Bab Iv
Bab Iv
id
BAB IV
HASIL PENELITIAN
67
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
1
Marulak Pardede, Laporan Akhir Penelitian Hukum tentang IMPLEMENTASI JAMINAN FIDUSIA
DALAM PEMBERIAN KREDIT DI INDONESIA, Badan Pembinaan Hukum Nasional – Jakarta, hal 22
68
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
perjanjian penyerahan hak milik sebagai jaminan sebagai jaminan dan merupakan title
yang sah. Kurator Kepailitan diperintahkan untuk menyerahkan inventaris Bos kepada
Bierbrouwerij. Hal ini telah melahirkan pranata jaminan dengan jaminan penyerahan
hak milik secara kepercayaan yang dikenal dengan Fidusia.
Fiduciare Eigendoms Overdracht (FEO) yang bersumberkan kepada
yurisprudensi yang tentunya pengertiannya kita analisa berdasarkan yurisprudensi yang
ada di Negara Indonesia maupun Belanda. Yang dimaksud dengan yurisprudensi ialah
serangkaian keputusan-keputusan hakim yang sama bunyinya tentang masalah yang
serupa, maksudnya bila keputusan seorang hakim yang membuat suatu peraturan sendiri
menjadi dasar keputusan seorang hakim lain, maka keputusan disebut pertama menjadi
sumber hukum bagi pengadilan. Pada mulanya putusan hakim itu memang berlaku bagi
para pihak yang bersangkutan, keputusan itu secara berurutan dipedomani oleh hakim
sesudahnya sehingga merupakan dasar peradilan dan administrasi dan ahli hukum.
Lembaga jaminan fidusia sah dan mempunyai dasar hukum setelah putusan
Hoge Raad pada tanggal 25 Januari 1929 NJ 1929.616(Bierbrouwerij arrest).
Yurisprudensi di atas memberikan dasar pengertian fidusia. Dengan berkembangnya
lembaga jaminan fidusia barn mempunyai dasar hukum dan sah dan praktik perbankan
dengan keluarnya keputsan Betaafsche Petrolium Maatschappij Arrest.
Kedua yurisprudensi diatas memberikan dasar pengertian bahwa fidusia adalah
salah satu bentuk pengikatan jaminan dimana debitur menyerahkan hak miliknya atas
benda bergerak sebagai jaminan kepada kreditor, karena benda tersebut diperlukan oleh
debitur secara kepercayaam kreditor menyerahkan kembali kepada debitor.
Pertimbangan hakim atas 2 (dua) yurisprudensi diatas adalah :2
1. Bierbrouwerij Arrest (Hoge Raad tanggal 25 Januari 1929 N.616)
Dalam kasus ini seorang pengusaha bir dan restoran meminjam uang kepada
Bank (NV Heineken Bierbrouwerij Maatchappij). Sebagai jaminan kedua
pihak mengadakan perjanjian jual beli mesin perusahaan, stock barang, dan
iventaris restoran. Perjanjian mensyaratkan semua benda tersebut dipinjam
pakai oleh debitur, jika debitur pailit perjanjian pinjam pakai diputuskan dan
2
Mariani St.B, Tanjung, Fiduciare Eigendoms Overdracht Sebagai Lembaga Jaminan, (akademi
Keuangan dan Perbankan : Padang) , hal. 5
69
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
70
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
3
Ibid., hal 5-6
71
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
uraian terlihat bahwa hal jaminan fidusia benar terjadi pengalihan hak kepemilikan,
namun demikian pengalihan hak kepemilikan dalam hal jaminan fidusia adalah
pengalihan hak kepemilikan atas suatu benda atas dasar kepercayaan dengan janji bahwa
benda yang hak kepemilikannya dialihkan tetap berada dalam penguasaan pemberi
jaminan fidusia (Pemberi Fidusia)
Pengalihan hak kepemilikan atas benda yang menjadi obejek jaminan fidusia
seperti tersebut diatas dilakukan dengan cara constitutum pessessorium(verklaring van
houderschap) artinya pengalihan hak kepemilikan atas suatu benda dengan melanjutkan
penguasaan atas benda tersebut yang berakibat bahwa pemberi fidusia seterusnya akan
menguasai benda dimaksud untuk kepentingan penerima jaminan fidusia “Penerima
Fidusia).4
Pranata Fidusia telah mendapat legalitasnya dengan diterbitkan Undang-Undang
No 2 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, diundangkan pada tanggal 30 September
1999, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor : 168. Pertimbangan
diterbitkannya undang-undang dimaksud adalah :
1. Bahwa kebutuhan yang sangat besar dan terus meningkat bagi dunia usaha
atas tersedianya dana, perlu diimbangi dengan adanya ketentuan hukum yang
jelas dan lengkap yang mengatur mengenai lembaga jaminan
2. Bahwa Jaminan Fidusia sebagai salah satu bentuk lembaga jaminan sampai
saat ini masih didasarkan pada yurisprudensi dan belum diatur dalam
peraturan Perundang-Undangan secara lengkap dan komprehensif
3. Bahwa untuk memenuhi kebutuhan hukum yang dapat lebih memacu
pembangunan nasional dan untuk menjamin kepastian hukum serta mampu
memberikan perlindungan hukum bagi pihak yang berkepentingan, maka
perlu dibentuk ketentuan yang lengkap mengenai Jaminan Fidusia dan
jaminan tersebut perlu didaftarkan pada Kantor Pendaftaran Fidusia.
Dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang
Jaminan Fidusia dinyatakan bahwa :
Butir 2 :
“......... jaminan Fidusia telah digunakan di Indonesia sejak zaman
4
Marulak Pardede, Op.Cit., hal. 36-38
72
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
penjajahan Belanda sebagai salah satu bentuk jaminan yang lahir dari
yurisprudensi. bentuk jaminan ini digunakan secara luas dalam transaksi pinjam
meminjam karena proses pembebanannya diangap sederhana, mudah, dan cepat
tetapi tidak menjamin adanya kepastian hukum.
