Anda di halaman 1dari 6

Diṭṭhi (Pandangan atau Teori Ajaran)

Buddha menjelaskan tentang 62 pandangan (diṭṭhi) yang banyak dianut oleh orang di dunia,
yaitu :

1. 18 Pandangan masa lampau (Pubbantanudiṭṭhino)


• Empat pandangan kepercayaan atta dan loka adalah kekekalan (sassata diṭṭhi).

1. Sebagian petapa dan brahmana yang mampu menginggat kehidupan


lampaunya pada 1,2,3,4,5,10,20,30,40,50,100,1000,beberapa ribu atau
puluhan ribu kehidupan yang lampau berpendapat bahwa “atta adalah kekal
dan loka tidak membentuk atta yang baru, itu tetap bagaikan puncak gunung
karang, atau bagaikan tiang yang kokoh kuat, dan walaupun makhluk-makhluk
berpindah, mati, dan terlahir kembali dari satu kehidupan ke kehidupan yang
lain, namun demikian mereka itu tetep kekal selamanya.”
2. Sebagian petapa dan brahmana yang mampu menginggat kehidupan yang
lampau pada 1,2,3,4,5,10 kali masa bumi berevolusi berpendapat bahwa “atta
adalah kekal dan loka tidak membentuk atta yang baru, itu tetap bagakan
puncak gunung karang, atau bagaikan tiang yang kokoh kuat, dan walaupun
makhluk-makhluk berpindah, mati, dan terlahir kembali dari satu kehidupan
ke kehidupan yang lain, namun demikian mereka itu tetep kekal selamanya.”
3. Sebagian petapa dan brahmana yang mampu menginggat kehidupan lampau
pada 10,20,30,40 kali masa bumi berevolusi berpendapat bahwa “atta adalah
kekal dan loka tidak membentuk atta yang baru, itu tetap bagaikan puncak
gunung karang, atau bagaikan tiang yang kokoh kuat, dan walaupun makhluk-
makhluk berpindah, mati, dan terlahir kembali dari satu kehidupan
kekehidupan yang lain, namun demikian mereka itu tetep kekal selamanya.”
4. Beberapa petapa dan brahmana yang berlandaskan pada pandangannya pada
pikiran dan logika saja pada kesangupannya saja berpendapat bahwa “atta
adalah kekal dan loka tidak membentuk atta yang baru, itu tetap bagaikan
puncak gunung karang, atau bagaikan tiang yang kokoh kuat, dan walaupun
makhluk-makhluk berpindah, mati, dan terlahir kembali dari satu kehidupan
kekehidupan yang lain, namun demikian mereka itu tetep kekal selamanya.”

• Empat jenis kepercayaan dualisme pada kekekalan dan ketidak-kekelan (ekacca


sassata ditthi).

5. Pada suatu waktu ketika berakhirnya suatu masa yang lama sekali bumi mulai
berevolusi, ketika hal itu terjadi alam brahma terlihat sepi dan kosong. Ada
makhluk dari alam dewa abhassara yang masa hidupnya atau pahala kamma
baiknya habis. Ia meninggal dari alam dewa abhassara dan terlahir di alam
brahma. Dia hidup ditunjang dengan kekuatan pikiran yang diliputi keinginan,
berkeinginan agar ada makhluk lain yang datang dan hidup bersamanya, pada
saat itu ada makhluk yang masa hidup dan pahala baiknya habis dan terlahir di
alam brahma. Makhluk dari alam brahma yang pertama berpendapat ”saya
brahma, maha brahma, maha agung, maha tahu, penguasa, tuan dari semua,
pencipta, penentu tempat bagi semua makhluk, semua makhluk adalah
ciptaanku”. Setelah ada beberapa makhluk yang meninggal, dari alam brahma
dan terlahir di alam manusia, hidup menjadi petapa hingga mampu mengingat
kehidupannya yang lampau dia berkata “dialah brahma, maha brahma, maha
agung, maha tahu, penguasa, tuan dari semua, pencipta, penentu tempat bagi
semua makhluk, semua makhluk adalah ciptaannya”. Dia tetap kekal dan
keadaannya tidak berubah, ia akan tetap kekal selamanya, tetapi kami yang
diciptakannya dan datang kesini adalah tidak kekal, berubah dan memiliki usia
yang terbatas.
6. Dewa-dewa yang tidak ternoda oleh kesenangan adalah tetap kekal abadi
selamanya. Tetapi bagi yang terjatuh dari alam tersebut, tidak dapat
menggendalikan diri karena terikat pada kesenangan, kita terlahir disini adalah
tidak kekal. Berubah dan usia kita pun terbatas.
7. Para dewa yang pikirannya mereka tidak ternoda dan tidak diliputi perasaan iri
hati pada yang lain, maka mereka tidak cemburu pada dewa yang lain, dengan
demikian mereka tidak meninggal atau jatuh dari alam tersebut, mereka tetap
kekal abadi, tidak berubah sampai selama-lamanya. Tetapi yang memiliki
pikiran yang ternoda selalu diliputi perasaan iri dan cemburu kepada orang
lain, maka tubuh ini menjadi lemah, mati dan terlahir kembali sebagai
makhluk yang tidak kekal, berubah, dan memiliki usia yang terbatas.
8. Yang disebut mata, telinga, hidung, lidah, dan jasmani adalah atta yang
bersifat tidak kekal, tidak tetap, tidak abadi, selalu berubah. Tetapi apa yang
dinamakan batin, pikiran, atau kesadaran adalah atta yang bersifat kekal,
tetap, abadi dan tidak akan berubah.

