Unsur Instrinsik Analisis
Unsur Instrinsik Analisis
Klimaks
Melonjaknya pertikaian santoso itu sejak bertemu denagan
ibunya. Ayahnya santoso mengatakan bahwa ibunya di
Malaysia. Tetapi kenyataan ibunya berada di Jakarta dan
pekerjaan nya juga bukan sebagai TKI , tetapi ia terlibat kasus
prostitusi(pelacur). Santoso sangat kecewa dengan sang ibu
sudah 10 tahun tidak pulang-pulang dan menipunya selama 10
tahun.Berikut penggalan cerita-nya: ini ibumu nak.” Ucapnya
sambil memuntahkan seluruh air matanya. “Tidak, kau bukan
ibuku.ibuku sedang di Malaysia.” “ini ibumu nak.ibu tidak di
Malaysia.” “Tak mungkin aku punya seorang ibu yang
bekerja sebagai mucikari.” Jawabnya dengan keras sembari
melepaskan pelukanerat dari mama tia….”(Hal 119-120)
Data 4
Tahap akhir
Anti Klimaks
Santoso akhirnnya menerima yu suyanti sebagai sang ibu
santoso.walaupun dia baru mau memaafkan sang ibu. Tetapi
yu suyanti tidak lama berada di desa wonokerto karena ibunya
harus kembali ke Jakarta untuk mengurus keperluan dan
barang-barang untuk kembali lagi ke desa tinggaln bersama
sang anak yaitu santoso. Berikut penggalan ceritan-nya: To
ibu berangkat ke Jakarta dulu.ibu janji minggu depan akan
pulang dan tak akan pergi lagi” Tuturnya pada santoso
“Terserah ibu saja lah. Mana yang menurut ibu baik….” (Hal
144) Data 5
- Kang Bejo “Nang, sadar nang...” Ucap Kang bejo yang merangkul
Santoso. Tak ada kata yang keluar dari mulutnya. Hanya
linangan air mata yang mengucur dari matanya. (Hal 16) Data
11
“Santoso, janganlah kamu terus-terusan seperti ini,” kata
Kang Bejo sambil mengusap-usap rambutnya di ruang tamu.
(Hal 17) Data 12
“Santoso, jangan menangis terus. Kamu khan anak lakilaki.
Yo..” Nasehat Kang Bejo. (Hal 23) Data 13
Kang Bejo pun memberanikan diri untuk bertanya lebih jauh
kepada Santoso tentang keadaan ibunya di Jakarta. Perlahan
tapi pasti ia pun memulai percakapannya. (Hal 132) Data 14
Saya kesini ingin mencari tahu tentang ibu saya. Namanya,
Ibu Suyanti dari Desa Wonokerto. 10 tahun yang lalu dia
TOKOH ANTAGONIS diberangkatkan oleh perusahaan ini. Tapi setelah ia berangkat
tak ada kabar yang terdengar lagi. Bahkan Bapak saya pernah
Ibu Suyanti kesini tapi tak ada jawaban juga. Saya ingin minta kepastian
Mbak.” Jelasnya pada pegawai itu. (Hal. 62) Data 15
“Tapi apa iya, dia kan hanya anak petani yang hidup di daerah
terpencil. Tak seperti kita yang hidup di kota dan apaapa serba
ada. Selain itu, Santoso juga bukan aktifis sekolah. Sehingga
Doni
tak mungkinlah ia menjadi yang terbaik.” Ujar Doni, Mantan
ketua OSIS tahun lalu kepada Zindan, teman dekatnya. (Hal.
44) Data 15
Seorang petani satu-satunya anak petani yang memiliki cukup
pengalaman di luar. Maklum, dari sekian banyak petani di
TOKOH TRITAGONIS
Desa Wonokerto, hanya bapaknya yang mau menyekolahkan
Pak Kirman
anaknya ke SMA. Namanya, Pak Kirman, atau yang biasa
dipanggil Kang Kirman oleh para tetangga. (Hal. 6) Data 16
Kiai Dahlan Kiai Dahlan pun meminta kepada orang-orang untuk
membacakannya Surat Yasin. Sontak saja, setelah orang-
orang mulai membaca surat Yasin, Santoso yang berada di
kamar sebelah menangis histeris. “Santoso, tenang ya. Orang-
orang lagi berdo’a untuk bapakmu. Sekarang Santoso jangan
nangis, tapi ambil air wudlu terus ikut baca do’a biar
bapakmu sehat. Ayo!!!” Bujuk Kiai Dahlan untuk
menenangkannya. (Hal.13) Data 17
“Tenang saja To. Lagian yang namanya suap itu tidak
diperkenankan oleh agama kita.” Saran Kiai Dahlan.
