Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pendidikan abad 21 adalah pendidikan era digital yang

memanfaatkan teknologi dalam proses pembelajaran. Melalui pendidikan

di Indonesia, harapannya dapat dihasilkan Sumber Daya Manusia (SDM)

yang memiliki kompetensi unggul untuk menghadapi tantangan global

abad 21, sehingga tidak menjadi beban negara. Pendidikan dituntut untuk

dapat menciptakan generasi yang terampil menggunakan teknologi, dapat

bertahan dengan menggunakan life skill, yang berupa hard skill dan soft

skill yang didalamnya termasuk kemampuan berpikir tingkat tinggi

(Trilling & Fadel, 2009: 40-51). Dalam penerapanya, ini juga berlaku

dalam pembelajaran IPA.

Bansford et.al. dalam National Science Education Standard

mengemukakan bahwa literasi IPA meliputi konten IPA dan penggunaan

teknologi dalam mencapai tujuan pembelajaran. “In the national science

Education Standards, a central component of scientific literacy is the

appropriate use of technology to support learning goals”. Komponen

utama dari literasi sains adalah penggunaan teknologi yang tepat untuk

mendukung tujuan pembelajaran. Termasuk untuk mengembangkan

konten sains dan keterampilan penalaran ilmiah (Sandra, 2010: 473).

Dikatakan juga bahwa “Scientific literacy is the knowledge and und

erstanding of scientific concepts and processes required forpersonal

1
decision making, participation in civic and cultural affairs, and economic

productivity. It also includes specific types of abilities” (National Research

Council, 1996: 21). Secara tidak langung literasi IPA membantu seseorang

untuk dapat mengidentifikasi persoalan IPA berdasarkan pemecahan

masalah secara ilmiah dan memanfaatkan teknologi informasi (National

Research Council, 1996: 23).

Penggunaan teknologi dalam pembelajaran IPA didukung oleh

pemerintah melalui salinan lampiran Peraturan Menteri Pendidikan dan

Kebudayaan nomor 22 tahun 2016 tentang standar proses pendidikan

dasar dan menengah. Didalamnya dinyatakan bahwa sesuai dengan SKL

dan Standar Isi (SI), maka prinsip pembelajaran yang digunakan

menekankan pada peningkatan dan keseimbangan antara keterampilan

fisikal (hard skill) dan keterampilan mental (soft skill), serta pemanfaatan

teknologi informasi dan komunikasi untuk meningkatkan efisiensi dan

efektivitas pembelajaran. Maka dari itu, pada era digital ini guru juga

dituntut untuk dapat mengimplementasikan teknologi secara optimal

untuk memfasilitasi aktivitas pembelajaran yang dapat mendorong

pengembangan kemampuan peserta didik.

Selain kemahiran dalam menggunakan teknologi dalam

pembelajaran IPA, guru juga juga dituntut untuk dapat membekali peserta

didik dengan kemampuan berpikir yang baik melalui kegiatan

pembelajaran IPA. Sebagai upaya memepersiapkan generasi unggul yang

dapat bersaing di era global abad 21. Sebagaimana dikemukakan dalam

2
National Science Education Standards (1996: 20) bahwa pembelajaran

IPA adalah pembelajaran aktif yang juga melibatkan “minds-on”

experiences. Kemampuan berpikir merupakan kemampuan akal secara

sadar untuk mengolah pengetahuan yang telah diterima melalui panca

indra untuk memecahkan masalah secara lebih efektif dan efisien dalam

upayanya bertahan hidup dan mempertahankan eksistensinya (Adun

Rusyna, 2014: 2-5).

Kemampuan berpikir tingkat tinggi atau High Order Thinking

Skills (HOTS) merupakan salah isu kecerdasan abad ke-21 yang meliputi

kemampuan menganalisis, mengevaluasi, dan mencipta. Kemampuan

berpikir perlu dilatih secara bertahap. Kemampuan berpikir analisis adalah

langkah awal untuk melatih peserta didik agar dapat mencapai tahap-tahap

kemampuan High Order Thinking Skills (HOTS) yang lebih tinggi. Ketika

peserta didik sudah mampu diajak untuk berpikir analisis dengan baik,

maka peserta didik dapat dilatih untuk mencapai tahap evaluasi dan

mencipta. Kemampuan berpikir analisis ini penting untuk dikembangkan,

agar peserta didik mampu memecahkan masalahnya secara lebih efektif

dan efisien, baik untuk saat ini maupun untuk masa yang akan datang

(Trilling & Fadel, 2009: 40-51).

