Anda di halaman 1dari 8

1.

Kasus Antasari Azhar

Antasari Azhar, seorang mantan ketua KPK divonis selama 18 tahun lantaran terbukti secara sah dan
meyakinkan melakukan pembunuhan berencana terhadap bos PT Putra Rajawali Banjaran, Nasrudin
Zulkarnain pada 14 Maret 2009.

Kasus ini sempat menimbulkan kehebohan karena Antasari adalah pimpinan lembaga yang sedang
dinanti-nantikan kinerjanya, dan ada pula dugaan rekayasa kasus untuk menjegal karier Antasari. Ini
terjadi karena memang saat menjabat ketua KPK, Antasari dikenal cukup berani untuk menindak
siapapun termasuk saat berupaya membongkar skandal di balik kasus Bank Century dan IT KPU yang
tendernya dimenangkan oleh perusahaan milik Hartati Murdaya. Kasus ini bahkan dibukukan dalam
Konspirasi Antasari, Tim MedPress, 2012.

3. Kasus Nenek Minah dan 3 Kakao

Nenek Minah mencuri kakao di sebuah perkebunan milik PT Rumpun Sari Antan (RSA), Ajibarang,
Banyumas pada tahun 2009. Secara moral, nenek Minah memang salah. Namun, dia melakukan hal itu
dengan alasan yang jelas. Nenek Minah mencuri kakao dengan alasan untuk membeli makanan karena
dia lapar dan tidak memiliki uang.

Nenek Minah tidak membegal motor ataupun merampok toko emas. Nenek Minah hanya mencuri
kakao yang akhirnya menjadikannya harus menanggung hukuman vonis penjara selama 1 tahun 15 hari.
Hukuman yang jauh lebih berat dibanding koruptor yang mengambil uang negara hingga milyaran
rupiah. Hukum memang lebih sering runcing ke bawah. Selama persidangan dengan agenda putusan
berlangsung penuh keharuan. Bahkan ketua majelis hakim, Muslih Bambang Luqmono SH, terlihat
menangis saat membacakan vonis.

4. Pembunuhan Wayan Mirna Salihin dengan Kopi Sianida

Mirna meninggal usai minum kopi di Kafe Olivier, Mall Grand Indonesia, Jakarta Pusat, pada 6 Januari
2016. Jessica Kumala Wongso, salah satu teman Mirna yang pada saat itu datang lebih awal dan
langsung memesankan es kopi buat Mirna menjadi saksi dari kejadian tewasnya Mirna. Setelah polisi
melakukan gelar perkara uji labfor terhadap beberapa barang bukti yang mereka kumpulkan selama
proses penyidikan, sejumlah fakta mengejutkan muncul. Salah satunya terdapat kandungan sianida di
kopi yang diminum Mirna dan bahwa indikasi menunjukkan bahwa pelakunya adalah Jessica.

5. Kasus Pemulung dengan Ganja

Pada 3 Mei 2010, pengadilan negeri memvonis bebas Chairul Saleh seorang pemulung yang dituduh
memiliki ganja seberat 1,6 gram. Pria 38 tahun ini dipaksa mengakui memiliki ganja oleh sejumlah
oknum polisi ini. Orang nomor 1 di tubuh Polri waktu itu, Jenderal Polisi Bambang Hendarso Danuri pun
turun tangan untuk menindaklanjuti kasus dugaan rekayasa ini.

Dalam sidang disiplin Propam Polres Jakpus menjatuhkan hukuman kepada 4 polisi yang terlibat dalam
rekayasa kasus kepemilikan ganja terhadap pemulung Chairul Saleh ini. Kanit Narkoba Polsek
Kemayoran Aiptu Suyanto didemosi sedangkan penyidik Brigadir Rusli ditunda kenaikan pangkatnya
selama 1 tahun. Kemudian Aiptu Ahmad Riyanto ditunda kenaikan pangkat selama satu tahun, serta
dimutasi secara demosi. Dan untuk Brigadir Dicky ditempatkan ke tempat khusus selama 7 hari.

