Anda di halaman 1dari 8

Alur (plot)

Alur menurut Suminto A. Sayuti (2000:31) diartikan sebagai peristiwa-peristiwa yang diceritakan dengan panjang
lebar dalam suatu rangkaian tertentu dan berdasarkan hubungan-hubungan konsolitas itu memiliki struktur. Strukturnya itu
terdiri dari tiga bagian, yaitu bagian awal, bagian tengah, dan bagian akhir. Didalam cerpen ini, struktur plot itu dapat
diuraikan seperti berikut.

a) Bagian Awal

Pada bagian awal cerita ini yang terdapat dalam cerpen ini terbagi atas dua bagian, yaitu bagian eksposisi, yang
menjelaskan/ memberitahukan informasi yang diperlukan dalam memahami cerita. Dalam hal ini, eksposisi cerita dalam
cerpen ini berupa penjelasan tentang keberadaan seorang kakek yang menjadi garim di sebuah surau tua beberapa tahun yang
lalu, seperti yang diungkapkan pada data berikut :

Kalau beberapa tahun yang lalu Tuan datang ke kota kelahiranku …. akan Tuan temui seorang tua yang biasanya
duduk di surau dengan segala tingkah ketuaannya dan ketaatannya beribadat. Sudah bertahun-tahun ia sebagai
garim, penjaga surau itu. Orang-orang memanggilnya kakek.

Sebagai penjaga surau, kakek tidak mendapat apa-apa. Ia hidup dari sedekah yang dipungutnya sekali sejum’at.
Sekali enam bulan Ia mendapat seperempat dari hasil pemunggahan ikan mas dari kolam itu. Dan sekali setahun
orang-orang mengantarkan fitrah Id, tapi sebagai Garim ia tak begitu dikenal. Ia lebih dikenal sebagai pengasah
pisau. Karena Ia begitu mahir dengan pekerjaannya itu. Orang-orang suka minta tolong kepadanya, sedang ia
tidak pernah meminta imbalan apa-apa. Orang-orang perempuan yang minta tolong mengasahkan pisau atau
gunting, memberinya sambal sebagai imbalan. Orang laki-laki yang minta tolong, memberinya imbalan rokok,
kadang-kadang uang. Tapi yang paling sering diterimanya ialah ucapan terima kasih dan sedikit senyum (hlm. 7).

Dan yang kedua adalah sebagai instabilitas (ketidakstabilan), yaitu bagian yang didalamnya terdapat keterbukaan.

Yang dimaksud di sini adalah cerita mulai bergerak dan terbuka dengan segala permasalahannya. Perhatikan data berikut :

Tapi kakek ini sudah tidak ada lagi sekarang. Ia sudah meninggal. Dan tinggallah surau itu tanpa penjaganya ….

Jika Tuan datang sekarang hanya akan menjumpai gambaran yang mengesankan suatu kesucian yang bakal
roboh. Dan kerobohan itu kian hari kian cepat berlangsungnya …. (hlm. 8)

Berdasarkan data ini tampak jelas bahwa yang dimaksud cerita mulai bergerak dan tebuka adalah karena informasi
ini belum tuntas bahkan menimbulkan pertanyaan, mengapa si Kakek wafat dan bagaimana hal itu bisa terjadi ? sehingga
ketidakstabilan ini memunculkan suatu pengembangan suatu cerita.

b) Bagian Tengah

Meskipun ketidakstabilan dalam cerita memunculkan suatu pengembangan cerita tetapi bagian tengah tidak dimulai
dari ketidakstabilan itu. Justru, bagian tengah dimulai dengan jawaban atas pertanyaan yang muncul, seperti yang disebutkan
dalam bagian awal. Jawaban itu sedikitnya menggambarkan suatu konplik, bahwa si Kakek wafat karena dongengan yang
tak dapat disangkal kebenarannya. Data untuk ini seperti berikut:

Dan biang keladi dari kecerobohan ini ialah sebuah dongengan yang tak dapat disangkal kebenarannya. (hlm . 8)

Data konflik ini kemudian diperkuat dengan pemunculan tokoh alur yang berniat hendak mengupah si Kakek. Akan tetapi
begitu tokoh atau bertemu dengan si Kakek suasananya sangat tidak diharapkan.

