Anda di halaman 1dari 15

Diterjemahkan dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia - www.onlinedoctranslator.

com

JURNALKEPENDIDIKAN P-ISSN: 2580-5525│E-ISSN: 2580-5533


Vol. 6, No. 1, hlm. 25-39 https://journal.uny.ac.id/index.php/jk/

Inkuiri kolaboratif konten pedagogis teknologi terintegrasi


pengetahuan untuk meningkatkan keterampilan berpikir tingkat tinggi

Nur Lailatin Nisfah, Endang Purwaningsih, dan Parno


[Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Malang
Jl. Semarang 5, Malang 65145 Indonesia
Email: nisfah.nln@gmail.com

Abstrak:Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan paket pengajaran dalam RPP dan LKS
dengan menggunakan model Collaborative Inquiry terintegrasi TPACK yang dapat
meningkatkan kemampuan berpikir tingkat tinggi (HOTS) secara valid dan efektif. Desain
penelitian pengembangan mengikuti model pengembangan empat-D-model, terdiri dari 4
fase: define, design, develop, dan disebarluaskan. Pada saat define dilakukan beberapa
observasi dan studi literasi. Pada desain, bahan ajar dirancang. Para ahli memvalidasi bahan
ajar yang sedang dikembangkan yaitu dua orang dosen dan dua orang guru sebagai
pengguna. Berdasarkan hasil validasi diketahui bahwa RPP dan LKS dalam kriteria baik atau
valid untuk digunakan. HOTS diukur menggunakan two-tier multiple choice berupa 15 soal
dengan kategori baik dan kategori reliabilitas tinggi. Uji kelayakan dilakukan berdasarkan
validasi ahli. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bahan ajar berada pada kriteria baik,
sehingga layak digunakan pada beberapa kondisi. Hasil implementasi dapat mempengaruhi
perbedaan hasil pretes dan postes observasi siswa berbasis HOTS selama pembelajaran dan
peningkatan skor.

Kata kunci:penyelidikan kolaboratif, keterampilan berpikir tingkat tinggi, TPACK

Cara mengutip (APA 7thGaya): Nisfah, N., & Purwaningsih, E. (2022). Optimalisasi inkuiri kolaboratif yang terintegrasi ke
dalam TPACK untuk meningkatkan kemampuan berpikir tingkat tinggi.Jurnal Kependidikan, 6(1). doi: https://doi. org/
10.21831/jk.v6i1.36440

PENGANTAR
Revolusi Industri Keempat (Industri 4.0) telah mempengaruhi sektor pendidikan. Kegiatan pembelajaran di sektor pendidikan dapat menjadi

bagian terintegrasi dari sistem manufaktur cyber-fisik Industri 4.0 di masa depan (Tvenge & Martinsen, 2018, hal 261-266). Tuntutan dunia untuk sistem

pembelajaran di kelas yang lebih efisien adalah keterampilan abad ke-21, juga dikenal sebagai 4C, yang terdiri dari komunikasi, pemikiran kritis,

kolaborasi, dan kreativitas. Penggunaan teknologi bertujuan untuk memberikan lebih banyak kesempatan kepada siswa untuk berpikir kritis dengan

menggunakan pendekatan analitis dan membuat pembelajaran menjadi lebih efisien (Pouezevara, Mekhael, & Darcy, 2014, p 120-141). Kurikulum 2013

yang diterapkan menggunakan pendekatan yang menekankan pada keterampilan proses, pemanfaatan lingkungan, ilmu pengetahuan, teknologi, dan

masyarakat. Kurikulum ini mewajibkan peserta didik untuk memiliki kemampuan berpikir tingkat tinggi untuk dikembangkan lebih lanjut sebagai

keterampilan masa depan. Kemampuan untuk menghasilkan dan memproses informasi pada tingkat yang kompleks merupakan bagian integral dalam

mempertimbangkan pilihan pemecahan masalah (Lopes, Mesquita, Río-Rama, & lvarez-García, 2018, hlm. 39-50). Keterampilan berpikir tingkat tinggi

digunakan untuk menganalisis hasil eksperimen dan membiasakan siswa untuk memanfaatkan ilmu pengetahuan, teknologi, dan masyarakat di

sekitarnya. Keterampilan ini juga berfokus pada pengembangan kemampuan siswa untuk menganalisis Keterampilan berpikir tingkat tinggi digunakan

untuk menganalisis hasil eksperimen dan membiasakan siswa untuk memanfaatkan ilmu pengetahuan, teknologi, dan masyarakat di sekitarnya.

Keterampilan ini juga berfokus pada pengembangan kemampuan siswa untuk menganalisis Keterampilan berpikir tingkat tinggi digunakan untuk

menganalisis hasil eksperimen dan membiasakan siswa untuk memanfaatkan ilmu pengetahuan, teknologi, dan masyarakat di sekitarnya. Keterampilan

ini juga berfokus pada pengembangan kemampuan siswa untuk menganalisis

25
Jurnal Kependidikan, 6(1), 25-39

efektif, mengevaluasi dengan menyimpulkan dari informasi yang tersedia, dan menciptakan (mensintesis) sesuatu
yang baru.
Namun, kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa relatif rendah. Hal ini didukung oleh temuan Agustini dan Fajriyah yang menunjukkan bahwa

kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa SD termasuk dalam kategori rendah, dengan skor rata-rata 40 (2018, hlm. 1-6). Penelitian yang berfokus pada

kompetensi berpikir siswa SMP dalam menjawab soal standar PISA menghasilkan masing-masing 18 siswa dan 12 siswa dengan kategori sedang dan

rendah, dari 30 siswa (Kurniati, Harimukti, & Jamil, 2016, hlm. 142-155) . Berdasarkan observasi dan wawancara terhadap beberapa guru di SMP Negeri

Malang, siswa cenderung mengalami kesulitan dalam mengerjakan soal-soal analisis yang membutuhkan kemampuan berpikir tingkat tinggi. Negara

berkembang lainnya, termasuk Malaysia, tampaknya berjuang dengan keterampilan berpikir tingkat tinggi dalam pendidikan (Chinedu, Olabiyi, & Kamin,

2015, hlm. 35-43). Pengamatan awal menunjukkan bahwa tidak semua guru SMP memahami keterampilan berpikir tingkat tinggi dan metode pengajaran

terkait. Beberapa guru telah menggunakan model pembelajaran yang direkomendasikan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, meskipun

mereka lebih fokus pada fungsi sintaksis daripada mengembangkan keterampilan berpikir tingkat tinggi siswa. Oleh karena itu, guru harus dibantu dalam

mengembangkan kompetensinya untuk menumbuhkan kompetensi berpikir tingkat tinggi siswanya. Beberapa guru telah menggunakan model

pembelajaran yang direkomendasikan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, meskipun mereka lebih fokus pada fungsi sintaksis daripada

mengembangkan keterampilan berpikir tingkat tinggi siswa. Oleh karena itu, guru harus dibantu dalam mengembangkan kompetensinya untuk

menumbuhkan kompetensi berpikir tingkat tinggi siswanya. Beberapa guru telah menggunakan model pembelajaran yang direkomendasikan oleh

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, meskipun mereka lebih fokus pada fungsi sintaksis daripada mengembangkan keterampilan berpikir tingkat

tinggi siswa. Oleh karena itu, guru harus dibantu dalam mengembangkan kompetensinya untuk menumbuhkan kompetensi berpikir tingkat tinggi

siswanya.

