Anda di halaman 1dari 18

p-ISSN 2723-2301 | e-ISSN 2723-2298

ALETHEA Volume 5 Nomor 2, Februari 2022, Halaman 171-188


Doi: 10.24246/alethea.vol5.no2.p171-188
Jurnal Ilmu Hukum Open access at: http://ejournal.uksw.edu/alethea
Penerbit: Fakultas Hukum Universitas Kristen Satya Wacana

PEMIDANAAN DIBAWAH ANCAMAN PIDANA MINIMUM


KHUSUS PADA PERKARA PERSETUBUHAN TERHADAP ANAK
DALAM PERSPEKTIF HUKUM PROGRESIF
(Studi Putusan Nomor 235/Pid.Sus/2018/PN.Mkd)

Dwi Pramudyani
Fakultas Hukum Universitas Kristen Satya Wacana
Jl. Diponegoro 52 – 60 Salatiga, Jawa Tengah, 50711, Indonesia
Email: dwipramudyani01@gmail.com
Mardian Putra Frans
Fakultas Hukum Universitas Kristen Satya Wacana
Jl. Diponegoro 52 – 60 Salatiga, Jawa Tengah, 50711, Indonesia
Email: mardian.frans@gmail.com | Penulis Korespondensi

Abstrak A R T I C L E I N F O

Artikel ini akan membahas tentang putusan pengadilan yang Article history:
menjatuhkan pidana dibawah minimum khusus pada tindak Received
5 Mei 2022
pidana persetubuhan terhadap anak yang diputus oleh Pengadilan
Revised
Negeri Magelang di Mungkid dengan Nomor 17 Mei 2022
235/Pid.Sus/2018/PN.Mkd. Anak mempunyai peran penting Accepted
dalam perkembangan pembangunan bangsa dan negara sehingga 28 Juni 2022
negara bertanggungjawab memberikan perlindungan terhadap
anak. Permasalahan pada putusan ini adalah hakim dinilai tidak
melaksanakan perlindungan bagi anak sebagaimana tujuan
pembatasan ancaman pidana minimum khusus yang telah
ditentukan di dalam UU Nomor 17 Tahun 2016 tentang
Perlindungan Anak. Namun demikian, pada kasus a quo hakim
dihadapkan pada situasi dimana terdakwa dan anak yang menjadi
Kata-kata kunci:
korban telah menikah. Oleh karena itu mendasarkan pada hukum persetubuhan anak,
progresif, penulis sependapat dengan putusan hakim. pidana minimum,
hukum progresif
Abstract
This article will discuss criminal penalties under the certain
minimum on the crime of sexual intercourse against a child based
on a progressive law perspective initiated by Satjipto Rahardjo.
Children have an important role in the development of a nation, so
the state is responsible for protecting children. There is a case of
sexual intercourse against a child whose crime is below a certain
minimum by the Magelang District Court in Mungkid with Number
235/Pid.Sus/ 2018/PN.Mkd. The problem with this decision is that
the judge is considered not to carry out protection for children as
there are restrictions on punishment under the special minimum
criminal threat that has been determined in Law Number 17 of 2016 Keywords:
concerning Child Protection However, in the case a quo, the sexual intercourse
defendant and the victim were married. Therefore, the author agrees child, penalties under
the special minimum,
with the judge's decision based on progressive law.
progressive law.
172 JURNAL ILMU HUKUM: ALETHEA [Vol. 5, No. 2, 2022]

PENDAHULUAN

Kejahatan seksual sering terjadi pada anak-anak. Persetubuhan dengan cara


membujuk merupakan salah satu bentuk kejahatan seksual yang paling sering
dialami oleh anak. Marak dan seringnya terjadi kejahatan persetubuhan terhadap
anak perempuan menjadi catatan penting bagi semua pihak baik itu orang tua,
keluarga, lingkungan sekolah, maupun pemerintah secara kolektif melakukan upaya
pencegahan. Persetubuhan yang sering terjadi tidak selamanya dilakukan dengan
adanya kekerasan atau intimidasi yang sifatnya memaksa yang dilakukan terhadap
anak, persetubuhan dilakukan dengan cara-cara yang harmonis, misalnya dengan
mengajak untuk membangun suatu hubungan pacaran atau membangun suatu
hubungan komitmen yang didasari dengan tipu muslihat yang dilakukan oleh
pelaku terhadap anak perempuan. Kondisi yang demikian, memposisikan anak
perempuan yang lebih rentan ditipu atau lebih gampang ditipu oleh pelaku untuk
melakukan kejahatan persetubuhan terhadap anak. Sehingga, dalam kondisi yang
sulit seperti diketahui bahwa pelaku telah melakukan kejahatan, maka pelaku lebih
mudah untuk beralasan atas tindakan persetubuhan terhadap anak tersebut
dengan mengatakan bahwa kejahatan itu dilakukan atas dasar, “mau sama mau,
suka sama suka”.
Perlindungan terhadap anak telah ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor
17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak menjadi Undang-Undang
(Selanjutnya disebut Undang-Undang Perlindungan Anak). Anak merupakan
generasi penerus bangsa mempunyai posisi dan peran yang penting dalam
kemajuan bangsa dan negara, namun kondisi yang demikian, anak juga masih
dalam tahap belajar memahami system yang ada sehingga anak mempunyai
kekurangan untuk menjaga diri terhadap realitas sosial yang ada disekitarnya, yang
acapkali membahayakan dan merugikan anak itu sendiri seperti kejahatan
persetubuhan terhadap anak. Situasi yang demikian, mengharuskan negara perlu
menyikapinya dengan mengatur tentang perlindungan terhadap anak yaitu
ancaman sanksi minimum khusus pada tindak pidana persetubuhan terhadap
anak. Pelaku kejahatan seksual terhadap anak, seringkali dilakukan oleh orang-
orang terdekat atau di sekitar anak. Terdapat kejahatan seksual yang dimana
pelaku kejahatan seksual terhadap anak dilakukan di lingkungan sekolah seperti
teman sekolah, guru, karyawan atau pegawai. Bahkan lingkungan yang paling dekat
dengan anak bahkan seharusnya tempat paling nyaman buat anak adalah
lingkungan keluarga seperti kejahatan yang dilakukan oleh ayah kandung, ayah tiri,
kakak kandung, kakak tiri, adik kandung maupun adik tiri.
Berdasarkan Pasal 81 ayat (2) Undang-Undang Perlindungan Anak disebutkan
bahwa “Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman
kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau
membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling
singkat 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 5.000.000.000,- (lima miliar
rupiah)”. Artinya dalam pasal tersebut dijelaskan secara tegas bahwa perbuatan
tindak pidana pencabulan terhadap anak akan dipidana penjara paling lama 15
PEMIDANAAN DIBAWAH ANCAMAN PIDANA MINIMUM KHUSUS 173