• Empat pandangan mengenai apakah dunia itu terbatas atau tak terbatas
(Antanantikavāda).

9. Para petapa dan brahmana yang membayangkan dunia ini terbatas, berkata:
“Dunia ini terbatas, jalan yang dibuat mengelilingi dan kami berada dalam
dunia yang nampak terbatas”.
10. Para petapa dan brahmana yang membayangkan dunia ini tidak terbatas,
berkata “para petapa yang menyatakan dunia ini terbatas sehingga jalan dapat
mengelilinginya adalah salah”.
11. Ada petapa dan brahmana yang membayangkan dunia ini ada yang terbatas
dan ada yang tidak terbatas maka mereka berpendapat dunia ini ada yang
terbatas dan ada yang tidak terbatas.
12. Para petapa dan brahmana menyatakan pendapat mereka yang didasarkan pada
argumentasi mereka dan hanya dilandaskan pada kesanggupannya saja
membayangkan dan berpendapat dunia ini adalah bukan terbatas ataupun
bukan tidak terbatas.

• Empat jenis pengelakan yang tidak jelas (amaravikkepikavāda).

13. Ada petapa dan brahmana karena rasa takut dan tidak senang pada kesalahan
yang disebabkan menyatakan pendapat, maka ia akan menyatakan sebuah
pertanyaan yang ditanyakan padanya, maka ia akan menjawab berbelit-belit
dan membingungkan.
14. Ada petapa dan brahmana karena rasa takut dan tidak senang pada kesalahan
yang disebabkan menyatakan pendapat yang terikat pada keadaan batin, maka
ia akan menyatakan sebuah pertanyaan yang ditanyakan padanya, maka ia
akan menjawab berbelit-belit dan membingungkan.
15. Ada petapa dan brahmana yang pandai, cerdik, berpengalaman dalam
berdebat, pandai mencari kesalahan, pandai mengelak, yang menurut
pendapatnya dapat menolak spekulasi orang lain dengan kebijaksanaan
mereka, maka ia akan menyatakan sebuah pertanyaan yang ditanyakan
padanya, maka ia akan menjawab berbelit-belit dan membingungkan.
16. Ada petapa dan brahmana yang bodoh dan dungu. Dan karena kebodohan atau
kedunguannya , maka ia akan menyatakan sebuah pertanyaan yang ditanyakan
padanya, maka ia akan menjawab berbelit-belit dan membingungkan.

• Dua doktrin non sebab akibat (adhiccasamuppanikavāda)

17. Ada petapa dan brahmana menyatakan segala sesuatu terjadi secara kebetulan
dan berpendapat bahwa “atta dan loka terjadai tanpa adanya sebab karena,
dulu ada sekarang ada”.
18. Ada beberapa petapa dan brahmana berpandangan yang didasarkan pada
pikiran dan logika menyatakan pendapat dan argumentasinya dan didasari
pada kesanggupannya berpendapat, “atta dan loka terjadi tanpa adanya sebab.

