Anda di halaman 1dari 68

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penelitian

Pada era revolusi industri 4.0 peserta didik diharapkan mampu


menguasai keterampilan abad ke-21 yang terdiri atas tiga kemampuan
utama yaitu kemampuan berpikir, kemampuan bertindak, dan kemampuan
hidup. Indonesia melalui kurikulum 2013, secara tidak langsung
mengharuskan peserta didik untuk memiliki kemampuan berpikir tingkat
tinggi dengan adanya penilaian yang mengukur tingkat berpikir peserta
didik mulai dari rendah sampai tinggi (Kemendikbud, 2014). Dengan
mengubah kurikulum KTSP menjadi kurikulum 2013 diharapkan dapat
melatih dan memfasilitasi peserta didik untuk memiliki keterampilan abad
21. Oleh karena itu, peserta didik dipersiapkan agar memiliki keterampilan
yang sejalan dengan perkembangan saat ini sehingga mampu bersaing
dalam dunia kerja abad ke 21.

Menurut hasil studi Programme for International Student


Assessment (PISA) 2018 yang dirilis oleh Organisation for Economic
Cooperation and Development (OECD) menunjukkan bahwa kemampuan
siswa di bidang sains dengan rata-rata skor siswa Indonesia berada pada
skor 389 dengan skor rata-rata OECD 489. Dari hasil tersebut Indonesia
berada di peringkat ke 74 dari 79 negara yang mengikuti program tersebut
pada tahun 2018 (OECD, 2019). Programme for International Student
Assessment (PISA) dilaksanakan secara berkala yaitu setiap tiga tahun,
namun karena 2021 terjadi pandemi COVID-19 maka PISA yang
seharusnya dilaksanakan pada tahun 2021 ditunda ke tahun 2022. Namun
untuk hasil PISA pada tahun 2022 belum dirilis oleh Organisation for
Economic Cooperation and Development (OECD).

Penilaian PISA menitik beratkan pada substansi pembelajaran inti


di sekolah yaitu membaca, matematika, dan sains. Nilai PISA Indonesia
menunjukkan peningkatan sejak PISA 2000 hingga 2018, dengan
peningkatan tipis pada bidang membaca dan sains, dan peningkatan lebih
tajam di bidang matematika. Sehingga pemerintah mengharapkan para
peserta didik mencapai berbagai kompetensi dengan penerapan HOTS atau
keterampilan berpikir tingkat tinggi. Oleh karena itu, penerapan HOTS
menjadi salah satu program yang dikembangkan kemendikbud melalui
direktorat jenderal guru dan tenaga kependidikan dalam upaya
peningkatan kualitas (Kemendikbud, 2018).

The Australian Council for Educational Research (ACER)


menyatakan bahwa kemampuan berpikir tingkat tinggi merupakan proses:
menganalisis, merefleksi, memberikan argumen (alasan), menerapkan
konsep pada situasi berbeda, menyusun, menciptakan (Heard et al., 2020).
Kemampuan berpikir tingkat tinggi bukanlah kemampuan untuk
mengingat, mengetahui, atau mengulang. Dengan demikian, jawaban soal-
soal HOTS tidak tersurat secara eksplisit dalam stimulus. Kemampuan
berpikir tingkat tinggi termasuk kemampuan untuk memecahkan masalah
(problem solving), keterampilan berpikir kritis (critical thinking), berpikir
kreatif (creative thinking), kemampuan berargumen (reasoning), dan
kemampuan

Secara historis Higher Order Thinking Skills (HOTS) pertama kali


dikemukakan oleh Brookhart atau Susan M Brookhart sekaligus Associate
Professor dari Duquesne University. Higher Order Thinking Skills
(HOTS) merupakan serangkaian kemampuan yang berguna untuk
menghubungkan, mengubah, dan memanipulasi pengetahuan secara kritis
dan kreatif berdasarkan pengalaman yang sudah dimiliki untuk
menyelesaikan permasalahan yang dihadapi. Higher Order Thinking Skills
(HOTS) merupakan kemampuan berpikir yang lebih tinggi daripada
sekedar mengingat fakta atau menceritakan kembali sesuatu yang didengar
maupun dipelajari dari orang lain (Thomas, A. & Thorne, 2009). Di
Indonesia, keterampilan berpikir tingkat tinggi (HOTS) selalu
dihubungkan dengan Taksonomi Bloom yang direvisi. Taksonomi Bloom
merupakan kerangka konsep kemampuan kognitif mulai dari tingkat yang
paling rendah hingga yang paling tinggi.
Berdasarkan Taksonomi Bloom yang telah direvisi oleh (Anderson,
L. W., & Krathwohl, 2001) membagi proses berpikir (cognitive process)
menjadi enam, yaitu mengingat atau remember (C1), memahami atau
understand (C2), menerapkan atau apply (C3), menganalisis atau analyze
(C4), mengevaluasi atau evaluate (C5), dan mencipta atau create (C6).
Dalam taksonomi ini, proses dari C1 hingga C3 dikenal dengan
keterampilan berpikir tingkat rendah (Lower Order Thinking Skills) dan
proses dari C4 hingga C6 dikenal dengan keterampilan berpikir tingkat
tinggi (Higher-Order Thinking Skills). Kemampuan yang perlu dicapai
oleh peserta didik bukan hanya LOTS (Lower Order Thinking Skills) tetapi
juga harus ada peningkatan sampai HOTS (Higher Order Thinking Skills)
karena hal tersebut merupakan rangkaian proses pembelajaran yang
berurutan. Kemampuan berpikir tingkat tinggi (Higher Order Thinking
Skills) menjadi penting untuk dikuasai oleh semua individu, khususnya
oleh para peserta didik di Indonesia sebagai bekal mereka dalam
menghadapi era global, kemajuan teknologi informasi, konvergensi ilmu
dan teknologi sebagai imbas dari teknosains, serta bangkitnya industri
kreatif di masa depan (Kemendikbud, 2013).

Suprapto, Suharsono, & Ramadhan menyatakan bahwa HOTS


merupakan sebuah alat untuk memfasilitasi proses berpikir dengan banyak
variabel dalam kondisi tertentu (Suprapto et al., 2020). Kemampuan
berpikir tingkat tinggi dalam diri seseorang tentu saja tidak dapat dilihat
secara langsung, perlu adanya sebuah media yang dapat mengukur sejauh
mana kemampuan berpikir tingkat tinggi (HOTS) yang dimiliki oleh
masing-masing individu. Dalam hal ini, kemampuan berpikir tingkat tinggi
dapat diukur melalui proses penilaian (Istiyono et al., 2014). Proses
penilaian tentu saja memerlukan sebuah media yang mampu mengukur
keterampilan serta kompetensi yang dimiliki oleh objek penelitian, salah
satunya melalui sebuah tes. Tes sendiri memiliki maksud untuk mengukur
ketercapaian kemampuan atau keterampilan dalam suatu kompetensi
tertentu, dengan pengolahan data secara kuantitatif sehingga menghasilkan
data berupa angka (Sanjaya, 2008).
Dalam pembuatan suatu bentuk instrumen tentu dilakukan proses
analisis. Analisis dilakukan untuk menyelidiki suatu instrumen layak
untuk digunakan atau tidak dan juga untuk mendapatkan informasi
mengenai abilitas peserta didik. Untuk melihat menganalisis sebuah
instrumen dapat dilakukan menggunakan teori tes klasik (Classical Test
Theory/CTT) ataupun teori tes modern yaitu teori respons butir (Item
Response Theory/IRT). Namun, teori klasik memiliki beberapa kelemahan
dan tes modern merupakan perbaikan dari kelemahan yang ada pada teori
klasik. Teori respons butir digunakan secara luas dalam pendidikan untuk
melakukan kalibrasi dan evaluasi butir-butir dalam tes, kuesioner, dan
instrumen-instrumen lain dan untuk memberi skor untuk kemampuan,
sikap, atau sifat-sifat tersembunyi lainnya (An & Yung, 2014).

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Rakkapao yang meneliti


keberfungsian tes untuk mengukur kemampuan peserta didik mengatakan
bahwa analisis dengan teori respon butir dapat mengetahui bahwa tes
tersebut mampu mengukur pemahaman peserta didik mulai dari
kemampuan berpikir tingkat rendah hingga kemampuan berpikir tingkat
tinggi (Rakkapao et al., 2016). Teori respon butir memberikan hubungan
antara kemampuan responden dengan peluang menjawab benar dalam
suatu butir tes, responden dengan kemampuan yang tinggi akan
mempunyai probabilitas menjawab benar lebih besar jika dibandingkan
dengan responden yang mempunyai kemampuan rendah. Adapun salah
satu model dalam teori respon butir (IRT) yaitu analisis butir soal dengan
Rasch model.

Pada konsep pengukuran yang objektif dalam penilaian pendidikan


menurut (Mok, M. and Wright, 2004) harus mempunyai lima kriteria,
yaitu: 1) memberikan ukuran yang linear dengan interval yang sama;
probabilitas untuk berhasil = kemampuan responden – tingkat kesulitan
aitem 2) melakukan proses estimasi yang tepat 3) menemukan aitem yang
tidak tepat (misfit) atau tidak umum (outliers) 4) mengatasi data yang
hilang 5) menghasilkan pengukuran yang replicable (independen dari
parameter yang diteliti). Dari kelima syarat tersebut, Rasch model
memenuhi kelima syarat. Maka kualitas pengukuran dalam penilaian
pendidikan yang dilakukan dengan Rasch model akan mempunyai kualitas
yang sama seperti halnya pengukuran yang dilakukan dalam dimensi fisik
dalam bidang fisika. Selain itu keunggulan dari Rasch model adalah dapat
melakukan prediksi terhadapa data yang hilang missing data.

Georg Rasch mengembangkan satu model analisis dari teori respon


butir atau Item Response Theory (IRT) yang disebut 1PL (satu parameter
logistic). Rasch model dikembangkan dengan data mentah berupa data
dikotomi (berbentuk benar dan salah) yang menghubungkan kemampuan
siswa dengan aitem. Rasch model dapat menganalisis sebuah tes tidak
hanya melihat hasil skor tes, namun memperhatikan keterkaitan antara
peserta tes dengan butir soal yang akan diteskan. Pengukuran Rasch secara
bersamaan mengurutkan secara terstruktur soal dari yang tersulit sampai
termudah dan responden dari yang abilitynya paling tinggi ke paling
rendah. Oleh karena itu adanya inkonsistensi jawaban dari responden
(misfit) ataupun pola yang tidak umum (outlier) akan bisa dideteksi
(Sumintono, 2014).

Rasch model mengembangkan model pengukuran yang


menentukan hubungan antara tingkat kemampuan siswa (person ability)
dan tingkat kesulitan aitem (item difficulty) dengan menggunakan fungsi
logaritma untuk menghasilkan pengukuran dengan interval yang sama.
Sehingga hasilnya adalah satuan baru yang disebut logit (log odds unit)
yang menunjukan abilitas siswa dan kesulitan aitem. Nilai logit yang
didapatkan menunjukkan tingkat kesuksesan siswa dalam mengerjakan
soal tergantung dari tingkat abilitas siswa dan tingkat kesulitan soal.
Analisis menggunakan Rasch model dapat mengukur setiap aitem dan
dapat mengukur responden secara bersamaan sehingga akan terlihat pola
jawaban responden yang konsisten (Sumintono, 2014).

Berdasarkan hasil studi lapangan yang dilakukan oleh peneliti


dengan mewawancarai guru mata pelajaran fisika di dua sekolah berbeda
di Kota Bandung bahwa penggunaan soal HOTS pada materi momentum
dan impuls sebagai salah satu bentuk penilaian jarang sekali digunakan.
Berdasarkan observasi dokumen dari kedua sekolah tersebut tingkat
kesukaran soal cenderung berada pada Lower Order Thinking Skills. Hal
tersebut dilakukan karena guru menganggap dalam mengerjakan soal
HOTS membutuhkan waktu yang cukup lama oleh peserta didik dan soal
sulit untuk dipahami oleh sebagian besar peserta didik. Dari hasil
wawancara dengan guru, materi momentum dan impuls perlu dipelajari
oleh peserta didik karena dapat dianalisis dalam kehidupan sehari-hari.
Guru menyadari pentingnya soal HOTS dalam melatih keterampilan
berpikir tingkat tinggi bagi siswa. Maka penggunaan soal HOTS sebagai
salah satu bentuk penilaian dengan menyajikan soal tes pada level kognitif
tingkat tinggi kepada peserta didik merupakan hal yang baru untuk kedua
sekolah tersebut. Bentuk instrumen yang digunakan oleh peneliti yaitu 10
butir soal pilihan ganda dan 3 butir soal uraian, proporsi soal tersebut
menyesuaikan kondisi peserta didik dari kedua sekolah.

