KATA PENGANTAR
Bahan Ajar Pendidikan Berbasis Budaya ini disusun sebagai pedoman pengembangan Bahan
Ajar Pendidikan berbasis budaya di SMA. Pengembangan bahan ajar pendidikan berbasis
budaya meliputi nilai-nilai luhur, artefak, dan adat khas Yogyakarta. Pendidikan berbasis
budaya sifatnya memperkaya atau memberi nilai tambah terhadap implementasi kebijakan
pendidikan nasional yang dilaksanakan di Daerah Istimewa Yogyakarta, dengan memberi
penguatan berupa ruh budaya, baik pada isi maupun pelaksanaannya. Konsep dasar
pendidikan berbasis budaya menempatkan kebudayaan dalam pendidikan dalam tiga ranah
yaitu sebagai muatan/ isi pendidikan; sebagai metode pelaksanaan/pembelajaran; dan sebagai
konteks lingkungan pendidikan, termasuk dalam kaitannya dengan manajemen pendidikan
Manfaat pengembangan bahan ajar bagi guru adalah untuk mengembangkan bahan ajar sesuai
dengan kebutuhan dalam penyiapan perangkat pembelajaran dan pelaksanaan pembelajaran .
Kemampuan guru dalam mengembangkan bahan ajar terkait dengan kompetensi pedagogik
dan kompetensi profesional guru. Guru sebagai pendidik profesional diharapkan memiliki
kemampuan mengembangkan bahan ajar sesuai mekanisme yang ada dengan memperhatikan
karakteristik dan lingkungan sosial peserta didik.
Dengan diterbitkannya naskah Bahan Ajar Pendidikan Berbasis Budaya untuk Sekolah
Menengah Atas ini diharapkan dapat memandu satuan pendidikan khususnya SMA dan dinas
pendidikan dalam mengimplementasikan pendidikan berbasis budaya di sekolahnya masing-
masing. Melalui naskah ini diharapkan penyelenggaraan pendidikan berbasis budaya di SMA
dapat terlaksana dengan baik dan berhasil mencapai tujuan yang diharapkan.
Kepada semua pihak yang terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung dalam
penyusunan naskah ini, diucapkan terima kasih.
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang 1
B. Landasan Yuridis 1
C. Tujuan 2
D. Sasaran 2
BAB V ARTEFAK
A. Sastra 31
B. Seni Pertunjukan 34
C. Seni Lukis 41
D. Busana 45
E. Kriya 46
F. Arsitektur 55
G. Boga 61
H. Kesehatan 65
H. Olahraga/Permainan Tradisional 65
BAB VI ADAT
A. Bidang Sosial Budaya 69
B. Bidang Ekonomi 75
C. Bidang Politik 77
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Implementasi Kurilukum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) memberikan ruang gerak yang
luas kepada guru pada setiap satuan pendidikan dalam mengembangkan rencana
pembelajaran. Salah satu komponen rencana pembelajaran yang memegang peranan penting
dari keseluruhan isi kurikulum adalah materi ajar. Guru harus mampu memilih dan
menyiapkan materi ajar sesuai prinsip pengembangannya agar peserta didik dapat mencapai
kompetensi yang diharapkan.
Untuk memudahkan guru dalam menyajikan materi ajar pada proses pembelajaran dan
memudahkan peserta didik untuk mempelajarinya, guru perlu mengorganisasikan materi ajar
yang telah dikembangkan ke dalam bahan ajar. Manfaat menyusun bahan ajar adalah guru
dapat mengembangkan bahan ajar sesuai dengan kebutuhan dalam penyiapan perangkat
pembelajaran dan pelaksanaan pembelajaran . Kemampuan guru dalam mengembangkan
bahan ajar terkait dengan kompetensi pedagogik dan kompetensi profesional seperti yang
tercantum dalam lampiran Permendiknas Nomor 16 Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi
Akademik dan Kompetensi Guru bagian B. menyebutkan bahwa guru sebagai pendidik
profesional diharapkan memiliki kemampuan mengembangkan bahan ajar sesuai mekanisme
yang ada dengan memperhatikan karakteristik dan lingkungan sosial peserta didik.
Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2011 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan
Budaya mengamanatkan bahwa pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan berbasis
budaya dilaksanakan berdasar dan mengacu pada Sistem Pendidikan Nasional dengan
menjunjung tinggi nilai-nilai luhur budaya. Dengan demikian, pendidikan berbasis budaya
sifatnya memperkaya atau memberi nilai tambah terhadap implementasi kebijakan pendidikan
nasional yang dilaksanakan di Daerah Istimewa Yogyakarta, dengan memberi penguatan
berupa ruh budaya, baik pada isi maupun pelaksanaannya.
Dalam upaya membantu guru dan satuan pendidikan dalam mengembangkan bahan ajar
pendidikan berbasis budaya, Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Daerah Istimewa
Yogyakarta menerbitkan “ Naskah Bahan Ajar Pendidikan Berbasis Budaya untuk Sekolah
Menengah Atas”
B. Landasan Yuridis
6. Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 4 Tahun 2011 tentang Tata
Nilai Budaya Yogyakarta.
7. Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 5 Tahun 2011 tentang
Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan Berbasis Budaya.
8. Peraturan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 68 Tahun 2012 tentang Pedoman
Penerapan Nilai-nilai Luhur Budaya dalam Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan.
9. Peraturan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 77 Tahun 2012 tentang Rencana
Strategis Pembangunan Pendidikan Daerah.
10. Peraturan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 66 Tahun 2013 tentang
Kurikulum Pendidikan Berbasis Budaya.
C. Tujuan
D. Sasaran
Sasaran penggunaan Naskah Bahan Ajar Pendidikan Berbasis Budaya di SMA adalah:
1. Satuan pendidikan tingkat Sekolah Menengah Atas.
2. Pelaksana program pendidikan Pendidikan Berbasis Budaya meliputi :
a. Kepala Sekolah
b. Tim Pengembang Kurikulum Sekolah
c. Pendidik
d. Tenaga Kependidikan.
BAB II
KONSEP BAHAN AJAR
Menurut Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Atas (2008:6), pengertian bahan ajar adalah
segala bentuk bahan yang digunakan untuk membantu guru dalam melaksanakan kegiatan
belajar mengajar. Bahan yang dimaksud bisa berupa bahan tertulis maupun bahan tidak
tertulis. Berdasarkan definisi tersebut, dapat dijelaskan bahwa bahan ajar merupakan
komponen pembelajaran yang digunakan oleh guru sebagai bahan belajar bagi siswa dan
membantu guru dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar di kelas.
Jenis bahan ajar dibedakan atas beberapa kriteria pengelompokan. Menurut Koesnandar (2008),
jenis bahan ajar berdasarkan subjeknya terdiri dari dua jenis antara lain: (a) bahan ajar yang
sengaja dirancang untuk belajar, seperti buku, handouts, LKS dan modul; (b) bahan ajar yang
tidak dirancang namun dapat dimanfaatkan untuk belajar, misalnya kliping, koran, film, iklan
atau berita. Koesnandar juga menyatakan bahwa jika ditinjau dari fungsinya, maka bahan ajar
yang dirancang terdiri atas tiga kelompok yaitu bahan presentasi, bahan referensi, dan bahan
belajar mandiri.
Berdasarkan teknologi yang digunakan, Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Atas (2008:
11) mengelompokkan bahan ajar menjadi empat kategori, yaitu bahan ajar cetak (printed)
antara lain handout, buku, modul, lembar kegiatan siswa, brosur, leaflet, wallchart,
foto/gambar, dan model/maket. Bahan ajar dengar (audio) antara lain kaset, radio, piringan
hitam, dan compact disk audio. Bahan ajar pandang dengar ( audio visual) seperti video
compact disk, dan film. Bahan ajar multimedia interaktif (interactive teaching material) seperti
CAI (Computer Assisted Instruction), compact disk (CD) multimedia pembelajaran interaktif
dan bahan ajar berbasis web (web based learning material).
Dalam buku panduan pengembangan bahan ajar (Depdiknas, 2007) disebutkan bahwa bahan
ajar berfungsi sebagai:
1. Pedoman bagi guru yang akan mengarahkan semua aktifitasnya dalam proses
pembelajaran, sekaligus merupakan substansi kompetensi yang seharusnya diajarkan
kepada peserta didik.
2. Pedoman bagi peserta didik yang akan mengarahkan semua aktifitasnya dalam proses
pembelajaran, sekaligus merupakan substansi kompetensi yang seharusnya
dipelajari/dikuasainya.
3. Alat evaluasi pencapaian/penguasaan hasil pembelajaran.
Pengembangan suatu bahan ajar harus didasarkan pada analisis kebutuhan peserta didik.
Terdapat sejumlah alasan mengapa perlu dilakukan pengembangan bahan ajar, seperti yang
disebutkan oleh Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Atas (2008: 8-9) sebagai berikut.
1. Ketersediaan bahan sesuai tuntutan kurikulum, artinya bahan belajar yang dikembangkan
harus sesuai dengan kurikulum.
2. Karakteristik sasaran, artinya bahan ajar yang dikembangkan dapat disesuaikan dengan
karakteristik peserta didik sebagai sasaran, karakteristik tersebut meliputi lingkungan
sosial, budaya, geografis maupun tahapan perkembangan peserta didik.
3. Pengembangan bahan ajar harus dapat menjawab atau memecahkan masalah atau
kesulitan dalam belajar.
BAB III
PENDIDIKAN BERBASIS BUDAYA
Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2011 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan
Budaya mengamanatkan bahwa pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan berbasis
budaya dilaksanakan berdasar dan mengacu pada Sistem Pendidikan Nasional dengan
menjunjung tinggi nilai-nilai luhur budaya. Dengan demikian, pendidikan berbasis budaya
sifatnya memperkaya atau memberi nilai tambah terhadap implementasi kebijakan pendidikan
nasional yang dilaksanakan di Daerah Istimewa Yogyakarta, dengan memberi penguatan
berupa ruh budaya, baik pada isi maupun pelaksanaannya. Konsep dasar pendidikan berbasis
budaya menempatkan kebudayaan dalam pendidikan dalam tiga ranah berikut ini.
1. Sebagai muatan/ isi pendidikan;
2. Sebagai metode pelaksanaan/pembelajaran; dan
3. Sebagai konteks lingkungan pendidikan, termasuk dalam kaitannya dengan manajemen
pendidikan.
Dengan konsep dasar pendidikan berbasis budaya seperti tersebut di atas, maka pendidikan
berbasis budaya mempunyai nilai atau manfaat sebagai berikut:
1. Mewujudkan pendidikan karakter, yakni untuk menghasilkan generasi yang berkarakter
yang secara simultan dapat menunjang pembangunan karakter dan peradaban bangsa.
2. Melaksanakan pelestarian budaya, yakni untuk mengawal budaya lokal dalam konteks
perubahan sosial dan budaya masyarakat.
3. Mendukung pengembangan atau transformasi budaya, yakni melakukan akulturasi
budaya secara arif, mencegah terjadinya pengikisan jatidiri budaya, sehingga dapat ikut
serta menguatkan kedaulatan kebudayaan nasional dalam konteks global.
Standar Kompetensi Lulusan (SKL) pendidikan berbasis budaya sifatnya lebih banyak
memberikan penguatan kompetensi dari aspek penguasaan tata nilai budaya sehingga dapat
memberikan nilai tambah dan menjadi ciri khas output pendidikan di Daerah Istimewa
Yogyakarta. Berikut ini adalah penguatan atau nilai tambah kompetensi yang diharapkan
dicapai melalui pendidikan berbasis budaya pada Pendidikan Menengah.
1. Memiliki perilaku yang mencerminkan sikap yang menjunjung tinggi nilai budaya dalam
berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial dan alam serta dalam menempatkan
diri dalam tata pergaulan yang lebih luas.
2. Memiliki pengetahuan faktual , konseptual, prosedural, dan metakognitif tentang budaya
berdasarkan rasa ingin tahunya yang terkait dengan penyebab serta dampak fenomena dan
kejadian di lingkungan rumah, sekolah, dan masyarakat serta pergaulan dengan teman
sebaya.
3. Memiliki kemampuan menghayati tata nilai budaya dan spiritual, kemampuan berpikir
dan bertindak secara arif, efektif, dan kreatif tentang budaya dalam ranah abstrak dan
konkret, sebagai pengembangan dari yang dipelajari dan atau dialami di sekolah atau
satuan pendidikan lain, secara mandiri, dalam konteks pembangunan peradaban bangsa.
C. Standar Isi
Standar isi pendidikan berbasis budaya berupa unsur-unsur budaya. Secara garis besar unsur-
unsur budaya yang diajarkan/dikembangkan/diimplementasikan dalam kurikulum
pendidikan berbasis budaya dapat dikelompokkan sebagai berikut :
1. Nilai luhur :
a. Nilai Spiritual
b. Nilai Personal Moral
c. Nilai Sosial
d. Nilai Nasionalisme Yogyakarta
2. Artefak: berupa karya seni dan karya lain yang sarat dengan nilai-nilai luhur, termasuk di
dalamnya arsitektur fisik lokal yang kaya dengan keharmonisan, keindahan, kekokohan
(joglo tahan gempa) yang sekaligus mencerminkan aspek-aspek lain dari pranata sosial.
Secara garis besar artefak dapat dikelompokkan menjadi beberapa jenis karya seni-budaya
sebagai berikut:
a. Sastra
b. Seni Pertunjukan
c. Seni Lukis
d. Seni Kriya
e. Busana
f. Arsitektur
g. Boga
h. Olahraga/permainan
D. Unsur-Unsur Budaya
Unsur-unsur budaya khas Yogyakarta sebagai muatan materi tingkat SMA/MA adalah:
No. Unsur-unsur Budaya Muatan Materi
1. Nilai-nilai Spiritual Mengapresiasi, internalisasi, aktif-aktualisasi,
luhur kreatif:
• Kejujuran
• Kesusilaan
• Kesabaran
Personal - moral Mengapresiasi, internalisasi, aktif-aktualisasi,
kreatif:
• Kerendahan hati
• Tanggung jawab
• Percaya diri
• Pengendalian diri
• Integritas
• Kepemimpinan
• Ketelitian
• Ketangguhan
• Welas asih
• Kesopanan/ Kesantunan
Sosial Bersikap, berperilaku, memberi teladan,
mengingatkan:
• Kerja sama
• Keadilan
• Kepedulian
• Ketertiban/kedisiplinan
• Toleransi
Nasionalisme Bersikap, berperilaku, memberi teladan,
Yogyakarta mengingatkan:
(semangat • sikap cinta tanah air
keyogyakartaan) • sikap menjunjung tinggi kearifan lokal Jogja dan
menghargai budaya nasional
2. Artefak Sastra Mengapresiasi, internalisasi, aktif-aktualisasi,
kreatif:
• Tembang (macapat, tengahan, gedhe, dolanan)
• Geguritan
• Sesorah
Pertunjukan Mengapresiasi, internalisasi, aktif-aktualisasi,
kreatif:
• Tari gaya Jogja
• Tarian rakyat
• Musik tradisional (gamelan, Gejog lesung, dll)
• Teater tradisional (ketoprak, wayang orang,
srandul, dll)
• Wayang kulit
BAB IV
NILAI-NILAI LUHUR
A. Nilai Spiritual
Muatan nilai-nilai luhur aspek spiritual pada pendidikan berbasis budaya adalah
mengapresiasi, internalisasi, aktif-aktualisasi, kreatif terhadap nilai-nilai kejujuran,
kesusilaan , dan Kesabaran.
Setiap orang mempunyai kebutuhan fundamental sesuai dengan fitrahnya yang memiliki
jasmani dan rohani, dan apabila dikaitkan dengan berbagai ragam hubungan manusia
dalam kehidupannya, di setiap hubungan tersebut ada hubungan antara manusia dengan
Tuhan, manusia dengan alam, manusia dengan manusia lain/masyarakat, dan manusia
dengan dirinya sendiri. Untuk memenuhi kebutuhan rohaninya manusia melaksanakan
nilai spiritual dalam kehidupannya.
Nilai spiritual memiliki hubungan dengan sesuatu yang dianggap mempunyai kekuatan
sakral suci dan agung. Karena itu termasuk nilai kerohanian, yang terletak dalam hati
(bukan arti fisik), hati batiniyah mengatur psikis. Hati adalah hakekat spiritual batiniah,
inspirasi, kreativitas dan belas kasih. Mata dan telinga hati merasakan lebih dalam realitas-
realitas batiniah yang tersembunyi di balik dunia material yang kompleks. Itulah
pengetahuan spiritual. Pemahaman spiritual adalah cahaya Tuhan ke dalam hati, bagaikan
lampu yang membantu kita untuk melihat (Robert Frager 2002: 70).
Bila dilihat tinggi rendahnya nilai-nilai yang ada, nilai spiritual merupakan nilai yang
tertinggi dan bersifat mutlak karena bersumber dari Tuhan Yang Maha Esa (Notonagoro,
1980). Dalam kehidupan sosial-budaya keterikatan seseorang dihubungkan dengan
pandangan hidup suatu masyarakat atau kehidupan beragama. Setiap orang akan selalu
memiliki kekuatan yang melebihi manusia, dalam pandangan orang beragama disebut
sebagai Yang Maha Kuasa, Allah, Sang Hyang Widi, Tuhan, God, Dewa, Yang Maha
Pencipta, dan sebagainya. Manusia sangat tergantung dan hormat pada kekuatan yang ada
di luar dirinya, bahkan memujanya untuk melindungi dirinya dan bila perlu rela
mengorbankan apa saja harta, jiwa/nyawa sebagai bukti kepatuhan dan ketundukan
terhadap yang memiliki kekuatan tersebut.
Begitu kuatnya keyakinan terhadap kekuatan spiritual sehingga nilai spiritual tersebut
sebagai kendali dalam memilih kehidupan yang baik dan atau yang buruk. Bahkan
menjadi penuntun bagi seseorang dalam melaksanakan perilaku dan sifat dalam
kehidupan pribadi, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Dunia yang ada dengan seluruh isinya termasuk manusia ini berasal dari Tuhan dan kelak
akan kembali kepada Tuhan (mulih mula mulanira). Tuhan ialah asal-muasal dan tempat
kembali segala sesuatu (sangkan paraning dumadi). Dengan kekuasaan-Nya yang tanpa batas,
Tuhan menciptakan dunia beserta isinya (jagad gedhé; makrokosmos), termasuk manusia
(jagad cilik; mikrokosmos), dengan keagungan cinta kasih-Nya. Tuhan adalah penguasa di
atas segala penguasa yang ada di dunia. Tuhan tidak dapat digambarkan dengan
perumpamaan apa pun (tan kena kinaya apa). Ciptaan Tuhan beraneka ragam wujud dan
derajatnya, berubah-ubah, dan bersifat sementara (owah gingsiring kanyatan, mobah mosiking
kahanan), bahkan manusia hidup di dunia ini hanyalah bersifat sementara seakan-akan
sekadar singgah sejenak untuk meneguk air (urip iku bebasan mung mampir
ngombé), sedangkan Tuhan merupakan Kenyataan Sejati (Kasunyatan Jati) yang bersifat
Azali dan Abadi, tiada berawal pun pula tiada berakhir. Tuhan adalah dzat yang meliputi
segala sesuatu, tetapi tidak dapat diinderai dengan cara apa pun (adoh tanpa wangenan,
cedhak tanpa sénggolan). Meskipun demikian, Tuhan senantiasa menyertai dan mengawasi
dunia ini sehingga tiada satu peristiwa sekecil apa pun yang terjadi di luar penglihatan
Tuhan (Pangeran iku ora saré).
