatan yang
maju); dan menghindari kiprah agroindustri bawah kapasitas.
Peran lembaga eksternal berupa organisasi profesional tidak pula kalah
pentingnya. Kepedulian positif LSM profesional akan sangat berguna untuk
menambah kepercayaan pihak eksternal dari kancah nasional juga dari kancah
internasional. Organisasi KTNA (Kelompok Tani Nelayan Andalan) akan mudah
yakin dan percaya bilamana BUKD perlu menperoleh sesuatu dukungan dari pihak
lembaga eksternal selain KTNA (misalnya, WALHI).

1. Kerja Sama Bilateral UMKM dan Lembaga Mitra Finansial


Orang tani di pedesaan punya banyak kendala untuk bisa menggapai layanan
perbankan karena: (a) jauh dari kota kecamatan maju di mana terdapat kantor
cabang BRI ataupun bank daerah; (b) Jika pun layanan bank tersedia, tetapi tidak
cukup meyakinkan untuk bisa diberi pinjaman; dan (c) jalur kemudahan dari suatu
proyek masuk desa adalah kesempatan yang tidak pula mudah terbagi kepada banyak
individu petani. Berbeda keadaannya jika peran BUKD sudah aktif dan pengurusnya

334 Ekonomi Pertanian


telah berhasil mengajak anggota membentuk wadah penghimpun dana, yakni
BMT (Bersama Menabung Terencana). Kemajuan itu pasti telah didahului dengan
kontak positif ke kantor cabang bank terdekat, sehingga dari kontak itu pihak bank
punya semacam unsur perpanjangan tangan untuk memberikan pelayanan hingga
masuk ke tingkat desa. Lewat hubungan itu pula, pihak bank secara otomatis dapat
memantau prestasi dan kemajuan para petani di desa, terutama sekali para anggota
BUKD setempat.
Jika keadaan kondusif telah dirintis dan mulai tampak hasil nyata yang juga
terus berkelanjutan, rencana pengembangan kegiatan agribisnis primer telah dapat
dilanjutkan untuk diperkuat dengan langkah intensifikasi dan bahkan mulai dipacu
naik ke tingkat agroindustri skala desa. Untuk bisa merealisasikan ini, maka lewat
sarana musyawarah anggota dapat dilakukan persiapan pengembangan bisnis
turunan baru, dengan lima langkah berikut.
a. Menetapkan jenis pabrik olah komoditi, misal ubi kayu jadi tepung tapioka,
atau mesin tepung jagung bahan dasar pakan ternak.
b. Menentukan kapasitas pilihan mini dan jumlah mesin sesuai potensi ubi kayu
yang dapat dipanen di desa, jelas biaya per unit.
c. Menghitung biaya dan kadar kelayakan teknis juga kelayakan finansial satuan
kegiatan pabrik bakal dibangun dan diaktifkan.
d. Membuat proposal pendanaan atas kekurangan dana, yaitu total biaya (TB)
dikurangi dana tabungan (DT) bisa ditarik dari BMT.
e. Memulai pembangunan pabrik pada waktu tepat dengan memperhatikan kapan
panen komoditi mulai siap jadi bahan baku.

Seandainya kelima langkah itu dapat berjalan lancar, maka hubungan bilateral
antara BUKD di suatu desa dan kantor cabang BRI terdekat terjalin lebih dari sekadar
untuk urusan tabungan BMTD. Dari sini dapat diharapkan laju roda monetisasi
desa akan terpicu-pacu berputar menciptakan lapangan kerja, menaikkan peredaran
uang, dan meningkatkan kemakmuran desa.

2. Kerja Sama Multilateral UMKM dari Lintas Desa Tetangga


Urusan kerja sama bisnis secara massal pasti sulit terjadi jika hanya berbasis langkah
dan selera kerja individual. Upaya bisnis untuk meraih laba dan nilai tambah sejatinya
diiringi persaingan, setidaknya ada prinsip “siapa cepat dia mendapat” dalam kontak
bisnis yang spontan dan tidak mengacu pada suatu aturan main yang disepakati. Oleh
karena itu, kerja sama akan jadi lancar terjadi antar-UMKM agribisnis kemitraan yang
telah melewati serangkaian proses penyamaan pandangan dan sasaran kepentingan
bersama. Proses padu sosial ini harus berlangsung mendahului keberhasilan suatu

BAB 15 | Kelembagaan Sosial Ekonomi Prasyarat Sukses Peristiwa Ekonomi 335


proses ekonomi produktif, khususnya yang berkarakter bawah unggak (bottom-up).
Prinsip harmoni dan kesepakatan sosial memang harus mendasari proses kerja sama
bilateral antara lembaga agribisnis UMKM kemitraan dan suatu lembaga lain atas
solusi menang-menang (win-win solution) telah dibahas sebelum ini.
Jika kemudian kerja sama bilateral kapasitas pabrik ternyata harus berskala lebih
besar sehingga perlu diisi panenan komoditi bahan baku lebih banyak, kerja sama
antar-BUKD desa bertetangga untuk memenuhinya akan juga membuka kesempatan
urun dana BMTD dalam format kerja sama multilateral. Di tingkat produksi komoditi
primer, boleh jadi kerja sama lintas desa melibatkan 3 s.d. 5 BUKD, dan di hilir
ada lembaga BRI dan KTNA aktif jadi penopang kemajuan transaksi produk olahan
agroindustri, terutama disegani di mata para pedagang perantara. Aneka kesibukan
produksi dan pemasaran yang teratur dan sehat serta aman seyogianya semakin
tampak di tingkat desa dan kecamatan terdorong kohesivitas sosial yang kuat.
Ketika skenario multilateral seperti itu benar terjadi, maka berarti perekonomian
di tingkat kecamatan mendapatkan kekuatan pembangkit untuk dikembangkan
lebih lanjut. Pengembangan produk turunan lain dari basis komoditi primer yang
sama boleh jadi masih bisa dikembangkan lebih bervariasi diiringi kualitas kemasan
dan pengepakan ditingkatkan. Di tingkat perkembangan sedemikian ini, upaya
menambah sumber pungutan PAD sudah boleh diatur lebih menyentuh pasal baru.
Upaya ini bagi pemda tidak bersifat ‘ujuk-ujuk’ atau serta-merta dadakan, karena
pembinaan sudah mendahului dilakukan sebelum perkembangan ekonomi terjadi
bernas. Penyediaan aneka prasarana dan sarana baru terkait dengan kelancaran
pemasaran aneka produk memang pula sudah diselenggarakan. Oleh sebab itu pula,
kesan penolakan bayar pajak dan retribusi cenderung tidak akan terjadi.

3. Kerja Sama Horizontal UMKM dan Organisasi Profesional


Kekompakan warga desa awalnya dipelopori oleh segelintir warga tani yang ikhlas
untuk dibina lewat program pemberdayaan masyarakat (CD) lalu mereka berhasil dan
merintis kemajuan agribisnis dan menambah kadar kemakmuran; perubahan positif
ini telah digambarkan sejak awal Bab 15 ini. Secara konseptual hal ini dapat dikatakan
merupakan prasyarat pokok adanya kemajuan perekonomian yang digerakkan dari
bawah (bottom-up) dengan efek penguatan fondasi ekonomi (fundamental-economic
blooming effect) di kawasan padat penduduk. Tentu keadaan yang akan terjadi di
lapangan akan berbeda ketika pola pembangunan ekonomi dari atas ke bawah (top-
down) dilakukan sambil berharap akan terjadi efek otomatis kadar kesejahteraan
menetes ke bawah (trickle down effect). Di setiap daerah Nusantara berpenduduk
padat ini, sepertinya kedua konsep pembangunan ekonomi tersebut harus dipakai
sekaligus. Sasaran pembinaan langsung untuk gerakan ekonomi kerakyatan tentu

336 Ekonomi Pertanian


perlu pola ‘bawah-atas’, sedangkan untuk beberapa sektor pembangunan prasarana
dan sarana fisik padat modal ataupun nonfisik yang mengharuskan keseragaman,
sepatutnya dipakai pola ‘atas-bawah’.
Ketika perkembangan monetisasi desa juga kecamatan ditandai kegiatan
bisnis yang makin sibuk, secara sosial antropologis memang sudah seharusnya
atas landasan kekompakan warga setempat, dalam hal ini warga desa. Pada saat
terjadi kesibukan dan kemajuan ekonomi, maka mulailah berlaku ‘di mana ada gula
di sana semut’; dan ketika kemakmuran tampak nyata di dunia nyata maka aneka
ras dan suku manusia berdatangan ke tempat yang punya banyak variasi bisnis
bertumbuh. Andaikan di tempat bisnis yang menggiurkan itu sejak awal tidak ada
kesatupaduan dan keharmonisan kehidupan warga, maka perkembangan kemajuan
ekonomi tadi jadi peka keresahan sosial karena akan mudah tersulut api entropi
sosial, yang tentu jadi gangguan sosial antropologis. Hal-hal yang bersifat cacat
(entropi) sosio-antropologis yang patut dicurigai akan jadi kendala bagi kelancaran
kemajuan tekno-ekonomi sudah seharusnya diantisipasi untuk dijinakkan.
Upaya menjinakkan api dalam sekam itu membutuhkan upaya kerja sama lintas
kelembagaan secara horizontal. BUMDes atau BUKD yang juga aktif sebagai UMKM
agribisnis kemitraan, amat memerlukan peran LSM peduli nasib rakyat. Organisasi
profesional seperti Kadinda dan asosiasi di bawahnya yang terkait agribisnis serta
agroindustri, harus peduli untuk bekerja sama.

15.5 Pola Kerakyatan BSRP Ekonomi Daerah


Ada pelajaran berharga didapat dari kehidupan sosial ekonomi di daerah transmigrasi
Belitang, OKUT (dimulai 1932) dan Tugumulyo, MURA (1942), keduanya di
Sumatera Selatan, serta transmigrasi Gedong Tataan Lampung (dimulai 1928). Dari
kajian lapangan (Fachurrozie,50 1979; Sjarkowi, F., 1993; F. Sjarkowi, 2019) di tiga
daerah transmigrasi itu, nyata terjalin hubungan sosial ekonomi yang akrab tanpa
ada perbantahan dan perselisihan sukuisme. Justru terjadi proses akulturasi sosial
memperlancar kolaborasi kegiatan ekonomi. Beraneka transaksi bisnis berlangsung
ala-BSRP (Berkiat Sinergi Rantai Pasok). Di lapangan terlihat seperti ada pembagian
tugas yang mengisi membentuk mata rantai bisnis yang saling terkait, saling
mendukung, dan saling memasok.
Orang transmigran sejak awal giat bekerja untuk tugas bercocok tanam.
Orang-orang penduduk asli mayoritas menyambut pasok hasil panen untuk diberi
perlakuan pengolahan dasar agar komoditi laku dijual dengan harga yang pantas.

50
Tulisan ini terbit di Bulletin of Indonesian Economic Studies, Vol. 13, No. 2, 1979 dengan
salah cetak nama penulis, seharusnya Fachrurrozie S.

BAB 15 | Kelembagaan Sosial Ekonomi Prasyarat Sukses Peristiwa Ekonomi 337


Sementara itu, kelompok orang suku asli terdekat ikut andil pula menjalankan
kegiatan penunjang bisnis pokok, khususnya yang terkait dengan aneka proses
pengangkutan dan penggudangan. Di sini termasuk kelompok pendatang dari tanah
Minangkabau, mereka umumnya menjalankan tugas perdagangan yang memasok
kebutuhan orang-orang setempat. Sinergi tugas yang saling berkait ini tampak terjadi
secara alami dan telah berlangsung puluhan tahun tanpa terjadi ekses negatif yang
sempat menghebohkan.
Jalinan sosial yang saling menguntungkan itu tentunya akan terjalin lebih
konstruktif menunjang perkembangan perekonomian daerah, asalkan selalu ada
antisipasi terhadap berbagai kemungkinan muncul sumber konflik sosial. Dengan
antisipasi yang jeli karena didasari logika konsepsional, maka apa pun sumber
ancaman dan pemicu konflik sosial akan dapat diredam secara efektif tanpa
menggoyahkan tatanan perekonomian yang sudah sempat terbangun. Upaya
rekayasa sosial yang sehat tidak boleh terlambat atau diremehkan, sebab upaya
demikian menyangkut sikap dan perilaku sosial yang apabila terlanjur bergerak tentu
amat sulit untuk dibelok-luruskan ke arah yang lebih alami dan justru dikehendaki
semua pihak. Relatif mudah mengidentifikasi sumber masalah dan mengenali
kendala di tengah kelangsungan proses sosial, tetapi lebih sulit lagi mengobati luka
hubungan sosial jika sudah terlanjur ada.

1. Kenali Potensi Kendala Kemitraan Sosial


Zaman terus mengalami perubahan cepat diiringi pertambahan jumlah penduduk
masih melaju bernas, sedangkan keberadaan sumber daya alami kian terkuras.
Di tengah situasi perubahan itu, tidak mustahil muncul faktor kendala beraneka
bentuk yang mudah memicu cacat kerukunan dan harmoni sosial, yaitu berupa
entropi sosio-psikologis, entropi sosio-ekologis, entropi sosio-ekonomis, serta
entropi sosio-kultural.
Potensi dan gejala kemunculan entropi sosio-antropologis itu tentunya
harus diwaspadai efek negatifnya terhadap kohesivitas sosial pada komunitas
pembangunan di suatu daerah. Sebab, kebiasaan cara pandang dan cara kerja yang
sudah mentradisi tidak mudah berkompromi dengan metode dan pola kerja baru
yang datang bersama perubahan cepat. Terkecuali jika ada pendekatan sosial-
antropologis berkearifan menurut perspektif kemanusiaan sejati.
Pandangan sosial-budaya berbeda antarsuku yang ada di suatu daerah, yang
ternyata sedang mendapat fasilitas berbeda dari pihak pemda, bisa memantik
kecemburuan sosial. Dari sini pula, boleh jadi terpicu cikal bakal cacat harmoni
sosial, ini akan disebut ENTROPI SOSIAL-PSIKOLOGIS.

338 Ekonomi Pertanian


Persepsi lama tentang hamparan hutan boleh dibuka dengan sistem 3T (tebang-
tebas-tunu) padahal kini bumi sudah krisis fungsi dan mutu hidro-orologis sehingga
dari 1–2 titik api yang terendus oleh sikap rebutan antar-sesama petani seterusnya
memicu karhutla dan merugikan semua. Padahal ini mudah terjadi akibat SDM
tidak menyadari efek ENTROPI SOSIO-EKOLOGIS.
Persoalan kemiskinan di kalangan pelaku usahatani, NTP (Nilai Tukar Petani)
sering rendah sekali sebagai berikut: petani kecil penghasil komoditi C7 hanya jadi
“Penerima Harga” (Price Takers) dan usahatani KCT takpunya daya tawar-menawar.
Ini selanjutnya akan memicu ENTROPI SOSIAL-EKONOMI.
Perbedaan kultur tradisional dan kultur niaga komersial materialistik, jadi
pemancik kebingungan petani-KCT ketika harus menyikapi tawaran iptek inovatif
yang tidak menghargai kearifan lokal yang sudah membudaya secara turun-temurun,
lalu terjadilah ENTROPI SOSIAL-BUDAYA.
Keempat macam masalah cacat harmoni sosial itu merupakan Entropi Sosio-
antropologis yang tidak boleh dianggap enteng, seolah bisa diatasi lewat kucuran
uang karena yakin selalu diperlukan setiap orang di mana pun. Padahal sikap
menyulap seperti membalik telapak tangan walau sukses rekayasanya, namun
harmoni sosialnya rapuh atas gangguan produksi terjadi alami.

2. Kokohkan Jembatan SECI Penopang Kemitraan Sosial


Telah dijelaskan bahwa cacat harmoni-sosial atau entropi sosio-antro-pologis
itu bermula dari kemunculan aneka paradoks kepentingan sosial (yakni, antara
kelompok tradisional dan pembaru). Aneka kesenjangan dalam hal pandangan hidup,
perspektif kepentingan, pencarian nafkah, serta prinsip pokok-kegiatan sering kali
muncul menghadang aktivitas pembangunan. Maka dari itu, jarak atau kesenjangan
antara dua pihak (banyak pihak) di tengah kehidupan warga desa sudah seharusnya
dijembatani, sesuai konsep SECI pada skema berikut.

BAB 15 | Kelembagaan Sosial Ekonomi Prasyarat Sukses Peristiwa Ekonomi 339


Gambar 15.4
ini yang mana
ya, Pak/Bu?

Gambar 15.4 Terap Guna Metode PAR (Participatory Action Research) dan PRA
(Participatory Rural Appraisal) sebagai Socio-Entropy Controlling Interface (SECI)

Perlu jadi perhatian bahwa program pembinaan klaster petani KCT tidak
berakhir ketika rancangan kegiatan SECI sudah diimplementasikan, karena roda
perubahan tetap akan berputar cepat dan tidak mustahil memancik hal-ihwal baru
diiringi entropi sosial baru. Oleh sebab itu, pembinaan UMKM kemitraan agri-
bisnis yang diamankan dengan siasat bijak SECI tetap perlu diperlengkapi dengan
menaikkan intensitas komunikasi lintas kelembagaan mitra horizontal, sehingga
kiprah BUKD selalu jeli di tengah tiap tantangan iklim bisnis. Terlepas dari itu,
pimpinan dan staf harus terlatih profesional dalam menjalankan manajemen, serta
jujur dan berdedikasi saat memainkan jurus wirausaha.
Kesatupaduan gerak pelaku bisnis anggota BUKD atau UMKM agribisnis
kemitraan yang terbina sistemik sesuai konsep SECI sebagai perekat hubungan sosial
antropologis di dunia bisnis, tentu cukup kuat menghadapi tantangan persoalan
bisnis. Akan tetapi, kesatupaduan yang kuat itu belum bisa menjamin kiprah dan
kinerja BUKD untuk maju cepat, melainkan masih diperlukan benteng pertahanan
bisnis mengacu pada paham dan pengalaman pengusaha bidang lain.

3. Kembangkan Jaringan Komunikasi Lintas Kelembagaan


Paham kewirausahaan dan juga rangkaian pengalaman pihak lain hanya akan mudah
diperoleh jika ada komunikasi dengan beberapa asosiasi bisnis yang bernaung di
bawah Kadinda. Ini mengharuskan BUKD se-daerah berhimpun di BUKD induk
berbasis kesamaan visi-misi klasternya, lalu masuk ke organisasi profesi KADIN
yang punya anak cabang di provinsi hingga kabupaten dan kota. Kadinda provinsi
bisa menaungi 20-an asosiasi organisasi profesi bisnis. Di antara asosiasi itu tak-

340 Ekonomi Pertanian


sedikit yang terkait bisnis berskala besar dan berorientasi ekspor. Apabila seluruh
BUKD di suatu daerah sudah memiliki koordinator lalu bernaung pula di bawah
Kadinda, banyak manfaat bisa didapatkan oleh BUKD anggota dari keberadaan
aktifnya, antara lainnya sebagai berikut.
a. Melek informasi perkembangan dunia usaha pada umumnya.
b. Melek aturan dan perundang-undangan yang baru keluar dan diberlakukan.
c. Melek etika bisnis sehubungan kode etik LH berkelanjutan.
d. Melek peluang bisnis untuk bermitra dengan UMKM atau BUKD.
e. Melek gaya manajemen dan siasat wirausaha bercermin dari mitra.

Pada gilirannya, peningkatan kapasitas manajemen dan wirausaha para


pengelola BUKD akan dapat membuka tabir keterisolasian, sehingga cakrawala
kemajuan berbasis kekompakan kerja dan pola kinerja serta cara menyapih mutu
hasil kerja; semuanya akan cepat berkembang lalu menaikkan capaian LABA dan
NILAI TAMBAH satuan lembaga BUKD. Dengan tingkat capaian yang tercatat
rapi serta nyata ukuran wujudnya, tentulah satuan BUKD jadi menarik di mata
BUMDes yang langsung di bawah pengawasan kepala desa. Pada posisi capaian
keberhasilan itu tidak ada lagi alasan kades dan BUMDes untuk menolak tiap
BUKD (dari tiap klaster petani) menjadi tangan bisnis BUMDes.
Walaupun begitu, betapa pun gencarnya upaya merekayasa harmoni sosial di
suatu kawasan sasaran pengembangan kemajuan agribisnis (meliputi agroindustri),
namun inovasi bisnis tetap perlu mendampingi upaya itu. Tanpa ada sarana
kemudahan dan sumber cipta nilai tambah akan sulit menaikkan kadar kesejahteraan
dan tingkat kepuasan warga. Oleh sebab peran dinas dan badan sektoral sosial-
ekonomi-budaya dan tekno-biogeofisik mutlak perlu dalam penyediaan kebutuhan
warga sembari merekat kohesivitas sosial.

Daftar Bacaan Lanjut


Muadz, M.H. 2014. Anatomi Sistem Sosial: Rekonstruksi Normalitas Relasi Intersubyektivitas
dengan Pendekatan Sistem. Jakarta: GH Publishing. Institut Pembelajaran Gelar
Hidup Jakarta.

BAB 15 | Kelembagaan Sosial Ekonomi Prasyarat Sukses Peristiwa Ekonomi 341


[Halaman ini sengaja dikosongkan]
BAB

16
SUKSES PERISTIWA EKONOMI MAPAN
SOSIAL EKONOMI BERKELANJUTAN

16.1 Kelayakan Satuan Agribisnis untuk Kemakmuran Desa


16.2 Kepribadian Sistem Agribisnis untuk Kemandirian Bangsa
16.3 Keragaman Satuan Agroindustri untuk Keunggulan Negeri
16.4 Kekuatan Sinergi Agribisnis untuk Kemapanan Nusantara
16.5 Keandalan Sebaran Agribisnis untuk Kedaulatan NKRI

Ekonomi Pertanian: Sukses Peristiwa Ekonomi, Mapan Sosial


Ekonomi Berkelanjutan
Adalah naluri manusiawi, jika orang tak suka berbuat sia-sia atau hampa tanpa
perolehan sesuatu manfaat berharga. Namun juga manusiawi, jika orang suka
tergesa-gesa, sebab takut tidak kebagian ketika ada manfaat finansial materialistik
hadir di depan mata hendak diperebutkan orang banyak. Apalagi jika yang tersedia
tampak tak cukup, yakni lebih sedikit jumlah manfaat yang tersedia daripada jumlah
orang yang siap memperebutkannya. Dalam bahasa ekonomi, sumber pemuas
kebutuhan suplainya (penawaran) lebih sedikit daripada demand (permintaan)
mereka yang ingin mendapatkan bagian. Dari sini muncul karakter sosial dan
karakter ekonomi pada pribadi setiap orang.

343
Pada awalnya orang-orang bisa saja bersikap saling tenggang rasa dan se-nasib
se-penanggungan. Namun, bila perorangan menyadari ada kendala dan hambatan,
ada keterbatasan dan kesempatan ketika itulah keserakahan atau juga kesepakatan
muncul ke permukaan. Sikap serakah mudah tampil di saat orang-orang tidak
saling kenal, dan sebaliknya kesepakatan akan terbit kalau orang-orang sudah saling
mengenal atau juga diperkenalkan satu sama lain melalui suatu upaya prosesi sosial
ekonomi. Walaupun demikian kesepakatan yang ternyata gagal memuaskan semua,
pasti akan membuat sebagian kecewa. Rasa tidak puas bisa memantik iri-dengki
lalu mengumbas onar keresahan.
Prosesi peristiwa ekonomi yang sukses adalah capaian yang akan terus
merekat persatuan dalam kesatuan. Namun, keberhasilan urusan pertanian tak
bisa sepenuhnya dalam kendali upaya manusia, karena ada peran biogeofisik
alami, terutama yang terkait dengan air, tanah, dan udara yang dipengaruhi oleh
iklim bumi yang diselimuti atmosfer disinari matahari. Pelaku pertanian yang bijak
perlu berupaya mengatur diri sambil mengajak orang-orang lain agar berhati-hati.
Konsekuensinya, visi dan misi bersama harus dibina dan ini perlu biaya. Mungkin
itu dari bantuan pihak penguasa, tetapi lebih baik jika didanai dari hasil jerih payah
bersama sebagai pemantik awalnya. Permufakatan bersama menabung terencana
jadi resepnya, tetapi BMT haruslah terus berkelanjutan.
Oleh sebab itu, prosesi cara hidup di lapangan akar rumput memang harus
berubah total, karena perkembangan dunia dan peradaban makin mengingatkan arti
penting menjaga kesempurnaan ciptaan Tuhan YME selalu dalam keseimbangan
makro-kosmos dan mikro-kosmos. Harus ada cara merekayasa keseimbangan itu di
tingkat makro-wilayah dan mikro-usaha. Seberapa pun kerumitan dan keruwetan
sudah tampak menggejala di antara kesadaran dan keserakahan, upaya luhur
berkonsep jelas karena penuh dengan pertimbangan keilmuan dan keimanan harus
terus dilakukan agar kian mapan. Sesungguhnya yang demikian itu adalah tanda
bersyukur dalam nikmat tanpa lupa daratan.

16.1 Kelayakan Satuan Agribisnis untuk Kemakmuran Bangsa


Secara tekno-ekonomi bahasan tentang upaya padu kekuatan pelaku ekonomi
perdesaan agar jadi penopang ekonomi fundamental negeri sudah sempat diulas
sebelumnya, tetapi masih perlu beberapa langkah siasat dan strategi totalitas agar
efektif dan efisien berhasil guna. Tanpa ada pendekatan taktis-strategis secara
totalitas, yaitu terpadu vertikal (lintas kosmos, lintas makro-wilayah hingga
menyentuh satuan mikro-usaha) juga terpadu horizontal (lintas ruang, lintas
sektor) maka program transformasi ekonomi agribisnis di tingkat perdesaan akan
sulit berhasil langgeng berkelanjutan.

344 Ekonomi Pertanian


Tabel 16 Lingkup Sasaran Manajemen Strategi Kebijakan Agribisnis
Sasaran Pokok Siasat Pemicu Strategi Pemacu Syarat Lanjut
Kebijakan (1) Manajemen (2) Manajemen (3) Pelengkap (4)
1. Tekno-KOSMOS Amankan dari:
a) Fungsi integrasi a) Wilayah a) DAS-HTH Lindung a) PIG atau GCG
DAS Pembangunan b) DAS-HTH Budi Daya b) Titik Api-Karhutla
b) Fungsi hidro- b) Wilayah Puspem c) DAP-KEK Terpadu c) SPL-Digital Sesame
orologis Pertan
c) Fungsi Serasi c) Wilayah
Zona DAS Pertumbuhan PBL
2. Tekno-PERTA Amankan dari:
a) Multi-komoditi a) Pola Pertanaman a) SUPK Lintas Sektor a) Aksi-liar PK-Lahan
b) Multi-proses Terpadu b) SUPK Lintas b) Reaksi AF-Lahan
c) Multi-pangsa B) Pola Demoplot Komoditi c) Reaksi KP-Lahan
Terpadu c) SUPK Lintas Produk
C) Pola Panen Terpadu
3. Peristiwa SOSEK Amankan dari:
a) Struktur a) PRA sosio-ekologi a) KUBE Resmi a) Profokasi
Interaksi Sosial b) PKD sosio-ekonomi b) BUKD Terdaftar b) Penghianatan
b) Tekstur Interaksi c) PAR sosio-kultura c) BUMDes Aktif c) Premanisme
Sosial
c) Wadah Prestasi
Sosial
4. Prosesi EKONOMI Amankan dari:
a) Struktur a) STP jejaring niaga a) Rantai-pasok DPIN a) Pemburu rente
Interaksi Bisnis b) ATP jejaring bisnis b) Rantai-niaga RPAK b) Pembonceng niaga
b) Tekstur c) BMT jejaring c) Rantai-monetisasi c) Bilateral
Transaksi Bisnis pendana monopolitik
d) Transfer Prestasi
Ekonomi
*Dimulai dengan buku ini, saya selaku penulis memberikan batasan makna baru tentang SUPK. Selama
ini SUPK = “Satuan Usaha Perhutanan Kerakyatan” (F. Sjarkowi, 2016), dalam pengertian lama SUPK
merupakan konsep terapan pengusahaan unit hutan kemasyarakatan. Kini atas dasar pendekatan totalitas
(Tabel 15), maka SUPK kini diberi makna lebih luas dan komprehensif; bisa unit usaha perhutanan bisa
juga pertanaman yang “SELALU ADA SPESIES TUMBUHAN KAYU” berapa pun proporsi luasnya (F. Sjarkowi,
2022).
** Kolom 1 dan 2 sasaran 12–14 kali kuliah untuk tingkat S1. Kolom 1, 2, dan 3 untuk S2. Kolom 1 s.d. 4
tingkat S3.

Dapat dipahami betapa lambannya pengaruh program pembangunan pertanian


yang digulirkan jika hanya tentang tekno-perta bagi satuan usaha agribisnis (pasal
kegiatan 2 Tabel 16). Sementara itu, di dunia nyata sudah beraksi tiga kategori
pelaku:
a. petani tradisional;
b. petani transaksional; dan
c. petani struktural; ketiganya memicu aneka masalah lapangan pertanian.

BAB 16 | Sukses Peristiwa Ekonomi Mapan Sosial Ekonomi Berkelanjutan 345


1. Struktur Satuan Usaha Agribisnis Kerakyatan
Upaya menyusun satu rancangan satuan usaha agribisnis kerakyatan, informasi
arahan pada Tabel 16 bisa digunakan sebagai acuan. Ada 12 langkah berurut (4 x 3)
vertikal atas-bawah perlu ditempuh sebelum suatu bentuk rancangan bisa sukses
mewakili kepentingan petani KCT se-klaster yang ada di suatu desa atau lokasi.
Di situ terdapat empat kolom perlu waktu pembinaan sekitar 3 bulan (2 minggu/
kolom) agar satuan usaha BUKD bisa dikelola profesional menggunakan sistem
manajemen modern. Jika upaya 3 bulan ini sukses, maka kedudukan BUKD atau
UMKM agribisnis kemitraan siap duduk sama tinggi berdiri sama tegak dengan
satuan usaha yang berskala menengah (USM) dan berskala besar (USB). Isyarat
inilah yang seharusnya dilalui sebelum suatu BUMDes (UU No. 6 Tahun 2014)
lewat BUKD tangan aktifnya berbisnis di desa.
Akan tetapi, persoalan terberat untuk menyatukan pelaku usahatani KCT adalah
terkait keadaan usahatani di lapangan sangat bervariasi dari petani ke petani, dari
keluarga ke keluarga. Bervariasi karena memang berbeda geofisik lahannya, atau
berbeda masalah sosial-ekonomi melilitnya, juga persoalan sosio-kultural yang
jadi kendala. Variasi keadaan lapangan ini setidaknya akan jadi sebab lambannya
upaya penularan iptek-inovatif dan manajemen agribisnis modern kepada kaum
tani kebanyakan. Walaupun demikian kendala lapangan tidak boleh mengendorkan
kesengajaan upaya untuk mengangkat tingkat kesejahteraan kaum tani lemah yang
jumlahnya banyak.
Dari segi geofisik lahan, bisa terjadi perbedaan tingkat kesuburan pada persil-
persil lahan usahatani sekalipun di desa yang sama. Variasi demikian ini terutama
akan sangat nyata bilamana terkait kawasan pertanian di DAS-hulu yang ditandai
padatnya perbukitan. Di sini pasti ada perbedaan produktivitas antarpersil lahan.
Ada persil yang secara alami bertahan tingkat kesuburannya tinggi, tapi ada pula
yang cepat terkuras kesuburannya karena efek erosi tanah yang terjadi. Dalam bahasa
ekonomi pertanian, petani yang beruntung tentu dapat bertahan hidup bersama
keluarga walau dengan cara berusahatani tradisional. Bagi petani penggarap dengan
tingkat kesuburan alami rata-rata sedang, tentu perlu tambahan input pupuk guna
menaikkan produksi. Ini tidak masalah asalkan tambahan biaya pupuk jauh lebih
kecil dari nilai tambahan produktivitasnya, kata lainnya nilai biaya marginal harus
lebih kecil dari nilai revenue marginal NBM < NRM. Bagi petani lain tanpa persil
lahan potensial, tentu bisa menjual persil lahan itu dan menerima nilai ganti rugi
lahan (NGRL).
Dilihat dari segi sosial-ekonomi beragam persoalan pula bisa dijumpai di
perdesaan, ada petani yang hidup pas-pasan (berusahatani pola tradisional), ada
yang sudah biasa ambil risiko hutang untuk input produksi (berusahatani pola

346 Ekonomi Pertanian


transaksional) dan ada juga yang berusahatani dengan cara manut pada ketentuan
induk semangnya (pola struktural plasma-inti). Warga tani berciri tradisional
tentunya lebih leluasa dibina daripada yang berciri transaksional.
a. Ciri tradisional. Di sini petani hanya bersifat merespons ciri biogeofisik, dan
sifatnya mendayagunakan potensi alami lahan saja, dan respons ini pun hanya
sebatas kebiasaan atau tradisi, sudah terbiasa dilakukan sejak lama. Ciri ini
rentan turun-naik produksinya atas pengaruh alam. Akan tetapi, kinerja alam
sering kali dirusak oleh perilaku individu petani yang subsistens dan sporadik
tanpa ada faktor pengendali. Ciri ini punya efek bumerang dahsyat jika
berlangsung di kawasan perbukitan, yang dibuka dan digarap untuk tanaman-
tunai (cash-crop, semisal sayur-mayur) ataupun tanaman peluang (catch-crop,
semisal Nilam untuk minyak atsiri) tanpa tanaman kayu yang berfungsi
menangkal erosi berlebihan.
b. Ciri transaksional. Di sini selain merespons ciri biogeofisik lahan petani, juga
menyadari peran pasar output dan input produksi, sehingga biaya dan revenue jadi
perhatian para pelaku usahatani. Ciri ini bisa dijadikan unsur pemantik sentimen
sosio-psikologis bilamana mengajak sejumlah petani untuk bersatu melembaga
agar punya posisi tawar yang lebih kuat. Ciri ini bisa diterap-gunakan mengajak
para perambah hutan lindung agar hanya bertindak semi-komersial (tidak boleh
komersial penuh, tidak juga sekadar bertanam subsistens). Syaratnya, petani
harus aktif menjalankan satuan usaha perhutanan kerakyatan (SUPK), tetapi
mengikuti SOP bina program dan kegiatan industri olah-perta (agro-processing
industry) targetkan pasar wisatawan, sembari mengawasi kondisi hutannya.
c. Ciri struktural. Di sini pertimbangan biogeofisik, sosial-ekonomi dan soal
untung-rugi biasa dikuatkan intervensi kelembagaan oleh pihak pemda dan LSM
profesional pemicu aksi manajemen. Ciri ini mendudukkan petani pada posisi
‘terpaksa manut’ karena alasan pentingnya mendukung program pemerintah;
semisal dalam rangka program CD guna menopang transaksi jual beli tanah yang
perlu dibebaskan demi jalan tol, ataupun APL (Area Peruntukan Lain; untuk
persiapan kawasan industri). Ciri ini kadang memantik kecurigaan warga dan
petani yang biasanya sengaja dilibatkan melalui koordinasi kades. Khususnya
jika tokoh ini dikenal kurang jujur, sehingga mereka memendam sikap acuh tak
acuh. Akibatnya, ciri struktural cenderung diikuti petani yang diikut-sertakan
itu hanya memberi respons positif sekadarnya tanpa didorong tekad kuat.

BAB 16 | Sukses Peristiwa Ekonomi Mapan Sosial Ekonomi Berkelanjutan 347


Jadi, di tingkat lapangan terdapat ciri warga pelaku usahatani yang harus dikenali,
dan harus dimaklumi jika pada awal pembinaan warga tani hanya segelintir pelaku
tani saja yang siap berperan serta. Beberapa saat kemudian setelah menyaksikan
langsung perubahan positif pada basis kesejahteraan, mereka akan berdatangan
menyatakan minat untuk menjadi anggota BUKD. Pemahaman yang cermat tentu
memudahkan upaya pengelompokan mereka yang hendak dipicu-pacu membentuk
kesatuan upaya yang kompak. Di sinilah letak kesulitan tim penyuluh pertanian,
karena fakta lapangan yang dihadapi sangat butuh kepiawaian dan kesabaran
sebelum perubahan diterima penuh oleh suatu kelompok tani yang dibentuk.
Bersamaan dengan itu, pengaruh ciri biogeofisik, sosial-ekonomi-transaksional,
dan program struktural masih terbilang kondisi yang menguntungkan apabila
di dunia nyata kedudukan produktif persil-persil lahan rakyat senyatanya masih
tersebar kepemilikannya di tangan petani secara alami mencirikan sebaran nilai
rente-ekonomi tertinggi masih berada di tangan para petani tradisional. Nilai rente
ekonomi lebih rendah justru mencirikan perilaku usahatani transaksional, karena
ciri geofisik yang disadar kurang subur justru jadi pendorong penggunaan input
produksi yang bernuansa iptek. Diilhami Barlowe (tentang teori rente ekonomi;
1978), ketika mengamati kinerja produktif suatu satuan usaha sebagai sumber
nafkah kemanusiaan, maka perlu dicermati lingkungan alami maupun lingkungan
sosial dan lingkungan buatan. Perhatian begitu tentunya diberikan dalam rangka
memahami apa sesungguhnya sumber revenue dan sumber laba yang harus jadi alasan
kebijakan yang tepat-guna agar sasaran pokok rancangan pembinaan agribisnis bisa
sukses tercapai.
Contohnya, kalau bisa diatur, baik kiranya jika persil lahan petani yang
dilibatkan pada suatu program pembinaan yang menonjol ciri strukturalnya itu,
justru adalah persil lahan dengan nilai rente-ekonomi alami terendah. Apalagi
jangan sampai ada petani yang tergoda menjual persil lahan miliknya yang justru
mengandung nilai rente ekonomi alami tertinggi. Artinya, yang seharusnya
dipertahankan jangan sampai dijual atau dialih-fungsi adalah persil lahan yang
paling efisien kemampuan produksinya; dengan sedikit upaya tradisional saja pun
sudah bisa mencapai produktivitas tinggi, alias revenue tinggi walau dengan biaya
produksi rendah. Milik dan kapasitas produksi demikian akan sangat membantu
upaya peningkatan tingkat kesejahteraan petani. Ini karena ciri bio-geofisik alami
terbaik, yang biasanya dibarengi kearifan lokal petani.

2. Menghitung Nilai Keberhasilan Satuan Usaha Jangka Panjang


Ada tiga macam nilai patokan yang perlu dicermati guna membuat suatu keputusan
pemanfaatan lahan agar tidak salah langkah. Setiap kali membuat keputusan selalu

348 Ekonomi Pertanian


dipilih dan ditetapkan pada saat KINI (sekarang), sementara bahan pertimbangannya
boleh jadi adalah aliran dana keluar (biaya) dan masuk (revenue) dana selama satu
jangka waktu panjang, yaitu dari sekarang hingga suatu terminal waktu di masa
depan. Oleh sebab itu, perhitungan memerlukan metode kalkulasi yang sama,
agar hasil perhitungan untuk skenario kegiatan yang berbeda, tetapi dapat dilihat
perbandingan nilainya secara sah sehingga keputusan terbaik bisa dibuat tanpa ragu.
Di sinilah peran hitung dagang menggunakan konsep teori nilai kini yang
sesungguhnya amat berguna (dan secara khusus dasar teorinya akan dibahas dalam
Bab 16). Konsep hitung nilai ‘kini’ bertumpu pada alasan mendasar bahwa nilai Rp
di suatu waktu to + 1 (atau FV= Future Value) seyogianya terkoreksi atas besaran
inflasi yang terjadi, misalnya sebesar ‘i’ = 7%. Jadi, apabila kini (to) harga 1 Kg
daging sapi adalah Rp100.000,-, setahun lagi harga itu naik menjadi Rp100.000,-
+ 7% x Rp100.000,- = Rp100.000,- x (1 + 7%)1 = Rp107.000,-. Jadi, apabila ada
daging dengan harga perkiraan Rp110.000,- di t1 maka harga per-Kg-nya kini sama
dengan Rp110.000,- x 1/(1+i)1 atau Rp110.000,- (1+i)-1 dan jika tingkat inflasi
diperkirakan sebesar 10%, nilai kini daging itu adalah Rp110.000,- x 1/(1+10%)
= Rp110.000,- x 1/1.10 = Rp100.000,-/Kg. Dari dasar pengertian ini, maka nilai
kini (present value) dari suatu nilai Rp N yang akan terjadi tiap tahun beruntun
selama n = 10 tahun ke depan adalah:

PV = No + Σ Nt (1+r)--t
Di mana t = 1, 2, …, n; serta (1+r)—-t sudah ada tabelnya

Oleh sebab itu, maka metode hitung PV yang sederhana itu ada tiga kegunaan:
(1) bisa menghitung NPV (Net Present Value; nilai kini pendapatan bersih) sebagai
ukuran arus NILAI KEUNTUNGAN mengalir selama n-tahun; (2) bisa digunakan
untuk menghitung NILAI KEADILAN yang dicapai pada suatu proses transaksi,
misalnya NGRL (Nilai Ganti Rugi Lahan); jangan sampai harga lahan per-Ha yang
diterima petani pemilik jauh lebih kecil daripada nilai kini arus pendapatan bersih
atau NPV untuk n = sisa umur produktif petani atau ADIL jika NGRL ≥ NPV;
akhirnya (3) bisa dipakai sebagai UKURAN KEBERLANJUTAN, yaitu perhatikan
NPV pada ‘n’ beda yang patut meningkat.

3. Aneka Rumus Hitung Nilai Prestasi Satuan Usaha Agribisnis


Di dalam subbab 15.3 disajikan satu konsep dasar teoretis yang perlu dipahami oleh
para pembaca yang berniat mendalami, khususnya oleh para mahasiswa tingkat
pascasarjana. Isi bagian tersebut sengaja mengambil sasaran perhitungan nilai kini
dari arus manfaat dan biaya terkait suatu rancangan satuan usaha agribisnis. Rumus
hitung dasar sebelum ini ditulis cara lain:

BAB 16 | Sukses Peristiwa Ekonomi Mapan Sosial Ekonomi Berkelanjutan 349


PV = FV atau PV = FV (1+i)-t

Untuk suatu analisis kelayakan usaha yang sama sekali belum berjalan, maka
nilai FV (Future Value) akan terjadi pada suatu titik waktu ‘t’ di muka. Bilamana
status TBM (Tanaman Belum Menghasilkan) pada umur tumbuh 0 tahun hingga 4
tahun telah dilewati, maka status tanaman berubah dari TBM jadi TSM (Tanaman
Sudah Menghasilkan). Bisa runtun produksi per-Ha, mulai dari awalnya rendah lalu
naik menuju produktivitas maksimal dan kemudian turun kembali. Data tentang
ini ada di LPPM perguruan tinggi setempat ataupun Balai Litbang di suatu daerah.
Data itu boleh digunakan dengan asumsi-asumsi penyesuaian, dan rumus dana
masuk bersih-nya adalah sebagai berikut.

NPV = - NIT + Σt=0 (Ct).(1 + i)–n + Σt=4 (FVt+4 - Ct+4).(1 + i)–m

Di mana: NIT = Nilai Investasi Total (sewa lahan, bangan sarpras; perizinan; Ct = biaya produksi tahun
ke-t; waktu t = 0 = kini; n = t + (0, 1, 2, 3); m = t +1,2,3, …, dst.

Tabel 17 Rumus Hitung ‘Nilai Kini (PV)’ dan ‘Nilai ke Depan (FV)’ dari Suatu Arus Nilai
Tertentu Runtun Terjadi Selama ‘n’ Tahun

*Tabel ini disadur dan diterjemahkan dari buku Forest Resource.

Mungkin pula rumus hitung NPV diperlukan untuk membandingkan dua


bentuk kegiatan investasi, yaitu upaya pemanfaatan persil lahan yang di sini hendak
disebut ‘konversi’ serta yang berat, sengaja di sini disebut ‘alih fungsi’.
a. Pola “konversi”, yaitu perubahan tidak permanen. Dalam pola ini pendayagunaan
lahan dikategorikan bersifat sementara, karena sewaktu-waktu petani bisa saja
kembali ke bentuk pengusahaan semula tanpa menanggung kerugian besar atas

350 Ekonomi Pertanian


sejumlah nilai investasi yang telah dikorbankan di awal perubahan. Contohnya,
konversi dari usaha PAJALE jadi usaha lada yang membutuhkan “tiang panjat”;
ataupun dari padi sawah tadah hujan (STH bertanam sekali setahun) menjadi
padi STH dua kali setahun, bahkan juga diiringi pertanaman penyela lainnya.
b. Pola “alih fungsi”, yaitu perubahan lahan bersifat permanen. Di sini ada nilai
investasi menunjang perubahan sehingga terancam kerugian ‘besar’ jika dalam
jangka pendek akan berubah kembali ke bentuk pengusahaan semula ataupun ke
pola baru lainnya. Contohnya, perubahan pertanaman padi STH jadi sederetan
bangunan sarang walet; atau berubah jadi ruko atau dijual jadi ruas jalan tol;
bisa juga pembukaan seluasan hutan konservasi menjadi area penggunaan lain
(APL) semisal untuk kawasan industri atau untuk kompleks perumahan rakyat
dan juga elite.

Dua kegiatan itu di zaman yang ditandai aneka bentuk transisi karena bersandar
pada revolusi iptek inovatif, dewasa ini tanpa mengecualikan kaum tani KCT ikut
pula terdampak. Kemajuan iptek inovatif akan mudah memacu pemodal untuk
merintis dan merealisasikan suatu bentuk rancangan satuan usaha agribisnis
berskala menengah (USM) atau bahkan berskala besar (USB). Untuk tujuan
rancangan itu, jika harus berbasis lahan yang luas, upaya pembebasan lahan dengan
cara membayar sejumlah Rp NGRL, dan ini berarti investasi berpola ‘alih fungsi’
lahan segera akan terjadi.
Proses transformasi lahan seperti itu tak jarang justru merugikan petani pemilik
persil lahan. Diperlukan semacam tolok ukur keadilan bagi petani yang digoda
untuk menjual lahan mereka. Rumus hitung NPV yang sebelum ini dapat digunakan
sebagai pembanding terhadap Rp NGRL, dan asumsi-asumsi boleh digunakan
dalam perhitungan NPV itu. Misalnya: (a) NPV dihitung tanpa besaran NIT; (b)
NPV dihitung untuk jenis pertanaman yang diusahakan tanpa perhatian pada fase
TBM, dan ‘m’ = sisa umur harapan petani rata-rata; (c) NPV dihitung jika petani
sebagai plasma. Indikator keadilan: NPVhitungan ≥ Rp NGRL.

16.2 Kemajuan Agroindustri untuk Kejayaan Negeri


Salah satu faktor pengaman ekonomi agraris kerakyatan yang paling diharapkan
hadir adalah tumbuhnya ekonomi berbasis agroindustri. Peran utama satuan usaha
agroindustri bagi perekonomian agraris kerakyatan, yaitu terkait dengan tiga hal:
(1) agroindustri sebagai pasar pasti yang penjamin hasil pertanian tidak membusuk
karena siap dibeli oleh dan untuk kegiatan agroindustri yang secara teknis berkaitan;
(2) agroindustri sebagai penyambung jeda panen musiman, berkat adanya produk
awetan dan daya simpan produk tecermin sebagai waktu kedaluwarsa tertera pada

BAB 16 | Sukses Peristiwa Ekonomi Mapan Sosial Ekonomi Berkelanjutan 351


kemasan; (3) agroindustri sebagai pembentuk nilai tambah berlipat ganda lebih
besar daripada nilai laba, sehingga memotivasi para pelaku usahatani KCT untuk
membina kekuatan hingga memiliki status kelembagaan organis antara satuan
UMKM agribisnis kemitraan dan satuan agroindustrinya.

Gambar 16.1 Sistematika Gerakan Inovasi Dunia Usaha Maju Sejahtera

Akan ada tiga kategori agroindustri yang dapat dijumpai di dunia nyata, yaitu
sebagai berikut.
a. Satuan industri olah-perta (agro-processing industry); contohnya, yakni pabrik
CPO yang bisa mengolah TBS (tandan buah segar sawit).
b. Satuan industri tumpu-perta (agro-based industry); contohnya, yakni industri
penghasil benih unggul ‘Jagung Bisi Dua”.
c. Satuan industri topang-perta (agro-related industry); contohnya, yakni pabrik
pupuk urea dan NPK yang dikenal sebagai PT PUSRI.

1. Industri Olah-Perta (Agro-Processing Industry)


Telah disinggung sebelum ini betapa penting peran satuan usaha agroindustri dalam
menjamin pangsa pasar bagi suatu UMKM agribisnis kemitraan beranggotakan
pelaku usaha pertanaman sejenis (klaster) tertentu. Istilah ‘olah-perta’ mengingatkan
adanya tiga fungsi fisik dan tiga fungsi bisnis pengolahan, yaitu: (1) menambah
daya tahan (waktu kedaluwarsa); (2) menambah daya tarik aroma dan tampilan

352 Ekonomi Pertanian


rupa; (3) memenuhi kapasitas teknis terpasang pabrik pengolahan sehingga mudah
menetapkan volume dan kontrak pasokan bahan baku. Sementara itu, fungsi
bisnisnya, yaitu: (1) menampilkan keseragaman produk sehingga mudah diberi
kemasan bersama atribut informasi baku; dan (2) memudahkan penyampaian
pesan iklan produk terhadap sasaran pembeli, baik lembaga agroindustri lebih hilir
penghasil produk jadi, maupun sasaran pasar langsung kepada konsumen akhir.
Dengan tiga fungsi fisik dan dua fungsi ekonomi bisnis itu, maka kegiatan
agroindustri rumahan di tiap desa binaan apalagi kecamatan sasaran sangat perlu
dihadirkan RUMAH PRODUKSI produk agroindustri di bawah binaan OPD Indag
(industri perdagangan) ataupun binaan OPD Balitbangda kabupaten atau kota.
Tanpa adanya rumah produksi bersama, maka produk makanan hasil agroindustri
rumahan akan sangat bervariasi dari pelaku ke pelaku lainnya, dan kondisi seperti
itu mudah memicu kekecewaan pihak pembeli. Akan tetapi, ada juga pihak pembeli
produk makanan yang diminta oleh peniaga ekspor dan perusahaan pembelinya,
tanpa mengisyaratkan arti penting merek dagang, karena mereka akan menggunakan
trade-mark sendiri. Menghadapi pihak pembeli seperti yang disebutkan terakhir ini,
maka UMKM atau BUKD penghasil produk harus punya penasihat hukum resmi,
guna menghindarkan permainan niaga yang culas dan hanya mau menang sendiri
di pihak pembeli luar negeri selaku importirnya.
Dalam kaitan itu pula maka keluasan dan keanekaan sasaran pasar di berbagai
penjuru Nusantara adalah sasaran niaga antarpulau yang sepatutnya digarap terlebih
dulu. Betapa pun besar godaan pasar ekspor, sesungguhnya selalu ada risiko merugi
yang bisa datang sewaktu-waktu; khususnya yang terkait dengan adanya gugatan
(klaim) ketidakpuasan pihak konsumen di negara importir. Jika pangsa pasar dalam
negeri sudah sempat terbina dengan baik, akan selalu ada jalan alternatif untuk
meminimalkan kerugian ketika terjadi situasi dadakan pada perniagaan pelaku
bisnis di negara sahabat.

2. Industri Tumpu-Perta (Agro-Based Industry)


Tumpuan kegiatan agroindustri yang spesialis penghasil benih unggul atau bibit
unggul tentunya amat membutuhkan lapangan produksi sendiri yang menjamin
kekhasan benih atau bibit, yang sesuai dengan kekhasan wilayah sasaran pertanaman.
Mudah dimengerti bahwa isyarat ini amat penting dipenuhi, agar benih unggul
benar-benar sesuai dengan sasaran lahan usahatani atau area agribisnis, bahkan
disesuaikan pula dengan kultur warganya.
Apabila sasaran pembeli benih unggul terdapat di hampir semua penjuru
Nusantara, jelas perusahaan agro-based industry itu harus punya lapangan produksi
sekaligus lapangan uji coba (test farm) di setiap bagian khas Nusantara. Misalnya, di

BAB 16 | Sukses Peristiwa Ekonomi Mapan Sosial Ekonomi Berkelanjutan 353


seputar kepulauan Nusantara ini sedikitnya terdapat enam KEK (Koridor Ekonomi
Khusus) yang khas iklim dan ciri bio-geofisiknya, yaitu di wilayah Sumatera,
Kalimantan, Sulawesi, Jawa, Nusatenggara, dan Papua.
Oleh sebab itu, asumsi “Lain Padang Lain Belalang dan Lain Lubuk Lain
Ikannya” untuk maksud ketepatan proses produksi komoditi benih dan bibit unggul
ini sangatlah penting perannya. Uji kesesuaian lahan dan iklim tumbuh tanaman
serta uji ketepatan dosis paket pemupukan sudah dilakukan terlebih dulu oleh
perusahaan agroindustri tumpu-perta yang memang hadir dan berkiprah di suatu
wilayah koridor ekonomi khas, secara bio-geofisik.

3. Industri Topang-Perta (Agro-Related Industry)


Satuan agroindustri kategori ini, di antara bentuknya adalah industri topang-perta
karena memanfaatkan limbah usahatani atau buangan kegiatan agribinis yang
kebanyakan terbuang begitu saja, tetapi sengaja didayagunakan untuk menghasilkan
sesuatu yang berguna dan berharga; misalnya pupuk organik dan produk kreatif,
semisal sapu bulu ayam ataupun ada yang merupakan komoditi ekspor, yaitu arang
batok kelapa, arang limbah kayu, dan serat sabut kelapa (biasa digunakan sebagai
peredam panas pada plafon mobil mewah). Tentu ada pula yang berupa perusahaan
berskala besar penghasil pupuk urea dan NPK, seperti PT-PUSRI. Jenis yang tersebut
terakhir ini, jika berskala usaha menengah dan tidak banyak melibatkan proses
teknis kimiawi, tidak jarang dianggap masuk kategori agroindustri tumpu-perta.
Satuan agroindustri jenis topang-perta ini adalah agroindustri pelengkap kegiatan
agribisnis maju modern. Contohnya juga, agroindustri pupuk fosfat, yang berbahan
baku SDA phosphate alami. Kategorisasinya di sini penting guna menghindari adanya
masalah kutukan SDA (Dutch Desease) yang bisa berdampak bumerang.

16.3 Kemapanan Ekonomi untuk Kedaulatan NKRI


Pengenalan arti penting dan sumbangsih positif dari konsep DUALISME Ekonomi
sengaja diberikan lewat bab ini. Konsep dualisme ekonomi selama ini lebih dikenal
sisi negatifnya (Booke, 1950), karena membedakan sektor modern dan sektor
tradisional semata-mata tanpa perlu dipacu untuk saling bersinergi. Padahal
bentuk sinergi dimaksud telah disebutkan sebelum ini, akan bisa terjadi melalui
proses INOVASI produksi yang dapat meningkatkan produktivitas serta menaikkan
capaian laba dan memicu-pacu perolehan nilai tambah. Ketika rangkaian capaian
yang disebutkan terakhir ini terjadi, lalu di saat itulah, antara sektor pertanian yang
tadinya didudukkan sebagai sektor tradisional telah bisa berdiri sama tegak dengan
sektor lain, khususnya sektor manufaktur yang suka dianggap sektor modern.

354 Ekonomi Pertanian


Kedudukan sektor pertanian yang dipacu berdiri sama tegak bersama sektor
lainnya itu, secara konseptual akan dapat berperan besar menunjang perkuatan
fundamental ekonomi negeri ini. Pokok pikiran yang ditekankan di sini adalah
tentang perubahan status sektor pertanian umumnya jadi sektor agribisnis modern,
bersama tiga hal yang tampak dan dirasakan senyatanya sebagai berikut.
a. Sektor pertanian tidak boleh lagi sebagai sektor yang membebani anggaran
belanja negara tanpa ada sumbang balik berupa nilai revenue $. Ini karena
tampilannya yang semakin inovatif akan mampu menjawab sebagian kebutuhan
dunia untuk produk 3P (pangan-papan-pakaian) bermutu tinggi melalui proses
perdagangan internasional, dan bukan lagi sekadar niaga komoditi yang tanpa
melahirkan nilai tambah.
b. Sektor pertanian selaku sektor agribisnis modern semakin nyata peran
ekonominya sebagai penyedia lapangan kerja bagi para SDM sekolahan, karena
di tingkat produksi primer pun peran iptek-inovatif juga sudah kian menonjol
apalagi di tingkat agroindustri pengolahan komoditi tani menjadi produk
setengah jadi dan produk jadi. Peran ini memang secara kuantitatif bisa melibat-
aktifkan lebih dari separuh penduduk NKRI.
c. Sektor pertanian ke depan akan semakin nyata sumbangsihnya pada penyediaan
energi bahan bakar terbarukan, sebagaimana kini (2022) telah tercapai di mana
CPO selaku minyak sawit mentah telah dapat diolah menjadi minyak solar dan
bensin yang siap dijual di kios-kios bahan bakar bersama migas berbasis fosil;
sumbangsih yang mendunia ini hampir pasti akan semakin menonjol selama
lima abad ke depan.