Itu tadi beberapa contoh kasus hukum , yang berarti kasus non-perdata di Indonesia yang sempat
menghebohkan dan menghadirkan banyak sekali tanda tanya dan keraguan pada keadilan di negeri ini.
(DNR)

3. Jakarta - Sepanjang 2022 juga banyak terjadi peristiwa hukum yang membuat heboh jagat
Indonesia Raya. Mulai dari kasus Sambo, tragedi kanjuruhan hingga investasi bodong.
PreviousNext

Peristiwa penembakan Ferdy sambo kepada Yosua terjadi pada 8 Juli 2022. Sampai saat ini,
Sambo masih menjalankan sidang bersama dengan tiga terdakwa lainnya yakni Eliezer, Ricky
Rizal, dan Kuat Ma'ruf serta istri Sambo, Putri Candrawathi didakwa telah melakukan
pembunuhan berencana terhadap Brigadir Nopriansyah Yosua Hutabarat. Para terdakwa ini
diduga melanggar Pasal 340 KUHP subsider Pasal 338 KUHP juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1
KUHP. Rifkianto Nugroho/Detikcom
4.
5.
Nenek Asyani dan Hukum yang Ringkih

Oleh Achmad Fauzi

Wakil Ketua Pengadilan Agama Penajam

Artikel ini diterbitkan di Koran Media Indonesia tanggal 19 Maret 2015

Panggung hukum kembali riuh seiring mencuatnya parodi kasus remeh-temeh di pengadilan. Lakon nya seorang nenek ringkih

berusia senja bernama Asyani. Ia saat ini sedang duduk di kursi pesakitan karena didakwa mencuri kayu jati dari kawasan hutan

produksi pada 7 Juli 2014. Nenek Asyani dijerat Pasal 12 juncto Pasal 83 ayat (1) Undang-Undang Pencegahan dan

Pemberantasan Perusakan Hutan dengan ancaman 5 tahun penjara. Asyani berdalih kayu itu miliknya yang diperoleh dari lahannya

sendiri di Dusun Secangan, Situbondo.

Kasus Nenek Asyani telah menyita perhatian publik tak terkecuali para elite negeri ini. Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan

Siti Nurbaya bahkan secara khusus meminta penahanan Nenek Asyani yang hampir tiga bulan dibui dapat ditangguhkan. Bahkan,

kasus tersebut mulai dijadikan komoditas politik menjelang suksesi pemilihan kepala daerah Situbondo 2015. Sebelum majelis

hakim mengabulkan permohonan penangguhan penahanan melalui putusan sela yang dibacakan Senin (16/3) di Pengadilan Negeri

Situbondo, para politikus mengumbar simpati dan menyatakan bersedia sebagai penjamin Nenek Asyani. Memang rakyat kecil

acap dijadikan alat legitimasi dan permainan politik. Elite kurang peduli pada substansi dan advokasi persoalan hukum yang

dihadapi masyarakat bawah. Mereka lebih tertarik pada kemasan dan menjadikannya sebagai isu politik yang seksi untuk

mendulang dukungan.

Hukum ringkih

Kasus yang membelit Nenek Asyani menjadi potret supremasi hukum yang ringkih. Hukum tampil tak berdaya menangani kasus

korupsi yang melibatkan kelompok elite, tapi pada saat bersamaan justru garang kepada orang lemah. Buktinya, untuk menyeret

Nenek Asyani ke meja hijau penegak hukum tak perlu waktu lama. Berbeda dengan penanganan skandal Bank Century yang

merugikan negara Rp6,7 triliun yang hingga kini tak jelas ujung pangkalnya. Aktor utama sampai detik ini tak terjamah karena

memiliki akses kekuasaan, impunitas hukum, dan `jalur sutet' yang berbahaya apabila dibongkar.
Karena itu wajar jika penegakan hukum kerap meninggalkan jejak ironi. Wajar pula jika penanganan kasus korupsi selalu berakhir

antiklimaks. Supremasi hukum yang berselingkuh erat dengan pragmatisme poli tik akan sulit membongkar akar kejahatan korupsi

karena aib para penguasa bersembunyi di dalamnya. Seandainya hukum menunjukkan martabatnya dan berani menjaga

independensi, betapa banyak pejabat publik di tingkat pusat maupun daerah dibui lantaran menyalahgunakan wewenang.

Nenek Asyani memang tidak memiliki pengaruh penting bagi jagat politik. Ia baru akan mendapatkan perhatian dari penguasa

ketika bergulir menjadi isu nasional dan menjadi sorotan media. Berbeda dengan para koruptor yang mayoritas berasal dari politisi.

Meski tindakannya telah merugikan negara, tetap mendapatkan perhatian penuh dan hak-haknya diperjuangkan. Sebagai contoh,

Menteri Hukum dan HAM bakal merevisi peraturan pengetatan pemberian remisi kepada koruptor. Menurutnya, pengetatan remisi

koruptor diskriminatif sehingga perlu ditinjau ulang. Langkah tersebut jelas mencerminkan hukum yang ringkih. Hukum tumpul ke

atas, tapi menggilas rakyat kecil.