Dunia dengan segala isinya yang diciptakan Tuhan ini beraneka rupa wujudnya dan
berjenjang-jenjang derajatnya. Namun demikian semua tertata dan terkait satu sama lain
secara selaras, serasi, dan seimbang (harmonis). Masing-masing unsur atau komponen
memiliki peran dan fungsi yang telah ditentukan secara kodrati oleh Tuhan, sehingga
apabila terjadi ketidaktepatan posisi atau ketidaktepatan fungsi atas salah satu unsur atau
komponen, maka terjadilah kekacauan (disharmoni). Kekacauan pada satu satuan
kenyataan (unit realitas) akan mengguncangkan seluruh tatanan alam semesta (kosmos).
Disharmoni pada mikrokosmos akan mempengaruhi harmoni makrokosmos, begitu pula
sebaliknya. Oleh karena itu, manusia sebagai mikrokosmos yang dibekali kesadaran akan
cipta, rasa, dan karsa, wajib menjaga harmoni alam semesta ini dengan tanpa pamrih
pribadi yang sempit atau hawa nafsu egoisme, melainkan harus dengan rela hati lahir batin
(lila legawa lair trusing batin) bersungguh-sungguh berusaha keras secara terus-menerus (sepi
ing pamrih ramé ing gawé) mengusahakan dan menjaga kebenaran (bener), kebaikan (becik),
keindahan (hayu), keselamatan dan kelestarian (rahayu) dunia (hamemayu hayuning bawana).
Dunia yang benar, baik, indah, selamat, dan lestari itu tampak menggejala dalam
kehidupan yang serba tertib dan teratur (tata), semua kegiatan kehidupan dilaksanakan
dengan cermat dan saksama (titi), sehingga membuahkan ketenteraman (tentrem),
kemakmuran dan kesejahteraan (karta raharja). Dalam kehidupan nyata seringkali terjadi
peperangan antara keteraturan dan kekacauan. Manusia wajib menegakkan keteraturan
dengan menghapus kekacauan (memasuh malaning bumi). Semua itu bisa terlaksana apabila
manusia berusaha keras mengerahkan akalbudi dan segenap kemampuannya untuk
mewujudkannya (rahayuning bawana kapurba waskithaning manungsa). Itulah darma bakti
yang harus dilaksanakan oleh manusia kepada Tuhan, sebagai makhluk paling mulia yang
diciptakan-Nya.
Dalam usaha menapaki kehidupan, manusia harus sadar bahwa seluruh daya upaya yang
dikerahkannya memiliki keterbatasan. Bagaimanapun juga, Tuhanlah yang akan
menentukan kehidupan tiap-tiap orang. Oleh karena itu, setiap orang harus ikhlas (lila
legawa) dan dengan sabar menerima (sabar narima) peran dan nasib perjalanan hidupnya.
Kematian, jodoh, anugerah, garis nasib, dan rejeki bagi tiap-tiap orang merupakan
kepastian yang telah ditentukan oleh Tuhan (siji pesthi, loro jodho, telu wahyu, papat kodrat,
lima bandha). Manusia sekadar menjalani hidup ini (manungsa saderma nglakoni, kaya wayang
upamané) sebagaimana digariskan oleh Tuhan. Akan tetapi, nilai-nilai seperti itu bukan
berarti mengajak manusia untuk pasrah total tanpa usaha dalam hidup (fatalistik),
melainkan dimaksudkan sebagai kerendahhatian agar hendaknya manusia tidak sombong
senantiasa merasa bisa melakukan apa saja (rumangsa bisa), namun harus tahu diri akan
keterbatasan kemampuannya (bisa rumangsa; ngrumangsani), jangan mendikte kehendak
Tuhan (aja nggégé mangsa), dan pandai-pandailah bersyukur (narima ing pandum).
Dalam batas kewajaran manusia harus tetap berusaha (mbudidaya) meningkatkan taraf
harkat dan martabat kehidupannya, di antaranya dengan mengusahakan dan terus-
menerus meningkatkan kekuasaan, kekayaan, dan kepandaian atau ilmu (wirya, arta, tri
winasis) yang dimilikinya. Dengan memiliki dan meningkatkan ketiga hal itu, diharapkan
kehidupannya menjadi lebih benar, lebih baik, lebih indah, dan lebih bijaksana, bahkan
sedapat mungkin menjadi orang yang sejahtera, berbahagia, dan berpengaruh secara luas
karena memiliki kedudukan yang penting dalam masyarakat (mukti wibawa mbaudhendha).
Meskipun mencari harta dan kedudukan lahiriah memang dianjurkan, namun dimensi
batiniah tetap lebih diutamakan (sugih tanpa bandha).
Pada dasarnya tidak seorang pun mengetahui dengan pasti garis hidupnya. Oleh karena
itu, upaya keras mengubah nasib masih tetap terbuka lebar dengan cara lebih tekun
berusaha dan lebih khusuk berdoa (nang donya kang sugih puji, yèn sira temen satuhu, tuhu
teka dennya muja), sebab apa yang tampaknya seakan-akan telah digariskan sesungguhnya
masih dapat diubah dengan doa dan ikhtiar kerja keras secara tepat (kodrat bisa diwiradat).
Dengan demikian, sebaik-baik sikap hidup ialah merampungkan segala urusan keikhtiaran
sampai derajat tertinggi menurut kemampuan manusiawinya (mupus), kemudian
menunggu keputusan Tuhan dengan pengharapan yang baik.
Dalam berkomunikasi spiritual dengan Tuhan, setiap orang memiliki kebebasan penuh
beribadah menurut tata cara kepercayaan-keagamaan yang diyakininya. Tidak seorang pun
berhak untuk memaksakan kepercayaan-keagamaannya kepada siapa pun dan dengan cara
apa pun dan memaksakan tata cara peribadatan apa pun yang diyakininya kepada siapa
pun. Demikian pula tidak seorang pun berhak melarang atau menghalang-halangi
seseorang atau sekelompok orang untuk berkomunikasi dengan Tuhan menurut
kepercayaan-keagamaan dan tata cara peribadatan yang diyakininya, karena
kepercayaan/keagamaan merupakan hak azasi mansia yang secara kodrati melekat pada
tiap-tiap orang. Perbedaan keyakinan merupakan kewajaran yang harus dihormati oleh
setiap orang. Orang harus toleran dan menjaga perasaan orang lain (amemangun karyénak
tyasing sasama) dalam keberbedaan keyakinan satu sama lain. Tidak seorang pun layak
merasa paling benar ketakwaannya kepada Tuhan (ora golèk beneré dhéwé) karena
peribadatan yang dijalankannya, sebab derajat ketakwaan seseorang lebih dinilai dari
perilaku kongkritnya dalam kehidupan sehari-hari.
Muatan nilai-nilai personal moral pada pendidikan berbasis budaya adalah mengapresiasi,
internalisasi, aktif-aktualisasi, kreatif terhadap nilai-nilai kerendahan hati, tanggung jawab,
percaya diri, pengendalian diri, integritas, kepemimpinan, ketelitian, ketangguhan, welas
asih, dan kesopanan/kesantunan.
Nilai personal moral seacara garis besar dapat dikelompokkan menjadi: tata nilai moral, tata
nilai kemasyarakatan, dan tata nilai adat dan tradisi.
Menjaga kebaikan, keindahan, dan kelestarian dunia harus dimulai dari diri manusia
sendiri dengan menjaga kebenaran pemikiran dan ucapan, kebaikan perilaku,
keharmonisan dan keindahan tatanan pergaulan hidup, baik dengan sesama manusia,
dengan alam semesta, dan terutama dengan Tuhan. Kebenaran pemikiran dan ucapan
membuahkan kejujuran, dan kejujuran membuahkan kebaikan. Terdapat kepastian
yang tak terelakkan bahwa barang siapa berbuat baik dengan benar, niscaya dia akan
tegak dan barang siapa berbuat salah dengan cara apa pun, pasti dia akan runtuh (wong
bener jejer, wong salah sèlèh), tidak peduli apakah dia seseorang yang berdarah biru
(trahing kusuma rembesing madu, wijining atapa, tedhaking andana warih) atau berharta dan
berkedudukan sosial tinggi (bèr bandha bèr bandhu, kajèn kèringan), ataukah orang kecil
(wong cilik) dengan status sosial rendah (wong pidak pejarakan). Sesungguhnya, harkat
dan martabat seseorang lebih ditentukan oleh kata dan perbuatannya (ajining dhiri saka
lathi lan pakarti). Barang siapa berbuat baik tampaklah kebajikannya, barang siapa
berbuat kejahatan akan ketahuan pula keburukannya, dan barang siapa berbuat
kejahatan niscaya akan sirna keberuntungan dan keberkatannya, dan dijauhkan dari
kasih sayang dan anugerah Tuhan (becik ketitik ala ketara, sapa kang agawé ala bakal sirna
wahyuné). Sehebat apa pun kekuatan keangkaramurkaan akan dapat ditundukkan oleh
kebajikan (sura sudira jayaning kang rat, swuh brastha tekaping ulah darmastuti).
Dunia ini berputar dan berubah, begitu pula dengan nasib manusia juga berubah-ubah,
berputar, berganti (cakramanggilingan). Oleh karena itu manusia jangan mudah takjub
dengan kesementaraan perubahan yang memukau (aja gumunan, aja kagetan), dan jangan
pula menyombongkan diri dan meremehkan orang lain dikala dirinya berjaya
sementara orang lain sedang sengsara (aja dumeh). Boleh jadi suatu saat nanti status
sosial seseorang atau keturunan orang yang status sosialnya tinggi menjadi sengsara,
sementara orang kecil atau keturunan orang yang berstatus sosial rendah malahan bisa
berjaya (tunggak jarak mrajak, tunggak jati mati). Manusia harus berhati-hati dalam
bertindak, jangan sampai melukai dan atau merugikan pihak lain. Setiap perbuatan
yang dilakukan pasti akan berbuah akibat yang diterima oleh pelakunya (ngundhuh
wohing pakarti). Perbuatan baik akan berbuah kebajikan, perbuatan buruk akan berbuah
keburukan (sapa kang nandur bakal ngundhuh, sapa kang gawé bakal nganggo, sapa kang
utang bakal nyaur).
Watak mulia harus diikhtiarkan dengan menjauhi perangai buruk seperti angkuh,
bengis, jahil, serakah, panjang tangan, gila pujian (aja ladak lan jail, aja serakah, aja celimut,
aja mburu aleman). Jangan menyombongkan kepandaian, harta, paras elok, dan busana
(aja sira ngegungaken akal, bagus iku dudu mas picis, lawan dudu sandhangan). Jangan pula
menyombongkan diri dengan keberanian, suka menantang untuk bertengkar, tidak
tahu malu, iri hati, dengki, dan suka mencela orang lain (aja watak sira sugih wani, aja sok
ngajak tukaran, aja anguthuh, aja ewanan lan aja jail, poma sira aja drengki, dahwen marang ing
sasama). Dalam hidup hendaklah orang jangan menyombongkan diri dengan berlebih-
lebihan membanggakan kekuatan baik fisik, harta, maupun kekuasaanya, keagungan
keturunan atau kebesaran derajat sosialnya, dan kepandaiannya (aja adigang, adigung,
adiguna).
Semua watak buruk itu harus dihindari, dijauhi, dan ditinggalkan. Orang harus
senantiasa berusaha menanam kebajikan dan terus-menerus menyemai budi luhur
sebagai keutamaan (nandur kabecikan, ndhedher kautaman). Orang yang baik selalu
berusaha menyenangkan hati orang lain (amemangun karyénak tyasing sesama), seperti
mengemukakan pendirian secara lembut (pambegané alus; landhep tanpa natoni), berhati-
hati dalam berbicara (yèn angucap ngarah-arah), tingkah dan tutur katanya bersahaja
(tingkah una-niné prasaja), setiap ucapannya terasa sejuk menembus kalbu karena
dilandasi nurani yang bersih (saujaré manis trus ati), bertenggang rasa dan berbelas kasih
kepada semua makhluk hidup (kèh tepané mring sagunging urip). Pendek kata, semua
makhluk ingin dibahagiakannya (sama dèn arah raharjané).
Masyarakat (bebrayan agung) dipahami sebagai suatu keluarga tetapi keluarga yang
besar. Landasan utama suatu keluarga ialah kasih sayang (sih kinasihan; asih ing sesami)
di antara para anggotanya. Hidup bermasyarakat haruslah dilandasi oleh kasih sayang
dengan mewujudkan dan senantiasa menjaga kerukunan. Kerukunan merupakan tiang
utama kehidupan kemasyarakatan, karena kerukunan memberikan kekuatan,
sedangkan pertikaian mendatangkan kehancuran (rukun agawé santosa, crah agawé
bubrah). Apabila timbul persoalan di antara anggota masyarakat, maka harus
diselesaikan sebaik-baiknya dengan bermusyawarah secara kekeluargaan (ana rembug ya
dirembug), karena masyarakat itu sejatinya merupakan suatu keluarga besar.
Seandainya terjadi percikan konflik tidak perlu dibesar-besarkan (kriwikan dadi grojogan),
karena dapat melibatkan semakin banyak pihak dalam pertikaian sehingga semakin
mengeruhkan permasalahan yang timbul. Suatu perselisihan lebih baik dihadapi dan
diselesaikan sendiri dengan kerendahan hati (nglurug tanpa bala). Dan, apabila seseorang
merasa benar dan memperoleh kemenangan atas suatu penyelesaian perselisihan,
janganlah pihak yang menang itu merendahkan atau menghinakan pihak yang kalah
(menang tanpa ngasoraké). Bagaimanapun juga, yang kalah itu tetaplah manusia yang
harus dijaga harga dirinya, dijaga martabatnya. Pendek kata, siapapun dia dan
bagaimanapun posisinya, setiap orang harus tetap dimanusiakan (diuwongké). Dalam
hidup bersama, di antara anggota masyarakat hendaklah saling berbagi ilmu dan
pengalaman (asah) agar semakin cerdas mengelola kehidupan, saling mengasihi (asih)
agar semakin nyaman menikmati kehidupan, dan saling membimbing (asuh) agar
semakin matang menjalani kehidupan. Itulah hidup bersama yang disemangati dan
dihiasi oleh kemanusiaan. Sesungguhnya keselamatan dan kesejahteraan manusia itu
dapat terwujud bilamana nilai-nilai kemanusiaan senantiasa terjaga (rahayuning
manungsa dumadi karana kamanungsané).
kelestarian dunia (hamemayu hayuning bawana), agar dunia senantiasa dapat memberi
perasaan aman dan damai (ayom ayem) bagi penghuninya.
Prinsip hormat yang lebih bersifat batiniah itu diekspresikan secara lahiriah dalam
wujud sopan santun (tata karma; unggah-ungguh). Sopan santun itu menjauhkan orang
dari celaan (tata krama iku ngadohaké ing panyendhu). Dalam pergaulan orang harus
pandai mengemas dirinya dengan bahasa, busana, dan gerak-gerik anggota tubuh
secara santun dan sedapat mungkin menyenangkan hati orang di sekitarnya. Agar
dapat membawa diri dengan tepat dalam pergaulan, orang harus pula dengan cermat
menyesuaikan ketiga kemasan tadi dengan waktu, tempat, dan konteks. (angon mangsa,
empan papan, duga prayoga). Dasar terdalam dari semua itu ialah sikap batin yang harus
dijaga bahwa menghormat itu bukanlah wujud kerendahdirian melainkan wujud
kerendahatian.
Adat berarti sesuatu yang dikenal, diketahui, dan diulang-ulang sehingga menjadi
kebiasaan dalam kehidupan komunitas atau masyarakat tertentu. Adat berupa nilai-
nilai yang dikemas dalam norma-norma tertentu. Nilai dan norma yang terkandung
dalam suatu adat diekspresikan dalam bahasa, tutur kata, gerak-gerik tubuh, perilaku,
tatacara, hukum, atau serangkaian perbuatan tertentu yang dianggap sebagai suatu
aktivitas yang memang patut bahkan harus dilakukan. Adat yang berisi nilai dan norma
tertentu yang melembaga menuntut ketaatan dari komunitas pendukungnya.
Setiap pelaksanaan upacara adat menuntut sejumlah syarat tertentu, baik para pelaku,
waktu, tempat, maupun perlengkapannya (ubarampé). Suatu upacara adat akan
memiliki nilai yang tinggi apabila semua persyaratan tersebut terpenuhi baik secara
kualitatif maupun kuantitatif. Setiap upacara adat yang dilaksanakan selalu
C. Nilai Sosial
Muatan nilai-nilai sosial pada pendidikan berbasis budaya adalah bersikap, berperilaku,
memberi teladan, mengingatkan tentang nilai-nilai kerja sama, keadilan, kepedulian,
ketertiban/kedisiplinan, dan toleransi.
Dalam masyarakat Jawa, banyak sekali aturan-aturan atau bisa dibilang nasihat yang
diberikan oleh orang tua kepada anaknya. Nasihat itu bisa berupa ancaman agar anaknya
menuruti perkataan orang tua. Ada pula ungkapan-ungkapan orang tua kepada anak
sebagai pedoman hidup di masyarakat. Semua itu diwariskan turun temurun dari orang
tua kepada anaknya. Walaupun tidak ada aturan tertulis yang secara jelas mengikat, tetapi
masyarakat Jawa menaati aturan tak tertulis tersebut. Aturan tak tertulis seperti nasihat dan
ungkapan orang tua kepada anaknya dapat digolongkan sebagai tradisi lisan dalam
masyarakat Jawa. Tradisi lisan merupakan kebiasaan yang sering dilakukan oleh
masyarakat yang cara penyalurannya secara lisan atau hanya diucapkan saja.
Kata-kata ora ilok/ora elok sangat kental dengan nasihat orang tua kepada anaknya
atau yang lebih muda, seolah-olah kalau kita kerjakan sudah setengah dosa atau dalam
tahap kualat. Bahkan, kalau orang itu telanjur melanggar harus di ruwat. Kalau
sekarang banyak ditemui berupa slametan. Mungkin, di antara kita pernah mendengar
kalimat “ora ilok” (tidak pantas). Kalimat itu sering terucap dari orang tua saat kita
melakukan sesuatu yang mereka anggap itu tidak pantas, misalnya: makan di depan
pintu, menyapu di malam hari dapat kehilangan rezeki, potong kuku di malam hari
dapat kehilangan rezeki, tidur di depan pintu akan didatangi hantu, anak kecil tidak
boleh keluar setelah jam enam sore, dan lain lain. Pada dasarnya, ora ilok adalah nasihat
orang tua kepada anaknya. Namun, nasihat tersebut merupakan nasihat yang
tersamarkan atau dirahasiakan supaya anak-anak yang diberi nasihat dapat
menaatinya. Nasihat itu tidak disampaikan terus terang, tetapi disembunyikan dan
diganti dengan nasihat yang lebih berifat ancaman atau hal yang menakutkan.