Berdasarkan studi literatur dan studi lapangan penulis tertarik


melakukan penelitian terkait tes Higher Order Thinking Skills (HOTS)
dalam bentuk soal pilihan ganda dan uraian yang kemudian akan dianalisis
menggunakan Rasch model untuk mengetahui karakteristik tes yang dapat
mengukur kemampuan berpikir tingkat tinggi peserta didik SMA di Kota
Bandung pada materi momentum dan impuls tanpa memperhatikan model
ataupun pendekatan yang digunakan dalam pembelajaran yang dilakukan
di kelas secara tatap muka maupun online.

1.2 Rumusan Masalah

Rumusan masalah pada penelitian ini adalah “Bagaimana karakteristik tes


HOTS pada materi momentum dan impuls dengan menggunakan analisis
model rasch ?”. Berdasarkan rumusan berikut dijabarkan pertanyaan
penelitian:

1. Bagaimana kelayakan instrumen tes Higher Order Thinking Skills


(HOTS) pada materi momentum & impuls?
2. Bagaimana validitas instrumen tes Higher Order Thinking Skills
(HOTS) pada materi momentum & impuls?
3. Bagaimana reliabilitas instrumen tes Higher Order Thinking Skills
(HOTS) pada materi momentum & impuls?
4. Bagaimana tingkat kesukaran instrumen instrumen tes Higher Order
Thinking Skills (HOTS) pada materi momentum & impuls?’
1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan dari penelitian ini


adalah untuk mengetahui karakteristik tes HOTS pada materi momentum
dan impuls dengan menggunakan analisis Rasch model.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat yang dapat diperoleh dari hasil penelitian ini dapat ditinjau
dari segi teoritis dan segi praktis yaitu sebagai berikut.

1. Berdasarkan segi teoritis, manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian


ini yaitu dapat memberikan informasi terkait penggunaan Rasch Model
untuk mengetahui karakteristik dari tes Higher Order Thinking Skills
(HOTS) sehingga dapat dijadikan sebagai salah satu rujukan untuk
penelitian berikutnya.
2. Berdasarkan segi praktis, manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian
ini adalah menghasilkan sebuah instrumen yaitu tes Higher Order
Thinking Skills (HOTS) pada materi momentum dan impuls yang dapat
digunakan sebagai alat untuk mengukur kemampuan siswa dalam
proses pembelajaran.
1.5 Definisi Operasional
a) Kelayakan Instrumen Tes Higher Order Thinking Skills (HOTS)
Instrumen tes Higher Order Thinking Skills (HOTS) merupakan
keterampilan dalam memahami pengetahuan tetapi tidak hanya
mengingat saja melainkan menghubungkan informasi yang dimiliki
dalam tingkat berpikir tinggi hingga mampu menganalisis dan
menciptakan solusi dari suatu permasalahan. Menurut Taksonomi
Bloom indikator untuk mengukur tes Higher Order Thinking Skills
(HOTS) meliputi tiga hal yaitu menganalisis (C4), mengevaluasi (C5),
dan menciptakan (C6). Uji kelayakan instrumen Higher Order
Thinking Skills (HOTS) akan dilakukan melalui validitas ahli atau
pakar dan uji terbatas kepada peserta didik yang kemudian akan
dianalisis menggunakan Rasch model dengan bantuan aplikasi
Ministep dan Miniface.
b) Validitas Instrumen Tes Higher Order Thinking Skills (HOTS)

Validitas merupakan ketepatan suatu instrumen tes yang


menunjukan hasil penilaian terhadap kemampuan yang diukur.
Validitas dalam Higher Order Thinking Skills (HOTS) didapatkan dari
hasil jawaban siswa dengan menggunakan analisis Rasch model dan
bantuan aplikasi Ministep. Pengukuran uji validitas instrument dilihat
dari hasil nilai pada Outfit mean square (MNSQ), Outfit Z-standard
(ZSTD), dan Point Measure Correlation (PeaCock). Berdasarkan
Sumintono dan Widhiarso jika soal dapat memenuhi ketiga kriteria
tersebut terpenuhi maka butir soal dapat dikatakan Outfit atau valid.
Apabila hanya dua dari tiga kriteria yang terpenuhi maka butir soal
dapat dikategorikan valid. Namun jika hanya satu kriteria yang
terpenuhi maka butir soal dikategorikan tidak valid.
c) Reliabilitas Instrumen Tes Higher Order Thinking Skills (HOTS)

Reliabilitas menunjukkan hasil yang konsisten (tetap) walaupun


sudah berkali-kali tes tersebut dilakukan, sehingga instrumen tes
dianggap memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi ketika tes tersebut
memberikan hasil yang tetap. Reliabilitas instrumen Higher Order
Thinking Skills (HOTS) diperoleh menggunakan Rasch model yang
dengan bantuan aplikasi Ministep. Jika setelah di uji cobakan beberapa
kali menghasilkan koefisien reliabilitas yang tetap, maka tingkat
kepercayaan soal tes tersebut tinggi. Dalam penelitian ini, reliabilitas
instrumen diperoleh menggunakan data person reliability dan item
reliability serta menggunakan data alpha Cronbach.
d) Tingkat Kesukaran Instrumen Tes Higher Order Thinking Skills
(HOTS)

Item measure yaitu untuk mengetahui tingkat kesulitan butir soal


dilihat dari nilai logit tiap butir soal yang dapat dilihat pada kolom
measure. Tingkat kesukaran item menunjukan urutan item yang
memiliki nilai logit measure yang tertinggi hingga item dengan nilai
logit measure terendah yang menunjukan urutan item yang paling
sukar hingga item yang paling mudah. Tingkat kesukaran pada
instrumen instrumen Higher Order Thinking SkillS (HOTS) diperoleh
menggunakan Rasch model dengan bantuan aplikasi Ministep. Peneliti
mengelompokkan tingkat kesukaran butir soal berdasarkan kriteria
nilai logit dari Sumintono & Widhiarso.

1.6 Sistematika Penulisan


Penulisan penelitian ini dapat dirinci sebagai berikut:
a. Bab I merupakan bab berisi pendahuluan yang membahas tentang
pendahuluan yang meliputi latar belakang penelitian, rumusan
masalah penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, definisi
operasional, dan sistematika penulisan skripsi.
b. Bab II merupakan bab berisi kajian pustaka. Pada bagian ini berisi
landasan serta bahasan mengenai topik-topik yang ada dalam
penelitian ini, yaitu tentang keterampilan berpikir tingkat tinggi
(HOTS), teori respon butir (Rasch Model), penelitian terdahulu
yang relevan, dan analisis materi momentum dan impuls.
c. Bab III merupakan bab berisi metode penelitian. Pada bab ini
dijelaskan mengenai alur penelitian, mulai dari desain penelitian,
partisipan penelitian, populasi dan sampel penelitian, prosedur
penelitian, instrumen penelitian, dan analisis data penelitian.
d. Bab IV merupakan bab berisi temuan dan pembahasan. Pada bab
ini disampaikan dua hal utama, yaitu temuan penelitian
berdasarkan hasil pengolahan dan analisis data serta pembahasan
temuan penelitian untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan
penelitian.
e. Bab V merupakan bab berisi simpulan, implikasi, dan
rekomendasi. Pada bab ini disajikan kesimpulan peneliti terhadap
hasil analisis temuan penelitian yang menjawab pertanyaan
penelitian, serta implikasi dan rekomendasi yang dapat
dimanfaatkan dari hasil penelitian tersebut. Implikasi dan
rekomendasi.
BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Higher Order Thinking Skills (HOTS)


2.1.1 Pengertian Higher Order Thinking Skills (HOTS),
Pada tahun 1956 beberapa tokoh terkemuka yaitu Bloom, Englehart,
Furst, Hill, dan Krathwol mengenalkan kerangka konsep kemampuan
berpikir yang dinamakan taksonomi Bloom. Taksonomi Bloom adalah
struktur hierarki yang mengidentifikasikan kemampuan kognitif mulai dari
tingkat yang paling rendah hingga yang paling tinggi (Bloom, B.,
Engelhart, M., Furst, E., Hill, E., & Krathwohl, 1956). Sehingga dengan
melalui taksonomi Bloom lahirlah Higher Order Thinking Skills (HOTS)
yang dikemukakan oleh Brookhart. Higher Order Thinking Skills (HOTS)
merupakan kemampuan berpikir yang lebih tinggi tidak hanya mengingat
fakta saja melainkan dapat membuat keterkaitan dan kesimpulan dari fakta
atau permasalahan (Thomas, A. & Thorne, 2009).

Seseorang dapat dikatakan menguasai Higher Order Thinking Skills


(HOTS) ketika mampu menelaah suatu permasalahan secara rinci dan
sistematis serta mampu menggunakan pengetahuannya ke dalam situasi
baru (Dinni, 2018). Menurut Annuuru (2017) berpendapat bahwa berpikir
tingkat tinggi merupakan tahapan berpikir untuk melatih kemampuan
kognitif siswa pada tingkatan yang lebih tinggi, yaitu siswa dapat
menganalisis, mengevaluasi serta memberikan penilaian terhadap suatu
fakta yang dipelajari dan dapat menggabungkan fakta maupun ide
sehingga dapat menciptakan sesuatu yang baru berdasarkan apa yang telah
dipelajari secara kreatif .

Higher Order Thinking Skills (HOTS) menurut King, F., Goodson,


L., & Rohani (1999) terdiri dari beberapa kemampuan seperti berpikir
kritis, logis, reflektif, metakognitif, dan kreatif. Menurut Nitko &
Brookhart (2011) HOTS atau keterampilan berpikir tingkat tinggi dibagi
menjadi empat kelompok, yaitu pemecahan masalah, membuat keputusan,
berfikir kritis, dan berfikir kreatif. Sedangkan menurut Lailly &
Wisudawati (2015) Higher Order Thinking Skills (HOTS) meliputi aspek
kemampuan berpikir kritis, kemampuan berpikir kreatif dan kemampuan
pemecahan masalah. Berpikir kritis yaitu kemampuan untuk menganalisis,
menciptakan dan menggunakan kriteria secara objektif serta mengevaluasi
data. Berpikir kreatif yaitu kemampuan untuk menggunakan struktur
berpikir yang rumit sehingga memunculkan ide yang baru dan orisinil.
Kemampuan memecahkan masalah yaitu kemampuan berpikir secara
kompleks dan mendalam untuk memecahkan suatu masalah. Sehingga
dapat disimpulkan bahwa kemampuan Higher Order Thinking Skills
(HOTS) akan terjadi ketika dapat menganalisis dan mengaitkan serta
mengembangkan informasi dari permasalahan sehingga menemukan suatu
penyelesain dari suatu keadaan yang sulit dipecahkan.

2.1.2 Karakteristik Tes Higher Order Thinking Skills (HOTS)


Higher Order Thinking Skills (HOTS) Menurut Resnick (1987)
karakteristik atau ciri dari HOTS adalah sebagai berikut.

1. Higher order thinking is non-algorithmic that is the path of action


is not fully specified in advance. Berpikir tingkat tinggi bersifat
non-algoritmik, yang berarti jalan menuju tindakan tidak dapat
sepenuhnya ditentukan terlebih dahulu tidak dapat dirumuskan
terlebih dahulu.

2. Higher-order thinking tends to be complex. Berpikir tingkat tinggi


cenderung rumit atau kompleks.
3. Higher-order thinking often yields multiple solutions, each with
costs and benefits, rather than unique solutions. Berpikir tingkat
tinggi sering menghasilkan multi solusi, setiap solusi lebih ke
memiliki kelebihan dan kekurangannya, bukan solusi yang
berbeda-beda.
4. Higher-order thinking involves nuanced judgment and
interpretation. Berpikir tingkat tinggi melibatkan penilaian dan
interpretasi yang bervariasi.
5. Higher-order thinking is effortful. There is considerable mental
work involved in the kinds of elaborations and judgments
required. Berpikir tingkat tinggi itu membutuhkan usaha keras.
Terdapat banyak pekerjaan mental yang terlibat dalam jenis
elaborasi dan penilaian yang diperlukan.