Lembaga Jaminan Fidusia memungkinkan kepada para pemberi Fidusia
untuk menguasai Benda yang dijaminkan, untuk melakukan kegiatan usaha yang
dibiayai dari pinjaman dengan menggunakan Jaminan Fidusia. Pada awalnya,
benda yang menjadi objek fidusia terbatas pada kekayaan benda bergerak yang
berwujud dalam bentuk peralatan. Akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya
benda yang menjadi objek fidusia termasuk juga kekayaan benda bergerak yang
tak berwujud maupun benda tak bergerak.
Butir 3 :
Undang-Undang ini, dimaksudkan untuk menampung kebutuhan
masyarakat mengenai peraturan Jaminan Fidusia sebagai salah satu sarana untuk
membantu kegiatan usaha dan untuk memberikan kepastian hukum kepada para
pihak yang berkepentingan.
Seperti telah dijelaskan bahwa jaminan Jaminan Fidusia memberikan
kemudahan bagi para Pihak yang menggunakannya, khususnya bagi Pemberi
Fidusia. Namun sebaliknya karena Jaminan Fidusia tidak didaftarkan, kurang
menjamin kepentingan pihak yang menerima fidusia. Pemberi Fidusia mungkin
saja menjaminkan benda yang telah dibebani dengan fidusia kepada pihak lain
tanpa sepengetahuan Penerima Fidusia. Sebelum Undang-Undang Jaminan
Fidusia dibentuk, pada umumnya benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia
adalah benda bergerak yang terdiri dari benda dalam persediaan (inventory),
benda dagangan, piutang, peralatan mesin dan kendaraan bermotor. Oleh karena
itu, guna memenuhi kebutuhan masyarakat yang terus berkembang, maka
menurut Undang-Undang ini objek Jaminan Fidusia diberikan pengertian luas
yaitu benda bergerak yang berwujud maupun tak berwujud dan benda tak
bergerak yang tidak dapat dibebani dengan hak tanggungan sebagaimana
ditentukan dalam Undang-Undang Hak Tanggungan Nomor 4 Tahun 1996
tentang Hak Tanggungan.
73
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
74
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
tidak melakukan perikatan fidusia jelas bertentangan dengan legal spirit yang diatur
dalam pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Jaminan Fidusia yang menegaskan bahwa
“Pembebanan jaminan fidusia dibuat dengan Akta Notaris dalam bahasa Indonesia dan
merupakan Akta jaminan Fidusia”. Sekalipun tidak dilakukannya perikatan fidusia tidak
mengandung sanksi berdasarkan Undang-undang jaminan fidusia tersebut. Dalam hal ini
sama sekali tidak ada kepastian hukum dan pihak-pihak yang berkepentingan tidak akan
memperoleh perlindungan hukum.5
Selanjutnya sebagaimana kita ketahui dan pahami tujuan utama dari pada
Jaminan Fidusia adalah menjamin kepastian hukum atau pelindungan untuk pihak
kreditur bilamana terjadi wanprestasi dari pihak debitur. Dan jaminan fidusia memberi
tawaran yang cukup baik yaitu bilamana debitur wanprestasi maka dapat dilakukan
parate eksekusi objek jaminan untuk pelunasan kredit. Akan tetapi Pasca Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019 terhadap Inskontitusionalitas Pasal
15 ayat 2 dan 3 Undang-Undang Jaminan Fidusia yang oleh beberapa orang berpendapat
atau mengartikan bahwa segala eksekusi harus melalui Pengadilan menjadikan Pro dan
Kontra terkait pelaksanaan dimasyarakat. Namun demikian, agar eksekusi atas benda
jaminan fidusia tersebut dapat dilaksanakan untuk pelunasan utang debitur, hal yang
paling mendasar sebagaimana yang juga berlaku dalam perjanjian pada umumnya harus
memenuhi syarat bahwa debitur harus telah dinyatakan cidera janji. Di dalam teori
perjanjian, para pihak dalam sebuah perjanjian dinyatakan telah melakukan cidera janji
jika isi dari perjanjian berupa melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu tersebut
lalai dilakukan oleh para pihak. Misalkan, dalam sebuah perjanjian, di mana debitur di
dalam perjanjian pokok diwajibkan untuk membayar atau melunasai utangnya kepada
debitur pada waktu yang telah ditentukan, kemudian debitur lalai untuk
melaksanakannya pada waktu yang ditentukan tersebut, maka dengan demikian, debitur
telah dianggap cidera janji. Untuk benar-benar dinyatakannya debitur telah cidera janji,
maka kreditur harus terlebih dahulu memberikan peringatan (somasi) bahwa debitur
telah lalai melaksanakan prestasinya. Mengenai hal ini, sebagaimana ditegaskan di
dalam ketentuan pasal 1238 KUHPerdata.
5
Nur Amin Solukhah dan Pranoto, Problematika Hukum Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang
Jamininan Fidusia Terkait dengan Peraturan Menteri Keuangan republik Indonesia No 130/PMK.010/2012
75
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
76
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman danperlindungan dari ancaman ketakuan
untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi”.
Didalam kedudukan hukum (legal stading) para pemohon menjelaskan terkait
kedudukannya dalam dalam perkara ini yaitu Pemohon I merupakan Pemberi Fidusia
dalam Sertifikat Jaminan Fidusia (Pemberi Fidusia) Nomor W11.01617952.AH.05.01
yang mengalami kerugian secara langsung akibat dari penarikan objek jaminan fidusia
yangdilakukan oleh Penerima Fidusia. Pemohon II merupakan suami dari Pemohon I
yang secara faktual terlibat aktif dalam pembayaran cicilan atau kredit mobil
yangmenjadi objek jaminan fidusia, sehingga ketika Penerima Fidusia melakukan
tindakan penarikan objek jaminan fidusia maka Pemohon II, baik secara langsung
maupun tidak langsung mengalami kerugian yang sama sebagaimana dialami Pemohon I.
