Anda di halaman 1dari 37

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.

id

BAB IV
HASIL PENELITIAN

A. KEPASTIAN HUKUM EKSEKUSI JAMINAN FIDUSIA PASCA PUTUSAN


MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 18/PUU- XVII/2019 DAN NOMOR
2/PUU-XIX/2021
Fidusia berasal dari kata “fides” berarti kepercayaan. Pranata jaminan fidusia
telah dikenalkan dan diberlakukan dalam masyarakat hukum romawi. Ada dua bentuk
jaminan fidusia, yaitu jaminan fidusia cum creditore dan fidusia cum amico. Keduanya
timbul dari penjanjian yang disebut pactum fiduciae yang kemudian diikuti dengan
penyerahan hak atau in iure cessio. Dalam bentuk yang pertama atau lengkapnya fiducia
cum creditore contracta yang berarti janji kepercayaan yang dibuat dengan kreditor,
dikatakan bahwa debitur akan mengalihkan kembali kepemilikan atas suatu benda
kepada kreditor sebagai jaminan atas hutangnya dengan kesepakatan bahwa kreditor
akan mengalihkan kembali kepemilikan tersebut kepada debitur apabila hutangnya
sudah dibayar lunas. Kalau dihubungkan dengan sifat yang ada pada setiap pemegang
hak maka dikatakan bahwa debitur mempercayakan kewenangan atas suatu benda /
barang kepada kreditor untuk kepentingan kreditor sendiri (sebagai jaminan pemenuhan
perikatan oleh kreditor). Timbulnya fiducia cum creditore disebabkan kebutuhan
masyarakat akan hukum jaminan ini yang belum diatur oleh kontruksi hukum. Dengan
fiducia cum creditore maka kewenangan yang dimiliki kreditor akan lebih besar yaitu
sebagai pemilik atas barang yang diserahkan sebagai jaminan. Debitur percaya bahwa
kreditor tidak akan menyalahgunakan wewenang yang diberikan itu. Kekuatannya
hanya terbatas pada kepercayaan dan secara moral saja dan bukan kekuatan hukum.
Debitur tidak akan berbuat apa-apa jika kreditor tidak mau mengembalikan hak atas
barang yang diserahkan sebagai jaminan itu. Hal ini merupakan kelemahan fidusia pada
bentuk awalnya jika dibandingkan dengan sistem hukum jaminan yang kita kenal
sekarang. Karena adanya kelemahan itu maka ketika gadai dan hipotek berkembang
sebagai hak hak jaminan, fidusia menjadi terdesak dan bahkan pada akhirnya hilang
sama sekali dari hukum Romawi. Jadi fidusia timbul karena memang ada kebutuhan
masyarakat akan hukum jaminan dan kemudian lenyap kareana dianggap tidak lagi

67
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

dapat memenuhi kebutuhan tersebut.1


Perkembangan fidusia di Negara Belanda, diawali dengan kasus yang diputuskan
oleh Mahkamah Agung Belanda (Hoge Raad) tanggal 29 Januari 1929 yang dikenal
dengan nama Bierbrouwerij Arrest.
Kasusnya adalah sebagai berikut : NV Heineken Bierbrouwerij Maatscappij
meminjamkan uang sejumlah 6000 dari P. Bos pemilik warung kopi “seneek” dengan
jaminan berupa hipotek keempat atas tanah dan bangunan yang digunakan Bos menjual
inventaris warungnya kepada Bierbrouwerij dengan hak membeli kembali dengan syarat
bahwa inventaris itu untuk sementara dikuasai oleh Bos sebagai peminjam pakai.
Pinjam pakai itu yang akan berakhir jika Bos tidak membayar utang pada waktunya atau
bilamana Bos jatuh pailit. Ternyata Bos benar-benar jatuh pailit dan hartanya diurus
oleh kurator kepailitan (Mr AW de haan), termasuk inventaris tadi. Bierbrouwerij
kemudian menuntut kepada kurator kepailitan untuk menyerahkan inventaris tadi
dengan sitaan revindikasi. Kurator menolak dengan alasan bahwa perjanjian jual beli
dengan hak membeli kembali tersebut tidak sah, karena hanya berpura-pura saja. Dalam
gugatan rekonvensi kurator kepailitan menuntut pembatalan perjanjian jual beli dengan
hal membeli kembali tersebut. Dalam sidang pengadilan tingkat pertama Rechbank
dalam putusannya menolak gugatan Bierbrouwerij dan dalam rekonvensi mengabulkan
gugatan rekonvensi dengan membatalkan perjanjian jual beli dengan hak membeli
kembali tersebut. Alasannya adalah para pihak hanya berpura-pura mengadakan
perjanjian jual beli dengan hak kembali tersebut. Yang sesungguhnya terjadi adalah
perjanjian pemberian jaminan dam bentuk gadai. Akan tetapi gadai tersebut adalah tidak
sah karena barangnya tetap berada dalam kekuasaan pemberi gadai sehingga
bertentangan dengan larangan pasal 1152 ayat (2) Kitab Undang-Undang Perdata (1198
ayat (2) BW). Atas putusan ini Bierbrouwerij menyatakan banding yang keputusannya
adalah menyatakan jual beli dengan hak membeli kembali tersebut adalah sah. Dengan
demikian Kurator kepailitan diperintahkan untuk menyerahkan inventaris warung kopi
Bos kepada Bierbrouwerij. Atas putusan ini Kurator Kepailitan menyatakan Kasasi dan
dalam putusannya Hoge Raad menyatakan bahwa yang dimaksud oleh para pihak adalah

1
Marulak Pardede, Laporan Akhir Penelitian Hukum tentang IMPLEMENTASI JAMINAN FIDUSIA
DALAM PEMBERIAN KREDIT DI INDONESIA, Badan Pembinaan Hukum Nasional – Jakarta, hal 22

68
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

perjanjian penyerahan hak milik sebagai jaminan sebagai jaminan dan merupakan title
yang sah. Kurator Kepailitan diperintahkan untuk menyerahkan inventaris Bos kepada
Bierbrouwerij. Hal ini telah melahirkan pranata jaminan dengan jaminan penyerahan
hak milik secara kepercayaan yang dikenal dengan Fidusia.
Fiduciare Eigendoms Overdracht (FEO) yang bersumberkan kepada
yurisprudensi yang tentunya pengertiannya kita analisa berdasarkan yurisprudensi yang
ada di Negara Indonesia maupun Belanda. Yang dimaksud dengan yurisprudensi ialah
serangkaian keputusan-keputusan hakim yang sama bunyinya tentang masalah yang
serupa, maksudnya bila keputusan seorang hakim yang membuat suatu peraturan sendiri
menjadi dasar keputusan seorang hakim lain, maka keputusan disebut pertama menjadi
sumber hukum bagi pengadilan. Pada mulanya putusan hakim itu memang berlaku bagi
para pihak yang bersangkutan, keputusan itu secara berurutan dipedomani oleh hakim
sesudahnya sehingga merupakan dasar peradilan dan administrasi dan ahli hukum.
Lembaga jaminan fidusia sah dan mempunyai dasar hukum setelah putusan
Hoge Raad pada tanggal 25 Januari 1929 NJ 1929.616(Bierbrouwerij arrest).
Yurisprudensi di atas memberikan dasar pengertian fidusia. Dengan berkembangnya
lembaga jaminan fidusia barn mempunyai dasar hukum dan sah dan praktik perbankan
dengan keluarnya keputsan Betaafsche Petrolium Maatschappij Arrest.
Kedua yurisprudensi diatas memberikan dasar pengertian bahwa fidusia adalah
salah satu bentuk pengikatan jaminan dimana debitur menyerahkan hak miliknya atas
benda bergerak sebagai jaminan kepada kreditor, karena benda tersebut diperlukan oleh
debitur secara kepercayaam kreditor menyerahkan kembali kepada debitor.
Pertimbangan hakim atas 2 (dua) yurisprudensi diatas adalah :2
1. Bierbrouwerij Arrest (Hoge Raad tanggal 25 Januari 1929 N.616)
Dalam kasus ini seorang pengusaha bir dan restoran meminjam uang kepada
Bank (NV Heineken Bierbrouwerij Maatchappij). Sebagai jaminan kedua
pihak mengadakan perjanjian jual beli mesin perusahaan, stock barang, dan
iventaris restoran. Perjanjian mensyaratkan semua benda tersebut dipinjam
pakai oleh debitur, jika debitur pailit perjanjian pinjam pakai diputuskan dan

2
Mariani St.B, Tanjung, Fiduciare Eigendoms Overdracht Sebagai Lembaga Jaminan, (akademi
Keuangan dan Perbankan : Padang) , hal. 5

69
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

inventaris diserahkan kepada kreditor. Ternyata ketika debitor jatuh pailit


kurator kepailitan menolak menyerahkan semua benda tersebut kepada
kreditor. Hoge Raad memutuskan bahwa perjanjian penyerahan hak milik
sebagai jaminan sebagai jaminan dan benda tersebut harus diserahkan kepada
kreditor. Alasan Hoge Raad dalam putusan tersebut :
a. Perjanjian tidak bertentangan dengan aturan gadai karena maksud pihak-
pihak disini bukan mengikuti perjanjian gadai
b. Perjanjian ini tidak bertentangan dengan paritas creditorium (fiducia)
semua benda tersebut milik kreditor
c. Perjanjian ini tidak merupakan penyelundupan yang diperbolehkan
(ongeoorloofde wetsontduiking)
d. Perjanjian ini tidak bertentangan dengan keputusan
2. Kasus antara Bataafsche Petroleum maatshappij (pihak pertama) dengan
pedro clignett (pihak kedua). Kedua pihak mengadakan perjanjian sebagai
berikut :
a. Pihak pertama adalah pemilik mobil yang diperolehnya karena
penyerahan hak milik sebagai jaminan hutang dari pihak kedua
b. Mobil itu dikuasai oleh pihak kedua berdasarkan perjanjian pinjam pakai
dari pihak pertama
c. Pihak kedua diwajibkan mempertanggungjawabkan mobil tersebut
d. Mobil itu wajib diserahkan pihak kedua kepada pihak pertama pada saat
perjanjian pinjam pakai berakhir.
Pihak kedua tidak memenuhi kewajibannya untuk merawat mobil
tersebut dan tidak membayar hutangnya. Pihak pertama menggugat pihak
kedua untuk membatalkan perjanjian pinjam pakai tersebut dan meyerahkan
mobil tersebut dengan alasan pihak pertama bukan pemilik mobil tersebut.
Pihak kedua menjelaskan pendiriannya bahwa perjanjian penyerahkan
hak milik kepada pihak pertama hakekatnya merupakan perjanjian pakai
berdasarkan pasal 1152 KUH Perdata karena mobil sebagai benda gadai
dibiarkan dalam penguasaan pihak kedua. Menurut pihak kedua perjanjian
gadai batal dan mobil kembali kepadanya.