(lima belas) tahun dan paling singkat 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp
5.000.000.000,- (lima miliar rupiah). Persetubuhan yang dimaksud dalam artikel ini
dimaknai sebagai perbuatan suka sama suka dan tanpa paksaan/kekerasan
sebagai lawan dari persetubuhan dengan paksaan/ancaman dan tanpa kerelaan
yang lebih dikenal sebagai pemerkosaan, adanya unsur suka-sama suka, tanpa
paksaan dan kekerasan sebagai dasar persetubuhan. Hal lain yang ditemukan
bahwa Persetubuhan yang dilakukan oleh pelaku terhadap anak sebagai korban
diakibatkan adanya motivasi berpacaran atau percintaan dan beberapa diantaranya
berorientasi pada pemuasan nafsu serta kebebasan seksual untuk mencapai
kepuasan.1
Persetubuhan adalah delik (tindak pidana) yang tergolong delik kesusilaan,
delik kesusilaan adalah delik yang berhubungan dengan kesusilaan. Persetubuhan
dapat dikatakan sebagai pelanggaran nilai-nilai kesusilaan.2 Salah satu faktor yang
mempengaruhi mengapa orang melakukan kejahatan adalah faktor psikis yang
merupakan kondisi kejiwaan atau keadaan diri yang tidak biasanya atau tidak
normal dari biasanya sehingga mendorong orang tersebut melakukan kejahatan,
seperti kejahatan seksual.
Bentuk perlindungan terhadap anak perlu dilakukan sejak dini saat anak
masih berada di dalam rahim seorang ibu sampai anak tersebut usianya belum
mencapai 18 (delapan belas) tahun, Undang-Undang Perlindungan Anak
menetapkan dengan memberi bentuk perlindungan terhadap anak berdasarkan
asas non-diskriminasi, kepentingan yang terbaik bagi anak, hak anak untuk hidup,
dan penghormatan terhadap anak dalam menyatakan pendapatnya. Faktanya hak
terhadap anak masih belum dapat terlaksana, karena perbuatan persetubuhan yang
dilakukan kepada anak masih banyak terjadi, maka bentuk perlindungan terhadap
hak-hak anak sangat diperlukan untuk mengurangi terjadinya kejahatan
persetubuhan terhadap anak.3
Namun dalam prakteknya, pada Putusan Pengadilan Negeri Kota Magelang di
Mungkid Nomor 235/Pid.Sus/2018/PN.Mkd perkara tindak pidana persetubuhan
terhadap anak yang diputus dibawah batas minimum khusus. Hakim memvonis
terpidana menjalani hukum penjara 3 (tiga) tahun dan denda sebanyak Rp
5.000.000,- (lima juta rupiah), dengan ketentuan apabila hukuman denda tersebut
tidak dilaksanakan akan diganti dengan tambahan kurungan 3 (tiga) bulan.
Perbuatan tindak pidana persetubuhan terhadap anak tersebut dilakukan oleh
Terdakwa Reski (nama disamarkan), laki-laki berusia 19 tahun (yang selanjutnya
disebut terdakwa) terhadap korban Melati (nama disamarkan) berusia 17 tahun
(yang selanjutnya disebut korban). Berawal dari korban dan terdakwa berkenalan
kemudian bertukar nomor telepon dan selanjutnya menjalin hubungan sebagai
sepasang kekasih.
Terdakwa melakukan persetubuhan beberapa kali di rumah korban. Pada
putusan ini dilihat bahwa pasal yang didakwakan telah ditentukan pidana minimum

1 Jeki Novriadi, Fitriati, dan Herman Bakir, ‘Penerapan Unsur Tindak Pidana Persetubuhan
Terhadap Anak Yang Disebarkan Melalui Media Sosial Pada Penyidikan’ (2021) 5 (3) Unes
Journal of Swara Justisia 259, 262.
2 Panca Hutagalung, dkk, ‘Penegakan Hukum Pidana Terhadap Pelaku Persetubuhan Pada Anak
(Analisis Terhadap Putusan Mahkamah Agung’ (2014) 2 (2) USU Law Journal 62, 64-65.
3 A. A. Risma Purnama Dewi, I Nyoman Sujana dan I Nyoman Gede Sugiartha, ‘Tindak Pidana
Persetubuhan Anak Di bawah Umur’ (2019) 1 (1) jurnal analogi hukum 11.
174 JURNAL ILMU HUKUM: ALETHEA [Vol. 5, No. 2, 2022]

khusus. Pada prinsipnya, pidana minimum khusus adalah suatu pengecualian,


yaitu untuk delik yang dipandang sangat merugikan, membahayakan, atau
meresahkan masyarakat.4 Ketika adanya putusan pengadilan yang penjatuhan
pidananya dibawah minimum khusus berarti menyimpang dari undang-undang
yang telah dulu dibuat sebagai bentuk perlindungan hukum untuk melindungi anak
sebagai individu yang lemah secara fisik dan masih membutuhkan perlindungan.5
Dalam artikel ini penulis mencoba menganalisis Putusan Nomor
235/Pid.Sus/2018/PN.Mkd yang memutus pidana dibawah ketentuan minimum
khusus dalam prespektif teori hukum progresif yang digagas oleh Satjipto Rahardjo.
Paradima teori hukum Progresif adalah sebuah gagasan yang ditujukan kepada
Hakim agar tidak terbelenggu dengan positivisme hukum yang selama ini banyak
memberikan ketidakadilan kepada yustisiaben (pencari keadilan) dalam
menegakkan hukum karena penegakan hukum merupakan rangkaian proses untuk
menjabarkan nilai, ide, cita yang cukup abstrak yang menjadi tujuan hukum. 6
Secara konsepsional, inti dari arti penegakan hukum terletak pada kegiatan
menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang
mantap dan mengejewantah sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap
akhir, untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan
hidup.7 Penegakan hukum progresif adalah menjalankan hukum tidak hanya
sekedar kata-kata hitam-putih dari peraturan (according to the letter), melainkan
hakim harus mempertimbangkan juga keadaan yang memberatkan dan
meringankan atau fakta-fakta persidangan.8 Bagi seorang hakim, teori hukum
progresif adalah hukum yang bertumpu pada keyakinan hakim, dimana hakim tidak
terbelenggu pada rumusan undang-undang. Menggunakan teori hukum progresif,
seorang hakim berani mencari dan memberikan keadilan karena tak selamanya
undang-undang bersifat adil, tetapi yang tak kalah penting adalah karakter teori
hukum progresif yang berpegang teguh pada hati nurani dan menolak hamba
materi, hukum itu harus berhati nurani. Penjatuhan pidana tidak dimaksudkan
untuk mencapai sesuatu yang praktis, tetapi bermaksud untuk satu-satunya
penderitaan bagi pelaku.9
Berdasarkan penjelasan yang telah diuraikan di atas penulis mengangkat isu
permasalahan tentang pemidanaan dibawah ancaman pidana minimum khusus
pada perkara persetubuhan terhadap anak dalam perspektif hukum progresif (studi
kasus Putusan Nomor 235/Pid.Sus/2018/PN.Mkd).

4 Aminal Umam, Penerapan Pidana Minimum Khusus (Varia Peradilan Tahun XXV No. 29, IKAHI
2010) 16.
5 D.Y. Witanto dan A.P. Negara Kutawaringin, Diskresi Hakim sebuah Instrumen Menegakkan
Keadilan Substantive dalam Perkara-Perkara Pidana (Alfabeta 2013) 124.
6
Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif (Yogyakarta 2020) 20.
7 Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis (Genta Publishing 2009) 13.
8 Ibid 15.
9 Rena Yulia, ‘Penerapan Keadilan Restoratif Dalam Putusan Hakim: Upaya Penyelesaian Konflik
Melalui Sistem Peradilan Pidana’ (2012) 5 (2) Jurnal Yudisial 224, 229.
PEMIDANAAN DIBAWAH ANCAMAN PIDANA MINIMUM KHUSUS 175

