Anda di halaman 1dari 6

Bunga Bromo

Jombang, Desember 1970

Siang ini angin panas berhembus kencang menerpa dedaunan kering pohon jati yang tumbuh
rimbun di tanah Keraton Jawa ini. Hari yang menyengat bahkan tak sedikitpun menyurutkan
semangat si cilik untuk berlarian di luasnya hamparan ladang pohon jati. Langkah kaki yang
seirama dengan suara gesekan dedaunan kering yang memenuhi luasnya tanah tempatnya
tumbuh. Dan seirama dengan buaian gemericik air sungai yang mengalun dengan merdu. Tak
ayal sungai itu menjadi tempat persinggahan anak-anak yang letih setelah bermain.

Desa kecil yang jauh dari pusat kota Mojokerto, ratusan pohon jati yang menjulang tinggi
menghiasi tanah kecil desa ini membuatnya disebut sebagai Desa Jati. Desa yang masih asri yang
jauh dari hiruk-pikuk kehidupan perkotaan. Warga-warganya yang masih bergelut dengan
pekerjaan sawah, dan anak-anaknya yang masih berlarian menyusuri pedesaan. Setiap harinya
selalu dipenuhi dengan sapaan sapaan akrab dari setiap penghuni gubuk kecil.

Kring..kring.. kring...kring suara bel sepeda ontel tua yang nyaring terus bersahutan dengan suara
tawa anak-anak yang bermain dibawah terik matahari.

Cerita ini menceritakan tentang kisah hidup dua bocah cilik yang lahir di tanah Keraton Jawa.

"Bromo di goleki Karo bapak mu!" Terlihat Lanang berlari menghampiri Bromo yang tengah
asik bermain dengan sepedanya.

"Bapak? Tumben Bapak, goleki Bromo?" Tanya Bromo sedikir bingung memang, pasalnya
jarang sekali sang bapak mencarinya di saat-saat waktu bermain ini. Biasanya sang bapak akan
memanggilnya di waktu sholat dan makan.

"Aku ora ngerti, pakdhe njaluk Tulung kanggo nggoleki sampeyan" jawabnya jujur. Beberapa
saat yang lalu dia tengah berjalan melewati perkarangan rumah Bromo, tiba-tiba pakdhe Warsun
memanggilnya dan memintanya untuk memanggilkan Bromo. Lanang yang kebetulan hendak ke
ladang jati pun mengiyakan permintaan pakdhe Warsun.

"Nggantung, banjir Bromo bakal ninggalake sepeda Karo sampeyan" minta Bromo setelah turun
dari sepeda lalu sembari menyerahkan sepedanya ontelnya. Lanang pun mengangguk sebagai
jawabannya. Lumayan bisa di pakai keliling desa batin Lanang.

Bromo berjalan menyusuri jalan setapak yang biasa dia lewati saat akan pulang setelah puas
bermain di ladang. Bromo bocah cilik 6 tahun ini lahir di Jombang, besar dengan keadaan
keluarga yang tidak sempurna. Bromo besar tanpa kehadiran seorang ibu. Ibunya meninggal
setelah bisa membuatnya menangis saat lahir ke dunia. Kasih sayang yang tak utuh tidak
membuatnya menjadi anak yang nakal, dan kurang pendidikan. Bahkan di desa kecil ini Bromo
di kenal sebagai anak yang ceria, sopan dan cerdas, itu semua tak luput dari pola pendidikan
yang di ajarkan oleh sang bapak.

"Bapak!!" Panggil Bromo dari kejauhan dengan wajah yang ceria, langkah yang bahkan belum
sampai di depan pekarangan rumahnya, saat Bromo melihat sang bapak yang sedang berdiri di
depan teras rumah, lantas membuat Bromo memanggil sang bapak. Warsun yang mendengar
panggilan dari anaknya, tersenyum simpul, anak yang selama ini ia besarkan dengan dedikasi
yang tinggi membuatnya mencadi anak yang ceria. Walau tanpa kehadiran sesosok ibu tak
membuat Bromo kekurangan kasih sayang dari orang tua. Bagi Warsun, Bromo adalah karunia
yang diberikan Gusti Allah kepadanya, sepeninggal istrinya Warsun mendidik Bromo menjadi
anak yang ceria dan cerdas.

"Bapak badge tindak pundi??" Tanya Bromo saat dia melihat bapaknya mengeluarkan si Rutan.
Rutan adalah nama motor tua kesayangan bapaknya. Sangat jarang bapakanya mengeluarkan
Rutan dari dalam rumah. Karena bapak yang kesehariannya dihabiskan berada di desa yang
membuatnya jarang menggunakan motor.