2. 44 Pandangan yang berkaitan dengan masa yang akan datang


(Aparantakappika)
• Enambelas jenis kepercayaan pada adanya sañña setelah kematian
(uddhamaghatanika sanni vada)

19. Setelah mati, atta tetap ada, tidak berubah dan sadar, dan mempunyai bentuk
20. Setelah mati, atta tetap ada, tidak berubah dan sadar, dan tidak berbentuk
21. Setelah mati, atta tetap ada, tidak berubah dan sadar, dan berbentuk dan tidak
berbentuk
22. Setelah mati, atta tetap ada, tidak berubah dan sadar, dan bukan berbentuk atau
pun bukan tidak berbentuk
23. Setelah mati, atta tetap ada, tidak berubah dan sadar, dan terbatas
24. Setelah mati, atta tetap ada, tidak berubah dan sadar, dan tidak terbatas
25. Setelah mati, atta tetap ada, tidak berubah dan sadar, dan terbatas dan tidak
terbatas
26. Setelah mati, atta tetap ada, tidak berubah dan sadar, dan bukan terbatas atau pun
bukan tidak terbatas
27. Setelah mati, atta tetap ada, tidak berubah dan sadar, dan memiliki semacam
bentuk kesadaran
28. Setelah mati, atta tetap ada, tidak berubah dan sadar, dan memiliki macam-macam
bentuk kesadaran
29. Setelah mati, atta tetap ada, tidak berubah dan sadar, dan memiliki kesadaran
terbatas
30. Setelah mati, atta tetap ada, tidak berubah dan sadar, dan memiliki kesadaran tidak
terbatas
31. Setelah mati, atta tetap ada, tidak berubah dan sadar, dan selalu bahagia
32. Setelah mati, atta tetap ada, tidak berubah dan sadar, dan selalu menderita
33. Setelah mati, atta tetap ada, tidak berubah dan sadar, dan bahagia dan menderita
34. Setelah mati, atta tetap ada, tidak berubah dan sadar, dan bukan bahagia ataupun
bukan menderita

• Delapan jenis kepercayaan pada tidak adanya sanna setelah kematian


(uddahamaghatanikaasaññivāda).

35. Setelah mati, atta tidak berubah dan tidak memiliki kesadaran, dan berbentuk
36. Setelah mati, atta tidak berubah dan tidak memiliki kesadaran, dan tidak
berbentuk
37. Setelah mati, atta tidak berubah dan tidak memiliki kesadaran, dan berbentuk dan
tidak berbentuk
38. Setelah mati, atta tidak berubah dan tidak memiliki kesadaran, dan bukan
berbentuk ataupun bukan tidak berbentuk
39. Setelah mati, atta tidak berubah dan tidak memiliki kesadaran, dan terbatas
40. Setelah mati, atta tidak berubah dan tidak memiliki kesadaran, dan tidak terbatas
41. Setelah mati, atta tidak berubah dan tidak memiliki kesadaran, dan terbatas dan
tidak terbatas
42. Setelah mati, atta tidak berubah dan tidak memiliki kesadaran, dan bukan terbatas
dan bukan tidak terbatas

• Delapan jenis kepercayaan pada adanya bukan sanna pun bukan non sanna
setelah kematian (uddhamaghatanika nevasanni nasaññivāda)

43. Setelah mati, atta tidak berubah dan bukan memiliki kesadaran atau pun bukan
tanpa memiliki kesadaran, dan berbentuk
44. Setelah mati, atta tidak berubah dan bukan memiliki kesadaran atau pun bukan
tanpa memiliki kesadaran, dan dan tidak berbentuk
45. Setelah mati, atta tidak berubah dan bukan memiliki kesadaran atau pun bukan
tanpa memiliki kesadaran, dan berbentuk dan tidak berbentuk
46. Setelah mati, atta tidak berubah dan bukan memiliki kesadaran atau pun bukan
tanpa memiliki kesadaran, dan bukan berbentuk ataupun bukan tidak berbentuk
47. Setelah mati, atta tidak berubah dan bukan memiliki kesadaran atau pun bukan
tanpa memiliki kesadaran, dan terbatas
48. Setelah mati, atta tidak berubah dan bukan memiliki kesadaran atau pun bukan
tanpa memiliki kesadaran, dan tidad terbatas
49. Setelah mati, atta tidak berubah dan bukan memiliki kesadaran atau pun bukan
tanpa memiliki kesadaran, dan terbatas dan tidak terbatas
50. Setelah mati, atta tidak berubah dan bukan memiliki kesadaran atau pun bukan
tanpa memiliki kesadaran, dan bukan terbatas atau pun bukan tidak terbatas