Selain itu juga, menurut Conklin (2012) menyatakan karakteristik


HOTS sebagai berikut: “characteristics of higher-order thinking
skills: higher-order thinking skills encompass both critical thinking
and creative thinking” artinya, karakteristik keterampilan berpikir
tingkat tinggi mencakup berpikir kritis dan berpikir kreatif. Maka jika
ditinjau dari ranah kognitif HOTS berdasarkan taksonomi Bloom yang
direvisi maka dapat digambarkan seperti Gambar 2.1.

(Sumber: Sulianto (2018))

Gambar 2.1 Gambar Tingkat Kognitif Pada Taksonomi Bloom Revisi


Dari gambar 2.1 tersebut dapat diketahui bahwa proses C4 dan C5
merupakan proses kemampuan berpikir kritis, sedangkan C6 bagian dari
kemampuan berpikir kreatif. Taksonomi Bloom menurut Anderson &
Krathwohl (2001) menjelaskan level satu sampai tiga merupakan
kemampuan berpikir tingkat rendah atau Lower Order Thinking Skill
(LOTS) terdiri dari remembering, understanding, dan applying.
Sedangkan kemampuan berpikir tingkat tinggi atau Higher Order
Thinking Skils (HOTS) terdiri dari analysing, evaluating, dan creating.
Adapun penjelasan mengenai ketiga tingkatan proses kognitif pada Higher
Order Thinking Skils (HOTS) berikut adalah sebagai berikut.

1. Menganalisis (C4)
Kemampuan menganalisis adalah kemampuan memisahkan
konsep ke dalam beberapa komponen dan menghubungkan satu
sama lain untuk memperoleh pemahaman secara utuh. Menurut
(Anderson, L.W., & D. Krathwohl, 2001) menganalisis merupakan
kemampuan menguraikan suatu bahan atau konsep menjadi
bagian-bagian dan menjelaskan bagaimana hubungan yang terjadi
antara satu bagian dengan bagian lain secara keseluruhan. Sebagai
contoh pada gambar berikut ini merupakan salah satu soal yang
terdapat pada materi momentum dan impuls.
Gambar 2.2 Contoh Soal Menganalisis (C4)

2. Mengevaluasi (C5)

Mengevaluasi didefinisikan sebagai membuat penilaian


berdasarkan kriteria dan standar. Sebagai contoh pada gambar
berikut ini merupakan salah satu soal yang terdapat pada materi
momentum dan impuls.

Gambar 2.3 Contoh Soal Mengevaluasi (C5)

3. Mencipta (C6)

Kemampuan mencipta merupakan sebuah kemampuan


memadukan unsur-unsur menjadi suatu bentuk baru yang utuh dan
luas, atau membuat sesuatu yang orisinil. Tujuan dari kemampuan
mencipta yakni agar peserta didik membuat produk baru dengan
menata ulang. Proses yang terlibat dalam kemampuan mencipta
umumnya dikoordinasikan dengan pengalaman belajar peserta
didik sebelumnya. Sebagai contoh pada gambar berikut ini
merupakan salah satu soal yang terdapat pada materi momentum
dan impuls.
Gambar 2.4 Contoh Soal Mencipta (C6)

Berdasarkan karakteristik dari kemampuan berpikir tingkat tinggi atau


Higher Order Thinking Skils (HOTS) dapat didefinisikan sebagai
kemampuan yang melibatkan kemampuan berpikir kritis dan berpikir
kreatif.

2.1.3 Soal Higher Order Thinking Skills (HOTS)


Penilaian dengan tes merupakan prosedur yang digunakan untuk
mengetahui dan mengukur ketercapaian kemampuan atau keterampilan
dalam suatu kompetensi tertentu, dengan pengolahan data secara
kuantitatif sehingga menghasilkan data berupa angka (Sanjaya, 2008). Tes
memiliki berbagai macam bentuk yaitu Pilihan ganda kompleks, pilihan
ganda, dan uraian.Tes berbentuk uraian merupakan bentuk tes yang
memerlukan jawaban bersifat pembahasan atau uraian kata-kata. Tes
berbentuk uraian menurut (Purwanto, 2008)) yaitu tes yang pertanyaannya
memerlukan jawaban dengan karangan kalimat sesuai dengan kecakapan
dan pengetahuan peserta didik. Selain uraian, terdapat bentuk tes pilihan
ganda. Tes pilihan ganda menurut (Sudjana, 2010) adalah bentuk tes yang
mempunyai satu jawaban yang benar atau paling tepat, jika dilihat dari
strukturnya maka tes pilihan ganda terdiri atas pertanyaan atau pernyataan
yang berisi permasalahan yang akan ditanyakan (stem), pilihan jawaban
(option), kunci jawaban benar, dan jawaban pengecoh (distractor).

Berdasarkan penjelasan diatas penulis memilih untuk membuat soal


Higher Order Thinking Skills yang terdiri dari 10 soal pilihan ganda dan 3
soal uraian. Hal tersebut juga dilakukan karena pada pendampingan
kurikulum 2013 revisi bentuk soal Higher Order Thinking Skills (HOTS)
yang disarankan cukup 2 saja, yaitu bentuk pilihan ganda dan uraian.
Pemilihan bentuk soal juga didasarkan dengan kondisi peserta didik pada
sekolah yang dijadikan sebagai tempat penelitian. Sehingga bentuk soal
yang paling memungkinkan adalah soal bentuk pilihan ganda dan uraian.

Untuk menulis soal Higher Order Thinking Skils (HOTS) terdapat


prosedur penyusunan soal. Penulis melakukan penyusunan soal yang
diadaptasi dari Widana (2017) adapun penjelasan mengenai hal tersebut
adalah sebagai berikut.

1. Menganalisis Kompetensi Dasar


Melakukan analisis terhadap KD pada materi momentum dan
impuls. Materi momentum dan impuls merupakan materi yang
dipelajari pada kelas X SMA semester genap. Berdasarkan silabus
fisika SMA kurikulum 2013 revisi, kompetensi dasar pada dimensi
pengetahuan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kompetensi
dasar 3.10 yaitu menerapkan konsep momentum dan impuls serta
hukum kekekalan momentum dalam kehidupan sehari-hari. Sedangkan
kompetensi dasar 4.10 pada dimensi keterampilan yang digunakan
dalam penelitian ini adalah menyajikan hasil pengujian penerapan
hukum kekekalan momentum, misalnya bola jatuh bebas ke lantai dan
roket sederhana.
2. Membuat Kisi-Kisi
Membuat kisi-kisi bertujuan untuk membantu dalam menulis soal
HOTS. Kisi-kisi dibuat berdasarkan hasil kompetensi dasar yang telah
dianalisis sehingga dapat merumuskan indikator soal dan dapat
menentukan level kognitif.
3. Memilih Stimulus
Pada pemilihan stimulus penulis menggunakan stimulus
kontekstual dalam penulisan soal. Sehingga setiap butir soal selalu
didahului dengan peristiwa sehari-hari.
4. Menulis Soal Berdasarkan Kisi-Kisi Soal
Menulis soal Higher Order Thinking Skils (HOTS) menyesuaikan
dengan kisi-kisi yang telah dibuat dan juga memerhatikan taksonomi
Bloom.
5. Membuat Pedoman Penskoran (Rubrik) atau Kunci Jawaban
Setiap butir soal HOTS yang ditulis penulis melengkapi dengan
pedoman penskoran atau kunci jawaban. Pedoman penskoran dibuat
untuk bentuk soal uraian. Sedangkan kunci jawaban dibuat untuk
bentuk soal pilihan ganda dan uraian. Untuk penskoran pada soal
uraian berada pada skala 0-4 dan untuk skor soal pilihan ganda adalah
jika benar bernilai 1 dan salah bernilai 2. Lembar format pedoman
penskoran (rubrik) dan kunci jawaban dapat dilihat pada Lampiran 4.1.

2.2 Rasch Model


2.2.1 Pengertian Rasch Model

Rasch model pertama kali dikembangkan oleh seorang


matematikawan asal Denmark, Georg Rasch pada tahun 1960 atau
biasa disebut IPL (satu parameter logistic). Model Rasch merupakan
salah satu model yang ada pada Item Response Theory. Rasch model
berasumsi bahwa kesulitan aitem sifat yang dipengaruhi oleh jawaban
responden dan kemampuan seseorang adalah sifat yang dipengaruhi
oleh estimasi kesulitan aitem (Linacre, 1999). Dengan data mentah
berupa data dikotomi (berbentuk benar dan salah) yang
mengindikasikan kemampuan siswa dengan menghubungan antara
abilitas siswa dan aitem (Sumintono, 2014). Model Rasch
dipopulerkan oleh seorang Benjamin Wright dari Universitas Chicago
pada tahun 1980-an dengan tersedianya mikrokomputer serta beberapa
software yang berisikan program komputer yang dibuat untuk dapat
melakukan perhitungan berdasarkan pemodelan Rasch (Sumintono, B.,
& Widhiarso, 2015). Rasch model juga dikembangkan untuk analisis
data multi-rater, dimana suatu instrumen dinilai oleh lebih dari satu
orang penilai. Analisis data multi-rater dikembangkan oleh Jhon
Linacre dengan software yang bernama multi-facet Rasch
measurement.

Rasch model menghubungkan antara parameter kemampuan siswa


dan parameter item (tingkat kesukaran item) melalui suatu fungsi
logaritma yang dapat menghasilkan pengukuran dengan interval yang
sama, pengukuran ini juga memiliki satuan baru yang disebut logit
(logs odds unit). Untuk mempermudah pemahaman tersebut maka
diberikan ilustrasi sebagai berikut, seorang siswa yang mampu
mengerjakan 80% soal dengan benar tentu mempunyai abilitas yang
lebih baik dari siswa lain yang hanya bisa mengerjakan 65% soal. Data
tersebut (persentase) menunjukkan bahwa data mentah yang diperoleh
tidak lain adalah jenis data ordinal yang menunjukkan peringkat dan
tidak linier.

Data ordinal tidak mempunyai interval yang sama, maka data


tersebut perlu diubah menjadi data rasio untuk keperluan analisis
statistik. Sehingga bila seseorang mendapat skor 80%, maka nilai odds
ratio-nya adalah 80:20 bermakna: 80 skor benar dibandingkan 20 skor
salah. Dari nilai logit yang diperoleh, akan diketahui bahwa tingkat
kesuksesan siswa dalam mengerjakan soal bergantung pada tingkat
kemampuan siswa dan tingkat kesukaran item (butir soal) itu sendiri
(Sumintono et al., 2015).

2.2.2 Parameter Rasch Model


Analisis dengan model Rasch dapat menghasilkan analisis statistik
kesesuaian (fit statistics). Item fit menjelaskan apakah butir soal
berfungsi normal melakukan pengukuran atau tidak. (Sumintono,
2014) menjelaskan tentang seberapa akurat data sesuai dengan model
ideal berkaitan dengan statistik kesesuaian yaitu infit, outfit, mean-
square (MNSQ), standardized fit statistic (ZSTD) dan Pt Measure
Corr. Mean-square (MNSQ) menunjukan jumlah distorsi dalam sistem
pengukuran sedangkan standardized fit statistic (ZSTD) berfungsi
untuk melihat kesesuaian data dengan model. Nilai MNSQ dan ZSTD
yang diperhatikan adalah pada Infit dan Outfit nya. Infit (inlier
sensitive) atau information weighted fit merupakan kesensitifan pola
respon terhadap butir soal sasaran pada responden, nilai infit sulit
diprediksi karena memang sesuai dengan model yang ada. Outfit
(outlier sensitive fit) maksudnya adalah mengukur kesensitifan pola
respon terhadap item dengan tingkat kesulitan tertentu daripada
responden, untuk nilai outfit relatif mudah dideteksi (Sumintono,
2014).