Meskipun demikian, nasihat-nasihat itu memiliki makna positif jika kita telaah lebih
mendalam.
a. Aja lungguh ing ngarep lawang, mundhak wong sing nglamar mbalik. ‘Jangan duduk di
depan pintu agar orang yang ingin melamar tidak pergi’. Nasihat ini mengandung
ancaman atau hal yang menakutkan agar dipatuhi. Kenyataan sebenarnya adalah
orang yang duduk di depan pintu itu selain menghalangi orang lain untuk masuk,
tetapi juga menyebabkan sakit karena tiupan angin yang masuk dari pintu.
b. Aja lungguh ing dhuwur bantal, mundhal wudunen. ‘jangan duduk di atas bantal,
menyebabkan bisulan’. Orang yang duduk di atas bantal, selain tidak sopan,
membuat bantal yang diduduki itu kotor.
c. Aja ngidoni sumur, mundhal lambe suwing. ‘Jangan membuang ludah ke dalam perigi,
dapat membuat bibir sumbing’. Kenyataannya adalah ludah yang jatuh ke dalam
perigi akan menyebabkan kualitas perigi menjadi tidak bagus. Terlebih lagi, jika
orang yang membuang ludah itu mempunyai penyakit menular melalui air ludah
maka akan menularkan penyakit pula.
d. Aja ngelungguhi sapu, mundhak dicakot lintah. ‘Jangan duduk di atas sapu, dapat
digigit lintah’. Kenyataannya adalah sapu merupakan alat untuk membersihkan
sampah. Jadi, sudah dipastikan sapu itu kotor.
e. Aja mangan ing ngarep omah. ‘Tidak boleh makan di depan pintu’. Pada zaman
dahulu makanan sangat langka dan mahal. Mereka tidak ingin makanan itu tumpah
karena saat anaknya makan terus tersenggol orang yang lewat. Selain itu, mereka
juga menghormati tetangga/orang lain yang lewat karena makanan dapat membuat
orang iri.
f. Sumur aja ing ngarep omah. ‘Perigi tidak boleh tepat di depan rumah’. Hal itu
disebabkan ketidakpantasan jika dilihat tamu, potensial menimbulkan kotoran, dan
membahayakan anak kecil.
g. Tidak boleh menyapu di malam hari. Pada zaman dahulu penerangan belum
seterang sekarang. Jadi, kalau menyapu di malam hari akan diragukan
kebersihannya dan nanti pada pagi harinya pasti harus bersih-bersih lagi. Maka,
daripada mengulangi pekerjaan (mindoni gawean) lebih baik menyapu di siang hari
dan pada malamnya melakukan pekerjaan yang lain (efisien waktu).
h. Tidak boleh potong kuku di malam hari. Pada waktu itu penerangan sangat minim
dan alat untuk memotong kuku tidak seperti sekarang, tetapi masih memakai alat
pemotong yang tajam seperti pisau. Jadi, ditakutkan bukannya kuku yang
terpotong, tetapi malah jari yang terpotong.
i. Anak kecil tidak boleh keluar setelah jam enam sore. Seputar waktu tersebut, udara
tidak baik untuk kesehatan anak kecil yang dapat menyebabkan sakit. Kira-kira
begitulah kenapa orang tua melarang kita. Hal itu turun temurun dari dulu sampai
sekarang.
j. Anak kecil tidak boleh makan “brutu” atau pantat ayam. Brutu itu banyak lemak,
lunak, dan tidak bertulang sehingga tidak banyak serat yang menyebabkan sulit
pencernaan. Di sisi lain, supaya mbah-mbah kita bisa makan “daging ayam”,
mereka biasanya memilih “brutu” supaya tidak sliliden karena struktur gigi mereka
sudah tidak lengkap dan tidak sempurna lagi.
k. Kori (pintu) dan jendela harus ditutup pada saat terbenamnya matahari. Hal itu
disebabkan binatang-binatang sawah dan serangga akan masuk ke rumah, mencari
cahaya yang ada di dalam rumah pada saat mulai gelap. Hal ini sangat mungkin
mendatangkan penyakit.
l. Tidak boleh menanam pohon pisang di depan rumah. Pohon pisang cepat
mendatangkan kotoran, utamanya dari binatang yang suka makan buah pisang,
seperti ulat-ulat akan masuk ke pintu rumah.
m. Tidak boleh membuang sampah di kolong rumah. Hal itu karena membuat kotoran
menumpuk, membusuk, dan membahayakan kesehatan penghuni rumah.
n. Tidak boleh membuang sampah dari jendela. Hal itu karena tidak sopan. Sangat
mungkin menimpa orang yang lewat atau orang yang sedang berada di luar rumah
(tidak terlihat dari dalam rumah) dan yang jelas adalah menyalahi fungsi jendela.
o. Tidak boleh sangga uwang (bertopang dagu). Hal itu karena membuat pikiran
kosong, melamun, malas, dan membuang-buang waktu.
p. Tidak boleh singsot sembarangan. Hal itu karena mengganggu ketenangan orang
dan sering dikira kode-kode tertentu yang membuat orang lain curiga.
q. Aja lelungan maghrib-maghrib, ora ilok, mundak diculik wewe. ‘ Jangan berpergian saat
maghrib, tidak boleh/ tidak sopan, nanti diculik wewe (sejenis hantu wanita, versi
orang Jawa)’. Wewe adalah sejenis hantu yang dipercayai orang Jawa sebagai hantu
wanita yang konon kehilangan anaknya, oleh karenanya ia menculik anak-anak
yang keluar saat maghrib. Dalam konsep Islam, memang tidak diperkenankan
keluar rumah saat maghrib, kecuali terpaksa karena pada waktu itu jin dan setan
berkeliaran. Terkadang jin juga mencederai manusia, seperti dalam hadist Muslim
“Rasulullah melarang anak kecil keluar setelah maghrib sampai Isya’, karena pada
saat itu Syetan (jin) banyak berkeliaran”.
r. Aja mangan telampik, ora ilok, mundak ditampik bojone. ‘Jangan makan dari piring
dengan memegang piring dengan satu tangan, tidak boleh/ tidak sopan, nanti
ditolak (*tersenggol lalu jatuh) suaminya’. Saat makan, sebaiknya duduk yang baik.
Makan dengan posisi tangan kiri memegang ujung piring, sementara tangan kanan
untuk makan akan berpotensi piring jatuh karena tersenggol. Hal itulah yang
mungkin mendasari makan tidak boleh dengan satu tangan. Ditolak di sini diartikan
dengan tersenggol lalu jatuh, bisa oleh suaminya atau orang lain.
Pengetahuan merupakan daur proses dan hasil pengenalan secara akumulatif dan terus-
menerus yang dilakukan manusia terhadap diri sendiri dan apa saja di luar dirinya,
baik mengenai benda-benda tak hidup, tumbuh-tumbuhan, hewan, sesama manusia,
maupun hal-hal yang bersifat adi-duniawi (supranatural). Dalam konteks hidup
bersama dan konteks kesejarahan, pengetahuan sebagai hasil pengenalan manusia
secara kolektif dipraktekkan, dipertukarkan, diajarkan, dihimpun, dikoreksi,
dikembangkan, dan diwariskan dari zaman ke zaman. Pengetahuan merupakan sarana
yang penting bagi manusia dalam rangka menunaikan tugas mulianya, yakni
mengusahakan dan menjaga kebenaran, kebaikan, keindahan, keselamatan, dan
kelestarian dunia (hamemayu hayuning bawana).
Dalam sejarah peradabannya yang panjang, budaya Jawa Yogyakarta telah memiliki
begitu banyak pengetahuan mulai dari pengetahuan bercocok tanam (olah tetanèn),
perhitungan musim dan iklim (pranata mangsa), peternakan dan perikanan, hewan
piaraan (klangenan), pertukangan (kawruh kalang), metalurgi atau ilmu pengolahan
logam baik logam biasa maupun logam mulia (mranggi), batu mulia, pertekstilan baik
tenun maupun batik, peralatan rumah tangga, ukiran kayu dan logam, sarana
transportasi, perancangan bangunan (arsitektur), penataan bangunan dan kawasan
pemukiman (planologi), seni olah boga, seni tata busana (ngadi busana), seni perawatan
tubuh dan kecantikan (ngadi salira), pengobatan (reracik jampi), hingga numerologi
(ngèlmu pétung), dan masih terdapat seribu satu pengetahuan lain yang kesemuanya itu
merupakan kearifan lokal dan kekayaan budaya yang amat berharga, dan oleh
karenanya perlu dijaga, dilestarikan, dan dikembangkan sesuai dengan tuntutan zaman.
Mencari pengetahuan itu wajib hukumnya bagi setiap orang. Pencarian pengetahuan
harus dijalani dengan usaha keras agar dapat dicapai hasil yang memadai (ngèlmu iku
kelakoné kanthi laku). Usaha keras itu harus dilandasi dengan kemauan keras,
kesungguhan hati, tekad, dan semangat, karena keempat hal itu akan memberikan
kekuatan, ketabahan, dan kegigihan (lekasé lawan kas, tegesé kas nyantosani). Di samping
itu, yang utama adalah keteguhan hati untuk tetap tegar menghadapi godaan hawa
nafsu yang dapat menyesatkan (setya budya pangekesé dur angkara). Dengan demikian,
pengetahuan yang dicari akan diperoleh dengan saksama dan berguna bagi kehidupan
baik untuk diri sendiri maupun untuk masyarakat, baik untuk kehidupan duniawi
maupun kehidupan ukhrowi.
Dalam sejarah peradaban yang panjang, budaya Yogyakarta telah memiliki begitu
banyak dan beragam kecakapan dan ketrampilan teknologis. Kecakapan dan
ketrampilan teknologis yang berkenaan dengan pemanfaatan sumber daya alam,
meliputi kegiatan memenuhan kebutuhan pangan, sandang, papan, pemukiman, dan
pengelolaan lingkungan hidup, telah dipraktekkan dengan prinsip keselarasan,
serasian, dan keseimbangan antara ekploitasi dan konservasi, antara pemenuhan
kebutuhan masa kini dan keberlanjutannya bagi masa depan (lumintu; sustainable),
jangan sampai terjadi keserakahan eksploitasi secara berlebihan (angkara murka)
sehingga dapat mengguncangkan dan merusak harmoni alam. Kelestarian alam amat
ditentukan oleh kecakapan dan kebijaksanaan manusia (rahayuning bawana kapurba
waskithaning manungsa). Keguncangan dan kerusakan alam sebagai makrokosmos akan
mengguncang dan merusak keharmonisan kehidupan manusia sebagai mikrokosmos.
Secara historis dan filosofis, nilai-nilai dasar penataan ruang Yogyakarta telah
diletakkan dan disusun oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I dan dilanjutkan oleh para
penerusnya. Pemilihan lokasi topografis keraton (baik sebagai pusat spiritual,
kekuasaan, maupun budaya), penentuan wujud dan penamaan sosok bangunan hingga
detail ornamen dan pewarnaannya, tata letak dan tata rakit bangunan, penentuan dan
penamaan ruang terbuka, pembuatan dan penamaan jalan, bahkan hingga penentuan
jenis dan nama tanaman, kesemuanya itu secara simbolis-filosofis melambangkan nilai-
nilai perjalanan hidup manusia dan keharmonisan hubungan manusia dengan Tuhan,
manusia dengan sesama manusia, dan manusia dengan alam.
Perjalan hidup manusia dilambangkan dalam tata rakit bangunan dan tanaman dalam
alur garis simbolis-filosofis dari Panggung Krapyak ke utara hingga Kompleks Kraton
sektor selatan. Lambang itu menggambarkan perjalanan hidup manusia sejak lahir dari
rahim ibunya (Panggung Krapyak sebagai lambang “Yoni”, representasi gender
perempuan) dan benih manusia (wiji; dilambangkan dengan nama Kampung Mijen di
sebelah utara Panggung Krapyak), kemudian memasuki masa remaja (enom; sinom;
dilambangkan dengan pucuk daun asam jawa) yang senantiasa menyenangkan hati
(nyengsemaken; dilambangkan dengan jajaran tanaman pohon asem atau asam jawa) dan
penuh sanjungan (dilambangkan dengan jajaran tanaman pohon tanjung). Setelah
melewati masa remaja, manusia memasuki kedewasaan yang ditandai dengan akil
baligh (dilambangkan dengan tanaman pohon pakel) dan keberanian (wani;
dilambangkan dengan tanaman pohon kweni) untuk meraih peluang dan menjangkau
jauh ke masa depan, melesat laksana anak panah yang lepas dari busurnya
(dilambangkan dengan tanaman ringin kurung di Alun-Alun Kidul yang dikelilingi
pagar berbentuk busur).
Sebagai makhluk ciptaan Tuhan, pada akhirnya manusia juga akan kembali kepada
penciptanya. Garis simbolis-filosofis dari Tugu Golong-Gilig atau Tugu Pal Putih
hingga Kraton sektor utara melambangkan perjalanan manusia menghadap Sang
Khalik. Dalam menempuh perjalanan kembali kepada Sang Khalik, manusia harus
memulainya dengan tekad bulat menyatukan (golong-gilig; dilambangkan dengan Tugu
Golong-Gilig) segenap kemampuan cipta, rasa, dan karsa untuk menyucikan hati
(dilambangkan dengan cat warna putih pada Tugu Golong-Gilig tersebut sehingga tugu
itu sering juga disebut sebagai Tugu Pal Putih). Tekad menyucikan diri itu harus
melalui jalan keutamaan (dilambangkan dengan Margatama, nama jalan dari tugu ke
selatan sampai kawasan Stasiun Kereta Api Tugu; sekarang bernama Jalan Pangeran
Mangkubumi) dengan berbekal penerangan (obor; dilambangkan dengan nama jalan
Malioboro) berupa ajaran para wali, lalu ditempuhlah jalan kemuliaan (mulya;
dilambangkan dengan Margamulya, dahulu nama jalan yang menghubungkan
Malioboro dengan Alun-Alun Utara). Dalam menempuh perjalanan itu, diharapkan
manusia dapat melewatinya dengan perasaan senang (sengsem; dilambangkan dengan
tanaman wit asem atau pohon asam jawa) dan teduh hatinya (ayom; dilambangkan
dengan tanaman pohon gayam yang dahulu ditanam di sepanjang jalan Margatama –
Malioboro – Margamulya).
Kemuliaan itu harus dimantabkan dengan pengusiran segenap hawa nafsu dan
perangai buruk (urakan; dilambangkan dengan Pangurakan). Memang tidak mudah
jalan menuju Sang Khalik, laksana mengarungi samudera dengan deburan ombak yang
dahsyat (alun; dilambangkan dengan Alun-Alun Lor). Setelah perjalanan hidup
berakhir, manusia tidak serta merta langsung dapat bertemu dengan Sang Khalik,
melainkan harus dengan sabar menanti (nganti-anti; dilambangkan dengan bangunan
Bangsal Sri Manganti) di alam kubur menunggu giliran untuk ditimbang atau diteraju
terlebih dahulu amal baik dan buruknya (ditraju; dilambangkan dengan bangunan
Bangsal Trajumas) selama menjalani hidup di dunia, untuk kemudian memasuki
kehidupan kekal di alam kelanggengan (dilambangkan dengan lampu Kyai Wiji yang
berada di Gedhong Prabayaksa, lampu yang senantiasa hidup sejak pemerintahan Sri
Sultan Hamengku Bowono I hingga sekarang). Dengan demikian, tata rakit bangunan,
jalan, beserta tanaman dari Panggung Krapyak ke Kraton melambangkan asal mula dan
tahap-tahap kehidupan manusia, sedangkan tata rakit dari Tugu Pal Putih atau Tugu
Golong-Gilig ke Kraton melambangkan jalan dan tahap-tahap kembalinya manusia
kepada Sang Khalik (sangkan paraning dumadi).
Kraton sebagai tempat tinggal Sultan merupakan pusat kekuasaan politik dan
kebudayaan dengan landasan religiositas (disimbolkan ketika Sultan duduk bersamadi
di singgasana Bangsal Manguntur Tangkil di Sitihinggil Utara; pandangannya lurus ke
utara menatap Tugu Golong-Gilig dan puncak Gunung Merapi). Sultan sebagai multi
pemimpin, baik dalam bidang politik kenegaraan, kemasyarakatan, kebudayaan,
maupun keagamaan (Sayidin Panatagama, Kalipatolah Ing Tanah Jawa) harus menyediakan
Nilai-nilai yang dipesankan secara simbolik dalam seluruh tata rakit keruangan yang
telah dirintis Sri Sultan Hamengku Buwono I dan para penerusnya itu pada dasarnya,
pertama, mengingatkan manusia agar senantiasa sadar diri (éling) tentang asal-muasal
kehidupannya dan tempat kembalinya kelak (Sang Khalik). Dalam konteks keruangan
secara fisik, nilai yang dipesankan ialah bahwa dalam tata rakit perkotaan atau
kawasan, harus senantiasa disediakan ruang publik dan bangunan yang mencukupi
bagi intensitas dan perkembangan komunikasi manusia dengan Tuhan. Secara lebih
umum, tata rakit keruangan harus memungkinkan tumbuh dan berkembangnya religio-
spiritualitas manusia secara wajar.
Kedua, nilai penting yang dipesankan dari perlambangan tata rakit keruangan
Yogyakarta ialah terlaksananya hubungan antarmanusia secara wajar dan harmonis.
Dalam konteks keruangan secara fisik, penataan atau tata rakit keruangan harus
disediakan ruang publik yang mencukupi sebagai wahana interaksi antaramanusia
sebagai sarana pengembangan diri manusia secara manusiawi, baik dalam bidang
ekonomi, politik kenegaraan, sosial, maupun kebudayaan. Dengan perkataan lain, tata
rakit atau penataan ruang harus memungkinkan tumbuh dan berkembangnya sosialitas
manusia secara wajar.
Ketiga, pesan yang tak kalah penting dalam simbolisasi tata rakit penataan ruang
Yogyakarta ialah tentang nilai-nilai hubungan yang sinergis-harmonis antara manusia
dan alam. Dalam konteks keruangan secara fisik, tata rakit atau penataan ruang harus
dapat menjamin terlaksananya transformasi dan sinergi energi antaranasir alam, baik
yang berupa benda-benda tak-hidup (air, tanah, bebatuan, udara, api, dsb.), tumbuh-
tumbuhan, maupun binatang, sebagai wahana dan sekaligus pendukung utama bagi
kehidupan manusia. Dengan perkataan lain, penataan atau tata rakit keruangan harus
menjunjung tinggi nilai-nilai ekologis dan mematuhi norma-normanya.
Dalam dunia arsitektur, dua hal utama yang penting ialah citra dan fungsi atau guna
dalam suatu perencanaan sosok bangunan. Suatu sosok bangunan harus mampu
menampilkan citranya sebagai bangunan dengan identitas nilai atau jatidiri tertentu dan
fungsi yang harus diembannya. Kraton sebagai pusat budaya telah memberi teladan
bahwa setiap bangunan senantiasa menggambarkan citra tertentu dengan muatan
identitas nilai yang dikandung dan dipesankannya; dan fungsi yang melekat pada
sosok bangunan sebagai wahana kegiatan manusiawi. Komponen bentuk atau struktur,
besaran, warna, dan material yang dipakai dalam suatu bangunan harus bersinergi dan
harmonis satu sama lain sehingga mencitrakan identitas nilai-nilai kejawaan yang
dikehendaki dan memenuhi fungsi wahana kegiatan manusiawi. Secara garis besar,
citra kejawaan yang ditampilkan melambangkan nilai-nilai kesakralan (teologis),
kesusilaan (etis), kesopansantunan (etiketis), dan keindahan (estetis). Tiap-tiap
bangunan menyandang citra utamanya masing-masing, meskipun acapkali suatu
bangunan menyandang sejumlah citra sekaligus. Citra dan fungsi harus sinergis dan
selaras. Konsekuensinya, di satu pihak citra harus dapat memenuhi dan
menggambarkan fungsi dan di lain pihak fungsi harus sesuai dengan citra.