Upaya mengembangkan kemampuan berpikir analisis peserta didik

dapat dilakukan melalui kegiatan inquiry. Pembelajaran inkuiri merupakan

pemanfaatan dan penggunaan otak secara maksimal untuk berpikir

(Suyadi, 2013: 120). Roth, & Rochyhoudhury mengemukakan bahwa

3
“inquiry-based science experiences conducted in relevant, meaningful

context have been shown to develop higher order thingking skill in

students (Bajpai, 2013: 45). Andrew, et.al. mengemukakan bahwa

pendekatan guided inquiry IPA dapat meningkatkan pemahaman peserta

didik. Saat peserta didik memahami lebih banyak konsep dan proses IPA,

kemampuan mereka dalam menjelaskan akan menjadi lebih canggih, yang

mencerminkan basis pengetahuan ilmiah yang luas, logis, tingkat analisis

yang lebih tinggi, dan kritis (National Research Council, 1996: 117).

Berdasarkan hasil PISA 2015, yang mengujikan soal-soal dengan

kemampuan berpikir tingkat tinggi untuk anak usia SMP, dapat diketahui

bahwa rata-rata skor pencapaian peserta didik di Indonesia untuk sains,

membaca, dan matematika secara berturut-turut berada di peringkat 62, 61,

dan 63 dari 70 negara. Peringkat ini tidak berbeda jauh dari hasil tes dan

survey PISA tahun 2012, yang menunjukkan bahwa Indonesia menduduki

peringkat 64 dari 65 negara. Data ini menunjukkan bahwa kemampuan

berpikir tingkat tinggi peserta didik di Indonesia masih rendah, dan perlu

ditingkatkan. Hasil PISA ini dikuatkan dengan data hasil observasi

pembelajaran di dua sekolah menengah pertama, diketahui bahwa soal-

soal “HOT” sudah diberikan kepada peserta didik ketika proses

pembelajaran IPA berlangsung, namun sebagian besar peserta didik

memiliki masih mengalami kesulitan.

Kegiatan yang cocok untuk mengembangkan kemampuan berpikir

analisis ini salah satunya adalah inquiry, dan cara yang paling cocok untuk

4
menerapkan pendekatan inquiry adalah melalui kegiatan berbasis

laboratorium. Berdasarkan fakta di lapangan, pelaksanaan kegiatan

laboratorium belum optimal dan guru masih kesulitan dalam menerapkan

kegiatan laboratorium dalam pembelajaran IPA di sekolah, sehingga

jarang dilakukan. Alasanya antaralain karena keterbatasan alokasi waktu

pembelajaran, membutuhkan banyak waktu dalam menyiapkan alat dan

bahan, memberikan instruksi kegiatan eksperimen, mengkondisikan

peserta didik, melakukan konfirmasi ulang terhadap hasil yang diperoleh

peserta didik, sedangkan laboratorium IPA yang ada hanya satu untuk

duabelas kelas. Berdasarkan beberapa hasil penelitian, dapat diketahui

bahwa laboratorium virtual dapat memenuhi dan melengkapi kebutuhan

penyelidikan sebagaimana kegiatan laboratorium yang dilakukan secara

real. Dengan kemampuan modeling dan simulasinya laboratorium virtual

memiliki kelebihan dibandingkan dengan kegiatan laboratorium

konvensional sebagai berikut: (1) murah, (2) praktikum bisa dilakukan

dimana saja dan kapan saja, (3) membantu mengatasi kekurangan alat,

(4) memungkinkan siswa memilih sendiri percobaan yang akan

dilakukan; (5) memungkinan siswa mengulang bagian praktikum

laboratorium yang kurang jelas, (6) meningkatkan keterlibatan siswa;

(7) merangsang siswa untuk bekerja dan memecahkan masalah secara

mandiri; (8) meningkatkan pemahaman konsep anak pada konsep yang

bersifat abstrak (Hardyanto, 2012: 6-7). Knapp & Allen (1996: 116) juga

menambahkan bahwa laboratorium elektronik dapat melakukan hands-on

5
experience dengan peralatan yang lebih mudah, lebih aman, dan lebih

ringkas dibandingkan secara tradisional.