1. Kebijakan Ekonomi Mendesak: Menata Kekuatan Ekonomi


Kekayaan alam Nusantara yang berada di bawah garis khatulistiwa amat beraneka
ragam dan sungguh mengagumkan penduduk bumi. Ketika disadari mengapa upaya
peningkatan kemakmuran negeri ini seperti tersendat-sendat selama kurun delapan
dekade telah berlalu. Maka, setiap pemerhati dan pengamat patut merenungi makna
“kutukan kekayaan SDA” yang pernah dialami di negeri ‘maju’ tapi terlanjur hampir
bangkrut. Kepercayaan yang terlalu tinggi pada kinerja “tangan tersembunyi” (teori
Adam Smith tentang The Invisible Hand) sepertinya tidak boleh terlalu diandalkan,
karena teori itu hanya benar “jika dan hanya jika” para pelaku ekonomi pasar
semuanya jujur dan tulus tanpa serakah dalam menjalankan perannya masing-
masing.
Jika asumsi dasar itu memang terjadi di dunia nyata, efek positif pembangunan
yang diperan-aktifkan oleh pemegang modal finansial dan modal intelektual yang
bermain di tengah keramaian dan kelengkapan sarana-prasarana perekonomian

BAB 16 | Sukses Peristiwa Ekonomi Mapan Sosial Ekonomi Berkelanjutan 355


‘kota’ akan secara otomatis menetes ke bawah hingga ke tingkat akar rumput.
Inilah dasar teori “The Trickle-down Effect of Economic Development dan Growth”.
Akan tetapi, asumsi dasar itu hanya ibarat mimpi di siang hari, sebab faktanya
para pelaku investasi selalu ingin mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya
dari waktu ke waktu tanpa harus peduli pada nasib orang-orang lemah yang tidak
sedikit jumlahnya. Sikap keserakahan inilah yang selama ini jadi kendala bagi teori
pembangunan menetes ke bawah itu untuk tampak nyata ampuh di lapangan.
Dengan titik tolak berpikir konseptual seperti itu, maka upaya mengubah
pola dualisme ekonomi yang timpang menjadi dualisme ekonomi yang setara, lalu
tersambunglah semua unsur pelaku ekonomi bangsa; baik secara vertikal dari atas
ke bawah (top down) dan dari bawah ke atas (bottom up), maupun secara horizontal.
Sifat horizontal ini, yaitu lintas kelembagaan BUKD selaku UMKM atau BUMDes
yang seharusnya siap melakukan transaksi bisnis untuk aneka komoditi dan produk
unggulan khas daerah melalui transaksi niaga antarpulau. Tentunya pola pikir
konseptual ini harus cepat direalisasikan, karena jika keburu terjadi peningkatan
intensitas persaingan antarpara investor kuat modal finansial dan modal intelektual
yang berdatangan dari negeri luar (apa pun benderanya), terjadilah permainan
“sogok” oleh kelompok OLIGARKI terhadap penduduk yang kebanyakan masih
dalam keadaan lemah agar manut pada bunyi gendang yang mereka bunyikan.

Gambar 16.2 Panen SDA, Transformasi Nilai, dan Sasaran Pendanaan Negeri

356 Ekonomi Pertanian


Gambar 16.2 di atas mengilustrasikan secara gambling dan sederhana, tentang
peran esensial pihak pemerintah pusat diteruskan secara konsisten dan konsekuen
oleh setiap pemda provinsi bersama pemda kabupaten kota untuk menyukseskan
misi pembangunan yang berpola B.1, B.2, dan B.3. Di sini penulis51 mewanti-wanti
bahwa kegagalan merealisasikan misi B.1 sering kali hanya disebabkan tingginya
nilai “mark-up” di komponen nilai program dan proyek APBD. Begitu pula dengan
kegagalan pada misi B.2 adalah kealpaan yang amat disesalkan karena melibatkan
peran para SDM andalan satu kementerian penting, yaitu Diknas dan BPPTeknologi.
Ini hanya karena ketiadaan milih kerja otak yang memadai sebarannya di berbagai
penjuru Nusantara, dari Sabang hingga Merauke, serta dari Miangas hingga ke Pulau
Rote. Padahal wilayah Nusantara ini amat tidak seragam ciri bio-geofisik dan iklim
serta kultur kehidupan sosialnya, sehingga butuh iptek-inovatif berbeda.

2. Arti Penting Pembentukan Cadangan Devisa Bank Indonesia


Di sini sengaja dibicarakan soal cadangan devisa, yaitu tentang butir D+ atau D-,
yang sesungguhnya tidak hanya berkaitan dengan upaya meyakinkan anak negeri
untuk berani meningkatkan jumlah hutang luar negeri. Kalau hanya ini, maka berarti
CD-BI seperti pada butir D, E, dan F pada Gambar 16.2, yaitu hanya berfungsi
untuk hal berikut.
a. Sekadar jadi faktor penyetabil efek inflasi dari adanya pertambahan nominal
peredaran uang yang berasal dari dana utang.
b. Sekadar jadi dana jaga-jaga ketika suatu saat perlu suntikan devisa $ guna
menyetabilkan kurs Rp/$ yang mengalami goncangan.
c. Sekadar jadi penjamin tingkat kredibilitas negeri dalam memperlancar transaksi
pembayaran dan ketimpangan neraca perdagangan LN.

Padahal di tengah realitas perekonomian bangsa yang masih bertumpu pada


sumber daya alami dewasa ini, ada tekanan ekonomi yang semakin diperberat oleh
tiga gejala sosial ekonomi, yaitu: (1) penduduk bertambah dan semakin menyebar
ke seluruh wilayah geografis berupa migrasi merambah ke sektor primer tradisional;
(2) peluang kerja terbatas dan produktivitasnya belum banyak diberi kekuatan
iptek agar berwawasan nilai tambah dan efektif memicu re-investasi pembuka
lapangan kerja; (3) perebutan lahan makin sering terjadi atas aneka alasan, dan
fragmentasi kepemilikannya semakin rawan ‘involusi’ (atau jalan di tempat) karena

51
Penulis berpengalaman sebagai Kepala OPD, khususnya selaku Kepala Bappeda Provinsi
Sumatera Selatan (2000–2003) amat prihatin pada isu penyimpangan ini, karena pelakunya sama
sekali TIDAK menyadari bahwa sangat tidak mungkin modal pembangunan yang hanya digulirkan
efektif sebesar 40% bisa menghasilkan buah investasi pembangunan senilai 100% atau lebih
besar lagi dari dana proyek pembangunan yang notabene didapat dari utangan pihak luar negeri.

BAB 16 | Sukses Peristiwa Ekonomi Mapan Sosial Ekonomi Berkelanjutan 357


terjebak perangkap Malthusian (Todaro, M.P., 1977:187) yang tidak kondusif bagi
peningkatan kemakmuran.
Tekanan itu tentu akan memberikan imbas negatif hingga ke garis belakang.
Terhadap sumber daya kehutanan yang ekosistemnya kian terdesak oleh upaya
alih fungsi kawasan hutan karena berbagai alasan kepentingan. Desakan yang
tidak terarah itu menyebabkan industri kehutanan Nusantara memasuki rentang
perjalanan waktu yang amat suram, ditandai dengan hal berikut.
a. Laju kerusakan hutan alam 1–2,5 juta hektar setiap tahun; gejala ini hanya
dicermati sebelah mata tanpa upaya konsepsional nyata agar penggunaan dana
CD-BI lebih memperkuat basis perekonomian.
b. Laju tebang liar dan selundup ekspor besar-besaran (> 3 juta m3, 2003/04)
sering memicu bencana banjir dan longsor terjadi di banyak Daerah Aliran
Sungai (DAS) di Sumatera, Sulawesi, dan tanah Papua.
c. Laju regenerasi hutan amat lamban (365 ribu hektar per tahun rerata GERHAN
2003–2006) dan menambah luasan lahan kritis yang rentan kebakaran di musim
kering yang terlalu kering karena El-Nino.

3. Alokasi APBN Sukseskan Pertumbuhan Ekonomi Daerah


Sesuai dengan teori pertumbuhan wilayah ala Rostow (1960) (dalam Colman,
D. and F. Nixson, 1985), setiap negeri senyatanya berada pada suatu fase atau
tingkat pertumbuhan ekonomi tertentu. Ada lima fase pertumbuhan ekonomi
yang diteorikan oleh Rostow, yaitu: (1) fase awal masyarakat tradisional; (2) fase
transisional sebagai prasyarat untuk luncur lepas landas (take-off); (3) fase lepas
landas; (4) fase kemapanan (drive to maturity); dan (5) fase konsumsi tinggi massal.
Perhatikan bahwa fase (3) tentunya amat butuh peran iptek-inovatif, dan sebagian
besar daerah negeri ini masih di fase (2).
Jika dihubungkan dengan Gambar 16.2 tadi, maka fase (2) memang
membutuhkan banyak dana pembangunan yang bisa didapatkan dengan cara panen
SDA mineral dan energi maupun SDA terbarukan, seperti area hutan tropika basah.
Tentu saja panen SDA mineral dan energi migas membutuhkan modal iptek atau
kapital pembangunan dalam jumlah besar, dan karena itu muncul kepentingan
memakai dana utangan luar negeri yang bisa dibayar balik pada saat kegiatan panen
SDA mineral dan energi sudah membuahkan hasil. Dari sini pula awal pemborosan
dana pembangunan mulai terjadi di tiap daerah, karena toh SDA yang tersimpan atau
tumbuh di daerah setempat akan jadi pembayarnya. Bersamaan dengan ini, proses
investasi pembangunan B.1, yang seharusnya tertanam sebagian untuk memperkuat
peran SDA terbarukan, justru amat sering diabaikan oleh daerah karena alasan
keterpencilan wilayah sasaran rehabilitasi dan refungsionalisasi serta revitalisasi.

358 Ekonomi Pertanian


Selama lebih dari tiga dasawarsa terakhir ini sudah ada berbagai gerakan
rehabilitasi hutan bercirikan aneka pola teknis silvikultur kiranya sudah digalakkan,
akan tetapi hasilnya sangat minimal. Gerhan (gerakan rehabilitasi hutan dan lahan)
yang dicanangkan oleh Presiden RI pada tahun 2003 tidak efektif mengatasi persoalan
kehutanan itu karena secara konsepsional masih bertumpu pada pendekatan proyek.
Oleh karenanya, para pihak lebih melihatnya sebagai tanggung jawab pemerintah
dan dananya tergantung sepenuhnya pada dana APBN. Ini sebagaimana program
Wanatani (1980-an), PMDH (1990–1995), Manajemen Area hutan kemasyarakatan
(1995–2000), dan Perhutanan Sosial (2000–2005); Pola Rehabilitasi Satuan Kawasan
Hutan Kemasyarakatan (2005–2015). Petaka jika panen SDA tak terbarukan segera
ludes, tapi panen SDA terbarukan belum siap, maka pada situasi ini terjadilah
sebutan “Kutukan Kekayaan SDA” bagi daerah kaya SDA tapi warganya miskin.

16.4 Kekuatan Sinergi Agribisnis untuk Kemapanan Nusantara


Secara konsepsional teoretis, sinergi agribisnis hulu-tengah-hilir adalah identik
dengan hubungan saling menghidupi antara satuan agribisnis primer terhadap
satuan agroindustri primer (pascapanen) dan seterusnya terhadap satuan
agroindustri produk setengah jadi bahkan satuan agroindustri produk siap pakai
atau siap konsumsi. Oleh sebab itu, maka kekuatan sinergi agribisnis di sini dapat
dibentuk melalui tiga kemungkinan jalur, yaitu sebagai berikut.
1. Sinergi agribisnis antarlembaga niaga produktif pada saluran pemasaran
komoditi.
2. Sinergi agribisnis antarlembaga niaga pada rantai pasok komoditi dan produk
bebas.
3. Sinergi agribisnis antarlembaga niaga pada rantai pasok hilirisasi diasuh pemda.

Sinergi (1) dan (2) di kalangan perusahaan agribisnis skala menengah dan
skala besar tentunya bisa berlangsung otomatis mengikuti dinamika pasar. Akan
tetapi, bagi satuan usaha agribisnis berupa BUKD atau BUMDes persisnya berskala
UMKM kemitraan tidak jarang sinergi kegiatan niaga lebih bersifat saling kenal
dan saling percaya serta saling tolong. Nilai transaksi tetap harus menghadapi
risiko perniagaan, akibat gejolak ekonomi dan non-ekonomi yang datang dari luar
dan terjadi secara insidental. Pola sinergi (3), yakni jalur rantai pasok terbentuk
lewat program hilirisasi; ini tentu efektif jadi pemacu usaha agribisnis kemitraan
berskala kecil. Pola ini harus totalitas sejak dari proses produktif di hulu hingga ke
agroindustri olah-perta di hilir.
Pembangunan ekonomi pertanian di daerah yang berpola bawah-unggak (bottom-
up) sudah sepatutnya dijalankan lewat tiap jalur kemitraan antarlembaga yang

BAB 16 | Sukses Peristiwa Ekonomi Mapan Sosial Ekonomi Berkelanjutan 359


berwawasan agribisnis dan agroindustri. Pola pembangunan yang demikian ini tidak
patut disebut pola pembangunan ekonomi inklusif yang berarti tidak melupakan
rakyat kecil pedesaan. Justru istilah inklusif tidak tegas menekankan bahwa rakyat
bukan pelengkap penderita, melainkan harus jadi andalan dalam mengedepankan
arti penting peran rakyat mayoritas di sektor pertanian selaku penopang ekonomi
fundamental negeri.
Pengalaman panjang pembangunan ekonomi Nusantara dengan meng-utamakan
pola top-down dan bersifat padat modal yang diperankan investor, selama ini
kenyataannya tidak terlalu sukses. Khususnya tidak berhasil memperkuat kegiatan
ekonomi kerakyatan melibatkan warga perdesaan yang justru mayoritas penduduk
tiap daerah. Berkenaan itu, sambil menatap prospek cerah produk Nusantara yang
amat prospektif jadi kebutuhan dunia ke depan (pangan-papan-pakaian), maka
penekanan pola pembangunan bawah-unggak patut dikedepankan segera, dan
jangan sampai terlambat.

1. Sinergi Kelembagaan pada Jalur Saluran Pemasaran


Sinergi tipe 1 ini lebih bersifat sinergi tidak langsung antara satuan usaha agribisnis
primer selaku penghasil suatu jenis komoditi pertanian yang mengalir di suatu
jalur saluran pemasaran sebelum jumpa secara kebetulan (acak) dengan suatu
satuan usaha agroindustri yang membutuhkan bahan baku. Jadi, sejak awalnya
memang kedua belah pihak tidak merasa penting untuk saling kenal satu sama lain,
khususnya jika total produksi komoditi primer tidak banyak berlebih dibanding total
kapasitas semua satuan pabrik agroindustri yang ada dan aktif di daerah setempat.
Tidak jarang terjadi, jumlah kebutuhan bahan baku pabrik tidak tercukupi oleh
total suplai agribisnis termasuk juga yang dari hasil usahatani para petani KCT.
Ketika gejala defisit bahan olah dikhawatirkan serius risikonya, maka muncul
upaya pihak agroindustri untuk mencari kepastian suplai komoditi dari calon mitra
agribisnis yang dianggap pantas jadi mitra bisnis. Ini dilakukan demi mengurangi
efek keterbatasan suplai di pasar bahan baku yang bisa merugikan pihak pabrik.
Tentu saja langkah jaga keselamatan perusahaan demikian itu hanya bisa terjadi
jika satuan usaha agroindustri memang punya manajemen dan kapasitas wirausaha.
Pihak manajemen profesional dan pengambil keputusan wirausaha yang andal pasti
paham, bahwa efisiensi biaya produksi akan tergantung pada kepastian jumlah
bahan baku yang masuk ke pabrik tepat-waktu dan tepat-volume. Kapasitas dan
kinerja yang teratur demikian sudah sepatutnya pula bisa dan siap direspons oleh
pihak satuan usaha agribisnis selaku produsen komoditi bahan baku. Justru inilah
ciri kinerja perusahaan agribisnis primer dan agroindustri (agribisnis sekunder)
seyogianya mencirikan kehidupan ekonomi pertanian di abad modern yang penuh
tantangan ini.

360 Ekonomi Pertanian


Oleh karena itu pula, maka para petani KCT sepatutnya dibina agar bisa lebih
sejahtera, justru dengan terlebih dulu mendorong mereka melembaga BUKD atau
BUMDes sebagai satuan UMKM agribisnis kemitraan lewat program pemberdayaan
oleh pemda setempat. Tanpa adanya upaya terencana dan terprogram dalam rangka
memicu serta memacu gerakan perubahan dari perilaku usahatani KCT menjadi
satuan usaha BUKD yang jelas terdaftar resmi sebagai satuan lembaga agribisnis
kemitraan, pola hubungan dua calon mitra bisnis tak akan pernah berubah jadi B to
B (business to business). Tanpa status “duduk sama tinggi berdiri sama tegak”, maka
petani KCT yang belum sempat berubah jadi satuan agribisnis kemitraan (BUKD)
akan mudah dijebak jadi pecundang.

2. Sinergi Kelembagaan pada Jalur Rantai Pasok Agroindustri


Jalur rantai pasok mengisyaratkan adanya upaya membina kepastian pasar bagi
komoditi pertanian yang akan dijual oleh produsennya, ataupun sebaliknya
sebagai upaya membina kepastian jumlah bahan baku yang dibutuhkan oleh mitra
agroindustri terkait. Jadi, dari sebab itu, pola rantai pasok menghendaki tiga
prasyarat yakni: (1) kejelasan dua mitra yang ingin lakukan transaksi jual beli atas
landasan perjanjian kontrak; (2) kejelasan spesifikasi komoditi yang ditetapkan
sebagai prasyarat persetujuan beli dan bayar; dan (3) kejelasan waktu serah terima
komoditi bahan baku agroindustri olah-perta. Dari itu, pola rantai pasok menegaskan
seberapa besar kadar transaksi bisnis antara dua pihak yang bersepakat menjalin
kerja sama jual beli secara teratur dan siap kirim terima secara berkala dalam volume
tertentu tepat waktu.
Dalam kenyataannya, kemudian pola rantai pasok ini bisa terjalin karena kedua
pihak pengelola perusahaan sudah lebih dulu saling kenal; atau bisa juga kenal
secara kebetulan setelah beberapa kali mengalami kelancaran transaksi. Iklim bisnis
apalagi agribisnis sering mengalami gangguan alam berdampak negatif pada kinerja
pasar, juga bisa terjadi gejolak pasar karena tekanan persaingan niaga; sehingga
para pengusaha dan pelaku niaga terkait menghadapi ketidakpastian. Upaya sesama
pelaku usaha untuk meminimalkan risiko rugi adalah suatu ekspresi naluri bisnis,
maka kenal lebih dekat satu sama lain mulai dirasa perlu saat mengalami kesulitan
menghadapi risiko kerugian bisnis, sebagaimana telah diilustrasikan pada subbab
6.4.
Saling kenal antara dua pihak pelaku transaksi jual beli komoditi pertanian
sebelum bersepakat menjalin hubungan kontrak tentunya sangat penting karena tiga
alasan: (1) tidak setiap pelaku usaha agribisnis bisa mengatur waktu panen secara
berkala, sebab panen hasil tani umumnya bersifat musiman terkecuali jika pihak
produsen-mitra menerapkan manajemen tanam-panen, khusus untuk memenuhi

BAB 16 | Sukses Peristiwa Ekonomi Mapan Sosial Ekonomi Berkelanjutan 361


kontrak berkala; (2) tiap pengusaha punya naluri bersiasat ketika menghadapi
perubahan kondisi (misal karena pandemi Covid-19) lalu sempat terjadi pergeseran
struktur pasar (market structure), perilaku pasar (market behavior), dan kinerja
pasar (market conduct), sehingga perilaku culas bisa saja muncul menghianati isi
perjanjian kontrak demi cari selamat; (3) tidak baik dalam hubungan bisnis suatu
pihak yang merasa lebih dominan (misal, di posisi penentu harga alias ‘price maker’)
mengorbankan kesetiaan mitra bisnis yang baru dikenal sekalipun, karena hal itu
mencoreng nama baik sendiri.

3. Sinergi Kelembagaan pada Jalur Hilirisasi Asuhan Pemda


Telah dijelaskan selintas di beberapa bab awal, bahwa upaya pembinaan dan
pemberdayaan para petani KCT perlu dilakukan secara totalitas dan sistemik.
Artinya, upaya itu tak patut lagi sekadar menularkan pengetahuan teknis tanpa
lanjut ke penetrasi pasar, bahkan hingga pengukuhan kerja sama lintas lembaga.
Langkah menyeluruh (totalitas) ini sepatutnya dilakukan guna menangkal aneka
risiko agribisnis yang mungkin saja terjadi. Persoalan yang esensial di sini adalah
ketidakmampuan kebanyakan pribadi petani KCT tetap tidak akan mampu
memanfaatkan peluang transaksi pasar dengan sukses bagi komoditi yang mereka
hasilkan setelah menggunakan resep iptek yang telah ditularkan. Justru dengan
iptek di sisi produksi saja akan menimbulkan masalah baru berupa volume hasil
(komoditi 7C) yang melimpah lalu memperlemah posisi kaum tani sebagai penerima
harga (price taker).
Kalau kemudian komitmen negeri perlu meningkatkan kesejahteraan dan
peran kaum tani sebagai unsur nyata penghasil devisa lewat perdagangan ekspor,
Gambar 16.3 maka ciri-ciri komoditi haruslah ditransformasi jadi produk berkarakter 7J seperti
ini yang mana pada Gambar 16.3. Proses transformasi ini tentunya bisa melibatkan peran satuan
ya, Pak/Bu?
agroindustri rumahan atau pabrikan yang tentu butuh pembinaan oleh pihak pemda
ataupun LSM profesional setempat. Proses bina kemitraan ‘BUKD’ penghasil suatu
komoditi primer agar tersalurkan ke satuan lembaga UMKM agroindustri olah-
perta dalam pola sinergi dua lembaga niaga, dan ini disebut HILIRISASI. Justru
proses seperti ini harus dipacu agar meluas, dan mendukung tumbuhnya PRODUK
UNGGULAN dari tiap daerah, sehingga memicu perdagangan antardaerah, bahkan
niaga antarpulau hingga niaga ekspor ke negeri tetangga dan negara sahabat.
Sebagai asuhan pemda tentu banyak kesempatan terbuka lewat aneka kegiatan
dinas sektoral ataupun badan layanan Pemda dapat dimanfaatkan untuk mendorong
perkembangan produk unggulan khas tingkat kecamatan. Acara bazar produk
unggulan dan pasar murah sembako bisa sering diadakan di ibu kota kabupaten dan
kota, juga acara pekan olahraga ataupun acara pariwisata terjadwal sesuai judulnya

362 Ekonomi Pertanian


tiap bulan; semuanya jadi arena pasar yang bisa terus merangsang tumbuh aneka
UMKM penghasil berbagai produk khas dan unggulan daerah. Bahkan jika ada
produk khas kecamatan yang kemudian tampak punya prospek pasar yang bernas,
maka pemda dapat mengalokasikan dana APBD untuk rumah produksi agar mutu
produknya selalu terjamin.

16.5 Keandalan Sebaran Agribisnis untuk Kedaulatan NKRI


Setiap aktivitas cocok tanam pasti sangat tergantung pada sifat dan ciri alami geo-
fisik-kimia (tanah-air-iklim). Wilayah Nusantara ada di bawah garis khatulistiwa,
memungkinkan variasi kadar dan mutu lingkungan alami geofisik kimiawi berbeda
sebagaimana bisa terdeteksi dalam setiap jengkalan 50 kilometer orang melangkah.
Oleh sebab itu, variasi jenis dan mutu komoditi memang tampak jelas dari suatu
wilayah kabupaten ke kabupaten berikutnya. Tinggal persoalannya orang bisnis bisa
melangsungkan transaksi berbasis niaga barter atau pertukaran produk unggulan
antardaerah. Terutama untuk produk berkhasiat obat herbal dan bermutu gizi tinggi
diperkirakan akan melonjak permintaannya ke depan ini lalu memicu peningkatan
transaksi agribisnis antardaerah bahkan antarnegeri.
Persoalan jadi teratasi, ketika tiga hal sederhana dilakukan intensif atas
pertolongan OPD pemda: (1) nina satuan lembaga kemitraan para petani produsen
yang se-klaster; (2) bina sentra bisnis secara total (hulu-tengah-hilir) tersambung
sistemik; (3) bina siasat perekat bisnis, yaitu tepat bahan, tepat isyarat, tepat waktu;
agar didapat berkat pada sasaran transaksi komoditi 7c sudah bergeser jadi produk
7J. Dari kemajuan demikian itu, bayangkan ada lalu lintas barang dan sirkulasi uang
transaksi niaga antarpulau, antarprovinsi, dan bahkan antarkabupaten-kota dengan
sendirinya akan memperkuat ikatan kesatuan dan persatuan daerah Nusantara,
yakni NKRI yang berdaulat.

1. Pengaruh Perdagangan Produk Khas Berupa Obat Herbal


Peran warga desa selaku penyebab kemerosotan luas dan fungsi kawasan hutan
sering dilontarkan orang. Mereka sering kali dianggap pelaku utama tebang liar
dan mengonversi persil hutan jadi kebun dengan cara T3 ‘tebang-tebas-tunu’.
Konversi ini bisa memicu kebakaran hutan dan lahan, terutama pada ekosistem
lahan gambut. Boleh jadi perambahan terjadi karena warga sekitar ekosistem
ataupun agroekosistem bertutup hutan, mereka masih hidup bertani seadanya
dan berpendapatan rendah selaku petani KCT (kecil, cerai-berai, tradisional).
Kecil kemungkinannya karena warga itu terpicu gaya hidup hedonistik dan sifat
materialistik jadi pendorong untuk merambah hutan demi tambahan persil lahan
usahatani sebagai sumber pendapatan baru, berkat ada lahan garapan baru.

BAB 16 | Sukses Peristiwa Ekonomi Mapan Sosial Ekonomi Berkelanjutan 363


Dari alasan itu, maka ekosistem hutan yang sehat boleh jadi bisa terjaga
berkelanjutan sekiranya ada kebijakan untuk membina satuan agribisnis wanatani
(agro-forestri) kerakyatan selaku badan usaha kemitraan di desa. BUKD ini
bertugas menghimpun dan memayungi gerak maju sekelompok petani yang efektif
menjalankan usaha pertanaman kayu yang juga berfungsi ganda. Sebagai tanaman
ekologi dan tanaman kayu juga tabungan ekonomi, yang juga sekaligus dilengkapi
aneka tanaman uang tunai bulanan dan musiman secara intensif serta komersial
berorientasi pasar. Dengan demikian, pola wanatani tidak harus memosisikan
tanaman kayu sebagai utama, bisa juga tanaman lain yang utama dan tanaman kayu
sebagai pelengkap. Oleh sebab itu, huruf P pada sebutan SUPK bisa juga berarti
pertanian dan juga perhutanan.
Bersama itu kemitraan perkebunan yang kokoh antara pihak pengusaha sebagai
inti bersama petani plasma tentu sangat baik jika ikut bertanam kayu sebagai
tanaman pelengkap. Tidak terkecuali dalam upaya meminimalkan masalah asap
kebakaran agar Karhutla tidak berulang dan kian tahun makin berkurang insiden
keparahannya di banyak wilayah Nusantara. Barulah untuk tiap daerah seyogianya
menemukan dan menetapkan jenis pertanaman unggul yang perlu dikembangkan
kemajuan agribisnis (agroindustri) kerakyatan sejak dari posisi hulu hingga tengah
sampai ke posisi hilir. Tidak lagi sekadar bertumpu pada komoditi yang gampang
jenuh pasar ketika produksi melimpah, melainkan masing-masing daerah dapat
mengandalkan produk unggulannya untuk menjangkau pasar di daerah lain, bahkan
pulau lain atau negeri lain. Ini akan nyata menaikkan kesejahteraan juga menguatkan
kedaulatan NKRI.

2. Pengaruh Perdagangan Produk Baru Inovatif ataupun Kreatif


Sumber ekonomi andalan setiap daerah di semua penjuru Nusantara umumnya
merupakan hasil produksi pertanian. Tentu ada daerah seperti di Pulau Bangka
dan Belitung kini semakin didominasi kegiatan pertambangan timah liar dan
kurang peduli pertanian. Akan tetapi, harus ada antisipasi pemda tentang kegiatan
pertanian yang bagaimana perlu disiapkan secara sistemik untuk jadi lapangan
kerja dan sumber nafkah warga jika nanti deposit tambang di suatu kawasan telah
habis. Akan segera tampak arti penting pemanfaatan lahan pasca-tambang untuk
aneka usaha pertanian.
Tentu saja kehidupan dunia usaha yang sistemik sepatutnya didorong jadi
sumber penghidupan warga menggantikan pola usahatani KCT (kecil, cerai- berai,
tradisional) yang kurang menyejahterakan, dan tidak disukai oleh generasi milenial.
Hubungan antara kegiatan produksi primer di lahan dan kegiatan agroindustri

364 Ekonomi Pertanian


formal maupun yang rumahan harus tampak diperan-aktifkan. Alur perdagangan
komoditi dari titik petani produsen ke konsumen tidak sepatutnya lagi dibiarkan
berlangsung acak (random) atau alami melalui saluran pemasaran yang bergerak
dengan sendirinya.
Justru ciri pembinaan sistemik harus memperjelas konektivitas sektor hulu ke
sektor tengah dan sektor hilir melalui program hilirisasi, yang memfasilitasi alur
perdagangan berorientasi rantai pasok. Sebagai unggulan suatu daerah otomatis
harus ada produk inovatif dan produk kreatif, yaitu sebagai berikut.
a. Inovatif adalah kata lain “Lompatan Teknologis”, dan karena itu setiap inovasi
selalu merupakan hasil RISET, dan setiap riset selalu bermula dari adanya
MASALAH yang perlu jalan keluar jitu dicari lewat kegiatan riset ilmiah, kadang
memakan waktu panjang (Contoh: Nangka-merah Papua, melalui riset inovatif
jadi produk obat herbal Omega-3 dan 7).
b. Kreatif adalah kata lain dari “Terobosan Teknis”, dan daya dorongnya adalah
kejelian dan ketekunan SDM (keduanya disebut juga ketelatenan) yang biasanya
miliki cita rasa keindahan dan seni; ini umumnya terjadi karena ada kelimpahan
bahan ataupun limbah (Contoh: Limbah kulit sapi diolah jadi krupuk jangek
gurih berkemasan cantik).

Sebagaimana sudah diuraikan dalam Bab 12 di muka, tentu harus ada perangkat
pemacu perkembangan bisnis produk inovatif dan produk kreatif. Namun di dunia
usaha kerakyatan, pembinaan sumber nafkah yang sistemik amat diperlukan. Pola
pembangunan inklusif untuk UMKM naik kelas, hampir sama seperti pola “trickle
down effect” selama ini, yang terbukti kurang berhasil. Pengaruh produk inovatif
dan kreatif, serta dipacu perdagangan antarpulau tentu akan menaikkan efektivitas
pemasaran hasil usaha kerakyatan.

3. Pengaruh Perdagangan Antarpulau dan Martabat NKRI


Banyak faktor penentu terhadap kokoh atau rapuhnya kedaulatan NKRI. Di antara
determinan yang menonjol terkait yang terkait dengan hal itu tentu adalah kekuatan
militer, kekuatan diplomasi politik, dan kekuatan bijak ekonomi. Tentang kekuatan
bijak ekonomi, tentu bagi NKRI ada baiknya berupa pisau bermata dua, yaitu; (1)
ketajaman diplomasi perdagangan dalam kancah internasional; (2) keampuhan
strategi perdagangan domestik dalam ruang lingkup antarpulau di dalam negeri.
Ketajaman diplomasi perdagangan internasional tentu dibuat dalam rangka menjaga
keseimbangan neraca perdagangan dan kebijakan substitusi impor yang terkadang
jadi timpang. Butir ke-2 sifatnya mensyukuri wilayah Nusantara yang begitu luas,

BAB 16 | Sukses Peristiwa Ekonomi Mapan Sosial Ekonomi Berkelanjutan 365


terdiri dari ribuan pulau besar ataupun kecil dan juga banyak berpenghuni walau
hanya dihubungkan satu sama lain oleh jembatan laut berupa perahu pinisi bermesin
sederhana.
Secara administratif, negeri Nusantara terdiri dari 416 kabupaten dan 98
kota (7.094 kecamatan; meliputi 84.961 desa serta 8.506 kelurahan), yang
keseluruhannya diayomi oleh 34 provinsi (Data Indonesia, Februari 2022). Bisa
dibayangkan betapa luas dan bernas dampak perdagangan domestik itu jika dipicu-
pacu untuk berlangsung antarpulau atau antardaerah. Kelangsungan niaga lintas
wilayah domestik demikian akan leluasa dan lancar terjadi jika hal itu direkayasa:
(a) menonjolkan produk olahan (atau komoditi mentah) khas tiap daerah
yang dibedakan oleh peran alam setempat atau juga oleh peran budayanya; (b)
mengedepankan kepentingan barter produk ditandai transaksi niaga yang diberi
kemudahan aturan pajak dan retribusi ringan; (c) memfasilitasi proses hilirisasi
dan tumbuh kembang produk inovatif dan kreatif berkualitas.
Dampak positif dari perkembangan niaga “antarpulau” patut dirancang dan
didorong agar nyata terjadi tentu akan banyak sekali. Di antaranya, yakni sebagai
berikut.
a. Arena perniagaan perintis untuk kemajuan aneka produk negeri agar lebih siap
siaga dan mapan sebelum menerobos masuk pasar ekspor.
b. Andalan ekonomi negeri mulai bergeser ke sektor agribisnis yang semakin maju
di bidang pangan-papan-pakaian bagi kebutuhan dunia.
c. Aspek capaian laba dan nilai tambah dapat dipastikan beredar di antara peponjen
anak bangsa sendiri, tersimpan secara sah dan terjaga.
d. Apresiasi penduduk tiap pulau akan semakin tumbuh terhadap peran pasar
niaga antarpulau, sehingga jadi perekat kuat persatuan NKRI.
e. Arti penting aneka kegiatan mikro usaha agribisnis guna menopang ekonomi
fundamental negeri ini tidak mungkin lagi diremehkan siapa pun.

366 Ekonomi Pertanian


Gambar 16.4 Pendekatan Terpadu Koordinatif Pembinaan Kelompok Petani Kecil Jadi
Pemasok Satuan Agroindustri

Dapat dicamkan bahwa pendekatan sistemik dan sistematik yang diberikan


pada subbab ini dengan tegas menghendaki keberpihakan pemerintah dan pemda
kepada masyarakat daerah, sehingga mereka dapat memperoleh banyak manfaat
dari aneka ragam potensi kekayaan alam yang ada di setiap daerah. Segi keuntungan
pelaku usaha berskala besar tentu tidak ditolak mentah-mentah, sepanjang jelas
manfaatnya bisa menyebar rata ke semua lapisan dan unsur anak negeri sesuai
pesan UUD 1945 Pasal 33 yang amat luhur itu.
Jika di bagian muka telah ada di singgung tentang makna dan peran konsepsional
teori rantai pasok dan juga rantai nilai yang seyogianya memberi jaminan bagi
kelangsungan kerja sama dan kemitraan bisnis di sektor pertanian, penggunaan
struktur organisasi kerja berwawasan agroindustri seperti Gambar 16.4 di atas
akan sangat menolong keberhasilan para pihak. Ini pula mekanisme lapangan untuk
merealisasikan pesan luhur UUD 1945 Pasal 33 itu secara konsisten dan konsekuen.

BAB 16 | Sukses Peristiwa Ekonomi Mapan Sosial Ekonomi Berkelanjutan 367


Daftar Bacaan Lanjut
Chi-Wei, Khan, K. Toa, R. and Umar, M. 2020. A Review of Resource Curse Burden
on Iflation in Vennezuela. Journal School Economics. In China.
J.Pollock, N. 2014. Nauru Phosphate History and the Resource Curse Narrative.
Journal de la societe des Oceanistes . Vol. 138–139.
James, V.K. 1976. Microeconomic Theory and Aplications: Little, Brown, and Company. In
The United States of America.

368 Ekonomi Pertanian


BAB

17
BEBERAPA KONSEPSI TERAPAN

17.1 Konsepsi Dasar Analisis Kelayakan Investasi.


17.2 Konsepsi Dasar Analisis Hitung Skala Usaha Komersil.
17.3 Konsepsi Dasar Analisa Kearifan Lokal Berpoles Ipteks.
17.4 Konsepsi Dasar Analisa Intimidasi Bisnis.
17.5 Konsepsi Dasar Analisa Sistem Agribisnis.

Ekonomi Pertanian: Beberapa Konsepsi Terapan


Ilmu Ekonomi Umum termasuk juga Ekonomi Pertanian memang dalam
perkembangan awal bahasan konseptual maupun empirikalnya berkisar pada soal
hubungan keselarasan & keseimbangan antara kebutuhan hidup manusia terhadap
bahan-sarana-wahana pemenuhan kebutuhan itu. Bicara tentang bahan tentu yang
banyak dibahas pada awalnya adalah prihal pangan atau hasil pertanian. Bicara
tentang sarana hampir pasti pula terkait dengan areal dan persil lahan yang bisa
diusahakan untuk menghasilkan bahan pangan-papan-pakaian. Begitupun tentang
wahana tentu berkaitan dengan alat angkutan yang juga pada awalnya pasti terkait
dengan potensi penggerak bertenaga kuda, atau hewan ternak kaki empat, lalu kini
sudah digantikan aneka jenis kendaraan.

369
Tentu banyak konsep pemikiran penting ditemukan relevan dengan dunia
kehidupan warga masyarakat agraris. Terkait itu akan dibahas dalam Bab 17 ini
konsep layak dan tidak layaknya suatu rancangan investasi agribisnis, baik investasi
pembangunan wilayah pengembangan agribisnis maupun juga rencana investasi
satuan usaha. Ketika sasaran investasi adalah satuan wilayah yang bakal digarap
nantinya oleh warga selaku petani biasa, maka rancangan program pemerintah itu
tetap perlu dipastikan punya status layak eksekusi. Selanjutnya dengan pemikiran
yang terukur, perlu pula dipahami konsep skala usaha, yang tentu berkaitan erat
dengan capaian produktivitas teknis, raihan laba dan cipta nilai tambah di tingkat
satuan usaha kelompok petani komersial.
Tentunya tidak semua yang digeluti kaum tani-KCT selalu ketinggalan, paling
tidak akan terdapat kearifan lokal (local wisdom) sebagai buah dari pengalaman
kerja puluhan tahun dan turun-temurun di kalangan petani lokal di suatu daerah.
Andaikan suatu paket kerja berkearifan lokal sempat terlacak, tentu mudah
mencermati apa kekurangan dan kelebihannya. Bagian yang kurang masih dapat diisi
dengan perkuatan Ipteks-INOVATIF, sehingga sisi kearifannya jadi lebih sempurna
akibat adanya polesan inovasi. Selain itu sikap euforia agri-bisnis tidak boleh memicu
kealpaan pengambilan keputusan manajerial maupun keputusan wirausaha memilih
jalur yang efektif meraih capaian satuan usaha. Dari ke-4 konsep dasar itu, dapat
pula diperhatikan konsep terpadu-serasi (bukan kecemburuan) dalam suatu kancah
kemitraan usaha ‘wong-cilik’, yang tidak rewel ketika ada capaian komersial kebetulan
senyatanya terbilang kecil. Transparansi hitung dagang adalah faktor penopang rasa
saling percaya, adalah perekat kuat satuan usaha kemitraan agribisnis.

17.1 Konsepsi Dasar Analisis Kelayakan Investasi


Teori dasar investasi berkai erat dengan hitung dagang NPV (Net Present Value =
Nilai Kini Bersih), karena keputusan untuk berinvestasi seyogianya didasarkan
pada prakira arus uang keluar dan masuk di waktu mendatang. Uraian tentang
itu pada sub-Bab 17.1 ini, ditafsirkan dan diringkas dari buku Hirshleifer (1970)
yang berjudul “Investment, Interest, and Capital”. Dengan teori dasar ini seorang
pengamat atau pencatat dan pengolah data keuangan akan selalu dapat menghitung
NPV pada suatu periode produktif yang sedang berjalan. Hasil hitungannya dapat
diperbandingkan dengan nilai NPV dari waktu ke waktu pada dokumen rencana
awal, juga terhadap NPV pada momentum produksi di tahun-tahun sebelumnya agar
tampak seberapa besar kemajuan telah dicapai. Jika konsep teori NPV digunakan
untuk membuat hitung dagang tentang suatu rancangan usaha ke depan, maka
upaya pengambilan keputusan investasi ‘jadi atau tidak’ (go or no go) setidaknya
menyangkut 5 isu pertanyaan sederhana yang terkait proses bisnis komersial seperti
berikut ini.

370 Ekonomi Pertanian


1. Bagaimana Anda mengukur dan memprakira prestasi bisnis yang bakal terjadi
ke depan untuk proses pengambilan keputusan sekarang (kini)?
2. Bagaimana bisa mengukur dan mengevaluasi prestasi bisnis yang sudah
berlangsung sejak tahun tertentu dalam satu periode waktu di belakang?
3. Bagaimana menghitungnya dengan benar dan mudah, serta absah jika nanti
perlu dibandingkan untuk dipilih proses ke arah prestasi terbaik?
4. Bagaimana membuat kebijakan manajemen dan kewirausahaan agri-bisnis yang
relevan dengan pilihan keputusan yang ditetapkan sejak kini?
5. Bagaimana merevisi kebijakan manajemen & kewirausahaan agribisnis jika
analisa perbandingan menunjukkan ada hal-hal belum optimal?

Dalam konteks 5 pertanyaan pokok di atas, maka dasar pemikiran yang melatar-
belakangi pemakaian rumus-rumus pada Tabel 15.3 di muka kiranya jadi sangat
relevan. Misalnya kapan konsep PV (Nilai Kini) harus digunakan dan kapan rumus
FV (Nilai Ke-depan) jadi lebih relevan, dan kapan pula kedua rumus dapat digunakan
untuk kemudian hasil hitungnya bisa dijadikan dasar analisa dan revisi kebijakan dan
penetapan isi kebijakan baru untuk suatu satuan usaha agribisnis. Logika ini sangat
berguna bagi para pengamat ahli atau konsultan, bagi para dosen yang memberi
kuliah untuk bidang kajian studi kelayakan finansial, serta bagi para mahasiswa
yang berminat jadi ahli perencanaan. Dengan logika teori yang benar, maka suatu
konsep rancangan yang dirumuskan akan beralasan kuat sisi operasionalnya.

1. Membaca Gugus Aset Peponjen dan Kesempatan Produktif


Penanaman modal atau capital investment pada hakikatnya bermakna “pengorbanan
saat sekarang guna menikmati capaian konsumsi di kemudian hari” (current sacrifice
for future consumtion; lihat Hirshleifer, J., 1970). Apa yang dikorbankan itu tidak lain
adalah sejumlah kekayaan milik suatu perusahaan ataupun pribadi, yang tentu saja
bisa untuk dikonsumsi dan bisa pula untuk dijadikan modal produksi kini untuk
bisa dikonsumsi di saat kemudian. Jadi sebutan penundaan konsumsi dalam definisi
tadi bermaksud menjadikan jumlah kekayaan itu sebagai modal andalan (firm’s
endowment) bagi kelangsungan produksi, sehingga hasilnya baru bisa dinikmati
sebagai capaian konsumsi yang lebih besar di waktu kemudian. Jadi pengertian
‘dikorbankan’ itu tak lain adalah menangguhkan nikmat melakukan konsumsi
langsung saat ini.
Apabila sejumlah kekayaan akan dijadikan andalan oleh pemiliknya untuk
menciptakan gufaat (=guna-manfaat = utility) tambahan, sehingga dapat
memperbesar potensi konsumsi antar waktu, maka ada tiga kemungkinan cara yang
bisa ditempuh, yaitu sebagai berikut:

BAB 1 | Beberapa Konsepsi Terapan 371


a. Menempatkan kekayaan itu ke dalam kegiatan produksi yang dikelola oleh pihak
lain. Misalnya menguangkan sebagian kekayaan itu untuk membeli sertifikat
saham dari suatu perusahaan yang “go-public”. Cara ini mengombinasikan
kesempatan, dan ini jika bertolak dari batasan tadi termasuk kategori investasi
tak langsung.
b. Mengaktifkan suatu kegiatan produksi yang semata-mata bersandar pada
kekayaan andalan itu untuk kecukupan sarana (saprosi) produksinya. Cara
ini mencerminkan kombinasi kesempatan usaha. Sebagaimana langkah ke-1,
kekayaan andalan hanya secara pasif dijadikan agunan usaha. Ini dapat disebut
investasi tertutup.
c. Mengaktifkan kegiatan produksi yang bersandar pada sebagian pada suntikan
dana dari pasar, sedang kekayaan andalan secara aktif dijadikan sebagai
agunan dalam menerima fasilitas kredit. Cara ini mencerminkan kombinasi 3
kesempatan (aset-produksi-pasar) sekaligus, dan ini dapat dianggap sebagai
corak kegiatan investasi terbuka.

Secara diagramatik, kesempatan mengaktifkan kekayaan andalan itu dinyatakan


pada gambaran 17.1 dan 17.2. Satu pernyataan inti yang dapat dikemukakan di
sini, bahwa khususnya cara ke-2 dan ke-3 di atas bersifat mengaktifkan kekayaan
pemiliknya dari kedudukan yang pasif menjadi produktif. Hanyalah dalam kedudukan
produktif itu maka ‘andalan’ dapat mengungkap potensi manfaat nyata sebagaimana
maksudnya yang tersirat. Menempatkan kekayaan itu untuk tujuan konsumtif saja,
tentunya bermakna mematikan potensi andalan yang ada.
Pada Gambar 17.1 berikut ini disajikan logika awal tentang arti ‘kekayaan
andalan’ atau boleh juga disebut ‘aset peponjen’, yang digambarkan sebagai Yo
yang bisa diusahakan kini (disimbolkan to) dan Y1 yang baru bisa diusahakan
nanti setahun lagi (disimbolkan t1). Pada Gambar 17.1 di bawah, terdapat garis
harga HH di posisi lebih tinggi dari pada garis harga ‘hh’. Jadi, HH juga berarti
kesempatan produktif mencapai tingkat konsumsi lebih tinggi dari pada sekadar aktif
mendayagunakan aset pada posisi apa adanya di titik A. Untuk dapat menangkap
kesempatan produktif yang ada maka pemilik aset harus melakukan semacam
penghematan aset di saat kini.
Untuk memahami konsep hitung antarwaktu (inter-temporal) pada Gambar
16.1, 16.2 dan 16.3, maka ada 3 konsep ekonomi mikro perlu disegarkan kembali
dalam ingatan: (1) Konsep KKP (= Kurva Kemungkinan Produksi atau PPC =
Production Possibility Curve); (2) Konsep GH (Garis Harga atau PL = Price Line) dan;
(3) Total NKK (Nilai Kini Kekayaan), karena apa yang diandalkan (untuk produksi
ataupun konsumsi) ‘kini’ nilai nominalnya sama dengan nilai riilnya kini (tak-ada

372 Ekonomi Pertanian


pengaruh inflasi harga); tapi dana yang bakal masuk 1-tahun lagi, t1) dihitung nilai
riil-nya “kini” dengan rumus Nilai Kini (PV).

Gambar 17.1a Gugus Aset Peponjen; Gambar 17.1b Gugus Kesempatan Produktif

Dari teori ekonomi mikro diketahui bahwa kesempatan produktif yang sedang
dihadapi seorang pengusaha dapat dilukiskan dengan KKP (Kurva Kemungkinan
Produksi). Seorang (calon) pengusaha yang memiliki sejumlah kekayaan andalan
(Ky; Gambaran 16.1) bisa memilih strategi produksi optimal berbasis kekayaan
andalan. Posisi optimal dicapai jika proses produksi berlangsung di titik singgung
KKP dan KI2 (Gambar 16.2). Sebab, secara teknis kekayaan andalan A hanya bisa
menambah nilai kekayaan jika proses produksi dilakukan terjauh di titik kombinasi
R. Tambahan gufaat terjadi secara konsepsional teoretis karena kurva indiferens KI2
lebih tinggi dari KI1, mengindikasikan tambahan gufaat lebih besar akan didapat.
Gufaat tersebut bisa dihitung dengan perangkat analisis numerik lebih konkret.
Katakanlah pada dua rentang waktu, yaitu sekarang (to) dan waktu berikutnya (t1),
model analisis dua periode, maka nilai kekayaan andalan dapat dinyatakan menurut
kaedah nilai kini (present value) sebagai Ky yaitu:

Ky = Yo + Y1 (1+r) –1 ..... (1)

BAB 1 | Beberapa Konsepsi Terapan 373


Ini tentunya dengan asumsi, bahwa:
a. Satuan nilai (harga) Y adalah SATU (unity).
b. Terdapat tingkat bunga sebesar “r”, yang memungkinkan kekayaan sekarang
sebesar Yo tumbuh menjadi Yo + Yo (r) atau Yo (1+r) atau sebaliknya kekayaan
sebesar Y1 di masa datang (1 periode dari sekarang) mempunyai nilai kini hanya
sebesar Y1/(1+r). Perhatikan Gambaran 16.1.
c. Persamaan nomor (1) hanya sebagai penyederhanaan. Logika yang sama dapat
diterapkan untuk lebih dari 2 periode, sehingga terbentuk persamaan berikut:

Ky = Yo + Y1 (1+r)-1 + Y2 (1+r)-2 + ... + Yt (1+r)–k ..... (2)

Dengan jalan pikiran yang sama, setelah suatu kesempatan produktif


dimanfaatkan, maka kekayaan andalan pengusaha telah menjadi Kp yaitu:

Kρ = ρo + ρ1 (1+r)-1 ..... (3)

Ini dengan asumsi tambahan, yaitu d):


d. Kesempatan produktif dapat secara lancar dimanfaatkan pengusaha tanpa risiko
gagal. Perhatikan Gambaran 16.2.
Jika persamaan (2) dikurangi persamaan (2) maka nilai gufaat tambahannya:

Kq = Qo + Q1 (1+r) –1 ..... (4)

Ini dengan batasan, bahwa nilai Qo = ρo – Yo dan Q1 = ρ1 – Y1 (sebagaimana


terlihat dari Gambaran 16.2.

2. Menangkap Gugus Kesempatan Pasar dan Investasi


Semua uraian di atas menegaskan bahwa selalu ada kesempatan bagi pengusaha
dengan kekayaan andalannya (Ky) untuk aktif berproduksi. Untuk itu pengusaha
harus siap mengurangi kadar konsumsi kini demi kenaikan kekayaannya jadi
Kp. Kesempatan mengkonsumsi senilai Yo dengan hanya bersandar pada potensi
aset peponjen secara tradisional subsistens, sekarang kadar konsumsi itu harus
dikorbankan sebesar (Yo-Po) guna diinvestasikan melalui kesempatan produktif di
titik P, dan ini disebut investasi mandiri.
Akan tetapi untuk pengusaha yang lebih agresif untuk maju, sesungguhnya
masih ada lagi peluang komersial di mana pasar menyediakan jasa layanan kebutuhan
modal investasi. Dengan jasa itu, maka pengusaha dapat mempertahankan tingkat

374 Ekonomi Pertanian


konsumsinya sebesar Yo atau lebih besar lagi (Co > Yo) dan pada saat yang sama
pengusaha justru bisa melangsungkan investasi komersial.

Gambar 17.2 Gugus Kesempatan Komersial Lewat Layanan Pasar Dana Pinjaman Pemacu
Investasi

Pada Gambar 17.2. dengan jasa pasar pengusaha akan mampu menikmati tingkat
kesejahteraan tertinggi yang bisa dicapainya, yaitu pada tingkat konsumsi S, titik
singgung antara kurva indiferens (KI3) dan garis MM. Jadi suatu proses investasi
dapat terjadi secara konseptual teoretis melalui 2 cara, yaitu dengan: (1) Cara
Investasi Mandiri, yang sepenuhnya mengandalkan aset peponjen atau kekayaan
andalan milik calon pengusaha; (2) Cara Investasi Komersial, yang bersandar
pada aset peponjen sebagai suatu jaminan untuk membangun kepercayaan pihak
penyedia layanan pendanaan (perbankan). Prasyarat #(2) ini sangat sulit dipenuhi
individu petani-KCT.
Selanjutnya di sini diasumsikan bahwa pasar menyediakan jasa bagi kebutuhan
pengusaha akan modal. Dengan jasa itu, maka pengusaha dapat mempertahankan
tingkat konsumsinya lebih besar lagi (Co>Yo) & pada saat yang sama melangsungkan
kegiatan investasi (produksi)-nya. Ditunjukkan dalam Gambar 16.3. bila jasa
pasar itu dimanfaatkan oleh si pengusaha, maka ia akan mampu mencapai tingkat
kesejahteraan yang paling tinggi yang bisa dicapainya, yaitu pada tingkat konsumsi
S*. Tingkat konsumsi itu tergambarkan sebagai titik singgung antara kurva indiferens
KI3 dan garis MM yang terjauh bisa dijangkau dengan aset andalan dan KKP-nya.

BAB 1 | Beberapa Konsepsi Terapan 375


Semua uraian di atas memaparkan kesaksian teori ekonomi tentang landasan
pengertian investasi. Baik konsep investasi tertutup maupun terbuka tadi
mengisyaratkan 3-tahapan proses pengambilan keputusan investasi:
a. Tahap Studi Kelayakan teknis: Tentang apa yang bisa diperbuat dengan aset
peponjen (kekayaan andalan) yang ada, sarana-prasarna dan persiapan teknis
produksi apa yang bisa didanai?
b. Tahap studi kelayakan finansial: Tentang apa dan bagaimana rancangan kegiatan
produktif yang efisien dan efektif digarap, sehingga NPV > 0; IRR > I; BCR >
1 dengan masa PB-periode tercepat?
c. Tahap studi kelayakan lingkungan; Tentang kesiapan menjaga kelestarian
mutu & fungsi aset peponjen di zona budi daya, zona ekosistem lindung dan
penyangganya agar proses produksi (investasi) berkelanjutan.

Ketiga tahapan proses pengkajian kelayakan usaha dikenal luas sebagai: (1)
Studi kelayakan teknis, dan (2) studi kelayakan ekonomis. Sementara itu, macam
studi yang ketiga yaitu (3) Studi kelayakan ekologis (ANDAL) sama sekali tidak
tercakup. Penting untuk digarisbawahi, bahwa ketiga macam studi itu sangat besar
perannya dalam mengarahkan keputusan investasi yang dibuat seorang calon
penanam modal. Dari itu, penyelenggaraan studi kelayakan sebaiknya dilakukan
dengan sebaik mungkin. Tidak jarang untuk maksud itu pemrakarsa proyek meminta
pelaksana studi kelayakan melakukan suatu prastudi kelayakan. Ini tentunya
dimaksudkan untuk: 1) memperoleh informasi dasar yang dapat meyakinkan
calon investor akan perlunya studi kelayakan lebih lanjut tentang proyek yang
diinginkannya; 2) mengidentifikasi unsur-unsur pertimbangan yang perlu secara
rinci diketahui sebelum diadakan kajian lebih lanjut; dan 3) mengetahui lebih awal
pokok-pokok hambatan dan ketidakjelasan yang masih membayangi proyek.

376 Ekonomi Pertanian


Gambar 17.3 Gugus Kesempatan Meraih Laba Senilai D sebagai Capaian Sukses
Melakukan Investasi

Setiap calon investor perlu melakukan 3 jenis studi kelayakan (feasibility study),
dan dengan ketelitian studi pendahuluan, maka langkah pengambilan keputusan
investasi harus dapat dibuat berdasarkan informasi yang sepatutnya terinci jelas
dalam bagian studi kelayakan aspek finansial. Sehubungan dengan itu perlu
diperhatikan kriteria dan aturan dasar keputusan finansial. Perhatikan di sini ada
istilah kriteria atau tolok ukur, dan ada pula istilah kaidah. Kriteria pengambilan
keputusan itu ada yang memperhatikan NUW (Nilai Uang menurut Waktu = Time
Value of Money) misalnya kriteria NPV (Nilai Kini Bersih atau “Net Present Value”) dan
kriteria IRR (Internal Rate of Return), serta kriteria BCR (Benefit Cost Ratio). Ada pula
yang dengan kaidah hitung yang tidak mempertimbangkan (r) tingkat bunga tanpa
memperhatikan NUW; misalnya kriteria TI (Titik Impas) & kriteria JPK (Jangka
Waktu Pengembalian). Yang akan dibicarakan di sini hanyalah kriteria NPV dan
IRR yang sangat umum digunakan dalam studi kelayakan. Kedua kriteria ini dapat
dipahami dan dihitung dengan mudah, apalagi dengan perangkat canggih komputer.
Akan tetapi, kajian mendalam yang pernah dilakukan para ahli menyimpulkan
bahwa penggunaan kriteria NPV dan IRR itu haruslah dengan berhati-hati.
Keselarasan hasil kajian dengan kedua tolok ukur ini tidak selalu tercermin
untuk semua proyek apa saja. Pada jenis proyek yang ditandai arus tunai (biaya
& penerimaan) yang kadang positif dan kadang negatif, selisih bersihnya amat
sering terjadi tolok ukur NPV dan IRR memberi arah keputusan berbeda lalu
membingungkan, dan sebab itu perlu diperhatikan aturan pengunaannya.

BAB 1 | Beberapa Konsepsi Terapan 377


3. Beberapa Kriteria Pengambilan Keputusan Investasi
Aturan main disebut kaidah (rule), dan yang akan diuraikan di sini hanyalah
menyangkut bagian paling sederhana. Berkenaan kesederhanaan itu, ada 4 asumsi
yang harus diperhatikan, yaitu:
a. Pasar yang dimaksudkan merupakan pasar bersaing sempurna dan lengkap
sifatnya. Ini berarti, kelengkapan informasi dan keluwesan iklim pasar
memungkinkan pengusaha memilih keputusan yang terbaik.
b. Kesempatan produktif digambarkan oleh KKP yang bersifat independen. Artinya,
proyek produksi yang dipilih tidak akan mengurangi kegiatan produksi lainnya
yang mungkin masuk dalam pertimbangan.
c. Sebagai satu proyek yang sedang dipertimbangkan untuk dipilih jika lebih
tampak potensi akan menguntungkan dibanding proyek lainnya, yang punya
rentang waktu masa hidup (time horizon) relatif sama panjang.
d. Kombinasi pemakaian input bisa dibagi-bagi kecil satuannya. Dengan ini, KKP
itu jadi kurva mulus yang cekung ke arah titik 0. Kurva KKP tidak patah-patah,
lalu titik kombinasi optimal terjadi pada titik singgung antara garis harga MM
dan KKP, serta antara MM dan kurva indiferens KI.