70
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Hoogerechtshof tidak sependapat dengan pihak kedua dan menetapkan


bahwa penyerahan hak milik secara fiducie di Indonesia atas barang-barang
bergerak sebagai jaminan hutang kepada si berpiutang. Yurisprudensi ini
merupakan jalan keluar yang ditempuh pengadilan menyangkut hak gadai
yang tercantum dalam Pasal 1152 KUH Perdata dan menimbulkan lembaga
Fidusia.
Yurisprudensi diatas merupakan dasar berkembangnya fidusia di Indonesia yang
didukung oleh pengadilan selanjutnya. Yurisprudensi lain yang mendukung diterapkan
fidusia diantaranya :3
1. Keputusan Pengadilan Tinggi Surabaya tanggal 22 Maret 1951 yang
berbunyi : penyerahan hak milik secara kepercayaan hanya boleh mengenai
barang bergerak karena penyerahan hak milik tersebut diperbolehkan sebagai
kesempatan bagi pihak yang berkepentingan untuk mengadakan perjanjian
lain dari perjanjian gadai.
2. Keputusan Mahkamah Agung tanggal 1 September 1971 Reg. No
372K/Sip/1970 yang berbunyi : penyerahan hak milik mutlak sebagai
jaminan oleh pihak ketiga hanya berlaku untuk benda bergerak.
Lembaga fidusia lahir di Indonesia sesudah lebih dahulu lembaga tersebut
mendapat pengakuan di Negeri Belanda, di masa Hindia Belanda telah merupakan satu
kelaziman yang boleh dikatakan tetap sifatnya, Indonesia mencontoh Negeri Belanda
terutama dalam bidang perundang-undangan (asas konkordasi). Lemabaga jaminan
fidusia sebagaimana yang dikenal sekarang dalam bentur “Fiduciare
Eigendomsoverdracht” atau FEO (pengalihan hak milik secara kepercayaan) timbul
berkenaan dengan adanya ketentuan dalam Pasal 1152 ayat 2 KUH Perdata tentang
gadai yang mensyaratkan bahwa kekuasaan atas benda yang digadaikan tidak boleh
berada pada pemberi gadai. Larangan tersebut mengakibatkan bahwa pemberi gadai
tidak dapat mempergunakan lembaga FEO yang kemudian diakui oleh yurisprudensi
Belanda dalam Arrest Hoge Raad tanggal 25 januari 1929 yang dikenal dengan nama
Bierbrouwerij arrest di Indonesia lembaga FEO tersebut diakui oleh Yurisprudensi
berdasarkan Arrest Hooggerechtshof tanggal 18 Agustus 1932 (BPM vs Clinett). Dalam

3
Ibid., hal 5-6

71
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

uraian terlihat bahwa hal jaminan fidusia benar terjadi pengalihan hak kepemilikan,
namun demikian pengalihan hak kepemilikan dalam hal jaminan fidusia adalah
pengalihan hak kepemilikan atas suatu benda atas dasar kepercayaan dengan janji bahwa
benda yang hak kepemilikannya dialihkan tetap berada dalam penguasaan pemberi
jaminan fidusia (Pemberi Fidusia)
Pengalihan hak kepemilikan atas benda yang menjadi obejek jaminan fidusia
seperti tersebut diatas dilakukan dengan cara constitutum pessessorium(verklaring van
houderschap) artinya pengalihan hak kepemilikan atas suatu benda dengan melanjutkan
penguasaan atas benda tersebut yang berakibat bahwa pemberi fidusia seterusnya akan
menguasai benda dimaksud untuk kepentingan penerima jaminan fidusia “Penerima
Fidusia).4
Pranata Fidusia telah mendapat legalitasnya dengan diterbitkan Undang-Undang
No 2 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, diundangkan pada tanggal 30 September
1999, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor : 168. Pertimbangan
diterbitkannya undang-undang dimaksud adalah :
1. Bahwa kebutuhan yang sangat besar dan terus meningkat bagi dunia usaha
atas tersedianya dana, perlu diimbangi dengan adanya ketentuan hukum yang
jelas dan lengkap yang mengatur mengenai lembaga jaminan
2. Bahwa Jaminan Fidusia sebagai salah satu bentuk lembaga jaminan sampai
saat ini masih didasarkan pada yurisprudensi dan belum diatur dalam
peraturan Perundang-Undangan secara lengkap dan komprehensif
3. Bahwa untuk memenuhi kebutuhan hukum yang dapat lebih memacu
pembangunan nasional dan untuk menjamin kepastian hukum serta mampu
memberikan perlindungan hukum bagi pihak yang berkepentingan, maka
perlu dibentuk ketentuan yang lengkap mengenai Jaminan Fidusia dan
jaminan tersebut perlu didaftarkan pada Kantor Pendaftaran Fidusia.
Dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang
Jaminan Fidusia dinyatakan bahwa :
Butir 2 :
“......... jaminan Fidusia telah digunakan di Indonesia sejak zaman

4
Marulak Pardede, Op.Cit., hal. 36-38

72
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

penjajahan Belanda sebagai salah satu bentuk jaminan yang lahir dari
yurisprudensi. bentuk jaminan ini digunakan secara luas dalam transaksi pinjam
meminjam karena proses pembebanannya diangap sederhana, mudah, dan cepat
tetapi tidak menjamin adanya kepastian hukum.
Lembaga Jaminan Fidusia memungkinkan kepada para pemberi Fidusia
untuk menguasai Benda yang dijaminkan, untuk melakukan kegiatan usaha yang
dibiayai dari pinjaman dengan menggunakan Jaminan Fidusia. Pada awalnya,
benda yang menjadi objek fidusia terbatas pada kekayaan benda bergerak yang
berwujud dalam bentuk peralatan. Akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya
benda yang menjadi objek fidusia termasuk juga kekayaan benda bergerak yang
tak berwujud maupun benda tak bergerak.
Butir 3 :
Undang-Undang ini, dimaksudkan untuk menampung kebutuhan
masyarakat mengenai peraturan Jaminan Fidusia sebagai salah satu sarana untuk
membantu kegiatan usaha dan untuk memberikan kepastian hukum kepada para
pihak yang berkepentingan.
Seperti telah dijelaskan bahwa jaminan Jaminan Fidusia memberikan
kemudahan bagi para Pihak yang menggunakannya, khususnya bagi Pemberi
Fidusia. Namun sebaliknya karena Jaminan Fidusia tidak didaftarkan, kurang
menjamin kepentingan pihak yang menerima fidusia. Pemberi Fidusia mungkin
saja menjaminkan benda yang telah dibebani dengan fidusia kepada pihak lain
tanpa sepengetahuan Penerima Fidusia. Sebelum Undang-Undang Jaminan
Fidusia dibentuk, pada umumnya benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia
adalah benda bergerak yang terdiri dari benda dalam persediaan (inventory),
benda dagangan, piutang, peralatan mesin dan kendaraan bermotor. Oleh karena
itu, guna memenuhi kebutuhan masyarakat yang terus berkembang, maka
menurut Undang-Undang ini objek Jaminan Fidusia diberikan pengertian luas
yaitu benda bergerak yang berwujud maupun tak berwujud dan benda tak
bergerak yang tidak dapat dibebani dengan hak tanggungan sebagaimana
ditentukan dalam Undang-Undang Hak Tanggungan Nomor 4 Tahun 1996
tentang Hak Tanggungan.

73
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Dalam Undang-Undang Jaminan Fidusia diatur tentang pendaftaran


Jaminan fidusia guna memberikan kepastian hukum kepada para pihak yang
berkepentingan dan pendaftaran Jaminan Fidusia memberikan hak yang
didahulukan (preferen) kepada Penerima Fidusia terhadap kreditor lain. Karena
Jaminan Fidusia memberikan hak kepada Pemberi Fidusia untuk tetap
menguasai Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia berdasarkan
kepercayaan, maka diharapkan sistem pendaftaran yang diatur dalam Undang-
Undang jaminan Fidusia dapat memberikan jaminan kepada pihak Penerima
Fidusia dan pihak yang mempunyai kepentingan terghadap benda tersbut.
Undang-UndangNomor 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia sebagaimana
dalam pertimbangan dan penjelasan umum, dimaksudkan untuk memberikan kepastian
hukum, khususnya bagi lembaga keuangan agar bila terjadi wanprestasi, kreditor dapat
melakukan eksekusi melalui pranata parate eksekusi.
Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa fidusia merupakan pengalihan hak
kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang
hak kepemilikannya dialihkan tetap dalam penguasaan pemilik benda. Seiring dengan
semakin banyak permintaan kredit dalam masyarakat, maka seharusnya pendaftaran
jaminan fidusia semakin meningkat. Namun kenyataannya masih banyak jaminan
fidusia yang tidak didaftarkan oleh pihak kreditur. Untuk meningkatkan kesadaran dan
pemahaman masyarakat terhadap pelaksanaan pendaftaran jaminan fidusia maka
dikeluarkannya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 130/PMK.010/2012 tentang
pendaftaran jaminan Fidusia bagi perusahaan pembiayaan yang melakukan pembiayaan
konsumen untuk kendaraan bermotor dengan pembebanan jaminan fidusia. Secara
hukum untuk adanya jaminan fidusia sebagaimana Undang-Undang Jaminan Fidusia
tersebut wajib didaftarkan pada kantor pendaftaran fidusia, sebagaimana diatur lebih
lanjut dalam peraturan pemerintah nomor 86 tahun 2000 tentang tata cara pendaftaran
jaminan fidusia dan biaya pembuatan akta jaminan fidusia. Keragu-raguan tentang wajib
tidaknya pendaftaran tersebut diperkuat dengan kendala tidak adanya jangka waktu
tersebut akan mengurangi kepercayaan para pelaku bisnis khususnya kreditor sebab sifat
spesialitas dan publisitas serta hak preferent (droit de preference) dan dispute apabila
debitur melakukan wanprestasi serta berpotensi fidusia ulang. Penerima fidusia yang

74
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

tidak melakukan perikatan fidusia jelas bertentangan dengan legal spirit yang diatur
dalam pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Jaminan Fidusia yang menegaskan bahwa
“Pembebanan jaminan fidusia dibuat dengan Akta Notaris dalam bahasa Indonesia dan
merupakan Akta jaminan Fidusia”. Sekalipun tidak dilakukannya perikatan fidusia tidak
mengandung sanksi berdasarkan Undang-undang jaminan fidusia tersebut. Dalam hal ini
sama sekali tidak ada kepastian hukum dan pihak-pihak yang berkepentingan tidak akan
memperoleh perlindungan hukum.5
Selanjutnya sebagaimana kita ketahui dan pahami tujuan utama dari pada
Jaminan Fidusia adalah menjamin kepastian hukum atau pelindungan untuk pihak
kreditur bilamana terjadi wanprestasi dari pihak debitur. Dan jaminan fidusia memberi
tawaran yang cukup baik yaitu bilamana debitur wanprestasi maka dapat dilakukan
parate eksekusi objek jaminan untuk pelunasan kredit. Akan tetapi Pasca Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019 terhadap Inskontitusionalitas Pasal
15 ayat 2 dan 3 Undang-Undang Jaminan Fidusia yang oleh beberapa orang berpendapat
atau mengartikan bahwa segala eksekusi harus melalui Pengadilan menjadikan Pro dan
Kontra terkait pelaksanaan dimasyarakat. Namun demikian, agar eksekusi atas benda
jaminan fidusia tersebut dapat dilaksanakan untuk pelunasan utang debitur, hal yang
paling mendasar sebagaimana yang juga berlaku dalam perjanjian pada umumnya harus
memenuhi syarat bahwa debitur harus telah dinyatakan cidera janji. Di dalam teori
perjanjian, para pihak dalam sebuah perjanjian dinyatakan telah melakukan cidera janji
jika isi dari perjanjian berupa melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu tersebut
lalai dilakukan oleh para pihak. Misalkan, dalam sebuah perjanjian, di mana debitur di
dalam perjanjian pokok diwajibkan untuk membayar atau melunasai utangnya kepada
debitur pada waktu yang telah ditentukan, kemudian debitur lalai untuk
melaksanakannya pada waktu yang ditentukan tersebut, maka dengan demikian, debitur
telah dianggap cidera janji. Untuk benar-benar dinyatakannya debitur telah cidera janji,
maka kreditur harus terlebih dahulu memberikan peringatan (somasi) bahwa debitur
telah lalai melaksanakan prestasinya. Mengenai hal ini, sebagaimana ditegaskan di
dalam ketentuan pasal 1238 KUHPerdata.