Perkembangan penggunaan teknologi dalam proses pembelajaran sangat penting untuk


membantu guru dalam memberikan stimulus pengetahuan untuk membantu siswa memahami isi
pembelajaran (Koehler & Mishra, 2009, hlm. 60-70). Pengajaran adalah domain yang kompleks di mana
tiga komponen pengetahuan (teknologi, pedagogi, dan konten) harus diintegrasikan untuk diterapkan
di kelas yang dinamis dan beragam (Koehler, Mishra, & Cain, 2013, hlm. 13-19). Namun, kerangka
Technological Pedagogical Content Knowledge (TPACK) hanya berfokus pada teknologi, pedagogi, dan
konten, yang tidak mewakili korelasi di antara keduanya (Tanak, 2020, hlm. 53-59). Oleh karena itu,
menggabungkan ketiga domain tersebut dalam kegiatan pembelajaran sangat penting dalam
menciptakan kegiatan pembelajaran praktis dan pengajaran konten penting. Perangkat pembelajaran
berbasis TPACK dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa (Mairisiska, Sutrisno, & Asrial,
2014, hlm. 28-37). Di sisi lain, pelaksanaan pembelajaran berbasis TPACK biasanya terkendala dengan
ketersediaan sarana dan prasarana pembelajaran (Malik, Rohendi, & Widiaty, 2019, hal 498-503). Studi
sebelumnya sering menemukan bahwa berbagai strategi pembelajaran digunakan untuk
menumbuhkan keterampilan berpikir tingkat tinggi, tetapi ada sedikit fasilitas pembelajaran yang
memanfaatkan teknologi (Chinedu et al., 2015, hal 35-43).
Peran guru sangat penting dalam keseluruhan proses pembelajaran (Lopes et al., 2018, hal
39-50). Kualitas keterampilan pedagogis mereka secara langsung mempengaruhi kualitas siswa. Selain
itu, keterampilan berpikir tingkat tinggi dapat ditingkatkan dengan menggunakan pendekatan
konstruktivis. Pembelajaran yang menggunakan modul berbasis inkuiri terbimbing juga cukup efektif
dalam mengembangkan kemampuan berpikir tingkat tinggi dengan kriteria sedang. Pembelajaran
berbasis inkuiri dapat memupuk kemampuan berpikir tingkat tinggi (Muspawi, Suratno, & Ridwan,
2019, hlm. 208-214; Kartika & Noer, 2019, hlm. 103-107). Collaborative inquiry (CI) adalah bagian dari
pembelajaran kolaboratif. Model pembelajaran inkuiri kolaboratif yang diterapkan terbukti
meningkatkan profesionalisme guru dalam mengajar, serta kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa
(Chinedu et al., 2015, hlm 35-43).
Penelitian Langgeng, Sajidan, dan Prayitno (2017, hlm. 1-16) menemukan bahwa inkuiri
kolaboratif berbasis potensi lokal dapat meningkatkan kemampuan berpikir tingkat tinggi dan

26
Nisfah, NL, Purwaningsih, E., & Parno: Optimalisasi inkuiri kolaboratif ...

kreativitas para siswa. Penelitian yang berfokus pada mata pelajaran matematika dilakukan dengan
menggunakan model pembelajaran inkuiri kolaboratif, menghasilkan peningkatan kemampuan reflektif
matematis siswa dalam memecahkan masalah matematika di sekitar mereka dan berpikir secara konstruktif
(Kartika & Noer, 2019, hlm. 103-107). Senada dengan itu, sebuah penelitian yang berfokus pada topik impuls,
momentum, dan tumbukan mata pelajaran fisika menemukan bahwa model pembelajaran inkuiri kolaboratif
meningkatkan keterampilan berpikir kritis dan kreativitas siswa (Sipayung, 2018, hlm. 10). Topik lain yang
menuntut kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa adalah optik.
Mata pelajaran optik yang diajarkan di tingkat sekolah menengah pertama merupakan ilmu
dasar dan wajib yang harus dikuasai siswa. Kompetensi dasar yang dikeluarkan pemerintah
merupakan standar kemampuan siswa. Pada tingkat kognitif, topik ini menuntut siswa sekolah
menengah pertama untuk menganalisis sifat-sifat cahaya, pembentukan bayangan pada cermin datar
dan cekung, serta penerapannya untuk menjelaskan pemrosesan visual manusia dan hewan serta
prinsip-prinsip optik. Pada tingkat psikomotorik, mereka harus mampu mempresentasikan hasil
eksperimen pembentukan bayangan pada cermin dan lensa. Studi sebelumnya menemukan bahwa
kesalahpahaman sering ditemukan pada topik optik, yang meliputi prediksi yang tidak akurat tentang
pembentukan bayangan ketika cahaya melewati layar berlubang, gambar virtual dan nyata, dan
pembentukan bayangan pada cermin datar (Sutopo, 2014,; Syarif, Djudin, & Hamdani, 2016;
Sheftyawan, Prihandono, & Lesmono, 2018, hlm. 147-153). Topik ini harus dikembangkan karena
membutuhkan penggunaan teknologi dalam proses pembelajaran.
Model inkuiri kolaboratif (CI) yang diterapkan dalam teknologi berbentuk web mengungkapkan
bahwa pembelajaran CI berdampak positif terhadap hasil belajar siswa. Namun, peran guru dalam
memanfaatkan teknologi masih belum optimal. (Raes & Schellens, 2015, hlm. 405-430). Beberapa
kegiatan tidak dapat dilakukan secara maksimal saat mengajar dengan menggunakan kerangka
TPACK, seperti mencatat, berdebat, mengembangkan/mengkonstruksi model, selain siswa yang tidak
bertanya karena rendah diri (Hayati, Sutrisno, & Lukman, 2014). , hlm. 53-61). Untuk itu, diperlukan
pengembangan konten pembelajaran yang membantu guru mengoptimalkan penggunaan teknologi
dalam proses pembelajaran dan meningkatkan kemampuan berpikir tinggi.

METODE
Penelitian ini menggunakan desain penelitian dan pengembangan dengan prosedur yang
mengikuti model pengembangan 4-D (Four-D Models) (Thiagarajan, 1974, hlm. 13). Penelitian ini
difokuskan pada pengembangan perangkat pembelajaran yang terdiri dari konten Pembelajaran, RPP
yang menggunakan model inkuiri kolaboratif terpadu TPACK (CI-TPACK), dan LKS yang dikembangkan
sesuai langkah-langkah pembelajaran CI-TPACK. Materi pembelajaran ini menggunakan soal pilihan
ganda dua tingkat.
Ada empat tahapan dalam pengembangan perangkat pembelajaran menggunakan model CI terintegrasi TPACK, yaitu:

Define; Rancangan; Mengembangkan; dan Diseminasi. Adapun penjabaran dari masing-masing tahapan tersebut adalah sebagai

berikut.