• Tujuh jenis kepercayaan pada anihilasi (ucchedavāda).

51. Ada beberapa petapa dan brahmanna berpendapat dan berpandangan, “atta
mempunyai bentuk (rupa) yang terdiri dari 4 zat (catummahabhutarupa) dan
mrupakan keturunan dari ayah dan ibu, bila meninggal dunia, tubuh menjadi
hancur dan lenyap dan tidak ada lagi kehidupan kembali.”
52. Ada beberapa petapa dan brahmana berpendapat dan berpandangan, “atta tidak
musnah sekaligus karena ada atta lain lagi yang luhur berbentuk, termasuk alat
kesenangan indera (kamavacaro), hidup dengan makanan material
(kavalinkaraharabhakkho), yang kamu tidak tahu atau tidak lihat tetapi saya telah
mengetahui atau telah melihatnya. Dengan demikian setelah meninggal dunia
makhluk itu binasa, lenyap dan musnah.”
53. Ada beberapa petapa dan brahmana berpandangan dan berpendapat,” atta itu tidak
musnah sekaligus karena ada atta lain lagi yang luhur, berbentuk, di bentuk oleh
pikiran (manomaya), semua bagian sempurna, indranya pun lengkap, setelah
meninggal atta musnah dan lenyap. Dengan demikian setelah meninggal makhluk
itu binasa, lenyap musnah.”
54. Ada beberapa petapa dan brahmana berpandangan dan berpendapat,” atta tidak
musnah sekaligus, karena ada atta lain yang melampaui adanya bentuk
(rupasanna) yang telah melenyapkan rasa tidak senang (pathigasanna), tidak
memperhatikan penyerapan-penyerapan lain (nannattasanna), menyadari ruang
tanpa batas (akasanancayatana), setelah meninggal atta musnah dan lenyap.
Dengan demikian setelah meninggal makhluk itu binasa, lenyap musnah”.
55. Ada beberapa petapa dan brahmana berpandangan dan berpendapat, “atta tidak
musnah sekaligus, karena ada atta yang lain lagi yang melampaui alam
(akasanancayatana), menyadari kesadaran kesadaran tanpa batas, mencapai alam
kesadaran tanpa batas (viññanancayatana), setelah meninggal atta musnah dan
lenyap. Dengan demikian setelah meninggal makhluk itu binasa, lenyap musnah.”
56. Ada beberapa petapa dan brahmana berpandangan dan berpendapat,” atta tdak
musnah sekaligus, karena ada atta lain yang melampaui alam (vinnanancayatana),
menyadari kekosongan, mencapai alam kekosongan (akincannayatana), setelah
meninggal atta musnah dan lenyap. Dengan demikian setelah meninggal makhluk
itu binasa, lenyap musnah.”
57. Ada beberapa petapa dan brahmana berpandangan dan berpendapat, “atta tidak
musnah sekaligus karena ada atta lain yang melampaui alam akincannayatana,
mencapai alam bukan pencerapan atau pun bukan tidak pencerapan (n’evasanna
nasannayatana), setelah meninggal atta musnah dan lenyap. Dengan demikian
setelah meninggal makhluk itu binasa, lenyap musnah.”