5
Nur Amin Solukhah dan Pranoto, Problematika Hukum Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang
Jamininan Fidusia Terkait dengan Peraturan Menteri Keuangan republik Indonesia No 130/PMK.010/2012

75
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019, diputus berdasarkan


permohonan yang diajukan oleh pasangan suami istri Apriliani Dewi dan Suri Agung
Prabowo. Permohonan tersebut diajukan sehubungan dengan adanya kerugian akibat
penarikan objek jaminan fidusia berdasarkan Pasal 15 ayat 2 dan 3 Undang-Undang
Jaminan Fidusia. Permohonan pengujian materiil terhadap pasal dimaksud bertentangan
dengan Undang-Undang dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 27 ayat 2 :
(Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan
wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Dan
Pasal 28 D ayat 1 “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”.
Pertimbangan Mahkamah Konstitusi, menjelaskan bahwa materi dalam Pasal 15
ayat 2 Undang-Undang Nomor 42 Tfahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, memiliki
persoalan inskontitusional. Menurutnya posisi debitur yang keberatan menyerahkan
objek jaminan fidusia lebih lemah karena kreditor dapat mengeksekusinya tanpa
mekanisme pengadilan. Tindakan sepihak berpotensi menimbulkan kesewenang-
wenangan dan kurang manusiawi, baik fisik maupun spikis terhadap debitur yang acap
kali mengesampingkan hak-hak pemberi fidusia.
Selain itu mahkamah Konstitusi mendeteksi insikonstitusionalitas dalam pasal
15 ayat 3 mengenai frasa “cedera janji”, tidak menjelaskan faktor-faktor yang
menyebabkan pemberi fidusia mengingkari kesepakatan dengan penerima fidusia,
selanjutnya dikatakan “ini mengakibatkan hilangnya hak pemberi fidusia membela diri
dan menjual objek dengan harga yang wajar”.
Hal-hal yang melatar belakangi permohonan judicial review adalah Pemohon I
dan Pemohon II (selanjutnya disebut para Pemohon) merupakan perorangan warga
negara Indonesia yang secara konstitusional dijamin haknya untuk mendapatkan
perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di
bawah kekuasaannya, berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan
sebagaimana ketentuan Pasal 28 G ayat (1) Undang-Udang Dasar 1945. Lebih lanjut
Pasal 28 G ayat (1) Undang-Udang Dasar 1945 berbunyi “Setiap orang berhak atas
perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, danharta benda yang di bawah

76
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman danperlindungan dari ancaman ketakuan
untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi”.
Didalam kedudukan hukum (legal stading) para pemohon menjelaskan terkait
kedudukannya dalam dalam perkara ini yaitu Pemohon I merupakan Pemberi Fidusia
dalam Sertifikat Jaminan Fidusia (Pemberi Fidusia) Nomor W11.01617952.AH.05.01
yang mengalami kerugian secara langsung akibat dari penarikan objek jaminan fidusia
yangdilakukan oleh Penerima Fidusia. Pemohon II merupakan suami dari Pemohon I
yang secara faktual terlibat aktif dalam pembayaran cicilan atau kredit mobil
yangmenjadi objek jaminan fidusia, sehingga ketika Penerima Fidusia melakukan
tindakan penarikan objek jaminan fidusia maka Pemohon II, baik secara langsung
maupun tidak langsung mengalami kerugian yang sama sebagaimana dialami Pemohon I.
Dengan berlakunya pasal a quo yang dimohonkan para Pemohon, senyatanya telah
merugikan hak konstitusional para Pemohon. Kekuasaan yang berlebihan dan tanpa
kontrol mekanisme hukum yang sewajarnya, dengan menyetarakan kedudukan Sertifikat
Jaminan Fidusia dengan putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap, telah
mengakibatkan tindakan sewenang-wenang Penerima Fidusia untuk melakukan eksekusi
terhadap objek jaminan fidusia, bahkan dengan menghalalkan segala macam cara serta
tanpa melalui prosedur hukum yang benar, Bahwa tindakan sewenang-wenang yang
dilakukan Penerima Fidusia dilakukan dengan cara menyewa jasa debt collector, untuk
mengambil alih barang yang dikuasai Pemohon tanpa melalui prosedur hukum yang
benar. Ada beberapa momentum tindakan paksa, tanpa menunjukkan bukti dan dokumen
resmi, tanpa kewenangan, dengan menyerang diri pribadi, kehormatan, harkat dan
martabat, serta mengancam akan membunuh Para Pemohon. Atas tindakannya itu,
terdapat Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 345/PDT.G/2018/PN.Jkt.Sel
yang menyatakan bahwa tindakan Penerima Fidusia sebagaimana dijelaskan di atas,
merupakan perbuatan melawan hukum. Oleh karena itu, Penerima Fidusia bahkan telah
diberikan sanksi untuk membayar denda baik Materiil maupun Immateriil. Adapun
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 345/PDT.G/2018/PN.Jkt.Sel
menyatakan sebagai berikut:

77
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Dalam Gugatan Konvensi:

o Dalam Eksepsi:
Menolak eksepsi T1 (PT. Astra Sedaya Finance), T2 (Idris Hutapea),T3 (M.
Halomoan Tobing) dan TT (Otoritas Jasa Keuangan) untukseluruhnya;
o Dalam Pokok Perkara:
1. Mengabulkan gugatan penggugat untuk sebagian;
2. Menyatakan T1 (PT. Astra Sedaya Finance), T2 (Idris Hutapea),
dan T3 (M. Halomoan Tobing) telah MELAKUKAN PERBUATAN
MELAWAN HUKUM yang merugikan PEMOHON I;
3. Menghukum T1 (PT. Astra Sedaya Finance), T2 (Idris Hutapea),
dan T3 (M. Halomoan Tobing) secara tanggung renteng membayar
kerugian materiil kepada penggugat sebesar Rp. 100.000,-;
4. Menghukum T1 (PT. Astra Sedaya Finance), T2 (Idris Hutapea),
dan T3 (M. Halomoan Tobing) secara tanggung renteng membayar
ganti rugi kerugian immateriil kepada penggugat sebesar Rp.
200.000.000,-;
5. Menghukum TT (Otoritas Jasa Keuangan) untuk mematuhi isi
putusan ini;
Akan tetapi dalam pelaksanaannya meskipun telah ada Putusan Pengadilan terkait
perselisihan antara Pemberi dan Penerima Fidusia tersebut di atas, Penerima Fidusia tetap
mengabaikannya dengan tetap melakukan penarikan terhadap objek jaminanFidusia pada
tanggal 11 Januari 2019, dengan mendasarkan bahwa Perjanjian Fidusia dianggap telah
berkekuatan hukum tetap dengan mendasarkan pada ketentuan Pasal yang sedang
dimohonkan a quo. Berdasarkan hal itu, kerugian konstitusional yang dialami para
Pemohon bersifat spesifik dan aktual. Jika ketentuan pasal a quo tidak ada atau paling
tidak, dapat dimaknai seperti permohonan a quo maka kerugian konstitusional para
Pemohon tidak akan terjadi. Dengan demikian, para Pemohon menilai perlindungan hak
milikpribadi, kehormatan, harkat, dan martabat yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar
1945 telah dilanggar dengan berlakunya ketentuan Pasal 15 ayat (2) dan ayat (3) Undang-
Undang Nomor 42/1999 yang memberikan kesempatan kepada penerima fidusia untuk
melakukan perbuatan-perbuatan atau paling tidak menafsirkan pasal a quo sehingga
bertindak sewenang-wenang dengan menindas harkat dan martabat serta kehormatan Para
Pemohon, sehingga secara mutatis mutandis kerugian konstitusional yang dialami para
Pemohon bersifat spesifik dan aktual sekaligus kerugian yang dialami para Pemohon

78
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

memiliki hubungan sebab-akibat (causalitas) dengan berlakunya ketentuan pasal yang


sedang dimohonkan pengujian a quo.
Ketentuan Pasal 15 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang a quo, pada prinsipnya
memberikan jaminan dan perlindungan kepastian hukum terhadap Penerima Fidusia
(Kreditur) dalam memberikan kredit terhadap Pemberi Fidusia (Debitur). jaminan dan
perlindungan kepastian hukum itu, terlihat secara tegas dalam konsideran menimbang
yang merupakan landasan dibentuknya Undang-Undang Jaminan Fidusia. Dimana
Undang-Undang ini lahir atas kebutuhan yang besar dan terus meningkat bagi dunia
usaha atas tersedianya dana. Olehkarena itu diperlukan jaminan Fidusia sebagai lembaga
jaminan agar mampu memacu pembangunan nasional pada saat krisis ekonomi sedang
melanda. Agar juga memberikan jaminan kepastian hukum serta mampu memberikan
perlindungan hukum bagi pihak berkepentingan. Bahwa bentuk jaminan dan
perlindungan kepastian hukum dalam pemberian kredit tersebut, ditunjukkan dengan
pengaturan jaminan eksekusi terhadap objek fidusia. Dengan menyamakan kekuatan
eksekutorial Sertifikat Jaminan Fidusia dengan putusan pengadilan yangtelah
berkekuatan hukum tetap vide Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Jaminan Fidusia. Oleh
karena itu, dalam Sertifikat Jaminan Fidusia dicantumkan kata kata “DEMI KEADILAN
BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHAESA” layaknya sebuah putusan
pengadilan vide Pasal 15 ayat (1) Undang-UndangJaminan Fidusia. Berdasarkan
ketentuan Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang a quo, prinsip utama lembaga fidusia ini
adalah memberikan kepastian hukum untuk serta mertadapat melakukan eksekusi
terhadap objek fidusia. Pasal 15 ayat (3) Undang-Undang a quo, telah memberikan
penguatan hak kepada Penerima Fidusia (Kreditur) untuk menjual benda yang menjadi
objek Jaminan Fidusia atas kekuasaannya sendiri, dalam hal debitur ciderajanji.
Pengaturan dalam pasal a quo, hanya berfokus untuk memberikan kepastian
hukum atas hak Penerima Fidusia (Kreditur) dengan jalan dapat melakukan eksekusi
Objek Fidusia secara serta merta. Oleh karena itulah, ketentuan ini menemukan
kelemahannya khususnya dalam memberikan pemaknaan detail pelaksanaannya yang
justru dapat melanggar hak hak Pemberi Fidusia (Debitur). Bahwa ketentuan pasal a quo,
justru luput untuk memberikan kepastian hukum yang adil, jaminan, dan perlakuan yang
sama dihadapan hukum, serta perlindungan terhadap hak milik pribadi Pemberi Fidusia

79
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

(Debitur). Akibatnya, pengaturan ini luput untuk menjelaskan tentang kedudukan


Sertifikat Jaminan Fidusia jika dihadapkan dengan Putusan Pengadilan, mekanisme dan
prosedur penyitaan Objek Fidusia, serta mekanisme untuk menentukan tindakan cidera
janji debitur.