… Kakek begitu muram. Di sudut benar dia duduk dengan lututnya menegak menopang tangan dan dagunya.
Pandangannya sayu kedepan, seolah-olah ada sesuatu yang mengamuk pikirannya. Sebuah blek susu yang berisi
minyak kelapa sebuah asahan halus, kulit sol panjang, dan pisau cukur tua berserakan di sekitar kaki Kakek.
(hlm.
8)

Rupanya si Kakek sedang dicekam konplik


Konplik ini berkembang menjadi konplikasi manakala tokoh aku menanyakan sesuatu yang berupa pisau kepada si
Kakek. Penyebab munculnya konplikasi ini bukan karena pisau itu melainkan pemilih pisau itu. Hal ini terbukti ketika si
Kakek menyebutkan nama pemilik pisau itu, dia begitu geramnya bahkan mengancam.

“Kurang ajar dia.” Kakek menjawab.

“ Kenapa ? “

“ Mudah-mudahan pisau cukur ini, yang kuasah tajam-tajam ini, menggorok tenggorokannya.” (hlm. 9)

Kemarahannya ini demikian hebat, makanya dia mau saja melepaskan kekesalannya dengan menceritakan apa yang
dilakukan Ajo Sidi terhadapnya di hadapan tokoh aku. Dia bercerita karena desakan dari dalam batinnya.

Begitu kuat dan hebat. Dia sendiri tak mampu menahannya untuk menyembunyikan apa yang diceritakan Ajo Sidi. Namun,
segala apa yang diungkapkannya di depan tokoh Aku ini tidak membuatnya merasa ringan. Bahkan mungkin semakin berat
dan menekan dada dan batinnya. Akibatnya, klimaks kekecewaan si Kakek berakhir dengan cara yang tragis. Dia nekat
membunuh dirinya sendiri dengan cara menggorok lehernya.

c) Bagian Akhir
Bagian terakhir cerita ini ternyata menarik. Menarik karena adanya kejutan (surprise). Kejutannya itu terletak pemecahan
masalahnya, yaitu ketika orang-orang terkejut mendapatkan si Kakek garin itu meninggal dengan cara mengenaskan, justru
Ajo Sidi menganggap hal itu biasa saja bahkan dia berusaha untuk membelikan kain kafan meskipun hal ini dia pesankan
melalui istrinya. Data berikut menggambarkan hal ini.

Aku cari Ajo Sidi ke rumahnya. Tapi aku berjumpa sama istrinya saja. Lalu aku tanya dia. “Ia sudah pergi,”
jawab istri Ajo Sidi.

“Tidak ia tahu Kakek meninggal ?”

“Sudah. Dan ia meniggalkan pesan agar dibelikan kain kafan buat Kakek tujuh lapis.”

“Dan sekarang,” tanyaku kehilangan akal sungguh mendengar segala peristiwa oleh perbuatan Ajo Sidi yang tidak
sedikitpun bertanggung jawab,” dan sekarang ke mana Dia ?”

“Kerja.”

“Kerja ?” Tanyaku mengulang hampa

“Ya. Dia pergi kerja.‖ (hlm. 16-17).

Penyelesaian yang penuh kejutan ini agaknya menyisakan pertanyaan, benarkah Ajo Sidi orang yang tidak
bertanggung jawab? Bukankah perilaku Ajo Sidi yang berusaha menyuruh istrrinya untuk membeli kain kafan itu merupakan
suatu bentuk tanggung jawab? Lalu di mana salahnya?

Jika struktur alurnya seperti di atas maka alur cerpen ini dikelompokkan ke dalam alur regresif atau alur flash back
(sorot balik). Dikatakan demikian karena benar-benar bertumpu pada kisah sebelumnya, yang oleh tokoh Aku kisah itu
diceritakan.

Kalau beberapa tahun yang lalu Tuan datang ke kota kelahiranku dengan menumpang bis.… Dan di ujung jalan
itu nanti akan Tuan temui sebuah surau tua…. Dan di pelataran kiri surau itu akan Tuan temui seorang Tua….
Orang-orang memanggilnya kakek… Tapi kakek ini sudah tidak ada lagi sekarang. Ia sudah meninggal…. Dan
biang keladi dari kerobohan ini ialah sebuah dongengan yang tak dapat disangkal kebenarannya. Beginilah
kisahnya (hlm.7-8). Dan besoknya, ketika Aku mau turun rumah pagi-pagi istriku berkata apa aku tak pergi
menjenguk. “Siapa yang meninggal?” Tanyaku kaget.