"Bapak arep tumbas peralatan sawah menyang kutha, anakmu arep tuku apa?". Tanya Warsun
sambil mengelus lembut Surai Bromo. Bromo bungkam ia tidak ingin dibelikan apa-apa.
Keterdiaman Bromo membuat Warsun kembali membuka suara "Bapak gak iso ngeterke Bromo.
Kowe nggawa barang akeh, gak pas nang Rutan " jelas Warsun kembali saat melihat raut wajah
anaknya yang murung.

Bromo mengerti, Bromo tahu dan ia tidak ingin menyusahkan bapaknya, "injih pak. Bromo Mai
mung tuku buku tulis, Bromo wis entek" Warsun mengangguk mantap sebagai jawabannya saat
melihat binar mata anaknya yang terpancar jelas.

"bapak tindak rumiyin, Ojo lali mangan lan sholat. nek suwe tekan omah, Ndang Nang omahe
bulikmu" petuah demi petuah warsun berikan kepada Bromo sebelum kepergiannya. Bromo
mengangguk sebagai jawabannya.

Bromo berlari keluar meninggalkan pekarangan rumahnya setelah melihat kepergian sang bapak,
tujuannya hanya satu tempat yaitu ladang jati, ia ingat tadi ia menitipkan sepeda ontel
kesayangan kepada Lanang. Berharap saat ia sampai di ladang ia menemukan sepeda nya
ternyata pupus saat tak ada sedikitpun tanda tanda keberadaan Lanang dan sepedanya.

"Pakdhe nyawang Lanang!?" Tanya Bromo kepada pakde Siro sambil menghampirinya di
pinggir sawah. Pakdhe Siro adalah seorang petani yang selalu menghabiskan waktunya di sawah,
tak ayal jika Bromo mengenal postur tubuh laki-laki itu walau dari belakang.
"Goleki omahe Wawan le, pakdhe weruh Lanang nunggang sepedhamu" jawab pakdhe Siro.
"matur nuwun pakdhe, Bromo pamit" pamit Bromo kepada pakdhe Siro setelah ia mendapat
jawaban.

Pematang kecil yang terus Bromo susuri untuk menuju rumah Wawan sudah sangat ia hafal,
setelah ini ia akan melewati jalan yang sedikit lebih besar. Jalan yang biasa di gunakan oleh
warga sekitar menggunakan kendaraan roda empat. Selama perjalanannya Bromo, melihat truk-
truk pengangkut barang melintas melewatinya, sebanyak dua truk yang sudah ia hitung. Ia
bingung, pasalnya sangat jarang truk akan singgah di desa kecil ini. Jadi tak ayal Bromo selama
perjalan sangat antusias menghitung truk-truk tersebut.

Dalam kejauhan dapat Bromo lihat dengan jelas Pemandangan rumah Wawan, yang sedikit
ramai?.

" Lang, tak goleki nang endi-endi ora ketemu, tapi aku ngerti nang kene." tanya Bromo saat ia
menghampiri Lanang yang berbaur dengan kerumunan ibu-ibu desa.

"Hehe, nuwun sewu Mo, aku ditimbali Wawan dolanan, mula Lanang melu " jawabnya sambil
cengengesan tanpa dosa setelah membawa kabur sepeda Bromo. Bromo hanya menatap Lanang
dengan santai, karena sudah biasa baginya Lanang meminjam sepeda kesayangannya. Bromo
mengalihkan perhatiannya kepada keruman ibu-ibu di sekitar rumah Wawan.

"“Ana apa Lang, rame banget" tanya Bromo bingung, ia dapat melihat beberapa mobil
pengangkut barang yang tadi ia lihat berada disekitar rumah Wawan.

"Wawan Mo tanggane anyar" jelas Lanang. Bromo membulatkan mulutnya berbentuk o yang
berarti dia mengerti arah pembicaraan Lanang. Sepertinya tetangga baru ini pindahan dari kota,
terlihat dari cara berpakaiannya yang terlihat modis. Wajar Bromo berfikir seperti itu, karena
mereka ini anak-anak desa yang tak pernah melihat orang-orang desa berpakaian rapi seperti
mereka.

Tak lama setelahnya Bromo dan Lanang di kagetkan dengan kedatangan mobil sedan hitam yang
tampak mewah di mata kedua anak desa itu. Dari kejauhan Bromo dapat melihat seorang anak
perempuan yang baru saja turun dari mobil mewah itu. Bromo dan Lanang saling memandang
sejenak, dengan senyum simpul yang tercetak saat mereka melihat anak kecil yang sepertinya
sepantaran dengan mereka. Hanya satu yang mereka pikirkan, yaitu teman bermain mereka akan
bertambah satu.

