Anda di halaman 1dari 5

Telah terbit sebagian di tautan https://bangkitmedia.

com/energi-terbarukan-di-indonesia-tantangan-
dan-asa-energi-surya-1/ dan terbit penuh di tautan http://www.nu.or.id/post/read/106246/energi-
terbarukan-di-indonesia-tantangan-dan-asa-energi-surya

Energi Terbarukan di Indonesia: Tantangan dan Asa Energi Surya

Oleh: Ahmad Rahma Wardhana, S.T., M.Sc.


(Ketua Bidang Riset dan Pengembangan PW LPBI NU DIY / Peneliti Pusat Studi Energi UGM)

Energi Terbarukan vs Perubahan Iklim

Pengertian energi terbarukan sedikitnya dapat ditinjau dari dua perspektif, yakni sumber dan
pemanfaatannya. Pertama, energi terbarukan berasal dari sumber yang terbarukan secara alami
maupun budidaya, berkelanjutan, serta laju produksi yang lebih cepat dibandingkan laju konsumsinya.
Contoh sumber yang dimaksud adalah sinar matahari, angin, hujan atau air, pasang-surut dan
gelombang air laut, serta panas bumi (secara alami) dan biogas, biomassa, biosolar, bioavtur, serta
bioetanol (lewat budidaya). Kedua, energi terbarukan mempunyai empat fungsi khas yaitu menghasilkan
energi dalam bentuk listrik, sebagai pendingin atau pemanas air dan udara, sumber energi bagi sarana
transportasi, dan memberikan jasa energi untuk wilayah terpencil [1].

Salah satu perbedaan mendasar antara energi energi terbarukan dengan energi berbasis fosil (minyak,
gas, dan batubara) adalah munculnya emisi gas rumah kaca berupa CO2, CH4, dan N2O, yang dihasilkan
oleh energi fosil. Data International Energy Agency (IEA) tahun 2016 menunjukkan bahwa energi
terbarukan –bersama beberapa sumber energi non-fosil lain– memasok sekitar 19% kebutuhan energi
dunia, dengan kontribusi emisi karbon (CO2) global sebesar 1%. Bandingkan dengan batu bara, misalnya,
dengan pasokan energi yang mencapai 27%, ia justru menyumbang hingga 44% emisi karbon.
Sementara 32% pasokan minyak bumi menghasilkan 35% emisi karbon dan 22% pasokan gas alam
emisinya mencapai 20% dari emisi karbon global. Padahal, emisi gas rumah kaca karena aktivitas
manusia sangat dimungkinkan merupakan faktor dominan penyebab terjadinya pemanasan global dan
perubahan iklim.

Apa dampak dari pemanasan global dan perubahan iklim bagi Indonesia? United Nations Development
Programme (UNDP) menyatakan bahwa pemanasan global dan perubahan iklim akan menimbulkan
reaksi berantai yang mengancam manusia, lingkungan, dan kemakmuran (3P, yaitu people, planet, dan
prosperity). Reaksi berantai tersebut adalah cuaca ekstrim, hilangnya keanekaragaman hayati, es global
yang mencair, serta gelombang panas dan kekeringan ekstrim. Reaksi berantai ini akan sangat terasa
bagi masyarakat, baik ketika terjadi langsung (misal: terhambatnya distribusi barang dan jasa atau
kacaunya produksi pangan di darat dan laut karena cuaca ekstrim), maupun ketika berpadu dengan
kerusakan lingkungan lain (misal: banjir dan tanah longsor karena cuaca ekstrim dan perusakan hutan
atau alih fungsi lahan yang melebihi daya dukung lingkungan).

Sementara hilangnya biodiversitas akan semakin menggerus peringkat Indonesia sebagai negara dengan
biodiversitas terbesar ketiga di dunia, sekaligus kehilangan potensi pemanfaatan biodiversitas di bidang
pangan (sumber keanekaragaman nutrisi), farmasi (termasuk kosmetik), budaya (termasuk pariwisata),
dan energi berbasis makhluk hidup, serta berhentinya beberapa fungsi lingkungan (misal: pemurnian
udara dan air, penjaga kesuburan tanah, pengendali alami temperatur dan iklim). Untuk es global yang
mencair, gelombang panas, dan kekeringan ekstrim, di antara akibat langsungnya bagi masyarakat
adalah banyaknya pulau kecil (berpenghuni maupun tidak) yang akan tenggelam serta semakin parahnya
krisis air.