Tentukan panggung.Pada tahap ini dilakukan analisis terhadap kurikulum yang digunakan di
kelas VIII tentang sifat-sifat cahaya dan perangkat optik, selain analisis kebutuhan siswa dan guru.
Analisis kurikulum meliputi kompetensi inti dan kompetensi dasar wajib. Analisis kebutuhan siswa
meliputi analisis skor sebelum pelajaran optik, dan tinjauan pustaka tentang kesulitan yang dihadapi
siswa dalam topik optik. Analisis kebutuhan guru meliputi wawancara tentang pelajaran yang
diajarkan dan tinjauan literatur tentang metode guru untuk membuat proses pembelajaran lebih
efisien dan meningkatkan keterampilan berpikir tingkat tinggi siswa.

27
Jurnal Kependidikan, 6(1), 25-39

Tahap desain.Desainnya disesuaikan dengan hasil kurikulum dan analisis


kebutuhan siswa dan guru. Pada tahap ini dibuat RPP yang menggunakan
model CI-TPACK, selain isi LKS yang mengikuti sintaks CI-TPACK dan kerangka
soal pilihan ganda dua tingkat.
Dmengembangkan tahap.Pada tahap ini, setelah RPP, LKS, dan soal pilihan ganda
dua tingkat dikembangkan, divalidasi oleh para ahli yang terdiri dari satu orang dosen
program magister, satu orang dosen program sarjana, dan dua orang guru SMP
sebagai pengguna. Dilanjutkan dengan revisi, individu, kelompok kecil, uji coba
lapangan, dan revisi lainnya.
Tahap menyebarluaskan.Pada tahap ini, alat-alat tersebut diimplementasikan di dua kelas dalam
satu sekolah. Pelaksanaan di sekolah lain belum bisa dilakukan karena pembelajaran daring di masa
pandemi COVID-19.
Ada dua jenis data dalam penelitian ini yaitu data kualitatif dan kuantitatif. Data
kualitatif dikumpulkan melalui checklist validitas oleh validator (ahli dari dosen atau
guru senior). Data kuantitatif dikumpulkan dari analisis butir soal berupa validitas,
reliabilitas, daya pembeda, dan tingkat kesukaran tes. Tes terdiri dari 15 item dengan
nilai reliabilitas 0,896. Empat item memiliki indeks diskriminasi sangat baik dan yang
lainnya baik. Untuk tingkat kesulitan, dua item mudah, dan yang lainnya cukup mudah.
Pengumpulan data menggunakan instrumen berupa lembar validasi RPP,
LKS, dan soal pilihan ganda dua tingkat. Data yang terkumpul dianalisis
menggunakan statistik deskriptif. Hasil kuesioner dideskripsikan untuk
mengevaluasi hasil pengembangan. Sedangkan hasil penilaian ahli yaitu dosen
dan guru tentang RPP, LKS, dan butir soal dianalisis dengan teknik deskriptif
persentase (Purwanto, 2010, hlm. 32).
Hasil angket uji coba terbatas pada soal pilihan ganda dua tingkat dianalisis pada
tahap desain dengan menggunakan teknik deskriptif persentase. Data kualitatif dan
kuantitatif adalah data yang diperoleh dari uji lapangan. Data kualitatif dikumpulkan
dari hasil kepraktisan RPP, LKS dan soal pilihan ganda twotier. Data tersebut dianalisis
menggunakan teknik deskriptif persentase. Data kuantitatif diperoleh dari pengujian
soal pilihan ganda dua tingkat yang meliputi uji validitas, reliabilitas, daya pembeda,
dan tingkat kesukaran menggunakan SPSS 16.0 yang disesuaikan dengan kriteria
(Arikunto, 2008, hlm. 38). Hasil penelitian menunjukkan bahwa bahan ajar diujicobakan
pada tahap Disseminate di dua kelas di Kabupaten Jombang. Uji coba dilakukan untuk
mengetahui keefektifan bahan ajar dalam meningkatkan kemampuan berpikir tingkat
tinggi. Keterampilan berpikir tingkat tinggi dalam penelitian ini diuji dengan 15 soal
pilihan ganda dua tahap, yang diberikan sebelum (pretest) dan setelah (posttest)
pembelajaran. Tahap analisis kuantitatif yang dilakukan adalah statistik deskriptif, uji
prasyarat, uji statistik daya diferensial, gain score ternormalisasi, dan effect size, dan
selanjutnya dijelaskan dengan analisis kualitatif.

TEMUAN DAN PEMBAHASAN


Penelitian ini menghasilkan konten pembelajaran yang menggunakan model inkuiri kolaboratif
terintegrasi TPACK untuk meningkatkan kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa SMA pada sifat-sifat
cahaya dan perangkat optik menggunakan model 4D. Tahap pertama adalah define, yang memiliki lima
langkah: Melakukan analisis front-end yang bertujuan untuk menganalisis kebutuhan pembelajaran dari

28
Nisfah, NL, Purwaningsih, E., & Parno: Optimalisasi inkuiri kolaboratif ...

hasil wawancara siswa, guru, dan literature review. Peneliti menemukan bahwa topik sifat
cahaya dan alat optik dirasa sulit, dimana siswa sering mengalami miskonsepsi karena
kurangnya media pembelajaran untuk memvisualisasikan perambatan sinar pantul atau
bias. Sehingga siswa tidak mampu mengkorelasikan teori dengan fenomena yang
ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Hasil UN 2019 untuk topik optik termasuk dalam
kategori rendah (Puspendik Kemdikbud, 2019). Mereka menganalisis siswa, dan peneliti
menemukan bahwa mereka tidak terbiasa menggunakan teknologi (baik komputer maupun
Internet) dalam proses belajar mengajar.
Akibatnya, kemampuan berpikir tingkat tinggi dalam menganalisis, mengevaluasi, dan
mencipta masih tergolong rendah; menganalisis tugas, di mana peneliti menemukan bahwa
upaya untuk meningkatkan kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa tidak termanifestasi
dengan baik dalam tugas yang diberikan kepada siswa. Selain itu, hampir tidak ada
praktikum di seluruh topik, menganalisis konsep, di mana peneliti mengatur isi
pembelajaran sesuai dengan tingkat kepentingannya, fokus pada konsep yang sering
disalahpahami oleh siswa, dan merumuskan tujuan pembelajaran berdasarkan kompetensi
dasar yang diperlukan. di tingkat sekolah menengah pertama. Hasil analisis yang dilakukan
peneliti menjadi fokus pengembangan RPP, LKS, dan soal pilihan ganda dua tingkat untuk
tes kemampuan berpikir tingkat tinggi.
Analisis materi juga memperhitungkan hasil ujian nasional 2020, materi optik yang telah
dilaporkan oleh Puspendikbud menyebutkan, bahwa persentase jawaban benar dari indikator yang
diuji tentang penentuan jumlah bayangan yang dihasilkan pada cermin dua sudut adalah 26,76%. dan
persentase indikator yang diuji adalah tentang perbandingan jarak. Objek, bayangan, dan fokus pada
penyandang cacat mata adalah 26,91%. Dari kedua indikator pengujian bahan optik, pengetahuan
siswa masih dalam kategori rendah. Beberapa kendala dari wawancara yang dilakukan oleh siswa
sampel yang telah menerima materi optik adalah tidak dapat menggambarkan berkas cahaya yang
abstrak dan memiliki kemampuan perhitungan matematis yang kompleks. Hal ini dapat menjadi
pertimbangan dalam menyusun RPP ketika menjelaskan konsep-konsep yang berkaitan dengan
perhitungan.
Pada tahap define, beberapa alternatif solusi telah diberikan, antara lain saat
pembelajaran di kelas, siswa perlu dilatih multipresentasi, meliputi verbal, visual, simbolik,
dan matematis, agar siswa aktif (Puspendik Kemdikbud, 2019). Soal penilaian digunakan
tidak hanya pada tataran pengetahuan/pemahaman tetapi juga diterapkan dalam
kehidupan sehari-hari agar siswa mudah mengingat konsep dan pelajaran yang telah
diajarkan (Sheftyawan et al., 2018, hlm. 147-153). Pemberian pertanyaan dalam bentuk
pemecahan masalah juga dapat membantu siswa mengkonstruksi berbagai masalah yang
ada menjadi penjelasan baru (Rahayu & Laksono, 2015, hlm. 29-43). Alternatif solusi yang
telah diberikan menjadi bahan untuk mengembangkan RPP dan LKS.
Perancangan tahap kedua, perancangan tahap ini memiliki tiga langkah yaitu:
Menyiapkan isi RPP dan LKS sesuai kompetensi esensial yang harus dicapai, Peneliti
menemukan bahwa pada tingkat kognitif (KI3), siswa harus mampu mampu menganalisis,
dan pada tingkat psikomotor (KI4), siswa harus menyajikan data eksperimen. Dapat
disimpulkan bahwa KD menuntut siswa untuk menguasai tingkat kognitif C3 (menganalisis)
dan melakukan eksperimen (C4/C5) (Anderson & Krathwohl, 2001). Pada analisis isi, peneliti
menemukan bahwa miskonsepsi siswa terjadi dalam memahami konsep diagram sinar
membentuk bayangan pada cermin datar (Sheftyawan et al., 2018, hlm. 147-153).