Lanang yang sedari tadi terus mendorong tubuh Bromo agar lebih mendekat kearah anak
perempuan itu. "Ayo, kita kenal karo dheweke" Bromo menatap Lanang kesal, pasalnya sedari
tadi Lanang tidak bisa diam. Akhirnya Bromo berjalan sedikit lebih dekat, saat yang bersamaan
Bromo melihat anak perempuan itu menatap dirinya dan Lanang. Sontak membuat Bromo
berhenti melangkah "Malu Lang" bisik Bromo saat melihat anak perempuan itu ternyata berjalan
mendekati mereka. " Ayo kita main" . Lanang dan Bromo saling pandang tak percaya.

Bromo berlari menyusuri jalan pematang di dekat rumah Bibinya, hari sudah semakin petang
yang membuat Bromo ngebut pulang kerumah bibinya. Rumah bercat hijau yang semakin dekat
dari pandangannya membuat Bromo tak melunturkan senyumnya. Bibi Bromo, adik dari sang
ibu menyambutnya hangat setalah letih lama bermain "Wis sholat, wis mangan le?" Tanya bibi
Sekar beruntun. Bromo lantas mengangguk mantap sebagai jawabannya.

"Oke bromo mlebu, adus, Bulik ndang telpon nek bapakmu mulih". Sekar meraih tangan Bromo
untuk menggandengnya memasuki pekarangan rumah. Bagi Bromo bibi Sekar adalah ibu
keduannya, dia yang selalu merawat Bromo dikala sakit saat sang Bapak pergi ke sawah. Bibi
Sekar orang yang terus menasihatinya untuk selalu menjaga sholat dan makan.

Mojokerto, Desember 1970

Padatnya kendaraan bermotor di Mojokerto pagi ini tak menyurutkan semangat para pelancong
yang terus berdatangan, dari yang mencoba berbagai macam makanan khas Mojokerto dan
bahkan banyak yang hanya sekedar berjalan-jalan santai disekitarnya. Mojokerto adalah salah
satu kota di Jawa Timur yang memiliki berjuta keindahan, bangunan berjejer rapi di tepi jalanan
terpampang indah dengan gaya arsitektur zaman dulu. Bangunan-bangunan yang masih melekat
dengan daya tarik antik dan elegannya dapat menarik perhatian banyak wisatawan yang
berkunjung.

Sama seperti rumah yang letaknya tak jauh dari pusat kota Mojokerto. Rumah yang bergaya
tradisional menampilkan kesan antik yang indah saat di pandang mata. Rumah yang memilik
daya tarik tersendiri dengan harum kayu jati yang menyeruak masuk kedalam indra penciuman.

Seorang gadis kecil dengan wajahnya yang bahagia baru saja turun dari delman coklat dengan
kuda hitam gagah yang terikat didepannya. Bunga gadis kota Mojokerto yang tahun ini berumur
6 tahu, lahir di pusat perkotaan indah Mojokerto.

"Ayah kita mau pindah hari ini?" Tanya Bunga kepada ayahnya. Ia kaget saat baru saja pulang
dari pasar dengan bi Inah, ia mendapati truk-truk besar memasuki pekarangan rumahnya. Dari
jauh-jauh hari Bunga sudah diberitahu jika ia akan pindah rumah. Tapi Bunga tidak menyangka
jika kepindahannya akan secepat ini.

"Iya Bunga, kita pindah hari ini. Ayah ada kerjaan di Jombang, jadi kita pindah hari ini". Bunga
tahu jika pekerjaan di Jombang bukanlah alasan sang ayah melakukan semua ini. Ini semua
karena perceraian ayah dan ibu beberapa hari yang lalu. Perceraian yang didasari karena sang ibu
melakukan kekerasan terhadapnya. Bima ayah bunga yang mengetahui semua perlakuan Santi
kepada putrinya yang membuatnya mengambil keputusan dengan bercerai.
"Barang-barang Bunga sudah ayah kemas, ayo nak kita berangkat". Bunga hanya diam sembari
menghampiri ayahnya. Bima tahu saat ini anaknya pasti bersedih jika ia harus meninggalkan
rumah yang sudah menemaninya sedari kecil, tapi Bima tidak punya pilihan lain, rumah yang
sudah menemani anaknya sedari kecil juga menjadi sumber trauma bagi Bunga putrinya. "Bi
Inah nggak ikut Yah?". Bima yang melihat raut sedih sang anak "Iya bi Inah ikut bunga kok".
Bima tersenyum simpul melihat perubahan raut Bungan yang begitu senang saat tahu jika ibu
asuhnya akan ikut.

Selama perjalanan menuju tempat tujuan Bunga terus mengoceh tentang hal-hal yang random,
sampai sepertinya Bungan sudah lupa akan kesedihan yang dia rasakan pada awalnya. Bima
senang jika Bunga bisa seceria dulu.