“Kakek.”
“Kakek?” (hlm.16).

Penokohan

Yang dimaksud dengan penokohan yakni bagaimana pengarang menampilkan perilaku tokoh-tokohnya berikut wataknya.
A.A. Navis menampilkan tokoh-tokohnya sebagai berikut.

a. Tokoh Aku

Tokoh ini begitu berperan dalam cerpen ini. Dari mulutnya kita bisa mendengar kisah si Kakek yang membunuh
dirinya dengan cara menggorok lehernya dengan pisau. Pengarang menggambarkan tokoh ini sebagai orang yang ingin tahu
perkara orang lain. Datanya seperti berikut.

Tiba-tiba aku ingat lagi pada Kakek dan kedatangan Ajo Sidi kepadanya. Apakah Ajo Sidi tidak membuat bualan
tentang kakek ? Dan bualan itukah yang mendurjakan kakek ? Aku ingin tahu. Lalu aku tanya pada kakek lagi:
“Apa ceritanya, kek ?”

Ingin tahuku dengan cerita Ajo Sidi yang memurungkan Kakek jadi memuncak. Aku tanya lagi kakek :
“Bagaimana katanya, kek ?”.(hlm.9).

“Astaga. Ajo Sidi punya gara-gara,” kataku seraya ceepat-ceepat meninggalkan istriku yang tercengangcengang.

Aku cari AjoSidi ke rumahnya. Tapi aku berjumpa sama istrinya saja. Lalu aku tanya dia.(hlm.16).

b. Ajo Sidi

Tokoh ini sangat istimewa. Tidak banyak dimunculkan tetapi sangat menentukan keberlangsungan cerita ini .
Secara jelas tokoh ini disebut sebagai si tukang bual. Sebutan ini muncul melalui mulut tokoh Aku. Menurut si tokoh Aku,
Ajo Sidi disebutkan sebagai si tukang bual yang hebat karena siapa pun yang mendengarnya pasti terpikat. Selain itu
bualannya selalu mengena. Data untuk ini seperti berikut.

….Maka aku ingat Ajo Sidi, si pembual itu. Sudah lama aku tak ketemu dia. Dan aku ingin ketemu dia lagi. Aku
senang mendengar bualannya. Ajo Sidi bisa mengikat orang-orang dengan bualannya yang aneh-aneh sepanjang
hari. Tapi ini jarang terjadi karena ia begitu sibuk dengan pekerjaannya. Sebagai pembual, sukses terbesar
baginya ialah karena semua pelaku-pelaku yang diceritakannya menjadi pemeo akhirnya. Ada-ada saja orang di
sekitar kampungku yang cocok dengan watak pelaku-pelaku ceritanya….(hlm.8-9)

Dari data ini pula ternyata disebutkan pula bahwa Ajo Sidi orang yang cinta kerja.

c. Si Kakek

Tokoh ini agaknya menjadi tokoh sentral. Dia menjadi pusat cerita. Oleh si pengarang tokoh ini digambarkan
sebagai orang yang mudah dipengaruhi dan gampang mempercayai omongan orang, pendek akal dan pikirannya, serta terlalu
mementingkan diri sendiri dan lemah imannya.

Penggambaran watak seperti ini karena tokoh kakek mudah termakan cecrita Ajo Sidi. Padahal yang namanya
cerita tidak perlu ditanggapi serius tetapi bagi si kakek hal itu seperti menelanjangi kehidupannya. Seandainya si kakek
panjang akal dan pikirannya serta kuat imannya tidak mungkin ia mudah termakan cerita Ajo Sidi. Dia bisa segera bertobat
dan bersyukur kepada Tuhan sehingga dia bisa membenahi hidup dan kehidupannya sesuai dengan perintah tuhannya. Tetapi
sayang, dia segera mengambil jalan pintas malah masuk ke pintu dosa yang lebih besar.