Sebelum lahirnya Putusan Mahkamah Konstitusi, umumnya pelaksanaan


eksekusi atas benda jaminan fidusia, khususnyadengan cara parate eksekusi senantiasa
terlaksana meskipun tidak jarang terjadi upaya perlawanan dari pemberi jaminan fidusia
(debitur). Namun, dengan lahirnya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-
XVII/2019 telah memberi ruang untuk tidak dapat terlaksananya parate eksekusi benda
yang menjadi objek jaminan fidusia dengan baik. Bahkan membuka ruang untuk
pelaksanaan eksekusi atas benda jaminan fidusia hanya semata-mata melalui eksekusi
grosse akta fiat pengadilan dan bahkan membuka ruang setiap kali akan dilakukan
eksekusi terhadap benda yang menjadi objek jaminan fidusia wajib dilakukan melalui
gugatan wanprestasi terlebih dahulu.
Untuk lebih jelasnya tentang implikasi dari putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 18/PUU-XVII/2019 yang berpotensi menimbulkan sulitnya pelaksanaan parate
eksekusi bahkan sulitnya eksekusi grosse akta fiat Pengadilan atas benda yang menjadi
objek jaminan fidusia, maka penulis kutip amar putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
18/PUU-XVII/2019, yakni amar putusan point 2 dan point 3 sebagai berikut:
1. ..........
2. Menyatakan pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999
tentang Jaminan Fidusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999
Nomor 168, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3889)
sepanjang frasa “kekuatan eksekutorial” dan frasa “sama dengan putusan
pengadilan yang berkekuatan hukum tetap” bertentangan dengan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “terhadap jaminan
fidusia yang tidak ada kesepakatan tentang cidera janji (wanprestasi) dan
debitur keberatan menyerahkan secara sukarela objek yang menjadi jaminan
fidusia, maka segala mekanisme dan prosedur hukum dalam pelaksanaan
eksekusi Sertifikat Jaminan Fidusia harus dilakukan dan berlaku sama

80
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

dengan pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan


hukum tetap”;
3. Pasal 15 ayat (3) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan
Fidusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 168,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3889) sepanjang
frasa “cidera janji” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat sepanjang tidak dimaknai bahwa “adanya cidera janji tidak
ditentukan secara sepihak oleh kreditur melainkan atas dasar kesepakatan
antara kreditur dengan debitur atau atas dasar upaya hukum yang
menentukan telah terjadinya cidera janji”.
Jika dicermati bunyi amar putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-
XVII/2019 pada point 2 dan 3 sebagaimana yang telah tertulis di atas dihubungkan pula
dengan pertimbangan hukum Majelis Hakim Mahakamah Konstitusi, maka terdapat
penegasan sebagai berikut :
1. Eksekusi jaminan fidusia sebagai sebuah perjanjian yang bersifat acessoir,
hanya dapat dilaksanakan jika syaratnya terpenuhi. Syarat yang harus
dipenuhi dalam pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia adalah adanya cidera
janji (wanprestasi) debitur dalam melaksanakan prestasinya pada perjanjian
pokok;
2. Untuk dinyatakan telah terjadi cidera janji (wanprestasi) debitur atas
prestasinya, pernyataan telah terjadinya cidera janji (wanprestasi) tersebut
tidak hanya dinyatakan secara sepihak oleh kreditur melainkan wajib atas
kesepakatan bersama dengan debitur bahwa debitur telah benar-benar
ciderajanji atau melalui mekanisme upaya hukum, dalam hal ini adalah
pengajuan gugatan wanprestasi;
3. Debitur yang telah mengakui dan secara implisit atau eksplisit telah
bersepakat dengan kreditur bahwa dirinya telah melakukan ingkar janji
(wanprestasi), maka wajib menyerahkan benda yang menjadi objek jaminan
fidusia kepada kreditur untuk dilaksanakan eksekusi. Dalam hal debitur yang
telah wanprestasi tersebut tidak mau menyerahkan secara sukarela benda

81
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

yang menjadi objek jaminan fidusia untuk dieksekusi, maka proses eksekusi
atas benda yang menjadi objek jaminan fidusia wajib dilakukan dengan cara
menempuh proses eksekusi sebagaimana putusan yang telah berkekuatan
hukum, yakni fiat pengadilan. Dengan kata lain, proses eksekusi dengan cara
parate eksekusi dianggap tidak sah menurut putusan Mahkamah Konstitusi
atas benda yang menjadi objek jaminan jika debitur tidak secara sukarela
menyerahkan benda objek jaminan fidusia untuk dieksekusi;
4. Demikian pula pernyataan terjadinya cidera janji oleh kreditur terhadap
debitur, di mana debitur tidak bersepakat dengan kreditur bahwa dirinya
telah cidera janji serta tidak bersedia menyerahkan benda yang menjadi
objek jaminan fidusia secara sukarela kepada kreditur, maka proses eksekusi
atas benda jaminan fidusia tidak dapat dilakukan melalui parate eksekusi,
melainkan melalui eksekusi grosse akta, bahkan melalui eksekusi yang
didahului dengan gugatan wanprestasi untuk menyatakan bahwa benar
tidaknya debitur telah cidera janji (wanprestasi).
Adapun yang melatar belakangi amar putusan Mahkamah Konstitusi dalam
menentukan bahwa cidera janjinya debitur hanya dapat dinyatakan telah terjadi atas
dasar kesepakatan bersama antara debitur dan kreditur atau berdasarkan upaya hukum
adalah demi memberikan perlindungan hukum kepada debitur dari kesewenang-
wenangan kreditur (eigenrichting) yang secara sepihak menyatakan debitur telah cidera
janji. Bentuk perlindungan hukum yang diberikan oleh Majelis Hakim Mahkamah
Konstitusi kepada debitur ini, tercermin di dalam pertimbangan hukum Majelis Hakim
Mahkamah Konstitusi pada halaman118, yakni:“...Hal tersebut menunjukkan, di satu
sisi, adanya hak yang bersifat eksklusif yang diberikan kepada kreditur dan, di sisi lain,
telah terjadi pengabaian hak debitur yang seharusnya juga mendapat perlindungan
hukum yang sama, yaituhak untuk mengajukan/mendapat kesempatan pembelaan diri
atas adanya dugaan telah cidera janji (wanprestasi) dan kesempatan mendapatkan
hasil penjualan objek jaminan fidusia dengan harga yang wajar. Dengan kata lain,
dalam hal ini, penilaian perihal telah terjadinya “cidera janji” secara sepihak dan
eksklusif ditentukan oleh kreditur (penerima fidusia) tanpa memberikan kesempatan
kepada deditur (pemberi fidusia) untuk melakukan sanggahan dan atau pembelaan

82
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

diri”.
Adanya cidera janji yang hanya dapat dinyatakan telah terjadi atas kesepakatan
bersama antara debitur dan kreditur atau melalui upaya hukum sebagaimana dalam
pertimbangan dan amar putusan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi tersebut, pada
prinsipnya ditegaskan oleh Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi, karena di dalam
ketentuan Undang-Undang Jaminan Fidusia tidak memberikan kepastian hukum yang
jelas terkait kapan debitur dinyatakan telah cidera janjidan siapa yang berhak
menentukan telah terjadinya cidera janji tersebut. Apakah saat debitur lalai dalam
membayar angsuran utangnyasesuai waktu yang ditentukan atau saat debitur lalai
dalammelakukan pelunasan utangnya. Hal ini tercermin di dalam pertimbangan hukum
Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi pada halaman 119 paragraf terakhir sampai
dengan halaman 120 paragraf pertama, yakni:“Bahwa substansi norma dalam Pasal 15
ayat (3) Undang-Undang Nomor 42 tahun 1999 berkaitan dengan adanya unsur debitur
yang “cidera janji” yang kemudian memberikan hak kepada penerima fidusia (kreditur)
untuk menjual benda yang menjadi objek jaminan fidusia atas kekuasaannya sendiri.
Persoalannya adalah kapan “cidera janji” itu dianggaptelah terjadi dan siapa yang
berhak menentukan? Inilah yang tidak terdapat kejelasannya dalam norma Undang-
Undang a quo. Dengan kata lain, ketiadaan kejelasan tersebut membawa konsekuensi
yuridis berupa adanya ketidakpastian hukum perihal kapan sesungguhnya pemberi
fidusia (debitur) telah melakukan “cidera janji” yang berakibat timbulnya kewenangan
yang bersifat absolut pada pihak penerima fidusia (kreditur) untuk menjual benda yang
menjadi objek jaminan fidusia yang berada dalam kekuasaan debitur. Dengan
demikian, telah ternyata bahwa dalam substansi norma Pasal 15 ayat (3) Undang-
Undang Nomor 42 Tahun 1999, juga terdapat permasalahan konstitusionalitas turunan
yang tidak dapat dipisahkan dengan permasalahan yang sama dengan ketentuan yang
substansinya diatur dalam norma Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Nomor 42 Tahun
1999, yaitu ketidakpastian hukum yang berkaitan dengan tata cara pelaksanaan
eksekusi dan kepastian tentang waktu kapan pemberi fidusia (debitur) dinyatakan
“ciderajanji” (wanprestasi), apakah sejak adanya tahapan angsuran yang terlambat
atau tidak dipenuhi oleh debitur ataukah sejak jatuh tempo pinjaman debitur yang
sudah harus dilunasinya. Ketidakpastian demikian juga berakibat pada timbulnya

83
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

penafsiran bahwa hak untuk menentukan adanya “cidera janji” dimaksud ada di tangan
kreditur (penerima fidusia). Adanya ketidakpastian hukum demikian dengan sendirinya
berakibat hilangnya hak-hak debitur untuk melakukan pembelaan diri dan kesempatan
untuk mendapatkan penjualan objek jaminan fidusia dengan harga yang wajar”.
Jika dicermati pertimbangan hukum Majelis Hakim Konstitusi di atas, ditinjau
dari teori perjanjian, nampaknya telah melemahkan klausula perjanjian di dalam
perjanjian pokok jaminan fidusia. Sebab, di dalam perjanjian pokok jaminan fidusia,
yakni perjanjian utang-piutang, senantiasa terdapat klausula dimana debitur wajib
melaksanakan prestasi berupa membayar angsuran utangnya kepada kreditur pada waktu
yang telah ditentukan sampai kemudian utang debitur dinyatakan telah lunas
terbayarkan lazimnya pula, dari telah ditetapkannya besarnya angsuran yang harus
dibayar debitur pada waktu tertentu, di dalam perjanjian tersebut telah pula menentukan
bahwa debitur wajib melunasi utangnya pada waktu tertentu.
Selain itu, di dalam perjanjian pokok jaminan fidusia sebagaimana dalam
klausula perjanjian pada umumnya, senantiasa pula disertai klausula yang telah
disepakati bersama antara debitur dan kreditur terkait keadaan di mana para pihak,
khususnya debitur dinyatakan cidera janji. Hal ini bahkan telah diatur dan dipertegas
didalam ketentuan pasal 1238 KUH Perdata, yang pada pokoknya menyatakan debitur
dinyatakan lalai (cidera janji) bila debitur dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang
ditentukan. Ini berarti, dengan lalainya debitur dalam melaksanakan kewajibannya yang
telah disepakati bersama di dalam surat perjanjian, maka secara otomatis, debitur pada
saat itu telah dinyatakan cidera janji. Sehingga berdasarkan teori Perjanjian tanpa
penegasan mengenai kapan dinyatakan cidera janji dan siapa yang berhak menyatakan
telah terjadi cidera janji di dalam Undang-Undang Jaminan Fidusia sebagaimana
pertimbangan hukum dan amar putusan Majelis Hakim Konstitusi, sesungguhnya telah
memiliki acuan yang jelas kapan para pihak, khususnya debitur dinyatakan cidera
janjidan dengan jelasnya kapan dinyatakan debitur cidera janji, yang mana hal tersebut
telah disepakati bersama dalam klausula perjanjian, sesungguhnya tidak lagi
membutuhkan keharusan adanya kesepakatan terkait telah terjadinya cidera janji. Sebab,
hal tersebut telah disepakati bersama di dalam klausula perjanjian pokok dan dengan
telah disepakati bersama tersebut, menurut teori perjanjian sebagaimana kemudian