Uraian tersebut semakin menjelaskan kaitan erat antara penggunaan energi terbarukan dengan
pemanasan global dan perubahan iklim bagi kita masyarakat Indonesia: bagian dari upaya bersama
menghadapi keduanya dengan mengurangi laju bertambahnya emisi karbon yang dilepas ke lingkungan.

Patutlah kita bersyukur kepada Tuhan Yang Maha-Esa, karena telah menganugerahkan kepada
Indonesia berupa bentang alam yang dapat mendukung berkembangnya energi terbarukan di Indonesia,
yakni: (1) matahari bersinar sepanjang tahun; (2) negara beriklim tropis sehigga tidak mengalami musim
dingin yang membutuhkan panas secara massif; (3) memiliki lautan yang luas: sumber energi pasang-
surut atau gelombang laut; (4) terdapat kawasan perkotaan besar yang padat: sumber energi dari
sampah dan limbah; (5) rangkaian gunung api dan hutan: sumber energi panas bumi sekaligus fungsi
konservasi air dan biodiversitas; (6) sungai, pegunungan, dan saluran irigasi: sumber energi air
(pikohidro, mikrohidro, minihidro, PLTA); (7) biodiversitas terbesar ketiga di dunia: sumber diversifikasi
energi berbasis makhluk hidup (biofuel berbasis ekstraksi tumbuhan atau ganggang, panas biomassa); (8)
negara kepulauan: peluang kemandirian energi berbasis sumber daya terbarukan lokal. Sungguh, tak
pelak lagi, pengembangan energi terbarukan di Indonesia adalah sebuah keniscayaan.

Energi Surya dan Tantangannya

Pengembangan energi terbarukan di Indonesia masih mengalami beberapa tantangan esensial. Hanya
saja, tantangan tersebut bukan menghambat, tetapi justru memicu para praktisi, peneliti, dan pengguna
energi terbarukan untuk terus berinovasi. Salah satunya adalah energi terbarukan yang memanfaatkan
sinar matahari atau energi surya.

Energi surya sering disebut sebagai PLTS atau pembangkit listrik tenaga surya. Pada dasarnya, PLTS
adalah sebuah sistem yang mengubah sinar matahari menjadi listrik. Sistem tersebut sedikitnya terdiri
dari panel surya (biasa pula disebut sel surya atau modul surya), baterai (penyimpan listrik), pengatur
pengisian, dan inverter (pengubah jenis arus). Panel surya merupakan komponen yang dijemur
menghadap matahari dan berfungsi mengubah sinar matahari menjadi listrik. Baterai dibutuhkan
apabila listrik akan digunakan di malam hari atau sebagai alat untuk menstabilkan energi listrik dalam
memasok peralatan peralatan elektronik sehingga dapat menyala.

Sementara pengatur pengisian digunakan untuk mengatur nyala-padamnya listrik saat mengisi baterai
dan saat listrik dari baterai menyalakan alat elektronik, agar tidak melampaui batas tertentu sehingga
dapat merusak baterai. Inverter sendiri berfungsi untuk mengubah arus listrik dari panel surya dan
baterai yang sifatnya searah (atau biasa disebut DC, yakni listrik yang kutub positif dan negatifnya harus
diperhatikan) menjadi arus bolak-balik (atau biasa disebut AC, yakni listrik yang lazim digunakan di listrik
PLN). Pengubahan ini diperlukan karena kebanyakan peralatan elektronik membutuhkan listrik jenis
bolak-balik.
Uraian komponen PLTS tersebut penulis sampaikan untuk menggambarkan betapa ringkasnya sistem
PLTS bekerja, yakni dari sumber sampai dengan penggunaannya dalam menyalakan peralatan elektronik,
sehingga dapat dipelajari dan dipahami secara cepat oleh masyarakat kebanyakan. Dikatakan sederhana
apabila dibandingkan dengan sistem listrik PLN yang nampak ringkas dari perspektif pelanggan PLN,
namun sesungguhnya merupakan sistem yang sangat kompleks, baik di sumbernya (pembangkitan di
pembangkit listrik bertenaga uap yang berbahan bakar batu bara, gas, minyak atau pembangkit listrik
tenaga turbin yang diputar oleh aliran air) maupun di distribusinya yang melibatkan sangat banyak
komponen.