Sedangkan gambaran untuk tokoh si Kakek yang terlalu mementingkan diri sendiri digambarkan melalui ucapanya
sendiri, seperti data berikut:

“ Sedari mudaku aku di sini, bukan ? tak kuingat punya istri, punya anak, punya keluarga seperti orang-orang
lain, tahu? Tak terpikirkan hidupku sendiri…(hlm.10).
d. Haji Saleh

Tokoh ini adalah ciptaan Ajo Sidi. Pemunculannya sengaja untuk mengejek atau menyindir orang lain. Dengan
begitu wataknya sudah dipersiapkan oleh penciptanya dan karena kemahirannya Ajo Sidi tokoh ini demikian hidup. Secara
jelas dan gamblang watak tokoh ini digambarkan sebagai orang terlalu mementingkan diri sendiri.

Latar

Dalam suatu cerita latar dibentuk melalui segala keterangan, petunjuk, pengacuan yang berkaitan dengan waktu,
ruang, dan suasana terjadinya suatu peristiwa. Latar ini ada tiga macam, yaitu: latar tempat; latar waktu; dan latar sosial.

Latar Tempat

Latar jenis ini biasa disebut latar fisik. Latar ini dapat berupa daerah, bangunan, kapal, sekolah, kampus, hutan, dan
sejenisnya. Latar tempat yang ada dalam cerpen ini jelas disebutkan oleh pengarangnya, seperti kota, dekat pasar, di surau,
dan sebagainya :

Kalau beberapa tahun yang lalu Tuan datang ke kota kelahiranku dengan menumpang bis, Tuan akan berhenti di
dekat pasar. Melangkahlah menyusuri jalan raya arah ke barat. Maka kira-kira sekilometer dari pasar akan
sampailah Tan di jalan kampungku. Pada simpang kecil kekanan, simpang yang kelima, membeloklah ke jalan
sempit itu. Dan di ujung jalan itu nanti akan tuan temui sebuah surau tua. Di depannya ada kolan ikan, yang
airnya mengalir melalui empat buah pancuran mandi. (hlm. 1 )

Latar Waktu

Latar jenis ini, yang terdapat dalam cerpen ini ada yang bersamaan dengan latar tempat, seperti yang sudah dipaparkan di
atas pada latar tempat atau contoh yang lainnya seperti berikut :

“Pada suatu waktu,” kata Ajo Sidi memulai, “..di Akhirat Tuhan Allah memeriksa orang-orang yang sudah
berpulang ….” (hlm. 10)

Meskipun begitu, ada juga yang juga yang jelas-jelas menyebutkan soal waktu, misalnya:

Jika tuan datang sekarang, hanya akan menjumpai gambaran yang mengesankan suatu kebencian yang bakal
roboh ………

Sekali hari aku datang pula mengupah kepada kakek (hlm. 8)

“Sedari mudaku aku di sini, bukan ?….” (hlm.10)

Latar Sosial

Di dalam latar ini umumnya menggambarkan keadaan masyarakat, kelompok-kelompok sosial dan sikapnya,
kebiasaannya, cara hidup, dan bahasa. Di dalam cerpen ini latar sosial digambarkan sebagai berikut :

Dan di pelataran surau kiri itu akan tuan temui seorang tua yang biasanya duduk disana dengan segala
tingkah ketuaannya dan ketaatannya beribadat. Sudah bertahun-tahun Ia sebagai Garim, penjaga surau
itu. Orang-orang memanggilnya kakek (hlm. 7)

Dari contoh ini tampak latar sosial berdasarkan usia, pekerjaan, dan kebisaan atau cara hidupnya.

Namun demikian, contoh latar sosial yang menggambarkan kebiasaan yang lainnya yaitu :

 Kalau Tuhan akan mau mengakui kehilapan – Nya bagaimana ?‖ suatu suara melengking di dalam kelompok orang
banyak itu.
 Kita protes. Kita resolusikan,‖ kata Haji Soleh.
 cocok sekali, di dunia dulu dengan demonstrasi saja, banyak yang kita peroleh,‖ sebuah suara menyela.
 setuju. Setuju. Setuju.‖ Mereka bersorak beramai-ramai (hlm. 13)
Kebiasaan ini tentunya mengisyaratkan kepada kita bahwa tokoh-tokoh yang terlibat dalam dialog ini (hlm.13), termasuk
kelompok orang yang sangat kritis, vokal, dan berani. Karena kritik, vokalnya, dan beraninya Dia sering menganggap enteng
orang lain dan akhirnya terjebak dalam kesombongan. Tokoh-tokoh ini menjadi sombong di hadapan Tuhannya padahal apa
yang dilakukannya belum ada apa-apanya. Perhatikan pada berikut ini.