Pt Measure Corr merupakan daya diskriminasi item, nilai Pt


Measure Corr dapat mengindikasikan responden dengan abilitas tinggi
menjawab benar dan responden dengan abilitas rendah menjawab
salah. Sementara nilai Pt Measure Corr negatif menunjukan bahwa
butir soal menyesatkan karena responden dengan abilitas rendah
mampu menjawab butir dengan benar dan responden dengan abilitas
tinggi justru menjawab salah (Smiley, 2015). Menurut (Bond, T. G., &
Fox, 2015) nilai outfit means-square, outfit Z-standard, dan point
measure correlation adalah kriteria yang digunakan untuk mengetahui
aitem yang tidak fit.

a) Nilai Outfit Mean Square (MnSq) yang diterima adalah: 0,5 <
MnSq < 1,5.
b) Nilai Outfit Z-Standard (ZStd) yang diterima adalah: -2,0 < ZStd <
+2,0.
c) Nilai Point Measure Correlation (PeaCock) yang diterima adalah:
0,4 < PtMeaCorr < 0,85
Jika ketiga kriteria tersebut terpenuhi maka butir soal dapat
dikatakan fit. Apabila hanya dua dari tiga kriteria yang terpenuhi maka
butir soal dapat dikategorikan fit. Namun jika hanya satu kriteria yang
terpenuhi maka butir soal dikategorikan tidak fit.

2.3 Analisis Kurikulum


2.3.1 Kompetensi Dasar dan Indikator Pencapain
Berdasarkan silabus fisika SMA kurikulum 2013 revisi,
Kompetensi dasar pada dimensi pengetahuan yang digunakan dalam
penelitian ini adalah kompetensi dasar 3.10 yaitu menerapkan konsep
momentum dan impuls serta hukum kekekalan momentum dalam
kehidupan sehari-hari. Sedangkan kompetensi dasar 4.10 pada dimensi
keterampilan yang digunakan dalam penelitian ini adalah menyajikan
hasil pengujian penerapan hukum kekekalan momentum, misalnya
bola jatuh bebas ke lantai dan roket sederhana. Pada materi momentum
dan impuls terdiri atas beberapa sub bab diantaranya: momentum,
impuls, hubungan momentum dan impuls, hukum kekekalan
momentum dan impuls, tumbukan, dan penerapan momentum dan
impuls.
Kegiatan pembelajaran yang perlu dilakukan dalam Kompetensi
Dasar 3. 10 dan 4.10 berdasarkan silabus kurikulum 2013 revisi,
diantaranya: (1) Mengamati tentang momentum, impuls, hubungan
antara impuls dan momentum serta tumbukan dari berbagai sumber
belajar. (2) Mendiskusikan konsep momentum, impuls, hubungan
antara impuls dan momentum serta hukum kekekalan momentum
dalam berbagai penyelesaian masalah. (3) Merancang dan membuat
roket sederhana dengan menerapkan hukum kekekalan momentum
secara berkelompok. (4) Mempresentasikan peristiwa bola jatuh ke
lantai dan pembuatan roket sederhana. momentum dan impuls
dipelajari pada kelas X SMA semester genap. Adapun penjelasan
kompetensi dasar dan indikator pencapaian untuk materi momentum
dan impuls berdasarkan kurikulum 2013 revisi dijelaskan pada Tabel
2.1.

Kompetensi Inti
Sikap (KI-1 dan KI-2)
KI.1 Menghayati dan mengamalkan ajaran agama yang dianutnya.
KI.2 Mengahayati dan mengamalkan perilaku perilaku jujur,
disiplin, tanggungjawab, peduli (gotong royong, kerjasama, toleran,
damai), santun, responsif dan pro-aktif dan menunjukkan sikap
sebagai bagian dari solusi atas berbagai permasalahan dalam
berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial dan alam serta
dalam menempatkan diri sebagai cerminan bangsa dalam pergaulan
dunia.
Pengetahuan (KI-3) Keterampilan (KI-4)
KI.3 Memahami, menerapkan, KI.4 Mengolah, menalar, dan
dan menganalisis pengetahuan menyaji dalam ranah konkret
faktual, konseptual, prosedural, dan ranah abstrak terkait dengan
dan metakognitif berdasarkan pengembangan dari yang
rasa ingin tahunya tentang ilmu dipelajarinya di sekolah secara
pengetahuan, teknologi, seni, mandiri, bertindak secara efektif
budaya, dan humaniora dengan dan kreatif, serta mampu
wawasan kemanusiaan, menggunakan metoda sesuai
kebangsaan, kenegaraan, dan kaidah keilmuan.
peradaban terkait penyebab
fenomena dan kejadian, serta
menerapkan pengetahuan
prosedural pada bidang kajian
yang spesifik sesuai dengan
bakat dan minatnya untuk
memecahkan masalah.
Kompetensi Dasar
Pengetahuan Keterampilan
3.10 Menerapkan konsep 4.10 Menyajikan hasil pengujian
momentum dan impuls serta penerapan hukum kekekalan
hukum kekekalan momentum momentum, misalnya bola jatuh
dalam kehidupan sehari-hari. bebas ke lantai dan roket
sederhana.
Indikator Pencapaian
Pengetahuan Keterampilan
3.10.1 Menganalisis hubungan 4.10.1 Mencipta roket sederhana
konsep momentum dan impuls. dengan menerapkan hukum
3.10.2 Mengevaluasi hukum kekekalan momentum
kekekalan momentum dalam
menyelesaikan masalah sehari-
hari.
3.10.3 Menganalisis peristiwa
tumbukan dalam kehidupan
sehari-hari
Tabel 2.1 Kompetensi Dasar dan Indikator Pencapaian pada
Materi Momentum dan Impuls
2.4 Analisis Materi Momentum dan Impuls
2.4.1 Momentum

Gambar 2.4 Bola Tenis Meja Dilepaskan dari Ketinggian

Sebuah bola tenis meja bermassa 2,2 gram dilepaskan dari


ketinggian 10 cm. Ketika berada di ketinggian 10 cm, kecepatan bola
sama dengan nol karena bola dalam posisi diam. Ketika bola
dilepaskan maka kecepatan bola berubah menjadi 14 cm/s lalu bola
tenis menumbuk lantai dan kemudian memantul setinggi 8 cm.
Sehingga kecepatan bola setelah menumbuk lantai adalah 12,52 cm/s.
Bola tenis bisa bergerak ke bawah disebabkan karena adanya gaya
gravitasi yang bekerja pada bola, sedangkan gaya yang bekerja pada
lantai adalah gaya normal. Karena bola memiliki massa dan bergerak
dengan kecepatan seperti yang telah dijelaskan, maka bola memiliki
momentum pada Tabel 2.2.

Momentum Momentum bola Momentum bola Momentum


bola di 10 cm ketika setelah bola di 8 cm
dilepaskan menumbuk lantai
0 30,8 gram cm/s 27,54 gram cm/s 0
Tabel 2.2 Momentum pada Bola Tenis Meja

Ketika sebuah benda diberi gaya maka benda yang semula diam
akan bergerak, benda tersebut bergerak karena adanya momentum
pada benda. Momentum adalah besaran vektor dan momentum sebuah
partikel dapat dipandang sebagai ukuran kesulitan untuk mendiamkan
sebuah partikel (Tipler, n.d.). Definisi lainnya, momentum merupakan
salah satu sifat yang pasti dimiliki oleh benda bergerak dan merupakan
tingkat kesukaran untuk menghentikan gerak suatu benda. Momentum
sebuah partikel didefinisikan sebagai hasil kali massa dan
kecepatannya (Tipler, n.d.). Secara matematis, persamaan momentum
dapat ditulis sebagai berikut.

Berdasarkan persamaan tersebut terlihat bahwa besarnya


momentum berbanding lurus dengan besarnya massa dan kecepatan
sebuah benda. Oleh karena itu, semakin besar massa sebuah benda
maka semakin besar momentumnya, dan semakin cepat sebuah benda
bergerak, maka semakin besar pula momentumnya. Sebagai contoh,
sebuah truk berat mempunyai momentum yang lebih besar
dibandingkan mobil ringan pada kelajuan yang sama. Sehingga gaya
yang dibutuhkan untuk menghentikan truk lebih besar dibandingkan
mobil dalam waktu tertentu (Tipler, n.d.).

2.4.2 Impuls

Gambar 2.5 Bola Tenis Meja Dilepaskan dari Ketinggian

Sebuah bola tenis meja yang mula-mula diam kemudian


dilepaskan dari ketinggian 10 cm, lalu bola tersebut kemudian
menumbuk lantai dan kemudian memantul setinggi 8 cm. Gaya yang
bekerja pada bola ketika dilepaskan adalah gaya gravitasi, sedangkan
gaya yang bekerja pada lantai adalah gaya normal. Sebelum
menumbuk lantai momentum pada bola 30,8 gram cm/s. Setelah
menumbuk lantai, momentum pada bola menjadi 27,54 gram cm/s.
Ketika bola menumbuk lantai, terjadi kontak antara bola dengan lantai,
saat itu pula gaya dari lantai akan bekerja pada bola dalam waktu yang
sangat singkat. Bekerjanya gaya tersebut terhadap bola dalam waktu
yang sangat singkat itulah yang disebut impuls.

Impuls didefinisikan sebagai perubahan momentum total selama


selang waktu tertentu. Impuls sebagai gaya kontak rata-rata F yang
bekerja pada suatu benda yang terjadi dalam selang waktu yang sangat
singkat (∆ t 0 ¿. Impuls termasuk besaran vektor yang arahnya sama
dengan arah gaya. Untuk menghitung besar impuls dalam satu arah
menggunakan persamaan berikut.

⃗I = ⃗
F ∆t
Keterangan:
I : Impuls (N)
F : Gaya yang bekerja (W)
∆t : Selang waktu (s)
2.4.3 Hubungan Momentum dan Impuls

Gambar 2.6 Hubungan Momentum & Impuls

Ketika bola bermassa 2,2 gram dilepaskan dari ketinggian 10


cm, bola tersebut bergerak dengan kecepatan 14 cm/s. Lalu bola
tersebut menumbuk lantai dan memantul setinggi 8 cm, sehingga
kecepatannya menjadi 12, 52 cm/s. Sebelum menumbuk lantai
momentum pada bola adalah 30, 8 gram cm/s. Setelah menumbuk
lantai, momentum pada bola menjadi 27, 54 gram cm/s. Selisih
momentum setelah menumbuk lantai dan sebelum menumbuk lantai
itulah yang dinamakan impuls.

Impuls dapat menyebabkan momentum pada sebuah benda


menjadi berkurang, bertambah ataupun berubah arah. Dapat dikatakan
bahwa besarnya impuls yang diberikan pada benda merupakan
besarnya perubahan momentum pada benda. Secara matematis dapat
dinyatakan sebagai berikut.

Gambar 2.7 Persamaan Hubungan Momentum & Impuls

Berdasarkan persamaan hubungan antara mpuls (I) dan


momentum (p) di atas dapat disimpulkan bahwa “impuls yang
dikerjakan pada suatu benda besarnya sama dengan perubahan
momentum suatu benda, yaitu beda antara momentum akhir dengan
momentum awalnya”. Pernyataan ini dikenal dengan teorema
momentum impuls.

2.4.4 Hukum Kekekalan Momentum


Ketika gaya eksternal neto pada suatu sistem nol, maka kecepatan
pusat massa sistem konstan dan momentum total sistem kekal; artinya
momentum totalnya tetap konstan (Tipler, n.d.). Dengan kata lain jika
tidak ada gaya luar yang bekerja pada benda, maka momentum total
dari benda tidak berubah atau konstan. Salah satu contoh peristiwa
hukum kekekalan momentum dapat dilihat pada Gambar 2.8.
Gambar 2.8 Hukum Kekekalan Momentum

Dari gambar tersebut, terlihat bahwa ketika satu bandul di sebelah


kiri ditarik, dan menyentuh bandul di sebelah kanan akan terjadi
pergerakan di satu bandul. Hal itu berarti bahwa besarnya momentum
sebelum tumbukan dan sesudah tumbukan adalah sama. Pernyataan
tersebut dapat diilustrasikan seperti Gambar 2.9.