PEMBAHASAN

Putusan Nomor 235/Pid.Sus/2018/PN.Mkd, tentang Pemidanaan Dibawah


Ancaman Pidana Minimum Khusus Pada Perkara Persetubuhan Terhadap Anak

1. Kasus Posisi
Bahwa pada suatu hari di bulan Agustus 2017 terdakwa Reski berkenalan
dengan korban pada saat menonton pentas seni kubro dangdut (brodut), kemudian
mereka berdua bertukar nomor telepon. Setelah 2 minggu masih pada bulan
Agustus 2017 sekira Pukul 10.00 WIB, korban menerima pesan sms dari terdakwa
yang mengatakan bahwa terdakwa akan datang kerumah korban. Tidak lama
kemudian korban kembali menerima pesan sms dari terdakwa yang meminta
korban menjemput terdakwa di dekat gapura masuk dusun karena terdakwa belum
tahu rumah korban lalu anak korban pergi menjemput terdakwa dengan
mengendara sepeda motor. Sesampainya dirumah korban, terdakwa masuk ke
rumah dan mengobrol di ruang tamu, saat mengobrol terdakwa berkata kepada
korban “Aku suka karo kowe, jadian yo (ayo pacaran)” dan korban tidak menjawab
namun hanya tersenyum dan menganggukkan kepala. Setelah mengetahui rumah
korban sepi/kosong lalu terdakwa mengajak korban masuk ke dalam kamar dengan
berkata “yo neng kamar” dan korban tidak menolak sehingga korban dan terdakwa
masuk ke dalam kamar
Pada saat berada di kamar korban dan terdakwa duduk di atas kasur,
kemudian terdakwa mencium pipi dan bibir korban, kemudian terdakwa Reski
mengajak korban melakukan persetubuhan dengan berkata “yo uuk” (ajakan
melakukan persetubuhan dalam bahasa jawa), kemudian korban dan terdakwa
melakukan tindak pidana persetubuhan. Persetubuhan yang kedua kalinya
dilakukan pada hari dan tanggal yang sudah tidak diingat lagi pada akhir bulan
Agustus tahun 2017 sekira Pukul 12.00 WIB atau beberapa hari setelah kejadian
pertama dengan kronologis yang hampir sama dengan kejadian pertama.
Pada bulan Oktober 2017 saksi Ernawati (selanjutnya disebut Saksi) atau
kakak kandung korban berkunjung ke rumah orang tua korban dan melihat
perubahan bentuk tubuh pada adik korban sehingga saksi mencurigai korban
sedang hamil. Kemudian saksi menyuruh korban untuk membeli testpack ke apotek
dengan mengatakan “kono tuku testpack kesehatan, iki kabeh wis dites kesehatan,
tinggal kowe sik durung” (Belilah testpack kesehatan, ini semua dites kesehatan,
tinggal kamu yang belum), korban menjawab “ya mbak”. Sepulang dari apotek saksi
kemudian memasukkan testpack tersebut ke dalam air kencing korban dan hasilnya
keluar 2 (dua) garis. Saksi kemudian bertanya kepada korban “iki kok hasile garis
loro berarti kowe hamil, melakukane ro sopo” (ini hasilnya kok garis 2 berarti kamu
hamil, melakukan nya sama siapa?” korban kemudian menjawab “Reski karo Reno”
(Reski dan Reno). Setelah mengetahui korban hamil, saksi kemudian memberitahu
keluarga dan memeriksakan korban ke bidan untuk mengetahui kepastian
kehamilannya.
Selang satu minggu lalu diadakan musyawarah di rumah korban yang dihadiri
seluruh keluarga korban, terdakwa bersama kedua orang tuanya, saksi Reno
beserta kedua orangtuanya dan saksi syafi’i selaku ketua RT. Pada saat pertemuan
itu terdakwa Reski dan saksi Reno keduanya mengakui pernah melakukan
176 JURNAL ILMU HUKUM: ALETHEA [Vol. 5, No. 2, 2022]

persetubuhan dengan korban dalam waktu dan tempat yang berbeda-beda.


Terdakwa melakukan persetubuhan dengan korban sebanyak dua kali pada bulan
Agustus 2017 di dalam kamar rumah korban. Sedangkan saksi Reno melakukan
persetubuhan dengan korban sebanyak dua kali pada bulan Oktober 2017 di dalam
kamar rumah saksi Reno. Dari pertemuan tersebut lalu korban diberikan pilihan
siapa yang disukainya untuk selanjutnya bertanggung jawab atas kehamilan
korban, korban memilih terdakwa dan terdakwa menyanggupi untuk bertanggung
jawab dan menikahi korban sedangkan saksi Reno diputuskan untuk membantu
biaya persalinan sebesar Rp 25.000.000,- (dua puluh lima juta rupiah) yang harus
diberikan sampai jatuh tempo pada kahir bulan Januari 2018. Pada saat
musyawarah itu selesai dilangsungkan juga pernikahan secara agama (siri) antara
terdakwa dengan korban, dan mereka resmi menikah secara sah pada tanggal 7
Februari 2019 dikantor urusan Agama Kecamatan Magelang Tengah, Kota Magelang
dengan kutipan akta nikah nomor: 0026/II/2019.10
2. Dakwaan
Bahwa terdakwa pada hari dan tanggal dalam bulan Agustus 2017 sekira
Pukul 13.00 WIB, atau setidak-tidaknya pada suatu waktu tertentu dalam bulan
Agustus tahun 2017, atau setidak-tidaknya disuatu tempat tertentu yang masih
termasuk dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Mungkid yang berwenang
memeriksa dan mengadili perkara ini, dengan sengaja melakukan tipu muslihat,
serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan
dengannya atau dengan orang lain.11
3. Tuntutan
Adapun tuntutan dalam putusan ini menyatakan bahwa terdakwa telah
terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Dengan
sengaja membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya” sebagaimana diatur
dalam dan diancam pidana melnggar Pasal 81 ayat (2) Undang-Undang
Perlindungan Anak sebagaimana dakwaan penuntut umum. Menjatuhkan pidana
terhadap terdakwa, dengan pidana penjara selama 6 (enam) tahun dikurangi selama
terdakwa berada dalam tahanan dan denda sebesar Rp 5.000.000,- (lima juta
rupiah) subsidair 3 (tiga) bulan kurungan. Memerintah agar terdakwa tetap ditahan
barang bukti berupa 1 (satu) buah celana panjang warna hitam, 1 (satu buah celana
dalam warna putih, 1 (satu) buah baju lengan pendek dengan tulisan “Jogja Jogja
Istimewa” dibagian depan. Dikembalikan kepada korban 1 (satu) buah SPM Merk
Honda Supra warna hitam No.Pol: AA-4459-AK NoKa MH1KEV4151K349634, NoSin
KEV4E1351875 Type: Supra X/NF100 D, beserta kunci kontaknya dan STNK a.n
Kadaryono. Dikembalikan kepada terdakwa Reski. Menetapkan supaya terdakwa
dibebani membayar biaya perkara sebesar Rp 2.000,- (dua ribu rupiah).12
4. Amar Putusan
Bahwa sebelum menjatuhkan pidana, Majelis Hakim akan mempertimbangkan
juga keadaan yang memberatkan dan meringankan bagi terdakwa yaitu:13
a. Keadaan yang memberatkan:

10 Lihat Putusan Nomor 235/Pid.Sus/2018/PN.Mkd.7-20.


11 Ibid 4-6.
12 Ibid 3.
13 Ibid 35-36.
PEMIDANAAN DIBAWAH ANCAMAN PIDANA MINIMUM KHUSUS 177

1) Perbuatan terdakwa menimbulkan duka bagi korban dan keluarganya.