Haji soleh yang jadi pemimpin dan juru bicara tampil ke depan. Dan dengan suara yang menggeletar dan
berirama indah, Ia memulai pidatonya: “O, Tuhan kami yang Mahabesar, kami yang menghadap-Mu ini adalah
umat-Mu yang paling taat beribadat, yang paling taat menyembah-Mu. Kamilah orang-orang yang selalu
menyebut nama-Mu, memuji-muji kebesaran-Mu, mempropagandakan keadilan-Mu, dan lain-lainnya…”

Akhirnya ada latar sosial lain yang digambarkan dalam cerpen ini meskipun hanya sepintas saja gambaranya
itu. Latar sosial ini menunjukkan bahwa salah satu tokoh dalam cerita ini termasuk kedalam kelompok sosial pekerja.
Datanya seperti ini.

“Dan sekarang,” tanyaku kehilangan akal sungguh mendengar segala peristiwa oleh perbuatan Ajo Sidi yang
tidak sedikitpun bertanggung jawab, “dan sekarang ke mana dia ?”

“Kerja”

“Kerja?”tanyaku mengulangi hampa.

“ya.Dia pergi kerja.

Tema

Pengarang yang sedang menulis cerita pasti akan menuangkan gagasannya. Tanpa gagasan pasti dia tidak bisa menulis
cerita. Gagasan yang mendasari cerita yang dibuatnya itulah yang disebut tema dan gagasan seperti ini selalu berupa pokok
bahasan.

Tema atau pokok persoalan cerpen Robohnya Surau Kami sesungguhnya terletak pada persoalan batin kakek Garin setelah
mendengar bualan Ajo Sidi. Gambaran ini terletak pada halaman 10 berikut ini.

“Sedari mudaku aku disini, bukan? Tak ku ingat punya istri, punya anak, punya keluarga seperti orang-orang lain,
tahu? Tak kupikirkan hidupku sendiri. Aku tak ingin cari kaya, bikin rumah. Segala kehidupanku, lahir batin, ku
serahkan kepada Allah Subhanahu Wata’ala. Tak pernah aku menyusahkan orang lain. Lalat seekor enggan aku
membunuhnya. Tapi kini aku dikatakan manusia terkutuk. Umpan neraka…. Tak ku pikirkan hari esokku, karena
aku yakin Tuhan itu ada dan pengasih penyayang kepada umatNya yang tawakkal. Aku bangun pagi-pagi. Aku
bersuci. Aku pukul bedug membangunkan manusia dari tidurnya, supaya bersujud kepadaNya. Aku bersembahyang
setiap waktu. Aku puji-puji dia. Aku baca KitabNya. “Alahamdulillah” kataku bila aku menerima karuniaNya.
“Astaghfirullah” kataku bila aku terkejut. ” Masa Allah bila aku kagum.” Apakah salahnya pekerjaanku itu? Tapi
kini aku dikatakan manusia terkutuk.”

Kemudian pada halaman 16 gambaran itu ditegaskan kembali, yaitu :

“Tidak, kesalahan engkau, karena engkau terlalu mementingkan diri mu sendiri. Kau takut masuk neraka, karena
itu kau taat bersembahyang. Tapi engkau melupakan kaum mu sendiri, melupakan kehidupan anak istimu sendiri,
sehingga mereka itu kucar kacir selamanya. Inilah kesalahan mu yang terbesar, terlalu egoistis, padahal engkau
di dunia berkaum, bersaudara semuanya, tapi engkau tak memperdulikan mereka sedikitpun.”

Dengan demikian, jika kita buat kesimpulan atas fakta-fakta di atas maka tema cerpen ini adalah seorang kepala keluarga
lalai itu sehingga masalah kelalaiannya itu akhirnya mampu membunuh dirinya. Dan simpulan temanya itu ternyata bersifat
universal. Oleh karena itu, wajarlah kalau cerpen karya A.A. Navis ini diteima oleh setiap orang.