Sumber: (Slideshare)

Gambar 2.9 Ilustrasi Dua Bola Bertumbukan

Bola pertama bermassa m1bergerak dengan kecepatan v 1.


Sedangkan bola kedua bermassa m2 bergerak dengan kecepatan v 2.
Jika kedua bola berada pada lintasan yang sama dan lurus, maka
akan terjadi tumbukan pada kedua bola tersebut. Jika diperhatikan,
peristiwa diatas sesuai dengan pernyataan Hukum III Newton.
Dimana kedua bola akan salaing memberikan gaya yang sama
besar, tetapi arahnya berlawan. Maka terjadi gaya aksi dan reaksi
dalam selang waktu ∆ t , kedua bola akan bergerak dengan
kecepatan masing-masing sebesar v '1 dan v '2. Untuk sistem benda
dengan gaya yang terlibat saat interaksi hanyalah gaya dalam dan
menurut hukum III Newton, resultan gaya tersebut sama dengan
nol. Penurunan rumus secara umum dapat dilakukan dengan
meninjau gaya interaksi saat terjadi tumbukan berdasarkan hukum
III Newton, dimana:

F aksi = - F reaksi

Dimana impuls yang terjadi ketika interval waktu (∆ t ¿


adalah F 1 ∆ t = - F 2 ∆ t . Kita tahu bahwa pada hubungan antara
momentum dan impuls adalah;

I = F∆ t = ∆ p , sehingga persamaan menjadi :


∆ p1 =¿- ∆ p2
' '
m1 v 1−m1 v 1=−(m2 v 2−m2 v 2)

' '
m1 v 1+ m2 v 2=m1 v1 +m2 v 2

p1 + p2 = p'1 + p'2
Jumlah momentum awal = Jumlah momentum akhir
Keterangan:
' '
p1 , p2 : momentum benda 1 dan 2 sebelum tumbukan
p1 , p2 : momentum benda 1 dan 2 setelah tumbukan
m1 ,m2 :massa benda 1 dan 2
v 1 , v 2 : kecepatan benda 1 dan 2 sebelum tumbukan
' '
v 1 , v 2 : kecepatan benda 1 dan 2 setelah tumbukan

Persamaan diatas dinamakan hukum kekekalan momentum.


Hukum ini menyatakan bahwa “jika tidak ada gaya luar yang bekerja
pada sistem, maka momentum total sesaat sebelum sama dengan
momentum total setelah tumbukan”.

2.4.5 Tumbukan

Salah satu penerapan hukum kekekalan momentum adalah pada


peristiwa tumbukan, yaitu ketika terjadi tabrakan kendaraan, mobil
menabrak pohon, dan masih banyak lagi. Tumbukan terjadi ketika
terdapat sebuah benda yang bergerak lalu benda tersebut mengenai
benda lain yang sedang bergerak ataupun sedang diam. Berdasarkan
hukum kekekalan momentum, jika tidak terdapat gaya luar maka
momentum sistem sesaat sebelum tumbukan dan setelah tumbukan
adalah konstan. Sehingga setiap tumbukan akan berlaku hukum
kekekalan momentum.

Tumbukan berdasarkan sifat kelentingan benda, dibedakan menjadi


tiga, yaitu tumbukan lenting sempurna, tumbukan lenting Sebagian,
dan tumbukan tidak lenting sama sekali.

a) Tumbukan Lenting Sempurna

Gambar 2.10 Tumbukan Lenting Sempurna

Pada peristiwa bandul diatas berlaku hukum kekekalan


momentum dimana gaya luar yang bekerja diabaikan. Dalam
peristiwa tersebut, jika 3 bandul sisa selain bandul yang ditarik
dianggap sebagai satu sistem, maka seakan-akan momentum
bandul 1 dialihkan seluruhnya ke bandul 2. Begitupun dengan
energi kinetic bandul, dalam peristiwa tumbukan tersebut, seakan-
akan energi kinetic bandul 1 dialihkan seluruhnya ke bandul 2.
Contoh data terdapat pada Tabel 2.3.

Tabel 2.3 Data Ketinggian Bandul Newton

Berdasarkan peristiwa tumbukan bandul diatas, diperoleh


nilai koefisien restitusi adalah satu. Hal tersebut berarti bahwa
besarnya momentum dan energi kinetic benda adalah tetap. Dengan
kata lain pada tumbukan tersebut berlaku hukum kekekalan
momentum dan hukum kekekalan energi. Ketika pada tumbukan
berlaku kedua hukum tersebut, maka peristiwa tumbukan tersebut
dinamakan tumbukan lenting sempurna. Pada peristiwa tumbukan
lenting sempurna, tidak ada energi yang hilang selama tumbukan
dan jumlah energi kedua benda sebelum dan sesudah tumbukan
sama.

b) Tumbukan Lenting Sebagian

Ketika sebuah bola tenis dilepas dari ketinggian 10 cm di atas


lantai, maka bola tenis tersebut akan terpantul dengan ketinggian 8
cm, dimana tinggi pantulannya akan lebih kecil dari ketinggian
awal. Pada peristiwa tersebut, bola tenis mengalami tumbukan
dengan lantai seperti yang ditunjukan pada Gambar 2.11.

Gambar 2.11 Bola Tenis Dilepaskan dari Ketinggian


Berdasarkan praktikum diatas, diperoleh data yang ditunjukkan
pada Tabel 2.4.

Tabel 2.4 Data Hasil Percobaan

Dari tabel di atas, diperoleh bahwa besarnya koefisien restitusi


untuk bola tenis yang menumbuk lantai adalah sebesar 0,89. Hal
tersebut menunjukkan bahwa tumbukan antara bola tenis dengan
lantai merupakan peristiwa tumbukan lenting sebagian. Koefisien
restitusi merupakan ukuran keelastisan suatu tumbukan (Tipler,
n.d.). Bila koefisien restitusi dinyatakan dengan huruf e, maka
derajat berkurangnya kecepatan relatif benda setelah tumbukan
dirumuskan sebagai berikut.

'
∆v
e=-
∆v

Dimana nilai restitusi berkisar antara 0 dan 1 (0 e


1). Untuk tumbukan lenting sebagian m
e antara 0 dan 1 (0 e
1).

Pada tumbukan lenting sebagian, terdapat energi kinetic yang


berubah menjadi energi dalam betook lain, baik dalam bentuk
energi panas, energi bunyi, ataupun energi yang lainnya sehingga
besarnya energi kinetic setelah tumbukan lebih besar dibanding
besarnya energi kinetic setelah tumbukan. Pada tumbukan lenting
sebagian, berlaku hukum kekekalan momentum tetapi tidak
berlaku hukum kekekalan energi.

c) Tumbukan Tidak Lenting Sama Sekali

Sebuah paku dengan massa 3,22 gram dilepaskan dari


ketinggian 44,2 cm diatas lantai yang telah diberi alas sterofoam.
Setelah paku dilepaskan, paku tersebut menancap pada styrofoam
yang ditunjukan pada Gambar 2.12.

Sumber: (Slideshare)

Gambar 2.12 Ilustrasi Paku yang Dijatuhkan Dari Ketinggian


Berdasarkan percobaan tersebut, diperoleh data yang
ditunjukan pada Tabel 2.5.

Tabel 2.5. Data Percobaan

Dari data tersebut, diperoleh bahwa besarnya koefisien restitusi


untuk paku yang menumbuk styrofoam adalah nol. Hal tersebut
menunjukkan bahwa tumbukan antara paku dan styrofoam
termasuk peristiwa tumbukan tidak lenting sama sekali. Pada
peristiwa tumbukan tidak lenting sama sekali, kedua benda bersatu
dan memiliki kecepatan yang sama sesaat setelah tumbukan.

Pada tumbukan tidak lenting sama sekali, terjadi kehilangan


energi kinetic sehingga hukum kekekalan energi mekanik tidak
berlaku. Pada tumbukan jenis ini, kecepatan benda-benda sesudah
tumbukan sama besar sehingga benda yang bertumbukan akan
saling melekat.

2.4.6 Penerapan Konsep Momentum dan Impuls Dalam Kehidupan


1. Crumple Zone (Zona Remuk)

(Sumber: carbiketech.com)
Gambar 2.13 Ilustrasi Crumple Zone Pada Mobil
Crumple zone merupakan sebuah area pada kendaraan yang
dirancang untuk hancur atau deformasi ketika terjadi tabrakan.
Deformasi sendiri memiliki arti perubahan bentuk mobil dari
bentuk yang mulus hingga ringsek. Area crumple zone atau
zona benturan dapat menyerap energi kinetik dari benturan,
sehingga dapat meminimalisir efek ketika terjadi tabrakan.
Bagian zona benturan biasanya terletak pada bagian depan dan
bagian belakang mobil.
2. Airbag

(Sumber: techbug.com)
Gambar 2.14 Ilustrasi Airbag Pada Mobil

Merupakan perangkat pada mobil yang berfungsi untung


mengurangi risiko cedera pada pengemudi dan penumpang
akibat kecelakaan. Airbag dipasangkan pada mobil dan
dirancang untuk mengembang secara otomatis saat tabrakan
terjadi. Prinsip kerja memperpanjang waktu yang dibutuhkan
untuk menghentikan momentum.

3. Roket
(Sumber: nasa.gov)
Gambar 2.15 Ilustrasi Roket

Prinsip kerja roket sebenarnya sama dengan prinsip yang


terjadi pada balon dan peluru yang ditembakkan dari sebuah
senapan. Yaitu ketika roket mulai dijalankan, gas disemburkan
keluar dengan kecepatan sama dengan kecepatan keluar relatif
terhadap roket. Arah semburan gas, berlawanan dengan arah gerak
roket. Setelah bergerak dalam waktu tertentu, jumlah bahan bakar
dalam roket akan berkurang sehingga hal ini sesuai dengan hukum
kekekalan momentum.

2.5 Penelitian Terdahulu


Terdapat beberapa penelitian untuk menganalisis instrumen tes
Higher Order Thinking Skills (HOTS), salah satunya adalah studi
pendahuluan yang dilakukan oleh (Malik et al., 2018) menyatakan bahwa
50% guru fisika dalam menyusun butir soal cenderung hanya mengukur
kemampuan berpikir tingkat rendah atau Low Order Thinking Skills
(LOTS) dan soal-soal yang dibuat tidak kontekstual. Soal-soal yang
disusun oleh guru 75% mengukur kemampuan mengingat (recall).

Terdapat hasil studi pendahuluan yang dilakukan oleh (Rahman et


al., 2021) dimana beberapa sekolah menengah atas di Kota Bandung
menunjukan bahwa 14,3% belum pernah membuat soal tes kemampuan
berpikir tingkat tinggi dan 28,6% jarang membuat soal tes kemampuan
berpikir tingkat tinggi. Penelitian lain dilakukan oleh (Desiriah &
Setyarsih, 2021) yang berjudul Tinjauan Literatur Pengembangan
Instrumen penilaian Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi (HOTS) Fisika
di SMA. Adapun tujuan dari kajian ini untuk mengetahui alasan
pengembangan instrumen, jenis penilaian dan bentuk instrumen yang
digunakan, indikator pembuatan soal, materi fisika kemampuan berpikir
tingkat tinggi (HOTS) fisika di SMA.