Mesin pembunuh

Ada persoalan serius dalam penerapan hukum pidana kita, saat hukum menjelma sebagai `mesin pembunuh' bagi kelompok

proletar. Padahal, langkah pemidanaan memiliki fungsi subsider dan menjadi ultimum remidian ketika fungsi hukum lainnya telah

ditempuh dan tidak berhasil.

Semestinya aparat hukum menjunjung tinggi asas kepantasan dan restorative justice, yakni mengalihkan dari proses pidana untuk

diselesaikan secara musyawarah. Artinya, dalam kasus Nenek Asyani seharusnya cukup diselesaikan melalui jalur mediasi, bukan

dibesar-besarkan layaknya perkara korupsi. Polisi memiliki diskresi untuk menyidik atau tidak menyidik sepanjang dapat dibenarkan

oleh hukum.

Jerat hukum atas Nenek Asyani menyinggung nurani rakyat karena aparat hukum telah kebablasan memaknai peradilan pidana

sebab mengalpakan proses mediasi sehingga segala tindak pidana harus diajukan ke meja hijau. Karena itu, bukan sekadar aspek

substansi hukum yang mendesak diperbaiki.Betapapun paripurna sebuah aturan, jika dipegang oleh aparat hukum yang bermental

menindas, tujuan hukum sebagaimana dicita-citakan tidak akan tercapai. Dibutuhkan reformasi paradigma, peningkatan sumber

daya, dan moral aparatur hukum sehingga melihat kasus Nenek Asyani tidak dengan kacamata kuda.

Hakim tentu tak bisa berbuat banyak ketika kasus itu dilimpahkan ke pengadilan. Hakim mengadili berdasarkan fakta-fakta yang

terungkap di persidangan. Ketika perbuatan yang didakwakan telah memenuhi unsur, hakim secara sah dan meyakinkan harus

menyatakan bersalah. Yang dilihat hakim bukan semata-mata nilai ekonomis kayu tersebut, melainkan juga jiwa jahatnya yang

apabila tetap dibenarkan oleh pengadilan membawa dampak negatif dan mengesankan bahwa perbuatan mencuri dibenarkan oleh

hukum.

Dahulu pernah mencuat kasus serupa berupa pencurian sandal jepit oleh anak di bawah umur dan sempat diproses secara pidana.

Demi memenuhi unsur kepastian hukum, hakim ketika itu menyatakan terdakwa bersalah.

Namun, untuk memenuhi rasa keadilan, hakim mengembalikan terdakwa ke orangtuanya untuk dilakukan pembinaan. Nilai ekonomi

barang curian menurut hakim tidak prinsip. Akan tetapi, barang orang lain yang diambil tanpa sepengetahuan sudah memenuhi

unsur pencurian.

Ke depan, kasus remeh-temeh selayaknya tidak sampai ke pengadilan karena selain memboroskan energi dan biaya, ada kanal

penyelesaian yang lebih elegan. Penyelesaian mediasi dengan tujuan mendapatkan keseimbangan dan pemulihan keadaan justru

dibutuhkan sebagai puncak tertinggi tujuan hukum.


Surabaya, CNN Indonesia -- Rochmad Bagus Apriyatna alias RBA (41), pelaku pembunuhan AN (21), mahasiswi Universitas
Surabaya (Ubaya) yang ditemukan di dalam koper di jurang kawasan Gajah Mungkur, Kecamatan Pacet, Mojokerto, mengaku
sakit hati dengan perkataan korban.
"Ada kata-kata yang kurang berkenan di hati saya, itu memicu saya untuk punya pikiran khilaf," kata RBA, di Mapolrestabes
Surabaya, Jumat (9/6).

Selain itu, RBA juga mengaku ingin mengusai barang berharga atau harta milik AN, yakni mobil Mitsubishi Xpander dan ponsel.
Ia menyebut ingin memakai uang tersebut untuk modal dan operasional usaha.

"Uang untuk operasional," ujarnya.

RBA sendiri merupakan mantan guru musik AN. Mereka berdua saling mengenal sejak korban masih SMA pada 2017.

Kapolrestabes Surabaya Kombes Pasma Royce juga menyebut motif pembunuhan itu, karena pelaku sakit hati dan ingin
menguasai barang berharga korban.

