Pemidanaan Dibawah Ancaman Pidana Minimum Khusus Pada Perkara Persetubuhan Terhadap Anak Dalam Perspektif Hukum Progresi
Pemidanaan Dibawah Ancaman Pidana Minimum Khusus Pada Perkara Persetubuhan Terhadap Anak Dalam Perspektif Hukum Progresi
Dwi Pramudyani
Fakultas Hukum Universitas Kristen Satya Wacana
Jl. Diponegoro 52 – 60 Salatiga, Jawa Tengah, 50711, Indonesia
Email: dwipramudyani01@gmail.com
Mardian Putra Frans
Fakultas Hukum Universitas Kristen Satya Wacana
Jl. Diponegoro 52 – 60 Salatiga, Jawa Tengah, 50711, Indonesia
Email: mardian.frans@gmail.com | Penulis Korespondensi
Abstrak A R T I C L E I N F O
Artikel ini akan membahas tentang putusan pengadilan yang Article history:
menjatuhkan pidana dibawah minimum khusus pada tindak Received
5 Mei 2022
pidana persetubuhan terhadap anak yang diputus oleh Pengadilan
Revised
Negeri Magelang di Mungkid dengan Nomor 17 Mei 2022
235/Pid.Sus/2018/PN.Mkd. Anak mempunyai peran penting Accepted
dalam perkembangan pembangunan bangsa dan negara sehingga 28 Juni 2022
negara bertanggungjawab memberikan perlindungan terhadap
anak. Permasalahan pada putusan ini adalah hakim dinilai tidak
melaksanakan perlindungan bagi anak sebagaimana tujuan
pembatasan ancaman pidana minimum khusus yang telah
ditentukan di dalam UU Nomor 17 Tahun 2016 tentang
Perlindungan Anak. Namun demikian, pada kasus a quo hakim
dihadapkan pada situasi dimana terdakwa dan anak yang menjadi
Kata-kata kunci:
korban telah menikah. Oleh karena itu mendasarkan pada hukum persetubuhan anak,
progresif, penulis sependapat dengan putusan hakim. pidana minimum,
hukum progresif
Abstract
This article will discuss criminal penalties under the certain
minimum on the crime of sexual intercourse against a child based
on a progressive law perspective initiated by Satjipto Rahardjo.
Children have an important role in the development of a nation, so
the state is responsible for protecting children. There is a case of
sexual intercourse against a child whose crime is below a certain
minimum by the Magelang District Court in Mungkid with Number
235/Pid.Sus/ 2018/PN.Mkd. The problem with this decision is that
the judge is considered not to carry out protection for children as
there are restrictions on punishment under the special minimum
criminal threat that has been determined in Law Number 17 of 2016 Keywords:
concerning Child Protection However, in the case a quo, the sexual intercourse
defendant and the victim were married. Therefore, the author agrees child, penalties under
the special minimum,
with the judge's decision based on progressive law.
progressive law.
172 JURNAL ILMU HUKUM: ALETHEA [Vol. 5, No. 2, 2022]
PENDAHULUAN
(lima belas) tahun dan paling singkat 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp
5.000.000.000,- (lima miliar rupiah). Persetubuhan yang dimaksud dalam artikel ini
dimaknai sebagai perbuatan suka sama suka dan tanpa paksaan/kekerasan
sebagai lawan dari persetubuhan dengan paksaan/ancaman dan tanpa kerelaan
yang lebih dikenal sebagai pemerkosaan, adanya unsur suka-sama suka, tanpa
paksaan dan kekerasan sebagai dasar persetubuhan. Hal lain yang ditemukan
bahwa Persetubuhan yang dilakukan oleh pelaku terhadap anak sebagai korban
diakibatkan adanya motivasi berpacaran atau percintaan dan beberapa diantaranya
berorientasi pada pemuasan nafsu serta kebebasan seksual untuk mencapai
kepuasan.1
Persetubuhan adalah delik (tindak pidana) yang tergolong delik kesusilaan,
delik kesusilaan adalah delik yang berhubungan dengan kesusilaan. Persetubuhan
dapat dikatakan sebagai pelanggaran nilai-nilai kesusilaan.2 Salah satu faktor yang
mempengaruhi mengapa orang melakukan kejahatan adalah faktor psikis yang
merupakan kondisi kejiwaan atau keadaan diri yang tidak biasanya atau tidak
normal dari biasanya sehingga mendorong orang tersebut melakukan kejahatan,
seperti kejahatan seksual.