Apakah kemudian berarti penggunaan PLTS menjadi mudah di Indonesia? Belum tentu, mengingat harga
listrik per satuan energi PLTS yang masih lebih tinggi dibandingkan dengan harga listrik PLN. Di antara
banyak faktor yang menyebabkan harga listrik PLTS belum mampu bersaing dengan harga listrik PLN
adalah komponen PLTS yang sebagian besar masih impor.

Panel surya, misalnya. Panel surya yang berlabel perusahaan dalam negeri sudah ada dan dapat ditemui
di pasaran. Namun produk tersebut tidak 100% buatan Indonesia. Biasanya perusahaan dalam negeri
mengimpor lembaran sel surya dalam bentuk besar, kemudian dikemas dalam bentuk panel surya
satuan daya tertentu dengan label merek dalam negeri, dan dijual di pasaran. Begitu pula dengan
baterai, pengatur pengisian, dan inverter: sebagian telah dirakit di dalam negeri setelah impor dalam
bentuk setengah jadi, sebagian yang lain masih 100% impor.

Sebagai gambaran betapa pentingnya bisnis komponen PLTS, data BPS (2019) menunjukkan kenaikan
signifikan nilai impor panel surya pada tahun 2016, 2017, dan 2018. Panel surya yang diimpor dalam
bentuk lembaran besar naik dari 7,5 juta dolar AS pada 2016; menjadi 11,1 juta dolar AS pada 2017; dan
kemudian mencapai 14,7 juta dolar AS pada 2018. Hal yang sama terjadi untuk panel surya yang diimpor
dalam bentuk jadi: 11,8 juta dolar AS pada 2016; 19,4 juta dolar AS pada 2017; dan 33,8 juta dolar AS
pada 2018.

Realitas ini sesungguhnya telah dicoba diantisipasi oleh Pemerintah RI melalui Perpres No. 22/2017
tentang Rencana Umum Energi Nasional yang menyatakan memfasilitasi pendirian industri hulu dan hilir
PLTS. Meskipun demikian upaya ini belum nampak nyata hingga saat ini.

Asa Energi Surya

Pendirian industri hulu dan hilir komponen PLTS memang tidak mudah. Dibutuhkan upaya sungguh-
sungguh dan serius dari Pemerintah RI bersama-sama dengan kalangan industri dalam dan luar negeri
serta dukungan dari kampus sebagai jangkar ilmu pengetahuan dan teknologi, agar kemandirian industri
komponen PLTS dapat dicapai.

Sementara tantangan lain yang tak kalah pelik adalah justru bukan dari teknologi, tetapi dari sosial dan
kelembagaan. Tidak sedikit PLTS di berbagai wilayah di nusantara yang padam, jauh sebelum usia
optimalnya, padahal panel surya sendiri memiliki usia teknis hingga mencapai 20-25 tahun. Hal tersebut
terjadi, utamanya karena masalah teknis terkait dengan pemeliharaan dan penggantian komponen yang
rusak. Kualitas sumber daya manusia (SDM) penerima manfaat yang belum mampu memelihara dan
memperbaiki PLTS serta enggannya penerima manfaat untuk iuran, menjadi pelengkap-penderita
realitas tersebut.

Pemahaman masyarakat yang belum maksimal tentang pentingnya iuran, misalnya. Iuran tersebut
seyogyanya merupakan instrumen penting pendukung pemeliharaan rutin dan penggantian komponen
minor saat terjadi insiden kerusakan. Sementara kelembagaan yang baik diperlukan untuk menggagas
sinergisitas dengan sumber pendanaan (CSR, Pemerintah Desa, Kementerian terkait) untuk penggantian
komponen mayor di kurun waktu tertentu. Penggantian komponen mayor diperlukan, mengingat usia
panel surya yang mampu mencapai 20-25 tahun harus diimbangi dengan penggantian baterai, inverter,
dan pengatur pengisian yang usianya hanya sekitar 5-10 tahun.