2) Perbuatan terdakwa menimbulkan keresahan dalam masyarakat.
b. Keadaan yang meringankan:
1) Terdakwa mengakui dan menyesali perbuatannya
2) Terdakwa bersikap sopan selama persidangan
3) Terdakwa belum pernah dihukum
4) Terdakwa dengan korban sudah menikah sehingga diharapkan dapat
membentuk keluarga yang rukun dan bahagia.
Amar putusan Pengadilan Negeri Kota Magelang di Mungkid Nomor
235/Pid.Sus/2018/PN.Mkd, tanggal 20 Maret 2019 adalah sebagai berikut: 14
a. Menyatakan Terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah
melakukan tindak pidana “dengan sengaja membujuk anak melakukan
persetubuhan dengannya”.
b. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara
selama 3 (tiga) tahun dan pidana denda sebesar Rp 5.000.000,- (lima juta
rupiah) dengan ketentuan jika pidana denda tersebut tidak dibayar diganti
dengan pidana kurungan selama 3 (tiga) bulan.
c. Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani terdakwa dikurangkan
seluruhnya dari pidana yang diatuhkan.
d. Menetapkan agar terdakwa Reski tetap berada dalam tahanan
e. Menetapkan barang bukti berupa:
1) 1 (satu) buah celana panjang warna hitam
2) 1 (satu) buah celana dalam warna putih
3) 1 (satu) buah baju lengan pendek dengan tulisan “jogja jogja istimewa”
dibagian depan
Dikembalikan kepada korban:
1 (satu) buah SPM Merk Honda Supra warna hitam No.Pol: AA-4459-AK NoKa:
MH1KEV4151K349634, NoSin: KEV4E1351875 Type: Supra X/NF100 D,
beserta kunci kontaknya dan STNK a.n Kadaryono.
f. Membebankan kepada Terdakwa untuk membayar biaya perkara sebesar Rp
2.000,- (Dua ribu rupiah)

Faktor-Faktor Mempengaruhi Pemidanaan Dibawah Ancaman Pidana Minimum


Khusus Pada Perkara Persetubuhan Terhadap Anak

1. Faktor yang Meringankan


Bahwa dalam Putusan Nomor 235/Pid.Sus/2018/PN.Mkd, faktor yang
meringankan penjatuhan pidana dibawah ancaman minimum khusus yaitu
karena awal mula dari tindakan persetubuhan yang dilakukan oleh terdakwa
kepada korban didasari rasa suka sama suka atau dalam lingkup berpacaran,
dalam fakta persidangan korban juga memberikan pernyataan bahwa ketika
terdakwa mengajak berhubungan seksual tidak ada penolakan atau
perlawanan, selanjutnya ketika korban dan keluarga mengetahui atas
kehamilan korban dan terbukti korban melakukan persetubuhan tidak hanya
dengan terdakwa namun juga dengan saksi Reno yang kemudian korban

14 Ibid 36.
178 JURNAL ILMU HUKUM: ALETHEA [Vol. 5, No. 2, 2022]

memilih bahwa terdakwalah yang harus bertanggungjawab karena korban


mencintai terdakwa. Setelah perundingan antar keluarga tersebut terdakwa
langsung menikahi korban secara siri yang selanjutnya menikah secara sah di
Kantor Urusan Agama Kecamatan Magelang Tengah, Kota Magelang dengan
Kutipan Akata Nikah Nomor: 0026/II/2019 pada tanggal 07 Februari 2019.
Yang selanjutnya terdakwa dan korban adalah sepasang suami istri yang sah
menurut negara dan agama serta akan menjadi seorang ayah dari anak dalam
kandungan korban yang selanjutnya akan muncul kewajiban dan hak-hak
yang harus dipenuhi.
2. Faktor yang Memberatkan
Bahwa dalam Putusan Nomor 235/Pid.Sus/2018/PN.Mkd faktor yang
memberatkan terdakwa adalah atas tindakan terdakwa yang menimbulkan
duka bagi korban dan keluarganya yang dimungkinkan jika hal ini tidak
menimpa korban maka masa depan korban akan masih sangat panjang dan
banyak cita-cita yang belum tercapai, karena perbuatan terdakwa maka
korban menjadi menikah di usia muda dan akan mengandung serta
melahirkan di usia yang masih sangat muda dan hal itu juga berpengaruh
terhadap kesehatan anak didalam kandungan yang seharusnya belum masuk
dan siap usia untuk mengandung.
Meskipun terdakwa sudah menikahi korban, tetapi terdakwa tidak bisa
dilepaskan dari pertanggungjawaban pidananya, hal itu bertujuan untuk
memberikan efek jera terhadap terdakwa. Pemidanaan di sini bertujuan untuk
memperbaiki sikap dan perilaku terdakwa yang juga dimaksudkan untuk mencegah
orang lain melakukan perbuatan yang sama.
Dalam pertimbangan hakim di atas berdasarkan faktor yang memberatkan dan
meringankan maka hakim menjatuhkan pidana dibawah minimum khusus dalam
perspektif hukum progresif dengan melihat kepentingan korban yang lebih
diutamakan dan dirasa lebih adil bagi korban.

Hasil Analisis Pemidanaan Dibawah Ancaman Pidana Minimum Khusus Pada


Perkara Persetubuhan Terhadap Anak Dalam Perspektif Hukum Progresif

Dalam menjatuhkan putusan, hakim harus memberikan suatu pertimbangan


hukum yang tepat dan benar, karena menjadi dasar bagi hakim untuk menjatuhkan
hukuman kepada seorang yang sedang diadili dan dimuat dalam bentuk tertulis
yakni disebut putusan hakim dan dibacakan dimuka persidangan. Hakikat dari
putusan hakim sendiri adalah mahkota, dan puncak dari perkara pidana sehingga
hakim dalam memberi putusan pidana harus memperhatikan segala aspek. Dalam
pertimbangan hakim terdapat 3 (tiga) aspek yang dipertimbangkan yakni aspek
yuridis, filosofis dan sosiologis.
Keterikatan 3 (tiga) aspek tersebut dengan hukum progresif untuk
menjabarkan bahwa putusan tersebut telah sesuai dengan perspektif hukum
progresif, pada aspek yuridis sendiri merupakan aspek yang utama yang berpatokan
kepada undang-undang yang berlaku. Hakim sebagai aplikator undang-undang
harus memahami undang-undang yang berkaitan dengan perkara yang sedang
dihadapi. Hakim harus menilai apakah undang-undang tersebut adil, bermanfaat,
atau memberikan kepastian hukum sesuai dengan tujuan dari hukum itu sendiri,
PEMIDANAAN DIBAWAH ANCAMAN PIDANA MINIMUM KHUSUS 179

sebab salah satu tujuan hukum itu unsurnya adalah menciptakan keadilan. Aspek
filosofis merupakan aspek yang berintikan pada kebenaran dan keadilan, sedangkan
aspek sosiologis memuat pertimbangkan tata nilai budaya yang hidup
dimasyarakat. Penerapan aspek filosofis dan sosiologis harus mampu mengikuti
perkembangan nilai-nilai yang hidup dimasyarakat. Pencantuman ketiga aspek
tersebut sebagai upaya penegakan nilai keadilan dan dapat diterima oleh
masyarakat
a. Pertimbangan Yuridis
Pertimbangan yuridis maksudnya adalah hakim mendasarkan putusannya
pada ketentuan peraturan perundang-undangan secara formil. Hakim secara
yuridis, tidak boleh menjatuhkan pidana tersebut kecuali apabila dengan sekurang-
kurangnya dua alat bukti yang sah, sehingga hakim memperoleh keyakinan bahwa
suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah
melakukannya (Pasal 183 KUHAP). Pada Perkara Nomor 235/Pid.Sus/
2018/PN.Mkd, maka terdakwa terbukti sah bersalah melakukan tindak pidana
sebagaimana perbuatan yang dilakukan terdakwa di atur dan di ancam pidana
dalam Pasal 81 ayat (2) Undang-Undang Perlindungan Anak
Adapun unsur – unsur yang dapat dibuktikan atas perbuatan pidana yaitu :
1) Unsur Subjektif
Barang siapa atau setiap orang, yang dimaksud dengan “barang siapa”
dalam undang-undang hukum pidana adalah untuk menunjukkan tentang
subyek pelaku delik, yakni subyek hukum atau pelaku tindak pidana.
Pengertian “barang siapa” artinya setiap orang dapat merupakan pelaku tindak
pidana. Bahwa yang diajukan dalam persidangan dalam perkara ini adalah
orang bernama Reski dengan segala identitasnya yang tersebut dalam surat
dakwaan sebagaimana tercantum diawal surat tuntutan pidana ini, yang mana
pada awal persidangan ini identitas terdakwa telah diteliti dengan seksama
oleh Hakim Ketua Majelis dimana identitas tersebut telah dibenarkan pula oleh
terdakwa sebagai identitas jati dirinya. Selanjutnya tentu saja yang dimaksud
adalah orang yang dapat atau mampu mempertanggung jawabkan setiap
perbuatan atau tindakannya. Majelis Hakim Pengadilan Negeri Magelang di
Mungkid menimbang bahwa terdakwa merupakan subjek hukum yang dimana
perbuatannya dapat menimbulkan akibat hukum, pada perkara ini terdakwa
melakukan tindak pidana persetubuhan. .Berdasarkan analisis di atas, penulis
akan memperhatikan pertimbangan hakim sebagai berikut:
(a). Fakta perbuatan yang dilakukan adalah persetubuhan dilakukan 2 kali
pada hari dan waktu yang berbeda-beda di rumah korban. Bahwa
terdakwa telah membenarkan dakwaan Penuntut umum.
(b). Alat Bukti yang mendukung: Keterangan dari terdakwa membenarkan
identitas-identitas yang ada pada surat dakwaan. Terdakwa mampu
menjawab pertanyaan-pertanyaan yang di ajukan oleh Majelis Hakim,
Jaksa Penuntut umum dan Penasehat hukumnya
2) Unsur Obyektif
Dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan,
memaksa, dengan tipu muslihat, rangkaian kebohongan, atau dengan
membujuk anak agar melakukan dan atau membiarkan dilakukannya
180 JURNAL ILMU HUKUM: ALETHEA [Vol. 5, No. 2, 2022]