(Hal.187) Data 18
“Ya sudah, kita siapkan saja upacara pemakamannya untuk
Kang Sukardi besok pagi sambil menunggu saudara yang dari luar kota tiba
disini.” Tegas Kang Sukardi. (Hal. 14) Data 19
“Ayo Santoso, semangaaaaat!!!” Ucap Iwan, teman
Iwan
sekelasnya. (Hal. 20) Data 20
Melihat tingkahnya yang agak janggal, Pak Syam dengan
Pak Syam kumisnya yang tebal memberikan isyarat agar semuanya
tenang dan bekerja sendiri-sendiri. (Hal. 21) Data 21
“Dibuka sendiri saja. Ini..” sambil menyodorkan sebuah
Pak Ikhsan
amplop putih tersegel rapat. (Hal. 28) Data 22
“Betul itu, pasti kamu yang akan jadi lulusan terbaiknya,”
Zidan
balas Zindan. (Hal. 44) data 23
Irfan yang tak tega melihat nasibnya, mencoba berlari menuju
bus yang membawa mereka. Bus itu masih terparkir karena
Irfan
masih menunggu salah satu pimpinan rombongan yang tidak
ikut sampai ke Malaysia. (Hal. 76) Data 24
Pak Widi sebenarnya tak tega jika melihat orang yang
potensinya begitu besar harus bekerja menjadi cleaning
Pak Widi
service. Meski pekerjaan itu juga baik, tapi jika ada yang
lebih baik kenapa tidak. (Hal. 83) Data 25
Fitra tak memasalahkannya, yang penting ia masih bisa
Fitra makan, kenyang, dan yang lebih penting lagi murah. ( Hal.
88) Data 26
Pak Julkifli Orang-orang pun berinisiatif untuk mengangkatnya ke
seberang jalan. Bahkan melihat keadaannya yang belum
sadarkan diri, salah seorang di antara mereka pun
membawanya ke rumah sakit. Namanya Pak Zulkifli, pegawai
di salah satu instansi pemerintah di Jakarta. (hal. 97) Data 27
Budi, teman seprofesinya yang kala itu masih berada di kantor
Budi bergegas menuju rumah sakit tempatnya dirawat kini (Hal.
98) Data 28
Mama Tia pun langsung memeluknya dengan begitu erat.
Mamatia Sambil menangis sejadinya dan mengatakan bahwa ialah
orang yang ada di foto itu (Hal.120) Data 29
Helena pun mengajaknya untuk menikmati makan siang yang
sudah disiapkan oleh panitia training. Mereka pun makan
Helena
bersama dan bercerita tentang pengalaman mereka
masingmasing. (Hal. 168) Data 30
Mbah Dul “Belajar kan bisa sekalian berjalan Mas.” ( Hal. 182) Data 31
4 Memang keadaan desa Wonokerto sangatlah menyedihkan.
LATAR Akses untuk sampai ke desa ini pun tergolong amat sulit.
Latar Tempat Jalannya tak beda dengan kali mati. Bahkan, hanya penduduk
Wonokerto asli Wonokerto atau tetangga desa saja yang bisa melewati
jalanan itu dengan sepeda motor (Hal.2) Data 31
Para pengawas pun nampak garang mengawasi para peserta
ujian. Salah satunya Pak Syam, salah seorang guru
matematika di SMA Negeri 2 Batang yang
Sekolah 21Bertarung dengan Ujian Nasional
terkenal galak. Apalagi kumisnya yang tebal dan badannya
yang kekar, membuat para siswa menaruh takut kepadanya.
(Hal.20) Data 32
Asrama Semuanya pulang ke asrama yang dimiliki sekolah. Pun
dengan Santoso. Sudah menjadi tradisi di sekolahnya, jika
sedang melaksanakan ujian, semua siswa dikarantina di
asrama sampai hari ujian selesai. Biasanya selain diadakan
acara belajar bersama dengan para guru, mereka
22 Asa Anak Desa
juga bersama-sama memanjatkan do’a-do’a, beristighosah,
berdzikir, dan juga termasuk membaca amalan-amalan yang
diberikan oleh guru agama (Hal.21) Data 33
Sampai di Pagilaran, seperti sampai di pelataran “surga”.
Hawanya dingin dan pemandangan hijau telah
menyambutnya. Tak hanya berdua, banyak juga para
pengunjung yang asyik menikmati liburan di tempat ini. Usul
Pagilaran
Kang Bejo ini pun cukup berhasil untuk menghibur Santoso
yang baru saja lulus dari 33[Pagi]laran\SMA. Pikiran yang
penat dan kalut setelah kepergian bapaknya seperti melebur
dengan keindahan alam Pagilaran. (Hal. 32) Data 34
asa, selain kesedihan yang bercampur dengan putus asa. Ia
pun tak tahu harus kemana, karena baru kali ia menginjakkan
kaki di Jakarta. Ia tak punya saudara di Ibu Kota, ada teman
dari desa tapi ia tak tahu dirinya tinggal dimana. No HP pun
Jakarta tak punya. Ia hanya bisa menangis tanpa tahu apa yang harus
dilakukan. Tersungkur lemas di pelataran bandara. Hingga
setiap orang yang melihatnya merasa iba. Tapi apa mau
dikata, syarat utama untuk terbang menuju Malaysia tak
dimilikinya. (Hal.81) Data 35
Pagi itu, matahari nampak begitu cerah. Memancarkan
seluruh cahayanya untuk menerangi bumi dan penghuni
semesta raya. Meski masih ada tetesan embun yang menempel
Latar Waktu di dedaunan, burung-burung tetap menari indah di atas dahan
Pagi cemara. Mereka pun berkicau, menambah asyiknya suasana.