Dengan berlakunya pasal a quo yang dimohonkan para Pemohon, senyatanya telah
merugikan hak konstitusional para Pemohon. Kekuasaan yang berlebihan dan tanpa
kontrol mekanisme hukum yang sewajarnya, dengan menyetarakan kedudukan Sertifikat
Jaminan Fidusia dengan putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap, telah
mengakibatkan tindakan sewenang-wenang Penerima Fidusia untuk melakukan eksekusi
terhadap objek jaminan fidusia, bahkan dengan menghalalkan segala macam cara serta
tanpa melalui prosedur hukum yang benar, Bahwa tindakan sewenang-wenang yang
dilakukan Penerima Fidusia dilakukan dengan cara menyewa jasa debt collector, untuk
mengambil alih barang yang dikuasai Pemohon tanpa melalui prosedur hukum yang
benar. Ada beberapa momentum tindakan paksa, tanpa menunjukkan bukti dan dokumen
resmi, tanpa kewenangan, dengan menyerang diri pribadi, kehormatan, harkat dan
martabat, serta mengancam akan membunuh Para Pemohon. Atas tindakannya itu,
terdapat Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 345/PDT.G/2018/PN.Jkt.Sel
yang menyatakan bahwa tindakan Penerima Fidusia sebagaimana dijelaskan di atas,
merupakan perbuatan melawan hukum. Oleh karena itu, Penerima Fidusia bahkan telah
diberikan sanksi untuk membayar denda baik Materiil maupun Immateriil. Adapun
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 345/PDT.G/2018/PN.Jkt.Sel
menyatakan sebagai berikut:
77
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
o Dalam Eksepsi:
Menolak eksepsi T1 (PT. Astra Sedaya Finance), T2 (Idris Hutapea),T3 (M.
Halomoan Tobing) dan TT (Otoritas Jasa Keuangan) untukseluruhnya;
o Dalam Pokok Perkara:
1. Mengabulkan gugatan penggugat untuk sebagian;
2. Menyatakan T1 (PT. Astra Sedaya Finance), T2 (Idris Hutapea),
dan T3 (M. Halomoan Tobing) telah MELAKUKAN PERBUATAN
MELAWAN HUKUM yang merugikan PEMOHON I;
3. Menghukum T1 (PT. Astra Sedaya Finance), T2 (Idris Hutapea),
dan T3 (M. Halomoan Tobing) secara tanggung renteng membayar
kerugian materiil kepada penggugat sebesar Rp. 100.000,-;
4. Menghukum T1 (PT. Astra Sedaya Finance), T2 (Idris Hutapea),
dan T3 (M. Halomoan Tobing) secara tanggung renteng membayar
ganti rugi kerugian immateriil kepada penggugat sebesar Rp.
200.000.000,-;
5. Menghukum TT (Otoritas Jasa Keuangan) untuk mematuhi isi
putusan ini;
Akan tetapi dalam pelaksanaannya meskipun telah ada Putusan Pengadilan terkait
perselisihan antara Pemberi dan Penerima Fidusia tersebut di atas, Penerima Fidusia tetap
mengabaikannya dengan tetap melakukan penarikan terhadap objek jaminanFidusia pada
tanggal 11 Januari 2019, dengan mendasarkan bahwa Perjanjian Fidusia dianggap telah
berkekuatan hukum tetap dengan mendasarkan pada ketentuan Pasal yang sedang
dimohonkan a quo. Berdasarkan hal itu, kerugian konstitusional yang dialami para
Pemohon bersifat spesifik dan aktual. Jika ketentuan pasal a quo tidak ada atau paling
tidak, dapat dimaknai seperti permohonan a quo maka kerugian konstitusional para
Pemohon tidak akan terjadi. Dengan demikian, para Pemohon menilai perlindungan hak
milikpribadi, kehormatan, harkat, dan martabat yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar
1945 telah dilanggar dengan berlakunya ketentuan Pasal 15 ayat (2) dan ayat (3) Undang-
Undang Nomor 42/1999 yang memberikan kesempatan kepada penerima fidusia untuk
melakukan perbuatan-perbuatan atau paling tidak menafsirkan pasal a quo sehingga
bertindak sewenang-wenang dengan menindas harkat dan martabat serta kehormatan Para
Pemohon, sehingga secara mutatis mutandis kerugian konstitusional yang dialami para
Pemohon bersifat spesifik dan aktual sekaligus kerugian yang dialami para Pemohon
78
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
79
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
80
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
81
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
yang menjadi objek jaminan fidusia untuk dieksekusi, maka proses eksekusi
atas benda yang menjadi objek jaminan fidusia wajib dilakukan dengan cara
menempuh proses eksekusi sebagaimana putusan yang telah berkekuatan
hukum, yakni fiat pengadilan. Dengan kata lain, proses eksekusi dengan cara
parate eksekusi dianggap tidak sah menurut putusan Mahkamah Konstitusi
atas benda yang menjadi objek jaminan jika debitur tidak secara sukarela
menyerahkan benda objek jaminan fidusia untuk dieksekusi;
4. Demikian pula pernyataan terjadinya cidera janji oleh kreditur terhadap
debitur, di mana debitur tidak bersepakat dengan kreditur bahwa dirinya
telah cidera janji serta tidak bersedia menyerahkan benda yang menjadi
objek jaminan fidusia secara sukarela kepada kreditur, maka proses eksekusi
atas benda jaminan fidusia tidak dapat dilakukan melalui parate eksekusi,
melainkan melalui eksekusi grosse akta, bahkan melalui eksekusi yang
didahului dengan gugatan wanprestasi untuk menyatakan bahwa benar
tidaknya debitur telah cidera janji (wanprestasi).