"Motif dari kejadian ini adalah karena adanya sakit hati, sekaligus pelaku ingin menguasai barang berharga korban baik itu
mobil dan handphone. Notabenenya sudah dipindah tangan terhadap seseorang dan handphone sudah dijual," ujarnya.

Pembunuhan ini sendiri bermula saat AN pergi dari rumahnya pada 3 Mei 2023. Dua hari setelahnya, 5 Mei 2023 dia dikabarkan
hilang dan tak bisa dihubungi.

AN rupanya pergi dengan guru musik sekaligus teman dekatnya RBA (41). Mereka hendak menggadaikan mobil milik korban
yakni Mitsubishi Xpander, yang uangnya bakal digunakan pelaku untuk modal usaha di Pacitan.

Namun, ternyata tak ada yang mau penggadaian mobil itu, RBA dan AN pun cekcok. Pelaku kemudian mencekik, membekap
dan menjerat leher korban dengan tali hingga lemas dan meninggal dunia.

Jasad AN kemudian dibungkus plastik wrapping dan dimasukkan ke dalam koper. RBA lalu membuangnya ke jurang di kawasan
Gajah Mungkur, Kecamatan Pacet, Mojokerto, pada 5 Mei 2023. Mayatnya baru ditemukan sebulan kemudian, Rabu (7/6).

Atas perbuatannya, RBA pun terancam Pasal 338 KUHP dan 340 KUHP tentang pembunuhan dan pembunuhan berencana.

"Kami akan menjerat sesuai dengan Pasal 338 dan 340 KUHP dengan ancaman maksimal seumur hidup," ujarnya.

(frd/fra)

Kasus Bullying Siswa SMA di Depok, Teman Pelaku Asyik Rekam saat Aksi Kekerasan Berlangsung
Jumat, 18 Agustus 2023 17:03

Penulis: Dwi Putra Kesuma | Editor: Acos Abdul Qodir

lihat foto
Dwi Putra Kesuma/TribunJakarta.com
Wakasat Reskrim Polres Metro Depok, AKP Nirwan Pohan, saat memberi keterangan terkait kasus perundungan siswa SMA di
Kota Depok, Jumat (18/8/2023).
Laporan Wartawan TribunJakarta.com, Dwi Putra Kesuma
TRIBUNJAKARTA.COM, PANCORAN MAS - Polisi telah memeriksa sejumlah saksi dari kasus perundungan atau bullying antar
siswa SMA di Kota Depok.
Untuk informasi, aksi perundungan ini terjadi pada Jumat (11/8/2023) lalu di Yayasan Nururrahman, Pancoran Mas.
Baik pelaku berinisial A dan dua korbannya RFS serta ACS, dulu bersekolah di yayasan tersebut pada tingkat SMP.
Namun,setelah lulus SMP, korban melanjutkan pendidikan SMA di yayasan tersebut, sementara pelaku melanjutkan sekolah di
yayasan yang lain.
Wakasat Reskrim Polres Metro Depok, mengatakan, perundungan itu disaksikan oleh sejumlah teman dari pelaku.
Namun bukannya menolong, teman pelaku malah asik menonton dan mengabadikan aksi kekerasan itu dengan kamera
handphone-nya.
"Ada yang nonton dan juga ada yang videoin," ujar Nirwan di Polres Metro Depok, Jumat (18/8/2023).
Nirwan mengatakan motif perundungan ini diduga berasan dari kecemburuan pelaku terhadap ulah korban yang menyebut
mantan pacarnya 'cantik'.
"Jadi, mereka sudah janjian antara pelaku dengan korban. Masing-masing sekolah ini ada grup Whatsap, nah dalam grup
Whatsap itu si korban bilang mantan pacar pelaku ini cantik," ungkapnya.
"Kemudian ada yang kasih tau pelaku hal tersebut, mungkin cemburu kemudian janjian dan mendatangi korban," sambung ia
lagi.
Tak seorang diri, Nirwan mengatakan pelaku mendatangi korban bersama empat temannya yang kini berstatus sebagai saksi.
"Sama teman-temannya, ada empat orang dan kini jadi saksi, sudah kami periksa," tutur Nirwan.
Terakhir, Nirwan mengatakan saat ini kasus tersebut tengah dalam penyelidikan Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA)
Satreskrim Polres Metro Depok.
"Karena baik pelaku, korban, dan saksi ini juga masih di bawah umur, jadi kami gunakan Undang-Undang Perlindungan Anak.
Ketika pemeriksaan pun didampingi orang tuanya masing-masing," pungkasnya.

Anda mungkin juga menyukai