84
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

ditegaskan di dalam ketentuan Pasal 1338 KUH Perdata yang merupakan payung hukum
perjanjian pada umumnya (termasuk perjanjian jaminan fidusia), telah mengatur bahwa
semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka
yang membuatnya. Sehingga dengan demikian, dengan adanya klausula di dalam
perjanjian pokok jaminan fidusia yang mengatur terkait cidera janji, maka hal tersebut
sudah memberikan perlindungan terkait kapan dinyatakan debitur telah cidera janji.
Kendati ditinjau dari teori perjanjian sebagaimana yang diuraikan di atas
sesungguhnya telah jelas kapan terjadinya cidera janji para pihak dalam perjanjian
jaminan fidusia, khususnya debitur serta dengan jelasnya hal tersebut di mana telah
disepakati pula secara bersama di dalam klausula perjanjian oleh debitur dan kreditur,
maka sesungguhnya tanpa penegasan sebagaimana di dalam amar putusan majelis
Hakim Mahkamah Konstitusi terkait cidera janji harus disepakati bersama,
sesungguhnya telah terjadi kepesakatan bersama terkait keadaan cidera janji tersebut.
Namun, dengan adanya pertimbangan hukum dan amar putusan Majelis Hakim
Mahkamah Konstitusi sebagaimana yang diuraikan di dalam putusan Nomor 18/PUU-
XVII/2019 tersebut, memiliki implikasi bahwa sebelum melakukan eksekusi atas benda
jaminan fidusia, adanya cidera janji oleh debitur sebagai syarat untuk melakukan
eksekusi harus kembali mendapatkan kesekapatan bersama antara debitur dan kreditur
terkait telah terjadinya cidera janji tersebut. Jika tidak terdapat kesekapatan terkait benar
tidaknya debitur telah cidera janji, maka hal tersebut wajib ditempuh melalui upaya
hukum untuk menentukan benar tidaknya debitur telah cidera janji.
Selain itu, kendati para pihak (debitur dan kreditur) telah bersepakat terkait
adanya cidera janji debitur, namun dengan penegasan pertimbangan hukum dan amar
putusan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang tertuang di dalam putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019 perihal debitur harus menyerahkan
benda jaminan fidusia kepada kreditur secara suka rela, maka eksekusi atas benda
jaminan fidusia harus dilakukan melalui mekanisme dan prosedur hukum sebagaimana
eksekusi atas putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Dengan kata lain,
dalam keadaan debitur tidak menyerahkan benda jaminan secara sukarela, eksekusi atas
benda jaminan fidusia harus melalui eksekusi grosse akta fiat pengadilan. Sehingga,
dengan ketentuan seperti itu,ruang untuk melaksanakan parate eksekusi sebagai fasilitas

85
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

yang diberikan Undang-Undang kepada kreditur untuk memudahkan proses eksekusi,


semakin dipersempit.
Untuk lebih jelas dan detailnya implikasi dari putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 18/PUU-XVII/2019 atas kekuatan eksekutorial jaminan fidusia sebagaimana
yang telah diuraikan di atas, penulis rangkum dengan uaraian sebagai berikut :
1. Eksekusi jaminan fidusia pasca lahirnya putusan Mahkamah Konstitusi dapat
dilakukan dengan 2 (dua) cara, yakni eksekusi grosse akta fiat pengadilan
sebagaimana eksekusi atas putusan pengadilan yang telah berkekuatan
hukum tetap dan melalui parate eksekusi;
2. Untuk dapat melaksanakan eksekusi atas benda jaminan fidusia, baik melalui
eksekusi grosse akta fiatpengadilan maupun parate eksekusi, harus dengan
syarat debitur telah cidera janji;
3. Untuk dapat dinyatakan bahwa benar debitur telah cidera janji, maka
keadaan cidera janji debitur tersebut harus atas dasar kesepakatan bersama
antara debitur dan kreditur bahwa debitur telah cidera janji atau berdasarkan
upaya hukum yang menentukan telah terjadinya cidera janji debitur;
4. Dalam hal debitur telah bersepakat dengan kreditur bahwa benar debitur
telah cidera janji, maka eksekusi atas jaminan fidusia dapat dilakukan dengan
2 (dua) cara, yakni eksekusi grosse aktafiat pengadilan atau melalui parate
eksekusi. Eksekusi grosse akta fiat pengadilan dalam keadaan seperti ini
dapat dilakukan jika debitur tidak secara sukarela menyerahkan benda
jaminan fidusia kepada kreditur untuk dilakukan penjualan (lelang atau pundi
bawah tangan), sehingga penarikan atas benda jaminan fidusia tersebut
dilakukan secara paksa oleh pengadilan. Sementara parate eksekusihanya
dimungkinkan dapat terjadi, selain debitur telah bersepakat dengan kreditur
terkait adanya cidera janji tersebut, juga debitur menyerahkan benda jaminan
fidusia secara sukarela kepada kreditur untuk dijual (lelang atau pun di
bawah tangan) demi pelunasan utang debitur;
5. Dalam hal debitur tidak bersepakat dengan kreditur terkait keadaan cidera
janji debitur dan secara otomatis debitur tidak mungkin pula menyerahkan
benda jaminan fidusia kepada kreditur untuk dijual guna pelunasan utang

86
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

debitur, maka eksekusi atas benda jaminan fidusia hanya mungkin dilakukan
dengan terlebih dahulu melakukan upaya hukum untuk menentukan telah
terjadinya cidera janji. Dalam hal ini adalah melalui mekanisme upaya
hukum berupa gugatan wanprestasi;
Jika dicermati secara keseluruhan pertimbangan hukum dan amar putusan dari
Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi dalam putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor18/PUU-XVII/2019, sesungguhnya Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi sangat
menekankan adanya perlindungan hukum yang pasti dan adil yang bersifat preventif
dari pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia yang diatur di dalam Undang-Undang
Jaminan Fidusia, khususnya ketentuan pasal 15 ayat (2) dan ayat (3). Perlindungan
hukum yang pasti dan adil ini, sesungguhnya merupakan ciri mendasar dari sebuah
negara hukum (recht staat) yang juga dianut oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia
sebagaimana yang terurai dengan jelas dan tegas di dalam konstitusi, Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Namun demikian, di dalam teori tujuan hukum, kehadiran dan eksistensi hukum
tidak semata-mata memberikan perlindungan yang pasti dan adil, melainkan juga
kehadiran dan eksistensi hukum bertujuan untuk mewujudkan kemanfaatan sebagimana
yang ditekankan oleh aliran utilitarianisme. Bagi aliran utilitarianisme yang digagas oleh
Jeremy Bentham-filsuf Inggris dan kemudian dikembangkan pula oleh Richard B.
Brandt, dengan tegas menyatakan bahwa perbuatan adalah baik secara moral, bila sesuai
dengan aturan yang berfungsi dalam sistem aturan moral yang paling berguna bagi suatu
masyarakat. Pada putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019 yang
mengakibatkan lemahnya eksekusi jaminan fidusia sehingga berimplikasi pada daya
penawaran atau kemauan para kreditur untuk menyediakan dana pinjaman bagi para
debitur, yang otomatis berimplikasi pula pada menurunnya perkembangan
pembangunan ekonomi nasional, sesungguhnya tidak menekankan pertimbangan hukum
dari aspek kemanfaatan sebagaimana yang diusung oleh aliran utilitarianisme.
Akan tetapi ditahun 2021 Mahkamah Konstitusi mengeluarkan Putusan Terbaru
juga mengenai Pengujian Undang-Undang Nomor 42 Tahun1999 tentang Jaminan
Fidusia terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Melalui Putusan MK No.2/PUU-XIX/2021 tertanggal 31 Agustus 2021, MK

87
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

telah menolak pengujian Pasal 15 ayat (2) dan Penjelasan Pasal 15 ayat (2) Undang-
Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (Undang-Undang Jaminan
Fidusia) terkait eksekusi sertifikat jaminan fidusia. Majelis MK menganggap tidak
terdapat persoalan konstitusionalitas norma dan norma yang dimohonkan juga telah
diputus dan dipertimbangkan dalam Putusan MK No.18/PUU-XVII/2019 tertanggal 6
Januari 2020. “Putusan MK No.2/PUU-XIX/2021 hanya penegasan saja. Tidak ada
perbedaan dengan putusan MK sebelumnya (Putusan MK No.18/PUU-XVII/2019).
Putusan MK No.2/PUU-XIX/2021 ini memberi penegasan terkait eksekusi
jaminan fidusia bisa diajukan ke pengadilan negeri oleh kreditur yang bersifat alternatif.
Alternatif yang dimaksud adalah pilihan apabila kesepakatan wanprestasi tidak dicapai
dan tidak ada penyerahan sukarela objek jaminan fidusia oleh debitur, maka pilihan
eksekusinya tidak boleh dilakukan sendiri oleh kreditur, tapi minta bantuan pengadilan
negeri untuk melakukan eksekusi. pengajuan ke pengadilan bukan dengan mengajukan
gugatan, tetapi bentuknya permohonan eksekusi dengan penetapan pengadilan.
Mengingatkan putusan MK tersebut berlaku untuk semua objek jaminan fidusia,
termasuk objek fidusia terhadap benda tetap (tidak bergerak) yang tidak dibebani hak
tanggungan. Sebab, objek fidusia benda tidak bergerak yang tidak dibebani hak
tanggungan itu, salah satu jenis objek jaminan fidusia yang diperintahkan Pasal 1 angka
2 Undang-Undang Jaminan Fidusia.
Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Jaminan Fidusia menyebutkan “Jaminan
Fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang
tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat
dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor4
Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan Pemberi
Fidusia (debitur), sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan
kedudukan yang diutamakan kepada Penerima Fidusia (kreditur) terhadap kreditur
lainnya.
Sebelumnya, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 2/PUU-XIX/2021,
Mahkamah Konstitusi menyimpulkan permohonan pemohon tidak beralasan menurut
hukum. Belum terdapat alasan hukum dan kondisi yang secara fundamental berbeda
untuk mengubah pendirian Mahkamah terhadap isu pokok yang berkaitan eksekutorial

88
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

sertifikat jaminan fidusia.