Berdasarkan observasi fasilitas sekolah, sudah tersedia dua

ruangan laboratorium komputer, LCD, proyektor, dan wifi. Di sisi lain

ketersediaan fasilitas teknologi ini belum dimanfaatkan secara maksimal

untuk mengoptimalkan pencapaian tujuan pembelajaran IPA yang

diharapkan. Keberadaan laboratorium komputer dan fasilitas IT ini

seharusnya dapat digunakan sebagai media penunjang kegiatan

pembelajaran, untuk mempercepat guru dalam proses penyampaian materi

dan memaksimalkan pencapaian tujuan pembelajaran. Sebagaimana fungsi

media pembelajaran adalah sebagai alat yang dapat membantu proses

pembelajaran, untuk memperjelas makna pesan yang disampaikan

sehingga tujuan pengajaran dapat tercapai lebih baik,dan lebih sempurna

(Daryanto, 1993: 25).

Berdasarkan observasi pembelajaran, pembelajaran IPA yang ada

masih berpusat pada guru, dan peserta didik kurang aktif dalam proses

pembelajaran. Guru hendaknya dapat membuat pembelajaran dikelas

menjadi lebih aktif. Sebagaimana dinyatakan dalam National Science

Education Standards, bahwa pada prinsipnya pembelajarn IPA merupakan

proses aktif yang melibatkan hands-on dan minds-on experiences. Hands-

on experience yang dimaksud adalah melakukan proses-proses ilmiah,

sedangkan minds-on experience adalah kegiatan berpikir seperti

memecahkan masalah, dan berpikir analisis. Pembelajaran yang dilakukan

6
untuk mengaktifkan peserta didik ini dapat dilakukan dengan kegiatan

penyelidikan yang berbasis inkuiri (National Research Council, 1996: 20).

Collete & Chiapetta (1994: 86-87) mengemukakan bahwa

pendekatan inquiry menekankan pada pembelajaran aktif, yang membekali

guru untuk mengembangkan lingkungan belajar yang dapat menstimulasi

rasa ingin tahu peserta didik dan keinginan peserta didik untuk melakukan

kegiatan penyelidikan. Melalui pendekatan inquiry, peserta didik juga

dapat membangun konsep mereka sendiri dengan lebih baik, untuk dapat

mengembangkan kemampuan pola penalaran mereka secara lebih efektif

(Bajpai, 2013: 45). Salah satu jenis inquiry ini adalah guided inquiry.

Alasan menggunakan pendekatan guided inquiry (inkuiri terbimbing),

karena berdasarkan observasi peserta didik masih membutuhkan

bimbingan guru. Sesuai dengan pernyataan (Asih, 2014: 81) yang

mengemukakan bahwa pendekatan inkuiri di tingkat SMP masih tahap

inkuiri terbimbing.

Dari berbagai pemaparan permasalahan di atas, peneliti

menganalisis bahwa dibutuhkan alternaltif media pembelajaran yang lebih

efektif, praktis, dan efisien. Dalam hal ini, media yang akan dikembangkan

yaitu virtual laboratory. Virtual laboratory ini dapat mengatasi

permasalahan pada kegiatan laboratorium real, seperti mempersingkat

proses IPA yang membutuhkan waktu lama, sehingga dapat mempercepat

proses penyampaian materi, virtual laboratory dapat menghemat waktu

untuk menyiapkan alat dan bahan, memberikan instruksi eksperimen, dan

7
konfirmasi hasil. Animasi dan simulasi kegiatan laboratorium yang

disajikan dalam virtual laboratory merupakan lingkungan yang cocok

untuk menerapkan pembelajaran berbasis inquiry. Virtual laboratory

cocok untuk materi-materi yang sifatnya eksperimental dan abstrak seperti

gerak pada tumbuhan.