Bentuk perlindungan terhadap anak perlu dilakukan sejak dini saat anak
masih berada di dalam rahim seorang ibu sampai anak tersebut usianya belum
mencapai 18 (delapan belas) tahun, Undang-Undang Perlindungan Anak
menetapkan dengan memberi bentuk perlindungan terhadap anak berdasarkan
asas non-diskriminasi, kepentingan yang terbaik bagi anak, hak anak untuk hidup,
dan penghormatan terhadap anak dalam menyatakan pendapatnya. Faktanya hak
terhadap anak masih belum dapat terlaksana, karena perbuatan persetubuhan yang
dilakukan kepada anak masih banyak terjadi, maka bentuk perlindungan terhadap
hak-hak anak sangat diperlukan untuk mengurangi terjadinya kejahatan
persetubuhan terhadap anak.3
Namun dalam prakteknya, pada Putusan Pengadilan Negeri Kota Magelang di
Mungkid Nomor 235/Pid.Sus/2018/PN.Mkd perkara tindak pidana persetubuhan
terhadap anak yang diputus dibawah batas minimum khusus. Hakim memvonis
terpidana menjalani hukum penjara 3 (tiga) tahun dan denda sebanyak Rp
5.000.000,- (lima juta rupiah), dengan ketentuan apabila hukuman denda tersebut
tidak dilaksanakan akan diganti dengan tambahan kurungan 3 (tiga) bulan.
Perbuatan tindak pidana persetubuhan terhadap anak tersebut dilakukan oleh
Terdakwa Reski (nama disamarkan), laki-laki berusia 19 tahun (yang selanjutnya
disebut terdakwa) terhadap korban Melati (nama disamarkan) berusia 17 tahun
(yang selanjutnya disebut korban). Berawal dari korban dan terdakwa berkenalan
kemudian bertukar nomor telepon dan selanjutnya menjalin hubungan sebagai
sepasang kekasih.
Terdakwa melakukan persetubuhan beberapa kali di rumah korban. Pada
putusan ini dilihat bahwa pasal yang didakwakan telah ditentukan pidana minimum
1 Jeki Novriadi, Fitriati, dan Herman Bakir, ‘Penerapan Unsur Tindak Pidana Persetubuhan
Terhadap Anak Yang Disebarkan Melalui Media Sosial Pada Penyidikan’ (2021) 5 (3) Unes
Journal of Swara Justisia 259, 262.
2 Panca Hutagalung, dkk, ‘Penegakan Hukum Pidana Terhadap Pelaku Persetubuhan Pada Anak
(Analisis Terhadap Putusan Mahkamah Agung’ (2014) 2 (2) USU Law Journal 62, 64-65.
3 A. A. Risma Purnama Dewi, I Nyoman Sujana dan I Nyoman Gede Sugiartha, ‘Tindak Pidana
Persetubuhan Anak Di bawah Umur’ (2019) 1 (1) jurnal analogi hukum 11.
174 JURNAL ILMU HUKUM: ALETHEA [Vol. 5, No. 2, 2022]
4 Aminal Umam, Penerapan Pidana Minimum Khusus (Varia Peradilan Tahun XXV No. 29, IKAHI
2010) 16.
5 D.Y. Witanto dan A.P. Negara Kutawaringin, Diskresi Hakim sebuah Instrumen Menegakkan
Keadilan Substantive dalam Perkara-Perkara Pidana (Alfabeta 2013) 124.
6
Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif (Yogyakarta 2020) 20.
7 Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis (Genta Publishing 2009) 13.
8 Ibid 15.
9 Rena Yulia, ‘Penerapan Keadilan Restoratif Dalam Putusan Hakim: Upaya Penyelesaian Konflik
Melalui Sistem Peradilan Pidana’ (2012) 5 (2) Jurnal Yudisial 224, 229.