persetubuhan. Bahwa terdakwa terbukti membujuk korban melakukan


persetubuhan setelah mengetahui rumah korban dalam keadaan sepi/kosong.
Terdakwa juga pernah mengirim pesan singkat kepada korban mengatakan
jika terdakwa sayang dengan korban dan mengajaknya untuk berpacaran
sebagai bujuk rayu yang digunakan terdakwa agar korban mau melakukan
persetubuhan dengannya, sehingga membuat korban terpengaruh dan
tergerak hatinya untuk melakukan ajakan terdakwa melakukan persetubuhan
tersebut.
3) Pertimbangan Hakim terhadap Pemenuhan Unsur Yuridis
Telah terbukti dan terpenuhinya 2 alat bukti yaitu unsur subjektif dan
unsur obyekif dalam Putusan Nomor 235/Pid.Sus/2018/PN.Mkd. Terbukti
secara sah dan meyakinkan selama pemeriksaan berlangsung dari Terdakwa
tidak ditemukan alasan-alasan baik pemaaf atau pembenar yang dapat
dijadikan alasan untuk tidak menjadikan pidana kepadanya, maka Terdakwa
harus dinyatakan bersalah dan dijatuhi pidana yang setimpal dengan
perbuatannya. Bahwa Terdakwa telah terbukti melakukan perbuatan
sebagaimana dakwaan Jaksa Penuntut Umum.
Dalam tindak pidana persetubuhan yang dilakukan dengan pembujukan
maka yang perlu diperhatikan adalah dengan bujukan ada 2 (dua) orang yang
harus diperhatikan yaitu orang yang membujuk serta orang yang dibujuk.
Orang yang membujuk merupakan yang menggerakkan orang lain untuk
melakukan suatu tindak pidana , dan orang yang dibujuk adalah orang
yang digerakkan untuk melakukan tindak pidana dan kedua-duanya secara
jelas dapat dipertanggungjawabkan. Namun, dalam hal persetubuhan
tersebut yang dibujuk adalah anak perempuan, maka pertanggungjawaban
pidananya dapat hilang karena anak dianggap tidak dapat membedakan
mana yang baik dan yang benar. Bahwa perbedaan menyuruh melakukan,
orang yang disuruh adalah orang-orang yang tidak dapat dipertanggung
jawabkan dan tidak ada digunakan sarana cara-cara lain dalam hal menyuruh
melakukan tersebut, sedangkan dalam hal membujuk, orang yang dibujuk
tersebut dapat dipertanggungjawabkan dan dalam hal melakukan bujukan
atau penggerakkan ini ada sarananya atau tatacara yang ditentukan oleh
undang-undang.15
4) Pertimbangan Hakim terhadap Upaya Perdamaian dengan Korban
Dalam Putusan Nomor 235/Pid.Sus/2018/PN.Mkd pertimbangan hakim
yang melihat upaya perdamaian dengan korban sebagaimana dalam putusan
dijelaskan bahwa, Ayah korban setelah mengetahui bahwa korban hamil
sekitar 4 bulan kemudian ayah korban mendatangi rumah ketua RT agar
datang ke rumah untuk membicarakan permasalahan korban, setelah ketua
RT bertanya kepada korban siapa yang menghamilinya lalu korban menjawab
yang menghamilinya adalah terdakwa dan saksi Reno. Selanjutnya ketua RT
memanggil terdakwa dan saksi Reno beserta kedua orang tuanya untuk
dilakukan musyawarah dirumah ketua RT.

15 Nino Yusnatian, dkk., ‘aspek hukum pidana membujuk anak melakukan Persetubuhan (Studi
Kasus Putusan PN BANYUMAS Nomor74/Pid.Sus/2013/PN Bms Tahun 2013’ (2017) 6 (2)
Diponegoro Law Journal 4.
PEMIDANAAN DIBAWAH ANCAMAN PIDANA MINIMUM KHUSUS 181

Dalam pertemuan tersebut terdakwa dan saksi Reno sama-sama


mengakui bahwa telah melakukan persetubuhan sebanyak 2 kali, kaitannya
dengan hal tersebut ketua RT dan keluarga korban meminta
pertanggungjawaban kepada terdakwa dan saksi Reno, kemudian ketua RT
bertanya kepada korban siapa yang disukai dan diminta untuk menjadi
suaminya dan djawab oleh korban yang disukai adalah terdakwa dan anak
korban bersedia menikah dengan terdakwa, setelah hal itu disepakati bersama,
lalu dari pihak keluaga korban meminta pertanggungjawaban dari saksi Reno
yaitu untuk membantu dalam bentuk materi dalam proses kelahiran dan
pendidikan anak yang dikandung oleh korban sebesar Rp 25.000.000,- (dua
puluh lima juta rupiah) dan diberikan jatuh tempo sampai dengan akhir bulan
Januari 2018.
Setelah hal itu disetujui oleh keluarga saksi Reno dan keluarga korban,
pada hari itu juga dilangsungkan pernikahan siri terdakwa dengan korban,
yang disusul dengan pernikahan resmi secara sah agama di Kantor Urusan
Agama Kecamatan Magelang Tengah, Kota Magelang dengan Kutipan Akta
Nikah Nomor : 0026/II/2019 pada tanggal 07 Februari 2019 dalam
musyawarah tersebut keluarga korban menyampaikan sudah memaafkan
terdakwa dan menganggap terdakwa merupakan bagian anggota keluarga.
5) Pertimbangan Hakim terhadap Hak Korban
Dalam Putusan Nomor 235/Pid.Sus/2018/PN.Mkd yang memutus
pidana dibawah ancaman minimum khusus dengan melihat pertimbangan
hakim terhadap hak korban yang lebih diutamakan atau dijadikan dasar
keadilan bagi anak korban sendiri. Seperti halnya hak untuk hidup, tumbuh,
berkembang dan berpartisipasi dalam hal ini kaitannya dengan putusan
adalah jika masa penahanan terdakwa diberikan lebih singkat, maka
pemenuhan hak-hak tersebut lebih cepat didapatkan oleh korban. Korban
akan lebih cepat mendapatkan nafkah lahir dan batin, pemenuhan kebutuhan
finansial serta pemenuhan kasih sayang anak dalam kandungan yang
kedepannya membutuhkan hak untuk dibesarkan, dipelihara dirawat, dididik,
diarahkan dan dibimbing.
6) Pertimbangan Hakim terhadap Pelaku
Pertimbangan Hakim dalam memutus pidana dibawah ancaman
minimum khusus yang melihat bahwa terdakwa sudah menikahi korban
secara resmi sehingga hal tersebut merupakan wujud pertanggungjawaban
yang sangat tepat, dan selanjutnya terdakwa menjadi kepala keluarga dan
tulang punggung bagi korban dan anak dalam kandungan, selain itu karena
terdakwa masih muda akan banyak cita-cita dan bentuk pertanggungjawaban
yang lain yang dibutuhkan oleh korban sebagai istri dan anak dalam
kandungan.
Bahwa dalam putusan nomor 235/Pid.Sus/2018/PN.Mkd dengan telah
terbuktinya terdakwa tersebut melakukan perbuatan pidana persetubuhan
terhadap korban dan selama persidangan Majelis tidak menemukan hal-hal
yang dapat melepaskan terdakwa dari pertangungjawaban pidana, baik karena
alasan pembenar maupun alasan pemaaf. Berdasarkan fakta persidangan,
apabila ketentuan dalam Pasal 81 ayat (2) Undang-Undang Perlindungan Anak
diterapkan terhadap terdakwa maka, pidana yang dijatuhkan adalah pidana
182 JURNAL ILMU HUKUM: ALETHEA [Vol. 5, No. 2, 2022]

penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun
dan denda paling banyak Rp 5.000.000.000,- (lima milyar rupiah). Namun
dalam prakteknya, Putusan Pengadilan Negeri Kota Magelang di Mungkid
Nomor 235/Pid.Sus/ 2018/PN.Mkd perkara tindak pidana persetubuhan
terhadap anak yang diputus dibawah batas minimum khusus. Hakim hanya
memutus pidana penjara selama 3 (tiga) tahun dan denda Rp 5.000.000,- (lima
juta rupiah) dengan ketentuan jika pidana denda tidak dibayar diganti dengan
pidana kurungan selama 3 (tiga) bulan.
Hal lain yang bisa dikatakan sebagai hal yang meringankan pidana
terdakwa dalam Putusan Nomor 235/Pid.Sus/2018/PN.Mkd adalah bahwa
korban memberikan keterangan bahwa dirinya melakukan persetubuhan tidak
hanya dengan terdakwa namun juga dengan saksi Reno (nama disamarkan),
dilakukan sebanyak 2 kali didalam kamar dirumah saksi Reno pada waktu
yang berbeda dalam bulan Oktober 2017. Setelah itu keluarga korban meminta
pertanggungjawaban atas kehamilan korban dan meminta terdakwa dan saksi
Reno untuk bertanggung jawab, namun setelah dilakukan pertemuan atau
musyawarah di rumah orang tua korban, korban menyampaikan bahwa siapa
yang disukai untuk menjadi suaminya adalah terdakwa. Lalu pihak keluarga
anak korban Melati meminta kepada saksi Reno sebagai bentuk
pertanggungjawaban juga untuk membantu dalam bentuk materi dalam
proses kelahiran dan pendidikan anak yang dikandung oleh Melati, Dalam
musyawarah tersebut ibu saksi Reno menyanggupi untuk memberikan
bantuan sebesar Rp 25.000.000,- (dua puluh lima juta rupiah) yang ditetapkan
jatuh tempo sampai dengan akhir bulan Januari 2018.
Bagi hakim dalam mengadili suatu perkara terutama yang dipentingkan
adalah fakta atau peristiwanya dan bukan peraturannya. Peraturan hukumnya
hanyalah alat, sedangkan yang bersifat menentukan adalah peristiwanya.
Hakim bukan lagi corong dari undang-undang, tetapi pembentukan hukum
yang memberi bentuk pada isi undang-undang dan menyesuaikan dengan
kebutuhan-kebutuhan hukum. Hakim dalam menjatuhkan putusannya
dibimbing oleh pandangan atau pikirannya sendiri, disini fungsi hakim
menjalankan fungsi yang mandiri dalam penerapan undang-undang terhadap
peristiwa hukum konkrit.
b. Pertimbangan Filosofis
Dalam Pertimbangan filosofis unsur-unsurnya yang menitik beratkan kepada
nilai keadilan terdakwa dan korban, diperlukan sebagai sarana menjamin keadilan.
Keadilan secara umum diartikan sebagai perbuatan atau pelaku yang adil,
sementara adil adalah tidak berat sebelah, tidak memihak yang salah. Keadilan
dalam filasafat dipenuhi dalam dua prinsip, pertama tidak merugikan anak korban
dan tidak dirugikan haknya.
Sebagaimana putusan Nomor 235/Pid.Sus/2018/PN.Mkd dilihat dari hal-hal
yang memberatkan dan meringankan terdakwa, bahwa hakim menjatuhkan pidana
kepada terdakwa dibawah minimum khusus, hukuman terdakwa 3 tahun penjara
dan denda sebesar Rp 5.000.000,- (lima juta rupiah) dianggap hukuman yang
pantas bagi terdakwa karena dalam teori hukum progresif hakim tidak boleh
berperan mengindentikkan kebenaran dan keadilan itu sama dengan rumusan
PEMIDANAAN DIBAWAH ANCAMAN PIDANA MINIMUM KHUSUS 183

perundang-undangan. Pertimbangan hakim yang menitikberatkan kepada korban


dan terdakwa untuk kehidupan yang adil dan sejahtera. Artinya bahwa hukum
adalah untuk manusia, dasar ini tidak melihat hukum sebagai sesuatu yang sentral,
melainkan manusialah yang berada di titik pusat perputaran hukum. Maka dalam
putusan ini hakim dengan melihat fakta-fakta persidangan dan penerapan teori
hukum progresif yang dijadikan dasar pemberian pidana minimum khusus.
c. Pertimbangan Sosiologis
Pertimbangan sosiologis dalam putusan ini yaitu tidak bertentangan dengan
hukum yang hidup dalam masyarakat, artinya dalam putusan nomor
235/Pid.Sus/2018/PN.Mkd dimana terdakwa sudah menikahi korban yang setelah
pernikahan itu dilaksanakan maka akan muncul sebuah hak-hak yang harus
diperoleh korban yang saat ini sebagai istri dan calon ibu. Hak-hak yang harus
diperoleh disini yang utama adalah kondisi sosial yang harus didapatkan dalam
masyarakat yaitu hak untuk hidup dan tetap memperoleh perlakuan yang sama
tanpa adanya diskriminasi atas apa yang telah menimpa korban, lalu untuk anak
dalam kandungan juga akan memperoleh hak-haknya yaitu hak untuk nantinya
dibesarkan, dipelihara, dirawat, dididik, diarahkan, dan dibimbing hak atas
perlindungan, serta hak upaya perlindungan dari pemberitaan identitas melalui
media massa dan untuk menghindari labelisasi. Dengan pertimbangan sosiologis
terdakwa, maka hakim Pengadilan Negeri Kabupaten Magelang di Mungkid
menjatuhkan pidana kepada Terdakwa dengan pidana penjara 3 (tiga) tahun dan
pidana denda sebesar Rp 5.000.000,- (lima juta rupiah) Pidana itu tentunya jauh
dari pidana maksimal yaitu 5 tahun penjara dan tuntutan Jaksa Penuntut Umum
yang menuntut pidana penjara selama 6 (enam) tahun. Berdasarkan hal tersebut,
bahwa hakim benar-benar mempertimbangkan alasan sosiologis terdakwa dengan
tujuan hakim menjatuhkan pidana agar terdakwa sadar akan perbuatannya, dan
memberikan kesempatan untuk merubah kesalahan ketika masuk dalam
lingkungan masyarakat, serta memberikan efek jera tersebut melalui penjatuhan
sanksi pidana.
Pertimbangan Hakim dalam memutuskan perkara Nomor 235/Pid.Sus/
2018/PN.Mkd dengan melihat parameter hukum progresif yang memutus pidana
dibawah minimum khusus karena dengan melihat aspek keadilan bagi korban dan
dalam putusan ini hakim mempertimbangkan putusannya dengan mementingkan
korban. Maka dari itu hukum progresif ini memberikan kebebasan kepada hakim
untuk melakukan penafsiran hukum terhadap putusan tersebut. Sehingga,
penafsiran hukum oleh majelis hakim ini mempertimbangkan bahwa kesaksian
korban didalam proses peradilan menyatakan, bahwa terdakwa melakukan
persetubuhan dengan korban dilakukan atas dasar suka sama suka dan ada dalam
hubungan pacaran serta adanya sebuah pertanggung jawaban dari terdakwa untuk
menikahi korban. Maka dari itu, putusan tersebut atas dasar untuk memberikan
keadilan bagi korban maka hakim menjatuhkan pidana minimum khusus, dengan
harapan bahwa jika pidana lebih singkat maka perwujudan pertanggung jawaban
untuk anak korban yang saat ini sebagai seorang istri dapat segera terpenuhi.
Untuk membuat deskripsi yang lebih jelas mengenai hukum progresif sebagai
alat untuk menganalisis Putusan Nomor 235/Pid.Sus/2018/PN.Mkd, maka dapat
dihadapkan terlebih dahulu kepada cara berhukum yang positif legalistis.
Berhukum adalah menerapkan undang-undang, cara berhukum yang demikian ini
184 JURNAL ILMU HUKUM: ALETHEA [Vol. 5, No. 2, 2022]