Berdasarkan wawancara, secara umum media yang digunakan

untuk memperjelas pengetahuan peserta didik mengenai sistem gerak pada

tumbuhan belum mengintegrasikan teknologi komputer, hanya melalui

gambar materi dari LKS dan buku paket. Secara manual, gerak tumbuhan

dapat diamati oleh peserta didik, akan tetapi membutuhkan waktu yang

cukup lama dan terus-menerus, padahal alokasi waktu pembelajaran materi

tersebut hanya 5x40 menit. Hal tersebut menyebabkan pengamatanya

kurang maksimal bila dilakukan tanpa bantuan media. Kemampuan untuk

mempercepat dan merangkum semua proses sains yang terjadi dapat

dilakukan menggunakan media virtual laboratory.

Peserta didik dapat melihat secara detail fenomena IPA yang tidak

dapat diamati secara langsung menggunakan panca indra, melalui animasi

simulasi dan pemodelan yang di sajikan melalui virtual laboratory.

Simulasi dan pemodelan dapat memperjelas dan memperinci bagian–

bagian detail yang tidak dapat diamati langsung menggunakan panca indra

manusia. Peserta didik akan lebih mudah memahami apabila mereka

memiliki gambaran peristiwa yang terjadi sesunguhnya melalui simulasi

dan animasi, daripada hanya membaca dari buku teks. Penggunaan virtual

8
laboratory juga dapat diulang-ulang, kapan saja dan dimana saja oleh

peserta didik. Ketika peserta didik dapat memahami lebih banyak konsep

dan proses IPA, kemampuan mereka dalam menjelaskan akan menjadi

lebih canggih, mencerminkan basis pengetahuan ilmiah yang luas, logis,

tingkat analisis yang lebih tinggi, dan kritis (National Research Council,

1996: 117). Pada ahirnya pencapaian tujuan pembelajaran menjadi lebih

efektif dan efisien.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat diidentifikasi

beberapa permasalahan, antara lain:

1. Idealnya pendidikan dan pembelajaran IPA di era digital sudah

mengintegrasikan pemanfaatan teknologi dan informasi dalam

pembelajaran, akan tetapi kenyatannya fasilitas teknologi informasi

yang tersedia belum dimanfaatkan secara optimal.

2. Kemampuan berpikir analisis merupakan salah satu komponen HOTS

yang menjadi isu kecerdasan untuk menghadapi abad 21 ini. Akan

tetapi kenyataanya peserta didik belum terlatih untuk mengembangkan

kemampuan berpikir analisis dalam pembelajaran IPA.

3. Kemampuan berpikir analisis peserta didik dapat dilatih dan

ditingkatkan melalui kegiatan penyelidikan di laboratorium, akan tetapi

faktanya guru masih mengalami banyak kendala dalam melaksanakan

kegiatan laboratorium secara real tanpa menggunakan bantuan

teknologi komputer.

9
4. Berdasarkan hasil observasi, sudah tersedia fasilitas LCD, proyektor,

dan laboratorium komputer, tetapi belum digunakan secara maksimal

untuk membantu tercapainya tujuan pembelajaran IPA.

5. Idealnya pembelajaran IPA pada abad 21 ini adalah pembelajaran yang

aktif dan terpusat pada peserta didik, tetapi realitanya pembelajaran

IPA yang ada masih berpusat pada guru.

6. Idealnya pembelajaran pada materi gerak pada tumbuhan membutuhkan

waktu yang lama dalam proses observasi dan praktikumnya, akan tetapi

kenyataanya alokasi waktu penyampaian materi sangat terbatas.

7. Idealnya media pembelajaran menarik dan dapat membantu

memperjelas pemahaman peserta didik. Akan tetapi media yang

digunakan untuk memperjelas pengetahuan peserta didik mengenai

sistem gerak pada tumbuhan hanya melalui gambar dan materi di buku

paket.

C. Pembatasan Masalah

Penelitian ini dibatasi pada masalah nomor 3, 5 dan 7, sehingga

judul penelitian ini adalah Pengembangkan virtual laboratory

berpendekatan guided inquiry materi “Gerak Pada Tumbuhan” untuk

meningkatkan kemampuan berpikir analisis peserta didik yang meliputi

kemampuan untuk membedakan, mengorganisasikan, dan

mengatribusikan.

10
D. Rumusan Masalah

Berdasarkan pembatasan masalah di atas, maka dapat

dirumuskan permasalahan sebagai berikut.

1. Apakah virtual laboratory IPA berpendekatan guided inquiry materi

“Gerak pada Tumbuhan” ini memenuhi kriteria layak digunakan

menurut ahli dan guru IPA?