29
Jurnal Kependidikan, 6(1), 25-39

Kesalahpahaman tentang sifat dan pembentukan gambar disebabkan oleh penyampaian guru yang
salah (Sutopo, 2014, hlm. 356-368). Hal ini menjadi dasar untuk mengembangkan bahan ajar yang
membantu guru mengajarkan konsep yang benar. Konsep ini dapat diajarkan dengan
memvisualisasikan pancaran sinar sampai terbentuk bayangan. Hasil analisis materi juga menjadi
dasar penyusunan soal untuk menguji kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa.
Memilih media dan model pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan, peneliti menggunakan model
inkuiri kolaboratif terintegrasi TPACK. Para peneliti telah melakukan analisis dan menemukan masalah yang
harus dipecahkan. Peneliti juga mempertimbangkan bagaimana guru dapat memahami siswa dan membuat
pembelajaran menjadi bermakna. Peneliti menemukan beberapa hal untuk membantu guru dalam proses
pembelajaran berbantuan teknologi. Guru menggunakan teknologi untuk membantu mengajarkan konsep
yang kompleks. Peneliti menggunakan fase model pembelajaran kolaboratif yang terdiri dari 4 tahap:
problem framing, mengumpulkan bukti, menganalisis bukti, merayakan, dan berbagi (Donohoo, 2013, hlm.
1-37). Pembelajaran inkuiri kolaboratif membantu siswa meninjau proses berpikir mereka dan
memungkinkan individu untuk mengkomunikasikan ide-ide logis dan memilih solusi yang tepat (Kartika &
Noer, 2019, hal 103-107). Inkuiri kolaboratif berbasis potensi lokal dapat meningkatkan kemampuan berpikir
tingkat tinggi dan kreativitas siswa (Langgeng et al., 2017, hlm. 1-16). Pembelajaran dengan pendekatan
TPACK juga dapat melatih siswa dalam mengamati fenomena, animasi, dan video dalam kehidupan sehari-
hari (Irmita & Atun, 2017, hlm. 84-90). Peneliti bertujuan untuk meningkatkan kemampuan berpikir tingkat
tinggi yang didukung dengan pemanfaatan teknologi berupa bahan ajar menggunakan model inkuiri
kolaboratif yang terintegrasi dengan TPACK.
Pemilihan format penyusunan dan pembuatan kerangka langkah pembelajaran seperti
Tabel 1. LKS dikembangkan sesuai langkah pembelajaran CI-TPACK dan didesain dalam Microsoft
Word. RPP dibagi menjadi empat pertemuan yaitu pertemuan 1 sub bab sifat-sifat cahaya dan
pemantulan pada cermin datar, pertemuan 2 sub bab pemantulan cahaya pada cermin lengkung
(cekung dan cembung), dan pertemuan 3 sub bab pembiasan. pada lensa cekung dan cembung
serta penerapannya pada mata serangga dan pertemuan empat sub bab alat optik. Soal HOTS
dikembangkan dengan pilihan ganda dua tahap yang terdiri dari 15 soal. Peneliti
mengembangkan tes penilaian kognitif menggunakan model pilihan ganda dua tingkat. Soal
pilihan ganda dua tingkat yang terdiri dari pernyataan dan alasan pendukung. Pilihan ganda
dengan dua tingkat dapat mengukur kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa dengan kualitas
hasil yang valid sesuai dengan indikator pencapaiannya (Maulita & Marzuki, 2019, hlm. 1-8).
Masalah dengan model ini juga dapat mengidentifikasi miskonsepsi yang terjadi pada siswa
karena dapat dilihat dari alasan yang diberikan (Peşman & Eryılmaz, 2010, hlm. 208-222).

Tahap ketiga adalah mengembangkan. Pada tahap ini dilakukan uji validasi
RPP, LKS, dan soal pilihan ganda dua tingkat. Validasi digunakan untuk menguji
kelayakan bahan ajar yang telah dikembangkan. Uji kelayakan dilakukan oleh
satu orang dosen program magister, satu orang dosen program sarjana, dan
dua orang guru yang telah mengajar di SMP lebih dari sepuluh tahun. Hasilnya
disajikan pada Tabel 2 dan 3.
Berdasarkan masukan validator diantaranya beberapa penggunaan indikator
pencapaian kompetensi kurang tepat, penulisan tujuan pembelajaran kurang tepat, alokasi
waktu pelaksanaan praktikum diberikan tambahan waktu. Mereka menyimpulkan bahwa
penilaian yang diujikan oleh ahli berada pada kriteria baik dan RPP layak digunakan dengan
sedikit revisi.