Perjalanan Bunga tak membutuhkan waktu lama untuk sampai ke rumah baru yang akan dia
tempati mulai sekarang. Rasa letihnya setelah duduk lama di dalam mobil sirna seketika saat
menghirup udara segar pedesaan. Bunga sangat senang setelah menginjakkan kaki di desa ini, ia
melihat sekeliling banyak sawah disekitarnya. Bunga sudah membayangkan jika ia akan bermain
nanti di sawah, lalu bermain sembunyi-sembunyian. Tapi sebelum itu Bunga harus mencari
teman dulu bukan? Pandangan Bunga teralihkan disaat ia tidak sengaja melihat dua anak laki-
laki, yang terus berdebat?. Bunga dengan berani mendekati kedua anak laki-laki itu, dalam
hatinya bunga sebenarnya malu tapi, ia akan melawan rasa malunya itu.

"Ayo kita main". Tawar Bunga sambil menjulurkan tangannya. Bunga melihat raut wajah kedua
anak laki-laki itu yang kebingungan membuat Bunga tertawa geli.

...

Bibi Sekar mondar-mandir khawatir didepan pintu. Kakak iparnya, Bapak Bromo belum pulang
sedari tadi. Langit sudah berganti gelap, tapi tidak ada kabar apapun dari kakak iparnya itu.
Sekar khawatir, apalagi Bromo mulai menangis memanggil manggil Bapaknya. Dia tidak tega
melihat anak kecil itu terus meraung memanggil Bapaknya.

Tak lama benda kecil yang terus dia pegang erat akhirnya bergetar, sontak Sekar langsung
melihat siapa yang menelpon. Sekar bernapas lega saat ia mendapati nama kakak iparnya yang
menelpon. Sekar mulai menekan tombol yang langsung membuatnya tersambung dengan orang
diseberang sana. Sekar menutup mulutnya terkejut, matanya mulai berembun saat mendengar
kabar diseberang sana. Saat ini hanya satu yang Sekar pikirkan bagaimana caranya dia akan
memberitahu semua ini kepada Bromo.

...

Pagi yang terasa malam karena hujan deras mengguyur desa jati bagai Tirai hitam yang
membentang menutupi sinar sang surya. Suara rintikan hujan yang terus menggema meradam
suara tangis pilu seorang anak kecil yang mulai saat ini hidup sebatang kara. Ibu yang sudah
meninggalkannya sedari kecil dan sekarang disusul oleh sang ayah pergi meninggalkannya
seorang diri. Orang-orang yang datang berbela sungkawa menatap pilu anak yang hari-harinya
selalu diisi keceriaan sekarang menangis kencang untuk meluapkan kesedihannya.

Sekar yang melihat keponakannya tak kuasa menahan bulir air mata yang sudah tidak bisa ia
bendung. Sekar menghampiri Bromo dengan langkahnya yang gontai "Bromo iku bocah sing
kuwat lan pinter. Ojo nangis, Bapak tenang wae. Tugase Bromo mulai ndongakake bapak lan
ibu ing kana supaya tenang". Bromo mengangguk sebagai jawabannya atas semua perkataan
sang bibi. Ibu dan bapaknya sudah tenang di sisi Gusti Allah, Bromo hanya menyayangkan
dirinya yang tidak akan lagi bisa melihat wajah sang bapak.

Jombang, Oktober 2023

Bromo dan Bunga terus menenangkan sang cucu yang terus menangis sedari tadi, cucu kecilnya
yang cantik. Bromo sangat menyayangi Bulan, cucunya. Anak kecil yang membuat hari hari
mereka lebih berwarna setelah kehadirannya.

"Sudah jangan nangis lagi, Bulan nanti jelek Lo". Ejek Bromo pada cucu kecilnya itu. Bunga
terkekeh kecil. Ia menghapus air mata sang cucu "Cucu nenek nggak boleh cengeng. Masa Bulan
sudah besar masih nangis". Bulan tak menggubris apa yang dikatakan kakek dan neneknya, ia
sedih setalah mendengar cerita dari mereka. Bulan terkadang merutuki sifatnya yang terkadang
selalu ingin tahu. Bulan merasa sangat beruntung bisa merasakan rasanya kasih sayang dari
keluarga yang utuh.

"Jangan menangis cucu Kakek yang cantik, kakek dan nenek bersyukur masih bisa merasakan
masa tua. Masa tua kakek dan nenek sangat berwarna karena cucu Kakek yang cantik ini". Sekar
tersenyum menatap suami dan cucunya, hari hari yang mereka lalui bersama sampai hari ini
adalah sebuah kisah yang akan menjadi cerita abadi.

Anda mungkin juga menyukai