Dengan keempat asumsi ini, maka uraian tentang kriteria dan aturan
pengambilan keputusan investasi dapat dijabarkan selanjutnya dengan mudah tidak
jelimet. Uraian selanjutnya memberbincangkan aturan main itu secara konseptual
teoritis, dan lebih tampak berdimensi kuantitatif dan mudah untuk dilakukan
perhitungan finansialnya. Pengusaha biasanya membuat perhitungan kelayakan
finansial ketika akan memulai suatu kegiatan usaha. Kelayakan finansial lebih
cenderung melihat beberapa tolok ukur (kriteria) layak investasi, antara lain NPV dan
IRR. Segi kelayakan ekonomi yang bersandar pada analisis manfaat dibanding biaya
sosial (social benefit-cost analysis) cenderung tidak diberi perhatian besar.
Dalam konteks wawasan kepedulian dan kecenderungan yang demikian, maka
dituntut perhatian dan pertimbangan antisipatif dari Pemda setempat, yakni untuk
melakukan semacam prastudi kelayakan investasi di setiap bagian wilayah yang telah
ditetapkan sebagai sasaran proyek investasi. Kajian prastudi ini sudah seyogianya
dengan cermat memberikan perhatian pada aspek akibat yang bakal merugikan
jika suatu kategori proyek investasi diizinkan untuk ambil tapak lokasi. Seberapa
besar tekanan suatu jenis proyek bakal membawa perubahan mutu-fungsi-manfaat
biogefisik dan sosial, lalu bagaimana rerambu aturan main seharusnya diberlakukan
bagi para calon investor.

378 Ekonomi Pertanian


a. Tolok Ukur NPV
Persamaan 1 sampai 3 yang diungkapkan sebelum ini merupakan perhitungan yang
menggunakan kaedah Nilai Kini (Present Value). Pengertian nilai kini bersih (NPV)
tidak lain adalah nilai kini dari arus manfaat setelah dikurangi biaya yang seyogianya
mengalir dari waktu ke waktu. Jadi secara konseptual rumus #(3) tentang nilai Kq
adalah suatu NPV, rumus umumnya adalah:
Kaedah pokok:

NPV = (Bo - Co) + Σ (Bt - Ct)(i - r)-t


T

T-1

1) Pilih proyek yang memberikan NPV > 0 dan terima setiap proyek yang NPV-
nya positif seperti itu sampai modal dana yang tersedia habis terpakai.
2) Pilih sejumlah proyek yang mendatangkan total NPV terbesar, sekiranya jumlah
kapital terbatas.
3) Sementara itu, kaidah pegangan jika asumsi dilanggar adalah sebagai berikut:
a) Bila asumsi (1) dilanggar, maka analisis harus memperhatikan peluang
ketidak-pastian pasar. Harus dikaji informasi tentang “peluang” munculnya
suatu kejadian yang berpotensi jadi sumber ketidakpastian itu. Dengan
angka peluang, maka dibuat analisis risiko berdasarkan arah gerak dan
apa implikasi teknis dan ekonomisnya. NPV dihitung seperti biasa.
b) Jika terdapat dua atau lebih proyek yang bisa saling meniadakan, maka
asumsi (2) terlanggar. Kedua proyek itu harus mengarah kepada proyek
yang KKP-nya menyentuh garis harga tertinggi. Masing-masing NPV-nya
dihitung seperti biasa.
c) Jika kombinasi input suatu jenis proyek mencerminkan serangkaian proyek
yang diskrit (asumsi #3 dilanggar), berarti KKP yang mulus tidak terdapat.
Maka, cukup perhatikan proyek yang ditunjukkan oleh persinggungan
antara garis harga dengan suatu titik sudut KKP.
d) Jika rentang waktu keaktifan masing-masing proyek tidak sama (asumsi
#4 dilanggar), ada tiga kemungkinan langkah bisa dilakukan, yaitu:
(1) Usahakan menyamakan rentang waktu kegiatan tiap proyek, lalu
hitung NPV dan bandingkan.
(2) Lakukan amortisasi NPV setiap proyek, lalu bandingkan mana yang
menunjukkan nilai anuitas tertinggi.
(3) Anggaplah tiap proyek memiliki masa ganti (penyegaran atau
peremajaan) yang kontinyus tak putus-putus (seperti pada kasus
peremajaan kebun kopi dengan teknik “sambung pucuk” tanpa

BAB 1 | Beberapa Konsepsi Terapan 379


tebang). Bandingkan NPV setiap pasang proyek dengan jumlah kali
penggantian yang sama.

Dengan nalar pemahaman praktis, maka makna Net Present Value adalah nilai kini
bersih dari serangkaian pemasukan uang diperkirakan akan terjadi selama jangka
waktu tertentu. NPV pada tingkat inflasi (ataupun bunga pinjaman tertentu) harus
positif dan sebesar mungkin. Sengaja dalam bahasan ini berulang dipakai istilah
inflasi karena 2 alasan: (1) Baik bagi yang alergi dengan bunga bank; (2) Besaran
bunga bank r = i + j, di mana j= jasa layanan bank. Contoh perhitungan NPV
diperlihatkan oleh tabel berikut ini.
Tabel 17.1 Hitung Nilai Kini dari Arus Uang Tunai Bersih
Tahun Perkiraan (Rp) Nilai kini
Manfaat Biaya Laba
1992 0 500 -500 -500 (1+i)0
1993 1200 700 500 500 (1+i)1
1994 1800 900 900 900 (1+i)3
: : : : :
: : : : :
2012 7000 3500 3500 3500 (1+i)19

Secara konseptual, jumlah RpN sekarang akan menjadi N + N . i = N (1+i)


setelah setahun kemudian. Sehingga nilai kininya adalah:

N + Ni N (1 + i)
RpN = =
(1 + i)1 (1 + i)1

Jadi, NPV adalah suatu nilai laba yang akan terjadi setahun kemudian, tapi
dihitung sekarang dengan mendiskonto nilai itu sesuai dengan tingkat bunga yang
berlaku, atau lebih umum dikatakan “sesuai dengan laju diskonto (discount rate)
tertentu (i)” yang merupakan unsur dari faktor diskonto (discount factor) yaitu (1+i)-t.
Akan tetapi, bisa pula terjadi dalam suatu proses perhitungan NPV atas sesuatu
“proyek lingkungan” yang serba tidak pasti dan sulit diukur dengan jitu, maka
dengan angka-angka rekaan didapatkan arus nilai bersih yang seragam pada kolom
laba. pada situasi ketersediaan informasi seragam itu sesungguhnya NPV dapat
dihitung dengan cara biasa yang mencari nilai kini dari nilai laba yang muncul pada
setiap periode. Tetapi besaran itu bisa juga dihitung dengan rumus pintas untuk
menghitung nilai kini anuitas (A), yaitu:

380 Ekonomi Pertanian


NPV = B = A [(1+r)n – 1] / r (1+r)n

Di mana faktor diskonto [(1+r)n-1] / r (1+r)n telah ditabelkan nilainya untuk


r dan n yang berbeda-beda. Contoh perhitungan yang disederhanakan diberikan
pada Tabel 17.2 berikut ini.
Tabel 17.2 Hitung Nilai Kini dari Anuitas Sebesar A Selama ‘n” Tahun
Tahun ke- Manfaat NK Manfaat
0 Rp. 50.000 50.000/(1+r)0= 50.000
1 Rp. 50.000 50.000/(1+r)1 =
2 Rp. 50.000 50.000/(1+r)2 =
3 Rp. 50.000 50.000/(1+r)3 =
4 Rp. 50.000 50.000/(1+r)4 =
5 Rp. 50.000 50.000/(1+r)5 =
6 Rp. 50.000 50.000/(1+r)6 =
7 Rp. 50.000 50.000/(1+r)7 =
8 Rp. 50.000 50.000/(1+r)8 =
9 Rp. 50.000 50.000/(1+r)9 =
10 Rp. 50.000 50.000/(1+r)0 =
Jumlah Nominal = Rp. 550.000,- Jumlah NK = A
Dengan rumus anuitas = B

B = 50.000 + 50.000 (1/(1+r) + 1/(1+r)2 + 1/(1+r)3 + ... + 1/(1+r)n


= 50.000 + 50.000 [ (1+r)n – 1] / r (1+r)n ]

Besaran B adalah nilai kini dari suatu nilai yang diterima (atau dibayarkan)
di satu masa depan sebesar Rp. A tiap tahun selama ‘n’ tahun, Rp. 50.000/tahun
selama 10 tahun selain tahun awal 0.

b. Tolok Ukur IRR


IRR adalah singkatan dari Internal Rate of Return. IRR sebenarnya bermakna “laju
keberhasilan usaha” tanpa mempertimbangkan ancaman hambatan yang datang dari
luar sistem. Jadi, IRR bisa disingkat dengan LKU jika keadaan usaha berlangsung
mulus sebagaimana diinginkan. Besaran IRR dihitung dengan cara:
1) Mencari nilai “r” pada saat NPV = 0. Jadi, IRR yang disimbolkan oleh “ρ” di-
taksir dengan menghitung “r” pada saat nilai hitung NPV sengaja ditetapkan
bernilai nol, yaitu di saat ’nilai kini’ totalitas arus uang keluar (biaya) sama
besar dengan totalitas arus uang masuk (penerimaan atau revenu):

BAB 1 | Beberapa Konsepsi Terapan 381


0 = Qo + Q1 (1+ρ)-1 + Q2 (1+ρ)-2 + ...

2) Dengan rentang waktu proyek yaitu t = 1,2, T maka penghitungan “ρ” dari
(1) tidak segampang mengucapkannya, kecuali bila menggunakan program
komputer. Dari itu, hakikat perhitungannya dilakukan melalui interpolasi nilai
NPV=0 di antara NPV<0 dan NPV>0; dan caranya adalah: Tetapkan ‘r2” yang
menunjukkan suatu NPV< 0 dan satu lagi “r1” penunjuk NPV> 0. IRR atau
ρ akan didapat melalui teknik interpolasi yang rumusnya adalah:

NPV1
IRR = ρ = r1 + (r2 – r1)
NPV1 – NPV2

Kaidah keputusan:
1) Bandingkan “ρ” dengan tingkat bunga yang berlaku “r” jika ρ > r maka proyek
dinyatakan “go” (terpilih), jika ρ < r maka proyek dinyatakan “no-go” (tak-ter-
pilih). Dari kriteria ini, tentunya pihak calon penyandang dana investasi (Bank)
akan mengkritisi hasil perhitungan untuk dijadikan bahan pertimbangan.
2) Perbandingan ρ dan r biasanya menunjukkan keputusan yang sama dengan
keputusan atas dasar NPV; maksudnya NPV > 0 biasa dibarangi oleh IRR >
r secara searah. Jika tidak, maka penarikan keputusan harus ekstra hati-hati.
Untuk kemudian, berikan perhatian pada NPV saja. Tapi ada cara lain seperti
dianjurkan Bailey (1959) biasa diterapkan bila ada dua atau lebih proyek yang
dipertimbangkan, yaitu:
3) Untuk perbandingan 2 proyek agar didapat satu pilihan, maka kaidahnya yakni:
“Pilih proyek pasca bila ρ > r, pilih proyek pra bila ρ < r. Proyek pasca adalah
proyek A yang jika dibanding dengan proyek B akan memperlihatkan angka-
angka (Qat – Qbt) negatif pada masa-masa awal proyek, sedangkan yang pra jika
terlihat sebaliknya”. Dengan kaedah terakhir ini, pemilihan ρ yang maksimum
kurang dianjurkan.

Jadi, kriteria IRR ini digunakan untuk mengetahui seberapa besar tenaga dalam
suatu usaha direncanakan yang memungkinkan usaha itu dapat menutup balik
modal & bunga yang dikeluarkan. IRR tidak lain adalah nilai bunga yang dicari pada
kedudukan impas, NPV=0. Cara mencarinya menggunakan teknik interpolasi yang
rumusnya seperti ρ yang dinyatakan di atas. Untuk itu suatu hitungan NPV1 dengan
memakai tingkat bunga r1 harus dihitung terlebih dahulu; misalnya, diperoleh
NPV1 > 0 atau positif. Perhitungan harus dilanjutkan untuk mencari NPV kedua
dengan memakai tingkat bunga r2. Besaran nilai NPV2 harus diupayakan bernilai

382 Ekonomi Pertanian


negatif, atau NPV2 < 0. Caranya, perbesar nilai dari tingkat bunga yang semula,
maka perhitungan interpolasi dapat dilakukan dengan rumus di atas. Keputusan
investasi seperti disinggung tadi diambil dengan membandingkan nilai IRR terhadap
tingkat bunga (r) yang sebenarnya sedang berlaku di pasar uang.
Jika IRR > r-nyata maka investasi layak dilakukan, & pihak bank akan siap
mendukung pendanaannya. Jika IRR < r-nyata maka investasi tidak layak dijalankan
karena akan mendatangkan kerugian, & pinjaman kepada bank tak mungkin
dikembalikan. Biasanya, bila tolak ukur NPV menunjukkan angka positif pada
tingkat bunga r yang sama dengan tingkat bunga (r) berlaku, maka IRR akan dengan
sendirinya lebih besar dari r-nyata (r berlaku).
Nampak bahwa konsep-konsep yang sering dipakai sebagai dasar pengambilan
keputusan produksi swasta itu cukup ampuh mengarahkan kegiatan investasi.
Masalahnya, di dalam praktik akan tampak bahwa biaya sosial atau biaya untuk
keperluan pelestarian mutu lingkungan; hidup cenderung tidak dimasukkan
dalam komponen biaya produksi. Oleh sebab itu, pencemaran mutu & kerusakan
fungsi lingkungan dengan sendirinya akan tetap mengekori & menjadi akibat dari
kegiatan investasi. Beruntung pihak pemerhati fungsi & mutu lingkungan hidup
dapat mengenal rumus di atas & mengetahui titik lemah penggunaannya, sehingga
cara hitung yang sama (sudah meliputi biaya kelola lingkungan) harus ada dalam
kajian andal lengkap.
Satu hal yang harus diingat, bahwa kegiatan investasi dibutuhkan sebagai bahan
bakar kegiatan pembangunan, yang digodok dengan menggunakan bahan bakar itu
adalah bahan baku berupa sumber daya alami, baik alam-teludesi, alam-hayati, alam-
maliri, maupun alam-segari. Tidak ada persoalan dengan investasi itu seandainya
sistem dapat memaksa pengusaha agar sebagian laba yang didapatnya dikembalikan
kepada alam agar mampu memulihkan mutu & fungsinya. Tapi justru sistem itulah
yang cenderung terlupakan pada saat orang berlomba meraih laba yang sebesar-
besarnya. Kepedulian terhadap mutu & fungsi alam dianggap akan menyia-siakan
momentum kesempatan memperoleh laba yang lebih besar.
Bayangkan jika tingkat bunga “r” cukup tinggi di pasar uang. Apakah bukan
suatu keberuntungan besar jika kegiatan penebangan kayu dari suatu bentangan
hutan terpacu dipercepat dan ditambah frekuensinya. Siapapun akan mengatakan
sependapat, bahwa kapital yang dihasilkan dengan mengonversi sumber daya hutan
menjadi dolar atau rupiah justru semakin membesarkan nilainya bila didepositokan
di bank. Semangat makhluk bisnis seperti inilah yang mendorong perilaku serakah
yang anti terhadap kebijakan konservasi. Oleh karena itu, maka strategi pengambilan
keputusan investasi harus diciptakan sedemikian rupa agar setiap investor diimbau
untuk sekaligus menjalankan kebijakan konservasi, sekaligus dibarengi upaya

BAB 1 | Beberapa Konsepsi Terapan 383


pemulihan mutu-fungsi-manfaat suatu bentang alam atau agroekosistem sasaran
investasi.
Perhitungan kelayakan dalam rangka pengambilan keputusan mengenai suatu
rancangan kegiatan yang sarat dengan isu lingkungan seharusnya menggunakan
faktor diskonto yang rendah atau faktor diskonto sosial. Ini bermakna perlunya
insentif nyata berupa penerapan tingkat bunga 52 rendah bagi mereka yang
memerlukan modal untuk investasi berwawasan konservasi. Walaupun demikian
pengawasan penggunaan dana tetap harus dilakukan secara ketat. Tidak jarang di
dalam praktiknya, dana murah untuk konservasi dialihgunakan untuk kegiatan
komersial yang menihilkan tujuan konservasi. Justru di sinilah peran manusia
pembangunan, khususnya pihak pengelola pembangunan yang bijaksana dan
sepatutnya penuh dedikasi, sehingga akhirnya tetap merupakan faktor yang paling
menentukan. Berikut ini ulasan lebih jauh tentang faktor diskonto sosial, jika
memang sudah sepatutnya diterapkan.

c. Prinsip Diskonto Sosial


Sampai pada tingkat pembicaraan ini telah dapat dimengerti bahwa kehadiran faktor
diskonto (1+r)-t berperan sebagai jembatan penghubung antara kenyataan yang
mungkin terjadi di suatu masa depan dengan keharusan kini untuk mengambil
keputusan. Tampak pula bahwa laju diskonto (discount rate) “r” dan rentang waktu
“t” atau “n” merupakan unsur penentu.
Laju diskonto bisa dipilih atas dasar 4 alternatif pertimbangan, yaitu: (1)
tingkat bunga pinjaman bank; (2) tingkat biaya kesempatan atau “opportunity
cost” pemanfaatan kapital pada jalur alternatif menguntungkan; (3) tingkat bunga
kombinasi antara bunga bank r terhadap tingkat laba kapital sendiri (equitas) dari
pengalaman yang sudah dilewati (jadi r* = [% laba x jumlah kapital equitas]
+ [% bunga x jumlah kredit] dibagi ke semuanya dengan total kapital (kapital
sendiri + pinjaman bank). Akhirnya yang #(4) tingkat diskonto sosial, yang secara
konsepsional lebih rendah dari laju diskonto swasta.
Penetapan laju diskonto sosial dan taktik penerapannya amat penting perhatikan
hitungan kelayakan ekonomi sumber daya dan lingkungan. Laju diskonto sosial selalu
tentang rencana kegiatan yang menyandang sesuatu kepentingan sosial didalamnya.
Contoh; rencana kegiatan proyek pelestarian lingkungan danau kerinci, perumisasi
usaha perhutanan, penyediaan fasilitas toilet umum di tengah kota. Rencana demikian
ini jelas berbeda dari pada yang komersial pada kegiatan swastawan. Perbedaannya

52
Sungguhpun pembicaraan ini terkait kebijakan Bank konvensional yang mengandung
unsur ribawi, namun ini tetap berguna untuk diperbandingkan dengan hitungan prestasi pola
Syariah yang dianggap lebih unggul.

384 Ekonomi Pertanian


ada dalam 2 hal, yaitu: (1) Perolehan atau kembalian proyek komersial yang selalu
mencari nilai maksimum laba; (2) Kepentingan masyarakat terhadap manfaat proyek
sosial selalu tidak sebentar apalagi sesaat, melainkan dalam periode lebih panjang.
Perlu pula dipahami dasar penetapan tingkat diskonto sosial ini pada
kenyataannya tergantung pada 4 faktor, yaitu:
1) Peran sektor publik yang akan menangani proyek fasilitas umum. Misal proyek
pengembangan Satuan Usaha Perhutanan Sosial (SUPK) di kawasan penyangga
zona lindung harus diperankan oleh kontraktor swasta dengan dukungan
pemerintah dan tentu harus pakai rs. Proyek dinas PU di kawasan penyangga zona
lindung dan harus dikelola kelompok petani dengan dukungan pemerintah tentu
harus dengan nilai „r“ rendah. Begitu juga manajemen kerja sama petani pemakai
air tentu akan membuahkan manfaat lebih dari proyek pemberdayaan masyarakat
yang ditangani Dinas Sosial (menunjang kesejahteraan masyarakat lemah ekonomi).
Di sini, memang sepatutnya rs proyek sosial < rs proyek PU tersebut tadi.
2) Jenis proyek yang dirancang. Misalnya proyek waduk induk irigasi (PU) &
proyek pemukiman kembali suku kubu (Sos). Kembali di sini rs irigasi < rs
pemukiman. Ini dikarenakan pembinaan proyek PU itu termasuk jenis loan,
sedangkan yang satu lagi dana APBD.
3) Sasaran alokasi sumber daya antargenerasi. Makin berjenjang generasi
yang hendak dilayani semakin panjang rentang waktu analisa yang perlu
dipertimbangkan, dan sebab itu makin rendah rs yang harus dipakai.
4) Sasaran alokasi intergenerasi. Bisa terjadi eksistensi suatu wilayah ekosistem
di suatu wilayah administrasi pemerintahan (Kabupaten) yang bertanggung
jawab mengelolanya, ternyata manfaat ekosistem itu dinikmati utamanya
oleh masyarakat di wilayah administrasi pemerintahan tetangga. Misal suatu
bentangan ekosistem hutan di DAS hulu dalam Kabupaten X membawa dampak
positif kecukupan air di wilayah hilir. Sudah seyogianya masyarakat di hilir ikut
membayar kompensasi dana pengelolaan dan jasa pelayarannya semakin luas
kepentingan intergenerasi seperti ini semakin dituntut pemberlakuan faktor
diskonto sosial yang makin rendah.

Atas dasar 4 faktor pertimbangan di atas tadi, maka besaran rs ditetapkan


sedemikian rupa agar pas untuk mengapraisal suatu proyek yang berdimensi sosial
itu. Sekiranya terhadap suatu proyek publik itu memerlukan keputusan bersama
dua pihak yang paling berkepentingan, maka jika rs yang tidak sama justru dipakai
oleh masing-masing pihak akan memerlukan keputusan yang berbeda & mungkin
bertolak belakang (satu pihak menyatakan layak-sosial, yang satu lagi tidak). Oleh
sebab itu ada 3 kemungkinan kesimpulan dan konsekuensi negatif yang harus

BAB 1 | Beberapa Konsepsi Terapan 385


diantisipasi oleh pihak pengelola suatu rencana kegiatan. Konsekwensi dimaksud
adalah:
1) Tidak jarang terjadi swastawan murni menolak melibatkan diri untuk
memerankan kegiatan bisnis bernuansa sosial yang tentunya menjanjikan
imbalan ekonomi atau laba usaha pertanaman yang relatif amat kecil dibanding
jenis pertanaman komersial.
2) Tidak dianjurkan suatu proyek bernuansa sosial dengan rentang waktu
perencanaan yang panjang menggunakan laju diskonto atau tingkat bunga r
tinggi; yang tentu memperkecil nilai kini “NPV” sehingga makin memperkuat
alasan nomor (1) & tidak akan ada proyek “sosial” yang berjalan.
3) Tidak pula dibenarkan untuk memakai tingkat bunga yang sangat rendah
mendekati r = 0% agar kriteria layak (go) atas investasi proyek “sosial” itu
mudah dipenuhi; hal ini memicu pemborosan dana yang semestinya untuk
investasi komersial, tapi justru dipakai proyek sosial berurgensi lemah.

Akhirnya dapat disimpulkan bahwa untuk suatu kategori proyek sosial dan
yang semi-sosial laju diskonto sosial perlu ditetapkan dengan hati-hati penuh
pertimbangan. Laju dikonto itu seyogianya tidak setinggi tingkat bunga komersial
terendah, tapi juga tidak terlalu rendah mendekati 0%. Biasanya untuk Indonesia,
yang dianggap pas adalah di sekitar r = 6% atau setengah dari tingkat bunga
komersial terendah. Sebagaimana dipahami, tingkat inflasi di negeri ini berkisar
10% hingga 12% setahun.T.4

Gambar 17.3b Ilustrasi Proyek Kepentingan Publik Berupa Zona Sabuk Hijau Berupa
Vegetasi Pengendali Emisi Pabrik

386 Ekonomi Pertanian


Selain bentuk proyek sosial berupa pembangunan zona sabuk hijau seperti
pada gambar di atas banyak bentuk lain yang sangat mengedepankan aspek
kepentingan publik. Misalnya, proyek rehabilitasi kerusakan Kawasan lindung,
yang dapat menimbulkan korban banjir dan tanah longsor. Ada pula bentuk proyek
pembangunan kolam retensi banjir kota, yang dilengkapi dengan ruang terbuka
hijau; selain untuk tempat santai sore dan malam juga untuk penyerap gas COx
yang bisa mengurangi kenyamanan orang-orang yang datang.
Guna mendalami berbagai asumsi dan batasan yang telah dkemukakan itu,
maka ada baiknya jika otak-atik kalkulator dilakukan melalui kasus-kasus kegiatan
proyek sederhana. Berikut diberikan beberapa persoalan sederhana yang sengaja
dikaitkan dengan isu lingkungan hidup (public) dan kegiatan pertanian agribisnis
(privat). Dari sini, diharapkan makna dari aneka ragam symbol itu bisa lebih dipahami
dan diingat arti pentingnya.
1) Berdasarkan informasi di bawah ini; bacalah peluang agribisnis! Rincikan,
komoditas apa saja yang potensial meningkat volume jual belinya jika peluang
itu kemudian banyak yang aktif menanggapinya?
a) Ada kesempatan pasarkan bibit ayam kampung dalam rangka menunjang
program penyebaran bibit ayam buras yang diselenggarakan oleh Pemda.
Untuk tahun 2022 Dinas Peternakan memesan sebanyak 10.000 ekor bibit
ayam buras.
b) Ada pula potensi permintaan pasar yang cukup baik bagi hasil ternak ayam
kampung seperti telur dan ayam potong (konsumsi) yang dari tahun ke
tahun semakin meningkat seiring pertambahan penduduk dan kenaikan
pendapatan warga.
c) Ada tersedia sarana pendukung bagi usaha pembibitan ayam kampung,
berupa banyaknya lulusan Fakultas Peternakan setiap tahun mencari
lapangan pekerjaan; sekalipun belum berpengalaman di bidang profesi
peternakan ayam kampung.
Pola Parsial Manfaat Bersih NK (Rp Pola Mandiri Manfaat Bersih NK (Rp
Tahun ke-
ribu) ribu)
1 -5.000 -1.000
2 1.000 -500
3 1.000 1.500
4 1.000 2.500
5 1.000 4.000
6 1.000 5.500
7 1.000 7.500

BAB 1 | Beberapa Konsepsi Terapan 387


Pola Parsial Manfaat Bersih NK (Rp Pola Mandiri Manfaat Bersih NK (Rp
Tahun ke-
ribu) ribu)
8 1.000 7.500
9 1.000 7.500
10 1.000 7.500

2) Dimisalkan ada dua cara untuk memulai agribisnis yang justru sedang
dipertimbangkan, yaitu pola “Parsial” (mengembangkan yang sudah ada) dan
pola “Mandiri” (membuka usaha dari nol di lokasi baru). Diprakirakan arus
manfaat bersihnya sebagai berikut:
a) Hitung NPV dari “pola mandiri” dan “pola parsial” dengan tingkat
bunga inflasi sama dengan tingkat bunga; i = r = 12% ! Mana yang lebih
menguntungkan dari keduanya?
b) Hitung IRR dari “pola parsial”! Layakkah usaha itu dijalankan bila tingkat
bunga modal r = 24%?
3) Pada keadaan pascakrisis moneter, banyak pihak yang bersemangat
mengembangkan atau berusaha di bidang agribisnis dan agroindustri.
Karenanya, ada ancaman over-supply yang bakal jadi bumerang usaha. Jika Anda
termasuk di antara mereka yang terancam, sebutkan apa bentuk kewaspadaan
Anda;
a) Pada tahap perencanaan usaha (antara lain seperti rancangan Gambar 17.1);
b) Pada tahap kerja manajemen keuangan – kepegawaian – keproduksian –
kepemasaran?

388 Ekonomi Pertanian


Tabel #20 . Nilai Kini Rp1 Diterima Setiap Tahun Selama N-Tahun Tergantung Tingkat Bunga
r%

BAB 1 | Beberapa Konsepsi Terapan


Halaman 393

389
390
Tabel #20 . Nilai Kini Rp1 Diterima Setiap Tahun Selama N-Tahun Tergantung Tingkat Bunga
r%

Ekonomi Pertanian
Halaman 393
17.2 Model Pendeteksi Kearifan Lokal Berpoles Ipteks
Salah satu bentuk informasi lapangan yang harus jadi sasaran perhatian terkait
NILAI & ETIKA pendayagunaan potensi lingkungan adalah berupa KEARIFAN
LOKAL (Local Wisdom) yang nyata ada dan dilakoni warga dalam pemanfaatan
SDA (lahan hutan setempat). Akan sangat etis dan amat dianjurkan bila setiap
upaya pemanfaatan suatu bentang ekosistem terlebih dulu dilacak kemungkinan
adanya bentuk-bentuk kearifan lokal di daerah setempat yang perlu ditarik hikmah
pelajarannya untuk didayagunakan. Tentu selalu ada tantangan lapangan yang harus
ditanggapi dengan tepat terapi, tepat siasat dan tepat strategi berpoles Ipteks. Ini
penting ketika rancangan usaha tidak boleh lagi bernuansa usaha tani, melainkan
berpola satuan agribisnis komersial maju.
Di zaman kini yang serba Ipteks canggih ditandai teknologi inforkom digital,
tentu upaya penghematan SDA apapun harus dikedepankan. Untuk meminimalkan
masalah akibat rebutan sumber daya di tengah suasana penuh persaingan, maka
ada baiknya untuk tidak 100% bergantung pada teknologi maju. Pengalaman
berharga yang sempat didapatkan dipetik warga dan sudah turun-temurun diterap-
guna sebagai suatu kearifan lokal harus tetap jadi rujukan andalan, yang justru
efek positifnya bisa naik berlipat jika dipoles dengan unsur Ipteks maju; polesan
dimaksud boleh jadi diperlukan guna memudahkan kegiatan usaha ke arah efisiensi
dan efektivitas manajemen maupun siasat wirausaha di tengah persaingan bisnis.
Logika mendasar terkait arti penting paket tekno-ekonomi kearifan local adalah
adanya interaksi antara aspek bio-geofisik dan sosekbud pasti berbeda-beda dari
suatu daerah ke daerah lainnya di seantero pojok nusantara ini. Tipe iklim maupun
tipe lahan dan jenis tanah sebagai ciri biogeofisik-kimia dikenal sangat bervariasi.
Sifat dan perilaku kelompok etnis dari tiap suku bangsa juga amat beragam. Di situ
interaksi kedua komponen itu akan dapat memberikan warna kegiatan dan warna
prestasi yang berbeda-beda dari suatu daerah ke daerah yang lainnya. Bak kata
pepatah, “Lain padang lain belalang, lain lubuk lain ikannya”, dan isyarat ini jadi
dasar bagi kelangsungan niaga antardaerah.
Begitulah diyakini secara konsepsional teoretis ada interaksi antara suatu ciri
biogeofisik kimia sebagai kinerja Fungsional Ekologis (FE) ketika musti merespons
suatu kebiasaan perilaku sosial dari warga setempat yang hendak meningkatkan
Kemakmuran Masyarakat (KM). Di antara bentuk dan akibat dari interaksi itu
digambarkan pada Tabel Matriks ISEPSA berikut ini.

BAB 1 | Beberapa Konsepsi Terapan 391


1. Matriks ISEPSA Pelacak Kearifan Lokal Berwawasan Lingkungan
Tabel 17.1 adalah tentang metode penelusuran kearifan lokal, yang dapat dijadikan
acuan kerja kajian lapangan, dan dinamakan matriks ISEPSA (Interaksi Sosial
Ekologi Pemanfaatan Sumberdaya Alami). Berkenaan tabel ini maka informasi
tentang setiap upaya warga mencari nafkah tertentu dengan cara tertentu pula, bisa
didudukkan bentuknya pada kotak sel S1, S2, S4 yang terbilang sangat merusak
potensi SDA untuk keberlanjutan nafkah. Sementara itu, terkait sel-sel selainnya
dapat diterangkan seperti berikut ini:
a. Sifat kearifan lokal yang hendak dilacak dan didokumentasi yaitu yang terkait
interaksi peran SDM dengan potensi SDA guna membangun kadar kesejahteraan
keluarga dan kemakmuran daerah.
b. Bentuk kearifan lokal ada pada kotak S6, S8 dan puncak terbaiknya pada kotak
S9. Akan tetapi bentuk interaksi pada kotak S3, S5 dan S7 jika terdeteksi dapat
dipoles Ipteks agar jadi S6, S8 bahkan S9.
c. Cacat kearifan lokal bisa terjadi karena bencana alam dan bisa disebabkan
perilaku sosial pendatang baru yang menerapkan cara dan kebiasaan berbeda,
dan fakta ini bisa dicermati untuk diberi koreksi.

392 Ekonomi Pertanian


Dalam kerangka kepedulian pada kearifan local, maka pengalaman nyata di
lapangan adalah guru yang bijaksana. Dari situ maka setiap komunitas pelaku
pertanian hampir selalu punya kepandaian yang unggul, karena didapat dari
pengalaman turun-temurun. Kepandaian teknis unggul biasanya menjaga
lingkungan tetap indah berkelanjutan dan seimbang sementara produktivitas bisa
tinggi, dan inilah yang disebut kearifan lokal dalam urusan mendayagunakan
SDA-tani. Peran aktif manusia dalam fakta pendayagunaan potensi alam sekitar
secara arif tentu sangat menentukan keberlanjutan manfaat yang dapat diperoleh
untuk menyejahterakan keluarga dan membina kemakmuran daerah. Jika peran
itu menyangkut kebiasaan atau tradisi penafkahan warga yang sudah berlangsung
turun-temurun, maka pasti ada pengalaman mereka yang terbilang unggul dan
sepatutnya ditarik hikmah pelajaran dari padanya.
Tidak selalu hal yang dilakukan warga kampung bersifat jelek, sehingga harus
ditinggalkan, padahal keunggulan yang masih kampungan tinggal dipoles Ipteks,
sehingga berubah jadi unggul inovatif. Sebab itu maka amat dianjurkan agar pada
setiap kajian lapangan tentang pembangunan ekonomi hendaknya agar mencermati
dimensi kearifan lokal yang terkait. Tidak mustahil di antara sederet kearifan lokal
ada yang penting dikembangkan.
Jika suatu paket kearifan lokal ditemukan, maka polesan Ipteks dapat
dilakukan, sehingga paket teknisnya jadi lebih relevan dengan program yang
hendak diselenggarakan di lapangan; misalnya program transmigrasi yang jadi
alasan riset lapangan tadi. Dari temuan yang demikian maka penetapan skala usaha
yang direncanakan sudah sepatutnya memperhitungkan efek teknis positif dari
pemakaian kearifan lokal berpoles Ipteks tersebut terhadap capaian produktivitas
(ton/Ha). Capaian potensial ini tentu berimplikasi pada jumlah Ha luasan lahan
yang diperlukan guna mencapai total produksi (ton/tahun), yang bakal mengisi
kebutuhan bahan baku pabrik agroindustri pengolahan yang memang kemudian
harus dibangun.
Perhitungan teknis berbasis ilmiah dan kearifan lokal yang unggul, serta
relevan sedemikian adalah contoh pasal pertimbangan yang bisa menambah
ketepatan (akurasi) perencanaan, juga dapat menghemat pemakaian lahan dan
input produksi lainnya. Justru perhitungan dan pertimbangan demikian jadi alasan
perlunya pembinaan para petani-KCT yang sudah seharusnya melalui pendekatan
kelembagaan, sehingga strategi manajemen agribisnis dan siasat wirausaha bisa
efektif diterapkan oleh UMKM-kemitraan agribisnis.

BAB 1 | Beberapa Konsepsi Terapan 393


2. Ekonomi Pertanian di Tengah Keharmonisan Sosial Kumuh
Keadaan sosial di kota-kota besar Nusantara biasa ditandai kampung yang padat
penduduk dengan kondisi yang serba kumuh. Kampung kumuh ini biasanya identik
dengan area kemiskinan di kota, tetapi banyak yang tidak menyadari di sudut-sudut
wilayah kota yang demikian kumuh terdapat juga suatu proses adaptasi sosio-
ekologis yang penuh keharmonisan, sehingga siapa yang ikut bermukim di situ
akan mudah menjalani semacam proses adaptasi sosial-ekologis Pilihan seolahnya
hanya ada 2 kategori yakni: (a) Harmoni berarah positif sejahtera; (2) Harmoni
berarah negatif sejahtera.

Tabel matriks di atas menunjukkan 5 kotak berwarna kuning yang


mengindikasikan sikap dan perilaku social-ekologis ke arah negatif, dan 3 kotak
berwarna biru muda mengarah pada sikap dan perilaku sosial-ekologis menuju ke
arah positif. Unsur warga kampung kumuh yang didapati berwawasan positif atas
suatu persoalan tentunya patut dijadikan sasaran pembinaan terawal yang sebaiknya
jadi acuan. Dengan demikian, unsur positif setara dengan kearifan lokal di kampung
kumuh perlu dicermati jika hendak sukses menggerakkan ekonomi warga di suatu
BWK (Bagian Wilayah Kota) yang belum beruntung.

394 Ekonomi Pertanian


Secara umum tidak sepatutnya harmoni berarah negatif atau kebiasaan serba
toleran serba imun terhadap keadaan lingkungan di bawah standar kenyamanan dan
standar kesehatan itu dibiarkan tanpa pembinaan. Sebab jika dicermati dari sudut
pandang ekonomi perhatian, maka terdapat beberapa hal menarik yang tersembunyi
sebagai tantangan potensial maupun ancaman. Tantangan dan ancaman itulah yang
sepatutnya diolah-guna dan dijinakkan demi kebaikan. Adapun tantangan dan
ancaman itu jika diolah-guna dengan bijaksana, sehingga bisa mengambil bentuk
sebagai berikut:
a. Membiasakan warga permukiman kumuh untuk mengerti isyarat usaha
pertanian kota yang berbasis tiga; (a) Pupuk organic; (b) Pola bertanam
hidroponik; (c) Pola bertanam aeroponik, yang hemat lahan.
b. Mendorong para pemukim kompleks kumuh agar membentuk kelompok
usahatani Agrotrisula-organik guna menjamin pangan sayur, karbohidrat ubi,
talas, kentang, ternak, ikan (agrotrisula) bagi mereka.
c. Menganjurkan para pemukim kumuh untuk selalu mulai merapat kepada musala
sebagai tempat beribadah dan bermusyawarah, lalu dari pola kehidupan social
demikian berangsur tumbuh pola hidup sehat.

Tentu saja perlu ada faktor pemacu bagi ketiga gerak pembinaan itu, misalnya
untuk setiap kelompok kemitraan saha di permukiman kumuh Pemda & Pemkot
sepatutnya membantu sarana pemakaian air bersih secara hemat. Juga perlu sarana
disinfektan lingkungan, serta sarana pengolah aneka bahan organik kasar jadi serbuk
agar mudah difermentasi bakteri PBO (Pengurai Bahan Organik) menjadi pupuk
organik. Ketiga sarana ini sesungguhnya adalah sarana transformasi pola hidup
kumuh yang harmoni berarah negatif jadi berarah positif. Ketika pola CM6, CM8,
CM9 telah berjalan dengan perkuatan sarana yang diberikan oleh Pemkot setempat
maka pada saat itu hasil usaha tani warga kumuh tak patut lagi para konsumen
umumnya khawatir dan enggan membeli & mengonsumsi produk agrotrisula dari
kompleks kumuh perkotaan.
Demikian terdapat dimensi ekonomi dan bisnis khusus dapat digerakan di
tengah kehidupan masyarakat kumuh untuk mereka hidup lebih layak dan lebih
sejahtera dari pada sekadar harmoni bercitra negatif seperti kebanyakan kehidupan
kumuh tanpa pembinaan. Justru dengan sedikit dana dan strategi pembinaan yang
tepat, ancaman yang bisa merugikan banyak pihak dan sejenis tantangan yang
mudah ditaklukkan untuk kebaikan semua pihak, maka kondisi kehidupan kumuh
akan berangsur jadi kehidupan yang lebih sejahtera.

BAB 1 | Beberapa Konsepsi Terapan 395


3. Dari Kearifal Lokal Jadi Inisiatif Lokal
Jika diperhatikan logika mendasar terkait dengan Tabel 17.1 tentang ISEPSA untuk
wilayah perdesaan dan Tabel 17.2 tentang Anti-INSEPSI untuk wilayah perkotaan,
maka pada keduanya ada pesan berharga. Di situ tampak jelas peran kegiatan
agribisnis pertanaman bisa diaktifkan untuk membuka lapangan kerja, memacu
transaksi jual beli, mengaktifkan kinerja bisnis. Jika ada program bina komunitas
diadakan berbasis kearifan lokal, maka semua capaian tadi, sekaligus memajukan
perekonomian dan menaikkan tingkat kesejahteraan warga desa tertinggal ataupun
warga kota di kampung kumuh.
Terhadap apa pun bentuk kearifan lokal yang terdeteksi di suatu desa ataupun
suatu kampung perkotaan tentu bisa diberi polesan Ipteks, sehingga kinerja kearifan
lokal itu dapat dilipat-gandakan manfaat dan efek positifnya. Dengan teknik
pertanian maju dan berkat manajemen agribisnis berwawasan pasar, maka suatu
kearifan lokal bisa berubah menjadi INISIATIP LOKAL. Contohnya polesan Ipteks
cangkok tanaman kopi unggul untuk tanaman tua telah jadi “Teknik Sambung
Pucuk” oleh para pekebun kopi di perbukitan Sumsel: 1) Tanpa olah tanah yang
berefek erosi & longsor; 2) Produktivitas kopi berlipat ganda; 3) Petani jadi garda
terdepan selaku pelestari hutan dan tidak jadi pemicu karhutla.
Teknik akua-ponik dan aero-ponik diperkaya dengan cara tepat memilih dan
memperbanyak jenis atau species tanaman khas setempat tentu lebih tepat untuk
kondisi perkotaan yang punya banyak gedung tinggi maupun luas lahan yang sempit
per keluarga di BWK-kumuh, tentu selain menambah keindahan kota juga bisa
mengurangi kasus kriminalitas social perkotaan. Hampir sama dengan itu kemajuan
produktivitas pertanian di desa akan dengan sendirinya menekan angka konflik
sosial juga kerusakan bio-geofisik lingkungan perdesaan. Kedua terap-guna paket
Inisiatip lokal untuk daerah perkotaan dan daerah perdesaan juga akan mengurangi
efek pemanasan global.
Efek positif berupa cipta lapangan kerja akan lebih bernas lagi dirasakan oleh
generasi muda millennial yang umumnya tidak suka pekerjaan usahatani tapi juga
kesulitan mendapatkan lapangan kerja di desa maupun di kota. Pola pekerjaan
agribisnis maju tentu meluas hingga menumbuhkan aneka jenis satuan agroindustri
primer yang padat karya, maupun agroindustri sekunder untuk memproduksi barang
½ jadi. Bahan bakunya dari hasil pertanian maju berbasis inisiatif lokal tentu ikut
memperkuat kesesuaian jadwal produksi satuan agroindustri dan jadwal rutinitas
pengadaan bahan bakunya.

396 Ekonomi Pertanian


17.3 Konsepsi Dasar Analisis Hitung Skala Usaha Komersil
Dalam kancah berbisnis profesional dan komersial, ukuran skala usaha bukanlah
sekadar penting dalam rangka urus perizinan dan aspek legalitas lainnya bagi
suatu satuan usaha, melainkan sedikitnya terdapat 3 (tiga) lain pertimbangan:
(1) Upaya komersil selalu harus terukur rencana kegiatan dan sasarannya agar
dapat diperbandingkan dengan kinerja dan capaian nominal senyatanya; (2)
Usaha komersil selalu lebih siap untuk dikelola sesuai dengan prinsip dan sistem
manajemen baku, serta siasat wirausaha yang jujur dan berkeadilan; (3) Untung
dan rugi satuan usaha mudah dilihat dari 3 dimensi perkembangan evaluasi,
ekspansi, dan apresiasi keberlanjutan peran aktip di tengah kancah pasar yang
terus berkembang.
Ada beberapa cara penetapan skala usaha optimal biasa digunakan dalam
perencanaan satuan usaha agribisnis komersil skala kecil, menengah dan besar:
1. Merujuk pada kapasitas terpasang satuan agroindustri olah-perta yang nantinya
perlu komoditi bahan baku.
2. Membuat rumus kalkulasi yang relevan dengan bentuk dan orientasi satuan
usaha yang direncanakan.
3. Mengoreksi skala usaha sembari belajar dari pengalaman operasional di bidang
produksi dan pemasaran.

Hubungan antara kinerja satuan usaha terhadap kadar kesejahteraan komunitas


warga di tingkat keluarga seyogianya jadi titik tolak perhitungan skala usaha
UMKM komersial. Skala persil lahan per-KK misalnya penting diketahui guna
penetapan skala usaha pertanaman yang harus disediakan dan dikerjakan calon
petani plasma beserta SDM perusahaan inti. Skala usaha juga penting dipantau
demi keberlanjutan hidup perusahaan sebagai sumber lapangan kerja, pencipta nilai
tambah dan penjamin porsi permintaan pasar terhadap hasil satuan usaha primer
pertanian-perkebunan-perhutanan. Dipahami pula bahwa keberlanjutan fungsi
dan mutu ekosistem hutan tidak bisa lepas dari harkat hidup sejahtera komunitas
penduduk sekitar hutan.
Misalnya, berapa hektar ukuran satuan luasan lahan untuk tiap KK (Kepala
Keluarga) calon peserta proyek transmigrasi dari Jawa Timur ke suatu daerah
bukaan baru di Kalimantan, yang fakta kesuburan tanahnya sepertiga dari tanah
Jawa. Berapa ukuran luas lahan per-KK yang patut dibagikan kepada tiap peserta
proyek transmigrasi PIR-Bun kayu Acacia mangium sebagai pasok komoditi bagi
pabrik bubur-kertas (pulp & paper) yang mesin pabriknya berkapasitas terpasang
tertentu (100ton/jam).

BAB 1 | Beberapa Konsepsi Terapan 397


1. Hitungan Luas Lahan Garapan Ideal (Ha/Klg)
Dimulai dengan menghitung besaran Belanja Keluarga Sejahtera (BKS), kemudian
Skala Usaha Pertanaman tingkat keluarga (SUP-tk) diestimasi pula. Untuk itu maka
dihitung alokasi optimal dayaguna lahan garapan atas dasar kapasitas produktif,
sehingga mampu menjadi penopang tingkat kesejahteraan yang hendak dicapai dan
memang sejak fase terawal telah diperhitungkan. Besaran nilai BKS maka pihak
perencana pembangunan pertanian untuk suatu daerah tertentu (baik rencana
pembinaan lebih lanjut, maupun rencana pembukaan zona agro-ekosistem baru)
sudah sepatutnya dapat membuat dan menetapkan kriteria luas garapan minimal
yang tepat-lokasi (Hektar/keluarga; disingkat Ha/Klg). Demi pengukurannya, maka
secara matematis BKS ini dapat dinyatakan sebagai hubungan fungsional pada
persamaan berikut ini, yaitu:

BKS = f (KHMin, KHSew, KPCut)

KHMin = Kebutuhan Hidup Minimum sesuai ketentuan garis kemiskinan tahunan yang diumumkan
oleh pihak Pemda. (Miskin = Nilai Daya Beli ≤ Angka Garis Kemiskinan setempat)
KHSew = Kebutuhan Hedonistik Sewajarnya, dihitung berdasar survai sosial ekonomi tingkat aman
belanja warga. (Aman = Nilai belanja ekstra < Nilai tabung potensial, rerata petani)

KPCus = Kebutuhan Produksi Cabang usahatani, yang dapat dihitung berdasarkan data survai biaya
produksi cabang usaha pertanaman. (Produksi = Luasan x Produktivitas, lapangan)

Akan tetapi, tampilan hubungan fungsional pada persamaan BKS di atas belum
sama sekali mempertimbangkan kemungkinan adanya dinamika sosial-ekonomi
yang senyatanya bisa menggerakkan 3 variabel yaitu: (1) Kemungkinan pengaruh
gencarnya promosi dagang berbagai barang kebutuhan hedonistic semisal HP android
tipe baru lebih canggih, berefek ke KHM ; (2) Kelumpuhan produktivitas (jumlah &
mutu) tanaman lalu berakibat tingkat laba menurun sdan memicu nafsu menambah
luas lahan, berefek ke KHS; (3) Kemudahan terap guna suatu jenis saprosi cara
‘COD-k’ (obat semprot HPT & pupuk ditawarkan lewat jasa pengantar bersepeda
motor ‘trail’ ke lokasi terpencil di perbukitan), ini tentu pula berpengaruh pada
variable KPC.
Aneka efek terhadap BKS tersebut tadi tentu sepatutnya diperhatikan dan
dipertimbangkan, jika hendak memproyeksi apa dan seberapa kecenderungan
perubahan ukuran skala luas lahan garapan rata-rata pelaku usaha tani di suatu desa.
Apakah luasan itu dirasakan cukup ataukah kurang menghidupi? Akankah muncul
efek untuk memperluas usaha? Dapatkah luasan itu memicu kehidupan keluarga
petani jadi lebih sejahtera tanpa musti menambah petak lahan baru?

398 Ekonomi Pertanian


Terkait dengan ini, maka terlebih dahulu perlu dirujuk konsep ekonomi
perambahan hutan yang mengasumsikan para petani di sekitar hutan sebagai
pelakunya. Dari sebuah konsep teori perambahan hutan yang diajukan DeShazo
diandaikan bahwa, demi kebutuhan keluarga petani selaku calon perambah
sesunguhnya perlu memenuhi dua hal, yakni kebutuhan hidup yang harus dibeli dari
pasar (Xm), di samping kebutuhan yang dapat dipenuhi lewat pemanfaatan hasil
pertanian sendiri (Xa). Petani yang rasional berusaha sesuai batas kemampuannya
untuk mencapai puncak kepuasan keluarga dengan berupaya memaksimumkan
gufaat (guna-manfaat = ‘utility’);

U (Xm, Xa) ................................................................................. (0)

Jika pola fikir DeShazo tentang teori latar belakang perambahan hutan dipakai
di sini, maka upaya maksimisasi gufaat pada persamaan itu harus memperhatikan
3 macam kendala pembatas yakni pendapatan (p.X), tenaga kerja keluarga (F), dan
jumlah produksi (Q), pada 3 persamaan sebagai berikut:

Pm Xm = Pa (Q -Xa ) + w(Loff) ........................................................................... (1)

Pendapatan pada persamaan pembatas (1) ini ditentukan komoditas tani yang
dihasilkan sebesar Q secara keseluruhan dan dipengaruhi harga komoditas nontani
yang diperlukan, selain juga tergantung pada upah (w) yang bisa didapat jika
sebagian tenaga kerja keluarga L-off aktif di luar usahatani; ini mengingat:

Loff + Lon = F ................................................................................. (2)

Pembatas ke-2 adalah total tenaga kerja yang tersedia dari dalam keluarga (F),
di mana Lon tenaga kerja keluarga yang dipakai dalam kegiatan usaha tani, dan
tentu secara keseluruhan tenaga kerja bisa juga ditarik dari luar keluarga untuk
kelangsungan usahatani.

Q = Q (T, V, A) ................................................................................. (3)

Pembatas ke-3 adalah capaian produksi Q disimbolkan sebagai fungsi dari T


(tenaga kerja total), dan V (variabel saprosi lain), serta luas lahan yang diaktifkan.
Jika 2 persamaan kendala yang terakhir ini dimasukkan ke dalam persamaan kendala
pertama, maka didapat persamaan berikut ini.

Pm X m + Pa Xa= π + wF ................................................................................. (4)

Perhatikan persamaan # (4) ini tidak membahas potensi dan makna menabung.

BAB 1 | Beberapa Konsepsi Terapan 399


2. Perhitungan Luas Optimal Pola DeShazo
Dengan andaian total luas lahan A tersedia dan kinerja petani dipengaruhi pula oleh
harga hasil tani (p) juga harga saprosi (v) dan upah tenaga kerja (w), serta ongkos
pembukaan petak lahan baru (d), maka menurut DeShazo, R.P.& J.R. DeShazo
(1995) fungsi rente perolehan lahan dari kegiatan pertanaman dalam perspektif
teori perambahan hutan adalah sebagai berikut:

πir = �PrZir – Σ vjhjir – wlir – di� Air .......................................................................... (0)


T

T-1

untuk saprosi nontenaga kerja ‘j’, tanaman ’r’ lahan garapan ke ’i’; serta z = jenis tanaman, h= jenis
saprosi selain l = tenaga kerja), sedangkan d = biaya pembukaan lahan baru.

Tentunya seorang petani rasional akan memaksimumkan kombinasi penggunaan


petak lahan ke-i untuk tanaman ke-r, dan bahkan dengan membuka lahan sebagai
petak (baru) tambahan asalkan konsekuensi biaya ‘d’ untuk mengaktifkan lahan baru
tidak akan justru mengurangi total nilai rente perolehan lahan. Secara matematis,
hubungan berikut ini menjadi tujuan kebijakan usaha tani.

Maxπ = Max Σ πir .......................................................................... (1)


i

i-1

Dimana, i=1…n; r=1…n; peruntukan lahan jenis ke-i hanya bagi jenis tanaman ‘r’ yang sesuai.

Dari capaian maksimal itu, petani produsen patut memaksimal fungsi gufaat:

MaxU = U (Xm, Xa) = U(X) .......................................................................... (2)

Berhadapan dengan kendala pembatas pertama berikut ini

Ar ≤ Ã i .......................................................................... (2a)

p' X = π'Ã + wF + E .......................................................................... (2a)

Di sini, vektor unitas (1xn) bertaut vector (nx1) aneka petak garapan dengan
tanaman ke-r dari jenis lahan ke-i, dan skalar i sebagai total luasan lahan yang
maksimal ada tersedia untuk jenis lahan ke-i (persamaan 2a). Apabila penerimaan
berasal dari tenaga kerja dan sumber ekstra nonusaha tani diperhitungkan pula,
maka total perolehan nafkah keluarga petani demikian itu menjadi faktor pembatas
kedua dari capaian kepuasan keluarga petani (persamaan 2b).
Di sini, p adalah vektor 1xh atas aneka harga untuk aneka komoditi a dan m
pada vektor X (hx1). Lalu adalah vektor 1xm dari besaran ‘i‘ (penerimaan bersih

400 Ekonomi Pertanian


dari jenis lahan i dengan teknologi dan tanaman tertentu). Oleh sebab itu, maka
langkah optimisasi berkendala pada persamaan Lagrangian berikut.

L = U (X) – λ ( p' Ã + wF) – Σ Ki(Ã – [1']Ãi )


i

i=1
.................................................... (3)

Dimana λ adalah nilai bayangan (shadow value of) pendapatan petani, sedangkan κi adalah nilai bayangan
atas lahan dari tipe ke-i sehingga;

K = Σ Ki dan, i = 1 ... n
i

i=1

Isyarat Khun Tucker untuk persamaan Lagrangian (3) adalah sebagai berikut:

U (X) – λp = 0 .................................................... (4)

p'X – π'Ã + wF = 0 .................................................... (5)

λπ – K ≤ 0 .................................................... (6)

à �λπ – K � = 0 .................................................... (7)

K �à – [1]'Ai � = 0 .................................................... (8)

Persamaan (4) dan (5) isyarat ordo ke-1 menggambarkan perilaku petani
sebagai konsumen, dan persamaan (6) sampai dengan (9) menggambarkan perilaku
petani sebagai produsen. Dalam hal ini jika suatu tipe lahan ke-i ternyata memang
terikat pada isyarat persamaan (8) itu, maka nilai bayangan atas jenis lahan ke-i
tersebut, yang ternyata bernilai positif dan lebih besar dari ongkos pembukaan
petak lahan baru (dengan menyewa atau merambah hutan); maka pembukaan
petak baru dari jenis ke-i tersebut akan direalisasikan petani. Jika untuk jenis lahan
tertentu ke-i ternyata persamaan (8) tidak mengikatnya, maka lahan jenis itu tidak
menguntungkan untuk digarap petani. Seterusnya bila untuk suatu jenis pertanaman
‘n’ hanya berlaku ketidak-samaan berikut.

λ(pnzin – Σ vjhjin – wlin – di) Ain < / Ki

Jadi, logis apabila jenis tanaman ‘n’ tidak diusahakan.


Sekiranya untuk jenis tanaman ’m’ berlaku persamaan berikut ini,

λ(pmzim – Σ vjhjim – wlim – di) Aim < / Ki

maka semua petak lahan dari tipe ke-i sebaiknya ditanami semua dengan jenis
‘m’. Sementara itu, terimplikasi juga dari persamaan (7) bahwa nilai bayangan

BAB 1 | Beberapa Konsepsi Terapan 401


untuk suatu petak lahan terkait juga dengan naik turunnya nilai rente perolehan
lahan dan sebab itu pula akan terkait dengan perkembangan harga hasil tanaman
dan semua unsur biaya produksi, sebagaimana terlihat dari 2 persamaan berikut ini.

πλ = Ki

πi = (przir – Σ vjhjir – wlir – di) Air

Dari sini, maka tekanan petani untuk mengkonversi hutan, sehingga


mendapatkan lahan bertipe ke-i dijadikan lahan pertanian akan makin tinggi ketika
perkembangan rente lahan nyatanya menaik. Di sini, tampak bahwa isu perambahan
hutan cenderung bersifat ‘maju kena, mundur kena’. Artinya, kalau pendapatan
tani pas-pasan maka petani cenderung menambah lahan agar sumber nafkahnya
bertambah, walaupun kendala tenaga kerja keluarga akan menyebabkan lahan mereka
bakal tidak tergarap dengan baik.
Demikian pula jika perolehan lahan itu membaik drastik, maka godaan untuk
merambah hutan dan menambah lahan garapan juga akan terpicu. Kesimpulan
ini sangat penting diperhatikan dalam merumuskan konsep operasional sosial-
forestri yang ditandai keharusan untuk melibatkan petani nonkayu untuk ikut
aktif bertanam kayu dan bermitra aktif dengan pihak pengusaha (investor) hutan
tanaman. Jika diarahkan pada upaya rehabilitasi kawasan lahan marjinal seperti
ekosistem hutan gambut yang terlanjur rusak, maka ada tiga patokan merancang
lapangan dikemukakan di bawah ini, yaitu:
a. Untuk optimalisasi upaya; ini terkait hasil pertanaman yang menjadi milik dan
tanggung jawab para petani agoforestri, maka model optimasi tertuju pada isu
pertanaman nonkayu program perhutanan kerakyatan, akan tetapi luas tanaman
kayu ditentukan sebagai tabungan wajib;
b. Untuk pertanaman kayu sebagai porsi lahan garapan petani harus ditetapkan
SOP pengelolaan luasan sebagai sasaran statis (auto-nomus dan eksogenus)
lengkap dengan aturan main dan ketentuan sangsi & bonus yang mengikat dan
harus dipatuhi petani peserta;
c. Untuk sasaran tanaman nonkayu itu boleh dikurangi, tapi sama sekali tidak
boleh diperbesar agar kestabilan ekologis akan mampu menopang antisipasi
respons lahan terhadap teknologi pertanian yang diterapkan oleh petani pada
usaha pertanaman nonkayu.