Amanat

Di dalam sebuah cerita, gagasan atau pokok persoalan dituangkan sedemikian rupa oleh pengarangnya sehingga gagasan itu
mendasari seluuh cerita. Gagasan yang mendasari seluruh cerita ini dipertegas oleh pengarangnya melalui solusi bagi pokok
persoalan itu. Dengan kata lain solusi yang dimunculkan pengaranngnya itu dimaksudkan untuk memecahkan pokok
persoalan, yang didalamnya akan terlibat pandangan hidup dan cita-cita pengarang. Hal inilah yang dimaksudkan dengan
amanat. Dengan demikian, amanat merupakan keinginan pengarang untuk menyampaikan pesan atau nasihat kepada
pembacanya.

Jadi amanat pokok yang terdapat dalam cerpen Robohnya Surau Kami karya A.A. Navis adalah: ―Pelihara, jaga, dan
jangan bermasabodoh terhadap apa yang kau miliki.‖ Hal ini terdapat pada paragraf kelima halaman delapan kalimat yang
terakhir. Amanat pokok/utama ini kemudian diperjelas atau diuraikan dalam ceritanya. Akibatnya muncullah amanat-amanat
lain yang mempertegas amanat utama itu. Amanat-amanat yang dimaksud itu di antaranya:

(a) Jangan cepat marah kalau ada orang yang mengejek atau menasehati kita karena ada perbuatan kita yang kurang layak di
hadapan orang lain. Amanat ini dimunculkan melalui ucapan kakek Garin pada halaman 9.

“Marah ? Ya, kalau aku masih muda, tetapi aku sudah tua. Orang tua menahan ragam. Sudah lama aku tak
marahmarah lagi. Takut aku kalau imanku rusak karenanya, ibadahku rusak karenanya. Sudah begitu lama aku
berbuat baik, beribadah bertawakkal kepada Tuhan .…” dari ucapan kakek Garin itu jelas tegambar pandangan

hidup/cita-cita pengarangnya mengenai karangan untuk cepat marah.

(b) Jangan cepat bangga akan perbuatan baik yang kita lakukan karena hal ini bisa saja baik di hadapan manusia tetapi tetap
kurang baik di hadapan Tuhan itu. Coba saja tengok pengalaman tokoh yang bernama Haji Saleh ketika dia disidang di
akhirat sana:

“Alangkah tercengangnya Haji Saleh, karena di Neraka itu banyak teman-temannya didunia terpanggang hangus,
merintih kesakitan. Dan tambah tak mengerti lagi dengan keadaan dirinya, karena semua orang-orang yang
dilihatnya di Neraka itu tak kurang ibadahnya dari dia sendiri. Bahkan ada salah seorang yang telah sampai 14 kali
ke Mekkah dan bergelar Syekh pula ( Hlm. 12 – 13 ).

Tidak hanya itu saja. Dari gambaran ini terpapar pula amanat lain, yaitu:

(c) Kita jangan terpesona oleh gelar dan nama besar sebab hal itu akan mencelakakan diri pemakainya.

Sudut pandang

Sudut pandang pada cerita ini ialah pengarang sebagai tokoh utama, karena secara langsung terlibat dalam cerita. Tetapi saat
Kakek bercerita tentang Haji Saleh pengarang merupakan tokoh bawahan saat di depan tokoh ‘Aku’.

Kaidah kebahasaan

Secara keseluruhan, bahasa yang digunakan dalam cerpen “Robohnya Surau Kami” sudah sesuai dengan ketentuan EYD. Di
dalam cerpen ini pengarang menggunakan kata-kata yang sudah biasa kita dengar dalam bidang keagamaan, seperti
Alhamdulilllah, Masya Allah, Astaghfirullah, Allah subhanahu wata’ala, surga dan akhirat. Cerpen ini sangat kental dengan
bahasa dan adat melayu. Seperti dalam kalimat berikut ini,

”Sekali hari aku datang mengupah Kakek”. Kalimat itu menggunakan bahasa melayu, namun jika dituliskan dalam bahasa
Indonesia yang baik dan benar adalah “Suatu hari aku datang menemui Kakek”.

Pesan

a. Jangan menyia-nyiakan apa yang kamu miliki, untuk itu cermati sabda Tuhan dalam cerpen ini:

“…, kenapa engkau biarkan dirimu melarat, hingga anak cucumu teraniaya semua, sedang harta bendamu kau
biarkan orang lain mengambilnya untuk anak cucu mereka. Dan engkau lebih suka berkelahi antara kamu sendiri,
saling menipu, saling memeras. Aku beri kau negeri yang kaya raya, tapi kau malas, kau lebih suka beribadat saja,
karena beribadat tidak mengeluarkan peluh, tidak membanting tulang. Sedang Aku menyuruh engkau semuanya
beramal disamping beribadat. Bagaimana engkau bisa beramal kalau engkau miskin .…” (hlm. 15).

b. Jangan mementingkan diri sendiri, seperti yang disabdakan Tuhan dalam cerpen ini halaman 16.