2. Bagaimana respon peserta didik terhadap media pembelajaran virtual

laboratory IPA berpendekatan guided inquiry materi “Gerak pada

Tumbuhan” yang dikembangkan?

3. Seberapa besar peningkatan kemampuan berpikir analisis peserta

didik setelah menggunakan media pembelajaran virtual laboratory

IPA berpendekatan guided inquiry materi “Gerak pada Tumbuhan”?

E. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk:

1. Menghasilkan virtual laboratory IPA berpendekatan guided inquiry

materi “Gerak Pada Tumbuhan” yang layak menurut ahli dan guru

IPA.

2. Mengetahui respon peserta didik terhadap media pembelajaran virtual

laboratory IPA berpendekatan guided inquiry materi “Gerak pada

Tumbuhan” yang dikembangkan

3. Mengetahui berapa besar peningkatan kemampuan berpikir analisis

peserta didik setelah menggunakan virtual laboratory IPA

berpendekatan guided inquiry materi “Gerak pada Tumbuhan”.

11
F. Spesifikasi Produk dan Keterbatasan Pengembangan

Spesifikasi produk, dan keterbatasan pengembangan pada

penelitian ini, antara lain:

1. Produk yang dihasilkan dari penelitian pengembangan ini yaitu

adalah virtual laboratory IPA untuk meningkatkan kemampuan

berpikir analisis peserta didik SMP kelas VIII semester 2.

2. Media virtual laboratory ini dapat di gunakan di semua perangkat

computer, dan smart phone yang memiliki sistem android.

3. Materi yang disajikan dalam bentuk animasi, gambar, tulisan, video,

simulasi, eksperimen, dan soal-soal diskusi dalam virtual laboratory

dapat meningkatkan keterampilan berpikir analisis peserta didik.

4. Media virtual laboratory ini di desain dengan isi materi “Gerak pada

Tumbuhan” kelas VIII semester 2 Kurikulum Tingkat Satuan

Pendidikan.

G. Manfaat Penelitian

1. Bagi Peneliti:

a. Menambah pengalaman dan pengetahuan peneliti mengenai proses

pembuatan media pembelajaran virtual laboratory sehingga dapat

digunakan sebagai bekal mengajar.

b. Melatih kemampuan peneliti dalam melakukan penelitian.

c. Mengaplikasikan ilmu pedagogi dan keilmuan IPA.

12
2. Bagi Guru:

a. Memberikan informasi dan referensi untuk mengembangkan media

pembelajaran IPA.

b. Memberikan contoh penerapan pembelajaran berpendekatan inkuiri

terbimbing dengan media berbasis teknologi.

3. Bagi Peserta didik:

a. Meningkatkan kemampuan kemampuan berpikir analisis peserta

didik.

b. Meningkatkan hasil belajar peserta didik.

c. Memberikan pemahaman yang lebih baik karena peserta didik

dapat mempelajari materi dan konsep pembelajaran IPA khususnya

untuk materi “Gerak pada Tumbuhan” untuk kelas VIII semester 2.

H. Definisi Operasional

Istilah-istilah yang digunakan dalam penelitian ini, antara lain:

1. Virtual laboratory bentuk tiruan laboratorium IPA yang nyata,

berbasis komputer interaktif dengan mengintegrasikan teks, gambar,

animasi, suara dan video melalui pemodelan, simulasi, dan animasi

yang digunakan dalam aktivitas pembelajaran ataupun penelitian

ilmiah untuk mendalami konsep-konsep IPA.

2. Pendekatan guided inquiry merupakan pendekatan pembelajaran

melalui proses penyelidikan yang langkahnya meliputi orientasi

masalah, merumuskan masalah, menyusun hipotesis, menguji

hipotesis, menyimpulkan, dan mengkomunikasikan hasil.

13
3. Kemampuan berpikir analisis adalah kemampuan untuk menguraikan

materi kedalam unsur-unsur pembentuknya, mencari hubungan, dan

mengorganisasikan susunan antar unsur-unsur tersebut secara terpisah

maupun secara keseluruhan. Kemampuan ini terdiri dari tiga aspek,

yaitu membedakan (differentiating), mengoranisasikan (organizing),

dan mengatribusikan (attributing).

14

Anda mungkin juga menyukai