Selanjutnya dengan memperhatikan 3 patokan tersebut di atas, maka besaran


BKS (Belanja Keluarga Sejahtera) dan skala usaha pertanaman atau luas usaha

402 Ekonomi Pertanian


masing-masing pertanaman dapat dibuat hitung-dagangnya dengan metode
optimalisasi ’goal programming’. Sebagai contoh, suatu estimasi yang didasarkan pada
fakta kondisi sosial ekonomi di daerah Kelampangan (Palangka Raya; Kalimantan
Tengah) menunjukkan bahwa untuk memenuhi kebutuhan hidup normal per
keluarga (laki-laki dengan 3 anak) sekitar Rp31 juta/tahun (2006) atau kira-kira
Rp90 juta setahun (2022). Jadi, diperlukan lahan tanaman nonkayu seluas 0.6Ha
dengan pola pertanaman lama, yaitu sekadar tanaman pangan seperti jagung,
ubikayu, dan sayur.
Sebaliknya hanya diperlukan 0.35Ha kalau digunakan untuk pertanaman
semusim seperti jagung (Zea mays) dan tanaman peluang (catch crop) semisal
tanaman minyak atsiri jenis Kumis kucing (Orthosiphon aristatus) dipadukan dengan
perikanan waring (3m x 4m, 10 waring) dan pertanaman sayur-cepat panen setiap
2 minggu sekali (Sufri, M. & Mirza, A; 2007). Selain luas lahan tanaman penjamin
kebutuhan harian-mingguan-bulanan keluarga tiap peserta program agroforestri-
sosial itu, maka sisa dari luasan 3.0 Ha yang dijatahkan (3.0-0.35 = 2.65Ha) harus
dijaga sebagai luasan pertanaman kayu (Acacia crassicarpa) untuk dipanen sekitar
usia 7.5 tahun, yaitu 0.8Ha berturut-turut setelah sekali tebang dan tanam-kembali
dalam 6-bulan di musim kering (MK).
Bilamana dinisbahkan pada lahan konservasi jenis lahan kering perbukitan
(yang harus dijaga senantiasa hijau demi kelestarian mutu dan fungsi hidro-
orologisnya), maka luasan nonkayu sebaiknya dikurang jadi 0.25Ha saja. Luas ini
untuk diuasahakan dengan teknik pemupukan organik dan pola olah tanah berteras,
dibarengi pertanaman kayu peneduh kelebihan cahaya panas, ditanam pada bantaran
pembatas teras, jarak tanam sekitar 7m sebarisan. Dari setiap pasca panen, bibit
kayu patut disediakan pengelola program separuh bayar.

3. Penetapan Skala Usaha Setingkat Satuan Perusahaan SUPK


Skala ekonomi entitas SUPK (Satuan Usaha Perhutanan Kerakyatan) dapat diukur
dengan memperhatikan kepentingan mendukung kelangsungan agroindustri
pengolah kayu, yakni melalui variabel Kapasitas Terpasang Mesin Olah atau KTMO
dan variabel Total Nilai Tingkat Kelayakan Ekonomi Diharapkan atau TKED,
sebagaimana hubungan fungsional matematis di bawah ini:

Skala SUPK = f (KTM, KRM, TDID, P3HI):

KTM = Kapasitas terpasang mesin; yang tertera pada mesin ukuran tertentu
KRM = Kadar rendemen mesin; sebagaimana juga tertera sejak dari perusahaan ‘sono’-nya. TDID =
Total Dana Invtesasi diprakira (= dana-pinjaman sesuai tingkat bunga; dana mandiri).
P3HI = Produktivitas pertanaman per-Hektar ideal, memperhatikan seberapa bebas satuan
perusahaan mengatur target luas peremajaan atau waktu tebang.

BAB 1 | Beberapa Konsepsi Terapan 403


Kedua variabel KTM dan KRM mesin ini punya ukuran pasti dari perusahaannya,
sehingga dapat diketahui berapa jumlah bahan baku yang efektif dapat diolah ton/
jam/hari, selama waktu operasi tahunan yang dikehendaki calon investor. Dengan
demikian, maka analisis kelayakan usaha secara finansial akan tertuju pada sasaran
volume investasi yang sesungguhnya merupakan kelipatan dari skala SUPK pada
tingkat satuan dasar seperti terindikasi dari persamaan matematis di atas.
Selanjutnya upaya optimasi capaian jangka panjang dalam beberapa siklus
pertanaman dapat dijadikan orientasi perhitungan dalam rangka pematangan
rancangan satuan agribisnis SUPK. Pertanaman kayu bisa dimulai di atas sebidang
lahan kosong. Jika masa tebang tiba, panen atau penebangan berlangsung dan
penanaman kembali dilakukan. Sejak saat tanam hingga saat tebang disebut 1
putaran (siklus) produksi atau 1 kali rotasi. Nilai Harapan Lahan (NHL) dapat
dihitung kadar maksimumnya:

NHL = -C + ( V − C � (1+r)-1 + (1+r)-2 + (1+r)-3 + .�

Dan jika digunakan pertimbangan kapitalisasi yang kontinyus (atau bukan


pendekatan diskrit seperti di atas), maka

NHL = -C + ( V − C � e-rt + e-2rt + e-3rt + .�

Dengan pola pikir Faustmann ini, maka hakikat manajemen pembalakan


adalah upaya pengolahan pertanaman kayu, sehingga perolehan nilai hasil kayu
yang terukur dari NHL (Nilai Harapan Lahan atau LEV = Land Expectation Value)
dapat dicapai maksimum, maka:

NHL = -C + � Vt − C �(e-rt + e-2rt + ...) .................................................................. (1)

(Vt − C )e-rt Vt − C
= −C= −C
1 − e-rt e-rt − 1

dNHL d2NHL
Syarat Maksimum = = 0, <0
dt dt2
dNHL/dt = V't (ert−1) rert (Vt − C) = 0 .................................................................. (2)
atau, V't (ert−1) rert (Vt − C)

404 Ekonomi Pertanian


Secara matematika kalkulus, dipersyaratkan akan tercapai nilai maksimum bila
“Marginal Revenue Product” = “Marginal Cost”

rert
V'(t) (V(t) − C .................................................................. (3)
e-rt − 1

Dengan catatan, terhadap variabel dependen Vt akan bisa ditenggarai (diproksi)


nilainya melalui informasi dan data silvikultur senyatanya, atau juga kenyataan
lapangan di suatu tempat lain, tetapi yang paling mendekati keadaan dan jenis
lahan sasaran setempat. Jadi dengan cara demikian sasaran volume produksi yang
bakal menjadi capaian investasi dapat diprakira, sehingga hasil analisis kelayakan
finansial dengan daur waktu optimum “t” dapat ditaksir nilai NPV dan IRR, serta
B/C-nya secara benar.
Untuk pertanaman karet sebagai alternatif species kayu dapat digunakan
pedekatan alternatif. Ingat bahwa SUPK mengutamakan nilai kayu di akhir periode
tanam, tapi karet adalah tanaman multiproduk meliputi getah karet sebagai hasil
utama, sehingga kayu karet sebagai produk sampingan. Untuk itu diperlukan data
dan informasi perhitungan MAI (mean annual increment) dan CAI (current annual
increment) yang menggabungkan nilai getah dan nilai kayu. Nilai rupiah CAI = MAI
jadi acuan sebagai saat terbaik untuk peremajaan.
Tentu saja capaian keberhasilan (juga tanda-tanda kegagalan) kegiatan
rehabilitasi ekosistem hutan berbasis SUPK itu tentu saja perlu dipantau. Seberapa
jauh capaian dan dampak positif yang dapat dicapai merupakan aspek yang amat
menarik di mata pemerintah dan pengamat maupun warga masyarakat. Bagi mereka
semua, kelebihan sosio-ekologis dan manfaat sosio-ekonomis SUPK harus menonjol
dan semakin positif, sehingga warga makin terpanggil untuk menyambut gerakan
SUPK. Antusiasme terhadap SUPK yang semakin tumbuh dan meluas sejalan
waktu pada hakikatnya menunjukkan konsep pragmatis agribisnis hutan tanaman
sudah menemukan bentuk terapan yang makin nyata bermanfaat bagi semua pihak
termasuk bagi kehidupan dan fungsi, serta mutu lingkungan alami terkait.
Sebagai suatu sasaran investasi, suatu SUPK berstruktur agribisnis (hutan
tanaman) terpadu dan sistemik selalu hadir dengan melibatkan 3 pihak utama
yakni masyarakat desa, unsur Pemda, dan pengusaha. Pada kawasan yang padat
penduduk, akan terpicu pula tekanan penduduk makin besar terhadap ekosistem
di sekitarnya, sehingga hutan pun rusak dan luasannya menciut. Terkait potensi
ancaman demikian, maka konsep SUPK dapat dipakai jadi pemacu peran aktif
dan sambutan positif warga masyarakat untuk ikut serta menyukseskan proses
penghutanan kembali secara efektif dan efisien.

BAB 1 | Beberapa Konsepsi Terapan 405


Secara ringkas, apabila konsep SUPK hendak dipakai untuk membina kawasan
hutan lindung, hutan penyangga (buffer zone), atau bahkan hutan gambut yang
sudah terlanjur rusak, maka ada 3 butir acuan tambahan harus jadi patokan acuan
operasional, yakni:
a. Kegiatan pertanian di lahan gambut itu harus menempatkan lahan gambut
sebagai sistem pendukung pertanaman kayu yang seyogianya menjadi inti
kegiatan bisnis; jadi apabila system pendukungnya rusak, maka hancur pula
kegiatan agribisnis pertanaman kayu di atasnya.
b. Kegiatan sosial-ekonomi dari SUPK menjadi penyehat ekosistem lahan dan
hutan gambut, sehingga mampu mendukung tradisi kegiatan penafkahan
hidup berkelanjutan, dan pada gilirannya menyehatkan pula agroekosistem di
pinggiran ekosistem hutan gambut;
c. Khusus entitas agribisnis yang berbasis lahan gambut, maka SUPK harus
dirancang lengkap dengan satuan kegiatan agroindustri berskala kecil hingga
sedang sebagai basis pasar dan sumber nilai tambah selaras harga dan arus
transaksi relatif stabil dialami kaum tani.

Pada skala makro wilayah, struktur pasar mendekati bentuk oligopsoni yang
menjurus kepada pasar duopsoni (khususnya di daerah padat produksi karet, seperti
Sumsel dan Jambi). Kenyataan ini berkaitan dengan kehadiran pabrik-pabrik Crumb
Rubber dan pabrik lateks pekat yang cenderung bersaing dengan pabrik milik PIR
untuk mendapatkan bahan baku berasal dari karet rakyat. Keadaan seperti itu punya
konsekuensi yang kadang merugikan karena pembeli yang non-PIR cenderung
berkolusi sesama mereka dalam perang harga beli agar bokar dari plasma PIR dapat
terjual sebagian kepada pembeli noninti yang berada di luar PIR. Sampai di mana
kadar persaingan terkait struktur pasar itu tentu masih perlu dikaji melalui analisis
kejadian pasar dan tingkah laku pasar secara saksama.
Biaya pengolahan bokar mutu rendah dan mutu tinggi untuk dijadikan
SIR biasanya relatif sama dialami pengusaha inti, kecuali jika kebijakan daerah
mengendalikan pencemaran lingkungan akibat pengolahan Bokar mutu rendah
sudah berimplikasi tambahan biaya produksi pada perusahaan. Penetapan rumus
harga beli bokar dari petani plasma sesuai ketentuan pemerintah yaitu sebesar H
= K (He-B); di mana K adalah kadar karet kering; He = harga ekspor; dan B =
biaya pengolahan di luar harga bokar sebagai bahan baku. Di sini, perusahaan inti
akan untung lebih besar jika kebanyakan dari petani plasma memproduksi bokar
mutu rendah karena merasa mudah menaikkan bobot bokarnya menjadi lebih
besar, sekalipun petani plasma menyadari harga bokar mutu rendah itu murah,
tapi seolah menguntungkan karena bobot yang lebih besar akibat berisi kotoran.

406 Ekonomi Pertanian


Keadaan ini dapat berubah dan akan menyebabkan para petani plasma berpaling
kepada pengusaha GAPKINDO di luar PIR, ketika sebagian petani plasma rasional
menyadari permainan yang mulai merugikan mereka sendiri, lalu mereka bereaksi
tidak mau dirugikan oleh intinya.
Mengingat ketersediaan lahan makin terbatas, tapi penduduk semakin tersebar,
maka pola usaha agribisnis PIR-BUN akan semakin diperlukan. Tantangan kedepan
adalah perlunya mengaktifkan peraturan perundangan yang bisa memacu lebih
banyak kegiatan PIR-BUN (yang dikelola oleh pihak Inti swasta) dengan aneka variasi
bentuknya. Mengedepankan efisiensi produksi Bokar bersih yang juga diperankan
oleh para petani plasma dan diteruskan ke produksi SIR yang meningkat jumlah
dan mutunya. Ini harus dipacu terutama di daerah-daerah yang padat kebun karet.
Walaupun prospek agribisnis pertanaman karet diperkirakan cukup cerah
di masa depan (karena krisis minyak bumi membuat mahal harga karet sintesis
pesaing karet alam), namun belum akan banyak unsur masyarakat petani pekebun
yang menikmati kalaupun kemungkinan itu jadi kenyataan. Alasannya jelas, karena
para petani dan pekebun kebanyakan masih berbuat tanpa manajemen produksi dan
bagi peserta PIR ada belenggu politik ekonomi yang dimainkan pengusaha inti akan
mengikat keleluasaan bisnisnya, sehingga tidak mudah memanfaatkan perilaku pasar
yang lebih menguntungkan. Dalam kasus PIR-BUN karet yang nyatanya bermasalah,
maka 4 macam persoalan berikut ini biasa dijumpai.
a. Target peningkatan mutu bokar yang diharapkan tercapai justru akhirnya tidak
terialisasi. Konsekuensinya, mutu komoditas karet ekspor rendah dan tingkat
pencemaran lingkungan sekitar pabrik pengolahan bokar mutu rendah itu akan
tinggi pula.
b. Produksi karet oleh plasma berlangsung tidak terkendali dan banyak petani
memaksakan sadap berat kepada pohon karetnya; produktivitas hari ke hari
tinggi dalam jangka pendek, tapi produktivitas kebun jangka panjang jadi
terkuras dan terancam.
c. Kredit investasi yang harus dibayar balik oleh para petani plasma akan
terhambat, khususnya pada usia tanaman 12-24 tahun) dari periode waktu
investasi suatu PIR-BUN karet karena produktivitas rendah (mutu & jumlah
ton/Ha) apalagi pada belahan ke-2 usia tanaman.
d. Petani pada hakikatnya akan terus melarat, dan pertumbuhan ekonomi lewat
peran komoditi nonmigas di daerah yang sesungguhnya sudah padat kebun karet
tidak terpacu kuat lajunya, melainkan sekadar tumbuh dan jalan di tempat.

Dengan keempat ancaman masalah eksploitasi monopolistik di atas, maka


faktor perlambatan kemajuan agribisnis pertanaman karet itu tidak mudah diatasi

BAB 1 | Beberapa Konsepsi Terapan 407


jika terlanjur salah antisipasi. Padahal perkebunan karet adalah bidang usaha yang
paling banyak melibatkan rakyat, sedangkan apa yang senyatanya tidak memihak
kepada kepentingan rakyat tentu akan merugikan rakyat. Di sini dicontohkan
hambatan datang dari perilaku eksploitasi mono-polistik yang menandai proses
transasksi niaga karet. Dengan ilustrasi pemahaman itu, maka kesungguhan langkah
pembinaan agribisnis karet oleh pemerintah sejak dari tingkat pusat hingga daerah
harus aktif tanpa henti.

17.4 Konsepsi Dasar Jerat Intimidasi Bisnis


Intimidasi bisnis bisa muncul lewat peran pelaku usaha pertanian agribisnis tingkat
primer berskala besar, ataupun para pengusaha perdagangan komoditi pertanian
segar, dan bisa juga kolusi antaroknum pelaku atas nama rakyat yang sedang melihat
kesempatan transaksi pasar sambil memainkan siasat menyimpang dan tidak sehat.
Tekanan bisnis yang mungkin dirasakan di luar kewajaran tentu memungkinkan
akal-akalan siasat yang tepat waktu dan tepat kondisi untuk dimainkan mengiringi
strategi main-mata, sekaligus jadi jerat intimidasi kepada pihak pesaing bisnis yang
perlu dikalahkan.
Jerat intimidasi bisa saja spontan dilakukan, atau ½ sengaja dimainkan, ataupun
sengaja diaktifkan. Sifat spontan terjadi ketika suatu daerah (negeri) yang masih
agak tertinggal mengundang pihak lain dari tempat atau negeri lain untuk membawa
paket Ipteks-inovatip sebagai mitra investasi memanen suatu SDA andalan. Dalam
proses kerja sama kemitraan selanjutnya eksploitasi SDA dilakukan, tapi pihak
mitra luar itu menginisiasi agar ekspor ditujukan ke wilayah lain dan negeri yang
pasarnya sudah dipahami dan mudah dikendalikan. Ketika potensi nilai ekspor
dihitung porsi bagi-hasilnya, bisa saja terlihat peluang keuntungan “mudah” bagi
pihak mitra dan oknumnya yang ‘gesit’.
Pada kasus panen SDA-migas andalan Venezuella (Chi-Wei-Su, et.al., 2020)
yang berdimensi makro-ekonomi perdagangan internasional & hutang-LN, dan
SDA-phospat di Nauro (Nancy, J.P., 2014) berdimensi politik ekonomi terkait belanja
barang “mudah” diraih dan lapangan kerja alpa dicipta. Pemerintah di sana lamban
memicu produksi dan lapangan kerja domestik, perkuatan mata uang domestik pun
terjadi. Dari sini jerat intimidasi muncul dan membawa efek “kutukan kekayaan
SDA = the curse of natural resource rich” yang mengebiri kemajuan ekonomi domestik;
nasib warga “bak ayam kelaparan di lumbung”
Begitu pula bentuk intimidasi ½ sengaja, sangat sering dijumpai di zona
produksi pertanian yang agak terpencil (di pedalaman, di perbukitan, di desa-desa
yang minim sarana perhubungan). Sering kali aksi pembeli hasil pertanian untuk
bahan baku pabrik suatu agroindustri, justru tampil jadi pembeli tunggal atau pelaku

408 Ekonomi Pertanian


”pasar monopsoni”. Di zona pertanian seperti itu, pelaku bisnis dan tangan-tangan
aktipnya di lapangan mudah menekan petani-pekebun lewat jerat intimidasi. Jika pun
klaster petani bersatu melembaga, tapi mereka tetap perlu mewaspadai kemunculan
jerat “bilateral monopolistik” antar 2 pihak oknum pelaku langsung, yang sengaja
bersiasat mencari keuntungan pribadi.

1. Efek Intimidasi Covid-Londo dalam Konsepsi “Kutukan SDA”


Dilihat dari perspektif ekonomi pertanian, istilah pembangunan tidak lain upaya
terencana pendaya-gunaan potensi SDA sektor pertanian dalam rangka menciptakan
lapangan kerja bagi SDM dan prasarana-sarana perdesaan guna mempercepat
peningkatan kesejahteraan ekonomi dan memperkuat fundamental ekonomi negeri
perekat kesatuan dan persatuan serta kedaulatan NKRI (F. Sjarkowi, 2022). Terkait
dengan basis SDA, penambangan migas dan SDA mineral lain termasuk juga SDA
hutan alam memang telah didayagunakan sebagai motor percepatan pembangunan
negeri hingga dewasa ini
Uraian sebelum ini menggambarkan pengaruh dua kekuatan pasar berlatar
belakang negara berbeda, yang bisa terjebak dalam perebutan pangsa pasar ekpor-
impor. Ini bisa merugikan ketika kemudian kerasnya persaingan memaksa salah satu
pihak melakukan perang dagang, lewat strategi kampanye ‘hitam’ yang temanya mudah
menarik simpati internasional. Sebelumnya telah pula dibahas bagaimana jika di
suatu negeri ada dominasi satu macam komoditi utama dibarengi berbagai transaksi
ikutan & turunannya, sehingga pemerintah cenderung meremehkan pasal transaksi
selainnya (yakni terkait komoditi dan produk selain andalan). Kelalaian justru jadi
pemicu ‘infeksi’ dan komplikasi Penyakit Londo (=Dustch Desease) berefek ‘kutukan
kekayaan SDA’ yang amat membahayakan kinerja perekonomian negeri setempat.
Menurut Google Investopedia (dikutip Juni, 2019), Dutch disease is a shorthand
way of describing the paradox which occurs when good news, such as the discovery of large
oil reserves, harms a country’s broader economy... Symptoms include a rising currency value
leading to a drop in exports to other countries (= Julukan yang menggambarkan suatu
paradoks dari berita gembira semisal penemuan deposit besar migas, tapi justru
menyebabkan sakitnya perekonomian negeri pada umumnya. Gejalanya antara
lain berupa menguatnya mata uang dan memicu harga komoditi dan produk lain
dirasa mahal di pasar ekspor, lalu mengurangi daya saing ekspor dan menurunkan
perolehan devisa). Dalam bahasa Google Wikipedia (Juni, 2019): the Dutch disease is
the apparent causal relationship between the increase in the economic development of a specific
sector (for example natural resources) and a decline in other sectors (like the manufacturing
sector or agriculture). Definisi demikian ini memberi kejelasan tentang hubungan

BAB 1 | Beberapa Konsepsi Terapan 409


sebab akibat antara faktor dan variablel yang bermain dan sepatutnya dipahami
prilaku manuver dan dampaknya.
Teori penyakit Londo ini lebih dikenal dalam ilmu Ekonomi SDA, tapi jika
diperhatikan dengan cermat gejala ‘infeksi’ penyakit ini sungguh disebabkan
ketimpangan ekonomi antara sektor maju dan sektor tertinggal. Keadaan ekonomi
demikian banyak terjadi di beberapa daerah nusantara. Sering provinsi besar
mengandalkan sektor produksi yang digandrungi warga, sehingga Pemda memberi
pembinaan lebih. Ketika sektor-sektor kehidupan lain tidak sempat diperhatikan,
hal ini bisa memicu persoalan amat serius bilamana ekonomi beberapa kabupaten
bertetangga mengandalkan komoditi yang sama .
Di akhir dekade ke-2 abad ke-21 ini ada contoh ekstrem dapat diberikan dalam
buku ini tentang komplikasi penyakit Londo. Contoh ini relevan dan mirip dengan
isu ekonomi sumber daya minyak bumi melatarbelakangi pemikiran ekonom ketika
kajian penyakit Londo di tahun 1960-an. Tentu ada pula contoh yang tidak bicara
tentang SDA-migas, melainkan tentang SDA-pertanian, seolah ada penyakit ekonomi
Londo-klasik dan Londo-kontemporer.

a. Penyakit Londo-klasik
Komplikasi ini dialami oleh Venezuela yang terjadi pada tahun 2018 jadi babak
belur perekonomiannya. Ini terjadi setelah presiden Nicholas Maduro (2013-
kini) demi kemenangan Pemilu beliau menekankan kembali kebijakan sosialis
komunal yang semula dirintis oleh pendahulunya (Hugo Chaves; 1999-2013); di
mana rakyat miskin dimanjakan dengan limpahan uang ekspor migas negeri itu.
Sementara kelimpahan devisa ($) hasil ekspor SDA yang dipanen, secara mudah
dibelanjakan untuk barang-barang impor tanpa mengantisipasi dampaknya terhadap
perekonomian domestik. Belanja untuk barang-barang domestik cenderung memicu
naik harga, akibat sedikitnya produksi domestik juga banyaknya uang beredar dari
ekonomi sektor tunggal yang menguat.
Dana besar dari ekspor migas andalan utama perekonomian Venezuela,
memacu subsidi untuk rakyat agar harga berbagai kebutuhan domestik dijamin
rendah demi kebahagiaan rakyat. Jadi ada semacam kemakmuran asli tapi palsu,
yang justru memicu budaya santai di kalangan warga. Lalu muncul bencana penyakit
Londo membawa malapetaka serius bagi bangsa dan Negara itu. Ketika harga minyak
dunia jatuh jadi $30/barrel dibarengi utangan besar-besaran dari Cina telah mulai
jatuh tempo, lalu pasar barang domestik jadi lesu, sehingga tak mampu menahan
investor asing keluar Venezuela akibat produksi mereka kemahalan dan tidak
kompetetip. Pengangguran dan kemiskinan meningkat, krisis bahan pangan terjadi
dan Venezuela jadi negara gagal.

410 Ekonomi Pertanian


b. Penyakit Londo-kontemporer
Tanpa disadari efek beracun penyakit Covid-Londo mengintimidasi bisnis tidak cuma
bisa terjadi pada kasus panen SDA migas yang terlalu diagungkan dan diandalkan,
melainkan banyak tanda-tanda adanya varian baru merasuk di beberapa daerah
seputar Nusantara. Kata kuncinya adalah ‘kutukan kekayaan sumberdaya’, yang
kini di zaman otonomi daerah dan di masa akhir kejayaan SDA migas dewasa ini
makin jelas tampak varian-varian penyakit Covid-Londo itu telah pula menyerang
provinsi bahkan kabupaten & kota Nusantara. Daerah yang rentan terinfeksi penyakit
Londo kontemporer ini umumnya daerah yang lemah SDM inovatif & kreatif, tapi
perekonomiannya mengandalkan suatu jenis SDA mineral atau pun nonmineral.
Di era OTDA tidak sedikit daerah administratif baru setingkat kabupaten &
kota bermunculan dengan penuh percaya diri untuk maju mengangkat tingkat
kesejahteraan warganya dengan mengandalkan kelimpahan & kekhasan SDA
tertentu yang dimiliki daerah. Jika kemudian geliat ekonomi mulai digerakkan oleh
Pemda ‘baru’ mulai tampak, maka biasanya akan muncul usulan selanjutnya dari
sejumlah kabupaten & kota bertetangga untuk membentuk provinsi baru. Akan
tetapi di kabupaten atau kota dan provinsi baru seperti itu justru sering tampak
kejanggalan perekonomian, antara lain di tengah suasana pertumbuhan ekonomi
justru terukur Angka Kemiskinan relatif tinggi, IPM rendah, dan gejala masalah
Stunting (anak balita kerdil) masih menggejala.
Paradoks capaian pembangunan daerah seperti itu jika dicermati dengan
saksama sesungguhnya adalah akibat dari kondisi perekonomian yang terinfeksi
penyakit Covid-Londo. Inti persoalan sebenarnya terpicu oleh adanya kegiatan
berintensitas tinggi di suatu sektor dominan tapi kegiatan ekonomi melempem di
beberapa sektor lain yang justru banyak melibatkan warga. Pada saat yang sama,
banyaj SDM berkualifikasi masuk untuk aneka kegiatan sektor unggulan, dan dengan
gaji relatif besar mereka jadi pemicu kenaikan harga-harga relatif di daerah tadi.
Gejala terakhir ini biasanya akan dibarengi kebijakan Pemda untuk menarik pajak
& retribusi lebih gencar demi menaikkan PAD.
Hal-hal yang tampil paradoksal itu pasti memicu banyaknya warga kurang
sejahtera seperti sindiran “banyak ayam mati di lumbung”. Keadaan seperti ini
terjadi di Papua, Kalimantan Timur, dan Sumatera Selatan. Hikmah pelajarannya,
daerah-miskin SDA harus diingatkan juga agar tidak hanya mengandalkan kucuran
APBN terbatas, lalu bersifat terlalu bias pada sektor ekonomi tertentu.

BAB 1 | Beberapa Konsepsi Terapan 411


2. Efek Intimidasi “Eksploitasi Bilateral Monopolistik”
Peribahasa ‘makan buah simalakama’ memang mengandung makna serba salah dan
tidak ada jalan keluar. Walaupun realitas PIR-BUN banyak yang terjebak ke dalam
perangkap ‘eksploitasi bilateral monopolistik’ yang sangat menghambat perkembangan
perusahaan inti dan juga para petani pekebun anggota koperasi plasma, namun harus
diyakini solusi itu pasti ada. Hakikat persoalan eksploitasi oleh sesama ini tentunya
sangat terkait dengan soal konsistensi moral dan konsistensi tindak profesional, dan
dengan demikian akar masalahnya tetap terpulang pada kealpaan mendayagunakan
kekuatan ‘enterpreneurship bertaqwa’ maupun ‘manajer berilmu’.
Itulah persoalan klasik yang terjadi di mana-mana ketika ketergesaan mengejar
target selalu menjadi ciri setiap gerakan pembangunan di seputar Nusantara. Tabir
kegelapan bisa dikuakkan asalkan komitmen pembangunan berpihak kepada rakyat
sungguh ditegakkan. Strategi pembentukan koperasi secara dadakan tidak boleh lagi
terjadi, pembentukan yang melalui proses alami dan bernuansa demokratis harus
difasilitasi, sementara pertimbangan akademis & empiris telah membuktikan hal
itu tidak mustahil.
Sasaran kerja pembentukan koperasi untuk kalangan petani pekebun plasma
dari satuan perusahaan agribisnis pertanaman karet ‘inti’ harus konsisten dengan
strategi alternatif, antara lain adalah:
a. Koperasi sebagai penyuara petani plasma jangan terpancing kolaborasi
individual dengan pengusaha inti, sehingga merugikan petani plasma yang
seharusnya terlindungi. Kolaborasi individu pengurus cenderung menjurus
kepada eksploitasi bilateral monopolistik.
b. Pemda setempat sepatutnya memberikan pembinaan kepada pengurus koperasi
tani dan para anggota untuk selalu sadar akan pentingnya membela nasib dan
kepentingan bersama. Kekuatan SDM berpredikat sarjana yang baru diterima
sebagai PNS sebaiknya oleh Pemda diberi pengalaman lapangan membela
petani, daripada duduk manis seolah berlatih menjadi penganggur dan santai
di kantor yang sudah jenuh tenaga.
c. Perusahaan inti selain harus berjasa memberdayakan kaum tani yang lemah,
juga jangan sampai menyia-siakan kesempatan emas untuk meningkatkan skala
usaha dengan aktivitas produksi yang berskala ekonomi progresif ditandai efek
positif dari koefisien input ( ∑ αi > 1, bukan regresif ∑ αi < 1).
d. Kesempatan sudah sepantasnya diberikan oleh pengusaha agroindustri melalui
aturan main yang jelas dan berkeadilan kepada para petani plasma lewat peran
koperasi dan dengan dorongan Pemda agar supaya sebagian saham investasi
pabrik dapat dimiliki oleh para petani plasma yang telah ikut membesarkan
perusahaan.

412 Ekonomi Pertanian


Contoh Efek EB-Monopolistik
PIRBUN (Pola Inti-Rakyat Kebun) adalah satu bentuk badan usaha andalan yang
bersandar pada prinsip simbiose mutualistik antara 2 pihak yang bersepakat bekerja-
sama. Di satu sisi ada suatu perusahaan swasta (atau BUMN) yang diposisikan
sebagai INTI dan di sisi lain ada sejumlah petani kecil yang diposisikan sebagai
satu kelompok atau kesatuan perusahaan PLASMA. Pihak investor perkebunan
bertindak sebagai penyedia total dana investasi dan modal kerja. Pihak petani
plasma tadi berstatus sebagai jadi pencukup kekurangan lahan kebun agar total
luas kebun perusahaan sesuai atau mendekati kebutuhan komoditi bahan baku
pabrik yang memang tetap kapasitas terpasangnya. Jadi, kelompok petani plasma
menyediakan seluasan lahan milik garapan yang sejak awal memang mereka tangani
masing-masing.
Pada kerja sama agribisnis sperti itu perusahaan inti otomatis bertindak sebagai
pembeli tunggal (monopsonis) terhadap hasil kebun para petani plasma, sementara
pihak plasma sendiri karena sudah bergabung dalam suatu kesatuan wadah yang
berstatus koperasi (resmi terdaftar dan jelas struktur pengurusnya) maka mereka
tampil sebagai penjual tunggal (monopolis). Keadaan ini dengan sendirinya
menampilkan pola interaksi jual beli hasil kebun pada pasar yang berpenampilan
bisnis (STRUKTUR-pasar; PRILAKU-pasar; KINERJA-pasar) unik. Pola interaksi
pasar ini disebut pasar bilateral monopolisitk, yang di atas kertas akan menampilkan
dinamika transaksi agribisnis interaktif berciri tiga: (1) Dominasi pengambilan
keputusan MONOPOLIS di pihak penjual komoditi; (2) Dominasi pengambilan
keputusan MONOPSONIS di pihak pembeli komoditi; (3) Desakralisasi anti-kolusi;
jadi dalam interaksi bisnis ini diasumsikan akan kedua pihak bisa berkolusi, sehingga
muncul kinerja BILATERAL MONOPOLISTIK.
Ciri yang pertama akan menampilkan perilaku perkebunan inti yang relatif
memaksa pihak plasma untuk menerima harga yang rendah atas komoditi kebun
plasma. Ciri kedua memungkinkan pihak penjual komoditi bernegosiasi untuk
menerima harga lebih tinggi dari pada sekadar menerima ketentuan mitra. Ciri
ketiga ada kompromi kolusi pelaku bilateral monopolistik.

BAB 1 | Beberapa Konsepsi Terapan 413


Gambar Kurva #17.4a. Prilaku Pembeli Gambar Kurva #17.4b. Prilaku Penjual
Tunggal (Monopsonis) Tunggal (Monopolis)

Gambar 17.4c Pola Transaksi Ditandai Eksploitasi Bilateral Monopolistik

Pada ilustrasi konseptual pada Gambar 17.4a, b tentang 2 strategi jual beli yang
mewakili sekelompok klaster petani yang bersatu melembaga (BUKD) bersiasat
MONOPOLI agar tak mudah dipecundangi pihak pembeli. Pada kasus agribisnis
sawit, TBS (tandan buah segar sawit) pascaunduh dari pohonnya harus segera diolah
jadi CPO (Crude Palm Oil = minyak sawit mentah); karenanya harus cepat terjual
ke pabrik agroindustri, yang akan berprilaku MONOPSONI (pembeli tunggal, di
suatu wilayah konsesi agroekosistem). Berikut transaksi Gambar 17.4c diberi istilah
”Bilateral Monopolistik”, yang seolah terasa cocok karena pihak penjual (perwakilan
petani monopolis) setuju menerima harga agak murah (HTn < HKs), tapi harga
yang terlalu murah sudah berhasil dihindari; sementara diam-diam wakil pabrik
menikmati marjin itu dengan berbagi sama untung dengan pihak wakil petani. Oleh
karena itu, besaran [Qt. HFs – Qt. HTn ] adalah semacam penyimpangan nilai hasil
transaksi penjualan oleh petugas operasional perwakilan BUKD terhadap perwakilan

414 Ekonomi Pertanian


perusahaan pembeli agroindustri yang membeli komoditi. Penyimpangan ini bisa
disebut bagian nilai eksploitasi bilateral monopolistik.
Semangat kemitraan antara satuan BUKD dan satuan agroindustri yang
merupakan ikatan rantai pasok dan saling mendukung, tapi diwarnai kolusi
tersembunyi antara oknum perwakilan 2 pihak sebagai pelaku transaksi. Di situ
muncul perilaku ”eksploitasi bilateral monopolistik” yang agak mengorbankan dan
merugikan para petani plasma. Berdasarkan analisa kurva pada Gambar 17.4 pihak
petani penjual (monopolis) seyogianya menerima tingkat harga HKs tetapi secara
tersembunyi harga yang senyatanya adalah HTn . Pada akhirnya transaksi yang
disepakati oleh pihak monopolis memang sudah terhindar dari harga yang biasa
ditekan jauh lebih rendah oleh para pedagang pengumpul (ekstremnya = HSi).
Dilihat dari harga transaksi HTn yang sudah jauh lebih besar dari pada HSi maka
para petani anggota BUKD sudah terbantu sehingga besaran [Qn . HKs] – [Qn .
HTn] yang kecil nilainya ini bisa saja dianggap petani (BUKD) sebagai nilai balas
jasa untuk petugas negosiasi.
Akan tetapi bilamana nilainya berlebihan atas kesepakatan rahasia tingkat
oknum kedua pihak, maka terjadi apa yang disebut eksploitasi bilateral monopolistik
yang amat merugikan. Ini seolah makan buah simalakama yakni “dimakan mati
Bapak, tak dimakan mati Emak” dan akhirnya hidup jadi tidak nyaman. Keadaan
seperti ini pernah terjadi pada kasus PIR-BUN (Perusahaan Inti-Rakyat Pekebun)
dimana para petani plasma dalam wadah ”KUD” selaku koordinator jual-beli
komoditi karet ke perusahaan inti. Kalau BOKAR (bahan olahan karet) petani
plasma dijual dengan harga mahal maka perusahaan BUMS atau BUMN mengalami
biaya variabel dan “overhead cost” meningkat (belum lagi jika ada praktik ”mark-
up”). Sebaliknya jika pihak inti membeli terlalu murah, petani plasma akan akan
berhianat dengan menjual karetnya kepada selain inti dan pihak inti akan kehilangan
terkutuk dan merugi. Akhirnya keadaan eksploitasi bilateral monopolistik tidak
menguntungkan kedua pihak, dan maksud awal saling tolong perusahaan & petani
kecil tidak kesampaian.
Struktur pasar bilateral monopolistik seyogianya diawasi oleh Pemda dan
organisasi GAPKINDO (karet) atau APKASINDO (sawit) agar hal berlebihan
akibat eksploitassi bilateral monopolistik dapat dikendalikan. Jangan dibiarkan
pihak pengusaha inti mempraktikkan pola monopsonistik tak berkeadilan, sebab
keluwesan bertindak bisa membuat oknum negosiator merugikan petani. Tidak
jarang ada gaya oligarki yang bermain dengan ’pejabat’, padahal kemitraan yang
tulus diperlukan untuk memperbaiki nasib kaum tani perdesaan yang tentu perlu
lebih banyak biaya untuk pendidikan generasi penerus mereka.

BAB 1 | Beberapa Konsepsi Terapan 415


3. Ganjelan Penghambat Proses Monetisasi Desa
Bertolak dari pemahaman teoritis tentang beberapa siasat jebakan bisnis di tingkat
wilayah dan juga di tingkat satuan usaha, maka patut untuk diantisipasi bahwa
jebakan bisnis oleh pebisnis lupa diri bisa berpengaruh negatif pada prosses
Monetisasi Desa. Pembangunan ekonomi desa sepatutnya berupa upaya mendorong
kehidupan warga agar terus aktif dan kian sejahtera lahir batin, sejalan putaran waktu
tanpa merambah basis SDA-hutan penopangnya. Hutan lindung yang terpelihara
lestari akan menjaga fungsi hidro-orologis bermutu tanpa menimbulkan gejolak
banjir dan longsor ataupun karhutla.
Sesungguhnya itulah pokok pikiran yang mendasari upaya pendekatan
kelembagaan BUKD/BUMDes dibarengi perhitungan skala usaha optimal yang
diharapkan bisa menjamin kesejahteraan petani, tanpa harus berupaya melakukan
ekstensifikasi merambah kawasan hutan lindung. Aktivitas perekonomian yang
hidup dan terus berkembang merupakan hasil dari pembinaan kapasitas ekonomi
desa, biasa disebut proses monetisasi desa yang tentu harus tepat-program dan tepat-
sasaran. Kapasitas ekonomi desa yang telah berhasil dikembangkan itu seyogianya
meliputi 4 sasaran konsepsional, dan rinciannya sebagai berikut ini.
a. Sumber nafkah tumbuh berkelanjutan:
1) Produktivitas usaha tani tinggi;
2) Produk mendapati harga normal, atau tinggi berkat hilirisasi komoditi;
3) Pelbagai kegiatan baru bermunculan jadi penunjang usaha andalan;
4) Pusat pertumbuhan ekonomi menggeliat tumbuh lintas desa;
5) Pungutan retribusi daerah bertambah besar jenis dan jumlah nilainya.
b. Satuan lembaga penunjang aneka usaha hadir berjenjang:
1) Lembaga ekonomi kerakyatan bertumbuh;
2) Lembaga ekonomi berjejaring dari hulu-tengah-hilir;
3) Lembaga sosial-ekonomi sebagai jalur pengaman krisis ada untuk warga;
4) Lembaga penunjang kelestarian agroekosistem & ekosistem ada aktif;
5) Lembaga penyedia aneka jasa bisnis bermunculan masuk desa.
c. Saluran keluar dan masuk barang tampak nyata:
1) Saluran pasar kalangan mingguan ada tersedia di setiap desa definitif;
2) Saluran pemasaran hasil panen tersedia selalu harian atau mingguan;
3) Saluran pemasaran hasil tangkapan tersedia selalu harian dan mingguan;
4) Saluran penjualan di pasar lelang selalu terbuka terjadwal;
5) Saluran penjualan hasil lewat tengkulak kian terbatas.

416 Ekonomi Pertanian


d. Sarana dan prasarana ekonomi tambah sibuk melayani:
1) Sarana-prasarana transportasi selalu baik bukan sebaliknya rusak;
2) Sarana-prasarana pasar desa terhubung ke pasar kecamatan dan kabupaten;
3) Sarana-prasarana keuangan nonrentenir semakin tergapai layanannya;
4) Sarana-prasarana ibadah keagamaan semakin aktif dan digandrungi warga;
5) Sarana-prasarana sekretariat desa semakin tampak melayani warga.

Ada satu kabupaten pada suatu ketika sedang jadi sasaran pengamatan penulis,
dan andalan ekonomi utamanya adalah karet rakyat. Saat harga karet melonjak, akan
dengan cepat pula harga-harga barang untuk kebutuhan rumah tangga sehari-hari
mengalami kenaikan akibat adanya sisi permintaan meroket, dan biaya hidup di
daerah itu pun jadi mahal. Tapi ketika harga karet jatuh, ternyata tidak juga diikuti
penurunan harga-harga dan biaya hidup setempat. Kabupaten ini kebetulan kaya
SDA terbarukan dan SDA terludesi. Berbagai deposit tambang yang belum sempat
dieksploitasi sebagai sumber pendapatan selain yang berasal dari ekonomi karet
yang diandalkan itu.
a. Dengan potensi dan kadar gerak perekonomian yang paradoks itu, daerah
pembangunan tadi senyatanya akan tampil ganjil ditandai IPM terlalu rendah
dan angka kemiskinan tinggi. Kondisi demikian ini patut dicatat sebagai satu
contoh kontemporer bagaimana komplikasi penyakit Londo dapat menyerang
perekonomian daerah, akibat adanya kebijakan mengangkat potensi suatu
jenis SDA andalan (yaitu karet), lalu terjadi ganjelan kemajuan dan hambatan
kemakmuran yang menyimpang dari tujuan utama.
b. Derita kaum tani yang terbelenggu dalam pusaran penghambat gerak maju
perekonomian daerah tentu juga merugikan warga pada umumnya. Daya beli
masyarakat jadi lemah dan perputaran uang di perdesaan akan terbatas, lalu
gangguan kriminalitas social akan menggejala. Keadaan perekonomian ini
tentu akan berimbas negatif pada daerah tetangga, dan pada ujungnya akan
merendahkan prestasi daerah juga negeri secara keseluruhan.
c. Dari itu maka salah besar jika sebagian orang bahkan pejabat berpendapat bahwa
program pembangunan daerah tidak memerlukan konsep-konsep teori muluk,
sebab yang penting pragmatik programnya dan ada dana mengeksekusinya.
Uraian dalam bab ini mengingatkan SDM pembangunan agar bekerja secara
konsepsional dan bersungguh-sungguh di lapangan. Dengan konsep teori yang
kuat, lalu setiap kali ada hambatan akan mudah menelusuri letak kesalahan;
sehingga jalan keluar akan ditemukan segera.

BAB 1 | Beberapa Konsepsi Terapan 417


17.5 Membangun Pertanian Berwawasan Sistem Agribisnis
Menurut Sjarkowi, F. (2004) istilah pembangunan akan jelas mengingatkan isyarat
keberlanjutan proses dan hasil pembangunan jika didefinisikan sesuai format
pesan pelestarian fungsi dan mutu lingkungan hidup yang diisyaratkan peraturan
perundangan.53 Jadi definisi pembangunan seyogianya berbunyi seperti berikut:
Pembangunan ialah segugus kegiatan dan upaya terencana oleh SDM (sebagai unsur
LH-sosial) dalam rangka mendayagunakan potensi SDA (sebagai unsur LH-alami)
guna mendapatkan aneka SDB (sebagai unsur LH-binaan) agar kadar kesejahteraan
ekonomi meningkat lebih tinggi secara berkelanjutan dan kemakmuran lahir batin
menjadi lebih baik.
Apabila definisi demikian itu diselaraskan dengan isyarat keberlanjutan menurut
pesan langitan (QS [11]: 85 & 86),54 maka susunan kalimat definisi tadi bisa dirubah
tanpa perbedaan makna, yakni: Pembangunan ialah segugus upaya terencana untuk
mendapatkan aneka SDB (sebagai unsur LH-binaan) agar kadar kesejahteraan
ekonomi meningkat lebih tinggi secara berkelanjutan dan kadar kesejahteraan
bathin menjadi lebih baik berkat piawainya kinerja SDM (sebagai unsur LH-sosial)
mendayagunakan potensi SDA (sebagai unsur LH-alami) yang terbatas adanya.
Perhatikan ciri kesetangkupan komponen pernyataan di dalam kedua definisi itu.
Dengan batasan pengertian demikian maka setiap perancang dan pengambil
keputusan, serta pengawal ketentuan peraturan yang terkait proses pembangunan
termasuk pelaku, serta penikmat pembangunan di mana pun, seharusnya memahami
definisi tadi dengan memperhatikan urutan makna yang tertera pada catatan kaki
#2. Melalui transformasi pemahaman seperti itu sungguh ditekankan 3 pesan
pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan dengan lingkup sasaran
wilayah, yaitu:
1. Bahwa pembangunan seyogianya terancang secara cermat, sehingga bisa
dikerjakan dengan ketepatan tinggi, sehingga melanggengkan umur pakai
SDB dan tanpa adanya sampah-limbah-emisi berlebihan yang akan merusak
keseimbangan lingkungan.

53
Secara konsepsional lingkungan hidup terdiri dari 3-komponen yaitu LH-alami berunsurkan SDA=
sumber-daya alami, LH-sosial meliputi SDM= sumberdaya manusiawi & aturan juga adat, dan LH-binaan
yang mencakup SDB= sumberdaya buatan).
54
Maknanya; ‘Sempurnakanlah takaran (dimensi ‘ketepatan’) dan timbangan (dimensi
‘keseimbangan’) itu dengan seadil-adilnya, dan janganlah mengambil hak diantara manusia, dan
janganlah menimbulkan kerusakan di muka bumi! (Qs. Huud-85)’. Allah pasti akan menjamin
sisa (kelanjutannya) baik bagimu, asalkan kamu meyaqini (Qs. Huud-86)’.

418 Ekonomi Pertanian


2. Bahwa pembangunan yang berhasil demikian itu amat tergantung pada
peran SDM berkualitas dan berdedikasi, selalu aktif dan tulus peduli, tanpa
mempecundangi orang lain dan sebaliknya tak pernah mau dipecundangi.
3. Bahwa pembangunan akan berlanjut (atau sebaliknya berhenti) jika LH-alami
dan aneka SDA isinya terawat baik (atau sebaliknya habis), karenanya anugerah
Sang Khalik ini harus didayagunakan dengan arif-bijaksana.

Isyarat #(1) mengingatkan arti penting perencanaan yang harus terukur cermat,
dan karena itu tentu harus berbasis Iptek yang tepat selain ditopang tekad Imtaq
yang kuat, cerminan komitmen menjaga keseimbangan fungsi lingkungan sebagai
wujud syukur kepada Tuhan Maha Pencipta. Akan tetapi peran SDM berkualitas
dan berdedikasi seperti isyarat #2 amat sentral untuk dihadirkan sebagai pelaku
utamanya, sehingga untuk isyarat #3 tinggal diperlukan sistem pemantau kadar
perubahan alami dengan ditopang sistem penegakan hukum secara tegas. Maka
dari itu program pembangunan di mana pun memerlukan strategi kelola sejak dari
perencanan yang apik di tingkat wilayah. Lalu pada tingkat proyek atau satuan usaha
harus ada dimensi POSDC (perencanaan-pengorganisasian-penstafan-pengarahan-
pengawasan) sepatutnya terselenggara secara ‘tematik-holistik-terpadu-sistemik’
disingkat THIS.
Di sini, tematik menunjukkan fokus kebijakan utama, semisal melestarikan
alam tanpa mengorbankan kepentingan warga. Kata holistik (= menyeluruh pada
tataran suatu wilayah ekosistem) artinya bertolak dari dasar pemahaman terhadap
informasi yang lengkap di tingkat kesatuan wilayah ekosistem, baik tentang potensi,
tantangan teknis bio-geofisik juga kecenderungan respons sosio-antropologis warga;
yang kesemuanya harus dimengerti dan dimaknai cermat dan saksama. Sasaran
wilayah ini peduli kepada ritme keseimbangan wilayah sasaran pengamatan, yakni
selingkup batas-batas ekologis yang berpengaruh sistemik. Artinya langsung bakal
dipengaruhi oleh setiap perubahan kondisi bio-geofisik, serta daerah permukiman
yang secara sosio-antropologis punya kepentingan terhadap lingkup ekosistem
tersebut.
Istilah terpadu memposisikan harmoni keterkaitan antar-proyek pembangunan
yang akan mengambil ruang di sebagian wilayah ekosistem tadi. Inilah tindak lanjut
upaya rekayasa teknis dan rekayasa sosial bertolak dari informasi tentang tantangan
bio-geofisik dan tuntutan sosio-antropologis di lapangan. Sejak dari tahapan cetak-
biru sudah sepatutnya terancang saling topang dan saling mumpuni, supaya mudah
untuk didukung, serta diselenggarakan para pihak-terkait berlandaskan semangat
kerja sama.

BAB 1 | Beberapa Konsepsi Terapan 419


Isyarat sistemik (= menggugah gerakan bersistem) mengharuskan keterbinaan
jaringan mata-pencarian agar bisa mendatangkan manfaat finansial (Rp) terus-
menerus secara langsung dan tak langsung pada tataran satuan usaha. Satuan
usaha mikro, kecil dan menengah atau UMKM, lalu USM (Usaha Skala Menengah)
dan USB (Usaha Skala Besar) tentu saling terkait. Ini menuntut agar ada strategi
pembinaan yang memang tepat-usaha dan berantai, sehingga satu sama lainnya
saling membutuhkan dan masing-masing pihak berupaya memberikan pengaruh
posistif kepada pihak lainnya. Kehadiran satuan usaha agroindustri ataupun aneka
industri adalah jaminan pasar (captive market) bagi mata rantai satuan usaha di
hulunya.
Keterkaitan usaha demikian itu tentu berdampak produktif, sehingga memancik
gerakan semua pihak berjalan sukacita tanpa paksa dan tidak juga sekadar ikut-
ikutan. Rangkaian usaha yang eksistensinya berstruktur rantai pasok dan berjenjang,
serta berkaitan, tentu lebih memudahkan terbentuknya bisnis kemitraan yang
dibina langsung (formal) atau tak langsung (informal). Pola saling topang, saling
menguntungkan, saling mencerdaskan jadi dasar kelanggengan hubungan bisnis.
Rantai kemitraan ditopang kemajuan teknologi produksi tepat-guna dan tepat-
lingkungan, serta teknologi inforkom tentu semuanya menunjang pembentukan
jejaring kerja sama.
Dengan rancangan pembangunan ekonomi berwawasan lingkungan yang
berpola ‘THIS’ tadi, maka secara otomatis kelanggengan hubungan sistemik
antarpelaku pembangunan sudah terpancang sejak awal. Dengan begitu sistem
keberlanjutan masing-masing kegiatan usaha yang dijalankan oleh setiap pelaku
usaha akan selalu terjalin bermitra satu sama lain. Rasa tanggung jawab untuk
menjaga setiap langkah kegiatan tidak merugikan lingkungan alami dan pihak pelaku
lainnya, tentu akan berpengaruh positif hingga pada fase interaksi penawaran &
permintaan (suplai & demand) di tingkat pasar konsumen komoditi segar ataupun
produk pertanian olahan.
Pencapaian keadaan yang disebutkan terakhir itu selanjutnya dipastikan
akan memudahkan percepatan proses monetisasi wilayah perdesaan. Ini juga
akan menambah jenis dan volume pungutan pajak & retribusi sebagai sumber
PAD (Pendapatan Asli Daerah) bagi Pemda setempat. Kegairahan dan semangat
pembangunan berwawasan lingkungan akan terus terpacu hingga pada saatnya
akan menumbuhkan pula iklim kondusif bagi aneka usaha industri olah-perta
(agroindustri), yang sesungguhnya ditunggu oleh generasi muda pedesaaan.

420 Ekonomi Pertanian


Gambar 1. Bina Agribisnis Kerakyatan Berwawasan Lingkungan
Skematik-1,
gambar yang Gambar Skematik-1 dapat dijadikan pola pikir Ristek-Inovatip agar dalam rangka
dimaksud
sukses pembangunan, isyarat bio-geofisik dan sosio-antropologis perlu dilacak
gambar nomor
berapa ya Pak/ guna merumuskan program pembangunan di suatu wilayah sasaran. Dapat
Bu? mohon dimengerti benar sejak dari tahap perencanaan tematik-holistik-terpadu- sistemik;
dicek kembali,
pembangunan dapat direalisasikan cepat dengan baik. Untuk maksud itu amat
terima kasih.
diperlukan suatu sistematika kajian lapangan yang cermat dan akurat, dan Gambar
17.5 berikut ini merupakan satu modul kajian yang bisa dirujuk sebagai patokan
‘bina agribisnis wanatani kerakyatan’.

Gambar 17.5 Pola Kajian Sosio-Entropik Terkait Rancangan Teknis Biogoeofisik Menjurus
pada Kemitraan Bisnis Berkelanjutan

Pelacakan data teknis tentang potensi dan kegiatan warga pelaku usaha berpola
wanatani (agro-forestry) di suatu wilayah harus terkait ciri keluarga (FBL), adat
(ABL), konversi-lahan (CBL), tambang (MBL jika ada) pada kotak-2. Dari sini bisa
terdeteksi faktor sosio-entropi psikologis, sosio-ekologis, sosio-ekonomis, sosio-
kultural yang bisa saja muncul jadi kendala atau bahkan penghambat pembangunan
berwawasan-LH (Kotak ke-3) di suatu wilayah. Setiap faktor entropi-sosial harus
diredam agar memaksimalkan 5 macam nilai capaian ekonomi di wilayah sasaran.
Dari sini pra-studi kelayakan suatu program agribisnis berwawasan lingkungan
(Kotak ke-4) setingkat wilayah kiranya layak rekomendasi. Lalu muatan SECI (Socio-
Entropic Controlling Interface) bisa menjamin stabilitas-produktivitas-ekuitabilitas-
keberlanjutan pertumbuhan ekonomi akan tercapai. Capaian seperti ini tinggal
dihubungkan dengan supra-sistem pasar.

BAB 1 | Beberapa Konsepsi Terapan 421


Terkait itu mudah dapat dimengerti pula bahwa di masa-masa ke depan pola
pembangunan dan pembinaan pertanian (agribisnis) Nusantara harus berubah dari
sekadar pendekatan parsial dan tak terpadu seperti yang biasa berlangsung selama
ini. Tentu godaan hidup materialis-hedonistik dan tuntutan perut warga bangsa
harus dijawab secara wajar tanpa merusak keharmonisan kehidupan. Hemat penulis,
pembangunan pertanian di masa-masa ke depan sudah seharusnya terpadu dan
secara simultan berciri 5, yakni sebagai berikut:
a. Tidak bisa melupakan kait berkait fungsi bentangan ruang agroekosistem dan
ekosistem-sisa, serta kemitraan yang harmonis antartampilan agroekosistem
hulu hilir, dalam lingkup kesatuan DAS (Daerah Aliran Sungai).
b. Tidak bisa hanya berciri monokultur, melainkan harus dibina polikultur,
utamanya budi daya pertanaman pangan-pokok ditunjang tanaman keras &
kayu, serta porsi usaha ternak dan ikan jadi penyelaras mutu ekologis.
c. Tidak bisa diarahkan dan diselaraskan oleh manajer-manajer yang tidak memiliki
wawasan kelestarian fungsi dan mutu lingkungan, bahkan lebih baik oleh
manajer pembangunan yang paham konservasi air dan tanah.
d. Tidak bisa lagi hanya ditandai egoisme individualistik, melainkan harus
berorientasi kemitraan antar sesama petani disertai kemitraan UMK (Usaha
Mikro & Kecil) terhadap UMB (Usaha Menengah dan Besar) agribisnis.
e. Tidak bisa sekadar bertumpu pada belas kasih alami dan urun-kekuatan modal
bersama, melainkan harus mulai mengandalkan daya saing yang melembaga
B2B mengedepankan karakter-kompetensi-jejaring usaha.

Ad.1) Mengedepankan Keseimbangan Kawasan


Isyarat ke-1 tadi mengingatkan perlu kehati-hatian dan kecermatan mengatur
keseimbangan mutu dan fungsi bentang ekosistem dan peran agroekosistem secara
vertikal dan horizontal. Keseimbangan vertikal harus dijaga perimbangan luas
bentangan agroekosistem dan bentangan ekosistem-sisa yang ada di zona lindung
dan zona penyangga. Khususnya ketika perbandingan luas ruang agroekosistem dan
ekosistem-sisa sudah mulai melintasi perbandingan 50:50. Secara horizontal, harus
diperhatikan keseimbangan luasan agro-ekosistem terbuka dan luasan agroekosistem
yang ditanami tumbuhan kayu dan luasan yang memang belum digarap. Jika terkait
ekosistem lahan basah yang masih banyak tersedia, patokan kemitraan ruang harus
secara konsisten dipacu demi 3 fungsi ekosistem-LB: (1) Selaku ginjal bentang
alam yang menjaga sehatnya habitat alami; (2) Selaku Toserba biologi digandrungi
aneka mahluk; (3) Selaku ATM alami bagi warga sekitar (natural ATM to surrounding
communities’; F. Sjarkowi, 2014). Kemitraan ruang sehat, ekosistem usaha akan
terjaga kondusif.