Meskipun hidup di dunia hanya sementara, tetapi tugas mulia yang harus ditunaikan
manusia ialah bersungguh-sungguh berusaha keras secara terus-menerus (sepi ing
pamrih ramé ing gawé) mengusahakan dan menjaga kebenaran, kebaikan, keindahan,
keselamatan, dan kelestarian dunia (hamemayu hayuning bawana). Wujud nyata tugas
mulia itu dilakukan manusia dengan bekerja. Orang tidak boleh berpangku tangan saja
tanpa bekerja (lungguh jégang sila tumpang), dengan mengharap rejeki seakan-akan
bakal jatuh dengan sendirinya dari langit (thenguk-thenguk nemu kethuk; ngentèni endogé
blorok). Setiap orang harus bertekad bulat (cancut taliwanda) berusaha keras (mbudidaya)
mengerjakan sesuatu pekerjaan yang berguna baik bagi dirinya sendiri, keluarganya,
masyarakat sekitarnya, negaranya, maupun bagi ummat manusia seluruhnya.
Bekerja tidak boleh serampangan, terburu-buru, sembrono, dan asal jadi, melainkan
harus teliti, cermat, dan penuh perhitungan, agar mendapat hasil yang maksimal (alon-
alon waton kelakon, kebat kliwat, gancang pincang). Oleh karena itu, bekerja harus
dirancang dan ditata dengan tertib, diorganisasikan dan dikelola dengan teratur (tata),
semua kegiatan kerja harus dilaksanakan dengan cermat dan saksama (titi), setiap
sasaran yang dituju harus ditempuh dengan langkah-langkah yang benar dan tepat
(titis), dan semua pekerjaan harus diselesaikan dengan tuntas (tatas) tanpa menyisakan
masalah. Hasil kerja ditentukan oleh seberapa besar pikiran, tenaga, dan biaya yang
dicurahkan. Semakin tinggi hasil yang dikehendaki, semakin tinggi pula pengorbanan
yang dituntut (jer basuki mawa béya).
Dalam melakukan pekerjaan, setiap orang menginginkan penghasilan yang layak bagi
keberlangsungan hidupnya, untuk memenuhi kebutuhan dan keinginannya. Begitu
pula dalam dunia perniagaan, memperoleh keuntungan merupakan tujuan utamanya.
Akan tetapi, mencari keuntungan tidak boleh berujung keserakahan dengan cara
membabi buta sehingga dapat berakibat merugikan orang lain. Setiap transaksi harus
dilakukan dengan jujur dan adil. Harga ditetapkan dan disepakati menurut kualitas
barang atau jasa yang ditransaksikan (ana rega ana rupa). Dengan demikian, mencari
keuntungan berarti bukan hanya menguntungkan diri sendiri, melainkan juga
menguntungkan orang lain sekaligus, alias saling menguntungkan. Mencari
kemakmuran dan kesejahteraan berarti saling memakmurkan dan menyejahterakan
satu sama lain.
Keindahan dan pesona kesenian bukan hanya merupakan ekspresi diri yang eksklusif
bagi seniman, pekerja seni, atau pun hanya menjadi bidang kajian bagi pengamat seni
belaka, melainkan sekaligus merupakan media komunikasi spiritual manusia dengan
Tuhan, komunikasi sosial manusia dengan sesama manusia, dan komunikasi natural
manusia dengan seluruh penghuni alam semesta. Kesenian juga berfungsi sebagai
ekspresi simbolik kehidupan manusia: siklus hidupnya, kegembiraannya,
kesedihannya, penjelajahan baik lahir maupun batinnya, kegelisahannya,
kecemasannya, dan juga pengharapannya. Di samping sebagai media komunikasi dan
ekspresi simbolik, kesenian juga menjadi sarana hiburan dan sekaligus media edukasi
(tontonan lan tuntunan).
Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 mengikrarkan satu tanah air, Tanah Air Indonesia;
satu bangsa, Bangsa Indonesia; dan menjunjung tinggi bahasa persatuan, Bahasa
Indonesia. Tampak jelas bahwa Sumpah Pemuda tidak pernah menafikan apalagi
memiliki semangat menghapuskan bahasa daerah. Bahasa-bahasa daerah tetap dijaga
eksistensinya sebagai kekayaan ekspresi budaya Indonesia yang amat berharga, namun
Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan harus dijunjung tinggi baik sebagai sarana
ekspresi keilmuan dan komunikasi intelektual, untuk keperluan resmi seluk-beluk
kenegaraan, maupun sebagai sarana komunikasi antarsuku bangsa di seluruh
Indonesia.
Bahasa Jawa merupakan bahasa daerah Yogyakarta yang masih dipergunakan dalam
keseharian masyarakat Yogyakarta, di samping bahasa Indonesia dan bahasa asing.
Sebagai “arsip kebudayaan”, Bahasa Jawa memuat begitu banyak kearifan yang telah
diciptakan dan dipraktekkan oleh komunitas Jawa dalam sepanjang sejarahnya. Sebagai
sarana komunikasi, Bahasa Jawa menunjukkan dan sekaligus mengatur hubungan
antarmanusia, baik strata usia, strata sosial, hubungan kekerabatan, maupun konteks
komunikasinya. Itulah mengapa, dalam Bahasa Jawa dikenal tingkatan-tingkatan
berbahasa dalam berkomunikasi (unggah ungguhing basa) sesuai posisi masing-masing
pihak dalam tata komunikasi, agar harmoni pergaulan sosial tetap terjaga dengan baik.
Harmoni pergaulan sosial akan tetap terjaga dengan baik, apabila setiap orang mengerti
dengan tepat posisinya dan dapat menggunakan bahasa dengan tepat pula: tepat
penggunaan kata-kata baik dalam mentaati kaidah-kaidah Bahasa Jawa yang baik dan
benar maupun perspektif waktu, tempat, dan konteks (empan papan duga prayoga).
Barang siapa dapat menggunakan bahasa dengan tepat, maka dia telah mengerti dan
mampu mempraktekkan tata krama, dan ia terjauhkan dari celaan (tata krama iku
ngadohké ing panyendhu). Sesungguhnya, cara berbahasa seseorang menunjukkan watak
dan kepribadiannya. Mengingat betapa pentingnya bahasa ini, maka Pemerintah
Daerah dan seluruh lapisan masyarakat Yogyakarta harus menjaga, melestarikan, dan
mengembangkan bahasa Jawa, baik dalam bentuk tuturan maupun tulisan, di dalam
pergaulan hidup yang wajar, dan menjadikannya salah satu mata ajaran dalam dunia
pendidikan.
Wujud fisik kebudayaan (budaya material) sebagai hasil aktualisasi kemampuan cipta,
karsa, dan rasa masyarakat Yogyakarta yang kasat mata (tangible) merepresentasikan
tahap-tahap peradaban beserta ilmu pengetahuan dan teknologi yang dimilikinya. Dari
Sebagai seorang manajer, pemimpin atau pejabat harus cakap mengelola (anata) tata
pemerintahan dengan baik sehingga semua unit kerja yang dikoordinasikan dan
dikendalikannya dapat berperan dan berfungsi dengan saksama. Agar semua unit kerja
terjaga kinerjanya, maka seorang pemimpin harus mengamati dan meneliti dengan
cermat (aniti) apa yang dikerjakan dan cara kerja anak buahnya. Pemimpin harus
senantiasa memantau keadaan rakyatnya (apariksa) sehingga dapat diketahui apa saja
yang dibutuhkan rakyatnya dan berusaha keras mengusahakan pemenuhan kebutuhan
itu. Demi tegaknya keadilan dan kewibawaan, pemimpin harus memberi ganjaran bagi
aparat atau rakyat yang berjasa dan menghukum aparat atau rakyat yang bersalah
(amisésa).
Agar pemimpin dapat pemimpin dengan mumpuni, maka dia harus dapat meneladani
watak dan tugas yang diemban 8 dewa (asthabrata). Pertama, pemimpin harus dapat
meneladani Bathara Endra, yang bertugas menurunkan hujan. Dengan hujan bumi
disuburkan, tanaman ditumbuhkan, hewan-hewan digemukkan, udara dan hati
disejukkan. Jadi, pemimpin harus dapat memberikan peluang bagi pemenuhan
kebutuhan, kesejahteraan, dan kedamaian bagi rakyatnya. Kedua, pemimpin harus
dapat meneladani Bathara Yamadipati, yang bertugas menghukum manusia yang
bersalah tanpa pandang bulu. Dengan demikian, seorang pemimpin harus tegas dan
adil dalam menjatuhkan hukuman bagi siapa pun yang bersalah tanpa pandang bulu.
Ketiga, pemimpin harus dapat meneladani Bathara Surya, yang betugas menghisap air
dengan cermat, telaten, sabar, tidak tergesa-gesa, dan tidak kentara, sehingga tugasnya
dapat terlaksana dengan tanpa guncangan atau gejolak. Pemimpin harus dapat
mencapai tujuannya dan menghadapi persoalan dengan sifat-sifat seperti diteladankan
Bathara Surya itu.
Keempat, pemimpin harus dapat meneladani Bathara Candra, yang bertugas menerangi
dunia dari kegelapan dengan kesejukan dan keindahan cahayanya. Pemimpin harus
halus budi bahasanya, bertindak-tanduk sopan dan manis, dan membuat keputusan
yang dapat menyejukkan dan membahagiakan hati rakyatnya. Kelima, pemimpin harus
dapat meneladani Bathara Bayu, yang dapat menelusup dan menjelajah ke seluruh
relung semesta tanpa terketahui sosoknya. Pemimpin diam-diam harus memiliki
kemampuan untuk memonitor apa yang terjadi di tengah-tengah rakyatnya,
mencermati dengan teliti pihak-pihak mana yang mendukung atau membangkang
kepadanya, agar dia dapat mengambil sikap dengan bijaksana. Keenam, pemimpin harus
dapat meneladani Bathara Kuwera, yang dengan murah hati bertugas memberikan
makanan kepada seluruh isi dunia tanpa pilih kasih. Pemimpin harus berusaha keras
memakmurkan segala lapisan rakyatnya, sehingga rakyatnya tidak menderita dan
senantiasa setia kepada pemimpinnya.
Ketujuh, pemimpin harus dapat meneladani Bathara Baruna, yang dengan keteguhan
hati dan senjata Nagapaksa di tangannya, diringkusnya segala penjahat dan pengacau
dunia. Pemimpin harus berteguh hati dan memiliki cara yang efektif untuk
memberantas para penjahat dan pengacau agar rakyat merasakan keamanan dan
ketenteraman. Kedelapan, pemimpin harus dapat meneladani Bathara Brama, yang
dengan kesaktian apinya membasmi musuh dari mana pun asalnya dan apa pun
tujuannya. Pemimpin harus mampu melindungi negara dan rakyatnya dari rongrongan
dan serangan musuh baik dari dalam maupun dari luar dan membasminya sampai
tuntas. Kedelapan watak dan kecakapan tersebut amat penting bagi pemimpin yang
berjiwa kesatriya sebagai sarana untuk mendarmabaktikan dirinya kepada negara dan
rakyat, karena darma bakti pemimpin yang benar akan menjamin kesejahteraan dan
keselamatan negara dan rakyatnya (darmaning satriya mahanani rahayuning nagara).
Yogyakarta merupakan salah satu komponen yang amat penting dalam sejarah
Republik Indonesia. Sejak Pangeran Mangkubumi yang kemudian bergelar Sri Sultan
Hamengku Buwono I mendirikan Negari Ngayogyakarta Hadiningrat berdasarkan
Perjanjian Giyanti sebagai wujud kemandirian dan kedaulatan politik atas dominasi
Pemerintah Hindia Belanda, diteruskan oleh perjuangan Pangeran Diponegoro,
berdirinya organisasi Budi Utomo, Kongres Perempuan, Kongres Pemuda I, kemudian
menjelang dan setelah proklamasi — rentetan peristiwa di saat-saat genting dalam
mempertahankan eksistensi Negara Republik Indonesia yang masih muda itu — hingga
gerakan pendorong lahirnya reformasi. Seluruh rentetan peristiwa itu menunjukkan
betapa rakyat Yogyakarta memiliki, memegang teguh, dan menjunjung tinggi nilai-nilai
kejuangan dan kebangsaan. Segera setelah Bung Karno dan Bung Hatta
memproklamasikan kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945, Sri Sultan Hamengku
Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII pada tanggal 19 Agustus 1945 mengirim telegram
ucapan selamat dan dukungan atas berdirinya Negara Indonesia. Pada tanggal 19
Agustus 1945 itu juga ternyata Presiden Sukarno menandatangani Piagam Penetapan
Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII dalam kedudukannya sebagai
Pemimpin Kasultanan dan Kadipaten Pakualaman, yang oleh Presiden Repubilk
Indonesia keduanya dipercaya akan mencurahkan segara pikiran, tenaga, jiwa dan raga
untuk keselamatan Daerah Yogyakarta sebagai bagian dari Republik Indonesia.
Selanjutnya, Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII secara sendiri-
sendiri pada tanggal 5 September 1945 mengeluarkan maklumat bahwa Negari
Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten Pakualaman menjadi bagian tak
terpisahkan dari Negara Indonesia, dan kedua pemimpin tetap menjadi kepala negeri
masing-masing yang bersifat kerajaan; dan negerinya itu merupakan Daerah Istimewa
dalam Negara Republik Indonesia. Hubungan kedua negeri tersebut dengan
Pemerintah Pusat Negara Kesatuan Republik Indonesia bersifat langsung dan kedua
pemimpin Yogyakarta itu bertanggung jawab secara langsung atas negeri masing-
masing kepada Presiden Republik Indonesia. Maklumat kedua pemimpin Yogyakarta
itu mendapat sambutan baik dari Pemerintah Pusat Republik Indonesia di Jakarta.
Tanggal 6 September 1945, Pemerintah Pusat mengutus Mr. Sartono dan Mr. A.A.
Maramis menyerahkan ”Piagam Penetapan Kedudukan” yang telah ditandatangai
Presdien Sukarno pada tanggal 19 Agustus 1945 itu kepada Sri Sultan Hamengku
Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII.
Ketika Jakarta kurang aman, ibu kota negara dipindahkan ke Yogyakarta atas saran Sri
Sultan Hamengku Buwono IX. Di Yogyakartalah eksistensi Negara Republik Indonesia
yang masih muda itu dipertaruhkan dan dengan mati-matian dipertahankan. Sri Sultan
Hamengku Buwono IX, Sri Paku Alam VIII, para birokrat, para diplomat, para pejuang
bersenjata, dan seluruh rakyat Yogyakarta bahu-membahu menegakkan Republik
Indonesia dengan pengorbanan pikiran, tenaga, harta benda, bahkan nyawa. Semua itu
dipersembahkan tampa pamrih (sepi ing pamrih) demi tegaknya eksistensi Negara
Republik Indonesia. Semangat berani dan rela berkorban, kesetiakawanan sosial
(solidaritas; sabaya pati, sabaya mukti), persatuan dan kekompakan (saiyek saéka praya)
baik antarpemimpin, antarrakyat, maupun antara rakyat dan pemimpin (manunggaling
kawula gusti), jiwa tanpa pamrih, cinta tanah air (patriotisme), rasa kebangsaan
(nasionalisme), dan kegigihan menjaga martabat bangsa dan negara (sedumuk bathuk
senyari bumi; dilabuhi pecahing jaja wutahing ludira) merupakan nilai-nilai luhur yang
dijunjung tinggi masyarakat Yogyakarta.
dilandasi oleh kesadaran bahwa dalam diri tiap-tiap warga tertanam perasaan memiliki
negara ini (duwé rasa handarbèni), sehingga apabila terjadi sesuatu yang dapat
mengancam, merusak, atau bahkan merobohkan kedaulatan negara, warga Yogyakarta
siap berjuang sampai titik darah yang penghabisan (wani mèlu hangrungkebi). Setiap
warga Yogyakarta senantiasa mawas diri dan berusaha keras memberi kontribusi
kepada masyarakat, bangsa, dan negara (mulat salira hangrasa wani).
BAB V
ARTEFAK
Artefak atau artifact merupakan benda arkeologi atau peningalan benda-benda bersejarah, yaitu
semua benda yang dibuat atau dimodifikasi oleh manusia yang dapat dipindahkan. Contoh
artefak adalah alat-alat batu, logam dan tulang, gerabah, prasasti lempeng dan kertas, senjata-
senjata logam (anak panah, mata panah, dll), terracotta dan tanduk binatang. barang yang
bersejarah ini sangatlah penting untuk diletakkan di museum sehingga semua orang dapat
melihat dan mempelajarinya.
Artefak dalam arkeologi mengandung pengertian benda (atau bahan alam) yang jelas dibuat
oleh (tangan) manusia atau jelas menampakkan (observable) adanya jejak-jejak buatan manusia
padanya (bukan benda alamiah semata) melalui teknologi pengurangan maupun teknologi
penambahan pada benda alam tersebut. Ciri penting dalam konsep artefak adalah bahwa
benda ini dapat bergerak atau dapat dipindahkan (movable) oleh tangan manusia dengan
mudah (relatif) tanpa merusak atau menghancurkan bentuknya.
Secara garis besar artefak pada pendidikan berbasis budaya dapat dikelompokkan menjadi
sastra, pertunjukan, lukis, busana, kriya, arsitektur, boga, kesehatan, dan olah raga/permainan
tradisional.
A. Sastra
Muatan materi seni sastra pada pendidikan berbasis budaya yaitu mengapresiasi,
internalisasi, aktif-aktualisasi, kreatif tentang tembang (macapat, tengahan, gedhe,
dolanan), geguritan, dan sesorah.
Seni Sastra adalah suatu karya seni yang menggunakan bahasa sebagai medianya. Seni
sastra tidak hanya berhubungan dengan bahasa tetapi dengan tulisan yang dijadikan
wahana untuk mengekspresikan pengalaman atau pemikiran tertentu. Oleh karena itu,
seni sastra bisa dibagi menjadi dua, yaitu seni sastra lesan dan seni sastra tulis.
Seni sastra lisan disampaikan dengan bahasa lisan, yaitu dengan dituturkan secara
langsung kepada pendengar, dengan atau tanpa iringan musik tertentu. Seni sastra lisan
biasanya berupa dongeng yang dituturkan langsung oleh seseorang kepada orang lainnya,
sehingga terdapat penambahan atau pengurangan tertentu menurut keinginan si
pendongeng. Contohnya adalah dongeng: kali gajah wong, roro jonggrang, kisah di goa
kiskendo, asal mula gunung merapi, asal mula makam imogiri, asal mula upacara bekakak,
asal mula dusun gubukrubuh.
Seni sastra tulis merupakan bentuk karya sastra yang dituangkan dalam bentuk tulisan,
yaitu kombinasi huruf yang mempunyai makna atau arti. Dalam Sastra Jawa, puisi pada
awalnya berbentuk tembang yang ditulis dalam kitab-kitab dan berkembang di pusat
kebudayaan sekaligus pusat pemerintahan. Tembang tersebut berisi cerita sejarah, ajaran-
ajaran, ataupun filosofi kehidupan. Sebagai contoh adalah kitab centhini. Pada
perkembangan berikutnya puisi jawa ditulis sebagai geguritan yang lebih tidak terikat oleh
aturan-aturan tertentu seperti dalam tembang.
1. Tembang Macapat
Tembang macapat merupakan puisi rakyat yang khas. Tembang macapat adalah salah
satu karya pujangga namun penyebarannya secara lisan yang telah turun tumurun.
Macapat di dalam penggunaanya lebih menekankan unsur suara untuk menghibur
dan maknanya hanya di sampaikan sekilas saja. Sehingga macapat merupakan tradisi
yang melisankan karya sastra tertulis. Sampai saat ini tradisi pelestarian macapat
masih hidup di kalangan masyarakat Jawamasyarakat banyak menyelenggarakan
kegiatan macapatan, yaitu tradisi membaca tembang macapat. Macapatan adalah
lantunan tembang macapat yang biasanya membaca teks-teks klasik.