30
Nisfah, NL, Purwaningsih, E., & Parno: Optimalisasi inkuiri kolaboratif ...

Tabel 1. Sintaks model inkuiri kolaboratif terintegrasi TPACK untuk kedua


pertemuan

Sintaks CI Komponen TPACK Kegiatan Pembelajaran

Pembingkaian masalah TPACK Guru menggunakan video untuk mempermudah


(Pengetahuan Konten penyampaian pelajaran, dan membantu guru dalam
Pedagogis Teknologi) memvisualisasikan konsep pemantulan pada cermin

cembung

Mengumpulkan data TPACK Guru menggunakan alat eksperimen untuk


(Pengetahuan Konten mempermudah dalam menjelaskan konsep
Pedagogis Teknologi) pembentukan bayangan pada lensa cekung
dan cembung dengan memperhatikan jarak
benda, jarang bayangan dan jarak fokus lensa

Menganalisis Bukti TPACK Guru menggunakan beberapa alat untuk


(Pengetahuan Konten melakukan percobaan dan untuk mempermudah
Pedagogis Teknologi) dalam menjelaskan konsep pembentukan
bayangan pada lensa cekung dan cembung
dengan memperhatikan jarak benda, panjang
bayangan, dan jarak fokus lensa.
Merayakan dan PCK Guru menggunakan pengkondisian klasikal
Membagikan (Konten Pedagogis di kelas untuk mengamati penjelasan hasil
Pengetahuan) analisis dari kelompok lain agar tidak terjadi
kesalahpahaman

Tabel 2. Hasil penilaian indikator kelayakan RPP


bahan
Skor
Tidak Indikasi Kriteria
(%)
1 Kelengkapan RPP (berisi komponen RPP yaitu identitas, 93,75 Sangat bagus
tujuan pembelajaran, materi, metode, kegiatan
pembelajaran, sumber belajar, dan penilaian)
2 Menulis RPP (penomoran, jenis, dan ukuran font) 93,75 Sangat bagus

3 Kecukupan indikator pembelajaran sebagai penanda pencapaian 81,25 Bagus


kompetensi dasar

4 Kesesuaian materi prasyarat dengan isi pelajaran yang 93,75 Sangat bagus
diajarkan
5 Kesesuaian kegiatan pembelajaran dengan sintaks model 93,75 Sangat bagus
inkuiri kolaboratif terpadu TPACK
6 Setiap langkah pembelajaran ditampilkan 93,75 Sangat bagus

7 Kesesuaian perkiraan alokasi waktu dengan kegiatan yang 87.50 Sangat bagus
dilakukan
8 Kesesuaian penggunaan bantuan teknis dengan 87.50 Sangat bagus
komponen TPACK
9 Penggunaan bahasa Indonesia yang benar 100 Sangat bagus

10 Bahasa yang digunakan singkat, jelas, dan tidak menimbulkan 100 Sangat bagus
kesalahpahaman.

31
Jurnal Kependidikan, 6(1), 25-39

Tabel 3. Hasil penilaian kelayakan instrumen LKS


indikator
Skor
Tidak Indikasi Kriteria
(%)
1 Kelengkapan struktur lembar kerja siswa (judul bab, petunjuk 100 Sangat bagus
kerja, informasi pendukung (ilustrasi dan gambar), langkah-
langkah tepat cara mengerjakan soal, langkah-langkah melakukan
eksperimen dan ruang menulis jawaban)
2 Kejelasan format lembar kerja siswa (jenis huruf, ukuran huruf, dan 93,75 Sangat bagus
sistem penomoran)
3 Tampilan lembar kerja siswa (tata letak, gambar, 100 Sangat bagus
tabel, dan diagram)
4 LKS sesuai dengan indikator 93,75 Sangat bagus
5 Kesesuaian tugas dan bagaimana urutannya dengan isi 93,75 Sangat bagus
pelajaran
6 Tugas sesuai, dan model inkuiri kolaboratif 93,75 Sangat bagus
terintegrasi TPACK untuk meningkatkan HOTS siswa.
7 Penggunaan bahasa Indonesia yang benar 93,75 Sangat bagus
8 Bahasa yang digunakan singkat, jelas, dan tidak 93,75 Sangat bagus
menimbulkan kesalahpahaman.
9 Kesederhanaan bahasa yang digunakan dan kesesuaian 87.50 Sangat bagus
bahasa dengan tingkat berpikir siswa

Berdasarkan masukan validator, masih terdapat petunjuk kerja yang kurang jelas pada LKS. Kesimpulan yang diperoleh adalah

penilaian dalam kriteria baik dan LKS layak digunakan dengan sedikit revisi. Revisi minor yang telah direvisi antara lain kejelasan kata perintah

dalam melakukan eksperimen dan penggunaan bahasa Indonesia yang baku dan mudah dipahami. Indikator penilaian kelayakan soal twotier

antara lain kesesuaian butir soal dengan indikator HOTS, ketepatan soal, ketepatan jawaban, penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan

benar, dan rumusan soal mudah dipahami. Tidak menimbulkan tanda interpretatif Berdasarkan hasil penilaian terdapat beberapa masukan

dari validator, diantaranya penulisan ejaan bahasa Indonesia yang kurang tepat, ada beberapa indikator yang belum benar, ada 1 soal yang

tidak sesuai dengan maksud validator, sehingga ada 1 soal revisi. Kesimpulannya adalah penilaian untuk mengetahui perbedaan sebelum dan

sesudah diberikan inkuiri kolaboratif indikator uji kelayakan oleh ahli adalah kriteria baik. Soal HOTS dengan pilihan ganda dua tingkat layak

digunakan dengan sedikit revisi (Gambar 1). Revisi minor yang telah direvisi antara lain kesesuaian indikator HOTS dengan butir soal yang

diberikan, dan kesalahan kunci jawaban dengan soal. Kesimpulannya adalah penilaian untuk mengetahui perbedaan sebelum dan sesudah

diberikan inkuiri kolaboratif indikator uji kelayakan oleh ahli adalah kriteria baik. Soal HOTS dengan pilihan ganda dua tingkat layak digunakan

dengan sedikit revisi (Gambar 1). Revisi minor yang telah direvisi antara lain kesesuaian indikator HOTS dengan butir soal yang diberikan, dan

kesalahan kunci jawaban dengan soal. Kesimpulannya adalah penilaian untuk mengetahui perbedaan sebelum dan sesudah diberikan inkuiri

kolaboratif indikator uji kelayakan oleh ahli adalah kriteria baik. Soal HOTS dengan pilihan ganda dua tingkat layak digunakan dengan sedikit

revisi (Gambar 1). Revisi minor yang telah direvisi antara lain kesesuaian indikator HOTS dengan butir soal yang diberikan, dan kesalahan

kunci jawaban dengan soal.

Pada tahap ketiga, soal HOTS pilihan ganda juga diujicobakan pada 33 siswa yang
telah mengambil materi untuk menguji validitas, reliabilitas, diferensiasi, dan kesukaran
soal. Setelah dianalisis menggunakan SPSS 16.0, analisis tersebut valid karena jumlah
responden 33 (r meja
= 0,344 {5%}), maka untuk menentukan kriterianya:r >r
dua kritis
=
sah. Kesimpulan: 15 soal dalam kategori valid, 11 soal memiliki daya berbeda dalam kategori
baik, dan empat soal memiliki daya berbeda dalam kategori sangat baik, 13 soal.

32
Nisfah, NL, Purwaningsih, E., & Parno: Optimalisasi inkuiri kolaboratif ...

Gambar 1. Soal PANAS dengan pilihan ganda dua tingkat

soal memiliki tingkat kesulitan dalam kategori sedang, dan dua soal memiliki tingkat kesulitan dalam
kategori mudah. 15 pertanyaan memiliki kategori reliabilitas tinggi (r = 0,869).Setelah siswa selesai
mengerjakannya, mereka diminta untuk menilai pertanyaan, dan dibuatlah penilaian, seperti terlihat
pada Tabel 4.