Adapun yang melatar belakangi amar putusan Mahkamah Konstitusi dalam
menentukan bahwa cidera janjinya debitur hanya dapat dinyatakan telah terjadi atas
dasar kesepakatan bersama antara debitur dan kreditur atau berdasarkan upaya hukum
adalah demi memberikan perlindungan hukum kepada debitur dari kesewenang-
wenangan kreditur (eigenrichting) yang secara sepihak menyatakan debitur telah cidera
janji. Bentuk perlindungan hukum yang diberikan oleh Majelis Hakim Mahkamah
Konstitusi kepada debitur ini, tercermin di dalam pertimbangan hukum Majelis Hakim
Mahkamah Konstitusi pada halaman118, yakni:“...Hal tersebut menunjukkan, di satu
sisi, adanya hak yang bersifat eksklusif yang diberikan kepada kreditur dan, di sisi lain,
telah terjadi pengabaian hak debitur yang seharusnya juga mendapat perlindungan
hukum yang sama, yaituhak untuk mengajukan/mendapat kesempatan pembelaan diri
atas adanya dugaan telah cidera janji (wanprestasi) dan kesempatan mendapatkan
hasil penjualan objek jaminan fidusia dengan harga yang wajar. Dengan kata lain,
dalam hal ini, penilaian perihal telah terjadinya “cidera janji” secara sepihak dan
eksklusif ditentukan oleh kreditur (penerima fidusia) tanpa memberikan kesempatan
kepada deditur (pemberi fidusia) untuk melakukan sanggahan dan atau pembelaan
82
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
diri”.
Adanya cidera janji yang hanya dapat dinyatakan telah terjadi atas kesepakatan
bersama antara debitur dan kreditur atau melalui upaya hukum sebagaimana dalam
pertimbangan dan amar putusan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi tersebut, pada
prinsipnya ditegaskan oleh Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi, karena di dalam
ketentuan Undang-Undang Jaminan Fidusia tidak memberikan kepastian hukum yang
jelas terkait kapan debitur dinyatakan telah cidera janjidan siapa yang berhak
menentukan telah terjadinya cidera janji tersebut. Apakah saat debitur lalai dalam
membayar angsuran utangnyasesuai waktu yang ditentukan atau saat debitur lalai
dalammelakukan pelunasan utangnya. Hal ini tercermin di dalam pertimbangan hukum
Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi pada halaman 119 paragraf terakhir sampai
dengan halaman 120 paragraf pertama, yakni:“Bahwa substansi norma dalam Pasal 15
ayat (3) Undang-Undang Nomor 42 tahun 1999 berkaitan dengan adanya unsur debitur
yang “cidera janji” yang kemudian memberikan hak kepada penerima fidusia (kreditur)
untuk menjual benda yang menjadi objek jaminan fidusia atas kekuasaannya sendiri.
Persoalannya adalah kapan “cidera janji” itu dianggaptelah terjadi dan siapa yang
berhak menentukan? Inilah yang tidak terdapat kejelasannya dalam norma Undang-
Undang a quo. Dengan kata lain, ketiadaan kejelasan tersebut membawa konsekuensi
yuridis berupa adanya ketidakpastian hukum perihal kapan sesungguhnya pemberi
fidusia (debitur) telah melakukan “cidera janji” yang berakibat timbulnya kewenangan
yang bersifat absolut pada pihak penerima fidusia (kreditur) untuk menjual benda yang
menjadi objek jaminan fidusia yang berada dalam kekuasaan debitur. Dengan
demikian, telah ternyata bahwa dalam substansi norma Pasal 15 ayat (3) Undang-
Undang Nomor 42 Tahun 1999, juga terdapat permasalahan konstitusionalitas turunan
yang tidak dapat dipisahkan dengan permasalahan yang sama dengan ketentuan yang
substansinya diatur dalam norma Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Nomor 42 Tahun
1999, yaitu ketidakpastian hukum yang berkaitan dengan tata cara pelaksanaan
eksekusi dan kepastian tentang waktu kapan pemberi fidusia (debitur) dinyatakan
“ciderajanji” (wanprestasi), apakah sejak adanya tahapan angsuran yang terlambat
atau tidak dipenuhi oleh debitur ataukah sejak jatuh tempo pinjaman debitur yang
sudah harus dilunasinya. Ketidakpastian demikian juga berakibat pada timbulnya
83
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
penafsiran bahwa hak untuk menentukan adanya “cidera janji” dimaksud ada di tangan
kreditur (penerima fidusia). Adanya ketidakpastian hukum demikian dengan sendirinya
berakibat hilangnya hak-hak debitur untuk melakukan pembelaan diri dan kesempatan
untuk mendapatkan penjualan objek jaminan fidusia dengan harga yang wajar”.
Jika dicermati pertimbangan hukum Majelis Hakim Konstitusi di atas, ditinjau
dari teori perjanjian, nampaknya telah melemahkan klausula perjanjian di dalam
perjanjian pokok jaminan fidusia. Sebab, di dalam perjanjian pokok jaminan fidusia,
yakni perjanjian utang-piutang, senantiasa terdapat klausula dimana debitur wajib
melaksanakan prestasi berupa membayar angsuran utangnya kepada kreditur pada waktu
yang telah ditentukan sampai kemudian utang debitur dinyatakan telah lunas
terbayarkan lazimnya pula, dari telah ditetapkannya besarnya angsuran yang harus
dibayar debitur pada waktu tertentu, di dalam perjanjian tersebut telah pula menentukan
bahwa debitur wajib melunasi utangnya pada waktu tertentu.