PEMIDANAAN DIBAWAH ANCAMAN PIDANA MINIMUM KHUSUS 175
PEMBAHASAN
1. Kasus Posisi
Bahwa pada suatu hari di bulan Agustus 2017 terdakwa Reski berkenalan
dengan korban pada saat menonton pentas seni kubro dangdut (brodut), kemudian
mereka berdua bertukar nomor telepon. Setelah 2 minggu masih pada bulan
Agustus 2017 sekira Pukul 10.00 WIB, korban menerima pesan sms dari terdakwa
yang mengatakan bahwa terdakwa akan datang kerumah korban. Tidak lama
kemudian korban kembali menerima pesan sms dari terdakwa yang meminta
korban menjemput terdakwa di dekat gapura masuk dusun karena terdakwa belum
tahu rumah korban lalu anak korban pergi menjemput terdakwa dengan
mengendara sepeda motor. Sesampainya dirumah korban, terdakwa masuk ke
rumah dan mengobrol di ruang tamu, saat mengobrol terdakwa berkata kepada
korban “Aku suka karo kowe, jadian yo (ayo pacaran)” dan korban tidak menjawab
namun hanya tersenyum dan menganggukkan kepala. Setelah mengetahui rumah
korban sepi/kosong lalu terdakwa mengajak korban masuk ke dalam kamar dengan
berkata “yo neng kamar” dan korban tidak menolak sehingga korban dan terdakwa
masuk ke dalam kamar
Pada saat berada di kamar korban dan terdakwa duduk di atas kasur,
kemudian terdakwa mencium pipi dan bibir korban, kemudian terdakwa Reski
mengajak korban melakukan persetubuhan dengan berkata “yo uuk” (ajakan
melakukan persetubuhan dalam bahasa jawa), kemudian korban dan terdakwa
melakukan tindak pidana persetubuhan. Persetubuhan yang kedua kalinya
dilakukan pada hari dan tanggal yang sudah tidak diingat lagi pada akhir bulan
Agustus tahun 2017 sekira Pukul 12.00 WIB atau beberapa hari setelah kejadian
pertama dengan kronologis yang hampir sama dengan kejadian pertama.
Pada bulan Oktober 2017 saksi Ernawati (selanjutnya disebut Saksi) atau
kakak kandung korban berkunjung ke rumah orang tua korban dan melihat
perubahan bentuk tubuh pada adik korban sehingga saksi mencurigai korban
sedang hamil. Kemudian saksi menyuruh korban untuk membeli testpack ke apotek
dengan mengatakan “kono tuku testpack kesehatan, iki kabeh wis dites kesehatan,
tinggal kowe sik durung” (Belilah testpack kesehatan, ini semua dites kesehatan,
tinggal kamu yang belum), korban menjawab “ya mbak”. Sepulang dari apotek saksi
kemudian memasukkan testpack tersebut ke dalam air kencing korban dan hasilnya
keluar 2 (dua) garis. Saksi kemudian bertanya kepada korban “iki kok hasile garis
loro berarti kowe hamil, melakukane ro sopo” (ini hasilnya kok garis 2 berarti kamu
hamil, melakukan nya sama siapa?” korban kemudian menjawab “Reski karo Reno”
(Reski dan Reno). Setelah mengetahui korban hamil, saksi kemudian memberitahu
keluarga dan memeriksakan korban ke bidan untuk mengetahui kepastian
kehamilannya.
Selang satu minggu lalu diadakan musyawarah di rumah korban yang dihadiri
seluruh keluarga korban, terdakwa bersama kedua orang tuanya, saksi Reno
beserta kedua orangtuanya dan saksi syafi’i selaku ketua RT. Pada saat pertemuan
itu terdakwa Reski dan saksi Reno keduanya mengakui pernah melakukan
176 JURNAL ILMU HUKUM: ALETHEA [Vol. 5, No. 2, 2022]
14 Ibid 36.
178 JURNAL ILMU HUKUM: ALETHEA [Vol. 5, No. 2, 2022]
sebab salah satu tujuan hukum itu unsurnya adalah menciptakan keadilan. Aspek
filosofis merupakan aspek yang berintikan pada kebenaran dan keadilan, sedangkan
aspek sosiologis memuat pertimbangkan tata nilai budaya yang hidup
dimasyarakat. Penerapan aspek filosofis dan sosiologis harus mampu mengikuti
perkembangan nilai-nilai yang hidup dimasyarakat. Pencantuman ketiga aspek
tersebut sebagai upaya penegakan nilai keadilan dan dapat diterima oleh
masyarakat
a. Pertimbangan Yuridis
Pertimbangan yuridis maksudnya adalah hakim mendasarkan putusannya
pada ketentuan peraturan perundang-undangan secara formil. Hakim secara
yuridis, tidak boleh menjatuhkan pidana tersebut kecuali apabila dengan sekurang-
kurangnya dua alat bukti yang sah, sehingga hakim memperoleh keyakinan bahwa
suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah
melakukannya (Pasal 183 KUHAP). Pada Perkara Nomor 235/Pid.Sus/
2018/PN.Mkd, maka terdakwa terbukti sah bersalah melakukan tindak pidana
sebagaimana perbuatan yang dilakukan terdakwa di atur dan di ancam pidana
dalam Pasal 81 ayat (2) Undang-Undang Perlindungan Anak
Adapun unsur – unsur yang dapat dibuktikan atas perbuatan pidana yaitu :
1) Unsur Subjektif
Barang siapa atau setiap orang, yang dimaksud dengan “barang siapa”
dalam undang-undang hukum pidana adalah untuk menunjukkan tentang
subyek pelaku delik, yakni subyek hukum atau pelaku tindak pidana.