422 Ekonomi Pertanian


Fungsi ekosistem-LB #(3) menuntut peran bijak pelaku usaha agar selalu
berorientasi hijau penuh rasa tanggung jawab. Upaya membuka bagian kawasan
ekosistem-LB seyogianya didahului kajian yang menjurus pada rekayasa prilaku
sosio-antropologis peduli hijau. Ini penting guna menempa kesadaran semua pihak
agar menjaga fungsi dan mutu ekosistem dengan topangan Ipteks tepat dan benar.
Jika tidak, maka kompleksitas ekosistem dengan segala fungsi dan kemampuan
pulih mutu & fungsinya setelah mengalami sentuhan manusia-pembangunan, tentu
akan terganggu menjurus kepada rusak merugikan. Seperti dimodelkan oleh ekolog
Odum (1976) pada G 17.6, konversi ekosistem jadi agroekosistem sangat membatasi
fungsi ekologis. Konvweesi tidak boleh tanpa kendali, karena mudah memicu efek
boomerang yang mengancam prestasi pembangunan itu sendiri.

Gambar 17.6 Ilustrasi Perubahan Ekosistem (atas) Jadi Agroekosistem (bawah)

Jika di atas tadi dibahas efek pembukaan ekosistem lahan basah menjadi
agroekosistem wana-tani (agro-forestry) ataupun agroekosistem tanaman lain seperti
Aloevera (lidah buaya) atau juga nenas, tentu pada agroekosistem lahan kering tidak
kalah pula kompleksitas permasalahannya. Untuk lahan kering harus diwaspadai
isyarat dari Arnon (1972), bahwa pendayagunaan kawasan lahan kering apalagi jika
di zona ‘arid’ perlu perhatian pada 2 hal, yakni:

BAB 1 | Beberapa Konsepsi Terapan 423


a. Menuntut kehati-hatian untuk mempertahankan kondisi mikro-klimat agar
tidak memicu suhu panas yang berlebihan;
b. Menjaga fungsi hijauan sebagai pemecah angin yang berakibat merusak bio-
geofisik agroekosistem terkait kebakaran.

Kedua ciri fungsional itu selalu secara otomatis selalu diperankan oleh
kawasan hutan alami, tapi ini pada kenyataannya sudah berubah banyak akibat
ekosistem hutan lahan kering yang cepat terkuras. Sebab itu bagi kawasan lahan
kering tropika Nusantara yang kebanyakan berkemiringan dan bergelombang, maka
harus ditegaskan agar setiap upaya konversi bentangan ekosistem hutan selalu ada
disisipkan upaya bertanam kayu. Pada setiap persil agroekosistem, pertanaman
kayu selalu bisa dilakukan, yaitu: (a) Pada titik-titik pembatas persil lahan; (b)
Pada sekat bakar (lorong pemisah antarblok persil lahan pertanaman pangan
semusim; (c) Pada bantaran selebar 7m kiri-kanan suatu aliran sungai kecil; (d)
Pada sela-sela populasi tanaman perdu, sebagai tumbuhan peneduh yang mengatur
cahaya matahari agar tidak berlebihan intensitas panasnya, dan; (e) Pada pinggiran
pematang atau sepanjang sisi jalan penghubung. Pertanaman kayu di 5-sasaran itu
sedikit banyaknya akan berperan menjaga kondisi mikro-klimat dari perubahan
drastik, menjadi sumber kayu bakar dan dalam batas tertentu jadi sumber tambahan
pendapatan petani. Layanan fungsi hidro-orologis terbaik tentu didapat dari hutan
pertanaman kayu, namun bagian tanaman kayu yang terselip di pinggir atau di tengah
luasan persil lahan tetaplah positif perannya. Selain segi hukum lingkungan juga
segi keindahan tata-letak persil lahan pasti terdapat di lapangan, walaupun layanan
ekologis ini tak akan sebaik yang diperankan oleh kawasan hutan alami. Jadi fungsi
hidro-orologis dari kombinasi agro-ekosistem terpadu dan ekosistem-sisa tentu
tidak patut diabaikan pengaruhnya.

Ad.2) Mengedepankan Keterpaduan Pertanaman


Isyarat ke-2 mengharuskan adanya keterpaduan jenis usaha pertanaman termasuk
peternakan dan perikanan, demi menghemat dan membatasi konversi ruang
ekosistem menjadi agroekosistem. Dengan pembangunan berwawasan lingkungan,
luasan kawasan hutan boleh berkurang guna menambah luasan pertanaman pangan
& nonpangan atau ternak dan budi daya ikan. Adapun mutu dan fungsi hidro-
orologis pada bagian agroekosistem lahan garapan seyogianya tetap ditumbuhkan
mengiringi setiap upaya konversi lahan. Ini mengharuskan pula adanya perlakuan
polikultur, ketimbang monokultur yang boros lahan.

424 Ekonomi Pertanian


Gambar 17.7 menegaskan pertanaman multikultur yang punya sasaran lain
dari pada sekadar menghemat lahan. Ada efek kelestarian air dan udara sehat yang
perlu dikembangkan dan dibina, sekaligus juga risiko rugi usaha dengan sendirinya
dapat diperkecil. Risiko rugi sengaja disebutkan di sini untuk menonjolkan arti
penting hitung-dagang untuk satuan agribisnis, tentunya bukan lagi sebagai satuan
usaha tani-KCT (Kecil, Cerai-berai dan Tradisional). Terkadang cara pikir berusaha
tani tradisional hanya memperhatikan hamparan tanaman, yang intinya luasan
terbentang akan selalu identik dengan besarnya pendapatan. Cara hidung demikian
sama sekali tidak menimbang peran dari jalan alternatip menuju keuntungan (laba)
besar melalui upaya memperkecil risiko kegagalan. Padahal justru pada siasat
membaca ancaman aneka risiko diiringi manajemen yang tepat strategi (keuangan-
kepegawaian-keproduksian, serta kepemasaran), maka keuntungan bersih bernilai
optimal dapat dicapai.
Diperlihatkan bahwa cash-crops (semisal tanaman sayuran yang dikelola
tanam setiap 3 hari di sejumlah galengan tentu bisa panen setiap 3 hari pula) alias
sumber uang tunai, yang sangat diperlukan jadi bagian usaha pertanian terpadu
multikomoditi. Pertanaman catch-crops (semisal tanaman obat-obatan dan minyak
atsiri 3 bulanan, usaha sutra kerakyatan memanfaatkan tanaman jarak pagar
(Jatropha sp) di halaman sebagai pakan) juga bisa digabungkan dengan pertanaman
berkayu teratur jarak tanamnya (dijarangkan dan ditopang pupuk organik) agar
lebih membuka ruang pertanaman.
Inti strateginya adalah menambah sumber pendapatan harian, mingguan,
bulanan, triwulanan dan semesteran juga tahunan, sembari menunggu rezeki
nomplok yang datangnya suka tak disangka. Dengan intensitas dan arus lintas
keuangan yang tinggi berkat intensitas kerja yang padat, serta menggairahkan,
maka tekanan untuk mengkonversi sumber daya lahan (ekosistem hutan) amat
cenderung diperkecil.

Ad.3) Mengedepankan Kehandalan Prinsip Konservasi


Isyarat ke-3 tentunya tidak mengada-ada; bahwa ke depan ahli konservasi sumber
daya alami sudah seyogianya jadi panglima dan manajer pembangunan pertanian
di setiap penjuru Nusantara. Isyarat konservasionis jadi keniscayaan zaman. Jika
tidak demikian, maka kekayaan SDA sebagai satu pilar utama ekonomi fundamental
negeri ini akan rontok tanpa ada antisipasi.

BAB 1 | Beberapa Konsepsi Terapan 425


Gambar 17.8 Iptkes Agribisnis Mempermudah Warga Mendaya-gunakan 4-Kategori SDA
dan Memperkuat Ekonomi Fundamental Daerah

Ketika disadari bahwa sisa aset berharga bagi pemenuhan kebutuhan bangsa dan
kemakmuran negeri akan semakin bergantung pada ekosistem lahan basah, maka
pengamanan fungsi dan mutu ekosistem lahan basah tidak boleh longgar ditandai
tawar-menawar. Pengembangan produksi pertanian lewat cara lama tidak bisa lagi
diandalkan. Jika upaya pembangunan dan pengembangan produksi pertanian selama
ini selalu dengan 2 cara yaitu ekstensifikasi dan intensifikasi, maka ke depan cara
demikian tidak dapat lagi diandalkan.
Ekstensifikasi sifatnya menambah lahan produksi dengan cara membuka
bentang hutan. Akan tetapi mengkonversi suatu sebagian bentang ekosistem menjadi
seluasan agroekosistem itu akan terkendala ketiadaan ruang yang tak bertuan, sebab
semua bentanganl lahan nonlindung sudah bertuan (kecuali di Papua dan sedikit
di Kalimantan). Cara intensifikasi sifatnya menaikkan produksi dengan memacu
produktivitas lahan usaha yang sudah ada melalui penggunaan bibit unggul dan
saprosi optimal, tapi ancaman gagal tanam dan gagal panen karena kekeringan dan
kebanjiran, serta angin puting beliung dewasa ini kian marak disebabkan sistem
hidro-orologis semakin rusak.
Oleh sebab itu produksi pertanian terlebih-lebih tanaman pangan akan
semakin tergantung pada strategi perpaduan ruang ekosistem & agroekosistem
yang kondusif terhadap peningkatan fungsi hidro-orologis. Ini perlu agar lahan
pertanaman pangan aman dari gagal tanam dan gagal panen akibat kebanjiran
atau kekeringan atau juga tendangan angin puting beliung dadakan. Di situ siasat

426 Ekonomi Pertanian


keterpaduan pertanaman pangan dan aneka tanaman lain termasuk tanaman keras
di bentangan lahan harus dibudayakan. Begitu juga keterpaduan antarekosistem
bertetangga ataupun bentang ekosistem hulu (kering) dan hilir (u basah) lewat
perhitungan perilaku hidrologis dan peran sistem hidro-orologis harus dilakukan.
Perhitungan cermat diselenggarakan lewat komando panglima pembangunan yang
mengerti pembangunan berwawasan lingkungan ini.

Ad.4) Mengedepankan Kebersamaan Pelaku-usaha


Isyarat ke-4 bicara tentang wadah orang-orang yang bermitra sesama. Jika di tingkat
desa diusulkan nama wadah kemitraan itu adalah BUKD (Badan Usaha Kemitraan
Desa), yang kemudian bisa dijadikan sebagai tangan-tangan aktif dari BUMDes yang
diamanatkan UU#6/2014. Dengan wadah kelembagaan demikian maka ancaman
emosional dan primordial yang hendak membuyarkan kemitraan kelompok tani
seklaster pertanaman akan bisa dibentengi. Selain itu kedudukan mereka yang
tadinya lemah akan jadi lebih kuat karena bersatu di bawah satu komando yang
mengacu pada aturan organisasi. Kedudukan yang lebih kuat itu dalam kancah
bisnis memungkinkan pula terbangun hubungan dan kesepakatan bisnis terhadap
pelaku bisnis lain yang sifatnya B2B (business to business) bukan B2P (business to
person individually). Ketika ada peluang menarik dari pihak investor yang tampaknya
bisa menyejahterakan wong-cilik, maka tentu mudah dibangun kesepakatan yang
menjawab proposal kerja sama B2B antara BUKD mewakili para anggota terhadap
pihak perusahaan calon mitranya.
Seperti tampilan Gambar 17.9 di bawah ini; ‘deal’ bisnis sangat rasional
dilakukan antara satuan Pabrik Gula (BUMN) dengan warga sekitar pabrik yang
bergabung secara sosial ekonomi membentuk satuan lembaga BUKD. Sebagai
pabrik berskala produksi puluhan ribu ton setiap musim tanam tebu tentu sangat
merepotkan jika demi program CSR pihak pabrik harus melayani setiap satuan
warung milik perorangan yang ratusan jumlahnya dan berminat memperdagangkan
gula untuk konsumsi warga. Akan tetapi akad kesepakatan dagang itu jadi mudah
dibentuk lalu diselenggarakan lewat pola B2B, jika warga masyarakat pada umumnya
berwakil kepada lembaga BUKD yang selanjutnya bisa menjadi distributor. Jika sudah
demikian perkembangannya, maka jumlah pelaku usaha di seputar Nusantara akan
bisa tumbuh dengan cepat dan perilaku bisnis profesional akan semakin berkembang
sejak dari kota hingga ke desa-desa. Sesungguhnya langkah dan gerakan seperti
inilah yang amat diperlukan untuk menghadapi ASEAN-Community 2015.

BAB 1 | Beberapa Konsepsi Terapan 427


Gambar 17.9 Picu-Pacu Bums/N Jadi Penopang Niaga Kerakyatan, Penerima Pasok Bahan-
Baku Bermutu, Pembeli Komoditi Segar Siap Konsumsi

Kelembagaan sosial ekonomi BUKD patutlah serba fungsi yang seyogianya


bisa membuat padu para warga desa dan semua pelaku ekonomi di sekitar mereka.
BUKD jadi lembaga di tingkat operasional kegiatan ekonomi akar rumput yang lebih
mengedepankan sifat usaha kerakyatan, sekaligus tangan operasional BUMDes (UU
#6/2014). Lembaga BUKD yang pembentukannya berbasis musyawarah patut jadi
Koperasi
jawaban kelembagaan yang selama ini dicari rumusannya, sehingga tidak bersifat
neolib-kapitalis dan tidak juga sosial-komunis. &/ BMT
di Tingkat
Dari segi perilaku berbisnis lembaga kerakyatan yang selama ini dikenal
sebagai KUD sebagai wadah kebersamaan bisnis warga desa justru kebanyakan
gagal menjalankan misinya, karena terjebak praktik Bilateral Monopolistik yang
hanya menguntungkan oknum pengurus-inti dan agen perpanjangan tangan pihak
perusahaan mitra. Ini suatu kenyataan yang sangat tidak Pancasilais. Sebaliknya
lembaga BUKD menurut proses pembentukannya harus bermula dari kegiatan
beberapa KUBE (Kelompok Usaha Bersama Efektif) dan mengikuti prinsip
musyawarah-mufakat yang sangat demokratis. Ini tentu akan lebih siap menjunjung
tinggi keluhuran budi dan ketakwaan manusia pembangunan. Dari situ nantinya
kemitraan sosial yang langgeng dalam urusan bisnis akan dapat dirajut oleh lembaga
BUKD. Tetapi juga gejala negatif keresahan warga untuk tergoda bertarung secara
serakah demi keinginan memiliki lahan usaha secara membabi-buta lewat konversi
hutan atau bahkan ambil-alih paksa sebagian lahan perusahaan.

428 Ekonomi Pertanian


Ad. 5) Mengedepankan Keterpaduan Bisnis
Lembaga ekonomi kemitraan di tingkat desa yang mulai berubah tampilan dari
usahatani jadi tumbuh berpola agribisnis, tentu menambah daya pelipat-ganda
nilai tambah kapasitas untuk berkembang. Apalagi jika rantai hubungan transaksi
produktif antarlembaga agribisnis menampilkan pola hubungan rantai pasok.
Berawal dari sesama petani dari klaster usaha pertanaman sejenis yang membentuk
BUKD selaku UMKM agribisnis kemitraan, lalu beberapa BUKD bertetangga desa
memasok bahan baku bagi unit USM (Usaha Skala Menengah) selaku agroindustri
penghasil produk ½ jadi di kecamatan. Kemudian produk ½ jadi itu dipasok sebagai
bahan baku unit USB (Usaha Skala Besar) agroindustri produk jadi (siap pakai) di
tingkat kabupaten atau provinsi.
Hubungan berupa rantai pasok demikian itu tentu perlu harus didorong dengan
kebijakan Pemda. Dengan iklim bisnis yang dibuat kondusif untuk itu, maka sudah
selayaknya jalinan rantai pasok agribisnis-agroindustri bisa tuntas terealisasikan, dan
ini hendaknya terjadi pada jalur & perangkat transaksi bisnis yang semakin maju.
Prestasi seperti ini penting demi ketersaluran komoditi sejak dari kondisi bahan
mentah hingga jadi produk olahan. Capaian yang seperti ini tentu menyediakan
lapangan kerja dan mendistribusikan nilai tambah secara proporsional, dan pada
gilirannya bisa menyejahterakan mereka yang berperan-serta merawat suasana
perekonomian pemakmur daerah.
Demikian sifat keterpaduan bisnis itu harus dimulai dari tingkat desa dihela
oleh lembaga BUKD sebagai UMKM kemitraan agribisnis. Karena menurut
Gambar 17.10 di bawah ini, selalu akan muncul faktor kendala yang mengganjel
proses transformasi ekonomi bisnis berbasis pertanian kerakyatan. Mulai dari ciri
keterbatasan para petani-KCT (Kecil, Cerai-berai, Tradisional) dan ciri kelemahan
komoditi hasil usaha tani mereka. Ini berimplikasi keterbatasan Gaya Wirausaha dan
Daya Manajemen, karena GW berlatar-7Ce tidak memiliki senjata taktis berbisnis
dibarengi DM ber-latar-7Cv yang juga tidak mempunyai peluru strategis berbisnis.
Padahal di dunia persaingan pasar taktis & strategi itu perlu agar kuat masuk
kancah persaingan lalu berkiprah bisnis secara sehat dan menggairahkan; dan ini
pada gilirannya jadi lebih menarik bagi generasi muda perdesaan yang senyatanya
kini tidak suka dunia “usaha tani” seperti yang digeluti orang tua, sebab mereka
generasi millennial semakin berpendidikan.

BAB 1 | Beberapa Konsepsi Terapan 429


Gambar 17.10 Kepentingan Menambah Kemampuan Manajerial & Wirausaha ‘BUKD’

Para pelaku usaha tani-KCT selalu terhambat oleh kealpaan dan keterbatasan
kemampuan untuk memenuhi isyarat baku keindustrian melekat pada komoditi
hasil pertanian sebagai saprosi (input) agroindustri. Ciri usahatani-KCT harus
ditransformasi terlebih dulu jadi ciri agribisnis secara melembaga. Tanpa upaya
itu maka pengusaha di mata rantai hilir kesulitan memicu-pacu peran aktif petani-
KCT. Inilah sebenarnya penghambat utama program “foot estate” pemerintah yang
dicanangkan pada tahun 2021 di beberapa provinsi.

2. Bersiasat Intensif dan Komersial Berkelanjutan


Kenyataannya, tentu saja perilaku manajemen pihak yang berada di desa dan
perusahaan hilirnya di lokasi lain (kota misalnya), bukan hanya berdampak positif
pada kelangsungan transaksi jual beli komoditi. Jika mata-rantai hilir itu adalah
BUMN ataupun BUMD, maka bisa pula diarahkan hubungan kemitraan berpola
rantai pasok tadi punya mekanisme kepemilikan saham perusahaan besar itu untuk
kaum tani atas nama anggota BUKD. Keterpaduan bisnis jadi lebih apik warna
komersialnya, karena mekanisme demikian itu akan langgeng menjamin kestabilan
harga, sehingga perkembangan unit-unit usaha agribisnis jadi terstruktur kuat dan
tampil lebih komersial, serta terus memacu proses monetisasi perdesaan secara
sehat.
Kedua konsep impian tentang pembangunan ekonomi kerakyatan yang
menguatkan ekonomi fundamental kebangsaan itu dapat dipolakan seperti pada

430 Ekonomi Pertanian


Gambar Gambar Skematik-8 dalam sub-Bab 13 terdahulu. Kebangunan ekonomi dari pola
Skematik-8.
bina keterpaduan agribisnis yang semakin berorientasi pasar itu akan tampak berupa:
gambar yang
dimaksud a. Membuka kepastian pasar dan kewajaran harga produk yang jadi daya tarik
gambar yang kelangsungan usaha kaum tani;
mana ya Pak/
Bu? b. Mengalirkan nilai tambah hasil pertanian melalui deviden dari saham kaum
tani pada agroindustri;
c. Menambah gairah untuk berusaha dalam jalur agribisnis, khususnya di kalangan
kaum muda pedesaan;
d. Menaikkan jumlah dan kualitas peredaran uang di tingkat desa, kecamatan,
dan kabupaten;
e. Menguatkan fundamental ekonomi daerah sebagaimana akan tampak tentunya
dari kenaikan PAD kabupaten & kota.

Karena sifat yang berantai itu lebih mudah dibentuk dan dikembangkan di
bidang produksi pertanian yang musiman, maka akan lebih bijak pula jika pertanian
tanaman pangan pokok (padi, jagung, dan tebu) dijadikan titik sentral sasaran
produksi, sementara pertanaman dan proses produksi hilirannya dijadikan sebagai
pelengkap dan pendukung pelestarian fungsi dan mutu agroekosistem maupun
ekosistem-sisanya. Berikut ini uraian tentang pembangunan pertanian yang diyakini
akan semakin mengarah ke kawasan ekosistem lahan basah itu, akan dihubungkan
dengan sasaran pokok yang dititahkan Ibu Pertiwi, yakni soal produksi pangan.
Tentunya konsep yang dikembangkan harus selalu dalam konteks membangun
kesejahteraan bangsa dan kedaulatan NKRI.

3. Mengatur Langkah Memperkuat Keterpaduan Komersial Sistemik


Akhirnya keterpaduan upaya produksi dan kegiatan pemasaran hasil serta langkah
kerja sama bisnis pascapanen sudah sepatutnya tertata apik menurut pola hubungan
sinergis dalam kancah sistem agribisnis yang maju komersial. Pada ilustrasi Gambar
17.12. ditunjukkan ada 3 kelompok dasar kegiatan agribisnis sistemik, yaitu: (a)
Kelompok kegiatan mendasar sistem produksi pertanian; (b) Kelompok kegiatan
supra sistem yang dapat diartikan sebagai penentu nilai plus prestasi kegiatan
pertama (=sistem produksi); (c) Kelompok kegiatan penunjang kelancaran layanan
supra-sistem terhadap sistem produksi, yang tampaknya lebih banyak diperankan
oleh pihak Pemda.

BAB 1 | Beberapa Konsepsi Terapan 431


Gambar 17.7
tidak ada
gambarnya?
mohon untuk
dilengkapi,
terima kasih.

Gambar 17.7 Kinerja Agribisnis Terpadu Lintas Kelembagaan

Dalam upaya membangun kemajuan sector pertanian yang hendak dibuat


berpihak pada seluruh aktor produksi, distribusi, dan transaksi bisnis hingga
titik konsumsi di perdesaan maupun perkotaan, maka hubungan kelembagaan
3 pihak atau kelompok pemeran itu harus terjalin baik didasari prinsip saling
menguntungkan (win-win solution). Tentu saja peran Pemda tingkat kabupaten
dan provinsi amat menentukan. Jika salah satu dari ketiga kelompok ternyata
berani culas dan berhianat pada Tupoksi yang diamanatkan padanya, maka setiap
dimensi penyimpangan transaksi pada sub-Bab 17.3 akan mudah merasuki suatu
aksi transaksional untuk keuntungan bersama. Apabila terjadi penyimpangan pasti
muncul pemicu buyarnya kerjasama sistemik, dan peluang mendapatkan keuntungan
maupun nilai tambah akan berlalu nihil.
Ketika zaman terus bergeser memaksakan perubahan kemudahan & kendala
agribisnis yang beraneka ragam lingkup dan jenis kegiatan dan sasaran serta para
pihak yang menata dan memerankannya, maka jangan sampai makna sistem
agribisnis tidak dipahami dengan seksama. Pengaruh suatu kejadian di suatu negeri,
secara cepat akan berdampak pada kegiatan di dalam negeri, karena kemajuan Ipteks
INFORKOM digital membuat seolah tidak ada lagi dinding pembatas fisik antar
negeri. Begitu juga jika ada kejadian pergeseran iklim dan cuaca yang dipengaruhi
asap & jelaga; semuanya akan membawa semacam dampak negatip ataupun positif
langsung pada kegiatan agronomis dan social-ekonomis di kalangan pengelola dan
pelaku, serta kinerja satuan agribisnis. Setidaknya terdapat beberapa alasan mengapa
harus demikian:

432 Ekonomi Pertanian


a. Hampir semua jenis kegiatan kini berlangsung semakin interaktif, yang berarti
melibatkan peran dua atau lebih aktor yang saling memberikan pengaruh dari
dan kepada masing-masing pihak yang aktif.
b. Hampir semua unsur yang berperan akan memberikan sumbangsih positif
ataupun negatif kepada tiap unsur pemeran dari proses yang sistemik; dan
keadaan demikian digambarkan berupa panah bolak-balik.
c. Hampir seluruh rangkaian kegiatan produksi agribisnis akan tergantung pada
kondisi 6 supra-sistem yang perlu ditanggapi dengan bijaksana agar benar-benar
menguntungkan bagi suatu satuan agribisnis.
d. Hampir setiap satuan Lembaga agribisnis kemitraan petani kecil amat butuh
perhatian dan pembinaan dari pihak Pemda setempat, terutama dalam hal
adopsi Ipteks inovatif, dan saat terjadi goncangan ekonomi.
e. Hampir setiap Pemda tidak otomatis siap seketika merespons lahirnya suatu
kebijakan baru dari Pemerintah pusat, semisal Kepmen KLH-K yang terkait
dengan perubahan status ataupun pengamanan ekosistem hulu.
Di zaman kemajuan ini keharusan berpikir dan bertindak sistemik sudah
sepatutnya dipahami. Tanpa memahami perilaku sistemik yang mau-tak-mau
memengaruhi kegiatan sistemik, maka prestasi kerja akan ditinggal oleh arus
kemajuan produktif dan keluasan jangkauan dan efek kinerja satuan agribisnis.

Daftar Pustaka
Baum, K. H. & Schertz, L.P. 1983. Modeling Farm Decisions for Policy Analysis (ed.).
Boulder Colorado: West View Press.
Hirshleifer, J. 1970. Investment, Interest, and Capital. Prentice-Hall International Series
in Management. England Cliff: Prentice-Hall Inc.
Richard, J.B., and Jack, L. 1981. A Practical Approach To Business Investment Decisions.
In the United States Of America.

BAB 1 | Beberapa Konsepsi Terapan 433


[Halaman ini sengaja dikosongkan]
BAB

18
PERSPEKTIF ‘3P’ TANTANGAN DUNIA

18.1. Ketepatan Arah Kemajuan Agribisnis Negeri.


18.2. Kelitbangan Sebagai Kunci Kemajuan Agribisnis.
18.3. Keanekaan Pola Kajian Agribisnis Lainnya.
18.4. Kajian Kasus Penyimpangan Kiprah Agribisnis.
18.5. Keunikan Pembangunan Ekonomi Kerakyatan.

Ekonomi Pertanian: Perspektif Komoditi 3P Tantangan Dunia


Di zaman kemajuan Ipteks inovatif dan serba digital diiringi teknologi inteligensi
artifisial di awal abad ini, justru banyak anak bangsa yang meremehkan arti penting
sektor pertanian untuk perkuatan ekonomi nasional. Tidak terkecuali kalangan
generasi millennial, yang sering dijuluki BONUS DEMOGRAFI potensial bagi negeri
ini; mereka anggap pertanian sebagai sektor kampungan, dan tidak menjanjikan
kesejahteraan bangsa ataupun kemakmuran negeri. Bahkan tidak sedikit dari kaum
muda itu terjebak dalam pola pikir gampangan, “yang terpenting ijazah ada di tangan,
itulah kunci untuk jadi pegawai”; walaupun itu hanya bisa mengunduh pendapatan
bulanan bernilainya pas-pasan.

435
Banyak orang masih seolah tuli dan ‘cuek’, bahwa kebutuhan pokok manusia
berupa PANGAN-PAKAIAN-PAPAN (3P) menunggu kemajuan kinerja sektor
pertanian nusantara. Komoditi segar dan produk-olahan amat potensial untuk jadi
andalan wirausaha di negeri ini. Dikatakan potensial, karena SDA-geofisik lahan
negeri ini subur, berkat curah hujan dan sinar matahari melimpah ruah. Tinggal
diatur dan dikelola daya dukung sumberdaya itu terhadap produksi 3P yang butuh
aneka tindakan pascapanen sampai sukses masuk pasar dan menemukan konsumen
tetapnya. Keragaman jenis komoditi-segar & produk-olahan khas tiap daerah justru
bisa membuka kesempatan kerja yang tidak sedikit bagi SDM pelaku agribisnis
primer-sekunder-tersier. Aneka jenis dan bentuk 3P sebagai komoditi maupun
produk unggulan suatu daerah semakin mudah menjangkau jumlah pembeli di zona
konsumen yang semakin luas, bahkan hingga ke mancanegara. Sungguh potensi
kegiatan agribisnis dapat dikatakan sangat menjanjikan, kini dan di masa depan.
Tentu upaya penetrasi pasar melalui promosi berbasis teknologi internet sangat
penting. Sistem inforkom serba digital bisa melayani kerja dan kinerja serba cepat,
khusus dalam rangka menyapa warga konsumen di hampir semua pelosok daerah.
Bayangkan betapa sukses perusahaan agribisnis & agroindustri Indomie memikat
selera konsumen di semua desa seputar nusantara. Bahan utamanya tepung trigu-
impor, tetapi aneka bahan lain yang melengkapinya adalah komoditi agribisnis
produksi dalam negeri. Di tahun 2022, ada 84.843 desa definitif (rerata 250-an KK
dan 800 jiwa/desa) biasa menikmati mi instan. Ini bukti betapa dahsyat prospek
agribisnis, sehingga tak patut diremehkan oleh generasi millennial, khususnya anak-
anak yang lahir di pedesaan.

18.1 Ketepatan Arah Kemajuan Agribisnis Negeri


Lambat tapi pasti, kemajuan agribisnis jagat raya akan menguasai perekonomian
dunia. Persoalannya adalah bagaimana SDM Nusantara memicu-pacu kemajuan ilmu
Ekonomi Pertanian agar dapat mengarahkan aneka peluang usaha agroindustri jadi
primadona agribisnis negeri ini. Tentu dimensi Ipteks-inovatif jadi prasyarat mutlak,
serta kesiapan sosekbud & kepedulian terhadap fungsi dan mutu zona bio-geofisik
juga memang esensial.
Sederhana argumentasinya, bahwa siapa pun di mana pun pasti perlu Pangan-
Pakaian-Papan (3P). Sementara jumlah populasi manusia terus bertambah, justru
agroekosistem yang dapat dibuka untuk memproduksi bahan 3P itu makin terbatas
di semua penjuru dunia, sementara masih banyak lahan basah tersedia di Nusantara.
Belum lagi potensi hidroponik dan aeroponik di bawah naungan matahari
khatulistiwa dan stok air hujan tropika basah.

436 Ekonomi Pertanian


Arti penting aneka jenis komoditi dan produk 3P itu harus sejak kini dilihat
sebagai peluang emas bagi peningkatan kesejahteraan kaum tani di tanah air.
Mengingat orang tani yang bisa diperan-aktifkan untuk maksud itu luar biasa
jumlahnya, maka dampak positip program terkait bisa dipastikan amat besar dan
bisa ikut menyehatkan perekonomian nasional. Kenaikan pendapatan warga bangsa
akan berkesinambungan, dan tingkat kemiskinan akan bergerak turun, cadangan
devisa tentu meningkat, lalu nilai kurs Rp/$ akan menguat, dan tingkat inflasi bisa
terkendali, sehingga tingkat bunga bank akan mudah dijaga.
Patut muncul optimisme kebangsaan, bahwa dunia barat-tengah-timur akan
menoleh kepada kapasitas agribisnis-agroindustri negeri yang terhampar dari Sabang
hingga Merauke, dari Miangas ke Pulau Rotte. Tentu pula optimisme demikian
harus diisi langkah-langkah strategis-taktis berbasis Ipteks-inovatif melengkapi
kapasitas peningkatan produktivitas, serta efisiensi dan efektivitas pengadaan 3P
dalam negeri agar selalu surplus. Sangat layak jika negeri ini ikut mengisi sebagian
dari total kebutuhan 3P dunia nantinya.
Kemandirian bangsa menghasilkan nilai ekspor luar negeri yang bernas
tentu bisa menampilkan neraca perdagangan yang layak diupayakan surplus.
Lalu indikator ekonomi makro seperti idealnya itu tercapai berkat semua daerah
mengalami kemajuan merata khususnya karena semua siaga di sektor pertanian,
tanpa mengabaikan sektor potensial lain yang khas daerah. Intinya, negeri ini perlu
strategi kebijakan baru. Peran agribisnis primer dan agroindustri 3P harus menandai
produktivitas warga bangsa ini di mata dunia.

1. Keandalan Agribisnis Nusantara Maju


Tentu saja produktivitas di sektor pertambangan dan manufaktur berbasis bahan
selain serat nabati tetap dijaga sehat sepanjang efek & dampak lingkungannya
diminimalkan. Kesiapan SDM yang akan menyambut lapangan kerja di sektor jasa
agribisnis dan distribusi barang terus diperkuat kemajuan teknologi inforkom digital
serba cepat. Orientasi konsumen dometik yang serba materialis hedonistik terus
dipantau agar selalu terkendali, sehingga lebih rasional dan minim pemubaziran
yang hanya akan memperbanyak limbah.
Jelas masih ada faktor perlambatan kinerja maju di bidang pertanian. Kebanyakan
pelaku usaha tani-KCT masih belum bisa berubah untuk berkinerja sebagaimana
layaknya satuan badan usaha agribisnis yang serba komersial, dikelola melembaga
profesional, dan punya ketahanan ekonomi fungsional. Jangkauan pemasaran hasil
pertanian masih lokalistik dan beberapa komoditi khas daerah belum sampai ke
pasar Nusantara. Di antara penyebabnya yaitu:

BAB 18 | Perspektip ‘3P’ Tantangan Dunia 437


a. Fluktuasi harga komoditi pertanian berpengaruh linier kepada NTP (Nilai
Tukar Petani), kesejahteraan keluarga tani cenderung terpuruk. Sementara
jatuhnya harga tidak bisa diantisipasi petani, justru kenaikan harga biasanya
mendorong keluarga petani KCT jadi konsumtif, bukan kian produktf. Perlakuan
pascapanen belum pula ditopang Ipteks-inovatif, lalu barang yang belum terjual
cepat membusuk dan terbuang. Keadaan jadi lebih parah jika hal itu terkait
produksi komoditi khas dan unggulan daerah.
b. Fantasi godaan keperluan uang tunai keluarga petani terkadang mendesak dan
harus segera dijawab dengan cara menjual sebagian persil lahan asset keluarga.
Di beberapa daerah yang kaya bahan tambang (batu bara, timah, kaolin, tanah
merah bahan batu bata) godaan pembeli jadi amat nyata. Di satu sisi, transaksi
demikian melumpuhkan basis nafkah dan di sisi lain juga pola hidup konsumtif
jadi terpacu. Kenyataan ini terdapat di semua daerah lalu upaya usaha tani-KCT
jadi satuan agribisnis pun semakin lumpuh.
c. Fasilitas pemberdayaan masyarakat tani yang digulirkan Pemda sering kali
masih monosektoral belum multisektoral, orientasi produksi komoditi-
tunggal belum multikomoditi berorientasi pasar, dan belum pula diberi proses
pengolahan hingga berkemasan untuk bisa tahan lama dan masuk aneka pasar
berjarak jauh bahkan memancanegara. Maka lengkaplah ciri kehidupan petani-
KCT terjebak di posisi terjepit “maju kena mundur kena”, dan kemakmuran
daerah pun sulit terangkat, kecuali “jalan di tempat”.

Memang pola pembangunan dan pengembangan ekonomi pertanian nampaknya


masih belum berwawasan SISTEM USAHA AGRIBISNIS, melainkan hanya
berwawasan SISTEM PRODUKSI KOMODITI (input-proses-output) pada suatu
satuan USAHA TANI di tingkat kegiatan lapangan. Lalu dengan titik tolak untuk
membenahi faktor 3F di atas, maka faktor perlambatan tadi harus dapat diubah
jadi faktor percepatan. Upaya ini dapat dilakukan melalui pendekatan sebagaimana
diuraikan berikut ini:
a. Kemitraan melembaga diupayakan efektif; Ini mengingat pelaku usaha tani
KCT selalu terkena intimidasi, dan karena itu filosofi Bersatu Teguh & Bercerai
Runtuh harus mendorong setiap klaster petani tanaman tertentu agar Bersatu
melembaga (dari KUBE jadi BUKD lalu BUMDes, lihat Bab 5) agar mudah
membina semua petani yang seklaster untuk berubah.
b. Kesiagaan merubah persepsi yang bias-sektoral, sekaligus ego-sektoral di
pihak Pemda dan kalangan para-pihak lainnya untuk memacu kemajuan dengan
terap-guna instrumen Ipteks inovatif; tanpa mengabaikan aspek sosekbud
dan dimensi kearifan lokal serta potensi bio-geofisik yang ada termasuk SDB
(sumber daya buatan) atau prasarana-sarana yang ada.

438 Ekonomi Pertanian


c. Kepiawaian menjual produk unggulan kecamatan secara kreatif hingga ke
5 tingkatan pasar; yaitu pasar lokal (objek wisata, dapur korporasi sewasta
padat karya; pasar kalangan), pasar kabupaten (skala besar lintas kabupaten),
pasar provinsi (distribusi ke sejumlah pasar & konsumen luas), serta ibukota
(konsumen terbesar), pasar antarpulau & ekspor.

Terkait dengan strategi #1 telah dikupas dalam sub-Bab 5.4 dan sub-Bab 9.3
secara konseptual pragmatis. Oleh karena itu, pembahasan berikutnya dalam sub-
Bab 1.c. khusus terkait kepentingan mempersiapkan langkah dan upaya pendekatan
terhadap strategi #2 dan #3; yaitu siasat mendayagunakan Lembaga LITBANG
Inovatip yang ada dalam organisasi perusahaan, maupun yang ada di lingkungan
perguruan tinggi dan UPTD Pemda atau UPT-Litbang pusat di lingkup Depdagri,
BRIN (Badan Riset & Inovasi Nasional).
Kehadiran Divisi Litbang di dalam organisasi suatu perusahaan dengan
sendirinya menambah tugas manajerial yang sedikit berbeda dari manajemen
keuangan, ketenagakerjaan, keproduksian, dan kepemasaran karena sifat ilmiah
akademis sedikit-banyak manandai lembaga Litbang perusahaan. Jadi, manajemen
Litbang perlu diselenggarakan dengan saksama dan benar agar dapat mendatangkan
manfaat yang menguntungkan perusahaan.

2. Keandalan Agroindustri Cipta Nilai Tambah


Di zaman kemajuan dewasa ini, peran Iptek harus diakui sangat penting, tidak
terkecuali untuk kemajuan sektor usaha agribisnis di pedesaan. Siapa menguasai
informasi ke arah kemajuan tentu akan lebih mudah melaju selangkah atau beberapa
langkah meninggalkan mereka yang hanya bersandar pada cara dan pola pikir lama.
Terlebih lagi adanya perkembangan cepat pada teknologi informasi di abad ke-21 ini,
maka keutamaan standarisasi dan akurasi mutu dan waktu tidak bisa lagi diabaikan
dengan alasan lupa dicantumkan.
Suatu unit usaha agribisnis tidak pula mungkin melakukan dusta bisnis tanpa
akhirnya terungkap, dan risiko atas penipuan bisnis itu akan berat sekali diberikan
oleh pasar bukan sekedar oleh mitra bisnis sendiri. Oleh karena itu, maka tuntutan
agar suatu perusahaan agribisnis mengikuti arus perkembangan Iptek sungguh nyata.
Jawaban terhadap tuntutan semacam itu harus diberikan oleh Divisi Litbang yang
ada di dalam struktur organisasi suatu perusahaan.
Bilamana suatu komunitas perusahaan di suatu daerah sudah melandaskan
perkembangan kemajuan usaha mereka pada upaya cipta nilai tambah berbasis
temuan dan kreativitas sumber daya manusia, maka kinerja mereka dapat disebut
“knowledge based economy” atau ‘ekonomi berbasis ilmu’. Dapat dipahami bahwa

BAB 18 | Perspektip ‘3P’ Tantangan Dunia 439


kadar nilai tambah yang tercipta pada ekonomi yang demikian akan maju pesat,
seperti terlihat dari:
a. Efisiensi penggunaan aneka input, yang tertentu kadarnya, tapi maksimal
hasilnya, dan ini memacu kesinambungan usaha.
b. Efektivitas kelangsungan produksi, terukur dari rendemen yang tinggi, buangan
(limbah) yang rendah dan sehat lingkungan.
c. Eskalasi hasil produksi bisa dibarengi aneka produk pelengkap & ketepatan
mutu, serta kesesuaian terhadap industri hilir.

Apabila dianut hakikat ‘bersatu teguh bercerai runtuh’ di samping juga dihayati
kebenaran prinsip ‘kemitraan yang akrab dan tulus akan membuahkan sinergi yang
produktif berlipat-ganda’, maka tidak ada alasan bagi sekelompok perusahaan sejenis
di suatu daerah atau wilayah untuk tidak bekerja sama dalam satu ikatan bersama
yang disebut Jaringan Bisnis. Membentuk jaringan bisnis ini kadang merupakan
pula suatu keterpaksaan termotivasi oleh keadaan dan tekanan luar, khususnya
sistem perdagangan internasional yang menetapkan kuota ekspor dan standar
mutu komoditas yang harus dipenuhi. Ketetapan internasional itu harus diadopsi
ke dalam negeri oleh pihak asosiasi pengusaha agribisnis untuk diteruskan kepada
para pengusaha anggotanya.
Setiap ketentuan internasional yang semisal kesepakatan AFTA (Asian Free
Trade Agreement), GATT (General Agreement on Tarriff and Trade) harus berimplikasi
kepada kebijakan internal perusahaan, termasuk Divisi Litbangnya. Dalam hal ini,
cara pikir manajer perusahaan agribisnis yang serba tertutup dan egois sudah jadi
usang atau tidak relevan. Ketika upaya mematuhi ketentuan standar GATT berhasil
dicapai oleh suatu perusahaan, maka hasil Litbang individu perusahaan itu perlu
pula ditransformasi kepada perusahaan sejenis lainnya sebagai anggota asosiasi. Ini
sesuai dengan prinsip “Bersatu Kita Teguh & Bercerai Kita Runtuh).
Tentu saja asosiasi yang bijak akan memberi semacam penghargaan materiil
(dana partisipasi) dan nonmateriil kepada perusahaan berprestasi dan peduli
kemajuan bersama. Di sini, arus informasi dari individu perusahaan akan berguna
bagi keseluruhan peserta jaringan bisnis atau anggota asosiasi. Tetapi yang menjadi
kepentingan utama adalah tegaknya daya saing seluruh anggota asosiasi saat mesti
menghadapi persaingan global dan tuntutan pasar internasional. Keadaan seperti
ini sudah dinikmati oleh asosiasi perusahaan GAPKINDO (gabungan pengusaha
karet Indonesia) dan AEKI (Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia) dan lainnya.
Siasat kerja sama demikian itu perlu terus dimaksimalkan mengingat daya
penetrasi ekspor komoditi antarnegeri secara alami tidak sama. Adanya jumlah
konsumen potensial dunia terus bertambah, tentu membuka kesempatan; lalu:

440 Ekonomi Pertanian


a. Keunggulan negeri yang berinovasi jadi tampak terus menguat dan akan
menekan negeri yang tak maju Ipteks dan dianggap inferior, karena akan
merengek minta tolong kepada negeri yang lebih kuat.
b. Kekuatan inovatif itu akan diartikulasikan oleh negeri yang kuat melalui harga
relatip yang terus makin timpang karena perbedaan kekuatan daya saing peniaga
barang-barang produksi masing-masing.
c. Ketimpangan pengaruh inovasi terhadap tingkat harga relatif, suatu waktu akan
berimbas pada instrumen bunga bank, khususnya pada saat ada krisis produksi
akibat bencana alam, bencana perang.
d. Keterpurukan negeri yang lamban berinovasi apalagi minim potensi SDA, tapi
tinggi jumlah populasi penduduk akan lebih lagi menekan kurs mata uang
ketika terjebak hutang jangka pendek dan menengah.
e. Ketidakpahaman pemerintah menjelma jadi ketiadaan kebijakan strategis yang
seharusnya dibuat untuk dijalankan negeri guna merawat kekuatan ekonomi
dan martabat bangsa; lalu inflasi dan wibawa uang negeri terus lumpuh
merontokkan derajat perekonomian bangsa.

3. Kelitbangan Pertanian dan Ipteks-inovatif


Dalam ilmu ekonomi beberapa dekade terakhir ini dikenal seperangkat teori yang
dapat disebut teori ‘rangsang pembaruan’ (induced innovation). Teori ini telah muncul
pada tahun 1960-an melengkapi teori pertumbuhan ekonomi. Diprakarsai oleh
ekonom Binswanger dan Ruttan, hipotesis rangsang pembaruan menjadi perangkat
teori kemajuan tahun 1970-an setelah uji empirik banyak dilakukan (Binswanger,
et.al., 1979). Induced innovation berarti ‘penemuan yang dirangsang’ oleh suatu
perkembangan kondisi iklim usaha yang menunjang. Akan tetapi, dapat pula dipakai
istilah ‘rangsang pembaruan’ yaitu kondisi penunjang yang mendorong terjadinya
pembaruan Ipteks, karena memang pembaruan tanpa Ipteks hampir-hampir tidak
bisa.
Di dalam uraian sebelum ini, telah disinggung buah sampingan Litbang pada
perusahaan, yakni faktor perangsang pembaruan yang akan memberi perkuatan bagi
perusahaan untuk membuat lompatan maju dan keberlanjutan usaha. Bila mana
rangsang pembaruan berhasil dimanfaatkan oleh banyak perusahaan agribisnis
sejenis, maka bukan sekadar daya saing industri sejenis itu jadi membaik, melainkan
juga produksi yang memenuhi standar pabrik industri itu bisa naik. Keadaan
demikian digambarkan berupa kurva suplai komoditi bergeser ke kanan. dalam
suatu mekanisme pasar akan membawa turun “harga pokok” dan peningkatan
kadar kesejahteraan masyarakat pada umumnya.

BAB 18 | Perspektip ‘3P’ Tantangan Dunia 441


Menurut teori rangsang inovasi, suatu pembaruan tekno-ekonomi dapat
terjadi karena pergeseran teknis (technical shift) juga perubahan teknologis
(technological change). Pergeseran teknis datang dari pengalaman beberapa
perusahaan melakukan penyesuaian disebabkan tren harga sarana produksi yang
melonjak drastik. Suatu pergeseran teknis telah terjadi, jika suatu paket teknis
baru digunakan justru menaikkan efisiensi produksi; misal cara produksi yang
hemat energi ditemukan akibat minyak bumi amat langka di tahun 1970-an.
Berbeda dari itu, ketika teknologi komputer ditemukan di awal 1980-an, maka
perubahan teknologis terpacu di segala bidang. Padi unggul berumur genjah
dan berumpun pendek varietas PB-5 & IR-4 ditemukan dulu 1970-1990-an,
maka terjadi perubahan teknologis yang bisa melipat-ganda hasil gabah, dan hal ini
menggeser cara panen padi pakai ani-ani jadi cara tebas pakai arit. Cara ini hemat
tenaga kerja maupun biaya dan lebih menguntungkan kaum tani. Kini, teknologi
inteligensi artifisial robotik dan inforkom digital sedang memicu lompatan
teknologi pemasaran agribisnis cara cepat dan meluas berkat internet.
Sifat perubahan yang berhasil memperbesar volume produksi dari luas persil
lahan yang sama adalah gerbang hemat lahan yang semakin berkurang cadangannya
di muka bumi. Prestasi pertanian yang hemat lahan dan hemat energi itu adalah
temuan ilmiah lewat jalur rangsang inovasi. Upaya demikian selain melalui peran
Lembaga pemerintah, justru hanya dapat dilakukan secara efektif oleh perusahaan-
perusahaan agribisnis yang sempat peduli dan bersungguh-sungguh terhadap
urusan Litbang. Peran asosiasi perusahaan yang mendorong dan mendukung para
anggotanya sangat diperlukan guna membangun kepedulian itu. Dalam konteks
demikian ini, ada beberapa butir hikmah pelajaran manajemen dari diskursus
tentang rangsang pembaruan itu, yaitu:
a. Apresiasi Litbang yang menggejala di kalangan perusahaan agribisnis sejenis
tertentu lambat laun akan merangsang perkembangan bidang itu sendiri,
tapi mempertajam persaingan internasional, maka profesionalisme “gaya
entrepreneur” & “daya manajemen” harus dimiliki perusahaan tertinggal,
termasuk juga UMKM agribisnis kemitraan.
b. Apabila gejala rangsang pembaruan itu dapat diantisipasi oleh suatu asosiasi
perusahaan sejenis, maka harus ada kesepakatan untuk saling tukar-menukar
informasi Ipteks antaranggota asosiasi. Transformasi dan transfer Ipteks punya
konsekuensi biaya pelatihan dan iuran pengembangan Ipteks yang alokasinya
dikoordinir oleh pihak asosiasi.
c. Aktivitas Litbang di tingkat perusahaan harus dijalankan dengan wawasan
dan pola pikir pihak pimpinan yang progresif dan harus siap legowo. Kegiatan
Litbang pasti perlu dana yang seolah akan habis tiada berbekas, dan oleh sebab

442 Ekonomi Pertanian


itu melakukan Litbang harus dipahami sebagai “sengsara membawa nikmat”
bagi perusahaan bersangkutan.

Harus diingat, kondisi alam bio-geofisik dan sosekbud di semua penjuru


Nusantara sangat bervariasi dari daerah ke daerah; bahkan dari kecamatan ke
kecamatan. Jadi guna memicu rangsang inovasi, maka 3 hal harus dihadirkan:
a. Harus ada BITI (Balai Ipteks Terapan Inovatif) atau STP (Sain Tekno-Park) di
setiap provinsi, yaitu sebagai penggali dan penyaring Ipteks agribisnis sesuai
arah kegiatan yang dipandu Dewan Riset tingkat provinsi.
b. Harus ada SUIT (Stasiun Uji Ipteks Terapan yaitu semacam test-farm di setiap
kecamatan guna dirujuk oleh pengelola UMKM agribisnis kemitraan dan
anggotanya, agar produktivitas, efisiensi, dan mutu selalu tinggi.
c. Harus ada RKMP (Rumah Kendali Mutu Produk) yang membina resep dan
mutu produk agroindustri rumahan (pabrik UMKM), yaitu 1 unit/kecamatan,
sekaligus mengarahkan jumlah & mutu komoditi bahan baku yang disuplai
dari pedesaan dan memenuhi standar produk yang diminta konsumen.

18.2 Kelitbangan sebagai Kunci Kemajuan Agribisnis


Manfaat penelitian atau riset yang berbuah Ipteks-inovatip telah dibahas sebelum
ini. Tetapi hasil riset pengembangan yang bermanfaat itu hanya akan dicapai bila
prosesnya menggunakan metodologi baku dan tepat. Metodologi litbang (pene-
Litian dan Pengem-bang-an) adalah hal penting untuk dibahas secara tersendiri
didalam buku ini mengingat 3 pertimbangan, yaitu; (1) Perlu kejelasan garis
demarkasi sasaran kajian yang masuk kategori kelompok-objek, dibedakan dari
kategori individu-objek Litbang agribisnis; (2) Perlu kejelasan siapa dan pihak mana
yang akan memakai hasil dan menikmati manfaat Litbang agribisnis, berupa sasaran
hasil seperti apa? (3) Perlu kejelasan arah Litbang agribisnis sesuai perkembangan
keilmuan tekno-ekonomi penunjang kemajuan usaha agribisnis, yang dewasa ini
semakin kait berkait secara sistemik.
Butir kedua dan ketiga itu penting digarisbawahi bedanya dari riset ekonomi
pembangunan. Litbang agribisnis akan lebih perhatian terhadap aneka faktor dan
variabel ekonomi mikro. Semuanya dilihat dari perspektif ukuran dan kepentingan
efisiensi dan efektivitas kinerja perusahaan guna memastikan LABA positif dan
NILAI TAMBAH maksimal. Sementara itu, aneka faktor dan variabel ekonomi
makro diperhatikan sebagai suatu faktor kondisional yang harus diterima dan
dihadapi apa adanya bagi perusahaan agribisnis dan agroindustri. Penelitian
ekonomi pembangunan lebih memperhatikan potensi kawasan, yang meliputi QQA
(Quantitas-Qualitas-Avilabilitas) SDA, SDM dan SDB (=Sumber Daya Buatan,

BAB 18 | Perspektip ‘3P’ Tantangan Dunia 443


berupa prasarana dan sarana). Lalu bersamaan itu, ada aneka faktor dan variabel
ekonomi mikro yang lebih sering diposisikan sebagai faktor dinamis dan bersifat
endogen dan simultan.
Berkenaan dengan kepentingan metodologis itu maka sub-Bab ini diberi
kekhususan arah dalam rangka memperkuat strategi kelola (manajemen) dan siasat
wirausaaha (enterpreneur) bagi penyelenggaraan kegiatan usaha satuan agribisnis.
Kehususan ini di sana-sini akan mewarnai 3 sub-bab yaitu sasaran, prosedur, dan
sifat Litbang. Jadi, 3 sub-Bab berikutnya diberi tajuk 3L; (1) Lingkup Sasaran Litbang
Agribisnis dan Agroindustri yang harusnya dihadirkan; (2) Lokus sesuai Topik
dan Rumusan Masalah penelitian; (3) Litbang Berkala dan Litbang koinsidental,
serta Implikasi Manajemen. Ketiganya dipaparkan di bawah ini dengan asumsi
bahwa isu 3L tersebut sengaja di sini dilihat dari sudut pandang Lembaga pelaku
Litbang dimaksud merupakan tugas pokok dan fungsi (Tupoksi) Lembaga Litbang
pemerintah tingkat departemen maupun provinsi.

1. Lingkup Sasaran Litbang Agribisnis


Ibarat ikan yang hidup di habitatnya atau berenang dalam akuarium, maka sehatnya
satuan perusahaan akan sangat tergantung pada lingkungan usaha yang sehat pula.
Dikaitkan dengan kiprah dan kinerja suatu satuan agribisnis, maka ketegaran suatu
perusahaan tidak hanya tergantung pada kebijakan manajemen internalnya, dan
juga sangat dipengaruhi oleh kebijakan publik yang terkait dengan kegiatan bisnis
yang memayungi lingkup kegiatan usaha tersebut. Kebijakan internal perusahaan
seyogianya dirumuskan atas dasar kajian litbang dengan sasaran satuan mikro-
bisnis, atau individu perusahaan tertentu sebagai objek litbangnya. Sementara
itu, kebijakan publik seyogianya pula dirumuskan atas dasar kajian makro-bisnis,
yaitu kondisi lingkungan bisnis yang ditetapkan berdasarkan kajian kritis terhadap
sekelompok perusahaan sejenis ataupun terkait yang dijadikan sebagai objek litbang.
Tentu saja kajian mikro-bisnis lebih merupakan tanggung jawab individu
perusahaan untuk menyelenggarakannya, sedangkan kajian makro-bisnis lebih
merupakan tanggung jawab pemerintah dan atau asosiasi perusahaan termasuk
Kadinda (regional chamber of commerce) sebagai inisiatornya. Kegiatan Litbang dengan
wawasan yang bersifat makro-bisnis sudah seyogianya tidak diserahkan semata-mata
kepada masyarakat pengusaha yang tergabung dalam asosiasi perusahaan agribisnis.
Bukankah di dalamnya selalu ada kepentingan publik (konsumen-produsen-
penyalur) yang harus masuk dimensi kebijakan. Soal kebijakan DMO (Domestic
Marketing Obligation) atau kewajiban memenuhi kebutuhan pasar domestik, seperti
pada kasus kelangkaan minyak goreng yang memang menyangkut kinerja dari jenis
perusahaan agribisnis kelapa sawit.

444 Ekonomi Pertanian


Litbang yang menyangkut isu kepentingan aneka jenis perusahaan tentu
saja banyak dimensi publiknya. Artinya selain banyak makan biaya, toh hasilnya
cenderung bisa dipakai juga oleh khalayak pengusaha umumnya, sehingga peran
pemerintah dianggap lebih pantas menjalankan Litbang dimaksud. Walaupun begitu
pengalaman selama ini menunjukkan proses publik yang demikian itu lambat
direspons, bahkan pemerintah cenderung ketinggalan kereta. Karena itu, maka peran
Kadinda yang membawahi berbagai asosiasi perusahaan agribisnis terpaksa harus
lebih aktip. Harus tersedia hasil kajian Litbang dalam bentuk bahan kontak audiensi
atau dialog berkala antara Kadinda dan pihak Pemerintah sembari mengungkap
saran dan harapan para pengusaha kepada pihak Pemda setempat.
Dapatlah selanjutnya dipahami, bahwa Litbang agribisnis & agroindustri yang
bisa mendatangkan banyak manfaat, khususnya yang terkait dengan prestasi satuan
usaha dan dalam konteks perkuatan manajemen wilaya makro-bisnis dan satuan
mikro-bisnis seyogianya tertuju pada 2 upaya, yaitu:
a. Menunjang perumusan kebijakan layanan Pemda atau kebijakan layanan
asosiasi pengusaha agribisnis (wawasan makro-agribisnis);
b. Menunjang pematangan kebijakan manajemen unit perusahaan agribisnis
(wawasan mikro-bisnis).

Sasaran kajian Litbang agribisnis itu bisa meliputi: (1) Sasaran kajian tunggal
(individu) perusahaan, dan; (2) Sasaran kajian kelompok perusahaan. Jika wawasan
kajian bersifat mikro-bisnis, maka objek kajian adalah satuan individu perusahaan
agribisnis murni. Selaku individu-objek, serta bisa juga sekelompok pelaku usaha
tani yang tergabung dalam badan usaha kemitraan ataupun koperasi. Misalnya
berupa satuan perusahaan PIR (Perusahaan Inti Rakyat; selaku kelompok-objek
di bidang pertanaman kelapa sawit). Di tingkat individu pelaku usaha atau juga
individu perusahaan kemitraan beranggotakan banyak petani-pekebun, tentu
instrumen Ipteks-inovatif adalah modal dasar untuk mendorong kemajuan satuan
agribisnis & agroindustri.
Jika wawasan kajian bersifat makro-bisnis, maka objek yang dikaji boleh
jadi keseluruhan satuan perusahaan, termasuk aneka perusahaan nonagribisnis
penunjang agribisnis. Tentu termasuk pula kelompok perusahaan yang jadi mata
rantai pasok agroindustri dari aneka jenis produk olahan ataupun sejenis; semua
berkinerja di atas suatu lingkungan bisnis dan suatu wilayah pembangunan suatu
jenis komoditi agribisnis unggulan. Seperti diketahui dari komoditi TBS (Tandan
Buah Sawit atau fresh fruit bunch) kini setelah diolah pascapanen menjadi CPO (Crude
Palm Oil atau minyak sawit mentah) bisa dilanjutkan pengolahannya jadi sekitar 60
jenis produk turunan CPO termasuk bio-solar dan bio-ethanol sejenis bensin hayati
yang bisa semakin sempurna menggantikan bahan bakar fosil.

