Anda di halaman 1dari 2

A.

Pendahuluan:
Penelitian ini menceritakan tentang sosok dosen ilmu komunikasi bernama Tribuana Tungga
Dewi yang kerap dipanggil dengan julukan “Tantri” oleh teman-temannya dan keluarganya.
Tantri kini sedang melakukan praktek di klinik Peony Kids Center sebagai Play Therapist.
Tantri juga bermimpi untuk melakukan S3-nya dan merupakan contoh sebagai salah satu
dewasa yang tidak menyerah pada mimpinya.

Tetapi, sejak Tantri mulai mendekati umur berkepala 5, Ia menjadi lebih sadar kepada apa
yang dikonsumsi dan kesehatan jasmaninya setelah melakukan wellness check di ulang
tahunnya yang ke 46.

B. Biografi
Tribuana Tungga Dewi, akrab dipanggil dengan panggil Tantri atau Nti lahir di Jakarta
Selatan pada tanggal 12 Desember 1975. Tantri merupakan dosen ilmu komunikasi di
Universitas Pancasila dan Play Therapist di klinik tumbuh kembang Peony Kids Center.
Tantri juga merupakan seorang Ibu kepada anak tunggalnya, dan merupakan yang paling
muda antara tiga bersaudara.

Tantri mulai pendidikan dasarnya pada tahun 1984 di SD Iskandaria Jakarta hingga tahun
1990. Pada saat jenjang SD, Tantri termasuk salah satu murid yang pemalu dan tidak terlalu
aktif diantara siswa-siswi lainnya. Kemudian, Tantri melanjutkan pendidikannya di SMPN 13
Jakarta dimana Ia mulai mengembang minatnya di membaca dan menulis. Di tahun 1992,
Tantri menjadi siswi di SMAN 82 Jakarta, dimana Ia mulai mengejar mimpinya untuk
menjadi mahasiswa di Universitas Indonesia. Saat menyelesaikan pendidikannya di SMAN
82, Tantri diterima di Universitas Indonesia fakultas ilmu sosial dan ilmu politik di jurusan
kesejahteraan sosial atau sering disebut ‘KESOS’ oleh para mahasiswa.

Tantri lulus dari UI lalu mulai bekerja sebagai radio DJ di Radio One, mengikuti bapaknya
yang dulu merupakan sosok yang cukup berpengaruh di dunia radio. Beberapa tahun
kemudian, Tantri memutuskan untuk melanjutkan studinya ke Kuala Lumpur di Ilmu
Komunikasi, namun tidak dapat menyelesaikan prodi tersebut karena banyak hal yang tak
terduga terjadi.

Walaupun Tantri gagal melanjutkan studinya di ilmu komunikasi, Tantri akhirnya


memutuskan untuk mengikuti berbagai kelas untuk menjadi Play Therapist di mulai dari
tahun 2015.

Kini, Tantri tetap mengajar ilmu komunikasi di Universitas Pancasila, dan menjadi Play
Therapist dan juga melakukan counselling untuk orang dewasa di klinik tumbuh-kembang
bernama Peony Kids Center.

C. Instrumen Penelitian:

a. Melakukan Kegiatan Fisik


b. Mengatur pola makan
c. Mengendalikan konsumsi gula dan garam
d. Minum air 2 liter sehari
e. Tidak merokok dan sejenisnya

D. Penilitian:

Hari 1:
Pada saat hari pertama, Tantri dapat melakukan hampir semua aktivitas dari instrumen
penelitian, walaupun begitu, Tantri tidak dapat melakukan kegiatan fisik dalam skala besar
karena di hari itu ada kegiatan yang mengharuskan Tantri untuk duduk di satu tempat untuk
cukup lama.

Hari 2:
Pada saat hari kedua, Tantri dapat melakukan kegiatan fisik lebih banyak daripada hari
sebelumnya, namun karena ada acara keluarga, Tantri tidak dapat mengatur pola makan dan
mengendalikan konsumsi gula dan garam dengan baik.

Hari 3:
Di hari ketiga, Tantri dapat melakukan semua aktivitas sebaik mungkin.

Hari 4:
Di hari keempat, Tantri dapat melakukan hampir semua aktivitas dengan cukup baik dengan
pengecualian di kategori, “Mengatur Pola Makan” karena di hari keempat, Tantri pergi keluar
kota dan mengizinkan dirinya untuk mencoba berbagai makanan.

Hari 5:
Terakhir, saat hari kelima, Tantri mengalami masalah yang mirip dengan hari keempat
dimana Ia dapat melakukan hampir semua aktivitas dengan cukup baik, akan tetapi tidak
dapat mengatur pola makanannya saat di luar kota.

E. Kesimpulan

Saat mendekati umur berkepala 5, Tantri menjadi jauh lebih sadar dengan gaya hidupnya dan
mencoba dengan keras untuk menjaga kesehatan dan gaya hidupnya. Walaupun terkadang
masih ada yang kurang atau ada yang tidak dapat ditepati, Tantri tetap mencoba untuk
menjaga kesehatannya dengan baik.

F. Daftar Pustaka
[1] Ekawati, 2019. Riset: pada 2019 perempuan Indonesia kehilangan waktu 36 juta tahun
untuk hidup sehat. Jakarta: The Conversation.com

Anda mungkin juga menyukai