33
Jurnal Kependidikan, 6(1), 25-39

Tabel 4. Hasil penilaian instrumen soal HOTS pada uji coba terbatas
Skor
Tidak Indikasi Kriteria
(%)
1 Kalimatnya mudah dipahami 84.09 Bagus

2 Arti pertanyaan dapat dimengerti Menggunakan 83,33 Bagus


3 istilah yang jelas 82.58 Bagus
4 Petunjuk yang diberikan jelas Penggunaan 81,06 Bagus
5 tanda baca dan ejaan yang benar 84.09 Bagus

Hasil validasi dianalisis secara deskriptif persentase dan disimpulkan bahwa


RPP, LKS, dan soal layak dengan catatan tertentu. Hasil uji coba lapangan, soal
pilihan ganda dua tingkat yang telah dianalisis dengan SPSS 16.0, dalam
perhitungan validitas karena jumlah responden adalah 33 (r = 0,344 (5%)) meja
kemudian, untuk menentukan kriteria:rdua kritis
>r= sah. Hasil analisis menyimpulkan bahwa
15 pertanyaan berada dalam kategori benar dan kategori reliabilitas tinggi (r=0,869).
Pada tahap Develop, bahan ajar diimplementasikan di dua kelas yang terdiri
dari 31 siswa. Pembelajaran dilakukan di rumah guru karena masih dalam masa
pandemi. Pertemuan pertama dengan sub bab materi sifat-sifat cahaya dan
pemantulan pada cermin datar dengan praktikum cermin siku, dan pelaksanaan
pembelajaran sebesar 94%. Pertemuan kedua dengan sub materi refleksi pada
cermin lengkung, praktikum pembentukan bayangan pada cermin cekung, dan
pelaksanaan pembelajaran sebesar 92%. Pertemuan ketiga dengan sub materi
pembiasan cahaya dengan praktikum pembiasan pada lensa cembung, dan
pelaksanaan pembelajaran sebesar 94%. Pertemuan keempat dengan sub materi
alat optik dengan pembuatan produk berupa teleskop, 80% hasil belajar.
Hasil wawancara sebelum pelaksanaan diperoleh, siswa selama pembelajaran IPA-Fisika
belum pernah melakukan praktikum, dan guru belum menggunakan teknologi dalam
pembelajaran, hanya menggunakan LKS dan menjelaskan di papan tulis. Setelah pembelajaran
pertama, dilakukan wawancara dengan sampel siswa. Siswa antusias dalam belajar namun masih
bingung dalam membuat soal-soal yang terfokus pada masalah dan menganalisis hasil
eksperimen. Pada pertemuan ketiga dan keempat terlihat siswa lebih cepat dalam membuat soal
dan hanya membutuhkan bantuan dalam menganalisis hasil percobaan. Berdasarkan wawancara
dengan guru sebelumnya yang mengajar di kelas, ditemukan bahwa rata-rata siswa lemah dalam
perhitungan matematis. Penelitian Winarti, Rahmini, dan Almubarak (2019, hlm. 172-186),
menyatakan bahwa keterampilan berhitung matematis dapat mempengaruhi berpikir kritis
siswa. Kemampuan berpikir dalam menganalisis sangat dipengaruhi oleh kemampuan berhitung
siswa. Hasil observasi praktikum pada setiap pertemuan mengalami peningkatan kecepatan
dalam menyelesaikan analisis dan menyimpulkan hasil eksperimen.

Implementasi bahan ajar juga menemukan bahwa pengetahuan guru tentang teknologi,
pedagogi, dan konten pengetahuan (TPACK) sangat berpengaruh dalam proses pengajaran. Didukung
oleh kajian Sutopo (2014, hlm. 356-368) tentang pembelajaran materi optik, guru harus memfasilitasi
siswa dalam menggali pengetahuan faktual siswa dan memvalidasi materi yang diajarkan serta
mengecek kembali apa yang dikatakan siswa.

34
Nisfah, NL, Purwaningsih, E., & Parno: Optimalisasi inkuiri kolaboratif ...

Analisis data penelitian kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa pada materi optik setelah
diajar dengan pembelajaran Collaborative Inquiry terpadu TPACK dilakukan secara bertahap.
Tahap analisis yang dilakukan adalah statistik deskriptif, uji prasyarat, uji statistik daya beda, gain
score ternormalisasi, dan effect size. Hasil Deskriptif Kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa
pada dua kelas disajikan pada Tabel 5 dan 6.

Tabel 5. Hasil Deskriptif Pretest dan Posttest Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi
kelas 9A
N Berarti Std. Deviasi Minimum Maksimum
Tes awal 16 8.06 7.94 0.00 20.00
Posttest 16 59.69 34.38 0.00 93.00

Tabel 6. Hasil Deskriptif Pretest dan Posttest Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi
kelas 9B
N Berarti Std. Deviasi Minimum Maksimum
Tes awal 15 15.67 12.49 0.00 46.00
Posttest 15 37.40 29,99 0.00 80.00

Setelah diperoleh data pretest dan posttest, dilanjutkan dengan tes prasyarat. Uji
prasyarat pada dua kelas dilakukan dalam bentuk uji normalitas menggunakan Shapiro
Wilk dengan hasil seperti pada Tabel 7 dan 8.

Tabel 7. Data hasil uji normalitas saphiro wilk pretest dan posttest high-order
keterampilan berpikir kelas 9A
Statistik df Tanda tangan. Keterangan
Tes awal 0,800 16 0,003 Tidak Didistribusikan Biasanya Tidak

Posttest 0,855 16 0,016 Didistribusikan Secara Normal

Tabel 8. Data hasil uji normalitas saphiro wilk pretest dan posttest high-order
keterampilan berpikir kelas 9B
Statistik df Tanda tangan. Keterangan
Tes awal 0,916 15 0,170 Didistribusikan Biasanya
Posttest 0,891 15 0,071 Didistribusikan Biasanya

Hasil uji normalitas Shapiro Wilk menunjukkan bahwa data pretest dan posttest
kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa materi optik kelas 9A tidak berdistribusi normal
seperti pada Tabel 7. Kesimpulan yang menunjukkan data pretest dan posttest tidak
berdistribusi normal didasarkan pada nilai signifikansi pretest dan posttest sebesar 0,003
dan 0,016 yang lebih kecil dari nilai =0,05 (Leech, Barrett, & Morgan, 2005). Hasil uji
normalitas Shapiro Wilk pada Tabel 8 menunjukkan bahwa data pretest dan posttest
kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa pada materi optik kelas 9B berdistribusi normal.
Kesimpulan yang menunjukkan data pretest dan posttest berdistribusi normal berdasarkan

35
Jurnal Kependidikan, 6(1), 25-39

nilai signifikan pretest dan posttest sebesar 0,170 dan 0,071 yang lebih besar dari
nilai =0,05 (Leechdkk.,2005).
Pada kelas 9A, data pretest dan posttest yang tidak berdistribusi normal kemudian
dianalisis menggunakan uji Wilcoxon Signed Rank Test nonparametrik. Berdasarkan output
dari Wilcoxon Signed Rank Test diketahui bahwa Asymp.Sig (2-tailed) memiliki nilai 0,001.
Nilai dari0,001<0,05,dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan antara nilai pretest dan
nilai posttest kemampuan berpikir tingkat tinggi materi optik pada siswa kelas 9A (Hake,
1998, hlm. 64-74).
Pada kelas 9B, data pretest dan posttest berdistribusi normal kemudian dianalisis
dengan menggunakan uji parametrik Paired Sample T-Test. Berdasarkan output Uji Statistik
pada Paired Sample T-Test diketahui bahwa Sig (2-tailed) memiliki nilai 0,018. Nilai 0,018 <
0,05 maka dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan antara nilai pretest dan nilai
posttest kemampuan berpikir tingkat tinggi materi optik pada siswa kelas 9B (Hake, 1998,
hlm. 64-74).
Selanjutnya nilai pretest dan posttest pada kedua kelas diuji secara statistik
menggunakan Normalized Gain Score dan effect size test. Nilai pretest dan posttest
dianalisis dengan menghitung data skor perolehan rata-rata ternormalisasi (N-Gain) untuk
mengetahui peningkatan kemampuan berpikir tingkat tinggi. Hasil uji statistik Normalized
Gain Score dan effect size ditunjukkan pada Tabel 9.

