Anda di halaman 1dari 11

REGISTRASI APOTEK

DAN
IJIN APOTEK
NAMA KELOMPOK 6 :
1. DESI KARISMA SAFITRI
2. MOCH. HARYA APRIL T.
3. YUDHA FIRDHANA P.
4. RIA NUR WAHYUNINGSIH
STUDI KASUS 1

1. Ada salah satu apotek di daerah Sidoarjo, sebut saja apotek “AB” dengan APA
Apoteker Y. Apoteker Y yang bekerja di apotek “AB” sebagai APA (Apoteker Pengelola
Apotek) dan hanya datang ke apotek AB satu kali seminggu untuk memeriksa dan
mengkontrol apotek tersebut. Namun di sisi lain, Apoteker Y juga menjadi
Penanggung Jawab (PJ) pada Pedagang Besar Farmasi C. Sedangkan diatur dalam
peraturan bahwa SIPA atau SIKA hanya boleh untuk satu fasilitas kefarmasian,
artinya satu apoteker hanya boleh memiliki Surat Izin Praktik Apoteker (SIPA) dan
Surat Izin Kerja Apoteker (SIKA) untuk bekerja di dua tempat yang berbeda, hanya
untuk satu tempat dan satu profesi saja.
2. Pihak Apotek dan PBF (Pedagang Besar Farmasi) melakukan kesepakatan, dimana
keduanya mengadakan perjanjian kerjasama yang diwakili oleh Apoteker Y agar
mendapatkan keuntungan lebih dibanding melalui prosedur normal.
Dari sini, dapat ditemukan titik pelanggaran yang dilakukan. Namun tentunya akan
terasa tidak akurat bila kita menyimpulkan hal tersebut sebagai sebuah pelanggaran
tanpa adanya dasar.
JENIS PELANGGARAN YANG
DILAKUKAN
1) Masalah penanggung jawab, dimana Apoteker Y menjadi APA ( Apoteker
Pengelola Apotik ) di Apotek AB dan juga sekaligus menjadi PJ ( Penanggung
Jawab ) di Pedagang Besar Farmasi C
2) Masalah kesepakatan yang dilakukan oleh pihak Apotek dan PBF ( Pedagang
Besar Farmasi ), dimana keduanya mengadakan perjanjian kerjasama agar
mendapatkan keuntungan lebih dibanding melalui prosedur normal
DASAR HUKUM PELANGGARAN
Dalam Studi kasus perbuatan yang dilakukan oleh Apoteker Y merupakan pelanggaran karena
bertentangan dengan peraturan perundangan yang berlaku. Dalam hal ini diatur dalam Pasal 18
Permenkes No.889 Tahun 2011, Pasal 14 UU No.5 Tahun 1999, Pasal 15 UU No.5 Tahun 1999 ayat
(3).
A. Pasal 18 Permenkes No.889 Tahun 2011
1. SIPA bagi Apoteker penanggung jawab di fasilitas pelayanan kefarmasian atau SIKA hanya
diberikan untuk 1 (satu) tempat fasilitas kefarmasian.
2. Apoteker penanggung jawab di fasilitas pelayanan kefarmasian berupa puskesmas dapat
menjadi Apoteker Pendamping diluar jam kerja.
3. SIPA bagi Apoteker pendamping dapat diberikan untuk paling banyak 3 (tiga) tempat
fasilitas kefarmasian.
4. SIKTTK dapat diberikan untuk paling banyak 3 (tiga) tempat fasilitas kefarmasian.
Lanjutan

B. Pasal 14 UU No.5 Tahun 1999


Pasal 14 UU nomor 5 tahun 1999 mengenai integrasi vertikal berisi :
“Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha yang lain yang
bertujuan untuk menguasai sejumlah produk yang termasuk dalam rangkaian
produksi barang atau jasa tertentu yang mana setiap rangkaian produksi
merupakan hasil pengolahan atau proses lanjutan, baik dalam satu rangkaian
langsung maupun tidak langsung, yang dapat mengakibatkan terjadinya
persaingan usaha tidak sehat dan atau merugikan masyarakat”.
Lanjutan

C. Pasal 15 UU No.5 Tahun 1999 ayat (3)


“ Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian mengenai harga atau potongan harga
tertentu atas barang dan atau jasa dari pelaku usaha pemasok :
1. Harus bersedia membeli barang dan atau jasa lain dari pelaku usaha pemasok.
2. Tidak akan membeli barang dan atau jasa yang sama atau sejenis dari pelaku usaha
lain yang menjadi pesaing dari pelaku usaha pemasok.”
Ketentuan Pasal 15 Ayat 3 mengatur suatu perjanjian mengenai persyaratan tertentu, yang
mengikat pembeli supaya dia bisa memasok barang atau jasa dari produsen dengan pemberian
harga atau potongan harga yaitu melalui suatu perjanjian eksklusif.
SOLUSI