BAB 18 | Perspektip ‘3P’ Tantangan Dunia 445


Ketika teknologi bahan bakar hayati itu ditemukan sempatlah terjadi gejolak
pasar internasional, karena adanya temuan teknologi bio-energi itu telah sempat
membuat krisis minyak goreng di pasar domestic negeri ini. Padahal minyak goreng
terbilang salah satu barang kebutuhan pokok setiap rumah tangga di sini. Krisis
minyak goreng mendadak terjadi karena terpicu oleh kelangkaan suplai bahan bakar
fosil akibat gejolak perang sedang terjadi. Suatu keharusan bagi pemerintah untuk
segera menetapkan kebijakan guna mengatasi gejolak ini.

2. Lokus Sasaran Masalah Litbang Agribisnis


Melacak masalah yang perlu dijadikan fokus kajian manajemen agribisnis, berarti
juga melacak kejanggalan terhadap apa yang dianggap normal, dan biasa dicapai
sebelumnya, lalu apa yang dianggap seharusnya (idealnya) terjadi. Adapun teknik
mengidentifikasi (melacak & mengenali) masalah pembangunan ada dua yang perlu
diketahui di sini. Keduanya diistilahkan dalam buku ini yaitu:(1) Teknik BEGFI-
GAFETA sebagai analisis statik; dan (2) Teknik EBDA-FENOBA sebagai analisis
dinamik. Ke-2 teknik ini dijelaskan berikut ini.
Tidak jarang, kadar keberhasilan tampak melalui fenomena nyata “F-n” yang harus
diukur melalui penelitian dengan metode “SURVEI”, terutama jika itu menyangkut
kinerja rata-rata industri. Tetapi dalam banyak hal besaran “F-n” dan “F-a” tersebut
hanya merupakan besaran nilai yang tersedia dari laporan rutin yang masuk ke meja
pimpinan secara berkala. Dengan kata lain, pelacakan masalah pada kajian Litbang
terhadap sasaran individu-objek sangat mudah dilalukan menggunkan teknik ini.

Teknik BEGFI-GAFETA;
Teknik ini sifatnya melacak Beda Garis Fenomena Ideal terhadap Garis Fenomena
Nyata (BEGFI-GAFETA). Metode ini tepat dipakai dalam rangka mencermati dan
mengevaluasi suatu kinerja yang sedang berlangsung dan akan terus berjalan selama
beberapa waktu ke depan berkelanjutan. Jadi, kinerja fenomenal dimaksud bisa yang
rutin sifatnya dan bisa pula berupa program pembangunan yang berakhİr setelah
berjalan sampai pada titik waktu sekarang yakni di posisi t=0.
1) Langkah-langkah metodik
a) Tetapkan terlebih dahulu program pembangunan mana yang perlu dievaluasi
tingkat keberhasilannya dan dalam jangka pendek perlu ditindaklanjuti sambil
mengatasi fenomena kegagalan yang mungkin telah ada terjadi.
b) Lakukan pengukuran kadar keberhasilan program pembangunan itu sebagai-
mana adanya yang nyata dicapai hingga sekarang, waktu t=0, sebutlah kadar
itu dengan simbol “F-n”.

446 Ekonomi Pertanian


c) Lakukan pencatatan kadar keberhasilan yang sejak mula diharap (ditargetkan)
akan tercapai pada waktu t=0 dari program pembangunan itu, sebutlah kadar
rencana itu “F-r”, juga catat berapa awalnya ditargetkan yaitu “F-p” pada titik
waktu t = p (dimana p = umur program saat sekarang).
d) Gambarkan tempat kedudukan F-r, F-n, dan F-a pada kuadran YT yang berpusat
pada titik t=0, dan tarik garis penghubung F-a dan F-r, serta penghubung F-a
dan F-n. Perhatikan apakah titik F-r berbeda dari F-n.
e) Penyimpangan atau selisih F-r terhadap F-n adalah adanya “masalah” yang
terindentifikasi dan perlu dipecahkan.
f) Patut diproyeksikan ke waktu t=1 (setahun kemudian) seberapa besar nilai
Begfi-gafeta yang potensial terjadi, dan identifikasi apa saja faktor Kendala (K)
dan apa pula faktor Percepatan (P) yang perlu diolah untuk naikkan F-n atau
meminimalkan penyimpangan.

Gambar 18.1 Pelacak Masalah Agribisnis: Teknik BEGFI-GAFETA

2) Langkah-langkah Penunjang
Bilamana langkah pengukuran F-n (atau 1.c) tadi harus dilakukan melalui survei,
maka beberapa langkah penunjang perlu pula dilakukan, yaitu:
(1) Tetapkan populasi sasaran program pembangunan atau satuan agribisnis yang
dijadikan sasaran pengukuran, dan catat ukuran besar atau kecilnya anggota
populasi itu (secara simbolik N = ?).

BAB 18 | Perspektip ‘3P’ Tantangan Dunia 447


(2) Tetapkan jumlah anggota populasi (n) yang akan dijadikan contoh atau sampel,
misalnya n = 10% N. Siapkan pula daftar KPC (Kerangka Penarikan Contoh)
yang berupa daftar nama & alamat semua anggota populasi sasaran yang hendak
dijadikan sumber data.
(a) Tetapkan sejumlah “n” individu contoh atau sampel (wakil) dari populasi
tadi. Jika populasi diyakini cukup homogen, maka penetapan itu dilakukan
dengan menggunakan MPC (Metode Penarikan Contoh) acak sederhana
atau bahkan MPC acak sistematik. Jika tidak homogen, gunakan MPC acak
berlapis untuk anggota populasi yang jadi beberapa lapisan yang homogen.
(b) Kumpulkan data yang diperlukan dengan menanyai individu contoh tentang
variabel-variabel yang dicermati, dan lakukan pengolahan data yang pada
prinsipnya:
 Mencari nilai rata-rata berdasarkan sampel, yaitu ý sebagai penduga
Y rata-rata populasi.
 Mencari nilai total populasi berdasarkan sampel, yaitu “ý.N” sebagai
penduga “Y.N” nilai total yang seyogianya terukur berdasarkan data
dari populasi secara keseluruhan.
Hasil perhitungan pada 4-a) dan 4-b) di atas menunjukkan kadar F-n yang
dicari, seperti yang digambarkan pada Gambar 18.1 tadi.

Teknik EBDA-FENOBA
Teknik ini melacak Efek Benturan Dua Arus Fenomena BerIawanan Arah (EBDA-
FENOBA). Teknik ini baik digunakan untuk membaca permasalahan (kegagalan)
yang bisa terjadi pada masa mendatang, ketika penyelenggara suatu program
pembangunan telah berlangsung sejak dari titik waktu awal (t=0) hingga ke titik
waktu t=p. Pendekatan di sini bersifat dinamik, karena setiap variabel yang berperan
semuanya dipengaruhi oleh waktu putaran T.
1) Langkah-langkah Metodik
(a) Tetapkan terlebih dulu program atau aspek pembangunan yang hendak
direncanakan dan perlu diamankan jalannya dari ancaman kegagalan, yang
disebabkan suatu faktor kendala, atau suatu perubahan iklim bisnis akibat
perubahan politik pemerintahan pascapemilihan kepala negara atau sekadar
berganti kebijakan menteri baru.
(b) Bila program pembangunan itu adalah sesuatu yang baru, maka teruskan ke
langkah b). Bila program itu sifatnya hendak melanjutkan apa yang sudah
diprogramkan sejak periode sebelumnya, maka teruskan ke langkah c).

448 Ekonomi Pertanian


(c) Baca situasi dan kondisi awal yang ada sekarang (misal terdapat F-a pada waktu
t=0). Lalu, rincikan faktor-faktor peluang dan kendala yang bakal memengaruhi
kondisi awal manakala program pembangunan nanti mulai dilakukan. Telaah
pengalaman di tempat lain, atau program yang mirip.
(d) Baca situasi dan kondisi awal yang ada (misal terdapat kadar F-a pada waktu
t=0). Lalu, perhatikan faktor peluang dan kendala telah memengaruhi F-a,
bila kondisi awal ini adalah akhir dari program pembangunan sebelumnya.
Proyeksikan perubahan F-a (pada waktu t=0) menjadi F-p (pada waktu t=p)
dengan metode prakiraan (misal metode regresi), maka nilai positif F-p- F-a
adalah peluang P1 yang harus direbut kemudian.
Hingga titik (d) ini pembacaan masalah satuan agribisnis sama dengan teknik
Begfi-Gafeta. Lalu dari (e) arahkan pada 2 faktor yang dicurigai F-p - F-a , yaitu
terkait efek positif dan berpengaruh negatif.
(e) Benarkah ada fenomena faktor lain bergerak mendongkrak secara positif dan
sejalan dengan waktu akan ikut berperan memperbesar nilai capaian dari
program yang direncanakan itu. Inilah faktor peluang baru (misal; kebijakan
deregulasi yang positif memicu tumbuhnya dunia usaha).
(f) Bongkar juga faktor lain yang fenomenanya bergerak secara negatif (ke arah
bawah) dan sejalan dengan waktu ikut memperkecil nilai capaian program yang
direncanakan. Inilah faktor kendala baru (misal; ada pula kebijakan moneter
bunga tinggi cenderung tidak kondusif bagi kegiatan dunia usaha).
(g) Baca rujukan variabel apa saja yang menentukan gerak setiap faktor peluang
dan faktor kendala tadi. Dari sini kadar pertambahan nilai yang muncul dari
faktor peluang baru itu (P2); begitu juga tekanan yang bisa muncul dari faktor
kendala baru (K). Totalitas efek bersihnya (net) (P2) - (K) > 0, positif.
(h) Beri gambaran kedudukan setiap besaran F-a, F-p serta F-r. Hitung kadar (P1)
+ (P2) - (K), dan kadar total ini F-r sekaligus kadar EBDA-FENOBA yang dicari.
Adanya kemungkinan terjadi kegagalan mencapai kadar total itu kini dapat
ditetapkan sebagai “masalah” yang terindentifikasi dan harus bisa diatasi.

Gambar 18.2 Metode EBDA-FENOBA Pelacak Akar Permasalahan Agribisnis

BAB 18 | Perspektip ‘3P’ Tantangan Dunia 449


2) Langkah-langkah Penunjang
Teknik EBDA-FENOBA baik digunakan untuk membaca permasalahan yang bisa
terjadi pada masa datang, ketika suatu paket program pembangunan agribisnis
telah berlangsung sejak dari titik waktu awal (t=0) hingga ke suatu titik waktu
t=p. Pada rentang watu t=0 hingga t=p ada kecenderungan yang tampak sebagai
penyimpangan dan berpotensi berkembang jadi besar. Penyebab gejala penyimpangan
dari harapan semula tentu belum dipahami sepenuhnya; dan karena itu perlu
dilakukan suatu kegiatan Litbang (Gambar 18.2). Ibarat gejala api dalam sekam
jangan sampai berkobar jadi tak terkendali.
Apabila langkah prakiraan perubahan kondisis awal F-a menjadi F-p perlu
dilakukan, maka ada berbagai kemungkinan metode atau teknik yang bisa digunakan
sebagai langkah penunjang, yaitu:
a) Lakukan prakiraan dengan teknik sederhana tentang rumus pertumbuhan;
Ft = Ft0. (1 + r)t
b) Lakukan prakiraan dengan teknik pemulusan, misalnya;
Ft1 = Ft + α (Xt-Ft)
c) Lakukan prakiraan dengan teknik regresi, misalnya;
Ft = β0 + β1T + β2Pt + β3Kt
Persamaan ini bisa dirubah jadi hubungan yang Iebih sederhana Ft = f (T) bila
dimasukkan nilai terukur Pt = P* dan Kt = K*; sehingga diperoleh persamaan:
Ft = (β0 + β2P + β3K) + β1T atau sama dengan;
Ft = α + β1T
Dengan persamaan terakhir ini, nilai Ft dapat dicermati dengan maksimumkan
nilai T = p (umur program); dengan asumsi langkah metodik 2b) berlaku.

Demikian kedua cara identifikasi kejelasan masalah. Itu dipandang dari dua
perspektif, yaitu: (1) Semua variabel pemancik masalah itu telah dikenali dan berada
dalam kendali pihak perencana; (2) Langkah kebijakan strategis bagi pemecahan
masalah itu secara jelas dan tegas dapat diukur kriteria sukses tidaknya. Dengan
pemahaman setiap masalah yang secara nyata maupun tidak nyata, maka tidak boleh
dilupakan, bahwa upaya mengatasi aneka masalah itu bukan hanya perlu strategi
pembangunan di tingkat makro wilayah, tetapi juga strategi manajemen & wirausaha
tingkat mikro-bisnis. Dari alasan ini pula, penggunaan kedua teknik pelacak masalah
agribisnis tadi tak patut melupakan nasib kaum tani yang kebanyakan lemah. Para
pelaku usaha tani-KCT harus dibina klister demi klister secara melembaga kemitraan
(BUKD) agribisnis maju.

450 Ekonomi Pertanian


3. Landasan Metode Litbang Agribisnis
Dari Sembilan jenis metode penelitian yang dikenal dalam khazanah Litbang
(Sjarkowi, F; 1994), ada 4 di antaranya (yaitu; MP-Riset Operasi; MP- Telaah Waktu
& Gerak (WG); MP-Telaah Kasus; MP-Experimen) banyak dipakai mengkaji “individu
objek” satuan usaha, dan 3 lagi (yakni MP-Survai, dan MP-Riset Aksi, MP-Evaluasi)
sering untuk kajian “kelompok objek”. Lalu MP-Sejarah & MP-Telaah Mengakar
(grounded research) jarang digunakan di dunia bisnis, justru MP-Evaluasi banyak
dipakai mencermati cacat di internal perusahaan.
Metode penelitian Riset Operasi perlu digunakan dalam rangka mendapatkan
cara kerja yang paling tepat untuk mencapai kinerja optimal. Metode Telaah-WG
biasanya dipakai untuk mengukur tingkat kelancaran proses produksi, sehingga
ditemukan pola kerja yang secara teknis dapat menampilkan kinerja paling efisien
dan efektif berkecepatan tinggi, sebagaimana pentingnya hal ini pada satuan usaha
agroindustri.
Seterusnya metode penelitian eksperimen paling banyak dipakai, baik pada
kajian lapangan maupun di laboratorium. Di atas semua itu, metode survei sering
digunakan di dunia-bisnis jika yang akan diketahui adalah parameter prestasi
ataupun disprestasi rata-rata dari populasi perusahaan sejenis, atau tentang populasi
konsumen atau juga produsen. Hal-hal menyangkut kesan umum, aspirasi umum,
kecenderungan dan kebiasan orang banyak, biasanya dikaji dan diukur dalam
besaran rata-rata populasi di suatu wilayah yang jadi sasaran kajian. Terkait satuan
agribisnis, kajian demikian biasa dilakukan guna mendapat gambaran awal & umum
atas suatu gejala bisnis tertentu.
Pada kajian yang berwawasan makro-bisnis dengan sasaran “kelompok-objek”,
metode survei terbilang umum digunakan karena pendekatan terhadap sampel atau
contoh objek yang mewakili kelompok perlu diamati secara cepat, tapi tepat. Metode
penelitian Telaah Kasus (case study) akan diperlukan ketika semacam pemahaman
mendalam perlu diperoleh dari suatu perusahaan yang dianggap contoh kasus
terbaik atau terburuk di antara kelompok perusahaan sejenis, sehingga didapat
hikmah pelajaran bagi perusahaan lainnya.
Metode penelitian Riset Aksi sebagaimana konotasi sebutannya biasa dipakai
dalam rangka melahirkan dan menguji suatu kebijakan teknis terapan dengan
sekaligus membonceng secara langsung pada suatu aktivitas perusahaan di lapangan.
Kajian riset aksi biasanya dilakukan jika hendak mendapatkan solusi atas suatu
pertanyaan terapan kegiatan agribisnis dalam waktu relatif cepat.

BAB 18 | Perspektip ‘3P’ Tantangan Dunia 451


18.3 Keanekaan Pola Kajian Agribisnis Lainnya
Dengan memilih metode yang benar, maka diharapkan penggunaan dana penelitian
tidak akan sia-sia. Hasil kegiatan Litbang akan secara akumulatif memperbanyak
informasi Ipteks yang akan meningkatkan kinerja perusahaan agribisnis sejalan
dengan waktu. Akan terjadi pergeseran teknis (technical shift) dan lompatan
teknologis (technological change) yang berdampak positif terhadap upaya cipta
nilai tambah dan perolehan laba perusahaan. Walaupun pada nyatanya penemuan
(inovasi) yang terjadi pada suatu perusahaan akan sulit ditutupi dari kebocoran
dan peniruan oleh pihak perusahaan Iain, namun setidaknya mendaftar ke otoritas
HAKI (Hak Atas Kekayaan Intelektual) atau dipatenkan, maka penumpang gelap
itu dapat dibatasi.
Terkait dengan arah dan kadar perkembangan prestasi atau disprestasi yang
sedang dialami suatu perusahaan agribisnis, maka perlu dilakukan semacam
kegiatan Litbang yang rutin berkala, misalnya tiap setahun sekali. Litbang Berkala
tidak mudah dilakukan dengan efektif oleh suatu perusahaan agribisnis bilamana
belum ada satu Divisi Litbang khusus pada struktur organisasinya. Litbang berkala
berarti rutinitas penelitian dalam rangka pematangan dan pengembangan kinerja
perusahaan.
Sifat rutinitas itu dengan sendirinya terkait dengan kelangsungan proses
produksi. Jika menyangkut rutinitas di lapangan pertanaman, maka hampir
dipastikan kegiatan pengamatan ditujukan kepada ukur dan uji perkembangan
produktivitas tanaman. Jika menyangkut rutinitas kegiatan pabrik pengolahan,
maka pengamatan ditujukan kepada pengawasan kualitas produk hasil olahan, di
samping tingkat produktivitas tiap satuan waktu tertentu (per jam; per hari; per
ton bahan baku; dan seterusnya).
Secara prosedural kegiatan ukur dan uji berkala yang sifatnya rutinitas itu harus
diselenggarakan sesuai dengan prosedur yang sudah dibakukan oleh manajemen
perusahaan, tapi dengan metode kaji yang baku secara ilmiah. Sifat yang baku ini
tentu berimplikasi kepada ketersediaan alat dan instrumen bantu secara terus-
menerus, misalnya selain alat ukur timbangan makro dan mikro-gram juga harus
selalu tersedia blangko isian pencatat data hasil pengukuran. Implikasi selanjutnya
adalah kesiapan tenaga terlatih untuk mentranstòrmasi data dari blangko terisi ke
dalam sistem komputer secara rutin, sehingga hasil olah data dikemas jadi bahan
pelaporan tiap minggu, rekapitulasi bulanan, tri-bulanan, semesteran, serta tahunan
untuk disampaikan kepada pihak manajer.

452 Ekonomi Pertanian


1. Litbang Berkala dan Implikasi Manajemen
Umumnya secara organisatoris Divisi Litbang akan lebih baik berada di bawah
koordinasi manajer produksi, atau untuk yang lebih besar lagi di bawah Direktur
Produksi. Kinerja divisi produksi dapat dibaca arah & laju perubahannya yang
mungkin sedang mengalami perlambatan atau penurunan. Akan tetapi laporan
rutin Litbang berkala tentang capaian produksi itu sekurang-kurangnya setiap 3
bulanan harus dapat dibaca pula oleh manajer keuangan dan manajer kepemasaran.
Keterkaitannya dengan bidang keuangan adalah dalam rangka memantau
perkembangan (turun/naik) harga pokok produk perusahaan, dan membaca
perimbangan NPM (Nilai Produk Marjinal) tenaga kerja relatif terhadap tingkat
upah atau gaji yang selayaknya dibayarkan. Terhadap bagian kepemasaran tentu
ada kaitannya dengan kepentingan memantau kekuatan suplai dalam rangka
memasok kebutuhan pasar, khususnya yang terkait dengan perjanjian kontrak jual
beli terhadap pihak kedua.
Dapatlah dibayangkan betapa penting peran kegiatan Litbang Berkala ini
bagi upaya manajerial untuk memacu peningkatan efisiensi kinerja perusahaan
agribisnis. Kehadiran divisi khusus ini tentu menjadi satuan organisasi pemakai biaya
operasional perusahaan, tetapi kinerjanya dapat menghindari kehilangan volume
penerimaan potensial, yang tanpa keberadaan Divisi Litbang akan berlangsung
lama sebelum kemudian terdeteksi secara kebetulan, bukan secara prosedural
dan sedini mungkin. Demikian pula potensi perkembangan kinerja perusahaan
melalui pergeseran teknis yang berbuah peningkatan produktivitas karena adanya
rangsang pembaruan (incluced innovation). Boleh jadi suatu metode kerja dan gagasan
manajemen yang ditanamkan lewat SOP (Standard Operating Procedure) masih harus
beberapa bulan harus melewati fase adopsi sebagai proses ‘belajar dari pengalaman’.
Kelangsungan adopsi Ipteks-inovatif secara dadakan (instan) tentunya tidak akan
membawa efek positif langgeng dan efektif berkelanjutan.
Perusahaan tidak akan lepas dari proses penyesuaian dengan belajar dari
pengalaman (learning by doing), di samping hampir pasti juga ada kesalahan
yang disengaja atau penyelewengan. Semua yang negatif akan bermuara pada
produktivitas menurun atau arus keuangan yang terganggu keseimbangannya, dan
cepat atau lambat pasti ketahuan dan terbaca gejalanya. Justru gejala penyimpangan
negatif inilah yang disebut disini sebagai ‘masalah kasus’ yang perlu mendapat
kajian Litbang lebih rinci dan lebih jeli.

BAB 18 | Perspektip ‘3P’ Tantangan Dunia 453


2. Litbang Kasuistik dan Manajemennya
Bilamana sasaran Litbang adalah individu objek, maka berarti kegiatan pengamatan
bersifat telaah kasus (case study) yang tidak memerlukan sampel perusahaan.
Terkecuali, jika sifat kajian merupakan studi kasus atau riset-evaluasi atau riset-
operasi yang untuk mengukur suatu parameter dari variabel tertentu memang
memerlukan penarikan contoh (sampel) mewakili sasaran objek pengukuran
yang ada di dalam individu perusahaan yang sedang dikaji. Jika sasaran adalah
kelompok-objek maka kegiatan observasi bersifat survei yang dengan sendirinya
perlu penarikan sampel. Adapun konsekuensinya, suatu kajian terhadap satu
individu-objek akan menghasilkan nilai parameter penduga yang hanya berlaku
untuk individu perusahaan tersebut. Sementara itu pada kajian terhadap kelompok-
objek akan dihasilkan nilai parameter penduga yang berlaku bagi para perusahaan
yang diwakili oleh sampel sasaran Litbang. Dengan kata lain, hasil kajian terhadap
suatu kelompok objek akan menghasilkan nilai penduga parameter yang terukur
dan terbilang rata-rata kelompok.
Dalam tradisi manajemen agribisnis ada istilah ‘kajian manajemen audit’ yang
biasa digunakan bagi suatu jenis kajian Litbang dalam rangka ambil mematangkan
kebijakan internal dari suatu individu sasaran kajian perusahaan. Audit merupakan
jenis penelitian dengan 2 pilihan metode riset:
a. Metode studi evaluasi; jika menyangkut permasalahan besar dan berdampak
luas pada organisasi dan birokrasi, serta kinerja perusahaan.
b. Metode studi kasus internal; jika mengenai suatu kompartemen organisasi
perusahaan yang sedang bermasalah internal dan terisolir.

Secara prosedural, kajian Litbang Kasuistik di tingkat perusahaan yang dikelola


secara profesional dilakukan melalui strategi manajemen audit. Kajian audit dapat
dilakukan oleh Divisi Litbang dengan satuan tugas yang dipimpin langsung oleh
unsur pucuk pimpinan perusahaan (disebut ‘audit internal’), atau jika terlalu rumit
dan memerlukan keahlian tinggi atau demi netralitas hasilnya, maka penelitian
audit itu diserahkan kepada pihak luar perusahaan (disebut ‘auditor eksternal’)
yang tentunya lebih profesional dan berbayar.
Audit eksternal murni untuk kepentingan perusahaan dapat dikontrak- kan
kepada pihak perusahaan konsultan manajemen. Kalau audit eksternal iłu utamanya
untuk keperluan penegakan hukum (kasus pencemaran lingkungan, misalnya),
boleh jadi audit demikian diserahkan kepada pihak konsultan yang ditunjuk atau
dibentuk oleh Pemda setempat.

454 Ekonomi Pertanian


Manajemen audit adalah suatu pendekatan sistematis untuk mengevaluasi
efisiensi dałam suatu unit kegiatan manajemen perusahaan. Telaah ini akan dirasakan
berguna oleh perusahaan yang bersangkutan, sepanjang terdapat kemauan sistem
manajemen itu untuk menerima hasil telaah, dan selama ada kesiapan untuk
melakukan perubahan. Beberapa pokok sasaran kajian manajemen yang perlu bagi
suatu perusahaaan adalah 1 dari 5M berikut ini:
a. Menganalisis sasaran objektif dan arah kebijakan perusahaan, agar selalu sesuai
ketentuan peraturan perundangan.
b. Mengukur baik-buruknya penampilan perusahaan itu dibandingkan dengan
rata-rata & standar penampilan perusahaan sejenis dari sektor yang sama.
c. Menunjukkan kelebihan (kekuatan) & kekurangan (kelemahan) manajemen
yang sedang berlangsung pada perusahaan.
d. Memberikan bahan masukan sehubungan dengan rencana pengembangan
aktipitas dan kinerja manajemen perusahaan.
e. Mengatur langkah pengelolaan yang lebih tepat untuk perusahaan, khususnya
ketika ada rencana besar untuk berubah.

Prosedur Kajian Manajemen Audit


Ada sembilan langkah dalam melakukan manajemen audit yaitu:
a. Menentukan bentuk telaah yang dibutuhkan.
b. Menetapkan tujuan atau objektif.
c. Membatasi ruang lingkup.
d. Mengumpulkan data, dan di terkait hal ini beberapa hal harus diperhatikan:
1) Ingat yang dibahas adalah aspek manajemen
2) Wawancara terhadap karyawan atau staf dalam mengkaji ikhwal sumber
daya manusia sebaiknya hanya menyangkut Tupoksi yang sedang
dipegangnya.
3) Jangan sekali-kali mendasarkan kesimpulan pada pendapat satu orang.
4) Perhatikan keterkaitan dan kejanggalan antartingkat pelaksana manajemen.
5) Jabarkan dan ringkaskan hasil wawancara dan pengamatan secepat
mungkin. Mencoba mengingat-ingat adalah sumber kesalahan.
6) Kerja sama dan pendapat tim lebih berharga dari pada satu orang pengamat.
7) Wawancara ataupun teknik pengumpulan data Iain dapat saja kelihatan
tak terbentuk, tetapi yang pokok segalanya harus terencana dengan baik.
8) Cari kejelasan tentang hal yang meragukan. Jangan dibantah walaupun
boleh memberi pendapat tentang ketepatan sesuatu yang meragukan.

BAB 18 | Perspektip ‘3P’ Tantangan Dunia 455


9) Jaga kerahasiaan informasi.
10) Semua data dan informasi harus diarahkan jadi laporan tertulis maupun
lisan.
e. Menganalisis data.
f. Mengelompokkan temuan menurut urutan kepentingan.
g. Menyarankan rencana tindak lanjut.
h. Menyarankan pelaksanaan perbaikan itu.
i. Memantau perkembangan yang dicapai.

Format Pelaporan Manajemen Audit


Untuk pelaporan hasil suatu kajian manajemen audit, maka kesembilan langkah
yang telah diutarakan tadi dapat dituturkan sebagai satu tubuh laporan yang terdiri
dari beberpa bab. Seperti biasanya dilakukan dalam setiap laporan, amat penting
diperhatikan apa isu pokok yang melatar-belakangi pengkajian, lalu apa sasaran
dan temuan kajian yang sudah seharusnya terbaca dengan mudah tanpa ambiguitas
(taksa-makna). Keleluasaan untuk menggunakan suatu format pelaporan menurut
selera penulisnya atau penelitinya boleh saja dilakukan. Namun satu bentuk tubuh
laporan yang dapat dianjurkan di sini adalah sebagai berikut.55

I. PENDAHULUAN (Langkah 1-2) III. TEMUAN (Langkah 5-6)


A. Keadaan perusahaan A. Temuan Umum
B. Kebutuhan perusahaan B. Pembahasan
C. Sasaran audit C. Simpul Temuan
II. RUANG LINGKUP DATA (Langkah 3-4) IV. SARAN (Langkah 7-9)
A. Tipe Audit A. Simpul Temuan
B. Macam dan sumber data B. Saran Tindak
C. Pengolahan data LAMPIRAN

Perhatikan bagaimana kajian manajemen audit sebenarnya merupakan suatu


bentuk telaah yang mengandung dimensi keilmuan, dan pelaksanaannya amat
memerlukan keahlian ganda, yaitu ahli dalam bidang manajemen dan juga keilmuan
teknis tertentu yang mendasari kegiatan perusahaan. Bidang keahlian yang pertama
hampir pasti dimiliki oleh konsultan ahli, karena memang kajian yang dilakukan
berjudul “MANAJEMEN AUDIT”. Namun demikian keahlian ke-2 tentu lebih
spesifik, yaitu terkait jenis perusahaan yang mungkin saja secara teknis belum

Harus diingat, hasil kegiatan Lit-bang dalam suatu perusahaan akan menjadi bahan
55

masukan pengambilan keputusan oleh unsur pimpinan. Keadaannya tentu berbeda daripada
pendayagunaan hasil penelitian di lingkungan perguruan tinggi. Di lingkungan perusahaan,
bahasa dan substansi laporan yang terlalu rumit akan sulit dinalar oleh para manajer, dan karena
itu harus dibuat dalam pola pelaporan yang lebih sederhana.

456 Ekonomi Pertanian


banyak diketahui oleh sang konsultan. Oleh sebab itu pemahaman tekno-ekonomi
perusahaan sasaran harus dipahami terlebih dulu sebelum audit dilakukan. Sesuai
dengan sifat dan ciri langkah I sampai dengan 6 memang dapat dinyatakan bahwa
kajian manajemen audit merupakan suatu bentuk telaah kasus atau juga metode
riset evaluasi, yang tentunya memerlukan pemahaman mendalam terhadap proses
teknis yang mencirikan suatu perusahaan sasaran kajian.

3. Litbang Visioner dan Manajemennya


Berbeda dari kedua jenis Litbang terdahulu, sifat Litbang Visioner tidaklah rutinitas
dan bukan pula kasuistik menyangkut kepentingan kini yang mendesak. Litbang
Visioner sifatnya merupakan penelitian pengembangan jangka panjang. Kajian
jenis ini untuk kepentingan manajerial individu perusahaan tertentu, bisa pula
kepentingan sekelompok perusahaan sejenis atau asosiasinya, bahkan bisa pula
menjadi kepentingan pemerintah daerah c/q dinas yang terkait dengan bidang usaha
agribisnis maupun unit usaha agroindustri.
Biasanya orientasi kegiatan penelitian pengembangan jenis ini adalah dalam
rangka penghematan sumber daya alam pendukung kegiatan usaha itu; mungkin
sumber daya lahan, energi bahan bakar, atau juga dalam rangka peduli masyarakat
sekitar perusahaan. Dunia usaha serta kepedulian terhadap masyarakat sekitar
pelaku dunia usaha, serta terhadap daerah administratif setempat, di mana biasanya
kegiatan teknis perusahaan bertempat-kedudukan. Jenis kegiatan Litbang ini
mungkin pula bertitik tolak dari perubahan keadaan makro-ekonomi dan kondisi
sosial politik semisal akibat gerakan reformasi dan Otda, lalu setiap perusahaan
perlu perbarui visi & misi usahanya.
Berikut ini diberikan sebuah gambaran tentang orientasi Litbang seyogianya jadi
perhatian asosiasi perusahaan agribisnis dan juga pihak Pemda. Dapat ditegaskan
bahwa teknologi hemat lahan, dan hemat energi, serta cipta nilai tambah adalah
diantara isu pengembangan kedepan yang sangat perlu menjadi perhatian demi
keber-lanjutan kegiatan dunia usaha. Setiap Pemda harus tampak mengakomodasi
perkembangan keadaan nusantara dewasa ini, lalu jadi pola pikir para pihak yang
peduli terhadap arti penting perkembangan dunia usaha agribisnis kearah kemajuan.
Perusahaan agribisnis terbantu upayanya mengisi tuntutan visi dan misi
perkembangan ke depan dengan program inovasi. Untuk mendunia-nyatakan visi
dan misi, maka Litbang Visioner amat penting, untuk selanjutnya diuji dalam bentuk
Riset-Aksi. Kegiatan lapangan (aksi) akan menjamin kelangsungan hidup perusahaan
tanpa gangguan, dan kegiatan Riset diarahkan sesuai misi yang telah ditetapkan.
Dalam konteks ini, sudah sepatutnya jika 7-Rerambu kebijakan pembangunan

BAB 18 | Perspektip ‘3P’ Tantangan Dunia 457


agribisnis unggul selalu jadi komitmen semua pihak. Ketujuh rerambu dimaksud
adalah: (1) Hemat lahan; (2) Hemat energi; (3) Cipta nilai tambah; (4) Cipta
lapangan kerja; (5) Menunjang ketahanan pangan; (6) Melengkapi prasarana desa,
serta (7) Memperkuat rantai pasok agroindustri.
Bisa saja gagasan Litbang Visioner datang dari individu perusahaan, namun
penyelenggaraannya patut jadi objek kerja sama antara pihak asosiasi perusahaan
dengan pihak lembaga pemerintah yaitu Balai Penelitian tertentu. Akan tetapi
ketika hasil penelitian telah membuahkan suatu paket teknologi baru, maka untuk
mengadopsinya sampai membawa hasil positif dan nyata pada satuan agribisnis
dan agroindustri tentu memerlukan waktu. Experimen demi eksperimen mungkin
perlu dilakukan oleh individu perusahaan sebagai langkah penelitian pengembangan
untuk uji-kesesuaian dan ketepat-gunaan. Demikian proses transformasi ini memang
harus didukung dengan pendanaan tersendiri melalui rencana kerja Divisi Litbang
perusahaan atau juga Badan Litbang Pemda. Tentu saja satuan perusahaan agribisnis
yang bisa melakukan Litbang seperti itu adalah satuan usaha berskala besar yang
sedang berambisi untuk mengembangkan kiprah dan tampil sebagai unit korporasi
yang lebih tangguh. Bagi korporasi skala menengah dan bahkan skala UMKM
(sebagaimana satuan BUKD agribisnis kemitraan) tentu upaya Litbang inovatif
secara khusus dalam rangka memajukan kiprah dan kinerja perusahaan tidaklah
semudah yang bisa dirintis dan dijalankan oleh perusahaan besar. Akan tetapi,
kendala dan keterbatasan pada badan usaha UMKM tidak berarti takdir yang harus
mereka terima lalu karenanya seolah beralasan jika Pemda tidak perlu terlalu repot
untuk kemajuan inovatif di kalangan pihak yang memang terkendala.
Membiarkan para pelaku UMKM yang merasa tidak punya alasan logis untuk
menyelenggarakan program Litbang boleh dianggap keterlaluan. Bukankah dari
satuan usaha berskala kecil bisa berkembang jadi besar jika pengelolanya konsisten
untuk memajukan perusahaan kecilnya hingga jadi besar. Oleh sebab itu, maka
Pemprov atau Pemkab sudah sepatutnya ambil inisiatip untuk menyantuni kegiatan
Litbang demi keperluan berinovasi di antara satuan usaha berskala kecil itu. Aktivitas
Litbang tidak salahnya jika diinisiasi oleh Pemda.
Di negeri ini contoh perusahaan yang begitu progresif adalah PT. Indo Food
Sukses Makmur tbk. yang konon di tahun 2022 sudah bisa menjalankan bisnis
dengan total omzet penjualan Indomie ke seluruh Nusantara dan laba triliunan
rupiah per tahun. Demikian pun PT. Sang Hyang Sri menguasai bisnis benih
unggul, dan PT. Garuda Food untuk makanan olahan yang sudah mendunia, juga
PT. Sidomuncul yang memproduksi aneka jenis jamu sasetan, serta PT. ABC yang
banyak memproduksi jenis makanan dan minuman, juga PT. Sosro berbisnis aneka
minuman; dan banyak lagi contoh sukses lainnya.

458 Ekonomi Pertanian


18.4 Kajian Kasus Penyimpangan Kiprah Agribisnis
Pembangunan pertanian semakin dirasakan perlu diselenggarakan secara terencana
sistemik, terpadu holistik, dan terbina lestari biogeofisik, sekaligus komersial-
ekonomik. Untuk itu perlu digunakan pendekatan pembangunan agribisnis yang
berwawasan lingkungan dan berkelanjutan. Sehubungan dengan itu dapat dirujuk
definisi agribisnis dari buku teori seperti yang dikeluarkan oleh tim ahli SEARCA
di Los Banos Pilipina (H.F. Dillon, 1974), bahwa agribisnis adalah; “the sum total
of all operation involved in the manufacture and dis-tribution of farm supplies , production
activities on the farm and the storage, processing and distribution of farm commodities and
items made from them”. Jadi amat logis dimengerti, apabila pembangunan pertanian
secara konsisten memacu tumbuh kembang sistem agribisnis hulu-tengah-hilir
terpadu.
Adalah suatu kenyataan ironis sekalipun bidang ke-lpteks-an dan upaya-upaya
pembangunan pertanian umumnya telah dipacu di tanah air ini selama ¼ abad
lebih, tetapi berbagai masalah kelambanan gerak maju tampak di sana- sini. Keluhan
petani tebu dan padi atau pekebun kopi dan karet serta cengkih dan cokelat, kopi
dan karet, tebu & padi masih terdengar di sana sini. Persoalan perdata petani plasma
perkebunan kelapa sawit dan perusahaan inti di daerah belum reda, sebagaimana
masalah penjarahan TBS sawit masih marak terjadi. Masalah tunggakan KUT oleh
koperasi tani, lembaga perbankan yang belum menjembatani kebutuhan finansial
petani pedesaan, semua menggambarkan kelambatan perkembangan dan kemajuan
agribisnis di seputar Nusantara. Perlu aneka peraturan mengawal kehidupan
perkebunan di seputar Nusantara.
Bersamaan itu, kini bermunculan pula aneka godaan baru terhadap petani
pemilik lahan terkait: 1) Harga satuan persil lahan akan naik sejalan putaran waktu;
2) Komoditi 3P dari pola usaha hidroponik & aeroponik makin menonjol tampak
pada sarana dan pemukiman dan kantor; 3) Deposit mineral tambang di bawah
pertanaman jadi alasan lain menjual lahan; 4) Lahan aset yang liquid, jika mau
jual mendadak selalu ada yang siap membeli; 5) Hingar bingar tumpang-tindih
kepemilikan persil lahan makin sering terdengar. Pada saat bersamaan jangan terjadi
hal-hal seperti: 1) Warga hanya jadi penonton kegiatan agribisnis investor besar;
2) Warga hanya terdampak lingkungan biogeofisik rusak dan gaduh sosekbud;
3) Bumerang panen sumberdaya justru merugikan daerah; 4) Warga hanya jadi
penikmat pasif suatu proses pembangunan; 5) Sumber penafkahan warga masyarakat
semakin sempit dan terbatas.

BAB 18 | Perspektip ‘3P’ Tantangan Dunia 459


1. Antisipasi Permasalahan Simplistik
Patutlah kiranya dipertanyakan apa gerangan ada yang salah ‘dan’ apa langkah
mendasar yang harus dilakukan bangsa yang terbilang agraris ini? Terhadap
pertanyaan demikian, sesungguh diperlukan pemikiran konsepsional tidak simplistik
melainkan realistis untuk menjawabnya. Jika jawabannya hanya berciri klise terapi,
semisal ‘perlu adanya disentralisasi kebijakan pembangunan pertanian atau juga
‘perlu adanya UU pertanian dan UU per kebunan baru’ tanpa memahami akar
permasalahan sebenarnya, maka dikhawatirkan solusi yang didapatkan hanya
menyentuh kulit persoalan bukan inti dan akar permasalahan, sehingga aneka
masalah tidak terselesaikan.
Pada bagian ini, dilontarkan segugus pemikiran untuk jadi bahan renungan
dan bahasan para pemerhati dunia-usaha pertanian pada umumnya dan agribisnis
perkebunan pada khususnya. Apa salahnya kalau dari permasalahan yang bersifat
mendasar itu dapat ditemukan rumusan terapinya di dalam pasal dan ayat peraturan
perundangan perkebunan yang bakal diberlakukan. Untuk itu, kita perlu melihat
kenyataan dinamis dunia usaha agribisnis yang di negeri ini pada umumnya
berskala menengah dan skala besar di tengah jutaan petani pekebun usaha mikro
berskala kecil. Harus dibedakan perikehidupan agribisnis dari sudut pandang mikro-
perusahaan juga secara makro kewilayahan.
Di dalam satu kesatuan wilayah ada banyak kegiatan mikro-usaha. Secara
mikro-perusahaan, perikehidupan agribisnis skala UKM di seputar Nusantara masih
dihambat oleh adanya 3 pokok permasalahan dasar yang masih gentayangan dan
menunggu kebijakan pemerintah (Pemda), yaitu;
a. Di perusahaan (UKM), umumnya tidak ada kemampuan SDM berkeahlian
membaca potensi dan kendala khas wilayah lalu kemudian mampu membuat
rencana pengembangan suatu usaha UKM. Konsultan profesional dari luar
satuan usaha tentu kiprahnya harus berbayar.
b. Di internal perusahaan (UKM), umumnya tidak ada kondisi pendorong
menjalankan sistem manajemen profesional. Sementara pengaruh globalisasi
perdagangan semakin mempertajam kompetisi antarperusahaan, lalu UKM
yang lemah tetap tertinggal tak berkembang.
c. Di lingkungan perusahaan (UKM), tidak terdapat kepastian hukum yang bisa
mempermudah rencana perluasan kepak-kiprah satuan perusahaan inovatif
dilandasi manajemen profesional. Sementara gangguan sosial-ekonomi di
lapangan suka diperparah oleh premanisme.

Akar permasalahan pertama tentu terkait dengan sistem pendidikan dan sistem
pembelajaran SDM yang seyogianya secara konsisten dan konsekuen dikaitkan dengan

460 Ekonomi Pertanian


kepentingan pembangunan sektor pertanian (dalam artian luas) sebagai soko guru
perekonomian bangsa. Tentu sifatnya membangun dari watak dan perilaku usaha tani-
KCT itu menjadi agribisnis profesional. Dunia pendidikan juga telah alpa menyediakan
layanan pendidikan yang perlu untuk memberi konsep perkembangan agribisnis
berwawasan regional, nasional, dan bahkan global, sehingga SDM berkualitas dari
kalangan generasi muda jadi tertarik untuk menggeluti dunia-usaha agribisnis.
Masalah kedua terkait dengan kebijakan pemerintah yang belum tepat memacu
perkembangan usaha berorientasi barang jadi (produk jadi) dan tidak lagi sekadar
komoditi primer berbasis lahan. Selama sektor pertanian dengan bentang lahannya
hanya dipacu memproduksi bahan mentah untuk ekspor atau sekadar konsumsi
domestik, maka selama itu pula pola kelola dan kinerja agribisnis akan tampil
bersahaja. Prasarana & sarana inovasi bidang usaha pertanian semisal RKMP
(Rumah Kendali Mutu Produk) SUIT (Stasiun Uji Ipteks Terapan BITI (Balai
Ipteks Terapan Inovatip) seperti disinggung dalam sub-Bab 17.1. tidak sempat
dihadirkan, sehingga nyata menopang kehadiran komoditi dan produk unggulan
di tiap kabupaten dan kota.
Akar masalah ketiga antaranya terjadi karena banyak pihak sama sekali masih
kabur tentang seberapa jauh upaya perbaikan nilai tambah, nilai tukar, dan ‘nilai
tunda” (Sjarkowi, F. 2002) perlu peran aktif setiap lembaga penunjang, pendukung
serta perantara usaha agribisnis. Bahkan peran aktif itu terbeban pula terhadap
setiap komponen masyarakat yang secara langsung atau tidak langsung seyogianya
ikut menopang terjalinnya hubungan rantai pasok yang jelas implikasi rantai nilai
agroindustrinya.
Secara makro kewilayahan perlu dipertanyakan apakah ada kebijakan
pembangunan pertanian yang benar-benar memperhatikan tuntutan kondisi
nasional, global atau pun khususnya kondisi natural (alami). Jawaban atas
pertanyaan demikian nyatanya belum secara konsepsional dan rasional tertuang
jadi kebijakan Pemda di tingkat kabupaten dan kota. Padahal sepatutnya sudah
diimplikasikan oleh Peraturan Daerah (Perda), sehingga kelangsungan tindak
perambahan, alih-fungsi dan konversi lahan pertanaman bebas terjadi. Ada 3 faktor
kewilayahan yang belum ditata menjadi syarat pokok keberlanjutan perkembangan
dan kemajuan agribisnis di wilayah nusantara ini, yaitu:
a. Kealpaan memicu peran agribisnis dalam merebut nilai tambah, meredam
tekanan rasio warga-wilayah (man-land ratio) yang naik tanpa memicu pola
usaha intensif yang penting guna menekan hutang LN terus membengkak.
b. Kealpaan mengantisipasi tekanan pasar global terhadap nilai tukar hasil
agribisnis, yang seyogianya dijegal lewat rancangan strategi perdagangan lintas
wilayah atau antarpulau didukung capaian agribisnis khas wilayah.

BAB 18 | Perspektip ‘3P’ Tantangan Dunia 461


c. Kealpaan memacu investasi agribisnis berbasis ekosistem daerah dengan
menekan komponen nilai tunda akibat hambatan transportasi yang acap kali
mahal karena keter-isolasi-an geografis terhadap pasar yang dituju.
Dari sudut pertimbangan makro wilayah, bangsa ini harus mulai berbenah dan
berbuat sebelum terlambat meningkatkan usaha berbasis SDA terbarukan guna
mengatasi masalah utang luar negeri yang dalam hitungan Rp kini sudah berkisar
pada angka Rp10.000 triliun? Kini pun perekonomian negeri pasca-Covid-19 telah
ditandai jumlah pengangguran hingga 42 juta kepala. Kenyataan ini tampaknya
belum secara serius dijadikan acuan dasar untuk membangkitkan potensi produksi
yang menguntungkan dan bisa mendatangkan nilai tambah agribisnis nusantara,
yang di sana sini masih banyak terpendam.
Persoalan yang berkepanjangan ditenggarai akan muncul lebih kentara lagi
manakala disadari bahwa manland-ratio sudah kian membengkak di setiap daerah,
karena manusia semakin banyak berkepentingan pada bentang lahan yang jumlahnya
kian berkurang. Penyempitan rerata kepemilikan luas garapan sulit dihindari.
Padahal, efisiensi dan produktivitas yang tinggi pada indipidu perusahaan lebih
menghendaki skala usaha relatif besar yang lebih memberi kepastian kepada
kelangsungan cipta nilai tambah oleh agroindustri.
Tabel 18.2 Rerata Indeks Rasio Warga atau Wilayah di Pulau Besar Nusantara
Pulau Rasio warga/lahan Pulau Rasio warga/lahan
Sumatera 19,4290 Sulawesi 10,2364
Jawa 30,9898 Nusa Tenggara 2,0915
Bali 6,1677 Maluku 1,5977
Kalimantan 2,0702 Papua 1, 0985
Rerata 14,6642 Rerata 3,7560

Hal ini tentu menuntut adanya kebijakan makro kewilayahan yang memberi
kejelasan arah dan pola keterpaduan pengembangan agribisnis agar tidak mengancam
produktivitas usaha dan kesejahteraan masyarakat petani-pekebun, serta para
pengusaha agribisnis hulu-tengah-hilir pada umum-nya jangkauan cepat terhadap
devisa berasal dari transaksi luar negeri, walaupun nilai tukar yang timpang dan
merugikan pelaku usaha agribisnis sungguh tidak pula jarang terjadi, sehingga
merugikan capaian usaha.

2. Antisipasi Perilaku Spesifik Agribisnis


Selain itu ada pula fakta yang tak dapat ditolak, bahwa isi alam nusantara sedemikian
kaya dan memiliki beragam ekosistem, serta keanekaan jenis dan keanekaan
spesies maupun genetis. Dengan spesifikasi alamiah itu, dapat ditumbuhkan sektor

462 Ekonomi Pertanian


agribisnis khas lingkungan di sisi spesifik wilayah sehingga tumbuh berkelanjutan
serat (misalnya usaha pertanaman) haramay ataupun murbey dan cocon ulat sutra
di kawasan perbukitan yang terancam gundul). Sayangnya, petunjuk alamiah itu
sering terlupakan hanya karena alasan minim nya prasarana, sehingga tidak ada
kesiapan matang bagi pemasaran produk khas yang masih bernilai rendah untuk
kemudian terus terpacu proses perkembangan nya di semua penjuru Nusantara.
Sungguh semua kritik demikian itu beralasan sekali, khususnya ketika pasal
demi pasal suatu RUU kebisnisan (misal: Naskah UU-ciptaker 2022) sedang
dimatangkan oleh DPR. Strategi dan taktik untuk menjinakkan persoalan mikro
perusahaan dan makro kewilayahan, seperti belum sepenuhnya tertuang dalam
bab dan pasal, serta ayat demi ayat. Belum tampak jelas misalnya, akan bagaimana
orientasi wawasan lingkungan dan kompleksitas permasalahan agribisnis di era
OTDA dikaitkan dengan manajemen pemerintahan pusat hingga provinsi dan
kabupaten melalui distribusi kewenangan secara terarah terkendali.
a. Prinsip perekonomian negara disusun atas asas kekeluargaan ‘sesuai amanat
UUD-45’ bisa di-ejawantah-kan jadi kebijakan lapangan yang konsisten dan
konsekuen mengangkat status dan nasip petani berskala gurem;
b. Bagaimana strategi kebijakan merayu calon investor dengan kemudahan HGU
berjangka tanpa berbuntut lahan tidur dan terbengkalai, lalu menyudutkan
posisi sumber penafkahan generasi penerus petani;
c. Apa kompensasi kebijakan pembatasan sosial ekonomi bagi mereka petani
pekebun skala kecil yang masih akan selalu terdorong melakukan fragmentasi
lahan sebagai keharusan pewarisan aset lahan sesuai budaya;
d. Haruskah pas pengusaha agribisnis melakukan diversifikasi nilai tambah
sembari dicambuk dengan suatu kebijakan sangsi dan subsidi?;
e. Apa pula arahan politik ekonominya jika diinginkan untuk memacu
perkembangan agribisnis Nusantara sebagai proses peletakan kembali fundasi
perekonomian negara yang lebih kuat karena didukung oleh seluruh potensi
SDM, SDA, dan SDBuatan?
f. Bisakah menata proses transformasi ekonomi itu benar-benar sejati atau tidak
semu, dalam artian suatu transformasi yang benar-benar utuh dan diperan
sertai oleh seluruh lapisan warga termasuk keluarga orang tani itu sendiri?
g. Bagaimana rujukan filosofisnya agar dalam suatu kurun waktu tertentu secara
bertahap akan dapat terjadi lompatan kemajuan eknomi di tingkat negara
atau tingkat daerah (provinsi) ditandai dengan pertumbuhan yang pesat pada
sektor dan subsektor nonpertanian, tapi tetap ditunjang oleh sektor pertanian,
termasuk perkebunan yang andal dan tangguh.

BAB 18 | Perspektip ‘3P’ Tantangan Dunia 463


MEMBACA KASUS AGRIBISNIS PIRBUN KARET
Harus diakui memang banyak persoalan yang harus dihadapi kaum tani, padahal
mereka masih terbilang lemah politik-ekonomi. Sepertinya memang diperlukan
kehadiran para pemimpin yang mampu komandokan agar setiap orang secara
serentak berperan aktif setiap kendala yang membelenggu. Akan tetapi para
pemimpin tentu memerlukan rujukan induk berupa undang-undang yang tegas
lugas berpihak kepada rakat pedesaan; dan UU Perkebunan adalah satu di antaranya
harus berpihak kepada kaum tani, sehingga mereka bisa berkiprah maju, tidak lagi
sekedar berusahatani kebun karet atau kopi juga kelapa sawit, melainkan dengan
pola usaha melembaga usaha agribisnis maju dan komersial. Tanpa skenario kerja
yang jitu terpadu serta utuh sistemik sebagai patokan tiap pemimpin mengayunkan
tongkat komando, maka gerak ampuh jurus-jurus pembangunan yang efektif tidak
akan mudah jadi kenyataan.

Filosopi Buah Simalakama


PIRBUN adalah satu bentuk badan usaha andalan yang bersandar pada prinsip
simbiose mutualistik antara BUMN atau perusahaan swasta dengan sejumlah petani-
pekebun berskala kecil, yaitu 2.5Ha hingga 5Ha. Pihak pengusaha perkebunan besar
(swasta atau BUMN) adalah mitra kerja sama, yang bertindak sebagai pemodal INTI.
Perusahaan inti bersifat induk semang terhadap sejumlah petani kecil yang berstatus
sebagai petani plasma, yakni pengurus kebun yang memang sejak awal mereka
tangani masing-masing sesuai dengan SOP atau prosedur tetap yang diarahkan
dan dibantu permodalan sementara (sebelum kebun menghasilkan) oleh organisasi
perusahaan inti tadi. Sayang di dalam kenyataannya pihak petani sering terjebak
dalam situasi kurang enak, ibarat makan buah si malakama.
Filosopi buah simalakama yang dilematis, karena isinya yaitu; “dimakan mati
Bapak, tidak dimakan mati emak” dan akhirnya hidup jadi tidak aman. Bagi PIRBUN
di Indonesia khususnya Sumsel dan Jambi, filsafat ini pernah nyata. Kalau membeli
BOKAR (bahan olahan karet) yaitu hasil karet petani plasma dengan harga mahal
maka sang BUMN atau Swasta merugi, karena berarti biaya variabel meningkat dan
memperbesar “overhead cost” yang biasanya memang cenderung tinggi. Sebaliknya
jika beli murah, petani plasma akan lari keluar tidak akan menjual karetnya kepada
pihak inti, dan BUMN selaku pihak inti jadi seolah kehilangan muka. Dalam keadaan
demikian, akhirnya maksud memberdayakan para petani kecil jadi tidak kesampaian.

464 Ekonomi Pertanian


Kepriadaan Masalah
Masalahnya, pasar bagi hasil kebun karet secara internal mikro PIR adalah
monopolistik bilateral antara BUMN sebagai perusahaan pembina sekaligus sebagai
pembeli tunggal bokar dari KUD yang membawakan aspirasi petani plasma. Pada
skala makro, struktur pasar mendekati bentuk oligopsoni yang menjurus jadi
monopsoni (khususnya di daerah padat produksi karet, seperti Sumsel dan Jambi).
Kenyataan ini berkaitan dengan kehadiran pabrik-pabrik Crumb Rubber dan pabrik
lateks pekat yang cendrung bersaing dengan PIR untuk mendapatkan bahan baku
asal karet rakyat. Keadaan seperti itu punya konsekuensi yang kadang merugikan.
Tapi sampai di mana kadar persaingan itu, tentu masih perlu dikaji melalui analisis
kinerja-pasar dan perilaku-pasar.
Di luar PIR para pengusaha yang bergabung dalam GAPKINDO mengalami
kekurangan bahan baku untuk memproduksi karet remah ataupun lateks pekat.
Dari itu para pengusaha bersaing keras untuk memperebutkan bokar dari petani
pada umumnya dan petani-pekebun plasma PIR sekalipun. Para pengusaha anggota
GAPKINDO ini punya keluwesan bertindak, dan biasanya dibekingi.
Biaya pengolahan bokar mutu rendah dan mutu tinggi untuk dijadikan SIR
biasanya relatif sama yang dialami pengusaha inti. Penetap rumus harga beli bokar
dari petani plasma sesuai ketentuan peme H=K (He-B); di mana K adalah kadar
karet kering: He= harga ekspor; dan B-biaya pengolahan ditambah harga jokar
sebagai bahan baku. Di sini intinya akan untung lebih besar jika kebanyakan plasma
memproduksi bokar mutu rendah karena mudah aya dan bobotnya lebih besar,
sekalipun harga bokar mutu rendah itu murah. Keadaan ini dapat menyebabkan
plasma pemakaian ke pe igusaha GAPKINDO di luar PIR, karena petani plasma
yang rasional tak mau merasa dirugikan oleh intinya.

Beberapa Konsekuensi Merugikan


Walaupun prospek agribisnis pertanaman karet diperkirakan cukup cerah di masa
depan (karena krisis minyak bumi membuat nahal sintesis karet pesaing karet
alam), namun khawatir tidak banyak anggota petani-pekebun yang menikmati kalau
kemungkinan itu kemudian jadi kenyataan. Alasannya amat jelas, bagi pekebun jelata
memang tidak ada manajemen produksi pada usaha tani mereka; sebaliknya bagi
petani pekebun plasma PIR mereka juga terlanjur melakukan kaedah manajemen
produksi karet hanya karena jebakan dan belenggu mengikat keleluasaan bisnisnya.
Dalam kasus PIRBUN karet yang bermasalah, maka 4 macam persoalan berikut ini
biasa dijumpai.

BAB 18 | Perspektip ‘3P’ Tantangan Dunia 465


(1) Target peningkatan mutu bokardiharapkan akan tercapai akhirnya tidak
terealisasi. Konsekuensinya, mutu komoditi karet ekspor rendah dan tingkat
pencemaran lingkungan sekitar pabrik olah bokar akan tinggi pula.
(2) Produksi karet oleh plasma tak terkendali dan banyak petani memaksakan sadap
berat ke pohon karetnya; produktivitas hari ke hari tinggi tapi produktivitas
kebun dalam jangka panjang jadi terancam.
(3) Kredit investasi yang harus dibayar balik oleh para petani plasma akan
terhambatnya pembayarannya, khususnya pada bagian waktu kedua dari periode
investasi suatu PIR-BUN karet.
(4) Petani pada hakikatnya akan terus merugi dan melarat, dan pertumbuhan
ekonomi lewat komoditi non migas di daerah yang padat kebun karet tidak
terangsang hebat.