Pengertian “barang siapa” artinya setiap orang dapat merupakan pelaku tindak
pidana. Bahwa yang diajukan dalam persidangan dalam perkara ini adalah
orang bernama Reski dengan segala identitasnya yang tersebut dalam surat
dakwaan sebagaimana tercantum diawal surat tuntutan pidana ini, yang mana
pada awal persidangan ini identitas terdakwa telah diteliti dengan seksama
oleh Hakim Ketua Majelis dimana identitas tersebut telah dibenarkan pula oleh
terdakwa sebagai identitas jati dirinya. Selanjutnya tentu saja yang dimaksud
adalah orang yang dapat atau mampu mempertanggung jawabkan setiap
perbuatan atau tindakannya. Majelis Hakim Pengadilan Negeri Magelang di
Mungkid menimbang bahwa terdakwa merupakan subjek hukum yang dimana
perbuatannya dapat menimbulkan akibat hukum, pada perkara ini terdakwa
melakukan tindak pidana persetubuhan. .Berdasarkan analisis di atas, penulis
akan memperhatikan pertimbangan hakim sebagai berikut:
(a). Fakta perbuatan yang dilakukan adalah persetubuhan dilakukan 2 kali
pada hari dan waktu yang berbeda-beda di rumah korban. Bahwa
terdakwa telah membenarkan dakwaan Penuntut umum.
(b). Alat Bukti yang mendukung: Keterangan dari terdakwa membenarkan
identitas-identitas yang ada pada surat dakwaan. Terdakwa mampu
menjawab pertanyaan-pertanyaan yang di ajukan oleh Majelis Hakim,
Jaksa Penuntut umum dan Penasehat hukumnya
2) Unsur Obyektif
Dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan,
memaksa, dengan tipu muslihat, rangkaian kebohongan, atau dengan
membujuk anak agar melakukan dan atau membiarkan dilakukannya
180 JURNAL ILMU HUKUM: ALETHEA [Vol. 5, No. 2, 2022]
15 Nino Yusnatian, dkk., ‘aspek hukum pidana membujuk anak melakukan Persetubuhan (Studi
Kasus Putusan PN BANYUMAS Nomor74/Pid.Sus/2013/PN Bms Tahun 2013’ (2017) 6 (2)
Diponegoro Law Journal 4.
PEMIDANAAN DIBAWAH ANCAMAN PIDANA MINIMUM KHUSUS 181
penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun
dan denda paling banyak Rp 5.000.000.000,- (lima milyar rupiah). Namun
dalam prakteknya, Putusan Pengadilan Negeri Kota Magelang di Mungkid
Nomor 235/Pid.Sus/ 2018/PN.Mkd perkara tindak pidana persetubuhan
terhadap anak yang diputus dibawah batas minimum khusus. Hakim hanya
memutus pidana penjara selama 3 (tiga) tahun dan denda Rp 5.000.000,- (lima
juta rupiah) dengan ketentuan jika pidana denda tidak dibayar diganti dengan
pidana kurungan selama 3 (tiga) bulan.
Hal lain yang bisa dikatakan sebagai hal yang meringankan pidana
terdakwa dalam Putusan Nomor 235/Pid.Sus/2018/PN.Mkd adalah bahwa
korban memberikan keterangan bahwa dirinya melakukan persetubuhan tidak
hanya dengan terdakwa namun juga dengan saksi Reno (nama disamarkan),
dilakukan sebanyak 2 kali didalam kamar dirumah saksi Reno pada waktu
yang berbeda dalam bulan Oktober 2017. Setelah itu keluarga korban meminta
pertanggungjawaban atas kehamilan korban dan meminta terdakwa dan saksi
Reno untuk bertanggung jawab, namun setelah dilakukan pertemuan atau
musyawarah di rumah orang tua korban, korban menyampaikan bahwa siapa
yang disukai untuk menjadi suaminya adalah terdakwa. Lalu pihak keluarga
anak korban Melati meminta kepada saksi Reno sebagai bentuk
pertanggungjawaban juga untuk membantu dalam bentuk materi dalam
proses kelahiran dan pendidikan anak yang dikandung oleh Melati, Dalam
musyawarah tersebut ibu saksi Reno menyanggupi untuk memberikan
bantuan sebesar Rp 25.000.000,- (dua puluh lima juta rupiah) yang ditetapkan
jatuh tempo sampai dengan akhir bulan Januari 2018.