Tabel 9. Hasil uji gain score dan effect size yang dinormalisasi
Kelas Kriteria Skor Kategori
9A N-Gain (gunakan mean) 0,56 Sedang
Ukuran Efek 1,39 Kuat
9B N-Gain 0,24 Rendah

Ukuran Efek 0,58 Sedang

Kekuatan perbedaan nilai rata-rata pretest dan posttest dianalisis dengan menggunakan
ukuran efek. kelas 9A menunjukkan nilai N-Gain <g>sebesar 0,56 yang termasuk dalam kategori
sedang, berdasarkan nilai gain ternormalisasi0,3 (<g>) <0,7 (Hake, 1998, hlm. 64-74). Berdasarkan
hasil perhitungan Normalized Gain Score dapat disimpulkan bahwa peningkatan nilai pretest
sampai posttest keterampilan berpikir tingkat tinggi siswa melalui pembelajaran inkuiri
kolaboratif terpadu TPACK termasuk dalam kategori sedang. Kelas 9B menunjukkan nilai N-Gain
<g>sebesar 0,24 yang termasuk dalam kategori rendah, berdasarkan nilai gain ternormalisasi (<
g>) <0,7 (Hake, 1998, hlm. 64-74). Berdasarkan perhitungan Normalized Gain Score dapat
disimpulkan bahwa peningkatan skor pretest hingga posttest kemampuan berpikir tingkat tinggi
siswa melalui pembelajaran inkuiri kolaboratif terpadu TPACK termasuk dalam kategori rendah.

Pada kelas 9A, menunjukkan hasil perhitungan nilai effect size sebesar 1,39. Hal ini menunjukkan
bahwa pengaruh pembelajaran inkuiri kolaboratif terpadu TPACK materi optik terhadap kemampuan
berpikir tingkat tinggi siswa berada pada kategori kuat (Cohen, Manion, & Morrison, 2007). Kelas 9B
menunjukkan hasil perhitungan nilai effect size sebesar 0,58. Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh
pembelajaran inkuiri kolaboratif terpadu TPACK materi optik terhadap kemampuan berpikir tingkat
tinggi siswa berada pada kategori sedang (Cohendkk.,2007).

36
Nisfah, NL, Purwaningsih, E., & Parno: Optimalisasi inkuiri kolaboratif ...

Rata-rata nilai posttest tidak terlalu signifikan karena beberapa penyebab yang diamati, antara lain:
siswa masuk ke rumah guru menyebabkan terkadang banyak yang tidak serius, menempuh jarak sekolah
yang terlalu jauh sehingga anak kurang konsentrasi saat dijelaskan, banyak yang lupa cara menghitung
matematika yang sangat sederhana, dan yang paling terlihat adalah pembelajaran konvensional yang biasa
membuat mereka sulit berpikir analis dan berpikir tingkat tinggi.
Berdasarkan hasil wawancara setelah melakukan pembelajaran ditemukan: siswa mengalami
kesulitan dalam mendeskripsikan pembentukan bayangan karena harus menyesuaikan dengan letak
benda khusus dan sinar serta analisis yang menghitung jarak benda, jarak bayangan, fokus jarak dan
jarak bayangan. Hal lain yang membuat mereka antusias belajar dan berpartisipasi adalah teknologi
yang digunakan guru dalam menyampaikan materi dan pembelajaran aktif dalam kelompok.
Pembelajaran dalam kelompok sangat berpengaruh terhadap semangat belajar di kelas dan dapat
meningkatkan kemampuan menyampaikan pendapat dalam diskusi serta melengkapi kemampuan
siswa yang heterogen.

KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian pengembangan dan pembahasan dalam
penelitian ini, maka dapat disimpulkan sebagai berikut. Penelitian ini bertujuan
untuk mengembangkan konten pembelajaran yang menggunakan model inkuiri
kolaboratif terpadu TPACK untuk meningkatkan kemampuan berpikir tingkat
tinggi siswa SMA pada materi sifat-sifat cahaya dan optik yang terdiri dari RPP,
LKS dan soal pilihan ganda dua tahap. Hasil penilaian kelayakan RPP dan LKS
oleh pakar dan pengguna kriteria baik. Mereka cocok untuk digunakan dengan
revisi kecil. Sedangkan hasil validasi dan uji kelayakan dari 15 soal pilihan ganda
dua tahap diperoleh 15 soal dalam kategori valid dengan reliabilitas tinggi (r =
0,869).

Kesimpulan dari hasil implementasi bahan ajar yang telah dikembangkan adalah bahwa bahan
ajar dengan model Collaborative Inquiry terintegrasi TPACK dapat mempengaruhi perbedaan hasil
pretest dan posttest kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa. Hal ini dapat menjadi acuan model
pembelajaran yang mengaitkan pemanfaatan teknologi dalam meningkatkan keterampilan berpikir
tingkat tinggi, sehingga dapat mempersiapkan keterampilan masa depan.
Beberapa temuan yang diperoleh dalam proses penerapan bahan ajar antara lain: peran guru
dalam menggunakan teknologi sangat berpengaruh terhadap semangat belajar siswa, penguasaan
guru terhadap materi yang disampaikan akan mempengaruhi kemampuan berpikir siswa, dan
pembelajaran kelompok juga berdampak positif terhadap lingkungan belajar siswa.

REFERENSI
Agustini, F., & Fajriyah, K. (2018). Analisis keterampilan berpikir tingkat tinggi siswa SD
pilot project Kurikulum 2013 Kota Semarang.Sekolah Dasar, 5(1), 1-6. Anderson,
LW, & Krathwohl, DR (2001).Taksonomi untuk belajar, mengajar, dan
menilai: Revisi taksonomi Bloom tujuan pendidikans. Addison Wesley
Longman, Inc.
Arikunto, S. (2008).Dasar-dasar evaluasi pendidikan.Bumi Aksara.