Keempat akibat tereksploitasinya monopolistik di atas, kerumitan kemajuan


agribisnis pertanahan karet tidak dapat dinihilkan. Pada hal perkebunan karet adalah
bidang usaha perkebunan yang paling banyak melibatkan rakyat. Kesungguhan
langkah pembinaan pemerintah harus terus dipacu.

Butir Kebijakan Pengungkit


Pribahasa ‘makan buah si malakama’ memang mengandung makna serba salah
dan tidak ada jalan keluar. Padahal, realitas PIR BUN banyak yang terjebak
dalam perangkap ‘eksploitasi bilateral monopolistik’ yang sangat menghambat
perkembangan perusahaan inti dan juga para petani plasma, namun harus percaya
solusi itu pasti ada. Hakikat ekspoitasi oleh sesama ini tentunya sangat terkait
dengan soal konsistensi moral dan tindak profesional. Akar masalahnya tetap
disebabkan kealpaan mendayagunakan ‘gaya enterpreneur ber-Imtaq’ maupun ‘daya
manajemen ber-Ipteks’.
Itulah persoalan klasik yang terjadi di mana-mana ketika ketergesaan mengejar
target selalu menjadi ciri setiap gerakan pembagu nan di seputar nusantara. Dari
itu maka tabir-tabir bayangan masih mungkin dikuakkan asalkan komitmen
pembangunan yang berpihak kepada rakyat sungguh-sungguh hendak ditegakkan.
Strategi pembentukan koperasi secara dadakan tidak boleh lagi terjadi, sedangkan
proses alami bernuansa demokratis harus difasilitas. Sementara itu pertimbangan
akademisi maupun kenyataan empiris telah membuktikan bahwa secara pragmatis
hal itu tidaklah mustahil. Sasaran kerja pembentukan koperasi para petani plasma
suatu perusahaan agribisnis pertanaman alternatif itu adalah:

466 Ekonomi Pertanian


1. Koperasi sebagai penyuara petani plasma jangan terpancing ko laborasi
individual dengan pengusaha inti, sehingga merugikan petani plasma yang
seharusnya terlindungi. Kolaborasi individual cenderung menjurus kepada
eksploitasi bilateral monopolistik
2. Perusahaan inti selain berjasa memberdayakan kaum tani yang lemah, juga
jangan sampai menyiasiakan kesempatan emas untuk meningkatkan skala
usaha dengan akrivitas produksi yang berskala ekonomi progresif Σa1,>1 bukan
regresif Σa1,<1).

Sebenarnya jika keberhasilan semakin tampak, maka di tengah keadaan


ketersediaan lahan yang makin terbatas sedangkan penduduk semakin tersebar,
maka pola usaha agribisnis PIRBUN justru akan semakin diperlukan. Tantangan
ke depan perlu peraturan perundangan yang bisa memacu lebih banyak kegiatan
PIRBUN yang dikelola oleh pihak inti swasta, agar efisiensi produk Bokar dan Produk
SIR meningkat jumlah dan mutunya, terutama di daerah-daerah yang padat kebun
karet dan apalagi jika sudah mendapat pembinaan.
Adalah nyata pula bahwa di lapangan terdapat banyak persoalan terkait
konversi lahan dari suatu jenis pertanaman berubah jadi pertanaman lain, misal
dari karet ke sawit atau sebaliknya. Kenyataan demikian amat dipengaruhi oleh
tren perkembangan harga komoditi yang dihasilkan petani relatif terhadap harga
komoditi lain idaman petani dan sedang diusahakan. Mudah dimengerti ketika ada
jenis pertanaman yang tampak lebih menjanjikan harga komoditinya, maka para
petani setidaknya tergoda untuk mengusahakan tanaman itu di lahan yang terbilang
kurang produktif jika kebetulan masih tersedia.
Apa pun arah dan bentuk konversi lahan pertanaman memang awalnya ditriger
oleh kekecewaan petani penerima harga. Peran rayuan calon investor agar sejumlah
petani mau jadi plasma harus jadi jalan keluar yang tidak kalah pentingnya. Di pihak
Pemda bisa pula ikut nimbrung untuk menambah daya tarik kegiatan calon investor
di mata kaum tani, yaitu dengan menjanjikan akan dibangun prasarana jalan atau
sarana pelabuhan jetti di pinggir sungai atau kanal yang juga bakal dibangun oleh
investor. Pendek kata, jika semua upaya mendapati lahan usaha agribisnis yang
pas dengan kebutuhan agroindustrinya, maka secara hitam di atas putih setiap
kesepahaman dan kesepakatan itu harus dibuat bersaksikan pengacara hukum.
Baru setelah itu kepentingan membuat studi kelayakan terinci dan lengkap bisa
dimulai. Dari sini, 1 tahap menghadirkan perusahaan agribisnis dan agroindustri
telah direalisasikan.

BAB 18 | Perspektip ‘3P’ Tantangan Dunia 467


18.5 Keunikan Pembangunan Ekonomi Kerakyatan
Zaman terus berubah kian cepat. Adanya kemajuan teknologi Inforkom serba digital
diiringi teknologi inteligensi-artifisial yang serba robotik, maka alur peradaban
pun jadi serba sistemik. Artinya, perubahan suatu faktor dan aneka variabel di
belakangnya selalu tidak berdiri sendiri, tampak kait berkait dengan variabel dari
faktor lain secara timbal balik. Kelangsungan kontak antarvariabel pembangunan
selalu bersifat interaktif, punya efek mengembang (sentripetal) ataupun sebaliknya
timbul efek menciut (sentripugal).
Ambil contoh keberadaan air di saluran got-riol kiri-kanan jalan dimasuki
variabel kadar limbah debu beracun lalu terbawa oleh limpasan air hujan yang
akhirnya masuk ke anak sungai. Ini tentu ada efek sentripugal yang mematikan
banyak telur ikan, hingga beberapa species ikan terancam punah, lalu warga miskin
pada umumnya jadi kekurangan protein hewani. Efek terakhir ini bisa jadi dampak
negatif terhadap daerah-daerah yang dilintasi anak sungai itu.
Contoh lain, tentang waktu pemupukan tanaman padi sawah tidak lagi hanya
terkait variabel MAS (Muka Air Sawah) yang bisa diturunkan dengan menutup pintu
saluran air di hulu, tapi juga tergantung pada variabel sosial-ekonomi kebutuhan
pengairan dan keputusan kelompok tani di bagian tengah maupun bagian hilir
aliran irigasi amat tergantung pada kondisi kawasan hutan tangkapan air di hulu
perbukitan telah menyebabkan debit air musim hujan berlebihan dibanding musim
kemarau yang memicu defisit air.
Memang fungsi hidro-orologis sering terlanjur dirusak sejak dari bagian hulu
karena pembalakan dan perambahan oleh petani dan pekebun yang dari tahun ke
tahun merasa pendapatan bertani tidak mencukupi. Ini akibat posisi tawar begitu
lemah mereka selaku penerima harga (price taker) bukan penentu harga (price maker).
Tentu faktor penentu di baliknya kait berkait, membuat rumit upaya peningkatan
kesejahteraan dan kemakmuran warga.
Bersamaan dengan perubahan yang kian sistemik itu potensi SDA begitu
deras berkurang, tapi juga SDM sudah jauh bertambah dibandingkan 50 tahun
lalu. Dari itu maka perlu disusun kebijakan pragmatik yang peduli keseluruhan
mata rantai persoalan, agar supaya lahir segugus program pembangunan sektor
ekonomi perdesaan, atau sektor pertanian, atau pun sektor agribisnis & agroindustri
kerakyatan yang kesemuanya bersifat sistemik. Artinya, setiap gugus program harus
selalu peka terhadap dinamika sistem kehidupan perekonomian selaku penentu
kemakmuran suatu daerah.

468 Ekonomi Pertanian


1. Rancangan Pembangunan Pertanian Berpola THIS
Prilaku intensifikasi tanpa ekstensifikasi yang merambah hutan demi menaikkan
jumlah produksi tentunya hanya dapat terjadi dengan topangan Ipteks-inovatif dan
manajemen pemasaran komersial. Inilah tuntutan zaman yang tidak serta-merta
bisa dipenuhi sendiri oleh warga desa. Dukungan Pemda idealnya harus diadakan
di tingkat mikro usaha UMKM kerakyatan. Di samping itu semua program secara
spasial makro wilayah sepatutnya dipantau, karena 2 alasan pokok: (1) Interaksi
antar variabel mikro usaha mudah berubah di luar prakira, khususnya ketika ada
faktor iklim global el-Nino atau la-Nina muncul, dan; (2) Interaksi sosial kemitraan
mudah bergeser jadi liar dan tak patuh pada komando ketika perilaku pasar banyak
dipengaruhi kondisi perekonomian global yang memburuk, sehingga para pelaku
satuan agribisnis kecil cenderung cari selamat masing-masing. Ini bisa berdampak
terhadap usaha tani dan agribisnis kerakyatan dan bisa mengacaukan kondisi
ekonomi perdesaan.
Dari sebab 2 alasan makro-wilayah & mikro-usaha itu, maka diperlukan
rancangan pembangunan pertanian kedesaan atau kerakyatan dibuat berpola
‘Tematik-Holistik-Integratif-Sistemik’ (THIS). Berawal dari ‘tematik’ (T) idealnya
mengutamakan wawasan lingkungan dan tema kerakyatan. Dimensi wilayah
ditangani dengan cara perencanaan Holistik (H) yang pasti secara ‘spasial’
akan meliputi informasi ruang geografis berupa beberapa peta GIS (Geographical
Information System) citra satelit dan foto udara untuk suatu daerah. Di situ pula kait
berkait semua faktor dan variabel bisa ditampilkan secara terpadu atau jelas Integrasi
(I) keberadaannya. Dari situ akan dapat diprakira kadar dan sifst efek (sentripetal
ataupun sentripugal) setiap kali muncul gejala penting yang bakal menyentuh sistem,
sehingga mudah dibaca dampak, serta arah dan totalitas akibatnya secara Sistemik
(S). Dengan sifat yang sistemik ini, maka faktor kendali akan mudah dirancang
untuk tindakan koreksi. Jadi, paket program berpola THIS adalah isyarat yang harus
dipenuhi dalam desain pembangunan masa kini.
Pada Gambar Bab 10; ada 3 sasaran rancangan, yaitu makro-wilayah, mikro-
usaha dan keterpaduan kepentingan pusat-daerah. Jadi program pembangunan di
daerah boleh bersifat spesifik lokasi, tetapi tetap peduli pada kepentingan bangsa dan
kemaslahatan NKRI. Isyarat makro-wilayah menjaga kelestarian mutu ruang (SDP)
diperkuat sangsi hukum (LDP). Isyarat mikro-usaha pastikan program menjamin
stabilitas-produktivitas-equitabilitas-sustenabilitas hasil pembangunan di setiap
daerah, dilihat dari perspektif nasional.

BAB 18 | Perspektip ‘3P’ Tantangan Dunia 469


Memacu Mikro-bisnis Agroindustri Kerakyatan
Kehadiran agroindustri di suatu wilayah pengembangan agribisnis sudah seyogianya
terus-menerus dirangsang karena proses cipta nilai tambah yang dibawanya akan
mendatangkan banyak manfaat bagi daerah dan warga khususnya kaum tani.
Perkembangan agroindustri diharapkan akan mampu meningkatkan pendapatan
petani pekebun, serta para pelaku agribisnis umumnya, bisa menyerap lebih banyak
tenaga kerja, meningkatkan perolehan devisa, serta mendorong munculnya berbagai
industri hilir lanjutannya. Dalam konteks ini, beberapa alasan ekonomi mengapa
kehadiran berbagai agroindustri secara terencana berwawasan lingkungan akan
membawa dampak positif bagi warga dan daerah, yaitu di sini sebagai berikut:
1) Kerentanan pasar harga produk primer dapat dikurangi dengan adanya
transformasi bahan mentah itu jadi produk olahan, lagi pula fluktuasi harga
untuk produk olahan jarang ditemui. Padahal ini salah satu isyarat untuk
memperbaiki tingkat pendapatan petani pekebun, karena pada nyatanya
kedudukan para petani-pekebun selama ini hanya jadi penerima harga atau
‘price taker’, bukan selaku ‘price maker’.
2) Keunggulan kompetetif suatu produk olahan bisa berasal dari kenyataan
agroindustri antara lain bisa mengefisienkan biaya produksi, dengan tenaga kerja
terampil dan jujur, sehingga harga pokok rendah dan mampu bersaing. Dengan
begitu maka surplus tenaga kerja di daerah justru mendukung perkembangan
agroindustri yang notabene tak selalu butuh SDM berkeahlian khusus atau
berpendidikan tinggi.
3) Kemapanan hubungan kontrak dan transaksi jual beli produk agroindustri
terhadap pihak pembeli domestik maupun luar negeri akan lebih terjamin
asalkan dibarengi jaminan produksi bahan baku dari kebun perusahaan maupun
milik para pekebun. Hal terakhir ini harus bisa dikelola lebih lancar sejalan
waktu, sehingga memperkecil jeda produksi akibat putaran musim, melainkan
terus memacu perolehan devisa.
4) Kekuatan usaha suatu agroindustri dalam struktur pasar domestik akan semakin
menguat apabila kemudian tumbuh industri hilir aneka barang jadi turunannya,
merespon kebutuhan konsumen dalam negeri yang jumlahnya sangat banyak
dan makin kuat daya beli. Kemudahan pengembangan usaha aneka agroindustri
di daerah akan semakin nyata terpacu jika Pemda telah pula menerapkan layanan
perizinan 1 atap.

Dengan asumsi bahwa setiap provinsi, serta kabupaten & kota sangat
berkepentingan untuk memberikan kemudahan investasi guna mempercepat
pembangunan melalui peran swasta yang lebih besar, maka Pemda harus

470 Ekonomi Pertanian


memperhatikan 3 faktor pelancar tumbuh agroindustri, yaitu:(1) Kelancaran
kegiatan produksi bahan baku (bahan baku) pada tingkat kebun sehingga satuan
agroindustri relatif pasti menapat pasok bahan baku; (2) Kelancaran kegiatan cipta
nilai-tambah pada tingkat pabrik ,sehingga kuantitas dan kualitas hasil terjamin
karena selalu mengacu pada standarisasi produk yang serius diawasi Pemda, dan;
(3) Kelancaran kegiatan penjualan yang mendatangkan laba karena adanya iklim
usaha kondusif khususnya berkat dukungan prasarana dan sarana tersedia prima
sebagai komitmen nyata Pemda setempat.
Tiga isyarat itu jelas akan sangat terkait dengan aspek internal kegiatan
produktif perusahaan (tekno-ekonomi) dan juga aspek eksternal perusahaan (sosio
ekonomi) di samping aspek relasional perusahaan (struktur ekonomi). Dalam
kancah perencanaan investasi agroindustri oleh calon investor, aspek tekno-ekonomi
sedikit banyaknya akan tercakup dalam studi kelayakan teknis dan kelayakan
finansial. Demikian pula aspek sosio ekonomi selain menjadi salah satu unsur
yang diperhatikan dalam studi kelayakan ekologis (AMDAL), secara komprehensif
terbahas dalam kajian kelayakan ekonomis yang bukan sekadar kelayakan finansial.
Kajian mendalam berdimensi ekonomi demikian, biasanya menjadi persyaratan
bilamana menyangkut rencana investasi dengan cakupan wilayah dan banyak pelaku
yang akan berkiprah bisnis di lingkup wilayah besar, sehingga menyentuh hajat
hidup banyak kepentingan publik.
Khusus perihal pra-studi kelayakan investasi agribisnis terpadu idealnya juga
disediakan berupa informasi awal untuk bahan promosi menarik calon investor.
Kajian kelayakan ekonomi satuan agribisnis dan agroindustri, dengan kapasitas
terpasang dan potensi luas lahan kebun yang diperlukan untuk itu, harus sudah
jelas lokasi geografisnya. Hampir pasti calon investor untuk lokasi luar Jawa,
Sumatera, serta Kalimantan dan Sulawesi sekalipun, sudah sangat sulit menemukan
sehamparan lahan untuk luas pertanaman yang sesuai kebutuhan kapasitas terpasang
pabrik agroindustri pilihan investor. Oleh karena itu harus ada kombinasi luasan
yang langsung dapat ‘dibeli’ HGU-nya (Hak Guna Usaha) lewat kerja sama dengan
warga, supaya tambahan luas lahan bisa didapat dengan status lahan petani plasma.

2. Tiga Unsur Penentu Tumbuh Agroindustri


Walaupun dalam Parwa-3 tentang Perencanaan, penjelasan mengenai kelayakan
studi itu sudah dibentangkan, namun sisi pragmatis terapannya tidak pula sederhana
seperti membayangkannya. Beberapa masalah lapangan akan dihadapi oleh para
calon investor dan para pembina investasi agribisnis berlanjut ke agroindustri. Di
antara persoalan itu adalah:

BAB 18 | Perspektip ‘3P’ Tantangan Dunia 471


a. Sisi Tekno-ekonomi: Ini tentang sinkronisasi keberadaan kebun sebagai
sumber pasok komoditi bahan baku yang dapat mencukupi kebutuhan pabrik
sesuai dengan kapasitas terpasang mesin olahnya. Kesesuaian pasok bahan baku
dan kapasitas terpasang pabrik adalah prasyarat tekno-ekonomi agar supaya
satuan agroindustri berjalan lancar sepanjang tahun secara efektif dan efisien.
Jika tak seimbang (Kapasitas >> Bahan-baku), maka kegiatan produksi tidak
optimal dan sulit menarik simpati calon investor untuk masuk.
Selain itu juga ada dimensi permintaan. Ini terkait realitas lapangan yang
dewasa ini tidak lagi memungkinkan suatu investasi menguasai luasan kebun
yang besar, kecuali dengan kombinasi sebagian lahan kebun rakyat selain lahan
kebun investor. Kebutuhan bahan baku berawal dari ukuran kapasitas pabrik,
yang tidak selalu otomatis dapat dipenuhi oleh luasan kebun perusahaan sendiri.
Rakyat tentu hanya akan terangsang berpartisipasi memproduksi suatu jenis
komoditas pertanaman baru, jika permintaan komoditi sebagai bahan baku
agro-industri itu sudah nyata. Masalah ini bak kata pribahasa ‘mana duluan
induk apa telurnya’, dan ini terkait pasokan bahan baku atau komoditas yang
tidak biasa diusahakan oleh rakyat. Dalam hal ini, perlu kebijakan dan fasilitasi
Pemda dan kepiawaian calon investor dalam hal ini sangat diperlukan. Karena
itu pula setiap calon investor asing sepatutnya berkoalisi dengan pengusaha
domestik yang paham dengan realitas lapangan.
b. Sisi Sosial-Ekonomi: Upaya memaksimalkan respons positif dan dukungan
partisipatif masyarakat tanpa efek samping negatif yang justru bisa merugikan
perusahaan dan masyarakat setempat. Pendekatan pemberdayaan masyarakat
sangat perlu dilakukan sejak awal pendekatan kemasyarakatan dimulai. Hal
yang sama bisa dikaitkan dengan ciri kehidupan masyarakat agraris di pedesaan
nusantara yang sekarang ini sudah terlanjur semakin konsumtif. Sementara
tidak semua elemen masyarakat memiliki sumber pendapatan harian dan
mingguan, serta bulanan yang terjamin, maka upaya pemberdayaan ekonomi
warga sekitar harus jadi prioritas kerja dan kinerja perusahaan agribisnis.

472 Ekonomi Pertanian


Ketergantungan mereka pada sistem ijon masih sangat kental, sehingga masalah
hutang dan ketidakpastian pendapatan akan selalu jadi masalah. Ini hal pertama
yang harus dihadapi dan ditangani oleh siapa saja yang mencoba memobilisasi
partisipasi para petani pekebun ke dalam suatu proses dan aktivitas produksi
di bawah kendali langsung dari suatu sistem manajemen yang direncanakan.
Jika permasalahannya tidak dapat dijinakkan maka bersamaan itu akan mudah
muncul masalah “eksploitasi bilateral monopolistik” (dibahas dalam
sub-Bab 9) yang biasanya datang dari ulah oknum dua kubu yang bermitra
(yaitu perwakilan peserta plasma dan unsur pelaksana transaksi dari pihak
perusahaan). Ini nantinya berpotensi menimbulkan permasalahan sosial yang
pelik dan bakal sangat mengganggu giat perusahaan agro industri.
c. Sisi Sruktur-Ekonomi: Ini terkait sumber persoalan yang akan jadi penghambat
perkembangan agribisnis di suatu daerah, sehingga perlu menjadi perhatian
dan kepedulian semua pihak untik kemajuan dunia-usaha agribisnis. Peran para
pihak itu sangat saling memengaruhi, sehingga perlu sinkronisasi kepentingan
ke arah kearah kejujuran dan kebersamaan. Gambar 18.3 memberi gambaran
tentang arti penting para pihak, khususnya Pemda, swastawan, dan masyarakat
petani yang langsung ataupun tidak langsung dilibatkan.
Perkembangan investasi agroindustri akan terpacu pesat di tengah perekonomian
daerah yang struktur ekonominya tidak lagi didominasi oleh sektor primer
pertanian semata, melainkan sektor sekunder (yakni agroindustri dan
pergudangan) serta sektor tersier (jasa perdagangan dan pariwisata) yang juga
telah menggeliat terpacu tumbuh. Kait berkait antarsemua giat pembangunan
daerah itu adalah keniscayaan yang harus dihadapi dan diatur rapi. Ini disebab-
kan setiap kegiatan agribisnis adalah bagian yang tidak lagi berdiri sendiri melain
kan merupakan bagian dari sistem agribisnis yang semakin tampil mapan. Kedua
kekuatan ekonomi sektoral sekunder dan tersier itu tidak tumbuh sehat jika
tidak ada kelengkapan aturan juga prasarana dan sarana daerah.
Kehadiran prasrana sarana ‘kawasan industri’ sangat perlu untuk memfasilitasi
setiap minat investasi di sektor industri khususnya ‘aneka-industri’ yang
saling perankan mata-rantai pasok bahan baku. Keberadaan dan mutu jaringan
jalan juga diperlukan untuk menjamin kelancaran arus bahan baku dan arus
pemasaran produk agroindustri. Sifat komoditas yang peka dan makan tempat
dan mudah rusak akan sangat memerlukan aneka prasarana dan sarana yang
hendaknya selalu tersedia dalam keadaan prima.

BAB 18 | Perspektip ‘3P’ Tantangan Dunia 473


Dalam situasi-kondisi daerah secara fisik dan nonfisik belum dengan baik
disiapkan oleh Pemda dan Kadinda serta warga, maka peran investor harus
diundang lebih gigih dengan memperhatikan 3 aspek perangsang tadi. Sejak dari
upaya membuka lahan kebun hingga memanen hasil lalu memasuki pasar domestik
lalu siap di tingkat pelabuhan ekspor, itu adalah rangkaian kegiatan yang dengan
sendirinya tidak terelakkan. Semua ini tentu berimbas pada kenaikan biaya produksi
dan ancaman kehilangan daya saing, dan karena itu harus jadi perhatian pemerintah.
Kebijakan terkait akan positif meningkatkan kesibukan bisnis yang seyogianya punya
berbagai efek pengganda terhadap setiap geliat pembangunan di suatu wilayah.

Gambarnya
tidak ada
Pak/Bu?
mohon untuk
dilengkapi,
terima kasih.

Gambar 18.3

Keterangan: Perhatikan perbedaan antara ukuran skala usaha yang cenderung menjadi sasaran calon
investor (lingkaran lebih besar) dan skala usahatani teluarga (lingkaran kecil) yang cenderung jauh lebih
kecil. Perhatikan skala usaha target investor sesungguhnya diperlukannya untuk memenuhi kapasitas yang
ditetapkan dari agroindustri olah-perta dan perlu dibangun. Perhatikan bahwa pilihan jenis komoditas
yang perlu dikembangkan investor seyogianya melalui analisis SWOT terhadap kondisi dinamis lingkungan
setempat; setelah membaca informasi prastudi kelayakan & layanan perizinan.

Pada Gambar 18.3 di atas terbaca arti penting visi misi pembangunan yang
kebetulan bertumpu agribisnis, yang seyogianya merupakan keputusan semua pihak
yang ada di suatu daerah. Perlu pula analisis SWOT guna menetapkan jenis pertanian
yang patut diunggulkan karena didukung oleh lingkungan alami-sosial-buatan,
dan itu adalah mandat konsultan dan para pemikir. Peran swasta tentu melakukan
investasi yang menserasikan kapasitas pabrik (agroindustri) dan potensi kebun inti.
Jika kaum tani hendak dilibatkan, maka kombinasi dua skala usaha besar dan kecil
kerakyatan harus jadi sasaran pertimbangan.

474 Ekonomi Pertanian


3. Keberlanjutan Pengembangan Agroindustri
Dapat dipahami bahwa setiap kegiatan investasi agroindustri yang masuk kategori
“agro-processing industry” memiliki kesamaan dalam hal (1) Kebutuhan tapak pabrik,
(2) Kebutuhan lahan kebun pemasok bahan baku; (3) Kebutuhan tenaga kerja;
(4) Kebutuhan modal investasi & modal kerja, dan; (5) Kebutuhan akan regu
pengelola atau tim manajemen beserta regu pelaksana. Akan tetapi realitas investasi
di lapangan pada kenyataannya bervariasi dari kasus ke kasus. Pengetahuan akan
hal ini sesungguhnya sangat diperlukan oleh para calon investor pemula maupun
fasilitator atau pengayom pelaku usaha.
Dapatlah dilihat pada kasus pengembangan agribisnis kelapa sawit hingga
tinggkat agroindustri CPO. Secara agronomis perkebunan kelapa sawit sangat
cocok dikembangkan di dataran rendah yang bergambut dan bercurah hujan tinggi.
Oleh karena itu kecenderungan perkembangan agroindustri CPO ke depan juga
harus mengikuti secara dekat perkembangan agribisnis kelapa sawit yang semakin
menjurus ke wilayah padat penduduk, berekosistem gambut.
Persoalan kemudian menonjol bukanlah kepentingan menjamin adanya
kesetimbangan kapasitas pabrik CPO dan volume produksi kebun, melainkan justru
terkait dengan kepentingan mendekatkan pabrik CPO dengan sumber TBS-nya. Di
kawasan bergambut tidak cukup tersedia prasarana jalan agar pengangkutan TBS dari
kebun tidak lebih dari 10 jam sudah harus siap diolah di pabrik, tetapi justru unit
pabrik berkapasitas kecil (< 30 ton per jam) juga tidak serta merta siap dibangun
di lokasi perkebunan. Konsekuensinya perusahaan agroindustri CPO menanggung
biaya penyesuaian, dan pihak pengusaha CPO lebih cenderung menekan harga beli
TBS dari petani pekebun.
Pada kasus agribisnis HTI-kayu dan kilang agroindustri kayu pertukangan
masalahnya mirip dengan agroindustri CPO tetapi dengan alasan yang berbeda. Di
banyak wilayah nusantara pabrik kilang kayu telah tutup atau sedang terancam tikar
gulung karena ketiadaan bahan baku Ketika agribisnis HTI mulai tampil dan siap
menjawab kebutuhan kayu gelondongan yang dirasakan langka oleh kilang kayu,
ternyata keberadaan agroindustri selama ini terlanjur berada jauh dari kawasan
hutan sebagaimana diatur selama ini oleh pemerintah. Biaya pengangkutan bawah
menjadi komponen terbesar dari nilai kayu pertukangan siap jual, dan akibatnya
kilang kayu yang relatip jauh dari sumber pemasok bahan baku (HTI-Kayu) akan
tetap tidak tertolong. Persolan jadi teratasi apabila setiap kilang kayu yang terancam
tutup bisa melakukan 2 hal sekaligus, yaitu:
(1) Membentuk konsorsium penanaman modal usaha HTI-Kayu berskala usaha
yang cukup untuk menyediakan sejumlah kebutuhan kapasitas kilang kayu;

BAB 18 | Perspektip ‘3P’ Tantangan Dunia 475


(2) Merelokasi kilang kayu yang dimiliki kelompok investor HTI-Kayu tersebut ke
tempat yang lebih dekat dengan kebun kayunya.

Contoh kasus lain yang menarik untuk disebutkan adalah agroindustri karbon-
aktif yang menggunakan batok kelapa sebagai bahan bakunya. Permasalahan yang
banyak dihadapi sesungguhnya bermula dari kenyataan bahwa, di satu sisi kebun
kelapa rakyat selalu tersebar di berbagai daerah dan memanen buah kelapanya
tiga bulan sekali Di sisi lain, pabrik karbon-aktif harus beroperasi 24 jam nonstop
karena alasan tanur penggosongan batok kelapa menggunakan panas berderajat
tinggi >1000 F sehingga tidak efisien untuk dinyalakan kembali dan dimatikan
berulang kali. Karenanya pabrik karbon-aktif itu harus dekat kota pelabuhan agar
siap menampung bahan baku yang datang dari semua penjuru, lalu mudah pula
mengekspor produknya. Isu kontinuitas bahan baku yang tetap tidak terjamin, maka
peran organisasi pemasok bahan batok kelapa sangat diperlukan; misalnya KUD
atau BUMDes perlu mengatur jadwal panen kelapa di berbagai daerah, sehingga
terjadwal panen kelapa di berbagai lokasi hingga pasok bahan baku jadi terjamin &
teratur. Ini berarti investasi agroindustri itu memerlukan fasilitas layanan Pemda.
Bentuk kasus yang lebih ekstrem lagi akan dirasakan pada rencana kegiatan
investasi agroindustri olah-perta yang bahan bakunya adalah hasil pertanaman
semusim, misalnya pabrik minyak atsiri yang memerlukan bahan baku lengkuas,
sereh wangi, atau tanaman sejenis lainnya. Sementara tipe agroindustri itu
memerlukan hasis kebun yang luas untuk menjamin pasok bahan bakunya, tetapi
kombinasi kebun inti dan kebun rakyat akan cenderung terbentur pada persoalan
“mana duluan, telur apu ayamnya?”. Jika pabrik dibangun lebih dulu, tapi kesiapan
kebun rakyat belum dapat langsung mencukupi kebutuhan kapasitas pabrik. Jika
kebun rakyat yang dipacu lebih dulu, apakah kehadiran pabrik bisa tepat waktu
sehingga tidak mengecewakan rakyat peserta? Dalam hal ini, peran konsultan
yang mampu membuat hitungan akurat tentu sangat diperlukan. Tentu saja survei
lapangan untuk memastikan kesesuaian teknis-agronomi dan sosial-ekonomi akan
memakan waktu kaji oleh pihak konsultan. Akan tetapi kerja cepat, akurat dan
bertanggung jawab harus tetap dipacu, karena “time is money” akan selalu jadi prinsip
kerja para pelaku bisnis apa pun di era persaingan ketat ini.

476 Ekonomi Pertanian


DAFTAR PUSTAKA

Adamowicz, W.L. Boxall, P.C. Luckert, M.K. Phillips W.E. and White W.A. 1996.
Forestry, Economics and The Environment. CAB International. Wallingford.
Afriani, I. 2016. Dinamika Sosio-Entropy; Determinan Pengelolaan Agribisnis Wanatani
Kerakyatan di Kawasan Perhutanan Sosial. Prov. Lampung. Disertasi. Fakultas
Pertanian Universitas Sriwiwijaya. Tidak dipublikasi.
Aplet, G.H. Johnson N. Olson J.T. and Sample V.A. 1993. Defining Sustainable Forestry
(The Wilderness Society). Island Press; Washington, D.C.
Arifin, Bustanul. 2004. Analisis Ekonomi Pertanian Indonesia. Kompas Media Nusantara.
Jakarta. 301 halaman
Ashworth, W.1995. The Economy Of Nature (Rethinking The onnections Between Ecology
And Economics).Houghton Mifflin Company.New York. ISBN 0-395-65566-8.
Austin, J.E.1981. Agroindustrial Project Analysis. The Johns Hopkins University Press.
London.
Bailey, M. 1959. Formal Criteria for Investment Decision. J. Political Economy, 67
(Oct. 1959).
Baleg dan Ditjen BP.Perkebunan. 2002. Rancangan Undangan-Undang Republik Indonesia
tentang Perkebunan, dan Drap Penjelasannya.

477
Barton, Rabbe, C. Innovation Killer; Batasan-Batasan yang Dapat Kita Bayangkan, dan
Perusahaan Cerdas Mana yang Menggunakannya. Penerbit: PT. Elex Media Kom;
Kompas Gramedia ISBN :978-602-02-5349-7.
Basu Das, S. 2012. Achieving The ASEAN Economics Community 2015; Challenges for
Member Countries & Bussinesses. Institute of Southeast Asian Studies. ISBN 978-
981-4379-64-9.
Baumol, William J, Litian, Robert E and Schram, Carl J. 2007. Good Capitalism, Bad
Capitalism & the Economics of Growth and Prosperity. Penerjemah: Yossinilayanti.
Gramedia, Jakarta, 2010. ISBN : 978-979-22-6201-0.
Binswanger & Ruttan. 1989. Induced Innovation. The John Hopkins University Press.
Baltimore and London.
Brennan, Jason. 2011. The Ethics of Voting. Princeton Univ. Press. Princeton Briones,
N.D.1995. The Integrated Social Forestry Program: Experiences in the Philippines.
In Management of Tropical Forests: Towards an Integrated.
Perspective. Edited by Ǿyvind Sandbukt. Centre for Dev. and the Environment,
University of Oslo. ISSN 0804-4988.
Chi-Wei, Khan, K. Toa, R. and Umar, M. 2020. A Review Of Resource Curse Burden
On Iflation In Vennezuela. Journal School Economics. China.
C.Smith, L. 2011. The World in 2050 ; Four Forces Shaping Civilization’s NorthernFuture.
USA : Penguin Group. ISBN 978-0-452-29747-0.
Coleman, D. 2006. Social Intelligence; The New Science of Human Relationships. New
York : Arrow Books. ISBN 978-0-099-46492-1.
Constanza, R. 1991. Ecological Economics: the science and management of
sustainability. Edited by Robert Constanza. Columbia Univ. Press. ISBN 0- 231-
07562-6. Daly, H.E. 1996. Beyond Growth; the Economics of Sustainable Development.
Beacon Press. Boston. 254 pgs.
Dillon, H.F. 1974. Management Agribusinness. Volume 1 & 2. SEARCA, Loss Banos
Philliphine.
Drucker, Peter F. 1985. Innovation and Entrepreneurship. United States of America
(USA). ISBN : 0-06-091360-6 (pbk.). New Jersey.184 pp.
Fillius, A.M. 1986. Forest Regeneration and Land Use Policy in Areas With High Population
Pressure. In Forest Regeneration in Southeast Asia. Biotrop Special Publication No.
25 ISSN 0125-975X. SEAMEO BIOTROP Bogor- Indonesia.
Geertz, C.1976. Involusi Pertanian; Proses Perubahan Ekologi di Indonesia. Bhratara Karya
Aksara, Jakarta.

478 Ekonomi Pertanian


Gill, S.K. & Jain, A. 2003. Navigating Innovations : EU-India Cross-Cultural Experience
– Vol. 1. New Delhi – 110 029. ISBN. Vol. 1 : 81-88353-14-0.
Hasibuan, N. 1987. Ekonomi Industri; Persaingan, Monopoli & Regulasi. Penerbit LP3ES.
Jakarta. 323 hlm. ISBN: 979-8391-13-6.
Hirshleifer, J. 1970. Investment, Interest and Capital. Prentice Hall International
Series in Management. New Jersey. USA. Prentice-Hall Inc. Jamal, Erizal. 2006.
Revitalisasi Pertanian dan Upaya Perbaikan Penguasaan.
Catatan untuk
penulis: Lahan di Tingkat Petani. J. Analisis Sosial Vol. 11 No. 1-4-2006. Penerbit Akatiga,
Mohon Bandung.
cantumkan
nama penulisnya James, V.K. 1976. Microeconomic Theory and Aplications. Little, Brown & Company. In
The United States Of America.
Jurnal Hutan Rakyat. 2004. GNRHL dan Kelola Rakyat. Pusat Kajian Hutan Rakyat
Fakultas Kehutanan UGM, Yogyakarta. ISSN 1411-1861, volume VI No.2/2004.
Kartajaya, H. 1996. Marketing Plus 2000. Penerbit PT Gramedia. Jakarta.539. hal.
ISBN: 979-655-148-9.
Kelley, Tom & Littman, J. 2016. The Ten Faces of Innovation. Profile Books, Mixed
Sources. London 270 pp.
Kennedy, A. 2015. Making Everything Easier; Business Development For Dummies. United
Kingdom : The Atrium, Southern Gate. Chichester. ISBN 978-1-118-96271-8.
Kotler, P. & Kartajaya, H. & Setiawan, I. 2017. Marketing 4.0; Moving from traditional
to digital. John Wiley & Sons, Inc.
Marteen, G.G. 1987. Productivity, Stability, Sustainability, Equitability and
Autonomy as Property of Agroecosystem Assesment. Journal of Agricultural
System. Elsevier’s Applied Science. Princeton.
Martono, Nanang. 2014. Sosiologi Perubahan Sosial. Penerbit: RajaGrafindo Persada.
Jakarta 480 Halaman.
Mendelshon, R; dalam Adamowicz et al. 1996. Forestry, Economics and the Environment.
CAB International; (p.213).
Mitsch, W.J. 1991. Ecological Engineering: Approaches to Sustainability and Bio- diversity
in the U.S. and China. In Constanza, R. Ecological Economics: the science
and management of sustainability. Edited by Robert Constanza. Columbia
University Press. ISBN 0-231-07562-6.
Muadz, Husni M. 2013. Anatomi Sistem Sosial; Rekonstruksi Normalitas Relasi Inter-
subyektivitas dengan Pendekatan Sistem. Jakarta: Institut Pem- belajaran Gelar
Hidup (IPGH). ISBN 978-602-70390-0-1 Cetakan 1;2014.

Daftar Bacaan 479


Muchtadi, Deddy. 2012. Teknologi Pasca Panen; dalam Merevolsusi Revolusi Hijau. Buku
III. IPB Press. Bogor; hlm. 323.
Myrdal, Gunnar. 1970. Agricultural Development and Planning In The Underdeveloped
Countries outside the Socialist Sphere; in ‘Policies, Planning and Management
for Agricultural Development’.14th International Conference of Agricultural
Economics held at BSUniv. Minsk. USSR. Oxford Institute of Agrarian Affairs;
for IAAE. 197.
Noss, R. F. 1992. Sustainable Forestry or Sustainable Forests? Di dalam buku Defining
Sustainable Forestry; ed. By Aplet, G.H. et al. Island Press, USA.
Novitasari, S. 2014. Determinan Bio-geofisik dan Sosial Kemasyarakatan Penentu Aneka
Tipologi Satuan Usaha Perhutanan Kerakayatan Berpola Mengelola Hutan Rakyat. Tesis.
Fakultas Pertanian Unsri.
Oyvind Sandbukt. 1995. Decentralization and development: Implications for
Deforestation in Indonesia. In Management of Tropical Forests: Towards An
Integrated Perspective. Edited by: Æyvind Sandbukt. Centre for Development
& the Environment, University of Oslo.
Oyvind, S. 1988. Resouce Constraints and Relations of Appropriations Among Tropical Forest
Foragers (The case of the Sumatran Kubu) in Research in Econ. Anthropo’y. JAI Press.
Pearce & Moran (1994). The Economic Value of Biodiversity. Earth Scan Publication
Ltd. London.
Pollock, J. N. 2014. Nauru Phosphate History and the Resource Curse Narrative.
Journal de la societe des Oceanistes . Vol 138-139.
Posner, Richard A. 2010. The Crisis of Capitalist Democracy. Cambridge, Massachusetts,
and London, England. Harvard University Press. ISBN 978- 0-674-05574-2.
Renee Purdy DeShazo and J.R. DeShazo. 1995. An Economic Model of Small- holder
Deforestation: A Consideration of the Shadow Value of Land on the Frontier. In
Management of Tropical Forests: Towards An Integrated Perspective. Edited
by: Æyvind Sandbukt. Centre for Development &the Environment, University
of Oslo.
Rohrer, W.C. and L.H. Douglas, 1969. The Agrarian Transition in America. The Bobbs
& Merrill Company, Inc. New York.
Schwab, K. 2016. The Forth Industrial Revolution. Crown Business (publishing group).
New York. hlm. 184.
Shepherd, K.R. 1985. Community Forestry: Concepts and Reality. In Shepherd.
K.R. and H.V. Richter. Managing the Tropical Forest. Development Studies Centre, the
Australian National University Canberra, Australia. ISBN 0 86784 537 6.

480 Ekonomi Pertanian


Simon, Hasanu. 2000. Hutan Jati dan Kemakmuran; Problematika dan Strategi
Pemecahannya. Bigraf Publishing. Yogyakarta; 200 halaman.
Singarimbun, M. 1995. Beberapa Catatan Mengenai Mobilitas Penduduk. Makalah
dalam Prosiding Seminar Nasional Membangkitkan Budaya Kepeloporan Dalam
Mobilitas Penduduk di Jakarta 19-20 April 1994. Departemen Transmigrasi dan
Pemukiman Perambahan Hutan. Jakarta.
Sjarkowi, F. 2001. Socio-Entropy System Approach (‘SESA’); Towards Sustainable
Management of a Peatland Forest Ecosystem in Central Kalimantan. International
Journ. for the Manag’t of Tropical Peatlands. Vol. I No. 1, 48-63. July 2001.
ISSN 1412 – 1631.
Sjarkowi, F. 2007. Pemikiran Konseptual Menuju SUPK (Satuan Usaha Perhutanan Rakyat).
Jurnal Satuan Usaha Perhutanan Kerakyatan. ( I – Agustus 2007 ); 1 – 35.
Penerbit : Jaringan Komunikasi Pasak Bumi. Sumatera Selatan.
Sjarkowi, F. 2011. Sistem Inovasi Daerah (SIDa) Sebagai Pelengkap SINas untuk Percepat
Proses Inovasi Nasional. Makalah, Raker DRN di BPPT. Jakarta.
Sjarkowi, F. 2016. Agro-Ekosistem & Sisa Ekosistem Lahan Basah Lestari; Penopang
Kedaulatan Pangan dan Kemakmuran NKRI. 429 halaman. Penerbit CV Baldad
Grafiti Press, Palembang.
Sjarkowi, F. 2017. Socio-Entropic Controlling Interface (SECI) in a Planned Social
Agroforestry; An Emphirical Contribution to The Theory of Social Partner- ship. Penerbit
: Baldad Grafiti Press. Palembang. 270 halaman.
Sjarkowi, F. 2018 et. al. Chyanov’s syndrome as faced by agribusiness corporation and
the peasant communities living in and nearby the forestry estate concession. RJOAS. 6
(87), June 2018.
Sjarkowi, F. 2019. Public and Private Partnership for Sustainable Resource Use
Initiative (Strategically Comprehensive Management To Back Up Formal Status of The
‘Cagar Biosfir Berbak-Sembilang’ as Another Targeting Site for The World Biosphere).
Earth and Environmental Science 298 (2019) 012037.
Sjarkowi, F. 2020. Interlinkage of Poverty-Hunger-Health-Wellbeing As Critically
Seen For Effective Policy Anticipation on The Need for Wetland Agro-Ecosystem
Reclamation: “International Conference Synergy in Science : Environ’l For
Global Movement To Achieve SDGs . October 21st.
Sminth, Laurence C. 2011. The World in 2050 Four Forces Shaping Civilazation’s Northern
Future. United States of America (USA). ISBN : 978-0-525-95181- 0 (h.c) ISBN
: 978-0-452-29747-0 (pbk).
Zuhal. 2010. Knowledge and Innovation Platform Kekuatan Daya Saing. Jakarta. Penerbit
PT Gramedia Pustaka Utama anggota IKAPI. ISBN : 978-979-22- 5625-9.

Daftar Bacaan 481


Selamat Belajar

“Berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian;


Bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian”
“Jika giat mendaki dan gigihmu bangkit, alamat
panorama indah engkau nikmati di puncak bukit”
LAMPIRAN
Artikel Penulis

A. Merajut Kebijakan Publik Aspirasi Privat


B. Merajut Komitmen Sesuai Hakikat LCD
C. Merajut Kepentingan Atas SDA Kawasan
Pesisir

483
LAMPIRAN ARTIKEL 1

Public and Private Partnership for Sustainable Resource Use Initiative: Strategically
Comprehensive Management To Back-up Formal Status of The ‘Cagar Biosfir Berbak-
Sembilang’ as Another Targeting Site for The World Biosphere1
Fachrurrozie Sjarkowi (Agribusiness and Natural Resource Management, Faculty of
Agriculture, University of Sriwijaya). *Corresponding Email : fsjarkowi13@gmail.com

Tulisan ini dipaparkan penulis pada konferensi UNESCO-PBB ke-17, sekaligus membuktikan
komitmen Indonesia pada upaya pelestarian ekosistem alami khususnya fauna & flora
kepentingan internasional, tidak terkecuali untuk penyelamatan bumi dari gejala dan efek
pemanasan global. Komitmen nasional diungkapkan tulisan ini bukan cuma terkait tanggung
jawab pemerintah pusat-provinsial-kabupaten melainkan juga terkait peran-serta warga yang
bermukim di sekitar wilayah ekosistem sasaran. Soal apakah tanggung jawab kemitraan itu
bisa direalisasikan di lapangan, makalah ini telah memberikan pola yang jelas dan tidak akan
merugikan siapapun, melainkan justru menguntungkan semua pihak.

Abstract: As clearly indicated in Lima Action Plan as adopted by MAB-ICC on March 19th 2016;
UNESCO’s MAB will harness lessons learned by communicating and sharing information so that the
WNBR (World Network of Biosphere Reserves) could develop appropriate but effectively functioning
model of sustainable development for each site of World Biosphere. Appropriate management model for
an ecosystem including its potential natural resources should get improved over time, “mainly in terms
of governance, collaboration, net working within the MAB and WNBR, by developing effective external
partnership to ensure long term viability” (MAB-ICC, 2016). Clearly, a totally comprehensive ecosystem
and multi-resource management must be prepared in order to fulfil the UNESCO’s expectation. Ecosystem
management is more on-site oriented action, while multi-resource management is needed to control all
socio-economic interests of the nearby people for the sake of their livelihoods. Of course the indigenous
interests to those resource potentials must be fulfil selectively and directly connected with innovative roles
of all other business actors as off-site economic beneficiaries. Hence, all activities (on-site and off-site
CBBS-WB) have to come along with environmentally sound development strategies. There are 30 points
of integrated management being offered herewith for effective execution.

A. Introduction
1. Significance of CBBS-WB to People and Local Governments
The targeting site, to be called herewith ‘CBBS-WB’, is of consider-able import- ance to the
people living in the eastern part of South Sumatra and of Jambi provinces (Figure 1). The
site is mostly wetland ecosystem, typified by peatland and tidal swamp ‘forest’ [1-3]; and
to the local dwellers it offers various natural resources that they have perceived and utilized
as dependable economic basis for local livelihoods. This type of man and biosphere inter-
dependency is unique [3-6]. For example, it has become source of traditional roof made
from nipa leaf and gelam trunks that are cheaply harvested from the area sustainably (in facts
Nipa buds could be utilized as source of glucose as raw material for sugar). All these must

1
Content from this work may be used under the terms of theCreativeCommonsAttribution
3.0 licence. Any further distribution of this work must maintain attribution to the author and
the title of the work, journal citation and DOI. Published under licence by IOP Publishing Ltd.

Lampiran 485
be taken into account when special approaches should be designed to maintain sustainable
use and ecological functions of the CBBS-WB including all potential natural resources that
support local livelihoods.

Figure 1. Map of CBBS-WB Site and Its Current Status Roughly Illustrated

Conceptually speaking, therefore, the area of would be CBBS-WB site is really a unique
landscape of tropical and wetland forest ecosystem, previously dedicated as national park
and now being assigned as a new site of world biosphere. Hence, the following attributes
truly apply:
• Wetland ecosystem (peatland in particular) is basically kidney of the land scape (ginjalnya
bentang alam), and this natural attribute ought to be maintaned sustainably healthy [7].
• Wetland ecosystem also function as biological supermarket perfecting food chains to
its neighbouring ecosystems; so beware of not cutting natural complexity of the food
chains [8]
• Wetland ecosystem throughout Indonesia is recognizable as natural ATM to people
living nearby; for which the symbiosis mutualistic between them should always be
comprehensively managed so as to remain ecologically conducive and socio-economically
beneficial over time [6].

Surely, one has to keep in mind that the CBBS-WB site essentially needs specific wetland
ecosystem management. It has quite high value of natural resource endowments and the
only remaining site usually visited seasonally as terminal and playing ground for some avian
species of intercontinental migrat- ory birds [5,9-11]. The site is somewhat isolated and rather
sterile zone out of the other zones of fast growing economy (i.e. the capital of Districts).
Never- theless, the significance of the CBBS-WB to both provinces may be highlighted as
the following arguments:

486 Ekonomi Pertanian


• The Sembilang National Park (202.896 Ha located in South Sumatra) and the other
‘half’ called Berbak (142.750 Ha) in Jambi; the area is divided administratively by the
provincial border without any hard or concrete infrastructure, and the site is mostly
accessible through river and sea transportation vehicles only.
• The position of the national park is about 3 hours away either from Palembang (the
capital of South Sumatra) or from the capital of Jambi to the nearest jetty to be continued
by speedboat for another 2 more hours of cruising along the coast of the Strait of Bangka.
• The ecosystem is very fertile due to lots of sediment coming from the up-stream,
constantly sent down through some small creaks and also big rivers flowing from the
hilly side in western side down to eastern side where the river flow meets the Strait of
Bangka.

2. The Problematic Issues


Ecosystem management is certainly location specific.2 Therefore, ecosystem management with
respect to the CBBS-WB as a target must then generate a set of differentiated responsibility
to the central GOI as well as provincial governments of South Sumatra and also Jambi beside
role of the UNESCO’s MAB team. Even the nearest districts (kabupaten) have to play each
own role in accordance with the specified task and responsibility specially design for the
sake of sustainability of CBBS-WB ecosystem. In this paper, several important questions
that need to be answered are then stated as the following:
• Would it be possible to minimize socio-economic unrest following some changes against
on-site local livelihood, should later the new international status of CBBS-WB become
formally enacted?
• What kinds of pragmatic strategies that could be implemented in order to sustain
sources of income and uplift living standard of people living within and nearby the site
of CBBS-WB?
• Which set up institutional should be introduced in order to back up the traditional but
localized insitu livelihoods without having to cause environmental disturbance or social
protests against unfairness?

3. Relevant CD Programs Needed


The above problem statements need to be accurately answered in order to get prudent but
comprehensive management of the CBBS-WB ecosystem. The objective of sustaining the
ecological function and socio-anthropological entity by way of specific management endeavour
should therefore be essentially aimed at 3-targets stated as follow:
• Maintaining ecological sustainability and socio-environment harmony by way of
promoting prudent CBBS-WB site management for people as well as regional economic
prosperity.
• Activating creative business web leading to the so-called Green Commitment that may
effectively become new sources of retribution and VAT revenues to the local government.
• Modelling institutional base for uplifting economic potential but using most acceptable
method of harvesting any natural resource that may be feasibly determined and
accessible.

There are 5+5 guiding and operational principles of ecosystem management for wetland
2

ecosystem as reference (Maltby et. Al. 1999) RH-UL & IUCN.

Lampiran 487
B. Conceptual Framework for Effective Intervention
The wetland ecosystem argument signifies the importance of various economic potential
in that particular CBBS-WB site especially to fulfil various local livelihood activities which
are basically supported by legal rights of indi- genous people in accordance with indigenous
law. Any kind of threat to such traditional accessibility onto any natural resource potential is
surely perceive- able by the local people as violation of their right [12,13]. Hence, vigorous
management model leading to a green commitment by all stakeholders are certainly needed.

1. Management Approach 1: Spatial Model


This particular approach is aimed at ensuring harmonious function and quality of
biogeophysical and socio-anthropological condition [14] [15] [16]. It is commonly
understood (GOI Act #26/ 2007 on Spatial Planning), that in order to serve social interest
in a development space of an ecosystem typified by high population density, then three
categories of geo-physical zoning must have been determined. There must be clearly
indicated, which landscape is protected zone, buffer zone, and the appropriate convertible
zone. Only within the so-called convertible zone, however small it is, that socio-economic
endeavour could be made permissible.
Schematic illustration of cross-sectional space as described above to represent the
ground condition of the CBBS-WB ecosystem (Figure 2). Firstly, spatial conditions of A,
B, C, D, E may be considered as on-site space as target spots of spatial management; while
off-site activities at F and G coined with policies of H and I that will be required in order
to make local government (on the district and subdistrict levels) always in connection with
day to day dynamic of on-site development. Secondly, those portion spots of A up to E shall
become in-situ ‘agribusiness’ management targets after the associated convertible zone being
already determined in accordance with the existing formal spatial arrangement. Thirdly,
those H and I portion spots must be evaluated every five years time period by a specific
coordinating (authoritative) body, which is ideally to be stationed just near the site, namely
a building at point H to be assigned active for triple function: “(a) central point as coor-
dinating office; (b) guiding point for tourists; (c) resting point (restaurant) for lunch and
breakfast. By so doing there will exist an institutionalized management system that could
make the far distant decision makers persistently get alert and always ready for interactive
involvement and positive contribution to on-site dynamic of intended and un-intended
change and development.

488 Ekonomi Pertanian


Figure 2. Management Approach 1 : spatial model (the ‘CBBS-WB’ site as source of
livelihood or economic potential as it might be seen by indigeneous people and the local
governments

2. Management Approach2: Socio-anthropological Model


The following 9-issues belong to 3-managerial perspective, that may surely be found in
the field. One must take them into consideration for the better policy on sustainability of
bio-geophysical function and attributes as well as continual socio-anthropological benefits:
a. Cultural Perspective: This is to ensure all ecological functions of a wetland ecosystem
(subsystem) to remain intact, and that must be attempted especially by promoting local
wisdoms. The attempt should be in a more pragmatical but more scientifically sound
of wetland ecosystem management. This must include the following:
1) tackle off collective disturbance to ecosystem (Food chain disruption),
2) tackle off collaborative dissatisfaction (Crop failure and price downward),
3) tackle off collegial land-plot encroachment (Slush and burn arrogance).
b. Livelihood Perspective: This is considerably important in an effort to promote wiser
agroecosystem development that could maintain natural balance as part of environmental
managament of the vulnarable wetland ecosystem; a) controllable wild-life hunting
(wild fishing, frog and crab catching; etc); b) controllable plant-harvesting (gelam log,
jelutong gum, nipah leaves); c) controllable revenue-pursuing (Risk mini-max; Revenue
maxi-min )
c. Institutional Perspective: This is important aspect of community development which will
encourage local dwellers to get strongly motivated in dealing with a new set of working
options. The option must be clearly perceivable to the people and other stakeholders
as economic but scientific based recommendation, that may be stated as 3-E target as
the following performances. a) environmental safety (w.r.t. national security risk) by
way of more anticipative mission but economically productive arrangement, and this

Lampiran 489
should be made institutionally workable, b) equitable opportunity (w.r.t. local people and
corporation roles) for tapping economic benefits in accordance with the relevant SOP
that must be formulated by way of action researches, c) eligible resource development
(w.r.t. more economic gain upon ex-post harvest marketing) due to innovative product
processing and market inspiring CSR programs [17,18].

3. Management Approach 3: Evaluation Model


What success criteria that might be used in routine evaluation to check as to whether or not
a better income level eventually achievable from year to year, following a new status of the
Berbak-Sembilang site legally enacted latter as a new zone of a world biosphere (CBBS-WB)?
a. Proactive evaluation. Say that average income of people nearby CBBS- WB should never
get worsened than say ‘A’ level. In other words, should there be (A – δY) predictably
occurred, δY supposedly obtained from on-site CBBS-WB must be substitutable by some
new sources of income presumably from off-site spots by way of special CD program.
Assuming that average economic fortune as δY = f(CDCSR) and δY >0, then for those
people of limited income, assuming that baseline Co = Yo then there could be two
alternative ways that each family would actually utilize δY for zero or an additional
consumption (δC), such that; 1.a) δC < δY meaning that the family may get motivated
positively, 1.b) δC = δY .... meaning that the family may feel hopeless, 1.c) δC> δY.
meaning that the family may get intimidated steadily. Outcome (1.a) indicate successful
implementation of CD program, and otherwise for (1.b) not to mention (1.c); however,
from either one of which then some determining factors may be revealed.
b. Reactive evaluation. A set of CD program (specially targeted to help the affected people)
could be made parallel with effort to socialize the importance of WBBS-WB to fellow
countrymen and the world in general. This CD contribution must be steadily moving
forward towards an integrated but innovative agro-processing & creative agro-related
industries. Assuring that financial gain is supposed to prosper each family of CD
participants, then counter productive achievement may actually happen. Such a negative
response must be checked from 3 prospective of farming based livelihood, namely:
2.a) efficiency improvement; that suppresses average production cost; 2.b) effectiveness
attainment; that minimizes waste & maximizes yield; 2.c) equitability achievement;
that tends to save energy and other resources.
c. Interactive evaluation. Partnership agribusiness and innovative agro- industries at either
on-site or off-site CBBS-WB could be of special interest to every District of adjacent
distance to the ecosystem, simply due to opened opportunity earning VAT and other
collectable retribution fees. Financial support for various people mattered programs is
certainly the appropriate way of local government intervention. By so doing then the
following social tendency may happen positively: 3.a.) small is weaken; but then the
peasants need to unite so that they could perform a partnership business entity and
become institutionally manageable without having to get provoked by external agent
to trigger any socio-psychological entropy; 3.b) small is beautiful (when they become
agreeably abided by government law), then the more organized is the peasantry group the
quicker they may consistently adopt intensive production management without causing
socio-ecological entropy; 3.c) small is flexible, then as the more formal business entity
managed by the more responsive peasantry, the peasant community eager to innovate
and capture added values, so as not to become tempted agent of socio-economic entropy;
3.d) small is risk-averter, then peasantry group may generate trustful economic power
and perform actively within an agribusiness system, and successfully free from being

490 Ekonomi Pertanian


inhibited culturally by any kind of socio-cultural entropy. Of course achievement 3.a)
could bring stability with it, and then 3.d) could promote sustainability. Such group
achievement is an essential element of controlling socio-entropy, a kind of ‘Chayanov
[19] from coming into reality to cause social disturbance that may fail a partnership
deal.