Mahkamah menilai pemohon tidak memahami secara utuh substansi Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019 mengenai kekuatan eksekutorial
sertifikat jaminan fidusia. Adanya ketentuan tidak bolehnya pelaksanaan eksekusi
dilakukan atas kekuasaan sendiri, tapi harus mengajukan permohonan pelaksanaan
eksekusi kepada Pengadilan Negeri, pada dasarnya telah memberi keseimbangan posisi
hukum antara debitur dan kreditur serta menghindari timbulnya kesewenang-wenangan
(kreditur) dalam pelaksanaan eksekusi.
Menurut Mahkamah, pelaksanaan eksekusi sertifikat jaminan fidusia melalui
pengadilan negeri sesungguhnya hanya sebagai sebuah alternatif yang dapat dilakukan
dalam hal tidak ada kesepakatan antara kreditur dan debitur baik adanya wanprestasi
maupun penyerahan secara sukarela objek jaminan dari debitur kepada kreditur. Bila
debitur yang telah mengakui adanya wanprestasi dan secara sukarela menyerahkan
objek jaminan fidusia, maka eksekusi jaminan fidusia dapat dilakukan (dengan mudah,
red) oleh kreditur atau bahkan debitur itu sendiri (yang menyerahkan secara sukarela).6
Didalam Focus Group Discusisioan (FGD) Monotoring dan evaluasi
pelaksanaan Putusan Mahkamah Konstitusi Tahun 2021 yang dilaksanakan di Surakarta
Tanggal 19-21 November 2021 yang disusun oleh Jamal Wiwoho dan Pujiyono
mengungkapkan beberapa data baru dari tindak lanjut Putusan MK Nomor 18/PUU-
XVII/2009 terhadap Undang-Undang Fidusia.
Bahwa dengan keluarnya putusan MK Nomor 18/PUU-XVII/2009 terhadap
Undang-Undang Fidusia maka para stake holder wajib mentaati putusan dimaksud dan
terhadap Perkapolri Nomor 18Tahun 2011 tentang pengamanan eksekusi jaminan
fidusia bahwa debt collector atau lembaga keuangan selaku penerima fidusia tidak bisa
main tarik eksekusi dijalan tanpa melalui putusan pengadilan sehubungan dengan
keluarnya Putusan MK ini akan tetapi pihak Lembaga Pembiayaan selaku kreditur /
penerima fidusia melakukan perlawanan bahwa mereka bisa tetap menarik kendaraan
sepanjang telah diatur mengikat dalam bundel Perjanjian sebagaimana dimaksud pasal
15 ayat 2 maupun ayat 3 Undang – Undang Nomor 42 Tahun 1999 (Lembaran Negara

6
https://www.hukumonline.com/berita/a/begini-penjelasan-mk-terkait-putusan-eksekusi-jaminan-fidusia-
lt613e2960d6190?page=1, diakses pada tanggal 20 Februari 2021 pukul 19.05

89
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 168, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3889)
sebagaimana FGD yang dilakukan Kementrian Hukum dan Ham bersama Asosiasi
Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI) terkait Putusan MK dan Perkapolri Nomor 18
Tahun 2011 dengan judul yang bertajuk Eksekusi Jaminan Fidusia Melalui Jalan
Pengadilan Hanyalah Sebuah Pilihan / Alternatif. Dimana yang dapat melakukan
penarikan adalah Kepolisian berdasarkan keputusan pengadilan. Eksekusi terhadap
jaminan fidusia termasuk kedalam salah satu eksekusi yang dikecualikan dari eksekusi
yang menjalankan putusan pengadilan yang telah berkuatan hukum tetap. Kekuatan
eksekutorial yang dimaksud oleh jaminan fidusia terkandung didalam pasal 15
disebutkan :
1. Dalam Sertifikat Jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 (1)
dicantumkan kata-kata “DEMI KEADILAN BERDASARKAN
KETUHANAN YANG MAHA ESA”.
2. Sertifikat Jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam ayat mempunyai
kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap.
3. Apabila debitur cidera janji, Penerima Fidusia mempunyai hak untuk
menjual benda yang menjadi objek jaminan fidusia atas kekuasaannya
sendiri.
Dalam pasal ini jelas sertifikat jaminan fidusia mempunyai kekuatan hukum
yang sama dengan putuan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, sehingga dapat
dilaksanakan jika debitur melakukan wanprestasi atau cidera janji. Pelaksanaan eksekusi
dimaksud dalam ayat adalah menjual objek jaminan fidusia guna memenihi kewajiban
debitur kepada kreditur, sehingga kreditur tidak boleh mengartikan eksekusi jaminan
fidusia adalah untuk dimiliki. Pelaksanaan eksekusi dalam Pasal 29 ayat 1 Undang-
Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia menyatakan apabila debitur
atau pemberi fidusia cidera janji, eksekusi terhadap benda yang menjadi objek jaminan
fidusia dapat dilakukan dengan cara :
1. Pelaksanaan title eksekutorial sebagaimana dimaksud dalam pasal 15 ayat 2
oleh penerima fidusia
2. Penjualan benda yang menjadi objek jaminan fidusia atas kekuasaan

90
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

penerima fidusia sendiri melalui lelang umum serta mengambil pelunasan


piutang dari hasil penjualan
3. Penjualan dibawah tangan yang dilakukan berdasarkan kesepakatan pemberi
dan penerima fidusia, jika dengan cara demikian dapat diperoleh harga
tertinggi yang menguntungkan para pihak.
Bahwa perlu dipahami dari ketentuan Pasal 15 ayat 3 dan Pasal 29 ayat 1 hurif b
dan c sangat tegas menjelaskan eksekusi fidusia adalah menjual barang yang menjadi
objek jaminan fidusia, Undang-Undang Jaminan Fidusia tidak memperbolehkan barang
yang menjadi jaminan fidusia dimiliki secara langsung oleh penerima fidusia karena
bisa saja barang jaminan tersebut mempunyai nilai harga yang berbeda dari kewajiban si
debitur yang harus ditanggung. Barang jaminan fidusia yang di jual bukanlah sebagai
bentuk pelunasan atau hak dan kewajiban terakhir bagi kreditur maupun debitur
terhadap perjanjian jaminan, karena jika barang jaminan fidusia dijual maka ada dua
kemungkinan yang terjadiya itu hasil dari barang jaminan yang di jual dapat memenuhi
segala kewajiban debitur kepada kreditur tetapi tidak menutup kemungkinan hasil
barang jaminan yang dijual tidak cukup memenuhi kewajiban debitur kepada kreditur.
Oleh karenanya dalam pasal 34 Undang-Undang jaminan fidusia menentukan sebagai
berikut :
1. Dalam hal hasil eksekusi melebihi nilain penjaminan, Penerima Fidusia
wajib mengembalikan kelebihan tersebut kepada Pemberi Fidusia.
2. Apabila hasil eksekusi tidak mencukupi untuk pelunasan utang, debitur tetap
bertanggung jawab atas utang yang belum terbayar.
Jelas dari segala ketentuan diatas maka yang dimaksud dengan eksekusi jaminan
fidusia adalah menjual barang atau objek yang diletakkan jaminan fidusia baik melalui
pelelangan umum maupun dibawah tangan guna memenuhi segala kewajiban dari
debitur kepada kreditur. Masalah yang timbul dalam kejadian sehari-hari adalah pada
saat akan mengeksekusi barang jaminan tentunya barang jaminan tersebut haruslah ada
ditempat pelelangan atau setidak-tidaknya di tempat penitipan yang berada dalam
kekuasaan kreditur. Sangat jarang masyarakat (debitur) secara sukarela menyerahkan
barang jaminan fidusia setelah wanprestasi bahkan setelah kreditur meminta secara
baik-baik pun debitur masih tidak mau menyerahkannya, sementara eksekusi baru dapat

91
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

terjadi jika barang jaminan fidusia ada. Barang jaminan fidusia sifatnya dapat
berpindah-pindah oleh karenanya kehadiran barang jaminan fidusia dalam eksekusi
sangat penting, hal ini berbeda dengan eksekusi hak tanggungan yang sifat dari
kebendaannya yang dijadikan jaminan adalah tidak bergerak. Atas dasar kepentingannya
kreditur melakukan penarikan benda yang dijadikan objek jaminan fidusia agar dapat
berlangsungnya eksekusi. Proses penyerahan benda jamian fidusia adalah persiapan
dalam rangka pelaksanaan eksekusi ini diatur dalam pasal 30 Undang-Undang 42 Tahun
1999 yang berbunyi sebagai berikut: “Pemberi Fidusia wajib menyerahkan benda yang
menjadi objek jaminan fidusia dalam rangka pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia”.
Jika ditafsirkan maka ketentuan pasal 30 ini jelas memberikan kewajiban kepada
debitur untuk menyerahkan barang jaminan fidusia atau memberikan hak kepada
kreditur untuk mengambil barang jaminan fidusia guna persiapan pelaksanaan eksekusi
jaminan fidusia. Pasal 30 ini juga menjelaskan bahwa penyerahan objek jaminan fidusia
adalah perbuatan yang dilakukan sebelum eksekusi terjadi dan perbuatan yang
dilakukan agar eksekusi dapat terjadi. Maka dengan dasar ini apa yang dilakukan
kreditur dengan menarik barang jaminan fidusia yang berada di bawah kekuasaan
debitur bukanlah merupakan suatu perbuatan yang diklasifikasikan sebagai tindakan
eksekusi jaminan fidusia dan merupakan tindakan pengambilan yang dilindungi dan
dijamin oleh Undang-Undang.
Selanjutnya melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 2/PUU-
XIX/2021 tertanggal 31 Agustus 2021, Mahkamah Konstitusi telah menolak pengujian
Pasal 15 ayat (2) dan Penjelasan Pasal 15 ayat (2) Undang - Undang Nomor
42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (Undang-undang Jaminan Fidusia) terkait
eksekusi sertifikat jaminan fidusia, Pada Intinya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
2/PUU-XIX/2021 ini memberi penegasan terkait eksekusi jaminan fidusia bisa diajukan
kepengadilan negeri oleh kreditur yang bersifat alternatif. Alternatif yang dimaksud
adalah pilihan apabila kesepakatan wanprestasi tidak dicapai dan tidak ada penyerahan
sukarela objek jaminan fidusia oleh debitur, maka pilihan eksekusinya tidak boleh
dilakukan sendiri oleh kreditur, tapi minta bantuan pengadilan negeri untuk melakukan
eksekusi. “Tapi, pengajuan kepengadilan bukan dengan mengajukan gugatan, tetapi
bentuknya permohonan eksekusi dengan penetapan pengadilan”. Putusan Mahkamah

92
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Konstitusi tersebut berlaku untuk semua objek jaminan fidusia, termasuk objek fidusia
terhadap benda tetap (tidak bergerak) yang tidak dibebani hak tanggungan. Sebab, objek
fidusia benda tidak bergerak yang tidak dibebani hak tanggungan itu, salah satu jenis
objek jaminan fidusia yang diperintahkan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Jaminan
Fidusia. Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Jaminan Fidusia menyebutkan “Jaminan
Fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak
berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak
tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996
tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan Pemberi Fidusia
(debitur), sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan
yang diutamakan kepada Penerima Fidusia (kreditur) terhadap kreditur lainnya.
”Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 2/PUU-XIX/2021 dilandasi permohonan yang
diajukan Joshua Michael Djami, karyawan perusahaan finance dengan jabatan Kolektor
Internal yang telah memiliki sertifikasi profesi di bidang penagihan. Dia memohon
pengujian Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Fidusia yang menyebutkan, “Sertifikat
Jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai kekuatan
eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap.”