PELANGGARAN 1
Pelanggaran yang pertama yaitu mengenai penanggung jawab.
Diketahui bahwa seorang apoteker harus memiliki izin Surat Tanda
Registrasi Apoteker (STRA), yang mana merupakan tanda bukti bahwa
yang bersangkutan telah resmi teregistrasi sebagai salah seorang
tenaga kefarmasian yaitu Apoteker. Disamping STRA, apoteker juga
harus memiliki izin lain ketika hendak melakukan pekerjaan
kefarmasian di tempat tertentu. Surat Izin Praktek Apoteker (SIPA),
diperlukan apabila bekerja di tempat fasilitas pelayanan kefarmasian,
sedangkan Surat Izin Kerja Apoteker (SIKA) wajib dimiliki ketika
melakukan praktek di fasilitas produksi ataupun
distribusi/penyaluran kefarmasian.
Lanjutan

Dalam kasus ini Apoteker Y tidak hanya praktek di Apotek tetapi juga di PBF,
sehingga memiliki tidak hanya SIPA APA Apotek tetapi juga memiliki SIKA PJ PBF.
Perbuatan ini disebut pelanggaran karena bertentangan dengan peraturan
perundangan yang berlaku, yang dalam hal ini diatur dalam Pasal 18 Permenkes
889/2011. Diatur dalam peraturan tersebut bahwa SIPA atau SIKA hanya boleh untuk
satu fasilitas kefarmasian, artinya satu apoteker hanya boleh memiliki SIPA atau SIKA
untuk satu tempat saja, bukan boleh memiliki SIPA dan SIKA untuk satu tempat kerja.
Jadi,
PELANGGARAN 2
Pelanggaran yang kedua adalah perjanjian kerjasama antara Apotek dan PBF. Dasar
dari pelanggaran tindakan ini adalah Pasal 14 UU No. 5 tahun 1999. Pasal tersebut
melarang yang namanya integrasi vertikal, yaitu perbuatan pelaku usaha yang membuat
perjanjian dengan pelaku usaha lain dengan tujuan menguasai produksi sejumlah produk
dalam suatu rangkaian produksi.
Sebenarnya untuk sebuah kasus yang melibatkan sebuah perjanjian, kita harus
menyimak benar-benar isi dari perjanjian tersebut. Tapi disini kita bisa berpatokan pada
suatu kenyataan yang kita ketahui, yaitu ada perjanjian antara Apotek dan PBF berupa fee
bagi apoteker, dimana Apotek dan PBF merupakan bagian dari proses penyaluran /
distribusi kefarmasian yang berkelanjutan hingga ke klinik atau rumah sakit sebagai
tujuan akhir maksud perjanjian tersebut. Secara jelas hal tersebut dapat menimbulkan
persaingan usaha tidak sehat, tergantung bagaimana fee tersebut digunakan untuk
menimbulkan kerugian terhadap masyarakat.
Lanjutan

Jadi disimpulkan bahwa pelanggaran yang terjadi adalah tindak pidana berupa
integrasi vertikal. Namun tentunya akan lebih jelas bila keseluruhan dokumen
diketahui, sehingga kemungkinan pelanggaran bisa dianalisis dengan lebih tepat.
Misalnya saja mungkin bisa dikaitkan dengan perjanjian tertutup yang diatur dalam
pasal 15 ayat (3).
Untuk solusinya sebaiknya gunakanlah media Komisi Pengawas Persaingan Usaha
(KPPU). Disini kita hanya melaporkan selengkapnya hal yang kita tahu saja, dan
akan dijamin kerahasiaannya. Selanjutnya KPPU akan menindaklanjuti laporan kita,
mulai dari memanggil para saksi; meminta dokumen; memutuskan perbuatan
tersebut benar atau salah; hingga melanjutkan berkas ke kepolisian sebagai bahan
penyelidikan tindakan pidana. Jadi daripada melaporkan kepolisi yang belum tentu
kebenarannya lebih baik laporkan terlebih dahulu ke KPPU agar tidak terjadi
tuntutan balik karena salah paham.
STUDI KASUS 2

Anda mungkin juga menyukai