Penelitian lain dilakukan oleh (Yuliati & Lestari, 2018) yang


berjudul Analisis Higher Order Thinking Skills (HOTS) Taksonomi
Berpikir Tingkat Tinggi pada Permasalahan Fisika. Tujuan hasil
pengukuran HOTS ini adalah mengetahui level siswa dalam taksonomi
berpikir tingkat tinggi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kemampuan
HOTS siswa pada banyak dikuasai siswa pada level sedang. Hasil
pengukuran menunjukkan kemampuan berpikir sangat tinggi 0,5%,
kemampuan berpikir tinggi 25%, kemampuan berpikir tinggi sedang 55 %,
kemampuan berpikir tinggi rendah 19 %, kemampuan menganalisis sangat
rendah berpikir tinggi 0,5%.
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Metode dan Desain Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah


metode campuran atau mixed methods. Metode penelitian ini
menggunakan pendekatan kualitatif dan kuantitatif pada tahap merancang,
menguji coba, dan mengevaluasi instrumen yang dikembangkan.
Penelitian menggunakan mixed methods merupakan langkah untuk
mengumpulkan, menganalisis, dan menggabungkan dua metode yaitu
metode kuantitatif dan kualitatif secara bersamaan untuk menjawab
masalah dalam satu kegiatan penelitian (Creswell, J. W., 2019).
Terdapat beberapa tipe desain penelitian untuk mixed methods, yaitu;
embedded, explanatory, exploratory¸ dan triangulation. Pada penelitian ini
menggunakan desain penelitian Exploratory Sequential Design.
Exploratory sequential design adalah desain penelitian yang melakukan
pengumpulan data kualitatif terlebih dahulu untuk mengeksplorasi sebuah
fenomena kemudian setelah itu mengumpulkan data kuantitatif untuk
menjelaskan hubungan yang ditemukan dalam data kualitatif, lalu
diinterpretasikan (Creswell, J. W., 2019).
Penelitian ini akan dimulai dengan menganalisis kajian literatur dan
studi pendahuluan serta melibatkan para ahli untuk mengembangkan
instrumen, kemudian menganalisis data untuk mengembangkan sebuah
instrumen. Setelah itu, penelitian kuantitatif dilakukan untuk memperoleh
data kuantitatif dari hasil uji coba instrumen menggunakan aplikasi
Ministep Rasch. Berikut diagram alur desain penelitian yang digunakan
dalam penelitian ini pada Gambar 3.1
Sumber: (Creswell, J. W., 2019)
Gambar 3.1 Diagram Alur Exploratory Sequential Mixed Methods
Design
Gambar di atas merupakan alur atau prosedur penelitian yang akan
dilakukan. Pada tahap pertama pengumpulan data kualitatif, peneliti
mengumpulkan data dengan melakukan studi lapangan dan studi
literatur. Studi lapangan yang dilakukan adalah dengan melakukan
wawancara kepada guru di sekolah yang akan dijadikan tempat untuk
penelitian. Sedangkan studi literatur yang dilakukan peneliti adalah
dengan mencari informasi terkait pengembangan instrumen Higher
Ordet Thinking Skills (HOTS).
Selanjutnya, hasil pengumpulan data kualitatif tersebut dianalisis
untuk merumuskan pengembangan instrumen yang akan disebarkan.
Kemudian, setelah merumuskan instrumen maka peneliti dapat
menyususun instrumen sehingga instrumen Higher Ordet Thinking
Skills (HOTS dapat dilakukan uji validasi oleh para ahli dan uji coba
secara terbatas untuk melihat validitas, reliabilitas, dan kelayakan
instrument.
Dari hasil validasi akan didapatkan data kuantitatif yang akan
dijadikan sebagai bahan evaluasi dan perbaikan instrumen yang sedang
dikembangkan. Kemudian, data yang didapatkan dan telah direvisi diuji
coba secara luas kepada partisipan yang telah ditentukan. Hasil uji coba
tersebut akan dianalisis menggunakan Rasch model dengan bantuan
aplikasi ministep. Pada tahap akhir dari Exploratory Sequential Design,
peneliti menginterpretasikan hasil data kualitatif dan kuantitatif yang
telah didapatkan dengan menganalisis apakah data tersebut dapat
menjawab rumusan masalah dari penelitian yang dilakukan.
3.2 Partisipan Penelitian
Dalam pengujian instrumen Higher Order Thinking Skills (HOTS)
dilakukan di dua sekolah menengah atas negeri (SMAN) di Kota Bandung.
Dengan jumlah partisipan yang menjadi sampel penelitian berjumlah 106
peserta didik yang terbagi menjadi dua, yaitu 36 peserta didik sebagai
peserta untuk uji coba terbatas dan 70 peserta didik sebagai peserta untuk
uji coba luas. Partisipan yang mengikuti penelitian ini adalah peserta didik
SMA kelas XI yang telah mempelajari materi momentum dan impuls pada
semester genap kelas X.
3.3 Populasi dan Sampel
Populasi pada penelitian ini adalah peserta didik kelas XI pada tahun
ajaran 2022/2023 di SMA Kota Bandung. Sampel yang digunakan dalam
penelitian ini berjumlah 106 peserta didik. Pengambilan sampel pada
penelitian ini ditentukan dengan teknik purposive sampling. Teknik
purposive sampling adalah teknik menentukan sampel menggunakan
pengetahuan sebelumnya untuk menghasilkan data yang dibutuhkan.
3.4 Prosedur Penelitian
Penelitian ini dilakukan melalui tiga tahapan, yaitu tahap persiapan,
tahap pelaksanaan, dan tahap akhir. Berikut gambar prosedur penelitian:
Gambar 3.2 Prosedur Penelitian
Berdasarkan gambar prosedur yang akan dilakukan dalam
penelitian ini, berikut ini adalah penjelasan terkait prosedur penelitian:
A) Tahap Persiapan
1. Melakukan studi literatur dari jurnal, buku, skripsi, dan tesis,
2. Melakukan studi pendahuluan dengan melakukan observasi
dengan melakukan wawancara dengan guru mata pelajaran
terkait sekolah yang akan menjadi tempat penelitian,
3. Merumuskan masalah yang akan dikaj,
4. Menyunsun instrumen tes Higher Order Thinking Skills
(HOTS)
5. Melakukan validasi atau judgement expert,
6. Melakukan revisi instrumen berdasarkan hasil judgement,
7. Melakukan uji coba terbatas terkait instrumen tes Higher Order
Thinking Skills (HOTS),
8. Melakukan analisis hasil coba instrumen tes Higher Order
Thinking Skills (HOTS).
B) Tahap Pelaksanaan
Pada tahap pelaksanaan dilakukan uji coba secara luas dengan
memberikan instrumen tes Higher Order Thinking Skills (HOTS)
melalui google form kepada peserta didik.
C) Tahap Pelaporan
1. Melakukan pengolahan data hasil penelitian,
2. Melakukan analisis data hasil penelitian,
3. Menarik kesimpulan,
4. Menyusun dan melaporkan hasil penelitian.
3.5 Instrumen Penelitian
Instrumen merupakan alat yang digunakan untuk memperoleh data
yang diinginkan agar tercapainya suatu tujuan. Pada penelitian ini
instrumen tes Higher Order Thinking Skills (HOTS) yang merupakan
sebuah instrumen untuk mengukur kemampuan berpikir tingkat tinggi
peserta didik. Adapun penjelasan instrumen penelitian tersebut adalah
sebagai berikut:
3.5.1. Lembar Wawancara
Pada penelitian ini terdapat studi pendahuluan yaitu melakukan
studi lapangan dengan wawancara guru fisika di SMA Kota
Bandung. Dalam lembar wawancara tersebut, terdapat beberapa
pertanyaan yang digunakan peneliti untuk mendapatkan informasi
mengenai pemahaman siswa terhadap mata pelajaran fisika dan
penggunaan instrumen Higher Order Thinking Skills (HOTS).
3.5.2. Lembar Validasi Pakar (Judgement Expert)
Lembar validasi pakar digunakan untuk menilai isi, konstruksi,
dan bahasa dari instrumen yang dikembangkan dengan melibatkan
validator yang expert dalam bidang Fisika. Lembar validasi terdiri
dari 3 aspek penilaian yaitu validitas isi, konstruksi, dan bahasa.
Ketiga validitas tersebut kemudian dikembangkan oleh penulis
sesuai dengan kebutuhan instrumen Higher Order Thinking Skills
(HOTS) seperti pada Gambar 3.3

Gambar 3.3 Aspek Penilaian Validasi Ahli

Proses validasi dilaksanakan dengan meminta judgement


experts untuk menilai instrumen tes yang meliputi empat aspek
penilaian. Setiap ahli menuliskan skala penilaian berupa valid
dengan skor 3, valid dengan revisi skor 2, dan tidak valid dengan
skor 1 seperti Gambar 3.4

Gambar 3.4 Lembar Penilaian Validasi Ahli


Kemudian, data hasil validasi diolah menggunakan software
Miniface (Facet Rasch) akan dianalisis secara kuantitatif. Hasil
analisis data yang didapatkan akan dijadikan sebagai penilaian
dalam menarik kesimpulan terhadap layak atau tidak validnya
suatu butir soal.
3.5.3. Lembar Instrumen Tes Higher Order Thinking Skills (HOTS)
Instrumen tes Higher Order Thinking Skills (HOTS) terdiri dari
10 soal pilihan ganda dan 3 soal uraian, untuk instrumen tes
Higher Order Thinking Skills (HOTS) dapat dilihat pada Lampiran
4 Instrumen ini digunakan untuk mengumpulkan jawaban siswa
terkait materi momentum dan impuls. Jawaban yang didapatkan
akan diolah menggunakan software Ministep sehingga peneliti
dapat melihat kualitas instrumen melalui uji validitas, reliabilitas,
dan tingkat kesukaran. Instrumen tes Higher Order Thinking Skills
(HOTS) diuji cobakan kepada siswa melalui google form. Berikut
contoh soal yang diuji cobakan pada Gambar 3.5

Gambar 3.5 Instrumen tes Higher Order Thinking Skills (HOTS)


3.6 Analisis Data
3.6.1. Analisis Data Hasil Validasi Ahli dan Uji Terbatas
Sebelum instrumen Higher Order Thinking Skills (HOTS) diuji
coba secara luas, instrumen terlebih dahulu dilakukan judgement oleh
para ahli. Hasil yang diperoleh dari tahapan ini adalah data kuantitatif
dan data kualitatif. Data kuantitatif berupa skor yang diberikan para
ahli pada setiap aspek untuk setiap butir soal dan data kualitatif berupa
saran untuk perbaikan tiap butir soal dan pernyataan apakah instrumen
layak untuk digunakan atau tidak. Bersamaan dengan judgement oleh
para ahli, instrumen Higher Order Thinking Skills (HOTS) diuji coba
secara terbatas kepada 36 siswa di salah satu SMA Negeri di kota
Bandung.
Data yang diperoleh dari hasil validasi tiga orang ahli dan uji coba
secara terbatas kemudian dianalisis untuk mengetahui kualitas
instrumen yang telah dikembangkan. Analisis yang dilakukan adalah
uji validitas (validitas konstruk dan empiris), uji relialibiltas, tingkat
kesukaran dan daya pembeda yang akan dianalisis menggunakan
software mifacet berdasarkan Rasch untuk analisis hasil judgement
para ahli dan software ministep untuk analisis hasil uji coba terbatas.
Adapun penjelasan terkait analisis data sebagai berikut.
1) Validitas Konstruk
Sebuah tes dikatakan memiliki validitas konstruk apabila
butir-butir soal tes tersebut mengukur setiap aspek berpikir
seperti yang terdapat dalam indikator (Arikunto, 2015).
Pengujian validitas konstruk dilakukan dengan menggunakan
pendapat dari para ahli (judgement experts). Proses pengujian
validitas konten dalam penelitian ini melibatkan satu dosen dari
Departemen Pendidikan Fisika FPMIPA UPI sebagai ahli yang
menilai instrumen yang akan digunakan dan dua guru mata
pelajaran fisika dari sekolah yang dijadikan sebagai tempat
untuk melakukan penelitian. Proses validasi dilaksanakan
dengan meminta ahli menilai validitas instrumen tes yang
meliputi empat aspek penilaian, yaitu ketepatan butir soal
mengukur indikator, ketepatan butir soal mengukur level
kognitif penalaran (menganalisis, mengevaluasi, dan mencipta),
ketepatan butir soal dengan konstruksi soal, dan ketepatan butir
soal dengan penggunan bahasa.
Pengukuran uji validitas empiris instrumen dapat dilihat
dari hasil nilai pada Outfit mean square (MNSQ), Outfit Z-
standard (ZSTD), dan Point Measure Correlation (PeaCock).
Berdasarkan (Sumintono, B. & Widhiarso, 2013), apabila butir
soal memenuhi tiga kriteria yaitu:
a) Nilai Outfit Mean Square (MnSq) yang diterima adalah:
0,5 < MnSq < 1,5.
b) Nilai Outfit Z-Standard (ZStd) yang diterima adalah: -
2,0 < ZStd < +2,0.
c) Nilai Point Measure Correlation (PeaCock) yang
diterima adalah: 0,4 < PtMeaCorr < 0,85
Berdasarkan ketiga kriteria tersebut, bila semuanya
terpenuhi maka butir soal tersebut dapat dikatakan valid. Bila
hanya dua dari tiga kriteria yang terpenuhi maka butir soal
tersebut masih dapat dikatakan valid. Bila hanya satu kriteria
yang terpenuhi maka butir soal tersebut dinyatakan tidak valid.
Begitu juga bila tidak ada kriteria yang terpenuhi, maka butir
soal termasuk kedalam kategori misfit atau bisa dinyatakan juga
tidak valid. Kelayakan sebuah data untuk diolah
menggunakan Rasch model dapat ditentukan berdasarkan fit
data keseluruhan tes dengan kriteria sebagai berikut:
d) Infit-Outfit Meansquare (MnSq) dalam nilai ideal yaitu
: 0,5 < MnSq < 1,5.
e) Nilai Outfit Z-Standard (ZStd) yang diterima adalah: -
2,0 < ZStd < +2,0.
Berdasarkan kriteria tersebut validitas dari sebuah tes
secara keseluruhan dapat diketahui apakah sudah memenuhi
kriteria kelayakan untuk di analisis menggunakan rasch model
atau belum.
Dalam kondisi ukuran sampel yang kecil, estimasi yang
dihasilkan model Rasch lebih akurat jika dibandingkan dengan
hasil dari model tiga parameter (Lord, 1980). Model ini juga
dinilai memiliki kemudahan dalam pelaksanaannya karena
jumlah parameter yang sedikit (Hambleton, R.K., &
Swaminathan, H. & Rogers, 1991). Sehingga dipilihlah model
analisis Rasch yang merupakan bagian dari teori respon butir
dengan menggunakan bantuan software minifacet (facet
Rasch). Berikut prosedur yang dilakukan untuk mendapatkan
nilai dari hasil validasi:
1. Input data hasil validasi pada Microsoft Excel dengan
kolom 1 sebagai nomor pakar (ahli), kolom 2 sebagai
nomor soal, kolom 3 sebagai banyak jumlah kriteria, dan
kolom 4, 5, 6, dan 7 sebagai aspek yang diberikan skor.
Berikut contoh format data dapat dilihat pada Gambar 3.6.