93
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

B. UPAYA HUKUM BAGI PENERIMA FIDUSIA AGAR TETAP MENDAPAT


JAMINAN ATAS KEBENDAAN YANG SUDAH DIJAMINKAN BILAMANA
DEBITUR WANPRESTASI
Pemberian kredit oleh Bank memiliki resiko kemacetan walaupun telah
dilakukan berbagai analisis secara seksama. Seorang analis kredit tidak dapat
memprediksi bahwa kredit selalu berjalan dengan baik, banyak factor penyebabnya
diantaranya kesalahan penggunaan kredit, manajemen yang buruk dan kondisi
perekonomian mempunyai pengaruh yang besar terhadap kesehatan keuangan debitur
dan atas kerugian kredit bank.
Persoalan pokok kredit bermasalah adalah ketidaksediaan debitur untuk
melunasi atau ketidaksanggupan untuk memperoleh pendapatan yang cukup untuk
melunasi kredit seperti yang telah disepakati.
Menurut Edward W. Reed dan Edward K. Gill, kedua persoalan diatas dijelaskan
sebagaimana berikut :
“Ketidaksediaan untuk membayar naik turun dengan keberuntungan ekonomi
sebagai peminjam. Dalam masa cerah, keinginan untuk membayar pinjaman
lebih besar daripada masa sulit. Ketidakinginan membayar pinjaman erat
kaitannya dengan depresi ekonomi, masa pengangguran, dan penurunan laba.
Sifat pemberi pinjaman yang kejam menerkam mangsanya pada masa sulit ini,
dan dalam masa inilah pemberi pinjaman dalam pandagan peminjam, seharsnya
bertindak sebagai penyelamat. Tapi kelihatanya bahwa alasan utama adanya
pinjaman bermasalah dan kemungkinan kerugian adalah ketidak kemampunan
peminjam untuk mewujudkan pendapatan dari kegiatan bisnis yang normal,
kesempatan kerja dan penjualan hartanya”.7

Selanjutnya penyebab kredit bermasalah ditinjau dari sudut kredit untuk


konsumsi dan produktif.
Kredit konsumsi berkaitan erat dengan tingkat pendapatan dan kesempatan kerja,
di mana sumber pelunasan dari kredit konsumsi sebagian besar dinilai dari pendapatan
debitur. Gangguan yang terjadi dalam hubungan kerja sangat berpengaruh dan
menyudutkan mereka dalam posisi tidak sanggup untuk melakukan penyelesaian kredit.
Selain itu factor lainya adalah keadaan pribadi, seperti sakit, kematian dalam keluarga,
dinas militer, kecelakaan, perceraian, atau debitur tidak dapat mengatur keuangannya.

7
Edward W. Reed dan Edward K. Gill, Bank Umum (Judul Asli : “Commercial Bank”, penerjemah : St.
Dianjung), Jakarta : Bumi Aksara, 1995. Hal. 305.

94
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Kredit produktif berkaitan erat dengan masalah manajemen, dapat berupa


pemiihan sasaran dan jenis organisasi untuk menjalankannya, pemilihan kebijaksanaan
yang akan dijalankan sehingga memberi hasil yang wajar pada pemilik perusahaan dan
pengendalian atas proses produksi yang akan meghasilkan barang dan jasa yang dapat
dijual, melakukan penyesuaian atas kebijaksanaan dan prosedur yang ada untuk
menjamin kelangsungn operasi yang berhasil. Jika tanggung jawab ini dipenuhi,
kemampuan untuk menghasilkan pendapatan akan menurun dan akibatnya kemampunan
untuk membayar kembali kredit juga akan berkurang.
Hal-hal yang patut diperhatikan dalam prosedur bank sehingga berpengaruh
terhadap kredit yang akan diberikan adalah sebagai berikut :8
1. Analisis kredit yang kurang memuaskan tentang kemampuan manajemen
debitur.
2. Analisis laporan keuangan yang tidak memadai.
3. Persyaratan yang tidak baik dalam pemberian kredit.
4. Peninjauan dan pemeriksaan yang kurang baik atas kredit yang tanggung-
tanggung
5. Terlalu menekankan pada laba dan perkembangan bank.
6. Kebijaksanaan kredit yang terlalu longgar pada teman pribadi atau teman
direktur dan penjabat eksekutif.
Selain prosedur bank yang harus ditingkatkan lebih baik, terdapat pula beberapa
indicator kredit bermasalah, tetapi tidak ada sesuatu pola yang pasti tentang frekuensi
terjadinya peristiwa yang mengarah pada suatu titik dimana kredit dapat dinyatkan
bermasalah, tetapi dijadikan sebagai patokan tanda-tanda bahaya, yaitu sebagai berikut
:9
1. Keterlambatan penyeampaian laporan keuangan.
2. Keterlambatan pengatran kunjungan ke pabrik antara petugas bank dan
peminjam; kemunduran dalam rasa hormat dan kepercayaan timbal balik.
3. Penurunan saldo deposit dan terjadinya overdraft atau penolakan cek.
4. Peningkatan luar biasa dalam persediaan dan utang dagang.

8
Ibid., hal. 307.
9
Ibid., hal. 308

95
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

5. Peningkatan piutang. Ini mungkin menunjukan penrunan mutu produk dan


jasa perusahaan, perubahan syarat penjualan, atau melakukan penjualan pada
perusahaan yang lemah keuangannya dalam usaha untuk meningkatkan
penjualan dan pendapatan.
6. Lambat melunasi pinjaman pada bank.
7. Peningkatan asset tetap, perluasan dilakukan melalui merger atau
pengambilalihan, mengadakan pembicaraan merger dan perusahaan lainya
atau penjualan asset.
8. Perubahan manajemen atau berhentinya pejabat kunci; persoalan perburuhan;
perubahan dalam tingkah lalu social yang penting.
9. Pengaturan keuangan atau utang yang baru.
10. Bencana alam seperti banjir dan kebakaran.
Bank sangat berkepentingan terhadap langkah-langkah pengamanan dalam
meinimalisir kredit bermasalah10, dikareka biaya yang berkaitan dengan pengawasan
dan penagihannya ataupun kerugian dari kredit terhadap struktur keuangan.
Bank daam pemantauaannya, bila telah mendeteksi seorang debitur menghadapi
kesulitan keuangan, manajemen bank harus mengambil langkah-langkah untuk
memperbaiki situasi dalam melindungi kepentingan bank. Upaya-upaya meminimalisir
terjadinya kredit bermasalah dilakukan dengan satu atau kombinasi dibawah ini :11
1. Pemberian saran, Petugas bank dapat memberikan saran tentang berbagai
hal seperti penjualan, penagihan, produksi, dan lain sebagainya. Bank juga
membawa konsultan untuk memberikan saran dan nasihat.
2. Penambahan modal, Bank dapat menyarankan pada pemilik perusahaan
untuk memberikan lebih banyak modal. Jika perusahaan tersebut berbentuk
perseroan, perusahaan dianjurkan untuk menjual saham tambahan dan

10
Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 31/147/KEP/DIR tanggal 12 November 1998 tentang
Kualitas Aktiva Produktif, bahwa kualitas aktiva dinilai dari prospek usaha, kondisi keuangan dengan penekanan
pada arus kas debitur, dan kemampuan membayar(Pasal 3) sedangkan dalam pasal berikutnya menjelaskan kualitas
kredit. Dalam Pasal 4 berbunyi :
1) Kualitas kredit digolongkan menjadi lancer, dalam perhatian khusus, kurang lancer, diragukan dan
macet menurut kriteria yang ditetapkan sebagaimana tercantum dalam lampiran Surat Keputusan
ini.
2) Lampiran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merpakan bagian yang tidak terpisahkan dari
Surat Keputusan ini.
11
Edward W Reed dan Edward K Gil, op.cit., hal. 310.

96
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

dengan demikian memberikan suntikan modal baru.


3. Merger, Bank dapat mengajurkan peminjam untuk melakukan merger
dengan perusahaan lain. Ini diberikan setelah mempelajari dan menilai
dengan cermat semua factor yang mempengaruhi. Jika perusahaan berbentuk
perorangan, maka dapat dianjurkan untuk mencari seorang partner.
4. Pengurangan rencana perluasan, Jika rencana perluasan sedang dibuat
peminjam disarankan untuk membatalkannya. Jika mungkin sampai
perusahaan telah dapat memperbaiki posisi keuangannya. Rencana seperti itu
dapat mengalihkan dana dari kegiata yang sedang berjalan.
5. Mendorong penagihan piutang yang lamban. Ini dapat dilakukan dengan
meningkatkan perbaikan dan program penagihan dan penambahan petugas
dalam bidang khusus ini. Ini juga dapat mencakup penelitian kebijaksanaan
kredit yang dijalankan oleh perusahaan.
6. Meningkatkan pengendali persediaan. Bukannya tidak biasa perusahaan
memiliki kelebihan persediaan pada suatu waktu selama siklus dunia usaha.
Perusahaan dapat diajurkan untuk menawarkan sebagian barang dengan
potongan dan dengan demikian meningkatkan penjualan. Ini akan
meningkatkan arus uang dan menempatkan perusahaan dalam posisi untuk
memenuhi pembayaran pinjamannya.
7. Dapatkan jaminan tambahan. Walaupun peminjam tidak menyukai tindakan
ini, tai tindakan ini dapat menguntungkan kedua belah pihak. Bank mungkin
tidak menarik pinjamannya dan memiliki posisi yang lebih baik untuk
merundingkan kembali pinjaman dan dengan demikian lebih mudah bagi
peminjam untuk melakukan pelunasan pinjaman. Ini tentu saja
menguntungkan bagi bank karena posisi keuangannya akan diperkuat.
8. Merestruktur utang. Bank dapat menrestruktur pinjaman tersebut dengan
memperpanjang jatuh tempo dan mengurangi pembayaran bulanan atau
bahkan menghapuskan pembayaran pokok pinjaman untuk suatu jangka
waktu. Bank juga dapat menyerankan pemberian pinjaman lainnya dan
dengan demikian mengurangi resiko yang dihadapi.
9. Menambah jumlah pinjaman. Biasanya bank enggan untuk memberikan uang

97
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

tambahan, walaupun hal tersebut merupakan penyelesaian yang mudah dan


menarik. Hal ini baru dilakukan setelah semua kondisi yang diajukan oleh
bank telah dipenuhi dan telah jelas bahwa perusahaan dapat dikembalikan
pada jalan pemulihan.
Manajemen bank yang terpenting adalah mengelola loanable funds, dimana
sumber-sumber dana yang sebagian besar dialokasikan dalam bentuk produk kredit.
Dari alokasi kredit bank memperoleh sumber pendapatan terbesar yaitu bunga atas
kredit yang dibayarkan oleh debitur kepada bank. Akan tetapi dalam hal tersebut bak
juga harus memperhatikan beberapa aspek yang salah satunya adalah aspek pengamanan
kredit, Tujuan pemberian kredit bank dari sudut profitability untuk mencapai tingkat
keuntungan sesuai dengan target bank. Disamping itu bank yang meyakini secara
seksama atas fasilitas kredit yang disalurkan dapat berjalan dengan lancer. Sehingga
dengan demikian bank meninjau dari dua sudut, yaitu profitability dan safety.
Pengamanan kredit berkaitan dengan tingkat resiko atau degree of risk dari
setiap fasilitas kredit yang disalurkan ke masyarakat. Oleh karenanya dalam
mengalokasikan dana bank mengatur risk spreading dengan tidak berkonsentrasi
terhadap kredit skala korporasi tetapi juga menyalurkan dalam skala menengah dan
kecil. Selain mengatur risk spreading, pengamanan kredit dilakukan dengan
menganalisis kredit dengan baik, mengatur administrasi kredit, mengikat jaminan,
mengasuransikan, memberikan pembinaan dan bimbingan dalam dalam meminimalisir
resiko-resiko yang timbul.
Langkah yang ditempuh bank dalam manajemen kredit untuk menjaga kualitas
aktiva produktif dan meminimalisir kredit bermasalah dengan melakukan penyelamatan
kredit. Langkah-langkah yang ditempuh sebagai berikut :
1. Penjadwalan Kembali (Reschedulling)
a. Memperpanjang Jangka Waktu Kredit
Dalam hal ini debitur diberi keringanan dalam masalah jangka
waktu kredit misalnya perpanjangan jangka waktu kredit dari 6
bulan menjadi 1 tahun sehingga debitur mempunyai waktu yang
lebih lama untuk mengembalikannya.
b. Memperpanjang Jangka Waktu Angsuran

98
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Memperpanjang angsuran hamper sama jangka waktu kredit.