semata-mata berdasarkan undang-undang atau mengeja undang-undang. Disini


tidak berpikir jauh kecuali membaca teks dan logika penerapannya, cara berhukum
yang seperti ini adalah ibarat menarik garis lurus antara dua titik. Titik yang satu
adalah pasal dalam undang-undang dan titik yang lain adalah fakta yang terjadi,
segalanya berjalan secara linier, sehingga cara berhukum sudah seperti mesin
otomatis. Berbeda dengan hukum progresif yang tidak pernah berhenti, melainkan
terus mengalir mewujudkan gagasanya, yaitu hukum untuk manusia.
Filsafat yang melatarbelakangi hukum progresif adalah bukan hukum untuk
hukum melainkan hukum untuk manusia. Hukum itu tidak sepenuhnya otonom,
melainkan senantiasa dilihat dan dinilai dari koherensinya dengan manusia dan
kemanusiaan. Hukum hanya dipersepsikan sebagai sebuah institut yang otonom
penuh, dengan logikanya sendiri dan sebagainya berpotensi menghambat usahanya
untuk menjadi sebuah institut yang melayani membahagiakan manusia.
Berbeda dengan cara berhukum tersebut, maka hukum progresif bekerja
sangat berbeda. Tidak berhenti pada membaca teks dan menerapkannya seperti
mesin otomatis, melainkan suatu aksi atau usaha. Dalam putusan nomor
235/Pid.Sus/2018/PN.mkd hakim memutus dibawah ketentuan minimum khusus
karena untuk kepentingan terbaik bagi anak korban, setelah terdakwa menikahi
korban maka terdakwa adalah tulang punggung bagi keluarga barunya. Hal lain
yang menjadi dasar pertimbangan dalam putusan ini menurut penulis karena
terdakwa belum pernah dipidana, terdakwa masih muda dan terdakwa sudah
mengakui kesalahannya.
Bahwa beberapa pertimbangan hakim dengan melihat teori hukum progresif
dalam Putusan Nomor 235/Pid.Sus/2018/PN.Mkd dalam menjatuhkan putusan
pidana dibawah minimum khusus dan setelah melihat fakta-fakta hukum yang ada
dalam putusan dapat maka dapat disimpulkan sebagai berikut :
a. Bahwa Terdakwa dan korban melakukan persetubuhan didasari atas suka
sama suka atau dalam hubungan pacaran.
b. Bahwa Terdakwa saat ini sudah bertanggung jawab atas apa yang dilakukan
yaitu pada hari kamis 7 Februari 2019 terdakwa menikahi korban secara resmi
di KUA Kecamatan Magelang Tengah.
c. Bahwa perkawinan tersebut didasari karena perasaan mencintai anak korban
dan wujud pertanggungjawaban terdakwa atas apa yang dilakukan oleh
terdakwa meski terdakwa tau bahwa korban juga melakukan persetubuhan
dengan laki-laki lain.
d. Bahwa Terdakwa sadar akan konsekuensi setelah pernikahan yaitu sekarang
terdakwa adalah tulang punggung keluarga yaitu istri (korban) dan juga anak
kandungnya.
e. Bahwa Terdakwa meyakini wujud pertanggungjawaban yang paling
bermanfaat korban adalah dengan cara menikahinya.
f. Bahwa keluarga korban sudah memaafkan terdakwa dan sudah menerima
terdakwa menjadi bagian dari keluarganya.
Berdasarkan uraian di atas, Penulis berpendapat bahwa pertimbangan hakim
dalam putusan nomor 235/Pid.Sus/2018/PN.Mkd, telah sesuai dengan teori
hukum progresif yang dimana perkawinan yang dilaksanakan oleh terdakwa dan
korban tidak berarti menghilangkan pertanggungjawaban pidana bagi terdakwa
sehingga putusan tersebut telah mengambarkan bahwa hakim tetap menjatuhi
PEMIDANAAN DIBAWAH ANCAMAN PIDANA MINIMUM KHUSUS 185

pidana walaupun penjatuhan pidananya di bawah minimum khusus. Hal ini sesuai
dengan prinsip dari teori hukum progresif yang dimulai dari hakikat dasar hukum
untuk manusia. Karena hukum tidak hadir untuk dirinya sendiri, tetapi untuk nilai-
nilai yang mematok tujuan yang lebih luas. Luasnya adalah untuk nilai-nilai
kemanusiaan dalam rangka mencapai keadilan, kesejahteraan dan kebahagiaan
manusia.
Dalam Putusan nomor 235/Pid.Sus/2018/PN.Mkd hakim memutus perkara
dengan lebih melihat kepentingan korban dan anak korban yang masih dalam
kandungan, dalam Putusan ini penekanannya pada situasi atau keadaan yang ingin
dihasilkan melalui penjatuhan pidana tersebut, karena pada tanggal 7 Februari
2019 terdakwa Reski telah menikahi korban secara sah dikantor urusan Agama
Kecamatan Magelang Tengah, Kota Magelang dengan kutipan akta nikah nomor:
0026/II/2019 yang pada intinya menerangkan bahwa pada hari Kamis tanggal 7
Februari 2019 telah dilangsungkan akad nikah seorang laki-laki bernama Reski
dengan seorang wanita bernama Melati. Dibuktikan dengan akta nikah tersebut
yang secara langsung menunjukkan itikad baik dari terdakwa yang telah menikahi
korban yang selanjutnya akan menjadi suami dan ayah dari anak dalam kandungan
korban dan pastinya memikul sebuah tanggung jawab besar sebagai seorang suami
sekaligus ayah untuk anak mereka.
Penerapan teori hukum progresif dalam putusan ini didasarkan pada fakta
bahwa antara anak yang menjadi korban dan terdakwa telah menikah. Oleh karena
telah terjadi pernikahan, maka putusan tersebut juga dimaksudkan untuk
melindungi kepentingan korban dan mempertimbangkan kelangsungan hidup
korban dan anak dalam kandungan korban agar tetap mendapatkan hak-haknya.
Hak yang dimaksudkan salah satunya adalah kebutuhan finansial dan kasih sayang
dalam hubungan keluarga, dimaksudkan apabila masa pemidanaan diberikan
sepenuhnya maka terdakwa akan semakin lama untuk bisa memberikan nafkah
lahir dan batin kepada korban dan anak dalam kandungan korban sebagai bentuk
pertanggungjawaban sebagai seorang ayah dan suami, sehingga menurut penulis
jika masa pemidanaan diberikan secara utuh kepada terdakwa akan mengakibatkan
kerugian ganda terhadap korban dan anak dalam kandungan korban, Maka dari itu
akan lebih baik masa penahanan yang diberikan lebih singkat terhadap terdakwa
agar lebih cepat juga bentuk pertanggungjawaban yang dapat dilakukan setelah
menikah dijalankan yaitu dengan bekerja untuk selanjutnya memberikan nafkah
serta bentuk pertanggung jawaban lainnya.
Jadi, pemidanaan tetap dilakukan meski terdakwa sudah menikahi korban
namun tetap diputuskan untuk dilakukan penahanan dimaksudkan untuk
memperbaiki sikap dan tingkah laku terdakwa dan di pihak lain pemidanaan itu
juga dimaksudkan untuk mencegah orang lain dari kemungkinan melakukan
perbuatan yang dilarang. Putusan ini mengambarkan cara berhukum memang
dimulai dari teks, tetapi tidak berhenti hanya sampai di situ melainkan
mengolahnya lebih lanjut, yang disebut aksi dan usaha manusia. Dengan demikian,
maka cara berhukum secara progresif itu lebih menguras energi, baik pikiran
maupun empati dan keberanian. Dengan demikian teori hukum progresif tidak
hanya dilakukan dengan mengutak-atik teks undang-undang dan menggunakan
logika, melainkan dengan akal sehat dan nurani, dan seluruh potensi yang ada pada
manusia. Dapat diartikan sebagai menguji batas kemampuan hukum, bahwa
186 JURNAL ILMU HUKUM: ALETHEA [Vol. 5, No. 2, 2022]