2. Tembang Dolanan
Aturan lagu dolanan memiliki ciri, yaitu (1) bahasa sederhana; (2) cengkok; (3)
sederhana; (4) jumlah baris terbatas; dan (4) berisi hal-hal yang selaras dengan keadaan
anak.
Contoh tembang dolanan berbahasa Jawa yang mengandung nilai budi pekerti religius
atau keagamaan
Bahasa Jawa
Sluku-Sluku Bathok Terjemahan Bahasa Indonesia
‘Ayun-ayun kepala’
Sluku-sluku bathok
Bathoke ela-elo ‘Kepalanya geleng geleng’
sluku bathok ‘Si bapak pergi ke Solo’
Bathoke ela-elo ‘Oleh-olehnya payung mutha’
Si Rama menyang Solo ‘Secara tiba-tiba begerak
Oleh-olehe payung motha ‘Orang mati tidak bergerak’
Mak jenthit lolo lobah ‘Kalau bergerak menakuti orang’
Wong mati ora obah ‘Kalau hidup carilah uang’
Nek obah medeni bocah
Nek urip goleka dhuwit.
3. Geguritan
Geguritan adalah puisi bahasa jawa yang berkembang dari penutur bahasa Jawa dan
juga Bali. Geguritan juga dapat diartikan puisi bahasa Jawa.
Contoh:
TANJUNG EMAS
4. Sesorah
Kata Sesorah atau medhar sabda dalam bahasa Indonesia berarti menyampaikan
sebuah gagasan atau informasi dengan cara mengucapkannya di depan banyak orang
untuk tujuan tertentu. Sesorah atau medhar sabda dalam Bahasa Jawa berarti:
Nglairaken gagasan, pemanggih, utawi osiking manah sarana lesan ing sangajenging tiyang
kathah, kanthi tujuwan tartamtu. Sesorah merupakan cara yang dapat dilakukan dalam
menyampaikan pidato atau medhar sabda.
Metode ini dilakukan dengan cara membuat sebuah teks pidato (sesorah/medhar
sabda) terlebih dahulu, kemudian teks tersebut dihafalkan hingga sama persis
seperti teks pidato (sesorah/medhar sabda) yang sudah dibuat. Metode cukup
sulit sebab manusia sendiri rawan lupa. Cara ini biasa digunakan anak-anak yang
sedang belajar berpidato (medhar sabda).
Metode ini dilakukan dengan cara membuat naskah pidato (medhar sabda)
terlebih dahulu, kemudian teks tersebut dibawa untuk dibaca sebagai bahan
pidato (medhar sabda). Metode ini digunakan untuk meghindari kesalahan dalam
berpidato sehingga tujuan pidato dapat tercapai dengan baik. Metode ini biasa
digunakan dalam acara acara resmi, seperti pidato kenegaraan, peresmian suatu
tempat, dll.
c. Metode Dadakan
Metode ini dilakukan dengan cara spontanitas. Dalam melakukan metode ini
diperlukan pengalaman dan wawasan yang luas untuk disampaikan saat
berpidato.
B. Seni Pertunjukan
Muatan materi seni pertunjukan pada pendidikan berbasis budaya adalah mengapresiasi,
internalisasi, aktif-aktualisasi, kreatif tentang tari gaya Jogja, tarian rakyat, musik tradisional
(gamelan, Gejog lesung, dll), teater tradisional (ketoprak, wayang orang, srandul, dll), dan
wayang kulit.
Tari klasik gaya yogyakarta juga disebut Joged Mataraman merupakan gaya tarian yang
dikembangkan oleh Sri sultan Hamengku Buwono I semenjak perjanjian Giyanti. Oleh
karena beliau sangat mencintai kesenian, selain berjuang melawan penjajahan Sri sultan
HB I yang bergelar Pangeran Mangkubumi sudah mengarahkan perhatiannya pada
kesenian dengan orientasi kekesatriaan.
Setelah perjanjian Giyanti, Sri Susuhunan Paku Buwono III menganjurkan Sri Sultan HB
I untuk melanjutkan mengembangkan Joged Mataraman karena di Surakarta sendiri
akan menciptakan gaya tari sendiri yang baru. Orientasi patriototik yang dikembangkan
Sri sultan dlm Joged Mataraman membuat suatu karakteristik baru yang spesifik yaitu
lugas, kenceng (kuat), dan serius. Orientasi ini sungguh kuat karena penari-peanri saat
itu adalah para prajurit yang Nampak sangat disiplin. Tari-tari pertama Sri Sultan HB I
pun menggambarkan sifat keprajuritan, seperti Beksan Lawung.
Selain itu Sultan juga melestarikan tarian-tarian sakral putri, yaitu Bedhoyo Semang
yang diciptakan oleh Sultan Agung, dan Srimpi Renggowati. Untuk lebih menanamkan
nilai kesatriaan, Sultan HB I juga mengembangkan wayang wong (orang) dengan
harapan sifat-sifat kesatriaan dapat ditampilkan melalui media ini kepada para prajurit
dan masyarakat.
Saat itu pakaian wayang wong amat sederhana yaitu untuk putra diambil dari kostum
keprajuritan sedangkan untuk putri menggunakan jamang dan gelung bokor. Semua
pemain berkostum seperti itu sehingga penjiwaan harus dituntut lebih kuat agar dapat
membedakan masing-masing tokoh yang dimainkan
d. Tari Merak, suatu tari yang mengisahkan keindahan dan kebebasan alam bebas yang dialami
burung merak.
e. Tari Beksan Lawung Ageng, suatu tari yang diciptakan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono
I, sebagai sarana untuk memupuk semangat para jiwa prajurit.
(Sumber: http://www.kebudayaanindonesia.com)
Gambar 1. Tari Serimpi
2. Tarian Rakyat
Selain tari yang berkembang di kalangan keraton, juga muncul tarian yang berkembang
pada masyarakat yang sering dinamakan dengan tari rakyat. Berikut dijelaskan
beberapa contoh tari rakyat Yogyakarta:
a. Tari Angguk
Tari Angguk adalah tari tradisional yang berasal dari Kulon Progo Yogyakarta.
Dalam tarian ini menceritakan kisah tentang Umarmoyo-Umarmadi dan Wong
Agung Jayengrono dalam Serat Ambiyo. Tarian ini dimainkan secara berkelompok
oleh 15 penari wanita yang berkostum menyerupai serdadu Belanda dan dihiasi
gombyok barang emas, sampang, sampur, topi pet warna hitam, dan kaos kaki
warna merah atau kuning dan mengenakan kacamata hitam. Tarian ini biasanya
dimainkan selama durasi 3 hingga 7 jam. Tarian Angguk diperkirakan muncul sejak
jaman Belanda, yang digambarkan sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan
setelah panen padi.
(Sumber: http://www.kesenianblokspot.com)
Gambar 2. Tari Angguk
Pada mulanya Tari Angguk adalah tari permainan atau hiburan yang biasa dimainkan
oleh muda- mudi. Namun dalam perkembangannya Tari Angguk mulai disisipin hal-
hal mistis. Konon, Tari Angguk juga dianggap bisa mengundang roh halus untuk ikut
bermain dengan menggunakan media tubuh sang penari.
Kata anggguk ini diambil dari gerakan para penari yang mengangguk-anggukan
kepalanya. Gerakan Tari Angguk pada awalnya terinspirasi dari gerakan baris-berbaris
serdadu Belanda. Maka kostum yang dipakai oleh para penari ini juga mirip dengan
seragam serdadu Belanda.
3. Musik Tradisional
a. Gamelan Jawa
(Sumber: http://www.kriyalea.com)
Gambar 3. Gamelan Jawa
Secara filosofis gamelan Jawa merupakan satu bagian yang tak terpisahkan dari
kehidupan masyarakat Jawa. Hal demikian disebabkan filsafat hidup masyarakat
Jawa berkaitan dengan seni budayanya yang berupa gamelan Jawa serta
berhubungan erat dengan perkembangan religi yang dianutnya. Pada masyarakat
jawa gamelan mempunyai fungsi estetika yang berkaitan dengan nilai-nilai sosial,
moral dan spiritual. Gamelan memiliki keagungan tersendiri, buktinya bahwa
dunia pun mengakui gamelan adalah alat musik tradisional timur yang dapat
mengimbangi alat musik barat yang serba besar. Gamelan merupakan alat musik
yang luwes, karena dapat berfungsi juga bagi pendidikan.
Berikut dijelaskan jenis alat musik tradisional Yogyakarta yang terkenal yaitu
kendang dan rebab.
1) Kendang
Alat musik jenis pukul satu ini disebut Kendang. Biasanya terbuat dari kayu
yang dibentuk bulat berongga kemudian di kedua ujungnya ada kulit kambing,
atau kulit sapi yang diregang sehingga berbunyi jika di pukul. Ada juga yang
hanya satu ujung saja yang diberi kulit. Alat gendang atau kendang ini juga
merupakan salah satu alat musik tradisional Yogyakarta dan termasuk alat
musik yang tidak memiliki tangga nada. Biasanya bermain kendang harus
dikolaborasikan dengan berbagai alat musik lainnya seperti seruling, gamelan,
gong, dan lain sebagainya.
(Sumber: http://www.alatmusiktradisional.com)
Gambar 4. Kendang
2) Rebab
Termasuk salah satu alat musik yang berasal dari Arab atau wilayah Timur
Tengah adalah Rebab. Sebuah alat musik tradisional yang mirip dengan gitar
yang dimainkan dengan cara memetik senarnya. Masuknya alat musik Rebab
ini ke Indonesia di bawa oleh para pedagang dari Arab yang kemudian
melakukan perdagangan di beberapa wilayah di Jawa dan Sumatera. Dan alat
musik ini juga termasuk menjadi salah satu alat musik tradisional Yogyakarta.
(Sumber: http://www.arsiptembi.net)
Gambar 5. Rebab
b. Gejok Lesung
Gejog lesung adalah kesenian tradisional khas Yogyakarta yang dulu dimainkan
sejumlah orang dengan alat musik berupa lesung (alat penumbuk padi) dan alu.
Biasanya dimainkan orang-orang tua karena berkait dengan ketoprak lesung.
Kesenian ini berasal dari Desa Banaran, Playen, Gunungkidul, Daerah Istimewa
Yogyakarta.
Kesenian Gejok Lesung (Pukul Lesung) ini merupakan warisan leluhur sejak zaman
dahulu, dan saat ini telah berkembang menjadi bentuk kesenian tradisional khas
Yogyakarta yang ditampilkan untuk menyambut tamu yang berasal dari luar
daerah. Lagu-lagu yang dimainkan adalah lagu-lagu tradisional seperti Gundul-
Gundul Pacul, Lumbung Pari, atau Caping Gunung . Kadang Gejog Lesung juga
diiringi oleh tabuhan gamelan Jawa.
(Sumber: http://www.bloksport.com)
Gambar 6. Gejog Lesung
4. Teater tradisional
Kata teater dari bahasa Yunani yaitu Theatron yang berarti tempat untuk menonton.
Namun teater dapat diartikan sebagai tontonan atau pertunjukkan (Tarigan 1985:73) .
Jadi pengertiannya adalah sebagai tempat untuk pertunjukkan atau kegiatan
pertunjukkan itu sendiri. Teater merupakan seni yang menyeluruh, karena seni selalu
kerjasama (kolektif) secara bersama-sama antara sutradara dan pelaku, serta pelaku
dengan tata rias dan tata busana.
Seni Teater terbagi dalam beberapa jenis menurut ideologinya, menurut sumber
dananya, menurut karakteristiknya, dan masih banyak pembagian seni teater
berdasarkan pengalaman masing-masing pelakunya. Menurut karakteristiknya, Seni
Teater dibagi menjadi dua, yaitu seni teater Tradisional dan seni teater Modern.
Seni Teater tradisional adalah seni teater yang bersifat kedaerahan berdasarkan tradisi,
bergerak dengan sistem kekerabatan yang kental. Sedangkan seni teater modern adalah
seni teater yang mempunyai dasar-dasar keilmuan yang mapan. Penulisan yang sudah
berpatern, penokohan, latihan yang bersistem, dan semua hal yang sudah dibakukan
sebagai sebuah ilmu pengetahuan.
a. Kethoprak
(Sumber: http://www.blokspot.com)
Gambar 7. Adegan Kethoprak
b. Wayang Orang
Wayang orang atau dalam bahasa jawa disebut wayang wong adalah seni teater
tradisional yang mengambil judul dan cerita dari kisah pewayangan. Pertunjukan
yang sering dipentaskan dalam kesenian ini biasanya berupa teater yang
berceritakan kisah Ramayana dan Mahabharata. Kisah dan cerita dalam
pementasan wayang orang haruslah sama dengan apa yang menjadi cerita wayang
asli. Bahkan kostum dan busana yang dikenakan para tokoh-nya pun harus sesuai.
Karena itu pula wayang orang sering disebut dengan teater pakem. Pakem dalam
artian cerita yang disajikan tidak boleh berubah.
(Sumber: http://www.wikipedia.org)
Gambar 8. Adegan Wayang Orang
5. Wayang kulit
Wayang dalam bentuk yang asli merupakan kreasi budaya orang Jawa yang berisi
berbagai aspek kebudayaan Jawa. Wayang sudah ada jauh sebelum masuknya
kebudayaan Hindu ke Indonesia. Pada jaman Neolitikum pertunjukan wayang awalnya
terdiri atas upacara-upacara keagamaan yang berlangsung di malam hari untuk
persembahan kepada “Hyang”. Pertunjukan wayang ceritanya menggambarkan jiwa
kepahlawanan para nenek moyang yang ada dalam mitologi.
Pada masa sekarang pertunjukan wayang sudah sangat berbeda jika dibandingkan
dengan pertunjukan yang sama dimasa lampau. Dahulu wayang digambarkan sesuai
dengan wajah nenek moyang. Orang Jawa gemar sekali menonton wayang karena
ceritanya berisi pelajaran-pelajaran hidup yang sangat berguna yang dapat dijadikan
pedoman dan tuntunan di dalam menjalani hidup di masyarakat. Berdasarkan cerita
dan penyajian kira-kira ada 40 jenis wayang yang ada di Indonesia, diantaranya wayang
beber, wayang klithik, wayang kulit, wayang krucil dan wayang thengul atau wayang
golek. Pementasan wayang selalu diiringi dengan musik gamelan.
Wayang kulit biasanya dibuat dari kulit kerbau atau kulit lembu. Wayang kulit kini
telah menjadi warisan budaya nasional dan sudah sangat terkenal di dunia sehingga
banyak orang asing yang datang dan mempelajari seni perwayangan. Pertunjukan
wayang kulit sampai saat ini tetap digemari sebagai tontonan yang menarik, biasanya
disajikan semalam suntuk.
(Sumber: http://www.blokspot.com)
Gambar 9. Adegan Wayang Kulit
C. Seni Lukis
Muatan materi seni lukis pada pendidikan berbasis budaya berupa mengapresiasi,
internalisasi, aktif-aktualisasi, kreatif tentang batik.
Seni lukis adalah seni yang mengapresiasikan pengalaman artistik seorang seniman melalui
bidang dua dimensi. Dalam seni lukis jawa terdapat seni lukis yaitu lukisan yang terus
berkembang mengikuti jamannya. Selain itu terdapat seni lukis berupa batik yang
berkembang dari lukisan yang digunakan dalam seni busana, hingga lukisan batik. Terdapat
berpuluh motif batik untuk busana yang memiliki aturan-aturan tertentu.
Motif batik kawung adalah motif batik tulis dengan zat pewarna napthol
dan digunakan sebagai kain panjang. Makna filosofi dalam batik ini adalah sebagai
lambang keperkasaan dan keadilan. Motif kawung berpola bulatan mirip buah kawung
(sejenis kelapa atau kadang juga dianggap sebagai buah kolang-kaling) yang ditata rapi
secara geometris. Motif ini juga diinterpretasikan sebagai gambar bunga lotus (teratai)
dengan empat lembar daun bunga yang merekah. Lotus adalah bunga yang
melambangkan umur panjang dan kesucian.
(Sumber: http://www.kriyalea.com)
Gambar 10. Batik Motif Kawung
Motif parang kusuma adalah motif batik tulis dengan zat pewarna napthol dan
digunakan sebagai kain saat tukar cincin. Dalam motif Parang Kusuma terkandung
suatu makna bahwa suatu kehidupan harus dilandasi dengan perjuangan dan usaha
dalam mencapai keharuman lahir dan batin. Hal ini bisa disamakan dengan harumnya
suatu bunga (kusuma).
Juga dalam falsafat Jawa, suatu kehidupan dalam masyarakat yang paling utama harus
kita dapatkan adalah keharuman pribadinya tanpa harus meninggalkan norma-norma
dan nilai yang berlaku. Suatu hal yang sulit untuk direalisasikan, tetapi pada umumnya
orang Jawa berharap bisa menempuh suatu kehidupan yang boleh dikatakan sempurna
lahir batin yang diperoleh atas jerih payah dari tingkah laku dan pribadi yang baik.
Motif Batik Parang Kusuma bermakna hidup harus dilandasi dengan perjuangan untuk
mencari kebahagiaan lahir dan batin, ibarat keharuman bunga (kusuma). Contohnya,
bagi orang Jawa, yang paling utama dari hidup di masyarakat adalah keharuman
(kebaikan) pribadinya tanpa meninggalkan norma-norma yang berlaku dan sopan
santun agar dapat terhindar dari bencana lahir dan batin.
(Sumber: http://www.kriyalea.com)
Gambar 11. Batik Motif Parang Kusuma
Motif batik truntum adalah motif batik tulis dengan zat pewarna soga alam dan
digunakan saat pernikahan. Truntum diciptakan oleh Kanjeng Ratu Kencana
(Permaisuri Sunan Paku Buwana III) bermakna cinta yang tumbuh kembali. Beliau
menciptakan motif ini sebagai simbol cinta yang tulus tanpa syarat, abadi dan semakin
lama terasa semakin subur berkembang (tumaruntum). Karena maknanya, truntum
biasanya dipakai oleh orang tua pengantin pada hari pernikahan. Harapannya adalah
agar cinta kasih yang tumaruntum ini akan menghinggapi kedua mempelai. Kadang
dimaknai pula bahwa orang tua berkewajiban untuk “menuntun” kedua mempelai
untuk memasuki kehidupan baru.
(Sumber: http://www.kriyalea.com)
Gambar 12. Batik Motif Truntum
Motif batik tambal adalah motif batik tulis dengan zat pewarna soga alam. Unsur motif
yang digunakan adalah ceplok, parang, meru, dll dengan ciri khas kerokan. Digunakan
sebagai kain panjang. Makna filosofi dalam motif ini adalah ada kepercayaan bila orang
sakit menggunakan kain ini sebagai selimut, sakitnya cepat sembuh, karena tambal
artinya menambah semangat baru.
(Sumber: http://www.kriyalea.com)
Gambar 13. Batik Motif Tambal
Motif batik pamiluto menggunakan zat pewarna soga alam yang digunakan
sebagai kain panjang saat pertunangan. Unsur motif yang terkandung di dalamnya
adalah Parang, Ceplok, Truntum dan lainnya.
Filosofi dalam batik ini adalah Pamiluto berasal dari kata “pulut”, berarti perekat,
dalam bahasa Jawa bisa artinya kepilut [tertarik].
(Sumber: http://www.kriyalea.com)
Gambar 14. Batik Motif Pamiluto
Selain 5 motif diatas, batik Yogyakarta juga mempunyai banyak motif lainnya yang menjadi
ide lahirnya batik-batik kontemporer saat ini.