Selain itu, di dalam perjanjian pokok jaminan fidusia sebagaimana dalam
klausula perjanjian pada umumnya, senantiasa pula disertai klausula yang telah
disepakati bersama antara debitur dan kreditur terkait keadaan di mana para pihak,
khususnya debitur dinyatakan cidera janji. Hal ini bahkan telah diatur dan dipertegas
didalam ketentuan pasal 1238 KUH Perdata, yang pada pokoknya menyatakan debitur
dinyatakan lalai (cidera janji) bila debitur dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang
ditentukan. Ini berarti, dengan lalainya debitur dalam melaksanakan kewajibannya yang
telah disepakati bersama di dalam surat perjanjian, maka secara otomatis, debitur pada
saat itu telah dinyatakan cidera janji. Sehingga berdasarkan teori Perjanjian tanpa
penegasan mengenai kapan dinyatakan cidera janji dan siapa yang berhak menyatakan
telah terjadi cidera janji di dalam Undang-Undang Jaminan Fidusia sebagaimana
pertimbangan hukum dan amar putusan Majelis Hakim Konstitusi, sesungguhnya telah
memiliki acuan yang jelas kapan para pihak, khususnya debitur dinyatakan cidera
janjidan dengan jelasnya kapan dinyatakan debitur cidera janji, yang mana hal tersebut
telah disepakati bersama dalam klausula perjanjian, sesungguhnya tidak lagi
membutuhkan keharusan adanya kesepakatan terkait telah terjadinya cidera janji. Sebab,
hal tersebut telah disepakati bersama di dalam klausula perjanjian pokok dan dengan
telah disepakati bersama tersebut, menurut teori perjanjian sebagaimana kemudian
84
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
ditegaskan di dalam ketentuan Pasal 1338 KUH Perdata yang merupakan payung hukum
perjanjian pada umumnya (termasuk perjanjian jaminan fidusia), telah mengatur bahwa
semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka
yang membuatnya. Sehingga dengan demikian, dengan adanya klausula di dalam
perjanjian pokok jaminan fidusia yang mengatur terkait cidera janji, maka hal tersebut
sudah memberikan perlindungan terkait kapan dinyatakan debitur telah cidera janji.
Kendati ditinjau dari teori perjanjian sebagaimana yang diuraikan di atas
sesungguhnya telah jelas kapan terjadinya cidera janji para pihak dalam perjanjian
jaminan fidusia, khususnya debitur serta dengan jelasnya hal tersebut di mana telah
disepakati pula secara bersama di dalam klausula perjanjian oleh debitur dan kreditur,
maka sesungguhnya tanpa penegasan sebagaimana di dalam amar putusan majelis
Hakim Mahkamah Konstitusi terkait cidera janji harus disepakati bersama,
sesungguhnya telah terjadi kepesakatan bersama terkait keadaan cidera janji tersebut.
Namun, dengan adanya pertimbangan hukum dan amar putusan Majelis Hakim
Mahkamah Konstitusi sebagaimana yang diuraikan di dalam putusan Nomor 18/PUU-
XVII/2019 tersebut, memiliki implikasi bahwa sebelum melakukan eksekusi atas benda
jaminan fidusia, adanya cidera janji oleh debitur sebagai syarat untuk melakukan
eksekusi harus kembali mendapatkan kesekapatan bersama antara debitur dan kreditur
terkait telah terjadinya cidera janji tersebut. Jika tidak terdapat kesekapatan terkait benar
tidaknya debitur telah cidera janji, maka hal tersebut wajib ditempuh melalui upaya
hukum untuk menentukan benar tidaknya debitur telah cidera janji.
Selain itu, kendati para pihak (debitur dan kreditur) telah bersepakat terkait
adanya cidera janji debitur, namun dengan penegasan pertimbangan hukum dan amar
putusan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang tertuang di dalam putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019 perihal debitur harus menyerahkan
benda jaminan fidusia kepada kreditur secara suka rela, maka eksekusi atas benda
jaminan fidusia harus dilakukan melalui mekanisme dan prosedur hukum sebagaimana
eksekusi atas putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Dengan kata lain,
dalam keadaan debitur tidak menyerahkan benda jaminan secara sukarela, eksekusi atas
benda jaminan fidusia harus melalui eksekusi grosse akta fiat pengadilan. Sehingga,
dengan ketentuan seperti itu,ruang untuk melaksanakan parate eksekusi sebagai fasilitas
85
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
86
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
debitur, maka eksekusi atas benda jaminan fidusia hanya mungkin dilakukan
dengan terlebih dahulu melakukan upaya hukum untuk menentukan telah
terjadinya cidera janji. Dalam hal ini adalah melalui mekanisme upaya
hukum berupa gugatan wanprestasi;
Jika dicermati secara keseluruhan pertimbangan hukum dan amar putusan dari
Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi dalam putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor18/PUU-XVII/2019, sesungguhnya Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi sangat
menekankan adanya perlindungan hukum yang pasti dan adil yang bersifat preventif
dari pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia yang diatur di dalam Undang-Undang
Jaminan Fidusia, khususnya ketentuan pasal 15 ayat (2) dan ayat (3). Perlindungan
hukum yang pasti dan adil ini, sesungguhnya merupakan ciri mendasar dari sebuah
negara hukum (recht staat) yang juga dianut oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia
sebagaimana yang terurai dengan jelas dan tegas di dalam konstitusi, Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Namun demikian, di dalam teori tujuan hukum, kehadiran dan eksistensi hukum
tidak semata-mata memberikan perlindungan yang pasti dan adil, melainkan juga
kehadiran dan eksistensi hukum bertujuan untuk mewujudkan kemanfaatan sebagimana
yang ditekankan oleh aliran utilitarianisme. Bagi aliran utilitarianisme yang digagas oleh
Jeremy Bentham-filsuf Inggris dan kemudian dikembangkan pula oleh Richard B.
Brandt, dengan tegas menyatakan bahwa perbuatan adalah baik secara moral, bila sesuai
dengan aturan yang berfungsi dalam sistem aturan moral yang paling berguna bagi suatu
masyarakat. Pada putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019 yang
mengakibatkan lemahnya eksekusi jaminan fidusia sehingga berimplikasi pada daya
penawaran atau kemauan para kreditur untuk menyediakan dana pinjaman bagi para
debitur, yang otomatis berimplikasi pula pada menurunnya perkembangan
pembangunan ekonomi nasional, sesungguhnya tidak menekankan pertimbangan hukum
dari aspek kemanfaatan sebagaimana yang diusung oleh aliran utilitarianisme.