menjalankan hukum adalah upaya untuk mewujudkan keadilan karena berhukum


dengan teks semata tidak otomatis menciptakan keadilan. Oleh karena itu, dapat
dibedakan antara keadilan menurut teks dan keadilan yang sebenarnya. Dengan
demikian, maka berhukum itu tidak persis sama dengan menerapkan undang-
undang, melainkan suatu usaha untuk memunculkan keadilan yang tersimpan di
dalamnya.
Dapat dikatakan akan jauh lebih baik memang penerapan hukum progresif
pada Putusan Nomor 235/Pid.Sus/2018/PN.Mkd yang memutuskan pidana
dibawah minimum khusus dimaksudkan untuk membawa kearah kesejahteraan
dan kebahagiaan manusia, dalam hal ini terutama korban yang masih dalam
kandungan. Karena hukum progresif sendiri merupakan koreksi terhadap
kelemahan sistem hukum yang sarat dengan prosedur, sehingga berpotensi
meminggirkan kebenaran dan keadilan.
Pada kondisi dan fakta-fakta yang ada dalam putusan tersebut menyatakan
bahwa korban dalam kondisi hamil, dijelaskan juga pada paragraf diatas mengenai
hak-hak yang harus didapatkan korban, lalu disini akan lebih dijelaskan mengenai
pertimbangan yang melihat lebih jauh akan kepentingan anak yang masih dalam
kandungan apabila pidana diberikan secara penuh dengan batas minimum yang
ada pada Pasal 81 ayat (2) Undang-Undang Perlindungan Anak, dipertimbangkan
juga bahwa anak yang masih dalam dikandungan akan lebih lama bertemu dan
merasakan kasih sayang dari ayah (terdakwa), bahwa kasih sayang sangat
dibutuhkan untuk sang anak dalam kandungan. Kemudian nantinya jika anak itu
lahir akan muncul suatu kewajiban baru yaitu dalam hal mendidik, peran ayah
sangat dibutuhkan dalam hal ini untuk menyeimbangkan peran orang tua yang
tidak bisa digantikan dengan siapapun, kadang yang bisa dilakukan oleh seorang
ibu tapi tidak bisa dilakukan seorang ayah begitu juga sebaliknya memang ada hal
yang bisa dilakukan seorang ayah tapi tidak bisa dilakukan oleh seorang ibu, karena
memang mempunyai peranan sendiri-sendiri namun harus saling melengkapi dalam
hal mendidik seorang anak karena anak merupakan sebuah tunas yang akan terus
bertumbuh dan selalu membutuhkan sumbangsih peranan orang tua.
Kemungkinan lain dengan dipersingkat masa tahanan terhadap terdakwa agar anak
dari korban ketika ayah (terdakwa) keluar dari tahanan tidak merasa trauma,
terdeskriminasi, dan dikucilkan oleh teman-temannya dan lingkungan sekitar.

PENUTUP

Berdasarkan analisis Putusan Nomor 235/Pid.Sus/2018/PN.Mkd terkait


tindak pidana persetubuhan terhadap anak yang pidananya dibawah minimum
khusus yang ditinjau dari teori hukum progresif, penulis menyimpulkan bahwa
Putusan Nomor 235/Pid.sus/2018/PN.Mkd telah sesuai dengan perspektif Teori
Hukum Progresif, dengan melihat pertimbangan hakim dan fakta-fakta dalam
persidangan dimana hakim bukan corong undang-undang atau tidak hanya
membaca isi dari undang-undang. Hakim pada perkara a quo mempertimbangkan
bahwa pada saat perkara disidangkan, antara terdakwa dan korban sudah menikah.
Hal ini menunjukkan bahwa terjadi kesepakatan antara terdakwa dan korban
terkait permasalahan yang menjadi pokok perkara. Dengan demikian, progresifitas
PEMIDANAAN DIBAWAH ANCAMAN PIDANA MINIMUM KHUSUS 187

hakim terlihat pada pertimbangan hakim pada fakta bahwa telah terjadi
pernikahan, sehingga hakim tidak menjatuhkan hukuman sesuai batas minimum.

DAFTAR REFERENSI

Buku

Umam A, Penerapan Pidana Minimum Khusus (Varia Peradilan Tahun XXV No. 29,
IKAHI 2010).
Witanto DY dan Kutawaringin APN, Diskresi Hakim sebuah Instrumen Menegakkan
Keadilan Substantive dalam Perkara-Perkara Pidana (Alfabeta 2013).
Rahardjo S, Hukum Progresif (Yogyakarta 2020).
--------------, Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis (Genta Publishing 2009).
Marzuki PM, Penelitian Hukum (cet. 6, Kencana Prenada Media Group 2005).
Suekanto S, dan Mamudi S, Penelitian Hukum Normative Suatu Tinjauan Singkat
(Raja Grafindo Persada 2003).

Jurnal

Dewi AARP, Sujana IN dan Sugiartha ING, ‘Tindak Pidana Persetubuhan Anak Di
bawah Umur’ (2019) 1 (1) jurnal analogi hukum.
Hutagalung P, dkk, ‘Penegakan Hukum Pidana Terhadap Pelaku Persetubuhan Pada
Anak (Analisis Terhadap Putusan Mahkamah Agung’ (2014) 2 (2) USU Law
Journal.
Novriadi J, Fitriati, dan Bakir H, ‘Penerapan Unsur Tindak Pidana Persetubuhan
Terhadap Anak Yang Disebarkan Melalui Media Sosial Pada Penyidikan’ (2021)
5 (3) Unes Journal of Swara Justisia.
Yulia R, ‘Penerapan Keadilan Restoratif Dalam Putusan Hakim: Upaya Penyelesaian
Konflik Melalui Sistem Peradilan Pidana’ (2012) 5 (2) Jurnal Yudisial.
Yusnatian N, dkk., ‘aspek hukum pidana membujuk anak melakukan Persetubuhan
(Studi Kasus Putusan PN BANYUMAS Nomor74/Pid.Sus/2013/PN Bms Tahun
2013’ (2017) 6 (2) Diponegoro Law Journal.

Peraturan Perundang – Undangan

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang perubahan kedua atas Undang-


Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.

Putusan Pengadilan

Putusan Pengadilan Negeri Magelang di Mungkid Nomor


235/Pid.sus/2018/PN.Mkd.
188 JURNAL ILMU HUKUM: ALETHEA [Vol. 5, No. 2, 2022]

Anda mungkin juga menyukai