Anda di halaman 1dari 1

Kuping Ternyaman

Pandu sudah bosan dengan orang yang selalu berbicara dan selalu ingin didengar. Menurutnya,
kehidupan dewasa menjadi semakin menyebalkan. Ia lelah harus berpura-pura mendengar boss yang
memarahi setiap karyawan, termasuk dirinya. Ia Lelah mendengar pacarnya yang banyak mau dan selalu
nuntur. Sampai akhirnya, ia meninggalkan ini semua.

Ia pergi ke kampung halamannya yang sudah tak in kunjungi hampir dua tahun lamanya. la pun sudah
jarang menelpon ibunya untuk sekadar menanyakan kabar, hanya kiriman uang sebagai kewajibannya.
Di pekarangan rumah yang teduh itu, seorang Ibu terduduk lemas di kursi roda. Ia tak sanggup berdiri
karena kakinya tak mampu menopang badan. Panca langsung menghambur dan memeluk ibu dengan
tangis yang pecah.

"Ibu, maafkan Pandu." Ibu hanya memeluk Panca dengan lebih erat sambal mengusap kepala anaknya.

"Kamu kenapa, Du? Ada yang pengen kamu ceritain?"

Tangis Pandu semakin deras membasahi rok batik ibunya. Pelan-pelan ia ceritakan kegelisahan yang ia
alami di kota. Baik itu tentang pekerjaan, kisah cintanya, dan kehidupannya yang tak sedamai di
kampung. Ibu hanya memeluk dan terus mengelus kepala anak lanang satu-satunya itu.

Pandu merasa, di sinilah ia merasakan tempat ternyaman. Kuping ternyaman yang tak menuntut dan
mengutuk apapun. Ibu selalu sabar menghadapinya, bahkan ia sendiri jarang mendengar suara ibu,
walaupun hanya dari telepon. Baginya, Ibu adalah sumber kenyamanan sekaligus menjadi inspirasi
dalam menjalani hidup agar selalu tenang dan merasa cukup.

Hari itu, mereka tutup dengan lauk ikan asin serta sambel goreng. Tak lupa dengan cerita-cerita Ibu yang
selalu menghibur Pandu sejak ia masih duduk di bangku SD. Pandu merasa itulah hari di mana ia hidup
kembali.

Anda mungkin juga menyukai