C. Partnership Working Instruments


Several socio-economic and bio-geophysical constraints could be clearly seen by paying
attention to actual living condition of our fellow countrymen. In particular the condition
of people that live in the rural and isolated areas nearby (some of them already within) the
CBBS-WB site.

1. Strategic Program Instruments


Better understanding about the bio-geophysical and socio-anthro-pological constraints
is very important in an effort to establish program partnership between the people and
the authority (or institutionally speaking, between the private and public actors). Several
constraints should be overcome by providing the mission with at least 3-key factors towards
effective working partnership:
• Pragmatic green concept of permissible livelihood activities by and among the local
people who are highly dependants of the site;
• Pragmatic financial back-up to people involved in the on-site ‘agri- business’ and its
positively contributing off-site partners..
• Paternal relationship between industrial actors as marketing partner to the people who
produce various fresh products and raw materials.

The green principles that must be consistently applied in field are: a) every on- site
crop farming must have direct effort to uplift quality of ecological function of nearby zone
of conservation, namely by way of making successful an agreeable plot of SFMU (social
forestry management unit); b) every livelihood effort must do an on-site field action only
up to the maximum permit given right from the beginning.
Meanwhile, the financial back-up may be obtained by the people in accord-ance with
two possible schemes, namely: a) bio-right scheme, which is a right given to the indigenous
people to take various NTPs (non tree products) out of a on-site forestland plot and a right
to use the associated REDD (reduced emission from forest degradation and deforestation)
fund for the sake of sedentary farming as Green Livelihood activities on the convertible zone,
and; b) Bio-credit scheme, that is an opportunity for the on-site livelihood actors to take
advantage of an easy and cheap scheme of credit to be used at off-site CBBS-WB, as long as
they help a rehabilitation program at on-site area.
It is then industrial company or home industrial community as the existing market for
land based products that may legally utilized the fresh and raw materials with full guidance
by the CBBS-WB management. Both types of interactive partners should get special treatment
from the local government and the CBBS-WB team of management. Either one of: a) Special
SME’s credit facility, or; b) a kind of tax subsidy and business support could be provided for
such contributing business actors.

Lampiran 491
2. Strategic Pragmatic Commitments
Clearly a very serious effort needs to dedicate in doing a landscape management over an
isolated area that covers a huge size (> 300.000Has) of an already disturbed ecosystem
such as the one to be assigned as the CBBS-WB. Two important supporting factors needed
to be prepared properly, namely: a) a set of stimulant needed for every potential on-site and
off-site resource based activity; b) a set of partnership program linking up mutual interest
of private (on-site livelihood actors and off-site SMEs).
The required stimulants are needed, such that every actor will be fully committed to
environmentally sound principles which supposed to be implied in the SOP of Sustainable
Development CBBS-WB so as to:
• Maintain ecological sustainability and socio-environmental harmony by ensuring
prudent management of CBBS-WB.
• Motivate business web to be more innovative & creative leading to the so-called Green
Commitment leading to some new sources of retribution fee and VAT revenues to the
Districts governments that provide support with managerial responsibility.
• Modernize institutional base for effective clearing house to direct every effort to uplift
economic potential with acceptable method of harvesting, especially over the most
valuable resources to be developed feasibly in due time.

With respect to the specific partnership program, then a matrix table can be developed
(Table 1). This matrix is conceptually formed by referring to issues targeted in the spatial
model, socio-anthropological model as well as the evaluation model mentioned before. The
matrix table is the following:

Table 1. Matrix of The Required Private and Public Partnership Roles


Role of Local People (Private) Role of Government (Public)
The Target-ted On-site
Zone to Be Recommen- Indiginous SMEs Unit Provincial & /
Managed dation GOI
(onsite zon) (off-site loc.) Districts
(Ministry)
A. Potential Allow units Ok doing live Do off-site Arrange CSR Legal
for strictsocial of reomm’ed lihood onsite agro 7rocess- commitment support by
forestry (1) SFMU (max 1 inac.w SOP+ sing for the to support bio ministry of
Ha /indiv’lin a Bio- right on-site yields. creditschem Env; State
Buffer zone. Entrep’z &
Coop.

B. Potential Only by small Provide signs Protect &


for traditional & silent boats, Can get Do off-site &season tm monitor
fishing(2) usingtrad- biocreditbut agro proces- schedule for dolphins
instruments. must follow sing unit for OK
SOP & signs on-site yiled activity
C. Potential for OK only for Follow tech’l Do off-site Encourage
pondfishery theexisting guidance frm agroproces- agroindustry None !
(3) activity CBBS mgnt. sing & forfish feed
otherwise pro- Authority marketing supply
hibited strictly

492 Ekonomi Pertanian


Role of Local People (Private) Role of Government (Public)
The Target-ted On-site
Zone to Be Recommen- Indiginous SMEs Unit Provincial & /
Managed dation GOI
(onsite zon) (off-site loc.) Districts
(Ministry)
Use of Continue to Every NTPs
D. Potential for allowable harvest the Develop harvest must
herbal & NTPs tools must be listed NTPs marketing bemonitor’d None !
harvesting (4) checked at ‘G’ i.a.w. SOP linksw the regularly
points (Jambi, harvester
SS)
E. Potential Only by small In & out of the Must have Seasonally Receive
activity on &silent boats, CBBS-WB zone marketing link (start& end) report (=4
coastal fishing using SOP report to ‘G’. w fishermen monitor cond. report /
ground condition. yr) oflocal
(5) gov’nt

F. Proposed No passing, Must report to Inform this Legal sup’t


zoneof 1 mile no anchorage point G on any None ! rulesto District to besocial
‘sealiners free’ withina radius violation Policestatn ized by
(6) on signs Ministry

G. Point A headquarter May do small Provide Regular check Financial


of central in front of boat service & support ingon the spot support
headquarter B&Szone as food support for supply, byGovernm’t annually
swith Central, Guid’g for visitors intermediary & News-media for ‘G’
management & Resting transport headquarter
facilities (7) points

H. Political Off-site Active The related The local gov. Central


will oflocal activities are people of the offsite musttake government
and central tobe linked surrounding SMEs which management must
governments with onsite have to be depend much leader ship on develop
to make efforts for part of special on natural CBBS-WB i.o.t. team work
the CBBSWB controlling training on resources develop an involving
functioning any threat theissues harvest ed effective military
with zero risk to national of national from on-site coordination & police
for national security; issues security. must also withall agents
security of get special stakeholders i.o.t.
(8) Drugs, training. incl’ promote the
weaponry, with central CBBS-WB
& military gov. role but
insurgence without
into the any kind
site of national
security risk
and loss.

Lampiran 493
Role of Local People (Private) Role of Government (Public)
The Target-ted On-site
Zone to Be Recommen- Indiginous SMEs Unit Provincial & /
Managed dation GOI
(onsite zon) (off-site loc.) Districts
(Ministry)
I. Local Off-site Coor- Active people The related Every 5 Several
government dinative works ofsurrounding off siteSMEs years local government
policy on across central the CBBS- have to be government institutions
equitable government WB must consistent in need to in Jakarta
resource and local obey spatial opening their reevaluate such asLIPI,
allocation government arrangement agroprocessing the existing Department
for people of institutions setby local industries for condition of Forestry,
surrounding to up-lift government the allowable of spatial and BPN-
the CBBSWB economic along withSOP commodities arrangement Agraria are
site. welfare and to for all possible from on-site. of CBBSWB expected
(9) eradicate rural parts of and make to give
and social beneficiaries. a better & necessary
poverty. more effective support to
spatial government
arrangement of South
for the next 5 Sumatra to
years bring the
mission
into a
success..
Note: SFMU = Social Forestry Management Unit, specially needed to empower those people already
doing crop farming in the buffer or protected zone but management needs to minimize their activity while
encourage them to keep an eye on a plot of planted trees in a forest zone [6][20].

3. Strategic Institutional Instruments


Formal institution to control all activities in the CBBS-WB site is certainly needed for 2-main
purposes. First is for ensuring every local government to take their management part of
activities. Second is for constantly maintaining and controlling national security. The coastal
site of CBBS-WB eventually includes a coastal line of about 125Km long. Hence the area is
very good target for foreign agents to smuggle narcotics, weapons and even mankind, which
are supposed to be detectable by possibly activated management system.
The author of this paper strongly believes that a special institutional body is badly needed
to ensure authoritative management does work effectively for the sake of sustainable function
of CBBS-WB. An authorit-ative management institution is supposed to coordinate all issues
in the field while acting as a representative clearing house. The GOI must assign a team of
qualified men power so that the so called ‘strategic and comprehensive management system’
becomes fully active. Six monthly report must be sent regularly to UNESCO headquarter as
well as the GOI and the local governments of Jambi and South Sumatra provinces.

D. Concluding Remarks
This paper reveals a set of comprehensive strategy for sustainable management of CBBS-WB
ecosystem and natural resources use. The conceptual discussion above, it can be stated here
3-points of conclusion:

494 Ekonomi Pertanian


• A golden opportunity for Indonesia to be an important part of world community in
providing a unique landscape for world biosphere; it is unique in terms of bio-geophysical
entity and socio-anthropological community that could be managed sustainably in
harmony.
• As long as an issue of national security is always kept in mind then the coastal line of
CBBSWB could be effectively controlled from any effort by foreign agents to smuggle
narcotics, weapons and even mankind, which are supposed to be detectable by
management system.
• A special authoritative body is ideally assigned to coordinate field management
strategy; an institutional body that shall be responsible for all area’s potentials and
people interaction harmoniously; while becoming a management interface between all
stakeholders.

References
Aswandi. 2017. Model Pengelolaan Air Rawa Gambut Bekelanjutan (Kasus di Delta Berbak,
Provinsi Jambi). Unpublished Disertation. Postgraduate Program, Universitas of
Sriwijaya.
Sjarkowi, F.1997. Economic Valution of Biodiversity Resources in the Coastal Zone Of South
Sumatra. In Rieley, J. & Page, S.E (ed.) Biodiversity and Sustainability of Tropical Peatlands.
Samara Publishing Ltd.
Dirschl, J.H. 1988. Coastal Zone Management in the Strait of Malacca: Review of Major
Issues and Proposals for Action (Tinjauan Masalah pokok dan Usulan Tindakan);
EMDI; pp.183-193.
Purwoko, A. and Wolf, W.J. 2008. Low Biomas of Macrobenthic Fauna at a Tropical Mudflat:
An Effect of Latitude?. Jurnal Estuarine, Coastal and Sheft Science (ELSEVIER) 76. 4. 869-875
Hastiana. 2013. Manjemen Kesesuaian Ekosistem Mangrove Taman Nasional Sembilang
Berdasarkan Kondisi Lingkungan Kawasan Pantai Timur Sumsel. Unpublished
Disertation, University of Sriwijaya
Sjarkowi, F. 2014. Agro-Ekosistem and Ekosistem Lahan Basah Lestari; Penopang Kedaulatan Pangan
dan Kemakmuran NKRI. Penerbit CV Baldad Grafiti Press, Palembang. ISBN.
Mitch, W.J. and Gosselink, J.G. 1993. Weatlands. Van Nostrand Reinhold, New York.2nd
Edition. In Barbier, B.E. et.al. 1997. Economics Valuation of Wetlands (A Guide For
Policy Makers and Planners. IUCN-The World Conservation Union.
Barbier, E.B., Acreman, M.C. and Knowler, D. 1996. Economic Valuation Of Wetlands; A
Guide For Policy Makers And Planners. Ramsar Convention Bureau, Gland, Switzerland.
Silvius, M.J,. Simons, H. and Verheugt, W,J,M,. 1984. Soils, vegetation, fauna and nature
conservation of the Berbak Game Reserver, Sumatra .RIN contributions to research on
management of natural resources 1983-84. Research Institute for Nature Management.
Arnhem, Netherlands.130pp
Verheught, W.J.M, and Kadarisman, R. 1991. Integrating Mangrove and Swamp Forests
Conservation with Coastal Lowland Dev.; the Banyuasin Sembilang Swamps Case Study,
South Sumatera Province, Indonesia.
Haidir, Sjarkowi.F, and Armanto, M.Edi. 2006. Strategi Konsepsional Pengelolaan Sumber Daya
Perika
nan di Zona Pemanfaatan Taman Nasional Sembilang Kabupaten Banyuasin Provinsi Sumatera Selatan.
Jurnal Pengelolaan Lingkungan dan Sumberdaya Alam, 5 (4).pp70-83.

Lampiran 495
Mareza, 2018. 7-Tuntutan Petani untuk Pemerintah. Bandot diakses 19 Juli 2018 Tribunjambi.
com http;//jambi.tribunnews.com/2018/05/11/7-tuntutan-inilah- yangdisampaikan-
petani-untuk-pemerintah? page-2 ; Jumat 11 Mei 2018.
Steni, B. and Muhajir, M. 2010. Hukum, Perubahan Iklim dan REDD. HUMA-Jakarta.
Rieley, J. O. et.al. 2008; Tropical Peatlands: Carbon Stores, Carbon Gas Emissions and
Contribution to Climate Change Process. In Strack, M. (ed). Peatlands and Climate
Change. Internasional Peat Society, Vapaudenkatu 12, 40100 Jyvaskyla, Finland.
University of Calgary. Canada.
Safford, L. and Maltby, E. 1998. Guidelines for Integrated Planning and Management of
Tropical Lowland Peatlands with special reference to Southeast Asia IUCN Commission
on Ecosystem Management Tropical Peatland Expert Group. Internasional Union
for Conservation of Nature and Natural Resources; IUCN, Gland, Switzerland and
Cambridge, UK.
Maltby, E. Martin Holdgate,Mike Acreman, Antony Weir, A. 1999. Ecosystem Management:
Questions for science and Society. Royal Holloway Institute for Env’l Research, Royal
Holloway, Univ. of London, UK.
Ministrial Decree. No. Kep-236/MBV/2003 tentang Program Kemitraan BUMN dengan
Usaha Kecil Dan Program Bina Lingkungan. Ministry of BUMN
Ministrial Decree. No. Per-02/MBU/7/2017 tentang Program Kemitran dan Bina Lingkungan.
Ministry of BUMN (Ministry fot State Enterprise)
Sitepu, M. & Sjarkowi, F. 2018. Chayanov’s Syndrome As Faced By ‘BAP’ Agribusiness
Corporation and Peasant Communities Living In and Nearby The Forestry Estate
Concession. Russian Journal of Agricultural and Socio-Economic Sciences.
Sjarkowi, F. 2001. Socio-Entropic System Approach (‘SESA’) Towards Sustainable Management
of Peatland Forest Ecosystem in Central Kalimantan.Tropical Peatland. 1(1) : 48-63.

496 Ekonomi Pertanian


LAMPIRAN ARTIKEL 2

INTERLINKAGE OF POVERTY-HUNGER-HEALTH-WELLBEING AS CONCEPTUALLY


PERCEIVED FOR INTERNATIONAL POLICY ANTICIPATION IN WETLAND
RECLAMATION AND DEVELOPMENT: “An Ecological Argument on The Importance
of Truly Sincere and Intense International Cooperation to Tackle Future Regional Economic
Shortcoming in South East Asia”3
Fachrurrozie Sjarkowi (Agribusiness and Natural Resource Management, Faculty of
Agriculture, The University of Sriwijaya, Palembang); Corresponding Email : fachrurrozie_
sj@fp.unsri.ac.id

Diantara 11 negara ASEAN hanya Indonesia yang masih memiliki sekitar belasan
juta Ha luas ekosistem lahan basah yang tentu sebagiannya dapat dikonversi jadi areal
lahan pertanian untuk kebutuhan pangan masa depan. Tentu saja upaya ke arah ini amat
membutuhkan pertimbangan Ipteks yang komprehensip. Ini mengingat ekosistem lahan
basah sangat peka sentuhan dengan efek dan dampak negatip kadang tak-terduga. Paper ini
mengingatkan dan menghimbau kerja sama lintas negara guna memikirkan dan mengkaji
cara terbaik pengembangan ekosistem-LB itu demi menjamin kecukupan pangan ASEAN
di masa depan.
Abstract : Every country with a large number of population but has got a limited stock and deposit
of natural resources must always anticipate domestic problems of poverty, hunger, poorer health and
declining wellbeing. However, such a classic chain of problems is no longer to be faced alone by a country,
as human environment has become so borderless. Neighbouring nations of densely populated countries
may frequently have to face sequence of such problems especially in years when the world undergoing an
extreme condition. Anticipative collaboration among them could presumably overcome the problems in
more elegant way with effective resource utilization and efficient use of funds, while all stakeholders
across borders getting mutual benefit with just and pride. The countries have to determine 2- starting
points of concern: 1) Focus on the most challenging problem that urgently needs solution (e.g. potential
problem of hunger); 2) Focus on particular natural resource base (e.g. a portion of remaining wetland
ecosystem) that each country ready to allocate. Subsequent collaborative efforts should be focused on
innovative science-tech inquiry and appropriate programs to tackle root of the main problem as trigger
to overcome all other problems.

A. Introduction
A chain of problems about poverty, hunger, health and wellbeing is certainly classics. It
repeatedly occurred to challenge nation after nation, and for that matter it could force
domestic human resources to seek for internal recipes towards an effective solution.
Nowadays, however, such a classic chain of problems is no longer closely isolated to be faced
alone by a country, as human environment has become so borderless. Regional cooperation
is a necessity, as ASEAN countries of may have to face serious problems in decades to come.
Therefore, a kind of common strategy needed in order to make efficient and effective
use of resources and scientific recipes of innovation. Indeed, neighbouring nations need
to identify common but strategic target of economic development (e.g. AEC-2015) in

3
Paper presented at The 1st International Webminar hosted by The Univ. of Sriwijaya,
April 2020

Lampiran 497
anticipation of economic shortcoming in years to come. A set of identified programs to tackle
future potential problems using ommon recipe and the relevant natural resources of each
country, out of which output mainly to meet each national demand as well as regional deficit.
As development target is aimed at solving problems of poverty, hunger, worsening
health and wellbeing, then more land resource is certainly required. Unfortunately, the only
remaining land resources are those potential acreages of wetland ecosystem. Moreover, with
current state of the art only a small portion of the existing wetland forest landscape that
could be safely opened for effective food production, job creation, eradicate hunger, health
support, and up-lift wellbeing. Out of each particular wetland ecosystem, the largest portion
of the landscape is supposed to be conserved and protected.
Each unit of wetland ecosystem entity is pretty much location specific as perceived
in terms of its ecological character[1], [2]. Hence, proper development and wise use of
its natural resources have not been fully understood by interdisciplinary scientists. The
associated ecological functions and attributes very much depend upon the existence and
characteristics of two main rivers which pinch around each landscape basin. Each basin
should have received much influence from the rivers inundation, and over an extremely long
time frame then the natural process would form a specific ‘hydrological unit of wetland
ecosystem’ (HUWE) which location specific in ecological character.
Of course, there are success stories of wetland agro-ecosystem development, and the
success apparently achieved due to best site of an HUWE was still easy to select in order
to meet project purpose[3].4 However, more records of failures were reported especially
due to project inability to cope with various technical constraints inherent with the use of
wetland ecosystem. The 1-million has project of peatland reclamation (1989) in Kalimantan
was completely failed and halted in year 2000[4], [5] [6]. The Ha Tien plain of the Mekong
Delta as another bad record experienced in Vietnam [7].

Table 1. The Remaining Wetland Ecosystem Acreage in Some ASEAN Countries.


No. Name of 8 Out of 11 Countries of ASEAN Remaining Wetland in Hectares
1. Indonesia 17.700.360
2. Malaysia 81.050
3. Myanmar 13.694
4. Philippines 8.513
5 Singapore 50
6. Thailand 111.803
7. Vietnam 16.795
8. Brunei Darussalam 87.500
Source: Sustainable Management of Peatland Forests in Southeast Asia

In South Sumatra wetland ecosystem successfully developed; started in 1938 a reclamation


4

process conducted by 500 transmigrant families from Java and up until now more than
100.000Has of irrigated paddy field already developed. In Malaysia Peninsular, also successful
wetland reclamation involving Proto-Malaysian farmers were reported among others by A.T.
Rambo (1982).

498 Ekonomi Pertanian


B. Vicious Cycle in Wetland Development
Clearly, that HUWE entity is necessarily location specific, and it must be treated with special
techno-ecological method and wise socio-ecological touch. At first in a sparse population
area only a relatively small size of ecosystem landscape being opened by people for food
agriculture, while much opportunity to select suitable landscape to match limitation in
equipment and cash for such effort. Nowadays easy step to utilize a landscape of wetland
ecosystem is no longer prevailed, and even more difficult for a large scale wetland utilization.
An effort to utilize natural resource certainly mean making up the ecosystem of target to
experience moment of ecological dis-equilibrium. Apparently the law of Thermodynamic 1
& 2 and Newtonian Law 3 already remind development actors about this logical consequence.
In particular, severe disequilibrium could have been implied when divergence instead of
convergence cycle of homeostatic response occurred as a set of field actions taking place in a
wetland ecosystem. As a matter of fact, the divergence cycle cannot be easily tackled by making
drainage canal blocking, because ecosystem disturbance would automatically transmitted
the physical change towards 3 (three) other important factors namely the food web due to
change in behavioral pattern of fauna & flora interaction; susceptibility of peat layers with
its Carbon stock, and also the characteristic of existing peat layers (sapric or hemic or even
much worse is the fibric type of peat soil). Furthermore, in every resource based development
a kind of area source of water and air pollution (e.g. smoke and haze coming from an incident
of peatland forest fire) is to some extent unavoidable. The transmission process could spread
negative impact across ‘borderless’ nations of nearby countries. In anticipation of such a
situation, surely a regional cooperation is badly needed to be established.
Severe disequilibrium could happen especially on peatland ecosystem due to development
activities that severely changed sub-surface level of water table. This would subsequently
destroy homeostatic capacity that is normally supported by intensely wet and high humidity
condition of the natural system. A prolonged dry season could facilitate peatland-forest fire
coming along with human negligent and also bad practices being conducted on purpose.
Once severe damage occur it would take much longer time to recover, and prolonged bad
situation could further result in a vicious cycle of welfare problems[8], [9]. Given the fact
that a particular HUWE has been presumably failed to provide the acting human resources
with economic welfare, then the situation will trigger those actors to do illegal logging in
another HUWE teritory.
A set of wetland based programs that might wrongly take a portion of an ecosystem
zone could result in a vicious cycle of problems. Instead of creating 4-main components of
welfare improve-ment as described in Figure1, such an achievement might happen in a newly
opened portion of an HUWE landscape. Unexpected outcome could occur following unusual
climate condition that might trigger serious ecological disaster. Although HUWE of target is
ecologically location specific, however, negative primary and secondary impacts would likely
be complained by people across nations of the neighbouring countries. Unhealthy wetland
agro-ecosystem due to unwise management in forest ecosystem conversion and its resource
development could be followed by various socio-ecological and socio-economic set back.
The unexpected outcome might eventually ruin the functions and attributes of the wetland
ecosystem and then destroy all potential quality of the existing natural resources[10]. In
that case, there would be various local or domestic lost and complaints from many business
communities and people of neighbouring countries. For example, heavy smoke and haze of
wetland and forest fire problems in 2015 [11], [12]. In concern with such a possible poor
performance then one may also compare the ASEAN vision 2020 (Severino JR, R.C. 1999)
with current situation impacted by Covid19 and see how serious was the socio-economic
set back. There were, in particular, impacted people health generally, disturbing food security,

Lampiran 499
lacking job availability and triggering more poverty that would eventually followed by stagnant
improvement in actual living standard. Further more, the business set back is apparently
causing serious escalation of unemployment number and worsening Gini ratio, more stunting
incidents throughout many sub-regions.

Mohon
kirimkan ulang
untuk gambar
Figure 1.

Figure 1. Reduce Hunger, Eliminate Poverty, Establish Health, and Enhance Well-Being : A
relevant theme of collaborative net working among densely populated countries

Vicious cycle of problems must be avoided directly and indirectly by all parties likely
get affected. Various collaboration should be developed by the neighbouring nations, so that
any future shortcomings could be minimized even fully avoided. Human resources must
be fully aware of how important for a wetland development plan to be provided with bio-
geophysical accounting as well as socio-ecological engineering (F. Sjarkowi, 2006; F.S. 2014),
namely a scientific prescription to get a set of environmentally sound programs. A plan to
use sensitive part of a HUWE’s landscape should anticipate any action that might destroy
the associated ecological function & attributes. It must be good for the associated actors
not to waste time and energy simply for amending negative outcomes that are avoidable
right from the very beginning.
Of course, several reasons perceivable here to be the cause of economic short-comings
in the future. It relates especially to availability of wetland ecosystem as the very basic
natural resource that could be used in the future to support the overall welfare among
people in the neighbouring countries (say the ASEAN). It may also relate to various types of
mismanagement of development activities that improperly designed in various sub-regions,
such that, people in general and the private sectors in particular, instead of using wise
strategy of low carbon development unexpectedly some greedy investors and their program
operators might easily dismiss the LCD principles.
On top of all this, un-integrated plans of development and various environmental
negligent in designing and executing overall programs in each nation are likely to cause loss
of mutual trust among the nations. Concerning wetland, especially the largest remaining

500 Ekonomi Pertanian


wetland resource called peatland in particular, scientists have confirmed that excessive
allocation of the ecosystem into agro-ecosystem landscape is quite possible to happen in
the coming decades [13]. Certainly, the policy decision for wetland development must be
carefully planed and conducted for 3-factual reasons:
1. A wetland ecosystem is kidney of the landscape; this natural attribute (good ecological function,
undisturbed ecological entity) ought to be maintained sustainably healthy[13];
2. A wetland ecosystem5 has an essential function as biological super-market, connecting food chains
(= web), and this natural complexity must be maintained [14], [15], [16]6
3. A peatland ecosystem in Indonesia can be regarded as a natural ATM to people living
in nearby, coming in and out of the forest to get certain species of fauna- flora & other
resources for cash.

Indeed local people usually taking advantage a nearby HUWE’s natural resources in a
variety of ways to support their family livelihoods. This is an important reason for which the
existing symbiotic mutualistic between them should be managed in a holistically integrative
way. Taking into consideration all those 3-reasons into a THIS-plan7 of a wetland based
development could then be expected to maintain function and attribute of the remaining
area of an HUWE entity. The allocated agro-ecosystem zone ought to be carefully managed
to remain systemically alive, socio-ecologically productive, socio-economically beneficial,
socio-culturally harmonious, and socio-psychologically conducive over time so as to support
overall programs of sustainable development.
The significance of the above mentioned advice relates to the fact that all living and
non-living activities and their interactions within the ecosystem are complex. Hence, one
must take into consideration the socio-anthropological dimension of peatland as part of total
complexity of the ecosystem.8 Human intervention causes a change in natural complexity,
or even worse a much harsher natural interaction might be resulted within a newly opened
wetland agro-ecosystem and the remaining ecosystem.
The proper way for wetland (peatland) ecosystem conversion is surely getting better
better over time, but then a much better way for optimal solution might be technically
and socio-economically found in the future due to intensive research collaboration among
nations as stake-holders. Basic research as well as R & D action research collaboration
would be scientifically very fruitful [16][17]. According to [18] there are 4-main interacting
components of a peatland ecosystem, namely living organisms (flora, fauna and micro-
organisms), peat chemical and physical characteristics, peat-C stock, and peatland hydrology.
Any change in one component will influence the others. A physical disturbance to one
component triggers responses from the others that will bring the system sooner or later
back to an equilibrium status owing to the natural homeostasis capacity of the ecosystem.
However, only by practicing low-Carbon development strategies while taking advantage of
local wisdom, then a natural and unnatural disturbances could be followed by functional
reaction of the natural system leading to a convergence healing process[19][20].

5
In South Sumatra province for example, peatland may be found in the up-hill valley in the
west part, in lowland areas of the middle part, and in the tidal swamp zone of the eastern part.
6
F. Sjarkowi (2014) added role #3 of wetland ecosystem that significantly support local
people livelihood.
7
THIS stands for Thematic-Holystic-Integrative-Systemic strategy for ecosystem based
development planning.
8
Remember that the wetland especially peatland ecosystem is functioned as natural ATM
by the local people.

Lampiran 501
Therefore, a proposal to use an area of peatland might be possible. For example,
ecosystem conversion from condition A to B may be considered acceptable considering
the fact that organic matter from outside an agronomic landscape (such as livestock urine
and dunk including compiled weeds) to some extent may slow down decomposition of the
existing organic matter in the peat layer. A change from A to a poorer condition C (with
only recycling of leaves & twigs described as dotted lines in the system) could eventually
cause divergent disequilibrium, leading to catastrophic failure and socio-economic tragedy.
Peatland forest fire, causing extremely high temperature and loss of peat soil is a case in
point, bringing economic disaster to a region and its community.
Given the fact that various types of ecosystem, wetland forest in particular, are getting
more vulnerable while the associated natural resources are getting much scarce, then a
set of LCD principles of resource development is extremely important to be applied. The
2020 Covid-19 tragedy has shed some lights on this important issue. In every ecosystem
development there would be a set of intrinsic endowment that require a status quo to be
sustained naturally. A better way to maintain intrinsic endowment is to apply scientific
principles of LCD, which conceptually consist of 9-positive (with uppercase) versus 9-negative
(with lowercase) technical approach.
In order to maintain natural process of Carbon abatement and minimize any action
to waste Carbon element out of its biochemical compound and natural status.9 A natural
system could be enriched every day by sunshine nurturing food web and strengthening role of
biodiversity within the ecosystem. Conversely speaking, as an ecosystem has lost much of its
ecological function and natural attributes, some of the existing food chains are being destroyed
likewise. A 3x3 matrix table consist of 3 types of action (action C1,2,3 or c1, 2 &3) and 3
categories of land use management aspects (1.Bio-geophysical, 2. Socio-anthropological, and
3. Political-economy aspects). Precisely; they are as classified in this paper, the 9-positive
actions are 1.1).C-Sequestering; 2.1) C-Up grading; 3.1) C-Storing; 1.2) C-Collaborating;
2.2) C-Harmonizing; 3.2) C- Recycling; 1.3) C-Economizing; 2.3) C-Certifying; and 3.3)
C-trading; just as the 9-negative actions are 1.1) C-burning; C-downgrading; C-dissipating;
C- scrambling; C-converting; C- dispersing; C-competing; C-punishing, and 3.3) C- down
grading. The C-Uppercases are considered to be a set of LCD actions.

Local

Vir

Notice that the 3x3 matrix on the yellow box actually contains 9 x 2 status of Carbon
9
COV
compound due to each particular development process.

502 Ekonomi Pertanian Effective Institutional Policy for The


Schematic Model 2. The Importance of Low-Carbon Development (‘LCD’) Commitment” An Axiom
Learned from The Tragedy of Pandemic Covid-19 and Its Implication to Future Development Need
for Healthier Agro-ecosystem in An Hydrological Unit of Wetland Ecosystem (‘HUWE’) Entity (F.
Sjarkowi, 2020)

Developing agro-ecosystem in accordance with LCD principles could certainly maintain


the landscape utilization sustainably productive, and visa- versa. A logical consequence of
the negative approach then species dominance would occur, that would trigers millions of,
say, grasshoppers appeared. It is not impossible if lcertain population of microorganism
appear to act as decomposer of the dead grasshoppers eventually, and that becomes a reason
of how a kind of local Corona virus would possibly born. This local C-virus might any time
ready to be in contact with the imported Wuhan Covid-19 to form a less lethal new variant
of local Covid19. In the future, worsening environmental condition bio- geo-physically and
socio anthropologically might occur with more sensitive response and so a particular agent
of disease must be anticipated.

C. Concluding Remarks
Partnership among nations is clearly needed for effective and efficient efforts to tackle future
SDG’s problems leading to enhancing nations well-being as the ultimate goal. Assuming
that millions of wetland ecosystem in some ASEAN countries needed in larger portion to be
converted into agro-ecosystem landscape, then the countries have to determine 2-starting
points of concern: 1) Focus on the most challenging problem that urgently needs solution
(e.g. potential problem of hunger); 2) Focus on particular natural resource base (e.g. a
portion of remaining wetland ecosystem) that each country ready to allocate. Subsequently,
l Corona 3) Collaborative efforts should be focused on innovative sciencetech inquiry and appropriate
rus & programs planning to tackle root of the main problem as trigger to overcome all other
existing problems.
VID19:

Lampiran 503
Partnership among nations is clearly needed to tackle future SDG’s problems by way of
effective and efficient collaboration leading to enhancing nations well-being as the ultimate
goal. Assuming that millions HAs of wetland ecosystem in some ASEAN countries needed
in larger portion to be converted into agro-ecosystem landscape, then the countries have
to determine 2-starting points of concern: 1) Focus on the most challenging problem that
urgently needs solution (e.g. potential problem of hunger); 2) Focus on particular natural
resource base (e.g. a portion of remaining wetland ecosystem representing types of HUWE)
that each country ready to allocate.

References
R. C. O’Reilly, “Biologically based computational models of high-level cognition,” Science
(80-. )., vol. 314, no. 5796, pp. 91–94, 2006.
S. Rajagukguk, S. Yang, C.-A. Yu, L. Yu, B. Durham, and F. Millett, “Effect of Mutations in
the Cytochrome b ef Loop on the Electron-Transfer Reactions of the Rieske Iron− Sulfur
Protein in the Cytochrome bc 1 Complex,” Biochemistry, vol. 46, no. 7, pp. 1791–1798,
2007.
L. R. Rambo, “Current research on religious conversion,” Relig. Stud. Rev., vol. 8, no. 2, pp.
146–159, 1982.
S. E. Page, R. A. J. Wűst, D. Weiss, J. O. Rieley, W. Shotyk, and S. H. Limin, “A record of Late
Pleistocene and Holocene carbon accumulation and climate change from an equatorial
peat bog (Kalimantan, Indonesia): implications for past, present and future carbon
dynamics,” J. Quat. Sci., vol. 19, no. 7, pp. 625–635, 2004.
F. Sjarkowi, “Social-entrophy system approach (SESA) towards sustainable manage-ment of
a peatland forest ecosystem in Central Kalimantan (Indonesia),” 2002.
F. Sjarkowi, Socio-Entropic Controlling Interface (SECI) An Applied Theory On SocialPartnership
Endeavor. Penerbit: Baldad Grafiti Press, 2017.
H. Nguyen, “A Study of the Drivers of Land Use Change in the Ha Tien Plain,” 2017.
M. Gharibreza, J. K. Raj, I. Yusoff, Z. Othman, W. Z. W. M. Tahir, and M. A. Ashraf, “Land
use changes and soil redistribution estimation using 137Cs in the tropical Bera Lake
catchment, Malaysia,” Soil Tillage Res., vol. 131, pp. 1–10, 2013.
J. A. Greenwood, J. M. Landwehr, N. C. Matalas, and J. R. Wallis, “Probability weighted
moments: definition and relation to parameters of several distributions expressable in
inverse form,” Water Resour. Res., vol. 15, no. 5, pp. 1049–1054, 1979.
M. Colin and C. L. Sien, Too rapid rural development: perceptions and perspectives from Southeast
Asia. 1982.
R. Severino, ASEAN Rises to the Challenge. ASEAN Secretariat, 1999.
R. C. Severino Jr, “ASEAN Faces the Future,”Rodolfo C. Sev. Jr, p. 240, 2001.
CIMTROP, 2005. “Seminar and Workshop Papers. Proceeding on Fieldwork Team Reports
on Peatland Restoration and Management Reesearch in Central Kalimantan”; held in
Jogyakarta. University of Palangkaraya, Kalimantan Tengah.
E. B. Barbier, M. Acreman, and D. Knowler, “Economic valuation of wetlands: a guide for
policy makers and planners,” 1997.
F. Sjarkowi, Agro Ekosistem Lahan Basah Lestari. Baldad Grafiti Press, Edisi I. Palembang, 2014.
F. Sjarkowi, “Public and Private Partnership for Sustainable Resource Use Initiative
(Strategically Comprehensive Management To Back Up Formal Status of The ‘Cagar

504 Ekonomi Pertanian


Biosfir Berbak-Sembilang’ as Another Targeting Site for The World Biosphere),” in IOP
Conference Series: Earth and Environmental Science, 2019, vol. 298, no. 1
S. M. Fatika, S. Fachrurrozie, S. Novita, “Chayanov’s Syndrome As Faced By ‘BAP Agribusiness
Corporation and The Peasant Communities Living In and Nearby The Forestry Estate
Concession” Russ. J. Agric. Socio-Economic Sci., vol. 78, no. 6, 2018.
J. Jauhiainen, J. A. Seminar paper “ On Bio-geophysical Aspect of Peatland Restoration
and Mangement”. Fieldwork Team Reports on Peatland Restoration and Management
Reesearch in Central Kalimantan”; held in Jogyakarta. University of Palangkaraya,
Kalimantan Tengah.
F. Sjarkowi, Manajemen Niagaperta Kerakyatan ; Mempertautkan Hubungan Organik Kinerja Orang
Tani Pedesaan dan Kinerja Pengusaha Agribisnis Maju di Bumi Nusantara, 1st ed. Palembang:
Unsri Press, 2020.
F. Sjarkowi, Ekonomi Sumberdaya Alami &Lingkungan. B-GPress, Palembang, 2004.

Lampiran 505
LAMPIRAN ARTIKEL 3

Economic Valuation of Biodiversity Resources in the Coastal Zone of South Sumatra


By Fachrurrozie Sjarkowi, Ph.D.
Environmental Study Center; University os Sriwijaya, Palembang, Indonesia

Abstrak
Pepatah nusantara “tak-kenal maka tak sayang” agaknya perlu diberlakukan terhadap
ekosistem lahan basah di mana pun tak-kecuali yang ada masih tersisa 700.000Ha luasnya
di kawasan pesisir timur Sumatera Selatan (KPTSS) dan belum banyak dipahami potensi
manfaatnya. Tanpa pemahaman itu maka manusia pembangunan termasuk para pengambil
keputusan tentu merendahkan dan meremehkan kadar nilai aset alami di kawasan KPTSS
itu. Tanpa mengerti nilai, maka tindak manusia pembangunan akan terbuai manja oleh
kekayaan alam, sekedar bertumpu pada Ipteksi alakadarnya serta jauh dari keluhuran etika
lingkungan. Akibatmnya hampir pasti, yaitu rusak bahkan punahnya potensi SDA beserta
wadah ekosistemnya, dan berbagai dampak negatif yang merugikan akan muncul, semisal
ratusan titik api dan asap KLBH (kebakaran lahan dan bentangan hutan), berkurangnya
sumber nafkah dan pendapatan warga setempat, sehingga muncul beraneka masalah konflik
sosial serta gangguan kriminalitas terhadap manusia maupun alam.
Keywords: Biodiversity, ecological value, economic value, Sumatra, marine habitats, wetlands.

A. Introduction
Biodiversity resources based products are widely considered to be the future Indonesian
export commodities, on the basis of which the country will enjoy a ompetitive advantage
and become potentially efficient in production. Efforts to boost anual economic growth,
however, have often taken place provincially at the expense of biodiversity resources. In the
eastern wetland zone of South Sumatra the problem has been characterized by persistent
conflicts of interest among businesses, NGOs, local people and the provincial goverment.
It has become apparent, that only when environmental conflicts have been resolved can
economic development be maximised.
This paper presents an estimates of the full economic value of bio- diversity resources
in the marine and coastal zone of South Sumatra, and which maybe relevant elsewhere.
This area is presently under pressure from The Powerful who wish to make substantial
economic gain out of various current and proposed business activities. Future utilization
and conservation efforts to protect peat swamp and mangrove forest must take account
of the full economic potential of these ecosystem. Otherwise, wasting natural resources
could certainly followed by various environ- mental tragedies (such as peat fire that causes
smoke and haze problems, and river flooding likewise) that would reduce overall values of
development achevements.

B. Biodiversity resources in South Sumatra


Biodiversity resources are believed to be the most valuable assets to support future economic
development in Indonesia. This particular group of natural resources are found in abundance,
for example, in the marine and coastal zone of South Sumatra. This province covers an area

506 Ekonomi Pertanian


of 10,925,400 ha of land in total;10 it is located in the equatorial zone, between 1o and 4o
South of the equator and between latitudes 102o and 108o Est. The region is characterized
by a wet, tropical cimate with annual rainfall ranging from 1,500 to 3,200 mm.
The eastern part of mainland South Sumatra is separated from Banngka and Belitung
islands by the strait of Bangka (Sjarkowi et al., 1988). Out of approxinately 3 Mha of coastal
wetland in the provice, not less than 2 Mha (from the southern part towards the east coast) is
still undeveloped forest land which strongly influences the richness of the marine life in the
Bangka Strait. Even though only about 300,000 ha of the forest land can still be considered
as virgin swamp forest, biodiversity resources in the region are considerable and have the
potential to support future economic activities.
There are four types of wetland forest ecosystem in the coastal zone of east and South
Sumatra:
1. Freshwater swamp forest;
2. Mixed peat swamp forest;
3. Brackish-water swamp forest; and
4. Mangrove forest.

Certainly these 4-types of wetland ecosystem are geographically border-less to each


other. In particular when vegetation that covers an ecosystem already removed, any flow of
water from either direction (up and down sea tiding or getting down stream of fresh water)
could freely cross over the neighboring ecosystems and bring with it organic and inorganic
substances to influence lifes in the habitats. In fact, during prolonged dry season that badly
influenced by el-Nino the sensitive and vulnerable peatland ecosystem might easily get
burned while transmitting the spot of fire including smoke and haze to the neighbouring
ecosystem. Both fire and smog could eventually kill and paralize individual species of fauna
and flora in the affected ecosystem.
In the coastal area there are about 35 commercial tree species plus many more potentially
commercial plants, 138 species of birds, 69 species of reptiles, 51 species of crustacea, 23
species of fish and 4 species of reptiles have been listed as endangered species urging for
their protection under Indonesian law. The marine life of Bangka Strait is also rich, where
about 37 species of commercial fish, 73 species of crustacea and two species of turtle, all of
which are exploited (Danielsen & Verheugt, 1990).
The local people have always taken advantage of this biodiversity. The utilization of
these resouces, however, has been intensified by the use of mechanical equipment and the
activities of some large and medium scale logging companies which operate concessions in the
peat swamp forest have resulted in the loss of biodiversity. In the absence of environmentally
sound management as well as strategic and strong legal control, these activities threaten
the ecosystem and the existence of their flora and fauna.

C. Ecological importance and economic valuation


It is important to note that several conflicts of interest have already characterized the
progress of economic development in the wetland zone of South Sumatra; illegal longging
in the Sugihan wildlife forest reserve is one example. The environmental problems should
certainly be overcome before further losses take place and become irreversible, regardless of
subsequent management input. The root of the problem is interwined with the attitude of

10
Including 1,2 million hectares covers the islands of Bangka and Belitung altogether.

Lampiran 507
the parties involved since they each give different economic values to the natural resource
potential of coastal and marine ecosystem. For this reason, each biological resource has
to be considered in terms of its full pricing value, and economic valuation using methods
environmental economy has to be carried out for each ecosystem & biodiversity resource.
Estimates of biodiversity values based on available data and calculated using a shadow pricing
method are provided in Table 1 below.
As one may see in Table 1, the estimated economic value per-HA of potential benefit
that could be obtained from each ecosystem is quite a small value as seen as local government
revenue. However, it is quite a signifficant income as seen in terms of local livelihood that
usually become object of daily struggle of people who live in the coastal region. The tendency
of government officials of Kabupaten (district) level is then to deliver concession permit in
large scale unit of peatland ecosystem (5000 HAs or 10.000 Has up to 15.000 HAs to each
investor on Oilpalm Estate) for the sake of formal other than informal or illegal tax revenue.
Consequently the following cases are likely to occur unexpectedly:
1. The allocated land acreages often include some areas that are supposed to be protected
due to its importance for nature conservation .
2. The danger of land and forest fire increases as hot spot at one point nearby rural
settlement may easily spread over to the ecosystem.
3. The case of spreading peatland fire quickly and heavily produces smoke and haze that
cause complaints from neighboring provinces & states.
4. The phenomena of wasting biological and geophisical resources could become severe
when abnormal wheather of el-Nino exist in a particular year.
5. The end result of all is that various environmental tragedies would follow and bring
with them huge economic losses to the people and the region.
Table 1. Full pricing of biodiversity resources values (BRVs), based on five categories of
ecologicalvalue for different ecosystem in the eastern coastal zone of South Sumatra
(values given are equalized in 2015 Rupiah)

[ ] x 1000/ha/year; based on data in Annex table 1


1 Direct use value 3 Option value 4 Bequest value
2 Indirect use value 5 Existence value (Pearce & Moran, 1994)

508 Ekonomi Pertanian


It is interesting to note that the true value of the biodiversity resources and their
ecosystem in the study area are extremely high, even though these calculations are based
on an underestimate of the biodiversity resources, insufficient secondary data and the
use of a simple environmental economic calculation. This becomes clearer when the data
are analysed further (Table 2).The information in Table 2 implies that a large amount of
money has been wasted as a result of environmentally unsound development in the coastal
zone of South Sumatra. Conventional management which allows exploitative logging in
the remaining peat swamp forest can generate only about 1.2 MRp ha-1 yr-1, whilst non-
exploitative biodiversity resources
Amount to 12.21 MRp ha-1 yr-1 (this figure includes use and non-use values) which may
be considered as lost from year to year. In fact, the oil palm agri-business generates a relatively
low revenue (2.7 MRp ha-1 yr-1) compared to the income from HTI-Bakau (environmentally
sustainable mangrove plantation) of 14.2MRp ha-1 yr-1. It is not recommendable, however,
to remain vergin but rich biodiversity resources completely untapped commercially.

Table 2. Agribusiness revenue under different management system, taking into consideration
total values of biodiversity resources (equalized values in 2015, Indonesian Rp)

* Forest business industry (for example, HTI-Bakau (mangrove plantation) for mangrove forest which
maintains the existence of original plants; the figures obtained by using the Sinking Fund factor (Gittinger,
1984) based on an interest level of 10% an eight year harvest, wood production of 82 m3 ha-1 (Anon., 1993)
and a wood price of Rp 200,000 m-3 for HTI-Bakau and Rp 250,000 m-3 for other timbers
**Based on Daswir (1985) in Sjarkowi (1994) with a price assumption for oil palm fruits of Rp 170 bag-1
***Based on data from the Fishery Office, Bangka (17 July, 1995)

D. Conclucion
In order to generate the maximum economic benefit from the marine and wetland coastal
zone of South Sumatra, environmentally compatible management of its biodiversity resource
potential is urgently required. Integrated and holistic management approaches are essential;
otherwise sustainable development within the region will simply be a dream. Shortly speaking
the watland areas actually need more science and technology

Lampiran 509
Bibliography References
Anon. (1993) Pengolahan Hutan Lestari untuk Kelangsungan Industri Chip.PT. Bina Mandah
Pratama Chip Industries da Yayasan Mangrove.
Danielsen, F. & Verheugt, W. (1990) Integrating Conservation and Land- Use Planning in the Coastal
Region of South Sumatra, Indonesia. PHPA AWB-Indonesia, Bogor, Indonesia.
Gittinger, J.P. (1984) Economic Analysis of Agricultural Projects. EDI series in Economic
Development. The John Hopkins University Press, Baltimore, USA.
Mulia, F., Hidayat, T. & Priyanto, G. (1992) Pembangunan HTI Mangrove di PT Ciptamas Bumi
Subur Air Sugihan-Sumatra Selatan. PT Ciptamas Bumi Subur, Palembang.
Pearce, D. & Moran, D. (1994) The Economic Value of Biodiversity. Earthscan Publications,
London.
Sjarkowi, F. (1994) Agribisnis Berwawasan Lingkungan; Kiat Pembinaan di Tingkat Mikro dan Makro.
University of Sriwijaya, Indonesia. 297 pp. Sjarkowi, F., Verheugt, W. & Dirschl, H.
(1988) Coastal Zone Environmental Planning in The Straits of Malacca. Proceedings of The
Technical
Workshop, “Towards Sustainable Development”, EMDI-Kantor Menteri Negara KLH.

510 Ekonomi Pertanian


Annex

Table 1. Five categories of ecological values for biodiversity resources in the coastal zone of South
Sumatra, specified by ecosystem

Lampiran 511
[Halaman ini sengaja dikosongkan]
INDEKS

B Aktip, 159, 167


Biaya, 27, 32, 33, 34, 35, 37, 40, 41, 47, 48, Ancaman, 269
50, 51, 54, 56, 128, 266, 337, 354, 384, BUKD, 6, 20, 21, 22, 50, 51, 55, 58, 83, 85,
412, 471, 481 108, 109, 111, 114, 116, 132, 133,
Biaya-Abai, 47 134, 135, 138,
BMT, 51, 55, 116, 135, 139, 140, 141, 267, Berkelanjutan, 5, 62, 407, 408, 498
319, 328, 331, 333, 334, 335, 337, 338, Biaya, 2, 82, 86, 87, 88, 89, 92, 93, 95, 96,
339, 340, 348, 349 102, 103, 105, 106, 108, 111, 185, 324,
Agroindustri, 1, 15, 77, 84, 159, 165, 229, 396, 414, 444, 472, 534, 545
260, 289, 325, 347, 356, 445, 476, Biaya Produksi, 2, 82, 86, 89, 93,396
478, 481
Agribisnis Perhutanan, 4, 287, 305
Agribisnis Perikanan, 4, 259, 266
Agribisnis Peternakan, 4, 259, 269
C
Agroindustri, 2, 3, 4, 5, 55, 69, 133, 139,
Cagar Usahatani, 1, 23
216, 221, 287, 318, 347, 384, 407, 416,
506, 539, 541, 544 CALO, 308
Agrotrisula, 137, 175, 176, 227, 266, 267, Community Development, 206
355, 389, 460, 21, 34, 42, 43 Concluding Remarks, 560, 571, 37
Alam, 2, 55, 57, 60, 5
Agroindustri Rumahan, 165 E

513
A. Sosial-Budaya, 21 Inovasi, 9, 88, 231, 235, 236,
E. Sosial-Ekologi, 21 Intensifikasi, 339
E. Sosial-Ekonomi, 21 Eksploitasi Bilateral Ilmu Ekonomi, 62, 69, 79, 95, 125, 126, 433
Monopolistik, 418 Inovasi, 63, 144, 289, 293, 294, 295, 301,
Ekstensifikasi, 433 304, 506, 548, 45, 46
El-Nino, 45, 279, 330, 362 Inovatip, 4, 142, 264, 287, 288, 291, 349,
350, 430, 487, 506, 510, 529
Entropi, 21, 154, 248, 344
Input, 8
Entropi Sosial-Psikologis, 21
Ekonometrika, 93
J
Ekonomi, 2, 3, 4, 5, 55, 57, 61, 69, 76, 79,
95, 102, 104, 109, 111, 118, 125, 126, Jangka, 413, 441
132, 150, Jarak, 17
Ekonomi Kerakyatan, 5, 502, 536
Ekonomi Kesejahteraan, 61 K
Ekonomi Mikro, 61, 235 Kajian Manajemen Audit, 461
Ekonomi Pertanian, 2, 69, 79, Kelayakan, 5, 407, 409, 432, 434, 440, 442,
Elastisitas, 2, 82, 95, 118, 126, 469
Elastisitas Penawaran, 2, 82, 95 Kemakmuran Desa, 5, 407
Energi Limbah, 4, 259, 273
Etimologis, 2 Kemitraan,

Kepadatan Penduduk, 2, 133,


G 144
Godaan, Kesejahteraan, 4, 136, 330, 343
Gufaat, 63, 65, 66, 378 Keunggulan, 2, 5, 102, 106, 116,
Gunnar Myrdal & Theodor Dams, 153 229, 407, 508, 539
Guna, 89, 126, 127, 172, 224, 244, 246, 354, Keuntungan, 2, 82, 111, 367
395, 451, 540
Kinerja Pasar, 314
Kinerja Pasar, 373
H
Klinik Bisnis Inovatip, 291 Klinik Bisnis,
Harga Dasar, 179 107, 249, 350
Hilirisasi Berstruktur Kontrak, 228 Klinik Bisnis, 52, 192, 291
Hakikat, 201, 478, 535, 551 Komersial, 379, 401, 437, 438
Harga, 2, 3, 118, 120, 123, 138, Komersial, 439, 498, 499
Harga Transaksi, 3, 151, 152, 156, 159, 164, Komoditi Andala, 29, 232
166
Komoditi Andala, 3, 83, 169, 173, 289
Komoditi Andalan, 3, 83, 169, 173, 289
I
Komoditi Primer, 2
Ilmu Ekonomi, 7, 15, 25, 41, 70, 71, 374
Komoditi Sampingan, 104
Income, 21, 22, 37
Komoditi, 2, 3, 82, 83, 104, 113, 118, 124,
Inkubator Bisinis, 52 163, 169, 173, 178, 183, 185, 200, 207,
Inkubator Bisnis Kreatip, 291 223, 289, 292, 355, 501, 502, 528, 45,

514 Ekonomi Pertanian


46 NTS, 299, 300, 320
Konsepsi, 1, 2, 3, 5, 81, 82, 97, Neraca, 375
Konsumen Adalah Raja, 178 Kreasi, 9 Niagaperta, 573
Kreatip, 229, 260, 261, 262, 263, 291, 370 Nilai Laba, 2, 102, 103
KUBE, 87, 111, 132, 133, 204, 206, 209, 210, Nilai Penerimaan, 104, 105
274, 317, 325, 326, 332, 349, 435, 444 Nilai Tabungan, 2, 102, 103
Kurva Penawaran, 103 Nilai Tambah, 108, 506
Kurva permintaan, 121
O
L Objek, 188
Laba, 31, 37, 40, 50, 233, 266, Objek Wisata, 188
316, 384
La-Nina, 164, 279, 330 P
Limbah, 29, 49, 120, 201, 216, 358, 370 PAJALE, 73, 221, 222, 355
Logika, 37, 98, 122, 150, 167, 265, 270, 287, Pasar, 1, 8, 44, 63, 67, 83, 95, 97, 103, 110,
303, 308, 375, 378, 395 175, 179, 192, 213, 229, 244, 255, 261,
Lompatan, 370 262, 263, 314, 331, 379, 382
LPPM, 11, 171, 192, 194, 245, 291, 292, 354 Patok 5-V, 297
Lingkungan Perkotaan, 3, 215, 216 Pedagang Perantara, 308
Lintas, 301, 400 Pembiayaan, 39, 117
Penerima Harga, 344
M Peristiwa Ekonomi, 323, 324, 347, 348
Manajemen Bisnis, 134 Permintaan, 63, 66, 67, 71, 73, 77, 79, 83, 84
Manfaat, 118, 384, 385, 392, Petugas, 307, 315
449 PHK, 73
Marjin Pemasaran, 95, 100 Plumeria, 285
Misi, 228, 332 Prasyarat, 140, 323, 324, 379
Monetisasi Desa, 422 Presisi, 10
Monopoli, 484 Price Takers, 344
MRPA, 325 Produk Olahan, 47, 52, 63, 69
Muchtadi, 154, 238, 485 Produktip, 135, 142, 214, 376, 377
Produktivitas, 9, 177, 207, 400, 403, 409, 422
N
NBPH, 158 R
Nilai Penerimaan, 49, 50 Rantai Pasok, 14, 112, 325, 343
Nilai Tambah, 53, 445 NPM = Upah, 56 Resiko, 296, 431
NTC, 299, 300, 301 Revenue, 270, 410, 493
NTI, 299, 300, 305
NTM, 299, 300, 309 S
NTO, 299, 300, 316 SIKLUS HIDRO-OROLOGI, 46

Indeks 515
STP, 148, 237, 289, 290, 291,
292, 349, 448
Struktur Interaksi Sosial, 349

T
Tantangan, 188, 210, 227, 412,
440, 441, 473
Tim, 139
Tradisional, 83
Turun, 253, 312

U
Unggulan, 29, 113, 117, 175,
182, 243, 245
Usahatani, 1, 7, 8, 17, 20, 23, 27,
39, 112, 135, 142, 156, 328,
480

W
Waktu Abai Peluang, 105
Waktu Ada Krisis, 106
Wirausaha, 9, 328, 436
Y
Yang Menerangkan, 44

Z
Zaman, 403, 537
Zero-sum game, 390

516 Ekonomi Pertanian


BIODATA PENULIS

Penulis adalah Guru Besar dalam bidang Ilmu Ekonomi Sumber


Daya Alami & Agribisnis. Studi tingkat sarjana muda
diselesaikannya di FP-Unsri (1973) dan seterusnya
menyelesaikan S-1 di IPB program afiliasi (1976). Sempat
belajar 3 bulan di LSPK-UGM (1977) sebelum lanjut ke Oxford
University UK (1979 –1980) program S-2 bidang Agricultural
Economics. Gelar Ph.D diterimanya dari University Resource
Economics, lalu program Post Doctoral di bidang Environment
Management & Sustainable Development diikutinya di
University of Tennesse, USA (1974).
Penulis juga berpartisipasi sebagai mitra peneliti internasional yang bergabung
dalam CIMTROP Universitas Eropa dan juga CSIRO Australia. Beliau juga jadi
pelaku riset untuk rehabilitasi LG Sejuta Ha Kalimantan Tengah, reklamasi waduk
merdeka Kutai Kertanegara (Kaltim), selain ikut penelitian sosek pertanian di
Provinsi Bone-bone Sulsel, Pemali-Comal Jateng, kolong pasca-Tambang Babel,
Jambi, Lampung, dan di hampir semua kabupaten & kota di Sumatera Selatan.
Pernah jadi kepala PPLH-Unsri (1987–1997), aktif sebagai Ketua Jaringan TOT
Agribisnis untuk dosen PTN & PTS se-Sumatera dan Kalbar (1988–1990); juga

Indeks 517
sebagai Ketua PBSI se-Indonesia (1991–1992). Juga menjabat Kepala Bapedalda,
BKPMD & Koperasi, Bapedda Pemprov Sumsel (2000–2004). Dipercaya selaku
Ketua DRD (Dewan Riset Daerah) Sumsel mima DRN (2008–2018). Sempat pula
menjabat Rektor Universitas Musirawas (2017–2021) dan anggota TGUPP Pemprov
Sumsel (2019–2022), serta Ketua Dewan Pengarah FU3SS (Forum Ukhuwah Ulama-
Umaro Sumatera Selatan; (2022–2024).

518 Ekonomi Pertanian

Anda mungkin juga menyukai