Akan tetapi ditahun 2021 Mahkamah Konstitusi mengeluarkan Putusan Terbaru
juga mengenai Pengujian Undang-Undang Nomor 42 Tahun1999 tentang Jaminan
Fidusia terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Melalui Putusan MK No.2/PUU-XIX/2021 tertanggal 31 Agustus 2021, MK
87
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
telah menolak pengujian Pasal 15 ayat (2) dan Penjelasan Pasal 15 ayat (2) Undang-
Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (Undang-Undang Jaminan
Fidusia) terkait eksekusi sertifikat jaminan fidusia. Majelis MK menganggap tidak
terdapat persoalan konstitusionalitas norma dan norma yang dimohonkan juga telah
diputus dan dipertimbangkan dalam Putusan MK No.18/PUU-XVII/2019 tertanggal 6
Januari 2020. “Putusan MK No.2/PUU-XIX/2021 hanya penegasan saja. Tidak ada
perbedaan dengan putusan MK sebelumnya (Putusan MK No.18/PUU-XVII/2019).
Putusan MK No.2/PUU-XIX/2021 ini memberi penegasan terkait eksekusi
jaminan fidusia bisa diajukan ke pengadilan negeri oleh kreditur yang bersifat alternatif.
Alternatif yang dimaksud adalah pilihan apabila kesepakatan wanprestasi tidak dicapai
dan tidak ada penyerahan sukarela objek jaminan fidusia oleh debitur, maka pilihan
eksekusinya tidak boleh dilakukan sendiri oleh kreditur, tapi minta bantuan pengadilan
negeri untuk melakukan eksekusi. pengajuan ke pengadilan bukan dengan mengajukan
gugatan, tetapi bentuknya permohonan eksekusi dengan penetapan pengadilan.
Mengingatkan putusan MK tersebut berlaku untuk semua objek jaminan fidusia,
termasuk objek fidusia terhadap benda tetap (tidak bergerak) yang tidak dibebani hak
tanggungan. Sebab, objek fidusia benda tidak bergerak yang tidak dibebani hak
tanggungan itu, salah satu jenis objek jaminan fidusia yang diperintahkan Pasal 1 angka
2 Undang-Undang Jaminan Fidusia.
Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Jaminan Fidusia menyebutkan “Jaminan
Fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang
tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat
dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor4
Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan Pemberi
Fidusia (debitur), sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan
kedudukan yang diutamakan kepada Penerima Fidusia (kreditur) terhadap kreditur
lainnya.
Sebelumnya, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 2/PUU-XIX/2021,
Mahkamah Konstitusi menyimpulkan permohonan pemohon tidak beralasan menurut
hukum. Belum terdapat alasan hukum dan kondisi yang secara fundamental berbeda
untuk mengubah pendirian Mahkamah terhadap isu pokok yang berkaitan eksekutorial
88
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
6
https://www.hukumonline.com/berita/a/begini-penjelasan-mk-terkait-putusan-eksekusi-jaminan-fidusia-
lt613e2960d6190?page=1, diakses pada tanggal 20 Februari 2021 pukul 19.05
89
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 168, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3889)
sebagaimana FGD yang dilakukan Kementrian Hukum dan Ham bersama Asosiasi
Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI) terkait Putusan MK dan Perkapolri Nomor 18
Tahun 2011 dengan judul yang bertajuk Eksekusi Jaminan Fidusia Melalui Jalan
Pengadilan Hanyalah Sebuah Pilihan / Alternatif. Dimana yang dapat melakukan
penarikan adalah Kepolisian berdasarkan keputusan pengadilan. Eksekusi terhadap
jaminan fidusia termasuk kedalam salah satu eksekusi yang dikecualikan dari eksekusi
yang menjalankan putusan pengadilan yang telah berkuatan hukum tetap. Kekuatan
eksekutorial yang dimaksud oleh jaminan fidusia terkandung didalam pasal 15
disebutkan :
1. Dalam Sertifikat Jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 (1)
dicantumkan kata-kata “DEMI KEADILAN BERDASARKAN
KETUHANAN YANG MAHA ESA”.
2. Sertifikat Jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam ayat mempunyai
kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap.
3. Apabila debitur cidera janji, Penerima Fidusia mempunyai hak untuk
menjual benda yang menjadi objek jaminan fidusia atas kekuasaannya
sendiri.
Dalam pasal ini jelas sertifikat jaminan fidusia mempunyai kekuatan hukum
yang sama dengan putuan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, sehingga dapat
dilaksanakan jika debitur melakukan wanprestasi atau cidera janji. Pelaksanaan eksekusi
dimaksud dalam ayat adalah menjual objek jaminan fidusia guna memenihi kewajiban
debitur kepada kreditur, sehingga kreditur tidak boleh mengartikan eksekusi jaminan
fidusia adalah untuk dimiliki. Pelaksanaan eksekusi dalam Pasal 29 ayat 1 Undang-
Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia menyatakan apabila debitur
atau pemberi fidusia cidera janji, eksekusi terhadap benda yang menjadi objek jaminan
fidusia dapat dilakukan dengan cara :
1. Pelaksanaan title eksekutorial sebagaimana dimaksud dalam pasal 15 ayat 2
oleh penerima fidusia
2. Penjualan benda yang menjadi objek jaminan fidusia atas kekuasaan
90
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
91
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
terjadi jika barang jaminan fidusia ada. Barang jaminan fidusia sifatnya dapat
berpindah-pindah oleh karenanya kehadiran barang jaminan fidusia dalam eksekusi
sangat penting, hal ini berbeda dengan eksekusi hak tanggungan yang sifat dari
kebendaannya yang dijadikan jaminan adalah tidak bergerak. Atas dasar kepentingannya
kreditur melakukan penarikan benda yang dijadikan objek jaminan fidusia agar dapat
berlangsungnya eksekusi. Proses penyerahan benda jamian fidusia adalah persiapan
dalam rangka pelaksanaan eksekusi ini diatur dalam pasal 30 Undang-Undang 42 Tahun
1999 yang berbunyi sebagai berikut: “Pemberi Fidusia wajib menyerahkan benda yang
menjadi objek jaminan fidusia dalam rangka pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia”.