D. Busana
Muatan materi seni busana pada pendidikan berbasis budaya berupa mengapresiasi,
internalisasi, aktif-aktualisasi, kreatif tentang Busana Adat Yogyakarta.
Seni Busana termasuk dalam Seni Desain yang merupakan Seni Terapan yaitu seni yang
proses pembuatannya memiliki tujuan dan fungsi tertentu. Dalam kebudayaan Jawa,
terdapat desain busana yang memiliki fungsi tertentu dan sekaligus menunjukkan derajat
pemakainya dalam strata sosial. Seni busana Jawa bersumber pada seni busana yang ada di
kraton, dibedakan menjadi dua jenis, yaitu :
1. Seni busana untuk putra
2. Seni busana untuk putri
(Sumber: http://www.kebudayaanindonesia.com)
Gambar 15. Busana adat surjan lurik
(Sumber: http://www.wordpress.com)
Gambar 15. Busana adat pada acara pernikahan
E. Kriya
Muatan materi seni kriya pada pendidikan berbasis budaya berupa mengapresiasi,
internalisasi, aktif-aktualisasi, kreatif tentang kriya logam (bilah keris, bilah tombak, hiasan
rumah, perhiasan dll), kriya kayu (topeng, ukiran perabot rumah, hias ukir), kriya tanah
(gerabah perabot rumah, gerabah hias), kriya kulit (wayang, tatahan hias), anyaman (bambu,
rotan, pandan, dll), kriya tekstil (tenun, dll).
Seni Kriya adalah kegiatan seni yang menitik-beratkan kepada keterampilan tangan dan
fungsi untuk mengolah bahan baku yang sering ditemukan di lingkungan menjadi benda-
benda yang tidak hanya bernilai pakai, tetapi juga bernilai estetis.
1. Kriya Logam
Kriya logam menggunakan bahan logam seperti besi, perunggu, emas, perak, dan lain-
lain. Sedangkan teknik yang digunakan biasanya menggunakan sistem cor, ukir, tempa
atau sesuai dengan bentuk yang diinginkan.
Bahan logam banyak dibuat sebagai perhiasan atau aksesoris kemudian berkembang
pula sebagai benda hias dan fungsional, seperti: gelas, kap lampu, perhiasan, wadah
serbaguna bahkan sampai piala sebagai simbol kejuaraan. Logam memiliki sifat keras,
sehingga dalam pengolahannya memerlukan teknik yang tidak mudah, seperti diolah
dengan teknik bakar/pemanasan dan tempa.
Kriya logam adalah seni kerajinan atau keterampilan untuk membuat sesuatu menjadi
barang-barang yang memiliki nilai guna dengan menggunakan logam sebagai
medianya.
a. Keris
dikenakan oleh Gusti Pangeran Harya Hangabehi, putra lelaki tertua sultan. Keris
Kanjeng Kiai Purboniat hanya boleh dikenakan oleh Patih Danureja.
(Sumber: http://www.kerajaannusantara.com/id)
Gambar 16. Keris Kanjeng Kiai Ageng Kopek
b. Tombak
Tombak merupakan salah satu karya kriya logam yang ada di Yogyakarta. Di
kraton Yogyakarta terdapat banyak tombak yang bentuk mata tombaknya
bervariasi. Berbagai macam bentuk tombak antara lain bercabang tiga, berbentuk
kudi, berbentuk cakra, dan berbentuk konvensional. Diantara tombak-tombak
pusaka kraton yang dipandang istimewa adalah Kangjeng Kyai Ageng Plered.
Tombak tersebut sudah ada di lingkungan kraton Mataram-Islam sejak
pemerintahan Panembahan Senopati.
Jenis-jenis tombak atau tumbak yang pernah dikenal dalam tradisi Kraton
Yogyakarta adalah sebagai berikut:
1) Tumbak adalah senjata panjang yang ujungnya terbuat dari besi/baja tajam,
panjang lebih kurang 2 meter.
2) Tumbak Larakan adalah senjata panjang lebih kurang 2,5-3 meter, untuk
membawanya dilarak
3) Talempak adalah tumbak pendek kurang lebih 1,5 meter d. Trisula, tumbak
panjang dengan ujung tajamnya bermata 3
4) Canggah adalah tumbak panjang kurang lebih 3 meter dengan ujung tajamnya
2 mata lengkung
5) Lawung adalah tumbak tumpul empuk, hanya untuk latihan perang.
(Sumber: http://arsip.tembi.net/id)
Gambar 17. Tombak
c. Hiasan rumah
Fungsi hiasan pada suatu bangunan adalah untuk memberi keindahan, yang
diharapkan dapat memberi ketentraman dan kesejukan bagi yang menempatinya.
Pada orang Jawa di Yogyakarta, hiasan rumah tersebut banyak diilhami oleh flora,
fauna, dan alam. Pada alas tiang yang disebut umpak, biasanya diberi hiasan
terutama umpak pada soko guru. Hiasan tersebut berupa ukiran bermotif bunga
mekar, yang disebut Padma. Padma adalah bunga teratai merah sebagai lambang
kesucian, kokoh dan kuat yang tidak mudah tergoyahkan oleh segala macam
bencana yang menimpanya.
Ragam hias lung-lungan merupakan ragam hias yang paling banyak dijumpai.
Lung-lungan berarti batang tumbuh-tumbuhan melata yang masih muda. Hiasan
ini biasanya diukirkan pada kayu, banyak mengambil gambar bunga teratai, bunga
melati, daun markisa dan tanaman lain yang bersifat melata. Semua hiasan itu
memberi arti ketentraman, di samping sifat wingit dan angker.
Ragam hias saton dan tlacapan merupakan dua kesatuan yang tidak terpisahkan,
memberi arti persatuan dan kesatuan.
Ragam hias nanasan, mengambil contoh buah nanas yang penuh duri,
melambangkan bahwa untuk mendapat sesuatu yang diinginkan, harus mampu
mengatasi rintangan yang penuh duri.
Ragam hias yang banyak bernuansa fauna banyak mengambil gambar burung
garuda, ayam jago, kala, dan ular. Burung garuda merupakan jenis burung yang
paling besar yang mampu terbang tinggi di angkasa, melambangkan pemberantas
kejahatan. Biasanya ragam hias garuda dipadukan dengan ragam hias ular, karena
ular mempunyai unsur jahat.
Ragam hias jago yang mengambil gambar ayam jago, memiliki arti penghuni rumah
mempunyai andalan pada berbagai bidang, baik anak laki-laki maupun
perempuan, sebab andalan itu merupakan kebanggaan seluruh keluarga.
Ragam hias perwujudan alam berupa gunung, matahari, dan sebagainya. Ragam
hias gunungan berarti hiasan yang bentuknya mirip dengan gunung. Gunungan
merupakan lambang alam semesta dengan puncaknya yang melambangkan pula
keagungan dan keesaan. Sedangkan kayon atau pohonnya melambangkan tempat
berlindung dan ketentraman. Dengan demikian ragam hias tersebut memberi arti
bahwa keluarga yang menempati rumah itu dapat berteduh dan mendapatkan
ketentraman, keselamatan serta dilindungi Tuhan Yang Maha Kuasa.
Ragam hias praba berarti sinar, mengandung arti menyinari tiang-tiang yang
terpancang di rumah tersebut, sehingga dapat menyinari rumah secara
keseluruhan.
(Sumber: http//www.wikipedia.org)
Gambar 18. Ragam Hias di Keraton Yogyakarta
d. Perhiasan
Perhiasan adalah sebuah benda yang digunakan untuk merias atau mempercantik
diri. Perhiasan biasanya terbuat dari emas ataupun perak dan terdiri dari berbagai
macam bentuk mulai dari cincin, kalung, gelang, liontin dan lain-lain. Biasanya
perhiasan diberikan untuk hadiah. Perhiasan mempunyai bentuk beragam mulai
dari bulat, hati, kotak,dan lain lain. Perhiasan biasanya berasal dari bahan tambang.
(Sumber: http://www.indonetwork.co.id)
Gambar 19. Perhiasan dari Perak
2. Kriya Kayu
Kriya kayu merupakan suatu jenis seni kriya yang dalam pekerjaannya membuat benda
selalu menggabungkan antara nilai fungsi sekaligus hias dengan menggunakan bahan
kayu. Dalam seni kriya kayu, terdapat pekerjaan dengan tingkat dasar atau tingkat
permulaan. Kayu sangat banyak dimanfaatkan dalam pembuatan berbagai benda
kerajinan seperti patung, wayang golek, topeng, furnitur dan juga hiasan ukir-ukiran.
a. Topeng
Topeng pada umumnya digunakan untuk pementasan gerak tari. Dalam pagelaran
Wayang Wong yang di ciptakan oleh Hamengku Bhuwono I ( 1755-1792 ) dalam
pengekspresian karakter gerak tari tokoh-tokoh wayang untuk peran kera dan
raksasa dalam pentas Ramayana maupun Mahabharata pemainnya dilengkapi
dengan pemakaian topeng, sedangkan untuk tokoh satria dan wanita tidak
mengenakan topeng.
(Sumber: http://arsip.tembi.net/id)
Gambar 20. Berbagai Karakter Topeng Yogyakarta
3. Kriya Tanah
Kriya tanah adalah kerajinan yang terbuat dari bahan tanah liat, sering dikenal orang
dengan kerajinan keramik. Kriya tanah adalah karya kerajinan yang menggunakan
bahan baku dari tanah liat sehingga menghasilkan barang atau benda pakai dan benda
hias yang indah. Contohnya: gerabah perabot rumah, gerabah hias. Berikut contoh kriya
dari tanah liat.
(Sumber:http://www.satulingkar.com)
Gambar 21. Kerajinan dari tanah liat
4. Kriya Kulit
Kriya kulit banyak terdapat pada kerajinan wayang dan hiasan tatahan kulit. Wayang
kulit biasanya dibuat dari kulit kerbau atau kulit lembu. Wayang kulit kini telah
menjadi warisan budaya nasional dan sudah sangat terkenal di dunia sehingga banyak
orang asing yang datang dan mempelajari seni perwayangan. Pertunjukan wayang kulit
sampai saat ini tetap digemari sebagai tontonan yang menarik, biasanya disajikan
semalam suntuk.
Kriya kulit merupakan jenis karya seni kriya yang menggunakan kulit sebagai bahan
bakunya. Kulit yang digunakan biasanya adalah kulit sapi, kerbau, kambing, ular, dan
buaya. Sebelum kulit tersebut dipakai, terlebih dulu menjalani proses pengolahan yang
sangat panjang, mulai dari pemisahan dari daging hewan tersebut, pencucian dengan
menggunakan cairan tertentu, pembersihan, perendaman dengan menggunakan zat
kimia tertentu (penyamakan), pewarnaan, perentangan kulit agar tidak mengkerut,
pengeringan, dan penghalusan. Setelah itu, baru dipotong-potong sesuai dengan ukuran
dari benda yang akan dibuat. Hasil dari seni kriya kulit ini biasanya berupa sepatu, tas,
wayang kulit, pakaian (jaket), ikat pinggang, dompet, alat musik rebana, dan juga
tempat HP.
(Sumber: http://arsip.tembi.net/id)
Gambar 22. Kriya Kulit Wayang dan Hiasan
Kriya anyaman yang ada di Yogyakarta sangatlah beragam, baik dari jenis, bahan,
ataupun bentuknya. Anyaman biasanya terbuat dari batang rotan, kulit bambu dan
daun pandan. Beberapa bahan lainnya yang bisa digunakan untuk membuat anyaman
adalah enceng gondok, pelepah pisang, dan serat kayu. Teknik pembentukan anyaman
biasanya memanfaatkan teknik jalur pakan (Horizontal), jalur pakan lungsi (vertikal),
dan jalur pakan gulungan (diagonal).
a. Anyaman bambu
Bambu dapat dijadikan berbagai produk kerajinan yang bernilai seni dan ekonomi
tinggi. Sejak ratusan tahun lalu, manyarakat Yogyakarta telah menggunakan bambu
untuk berbagai kebutuhan, mulai dari yang paling sederhana sampai yang rumit.
Sampai saat ini, bambu masih digunakan untuk keperluan tersebut. Bahkan saat ini,
produk kerajinan bambu tampil dengan desain lebih menarik dan artistik. Teknik
dalam pembuatan kerajinan bambu yang terkenal adalah teknik anyaman.
(Sumber: http://www.tarumpah.com)
Gambar 23. Anyaman dari bambu
6. Kriya Tekstil
Istilah tekstil sangatlah luas dan juga mencakup berbagai jenis kain yang cara
pembuatannya, baik dengan cara diikat, ditenun, dipres dan masih banyak lagi cara lain
yang dikenal dalam teknik pembuatan kain. Kain pada umumnya terbuat dari serat
yang dipintal atau dipilin untuk menghasilkan benang panjang yang kemudian ditenun
atau dirajut sehingga dapat menghasilkan kain yang berupa barang jadi. Ketebalan atau
jumlah serat, tekstur kain, kadar pilihan, variasi dalam rajutan dan juga tenunan,
merupakan faktor yang sangat berpengaruh terciptanya aneka macam kain yang tak
terhitung macamnya.
Daerah Istimewa Yogyakarta adalah salah satu daerah yang memiliki potensi tinggi di
bidang kerajinan tekstil tradisional khususnya kain tenun lurik. Kain tenun lurik ini
proses pembuatannya memang relatif cukup lama karena pengerjaannya cukup rumit.
Motif yang dibuat oleh para pengrajin tenun sangat erat dengan nilai-nilai budaya Jawa
sehingga mempunyai nilai seni budaya yang tinggi.
Kata lurik sendiri berasal dari bahasa Jawa, lorek yang berarti garis-garis, yang
merupakan lambang kesederhanaan. Sederhana dalam penampilan maupun dalam
pembuatan namun sarat dengan makna (Djoemena, Nian S., 2000).
(Sumber: http://www.kainlurik.com)
Gambar 24. Kain Lurik
Selain berfungsi untuk menutup dan melindungi tubuh, lurik juga memiliki fungsi
sebagai status simbul dan fungsi ritual keagamaan. Motif lurik yang dipakai oleh
golongan bangsawan berbeda dengan yang digunakan oleh rakyat biasa, begitu pula
lurik yang dipakai dalam upacara adat disesuaikan dengan waktu serta tujuannya.
Nama motifnya diperoleh dari nama flora, fauna, atau dari sesuatu benda yang
dianggap sakral. Motif lurik tradisional memiliki makna yang mengandung petuah,
cita-cita, serta harapan kepada pemakainya atau dalam penggunaannya.
Lurik tak dapat dipisahkan dengan kepercayaan dan ikut mengiringi berbagai upacara
agama, ritual dan adat sepanjang daur kehidupan manusia. Sedangkan daur kehidupan
manusia mulai dari lahir sampai meninggal diibaratkan dengan putaran empat penjuru
mata angin yang bergerak dari Timur ke Selatan dengan melalui Barat menuju ke Utara.
Keempat penjuru mata angin ini dalam bahasa Jawa disebut dengan mancapat. Dalam
kaitan ini, setiap mata angina dilambangkan dengan simbol-simbol warna (makna
warna sehelai lurik).
Lurik juga tidak terlepas dari berbagai legenda yang tumbuh dan berkembang secara
turun temurun dalam kelompok masyarakat. Beberapa legenda yang terkandung dalam
lurik terdapat dalam artikel legenda sehelai lurik. Begitu juga dengan berbagai unsur
seperti warna, motif, dan kepercayaan yang menyertai lurik membuat nilai sebuah lurik
menjadi tinggi. Penggunaan lurik terutama penggunaan lurik oleh masyarakat
Yogyakarta dipakai dalam penyelenggaraan upacara tertentu juga berbeda-beda
maknanya tergantung maksud dan tujuan upacara yang diselenggarakan.
Kain tenun lurik tradisional motif Keraton, biasanya hanya digunakan untuk baju
tradisional abdi dalem Keraton Yogyakarta. Menurut sejarahnya, kain lurik telah ada
sejak zaman Kerajaan Mataram, hal ini dibuktikan dengan ditemukannya beberapa
prasasti yang menggambarkan hal tersebut. Kini kain tenun motif garis-garis yang
nyaris punah tersebut telah dikembangkan untuk bahan fashion serta aksesoris lainnya
seperti tas dan dompet.
(Sumber: http://www.kainlurik.com)
Gambar 25. Lurik Prajurit Jogokaryo Kraton Yogyakarta
(Sumber: http://www.kainlurik.com)
Gambar 26. Lurik Seragam Abdi Dalem Kraton Yogyakarta
(Sumber: http://www.kainlurik.com)
Gambar 27. Lurik Seragam Prajurit Ketanggungan Kraton Yogyakarta
F. Arsitektur
a. Joglo
Orang Yogyakarta menyebut rumah “omah” yang berarti tempat tinggal. Bentuknya
empat persegi panjang atau bujur sangkar. Bentuk rumah joglo merupakan bentuk
rumah tradisional Yogyakarta yang paling sempurna. Bangunan ini memiliki
bentuk dan teknik pembuatan tinggi, sehingga tampak sangat megah dan artistik.
Keistimewaan rumah joglo terletak pada empat soko guru yang menyangga
blandar tumpang sari. Kemudian bagian kerangka yang disebut brunjung yaitu
bagian atas keempat soko guru atau tiang utama sampai bubungan yang disebut
molo atau suwunan.
Dari halaman depan, pertama-tama yang kita temui adalah ruangan lepas terbuka
yang disebut pendopo. Ruang ini berfungsi sebagai tempat menerima tamu,
pertemuan bila ada musyawarah serta kegiatan kesenian seperti menari, bermain
sandiwara atau pementasan wayang. Pada bagian pinggir pendopo, yaitu bagian
emperannya dahulu tempat anak-anak perempuan bermain dakon. Pada waktu ada
upacara atau pagelaran kesenian, pendopo ini menjadi tempat pertunjukkan.
Sementara para undangan duduk di bagian kanan dan kiri ruang pendopo. Ruang
terdepan diperuntukkan bagi iringan gamelan atau musik pemilik rumah beserta
keluarga duduk dalam ruangan pendopo menghadap keluar searah bangunan.
Dari ruang tengah kemudian menuju ruang belakang, yang disebut dalem atau
omah jero. Ruangan ini berfungsi sebagai ruang keluarga atau tempat menerima
tamu wanita. Di kala ada pementasan wayang kulit, dahulu wanita hanya
diperbolehkan menyaksikan di balik kelir, di ruangan ini. Di dalem atau rumah
jero, terdapat tiga buah kamar atau senthong yaitu senthong kiwo (kiri), senthong
tengah dan senthong tengen (kanan).
Pada para petani, senthong kiwo berfungsi untuk menyimpan senjata atau barang-
barang keramat. Senthong tengah untuk menyimpan benih atau bibit akar-akaran
atau gabah. Sedangkan senthong tengen untuk ruang tidur. Kadang-kadang
senthong tengah dipakai pula untuk berdoa dan pemujaan kepada Dewi Sri. Oleh
karenanya disebut juga pasren atau petanen. Senthong tengah tersebut diberi batas
kain yang disebut langse atau gedhek, berhias anyaman yang disebut patang aring.
Pada rumah joglo milik bangsawan, senthong tengah ini berisi bermacam-macam
benda lambang (perlengkapan) yang mempunyai kesatuan arti yang sakral (suci).
Setiap benda memiliki arti lambang kesuburan dan kebahagiaan rumah tangga.