Sedangkan rendahnya SDM penerima manfaat dalam memelihara dan memperbaiki PLTS hendaknya
ditingkatkan dengan melibatkan pendidikan tinggi bersama-sama dengan Sekolah Menengah Kejuruan
setempat untuk membangun jaringan pendukung pemeliharaan-perbaikan PLTS, utamanya dengan
memanfaatkan kegiatan penelitian dan pengabdian. Perlu pula pendidikan tinggi bahu membahu
dengan organisasi masyarakat sipil yang biasanya sudah memiliki akar kuat di tingkat komunitas, sebagai
sasaran penelitian dan pengabdian tentang pengembangan energi surya.

Di tengah kompleksnya tantangan dalam pengembangan energi surya, pemberdayaan masyarakat


berbasis energi surya tidak melulu gagal. Di Kecamatan Panggang, Kabupaten Gunung Kidul, terdapat
PLTS yang berhasil memenuhi kebutuhan air baku sejak 2009 sampai saat ini 2019. Jumlah keluarga yang
dilayani mencapai 213 sejak 2016. Iuran berjalan dengan baik, masyarakat tertib dalam menggunakan
air sesuai prosedur, petugas pemelihara menjalankan tugasnya, dan organisasi masyarakat sipil bersama
perguruan tinggi penggagasnya masih terus berkomunikasi, pun dengan adanya dukungan penuh dari
Pemerintah Desa, Kabupaten, hingga Provinsi. Alhasil, tiga pedukuhan ini dipercaya dan dinilai mampu
dalam mengelola teknologi, sehingga mendapatkan hibah dan CSR untuk mengembangkan sistemnya
pada 2014 dan 2016.

Dua Desa di Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Provinsi Jambi, energi surya terbukti mampu mengurangi
beban masyarakat ketika digunakan dalam kegiatan produktif: memproduksi air minum dengan
teknologi reverse-osmosis (RO). PLTS difungsikan untuk menyalakan pompa air dan mesin RO yang
kapasitas produksinya mencapai 50 galon air per hari. Warung di dalam desa yang sebelumnya harus
mengimpor air minum dari luar desa dengan mengangkut air dengan perahu motor menyeberangi
Sungai Batanghari, sekarang dapat membeli dari Unit Usaha Air Minum Badan Usaha Milik Desa
setempat dengan harga yang lebih murah, yakni dari Rp 8.000,00 per galon menjadi Rp 6.000,00 per
galon.

Tentu saja masih banyak kisah sukses lain tentang bagaimana energi surya mampu memberdayakan
masyarakat dari seluruh penjuru nusantara. Dua ilustrasi di atas hendaknya dapat menjadi pemantik
bagi masyarakat pengguna energi terbarukan lain agar mempublikasikan narasi keberhasilannya. Saling
berbagi asa, dengan energi surya.

Apa yang penulis sampaikan dalam tiga tulisan bersambung ini, hendaknya dapat mendorong berbagai
komponen bangsa untuk terus serius mengembangkan energi surya. Tantangan pasti ada, pun dengan
asa. Pemanasan global dan perubahan iklim tak bisa diselesaikan oleh satu orang, tidak pula satu desa,
pun oleh satu negara; tetapi hanya bisa ketika setiap komponen bangsa dari berbagai dunia, termasuk
Indonesia, untuk turut berperan serta. Dan asa di energi surya masih ada. [2]

[1] Disarikan dari IRENA (2009); REN21 (2010); Ellaban dkk (2014); dan iea.org (2016).

[2] Penjelasan lebih lengkap tentang energi terbarukan khususnya energi surya dari sudut pandang
fikih dan teknis di antaranya dapat dibaca dalam dua buku terbitan LAKPESDAM-PBNU tahun 2018 yang
berjudul Fikih Energi Terbarukan – Pandangan dan Respons Islam terhadap PLTS dan Energi Surya
Berbasis Komunitas – Meningkatkan Produktivitas Masyarakat Pedesaan melalui Energi Terbarukan.

Anda mungkin juga menyukai