Bagi hakim dalam mengadili suatu perkara terutama yang dipentingkan
adalah fakta atau peristiwanya dan bukan peraturannya. Peraturan hukumnya
hanyalah alat, sedangkan yang bersifat menentukan adalah peristiwanya.
Hakim bukan lagi corong dari undang-undang, tetapi pembentukan hukum
yang memberi bentuk pada isi undang-undang dan menyesuaikan dengan
kebutuhan-kebutuhan hukum. Hakim dalam menjatuhkan putusannya
dibimbing oleh pandangan atau pikirannya sendiri, disini fungsi hakim
menjalankan fungsi yang mandiri dalam penerapan undang-undang terhadap
peristiwa hukum konkrit.
b. Pertimbangan Filosofis
Dalam Pertimbangan filosofis unsur-unsurnya yang menitik beratkan kepada
nilai keadilan terdakwa dan korban, diperlukan sebagai sarana menjamin keadilan.
Keadilan secara umum diartikan sebagai perbuatan atau pelaku yang adil,
sementara adil adalah tidak berat sebelah, tidak memihak yang salah. Keadilan
dalam filasafat dipenuhi dalam dua prinsip, pertama tidak merugikan anak korban
dan tidak dirugikan haknya.
Sebagaimana putusan Nomor 235/Pid.Sus/2018/PN.Mkd dilihat dari hal-hal
yang memberatkan dan meringankan terdakwa, bahwa hakim menjatuhkan pidana
kepada terdakwa dibawah minimum khusus, hukuman terdakwa 3 tahun penjara
dan denda sebesar Rp 5.000.000,- (lima juta rupiah) dianggap hukuman yang
pantas bagi terdakwa karena dalam teori hukum progresif hakim tidak boleh
berperan mengindentikkan kebenaran dan keadilan itu sama dengan rumusan
PEMIDANAAN DIBAWAH ANCAMAN PIDANA MINIMUM KHUSUS 183
pidana walaupun penjatuhan pidananya di bawah minimum khusus. Hal ini sesuai
dengan prinsip dari teori hukum progresif yang dimulai dari hakikat dasar hukum
untuk manusia. Karena hukum tidak hadir untuk dirinya sendiri, tetapi untuk nilai-
nilai yang mematok tujuan yang lebih luas. Luasnya adalah untuk nilai-nilai
kemanusiaan dalam rangka mencapai keadilan, kesejahteraan dan kebahagiaan
manusia.
Dalam Putusan nomor 235/Pid.Sus/2018/PN.Mkd hakim memutus perkara
dengan lebih melihat kepentingan korban dan anak korban yang masih dalam
kandungan, dalam Putusan ini penekanannya pada situasi atau keadaan yang ingin
dihasilkan melalui penjatuhan pidana tersebut, karena pada tanggal 7 Februari
2019 terdakwa Reski telah menikahi korban secara sah dikantor urusan Agama
Kecamatan Magelang Tengah, Kota Magelang dengan kutipan akta nikah nomor:
0026/II/2019 yang pada intinya menerangkan bahwa pada hari Kamis tanggal 7
Februari 2019 telah dilangsungkan akad nikah seorang laki-laki bernama Reski
dengan seorang wanita bernama Melati. Dibuktikan dengan akta nikah tersebut
yang secara langsung menunjukkan itikad baik dari terdakwa yang telah menikahi
korban yang selanjutnya akan menjadi suami dan ayah dari anak dalam kandungan
korban dan pastinya memikul sebuah tanggung jawab besar sebagai seorang suami
sekaligus ayah untuk anak mereka.
Penerapan teori hukum progresif dalam putusan ini didasarkan pada fakta
bahwa antara anak yang menjadi korban dan terdakwa telah menikah. Oleh karena
telah terjadi pernikahan, maka putusan tersebut juga dimaksudkan untuk
melindungi kepentingan korban dan mempertimbangkan kelangsungan hidup
korban dan anak dalam kandungan korban agar tetap mendapatkan hak-haknya.