Sebelah kiri, kanan dan belakang senthong terdapat gandhok, yaitu bangunan kecil
yang digunakan untuk tempat tinggal kerabat. Bila ada upacara atau kenduri,
gandhok ini dipakai untuk tempat para wanita mengerjakan segala keperluan dan
persiapan upacara terutama mengatur makanan yang sudah dimasak di dapur.
Dapur (pawon) terletak di belakang dalem, yang selain untuk memasak, juga
berfungsi sebagai tempat menyimpan perkakas dapur serta bahan makanan seperti
kelapa, palawija, beras dan sebagainya. Antara gadhok kiri dan kanan dengan
dalem, dibuat gerbang kecil yang disebut seketheng.
(Sumber: http://www.kebudayaanindonesia.com)
Gambar 28. Joglo Bangsal Kencono
b. Limasan
Dinamakan Limasan, karena jenis rumah tradisional ini mempunyai denah empat
persegi panjang atau berbentuk limas. Rumah bentuk limasan yang sederhana
terdiri dari empat buah atap, terdiri dua buah atap bernama kejen atau cocor
serta dua buah atap bernama bronjong yang berbentuk jajaran genjang sama kaki.
Kejen berbentuk segi tiga sama kaki seperti enam atap keyong, namun memiliki
fungsi yang berbeda. Pada perkembangan selanjutnya rumah limasan diberi
penambahan pada sisi-sisinya yang disebut empyak emper atau atap emper.
Limasan Apitan, merupakan Rumah Limasan bertiang empat dengan sebuah ander
yang menopang molo di tengah-tengahnya.
Limasan Pacul Gowang, merupakan Rumah Limasan memakai sebuah atap emper
terletak pada salah satu sisi panjangnya, sedangkan pada lainnya diberi atap cukit
(atap tritisan) dan sisi samping dengan atap trebil.
(Sumber: http://www.kebudayaanindonesia.com)
Gambar 29. Rumah Limasan
2. Bangunan Umum
a. Tugu Yogyakarta
Tugu Yogyakarta adalah sebuah tugu atau monument yang sering dipakai sebagai
simbol atau lambang dari kota Yogyakarta. Tugu ini dibangun oleh
Hamengkubuwana I, pendiri kraton Yogyakarta. Tugu yang terletak di perempatan
Jalan Jenderal Sudirman dan Jalan Margo Utomo ini, mempunyai nilai simbolis dan
merupakan garis yang bersifat magis menghubungkan laut selatan, kraton Jogja
dan gunung Merapi.
Tugu ini sekarang merupakan salah satu objek pariwisata Yogya, dan sering
dikenal dengan istilah “tugu pal putih” (pal juga berarti tugu), karena warna cat
yang digunakan sejak dulu adalah warna putih. Tugu pal ini berbentuk bulat
panjang dengan bola kecil dan ujung yang runcing di bagian atasnya. Dari kraton
Yogyakarta kalau kita melihat ke arah utara, maka kita akan menemukan bahwa
Jalan Malioboro, Jalan Margo Utomo, tugu ini, dan Jalan A.M. Sangadji akan
membentuk satu garis lurus persis dengan arah ke puncak gunung Merapi.
(Sumber: http://www.wikipedia.com)
Gambar 30. Tugu Yogyakarta
b. Beteng Keraton
Pojok Beteng adalah bagian bangunan Benteng Keraton yang terletak di sudut-
sudut benteng. Sama halnya dengan konsep benteng-benteng eropa, pojok benteng
atau yang disebut bastion juga menjadi tempat pemusatan kekuatan. Terbukti di
Pojok Beteng Wetan ditemukan ruang yang digunakan sebagai tempat untuk
menyimpan mesiu. Pojok Beteng ini berbentuk empat persegi dengan tinggi kira-
kira 5 meter. Pada dinding-dindingnya terdapat tempat yang kemungkinan besar
digunakan untuk meletakkan meriam. Pojok Beteng juga mempunyai ruang-ruang
pengintaian bagi para prajurit. Ruang pengintaian ini berbentuk seperti peluru
meriam dengan lubang pengintaian untuk mengamati keadaan di luar benteng,
Prajurit pengintai aman dari serangan musuh karena terlindungi ruang yang
berbentuk seperti peluru tersebut.
(Sumber: http://www.wikipedia.com)
Gambar 31. Pojok Beteng
Pojok Beteng ini saling terhubung dengan Pojok Beteng lainnya. Namun demikian
dari 4 pojok benteng yang pernah ada sekarang ini hanya tinggal 3 buah. Yaitu
Pojok Beteng Wetan(timur) di selatan-timur Keraton, Pojok Beteng Kulon (barat) di
selatan-barat Keraton, dan Pojok Beteng Lor(utara) di sebelah utara-barat Keraton.
Satu pojok benteng sudah tidak lagi tersisa terletak di sebelah utara-timur Keraton.
Pojok Beteng ini hancur rata dengan tanah ketika di gempur oleh Pasukan Inggris
pada peristiwa yang dikenal sebagai “Geger Spei”. Pada tahun 1812 pasukan
Inggris berhasil mengalahkan Kasultanan Yogyakarta yang pada masa itu
diperintah oleh Sultan Hamengkubuwana II. Di sebut “Geger Spei: karena pada
waktu itu Inggris mengerahkan pasukan bayaran dari India yang disebut Pasukan
Sepoy. Sisa-sisa Pojok Beteng ini dapat dilihat di jalan masuk menuju Jalan
Mangunegaran. Di sisa-sisa reruntuhan tersebut terdapat prasasti yang
menyebutkan tentang pojok benteng yang hancur diserang pasukan Inggris pada
masa pemerintahan Sultan HB II.
(Sumber: http://www.wikipedia.com)
Gambar 32. Pojok Beteng
Masjid Gedhe Kauman dibangun oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I, bersama Kyai
Faqih Ibrahim Diponingrat (penghulu kraton pertama) dan Kyai Wiryokusumo sebagai
arsiteknya. Masjid ini dibangun pada hari Ahad Wage, 29 Mei 1773 M atau 6 Robi’ul
Akhir 1187 H.
Kompleks Mesjid Gedhe Kauman dikelilingi oleh suatu dinding yang tinggi. Pintu
utama kompleks terdapat di sisi timur dengan konstruksi semar tinandu. Arsitektur
bangunan induk berbentuk tajug persegi tertutup dengan atap bertumpang tiga. Untuk
masuk ke dalam terdapat pintu utama di sisi timur dan utara. Di sisi dalam bagian barat
terdapat mimbar bertingkat tiga yang terbuat dari kayu, mihrab (tempat imam
memimpin ibadah), dan sebuah bangunan mirip sangkar yang disebut maksura. Pada
zamannya (untuk alasan keamanan) di tempat ini sultan melakukan ibadah. Serambi
masjid berbentuk limas persegi panjang terbuka.
Lantai ruang utama dibuat lebih tinggi dari serambi masjid dan lantai serambi sendiri
lebih tinggi dibandingkan dengan halaman masjid. Di sisi utara-timur-selatan serambi
terdapat kolam kecil. Pada zaman dahulu kolam ini untuk mencuci kaki orang yang
hendak masuk masjid.
Di depan masjid terdapat sebuah halaman yang ditanami pohon tertentu. Di sebelah
utara dan selatan halaman (timur laut dan tenggara bangunan masjid raya) terdapat
sebuah bangunan yang agak tinggi yang dinamakan Pagongan. Pagongan di timur laut
masjid disebut dengan Pagongan Ler (Pagongan Utara) dan yang berada di tenggara
disebut dengan Pagongan Kidul (Pagongan Selatan). Saat upacara Sekaten, Pagongan
Ler digunakan untuk menempatkan gamelan sekati Kangjeng Kyai (KK) Naga Wilaga
dan Pagongan Kidul untuk gamelan sekati KK Guntur Madu.
Di barat daya Pagongan Kidul terdapat pintu untuk masuk kompleks masjid gedhe
yang digunakan dalam upacara Jejak Bata pada rangkaian acara Sekaten setiap tahun
Dal. Selain itu terdapat Pengulon, tempat tinggal resmi kangjeng kyai pengulu di
sebelah utara masjid dan pemakaman tua di sebelah barat masjid.
(Sumber: http://www.wikipedia.com)
Gambar 33. Masjid Gedhe kauman
Keraton Yogyakarta mulai didirikan oleh Sultan Hamengku Buwono I beberapa bulan
pasca Perjanjian Giyanti pada tahun 1755. Lokasi keraton ini konon adalah bekas sebuah
pesanggarahan yang bernama Garjitawati. Pesanggrahan ini digunakan untuk istirahat
iring-iringan jenazah raja-raja Mataram (Kartasura dan Surakarta) yang akan
dimakamkan di Imogiri. Versi lain menyebutkan lokasi keraton merupakan sebuah
mata air, Umbul Pacethokan, yang ada di tengah hutan Beringan. Sebelum menempati
Keraton Yogyakarta, Sultan Hamengku Buwono I berdiam di Pesanggrahan Ambar
Ketawang yang sekarang termasuk wilayah Kecamatan Gamping Kabupaten Sleman.
Secara fisik istana para Sultan Yogyakarta memiliki tujuh kompleks inti yaitu Siti
Hinggil Ler (Balairung Utara), Kamandhungan Ler (Kamandhungan Utara), Sri
Manganti, Kedhaton, Kamagangan, Kamandhungan Kidul (Kamandhungan Selatan),
dan Siti Hinggil Kidul (Balairung Selatan). Selain itu Keraton Yogyakarta memiliki
berbagai warisan budaya baik yang berbentuk upacara maupun benda-benda kuno dan
bersejarah. Di sisi lain, Keraton Yogyakarta juga merupakan suatu lembaga adat
lengkap dengan pemangku adatnya. Oleh karenanya tidaklah mengherankan jika nilai-
nilai filosofi begitu pula mitologi menyelubungi Keraton Yogyakarta. Dan untuk itulah
pada tahun 1995 Komplek Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat dicalonkan untuk
menjadi salah satu Situs Warisan Dunia UNESCO.
(Sumber: http://www.wikipedia.com)
Gambar 34. Pagelaran Keraton Yogyakarta
G. Boga
Muatan materi boga pada pendidikan berbasis budaya berupa mengapresiasi, internalisasi,
aktif-aktualisasi, kreatif tentang santapan (gudheg, brongkos, abon, dll), makanan ringan
khas jogja (kipo, lemet, gathot-thiwul dll), dan minuman khas jogja (wedang uwuh, wedang
rondhe, dll).
Boga/makanan khas Yogyakarta sudah diakui keberadaannya, baik secara nasional maupun
internasional. Makanan tradisional ini sesungguhnya antar satu daerah dengan daerah lain
hampir sama, namun yang membedakan adalah wujud dari bentuk makanan itu sendiri
yang ditopang dengan latar belakang ataupun tinjauan historis dan filosofisnya yang
berbeda-beda.
1. Santapan
a. Gudheg
Gudeg (bahasa Jawa gudheg) adalah makanan khas Yogyakarta yang terbuat
dari nangka muda yang dimasak dengan santan. Perlu waktu berjam-jam untuk
membuat masakan ini. Warna coklat biasanya dihasilkan oleh daun jati yang
dimasak bersamaan. Gudeg dimakan dengan nasi dan disajikan dengan kuah
santan kental (areh), ayam kampung, telur, tahu dan sambal goreng krecek.
(Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Gudeg)
Gambar 35. Gudeg
b. Brongkos
Sayur brongkos, biasa disebut “Jangan Brongkos” merupakan jenis makanan olahan
sayur yang sangat khas bagi masyarakat di Yogyakarta karena Sayur Brongkos ini
adalah menu tradisional yang khas warisan leluhur masyarakat Yogyakarta.
(Sumber: http://www.makanjogja.com)
Gambar 36. Brongkos
a. Kipo
Kipo merupakan makanan khas Kotagede yang terbuat dari beras ketan, berisi
enten-enten atau parutan kelapa dicampur dengan gula jawa. Bentuknya bulat
lonjong kecil-kecil dengan penyajiannya selalu ditaruh di atas daun pisang.
Rasanya manis, gurih dan lezat. Warnanya yang kehijauan bukan dari zat pewarna,
tetapi alami dari daun pandan. Nama kipo sendiri berasal ari singkatan “iki opo’
yang berarti “ini apa”.
(Sumber: http://www.makanjogja.com)
Gambar 37. Kipo
b. Lemet
Lemet adalah nama makanan atau kue tradisional yang terbuat dari singkong yang
diparut halus kemudian dicampur dengan gula merah. Kue tradisional ini memiliki
rasa yang manis dan tekstur yang kenyal. Biasanya ditambah sedikit garam dapur
halus supaya untuk menambah rasa gurih. Lemet ini berbentuk bulat panjang
seperti lontong yang dibungkus dengan daun pisang, tetapi kedua ujungnya tidak
disemat dengan sapu lidi atau tusuk gigi dan kedua ujungnya hanya dilipat saja.
(Sumber: http://www.resepnasional.com)
Gambar 38. Lemet
c. Gathot Tiwul
Gatot merupakan makanan ringan atau jajanan khas Gunungkidul. Gatot biasa
dikonsumsi untuk menemani acara minum teh atau kopi. Gatot dibuat untuk
konsumsi pribadi, tetapi sekarang sudah menjadi komoditi yang diperjual belikan.
Gatot dapat dijumpai di pasar-pasar tradisional atau pusat oleh-oleh Gunungkidul.
Tiwul merupakan makanan khas dari Jawa tengah. Tiwul sudah ada sejak jaman
belanda. Bahan baku utama tiwul adalah Singkong.
(Sumber: http://www.wisatagunungkidul.com)
Gambar 39. Tiwul
a. Wedang Uwuh
(Sumber: http://www.zonamakan.blogspot.com)
Gambar 40. Wedang Uwuh
b. Wedang Ronde
Konon minuman ini memiliki pengaruh dari kuliner Cina bernama tangyuan.
Menikmati minuman ini saat panas adalah ide yang paling tepat. Bahan-bahannya
yang kebanyakan diolah dari rempah-rempah, menghasilkan aroma wangi, selain
memberikan kenikmatan, wedang ronde ini dijadikan sebagai obat masuk angin
yang sangat ampuh.
(Sumber: http://www.zonamakan.blogspot.com)
Gambar 41. Wedang Ronde
H. Kesehatan
Ngadi Saliro adalah tata rias dan perawatan luar dan dalam untuk menunjang badan yang
sehat, bersih dan cantik. Ngadi Busono adalah tata busana demi menopang penampilan luar
supaya terlihat cantik dan anggun. Ngadi Saliro-Ngadi Busono merupakan falsafah
perawatan kecantikan yang menyeluruh yang terdiri dari trilogi keanggunan wanita yaitu
ngadisaliro ngadibusono dan tata krama. Kata ngadisaliro dan ngadibusono berasal dari
sansekerta yang artinya mempercantik diri dan memperindah busana, namun memiliki
falsafah dan sifat-sifat maupun arti yang sangat luas.
Ngadisaliro atau sariro adalah badan kita yang ingin percantik dan karena badan kita terdiri
dari jiwa dan raga, jasmani dan rohani. Maka kecantikan yang sejati hendaknya kita
usahakan agar meningkat secara menyeluruh. Memperindah pribadi dan kecantikan batin
yang berpengaruh besar pada kecantikan phisik kita. Dalam Ngadisaliro kecantikan phisik
memiliki semboyan “alam sumber kesehatan dan kecantikan” yang mengandung zat-zat
berkhasiat tanpa menyebabkan efek samping pada tubuh. Jadi pengertian perawatan
ngadisaliro secara phisik adalah kecantikan yang dilakukan baik dari dalam maupun dari
luar. Setiap wanita dapat menjadi cantik memiliki kelebihan dan kekurangan, yang penting
adalah bagaimana menghayati ilmu ngadisaliro dan ngadibusano dengan baik.
I. Olahraga/Permainan Tradisional
Muatan materi olah raga pada pendidikan berbasis budaya berupa mengapresiasi,
internalisasi, aktif-aktualisasi, kreatif tentang permainan tradisional.
1. Olah raga
Olahraga dan permainan tradisional tidak dapat dipisahkan. Permainan yang dilakukan
merupakan suatu aktifitas olahraga yang sifatnya hiburan dan kebersamaan.
2. Permainan Tradisional
Pada jaman dahulu ketika suasana ditanah Jawa masih belum banyak infra struktur
yang ada (listrik, gedung hiburan dan sarana lain) anak-anak biasa ditengah hari atau
malam hari selalu berkumpul kembali, setelah pagi hari hingga siang membantu orang
tuanya bekerja. Pertemuan antar sesama anak-anak tersebut banyak melahirkan sebuah
proses interaksi bersama yang berupa dolanan anak. Dolanan anak saat ini nyaris sudah
mulai tergerus oleh budaya kapitalis yang berupa hiburan televisi yang kurang sarat
dengan unsur piwulang, kawruh dan pendidikan etika dan estetika. Namun demikian
kita juga masih dapat menjumpai dolanan anak yang masih dilakukan oleh anak-anak
dusun pada umumnya.
a. Cublak-cublak Suweng
Demikian lirik dan bait dolanan anak yang biasa dilakukan dimalam hari di tengah
lapang atau dihalaman rumah ketika bulan purnama tiba. Sebuah untaian syair
“sanepo” (simbolisasi) karya dari Sunan Giri yang sarat dengan makna kehidupan.
Kesimpulan dari permainan yang dapat dilakukan 4 sampai 5 orang yang saling
bergantian peran ini adalah, hakekatnya seseorang yang akan mencari
kebagahagiaan sejati jangan menuruti hawa nafsu keserakahan semata.
b. Dakon
Permainan yang lebih sering dilakukan oleh anak-anak perempuan ini memiliki
beberapa istilah sesuai bahasa yang ada di daerah nusantara. Khusus untuk wilayah
Jawa terlebih Daerah Istimewa Yogyakarta lebih dikenal dengan nama Dakon.
Menurut sebuah cerita yang berkembang, permainan ini dahulu awalnya
diperkenalkan oleh para pendatang dari Arab yang datang dan singgah di
Nusantara untuk berdagang dan berdakwah. Bentuk alat permainan ini terdiri dari
kayu atau papan sepanjang setengah meter dan memiliki lubang 16 lubang. Satu sisi
terdiri 7 lubang yang sama dengan sisi lain. Kemudian 1 lubang yang lebih besar
sebagai tujuan pada sisi kanan dan kirinya. Pemain terdiri 2 orang yang berhadapan,
dan masing pemain memegang biji (yang pada jaman dahulu berupa kecik sawo)
sebanyak 98 biji. Pada masing-masing lubang yang sebanyak 7 buah tadi diisi 7 biji
setiap lubangnya.
Cara permainan ini setiap pemain mengambil biji yang terdapat pada lubang kecil
secara urut ke kanan. Langkah tersebut dilakukan secara berulang. Apabila biji yang
diletakkan masuk pada lubang yang kosong maka pemain tidak dapat melanjutkan
permainan, dan lawan main giliran yang mulai permainan.
(Sumber: http://www.bloksport.com)
Gambar 42. Dakon
Filosofi permainan ini adalah kita dapat mengambil sebuah pelajaran bahwa hidup
yang dijalani manusia ini akan selalu berlanjut pada esok hari. Apa yang dilakukan
pada saat ini atau hari ini berdampak apa yang akan terjadi pada esok hari. Ketika
biji dakon harus kita ambil dan letakkan, bahwasanya hidup ini haruslah saling
selalu memberi dan menerima terhadap orang lain. Disinilah sebuah titik equilibrium
(keseimbangan hidup) sebuah harmonisasi di tengah masyarakat. Ketika biji harus
diletakkan satu persatu tidak sekaligus mengajarkan pada manusia bahwa nilai
sebuah kejujuran harus selalu dijunjung tinggi untuk mengisi hidup manusia.
