Anda di halaman 1dari 4

TUGAS KELOMPOK 1

PENGANTAR ILMU FARMASI DAN ETIKA


Contoh kasus pelangaran terhadap etika profesi

DISUSUN OLEH:

1. AKRAM EKA APRIAL (F202101179)


2. AISYAH ANUGRAH PAGALA (F202101175)
3. AINUN AULIA SANDI SALSABILA (F202101191)
4. AIN FAZARA M ODE HUSU (F202101214)
5. ALDI TOPATAWARI (F202101172)
6. ABD.HAFID (F202101216)

Program studi S1 farmasi


Fakultas sains dan teknologi
Universitas mandala waluya Kendari
2022

Apoteker A menjadi penanggungjawab apotek B yang sekaligus sebagai PSA. Suatu saat ia
mendapatkan tawaran untuk menjadi penanggungjawab PBF C dan ia menerima tawaran
tersebut. Tanpa melepas status sebagai APA, ia menjadi penanggungjawab PBF C. Untuk
mencapai target yang telah ditetapkan perusahaan (PBF C), apoteker A melakukan kerjasama
dengan apotek miliknya untuk mendistribusikan obat ke klinik dan balai pengobatan atau rumah
sakit-rumah sakit. Apotek akan mendapatkan fee dari kerjasama ini sebesar 2% faktur penjualan.
Semua administrasi dapat ia kendalikan dan lengkap (surat pesanan, faktur pengiriman, faktur
pajak, tanda terima, surat pesanan klinik dan balai pengobatan atau rumah sakit ke apotek,
pengiriman dari apotek ke sarana tersebut dll.). Semua disiapkan dengan rapi sehingga setiap ada
pemeriksaan Badan POM tidak terlihat adanya penyimpangan secara administrasi”.

Ada dua hal yang menjadi pokok permasalahan dalam kasus tersebut. Yang pertama adalah
masalah penanggung jawab, dimana Apoteker A menjadi APA di Apotek B dan juga sekaligus
menjadi PJ di Pedagang Besar Farmasi C. Yang kedua adalah pada masalah kesepakatan yang
dilakukan oleh pihak Apotek & PBF, dimana keduanya mengadakan perjanjian kerjasama agar
mendapatkan keuntungan lebih dibanding melalui prosedur normai.

Pembahasan Pelanggaran Pertama


Diketahui bahwa seorang apoteker harus memiliki izin Surat Tanda Registrasi Apoteker (STRA),
yang mana merupakan tanda bukti bahwa yang bersangkutan telah resmi teregistrasi sebagai
salah seorang tenaga kefarmasian yaitu apoteker. Disamping STRA, apoteker juga harus
memiliki izin lain ketika hendak melakukan pekerjaan kefarmasian di tempat tertentu. Surat Izin
Praktek Apoteker (SIPA), diperlukan apabila bekerja di tempat fasilitas pelayanan kefarmasian.
Sedangkan Surat Izin Kerja Apoteker (SIKA), wajib dimiliki ketika melakukan praktek di
fasilitas produksi ataupun distribusi / penyaluran kefarmasian.
Dalam kasus ini Apoteker A tidak hanya praktek di Apotek tetapi juga di PBF, sehingga
memiliki tidak hanya SIPA APA Apotek tetapi juga memiliki SIKA PJ PBF. Perbuatan ini
disebut pelanggaran karena bertentangan dengan peraturan perundangan yang berlaku, yang
dalam hal ini diatur dalam Pasal 18 Permenkes 889/2011. Diatur dalam peraturan tersebut bahwa
SIPA atau SIKA hanya boleh untuk satu fasilitas kefarmasian, artinya satu apoteker hanya boleh
memiliki SIPA atau SIKA untuk satu tempat saja.

Pembahasan Pelanggaran Kedua


Masalah yang kedua adalah perjanjian kerjasama antara Apotek dan PBF, saya persingkat saja.
Dasar dari pelanggaran tindakan ini adalah Pasal 14 UU 5/99. Pasal tersebut melarang yang
namanya integrasi vertikal, yaitu perbuatan pelaku usaha yang membuat perjanjian dengan
pelaku usaha lain dengan tujuan menguasai produksi sejumlah produk dalam suatu rangkaian
produksi baik berupa barang ataupun jasa yang mana rangkaian produksi tersebut adalah hasil
dari pengolahan atau proses berkelanjutan, baik langsung atau tidak langsung, sehingga membuat
terjadinya persaingan usaha tidak sehat ataupun juga merugikan masyarakat.

Ada perjanjian antara apotek dan pbf berupa fee bagi apoteker, dimana apotek dan pbf
merupakan bagian dari proses penyaluran / distribusi kefarmasian yang berkelanjutan hingga ke
klinik atau rumah sakit sebagai tujuan akhir maksud perjanjian tersebut. Secara jelas hal tersebut
dapat menimbulkan persaingan usaha tidak sehat, tergantung bagaimana fee tersebut digunakan
untuk menimbulkan kerugian terhadap masyarakat. Jadi disimpulkan bahwa pelanggaran yang
terjadi adalah tindak pidana berupa integrasi vertikal. Namun tentunya akan lebih jelas bila
keseluruhan dokumen diketahui, sehingga kemungkinan pelanggaran bisa dianalisis dengan lebih
tepat. Misalnya saja mungkin bisa dikaitkan dengan perjanjian tertutup yang diatur dalam pasal
15 ayat (3).

SOLUSI
Gunakanlah media Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Disini hanya melaporkan
selengkapnya setau kita saja, dan akan dijamin kerahasiaannya. Selanjutnya KPPU akan
menindaklanjuti laporan kita, mulai dari memanggil para saksi; meminta dokumen; memutuskan
perbuatan tersebut benar atau salah; hingga melanjutkan berkas ke kepolisian sebagai bahan
penyelidikan tindakan pidana. Jadi daripada melaporkan sendiri kepolisi yang belum tentu kita
benar dan takutnya malah dituntut balik, lebih baik ke KPPU aja karena semuanya mereka yang
urus. Pelanggaran integrasi vertikal ini bisa dikenakan denda minimal 25 milyar.

Anda mungkin juga menyukai