Hak yang dimaksudkan salah satunya adalah kebutuhan finansial dan kasih sayang
dalam hubungan keluarga, dimaksudkan apabila masa pemidanaan diberikan
sepenuhnya maka terdakwa akan semakin lama untuk bisa memberikan nafkah
lahir dan batin kepada korban dan anak dalam kandungan korban sebagai bentuk
pertanggungjawaban sebagai seorang ayah dan suami, sehingga menurut penulis
jika masa pemidanaan diberikan secara utuh kepada terdakwa akan mengakibatkan
kerugian ganda terhadap korban dan anak dalam kandungan korban, Maka dari itu
akan lebih baik masa penahanan yang diberikan lebih singkat terhadap terdakwa
agar lebih cepat juga bentuk pertanggungjawaban yang dapat dilakukan setelah
menikah dijalankan yaitu dengan bekerja untuk selanjutnya memberikan nafkah
serta bentuk pertanggung jawaban lainnya.
Jadi, pemidanaan tetap dilakukan meski terdakwa sudah menikahi korban
namun tetap diputuskan untuk dilakukan penahanan dimaksudkan untuk
memperbaiki sikap dan tingkah laku terdakwa dan di pihak lain pemidanaan itu
juga dimaksudkan untuk mencegah orang lain dari kemungkinan melakukan
perbuatan yang dilarang. Putusan ini mengambarkan cara berhukum memang
dimulai dari teks, tetapi tidak berhenti hanya sampai di situ melainkan
mengolahnya lebih lanjut, yang disebut aksi dan usaha manusia. Dengan demikian,
maka cara berhukum secara progresif itu lebih menguras energi, baik pikiran
maupun empati dan keberanian. Dengan demikian teori hukum progresif tidak
hanya dilakukan dengan mengutak-atik teks undang-undang dan menggunakan
logika, melainkan dengan akal sehat dan nurani, dan seluruh potensi yang ada pada
manusia. Dapat diartikan sebagai menguji batas kemampuan hukum, bahwa
186 JURNAL ILMU HUKUM: ALETHEA [Vol. 5, No. 2, 2022]
PENUTUP
hakim terlihat pada pertimbangan hakim pada fakta bahwa telah terjadi
pernikahan, sehingga hakim tidak menjatuhkan hukuman sesuai batas minimum.
DAFTAR REFERENSI
Buku
Umam A, Penerapan Pidana Minimum Khusus (Varia Peradilan Tahun XXV No. 29,
IKAHI 2010).
Witanto DY dan Kutawaringin APN, Diskresi Hakim sebuah Instrumen Menegakkan
Keadilan Substantive dalam Perkara-Perkara Pidana (Alfabeta 2013).
Rahardjo S, Hukum Progresif (Yogyakarta 2020).
--------------, Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis (Genta Publishing 2009).
Marzuki PM, Penelitian Hukum (cet. 6, Kencana Prenada Media Group 2005).
Suekanto S, dan Mamudi S, Penelitian Hukum Normative Suatu Tinjauan Singkat
(Raja Grafindo Persada 2003).
Jurnal
Dewi AARP, Sujana IN dan Sugiartha ING, ‘Tindak Pidana Persetubuhan Anak Di
bawah Umur’ (2019) 1 (1) jurnal analogi hukum.
Hutagalung P, dkk, ‘Penegakan Hukum Pidana Terhadap Pelaku Persetubuhan Pada
Anak (Analisis Terhadap Putusan Mahkamah Agung’ (2014) 2 (2) USU Law
Journal.
Novriadi J, Fitriati, dan Bakir H, ‘Penerapan Unsur Tindak Pidana Persetubuhan
Terhadap Anak Yang Disebarkan Melalui Media Sosial Pada Penyidikan’ (2021)
5 (3) Unes Journal of Swara Justisia.
Yulia R, ‘Penerapan Keadilan Restoratif Dalam Putusan Hakim: Upaya Penyelesaian
Konflik Melalui Sistem Peradilan Pidana’ (2012) 5 (2) Jurnal Yudisial.
Yusnatian N, dkk., ‘aspek hukum pidana membujuk anak melakukan Persetubuhan
(Studi Kasus Putusan PN BANYUMAS Nomor74/Pid.Sus/2013/PN Bms Tahun
2013’ (2017) 6 (2) Diponegoro Law Journal.
Putusan Pengadilan