Strategi agar biji kita habis diambil lawan mengandung hikmah bahwa seseorang itu
harus memiliki ilmu atau kecerdikan agar kesuksesan hidup juga akan menyertai
manusia. Adapun nilai permainan ini adalah sportifitas, kejujuran, terampil, cermat,
dan manajemen diri.
c. Engklek
Permainan yang lebih sering disebut dengan sundah manda ini sudah sangat
dikenal dan popular oleh anak-anak Indonesia. Permainan tradisonal anak ini
mempunyai penyebutan berbeda-beda antar satu daerah dengan daerah lain. Di
tanah jawa sendiri dikenal engklek. Sejarah permainan ini tidak diketahui secara
pasti, ada yang mengatakan bila sundah manda ini berasal dari kata “zondag
maandag” yang merupakan saduran dari bahasa Belanda dan sering dilakukan oleh
anak-anak Belanda pada masa penjajahan dahulu. Setelah Indonesia merdeka dan
penjajah pergi dari bumi nusantara permainan ini semakin melekat pada
masyarakat Indonesia khususnya anak-anak.
Permainan yang lebih sering dilakukan oleh anak perempuan ini dimainkan oleh 1
orang saja, meskipun tidak tertutup kemungkinan dengan variatif bisa dilakukan
Permainan diawali dengan mengucapkan …hom pim pah alaiyum gambreng artinya
dari Tuhan kembali ke Tuhan. Para pemain secara bergantian melemparkan pecahan
genting sebagai gacuk ke kotak pertama terdekat, setelah itu melompat-lompat
dengan menggunakan satu kaki. Kotak yang ada gacuknya tidak boleh dilewati dan
harus dilompati. Permainan akan selesai jika gacuk seorang pemain telah melalui
semua kotak sampai kembali ke kotak pertama dengan selamat, demikian
seterusnya.
(Sumber: http://www.bloksport.com)
Gambar 43. Permainan Engklek
BAB VI
ADAT
Secara geografis Yogyakarta terletak di kaki gunung Merapi dan tidak sedikit aliran sungai-
sungai yang membelah-belah kawasannya. Tempat seperti ini menjanjikan kehidupan yang
relatif lebih mudah dan nyaman bagi penghuninya, sehingga tempat seperti ini jugalah yang
menjadi tempat perkembangan budaya.
Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah, yang merupakan
bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan
budi, dan akal manusia. Atau dengan kata lain, budaya adalah hasil akal budi manusia dalam
menghadapi kehidupannya.
Sebagian dari banyak hasil budaya yang bukan bersifat kebendaan, biasanya berujud norma
atau etika, aktifitas, perbuatan dan sejenisnya, kadangkala ada yang selalu diulang-ulang di
waktu-waktu tertentu oleh sekelompok manusia yang mendiami wilayah tertentu. Budaya
yang selalu berulang inilah kemudian disebut sebagai adat istiadat.
Gotong royong merupakan suatu kegiatan sosial yang menjadi ciri khas bangsa
Indonesia dari jaman dahulu kala hingga saat ini. Rasa kebersamaan ini muncul, karena
adanya sikap sosial tanpa pamrih dari masing-masing individu untuk meringankan
beban yang sedang dipikul.
Gugur gunung dan gotong royong maknanya mirip. Gugur gunung lebih mengacu
kepada arti yang lebih aktif yaitu bekerja bersama-sama untuk mencapai suatu hasil
yang didambakan (bersama). Sedangkan gotong royong mengacu kepada sifat
kebersamaan yang dihasilkan dari bekerja bersama-sama (tolong- menolong, bantu-
membantu).
Gugur gunung mempunya makna kerja sosial yang harus dilakukan bersama-sama
untuk menyelesaikan kerja yang berat seolah-olah meruntuhkan gunung. Menilk
namanya, gugur gunung berarti menghancurkan gunung. Mustahil jika seorang diri
menghancurkan gunung yang besar.
2. Upacara tradisional
a. Bekakak
Upacara adat bekakak merupakan ritual yang sudah berlangsung sejak ratusan
tahun silam pada masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwono I. Saparan
Bekakak dilaksanakan di Desa Ambarketawang, Gamping, Sleman setiap hari
Jumat, antara tanggal 10 hingga 20 dalam bulan Sapar (kalender Jawa). Ritual yang
digelar sebagai bentuk permohonan keselamatan warga Gamping ini disebut
Saparan Bekakak karena dalam pelengkap upacaranya terdapat sepasang pengantin
boneka bekakak yang disembelih sebagai simbol persembahan. Yang menarik
dalam upacara ini, sepasang pengantin bekakak akan diarak menuju tempat
penyembelihan yakni Gunung Gamping dan Gunung Kiling. Dalam arak-arakan itu
terdapat sejumlah boneka raksasa berupa ogoh-ogoh, berbentuk setan genderuwo,
banaspati, dll yang bertugas mengawal pengantin bekakak. Ritual ini selalu
menarik perhatian warga sekitar yang memadati sepanjang rute arak-arakan.
(Sumber: http://www.jogjapages.com)
Gambar 44. Kirab ogoh-ogoh saparan bekakak
b. Labuhan Merapi
(Sumber: http://www.slemanjogja.com)
Gambar 45. Upacara adat labuhan merapi
Labuhan berasal dari kata 'labuh' yang artinya persembahan. Upacara adat Keraton
Yogyakarta ini merupakan perwujudan doa persembahan kepada Tuhan atas
rahmat dan anugerah yang diberikan kepada karaton dan rakyatnya juga sebagai
tanda penghormatan bagi leluhur yang menjaga Gunung Merapi. Upacara puncak
labuhan diadakan di Gunung Merapi namun peyelenggaraan upacara adat ini juga
biasanya diselenggarakan di tempat lain seperti di Pantai Parangkusumo, Gunung
Lawu dan Kahyangan Dlepih.
c. Apeman Wanalela
(Sumber: http://www.catatannobi.com)
Gambar 46. Upacara adat wonolelo
Upacara Wonolelo juga disebut sebagai tradisi apeman yang nantinya akan
dijadikan sesaji dan gunungan yang akan dibagikan diakhir acara kepada
pengunjung dan peziarah yang hadir. Apem ini adalah sesaji yang tidak boleh
terlewatkan karenan konon sejarahnya, apem ini dibawa oleh Juru Kunci makam Ki
Ageng Gribig dari Jatinom, kepada mertua Kepala Desa Widadamartani, untuk
membasmi hama tikus yang menyerang panenan penduduk Pondok Wonolelo. Kue
apem tadi dipotong menjadi empat sama besar, disesuaikan dengan jumlah
bendungan air yang mengairi tanah persawahan Pondok Wonolelo. Setiap potong
apem tadi ditaruh pada masing-masing bendungan air agar tuah apem tadi dapat
terbawa oleh aliran air dan menyebar secara merata ke sawah-sawah yang terkena
aliran air.
Upacara Nguras Enceh atau Mengganti Air Gentong adalah tradisi yang dilakukan
pada setiap tanggal 1 Sura khususnya pada hari Jumat Kliwon bertempat di
Kompleks Makam Raja-Raja Mataram, Imogiri, Bantul. Terdapat empat gentong
yang akan dikuras dalam acara ini. Keempatnya merupakan hadiah dari Kerajaan
Palembang, Kerajaan Aceh, Kerajaan Ngerum (Turki), dan Kerajaan Siam
(Sumber: http://www.antaranews.com)
Gambar 47. Upacara tradisi nguras enceh
e. Upacara Grebeg
Upacara ini digelar pada tanggal-tanggal yang berkaitan dengan hari besar agama
Islam, yakni Grebeg Syawal pada saat hari raya Idul Fitri, Grebeg Maulid pada saat
hari peringatan kelahiran Nabi Muhammad SAW dan Grebeg Besar pada saat hari
raya Idul Adha.
(Sumber: http://www.jogjatrip.com)
Gambar 48. Upacara adat grebeg keraton Yogyakarta
Dalam Upacara Grebeg ini terdapat arak-arakan ratusan prajurit kraton dengan
menggunakan pakaian kebesaran prajurit, dan membawa senjata khusus, panji-
panji, serta alat musik. Mereka berjalan mengawal Gunungan berupa tumpukan
sesaji, makanan yang menyerupai gunung. Gunungan ini terdiri dari berbagai hasil
bumi yang merupakan simbol kemakmuran Keraton Yogyakarta, yang nantinya
akan dibagikan kepada rakyatnya. Dalam perayaan grebeg, terdapat enam jenis
gunungan, masing-masing memiliki bentuk yang berbeda dan terdiri dari jenis
makanan yang berbeda pula. Gunungan-gunungan ini akan dibawa menuju Alun-
(Sumber: http://www.kebudayaanindonesia.net)
Gambar 49. Upacara Grebeg kesultanan Yogyakarta
Grebeg adalah salah satu upacara kerajaan yang sampai sekarang masih
dilestarikan oleh Kraton Kesultanan Yogyakarta. Di dalam upacara Grebeg banyak
terangkum unsur-unsur kebudayaan lama Nusantara, seperti religi, bahasa, dan
adat istiadat. Dalam upacara Grebeg ini pula dapat disaksikan wujud dari gagasan-
gagasan dan alam pikiran religius leluhur. Berbagai ungkapan simbolis dalam
Grebeg sesungguhnya banyak mengandung nilai-nilai sosial budaya yang sudah
terbukti sangat bermanfaat untuk menjaga keseimbangan, keselarasan kehidupan
masyarakat dari masa ke masa. Upacara gerebeg ini erat sekali kaitannya dengan
sejarah perkembangan dan kehidupan beragama di tanah air serta sejarah kerajaan-
kerajaan Jawa Islam.
3. Upacara Ritual
Upacara Ritual adalah serangkaian kegiatan yang dilaksanakan terutama untuk tujuan
simbolis. Ritual dilaksanakan berdasarkan suatu agama atau bisa juga berdasarkan
tradisi dari suatu komunitas tertentu. Kegiatan-kegiatan dalam ritual biasanya sudah
diatur dan ditentukan, dan tidak dapat dilaksanakan secara sembarangan.
Di dalam kehidupan masyarakat selalu ada nilai-nilai atau norma-norma yang tumbuh
sesuai dengan kebutuhan dan kemajuan masyarakat tersebut dalam menghadapi
tantangan-tantangan kehidupannya. Beberapa di antara nilai-nilai tersebut ada yang
menghilang, dan beberapa yang lainnya terus berkembang di tengah masyarakat dan
terus digunakan. Nilai-nilai yang berkembang terus menerus dan selalu dilakukan oleh
masyarakat inilah yang kemudian dinamakan sebagai adat istiadat.
Upacara ritual biasa dilakukan pada satu kejadian yang merupakan satu periode dari
suatu proses tertentu. Misalnya, pada proses pembangunan rumah, tentu berawal dari
membuat pondasi, membangun dinding, memasang jendela dan pintu, hingga
memasang atap. Pada proses pembangunan rumah, juga terdapat upacara ritual, yakni
upacara saat membuat pondasi hingga saat menaikkan/memasang bubungan rumah.
Bahkan ada juga ritual kehidupan seseorang yang dimulai dari upacara saat manusia
masih berupa janin didalam rahim hingga manusia kembali ke alam kubur.
B. Bidang Ekonomi
Muatan materi bidang ekonomi yang berkaitan dengan peningkatan kesejahteraan berupa
mengapresiasi, internalisasi, aktif-aktualisasi berupa sistem lumbung deso, pasaran, sistem
pertanian/tetanen (tandur, matun, ani-ani, ngeleb, ngluku), dan pranata mangsa
(penanggalan, pasaran, musim).
a. Sistem pasaran
b. Pranata mangsa
Pranoto Mongso adalah sistem penanggalan musim bukti kepandaian ilmu astronomi
nenek moyang kita. Seperti kebudayaan-kebudayaan lain di dunia, masyarakat asli
Indonesia sudah sejak lama menaruh perhatian pada langit. Pengamatan langit
digunakan dalam pertanian dan pelayaran. Dalam masyarakat Jawa dikenal
pranatamangsa, yaitu peramalan musim berdasarkan gejala-gejala alam, dan umumnya
berhubungan dengan tata letak bintang di langit.
Dalam pembagian yang lebih rinci, setahun dibagi menjadi 12 musim (mangsa) yang
rentang waktunya lebih singkat namun dengan jangka waktu bervariasi. Tabel berikut
ini menunjukkan pembagian formal menurut versi Kasunanan. Perlu diingat bahwa
tuntunan ini berlaku di saat penanaman padi sawah hanya dimungkinkan sekali dalam
setahun, diikuti oleh palawija atau padi gogo, dan kemudian lahan bera (tidak ditanam).
Mangsa Tuntunan
No Mangsa Rentang waktu Candra Penciri
utama (bagi petani)
Tanah mengering
dan retak-retak,
Karo Ketiga - 2 Ags – 24 Ags Bantålå rengkå ("bumi
2 pohon randu dan
(Pusa) Paceklik (23 hari) merekah")
mangga mulai
berbunga
Tanaman
Katelu Sutå manut ing merambat menaiki
Ketiga - 25 Ags – 18 Sept Palawija mulai
3 (Manggasr båpå ("anak menurut lanjaran, rebungb
Semplah (24 hari) dipanen
i) bapaknya") ambu bermuncula
n
Buah-buahan
(durian, rambutan,
manggis, dan lain- Para petani
Kanem Labuh - 10 Nov – 22 Des lainnya) mulai menyebar benih
6 Råså mulyå kasuciyan
(Naya) Udan (43 hari) bermunculan, beli padi di
bis mulai kelihatan pembenihan
di tempat-tempat
berair
Musim kucing ka
Rendheng Anjrah jroning
4 Feb – 28/29 win; padi
Kawolu - kayun ("Keluarnya isi
8 Feb menghijau; uret m
(Wisaka) Pangarep- hati" > musim
(26/27 hari) ulai bermunculan
arep kucing kawin)
di permukaan
Padi berbunga;
Wedharing wacånå
jangkrik mulai
mulyå("Munculnya
Rendheng muncul; tonggeret
suara-suara mulia" >
Kasanga - 1 Mar – 25 Mar dan gangsir mulai
9 Beberapa hewan
(Jita) Pangarep- (25 hari) bersuara, banjir
mulai bersuara
arep sisa masih
untuk memikat
mungkin muncul,
lawan jenis)
bunga glagah
berguguran
Gedhong mineb
Padi mulai
jroning
menguning,
Marèng - kalbu("Gedung
Kasepuluh 26 Mar – 18 Apr banyak hewan
10 Pangarep- terperangkap dalam
(Srawana) (24 hari) bunting, burung-
arep kalbu" > Masanya
burung kecil mulai
banyak hewan
menetas telurnya
bunting)
Burung-burung
Sesotyå Saat panen raya
Desta memberi makan
Marèng - 19 Apr – 11 Mei sinåråwèdi ("Intan génjah (panen
11 (Padrawan anaknya,
Panèn (23 hari) yang bersinar untuk tanaman
a) buahkapuk
mulia") berumur pendek)
randu merekah
C. Bidang Politik
Muatan materi bidang politik yang berkaitan dengan penataan sistem kekuasaan berupa
mengapresiasi, internalisasi, aktif-aktualisasi berupa jumenengan, rembug desa, struktur
pemerintahan dari RT, RW, Dukuh, Lurah, dst.
Setelah Kraton Yogyakarta dan Pakualaman bergabung pada NKRI melalui amanat Sri
Sultan Hamengkubuwono IX tanggal 5 September 1945 maupun amanat Sri Pakualam VIII
tanggal 30 Oktober 1945, sejak itu sampai sekarang pemerintahan kraton hanya terbatas
pada lingkungan kraton dan hanya untuk kraton sendiri. Pelaksanaan pemerintahan kraton,
sultan dibantu tertama oleh rayi dalem (adik-adik Sultan) dan para abdi dalem.
1. Kawedanan Hageng Punokawan (KHP) Purwa Budaya dikoordinasi atau diketuai oleh
GBPH Yudaningrat, terdiri dari KHP Krida Mardawa (kesenian), Kawedanan Pengulon
(keagamaan), Kawedanan Puralaya (pemakaman), dan Kawedanan Keputren (keputrian).
2. Kaweda nan Hageng Punokawan (KHP) Nitya Budaya dikoordinasi atau diketuai oleh
GBPH Prabukusumo, terdiri dari KHP Widya Budaya (upacara keraton),
KHP Purayakara(aktiva terutama lampu dan barang keraton), Tepas Banjar
Wilapa (perpustakaan),Tepas Musium (barang milk keraton), dan Tepas Pariwisata.
3. Kawedanan Hageng Punokawan (KHP) Parasraya Budaya dikoordinasi atau diketuai oleh
KGPH Hadiwinoto, terdiri dari : KHP Wahana Sarta Kriya (kendaraan, kebersihan dan
pemeliharaan), KHP Puraraksa (keamanan), Tepat Panitikisma (kewarisan), Tepas
Keprajuritan, dan Tepas Halpitapura (pembelian keperluan keraton).
4. Kawedanan Hageng Panitra Putra dikoordinasi atau diketuai oleh GBPH Joyokusumo dan
wakilnya GBPH Cokrodiningrat, terdiri dari : Parentah Hageng (pusat administrasi atau
kepegawaian), Kawedanan Hageng Sri Wandawa (kesejahteraan sosial), Tepas
Dwarapura (penghubung dengan pihak luar), Tepas Darah Dalem (silsilah keraton), Tepas
Rantam Harta (pengganggaran keraton), Tepas Danartapura (pengeluaran uang),
dan Tepas Witardana (penyimpanan uang).
BAB VII
PENUTUP
Demikian Naskah bahan Ajar Pendidikan Berbasis Budaya ini disusun sebagai pedoman
pengembangan Bahan Ajar Pendidikan berbasis budaya di SMA. Bahan ajar berfungsi sebagai
(1) pedoman bagi guru yang akan mengarahkan semua aktifitasnya dalam proses
pembelajaran, sekaligus merupakan substansi kompetensi yang seharusnya diajarkan kepada
peserta didik, (2) pedoman bagi peserta didik yang akan mengarahkan semua aktifitasnya
dalam proses pembelajaran, sekaligus merupakan substansi kompetensi yang seharusnya
dipelajari/dikuasainya, dan (3) alat evaluasi pencapaian/penguasaan hasil pembelajaran.
Pengembangan bahan ajar pendidikan berbasis budaya meliputi nilai-nilai luhur, artefak, dan
adat khas Yogyakarta. Pendidikan berbasis budaya sifatnya memperkaya atau memberi nilai
tambah terhadap implementasi kebijakan pendidikan nasional yang dilaksanakan di Daerah
Istimewa Yogyakarta, dengan memberi penguatan berupa ruh budaya, baik pada isi maupun
pelaksanaannya. Konsep dasar pendidikan berbasis budaya menempatkan kebudayaan dalam
pendidikan dalam tiga ranah yaitu sebagai muatan/isi pendidikan; sebagai metode
pelaksanaan/pembelajaran; dan sebagai konteks lingkungan pendidikan, termasuk dalam
kaitannya dengan manajemen pendidikan.
Melalui pengembangan bahan ajar pendidikan berbasis budaya yang bermutu, didukung
tenaga pendidik yang berkualitas dan memenuhi standar kualifikasi serta kompetensi,
diharapkan akan mampu mengimplementasikan pendidikan berbasis budaya sesuai pedoman
yang telah ditetapkan.