Jika ditafsirkan maka ketentuan pasal 30 ini jelas memberikan kewajiban kepada
debitur untuk menyerahkan barang jaminan fidusia atau memberikan hak kepada
kreditur untuk mengambil barang jaminan fidusia guna persiapan pelaksanaan eksekusi
jaminan fidusia. Pasal 30 ini juga menjelaskan bahwa penyerahan objek jaminan fidusia
adalah perbuatan yang dilakukan sebelum eksekusi terjadi dan perbuatan yang
dilakukan agar eksekusi dapat terjadi. Maka dengan dasar ini apa yang dilakukan
kreditur dengan menarik barang jaminan fidusia yang berada di bawah kekuasaan
debitur bukanlah merupakan suatu perbuatan yang diklasifikasikan sebagai tindakan
eksekusi jaminan fidusia dan merupakan tindakan pengambilan yang dilindungi dan
dijamin oleh Undang-Undang.
Selanjutnya melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 2/PUU-
XIX/2021 tertanggal 31 Agustus 2021, Mahkamah Konstitusi telah menolak pengujian
Pasal 15 ayat (2) dan Penjelasan Pasal 15 ayat (2) Undang - Undang Nomor
42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (Undang-undang Jaminan Fidusia) terkait
eksekusi sertifikat jaminan fidusia, Pada Intinya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
2/PUU-XIX/2021 ini memberi penegasan terkait eksekusi jaminan fidusia bisa diajukan
kepengadilan negeri oleh kreditur yang bersifat alternatif. Alternatif yang dimaksud
adalah pilihan apabila kesepakatan wanprestasi tidak dicapai dan tidak ada penyerahan
sukarela objek jaminan fidusia oleh debitur, maka pilihan eksekusinya tidak boleh
dilakukan sendiri oleh kreditur, tapi minta bantuan pengadilan negeri untuk melakukan
eksekusi. “Tapi, pengajuan kepengadilan bukan dengan mengajukan gugatan, tetapi
bentuknya permohonan eksekusi dengan penetapan pengadilan”. Putusan Mahkamah
92
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
Konstitusi tersebut berlaku untuk semua objek jaminan fidusia, termasuk objek fidusia
terhadap benda tetap (tidak bergerak) yang tidak dibebani hak tanggungan. Sebab, objek
fidusia benda tidak bergerak yang tidak dibebani hak tanggungan itu, salah satu jenis
objek jaminan fidusia yang diperintahkan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Jaminan
Fidusia. Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Jaminan Fidusia menyebutkan “Jaminan
Fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak
berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak
tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996
tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan Pemberi Fidusia
(debitur), sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan
yang diutamakan kepada Penerima Fidusia (kreditur) terhadap kreditur lainnya.
”Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 2/PUU-XIX/2021 dilandasi permohonan yang
diajukan Joshua Michael Djami, karyawan perusahaan finance dengan jabatan Kolektor
Internal yang telah memiliki sertifikasi profesi di bidang penagihan. Dia memohon
pengujian Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Fidusia yang menyebutkan, “Sertifikat
Jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai kekuatan
eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap.”
93
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
7
Edward W. Reed dan Edward K. Gill, Bank Umum (Judul Asli : “Commercial Bank”, penerjemah : St.
Dianjung), Jakarta : Bumi Aksara, 1995. Hal. 305.
94
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
8
Ibid., hal. 307.
9
Ibid., hal. 308
95
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
10
Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 31/147/KEP/DIR tanggal 12 November 1998 tentang
Kualitas Aktiva Produktif, bahwa kualitas aktiva dinilai dari prospek usaha, kondisi keuangan dengan penekanan
pada arus kas debitur, dan kemampuan membayar(Pasal 3) sedangkan dalam pasal berikutnya menjelaskan kualitas
kredit. Dalam Pasal 4 berbunyi :
1) Kualitas kredit digolongkan menjadi lancer, dalam perhatian khusus, kurang lancer, diragukan dan
macet menurut kriteria yang ditetapkan sebagaimana tercantum dalam lampiran Surat Keputusan
ini.
2) Lampiran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merpakan bagian yang tidak terpisahkan dari
Surat Keputusan ini.
11
Edward W Reed dan Edward K Gil, op.cit., hal. 310.
96
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
97
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
98
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
99
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
adalah melalukan eksekusi atau penjualan agunan tambahan yang di perjanjikan diawal
dalam hal ini yang menjadi agunan adalah benda bergerak yang diikat dengan fidusia.
Objek Jaminan Fidusia menurut Undang-Undang Jaminan Fidusia tersebut berada pada
penguasaan Pemberi Fidusia sebagai ciri khas dari Jaminan Fidusia. Maka Pemberi
Fidusia wajib menyerahkan benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia tersebut untuk
dieksekusi, tetapi apabila Pemberi Fidusia menolak untuk menyerahkannya maka
Penerima Fidusia berhak mengambil objek Jaminan Fidusia dari tangan penguasaan
Pemberi Fidusia dan bila perlu dengan bantuan pihak yang berwenang. (Pasal 30 dan
penjelasan Undang-Undang Jaminan Fidusia).
Eksekusi Jaminan Fidusia berdasarkan titel eksekutorial Sertipikat Jaminan
Fidusia, pelaksanaannya harus mengikuti prosedur pelaksanaan suatu keputusan
Pengadilan. Artinya, sesuai dengan ketentuan Pasal 196 ayat (3) HIR, kreditor harus
mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri agar dilaksanakan eksekusi
atas benda jaminan berdasarkan titel eksekutorial Sertipikat Jaminan Fidusia.12 Ketua
Pengadilan Negeri akan memangil debitor atau Pemberi Fidusia dan memerintahkan
agar debitor atau Pemberi Fidusia memenuhi kewajibannya sebagaimana mestinya.
Menurut Pasal 197 HIR. setelah waktu tersebut lampau dan debitor atau Pemberi
Fidusia tetap tidak memenuhi kewajibannya secara sukarela maka Ketua Pengadilan
Negeri akan memerintahkan kepada Juru Sita untuk menyita benda objek Jaminan
Fidusia. Selanjutnya menurut Pasal 200 HIR, pelaksanaan eksekusi dilakukan dengan
menjual benda objek Jaminan Fidusia di muka umum (secara lelang) atau dengan cara
yang oleh Ketua Pengadilan Negeri dianggap baik.