Saling bersautan dan tak ada yang mau mengalah. Indah
sekali. Tak tampak mendung, apalagi kilatan guntur. (Hal.4)
Data 36
Siang Sholat Jama’ah pun selesai, ia segera menuju ke rumah
menunggui bapaknya pulang dan menyiapkan makan
siangnya, karena semenjak ibunya merantau ke Malaysia 10
tahun yang lalu, Santoso lah yang selalu menemani bapaknya.
(Hal.10) Data 37
Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 15.00 WIB.
Artinya harus segera kembali ke Wonokerto. Apalagi
Sore sekarang sedang musim hujan, jadi kalau tidak cepat-cepat
pasti ia akan kehujanan di jalan. “To, ayo pulang. Sudah
sore.” Ajak Kang Bejo. (Hal.36) Data 38
Malam itu adalah malam bulan purnama. Seperti biasa di
Desa Wonokerto mengadakan kesenian Lengger yang diisi
oleh Grup Lengger yang paling terkenal di Batang. Namanya
“Lengger Lereng Gunung Kemulan” pimpinan Ki Mangun
Malam
Hadi Kromo. Warga desa pun selalu memenuhi lokasi pentas
tatkala grup ini tampil. Maklum saja ini adalah wahana
hiburan rakyat yang murah meriah alias gratis (Hal. 55) Data
38
Akhirnya, ia pun melihat ada yang janggal dengan beberapa
pohon jagung yang tak jauh dari tempatnya berdiri.
Pohonpohon itu sudah roboh, padahal tak ada angin apalagi
Latar suasana
hujan kemarin sore. Ia mendekati tanaman-tanaman jagun
Terkejut
yang roboh itu, betapa terkejutnya santoso. Ia pun
menemukan Sang Bapak yang sudah tersungkur di antara
tanaman jagung. (Hal.12) Data 39
Tak lama setelah Surat Yasin yang dibaca selesai, Kiai
Dahlan pun meneteskan air mata, seraya berkata, “Innalillahi
Sedih wa inna iliahi roji’un. Bapak-bapak, Ibu-Ibu, Kang Kirman
sudah diambil oleh Allah Subnahu Wa Ta’ala.” Begitulah
ucapnya hingga membuat suasana pecah (Hal. 13) Data 40
Bahagia “Alhamdullah Kang, aku lulus.” Ucap Santoso kegirangan
penuh rasa Syukur. Ia pun menangis bahagia atas nikmat yang
diraihnya kini. (Hal. 28) Data 41
“Ini ibumu nak.” Ucapnya sambil memuntahkan seluruh air
GAYA BAHASA
matanya. (Hal 120) Data 42
Majas Hiper Bola
Tak lupa sepatu hitam pun ia semir, hingga terlihat mengkilat
Majas Metafora dan sepertinya bisa memantulkan sinar mentari kembali ke
peraduannya ( Hal.39) Data 43
4 Ibu kota, selalu penuh dengan kendaraan dan kepulan asap
yang keluar dari mulut-mulut knalpot. Tanpa rasa malu atau
sungkan, ia terus saja memuntahkan kepulan asapnya di
Majas
sepanjang jalanan Ibu kota. ( Hal. 81) Data 44
Personifikasi
Pagi itu masih buta, matahari belum sedikit pun
menampakkan diri. Meski hanya dengan setitik cahaya.
Namun ia telah untuk kembali ke Ibu kota (Hal. 184) Data 45
SUDUT PANDANG Ia adalah pemuda desa Wonokerto yang dikenal baik oleh
(Sudut Pandang Orang masyarakat. Mungkin ialah satu-satunya anak petani yang
Ketiga) memiliki cukup pengalaman di luar. Maklum, dari sekian
5 banyak petani di Desa Wonokerto, hanya bapaknya yang mau
menyekolahkan anaknya ke SMA. Namanya, Pak Kirman,
atau yang biasa dipanggil Kang Kirman oleh para tetangga.
(Hal. 6) Data 46
ia adalah warga desa yang keempat yang dinyatakan lulus dari
sekolah setara SMA. Bahagia, mungkin itulah kata-kata yang
bisa mewakili seluruh perasaannya kini. (Hal. 28) Data 47
6