”…. Kesalahan engkau, karena engkau terlalu mementingkan dirimu sendiri. Kau takut masuk neraka, karena itu kau
taat bersembahyang, tapi engkau melupakan kehidupan kaummu sendiri, melupakan kehidupan anak istrimu sendiri,
sehingga mereka itu kucar kacir selamanya. Inilah kesalahanmu yang terbesar, terlalu egoistis, padahal engkau
didunia berkaum, bersaudara semuanya, tapi engkau tak memperdulikan mereka sedikitpun.”

Kesimpulan

Cerpen Robohnya Surau Kami karya A.A. Nvis ini memang sebuah sastra (cerpen) yang menarik dan baik. Hal ini
dapat dilihat dari unsur-unsur intrinsik dan kesesuaiannya sebagai bahan pembelajaran. Adapun hasil analisisnya sebagai
berikut.

1. Unsur-unsur Intrinsik

a. Tema

Tema cerpen ini adalah seorang kepala keluarga yang lalai menghidupi keluarganya. b.

Amanat

Amanat cerpen ini adalah :

1) jangan cepat marah kalau diejek orang,

2) jangan cepat bangga kalau berbuat baik,

3) jangan terpesona oleh gelar dan nama besar,

4) jangan menyia-nyiakan yang kamu miliki, dan 5) jangan egois.

c. Latar

Latar yang ada dalam cerpen ini adalah latar tempat, latar waktu, dan latar sosial. d.

Alur

Alur cerpen ini adalah alur mundur karena ceritanya mengisahkan peristiwa yang telah berlalu yaitu sebab-sebab
kematian kakek Garin. Sedangkan strukturnya berupa bagian awal, tengah, dan akhir. Adapun alur mundurnya mulai muncul
di akhir bagian awal dan berakhir di awal bagian akhir.

e. Penokohan

Tokoh dalam cerpen ini ada empat orang, yaitu tokoh Aku, Ajo Sidi, Kakek, dan Haji Soleh.

1) Tokoh Aku berwatak selalu ingin tahu urusan orang lain.


2) Ajo Sidi adalah orang yang suka membual
3) Kakek adalah orang yang egois dan lalai, mudah dipengaruhi dan mempercayai orang lain. 4) Haji Soleh

yaitu orang yang telah mementingkan diri sendiri. f. Titik Pengisahan

Titik pengisahan cerpen ini yaitu pengarang berperan sebagai tokoh utama (akuan sertaan) sebab secara langsung
pengarang terlibat di dalam cerita. Selain itu pengarang pun berperan sebagai tokoh bawahan ketika si kakek bercerita
tentang Haji Soleh di depan tokoh aku.

g. Gaya

Di dalam cerpen ini pengarang benar-benar memanfaatkan kata-kata, dan majas alegori, dan sinisme.

2. Berdasarkan uraian di atas, maka cerpen Robohnya Surau Kami sangat cocok /layak jika dijadikan bahan ajar dalam
pembelajaran sastra di SMU, karena bahasa yang digunakannya bisa dipahami oleh siswa SMU, konflik psikologis
tokoh-tokohnya pun tidak terlalu sulit untuk dipelajari, selain itu konflik-konflik psikologis yang dimunculkan, masih
sesuai dengan perkembangan psikologis dan pemikiran siswa SMU, dan latar budaya yang ditampilkannya pun masih
tampak umum sehinga siswa yang berlatar belakang budaya Islam, Kristen, Hindu, dan Budha pun dapat menerimanya.
Selain kriteria ini, guru pun harus membaca terlebih dahulu sebelum pembelajaran dimulai begitu pula dengan
siswanya. Namun, jangan sekali-kali membaca ringkasan cerpen tersebut tanpa pernah membaca cerita itu seluruhnya.
Juga, guru harus kreatif ketika sedang membelajarkan siswanya. Misalnya, guru harus mampu membangkitkan minat
dan rasa ingin tahu siswa akan isi cerpen tersebut.

Anda mungkin juga menyukai