Dalam hal ini jangka waktu angsuran kreditnya diperpanjang
pembayarannya pun missal dar 36 kali menjadi 48 kali dan dalam
hal ini tentu saja jumlah angsurapun menjadi mengecil seiring
dengan penambahan jumlah angsuran angsuran.
2. Penyelesaian Kembali (Reconditioning)
Dengan cara mengubah berbagai persyaratan yang ada seperti :
a. Kapitalis bunga, yaitu bunga dijadikan utang pokok.
b. Penundaan pembayaran bunga sampai waktu tertentu
Dalam hal penundaan pembayaran bunga sampai waktu tertentu,
maksudnya hanya bunga yang dapat ditunda pembayarannya sedangkan
pokok pinjamannya tetap harus dibayar seperti biasa.
c. Penurunan suku bunga
Penurunan suku bunga dimaksudkan agar lebih meringankan beban
nasabah. Sebagai contoh jika bunga pertahun sebelumnya dibebankan
20% diturunan menjadi 18%. Hal ini tergantung dari pertimbangan bank
yang bersangkutan. Penurunan suku bunga akan mempengaruhi jumlah
angsuran yang semakin kecil, sehingga diharapkan dapat membantu
meringankan nasabah.
3. Restrukturisasi (Resturucturing)
Dalam pembahasan suku bunga diberikan kepada nasabah dengan
pertimbangan nasabah sudah akan mampu lagi membayar kredit tersebut.
Akan tetapi nasabah tetap mempunyai kewajiban untuk membayar pokok
pinjamannya sampai lunas.
4. Kombinasi.
Kombinasi merupakan kombinasi dari ketiga jenis di atas.
Langkah – langkah tersebut diatas merupakan solusi dan pedekatan secara
persuasive guna agar debitur kembali kedalam kondisi normal sebagaimana sebelumnya
dan kreditur akan mendapatkan haknya sebagaimana kesepakatan yang telah di buat
didalam perjanjian. Akan tetapi bilamana setelah langkah-langah tersebut dilakukan dan
debitur tetap melakukan wanprestasi dan gagal membayar kredit maka langkah terakhir

99
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

adalah melalukan eksekusi atau penjualan agunan tambahan yang di perjanjikan diawal
dalam hal ini yang menjadi agunan adalah benda bergerak yang diikat dengan fidusia.
Objek Jaminan Fidusia menurut Undang-Undang Jaminan Fidusia tersebut berada pada
penguasaan Pemberi Fidusia sebagai ciri khas dari Jaminan Fidusia. Maka Pemberi
Fidusia wajib menyerahkan benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia tersebut untuk
dieksekusi, tetapi apabila Pemberi Fidusia menolak untuk menyerahkannya maka
Penerima Fidusia berhak mengambil objek Jaminan Fidusia dari tangan penguasaan
Pemberi Fidusia dan bila perlu dengan bantuan pihak yang berwenang. (Pasal 30 dan
penjelasan Undang-Undang Jaminan Fidusia).
Eksekusi Jaminan Fidusia berdasarkan titel eksekutorial Sertipikat Jaminan
Fidusia, pelaksanaannya harus mengikuti prosedur pelaksanaan suatu keputusan
Pengadilan. Artinya, sesuai dengan ketentuan Pasal 196 ayat (3) HIR, kreditor harus
mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri agar dilaksanakan eksekusi
atas benda jaminan berdasarkan titel eksekutorial Sertipikat Jaminan Fidusia.12 Ketua
Pengadilan Negeri akan memangil debitor atau Pemberi Fidusia dan memerintahkan
agar debitor atau Pemberi Fidusia memenuhi kewajibannya sebagaimana mestinya.
Menurut Pasal 197 HIR. setelah waktu tersebut lampau dan debitor atau Pemberi
Fidusia tetap tidak memenuhi kewajibannya secara sukarela maka Ketua Pengadilan
Negeri akan memerintahkan kepada Juru Sita untuk menyita benda objek Jaminan
Fidusia. Selanjutnya menurut Pasal 200 HIR, pelaksanaan eksekusi dilakukan dengan
menjual benda objek Jaminan Fidusia di muka umum (secara lelang) atau dengan cara
yang oleh Ketua Pengadilan Negeri dianggap baik.
Siapapun yang berminat menjual barang secara lelang harus mengajukan
permohonan tertulis ke Kantor Lelang di tempat barang yang akan dilelang berada.
Pemohon lelang mengajukan permintaan lelang secara lisan atau melalui
telepon,yang harus segera diikuti dengan permohonan tertulis. Permohonan lelang
tersebut pada dasarnya tidak dapat ditolak oleh Kantor Lelang, kecuali permohonan
tersebut tidak memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam ketentuan lelang.
Apabila permohonan lelang telah diterima oleh Kantor Lelang, maka pemohon
lelang harus segera melengkapi surat permohonan lelangnya dengan dokumen-dokumen

12
Republik Indonesia, Undang –Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, pasal 29 ayat (1)

100
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

atau bukti-bukti hak dan kewenangannya menjual barang secara lelang. Selain itu
pemohon lelang selaku penjual dapat menetapkan syarat-syarat penjualan lelang asalkan
syarat tersebut tidak bertentangan dengan ketentuan lelang yang berlaku.
Setelah kantor lelang meneliti permohonan lelang beserta dokumen
kelengkapannya tersebut dan memperoleh keyakinan atas legalitas subyek lelang dan
legalitas objek lelang, maka Kantor Lelang akan menetapkan waktu dan tempat lelang
dengan memperhatikan keinginan pemohon lelang. Segera setelah ditetapkan oleh
Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang mengenai waktu dan tempat
pelaksanaan lelang, pemohon lelang selaku penjual melakukan pengumuman lelang di
surat kabar/harian dan atau media masa lainnya.
Untuk memberi kesempatan kepada masyarakat yang berminat mengikuti lelang
untuk memperoleh informasi mengenai barang yang akan dilelang, maka semua
dokumen kelengkapan permohonan lelang dan persyaratan lelang dari penjual,serta
bukti pengumuman lelang tersebut harus diserahkan ke Kantor Pelayanan Kekayaan
Negara dan Lelang selambat-lambatnya 3 (tiga) hari sebelum lelang.
Para peminat lelang untuk dapat turut serta dalam suatu lelang diwajibkan untuk
menyetorkan uang jaminan dalam jumlah tertentu ke rekening Kantor Pelayanan
Kekayaan Negara dan Lelang dengan ketentuan sebagai berikut :
▪ Uang jaminan tersebut akan diperhitungkan dengan harta pembelian jika
sipenawar ditunjuk sebagai pembeli.
▪ Uang jaminan tersebut akan dikembalikan segera jika si penawar tidak
ditunjuk sebagai pembeli.
▪ Uang jaminan tersebut akan menjadi milik penjual jika pemenang lelang
wanprestasi yaitu tidak dapat memenuhi kewajibannya membayar uang
lelang tepat pada waktunya.
Lelang bersifat terbuka karena itu pada prinsipnya semua orang dapat menjadi
peserta sepanjang tidak dikecualikan sebagaimana diuraikan diatas. Pada waktu yang
telah ditentukan, lelang dilaksanakan dan dipimpin oleh Pejabat Lelang dari Kantor
Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang. Dalam hal penawaran tertinggi dalam lelang
telah sesuai dengan kehendak penjual, maka barang akan dilepas dan Pejabat Lelang
akan menetapkan penawar tertinggi tersebut sebagai pemenang lelang. Namun dalam

101
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

hal penawar tertinggi ternyata belum mencapai harga jual yang dikehendaki penjual
(atau batas harga yang telah ditetapkan), maka pejabat lelang akan menetapkan bahwa
objek lelang ditahan (atau tidak ditunjuk pemenangnya), kecuali penjual setuju untuk
melepaskan barang tersebut.13
Dalam hal barang lelang laku terjual, maka pembeli berkewajiban membayar
uang Pokok Lelang sejumlah penawarannya ditambah dengan Bea Lelang Pembeli yang
dipungut sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah tentang Bea Lelang Staatblad
tahun 1949 Nomor 390 (Peraturan Pemerintah tentang Bea Lelang), yaitu sebesar 9%
(sembilan persen) untuk barang bergerak dan 4,5% (empat koma limapersen) untuk
barang tidak bergerak, serta Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan sebesar 5%
(lima persen) dari harga pokok lelang⁵¹. Setelah dikurangi suatu nilai bebas pajak yang
ditetapkan oleh masing-masing pemerintah daerah dimana barang tersebut berada, Uang
Miskin yang dipungut berdasarkan Pasal 18 VenduReglement sebesar 0,7% (nol koma
tujuh persen) untuk barang bergerak dan 0,4%(nol koma empat persen) untuk barang
tidak bergerak.
Ketentuan tersebut diatas sudah tidak berlaku lagi dengan berlakunya peraturan
yang baru yaitu Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2003
tentang Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak, yaitu sebesar 1% (satu persen)
bagi penjual untuk lelang eksekusi dan 1% (satu persen) bagi pembeli,sedangkan untuk
Uang Miskin sudah tidak dipungut lagi atau 0% (nol persen) sesuai dengan Pasal 43
ayat (2) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999. Bea Lelang Pembeli dan Penjual
dihitung dari harga pokok lelang. Selanjutnya uang pokok lelang, Bea Lelang Pembeli
dan Penjual disetorkan kepada Pejabat Lelang.
Khusus dalam hal pemerintah sebagai penjual, maka Bea Lelang tidak dikenakan
kepada penjual. Pengenaan Bea Lelang penjual dengan cara memotong langsung dari
Harga Pokok Lelang yang akan disetor kepada pemohon lelang.
Pada dasarnya pembayaran uang lelang harus dilakukan secara tunai. Dalam hal
pembeli membayar uang pembelian lelangnya dengan cheque, maka sebelum cheque itu
dicairkan dan hasil pencairannya dinyatakan baik oleh Bank, Pejabat Lelang tidak akan
memberikan barang yang dilelang. Pejabat lelang pada dasarnya harus menyetorkan

13
Undang-Undang Nomor.17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara

102
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

uang hasil lelang ke rekening Penjual dalam waktu 1 x 24 jam,setelah diterimanya


pelunasan uang hasil lelang dari pembeli.14

14
Undang- Undang Nomor.1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara

103

Anda mungkin juga menyukai