Siapapun yang berminat menjual barang secara lelang harus mengajukan
permohonan tertulis ke Kantor Lelang di tempat barang yang akan dilelang berada.
Pemohon lelang mengajukan permintaan lelang secara lisan atau melalui
telepon,yang harus segera diikuti dengan permohonan tertulis. Permohonan lelang
tersebut pada dasarnya tidak dapat ditolak oleh Kantor Lelang, kecuali permohonan
tersebut tidak memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam ketentuan lelang.
Apabila permohonan lelang telah diterima oleh Kantor Lelang, maka pemohon
lelang harus segera melengkapi surat permohonan lelangnya dengan dokumen-dokumen
12
Republik Indonesia, Undang –Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, pasal 29 ayat (1)
100
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
atau bukti-bukti hak dan kewenangannya menjual barang secara lelang. Selain itu
pemohon lelang selaku penjual dapat menetapkan syarat-syarat penjualan lelang asalkan
syarat tersebut tidak bertentangan dengan ketentuan lelang yang berlaku.
Setelah kantor lelang meneliti permohonan lelang beserta dokumen
kelengkapannya tersebut dan memperoleh keyakinan atas legalitas subyek lelang dan
legalitas objek lelang, maka Kantor Lelang akan menetapkan waktu dan tempat lelang
dengan memperhatikan keinginan pemohon lelang. Segera setelah ditetapkan oleh
Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang mengenai waktu dan tempat
pelaksanaan lelang, pemohon lelang selaku penjual melakukan pengumuman lelang di
surat kabar/harian dan atau media masa lainnya.
Untuk memberi kesempatan kepada masyarakat yang berminat mengikuti lelang
untuk memperoleh informasi mengenai barang yang akan dilelang, maka semua
dokumen kelengkapan permohonan lelang dan persyaratan lelang dari penjual,serta
bukti pengumuman lelang tersebut harus diserahkan ke Kantor Pelayanan Kekayaan
Negara dan Lelang selambat-lambatnya 3 (tiga) hari sebelum lelang.
Para peminat lelang untuk dapat turut serta dalam suatu lelang diwajibkan untuk
menyetorkan uang jaminan dalam jumlah tertentu ke rekening Kantor Pelayanan
Kekayaan Negara dan Lelang dengan ketentuan sebagai berikut :
▪ Uang jaminan tersebut akan diperhitungkan dengan harta pembelian jika
sipenawar ditunjuk sebagai pembeli.
▪ Uang jaminan tersebut akan dikembalikan segera jika si penawar tidak
ditunjuk sebagai pembeli.
▪ Uang jaminan tersebut akan menjadi milik penjual jika pemenang lelang
wanprestasi yaitu tidak dapat memenuhi kewajibannya membayar uang
lelang tepat pada waktunya.
Lelang bersifat terbuka karena itu pada prinsipnya semua orang dapat menjadi
peserta sepanjang tidak dikecualikan sebagaimana diuraikan diatas. Pada waktu yang
telah ditentukan, lelang dilaksanakan dan dipimpin oleh Pejabat Lelang dari Kantor
Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang. Dalam hal penawaran tertinggi dalam lelang
telah sesuai dengan kehendak penjual, maka barang akan dilepas dan Pejabat Lelang
akan menetapkan penawar tertinggi tersebut sebagai pemenang lelang. Namun dalam
101
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
hal penawar tertinggi ternyata belum mencapai harga jual yang dikehendaki penjual
(atau batas harga yang telah ditetapkan), maka pejabat lelang akan menetapkan bahwa
objek lelang ditahan (atau tidak ditunjuk pemenangnya), kecuali penjual setuju untuk
melepaskan barang tersebut.13
Dalam hal barang lelang laku terjual, maka pembeli berkewajiban membayar
uang Pokok Lelang sejumlah penawarannya ditambah dengan Bea Lelang Pembeli yang
dipungut sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah tentang Bea Lelang Staatblad
tahun 1949 Nomor 390 (Peraturan Pemerintah tentang Bea Lelang), yaitu sebesar 9%
(sembilan persen) untuk barang bergerak dan 4,5% (empat koma limapersen) untuk
barang tidak bergerak, serta Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan sebesar 5%
(lima persen) dari harga pokok lelang⁵¹. Setelah dikurangi suatu nilai bebas pajak yang
ditetapkan oleh masing-masing pemerintah daerah dimana barang tersebut berada, Uang
Miskin yang dipungut berdasarkan Pasal 18 VenduReglement sebesar 0,7% (nol koma
tujuh persen) untuk barang bergerak dan 0,4%(nol koma empat persen) untuk barang
tidak bergerak.
Ketentuan tersebut diatas sudah tidak berlaku lagi dengan berlakunya peraturan
yang baru yaitu Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2003
tentang Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak, yaitu sebesar 1% (satu persen)
bagi penjual untuk lelang eksekusi dan 1% (satu persen) bagi pembeli,sedangkan untuk
Uang Miskin sudah tidak dipungut lagi atau 0% (nol persen) sesuai dengan Pasal 43
ayat (2) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999. Bea Lelang Pembeli dan Penjual
dihitung dari harga pokok lelang. Selanjutnya uang pokok lelang, Bea Lelang Pembeli
dan Penjual disetorkan kepada Pejabat Lelang.
Khusus dalam hal pemerintah sebagai penjual, maka Bea Lelang tidak dikenakan
kepada penjual. Pengenaan Bea Lelang penjual dengan cara memotong langsung dari
Harga Pokok Lelang yang akan disetor kepada pemohon lelang.
Pada dasarnya pembayaran uang lelang harus dilakukan secara tunai. Dalam hal
pembeli membayar uang pembelian lelangnya dengan cheque, maka sebelum cheque itu
dicairkan dan hasil pencairannya dinyatakan baik oleh Bank, Pejabat Lelang tidak akan
memberikan barang yang dilelang. Pejabat lelang pada dasarnya harus menyetorkan
13
Undang-Undang Nomor.17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara
102
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
14
Undang- Undang Nomor.1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara
103