Gambar 3.6 Contoh Format Data Hasil Validasi Ahli


2. Save file dalam bentuk CSV (Comma delimited) seperti
pada Gambar 3.7.
Gambar 3.7 Data Hasil Validasi Ahli dalam Bentuk CSV
3. Buka file pada desktop menggunakan Notepad seperti pada
Gambar 3.8.

Gambar 3.8 Data Hasil Validasi Ahli Bentuk Notepad


4. Copy semua data yang ditampilkan pada Notepad lalu paste
ke dalam Notepad yang sudah berisikan coding. Coding
tersebut dapat dilihat pada Gambar 3.9.
Gambar 3.9 Format Coding
5. Kemudian input file ke dalam software Miniface sampai
muncul tampilan seperti Gambar 3.10.

Gambar 3.10 Tampilan Software Minifact

6. Klik OK dan hasil analisis validasi akan muncul seperti


pada Gambar 3.11.
Gambar 3.11 Data Hasil Analisis Software Minifacet

2) Validitas Empiris
Pengujian validitas empiris adalah pengujian validitas yang
dilakukan dengan cara menguji coba instrumen yang dibuat
kepada peserta didik (Arikunto, 2019). Pengujian validitas
empiris dilakukan dengan melaksanakan uji coba instrumen
yang diikuti oleh 36 peserta didik. Uji coba dilakukan
menggunakan google form kepada peserta didik kelas XI di
salah satu SMA di Kota Bandung yang telah mempelajari
materi momentum dan impuls, kemudian diolah menggunakan
bantuan software ministep.

Pengukuran uji validitas empiris sama halnya dengan


pengukuran validitas konstruk. Pengukuran uji validitas
empiris instrumen dapat dilihat dari hasil nilai pada Outfit
mean square (MNSQ), Outfit Z-standard (ZSTD), dan Point
Measure Correlation (PeaCock). Berdasarkan (Sumintono,
2015), apabila butir soal memenuhi tiga kriteria yaitu:
f) Nilai Outfit Mean Square (MnSq) yang diterima adalah:
0,5 < MnSq < 1,5.
g) Nilai Outfit Z-Standard (ZStd) yang diterima adalah: -
2,0 < ZStd < +2,0.
h) Nilai Point Measure Correlation (PeaCock) yang
diterima adalah: 0,4 < PtMeaCorr < 0,85
Berdasarkan ketiga kriteria tersebut, bila semuanya
terpenuhi maka butir soal tersebut dapat dikatakan valid. Bila
hanya dua dari tiga kriteria yang terpenuhi maka butir soal
tersebut masih dapat dikatakan valid. Bila hanya satu kriteria
yang terpenuhi maka butir soal tersebut dinyatakan tidak valid.
Begitu juga bila tidak ada kriteria yang terpenuhi, maka butir
soal termasuk kedalam kategori misfit atau bisa dinyatakan juga
tidak valid. Kelayakan sebuah data untuk diolah
menggunakan Rasch model dapat ditentukan berdasarkan fit
data keseluruhan tes dengan kriteria sebagai berikut:
i) Infit-Outfit Meansquare (MnSq) dalam nilai ideal yaitu
: 0,5 < MnSq < 1,5.
j) Nilai Outfit Z-Standard (ZStd) yang diterima adalah: -
2,0 < ZStd < +2,0.
Berdasarkan kriteria tersebut validitas dari sebuah tes
secara keseluruhan dapat diketahui apakah sudah memenuhi
kriteria kelayakan untuk di analisis menggunakan Rasch model
atau belum.
Namun pada uji terbatas data hasil siswa tidak hanya
mengukur validitas saja, melainkan mengukur reliabilitas,
tingkat kesukaran, dan daya pembeda. Sama halnya dengan ui
validitas konstruk dalam uji validitas empiris, reliabilitas,
tingkat kesukaran, dan daya pembeda melakukan analisis
menggunakan model Rasch dengan bantuan software ministep.
3) Reliabilitas Soal
Reliabilitas digunakan untuk mengetahui sejauh mana hasil
pengukuran tersebut dapat dipercaya. Jika setelah di uji
cobakan beberapa kali menghasilkan koefisien reliabilitas yang
tetap, maka tingkat kepercayaan soal tes tersebut tinggi.
Reliabilitas merupakan konsistensi hasil pengukuran dari
instrumen yang digunakan sebagai alat ukur.

Dalam penelitian ini data uji coba nilai reliabilitas


instrumen diperoleh menggunakan data person reliability dan
item reliability serta menggunakan data alpha Cronbach
(Sumintono, 2015). Berikut kriteria nilai reliabilitas untuk nilai
cronbach alpha ditunjukkan pada Tabel 3.1

Tabel 3.1 Kriteria Nilai Reliabilitas Cronbach Alpha

Nilai Alpha Cronbach Kriteria


(Reliabilitas)
< 0,50 Buruk
0,50 – 0,60 Jelek
0,60 – 0,70 Cukup
0,70 – 0,80 Bagus
> 0,80 Bagus Sekali
(Sumintono, B., & Widhiarso, 2015)

Selain nilai cronbach alpha, reliabilitas nilai person reliability dan


item reliability berikut ditunjukan pada Tabel 3.2

Tabel 3.2 Kriteria Nilai person reliability dan item reliability

Nilai Person Reliability Dan Kategori


Item Reliability
< 0,67 Lemah
0,67 – 0,80 Cukup
0,80 – 0,90 Bagus
0,91 – 0,94 Bagus Sekali
> 0,94 Istimewa
(Sumintono, B., & Widhiarso, 2015)

Nilai reliabilitas instrumen tes secara keseluruhan dapat dilihat


dari nilai cronbach alpha, item reliability, dan person reliability.
Namun nilai cronbach alpha tidak mampu menjelaskan berapa
nilai reliabilitas dari sisi item dan responden. Maka peneliti juga
menganalisis nilai reliabilitas dari item reliability dan person
reliability. Selain itu, dengan analisis model Rasch penulis juga
dapat melihat nilai separation yang dapat dilihat dari dua sisi juga
yaitu item separation dan person separation.

Separasi individu (person separation) menjelaskan seberapa


baik instrumen merentangkan keberagaman responden sehingga
instrumen dapat mengukur responden sesuai abilitasnya. Separasi
item (item separation) menjelaskan seberapa baik instrumen
merentangkan keberagaman tingkat kesulitan item dalam hal ini
instrumen mampu mengurutkan item dari yang paling sulit
disetujui hingga paling mudah disetujui. Separation yang baik yaitu
yang memiliki nilai sama dengan atau lebih besar dari tiga
(Sumintono, 2014).

4) Tingkat Kesukaran Item

Tingkat kesukaran item menunjukan urutan item dari yang sulit


dijawab hingga pada item yang paling mudah untuk dijawab. Item
ini diurutkan berdasarkan nilai logit yang telah didapatkan pada
setiap item melalui analisis model Rasch (Sumintono, B., &
Widhiarso, 2015). Dalam model Rasch item dan person dapat
diurutkan berdasarkan nilai logit nya, selain itu model Rasch juga
menunjukkan peta logit yang menunjukan sebaran item dan
responden berdasarkan nilai logitnya dalam sumbu Y vertikal.

Peta logit menunjukan pengelompokan tingkat kesukaran dapat


ditentukan berdasarkan nilai acuan pengelompokan tingkat
kesukaran item dengan menjumlahkan nilai rata-rata logit dan nilai
standard deviasi (SD). Nilai acuan ini selanjutnya akan digunakan
sebagai acuan untuk mengelompokan item pada kategori sukar,
sedang, mudah hingga outliers. Item outliers dalam penelitian ini
merupakan item yang tidak berguna sehinggaperlu untuk dibuang
(Palimbong, J., Mujasam, & Allo, 2018)

5) Daya Pembeda

Daya pembeda berfungsi untuk mengukur kemampuan


suatu butir soal untuk membedakan antara peserta didik
berkemampuan tinggi dengan peserta didik dengan kemampuan
rendah (Arikunto, 2015). Point Measure Correlation (PTMEA
CORR) merupakan pengukuran untuk daya diskriminasi item.
Nilai Point Measure Correlation (PTMEA CORR) harus
bernilai positif karena jika memiliki nilai negatif
mengindikasikan butir soal yang menyesatkan. Hal tersebut
karena item tidak bisa membedakan responden kelas atas dan
kelas bawah sehingga hasilnya terbalik yaitu peserta tes dengan
kemampuan rendah mampu menjawab butir dengan benar dan
pesertates dengan kemampuan tinggi justru menjawab salah.
Soal-soal dengan nilai korelasi negatif harus diperiksa untuk
melihat apakah perlu direvisi, atau dihapus. Berikut klasifikasi
menurut (Alagumalai, S., Curtis, D., & Hungi, 2005) terkait
nilai Point Measure Correlation (PTMEA CORR) pada Tabel
3.3.

Tabel 3.3 Klasifikasi Point Measure Correlation


Berdasarkan dari data uji coba terhadap 36 peserta didik
selanjutnya akan dianalisis menggunakan bantuan software
ministep. Berikut prosedur yang dilakukan untuk mendapatkan
nilai validitas, reliabilitas, tingkat kesukaran, dan daya
pembeda dengan software ministep:
1. Input data hasil jawaban siswa pada Microsoft excel
pada kolom 1 dan 2 merupakan nomor urut siswa,
kolom 3 merupakan jenis kelamin, kolom 4 merupakan
domisili, dan kolom 5, 6, dst berisikan jawaban siswa
seperti pada Gambar 3.12.

Gambar 3.12 Data Hasil Jawaban Siswa


2. Setelah data diinput selesai, buat column width pada
excell sebesar 1 dimana tampilan pada excell menjadi
seperti Gambar 3.13.
Gambar 3.13 Tampilan Excell column width sebesar 1
3. Save file dengan format: formatted text (space
delimited) seperti pada Gambar 3.14.