• Lima jenis nibbāna duniawi sebagai yang bisa diwujudkan dalam kehidupan ini
juga (diṭṭhadhamma nibbānavāda)

58. Ada beberapa petapa dan brahmana berpandangan, “bila atta diliputi oleh
kenikmatan, kepuasan lima indera, maka atta telah mencapai nibbana dalam
kehidupaan sekarang ini. Dengan pendapat yang mereka nyatakan mengenai
makhluk hidup yang dapat mencapai kebahagiaan mutlak dalam kehidupan
sekarang ini.”
59. Ada beberapa petapa dan brahmana berpandangan, “bila mana atta terbebas dari
kesenangan inderia maupun hal-hal buruk (akusala dhamma) mencapai dan tetap
dalam jhana pertama, keadaan yang menggiurkan, disertai perhatian dan
penyidikan (savittaka savicara), maka dengan ini atta mencapai kebahagiaan
mutlak nibbana dalam kehidupan sekarang ini. Dengan demikian mereka
berpendapat bahwa kebahagiaan mutlak dapat dicapai dalam kehidupan sekarang
ini.”
60. Ada beberapa petapa dan brahmana berpendapat, “bilamana atta terbebas dari
perhatian dan penyelidikan, mencapai dan berada dalam jhana II, keadaan pikiran
terpusat dan seimbang , penuh kegiuran dan bahagia (cetaso ekadi-bhava,
vupasamo, piti, sukha) maka dengan ini atta mencapai kebahagiaan mutlak
nibbana dalam kehidupan sekarang ini. Dendan demikian mereka berpendapat
bahwa kebahagiaan mutlak dapat dicapai dalam kehidupan sekarang ini”.
61. Ada beberapa petapa dan brahmana berpendapat, “ bila mana atta terbebas dari
keingginan dan kegiuran, pikiran terpusat, seimbang, penuh perhatian,
berpengertian jelas (sati ca sampajano), dan tubuh mengalami kebahagiaan yang
dikatakan oleh para ariya sebagai keseimbangan yang disertai perhatian dan
penggertaian jelas , mencapai dan berada di jhana III, maka dengan ini atta
mencapai kebahagiaan mutlak nibbana dalam kehidupan sekarang ini. Dengan
demikian mereka berpendapat bahwa kebahagiaan mutlak dapat dicapai dalam
kehidupan sekarang ini”.
62. Ada beberapa petapa dan brahmana berpandangan, “bilamana atta terbebas dari
rasa bahagia dan derita (sukkhassa ca pahana dukkhassa ca pahana) setelah lebih
dahulu melenyapkan kesenangan dan kesedihan (somanassa domanassa) mencapai
dan berada dalam jhana IV, disertai pikiran yang seimbang dan terpusat, tanpa
adanya kebahagiaan dan penderitaan (adukkha asukkham), maka dengan ini atta
mencapai kebahagiaan mutlak nibbana dalam kehidupan sekarang ini. Dengan
demikian mereka berpendapat bahwa kebahagiaan mutlak dapat dicapai dalam
kehidupan sekarang ini”.

Pandangan salah tersebut bermula sebagai akibat dari perasaan yang muncul sebagai akibat
dari kontak yang berulang-ulang melalui 6 landasan indera, menimbulkan

• Pandangan dalam dirinya menimbulkan napsu keinginan.


• Nafsu keinginan menimbulkan kemelekataan.
• Kemelekatan menimbulkan kehidupaan.
• Proses sebab-akibat kamma dalam kehidupan menimbulkan tuminbal lahir.
• Dan tumimbal lahir menimbulkan usia tua, kematian, ratap tangis, kesedihan,
penderitaan, rasa tertekan dan keputusasaan.

Setelah Buddha bersabda demikian, lalu bhikkhu Ananda berkata kepada Beliau: “Bhante,
sangat mengagumkan! Sangat menakjubkan! Apakah nama uraian Dhamma kebenaran ini?”
Buddha menjawab, “Ananda, kau dapat menamakan uraian ini sebagai Atthajala,
Dhammajala, Brahmajala, Ditthijala, atau Sangamavijayo.” Setelah mendengar khotbah
tersebut, para bhikkhu dengan hati yang gembira memuji uraian Sang Bhagava.

Pesan Moral

Setelah mempelajari dan memahami tentang pandangan salah, akan mengetahui mana yang
salah dan yang buruk. Pandangan yang salah harus dihindari dan pandangan benar
dikembangkan untuk dapat mencapai kebahagiaan dan kebebasan. Pengendalian diri penting
dalam berpandangan benar. Pengendalian diri akan muncul jika sering melakukan meditasi.

Anda mungkin juga menyukai