37
Jurnal Kependidikan, 6(1), 25-39

Chinedu, CC, Olabiyi, OS, & Kamin, YB (2015). Strategi untuk meningkatkan tatanan yang lebih tinggi
keterampilan berpikir dalam proses belajar mengajar pendidikan desain dan teknologi.
Jurnal pendidikan dan pelatihan teknis, 7(2), 35-43.
Cohen, L., Manion, L., & Morrison, K. (2007).Metode penelitian dalam pendidikan (6thed.).
Routledge.
Donohoo, J. (2013).Penyelidikan kolaboratif untuk pendidik: Panduan fasilitator ke sekolah
peningkatan.Korwin Pers.
Hake, RR (1998). Keterikatan interaktif versus metode tradisional: Asix ribu siswa
survei data tes mekanika untuk mata kuliah pengantar fisika.Jurnal Fisika Amerika,
66(1), 64-74. https://doi.org/10.1119/1.18809.
Hayati, DK, Sutrisno, S., & Lukman, A. (2014). Pengembangan kerangka kerja TPACK
pada materi koloid untuk meningkatkan aktivitas pembelajaran dalam mencapai HOTS
siswa.Edu-Sains, 3(1), 53-61.
Irmita, LU, &Atun, S. (2017). Pengembangan perangkat pembelajaran menggunakan pende-
katan TPACK untuk meningkatkan literasi sains.JTK (Jurnal Tadris Kimiya), 2(1), 84-90. Kartika, E., &
Noer, SH (2019).Pembelajaran inkuiri kolaboratif untuk meningkatkan kemampuan siswa
kemampuan berpikir reflektif matematis.Dalam 3rdSimposium Pendidikan Asia (AES 2018)
(hlm. 103-107). Pers Atlantis.
Koehler, M., & Mishra, P. (2009). Apa itu pengetahuan konten pedagogis teknologi?
(TPAK)?Isu kontemporer dalam teknologi dan pendidikan guru, 9(1), 60-70.
Koehler, MJ, Mishra, P., & Kain, W. (2013). Apa itu konten pedagogis teknologi?
pengetahuan (TPACK)? Jpendidikan terakhirn,193(3), 13-19.
Kurniati, D., Harimukti, R., & Jamil, NA (2016). kemampuan berpikir tinggi
siswa SMP di Kabupaten Jember dalam menyelesaikan soal berstandar PISA.Jurnal
Penelitian dan Evaluasi Pendidikan, 20(2), 142-155.
Langgeng, Sajidan, & Prayitno, BA (2017). Pengembangan model pembelajaran inkuiri
kolaboratif berbasis potensi lokal dan implementasinya pada materi tumbuhan lumut
dan paku.Inkuiri, 6(1), 66191.
Lintah, NL, Barrett, KC, & Morgan, GA (2005).SPSS untuk statistik menengah: Gunakan
dan interpretasi (2daned.). Lawrence Erlbaum
Lopes, RP, Mesquita, C., Río-Rama, MDLC, & lvarez-García, J. (2018). kolaboratif
pengalaman belajar untuk pengembangan berpikir tingkat tinggi.Espacios, 39(17).
Mairisiska, T., Sutrisno, &Asrial,A. (2014). Pengembangan perangkat pembelajaran berbasis
TPACK pada materi sifat koligatif dari solusi untuk meningkatkan keterampilan berpikir
kritis siswa.Edu-Sains, 3(1), 28-37.
Malik, S., Rohendi, D., & Widiaty, I. (2019).Pengetahuan konten pedagogis teknologi
(TPACK) dengan integrasi teknologi informasi dan komunikasi (TIK): Tinjauan literatur.
Dalam 5thKonferensi Internasional UPI tentang Pendidikan dan Pelatihan Teknik dan
Kejuruan (ICTVET 2018) (hal. 498-503). Pers Atlantis.
Maulita, SR, & Marzuki, A. (2019). Validitas konten: Pilihan ganda dua tingkat
instrumen untuk mengukur kemampuan berpikir tingkat tinggi.Jurnal Fisika: Seri
Konferensi, 1155(1), hal 1-8.
Muspawi, M., Suratno, & Ridwan. (2019). Upaya peningkatan kemampuan berpikir tingkat tinggi
(HOTS) siswa melalui penerapan model inquiri di SMANegeri 9 Tanjung Jabung Timur.
Jurnal Ilmiah Universitas Batanghari Jambi, 19(2), 208-214.

38
Nisfah, NL, Purwaningsih, E., & Parno: Optimalisasi inkuiri kolaboratif ...

Purwanto, MN (2010).Prinsip-prinsip dan teknik evaluasi pengajaran.PT Remaja


Rosdakarya.
Peşman, H., & Eryılmaz, A. (2010). Pengembangan tes tiga tingkat untuk menilai miskonsepsi
tentang rangkaian listrik sederhana.Jurnal penelitian pendidikanr,103(3), 208-222. Pouezevara, S.,
Mekhael, S., & Darcy, N. (2014). Merencanakan dan mengevaluasi TIK dalam pendidikan
program yang menggunakan empat dimensi keberlanjutan: Evaluasi program dari Mesir.
Jurnal Internasional Pendidikan dan Pengembangan menggunakan ICT, 10(2), 120-141.
Puspendik, Kemdikbud (2019).Laporan hasil ujian nasional 2018-2019.http://hasilun.
pespendik.kemdikbud.go.id.
Raes, A., & Schellens, T. (2015). Mengungkap efek motivasi dan tantangan web-
berbasis pembelajaran inkuiri kolaboratif di berbagai kelompok peserta didik.Penelitian dan
Pengembangan Teknologi Pendidikan, 63(3), 405-430. https://doi.org/10.1007/
s11423-015-9381-x.
Rahayu, R., & Laksono, EW (2015). Pengembangan perangkat pembelajaran IPA berbasis
pembelajaran berbasis masalah di SMP.Jurnal Kependidikan: Penelitian Inovasi Pembelajaran, 45(
1), 29-43.
Sheftyawan, WB, Prihandono, T., & Lesmono, AD (2018). Identifikasi miskonsepsi siswa
menggunakan uji diagnostik empat tingkat pada material optik geometri.Jurnal Pembelajaran
Fisika, 7(2), 147-153.
Sipayung, HD (2018).Pengaruh model pembelajaran cooperative inquiry terhadap
keterampilan 4C siswa di SMA (Disertasi Doktor, UNIMED). Sutopo. (2014). Miskonsepsi
pada optika geometri dan remidiasinya.J-TEQIP, 5(2), 356-368. Syarif,A., Djudin, T., &
Hamdani. (2016). Remediasi miskonsepsi cermin datar menggunakan
siklus pembelajaran 5E berbantuan konsep LKS kartun di SMA.Jurnal Pendidikan dan
Pembelajaran, 5(6).
Tanak, A. (2020). Merancang kursus berbasis TPACK untuk mempersiapkan guru siswa untuk mengajar
sains dengan pengetahuan konten pedagogis teknologi.Jurnal Ilmu Sosial
Kasetsart, 41(1), 53-59.
Thiagarajan, S. (1974).Pengembangan instruksional untuk melatih guru luar biasa
anak-anak: Sebuah buku sumber.Lembaga Pelatihan Kepemimpinan/Pendidikan Khusus, University of
Minnesota.
Tvenge, N., & Martinsen, K. (2018). Integrasi pembelajaran digital di industri 4.0.procedia
manufaktur, 23,261-266.
Winarti, A., Rahmini, A., & Almubarak. (2019). Efektivitas strategi pemecahan masalah
kolaboratif berbasis kecerdasan majemuk untuk meningkatkan keterampilan berpikir
kritis.Jurnal Kependidikan: Penelitian Inovasi Pembelajaran, 3(2), 172-186.

39

Anda mungkin juga menyukai