Gambar 3.14 Format File


4. Drag file yang sudah disimpan sebagai formatted text
(space delimited) ke aplikasi ministep. Kemudian, Klik
Data Setup maka akan muncul seperti Gambar 3.15.
Gambar 3.15 Tampilan Ministep
5. Lalu isikan spesifikasi data, tuliskanlah nama file pada
bagian TITLE, contoh: Data politomi.
6. Setelah itu pada bagian NAME 1 diisi dengan angka 1
yang merupakan kolom pertama data dimulai berisikan
data person.
7. Kolom NAMELEN diisi dengan angka 4 dimana
menunjukkan banyaknya kolom untuk identifikasi
person.
8. Lalu kolom First item column diisi dengan angka 5
dimana kolom pertama dimulai.
9. Kemudian isi Number of items diisi dengan angka 10
yang menunjukkan banyaknya butir soal dalam data
yang ada pada berkas yang dibuat menjadi formatted
text (space delimited).
10. Selanjutnya klik “Refresh Data Display” dan tabel data
akan berubah seperti pada Gambar 3.16.
Gambar 3.16 Hasil Data Display
11. Pilih salah satu fitur pada Ministep yaitu Scan data for
codes, maka hasil data akan muncul pada kolom
CODES Valid codes seperti Gambar 3.17.

Gambar 3.17 Hasil Scan Data For Codes


12. Klik Item Labels, berilah identitas tiap butir soal seperti
Gambar 3.18
3.18 Data Item Label
13. Selanjutnya input kunci jawaban dengan mengklik
MCQ Scoring key seperti Gambar 3.19.

Gambar 3.19 Kunci Jawaban


14. Kemudian klik Ministep pada bagian atas dan pilih save
control with data file and exit to ministep analysis
seperti pada Gambar 3.20.

Gambar 3.20 Cara Save Ministep


15. Save data dengan memilih format txt seperti Gambar
3.16.

Gambar 3.16 Format save Ministep


16. Lalu klik “yes” seperti pada Gambar 3.21.

Gambar 3.21 Analisis MinIstep


17. Apabila sudah muncul windows baru, lalu tekan enter
dua kali sehingga muncul analisis seperti pada Gambar
3.22.

Gambar 3.22 Hasil Analisis Ministep


18. Setelah itu, lakukan analisis data dengan memilih
Output Tables pada kolom atas dan pilih analisis data
sesuai kebutuhan data yang akan dianalisa.

Gambar 3.22 Pilihan Analisis Data Ministep


3.6.2. Analisis Data Hasil Uji Coba Luas
Hasil uji coba luas instrumen Higher Order Thinking Skills
(HOTS) dianalisis menggunakan Rasch model yang dibantu
dengan software ministep dimana akan mengukur validitas,
reliabilitas, tingkat kesukaran, dan daya pembeda. Hasil analisis
tersebut digunakan untuk mengetahui karakteristik instrumen
Higher Order Thinking Skills (HOTS). Prosedur penggunaan
software ministep untuk rasch model adalah sebagai berikut.
1. Input data hasil jawaban siswa pada Microsoft excel pada
kolom 1 dan 2 merupakan nomor urut siswa, kolom 3
merupakan jenis kelamin, kolom 4 merupakan domisili, dan
kolom 5, 6, dst berisikan jawaban siswa seperti pada
Gambar 3.23.
Gambar 3.23 Data Hasil Jawaban Siswa
2. Setelah data diinput selesai, buat column width pada excell
sebesar 1 dimana tampilan pada excell menjadi seperti
Gambar 3.24.

Gambar 3.24 Tampilan Excell column width sebesar 1


3. Save file dengan format: formatted text (space delimited)
seperti pada Gambar 3.25.
Gambar 3.25 Format File
4. Drag file yang sudah disimpan sebagai formatted text
(space delimited) ke aplikasi ministep. Kemudian, Klik
Data Setup maka akan muncul seperti Gambar 3.26.

Gambar 3.26 Tampilan Ministep

5. Lalu isikan spesifikasi data, tuliskanlah nama file pada


bagian TITLE, contoh: Data politomi.
6. Setelah itu pada bagian NAME 1 diisi dengan angka 1 yang
merupakan kolom pertama data dimulai berisikan data
person.
7. Kolom NAMELEN diisi dengan angka 4 dimana
menunjukkan banyaknya kolom untuk identifikasi person.
8. Lalu kolom First item column diisi dengan angka 5 dimana
kolom pertama dimulai.
9. Kemudian isi Number of items diisi dengan angka 10 yang
menunjukkan banyaknya butir soal dalam data yang ada
pada berkas yang dibuat menjadi formatted text (space
delimited).
10. Selanjutnya klik “Refresh Data Display” dan tabel data
akan berubah seperti pada Gambar 3.27.

Gambar 3.27 Hasil Data Display


11. Pilih salah satu fitur pada Ministep yaitu Scan data for
codes, maka hasil data akan muncul pada kolom CODES
Valid codes seperti Gambar 3.28.
Gambar 3.28 Hasil Scan Data For Codes
12. Klik Item Labels, berilah identitas tiap butir soal seperti
Gambar 3.29

3.29 Data Item Label


13. Selanjutnya input kunci jawaban dengan mengklik MCQ
Scoring key seperti Gambar 3.30.

Gambar 3.30 Kunci Jawaban


14. Kemudian klik Ministep pada bagian atas dan pilih save
control with data file and exit to ministep analysis seperti
pada Gambar 3.31.
Gambar 3.31 Cara Save Ministep
15. Save data dengan memilih format txt seperti Gambar 3.32.

Gambar 3.32 Format save Ministep


16. Lalu klik “yes” seperti pada Gambar 3.33.

Gambar 3.33 Analisis MinIstep


17. Apabila sudah muncul windows baru, lalu tekan enter dua
kali sehingga muncul analisis seperti pada Gambar 3.34.
Gambar 3.34 Hasil Analisis Ministep
18. Setelah itu, lakukan analisis data dengan memilih Output
Tables pada kolom atas dan pilih analisis data sesuai
kebutuhan data yang akan dianalisa.

Gambar 3.35 Pilihan Analisis Data Ministep


DAFTAR PUSTAKA
Alagumalai, S., Curtis, D., & Hungi, N. (2005). Applied Rasch Measurement: A
Book of Exemplars. Dordrecht: Springer.
Anderson, L.W., & D. Krathwohl, D. (2001). A Taxonomy for Learning, Teaching
and Assessing: a Revision of Bloom’s Taxonomy of Educational Objectives.
Annuuru, T. A. (2017). Peningkatan Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi dalam
Pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam Peserta Didik Sekolah Dasar melalui
Model Pembelajaran Treffinger . Pendidikan , Universitas Pendidikan
Indonesia . Tahun 2017 . Fakultas I. 1300390.
Arikunto, S. (2015). Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.
Arikunto, S. (2019). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: PT.
Rineka Cipta.
Bloom, B., Engelhart, M., Furst, E., Hill, E., & Krathwohl, D. (1956). (1956).
Taxonomy of Educational Objectives, Handbook I: The Cognitive Domain.
Bond, T. G., & Fox, M. C. (2015). Applying the Rasch Model Fundamental
Measurement in the Human Sciences Third Edition. New York: Routledge.
Conklin, W. H. (2012). Higher-order thinking skills to develop 21st century
learners. Beach: Shell Educational Publishing, Inc.
Creswell, J. W., G. T. C. (2019). Educational Research Planning, Conducting,
and evaluating quantitative and Qualitativve Research. New York: Pearson.
Desiriah, E., & Setyarsih, W. (2021). TINJAUAN LITERATUR
PENGEMBANGAN INSTRUMEN PENILAIAN KEMAMPUAN BERPIKIR
TINGKAT TINGGI (HOTS) FISIKA DI SMA. 7.
Dinni, H. . (2018). HOTS (Higher Order Thinking Skills) dan Kaitannya dengan
Kemampuan Literasi Matematika. 170-176.
Hambleton, R.K., & Swaminathan, H. & Rogers, H. . (1991). Fundamental of
item response theory. Newbury Park, CA: Sage Publication Inc.
King, F., Goodson, L., & Rohani, F. (1999). Higher Order Thinking Skills.
Lailly, N. R., & Wisudawati, A. W. (2015). Analisis Soal Tipe Higher Order
Thinking Skill (Hots) Dalam Soal Un Kimia Sma Rayon B Tahun
2012/2013. Kaunia, XI(1), 27–39.
Linacre, J. M. (1999). Investigating rating scale category utility. Journal of
Outcome Measurement, 3(2), 103-.
Lord, F. M. (1980). Applications of item response theory to practical testing
problems. Hillsdale, NJ: Lawrence Erlbaum.
Malik, A., Rosidin, U., & Ertikanto, C. (2018). Pengembangan Instrumen
Asesmen Hots Fisika Sma Menggunakan Model Inkuiri Terbimbing. Jurnal
Lentera Pendidikan Pusat Penelitian LPPM UM METRO, Volume 3(Nomor
1), 11–25. https://ojs.ummetro.ac.id/index.php/lentera/article/view/733
Mok, M. and Wright, B. (2004). Overview of Rasch Model Families. In
Introduction to Rasch Measurement: Theory, Models and Applications.
Minnesota: Jam Press, hal 1-24.
Nitko, A. J., & Brookhart, S. M. (2011). Educational assessment of students.
Human Movement Science, 24(1), 116–137.
Palimbong, J., Mujasam, & Allo, A. Y. (2018). Item Analysis Using Rasch Model
in Semester Final Exam Evaluation Study Subject in Physics Class X TKJ
SMK Negeri 2 Manokwari. Physics Education Journal 1, 43–51.
Purwanto. (2008). Metodologi Penelitian Kuantitatif.
Rahman, A., Rusnayati, H., & Muslim, M. (2021). Analysis of the Characteristics
of Higher Order Thinking Skills (HOTS) Test on Momentum and Impulse
for Senior High School Student Using Item Response Theory. Jurnal
Penelitian Fisika Dan Aplikasinya (JPFA), 11(2), 127–137.
https://doi.org/10.26740/jpfa.v11n2.p127-137
Resnick, L. B. (1987). Education and Learning to Think. In Education and
Learning to Think (Issue January 1987). https://doi.org/10.17226/1032
Sanjaya, W. (2008). Kurikulum dan Pembelajaran. Kencana Prenada Media
Group.
Smiley, J. (2015). Classical test theory or Rasch: A personal account from a
novice user. 16-31.
Sudjana, N. (2010). Dasar-Dasar Proses Belajar Mengajar.
Sulianto, J., Cintang, N., & Azizah, M. (2018). Higher Order Thinking Skills
(Hots) Siswa Pada Mata Pelajaran Matematika Di Sekolah Dasar Pilot
Project Kurikulum 2013 di Kota Semarang. Journal of Chemical Information
and Modeling, 53(9), 1–61. https://eprints.upgris.ac.id/id/eprint/288
Sumintono, B., & Widhiarso, W. (2015). Aplikasi Pemodelan Rasch pada
Asesmen Pendidikan. Konferensi Guru Dan Dosen Nasional (KGDN).
Sumintono, B. & Widhiarso, W. (2013). Aplikasi Model Rasch untuk Penelitian
Ilmu-ilmu Sosial. Jakarta: Tim Komunikata Publishing House.
Sumintono, B. (2014). Model Rasch untuk Penelitian Sosial Kuantitatif. ITS
Surabaya, November 201, 1–9. http://eprints.um.edu.my/id/eprint/11414
Sumintono, B. (2015). Pemodelan rasch pada asesmen pendidikan: Suatu
pengantar.
Sumintono, B., Islam, U., Indonesia, I., Widhiarso, W., & Mada, U. G. (2015).
RascH. October.
Thomas, A. & Thorne, G. (2009). Higher-Order Thinking Skills.
Tipler. (n.d.). Fisika untuk Sains dan Teknik. In B. Soegijono (Ed.), Tipler, P. A.
(3rd ed.). Erlangga.
Widana, I. W. (2017). Modul Penyusunan Soal Higher Order Thinking Skill
(HOTS). Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah
Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan. Direktorat Jendral Pendidikan
Dasar Dan Menengah.
Yuliati, S. R., & Lestari, I. (2018). HIGHER-ORDER THINKING SKILLS
(HOTS) ANALYSIS OF STUDENTS IN SOLVING HOTS QUESTION IN
HIGHER EDUCATION. Perspektif Ilmu Pendidikan, 32(2), 181–188.
https://doi.org/10.21009/pip.322.10

Anda mungkin juga menyukai